Senopati Pamungkas Buku - II Jilid 41

Jilid 41

“Akhirnya kita mengerti.” “Saling mengerti, Yayimas.”

“Ini bukan perpisahan asmara, Kakangmas.” “Ini pertemuan, Yayimas.”

“Pertemuan sesungguhnya. “Pertemuan sejati.”

“Saya minta pamit.”

“Tak ada pamit, Kakangmas.” “Yayimas biar tenang.”

“Menjadi resi, bisa menjadi ksatria. “Apa bedanya?

“Saya tidak pamit.

“Kita telah bersama, Kakangmas.” “Ya, Yayimas.

“Saya selalu menganggap Yayimas lebih tahu.”

“Di gua saya bertapa, tapi juga mengembara bersama Kakangmas. Di luar Kakangmas mengembara, tapi juga bersama saya bersemadi.”

“Terima kasih, Yayimas.”

“Jangan ucapkan itu, Kakangmas.” “Ya.”

“Ya…”

“Y…”

“Y…”

“Y…”

“Y…”

“…” “…”

“…”

“…” “.” “”

“”

Upasara seperti mengalami kejernihan.

Dan ketika mencoba melatih kembali kekuatan sukma sejati, tak ada lagi bayangan, tak ada lagi percakapan, tak ada lagi gua, tak ada lagi apa-apa.

Tak ada lagi tanda.

Itu yang terjadi ketika Upasara meninggalkan benteng Keraton bagian luar. Dan merasa sendiri menjadi sangat tenang ketika bertemu dengan Ratu Ayu yang menyembah kakinya, dan mengajaknya untuk berdiam di kediaman yang disediakan Raja.

Dengan sangat tenang Upasara mengikuti Ratu Ayu, dan mendengarkan kisah yang dituturkan seakan tanpa berhenti. Bahwa kini dirinya mulai berlatih keras dengan bantuan Kiai Sambartaka serta Gemuka yang akan mengadakan puncak pesta di Keraton.

“Raja Turkana sesembahanku.

“Apakah permaisurimu bicara terlalu banyak?” “Katakan apa yang akan kamu katakan, Ratu.” “Raja Turkana yang perkasa.

“Permaisurimu mengembara separuh jagat untuk menemukan Raja Turkana. Kita berdua dipertemukan dan dijodohkan oleh Dewa. Apakah Raja Turkana menyesali?”

“Tak ada yang perlu disesali, Ratu Ayu.”

“Apakah Raja Turkana bersedia memenuhi undangan Raja Jayanegara?” “Kita akan datang.

“Tidak untuk memenuhi undangan. “Kita datang karena harus datang.” “Raja Turkana…”

“Rasanya perlu saya jelaskan, Ratu Ayu.

“Saya bukan Raja Turkana. Selama ini saya telah mempermainkan perasaan saya sendiri.

Dan itu tidak baik.”

Upasara Wulung berdiri.

Tidak menghela napas. Tidak diberati perasaan tertentu. “Ratu Ayu…”

“Jangan sebut namaku, kalau kamu mengemohiku.

“Aku hargai keterusteranganmu, kejujuranmu yang dungu. “Upasara, dengar baik-baik.

“Apakah selama ini aku pernah berbuat jahat padamu? Apakah aku memberati dan membebanimu? Apakah aku menuntut suatu perlakuan yang istimewa darimu?

“Tak pernah.

“Tak akan pernah.

“Apakah kewajibanmu sebagai Raja Turkana kamu penuhi? “Sedikit pun tidak.

“Tapi aku tak menuntut. Tak mempertanyakan. Tak meminta.

“Apa saja bisa kamu lakukan. Aku tak pernah mengurangi, menghalangi. Kuabdikan diriku untukmu.

“Tahukah kamu hal itu, Upasara?”

Paser Bumi UPASARA mengubah kakinya. Sebelah kiri tetap tegak, sebelah kanan tertarik mundur. Tangan kanannya menggenggam Kangkam Galih. Rambutnya terurai, beriapan terkena siliran angin pagi yang lembut.

Gemuka mengangkangkan kakinya. Jubahnya berjumbai. “Raja Tanah Jawa.

“Pesta bisa dimulai sekarang. Saudara Muda Pangeran Sang Hiang, Putra Mahkota Keraton Tartar Penguasa Jagat, telah datang.”

Gemuka membungkukkan tubuh.

Dari sisi timur, melayang sesosok tubuh yang perkasa. Wajahnya tidak terlihat karena memunggungi arah sinar. Rambut yang dikepang panjang bergoyang, mengilat, memes, lembut, lemas, dan tebal.

Gendhuk Tri memiringkan kepalanya.

Benar. Yang muncul adalah Pangeran Hiang yang tampak kurus, dan lebih pucat daripada ketika bertemu dulu.

Pangeran Hiang balas membungkukkan tubuh sambil merangkapkan tangan sejajar dengan

kepala.

Nyai Demang berbisik perlahan ke arah Upasara dan Gendhuk Tri, menerjemahkan

pembicaraan.

“Mereka saling menanyakan kabar. Gemuka menanyakan bagaimana dengan Putri… entah siapa namanya. Yang dijawab dengan: meniti aliran bengawan.

“Gemuka mengatakan ini saat pesta puncak terjadi. Pangeran Hiang mengatakan bahwa di sini ada saudara angkatnya yang bernama Upasara Wulung dan Jagattri. Gemuka menjawab bahwa semua itu harus dihilangkan. Karena saat kemenangan sudah di depan mata, tak bisa diurungkan.

“‘Ingat, Saudara Muda, kekeliruanmu, kekeliruan semua panglima kita karena soal seperti ini. Dan aku terbukti menang. Maka jangan pedulikan siapa pun, kecuali kemenangan yang akan kita bawa ke puncak takhta.’ “

Gemuka melihat ke arah Nyai Demang.

“Terima kasih, Saudara Muda tidak perlu kalimatmu. “Bersiaplah, aku ingin segera meratakan tanah ini.”

Pangeran Hiang maju setindak, membungkuk ke arah Upasara dan Gendhuk Tri. “Maaf, Pangeran Upasara…”

Wajahnya berubah ketika melihat Gendhuk Tri. Ada desakan ingin mengetahui apa yang terjadi dengan Putri Koreyea, tetapi impitan waktu amat mendesak. Mendesak karena Gemuka selama ini sudah membuktikan berhasil menguasai, dibandingkan dengan rombongan Pangeran Hiang yang gagal total.

Sementara itu tanpa diduga Mada meloncat dari dalam menuju ke bagian samping pendapa.

Dengan bertolak pinggang, suaranya mengguntur keras sekali.

“Para prajurit pengabdi setia Keraton. Semuanya, munduuur! Menjaga Raja!”

Jabung Krewes sama sekali tidak menyangka bahwa dalam situasi genting, Mada berani tampil ke depan. Untuk segera memutuskan apa yang dianggap menentukan.

Nyatanya begitu.

Dengan munculnya tokoh-tokoh sakti serta kemungkinan terjadi perang habis-habisan, yang paling pokok dilindungi adalah Raja dan Permaisuri Praba. Dengan memusatkan pertahanan di sekitar Raja, Mada juga mengurangi kemungkinan jatuhnya korban sia-sia. Karena untuk sekadar mengeroyok Gemuka, Pangeran Hiang, Kiai Sambartaka, dan Ratu Ayu seperti menyediakan diri untuk ditebas.

Dalam penilaian Jabung Krewes, apa yang dilakukan Mada bisa dilakukan siapa pun juga.

Yang menonjol ialah bahwa Mada lebih dulu bertindak tanpa keraguan sedikit pun.

“Tanah Jawa, hari ini kami akan meratakan keangkuhanmu. Dengan pimpinan Putra Mahkota Keraton Tartar yang tak terkalahkan, dengan dukungan Keraton Turkana dan Hindia, terimalah kekalahanmu.”

Genggaman tangan Gemuka terbuka. Dari tangannya melesat beberapa senjata. Upasara, Gendhuk Tri, Ki Dalang Memeling, serta Halayudha hampir bersamaan melayang ke udara.

Upasara memutar Kangkam Galih untuk menyampok.

Akan tetapi senjata yang berupa panah kecil bersayap itu sebagian melaju kencang, sebagian balik ke tangan Gemuka begitu tersentuh senjata lawan.

Balik ke tangan Gemuka dan dibidikkan kembali. Memutar.

Para prajurit kawal yang mengangkat perisai dan berusaha melindungi Raja agak sia-sia.

Karena sebatang paser melesat, dan amblas ke dalam kepala gajah yang ditunggangi Raja.

Tanpa ampun lagi gajah melorot jatuh dan Raja terlempar dari punggung. Dengan menggerakkan tubuh, Raja Jayanegara berusaha melayang turun dengan selamat.

Saat itu Kiai Sambartaka menggertak keras dan dari tangannya kembali muncul puluhan ular berbisa.

Gendhuk Tri telah melihat sendiri betapa perahu Siung Naga Bermahkota memiliki peralatan dan perlengkapan yang serba menakjubkan. Makanya segera menyadari bahwa rangkaian serangan Gemuka bisa susul-menyusul.

“Itu yang disebut Paser Bumi,” sentak Nyai Demang sambil menggertak maju dan memayungi dirinya dengan selendang.

Pertarungan yang tidak seimbang.

Hanya Gemuka yang turun tangan, semua lawan dibuat kelabakan dengan serangan senjata rahasia Paser Bumi! Karena semua sibuk menjaga diri.

Dan kalaupun bisa menyampok, paser itu akan kembali ke tangan Gemuka untuk disambitkan kembali.

Sayap di sisi paser itu yang menyebabkannya bisa berbelok.

Tak bisa diremehkan. Karena gajah yang begitu besar dan perkasa langsung menekuk lututnya, ambruk. Dan kemudian mengamuk, menabrak kiri-kanan.

Termasuk menginjak para prajurit, menabrak gajah yang ditunggangi Permaisuri Praba. Yang tubuhnya terlempar dan jatuh ke tanah tanpa bisa bangun lagi.

Tepat di antara kedua bola matanya tertancap paser. Korban utama telah jatuh!

Eyang Puspamurti mengeluarkan pekik geram. Dengan menggoyangkan tubuh, sasaran pertama adalah menyambar ular kobra Kiai Sambartaka dan dibalikkan arahnya kepada Gemuka.

Gemuka sendiri tampak tidak memedulikan serangan yang datang. Ia sedang melancarkan serangan beruntun dengan Paser Bumi yang menerjang ke segala penjuru.

Seperti tidak teratur, tetapi tampak setiap kali ada yang terkena, persis di antara dua biji mata. Yang masih berdiri ragu hanya Pangeran Hiang.

Karena Ratu Ayu pun telah meneriakkan kata-kata yang tak dimengerti telinga lain, dan langsung menerjang ke arah Raja. Ki Dalang Memeling segera mengejar.

Adalah di luar dugaan bahwa Halayudha segera menerjang maju ke arah Gemuka. Dengan tangan kosong, Halayudha menerjang maju. Paser yang menuju ke arahnya tidak disampok, tidak ditangkis. Hanya diegoskan. Dengan sedikit menggerakkan tubuhnya, sehingga seperti penari yang memamerkan kelenturan tubuh.

Gendhuk Tri menangkap apa yang dimaksudkan Halayudha. Dengan mempergunakan irama serbuan paser, Gendhuk Tri justru bisa bergerak lebih cepat mendekat.

Pangeran Hiang yang masih berdiri ragu akhirnya terseret ke dalam pertarungan. Kedua tangannya mengeluarkan kipas di tangan kiri dan roda bergigi di tangan kanan. Dengan sekali sentak, roda bergigi menyambar siapa pun yang mendekat.

“Aku suka itu.”

Suara Eyang Puspamurti tinggi melengking. Dengan jurus yang sama dan diulang, Eyang Puspamurti mencoba kipas Pangeran Hiang.

Kini seluruhnya terlibat dalam pertarungan. Upasara Wulung menggerung keras. Kangkam Galih kini berada di tangan kiri. Terentang lurus melebar. Wajahnya berubah seram.

Tubuhnya bergetar dari ujung kaki hingga ujung rambut.

Getarannya sedemikian kuat, sehingga lantai pendapa seperti ikut berderak. Semua prajurit seperti melihat pemandangan yang ganjil.

Upasara Wulung seperti masih berada di tempatnya, berdiri dan bergetar, tapi dari tubuhnya keluar Upasara lain yang menyerbu ke arah Gemuka.

Satu lagi ke arah Kiai Sambartaka.

Seakan ada tiga Upasara yang masing-masing bisa dilihat jelas. “Sukma sejati.

“Mahamanusia…”

Eyang Puspamurti mengikuti gerakan Upasara Wulung. Berdiri teguh dan menggerakkan tubuhnya.

Prajurit Melangkahi Titir

APA yang terjadi di bekas rumah tinggal Senopati Yuyu yang berubah menjadi ajang peperangan menyerap perhatian semua orang tanpa kecuali.

Benar-benar suatu pertarungan yang terjadi secara serentak di berbagai tempat dengan berbagai musuh yang ilmunya sangat berbeda satu dengan yang lain, akan tetapi menyimpan keganasan maut yang sama.

Meskipun demikian, Senopati Jabung Krewes menemukan sesuatu yang lain. Yang mungkin tidak dirasakan oleh senopati lainnya. Bahkan tidak disadari bahwa suatu kejadian sangat penting telah berlangsung.

Dalam pandangan Jabung Krewes, sesuatu yang terjadi itu adalah apa yang dilakukan oleh

Mada.

Sebagai prajurit, Mada bukanlah prajurit yang mempunyai derajat dan pangkat yang istimewa.

Kalau ada yang membedakan dengan prajurit lainnya, karena ia ditugaskan dalam Keraton. Jabung Krewes-lah yang menariknya, mengangkat, dan memberi kedudukan.

Akan tetapi tetap saja seorang prajurit, seperti Kwowogen dan Puspamurti.

Dalam tata krama keprajuritan, Mada, Kwowogen, Puspamurti, atau prajurit yang lainnya hanya mengenal satu kata, yaitu sendika dawuh, atau nun inggih, yang artinya adalah mengiya dan menjalankan tugas. Tidak ada kata tidak, tidak ada kesempatan mengutarakan pendapat. Juga kecil kemungkinannya melakukan tanya-jawab.

Tata krama dalam keprajuritan memang keras, atau bahkan sangat keras. Derajat dan pangkat sangat terasa sekali perbedaannya. Kalau ada atasan yang lebih tinggi, seorang prajurit hanya bisa menunduk. Satu-satunya kata yang keluar dari mulutnya hanyalah: sendika dawuh.

Maka apa yang dilakukan Mada adalah luar biasa.

Mada bukan senopati, bukan adipati, bukan pemimpin, bukan apa-apa. Tapi dengan berteriak keras, Mada mengambil peran kepemimpinan untuk memerintahkan prajurit lain, semuanya saja, menjaga Raja.

Ini berarti melangkahi tata aturan yang ada!

Dalam keadaan yang paling berbahaya sekalipun, Mada hanya bisa menyampaikan pandangan kepada atasannya langsung. Dalam hal ini Senopati Jabung Krewes.

62

By admin • Dec 24th, 2008 • Category: 1. Silat Jawa, AA - Senopati Pamungkas II

Akan tetapi Mada melakukan pemotongan keras tata krama dan tata aturan keprajuritan, sesuatu yang merupakan dosa terbesar seorang prajurit. Karena itu berarti mengingkari sumpah keprajuritan yang intinya kesetiaan menjalankan tugas.

Yang paling terkena adalah Senopati Jabung Krewes, yang menjadi atasan langsung.

Pelanggaran kasar dan besar yang dilakukan Mada bisa dimasukkan ke dalam kejahatan nglangkahi titir. Hukuman yang paling ringan dari kejahatan ini adalah pembuangan seumur hidup dari pergaulan masyarakat. Karena dianggap manusia yang tidak mempunyai hati nurani. Seorang prajurit yang ingkar pada tata krama, pada kesetiaan, dianggap dan diperlakukan sebagai bukan manusia.

Nglangkahi titir arti harfiahnya adalah melangkahi titir. Titir adalah bunyi kentongan menandai adanya kejahatan besar, di mana anak kentongan dipukulkan secepat dan sesering mungkin.

Dalam undang-undang keprajuritan, seorang prajurit dibenarkan untuk nglangkahi titir. Dibenarkan untuk melewati tata krama, atau tata aturan dalam masyarakat. Sebelum atau ketika ada kentongan titir berbunyi, kalau mengetahui ada bahaya, bisa langsung bertindak.

Menyerbu ke dalam rumah seorang penduduk misalnya, tanpa perlu meminta izin lebih dulu. Hal ini dibenarkan.

Tapi tidak dalam keprajuritan, antara sesama prajurit. Apalagi melangkahi wewenang atasan yang lebih tinggi. Itu sama dengan mbalela atau memberontak!

Dalam aturan keprajuritan, itulah kesalahan utama Mada.

Lepas dari apa yang dilakukan Mada benar atau tidak, tepat atau tidak, tindakan yang dilakukan tetap saja dinilai salah. Jika Senopati Jabung Krewes saat itu menjatuhkan hukuman mati yang dilaksanakan seketika, dianggap benar dan sah.

Prajurit yang diperintahkan untuk melaksanakan hukuman juga tak boleh ragu sedikit pun.

Setiap keraguan akan menempatkan pada posisi yang sama.

Gigi dan geraham Jabung Krewes berkomat-kamit seakan tengah mengunyah sesuatu yang ingin dilumatkan dengan segera.

Apa yang dilakukan Mada memang menggetarkan hatinya. Menggugah dasar kemanusiaannya.

Menyentuh nilai keprajuritannya.

Mada memperlihatkan sikap yang berbeda dari prajurit yang lain. Ketika huru-hara menyita perhatian, ketika pemimpin keprajuritan saling mencari pembenaran diri, terutama di antara senopati- senopati, Mada tak mengindahkan itu semua. Ia bergerak, bertindak, tanpa perhitungan untung-rugi untuk dirinya sendiri.

Adalah mustahil Mada tak mengetahui bahwa tindakannya ini bisa menyebabkannya dihukum.

Tapi itu semua tak mengerem sedikit pun kemauannya.

Bahkan Mada tidak hanya berhenti dalam satu perintah.

Rambutnya yang digelung ke atas tampak bergoyang, ketika ia berdiri di pundak dua prajurit. “Amankan Putri Tunggadewi.

“Antar Putri ke kaputren. Sebagian prajurit berjaga di Keraton. Yang lain berjaga-jaga. Jangan terpancing ke medan pertarungan.

“Jawab!”

“Sendika dawuh….”

Teriakan mengguntur bersamaan sebagai jawaban. Para prajurit segera bergerak. Sebagian besar mundur, menuju Keraton. Beberapa di antaranya langsung memanggul dengan hormat Putri Tunggadewi.

Nyai Demang yang menjaga Tunggadewi bahkan tidak melakukan gerakan mencegah sama sekali. Mada meloncat turun.

Para prajurit yang berada di sekitarnya memandang hormat.

“Kwowogen, singkirkan bangkai gajah. Rumat dengan baik Permaisuri Praba. “Yang lain, siagakan senjata kalian. Hari ini Keraton minta bukti kesetiaan kalian. “Eyang Puspamurti, tak ada yang perlu ditunggu lagi.”

Mada meloncat ke tengah gelanggang.

Dalam arti di barisan terdepan para prajurit. Keris yang selama ini tersimpan di bagian belakang, dicabut dari sarungnya. Dengan keris terhunus, Mada berada dalam keadaan siap tempur.

Senopati Jabung Krewes menghela napas panjang.

Tak salah sedikit pun suara hatinya yang tertangkap. Ada sinar mencorong dari tubuh Mada.

Sinar keras, yang menandai jiwanya, kemauannya yang tak terbendung.

Dengan satu entakan keras, tubuh Mada seakan menghantam Pangeran Hiang! depan. Benar-benar menghantamkan diri, karena tubuh Mada menubruk keras begitu saja dari arah

Bahwa Mada memilih Pangeran Hiang, bisa dimengerti. Karena Gemuka maupun Kiai Sambartaka tengah melayani bayangan tubuh Upasara Wulung yang memecah diri. Dengan menggabung ke arah Eyang Puspamurti, Mada melipatkan serangan perlawanan.

Pangeran Hiang hanya berdeham kecil. Tubuhnya berputar, dan pakaiannya yang gedombrangan mengembang. Kesiuran anginnya sangat keras menyampok Eyang Puspamurti maupun Mada. Eyang Puspamurti yang tengah merebut kipas jadi urung. Tubuhnya bergoyang, mengibaskan datangnya serangan. Berbeda dengan Mada yang menubruk secara langsung.

Terkena entakan pakaian, Mada terbanting. Gedebuk!

Menimbulkan suara keras. “Bagus.”

Teriakan Eyang Puspamurti terdengar jelas. Agak mengherankan bagi yang tidak mengetahui. Tapi segera bisa diketahui. Bahwa jatuhnya Mada memang benar-benar terjatuh, semua jago silat bisa mengetahui. Karena benturan tenaga dalam Pangeran Hiang membatu bagai tembok keras.

Tetapi bahwa dengan terjatuh Mada masih mampu meraih ujung pakaian, dan kemudian tubuhnya melayang, itu termasuk luar biasa. Karena Mada memakai tenaga ngatut, tenaga yang mengikuti arah putaran, mengikuti kemauan tenaga Pangeran Hiang yang melontarkan.

Tubuh Mada melayang.

Kedua tangan dan kedua kakinya terentang seolah hilang keseimbangan. Padahal justru ketika itulah Mada membuat dirinya kosong, membebaskan pengaruh entakan Pangeran Hiang.

Pada tarikan napas berikutnya, Mada mampu menguasai diri, dan bisa mengarahkan perlawanan.

Ketika itulah Pangeran Hiang mengembangkan kipasnya, dengan gerakan keras membabat.

Eyang Puspamurti yang bersiap sedia pun terbalik tubuhnya, seperti kena gebah. Napasnya terengah-engah, antara menahan dan mengikuti gempuran Pangeran Hiang.

Menahan tapi dadanya terasa sesak dan panas, mengikuti itu berarti terlempar ke luar pendapa.

Dan saat itu jika Mada kembali menyerang, tubuhnya akan mengalami nasib yang sama. Mengetahui situasi yang tidak menguntungkan, di mana Pangeran Hiang seakan bisa membaca gerakan Mada, Kwowogen yang lebih dulu bergerak maju.

Memapak serangan!

Ngeli Tanpa Keli

KWOWOGEN bukannya tidak menyadari bahaya dengan menerjunkan diri, langsung memapak serangan Pangeran Hiang. Bahwa dengan beberapa gebrakan saja Pangeran Hiang mampu membuat Eyang Puspamurti jungkir-balik, Kwowogen sadar bahwa dirinya tak akan bisa bertahan lebih dari lima jurus.

Akan tetapi, pertimbangan itu tak muncul dalam dirinya mengingat Mada bisa berada dalam keadaan yang lebih berbahaya.

Karena Mada terbebas dari tekanan pertama, begitu bisa membebaskan diri pasti akan menggempur.

Nyatanya begitu.

Meskipun berbeda arahnya.

Tubuh Mada tidak mengarah kembali ke Pangeran Hiang, melainkan ke arah Ratu Ayu yang dengan perkasa bisa menyudutkan Ki Dalang Memeling.

Gerakan yang tidak indah, tapi penuh mengandung tenaga besar.

Ki Dalang Memeling merasa tertolong jiwanya dengan datangnya Mada. Karena Ratu Ayu terpaksa menarik kembali loncatannya yang sudah mengepung total wilayah pertarungan dengan Ki Dalang.

“Ikut arus tidak berarti hanyut.” Yang mengeluarkan suara adalah Halayudha. Di tengah kerepotan mencoba mendekati Gemuka, Halayudha masih bisa mengeluarkan pujian. Kalimat yang sama yang diucapkan Gendhuk Tri dalam hati.

Seperti diketahui saat itu Gendhuk Tri juga sedang merangsek Gemuka. Ketika Halayudha mendekati Gemuka yang memainkan Paser Bumi, Gendhuk Tri segera bisa membaca tenaga yang dipergunakan Halayudha.

Yaitu tidak dengan menyampok Paser Bumi yang bisa berbalik lagi, melainkan mengikuti getaran, menyatukan irama dengan tenaga dalamnya. Sehingga Paser Bumi tidak mengenainya, juga tidak bakal mengenai orang lain.

Ini berintikan tenaga air.

Gendhuk Tri sangat cepat memahami karena ilmu yang berasal dari Kitab Air memang mengajarkan itu. Bahwa Halayudha mampu lebih dulu memecahkan perlawanan Paser Bumi dengan gerakan air, karena Halayudha juga mempelajari secara mendalam.

Yang di luar dugaan adalah Mada.

Yang ternyata juga menggunakan tenaga air.

Gerakannya menunjukkan bahwa Mada mampu mempraktekkan putaran tenaga dalam yang disebut ngeli tanpa keli atau menghanyut tanpa berarti terseret arus.

Seperti halnya semua ilmu silat, inti utamanya adalah pengerahan dan pengaturan tenaga dalam. Hanya pada ajaran Kitab Air yang lebih mendasar adalah menyeimbangkan antara kekuatan yang menyerang dengan kekuatan yang dimiliki. Semakin keras dan kuat serbuan lawan, semakin dibutuhkan kemampuan untuk menahan. Dalam menahan diri ini, sebisanya menggunakan tenaga lawan.

Dalam artian wadak, Kitab Air mengajarkan bahwa kalau tak kuat melawan arus, lebih baik mengikuti ke mana arus itu membawa. Menghanyut. Membiarkan diri hanyut tanpa kehilangan penguasaan diri.

Tinggal menunggu saat yang tepat untuk melawan arus.

Kalau itu dilakukan oleh Gendhuk Tri, atau Halayudha, atau Pendeta dari Syangka, bukan sesuatu yang mencengangkan. Akan tetapi bahwa Mada bisa melakukan dengan baik, itu perlu pujian tersendiri. Apalagi dalam gebrakan yang pertama tadi, ketika melabrak Pangeran Hiang, Mada seperti memperlihatkan penguasaan tenaga keras.

Dan dalam satu kebutan, mampu mengubah menjadi tenaga yang lembut, yang menahan diri, dengan mengikuti dan memakai tenaga lawan.

Kalau Gendhuk Tri dan Halayudha sedikit bertanya dalam hati dan memuji, itu bisa dimengerti.

Akan tetapi bagi Eyang Puspamurti, itu bukan sesuatu yang luar biasa.

Karena Mada dan Kwowogen tidak mempelajari dari awal. Tidak melalui Kitab Bumi lebih dulu, melainkan langsung diajari dari Kidung Pamungkas. Yang mengajarkan dasar-dasar yang sama meskipun tidak secara langsung.

Sehingga perubahan tenaga keras dan lembut bisa menjelma dengan sendirinya. Yang berada dalam bahaya justru Kwowogen.

Kipas yang terbuka di tangan Pangeran Hiang justru seakan siap meratakan wajah Kwowogen.

Dalam arti sebenarnya.

Karena kipas sakti yang dimainkan dengan tenaga dalam itu sanggup meratakan bebatuan hingga licin. Apalagi wajah manusia yang terdiri atas darah dan daging serta tulang!

Kwowogen hanya bisa memutar tubuh, dengan membelakangi kipas. Sambil mengempos tenaga sekuatnya untuk meloncat balik.

Lagi-lagi gerakan yang sia-sia. Karena sebenarnya tidak perlu.

Kalau yang pertama tadi sebenarnya tidak perlu menyerbu ke arah Pangeran Hiang karena toh Mada tidak berada dalam bahaya, hal itu terulang kembali. Kali ini tak perlu menghindar.

Karena begitu kipas Pangeran Hiang bergerak, bayangan tubuh Upasara menebas masuk.

Tudingan Kangkam Galih langsung mengiris tengah kipas. Pangeran Hiang menutup kipas, dan dengan tenaga penuh menekuk pergelangan tangannya. Kipasnya yang tertutup membentur ke arah pergelangan tangan Upasara Wulung yang menggenggam pedang.

Hebat.

Dengan menggertak maju, Pangeran Hiang seperti memapak datangnya Kangkam Galih.

Sambil mencuri peluang kecil untuk mematahkan tangan Upasara Wulung.

Hebat.

Upasara Wulung menunjukkan dirinya lebih hebat. Karena serangan Pangeran Hiang yang selintas seperti menemui sasaran itu seakan-akan mengenai angin.

Jelas-jelas kipasnya bisa menotok tangan Upasara Wulung. Tapi jelas-jelas tak ada apa-apanya.

Justru karena Upasara Wulung seakan belum bergerak dari tempatnya semula! Pangeran Hiang seperti melawan bayangan!

Upasara Wulung masih berada di tempat semula. Bayangannya masih menggempur Kiai Sambartaka, masih menghadapi Gemuka, dan kini sekaligus menghadapi Pangeran Hiang.

Tak kurang dari Gemuka untuk pertama kalinya mengeluarkan suara pujian. “Raja Tanah Jawa, kamu punya ksatria sakti.

“Aku suka.”

Dengan mengeluarkan teriakan pujian, Gemuka sekaligus juga menunjukkan keunggulan dirinya. Karena walaupun dikeroyok bersama oleh Gendhuk Tri dan Halayudha, masih bisa memperhatikan yang lain.

Berada di pinggir pendapa, Jabung Krewes segera bisa melihat bahwa dalam sekejap bisa dibedakan mana yang unggulan utama dan mana yang menentukan.

Dalam pertarungan yang terjadi sekarang ini, tampak jelas Gemuka sejak pemunculan pertama seakan tak tertandingi. Selalu menunjukkan diri satu tingkat di atas yang lain. Bahkan Halayudha dan Gendhuk Tri belum bisa menyentuh tubuhnya.

Baru kemudian dengan pemunculan Upasara Wulung, keadaannya berimbang. Upasara Wulung mampu memecah dirinya dalam berbagai tempat pertarungan!

Dari sisi lain, Jabung Krewes bisa memperhitungkan bahwa Gemuka dan Upasara Wulung boleh dikatakan seimbang keunggulannya. Sulit dipastikan siapa yang bakal keluar sebagai pemenang.

Itu pun pasti melalui pertarungan yang sangat ketat.

Yang sedikit merisaukan Jabung Krewes adalah kenyataan bahwa lawan memiliki tokoh-tokoh yang kelewat tangguh. Dilihat selintas saja, Pangeran Hiang tak kalah sakti dibandingkan Gemuka. Bahkan pada beberapa bagian serangannya lebih berbahaya.

Di samping itu masih ada Kiai Sambartaka yang berselimutkan ular kobra sakti. Dan juga Ratu Ayu Azeri Baijani yang sangat telengas.

Boleh dikatakan rangkaian serbuan yang diperhitungkan secara teliti oleh Gemuka.

Sementara kalau diperhitungkan, dari pihak Keraton hanya diwakili Halayudha. Mahapatih sendiri sudah langsung turun ke gelanggang. Dibantu oleh tiga prajurit, Puspamurti, Mada, serta Kwowogen.

Ketiga pangeran yang ada tampak masih jauh untuk menandingi lawan.

Di antara para ksatria, yang tampak mampu mengimbangi hanyalah Gendhuk Tri. Karena Ki Dalang Memeling, meskipun berusaha sekuat tenaga dan bersedia mempertaruhkan nyawanya, masih tidak mampu bertahan. Nyai Demang juga masih bertahan di belakang.

Keunggulan pada pihaknya hanyalah jumlah prajurit yang banyak. Akan tetapi…

Jabung Krewes tak mau tenggelam dalam berbagai pertimbangan yang hanya mengulur waktu. Kepalanya menyapu seluruh pendapa.

“Para senopati semuanya, tanpa kecuali, Keraton sedang diserang raja seberang. Tak ada alasan kita menunggu satu per satu…”

Senopati Jabung Krewes mendului maju. Didampingi Senopati Yuyu. Diiringi prajurit dan senopati yang lain.

Telunjuk tangan kanan Senopati Jabung Krewes menuding ke arah Kiai Sambartaka. Serentak dengan itu, puluhan prajurit mengurung dan serentak pula menusukkan senjatanya. Pedang, keris, tombak, loncatan dengan teriakan bergema bersamaan.

Kini, perang total terjadi.

Kalarupa Kalawasa

GEBRAKAN para senopati terasa memanaskan suasana peperangan. Serta-merta terasakan sentakan yang memanas.

Akan tetapi, Nyai Demang justru menjadi kebat-kebit hatinya. Naluri dan perhitungannya mengisyaratkan bahwa terlibatnya para senopati justru lebih mengundang bahaya.

Di antara mereka yang sekarang bertarung, Nyai Demang boleh dikatakan berada di urutan paling bawah. Akan tetapi pengetahuannya yang luas, menempatkannya pada urutan terbalik.

Barangkali tidak terlalu berlebihan kalau disebutkan bahwa Nyai Demang-lah yang bisa membaca semua kekuatan lawan maupun kawan. Apalagi lawan utama yang berasal dari negeri Tartar, boleh jadi dasar-dasarnya sangat dikenali.

Perhitungannya sebenarnya sangat sederhana. Dengan merangseknya para senopati, pihak lawan terpaksa mengerahkan seluruh kemampuannya. Dan jika ini terjadi, bisa lebih berbahaya mengingat sekarang ini pun sudah terasakan berat sebelah.

Memang itu yang terjadi.

Kalau tadinya Pangeran Hiang masih kelihatan ragu, kini menggertak maju. Tubuhnya berputar, dua kepang rambutnya menyampok kiri-kanan, dan tangan kanannya terulur ke tengah udara.

Terdengar bunyi mendesing, seiring dengan melesatnya roda bergerigi yang sejak tadi hanya digenggam. Mendesing ke tengah udara, dan turun menyambar ke kiri-kanan.

Yang mengejutkan ialah bahwa roda bergerigi ini bergerak cepat, mengeluarkan desingan yang membingungkan. Satu roda bisa memecah diri menjadi dua, kemudian tiga, dan bergabung lagi. Gigi-gigi yang melingkari siap mematuk siapa pun.

Eyang Puspamurti dibuat jungkir-balik karenanya. Ia yang menjadi sasaran utama. Dua kali meloncat mundur, hanya membuatnya meringis.

Karena sebagian kulit kepala berikut rambutnya terkelupas. Kulit kepalanya terlihat bagai ditebas tandas oleh gigi roda.

Sepersekian rambut lebih tajam, bisa berarti tulang tengkorak Eyang Puspamurti yang

terkena.

“Awasi Kalarupa Kalawasa….”

Nyai Demang sepenuhnya berada di tengah pertarungan tanpa melawan siapa-siapa. Ia berdiri di tengah, mengawasi sekitar.

Apa yang dikatakan tidak sepenuhnya tepat dan disadari, akan tetapi Nyai Demang memang berusaha memusatkan seluruh kemampuan batinnya untuk menangkis kekuatan yang menyerang di sekelilingnya.

Dengan menyebut Kalarupa, Nyai Demang mengisyaratkan bahwa roda bergerigi yang dipergunakan Pangeran Hiang adalah berupa serangan raksasa kecil, yang dalam dunia pewayangan berupa senjata yang giginya sangat berbahaya. Dengan kata lain, Nyai Demang mengisyaratkan bahwa yang harus lebih diperhatikan adalah gerakan gigi, bukan desiran angin atau rodanya.

Inilah pemecahan yang diperoleh Nyai Demang. Untuk sementara.

Dengan menambahkan Kalawasa, Nyai Demang menitikberatkan bahwa serangan gigi roda atau taring roda ini sangat berbahaya. Kalawasa bisa berarti maut, bisa berarti kematian yang sangat cepat. Berarti sekali kena patuk taring, lawan pasti binasa!

Perhitungan yang jeli. Perhitungan yang tajam sekali.

Karena terbukti sebagian kulit kepala Eyang Puspamurti terkelupas. Perhitungan yang tepat.

Seperti tadi Nyai Demang menyebut panah Gemuka dengan sebutan Paser Bumi, di mana dengan segera Halayudha bisa menemukan jalan keluar untuk membebaskan diri. Yang segera terbaca dan diikuti oleh Gendhuk Tri.

Perhitungan yang jitu.

Akan tetapi tetap sebagai perhitungan belaka. Karena di dalam medan pertarungan, yang bakal keluar sebagai pemenang belum tentu seperti yang diperhitungkan di dalam kepala. Melainkan ditentukan para pelaku yang bertarung.

Karena kini Pangeran Hiang mulai menindih lawan-lawannya. Kipas di tangan kirinya lebih leluasa, karena lawan menjadi jeri dengan roda bergerigi. Empat putaran tubuh, membuat medan tempatnya bertarung menjadi longgar, karena tak ada yang mendekat.

Satu-satunya yang bisa menahan lajunya untuk sementara adalah bayangan Upasara Wulung, yang seolah memindahkan bayangan tubuhnya. Dengan gerak lambat seperti terlihat jelas, bayangan tubuh Upasara mengangsur maju. Pedang Galih menyabet, menangkis, membelah kipas, dan berusaha menepis sambaran roda.

Tapi lagi-lagi Pangeran Hiang mampu menghindar.

Lebih dari itu, ia mampu menarik bayangan tubuh Upasara Wulung lebih mendekat ke arahnya, dan pada saat itu kipasnya menetak pergelangan tangan Upasara Wulung.

Seperti gerakan sebelumnya. Dan mengenai!

Nyai Demang bisa melihat sendiri. Sungguh gawat.

Sungguh gawat akibatnya. Karena meskipun bayangan tubuh Upasara masih bisa terbagi ke empat tujuan yang berbeda, tampak sabetan dan pegangan pedangnya jadi melemah.

Yang paling bersorak ternyata Ratu Ayu.

Kembali ia memekikkan kata keras yang tak dimengerti. Tubuhnya meloncat, berubah menjadi warna-warni dan menerjang ke arah bayangan tubuh Upasara Wulung.

Hebat gerakannya. Gesit terkamannya.

Karena dengan Lompatan Jong, Ratu Ayu Azeri mengejar ke mana pun bayangan tubuh Upasara bergerak. Baik ketika ke arah Pangeran Hiang, ke arah Gemuka, maupun yang mengarah kepada Kiai Sambartaka.

Kalaupun secara wadak tubuh Upasara Wulung tetap berada di tempatnya, bayangan tubuhnya mulai dikejar. Dilingkungi, dikepung, dan diterkam.

Ki Dalang Memeling berusaha mencegat, akan tetapi justru terkena tendangan. Sebelum menyadari apa yang terjadi, tubuhnya terlempar tinggi ke tengah udara.

Gendhuk Tri yang menyambar ke udara untuk menyelamatkan diri Ki Dalang Memeling menjadi lebih runyam. Karena Gemuka mengeluarkan teriakan keras disertai tawa yang panjang.

“Mati satu!”

Terdengar teriakan mengerikan.

Satu tubuh berkelojotan di tengah udara, mencipratkan darah, sebelum ambruk di tengah pendapa. Darah segar mengaliri rambutnya yang panjang. Yang terdengar merayap adalah rintihannya.

Nyai Demang gemetar bibirnya. Tak percaya apa yang dilihatnya.

Tak bisa menahan getaran hatinya. Sehingga tubuhnya bergoyang-goyang. Untuk beberapa saat pertarungan terhenti.

Berbeda dengan saat gajah Raja yang terjatuh atau ketika Permaisuri Praba terkena Paser Bumi, kali ini mendadak seperti terhenti seketika.

Yang menyusul kemudian adalah bunyi denting kecil. Menggelinding di pendapa. Itu adalah tusuk konde milik Putri Koreyea yang dibawa Gendhuk Tri. Yang ketika ada serangan mendadak dari Gemuka yang memelintir habis tubuh Gendhuk Tri, terlempar dari simpanannya dalam setagen, pengikat kain.

Saking cepatnya putaran Gemuka. Benar-benar putaran maut.

Akan tetapi kalau diperhatikan benar-benar, yang merintih di tengah pendapa bukan Gendhuk Tri. Gendhuk Tri masih berdiri utuh, hanya seluruh kain, rambut, setagen, dan selendangnya letaknya tak beraturan.

Gendhuk Tri masih berdiri gagah, bahkan dalam keadaan melindungi Ki Dalang Memeling yang terbaring di sebelahnya.

Kedua pundaknya terangkat ke atas, kedua telapak tangannya mencengkeram bagai cakar garuda. Wajahnya keras, matanya menjadi sangat galak.

Sesungguhnya yang menyelamatkan Gendhuk Tri adalah cundhuk sanggul milik Putri Koreyea. Tanpa sengaja, ketika ia melayang tadi, kakinya sempat ditangkap Gemuka. Dan diputar terbalik dengan putaran bumi. Dengan tenaga yang penuh, tubuh Gendhuk Tri berputar keras bagai gasing.

Pada saat itulah cundhuk pemberian Putri Koreyea terjatuh. Yang sangat dikenali Gemuka. Juga oleh Pangeran Hiang.

Karena keduanya berhenti, seolah pertarungan terhenti.

Bahwa jiwanya tertolong karena pemberian Putri Koreyea, Gendhuk Tri sendiri menyadari sepenuhnya.

Ketika melihat Ki Dalang Memeling, yang adalah calon mertuanya, berada dalam bahaya, Gendhuk Tri tak memedulikan keselamatan dirinya. Ia langsung menjejakkan kakinya melayang. Tak tahunya Gemuka yang dihadapi jauh lebih sebat, jauh lebih gesit, dan bisa bergerak cepat sekali. Sekali raup, dua kaki Gendhuk Tri bisa ditangkap dan diputar!

Itu sebabnya Gemuka berteriak “mati satu”. Sebab, siapa pun lawan yang terpegang dalam kedudukan seperti itu, ibarat kata nyawa pun sudah berada di ujung bibir. Kalau Gemuka membanting ke tanah, bisa-bisa tubuh Gendhuk Tri berputar menembus tanah pendapa. Yang berarti semua tulang tubuhnya akan remuk melingkari lantai pendapa.

Ini makin cepat lagi, karena Gendhuk Tri tak kuasa melawan. Ketika kakinya terpegang, secara spontan reaksi tenaga dalam Gendhuk Tri adalah melawan, menahan. Akan tetapi segera disadari tak mampu. Dirinya bisa muntah darah kalau menahan.

Perpisahan Tanpa Asmara

SEHINGGA satu-satunya jalan bagi Gendhuk Tri hanyalah mengikuti arah putaran tenaga Gemuka. Dengan mempergunakan tenaga air yang mengikuti tenaga lawan.

Namun kemudian disesali. Karena cara ini justru akan mempercepat kematiannya! Satu pelajaran yang kelewat mahal.

Satu perhitungan yang keliru.

Dengan ngeli tanpa keli, menghanyut tanpa terbawa arus, Gendhuk Tri beberapa kali berhasil menyelamatkan diri. Namun kali ini perhitungannya keliru.

Karena ternyata Gemuka mempunyai tenaga dalam yang sangat dahsyat. Sedemikian kuatnya sehingga ketika ngeli pun hanyut terbawa arus.

Itu sebabnya putarannya makin kencang.

Gendhuk Tri menyadari kekeliruannya, akan tetapi tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan memejamkan mata untuk menerima kematian pun rasanya sudah terlambat.

Hanya karena Gemuka kaget, dan secara sengaja tenaga putarannya dihentikan, Gendhuk Tri bisa selamat. Bisa melayang turun, di sebelah Ki Dalang Memeling.

Sebagai ksatria sejati, langsung sudah bersiap untuk kembali bertarung.

Pangeran Hiang menunduk maju. Tangannya gemetar mengambil cundhuk milik Putri Koreyea yang terletak di samping tubuh Ratu Ayu yang tangannya masih meraba-raba seolah mencari pegangan. Memang yang menjerit dan rebah itu adalah Ratu Ayu.

Itu sesungguhnya yang membuat Nyai Demang tak bisa menahan getaran tubuhnya. Karena tidak menyangka.

Tidak menyangka bahwa Upasara Wulung bisa berbuat seperti itu.

Nyai Demang sepenuhnya bisa mengerti bahwa dalam pertarungan ketat dan mati-hidup ini, sedikit kesalahan saja bisa mengakibatkan kematian atau kekalahan yang mengerikan. Hal yang bisa terjadi juga pada Gendhuk Tri saat dibebaskan dari putaran Gemuka tadi. 

Demikian juga halnya dengan Ratu Ayu.

Ketika dengan nekat dan berani Ratu Ayu berloncatan mengejar bayangan tubuh Upasara Wulung, tak terhindarkan kemungkinan salah satu bisa celaka.

Dan Ratu Ayu yang menderita.

Nyai Demang tak menyangka bahwa Upasara bakal melukai Ratu Ayu.

Kalaupun tadi sudah melihat tanda dan gejala bahwa Upasara Wulung bisa bersikap tenang dan biasa sekali menghadapi Ratu Ayu; ternyata sikap itu tetap sama ketika Ratu Ayu terjerembap ke lantai pendapa.

Upasara tetap tegak di tempatnya semula.

Dengan tangan kanan terbuka, memegang Kangkam Galih yang ujungnya berwarna merah. Bagaimana perubahan sikap Upasara Wulung memang tak terpahami oleh Nyai Demang.

Hanya Upasara dan Ratu Ayu sendiri yang mengetahui, yang merasakan betapa getirnya saat-saat di mana Ratu Ayu menggugat Upasara Wulung.

Semua terjadi sebelum “pesta pertarungan” terjadi. Di mana dengan suara lantang Ratu Ayu menuding dan meneriaki Upasara dalam nada tinggi melengking.

“Apakah kewajibanmu sebagai Raja Turkana kamu penuhi? “Sedikit pun tidak.

“Tapi aku tak menuntut. Tak mempertanyakan. Tak meminta.

“Apa saja bisa kamu lakukan. Aku tak pernah mengurangi, menghalangimu. Kuabdikan diriku untukmu.

“Tahukah kamu, Upasara?”

Suara Ratu Ayu berdering, mengulangi, makin tinggi nadanya. “Kamu keliru, Ratu Ayu. “Aku adalah Upasara Wulung, bukan Raja Turkana.

“Tak ada kewajibanmu. Tak ada kewajibanku.

“Tak ada pengabdian. Tak ada penilaian siapa memberati siapa.”

“Itu yang kamu teriakkan, setelah seluruh jagat mengetahui aku, Ratu Ayu Bawah Langit, menjadi permaisurimu?

“Betapa dungu, betapa jahat, betapa gilanya kaum lelaki yang tak tahu tata krama sedikit pun.” “Aku bukan Raja Turkana.

“Sebab itu semua tuduhan tidak berlaku, Ratu Ayu.” “Begitu mudahkah kamu memutuskan asmara kita?” “Asmara itu tak pernah ada.

“Tidak akan pernah ada.

“Ratu Ayu, kamu menipu dirimu sendiri dengan ilmu ayu yang kamu miliki. Seolah kamu masih tetap yang paling ayu.

“Tetapi bukan itu yang menyebabkan kita berpisah.

“Kita berpisah karena sesungguhnya kita tak pernah bertemu. “Itulah kenyataannya.”

Bagi Ratu Ayu penolakan Upasara Wulung adalah kehancuran semua impiannya, semua topeng yang selama ini dikenakan, semua kebanggaan dan keunggulan yang bersarang dalam jiwanya.

Sedemikian sempurnanya, sehingga Ratu Ayu menganggap itulah sesungguhnya yang terjadi. Sampai kemudian Upasara menelanjangi dirinya. Mengelupas kulit tubuhnya, membiarkan dirinya tanpa pelindung suatu apa.

Maka kalau Nyai Demang atau Gendhuk Tri kemudian melihat Ratu Ayu seolah bertambah tua, bertambah ganas, karena memang sesungguhnya begitu.

Karena kekuatan yang selama ini dipertahankan mulai goyah.

Karena sebenarnya ini tak berbeda jauh dari apa yang dialami Eyang Kebo Berune. Yang mampu mempertahankan diri dari kematian, akan tetapi secara tiba-tiba di saat terakhir tubuhnya membusuk dan mencair. Tak juga berbeda jauh dari apa yang dialami oleh Eyang Puspamurti. Yang mendadak seolah berubah menjadi sangat tua.

Yang berbeda adalah penerimaan masing-masing.

Kebo Berune berusaha mempertahankan mati-matian, sehingga menumpang hidup pada Nyai Demang. Sementara Eyang Puspamurti menerima dengan kepasrahan, atau malah bahagia. Sedangkan Ratu Ayu menjadi murka dan bersekutu dengan Gemuka.

Pangeran Hiang memandang cundhuk di tangannya. “Adik Jagattri, apakah Putri Koreyea benar sudah tiada?” Suaranya terdengar memelas.

Gendhuk Tri mengangguk. Suasana menjadi hening.

Yang merasa mendapat kesempatan ialah Kiai Sambartaka!

Begitu pertarungan berhenti mendadak, Kiai Sambartaka yang paling lega. Karena tidak menghadapi lawan. Sejak tadi ia hanya direpotkan menghadapi bayangan Upasara Wulung. Seolah hanya menghadapi sepertiga Upasara Wulung.

Dan tak bisa menang!

Ini pengalaman kesekian dikalahkan Upasara Wulung. Dalam pertarungan habis-habisan yang lebih hebat dari sekarang ini, yaitu ketika terjadi pertarungan di Trowulan, Kiai Sambartaka juga mengalami kekalahan. Hanya karena kecurangannya ia bisa membebaskan diri.

Semenjak itu ia berusaha menyembunyikan diri, menyempurnakan ilmunya dengan cara apa saja. Baik dengan bergaul bersama pendeta Syangka, ataupun dengan Gemuka.

Itu semua karena dendam yang telah berakar dan setiap saat membakar. Sebagai pemimpin pendeta di tlatah Hindia, Kiai Sambartaka selalu terseok-seok dan kalah.

Kini adalah kesempatan besar.

Biar bagaimanapun, dirinya adalah jago kelas satu di negerinya. Tak mempunyai lawan. Akan sangat memalukan kalau dirinya pulang dengan tangan hampa, tanpa pernah membawa kemenangan.

Pada saat semua perhatian terpecah ke arah lain, Kiai Sambartaka bergerak. Cepat.

Sangat cepat.

Sangat cepat dan ganas. Seluruh persediaan ular kobra dalam tubuhnya memancar. Kedua tangannya terulur sempurna, dengan mengempos seluruh kekuatannya.

Hebat.

Sasaran yang dituju adalah Upasara Wulung.

Yang berada agak di depannya. Sehingga tak menyangka akan datangnya serangan mendadak seperti sekarang ini!

Sehingga terlambat membalas. Atau menghindar.

Karena siapa pun yang berada di pendapa, tak menyangka bahwa Kiai Sambartaka akan mengambil langkah yang begitu busuk.

Walaupun sebenarnya sudah diketahui bahwa kemungkinan itu bisa terjadi padanya.

Walau sebenarnya tak bisa dikatakan sepenuhnya busuk. Karena pertarungan masih terjadi.

Hanya mendadak saja terhenti.

Akan tetapi semua pertimbangan itu tak perlu bagi Kiai Sambartaka. Gemeretak dendam untuk menghancurkan dan mengalahkan ksatria lelananging jagat menjadi taruhan utama.

Sebab itulah tujuan utama datang ke tanah Jawa! Serangan mendadak seperti yang dilakukan dengan sepenuh kekuatan ini mampu membuat Eyang Sepuh yang moksa terlihat, dan terluka, hingga bibirnya mengalirkan darah.

Kalaupun Upasara Wulung lebih sakti, belum tentu bisa menghindar atau mengurangi akibatnya. Gendhuk Tri berada di tempat yang agak jauh. Nyai Demang tak akan menduga. Kalaupun menduga tak bisa berbuat apa-apa.

Perhitungan yang matang.

Gelombang Banjir Bandang

SESUNGGUHNYA tidak tepat benar kalau dikatakan bahwa seluruh pendapa tidak menduga.

Karena di sana ada Halayudha.

Meskipun kini secara resmi menduduki jabatan dan kepangkatan mahapatih, akan tetapi Halayudha tetap Halayudha. Tak berubah seujung rambut pun.

Sewaktu pertarungan terhenti mendadak, Halayudha sudah memasang kuda-kuda dan menghimpun seluruh tenaganya. Pada saat lawan lengah, Halayudha siap menghunjamkan pukulan bagian dari rangkaian Banjir Bandang Segara Asat. Rangkaian pukulan yang membawanya ke ambang maut.

Karena sifat ganas telengas pukulan ini adalah mengadu tenaga dalam sepenuhnya. Kalau Halayudha lebih unggul, tenaga lawan yang akan terisap menjadi miliknya. Akan tetapi jika kalah, hanya ada satu kemungkinan bagi Halayudha. Seluruh tenaga dalamnya akan musnah tersedot. Meskipun itu belum berarti terbetot menjadi tenaga dalam lawan. Kecuali kalau tenaga dalam lawan mempunyai sumber yang sama.

Pada saat itu Halayudha sebenarnya mengincar Gemuka.

Tokoh yang kelewat sakti dan mempunyai banyak senjata unggulan ini, dalam perhitungan Halayudha belum tentu lebih unggul di atasnya dalam soal mengadu tenaga dalam. Apalagi dalam keadaan tidak sepenuhnya siap.

Paling tidak ada beberapa bagian yang tak bisa dikerahkan sepenuhnya. Ini berarti keunggulan baginya.

Dan bisa dibayangkan kalau tujuh persepuluh tenaga dalam Gemuka bisa berpindah ke dalam dirinya. Sama dengan mempelajari sepanjang hidupnya!

Kalau ini terjadi, rasanya di jagat ini tak ada lagi yang akan mampu mengungguli tenaga dalamnya.

Itu perhitungan Halayudha yang segera dilaksanakan.

Hanya karena Kiai Sambartaka bergerak lebih dulu sepersekian kejap, tenaga pukulan Halayudha berbalik ke arah Kiai Sambartaka.

Kejadian yang berlangsung dalam sekejapan ini mempunyai makna yang dalam.

Pada satu pihak, para prajurit dan senopati Keraton mengakui bahwa sang mahapatih sangat berani dan cekatan luar biasa. Di saat semua masih tergugu, Halayudha sudah mampu bergerak keras.

Pada pihak lain, Kiai Sambartaka tak menduga sama sekali bahwa gempurannya yang sepenuh tenaga kepada Upasara Wulung akan menemui jegalan di tengah jalan. Karena ia lebih dulu melayangkan gempuran, ketahuan belangnya.

Pada pihak yang lain lagi, Halayudha tak menduga bahwa Kiai Sambartaka, Kiai Kiamat, yang harus dihadapi!

Semula ia akan membokong Gemuka. Kalau saja ia mengetahui Kiai Sambartaka berniat menggempur Upasara, Halayudha lebih suka meneriakkan keterkejutan. Karena yang diarah toh bukan dirinya. Dan yang sama pentingnya, Kiai Sambartaka juga mempunyai dasar pengerahan tenaga dalam yang sama. Mengingat Kiai Sambartaka juga mempelajari Kitab Air dari aliran Syangka.

Inilah hebat.

Semuanya berlangsung dalam sekelebat.

Siapa pun yang bergerak menggempur lebih dulu dan yang kemudian, dengan sendirinya akan berbenturan. Karena tenaga menerjang masing-masing akan menemukan gema dan benturan dari tenaga yang menghambur ke luar juga. Tak terhindarkan lagi.

Bagai gelombang badai, kedua tangan Halayudha mencengkeram ke depan, menabrak tubuh Kiai Sambartaka yang juga mengeram keras sekali bagai angin beliung. Kedua tangannya terbuka, menabrak dada Halayudha.

Terdengar benturan yang dahsyat. Tubuh Halayudha berputar, terpuntir keras, sempoyongan. Semua tenaganya terkuras habis, membentur tenaga dalam Kiai Sambartaka, sehingga lunglai tanpa tenaga lagi.

Demikian juga sebaliknya.

Tubuh Kiai Sambartaka melilit, bergoyangan, sementara sisa-sisa ular kobra dalam tubuhnya jatuh lemas bagai seutas tali tambang. Tak sempat berkelojotan lagi.

Dilihat sepintas, benturan yang dahsyat itu disebabkan karena keduanya memiliki tenaga dalam yang setakar. Sehingga tenaga keduanya terkuras habis.

Akan tetapi Halayudha memiliki simpanan yang lain. Mahapatih yang perkasa dan selalu giat berlatih dari berbagai ilmu ini memiliki keunggulan tersendiri.

Kalau dalam ajaran yang dipraktekkan kemudian oleh Ugrawe masih murni bersumber kepada Kitab Bumi, pada Halayudha mempunyai kembangan kematangan yang lain. Halayudha juga mempelajari Kitab Air, di samping beberapa cara melatih dari negeri Jepun maupun Cina.

Itulah sebabnya meskipun seluruh tenaganya terkuras, dalam seketika masih bisa mengerahkan tenaga simpanan yang berikutnya. Meskipun tinggal ampasnya, masih mengeluarkan bunyi kesiuran yang tajam.

Membabat ke arah Kiai Sambartaka.

Yang tak menyangka sama sekali. Kedua tangannya terangkat sia-sia. Karena gelombang tenaga Halayudha, gelombang tenaga banjir bandang yang menghancurkan, menyergap lebih dulu. Menghantam tepat di ulu hati.

Kiai Sambartaka mengeluarkan jerit kesakitan, berputar dan terdorong mundur ke luar pendapa!

Seluruh tubuhnya mengalirkan darah hitam berbau busuk.

Walaupun unggul, sebenarnya gempuran Halayudha tak sepenuhnya tepat. Karena kalau separuh atau sepertiga tenaga yang semula dimiliki masih ada, tubuh Kiai Sambartaka bakal remuk tak bisa dipisahkan mana tulang mana daging.

Dengan menggempur keras, Halayudha sendiri kehilangan keseimbangan, sehingga tubuhnya ngeloyor ke arah Kiai Sambartaka.

Gelombang dan daya sedot tenaga seperti ini bisa dimengerti dengan baik oleh Gendhuk Tri. Justru karena sepenuhnya menguasai Kitab Air, gelombang yang menyurut pun menyeret tubuh Halayudha! Ke arah sumber yang digempur, yaitu Kiai Sambartaka! Gerak gelombang ini bisa diumpamakan gelombang besar yang menyerbu pantai menghantam karang. Kekerasan tenaga yang demikian besar akan membalikkan, dan menyebabkan air surut kembali ke tengah laut. Ketika gelombang kedua menyapu, gelombang yang sama terseret kembali ke pantai atau karang.

Inilah nasib yang dialami Halayudha sekarang ini.

Tubuhnya, tenaga dalamnya, tak bisa dikuasai lagi. Sehingga seakan memasrahkan diri masuk ke dalam pelukan Kiai Sambartaka.

Yang meskipun seluruh lubang tubuhnya memancarkan bau amis darah berwarna hitam beracun, masih tetap bisa berdiri kukuh. Kedua tangannya mekar, mengeluarkan cengkeraman yang siap memeluk dan menubruk Halayudha.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar