Serial Pendekar Hina Kelana Eps 04 : Tiga Iblis Pulau Berhala

 
Eps 04 : Tiga Iblis Pulau Berhala


Denting suara beradunya berbagai senjata tajam, jerit menyayat menyongsong maut. Rintih dan tangis dari mereka yang terluka, semuanya berbaur menjadi satu. Hampir ratusan nyawa melayang, seolah tiada harga. Namun semua itu tidak bisa mencegah peperangan yang sudah berkobar.

Korban terus berjatuhan, darah mengalir di mana-mana. Istana Kedatuan Khalayan yang tadi sore nampak tenang dan tenteram kini berubah menjadi ajang pertempuran yang menakutkan. Satu demi satu pengawal yang berusaha untuk mempertahankan istana Kedatuan bergelimpangan terbabat senjata kaum pemberontak. Kutungan tangan dan kaki bergeletakan di mana-mana.

Kini pasukan penyerbu itu sebagian telah

sampai di serambi paling depan istana Kedatuan. Mereka terus menerjang membabi buta, dan hanya dalam waktu sekejap sampailah mereka di pintu utama. Dua orang pengawal pribadi raja nampak menghadang, pertarungan seru pun terjadi. Empat orang pasukan penyerbu segera menerjang, namun agaknya dua orang pengawal utama yang bernama Awangga dan Pradilaga ini bukanlah dua orang lawan tandingan   mereka.   Dalam   waktu hanya sekejap saja empat orang anggota pasukan penyerbu itu pun kena didesak oleh Awangga dan Pradilaga. Hanya dalam waktu yang sangat singkat pedang di tangan Awangga menusuk lambung kiri dan selebihnya membabat hampir putus yang lainnya. Dua orang pasukan penyerbu roboh bermandikan darah. Pada Saat hampir bersamaan keris di tangan Pradilaga juga berhasil menghunjam dada lawannya. Darah memuncrat dari luka yang menganga.

Kiranya    kejadian    itu    tak    luput    dari

pengawasan salah seorang dari pemimpin pemberontakan. Dengan amarah yang meluap-luap laki-laki berbadan Bungkuk ini segera menyerang Awangga dan Pradilaga. Senjata laki-laki Bungkuk yang hanya berupa tongkat berkepala patung telanjang itu menderu dan terus mencecar Awangga dan Pradilaga tanpa ampun. Meskipun badan lakilaki itu Bungkuk seperti onta akan tetapi dia memiliki kepandaian silat yang sangat luar biasa. Gerakannya sebat, bahkan sekali dia lancarkan pukulan jarak jauhnya. Awangga dan Pradilaga nampak kalang kabut. Kini pertarungan di antara mereka telah mencapai puluhan jurus, kedua pengawal utama dalam waktu hanya kurang dari lima belas menit sudah jatuh di bawah angin. Menyadari bahwa laki-laki Bungkuk itu merupakan seorang lawan yang tangguh. Pradilaga segera memberi peringatan pada Awangga: "Cepat kau selamatkan Gusti, Wangga! Tinggalkan istana...!" perintah Pradilaga yang sesungguhnya masih merupakan pamannya sendiri. Agaknya Awangga tidak sampai hati untuk meninggalkan pamannya seorang diri. Seolah bagai tak mendengar Awangga tetap saja menerjang si Bungkuk, yang mulai tergelak-gelak. Melihat keponakannya yang tak mau mendengar perintah marahlah Pradilaga yang merupakan orang ketiga di istana Kedatuan Khalayan.

"Wangga.......     berani     kau     membantah

perintahku...!" bentak Pradilaga sambil membabatkan pedangnya ke arah si Bungkuk Ludra.

"Wuut!"

Babatan pedang Pradilaga luput, meskipun kepepet lagi-lagi dia kirimkan tusukan. "Paman;.. aku tak sampai hati meninggalkanmu...!" sela Awangga. Dia nampak cemas sekali memikirkan keselamatan pamannya.

"Bocah goblok... jangan perdulikan diriku! Cepat pergi...!" Dengan sangat marah sekali Pradilaga membentak.

"Ha... ha... ha...! Jangankan rajanya, tikustikus istana yang tiada guna pun tak akan kubiarkan hidup...!" kata Bungkuk Ludra mencemooh.

Ucapan si Bungkuk itu ternyata memang hanya sekedar gertak belaka, sebab setelah itu dia memang benar-benar segera menyerang lawanlawannya tanpa memberi kesempatan sedikit pun pada Pradilaga maupun Awangga. Pukulan-pukulan gencar dia lepaskan tanpa henti, Awangga dan pamannya meski pun dalam keadaan terdesak masih dapat mengelak. Hingga pada satu kesempatan yang tak terduga, secara hampir bersamaan keduanya menusuk dan membabat pedang mereka pada bagian perut dan kaki si Bungkuk Ludra. Tidak ada kesempatan bagi Ludra untuk mengelak atau menangkis.

"Bret!"

Si Bungkuk Ludra mengeluarkan jerit tertahan begitu mata pedang di tangan Pradilaga merobek pangkal lengannya. Darah mulai mengucur dari luka yang cukup parah. Pradilaga terus mencecar hingga memaksa si Bungkuk Ludra harus bergulingan. Pada kesempatan itulah Awangga berkelebat pergi menuju ruangan pribadi raja. Si Bungkuk Ludra begitu mengetahui dirinya kena diperdaya, meskipun telah terluka sangat marah luar biasa.

"Bangsat! Rupanya kau sengaja menjebakku hanya dengan maksud memberi kesempatan pada keponakanmu itu melarikan diri...!"

Pradilaga gertakkan rahang:

"Bungkuk keparat! Rupanya pengkhianat Wara Wiri dan Runa telah memanfaatkan tenaga busukmu untuk memperkeruh suasana...!"

"Jangan banyak mulut. Percuma kau bertahan

mati-matian, Kedatuan ini segera jatuh ke tangan kami...!" kata si Bungkuk Ludra mencemooh. "Meskipun darahku berceceran dan nyawa melayang! Tidak akan aku berkomplot pada para penghianat raja...!"

Belum lagi Pradilaga selesai dengan ucapannya, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan menggelegar.

"Pradilaga.... Istana Kedatuan sudah jatuh di tangan kami! Tiada guna kau mempertahankannya. Kami masih mau memaafkanmu jika kau masih mau menyerah dan bersekutu dengan kami! Percayalah kami punya tujuan yang lebih baik dari pada Raja Jasa Dewa yang tolol...!"

Begitu mendengar peringatan itu, baik si Bungkuk Ludra maupun Pradilaga hentikan pertarungan. Hampir berbareng mereka menoleh. Pradilaga begitu melihat siapa adanya orang itu, mendidihlah darahnya. Tanpa sadar tangannya semakin erat mencengkeram pedangnya. Dengan nafas yang memburu kemudian dia menyela:

"Runa.... Wara Wiri manusia busuk penhianat tengik! Terhadap manusia anjing seperti kalian, bagiku mati justru lebih baik daripada harus jadi pengkhianat kerajaan...!"

Laki-laki berperut buncit seperti balon bernama Runa tergelak-gelak.

"Benar-benar manusia jahanam kau Pradilaga! Di kasih jalan yang baik, tak dinyana kau malah memilih jalan ke Neraka!" tukas orang pertama istana Khalayan marah sekali. Kemudian dia menoleh pada Wara Wiri.

"Kalian bereskan manusia tengik itu! Aku akan ke ruangan pribadi raja...!"

Seusai berkata Runa nampak berkelebat pergi. Tinggallah Pradilaga berjuang mati-matian menghadapi kroyokan Wari Wiri dan si Bungkuk Ludra.

Sementara itu Awangga yang sudah sampai terlebih dulu di ruangan pribadi raja segera mencaricari. Ruangan itu sepi, dengan penasaran dia melongok kamar yang tidak terkunci. Tak seorang pun berada di sana, Hal ini sudah barang pasti membuat Awangga menjadi terheran-heran. "Bukankah tadi sebelum mereka berhadapan dengan si Bungkuk Ludra, pamannya sempat meninggalkan pesan pada Raja Jasa Dewa untuk tidak meninggalkan tempat?"

Akhirnya tanpa membuang waktu lagi Awangga bergegas ke ruangan rahasia. Bagai dikejar-kejar setan pemuda itu bergerak cepat. Hingga dalam waktu yang demikian sing-kat sampailah pemuda itu di depan pintu rahasia. Awangga tersentak kaget begitu dia memeriksa keadaan mayat-mayat itu, kini dia semakin terheran-heran, pengawal-pengawal itu mati dengan bekas luka gigitan binatang buas. Tewas dengan wajah pucat kehabisan darah! Perbuatan siapakah? Atau mungkin ada binatang buas sempat masuk ke dalam istana? Tidak mungkin!

Awangga nampak semakin kalut, dengan segera pemuda ini segera menerjang ruangan rahasia itu. Awangga hampir menjerit begitu dilihatnya Raja Jasa Dewa telah tewas bersama permaisurinya. Raja Jasa Dewa mengalami nasib tak ubahnya dengan empat orang pengawal pilihan. Pada pangkal lehernya terdapat bekas gigitan binatang buas! Mata pemuda itu nanar mencari-cari ke seluruh penjuru ruangan, tak dilihatnya Putri Permata Ningrum berada di antara mereka. Siapa pun orangnya telah melakukan perbuatan terkutuk itu yang pasti Putri Permata Ningrum telah mereka culik.

"Bangsat! Ini benar-benar keterlaluan, aku harus secepatnya menyelamatkan Putri Permata Ningrum...!" teriak Awangga dengan kemarahan yang meluap-luap.

Belum lagi dia beranjak dari ruangan itu, tibatiba ia mendengar suara teriakan seorang wanita di bagian lorong menuju jalan ke luar. Tak salah suara itu adalah suara khas Putri Permata Ningrum. Tanpa membuang-buang waktu lagi Awangga berkelebat mengejar si penculik Putri. Dalam waktu sekejap kejar-kejaran segera berlangsung. Awangga dengan jelas dapat melihat seorang laki-laki berbadan kurus ceking berpakaian perempuan berlari cepat sambil memondong tubuh Putri Permata Ningrum di pundaknya.

Sementara itu Pradilaga yang ditinggal oleh Awangga, semakin terdesak hebat. Apa lagi Sigalumet yang telah membasmi habis sisa-sisa pengawal istana mulai bergabung dengan Wari Wiri dan si Bungkuk Ludra. Pradilaga meskipun memiliki kepandaian yang sangat tinggi, bahkan boleh dikata melebihi Wara Wiri maupun Runa. Akan tetapi mendapat keroyokan sedemikian rupa. Pula lawanlawannya memiliki kepandaian yang sangat tinggi sebentar saja Pradilaga menjadi kewalahan. Hingga beberapa saat kemudian Sigalumet berseru membentak:

"Minggir kalian semua! Membereskan cecunguk istana dengan orang begini banyak bikin kepalaku jadi pusing...!"

Bentakan Sigalumet yang punya penyakit bengek ini ternyata cukup berpengaruh bagi sekutunya. Sontak si Bungkuk Ludra maupun Wara Wiri melompat mundur. Sigalumet melangkah beberapa tindak menghampiri Pradilaga, sebentar di perhatikannya Pradilaga yang tak pernah kenal menyerah meski pun dia tahu prajurit-prajurit istana tidak seorang pun yang tersisa lagi.

"Pradilaga tikus gila!" bentak Sigalumet. "Tidak kau lihatkah bahwa kawan-kawanmu sudah pada mampus semua. Menyerah atau kupenggal kepalamu...!" Pradilaga sesaat menjadi merah wajahnya.. Dengan penuh kebencian di pandanginya Sigalumet dan kawan-kawannya.

"Iblis Bengek Sigalumet, jangan kira aku menjadi gentar menghadapi kawan-kawanmu. Majulah! Biar kucincang kalian semuanya...!" kata Pradilaga sambil acung-acungkan pedangnya,

Sigalumet dan yang lain-lainnya tergelakgelak:

"Ha... ha... ha...!"

Si Bungkuk Ludra menyela.

"Ajal di ambang pintu, masih juga kau besar mulut Pradilaga...!"

"Jangan   kau   mengharap   namamu   akan

dikenang orang Pradilaga. Begitu kau mampus, jangankan manusia, setan kuburan sekali pun tak akan mengenangmu...!" Wara Wiri menyela.

"Puih... jahanan kau pengkhianat! Makanlah pedangku...!"

Belum   lagi   usai   Pradilaga   dengan   kata-

katanya, tiba-tiba dengan jeritan tinggi melengking segera menghunus pedangnya ke arah perut Wara Wiri. Agaknya pengkhianat Wara Wiri yang tidak pernah menyangka datangnya serangan yang begitu tiba-tiba sudah tak mungkin bisa menghindari mata pedang Pradilaga.

* * * 2

Pedang di tangan warok istana itu datangnya laksana kilat, meluncur deras seakan ingin secepatnya menembus perut Wara Wiri yang tak ubahnya bagai sebuah balon. Hampir saja mata pedang di tangan Pradilaga mencapai sasarannya. Namun pada saat-saat yang kritis itu sebuah batu kerikil melesat lebih cepat lagi.

"Trang...!"

Pedang di tangan Pradilaga hampir saja terjatuh, tangan laki-laki jangkung itu sampai tergetar hebat. Bahkan sampai-sampai tangannya terasa kesemutan. Pradilaga menoleh kanan kiri, kemudian membentak marah:

"Bangsat rendah! Kalian pengecut...!" "Pradilaga kau mau apa? Bukankah sudah

kubilang bahwa kau harus berhadapan denganku...!"

kata Sigalumet mencemooh.

"Jahanan! Manusia bengek mau mampus... mengapa tanggung-tanggung! Majulah kalian semua tidak nantinya aku melarikan diri...!" Pradilaga membentak dengan sikap menantang.

"Monyet sombong! Sudah mau mampus saja banyak tingkah...!" dengus Wara Wiri.

"Buang tabiat barangkali...!" si Bungkuk Ludra ikut menimpali. "Banyak cingcong... mampuslah kau Pradilaga...!"

Sigalumet yang sudah naik pitam itu kini langsung menerjang. Sebentar saja pertarungan seru pun terjadi. Sigalumet yang merupakan orang nomor satu di Pulau Berhala, pada kenyataannya memang memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Apalagi kini dia telah mempergunakan senjata yang berupa cambuk tulang paus yang sempat menggegerkan kalangan persilatan selama belasan tahun. Dengan senjata ini di tangannya. Dedengkot Pulau Berhala ini nampak sangat berbahaya sekali. Cambuk di tangan datuk sakti ini nampak melecut ke segala arah. Bahkan semakin lama semakin mempersempit ruang gerak Pradilaga. Beberapa kali senjata yang sangat ampuh ini hampir melilit, melecut atau bahkan membutakan kedua mata Pradilaga. Pada saat yang melelahkan pengawal utama ini lengah:

"Ctar Ctaar... Trang...! Ctar...!"

Pradilaga terhuyung dan tubuhnya terdorong ke belakang. Pedang di tangannya buntung di bagian ujung. Pradilaga berseru kaget. Setahunya pedang itu dia pergunakan untuk memapaki serangan cambuk yang hampir saja melilit lehernya untuk itu dia mengelak dan menangkis. Tak dinyana cambuk yang hampir saja membuatnya celaka malah tak mempan pedang. Bahkan senjata itu malah patah. "Hmm!" Diam-diam laki-laki pengawal utama itu mulai was-was.

Akan tetapi menyerah baginya adalah salah satu pandangan yang paling dia benci. Dan agaknya Sigalumet dapat membaca keragu-raguan yang sedang menyelimuti hati lawannya. Laki-laki bengek yang selalu gila harta ini pun tersenyum mengejek:

'’Pradilaga manusia tolol! Tukarlah pedangmu yang sudah buntung itu. Aku takut kalau kau tidak cepat-cepat menggantikannya sebentar lagi malah kepalamu yang copot...!"

"Besar mulut! Makanlah nih...!" Pradilaga menyambitkan pedangnya yang sudah puntung. Lalu segera mencabut pedang yang lainnya, langsung menyerang Sigalumet dengan jurus-jurus pedang yang paling sangat dia andalkan. Hanya dalam waktu hanya sekejap bertarungan sudah mencapai puluhan jurus, pertarungan semakin lama semakin seru. Dalam pada itu baik serangan gencar yang dilancarkan Pradilaga maupun serangan balik yang dikirim Sigalumet tak satu pun yang mencapai sasaran dengan baik. Agaknya Sigalumet tak ingin berlarut-larut untuk segera dapat membinasakan lawannya. Tak lama kemudian dengan cepat dia segera rubah variasi jurus-jurus silatnya. Terbukti Sigalumet memiliki berbagai campuran jurus-jurus silat yang dapat diandalkan. Baik dari golongan putih maupun golongan hitam. Meskipun demikian karena sesungguhnya Sigalumet merupakan tokoh silat beraliran hitam, maka hampir semua jurusjurus yang dipadukan itu semuanya mengandung hawa pembunuhan yang sangat keji.

Sementara Pradilaga yang merupakan tokoh silat yang hanya berasal dari satu golongan dan satu guru, menghadapi serangan gencar dan beraneka ragam ini sudah barang tentu menjadi kalang kabut dan dalam waktu sekejap saja sudah semakin jatuh di bawah angin. Pada satu kesempatan yang sangat tepat Sigalumet pecutkan cambuknya disusul dengan satu pukulan tangan kirinya. Pradilaga yang mengira bahwa serangan cambuk itulah yang harus dia elakkan. Dengan cepat kiblatkan pedangnya.

"Wuutr”

Babatan pedang luput, sebagai gantinya tangan kiri Sigalumet yang telah terisi tenaga dalam penuh menderu cepat ke arah dada lawannya. Pradilaga menjadi gugup dan tak sempat pula untuk babatkan pedangnya.

"Buuk!"

Tubuh Pradilaga mencelat beberapa tombak. Beribu kunang-kunang bermain di pelupuk matanya. Dada terasa sesak bagai terhimpit puluhan kwintal batu gunung. Dengan sempoyongan dia berusaha bangkit, sementara darah kental kehitam-hitaman meleleh dari celah bibir dan hidungnya.

Sigalumet demi mengetahui keadaan lawannya yang sudah nampak kepayahan, tertawa tergelak-gelak: "Pradilaga pahlawan kesiangan! Racun Kala Biruku sebentar lagi segera, mengirimmu ke neraka...!" tukas Sigalumet sinis.

Pradilaga meskipun tubuhnya sudah nampak gemetaran" karena terpengaruh racun Kala Biru, gertakkan rahang.

"Manusia iblis... meski pun tubuhku hancur sekali pun, tidak nantinya aku merengek minta ampun...!"

"Bagus! Aku memang tak akan mengampunimu. Nah sekarang kau bisa apa? Majulah!" pancing Sigalumet penuh kelicikan.

"Bajingan kau kira aku takut...!"

Pradilaga bermaksud memulai serangan baru, namun baru saja dia hendak menerjang Sigalumet, mendadak tubuhnya terasa kejang, dadanya semakin menyesak. Tubuh yang sudah keracunan itu bergoyang-goyang untuk beberapa saat lamanya. Tanpa ampun lagi ambruk ke bumi dengan mata melotot.

Melihat nasib yang dialami Pradilaga, bergemuruhlah tawa sekutu-sekutu pengkhianat Ranu.

Wara Wiri bermaksud memeriksa tubuh Pradilaga ketika tiba-tiba Sigalumet menegurnya:

"Tuan Wara Wiri tak usah ragu! Nyawa Pradilaga sudah kukirim ke neraka” ujarnya dengan perasaan kurang senang. "Ah, maaf sobat! Aku hanya ingin melihat bagaimana rupa Pradilaga yang sudah mampus itu...!"

"Hak... hak... hak...!" Sigalumet terkekeh. "Tak seorang pun di atas dunia ini yang mampu bertahan hidup, jika sudah terkena pukulan racun Kala Biruku! Jangankan bangsanya manusia, gajah sekali pun segera mampus terkena pukulan berancunku...!" sela Sigalumet membanggakan diri.

"Kakang Sigalumet memang tak pernah gagal dengan serangan racunnya yang dahsyat itu!"

Si Bungkuk Ludra yang sejak tadi hanya berdiam diri kini ikut menimpali. Sekutu-sekutu Runa menganggukkan kepalanya.

Dalam    pada    itu,    mendadak    Sigalumet

menoleh kanan kiri. Laki-laki yang menjadi dedengkot Pulau Berhala dan pengidap penyakit bengek yang kronis nampak mengerutkan keningnya. Sesaat kemudian pada adik seperguruannya, yaitu si Bungkuk Ludra:

"Adi Ludra... sedari tadi aku tak melihat adanya adi Karpala? Kemanakah?"

"Tadi dia mengatakan mau menyerbu bagian belakang, Kakang...!"

Si Bungkuk Ludra menyahut, lalu mengerling penuh maksud.

"Dasar si gila perempuan...!" Sigalumet

ngedumel tak karuan. "Maksud saudara Sigalumet dia mengejar Putri Permata Ningrum...!" tanya Wara Wiri. Matanya terbelalak tak percaya.

Dengan acuh Sigalumet mengangguk.

"Dia... dia calon istriku...!" ucap Wara Wiri tanpa malu.

Si Bungkuk Ludra mendengus.

"Apakah kau telah memintanya pada Jasa Dewa sebelumnya...?"

"Belum...!"

"Kalau begitu Tuan hanya ingin memilikinya secara paksa!" kata Bungkuk Ludra mencemooh. Wajah Wara Wiri memerah seketika, tapi dia berusaha menahan kemarahannya. Sebab dia cukup menyadari tanpa bantuan dari tiga iblis Pulau Berhala, usaha mereka untuk menggulingkan kekuasaan Raja Jasa Dewa tak akan membuahkan hasil gemilang seperti yang mereka peroleh sekarang.

Meskipun demikian dia masih berharap untuk memiliki Putri Permata Ningrum yang kecantikannya menggoyahkan iman setiap lelaki. Dengan merendah kemudian dia berkata:

"Kalau saudara Karpala menghendaki Putri Permata Ningrum tidak apa! Tapi bukankah dia akan kembali bergabung dengan kita,..?"

Pancingnya      mencari-cari      kemungkinan.

Sigalumet menyela. "Oh tentu tuan! Tapi mungkin setelah besenang-senang dengan bidadari yang cantik itu. Nanti kalau sudah bosan, tentu dia akan kembali bersama sang Putri."

Mendengar penjelasan Sigalumet sesungguhnya Wara Wiri sangat marah sekali, namun lagi-lagi demi menjaga persahabatan mereka, kemarahan yang sudah tiada terkirakan itu masih mampu dia redam di dasar hati yang paling dalam. Dan dalam hatinya dia masih menghibur diri. Biarlah dia hanya kebagian bekasnya saja, yang penting Putri Permata Ningrum masih dapat kembali dengan selamat.

Pada saat suasana sedang diliputi keheningan itulah tiba-tiba Runa telah muncul kembali di hadapan mereka. Wajah laki-laki berbadan tegak itu kelihatan cerah, meskipun di sisi lain dia tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya.

"Bagaimana situasi di dalam sana Kakang Runa...?" Wara Wiri menyela dengan harap-harap cemas.

Orang nomor satu yang kini menjadi pemimpin pemberontak, nampak menarik nafas pendek. Kemudian dengan mantap dia pun berkata:

"Aku telah didahului oleh seseorang! Raja Jasa Dewa berikut permaisurinya sudah mampus di ruangan rahasia. Tapi.... Aku tak melihat adanya Putri Permata Ningrum ada di antara mereka...!" "Apakah mereka tewas dengan luka gigitan di pangkal lehernya...?" Sigalumet menyela pula.

Anggukan itu saja sudah cukup bagi si Bungkuk Ludra dan Sigalumet untuk mengetahui siapa sesungguhnya yang telah melakukan perbuatan itu.

"Sudahlah tuan panglima! Tuan tak perlu gusar yang melakukan semua itu tak lain merupakan kawan kami sendiri si Karpala gila...!" Sigalumet mengingatkan.

"Tapi untuk apa dia melarikan Putri Permata Ningrum...?" tanya panglima pemberontak merasa heran.

Si Bungkuk Ludra dan Sigalumet terkekeh:

"Sekarang tuan sudah menjadi raja dan berkuasa penuh terhadap istana Khalayan. Perlu tuan ketahui kawan kami yang satu itu mempunyai tujuan yang sangat lain dari tujuan kami. Kalau adikku Ludra menginginkan sebagian harta kerajaan dan aku ingin menjadi panglima tertinggi menggantikan kedudukan tuan. Sedangkan dia datang jauh-jauh ke tempat ini hanya dengan tujuan ingin memiliki Putri Permata Ningrum itu ujar Sigalumet apa adanya.

* * * Biarpun Runa yang kini menjadi pucuk pimpinan Kedatuan Khalayan mengangguk maklum. Akan tetapi tidak begitu halnya dengan Wara Wiri, dia yang sejak tadi hanya dapat menahan kekesalannya, kini mulai memprotes.

"Kakang... eee... yang mulia! Bagaimana dengan janjimu padaku...!"

Runa mengerling sejenak, kemudian kerutkan

kening.

"Apa maksudmu...?!" tanya Runa tak mengerti.

"Masa yang mulia sudah tidak ingat!" sela Wara Wiri malu-malu. Mengertilah Runa dengan maksud kawannya, akan tetapi dia adalah seorang yang cerdik. Dan tentunya dia tak ingin persahabatannya dengan Iblis Pulau Berhala jadi terganggu hanya karena memenuhi keinginan kawannya yang menginginkan Putri Permata Ningrum. Dengan penuh kelicikan pula dia menjawab.

"Bukankah kau mau kuangkat menjadi Patih Kedatuan! Lagipula masih sangat banyak putri-putri cantik di kerajaan lain yang dapat kau peristri bila kau mau melakukannya...!" Runa menyela dengan pandangan penuh maksud.

Agaknya Wara Wiri bisa memaklumi arti ucapan Runa yang sesungguhnya, untuk itu dia pun mengangguk hormat. "Oh, kalau begitu aku sangat berterima kasih sekali atas kebijaksanaan yang mulia "

"Patihmu ini memang goblok sekali tuan! Sedari tadi hanya mempersoalkan wanita saja! Padahal dunia ini kan tak selembar daun putri malu!" si Bungkuk Ludra mencela.

Runa tersenyum tipis.

"Ah, maafkan Patihku ini sobat! Maklum sudah hampir setengah abad dia hidup membujang!"

"Oh, kasihan sekali, padahal di kolong langit ini lebih banyak jumlah perempuan bila dibandingkan laki-laki !"

"Saudara jangan salah sangka! Meskipun usiaku sudah setengah abad, tidak nantinya aku mengambil seorang janda...!" Wara Wiri menyela tiba-tiba. Tak lama kemudian derai tawa mereka pun terdengar.

Begitu tawa mereka reda, Sigalumet menjura hormat, lalu dengan suara tegas dia segera menyampaikan unek-unek yang sejak tadi hanya tertanam di dalam hati.

"Yang mulia, aku ingin yang mulia segera mengukuhkan statusku dan juga pembagian harta buat kawanku Ludra !"

"Hemm... saya akan menepati janji. Saudara Sigalumet sudah saya tetapkan menjadi panglima perang utama. Adikku Wara Wiri kunobatkan menjadi Patih Kedatuan. Sedangkan pada Saudara Ludra sebagaimana janjiku akan kuberikan harta kerajaan pada hari ini juga!"

Mendengar penjelasan Runa pemimpin Kedatuan yang baru, nampaknya masing-masing pihak merasa sangat puas. Demikianlah setelah acara pengukuhan kedudukan dan pembagian harta buat si Bungkuk Ludra acara diteruskan dengan pesta kemenangan yang berakhir sampai menjelang dini hari.

Sementara itu sampai menjelang pagi, Awangga yang tengah melakukan pengejaran. Terus berusaha memperkecil jarak, namun meski pun dia berusaha mengerahkan segenap kemampuannya, bahkan telah mengerahkan ilmu berlari cepat yang dia miliki. Tetap saja jarak di antara mereka tidak berkurang dan tidak lebih dari dua puluh tombak. Dalam hal kecepatan lari agaknya mereka punya kemampuan yang berimbang. Tapi karena laki-laki berpakaian perempuan ini bergerak terlebih dahulu, tak urung tetap saja Awangga tertinggal di belakangnya.

Tak lama kemudian Karpala hentikan langkahnya dia menoleh kanan kiri. Baginya kalau ingin terus melarikan Putri Permata Ningrum sudah tidak ada jalan lagi terkecuali harus membunuh Awangga terlebih dulu. Sebab di hadapannya terbentang sebuah sungai yang lebarnya mencapai tiga puluh tombak, untuk terjun juga tidak mungkin air sungat terlalu dalam, lebih dari itu sungai itu dihuni oleh banyak binatang melata. Sungguhpun dia memang benar-benar kebal terhadap segala macam binatang berbisa. Akan tetapi berhadapan dengan puluhan ekor buaya dengan membawa beban sedemikian rupa siapa sudi?

Awangga yang sudah sampai di tempat itu, segera mengetahui kesulitan yang dialami musuhnya mulai memaki habis-habisan.

"Karpala manusia rendah, kau kembalikan

tuan Putri atau kepalamu segera menggelinding ke dalam sungai itu...?"

"Kau bocah kemarin sore sudah berani jual lagak di hadapanku! Jangan sekali-kali kau berharap bahwa aku mau menyerah kan Putri yang sudah menjadi milikku! Huh... pulanglah bocah pentil! Lebih baik kau kembali menetek pada ibumu...!" Karpala mengejek dan tersenyum sinis pada Awangga.

Dihina sedemikian rupa, sudah barang tentu pengawal utama yang memiliki kepandaian silat setingkat di bawah pamannya menjadi sangat marah sekali.

"Tua bangka jahanam! Kesalahanmu saja sudah melampaui batas, kembalikan Tuan Putri! Kemudian berlututlah di hadapanku, niscaya aku mengampuni kesalahanmu."

"Huh! Menyesal sekali Putri yang jelita ini kini sudah menjadi milikku!" Karpala tersenyum sinis. "Puih... setan tua. Kiranya aku harus meremukkan batok kepalamu terlebih dulu baru kemudian kau menurut "

Awangga yang sudah semakin tak sabaran itu segera meloloskan pedangnya. Melihat kenekatan pengawal utama ini Karpala segera meletakkan tubuh Putri Permata Ningrum yang masih dalam kaku tertotok. Setelah itu dia melangkah beberapa tindak dan langsung berhadapan dengan Awangga.

"Bocah. Kuberi peringatan padamu, sebelum segalanya terlambat pergilah dari hadapanku !"

Awangga nampaknya sudah tidak perduli dengan segala macam ocehan Karpala, pemuda pemberani itu sambil menggerung marah langsung menyerang dedengkot Pulau Berhala dengan dahsyat sekali. Dalam waktu sekejap saja pertarungan menjadi seru. Namun sebegitu jauh masih belum ada tanda-tanda siapa yang bakal keluar sebagai pemenangnya.

Sementara itu Awangga dengan pedang di

tangannya terus mendesak Karpala. Pedangnya berkelebat, membabat, menusuk atau bahkan mengurung lawan tanpa sedikit pun memberi peluang pada lawannya untuk berbuat lebih banyak. Di lain pihak, Karpala bukanlah bocah kemarin sore malang melintang di rimba persilatan. Sudah hampir belas tahun kehadiran mereka selalu menjadi momok kaum persilatan di bagian Timur. Siapa pun pasti mengenal siapa adanya Tiga Iblis Pulau Berhala ini.

Kalaupun pada awal jurus hingga pada jurusjurus berikutnya Karpala mulai kelihatan terdesak. Sesungguhnya hal itu memang di sengaja, dengan maksud ingin mengetahui seberapa hebat permainan pedang lawannya. Dan sudah barang tentu hal ini di luar sepengetahuan lawannya. Segera setelah dia dapat membaca situasi permainan lawannya. Dengan diawali satu bentakan keras dan sesungging senyum sinis mencemooh. Salah seorang dari dedengkot Iblis Pulau Berhala ini pun mulai menggebrak dengan jurus-jurus silatnya yang beraneka ragam.

Di sudut lain Putri Permata Ningrum begitu menyaksikan musuh pengawal utamanya mulai melakukan serangan-serangan gencar, nampak cemas. Parasnya yang sangat cantik itu nampak memucat. Meskipun begitu dia tetap berdoa semoga kemenangan tetap berada di pihak Awangga.

Kini Karpala dengan jurus Dewa Gila terus mendesak Awangga tanpa kenal ampun. Pengawal utama istana Kedatuan itu beberapa saat kemudian dibuat kalang kabut. Jangankan untuk melancarkan serangan balasan, sedangkan untuk bertahan dari gempuran-gempuran yang dilakukan Karpala saja rasanya sudah sangat sulit. Diam-diam Awangga mengeluh dan mencaci maki dirinya habis-habisan. Agaknya dalam beberapa jurus di depan pemuda perkasa ini segera roboh andai saja pada saat-saat yang kritis itu Awangga tidak menyurut beberapa langkah. Karpala yang sudah mengetahui gelagat kemenangan berada pada pihaknya nampak terkekeh. Meskipun ada sedikit rasa heran menyelimuti benaknya.

"Bocah tolol! Mulanya aku bermaksud mengampuni jiwamu! Akan tetapi karena kau begitu jauh telah berani mencampuri urusanku! Dengan sangat terpaksa aku harus mengakhiri hidupmu sampai hari ini saja..,.!"

"Bangsat tua! Jangan kira aku takut mati”

Seusai berkata begitu tiba-tiba Awangga melengking dahsyat! Tubuhnya segera lenyap. Sementara sinar putih nampak berkelebat membabat ke segala arah, Karpala yang tiada menyangka lawannya masih mempunyai simpanan jurus-jurus permainan pedang sangat hebat ini nampak mengeluarkan seruan tertahan. Dalam waktu singkat dia sudah mencabut senjatanya yang berupa sebuah Payung Perisai Kematian. Meskipun begitu Awangga dengan jurus pedang Pembasmi Iblis sudah tak menghiraukan semua itu. Dengan kilatan pedang yang datangnya bergulung-gulung tiada henti dan menyebarkan hawa maut di manamana pengawal utama ini terus mencecar lawannya tiada ampun. Setiap serangannya semakin gencar dan tiada terduga. Gerakan pedangnya mendatangkan angin bercuitan. Dengan beberapa jurus di depan Awangga berhasil hantamkan satu pukulan tepat di dada Karpala. Bahkan, tidak sampai di situ saja, Awangga yang sudah kalap ini langsung babatkan pedangnya. Karpala yang sudah terhuyung dan muntah darah ini kiranya masih sempat menangkis.

"Craaak!"

Tubuh Karpala jatuh berguling-guling. Sementara Awangga nampak tersurut beberapa langkah. Meskipun begitu Awangga nampak sangat terkejut begitu melihat pada pedangnya yang kini hanya tinggal bersisa sejengkal saja. Sadarlah pemuda ini bahwa senjata Karpala yang berupa sebuah Payung Perisai Kematian itu kiranya sebuah pusaka yang sangat ampuh. Awangga yang sudah kesetanan ini menjadi sangat marah. Dengan geram dia menyambitkan sisa pedang yang cuma tinggal sejengkal itu pada Karpala yang baru saja bangkit berdiri.

"Ziiing...!"

Sisa pedang itu melesat cepat, lagi-lagi dengan Payung Perisai Kematian dia menangkis.

"Tak!"

Tanpa pernah di duga oleh Awangga, kiranya Karpala sengaja mengembalikan puntungan pedang pada pemiliknya. Dengan kecepatan lebih besar puntungan pedang itu melesat. Demi menghindari tertembus sisa pedang miliknya sendiri. Awangga langsung ngedeprok. Puntungan pedang terus melesat untuk kemudian menancap pada sebatang pohon yang sangat besar tak jauh di belakangnya. Awangga memaki habis-habisan. Karpala tergelakgelak. "Ha... ha... ha...!" Karpala masih terkekeh. "Bocah pentil! Kuakui jurus-jurus silatmu memang hebat! Sayangnya aku telah mematahkan pedang panjagal babi hutan milikmu...!" kata Karpala mencemooh.

Awangga memerah parasnya, tangantangannya berkerotokan, dengan penuh kebencian dia lagsung membentak.

"Karpala manusia binatang! Meskipun bahwa gigi-gigimu setajam pisau cukur! Biar pun kau berubah menjadi beribu-ribu serigala, jangan kau kira aku takut...!"

Kata Awangga dengan amarah yang berkobarkobar.

* * * 4

Agaknya Karpala memang sengaja memancing kemarahan sisa pengawal utama ini. Sebab seperti pengalaman-pengalaman yang sering dia temui, orang yang sedang marah baginya paling mudah untuk menjatuhkannya.

"Hemm... kiranya kau pun sudah tahu siapa orang yang berdiri di hadapanmu ini. Syukurlah! Seperti nasib yang dialami oleh Raja Kedatuan Khalayan, begitu pula nasib yang akan kau alami. Tak lama lagi aku akan melobangi tenggorokanmu, hek... darah pemberani pasti sangat lezat rasanya...!"

"Manusia iblis...!" teriak Awangga. Tanpa banyak cingcong lagi dengan ilmu silat tangan kosong dia menerjang kembali. Kiranya Karpala meskipun salah seorang tokoh sesat masih menghagai peradatan. Dengan cepat dia menyelipkan senjata di balik jubahnya.

Pertarungan antara hidup dan mati pun berlangsung kembali, hanya dalam waktu sekejap telah mencapai belasan jurus. Agaknya Karpala sudah tak sabar lagi, sebentar kemudian mulutnya nampak berkomat kamit. Begitu tubuhnya mengejang dan berguling-guling ke tanah dan kembali berdiri. Wajah Karpala benar-benar telah berubah menjadi beruang yang sangat mengerikan. Sesungging senyum maut memperlihatkan taringtaring yang tajam. Awangga terpana, kedua bola matanya terbelalak tak percaya. Pada kesempatan itulah dengan diiringi suara raungan membahana, tubuh Karpala melesat dan langsung menubruk Awangga yang masih tetap terperangah. Begitu Awangga menyadari, segalanya benar-benar sudah terlambat. Tubuh Awangga sudah tercengkeram erat oleh jemari tangan Karpala yang juga sudah ditumbuhi oleh kuku-kuku yang runcing dan sangat tajam. Tanpa daya hanya memandang hampa pada musuh yang telah menguasai dirinya. Tak ayal Karpala segera menghunjamkan taring-taringnya tepat pada pangkal leher Awangga. Tiada jerit yang terdengar. Sebentar kemudian taring-taring yang tajam dan panjang itu telah amblas pada daging leher lawannya. Mulut Karpala mengeluarkan decapdecap menjijikkan begitu dia mulai menghisap habis darah Awangga yang malang.

Kejadian ini tentu tak luput dari perhatian Putri Permata Ningrum yang tetap dalam keadaan tertotok. Tubuh putri jelita itu nampak menggigil ketakutan. Apalagi tak begitu lama setelah itu dia melihat tubuh Awangga yang sudah tiada berdarah lagi terkulai roboh tanpa dapat berkutik lagi. Hilanglah semua harapannya untuk dapat menyelamatkan diri. Tanpa kuasa dia menangis sedih! Dia tau nasib apa yang bakal dia terima nantinya. Karpala bukan menghendaki nyawanya melainkan dirinya. Tubuhnya! Andai saja dia tidak dalam keadaan tertotok sudah sejak tadi dia pasti telah membunuh diri.

Kini Karpala yang sudah berubah dalam ujud yang sesungguhnya nampak menghampiri Putri Permata Ningrum. Sesungging senyum kemenangan menghias bibirnya yang tiada berkumis. Setelah duduk di samping tubuh Putri Permata Ningrum, lalu segera membebaskan totokannya.

Sementara sang putri begitu terbebas dari totokan nampak menjerit-jerit ketakutan. Dia menyesali diri mengapa dulu ayahandanya tidak pernah memberi kesempatan padanya untuk belajar ilmu kanuragan.

"Putri jelita yang selalu membuatku tak dapat tidur! Mengapa kau harus menjerit-jerit seperti itu! Percayalah setahi kuku pun aku tak bermaksud menyakitimu. Kemarilah...!"

"Bangsat rendah... siapa sudi bersamamu! Kau telah membunuh kedua orang tuaku, kini kau bunuh pula orang-orang kepercayaan Ayahanda." bentak Putri Permata Ningrum sambil mundur beberapa langkah.

Karpala tergelak-gelak tanda senang. Lalu dia hentikan tawa dan langsung mendatangi putri yang sangat rupawan itu lekat-lekat. Darah terasa bergemuruh di dalam dadanya. Meskipun begitu dia masih tak ingin berbuat kasar. "Putri... aku yang rendah ini minta maaf Semua itu kulakukan demi cintaku padamu. Aku takut kehilangan engkau! Tapi karena mereka menghalangi maksud baikku, maka dengan sangat terpaksa aku harus membereskan mereka! Sedangkan tikus Awangga, dia tak perlu kau risaukan. Dia bermaksud menghalangi kebahagiaan kita berdua. Dengan sangat terpaksa pula aku harus menyingkirkannya...!" kata Karpala lunak.

Begitu mendengar ucapan Karpala wajah Putri Permata Ningrum nampak memerah, sebentar saja dia telah menghunus sebuah keris kecil yang menyerupai mahkota di kepalanya.

"Tuan putri, kau jangan main-main dengan keris itu!" Karpala menegur tanpa beringsut dari tempat duduknya.

"Aku lebih baik membunuh atau dibunuh...!"

Putri Permata Ningrum semakin mendekatinya.

Kemudian   dengan   nekad   dia   menyerang

dengan keris lekuk tiga kebesaran Kaputren. Akan tetapi bukan Karpala orangnya kalau hanya mendapat serangan dari putri yang berparas jelita dan tidak mempunyai kepandaian apa-apa itu menjadi kalang kabut. Sebaliknya dengan sangat mudah dedengkot Pulau Berhala ini malah maju selangkah, lalu dengan sedikit berkelit tangantangan   yang   kokoh   itu   pun   dengan   cepat menyambar pergelangan tangan Putri Permata Ningrum.

"He... he... he...!"

Karpala tergelak-gelak, kemudian masih dengan tertawa-tawa dia merampas keris di tangan sang putri. Setelah melempar keris itu ke dalam sungai dia memeluk tubuh Putri Permata Ningrum erat-erat. Di jatuhkannya tubuh sang putri yang cantik jelita itu dalam pangkuannya. Bau harum yang keluar dari tubuh Permata Ningrum yang menyebar dan menusuk hidungnya, membuat gairah Karpala meledak-ledak. Lalu dielusnya tangan

Putri Permata Ningrum yang kuning langsat, kemudian pipinya, lalu lehernya. Begitu tangan itu bergerak lebih ke bawah. Putri Permata Ningrum menjerit-jerit ketakutan. Tapi Karpala si manusia iblis itu tidak perduli. Bahkan dengan nekad kini dia mulai berani mencium pipi sang putri.

"Bangsat rendah...! Lepaskan aku...!" teriak Putri Permata Ningrum keras-keras.

Karpala yang sudah dirasuki setan gila, terus saja terkekeh dan tiada perduli lagi. Darah mengalir deras sampai ke ubun-ubun, sementara nafas dilanda birahi yang mulai berkobar-kobar.

"Breet!"

Karpala berhasil menyentakkan pakaian Putri Permata Ningrum persis pada bagian dadanya. Begitu dia melihat pemandangan di depan hidungnya. Kedua bola mata Karpala terbeliak bagai mau melompat keluar. Agaknya Putri Permata Ningrum sebentar lagi bakal mengalami nasib yang sangat mengerikan bagi seorang gadis. Kalau saja pada saat yang bersamaan sepasang mata elang yang sejak dari tadi memperhatikan ulah Karpala yang sangat menjengkelkan perutnya.

Kini dengan cepat pemuda itu bertindak, sekali saja tangannya terayun ke depan. Sebuah batu kali berwarna hitam melesat demikian pesatnya.

"Wuut!" "Pletak!"

Karpala yang hampir saja berhasil melucuti pakaian sang Putri, menjadi tersentak kaget. Bagai terhantam sebuah palu godam dia merasakan kepalanya bernyut-nyutan. Begitu dia menoleh sambil meraba kepalanya yang terus mengalirkan darah. Tiba-tiba di hadapan dedengkot Iblis Pulau Berhala ini telah pula berdiri seorang pemuda berpakaian lusuh, dengan sebuah periuk besar tergantung di pundaknya.

Siapakah pemuda berwajah sangat tampan ini? Tak asing lagi kalangan persilatan mengenalnya sebagai Pendekar si Hina Kelana. Pemuda ini untuk beberapa saat lamanya memandang pada Karpala tiada berkedip sedikit pun. Tak lama kemudian dia menoleh pada Putri Permata Ningrum yang nampak sibuk membenahi pakaiannya yang sudah tak karuan. Sementara itu Karpala begitu melihat ada orang lain datang-datang mengganggu kesenangannya, nampak marah sekali. Apalagi dia melihat bahwa orang ini baru pertama kali dilihatnya.

"Budak hina! Berani sekali kau mencampuri urusanku. Agaknya kau memang sudah bosan hidup...!" bentak Karpala memandang remeh pada Buang Sengketa.

"Segala bangsat rendah tak bermalu! Apa takutnya menghadapi manusia jejadian seperti setan! Kalau pun kau bisa berubah seribu satu rupa sekali pun. Tidak akan nantinya aku bersurut langkah...!" Pendekar Hina Kelana mencemooh.

Dihina sedemikian rupa Karpala semakin naik darah. Kalau tadinya darahnya mendidih karena amarah, maka kini darahnya terasa menggelegak karena marah.

"Keparat...! Rupanya kau belum tahu dengan siapa kau berhadapan?" tukas Karpala.

"Huh... sekali pun kau iblis dari neraka! Aku tak pernah membatalkan niatku untuk memenggal kepalamu...!"

"Bagus! Sebelum kau melakukan niatmu itu aku ingin tahu siapakah namamu!"

Buang Sengketa tergelak-gelak. "Ha... ha... ha...! Tua bangka, apa artinya sebuah nama. Aku hanyalah si Hina Kelana yang tiada guna...!" Begitu Buang Sengketa menyebut nama gelarannya, Karpala nampak terperangah kaget. Akhir-akhir ini dia memang mendengar adanya sepak terjang seorang tokoh muda dari bagian Barat, yang selalu bertindak tanpa kenal ampun. Akan tetapi sedikit pun dia tiada pernah menyangka bahwa tokoh baru dalam rimba persilatan masih begitu muda. Walaupun pemuda ini memiliki wajah yang sangat tampan, akan tetapi penampilannya yang mirip gembel membuat Karpala tidak mempercayainya. Untuk sesaat Karpala mengerutkan alisnya. Kemudian dedongkot dari Pulau Berhala itu pun terkekeh.

"Budak gembel, jangan kau coba-coba mengelabui aku! Meskipun si Hina Kelana itu manusia keturunan dewa yang memiliki kesaktian tiada tanding! Siapa mau percaya pada bualan tikus busuk...?!" kata Karpala mencemooh.

"Catat dalam otakmu bangsat Karpala! Di kolong langit ini cuma ada satu nama si Hina Kelana!"

"Puih! Hanya orang gila saja yang mau percaya pada ocehanmu...!"

Seketika itu juga Buang Sengketa nampak berubah parasnya, bibir terkatup rapat Apabila dia pentangkan kedua tangannya ke depan. Pada saat itulah dengan di awali satu bentakan keras tanpa kompromi lagi dia langsung kirimkan seranganserangan dahsyat. Dengan cepat dia lancarkan jurus Membendung Samudra Menimba Gelombang yang sudah tidak diragukan lagi akan kemampuannya. Serangan-serangan itu sedemikian cepat dan selalu mengarah pada tempat-tempat yang paling mematikan.

Karpala yang tadinya tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Pendekar Hina Kelana, agaknya kini mulai menyadari bahwa sesungguhnya lawan yang sedang di hadapinya. Kini dengan jurus Seribu Berhala Mengusir Naga dia mulai membendung serangan-serangan lawannya.

Berulang kali pukulan-pukulan Buang Sengketa nyaris mencederai Karpala. Dalam waktu sekejap pertarungan sudah mencapai puluhan jurus, sementara Karpala yang merupakan orang nomor dua dari Pulau Berhala beberapa saat berikutnya sudah nampak mulai terdesak. Menghadapi kenyataan pahit ini dedengkot dari Pulau Berhala ini segera tingkatkan serangannya. Jurus Seribu Berhala Mengusir Naga pada saat itu telah mencapai tingkatan yang kesepuluh, berarti satu tingkat di bawah puncaknya. Akan tetapi jangankan melakukan serangan balasan sedangkan untuk mengembangkan permainan silatnya saja rasanya sudah teramat sulit. Padahal selama malang melintang dirimba persilatan belum pernah seorang musuh pun walau bagaimana tangguhnya dapat mampu bertahan sampai lima jurus. Kini hanya berhadapan dengan seorang pemuda gembel, malah dia tak mampu berbuat banyak. Diam-diam Karpala mulai mengeluh di dalam hati.

"Bangsat tua! Mana variasi jurus-jurus silatmu yang sangat kau banggakan itu...!" ledek Pendekar Hina Kelana sambil terus melancarkan serangan gencar.

"Haram jadah! Sebentar lagi Racun Kala Biruku segera mengirimmu ke neraka!" sentak Karpala mendengus marah.

* * * 5

Ternyata dedengkot iblis itu memang tidak omong kosong. Sebab begitu katanya-katanya usai. Dengan cepat dia merubah jurus-jurus silatnya. Kini dengan mempergunakan jurus Berhala Menyembah Matahari, tubuh Karpala berkelebat kian kemari, terkadang tubuh dedengkot Pulau Berhala itu lenyap di telah bayang-bayangnya sendiri. Sesaat pemuda dari Negeri Bunian ini nampak berputar-putar kebingungan. Serangan-serangan lawan yang tiada berketentuan ini bahkan nyaris membahayakan jiwanya. Lama kelamaan Pendekar dari Negeri Bunian sudah semakin tak sabar lagi. Disertai dengan lengkingan dahsyat, tubuh Buang Sengketa melesat ke udara. Begitu tubuhnya menukik ke bawah, tangan kanannya berkelebat cepat.

"Weer!"

Selarik sinar Ultra Violet melesat meluruk ke arah Karpala. Pukulan yang diberi nama Empat Anasir Kehidupan itu terus menderu dengan mengeluarkan hawa panas yang teramat sangat. Dedengkot Pulau Berhala terpekik kaget begitu dia merasakan hawa pukulan yang sangat panas menyambar tubuhnya. Lalu tanpa berpikir panjang. Karpala segera memapaki.

"Blaaar...!"

Bertemunya dua kekuatan sakti, meskipun Karpala memiliki tenaga dalam yang sudah mencapai tarap sempurna, tak urung kedua kakinya amblas sampai sebatas lutut. Rambut Karpala kebakaran, keadaannya tak jauh beda dengan seekor monyet yang kebakaran ekor.

Sementara Buang Sengketa sendiri kini sudah nampak berdiri, sambil memegangi perutnya yang terasa kaku karena menahan tawa.

"Ha... ha... ha.... ha...! Karpala monyet tolol! Seharusnya kau berterima kasih padaku, sebab kau tak usah bersusah payah pergi ke tukang cukur. Sudah kugundul habis rambutnya yang mirip monyet hutan itu! Lumayan kan...!" Pendekar Hina Kelana masih dengan memegangi perutnya tertawa mengejek.

Dedengkot Pulau Berhala yang memang lagi ketemu batunya ini, mencaci maki panjang pendek.

"Bangsat terkutuk! Kau harus membayar mahal semua penghinaan ini!" Karpala menyela, sambil angkat-angkat kakinya yang masih terasa sulit untuk dicabut.

"Goblok! Mestinya kau tak memaki seperti itu! Di dunia ini mana ada seorang musuh sebaik aku...!" "Hutangmu baru ku anggap lunas apabila aku telah meminum darahmu hingga asat...!"

"Hak... hak... hak! Ketahuilah beruang sial. Darah si Hina Kelana rasanya sangat pahit! Bagaimana kalau ku tukar dengan darah anjing...!" kata Buang Sengketa konyol.

"Budak Hina jangan banyak mulut! Makan nih senjataku!"

Kini dengan senjata Payung Perisai Kematian Karpala menerjang kembali.

Payung kematian di tangan Karpala mencecar ke segala arah. Suara bersiuran yang ditimbulkan oleh senjata pusaka itu membuat gendang-gendang telinga bagai dicabik-cabik, meskipun begitu nampaknya Buang Sengketa tidak terpengaruh. Malang bagi Putri Permata Ningrum yang tak memiliki kepandaian apa-apa. Gadis putri raja ini nampak sangat tersiksa, bahkan terguling-guling di atas tanah. Demi menyaksikan keadaan sang Putri, Buang Sengketa sambil terus mengimbangi serangan-serangan lawannya segera berteriak:

"Putri! Kau sumbatlah telingamu dengan daun-daun yang berada di sekelilingmu...!"

Begitu mendengar peringatan Pendekar Hina Kelana cepat-cepat Putri Permata Ningrum sumbat lubang telinganya.

Kini Karpala menjadi bertambah beringas,

beberapa saat kemudian senjata itu sempat merobek bagian dada Pendekar Hina Kelana. Darah berwarna kehitam-hitaman mulai meleleh membasahi bajunya. Akan tetapi walau bagaimana pun Buang Sengketa adalah seorang Pendekar sejati yang kebal terhadap segala macam racun, walaupun yang bagaimana pun ganasnya. Itu makanya dia nampak tenang-tenang saja. Lain lagi dengan Karpala, Dedengkot Pulau Berhala ini sudah dapat menduga bahwa sebentar lagi lawannya yang sangat tangguh itu akan roboh terkena racun miliknya. Untuk itu sambil menyerang dia terkekeh:

"Hemm! Sebentar lagi nyawamu akan

melayang bocah sinting...!" Karpala sekali lagi melancarkan serangan mautnya.

"Weer!"

"Heeiiik...!"

Buang Sengketa mencelat ke atas, serangan Karpala luput. Namun tanpa dapat diduga oleh lawannya. Kiranya pemuda itu telah mencabut pusaka Golok Buntung. Udara di sekitarnya mendadak berubah sekali, Karpala berseru kaget. Seberkas sinar merah menyala memancar dari golok pusaka yang tergenggam di tangan Pendekar Hina Kelana.

Saat itu meskipun Karpala telah mengerahkan seluruh kekuatan untuk menolak pengaruh hawa dingin yang ditimbulkan oleh kharisma Golok Buntung namun tetap saja tidak merobah keadaan. Sementara itu Golok Buntung di tangan Pendekar dari negeri Bunian telah berkelebat-kelebat mencari sasaran.

Pertarungan mempergunakan senjata pusaka kini telah mencapai puluhan jurus. Karpala kini benar-benar telah jauh di bawah angin. Beberapa saat berikutnya. Buang Sengketa yang sudah semakin tak sabaran ini, kirimkan satu babatan dua tusukan. Menghadapi serangan yang begini rupa, Karpala menjadi gugup, dengan tiga kali berkeht, dua tusukan dapat dia elakkan dengan baik. Tetapi satu babatan berikut agaknya tak mungkin dia hindari lagi. Dalam keadaan terdesak seperti itu tiba-tiba saja Karpala dengan nekad memapaki sabetan Golok Buntung dengan Payung Perisai Kematian.

Tak terelakkan lagi:

"Trang!"

"Brebet!"

Karpala nampak tergetar hebat, senjata payung di tangannya hancur berantakan terbabat Pusaka Golok Buntung Pendekar Hina Kelana. Karpala menjadi ciut nyalinya. Belum lagi hilang keterkejutan dedengkot Pulau Berhala ini, tiba-tiba Buang Sengketa sambil membabatkan golok pusaka di tangannya berteriak:

"Kuberi satu pelajaran yang paling berharga buatmu! Tapi sebagai gantinya tinggalkan sebelah tanganmu...!"

Kembali pusaka golok Buntung berkelebat. "Craaas!"

Tangan kiri Karpala terkutung sebatas pangkal lengan. Iblis dari Pulau Berhala itu melolong setinggi langit, darah memancar deras dari lengan yang sudah kutung. Dengan cepat Karpala menotok jalan darah demi menghindari darah lebih banyak keluar. Sebentar wajahnya yang sudah memucat itu memandang pada Pendekar Hina Kelana.

"Budak Hina Kelana...! Hari ini kau tertawalah sepuas hatimu, tapi kau pasti menyesal telah membuat perkara pada Tiga Datuk dari Pulau Berhala!"

"Tua tiada guna! Cepat menyingkirlah dari depanku sebelum aku berobah pendirian...!" bentak Pendekar Hina Kelana dengan sesungging senyum mengejek.

"Tunggu pembalasanku...!"

Usai berkata begitu, sambil membawa kutungan tangannya Karpala berkelebat pergi.

Beberapa   saat   kemudian   setelah   Karpala

berlalu dari hadapan Pendekar Hina Kelana. Putri Permata Ningrum yang sedari tadi menyaksikan sepak terjang Pendekar tampan ini bergegas menghampiri. Kemudian dia berlutut di depan Buang Sengketa. Sudah barang tentu ulah Putri Permata Ningrum ini membuat Pendekar yang memiliki sifat pemalu pada wanita menjadi kelabakan dan salah tingkah. Kemudian dengan suara terbata-bata dia menyela: "Ee... tu... tuan Putri mengapa begitu! Seharusnya akulah yang menghaturkan sembah padamu!"

"Engkau telah menyelamatkan kehidupanku tuan Pendekar! Sewajarnya aku berterima kasih padamu...!" ucap Putri Permata Ningrum masih tetap dengan keadaannya.

"Bangkitlah tuan Putri! Engkau tak pantas berlaku seperti itu...!" kata Buang Sengketa pula.

Putri Permata Ningrum kini sudah bang-kit berdiri, dengan penuh kagum dipandanginya wajah Pendekar Hina Kelana yang tampan namun polos, begitu pandangan matanya bersitatap, tiba-tiba saja hatinya berdetak keras. Ada keteduhan yang terpancar dari mata pemuda itu. Buang Sengketa yang memang tak memiliki sifat mata keranjang. Dipandang demikian rupa tentu saja menjadi jengah. Lalu dengan suara pelan dia memecah keheningan.

"Tuan Putri! Si bangsat Karpala sudah pergi, lalu apakah yang harus kuperbuat untukmu...?" tanya Pendekar Hina Kelana serba canggung.

"Sekali lagi jangan tuan menyebutku dengan panggilan seperti itu. Aku tidak suka...!" sela Putri Permata Ningrum marah.

Tentu saja tingkah Putri Permata Ningrum yang berubah seketika itu membuat Buang Sengketa terheran-heran. "Mengapa? Bukankah engkau seorang Putri raja, sudah selayaknya aku bersikap hormat padamu...!"

Tiba-tiba saja Permata Ningrum menangkupkan wajahnya pada kedua belah tangannya. Sebentar kemudian dia sudah menangis, Buang Sengketa semakin tak mengerti dan usap-usap pipinya yang kotor.

"Putri, mengapa kau menangis...?"

Putri Permata Ningrum dengan cepat menoleh, lalu memandang sinis pada Pendekar dari Negeri Bunian ini.

"Putri lagi... Putri lagi...! Sudah kukatakan jangan ulangi...!" tukas Permata Ningrum kesal.

"Lalu bagaimana...?" Buang Sengketa menjadi bingung.

"Tuan punya nama...?"

"Punya...!"

Buang Sengketa menjawab tegas. "Siapa... nama Tuan...!"

"Buang Sengketa...;"

"Buang Sengketa...!"

Ulang Putri Permata Ningrum seolah merasakan ada sesuatu yang sangat asing.

"Aneh sekali! Seumur hidup baru sekarang aku mendengar nama seasing namamu itu!" gumam Putri Permata Ningrum.

"Namaku adalah sebagian dari masa laluku

yang pahit...!" "Oh ya! Aku Permata Ningrum. Sekali lagi jangan tuan menambahi dengan tuan Putri! Aku muak mendengarnya...!"

Tiba-tiba Pendekar Hina Kelana tergelakgelak:

"Kau lucu...!"

Masih terkekeh Buang Sengketa menyela. Putri Permata Ningrum merengut. "Apanya yang lucu...!" "Di kolong jagat ini. Cukup banyak tikustikus menonjolkan nama besar atau setidaktidaknya mengagung-agungkan nama besar bapak moyangnya, akan tetapi kau malah sebaliknya berusaha bersembunyi di bawah kebesaran keturunan. Apakah itu tidak lucu...?"

Putri Permata Ningrum cemberut, kemudian menyela:

* * * 6

"Aku hanyalah seorang anak yang tiada guna. Ayah bundaku tewas aku tak bisa membela. Bahkan untuk keselamatan sendiri aku tak dapat menjaga...!" kata Putri Permata Ningrum tertunduk sedih mengenang nasib ayah bundanya.

Buang     Sengketa     tercenung     seketika.

Kemudian manggut-manggut:

"Put…eeh... Permata Ningrum! Setan dari manakah yang telah bikin sengsara kedua orang tuamu itu?" tanya Buang Sengketa dengan sangat hati-hati.

"Bukan bikin sengsara... mungkin saat ini kedua orang tuaku telah binasa di tangan mereka...!" ujar Permata Ningrum agak tersendat.

Kemudian dia menyambung lagi: "Ayahanda Jasa Dewa adalah seorang raja di istana Kedatuan Khalayan, bahkan secara turun temurun. Beliau selama dalam pemerintahan selalu bertindak adil bijaksana. Karena memang pada dasarnya ayahanda selalu berpihak pada kebenaran dan menjadi pelindung kaum yang lemah. Tapi siapa sangka bahwa adik tirinya yang juga merupakan tangan kanannya sendiri tidak menyukai cara-cara ayahanda menjalankan pemerintahan ayahanda. Lalu mereka dengan dibantu oleh sekutu-sekutunya, berniat mengadakan pemberontakkan. Padahal niat buruk mereka itu sebenarnya pernah disampaikan oleh paman Pradilaga dan Awangga yang juga masih merupakan pengawal utama tingkat tiga. Akan tetapi ayahanda tidak pernah percaya bahkan diamdiam mulai menaruh curiga pada pa-man Pradilaga dan Awangga. Hingga tadi malam pemberontakan itu meletus. Ayahanda baru sadar, tapi semuanya sudah terlambat! Paman Pradilaga mungkin sudah tewas seperti Awangga keponakannya itu...!" kata Putri Permata Ningrum sambil menunjuk ke arah mayat Awangga yang sudah nampak membeku. Dan tiba-tiba pula Permata Ningrum menangis sedih.

Pendekar Hina Kelana mengawasi mayat Awangga sejenak, dalam pertarungan tadi bahkan dia sempat melihat sepak terjang Awangga yang tak kenal takut. Diam-diam dia memuji keberanian pemuda itu.

"Seperti halnya Tuan! Dia seorang pemuda yang baik dan jujur, tapi tangan-tangan iblis itu telah merenggutkan nyawanya! Kalau saja aku memiliki kepandaian sehebat tuan, aku pasti tidak mengampuni jiwa mereka!" tukas Putri Permata Ningrum geram sekali.

Pendekar Hina Kelana menarik nafas dalamdalam, tiba-tiba dia merasakan ada sesuatu yang menyesak di dalam dadanya. Marah. Itu pasti!

"Putri... ee... Permata Ningrum! Aku berjanji

untuk membantumu sampai Kedatuan Khalayan kembali pada yang berhak! Tapi bagaimana dengan engkau...?" tanya Buang Sengketa.

Dalam hati dia berkata tak mungkin dia membawa serta Putri Permata Ningrum dalam menumpas kaum pemberontak yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Lebih dari itu dengan sertanya Putri Permata Ningrum dalam perjalanan tentu lama kelamaan bisa memancing datangnya musuh lebih banyak lagi. Apalagi Putri Permata Ningrum memiliki wajah dan dandanan yang sangat lain dari kebanyakan kaum penduduk. Sedang dalam berfikir begitu tiba-tiba Permata Ningrum menyela:

"Tuan...!"

"Jangan panggil begitu, aku bukan Tuanmu! Panggil saja si Hina...!" Putri Permata Ningrum mengajuk.

"Kau orang baik, aku tak mau memanggilmu si Hina, lebih baik kupanggil Kelana saja." kata Permata Ningrum tersipu-sipu.

"Sesuka-sukamulah...!"

Agaknya Putri Permata Ningrum merupakan seorang gadis yang periang, meskipun jiwanya baru terguncang hebat. Akan tetapi kini sudah berubah seperti biasa kembali.

"Kelana. Kalau engkau tidak keberatan aku ingin mengikutimu sampai Kedatuan Khalayan. Aku ingin melihat pemberontak Runa mampus di tanganmu...!" "Kau mau ikut! Mereka bisa mencelakakanmu...!"

Buang Sengketa mencela dengan perasaan was-was.

Putri Permata Ningrum tiba-tiba membalikkan diri dan bermaksud melangkah pergi. Pendekar Hina Kelana gelengkan kepala. Permata Ningrum meskipun berhati baik nyatanya keras kepala juga.

"Tunggu...!"

Putri Permata Ningrum sambil terus melangkah menjawab:

"Maaf.! Aku telah membuatmu repot...!" ucapnya acuh.

Buang Sengketa, tiba-tiba saja dia telah

berdiri di hadapan Permata Ningrum. Putri tunggal Kedatuan Khalayan hentikan langkah, sekejap menatap sinis pada Pendekar Hina Kelana, lalu:

"Minggir...! Aku tak butuh bantuanmu!"

Dibentak seperti itu, sudah barang tentu membuat Pendekar dari Negeri Bunian ini sudah tidak dapat bersabar lagi.

"Baik! Kalau kau sudah memutuskan begitu. Sekali pun kau seorang Putri Dewa Kayangan apa peduliku! Aku paling benci pada perempuan yang kasar...!" Usai berkata, tanpa menoleh lagi Buang Sengketa segera melangkah pergi tanpa menolehnoleh lagi.

Putri Permata Ningrum yang biasa di manja agaknya dia tak tahu bahwa pemuda ini selalu bersikap tegas pada siapa pun. Dia menjadi bimbang untuk meneruskan langkahnya. Terlebihlebih lagi bila dia ingat pada kejadian yang hampir saja menimpa dirinya. Tiba-tiba perasaan takut menyelimuti hati-nya. Begitu menoleh di lihatnya Pendekar Hina Kelana sudah berlalu jauh darinya.

"Kelana... tunggu! Maafkan aku... aku takut.

Kelana, oh...!"

Sambil berteriak-teriak Putri Permata Ningrum berbalik dan berlari-lari mengejar Pendekar Hina Kelana. Sementara Buang Sengketa meskipun hatinya sangat kesal kiranya tak sampai hati juga. Tanpa menoleh dia hentikan langkah. Tak berapa lama kemudian Putri Permata Ningrum sudah menyusulnya. Dengan nafas terengah-engah kemudian dia berkata:

"Maafkan aku! Aku tak seharusnya bersikap kasar padamu...!" ucap Permata Ningrum lirih.

Tanpa menjawab, Buang Sengketa kembali meneruskan langkahnya dengan diikuti Putri Permata Ningrum. Anak raja Kedatuan Khalayan, yang sesungguhnya mulai menaruh rasa simpati pada pendekar tampan itu.

* * * Sejak terjadinya pemberontakan di istana Kedatuan Khalayan yang menewaskan Raja Jasa Dewa berikut permaisurinya. Kini keadaan negeri di wilayah Khalayan sudah terasa semakin tidak aman. Perampokan berupa harta benda penduduk. Penculikan gadis-gadis desa, merajalela di manamana. Beberapa bulan keadaan semakin bertambah memburuk. Terlebih-lebih Runa yang menjadikan dirinya seorang raja yang baru kelihatan sudah tidak perduli dengan nasib buruk yang menimpa rakyatnya. Setiap hari dia banyak menghabiskan waktu hanya untuk bersenang-senang dengan wanita-wanita murahan. Bermain judi, bercinta atau bahkan minum-minum sampai mabuk. Masyarakat semakin menderita saja, apalagi Sigalumet panglima perang Kedatuan Khalayan yang baru selalu bertindak sewenang-wenang. Menyiksa, membunuh atau bahkan memperkosa anak bini orang, sudah merupakan kebiasaan datuk sesat dari Pulau Berhala ini.

Si bungkuk Ludra yang tak memiliki wewenang apa-apa di Kedatuan Khalayan lain lagi kesibukannya. Laki-laki bungkuk bertampang serakah ini, hidup bergelimang kemewahan. Dia mendirikan sebuah rumah megah yang sepintas lalu menyerupai sebuah istana kecil tidak begitu jauh dari wilayah Khalayan. Meskipun dia tak pernah mau mengganggu anak istri penduduk. Tapi apa bedanya! Setiap hari dia mengutus sepuluh orang kepercayaan untuk merampoki harta benda milik penduduk sekitarnya, bahkan lama kelamaan mulai merambah daerah-daerah lain di luar wilayah Khalayan. Sementara di istana kediamannya, dia nampak duduk ongkang-ongkang di atas tumpukan harta.

Seperti di siang itu di sebuah kota kecil yang bernama Palang Sejajar. Sepuluh orang berkuda nampak memasuki kota. Sebagaimana yang pernah terjadi di daerah-daerah lain-ya. Kini orang-orang bertampang bengis itu langsung melakukan aksinya. Jerit pekik ketakutan segera mewarnai aksi mereka. Korban satu demi satu mulai berjatuhan, darah berceceran, tiada sedikit pun terlintas belas kasihan di hati sambil terus melakukan aksinya mereka nampak tertawa-tawa. Tak segan-segan mereka berbuat kurang ajar dengan anak gadis

korbannya. Setelah itu berlalu begitu saja.

Siang itu Buang Sengketa secara kebetulan telah sampai pula di kota kecil Palang Sejajar. Setelah hampir seminggu melakukan perjalanan, sesungguhnya bagi pemuda itu apa yang telah dia lakukan adalah merupakan hal yang wajar. Tapi mengingat Putri Permata Ningrum yang keadaannya sudah sangat payah, mau tak mau dia harus bersikap sabar. Perjalanan mereka ke Khalayan masih terlalu jauh. Sementara dia tak mungkin mempergunakan ajian Sapu Jagat untuk mempersingkat waktu. Kalau pun hal itu sangat mungkin untuk dia lakukan, akan tetapi bagaimana halnya dengan Putri Permata Ningrum? Menggendongnya? Huh! Itu hanya pekerjaan orang setengah sinting. Putri Permata Ningrum bukan bocah kecil lagi. Sudah gadis! Bahkan sudah cukup dewasa. Pekerjaan itu mana pantas dilakukan oleh Pendekar tampan yang mempunyai sifat sedikit pemalu ini.

Demikianlah ketika mereka mengayunkan langkah sampai di tengah-tengah kota. Pemuda ini sempat dibuat heran begitu melihat keributan terjadi di sana-sini, sementara orang-orang berlarian kian kemari.

"Ada apa Kelana...?" tanya Permata Ningrum mengerling manja.

"Agaknya telah terjadi sesuatu yang tak beres di tempat ini! Coba kutanyakan bapak tua yang menuju ke mari "

Begitu laki-laki setengah baya itu hampir di hadapannya. Buang Sengketa menegur: "Bapak! Ada apakah...?" Laki-laki itu nampak ketakutan, mengira bahwa pemuda ini merupakan komplotan para perampok.

"Bapak jangan takut! Katakan saja...!" desak Pendekar Hina Kelana.

"Anu... Kisanak, ada perampokan! Mereka merampoki harta benda penduduk. Bahkan kini mulai membunuh !" Laki-laki itu berkata dengan tubuh meng-gigil ketakutan.

Buang Sengketa kerutkan kening. "Siapakah mereka...?" tanya pemuda itu penasaran sekali.

"Mereka orang-orang dari Kedatuan Khalayan "

"Kedatuan Khalayan?" desah Pendekar Hina Kelana seolah tak percaya.

Sekejap dia melirik pada Putri Permata Ningrum.

"Berarti, mereka orang-orangnya si pemberontak Runa...!" tukas Putri Permata Ningrum begitu geramnya.

"Kalau begitu mari kita ke sana   !"

Pendekar Hina Kelana beserta Putri Permata Ningrum tak lama kemudian telah sampai pada tempat keributan. Orang-orang suruhan si Bungkuk Ludra itu nampak sibuk sekali. Mereka mengangkat harta benda penduduk dengan keadaan tergesagesa. Semuanya itu tak lepas dari perhatian Pendekar Hina Kelana dan Putri Permata Ningrum. Buang Sengketa dengan sabar menantikan apa lagi yang bakal dilakulan oleh para perampok itu. Meski pun darahnya sudah mendidih sedapatnya dia masih menahan diri.

Pada saat seperti itu, tiba-tiba saja Putri Permata Ningrum berseru kaget sekali. Buang Sengketa merasa heran dengan ulah si gadis putri istana ini. Agaknya Putri Permata Ningrum tidak memperdulikan hal itu. Tetap saja dia berseru:

"Sena... Sura...! Sejak kapan ayahandaku mengajarimu menjadi perampok seperti itu!” bentak Putri Permata Ningrum pada dua orang yang baru saja keluar dari dalam rumah penduduk sambil menjinjing benda-benda berharga.

Begitu mendengar ada seseorang memanggil namanya dua orang laki-laki ini yang sesungguhnya masih sangat setia pada mendiang Raja Jasa Dewa, secara serentak menoleh. Alangkah terkejutnya hati mereka begitu dilihatnya putri junjungan mereka nampak berdiri, dan memandang marah padanya. Sena dan Sura tanpa diperintah lagi langsung mencampakkan barang-barang yang mereka bawa, kemudian berlari menghampiri Putri Permata Ningrum yang masih tetap berdiri bersama seorang pemuda yang belum mereka kenal. Begitu sampai di depan junjungannya, Sena dan Sura langsung menyembah dan berlutut minta ampun.

"Berani sekali kau membuat kesengsaraan pada rakyat...!" bentak Putri Permata Ningrum sangat marah sekali.

Mendadak kedua orang ini menangis bagai bocah kecil, masih dengan sesenggukkan salah seorang di antara mereka memberi penjelasan.

"Putri yang mulia... limpahilah kami dengan

maafmu! Semua ini hamba lakukan karena demi keselamatan jiwa kami yang tiada berharga ini. Mereka memaksa kami untuk melakukan perampokan dengan cara yang keras! Percayalah Tuan Putri kami tak pernah menyakiti penduduk! Anjing-anjing suruhan itulah yang sering melakukan pembunuhan...!" '

"Kalau memang jiwa kalian tiada harganya! Maka aku akan segera mengirimnya ke neraka...!" Buang Sengketa menyela dengan tatapan mata dingin.

"Tuan ampunilah jiwa kami! Semua ini kami lakukan karena sangat terpaksa sekali...!". Sura ikut menimpali.

Putri Permata Ningrum menoleh pada si pemuda, tatapan matanya seperti memberi isyarat bahwa kedua orang itu merupakan bawahan yang bisa dipercaya. Tak lama kemudian dia kembali lagi pada Sena dan Sura.

"Baik kuampuni jiwa kalian! Sekarang ikut bersama kami...!" perintah Putri Permata Ningrum pada bekas abdinya.

"Terima kasih atas kemurahan hati tuan Putri!

Dengan penuh suka cita kami siap menjalankan perintah yang mulia...!" ucap kedua orang itu hampir bersamaan.

"Berapa orang kawan-kawanmu orang tolol...!" tiba-tiba saja Buang Sengketa menyela.

"Mereka tinggal delapan orang lagi tuan...!"

jawab Sura dengan tubuh masih gemetaran. "Anjing-anjing sialan itu memang perlu digebuk. Suruh mereka keluar...!" bentak Pendekar Hina Kelana mendadak menjadi bengis.

"Ka... kami takut Tuan...!" jawab Sena semakin bertambah menggigil ketakutan.

"Goblok! Terhadap anjing dungu saja kalian takut...!"

Pendekar Hina Kelana merasa sangat kesal

sekali. Tak lama kemudian dia sudah berseru lantang:

"Perampok-perampok sial yang ada di dalam rumah! Cepat keluar...!"

Dari sebuah pintu jendela, salah seorang di antara mereka melongokkan kepalanya. Sebentar kemudian telah lenyap kembali.

"Bangsat! Haruskah aku yang datang menyeret kalian...!"

Bersamaan dengan itu, tiba-tiba saja seorang laki-laki berbadan pendek kurus melesat dari dalam jendela diikuti oleh beberapa orang lainnya.

"Hemm... kiranya kunyuk-kunyuk macam ini

yang telah bikin onar di mana-mana?" kata Buang Sengketa dingin.

Tanpa memperdulikan Buang Sengketa lakilaki berbadan pendek kurus malah menyela:

"Kawan-kawan! Kiranya Sena dan Sura mau membelok kembali pada majikannya! Sungguh bangsat tak tahu diuntung, diberi kehidupan yang enak kini kalian berdua telah pula menjadi pengkhianat...!"

"Kakang Cindek! Bukankah gadis jelita itu bekas anak raja yang sudah mampus itu! Benarbenar pucuk dicinta ulam tiba...!" salah satu orang lainnya yang berbadan gempal ikut menyela.

"Hak... hak... hak...! Kalau kita tangkap dia, pasti kita akan mendapat hadiah yang sangat besar...!"

Pendekar Hina Kelana yang sejak tadi membiarkan tingkah mereka, kini nampaknya sangat gusar.

"Manusia-manusia terkutuk! Kalian memang lebih pantas mampus...!"

Bersamaan dengan kata-katanya, secepat kilat pemuda itu kiblatkan tangan kanannya. Tak ayal lagi Buang Sengketa telah lepaskan pukulan andalam Empat Anasir Kehidupan Selarik sinar yang hampir-hampir tak dapat dilihat dengan kasat mata melesat, lalu menderu meluruk ke arah mereka. Udara di sekitarnya terasa panas luar biasa. Sampai-sampai Putri Permata Ningrum yang berdiri di samping pemuda itu menjerit kaget.

Para perampok yang tak mengira bahwa pemuda gembel yang mereka anggap tak memiliki kepandaian apa-apa, nampak terkesiap. Namun sebelum mereka menyadari apa sesungguhnya yang terjadi pukulan yang dilancarkan Pendekar Hina Kelana telah melabrak. Tubuh orang-orang itu berpelantingan roboh, untuk kemudian tidak bangun untuk selama-lamanya.

Dari sekian banyaknya anggota perampok, hanya si pendek kurus dan yang berbadan gempal saja yang dapat menyelamatkan diri. Untuk beberapa saat lamanya, mereka nampak terkesima. Perasaan kecut nampak membayang di wajah mereka.

"Hahaha... hahaha...! Kroco-kroco sialan... malang sekali nasib kalian hari ini. Sekali kalian bertemu denganku, menyesal pun sudah tiada guna melolonglah seperti anjing kalau kalian ingin aku mengampuninya...!" Pendekar Hina Kelana membentak dengan tatapan mata dingin.

Dua orang kepala perampok ini meskipun sudah merasa jerih melihat sepak terjang

Pendekar Hina Kelana. Akan tetapi demi menjaga gengsi, tak urung si Cindek tertawa mencibir.

"Gembel kesasar! Meskipun kepandaianmu

setinggi gunung, tidak nantinya kami merengek minta ampun padamu."

"Bagus! Manusia-manusia semacam kalian memang lebih pantas mampus...!"

Belum lagi Buang Sengketa selesai de-ngan kata-katanya, tiba-tiba kedua orang ini dengan nekat telah menerjang terlebih dulu.

Sena dan Sura segera membawa majikannya

menyingkir ke tempat yang aman. Pertarungan seru pun segera terjadi. Dalam waktu sekejap si Cindek dan si Gempal telah keluarkan jurus-jurus yang paling sangat mereka andalkan. Dengan gerakangerakan yang sangat teratur dari dua arah kedua orang ini menggempur Buang Sengketa. Sesuai dengan pekerjaannya, kedua perampok ini telah mempergunakan jurus Rampok Hutan Menyergap Mangsa. Buang Sengketa memang pantas memuji kehebatan jurus-jurus yang mereka ma-inkan. Gempuran dahsyat yang bertubi-tubi, serangan gencar yang selalu mengarah pada bagian-bagian yang mematikan, semua itu bisa membuat lawan menjadi kalang kabut. Akan tetapi agaknya hal itu tidak berlaku bagi Pendekar Hina Kelana. Yang sejak kecil telah mendapat gemblengan berbagai ilmu kanuragan dari seorang kakek sakti si Bangkotan Koreng Seribu.

Dengan   mempergunakan   jurus    si    Hina

Mengusir Lalat dia putar kedua tangannya untuk melindungi diri. Tubuh si pemuda berkelebat cepat kian ke mari. Hal ini benar-benar membuat kedua lawannya menjadi kebingungan. Pertarungan sudah memakan puluhan jurus, sejauh itu si Cindek dan si Gempal masih belum berhasil memukul lawannya. Usapkan sampai memukul sedang menyentuh kulitnya pun belum dapat.

Mendadak Buang Sengketa segera rubah permainan silatnya. Tubuhnya bergerak tak beraturan, sekali tangannya memukul ke depan, kaki terangkat ke atas bagai seorang yang terpeleset kulit pisang, di lain saat terhuyunghuyung bagai pemabukan, meskipun begitu dengan mempergunakan jurus Si Gila Mengamuk ini. Tubuh si pemuda itu semakin terasa sulit untuk mereka sergap.

Agaknya Si Cindek dan si Gempal sudah tak dapat lagi menguasai emosi. Kedua orang itu segera cabut senjatanya yang berupa sebuah golok besar dan sebilah pedang berwarna kuning.

Dengan senjata ini mereka mencecar habishabisan Pendekar Hina Kelana. Pertarungan menjadi semakin mendebarkan, apa lagi pedang dan golok di tangan lawannya berkelebat menyambar-nyambar ke segala arah. Mau tak mau pendekar dari negeri Bunian ini segera merubah jurus-jurus silatnya dengan Membendung Gelombang Menimba Samudra. Dari gerakan pelan seperti orang pemabukan kini berubah menjadi cepat luar biasa. Tubuhnya berkelebat bahkan terkadang lenyap dari pandangan lawannya.

Hal ini sudah barang tentu kembali membuat bingung lawannya, tak lama kemudian sambil terus melancarkan serangan si Gempal menyela:

"Manusia siluman! Kau benar-benar seorang pengecut, berani bertarung tapi hanya main kucingkucingan...!" kata si Gempal marah.

"Jligk!" Tanpa menimbulkan suara, kini pemuda itu sudah berdiri lagi di hadapan mereka, "Manusia tiada guna! Supaya kalian tidak mati penasaran, sekarang aku tak akan mengelak lagi. Kuberi kesempatan pada kalian dan pergunakan dengan baik. Tunggu apa lagi, cepat serang…!" bentak Pendekar Hina Kelana, tanpa maksud mengelakkan serangan lawannya.

Melihat kenekatan Buang Sengketa, pucatlah wajah Putri Permata Ningrum dan juga kedua abdinya. Mereka berfikir selain senjata-senjata di tangan kepala perampok itu sangat tajam, bukan tidak mungkin senjata itu juga sangat berbisa. Sebaliknya si Cindek dan si Gempal ini beranggapan dengan sekali tusuk tamatlah riwayat pemuda gembel di depanny a. Semua orang yang hadir di tempat itu nampak memejamkan matanya, begitu si Cindek dan si Gempal membabatkan pedangnya ke seluruh bagian tubuh Pendekar Hina Kelana. Dengan diiringi teriakan dahsyat, ker dua orang itu secara hampir bersamaan membabatkan pedang dan goloknya.

"Ciaaat! Haiiit!" "Crak! Crak!"

Bagai membabat sebuah batu gunung senjata mereka menghantam tubuh si pemuda. Tapi sedikitpun tubuh yang tertebas pedang maupun golok, tak terluka. Hanya pakaian si pemuda nampak terobek di beberapa bagian. Si Cindek dan si Gempal terkejut bukan alang kepalang. Tanpa sadar mereka berseru:

"Ilmu Setan...!"

Buang Sengketa tergelak-gelak.

Namun beberapa saat kemudian tanpa terduga, kedua orang itu segera berbalik langkah dan bermaksud langkah seribu. Pemuda ini sudah tidak kasih kesempatan lagi.

Selanjutnya dengan mengerahkan sepertiga bagian tenaganya. Dia pukulkan kedua tangannya ke depan.

"Mampuslah kalian...!" Dengusnya. Selarik sinar Ultra Violet berkelebat cepat untuk kemudian melabrak tubuh lawan-lawannjra.

"Blaar!"

Tubuh kedua orang itu terpelanting puluhan tombak, tanpa sempat menjerit atau melolong, mereka terkapar dengan nyawa melayang.

Buang Sengketa menarik nafas pendek, sementara Putri Permata Ningrum nampak berlarilari menghampirinya.

"Kau tak apa-apa Kelana...?" tanya Permata Ningrum kuatir. Buang Sengketa gelengkan kepala, lalu katanya: "Mari kita pergi dari sini...!"

Dengan mempergunakan kuda milik perampok, keempat orang itu berlalu meninggalkan kota Palang Sejajar.

* * * 8

Matahari sore sudah tenggelam di kaki bukit, di langit lepas awan hitam nampak semakin menebal. Tak lama kemudian angin dari arah Barat Daya terasa berhembus kencang. Bersamaan dengan bertiupnya angin kencang, di atas langit mendung sudah mulai meneteskan air. Suasana di pinggiran hutan seketika berobah gelap gulita. Tiada rumah penduduk di sekitar hutan itu. Pendekar Hina Kelana menghentikan kuda, pandangan matanya menoleh kanan kiri.

"Alamat mandi hujanlah kita malam ini?" gumamnya.

Tiba-tiba Sena yang berada paling belakang berkata pelan.

"Tuan... ketika kami melewati hutan ini kemarin. Kami lihat tidak begitu jauh di depan sana ada sebuah kuil yang kosong. Siapa tahu masih bisa kita manfaatkan...!"

"Hemm... mengapa tidak bilang sejak tadi...!"

Berkata begitu Buang Sengketa segera menarik tali kekang kudanya. Sebentar kemudian mereka sudah bergerak kembali. Memang benar seperti apa yang dikatakan oleh Sena, setelah beberapa saat mereka memacu kuda. Di pinggiran hutan itu terdapat sebuah kuil yang memang sudah kosong. Segera setelah menambatkan kudanya, mereka bergegas memasuki kuil itu. Baru beberapa saat lamanya mereka berada dalam kuil. Hujan deraspun turun.

Sena dan Sura segera membersihkan kuil itu dari kotoran dan debu. Tak lama kemudian setelah melewatkan makan malam seadanya Buang Sengketa nampak berbincang-bincang dengan Putri Permata Ningrum.

Sementara Sena dan Sura nampak berjagajaga di ruangan depan. Terkadang kesunyian malam dipecahkan oleh suara kedua abdi yang masih sangat setia pada putri junjungan mereka. Pembicaraan mereka berkisar tentang kehebatan si pemuda yang telah menyelamatkan mereka bertiga. Pada saat yang sama di ruangan dalam, tanpa mengenal bosan Putri Permata Ningrum tak hentihentinya memandangi Pendekar Hina Kelana yang

semakin membuatnya kagum dan menarik hatinya. "Sudah malam Ning...!" ucap Pendekar Negeri

Bunian itu menyebut panggilan akrab Putri Permata Ningrum.

"Aku tidur di sini dan engkau tidur di ruangan yang berpintu itu...!"

Putri Permata Ningrum tak menyahut, sepasang bola matanya yang indah memandang sendu pada Pendekar Hina Kelana.

Sebagai orang yang sudah dewasa sedikit

banyaknya Buang Sengketa tahu kalau Putri Permata Ningrum sudah jatuh hati padanya. Akan tetapi sebagai seorang pengembara dan menghormati lawan jenisnya dia tak ingin memberi harapan apapun pada putri Kedatuan Khalayan ini, apalagi mengingat dia hanya pemuda biasa yang tidak memiliki orang tua pula. Si Hina Kelana yang papa.

"Ningrum...!" panggilnya lagi.

Putri Permata Ningrum mendesah perlahan, ada sesuatu yang ingin dikatakannya tapi akhirnya urung.

"Jangan kau fikirkan masa lalumu! Hal itu malah akan membuatmu sedih!" kata Pendekar Hina Kelana berpura-pura tolol.

Putri Permata Ningrum menggeleng pelan.

"Aku tak tahu apa yang harus kuperbuat, andai nantinya Kedatuan Khalayan kembali ke dalam pangkuanku...!" ujar Putri Permata Ningrum berusaha menutupi perasaannya.

Buang Sengketa kerutkan kening, lalu menoleh pada Permata Ningrum untuk beberapa saat lamanya.

"Hmm... kau ini lucu! Walaupun kau seorang wanita tapi sudah menjadi kewajibanmu untuk meneruskan tahta pemerintahan." Pendekar Hina Kelana menyela.

"Justru itu yang mungkin tak mampu untuk kulakukan! Aku tak becus apa-apa." kata-nya polos. Buang Sengketa garuk-garuk kepalanya yang tak gatal. Sebab sesungguhnya dia sendiri pun tak tahu dengan tetek bengek yang berhubungan dengan pemerintahan.

"Kalau begitu kau harus mencari seorang putra mahkota yang mengerti dalam urusan pemerintahan...!" tanpa sadar Pendekar Hina Kelana berucap. Dan kesempatan itulah yang sesungguhnya sangat dinanti-nantikan oleh Putri Permata Ningrum untuk memulai pembicaraan.

"Itu mungkin saja terjadi! Tapi persoalannya tak semudah seperti apa yang kau katakan...!"

"Maksudmu...?!" tanya Buang Sengketa tak mengerti.

Putri Permata Ningrum terdiam untuk beberapa saat lamanya. Kemudian dia menyela:

"Pengalaman yang pernah menimpa keluargaku terlalu sulit untuk kulupakan, aku tak ingin peristiwa buruk itu terulang kembali dalam hidupku. Untuk itu aku tidak melulu berpatokan. bahwa calon suamiku itu mesti seorang keturunan raja. Siapapun orangnya baru pantas menjadi suamiku apabila orang itu memiliki kepandaian seperti engkau...!" Aku Putri Permata Ningrum tanpa malu-malu.

Pendekar Hina Kelana tersenyum kecut. Agaknya dia merasa geli dengan keganjilan watak Putri Khalayan ini. Bayangkan, cukup banyak manusia di kolong langit ini selalu menilai seseorang dengan pangkat dan jabatan atau dengan kaya miskinnya. Akan tetapi Putri Permata Ningrum malah bersikap sebaliknya.

"Kau kok malah mentertawaiku seperti seekor monyet begitu...!" Putri Permata Ningrum mengajuk.

"Engkau sungguh aneh sekali...!" "Apanya yang aneh!"

"Banyak orang di dunia ini dalam memilih jodoh selalu memandang tinggi rendahnya derajat seseorang, tetapi kau...!"

Putri Permata Ningrum makin cemberut. "Peduli apa! Itu urusan mereka! Toh aku sedang membicarakan diriku sendiri”.

Melihat gelagat yang kurang mengenakkan,

Buang Sengketa segera mengalah.

"Baiklah... baiklah! Bicara padamu aku memang tak pernah menang!"

"Habisnya kau memang tolol..!"

"Aku memang tolol! Tapi yang terpenting bagiku, aku butuh istirahat, perjalanan ke Khalayan masih satu hari lagi! Engkau boleh tidur di kamar yang tertutup itu!"

Nampaknya Putri Permata Ningrum menurut, tak lama kemudian dia sudah berada dalam kamar lain yang terdapat di dalam kuil itu.

Buang Sengketa segera mematikan lampu

minyak yang terletak tidak begitu jauh darinya. Sebentar saja Pendekar dari Negeri Bunian ini sudah tertidur pulas. Pada saat itu Sena dan Sura yang berjaga-jaga di ruangan depan masih terdengar berbicara sesamanya.

Malam terasa semakin sunyi.

Sementara dalam ruangan lain Putri Permata Ningrum nampak gelisah tidak dapat memejamkan mata. Fikirannya kacau,. entah mengapa dia selalu teringat pada Pendekar Hina Kelana yang sudah tertidur di ruangan tengah. Pemuda perkasa itu benar-benar telah meluluhkan hatinya. Andai saja Kedatuan Khalayan memiliki orang berkepandaian tinggi seperti Pendekar Hina Kelana, tentu setiap saat hatinya tidak tercekam rasa was-was lebih dari itu peristiwa mengerikan tidak akan pernah terjadi. Fikirnya.

Fikiran seperti itu semakin membuat hatinya resah, kemudian dia telah melangkahkan kakinya menuju ruang tengah. Agaknya Buang Sengketa yang sudah tertidur itu sudah tak menyadari kalau Putri Permata Ningrum sudah kembali ke ruangan itu.

Permata Ningrum segera duduk di sisi Pendekar Hina Kelana dengan penerangan ala kadarnya itu dipandanginya wajah tuan penolongnya tanpa mengenal rasa puas. Wajah si pemuda meskipun agak kotor, namun sedikit pun tak mengurangi ketampanannya. Tubuhnya yang kekar berotot, tidak sedikit pun menyiratkan sebuah kesombongan. Tiba-tiba saja jantungnya berdetak lebih keras, wajahnya yang jelita itu agak memerah. Lalu dikecupnya kening Pendekar Hina Kelana, kemudian bibirnya. Merasakan ada sesuatu yang menempel pada wajahnya. Pendekar Hina Kelana menggeliat lalu terjaga dari tidurnya.

Pemuda lugu ini sangat terkejut begitu melihat Putri Permata Ningrum sudah berada di sisinya, bahkan wajah mereka sangat berdekatan sekali.

"Putri Ningrum apa yang telah kau lakukan!" tegurnya dengan suara lirih.

Wajah Putri Permata Ningrum tertunduk dan memerah.

"Aku tak berani tidur di sana sendirian Kelana!" kilahnya.

"Bukankah ada penjaga di luar dan aku menjaga di sini!" kata Buang Sengketa pilon.

"Hi... hi… hi...! Sedari tadi engkau sudah mendengkur, kau bilang menjagaku...!"

Setelah berkata begitu, tiba-tiba Putri Permata Ningrum memeluk Pendekar Hina Kelana erat-erat. Pemuda ini nampak kelabakan. Buru-buru dia menyela:

"Putri apa-apaan ini...!"

"Kelana! A... aku suka padamu, aku mencintaimu...!" ucap Permata Ningrum terbata.

"Hei... tidak kau lihatkah siapa aku ini...?" "Aku tahu, kau seorang pengelana yang telah menjadi tuan penolongku...?" kata Putri Permata Ningrum sambil membenamkan wajahnya di dada Pendekar Hina Kelana. Gadis Putri raja itu kini menangis.

"Ning... kau tak boleh bicara begitu! Kau seorang calon raja, aku ini hanya manusia Hina...!" Buang Sengketa menjadi serba salah.

"Aku tidak perduli Kelana!" sela Permata

Ningrum. "Apakah kau tidak menaruh perasaan apaapa padaku...?"

Buang Sengketa terdiam.

"Kalau kau tidak mencintaiku lebih baik tak usah menolongku...!" Putri Permata Ningrum mengajuk.

Didesak seperti itu, tiba-tiba Buang Sengketa mendapat akal.

"Putri... tidurlah, malam sudah larut! Lagipula kalau sampai didengar abdimu rasanya tidak baik...!" kata Buang Sengketa pelan.

"Jawab dulu pertanyaanku...!"

"Baiklah! Kalau kau mencintai aku, aku pun mencintaimu...!" jawab Buang Sengketa konyol.

"Benarkah... benarkah kanda Kelana?" Putri Permata Ningrum girangnya nggak karuan. Buang Sengketa mengangguk sambil menahan geli.

"Sekarang engkau harus tidur! Biar aku yang

berjaga-jaga!" ucap Pendekar Hina Kelana. Setelah mencium kening si gadis, Pendekar Hina Kelana segera melangkah keluar. Tak lama kemudian suasana sepi kembali menyelimuti kuil itu.

* * * 9

"Hampir dua hari dua malam! Hh. Kemana saja perginya si Cidek dan si Gempal? Janganjangan malah ngerampok anak bini orang. Ini benar-benar keterlaluan. Kalau saja tugas yang kuberikan pada tidak membawa hasil, orang-orang itu harus mendapat hukuman yang setimpal dariku!" Laki-laki bungkuk dari Pulau Berhala itu agaknya sudah tak sabar menunggu kepulangan Orang-orang suruhannya.

Dari jendela rumah yang berlapis emas, si Bungkuk Ludra tongolkan kepala, clingak clinguk bagai monyet tua yang ditinggalkan kerabatnya.

Sampai saat itu masih belum ada tanda-tanda kehadiran si Cindek dan si Gempal. Si Bungkuk Ludra yang memang sudah sangat kesal bantingbanting kakinya yang cuma sebesar kaki sapi.

Baru saja hendak melangkah ke pintu depan, tiba-tiba dia mendengar suara seseorang yang sangat di kenalnya.

"Juragan... juragan! Oh celaka juragan...!" Dengan langkah tergesa-gesa, si Bungkuk

Ludra membuka pintu. Laki-laki setengah baya itu nampak terperangah begitu melihat Sena dengan langkah terhuyung-huyung menghampirinya. Sebelum dia sampai di depan dedengkot Pulau Berhala dia sudah jatuh terjerembab tanpa dapat berkutik lagi.

"Hahahah... hahaha! Bongkok unta yang malang, hari ini berakhirlah sudah petualanganmu...!"

Bersamaan dengan ambruknya Sena, telah hadir seorang pemuda berpakaian merah darah. Tak asing lagi, dialah Pendekar Hina Kelana. Sesaat lamanya si Bungkuk Ludra menatap tajam pada si pemuda.

"Bangsat Hina, kaukah yang telah membunuh Sena?" tanya si Bungkuk Ludra geram.

"Bukan cacing tiada guna itu saja yang telah kubunuh! Bahkan semua orang-orangmu sudah kukirim ke Neraka semuanya...!"

"Bangsat gila! Apa alasanmu hingga kau berani membuat urusan dengan majikan Pulau Berhala...?!" gertak si Bungkuk Ludra nampakmarah.

"Dosamu sudah melebihi takaran! Masihkah kau mau mungkir...?"

"Jahanam! Melihat tampangmu saja baru kali ini, kiranya kau cuma ingin mencari gara-gara saja rupanya...!"

"Tua bangka sialan. Catat dalam otakmu, pekerjaanmu merampoki harta benda penduduk itu saja sudah merupakan dosa yang tak akan kuampuni belum lagi pemberontakan yang telah kalian lakukan. Dewa sekalipun akan memenggal kepalamu...!"

"Jahanam! Kiranya kau sengaja mencari mampus. Rupanya kau belum tahu dengan siapa kau berhadapan...?" bentak si Bungkuk Ludra.

Pendekar Hina Kelana tersenyum mengejek: "Terhadap kembratnya tiga iblis cacingan dari

Pulau Berhala, siapa takut!"

Terkejutlah si Bungkuk Ludra! Tak disangka kiranya, pemuda penyandang periuk dan berpakaian gembel ini mengetahui pula asal usulnya. Begitu pun dia masih membentak:

"Bagus! Kiranya kau sudah tahu siapa aku, Sekarang berlututlah minta ampun, siapa tahu aku cuma ingin mengambil sebelah tanganmu saja...!"

"Punggung unta goblook! Apakah kembratmu si gila perempuan belum memberi kabar padamu bahwa sebelah tangannya telah kuambil...?" ejek Buang Sengketa.

Si Bungkuk Ludra bagai tersengat ratusan kala terlonjak tubuhnya. Dia tidak percaya kalau Karpala sampai mengalami nasib apes seperti itu. Seperti diketahui Karpala sesungguhnya merupakan orang kedua dalam persekutuan Tiga Iblis Pulau Berhala. Berkepandaian sangat tinggi dan pada saat-saat tertentu dia bisa berubah wujud menjadi beruang. Dan pemuda gembel yang masih sangat hijau ini mengaku bahwa dia telah memotong sebelah tangan kawannya. Siapa mau percaya pada ucapan pemuda yang agaknya kurang waras. Lakilaki bungkuk ini kemudian memandang sinis, dan tertawa tergelak-gelak:

"Bocah edan! Karpala bukanlah orang sembarangan yang bisa dikerjai oleh bocah ingusan sepertimu. Jangan coba-coba mengelabuhi aku...!"

Buang Sengketa mendengus. Agaknya dia sudah begitu muak malihat si Bungkuk Ludra ini.

"Bungkuk keparat! Bersiap-siaplah, aku akan segera mengirimmu ke Neraka...!"

"Mampuslah...!" teriak Pendekar Hina Kelana langsung kirimkan satu pukulan dahsyat pada si Bungkuk Ludra. Namun agaknya dedengkot dari Pulau Berhala ini sudah memperhitungkan kemungkinan ini. Dengan gerakan yang sangat gesit si Bungkuk Ludra berkelit ke samping, kemudian kirimkan satu totokan pada bagian yang sangat mematikan. Jemari tangan si Bungkuk terpentang bagaikan sebuah cakar burung elang, terus meluncur laksana kilat. Meskipun serangan pertama yang dilancarkan oleh Pendekar Hina Kelana dapat dielakkan dengan baik oleh lawannya. Namun serangan berikutnya kembali meluruk.

Apabila tubuh si pemuda telah berkelebat, jika mulutnya telah mengeluarkan suara mendesis seperti seekor ular Piton yang sedang marah, dengan nekad dia langsung memapaki jemari tangan lawan yang bermaksud melakukan satu totokan. "Plak!"

Dua kekuatan berisi tenaga dalam bertemu, si Bungkuk Ludra menjerit kesakitan. Tubuhnya tersurut beberapa langkah ke belakang. Sementara Buang Sengketa nampak tergetar, tangan terasa kesemutan. Dalam hati dia memuji tenaga dalam lawannya yang sudah sangat sempurna sekali. Tapi begitu menoleh dan memandang pada tangan si Bungkuk Ludra, mendadak dia tertawa panjangpanjang. Kiranya tangan si Bungkuk Ludra telah terpuntir ke belakang. Sehingga sepintas lalu memberi kesan lucu.

Dedengkot Pulau Berhala ini nampak pencongkan bibir menahan rasa sakit. Dengan cepat dia berusaha meluruskan tangan kirinya yang terkilir, namun usaha itu agaknya tidak membawa hasil, sebaliknya malah menjerit-jerit kesakitan.

"Ha... ha... ha...!" Pendekar Hina Kelana tergelak-gelak kembali. "Manusia sesat, setelah kupelintir tanganmu tak lama lagi menyusul kepalamu pula...!"

Si Bungkuk Ludra menyeringai. Kedua bibirnya kemudian terkatup rapat, setelah itu dengan pandangan penuh kebencian, dedengkot dari Pulau Berhala ini menggeram:

"Pemuda hina! Aku belum kalah, jangan sombong dulu " "Aku sombong katamu! Kau salah besar punggung unta. Dari jauh aku datang ke mari justru ingin melenyapkan kesombonganmu."

"Keparat pendusta! Kau kira aku bisa dikelabuhi oleh orang gila semacammu "

Pendekar Hina Kelana keluarkan suara mengekeh. Dalam hatinya mencaci maki habisbabisan.

Tak   lama   kemudian   si   Bungkuk   sudah

keluarkan sebuah tongkat yang sesungguhnya merupakan sebuah senjata yang sangat dibanggakan oleh si Bungkuk. Begitu Buang Sengketa mengetahui si Bungkuk keluarkan tongkat yang sudah sangat jelek rupanya. Pendekar Hina Kelana menyela.

"Hemm... hanya sebuah tongkat pemukul anjing saja kau pamerkan di depan hidungku   !"

kata Buang Sengketa sambil tertawa mengejek. "Benar... karena kau yang menjadi anjingnya

maka bersiap-siaplah untuk kugebuk    "

Usai berkata begitu, dengan tongkat di tangannya si Bungkuk Ludra langsung menyerbu. Tongkat di tangan si Bungkuk berke-lebat menyambar kian ke mari. Sementara itu dengan tak kalah gesitnya Buang Sengketa segera gunakan jurus si Hina Mengusir Lalat.

Sebentar saja tubuh Buang Sengketa nampak lenyap terbungkus berkelebatnya kedua tangan yang berputar cepat laksana sebuah baling-baling. Pertarungan sudah mencapai puluhan jurus, keringat mulai menetes di tubuh si Bungkuk, sebentar kemudian tubuhnya telah basah oleh keringatnya sendiri. Sementara Buang Sengketa hanya sekali saja menyeka peluh yang terkadang meleleh di pipinya.

Sebentar kemudian si Bungkuk Ludra mencelat beberapa tombak, tangan kiri menyilang di depan dada. Tangan kanan dengan memegangi tongkat terangkat tinggi-tinggi ke atas.

Pendekar Hina Kelana tak tahu apa yang bakal dilakukah oleh lawannya. Tapi walau bagaimana dia sudah dapat menduga bahwa si Bungkuk Ludra setidak-tidaknya bakal melancarkan satu pukulan yang sangat dahsyat. Dengan cepat dia segera mempersiapkan segala kemungkinan yang bakal terjadi.

Memang benar seperti apa yang diduga oleh Pendekar Hina Kelana. Bahwa sesungguhnya pada saat itu si Bungkuk Ludra sedang bersiap-siap untuk melancarkan sebuah pukulan jarak jauh yang diberi nama Berhala Mencabut Nyawa, yang intinya berpangkal pada sumber suara. Kalau dihitunghitung kesaktian itu hampir tidak jauh beda dengan Ilmu Pemenggal Roh yang dimiliki oleh Buang Sengketa.

Beberapa saat kemudian diiringi dengan jeritan tinggi melengking yang datangnya sambung menyambung tiada henti. Si Bungkuk Ludra lancarkan serangan ganas.

 Daun-daun beterbangan, si Bungkuk Ludra

terus lipat gandakan suaranya. Semakin lama

semakin memekakkan. Buang Sengketa yang sudah sejak semula telah bersiap-siap agaknya mulai terpengaruh. Gerakan-gerak-an silatnya nampak kacau. Sementara itu Putri Permata Ningrum dan Sura yang bersembunyi tidak begitu jauh dari tempat itu sebagaimana telah diajarkan oleh Buang Sengketa segera menyumbat telinga mereka dengan dedaunan.

Kini si Bungkuk Ludra benar-benar merasa di atas angin, beberapa kali tongkat di tangannya sempat menggebuk tubuh lawannya. Buang Sengketa mengeluh panjang pendek. Sejauh itu nampaknya Pendekar Hina Kelana masih memberi angin pada lawannya yang terus mencecarkan tanpa ampun.

Puluhan jurus sudah terlewati, agaknya Pendekar Hina Kelana sudah cukup memberi waktu pada lawannya, satu saat kemudian dengan diawali suara mendesis bagai seekor ular Piton yang sedang marah.

"Heiiiik!"

Sebuah ilmu kesaktian Berhala Mencabut Nyawa bertemu dengan Ilmu Sakti Pemenggal Roh. Bumi seakan runtuh. Rumah dan pohon-pohon yang berada di sekitarnya nampak bergetar hebat. Sementara itu tubuh si Bungkuk Ludra amblas ke dalam tanah sampai sebatas pinggang. Darah kental kehitam-hitaman meleleh dari kuping, hidung dan mulut si Bungkuk Ludra.

Buang Sengketa sendiri kakinya sampai amblas beberapa senti. Dia segera tarik kakinya yang sempat nyungsep ke dalam tanah, begitu sinis dipandanginya si Bungkuk Ludra yang masih berusaha keluar dari timbunan tanah yang menghimpit bagian pinggangnya.

Tak lama kemudian dedengkot dari Pulau Berhala yang gila harta ini pun telah keluar dari tempatnya. Segera dia himpun hawa murni, sebentar kemudian wajahnya yang pucat telah kembali seperti sediakala. Si Bungkuk Ludra tersenyum kecut, lalu menyela:

"Budak Hina! Ada hubungan apakah kau dengan tokoh sakti yang pernah hidup ratusan tahun yang lalu itu...?"

"Agaknya nyalimu mulai ciut...!" Pendekar

Hina Kelana mencibir.

"Kau memang hebat orang muda! Mati pun aku di tanganmu aku puas. Namun jawablah dulu pertanyaanku...!" bentak si Bungkuk Ludra.

* * * 10

Pendekar Negeri Bunian ini kembali terkekeh, kemudian keluarkan suara lantang.

"Nama guruku tidak boleh disebut oleh sembarangan orang, apalagi pada manusia budak iblis sepertimu...!"

"Bangsat! Kau kira kehebatan si Bangkotan Koreng Seribu dapat membuatku takut menghadapimu?"

Buang Sengketa nampak terkejut sekali begitu si Bungkuk Ludra menyebut-nyebut nama gurunya. Padahal wilayah Khalayan merupakan sebuah daerah yang terletak jauh di tanah air bagian Timur. Sedemikian hebatnya sepak terjang gurunya yang pemurung itu sehingga nama besarnya dikenal di mana-mana. Yang lebih membuat Buang Sengketa terheran-heran adalah pengetahuan si Bungkuk Ludra yang begitu luas. Sampai-sampai dia bisa mengenali ilmu Sakti Pemenggal Roh dapat dia kenali.

Buang Sengketa tidak dapat berfikir panjang

karena beberapa saat kemudian dedengkot dari Pulau Berhala ini sudah menyela kembali.

"Bocah gila Teluk Belanga, meskipun engkau

tidak mengakuinya itu tak menjadi soal. Agaknya aku perlu memaksamu untuk mengeluarkan cambuk Gelap Sayuto yang pernah menggegerkan dunia itu "

Lagi-lagi Buang Sengketa di buat terperangah. "Bagaimana orang ini bisa tahu banyak tentang gurunya?"

"Bagus, kau telah tahu segala-galanya. Sebentar lagi kau akan segera tahu bagaimana hebatnya cambuk Gelap Sayuto!" Pendekar Hina Kelana mendengus.

"Ha... ha... ha   !"

Si Bungkuk Ludra tertawa panjang-panjang. "Dulu persekutuan manusia iblis milik kakek

buyutku telah diobrak abrik oleh setan keparat itu. Bahkan dia membunuhi kakek dan nenekku pula! Bertahun-tahun aku mencarinya untuk membalas dendam tapi tidak juga berhasil. Karena kau muridnya manusia sadis itu, maka kau harus membayar lunas semua hutang gurumu berikut bunganya !"

"Hmmm! Besar sekali nyalimu. Agaknya hari ini aku pun harus menyelesaikan pekerjaan guruku yang masih belum sempurna. "Mampuslah!"

Si Bungkuk Ludra kembali bergerak. Kini setelah segala-galanya menjadi jelas dedengkot dari Pulau Berhala ini segera keluarkan segala kemampuannya. Api dendam di hati si Bungkuk Ludra berkobar-kobar kini, kenyataan itu sudah barang tentu membangkitkan semangatnya yang hampir saja padam. Buang Sengketa pun tak ingin bertindak setengah-setengah. Tidak ada pilihan lain lagi baginya kecuali segera menyudahi pertarungan dalam waktu sesingkat mungkin.

Karena masing-masing keluarkan jurus-jurus yang paling mereka andalkan, maka pertarungan yang sedang berlangsungpun benar-benar sangat menegangkan. Berpuluh-puluh jurus mereka saling lancarkan serangan-serangan ganas. Sejauh itu masih belum ada tanda siapa yang bakal menjadi pemenang dalam pertarungan itu.

Beberapa saat kemudian Buang Sengketa segera merubah jurus-jurus silatnya. Tubuhnya berkelebat lenyap ditelan bayang-bayangnya sendiri. Tak pelak lagi Buang Sengketa kiranya telah pergunakan jurus si Jadah Terbuang. Namun pada saat itu lebih cepat lagi si Bungkuk Ludra telah kirimkan pukulan Berhala Gila Menggapai Bulan. Dari tangan si Bungkuk Ludra menderu selarik sinar berwarna biru dan menebarkan hawa dingin meluruk ke arah Pendekar Hina Kelana.

Terkesiaplah pemuda ini, sebelum gulungangulungan sinar warna biru itu benar-benar melumat tubuhnya. Buang Sengketa kiblatkan tangannya. Empat Anasir Kehidupan tak salah lagi! Selarik sinar Ultra Violet melesat lebih cepat lagi. "Blaar!"

Tubuh Pendekar Hina Kelana terpental beberapa tombak, dari celah bibirnya meleleh pula darah segar. Buang Sengketa tarik nafas pendek. Sementara itu si Bungkuk Ludra hanya terhuyung beberapa tindak ke belakang, tubuh tergoyanggoyang sedikit, tapi segera tersenyum.

"Empat Anasir Kehidupan benar-benar ilmu pukulan yang hebat! Tetapi ternyata tidak ada apaapanya. Barangkali cambuk Gelap Sayuto yang banyak digembar-gemborkan orang itu juga cuma merupakan berita bohong belaka!"

Si Bungkuk Ludra tersenyum mengejek. "Manusia sombong! Kau benar-benar akan

sangat menyesal...!" kata Pendekar Hina Kelana mengigit bibir.

"Hak... hak... hak...! Bocah sinting murid-nya orang gila, kalau kau punya seribu senjata cepatcepatlah kau cabut! Kalau tidak, kau benar-benar akan menyesal sampai ke liang kubur...!"

"Bagus! Sebuah kesombongan dan satu kejahatan hari ini memang benar-benar harus kulenyapkan dari kolong langit ini "

Dengan    diawali    satu    bentakan    tinggi

melengking kini Buang Sengketa telah melabrak terlebih dahulu.

Dedengkot dari Pulau Berhala menggerung bagai harimau terluka, dengan tongkat di tangan yang menyambar-nyambar ke segala arah. Agaknya Buang Sengketa sudah tak ingin lagi memberi kesempatan pada lawannya. Kini kembali terdengar jeritan melengking disertai bunyi mendesis bagai Ular Piton yang sedang marah, tubuhnya berkelebat, sebentar kemudian:

"Haiiit!"

"Ctar! Ctaar! Ctaar!"

Seusai dengan lecutan pecutnya ke udara, menderulah gelombang angin topan yang ma-ha dahsyat. Batu dan pasir berterbangan, sebentar saja langit menjadi gelap. Suasana di sekitar tempat itu benar-benar telah berubah gelap gulita. Terkesiaplah si Bungkuk Ludra demi menghadapi keanehan ini. Tiba-tiba hatinya menjadi bimbang, akan tetapi itu tidak berlangsung lama. Segera dia mendengar suara lawannya menyela:

"Bungkuk keparat! Kini kau benar-benar telah menyaksikan apa yang kau minta. Seperti janjiku, aku memang tidak akan mengampunimu...!"

Dalam keadaan gelap gulita bahkan batang hidung sendiri pun tak tampak, kata-kata Buang Sengketa yang bernada mengancam itu benar-benar membuat nyali si Bungkuk Ludra menciut.

Tiba-tiba, dedengkot Pulau Berhala itu melihat sinar merah tak jauh di depannya, sinar itu berkilaukilau menyinari sebagian wajah Pendekar Hina Kelana yang nampak memandang dingin padanya. "Golok Buntung!"

Si bungkuk Ludra berseru kaget. Kini dia benar-benar telah menyaksikannya sendiri tentang apa yang sering didengarnya dari orang-orang yang lalu lalang tentang sepak terjang seorang pemuda dengan pusaka golok Buntungnya yang dahsyat itu.

"Jadi kaulah orangnya Pendekar Golok Buntung itu...!" tanya si Bungkuk Ludra undur beberapa langkah.

Buang Sengketa memandang sinis. "Semuanya sudah terlambat Ludra! Kau sudah

terlanjur mengetahui segala-galanya...!"

"Bersiap-siaplah untuk mampus."

Tubuh Buang Sengketa berkelebat, Pusaka Golok Buntung di tangannya menderu sinar merah menyala berkiblat-kiblat laksana meteor. Keadaan yang gelap gulita karena pengaruh cambuk Gelap Sayuto ditambah lagi dengan rasa dingin yang sangat luar biasa karena pengaruh pusaka golok Buntung. membuat si Bungkuk Ludra tidak begitu leluasa dalam bergerak.

Tubuh Buang Sengketa terus berkelebat. "Cras! Cras!"

"Arrghk!"

Golok di tangan Pendekar Hina Kelana merobek bagian lambung dan dada si Bungkuk Ludra. Dedengkot dari Pulau Berhala itu menjerit setinggi langit. Untuk kemudian ambruk ke bumi dengan tubuh bersimbah darah.

Buang Sengketa segera simpan kedua senjatanya. Bersamaan dengan itu kegelapan di sekitarnya secara perlahan mulai sirna dan kembali pada keadaan semula. Buang Sengketa melirik pada tubuh Sena yang masih tergeletak di tempatnya.

"Sena! Apakah kau mau sampai tua tetap berpura-pura mati seperti itu?" Buang Sengketa menyela.

Cepat-cepat Sena bangun dari tempatnya, kemudian dengan perasaan penuh kagum.

"Tuan Pendekar benar-benar hebat! Bahkan

lebih hebat dari yang hamba duga sebelumnya...!" ujar Sena lalu menjura hormat.

"Panggil Putri Permata Ningrum! Kita akan segera meninggalkan tempat ini secepatnya!" perintah Pendekar Hina Kelana.

Begitu Sena hendak melangkah, dia melihat

Putri Permata Ningrum dan Sura telah menghampiri mereka.

Dengan pandangan mata berseri-seri Putri Permata Ningrum menghampiri Pendekar dari Negeri Bunian ini. Andai saja di tempat itu tidak ada orang lain, sudah barang tentu Putri Permata Ningrum langsung memeluk Pendekar yang telah meluluhkan hatinya itu.

"Kau benar-benar hebat, Kelana...!" serunya memuji.

Buang Sengketa tersenyum tipis. Tapi kemudian dia kerutkan kening. "Ada apa?" tanya Putri Permata Ningrum. "Sebaiknya Putri tinggal saja di istana bekas milik si Bungkuk Ludra ini, untuk sementara waktu...!" sela Pendekar Hina Kelana berubah fikiran.

"Mengapa harus begitu...!"

'Di Khalayan terlalu banyak lawan-lawan tangguh yang mungkin saja dapat mengancam keselamatanmu. Bertarung melawan mereka tidak selamanya aku bisa mengawasi keselamatanmu...!"

"Bukankah ada Sena dan Sura yang bisa menjaga keselamatanku...?"

"Aku meragukan kemampuan mereka! Tapi seandainya dalam waktu tiga hari aku tidak kembali ke sini kalian sudah bisa menyusulku ke sana!" jelas Buang Sengketa.

Sesaat Putri Permata Ningrum nampak meragu. Tetapi kemudian dia mengangguk.

"Aku hanya dapat mendoakan keselamatanmu Tuan Pendekar!" ucapnya sambil melirik penuh arti.

"Bagus kalau kau bisa mengerti."

Usai berkata begitu Buang Sengketa sudah berbalik langkah. Sekejap kemudian tubuhnya telah berkelebat pergi dan lenyap dari pandangan mereka.

* * * 11

Hampir setengah hari melakukan perjalanan sampailah Pendekar Hina Kelana di pinggiran Kotaraja Kedatuan Khalayan. Di kanan kiri jalan yang dia lalui, keadaan sunyi sepi, pintu rumahrumah penduduk tertutup rapat. Warung-warung jalanan tak satu pun yang buka. Hal ini agaknya hal baru yang sangat menarik perhatian si pemuda. Setelah clingak clinguk bagai si monyet katisan, pemuda itu kembali meneruskan langkahnya. Kirakira sepeminum teh, tiba-tiba dia melihat di depan tak jauh darinya serombongan orang berkuda yang berjumlah lebih kurang enam orang nampak menuju ke arahnya.

Dengan cermat Buang Sengketa memperhatikan si penunggang yang kelihatan dalam keadaan tergesa-gesa. Pendekar Buang Sengketa tersenyum mencibir begitu mengenali salah seorang di antara mereka yang tak lain Si Gila Karpala adanya.

Kemudian pemuda itu dengan sengaja duduk di tengah-tengah jalan sambil palangkan kedua kakinya. Dengan sikap pura-pura tertidur dia telungkupkan wajah, si rombongan berkuda makin lama semakin dekat. Hingga pada jarak hampir enam tombak laki-laki yang berada di atas punggung kuda menghentikan tunggangannya.

"Orang gila dari mana yang berani sekali tidur di jalanan?" bentak salah seorang di antara mereka yang berbadan tinggi dengan cambang dan bawuk yang tak tercukur rapi.

"Tabrak saja panglima! Biar mampus sekalian...!" ucap salah seorang di sebelah laki-laki itu. Dan tentu saja Buang Sengketa sangat mengenali pemilik suara itu yang tak lain si Keparat Karpala.

"Manusia Hina! Minggir atau kutendang. Nih panglimamu mau lewat!!" bentak laki-laki itu bengis. "Panglima kentut bau! Segala iblis dari Pulau Berhala siapa takut...!" Masih dalam posisinya

Buang Sengketa balas membentak.

Karpala dan Sigalumet saling pandang. Mereka nampak terheran-heran, bagaimana si gembel jalanan itu bisa tahu kalau mereka dedengkot dari Pulau Berhala?

"Manusia hina segera tunjukkan muka, agar kami tak salah tangan...!" bentak Sigalumet marah sekali.

"Sebelah tangan kawanmu yang kubuntungi, itu saja sudah cukup untuk mengenal siapa adanya aku ini...!" Usai berkata Buang Sengketa langsung berdiri.

Tiba-tiba Karpala terlonjak dan berseru marah. "Kakang! Dialah si bangsat sialan yang kita cari-cari itu...!"

Sigalumet kertakkan rahang:

"Oh, kiranya inilah kunyuk yang telah memapras tanganmu itu adi Karpala?"

"Benar, kakang! Tak salah lagi dialah orangnya!"

Sigalumet      sejenak      lamanya      nampak

memperhatikan Buang Sengketa dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Budak penyandang periuk berjelaga, masih begini sangat muda. Akan tetapi mengapa adiknya Karpala yang punya berbagai ilmu kesaktian dan bahkan bisa malih sampai dapat dibuat tak berdaya? Sungguh Sigalumet tak dapat mempercayai cerita Karpala dengan kenyataan yang ada.

"Budak Hina! Siapakah engkau dan dari mana pula asal usulmu...!" tanya Sigalumet. Agaknya dia ingin tahu banyak tentang siapa dan dari mana asal muasal si pemuda.

Ditanya seperti itu pendekar Hina Kelana mendengus.

"Dulu aku sering berkata, apa artinya sebuah nama! Orang kemudian menanyaiku dengan pertanyaan yang sama-sama membosankan untuk kujawab. Tapi kiranya tak salah bila kujawab pertanyaan orang-orang yang akan mampus! Agar kalian tidak mati penasaran. Catat dalam otakmu, aku si Hina Kelana datang dari sebuah negeri yang tak bisa dilihat oleh kasat mata. Sengaja datang untuk mencabuti nyawa anjing-anjing pembuat sengsara masyarakat...!"

Begitu mendengar kata-kata Pendekar Hina Kelana, Sigalumet dan kawan-kawannya tergelakgelak.

"Tikus sial! Sombong sekali mulutmu! Tidak tahu betapa tingginya gunung yang kini tegak di hadapanmu...!" kata Sigalumet dengan wajah memerah.

"Aku tahu gunung memang tinggi! Tetapi terhadap iblis-iblis pendukung pemberontakan tak seorang pun yang akan kubiarkan hidup...!" ejeknya pula.

Sigalumet mendengus:

"Puih! Besar sekali nyalimu. Berhadapan dengan salah seorang di antara kami saja engkau belum dapat menang, apalagi bila kami mengeroyokmu...?"

Pendekar Hina Kelana nampak tergelak-gelak begitu melihat Sigalumet yang nampaknya sangat meremehkan dirinya.

"Kakang! Orang yang mau mampus biasanya banyak tingkah!" Karpala ikut menyela.

"Kalian terlalu menjunjung diri setinggi langit iblis bau! Padahal sebuah kesombongan sangat sering menjerumuskan diri seseorang pada lembah kehancuran. Bagiku Tiga Iblis dari Pulau Berhala, hanyalah sebuah nama kosong melompong...!" "Sialan keparat! Bersiap-siap untuk mampus...!"

Belum lagi Sigalumet selesai dengan katakatanya, serentak dia melompat dari punggung kudanya dengan diikuti oleh yang lainnya.

"Bagus.... Kiranya kalian sudah semakin tak sabaran untuk menyusul si Bungkuk Ludra yang telah terlebih dahulu berangkat ke liang kubur...!"

Lagi-lagi Pendekar dari lembah Bunian ini

mendengus.

Bukan alang kepalang terkejutnya keenam orang ini, bagaimana bisa dipercaya kalau si Bungkuk Ludra sampai tewas di tangan pemuda gembel ini?

"Bangsat pembual! Mulutmu benar-benar sudah rusak...!"

Tak lama kemudian Sigalumet. Segera memberi isyarat pada keempat anak buahnya Tanpa menunggu diperintah dua kali, dengan cepat keempat orang itu segera menyerang Buang Sengketa.

Sambil membuka jurus-jurus silatnya, si pemuda berseru lantang:

"Iblis gila kedudukan dan iblis gila perempuan mengapa tanggung-tanggung, sekalian saja kalian maju berbareng...!"

"Terhadap empat orang-orangku saya kau

belum tentu unggul! Hadapilah mereka terlebih dahulu...!" Sigalumet mencemooh, sepasang matanya mulai tertuju pada pertempuran yang tengah berlangsung.

Saat    itu,    keempat    orang    anak    buah

Sigalumet, sudah mengepung Buang Sengketa dari

empat penjuru. Keempat orang ini dengan

bersenjatakan pedang, langsung mencecar Pendekar Hina Kelana tanpa memberi sedikit pun kesempatan pada lawannya. Pedang-pedang di tangan mereka menderu, membabat, menusuk dari berbagai arah. Menghadapi serangan lawannya yang datang bagai turunnya air hujan. Buang Sengketa pergunakan jurus Membendung Gelombang Menimba Samudra. Meskipun begitu pemuda ini nampaknya masih kewalahan juga. Satu saat salah seorang dari lawan kirimkan satu tusukan satu babatan, serangan itu begitu sangat cepatnya. Pemuda itu secepatnya berusaha berkelit ke samping. Serangan lawan hanya beberapa senti saja hampir menembus batang hidungnya.

Pendekar Hina Kelana memaki habis-habisan, namun baru saja dia berhasil menghindari serangan lawan yang berada di depannya, dari arah belakang menyusul sabetan pedang dan dari samping kiri pula.

"Breet!"

"Breet!"

Pedang di tangan lawannya berhasil menggores sekaligus merobek kulit dan pakaian si Hina Kelana pada bagian lengan kiri dan punggung belakang. Tak jauh dari tempat itu Sigalumet dan Karpala yang terus menyaksikan jalannya pertarungan diam-diam berseru memuji keberhasilan anak buahnya.

"Agaknya sebentar lagi budak Gombal amoh itu segera mampus di tangan orang-orang kita adik Karpala...!" ucap Sigalumet dengan sesungging senyum penuh kelicikan.

"Kita lihat saja perkembangan selanjutnya Kakang...!" jawab Karpala yang sudah sangat tahu tentang kehebatan lawannya.

Sigalumet menoleh pada kembratnya begitu mendengar jawaban Karpala yang kurang mengenakkan fikirannya.

"Sepertinya kau tidak yakin dengan kemampuan orang-orang kita, adik Karpala...?" tegurnya.

"Kakang belum tahu bagaimana sepak terjang pemuda itu! Masakkan kalau dia benar-benar tidak berisi aku kena dikerjainya...!" kata Karpala berusaha meyakinkan.

Sigalumet nampak manggut-manggut. Dalam hati dia membenarkan apa yang baru saja dikatakan oleh kembratnya. Akan tetapi kemudian dia nampak meragu.

"Apakah benar seperti yang dia katakan, bahwa adik Bungkuk Ludra telah dibunuhnya..,?" Karpala yang hanya tinggal memiliki sebelah tangan itu nampak kerutkan kening. Seharusnya si Bungkuk Ludra telah bergabung dengan mereka tadi malam. Bukankah mereka sudah berencana untuk mencari Pendekar Hina Kelana untuk membalaskan sakit hati. Karena pemuda itu telah membuntungi tangan Karpala. Tapi ternyata setelah ditunggutunggu si Bungkuk Ludra tidak muncul juga hingga mereka bermaksud datang menyusuli. Siapa kira kalau di jalanan mereka bertemu dengan musuh yang akan mereka cari!

"Mengapa engkau diam saja adik Karpala?"

Suara Sigalumet membuat Karpala tersentak dari lamunannya.

"Eee... aku cuma berfikir, mungkin saja apa yang dikatakan oleh budak hina itu ada juga kebenarannya."

Merahlah wajah Sigalumet begitu mendengar jawaban kembratnya, dia berprasangka bahwa Karpala sesungguhnya sudah merasa jerih untuk berhadapan dengan pemuda gembel yang kini sedang bertarung.

"Agaknya kau merasa gentar untuk berhadapan dengan budak itu kembali!" kata Sigalumet menyindir.

"Ah! Kakang terlalu berprasangka yang bukan-bukan. Selama nyawaku masih melengket di badanku, selama itu pula aku akan menghadapi siapa pun. Tokh bocah itu bukanlah anak dewa...!" jawab Karpala menutupi perasaannya.

"Benar adik Karpala, dia bukan manusia setengah Dewa.,.!" Sigalumet manggut-manggut.

"Kakang! Meskipun dia bapak moyangnya dewa, aku pun tak akan pernah takut!" ucap Karpala berusaha menyenangkan hati Sigalumet.

Mendengar jawaban Karpala kini Sigalumet

tertawa-tawa. Senang!

"Bagus! Majikan Pulau Berhala memang tidak boleh mundur terhadap lawan yang bagaimana pun hebatnya. Apalagi kalau cuma berhadapan dengan lawan seperti si gembel itu."

Belum lagi Sigalumet selesai dengan segala pujiannya, mendadak dari dalam pertarungan terdengar jeritan yang menyayat.

"Crar! Cras!" "Arghk...!"

Dua orang pengeroyok terpelanting roboh dengan keadaan leher hampir putus. Karpala dan Sigalumet terperangah kaget.

Dan belum lagi hilang keterkejutan di hati mereka, terdengar pula jeritan dua orang lainnya. Sama seperti pendahulunya. Orang ini pun mengalami nasib yang sama. Di antara dua orang dedengkot iblis Pulau Berhala ini. Sigalumet lah yang dibuat paling terkejut, hanya dalam waktu singkat saja si pemuda sudah merobohkan empat orang pilihan. Bahkan tadi dia sempat melihat berkelebatnya golok Buntung di tangan si pemuda.

"Apa kubilang, pemuda itu benar-benar sangat hebat, Kakang...!" Karpala mengingatkan.

"Kentut! Aku paling benci pada orang yang sangat pengecut!" kata Sigalumet kemudian melangkah dari tempatnya berdiri. Kini laki-laki itu telah benar-benar berdiri di depan Buang Sengketa.

Dengan kemarahan yang luar biasa dia membentak Pendekar Hina Kelana.

"Budak iblis! Kau harus membayar mahal atas perbuatanmu itu...!"

Pendekar Hina Kelana tergelak-gelak. "Wuaah... ada maling teriak maling! Kau pun harus segera mampus."

Segera saja Buang Sengketa lancarkan pukulan Empat Anasir Kehidupan terhadap dua orang lawan-lawannya. Begitu pula dengan Sigalumet dan Karpala.

Dengan dua kaki satu tangan Karpala yang begitu mendendam pada Pendekar Hina Kelana, nampak begitu rakus merangsak lawannya dengan pukulan-pukulan Kala Birunya. Sementara itu Sigalumet tak mau kalah dengan kembratnya yang satu ini. Dengan pukulan Berhala Memukul Naga, dia terus mengumbar serangan-serangannya. Pertarungan dengan mempergunakan pukulan sakti, lalu ditandingi dengan pukulan sakti pula, dalam waktu sekejap benar-benar telah menguras tenaga inti. Sejauh itu baik dedengkot dari Pulau Berhala maupun di pihak Buang Sengketa sendiri masih belum mampu menghancurkan pertahanan lawan.

Beberapa saat kemudian Sigalumet dan Karpala pada saat yang hampir bersamaan kirimkan satu rangkaian pukulan Kala Biru pada lawannya. Seberkas sinar berwarna kebiruan nampak melesat sedemikian cepatnya ke arah Pendekar Hina Kelana. Menghadapi serangan beruntun dari dua arah, yang masing-masing sama berbahaya, Buang Sengketa yang memang kebal terhadap segala macam racun berbisa ini nampaknya memang tidak berusaha menghindar.

Dengan kedua tangan terpentang secara berlawanan dan masing-masing telah terisi tenaga dalam pula, dengan nekad dia memapaki datangnya kedua pukulan tersebut.

* * * 12

Bertemunya tiga tenaga sakti sudah tak dapat dihindari lagi.

"Blaar!" "Blaar!"

Tubuh Pendekar Hina Kelana amblas ke dalam tanah sampai sebatas pinggang, dia merasakan dadanya sesak luar biasa. Sementara darah segera meleleh dari hidung dan bibir. Cepat-cepat dia menghimpun hawa murni, tak lama kemudian rasa sesak itu pun berangsur angsur lenyap.

Belum lagi dia bangkit dari tempatnya, Sigalumet dan Karpala yang tadinya hanya mengalami guncangan sedikit akibat berbenturan pukulan mereka. Saat itu sudah meluruk lagi dengan pedang dan payung terhunus.

Senjata di tangan lawan-lawannya menderu dan timbulkan suara bercuitan. Pada saat itu mereka sudah dapat memastikan bahwa lawannya yang masih terbenam tubuhnya setengah badan sudah tak mungkin dapat mengelak lagi. Senjata di tangan mereka terns meluncur begitu cepatnya. Pada saat-saat yang sangat kritis itu di luar dugaan musuh-musuhnya. Buang Sengketa kerahkan segenap kemampuannya untuk segera dapat keluar dari dalam tanah yang menghimpit tubuhnya. Dengan diiringi teriakan menggelegar, tibatiba saja tubuh pemuda itu telah melesat ke udara.

Tubuh pemuda itu berjumpalitan beberapa kali, begitu dia menjejakkan kakinya di atas tanah, tubuhnya berkelebat kembali.

Baik Sigalumet dan Karpala yang sudah kirimkan satu tusukan satu babatan nampak sangat kecewa karena pedang dan payung ditangan masing-masing telah mengenai tempat yang kosong.

Saat keduanya nampak kebingungan mencaricari posisi lawannya. Pada saat itu terdengar desis suara seekor Ular Piton yang sedang marah. Udara di sekitar tempat itu tiba-tiba saja telah berubah menjadi dingin, sementara di tangan Buang Sengketa telah tergenggam Pusaka Golok Buntung yang memancarkan cahaya yang berwarna merah menyala.

Kini terkesiapkan Wajah mereka begitu melihat senjata yang tergenggam di tangan si pemuda. Akan tetapi hanya sesaat itu saja, karena tak berapa lama kemudian mereka harus melindungi diri dari sambaran golok di tangan lawannya. Berkelebatnya golok pusaka di tangan Buang Sengketa menimbulkan badai pasir yang sangat besar. Bahkan salah seorang di antara mereka sudah ada yang kelilipan.

Buang Sengketa agaknya sudah tidak memberi ampun lagi, dengan sangat cepat Pendekar dari Negeri Bunian ini melabrak seorang lawan yang berada paling dekat dengannya.

"Craas!"

"Arrghk!"

Karpala melolong setinggi langit, sebagian isi perutnya terburai keluar dari badannya. Tubuh Karpala hampir putus terbagi dua terbabat golok milik Pendekar Hina Kelana. Tubuh Karpala langsung terlipat dua. Sedangkan kedua bola matanya nampak melotot seakan tak percaya dengan apa yang telah dia alami. Darah semakin banyak yang keluar, secara perlahan tubuh yang sudah tak bernyawa itu nampak melorot untuk kemudian ambruk ke bumi.

Tinggallah Sigalumet seorang diri yang nampak terdiam dengan mulut menganga. Mungkin melihat kenyataan yang terjadi, nyalinya mulai kedodoran, meskipun begitu dengan membentak dahsyat dia kembali menyerang Buang Sengketa.

Akan tetapi agaknya karena sangat terpengaruh dengan kematian kawannnya. Kini serangan-serangan yang dia lancarkan sudah mulai kacau balau. Sebaliknya Buang Sengketa dengan gencar melakukan serangan-serangan balasan semakin lama Sigalumet tampak semakin terdesak. Hingga tak begitu lama dia benar-benar sampai pada posisi yang sangat membahayakan dirinya sendiri. Lagi-lagi senjata di tangan Pendekar Buang Sengketa mencari sasaran. "Brebet!"

"Craas!"

Golok di tangan Buang Sengketa berhasil melubangi tenggorokan Sigalumet. Darah memancar dari luka yang menganga. Tiada kata yang terucap dari mulut Dedengkot Pulau Berhala ini, kecuali suara dengkur nafas bagai kerbau yang disembelih. Masih dengan memegangi lehernya yang berlubang, tubuh Sigalumet nampak tergetar beberapa saat lamanya. Darah semakin lama semakin berkurang yang keluar dari luka itu. Seiring dengan tetesan darah yang terakhir, tubuh Sigalumet limbung dan untuk kemudian terjengkang dengan nyawa putus.

Habislah sudah sekutu-sekutu pemberontak Runa. Buang Sengketa menarik nafas panjang. Pemuda itu sudah bermaksud meninggalkan tempat itu ketika sepasang matanya yang setajam mata elang itu melihat dua orang penunggang kuda yang tengah menuju ke arahnya.

Pendekar Hina Kelana urungkan niatnya, dua orang penunggang kuda itu makin lama makin dekat, Pendekar ini kernyitkan alisnya begitu melihat pakaian yang dikenakan oleh orang-orang itu. Kalau melihat dandanan yang mereka pakai sudah barang tentu dua orang ini merupakan seorang raja dan patihnya. Akan tetapi hendak kemanakah mereka? Batin Pendekar Hina Kelana dalam hati. Hanya beberapa saat kemudian dua orang penunggang kuda ini sudah sampai di depan Pendekar Hina Kelana.

Laki-laki setengah tua yang mengenakan pakaian raja bermaksud memerintahkan si Hina Kelana supaya minggir, karena memang kedua orang itu bermaksud menuju ke rumah kediaman salah seorang sekutunya. Si Bungkuk Ludra! Akan tetapi kiranya tanpa di sengaja dia melirik ke arah kanan kiri jalan.

Begitu mereka melihat mayat-mayat bergelimpangan terbelalaklah mata kedua orang itu, karena mayat-mayat yang berlumuran darah itu tak lain merupakan mayat para sekutu-sekutunya.

"Yang mulia Kanda Raja... bukankah mayatmayat itu merupakan mayat orang kita...?" sentak laki-laki di sebelahnya yang berpakaian kepatihan.

"Hmm... benar sekali adik Patih! Bangsat manakah yang telah berani membuat urusan dengan pemerintahan Khalayan!" geram si Raja. Kedua matanya memandang pada Buang Sengketa seolaholah menuduh.

Pendekar Hina Kelana tahu bahwa mungkin dua orang inilah yang telah melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan raja yang sah.

"Kunyuk-kunyuk keparat! Kaliankah yang bernama Runa dan Wara Wiri...?" Dibentak sedemikian rupa sudah barang tentu kedua orang yang berpakaian kebesaran kerajaan itu sangat marah sekali.

"Siapakah kau, berani sekali menghina Raja Khalayan! Kau benar-benar seekor anjing yang tak tahu adat!" kata laki-laki yang berpakaian patih menyela. Lalu segera kedua orang itu melompat dari punggung kudanya.

"Terhadap bangsat-bangsat pemberontak, tak perlu memakai segala peradatan!"

"Jahanan! Berarti budak gembel inilah yang telah membunuh orang-orang kita Yang Mulia Kanda Raja...!" kata Patih Wara Wiri. Pendekar Hina Kelana tergelak-gelak: "Patih dan raja keparat! Bukan iblisiblis itu saja yang kukirim ke neraka! Tapi sebentar lagi kalian pun akan kugusur ke Liang kubur...!"

"Jahanam terkutuk!" bentak Runa geram. "Hmm! Cabutlah senjata kalian, sebab hari ini

juga kekuasaan kalian sudah berakhir...!" kata Pendekar Hina Kelana mencemo-oh.

"Kalau begitu, kalau begitu kaulah yang harus segera mampus...!"

Seusai berkata begitu kedua orang ini langsung cabut senjatanya, lalu secara serentak menyerang Buang Sengketa dengan jurus-jurus pedang yang ganas. Hanya dalam waktu sekejap saja pertarungan seru pun terjadi, Buang Sengketa yang memang menaruh kebencian pada Wara Wiri dan Runa nampak kerahkan jurus-jurus andalannya. Masing-masing lawan yang memang sudah dirasuki nafsu membunuh, kelihatan saling mendahului dan secepatnya pula menjatuhkan pihak lawan.

Beberapa saat kemudian pertarungan sudah mencapai puluhan jurus. Walaupun begitu Wara Wiri dan Runa masih belum berhasil menjatuhkan lawannya. Dan sesungguhnya pula Wara Wiri dan Runa bagi Pendekar Hina Kelana merupakan dua lawan yang memiliki tingkat kepandaian yang jauh di bawah Tiga Iblis dari Pulau Berhala. Bahkan kalau dia mau sudah sejak tadi Runa maupun Wara Wiri sudah kena dikerjainya. Akan tetapi dia ingin tahu sejauh mana ilmu kepandaian pemberontak ini. Setelah pertarungan mencapai puluhan jurus, tahulah pemuda ini bahwa kekuatan mereka dalam memberontak Khanyalan karena atas dukungan Tiga Dedengkot dari Pulau Berhala.

Empat puluh jurus telah berlalu, tetap saja keadaan tak berubah. Wara Wiri dan Runa bahkan nampak kelabakan begitu Buang merubah jurusjurus silatnya dengan jurus Si Jadah Terbuang. Bahkan beruiang kali Buang Sengketa berhasil mendaratkan pukulannya dengan sangat telak di tubuh lawannya. Hingga tak begitu lama kemudian batas kesabarannya pun pupuslah sudah. Sekali saja tubuh pemuda itu melesat ke udara, begitu menukik ke bawah dia telah lepaskan pukulan Empat Anasir Kehidupan dengan menggunakan setengah tenaganya. Selarik sinar dengan gelombang Ultra Violet menderu dahsyat meluruk pada kedua orang itu. Agaknya mereka tidak menyadari apa yang sedang terjadi sesungguhnya. Akan tetapi begitu mereka merasakan adanya hawa pukulan yang melongok ke atas. Pucatlah paras keduanya. Mengelak sudah tak mungkin lagi. Tiada pilihan lain kecuali memapasinya dengan sabetan pedang. Tak ayal lagi:

"Blaark”

Tubuh Wara Wiri dan Runa terpental berpuluh-puluh tombak lalu terhempas pada sebatang pohon yang sangat besar. Tiada jerit kematian. Tubuh yang dalam keadaan hangus itu remuk menghantam pohoh. Sebelum kedua orang itu menyadari apa yang sedang tejadi pada diri mereka, dua lembar nyawa telah melayang dari jasadnya.

Begitu Buang Sengketa hendak putar langkah, telinganya sempat mendengar panggilan merdu si Jelita Putri Permata Ningrum. Begitu hampir di depan Pendekar Hina Kelana Putri Permata Ningrum langsung menghambur kedalam pelukan tangantangan Pendekar perkasa ini.

"Kanda Kelana kau telah berhasil!" ucapnya sambil menjatuhkan ciuman-ciuman hangat pada wajah si pemuda dari Negeri Bunian itu. Merasa jengah pemuda itu cepat-cepat menoleh kanan kiri, tapi dia tak melihat adanya Sena dan Sura di tempat itu.

"Kemana Sena dan Sura?" tanya pemuda itu heran.

"Mereka sudah kusuruh ke Kedatuan Khalayan terlebih dulu!" ujar Putri Permata Ningrum sambil bergelayut manja pada Buang Sengketa.

"Kalau begitu kita susul mereka!"

Kemudian keduanya nampak menelusuri jalan raja menuju istana Kedatuan. Tidak henti-hentinya Putri Permata Ningrum memuji kehebatan pemuda yang telah membuatnya tergila-gila. "Biarlah!" batin Pendekar Hina Kelana. Toh setelah itu dia harus kembali pada dunianya masing-masing.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar