Senopati Pamungkas Buku - II Jilid 36

 
Jilid 36

“Perebutan saudara tua, siapa yang sulung, menjadi pertarungan resmi. Pangeran Hiang yang datang dan menang.

“Saya bersedia menjadi istrinya.

“Ketika lamaran itu datang, saya belum menderita penyakit.

“Kini saya menderita, dan saya menjauhkan diri karena tak ingin menulari.” “Jadi, Putri baru…”

“Itu pertanyaan baru.”

“Baik, silakan Putri bertanya lebih dulu.” “Tidak, saya tidak akan bertanya.

“Dua pertanyaan sudah lebih dari cukup.” Gendhuk Tri mengangkat alisnya dalam gelap. Cahaya kecil sanggup menerangi wajahnya. “Baiklah, kalau Putri ingin membawa rahasia itu.

“Hanya saya bisa menebak, bahwa Putri masih segar bugar ketika dilamar. Ada kesengajaan Putri untuk mencelakakan Pangeran Hiang. Dengan menularkan penyakit, Putri akan bisa membunuh Pangeran Hiang.

“Saya tak bisa keliru dalam soal ini.” Tak ada jawaban.

Malah pertanyaan.

“Kenapa saya harus mendendam, Adik Jagattri?”

“Karena Putri adalah putri Keraton Koreyea. Yang mencintai keraton, bumi dan air Koreyea, seperti semua orang Koreyea, dan tidak mau menyerah kalah kepada keraton lain, apalagi kepada Keraton Cina. “Kidungan mencintai bumi dan air, kidungan tak mau mengalah, bukan hanya milik orang Koreyea. Sri Baginda Raja Kertanegara juga tak mau menyerah.

“Putri, bukankah itu hal yang wajar dan biasa-biasa saja?” “Adik Jagattri akan melakukan hal yang sama?”

“Saya bukan putri keraton. Tapi saya akan membunuh diri jika tidak mau dipersunting sebagai tanda menyerah. Oleh Pangeran Hiang sekalipun jika ia merasa sebagai pemenangnya.”

“Juga kalau misalnya Pangeran Upasara pemenangnya?” Sejenak Gendhuk Tri ragu.

“Ya,” jawabnya perlahan. “Kenapa?”

“Kidung bumi dan air selalu ditembangkan sejak nenek moyang.” “Adik Jagattri tidak suka kepada Pangeran Upasara?”

“Saya sangat menghormati. Saya mengenalnya sejak kanak-kanak. “Tetapi maaf, saya sudah berjanji kepada ksatria lain.”

“Ooo…”

“Kenapa Putri Koreyea jadi ragu?”

“Apakah Pangeran Upasara mengetahui hal ini?” “Ya, saya mengatakannya.”

“O…”

Gendhuk Tri baru mau mengulang ketika mendengar helaan napas berat. “Saya tak tahu, Adik Jagattri.

“Sebelumnya saya memang berniat membalas dendam kekalahan Koreyea. Menjadi pembela Keraton. Namun ketika saya melihat sorot matanya, melihat kecintaannya, melihat sikapnya yang luhur, saya merasa bersalah.

“Pangeran Hiang tidak bisa disalahkan.

“Tidak harus menanggung penderitaan yang saya tanggung. “Pertarungan batin saya membuat saya letih.

“Karena tidak mampu menjalankan tugas membalas dendam, saya memilih mati sendiri.” “Pertarungan batin antara membela Keraton dan memenangkan asmara?”

“Antara kebenaran.

“Apakah tindakan saya bisa dibenarkan jika mencelakai Pangeran?” “Bukankah sebelumnya tak ada keraguan?”

“Tidak.”

“Bukankah Putri Koreyea sengaja meracuni tubuh?” “Ya.”

“Racun macam apa?”

“Racun yang paling menjijikkan. Perbuatan yang paling hina.” “Saya tak bisa membayangkan apa itu.”

“Tidak akan pernah bisa.

“Saya sendiri yang mengalami. Saya yang menjalani semua ini. “Oooo…

“O, betapa mengerikan.

“Perbuatan paling hina yang paling dikutuk Dewa. Itu yang saya pilih.”

“Putri, bukankah Putri bisa membalas dendam dengan cara lain? Dengan meracuni makanan, minuman, menikam, membunuh, mencekik, memenggal kepalanya?”

“Adik Jagattri tak akan mengetahui.

“Ada cara mati hina dan cara mati ksatria.

“Dibunuh atau terbunuh oleh lawan adalah cara mati ksatria. “Saya ingin Pangeran Hiang mati dengan cara yang paling hina. Yang dikutuk Dewa. Mati dengan kehinaan yang tiada tara.”

Gendhuk Tri merinding. Semua bulu tubuhnya seakan berdiri. Keringatnya melembap. Sungguh tak dinyana tak diduga.

Pasangan yang kelihatan begitu bahagia, begitu saling memperhatikan, begitu saling membagi kasih dan sayang, saling membela diri, ternyata menyembunyikan niatan yang paling busuk.

Paling rendah. Paling hina.

Dikutuk Dewa. Tersembunyi tindakan keji.

Kutukan Baginda Koryo

GENDHUK TRI tak bisa membayangkan sama sekali, bahwa di balik kemesraan yang membuat iri itu tersembunyi dendam yang membakar, yang berakar sangat dalam. Menembus tanah yang paling bawah. Sedemikian beringas dan mengenaskan, sehingga cara yang dilakukan benar-benar menjijikkan.

Bahkan bagi pelakunya sendiri.

Putri Koreyea memang tidak menjelaskan bagaimana dendam Keraton Koreyea tidak sesederhana hanya karena dianggap saudara bungsu. Dendam seratus turunan itu telah berlangsung sejak Keraton Koreyea dikalahkan dan dikuasai Keraton Cina. Sehingga segala tata krama yang ada bersumber kepada Keraton Cina.

Mulai dari menulis, memilih huruf, memakai pakaian. Dan terutama perkembangan ilmu silat yang ada selalu bisa dikembalikan asalnya dari perguruan di Cina.

Perlawanan yang tak kunjung berhenti tidak menemukan hasilnya. Puncak kekalahan itu justru ketika Pangeran Hiang datang dan menaklukkan secara resmi.

Kalau tadinya hanya perlu menghaturkan upeti, kini Keraton Koreyea benar-benar diinjak dengan telapak kaki. Dikalahkan. Dan salah seorang putri utamanya diboyong ke Keraton Tartar.

Api neraka pun tak akan sepanas keinginan untuk membalas dendam. Tugas dan kewajiban itu jatuh ke pundak Putri Koreyea!

Itu sebabnya ia memilih cara yang paling rendah dan kotor. “Putri mencintai Pangeran Hiang?”

“Adik Jagattri, apakah kamu bisa menjawab jika menjadi saya sekarang ini?

“Apakah Adik Jagattri bisa membayangkan? Saya bukan terikat janji dengan seseorang seperti Adik, melainkan dengan nenek moyang seratus turunan!

“Bukan perbandingan yang gampang dimengerti. Padahal Adik sendiri bisa ragu, antara memilih Pangeran Upasara atau…”

“Maha Singanada….” “Bisakah Adik bayangkan?”

“Tidak begitu tepat, tapi saya bisa mengerti.” “Di mana pujaanmu?”

Gendhuk Tri menceritakan secara singkat pertemuan terakhir dengan Maha Singanada. Juga tindakan yang terpaksa dilakukan bersama Pangeran Anom ketika memotong kaki Singanada.

“Adik Jagattri.

“Kamulah wanita yang paling bahagia. Pastilah sukma yang menitis padamu sukma yang sepanjang jagat ini berbuat kebajikan.”

“Bahagia?”

“Tidakkah Adik merasakan?”

“Tidak,” jawaban Gendhuk Tri benar-benar menunjukkan kepolosan.

“Adik bisa berjalan di luar dinding Keraton. Bisa menemukan, mencari, dan memilih ksatria yang hebat serta gagah. Bisa berbuat sesuatu untuk pujaan hati.” “Kalau dari sisi itu, ya.”

“Adik memotong kaki demi kebaikan dan untuk menolong.” “Ya.”

“Saya?

“Apa yang saya lakukan?

“Melakukan daya asmara untuk membunuh dengan melumurkan kotoran kehinaan!” Terdengar pekik keras.

Penduduk yang rumahnya didiami sampai beranjak masuk. Gendhuk Tri menyuruh kembali keluar dengan tulus.

Dan kembali lagi, membiarkan Putri Koreyea terguguk. Tersedu.

Terisak. Tersengal.

“Saya harus melaksanakan Kutukan Chopatu!”

Gendhuk Tri menggeleng. Kata chopatu sama sekali tak dimengerti. Tetapi ia membayangkan sebagai kutukan Dewa Yang Mahabengis. Atau sejenis dengan itu.

Baru kemudian sadar bahwa dugaannya agak keliru. Setelah Putri Koreyea menjelaskan secara tidak langsung.

“Chogori adalah yang saya kenakan ini, baju di bagian atas yang membungkus, yang Adik katakan membuat saya kepanasan. Paji adalah yang untuk menutup kaki sampai ke atas ini. Sedangkan turumagi, yang lebih membuat saya sangat kepanasan karena membungkus semuanya dari luar.

“Adik Tri jangan tersinggung kalau saya katakan bahwa tata krama susila Keraton kami sangat tinggi. Tubuh manusia, apalagi wanita, tidak seperti Adik ini, dibiarkan terbuka.

“Maaf, Adik Tri.

“Tidak akan kuku saya dilihat oleh mata lain. “Tidak juga telapak kaki atau tengkuk saya.

“Akan tetapi ketiganya ini saya lepaskan, saya buka, saya hinakan tubuh saya, untuk menjalani kutukan!

“Kalau ada yang jatuh paling dalam di api penyiksaan, itu adalah saya!

“Putri Koreyea yang melakukan daya asmara dengan turunan Baginda Koryo, ayah saya!”

Kepala Gendhuk Tri bagai disambar halilintar, tubuhnya bagai diguncang ombak Laut Selatan. Matanya membelalak, mulutnya menganga, dan isi tubuhnya berhamburan.

Keningnya berdenyut keras.

Tamparan kewanitaan yang membuatnya muntah beberapa kali.

Penduduk yang berjaga di pintu heran. Kalau sebelumnya Putri Koreyea yang merintih, dan Gendhuk Tri segar bugar, kini malah berganti.

Gendhuk Tri yang terhuyung-huyung, menekuk tubuh di tanah, sementara Putri Koreyea yang meminta mereka tidak masuk.

Ganjil.

Tapi Gendhuk Tri merasakan lebih dari sekadar keganjilan. Isi perutnya masih bergolakan, mengeluarkan suara, buih dan mulutnya terasa pedih.

Perih.

Adalah di luar semua kemampuannya untuk menerima kenyataan yang diakui Putri Koreyea. Bahwa ia sengaja melakukan hubungan daya asmara dengan ayahnya sendiri, agar bisa menderita kutukan yang mengerikan.

Yang pada kesempatan berikutnya nanti akan ditularkan ke Pangeran Hiang, dengan melakukan hubungan asmara juga.

Benarkah jagat telah hancur-hancuran?

Gendhuk Tri masih meneriakkan suara keras, karena kini hanya angin yang bisa dimuntahkan.

Dendam seratus turunan yang membakar, memapas, dan terus-menerus melukai perasaan. Turunan Raja Koryo! Raja yang menguasai tlatah Koreyea hingga bisa disebutkan sebagai Keraton Koreyea sekarang ini. Raja Koryo ini pula yang berhasil mempersatukan seluruh tlatah dan mendirikan Keraton.

Sungguh biadab.

Sungguh tak bisa dimengerti bahwa Putri Koreyea dapat melakukan hal semacam itu.

Kalau tadinya Gendhuk Tri masih membawa nama bumi dan air sebagai kidungan pembelaan, cara yang dilakukan Putri Koreyea tetap membuatnya terenyak keras.

Gendhuk Tri masih memegangi perutnya ketika mencoba berdiri. Tangannya gemetar ketika mencoba menuding.

“Muntahan Adik Tri masih lebih mulia dari saya. “Itukah yang ingin Adik katakan?

“Ya.

“Ya, saya memang lebih rendah lagi dari itu semua. Pun di tanah Jawa ini, di mana rajanya berniat menikahi saudara seayah!

“Saya memang lebih baik mati dengan cara seperti ini. “Saya gagal.

“Saya telah menyebabkan ayah saya menjadi jahanam, tetapi saya tidak melakukan apa-apa kepada Pangeran Sang Hiang.

“Adakah di jagat ini yang lebih malang dari saya?”

Suaranya berlanjut dalam bahasa yang tak dimengerti Gendhuk Tri. Ini berlangsung lama. Sampai kelelahan sendiri.

Dan tertidur.

Gendhuk Tri tak bisa berkata apa-apa lagi. Tangannya menimbuni muntahan dengan tanah secara tidak teratur. Pikirannya masih kacau.

Antara mengutuk dan membenarkan tindakan Putri Koreyea. Antara mendengar dan mempercayai apa yang diceritakan. Antara membayangkan cerita yang kembali memualkan perutnya.

Bagaimana mungkin Putri Koreyea bisa melakukan itu secara sadar? Bagaimana mungkin ayahnya yang disebut keturunan Baginda Koryo mampu melakukan itu semua?

Bisa dimengerti kalau selama ini Putri Koreyea menyembunyikan. Karena kalaupun diungkapkan, tak akan mudah dipercaya. Bahkan Pangeran Hiang sendiri belum tentu mau menerima cerita ini.

Yang lebih membuat Gendhuk Tri tak mampu menguasai keseimbangan pikiran adalah, bagaimana kemudian Putri Koreyea akhirnya bisa menceritakan hal ini.

Pada orang lain.

Ketika sinar surya mulai terasakan semburatnya, barulah Gendhuk Tri menyadari bahwa tubuh Putri Koreyea telah dingin. Tak ada denyut kehidupan.

Barangkali ini jawabannya kenapa Putri Koreyea membuka diri. Gendhuk Tri berlutut.

Memohon kepada Dewa, agar nyawa Putri Koreyea mendapat pengampunan. Akan tetapi Gendhuk Tri sadar bahwa pemusatan pikirannya simpang siur tak menentu.

Pertemuan Turkana

SETELAH berusaha menenangkan diri beberapa saat, Gendhuk Tri menunggu sampai fajar betul- betul merekah.

Ada semacam kepercayaan bahwa waktu menjelang fajar belum tentu rela untuk keberangkatan nyawa. Tapi Gendhuk Tri lebih menyandarkan pada kemungkinan bahwa Putri Koreyea memang belum meninggal. Sebab sebelumnya juga bisa dalam keadaan seperti tidur dan mati sekaligus.

Bahkan malam harinya pun Gendhuk Tri masih menunggui.

Selepas fajar berikutnya, barulah Gendhuk Tri yakin bahwa Putri Koreyea benar-benar sudah meninggal dunia. Ia merasa bingung sejenak, akan diapakan mayat Putri Koreyea. Dikubur atau dibakar.

Akhirnya yang terakhir yang dipilih. Terutama setelah sehari-semalam, semua kulit di wajah Putri Koreyea mengelupas, mengeluarkan semacam bau anyir yang menusuk hidung. Gendhuk Tri tak mau meninggalkan risiko bagi penduduk setempat.

Makanya kemudian dibakar, berikut dipan kayu dan daun kelapa yang digunakan untuk duduk. Ia menyarankan untuk melabuh abunya di laut, dan berdoa mudah-mudahan abu itu bisa kembali ke negerinya.

Abu kemenangan.

Setidaknya bagi diri Putri Koreyea.

Kemenangan untuk pada akhirnya memilih mati tanpa menularkan penyakit kepada Pangeran Hiang. Sedikit-banyak perasaan ini menenteramkan Gendhuk Tri.

Yang merasa bahwa Putri Koreyea sengaja memilih jalan kematian. Kalau tidak, mestinya ia masih bisa bertahan untuk beberapa hari, atau beberapa waktu.

Meskipun ada dugaan yang lain, bahwa ketika membuka penderitaan batinnya, Putri Koreyea tak kuat menanggungnya. Sehingga meninggal secara ngenes, secara menyedihkan.

Tapi Gendhuk Tri tak mau terbelenggu pikiran itu.

Ia memberikan permata kepada penduduk. Dengan pesan agar kelebihan uang yang diperoleh bisalah untuk memperbaiki kehidupan. Jangan malah sebaliknya, karena tambahan harta seketika, seluruh kehidupan menjadi tidak keruan.

Setelah itu Gendhuk Tri menuju Keraton.

Sebenarnya tak ada tujuan yang pasti untuk ke Keraton. Makanya dalam perjalanan Gendhuk Tri tidak terburu-buru. Sengaja ia memasang telinga, kalau-kalau mendengar adanya seorang yang menderita sakit kaki.

Pikirannya masih belum lepas dari Maha Singanada. Ada semacam rasa penyesalan tak bisa merawat dengan baik.

Akan tetapi berita pertama yang didengar justru mengenai Ratu Ayu Bawah Langit, yang akan menghadiri puncak pesta kesembuhan Permaisuri Praba Raga Karana.

Gendhuk Tri tak begitu peduli, andai tidak ada sangkut-pautnya dengan Upasara Wulung. Karena sejauh yang didengar kini, kedatangan mereka berdua resmi sebagai Raja dan Ratu Turkana.

Raja menerima mereka berdua sebagai sesama penguasa tertinggi.

Gendhuk Tri setengah tidak percaya akan apa yang didengarnya. Akan tetapi ketika bertemu dengan Nyai Demang di alun-alun Keraton yang kini kembali dihias luar biasa, Gendhuk Tri baru percaya bahwa apa yang didengarnya bukan cerita burung.

“Jagattri…”

“Kenapa Mbakyu memanggil begitu?” Nyai Demang tersenyum.

“Rasanya sudah tidak pantas lagi memanggilmu Adik.

“Tubuhmu tumbuh luar biasa tinggi, mengalahkan siapa saja. Seolah ingin menjenguk gunung.”

Gendhuk Tri menceritakan pengalamannya, sejak perahu Siung Naga Bermahkota diledakkan dan dirinya terdampar. Hanya mengenai Putri Koreyea Gendhuk Tri menceritakan secara samar.

Nyai Demang menceritakan pengalaman yang kurang-lebih sama. Bahwa sejak menderita luka, ia tak tahu banyak perkembangan yang terjadi. Berkat pengobatan Tabib Tanca, ia bisa pulih kembali dan memutuskan kembali ke Perguruan Awan bersama Jaghana. Keduanya merasa itulah keputusan yang terbaik.

Jaghana menganggap bahwa apa yang dilakukan selama ini sudah cukup menjauhkan langkah- langkah yang dikehendaki Eyang Sepuh. Yaitu menelantarkan Perguruan Awan.

Maka ia memutuskan kembali.

Keinginannya tak tergoyahkan ketika menerima undangan Ratu Ayu.

“Paman Jaghana hanya menitipkan puja-puji dan pangestu, saling donga-dinonga, saling mendoakan dari jauh.

“Itu saja.

“Saya merasa ada sesuatu yang kurang menenteramkan di hati Paman Jaghana, akan tetapi Paman tidak menerangkan apa-apa. Bahkan Paman Jaghana tidak mau menemui Adimas Upasara lebih dulu.” Kalau dulu Gendhuk Tri merasa serr setiap kali Nyai Demang mengucapkan “adimas” yang namanya seperti berubah, sekarang meskipun masih ada getaran emosi tapi tak terlalu mengganggu.

“Apa yang dikatakan Kakang Upasara?” Nyai Demang terdiam sesaat.

“Adimas Upasara tidak mengatakan apa-apa.

“Ketika saya menanyakan apakah benar akan datang ke Keraton bersama Ratu Ayu, jawabannya hanya anggukan pendek. Saya merasa kurang enak dan juga salah menanyakan hal ini.

“Bukankah sangat wajar mereka datang berdua. Selama ini secara resmi mereka berdua adalah Raja dan Ratu Turkana. Kurang pada tempatnya saya menanyakan hal itu.

“Saya menyesal.”

“Mbakyu sampaikan apa yang dikatakan Paman Jaghana?” “Ya.

“Adimas Upasara hanya mengangguk pendek.”

Gendhuk Tri mengangguk pendek. Seperti mengikuti pikirannya yang membayangkan bagaimana kira-kira Upasara mengangguk.

“Ini agak aneh, Mbakyu.

“Bagaimanapun juga Kakang Upasara adalah pemimpin Perguruan Awan. Boleh saja Kakang itu Raja Turkana atau negeri mana saja. Boleh saja ia ksatria hebat, akan tetapi tetap pewaris utama Perguruan Awan, pilihan Eyang Sepuh. Tak seharusnya ia hanya mengangguk pendek saat pesan Paman Jaghana Mbakyu sampaikan.”

“Saya tak bisa mengatakan apa-apa.” Keduanya terdiam.

“Saya tak mau menduga yang tidak-tidak. Apakah ada kekuatan lain atau pengaruh tertentu. Adimas Upasara sudah dewasa. Sudah menguasai ilmu yang tinggi, sehingga sudah cukup bijaksana memutuskan apa yang akan dilakukan.”

“Dari mana datangnya Ratu Ayu?” “Saya tak sempat bertanya.

“Hanya selama ini ia berusaha memulihkan tenaga dalamnya, dan ketika mendengar kabar santer dirinya dituduh melarikan dua putri Permaisuri Rajapatni, Ratu Ayu datang ke Keraton untuk menjernihkan namanya.”

“Saat itu ketemu Kakang?” “Rasanya begitu.”

“Bagaimana keadaan Kakang sekarang ini?” Nyai Demang memandang haru.

“Jagattri, kamu ini bagaimana?

“Belum sebulan kamu selalu bersamanya. Apakah tiba-tiba berubah tangannya menjadi tiga atau telinganya tinggal satu?

“Jagattri, bukankah kamu yang bersama Adimas di saat terakhir? Saya justru ingin tahu apa yang terjadi selama bersamamu.”

Gendhuk Tri membuang jauh-jauh pikirannya. Nyai Demang menggenggam tangan Gendhuk Tri. “Ada sesuatu yang harus kita lepaskan.

“Masa lalu.

“Betapapun manis atau menyakitkan. “Ada sesuatu yang harus kita hadapi. “Masa sekarang.

“Betapapun manis atau menyakitkan. “Ada sesuatu yang akan kita jalani. “Masa depan.

“Betapapun manis atau menyakitkan.” Gendhuk Tri tersenyum. “Mbakyu jadi bijaksana.”

“Saya jadi tua,” suaranya sedikit getir. “Menjadi tua berarti menerima kenyataan seperti apa adanya. Kita berdua tak perlu saling menyembunyikan perasaan yang kita sendiri masing-masing sudah tahu.

“Sejak kita mengadakan perjalanan bersama Ratu Ayu dan Permaisuri Rajapatni, saya menemukan jawaban yang selama ini sebenarnya sudah tersedia.

“Kasunyatan, kenyataan. Belajar dari awal untuk mengerti dan menerima kenyataan. “Bagaimana dengan Pangeran Anom?”

“Kenapa Mbakyu tiba-tiba menanyakan hal itu kepada saya?” “Saya tahu Pangeran Anom menunggumu, mencarimu.” Gendhuk Tri menghela napas.

Sesak.

“Saya tak tahu harus bersikap bagaimana sebaiknya.” “Saya tahu kalau saya jadi kamu.

“Menemukan Maha Singanada.”

Suara Nyai Demang lirih, seakan berbisik. “Saya pernah mengalami usia sepertimu.” Mata Gendhuk Tri berkejap.

“Mbakyu akan datang ke Keraton?”

Persembahan Raja-Raja

NYAI DEMANG menjawab dengan anggukan, cepat sekali.

“Saya dengan sadar akan melihat puncak pesta di Keraton. Untuk melihat kebesaran Keraton, tempat kita mengabdikan diri. Keraton yang memberikan kebanggaan, memberikan naungan bagi kita.

“Saat sekarang ini Raja ingin mempersunting secara resmi Permaisuri Praba Raga Karana. Sekaligus menerima raja-raja dari seberang yang datang menunjukkan ketaatannya.

“Zaman yang pernah digariskan Sri Baginda Raja, yang tak sempat mengalami. “Sekarang kebesaran itu datang.

“Tidakkah kita ikut merasakan?”

“Itu sebabnya Mbakyu tidak segera ke Perguruan Awan?” “Ya, saya harus menerima kenyataan ini.

“Adik Jagattri, rasanya kita bisa datang bersama.” Gendhuk Tri menggeleng.

“Saya hanya akan menemui Kakang untuk mendoakan semoga bahagia, karena langkah saya masih jauh untuk bisa menikmati puncak pesta kenegaraan.”

“Siapa tahu Maha Singanada juga datang.”

“Kakang Singanada tak pernah tertarik dengan pesta semacam ini.”

“Akan tetapi kalau tahu kamu akan muncul, bukankah ia akan muncul juga?” Gendhuk Tri menatap ragu.

Kepalanya bisa menggeleng, bisa mengangguk.

Menggeleng, karena mengikuti jalan pikirannya yang mengatakan bahwa Maha Singanada selama ini sengaja menyembunyikan diri. Barangkali kakinya belum sembuh sempurna, barangkali karena memang enggan memunculkan diri.

Kalau tidak, pertarungan di Lodaya tepian Brantas sudah pasti akan membuatnya muncul. Rasanya tak ada ksatria yang tidak menampakkan diri pada saat segawat itu.

Tapi nyatanya Maha Singanada tidak tampak.

Mengangguk, karena mengikuti jalan pikirannya bahwa Maha Singanada tak akan melupakan dan meninggalkannya begitu saja. Meskipun tidak mengenal terlalu jauh seperti mengenal Upasara, Gendhuk Tri yakin sifat-sifat Singanada. Jangan kata janji yang telah diucapkan, bahkan hal lain yang kelihatan sepele bisa menjadi penting, kalau itu menyangkut apa yang telah dikatakan.

Juga tidak mungkin kalau Singanada sengaja menyembunyikan diri. Itu bukan sifatnya.

Dua pendapat yang bertentangan itulah yang membuat Gendhuk Tri ragu. Dan juga kuatir.

Kalau selama ini tak menampakkan diri, apa yang terjadi? Gendhuk Tri merasa letih.

Begitu banyak peristiwa yang menerkam perhatiannya dan menyusup dalam hatinya sejak berpisah dengan Maha Singanada. Baik pertemuannya dengan Pangeran Anom, maupun pemunculan kembali Upasara Wulung, sampai dengan pertemuan yang singkat namun sangat mengesankan dengan Putri Koreyea.

Semuanya adalah peristiwa yang, seakan, tidak selesai. Masih menggantung.

Itu yang menyebabkannya letih.

Gendhuk Tri menghapus keringat di jidatnya. “Mbakyu mau ke mana sekarang ini?” “Mengantarmu ke tempat Adimas.”

“Saya akan menemui, tapi rasanya bukan sekarang.” Nyai Demang merasakan nada yang getir.

Yang tak disembunyikan. Nyai Demang sepenuhnya bisa memahami. Itu sebabnya tak menyinggung lagi. Namun juga tak meninggalkan Gendhuk Tri seorang diri.

Kini dirinya juga merasa sendiri. Tak mempunyai teman erat, seperti dengan Jaghana, Gendhuk Tri, Galih Kaliki, Dewa Maut, dan Wilanda. Seperti dulu.

Maka Nyai Demang mengajak Gendhuk Tri beristirahat di tempatnya. Yang disediakan bagi para tamu ksatria yang diundang menghadiri pesta di Keraton.

Karena tak mempunyai pilihan lain, Gendhuk Tri mengiyakan. Setelah mendapat jawaban bahwa Nyai Demang tidak akan menceritakan kepada siapa pun, baik kepada Pangeran Anom maupun kepada Upasara.

Berada di perumahan yang disediakan khusus, Gendhuk Tri lebih banyak berdiam diri. Tidak banyak bergerak atau bercakap, juga tidak berlatih tenaga dalam.

“Jagattri, kamu merasa saya mengganggu kalau saya menemani?” “Kenapa Mbakyu jadi begitu sungkan?”

“Kita memang satu hati.

“Akan tetapi ada saatnya kita ingin menyendiri, tak mau berbagi pikiran kegelisahan.” “Mbakyu, bagi saya segalanya telah selesai.

“Saya tak akan merepotkan diri lagi dengan berbagai urusan. Saya ingin menikmati kehidupan dengan cara yang wajar. Kalau ada yang masih mengganjal, itu hanyalah karena menguatirkan Kakang Maha Singanada.”

“Dan saya?

“Saya telah lebih dulu selesai. Saya tak mencari apa-apa lagi. Segalanya telah berjalan sempurna. Kalaupun Halayudha sekarang menjabat pangkat mahapatih dan ilmunya berkembang pesat, saya tak menyimpan dendam apa-apa lagi.

“Memang kadang terpikir juga.

“Kenapakah saya ini masih seperti ini, ketika Adik Jagattri sendiri sudah bisa menemukan ilmu yang sejati, sudah menguasai Kitab Air. Ketika dengan satu loncatan yang hebat, Halayudha sudah menemukan sumber kekuatan sukma.

“Adik Jagattri pernah mendengar?

“Sekarang ini Halayudha sudah sampai pada tingkat memperdalam Ngrogoh Sukma Sejati, yang tidak saya bayangkan sebelumnya. Alangkah tololnya saya ini. Kidungan Paminggir, Kidungan Pamungkas, beberapa bagian Kidungan Para Raja bisa saya hafal, akan tetapi tetap saja begini.”

“Mbakyu menyesali?”

“Saya menyesali kebodohan saya, bukan nasib.

“Adik Jagattri mendengar tentang kekuatan sukma sejati?”

“Rasanya Kakang Upasara pernah menyebut tentang hal itu selama di pulau terpencil.” “Tidak tertarik?”

“Kalau dikatakan kehilangan semangat, barangkali sekarang ini pertama kali saya merasakan.” “Bagaimana kalau kita menjajal?”

Gendhuk Tri menggeleng.

“Saya bisa mencoba tetapi hasilnya tak akan ada.” Gendhuk Tri membungkam.

Nyai Demang menjauh. Meninggalkan.

Tidak sepenuhnya. Karena kemudian Gendhuk Tri mendengar kidungan yang berulang.

Ada hari, ada nyanyi Kenapa harus bersedih hati

Waktu bayi, temanmu adalah bidadari…

Kidungan pendek yang ditembangkan secara rengeng-rengeng, secara tersamar antara terdengar kata-katanya dan tidak, mengusik Gendhuk Tri.

Itulah kidungan yang selalu ditembangkan gurunya sekaligus pengasuhnya Jagaddhita. Entah kenapa dulu tembangan itu yang selalu dinyanyikan.

Seperti bagian yang belum selesai. Seperti menggambarkan kesendirian.

Kesan itu sangat kuat terasakan oleh Gendhuk Tri sekarang ini. Rasa sepinya seperti terusir. Menyingkir karena kelembutan Nyai Demang. Yang memang berusaha mendekatkan diri, berusaha menghiburnya. Berusaha menjadi sahabat, bagian dari sanak saudara.

Ada hari, ada nyanyi…

Ungkapan yang berusaha menggembirakan hati, karena berangkat dari kesendirian, dari kepedihan. Seperti yang terurai dari lirik berikutnya, “Kenapa harus bersedih hati, Waktu bayi, temanmu adalah bidadari? Dulu itu dirasakan Gendhuk Tri sebagai tembang yang khusus untuk dirinya. Karena merasa dirinya tak mempunyai siapa-siapa.

Tetapi bukan tidak mungkin tembang itu juga menggambarkan suasana hati gurunya.

Yang tak sempat diketahui. Karena pertemuannya yang pendek, karena ia belum mengetahui apa yang harus ditanyakan saat itu.

Baru sekarang perasaannya tergugah.

Terusik, merasa tak bisa membalas kebaikan guru yang merawatnya, mendidiknya, menghidupinya. Tidak juga hanya dengan memahami apa yang dirasakan.

Sudah barang tentu Gendhuk Tri tidak pernah setitik pun melupakan gurunya. Atau menyangsikan kasih sayangnya, meskipun sekarang ilmu silatnya sudah berkembang lain.

Akan tetapi itu tak pernah bisa terwujudkan.

Kebutaan hatinya menutupi keinginan berterima kasih.

Sungguh tepat kalau Nyai Demang menembangkan sekarang ini! Air mata Gendhuk Tri menetes.

Membasahi pangkuannya. Makin basah.

Suara Masa Lalu

GENDHUK TRI merasa sedikit lega. Curahan air mata menguras kegelisahannya, menyuntak dalam tetesan.

Dengan mata masih sembap, Gendhuk Tri beranjak dari kamarnya. Melangkah ke luar. Nyai Demang tersenyum di depan pintu.

“Terima kasih, Mbakyu….”

“Kamu masih ingat tembangan itu?”

Dua-duanya saling tersenyum, saling memandang akrab. Lebih dekat dari sebelumnya. Hanya sejenak, karena keduanya kemudian bengong. Memiringkan kepala ke arah datangnya suara. Suara kidungan!

Ada hari, ada nyanyi Kenapa harus bersedih hati

Waktu bayi, temanmu adalah bidadari

Ada hari, tanpa nada, tanpa irama Kenapa harus bertanya

Waktu bayi, temanmu menjadi bidadari Menjadi kupu-kupu

Berkalung tangkai daun singkong Membuat sungai

Ada hari, ada nyanyi Kenapa harus bersedih hati

Waktu bayi, temanmu adalah bidadari…

Mereka berdua bengong. Karena Gendhuk Tri menduga itu tadi suara Nyai Demang. Dan ternyata Nyai Demang juga menduga bahwa Gendhuk Tri yang menembangkan!

Itulah aneh.

Pandangan sekilas yang saling bentrok sudah berbicara banyak. Gendhuk Tri tak bisa menahan diri untuk tidak menjejak lantai dan terbang ke arah datangnya suara. Nyai Demang melakukan hal yang sama. Meskipun tubuhnya kalah gesit dan kalah cepat.

55

By admin • Dec 2nd, 2008 • Category: 1. Silat Jawa, AA - Senopati Pamungkas II

Suara itu berasal dari pondok yang berjarak tiga rumah dari tempat yang didiami Nyai Demang.Bukan dari tempat yang terlalu jauh, bukan dari penembang yang menyembunyikan diri.

Ternyata pula yang menembangkan adalah seorang lelaki yang punggungnya menghadap ke arah pintu, yang duduk bersila tak bergerak. Seakan tidak mendengar langkah kaki Nyai Demang maupun Gendhuk Tri.

Atau tengah tenggelam dalam tembangannya, karena mengulang lagi dari depan. Terutama tiga baris yang pertama, yang diulang kembali dua kali.

Baru kemudian terbatuk. Menoleh ke belakang.

Ki Dalang Memeling.

Gendhuk Tri tak nyana bahwa yang menembangkan adalah Ki Dalang Memeling! Pantas saja suaranya begitu enak didengar, begitu mengalun seperti meniti udara.

Bukan hal yang berlebihan kalau Gendhuk Tri menduga suara Nyai Demang. Dan sebaliknya! Tapi Ki Dalang?

Wajah tua yang berkerut. “Kenapa kamu menangis?”

Gendhuk Tri mendekat. Duduk di sebelahnya. Bersila. Nyai Demang sedikit di belakang. “Paman Dalang juga menangis.”

“Tidak. Ini hanya titik air masa lalu. “Suara masa lalu.

“Saya selalu mendengar kembali suara masa lalu kalau akan mendalang. Kalian akan menonton permainan wayang?”

Gendhuk Tri mengangguk. “Lebih dari itu, saya ingin Paman Dalang menembang. Seperti tadi. Rasanya saya pernah mendengar tembangan itu.”

“Sangat mungkin. Setiap kali akan mendalang, saya menembang itu. Di Gua Kencana, di Kedung Dawa, kalian pernah mendengarkan.”

Memang itulah pertama kalinya Gendhuk Tri dan Nyai Demang berkenalan dengan nama Ki Dalang Memeling. Lebih dari itu, bahkan dalam adegan mendalang, Ki Dalang seolah menyelipkan percakapan yang seolah ditujukan kepada mereka berdua.

Itu termasuk luar biasa.

Apalagi Ki Dalang bisa memainkan wayang dengan cara luar biasa. Membuat wayang keluar sendiri dari kotak, berada di tengah penonton. Atau melayang ke balik layar.

Namun…

“Paman Dalang, apakah tembangan itu merupakan tembangan wajib semua dalang sebelum manggung?”

“Saya tahu arah pertanyaan kalian.

“Sejak pertama saya melihat gerakanmu, saya mengenalmu. Saya mengajak bicara dengan kekuatan batin saya. Tetapi tak bunyi. Saya menembang, tapi kamu tak mendengar.

“Tetapi itu hanya soal waktu. “Sekarang kamu bisa mendengar.

“Begitu panjang waktu yang dilalui untuk menjadi masa lalu. Seakan baru saja terjadi beberapa kejap yang lalu. Selendangmu masih warna-warni. Tanganmu masih menari seperti ketika merangkai gagang daun singkong sebagai kalung.”

“Paman mengenal Bibi Jagaddhita?” “Nama bisa berubah.

“Tubuh bisa menjadi tua.

“Namun tembang masih selalu sama. Bibimu itu masih mendendangkan tembang dolanan itu?” “Masih.

“Dan selalu, setiap kali akan bertarung.”

Ki Dalang Memeling mengelus kepala Gendhuk Tri. Menyentuh pundak Nyai Demang. Terasa kegenitan dan kejailan ketika mengelus dan menyentuh, akan tetapi Nyai Demang menganggap sebagai sesuatu yang lumrah. Gaya seorang dalang memang dekat dengan kegenitan.

“Barangkali itu kebetulan belaka.

“Sewaktu saya masih kanak-kanak, saya mengenal si Bawuk. Kami bermain bersama, membuat sungai, membuat kalung, dan menyanyi.

“Saya tidak tahu apakah saya mencintainya, atau si Bawuk mencintai saya atau tidak. Kami masih terlalu kanak-kanak. Kami masih bermain bersama dengan telanjang.

“Kami membuat sungai dari air kencing. “Tak ada yang istimewa.

“Seperti semua kanak-kanak mengalami.

“Yang istimewa, karena itu satu-satunya masa lalu yang selalu terdengar, yang masih mengiang, dan tidak terlalu keliru kalau dikenang. Atau muncul dengan sendirinya.

“Si Bawuk mengikuti panggilan Keraton, menjadi penari, sebelum akhirnya diam-diam dilatih Mpu Raganata, pendeta yang tiada tandingannya.

“Saya mendengar kemudian dari mulut yang lain, dari telinga yang lain.

Barangkali si Bawuk adalah Jagaddhita. Barangkali juga yang lainnya. Terlalu banyak kemungkinan gadis lain menembangkan lagu dolanan yang menjadi milik semua anak.

“Saya mengenang dengan senang hati.

“Tanpa dendam, tanpa penyesalan, tanpa rasa ingin tahu.

“Berbeda dengan Senopati Agung Brahma yang mendengar masa lalu dengan gelisah.” Nyai Demang berdeham kecil.

“Apakah Paman Dalang tidak pernah bertemu lagi dengan Bibi Jagaddhita untuk meyakinkan apakah Bibi adalah si Bawuk yang ketika bermain bersama Paman membuat sungai?”

“Tidak.” “Kenapa tidak, Paman?” “Ya… tidak saja.”

Nyai Demang menjilat bibirnya.

Suara Ki Dalang Memeling terasa sedikit mengganjal.

“Paman, Paman Dalang mengetahui si Bawuk teman main masa kanak-kanak diambil untuk nyuwita, untuk mengabdi ke Keraton, sebagai penari atau pesinden.

“Apakah tidak ada keinginan Paman untuk juga mengabdi ke Keraton?” “Tidak.”

“Paman Dalang tidak ingin menjadi prajurit?” “Tidak.”

“Apa yang Paman lakukan?” “Saya menjadi dalang.”

Nyai Demang tertawa lebar.

Baru kemudian tangannya menutupi mulutnya. Kepalanya menggeleng. “Paman… Paman…

“Paman mengatakan suara masa lalu tak membuat gelisah. Tapi kenapa Paman mendustai diri? “Paman menjadi dalang bukan sejak kecil.

“Bahkan rasanya setelah cukup umur. Setelah menangkap kegelisahan dan tak bisa menghilangkan begitu saja. Paman berusaha menghilangkan ciri Paman.

“Berubah sebagai dalang.” “Sama sekali tidak.”

“Paman mempunyai dasar-dasar ilmu silat Kitab Bumi yang resmi menjadi ajaran Keraton. Bukan Kitab Bumi yang dipelajari sebelum menjadi ajaran resmi.

“Itu hanya mungkin kalau Paman Dalang dulunya prajurit, senopati Keraton Singasari.”

Dalang Meniup Sukma

KI DALANG MEMELING menyingkirkan anglo, tempat perapian, yang dupanya telah mati. Beberapa kali Ki Dalang mencoba meniup, akan tetapi tak ada sisa bara sabut di dalamnya.

Telapak tangannya membersihkan lantai kayu. Nyai Demang mengelus rambutnya.

Gendhuk Tri menahan keinginannya untuk bertanya. “Maaf, Paman Dalang…”

Suara Nyai Demang dipenuhi keharuan dan rasa bersalah. Ia sadar bahwa setiap kali membuka masa lalu seseorang, setiap kali pula ada bagian yang menyayat. Seakan ada luka lama yang kelihatannya telah kering terkoyak kembali.

Nyai Demang sendiri mengalami dalam hidupnya.

Nyai Demang bisa melihat jelas perbedaan antara Kitab Bumi yang menjadi ajaran resmi, dengan ketika masih dikenal sebagai Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Yang selintas seperti tak ada bedanya, kecuali penambahan Delapan Jurus Penolak Bumi.

Akan tetapi Nyai Demang termasuk salah satu dari yang sangat sedikit menekuni berbagai kitab. Kemampuan pujasastra dan penguasaan bahasa boleh dikatakan tidak ada tandingannya. Sehingga dengan jelas bisa membaca perbedaan antara Kitab Bumi sebelum dan sesudah dijadikan ajaran resmi Keraton.

Dan itulah yang dikatakan. Itulah yang mengena.

Gendhuk Tri sendiri bisa merasakan arah pertanyaan Nyai Demang. Kalau benar dulunya Paman Dalang adalah teman kanak-kanak si Bawuk yang kemudian menjadi penari Keraton, pastilah Paman Dalang ini juga melakukan hal yang sama.

Mengabdi ke Keraton.

Sebagai prajurit, atau bahkan sebagai senopati. Hal yang sangat wajar, sangat biasa-biasa saja. Akan tetapi Paman Dalang justru menolak anggapan itu.

Ini yang membuat Gendhuk Tri bertanya-tanya dalam hati.

Bertanya-tanya karena Ki Dalang Memeling seperti menunjukkan adanya pertentangan perasaan. Di satu pihak, mengatakan bahwa suara masa lampau tidak menimbulkan kegelisahan. Tetapi di lain pihak, ia menyembunyikan sesuatu.

Di satu pihak ia membuka diri menceritakan si Bawuk, akan tetapi di lain pihak kemudian menutup dengan jawaban serba tidak.

“Paman Dalang…”

“Nyai Demang, pandanganmu tajam. Sangat tajam. Belum pernah ada yang mengatakan itu pada saya. Tetapi Nyai keliru…”

“Paman Dalang, kenapa Paman memilih menjadi dalang?

“Karena Paman ingin menghidupkan kembali masa lalu. Mengangkat kembali, meniupkan sukma ke kulit kerbau untuk digerakkan menjadi hidup kembali.

“Mengembalikan ajaran masa lalu. “Kenapa Paman memilih itu?

“Jawabannya sangat jelas. Karena budaya wayang yang adiluhur, karena Paman ingin menghidupkan kembali apa yang Paman lakukan dengan Bibi Jagaddhita ketika masih bermain bersama. Membuat kalung dari tangkai daun singkong, membuat sungai dengan air kencing, ketika Paman mendalang di depan si Bawuk dengan rumput sebagai wayang.”

“Apakah Nyai termasuk yang menguasai ilmu Merogoh Sukma Sejati yang sekarang jadi bahan pembicaraan ramai itu?”

Pertanyaan Ki Dalang sekaligus menunjukkan pengakuan bahwa tebakan Nyai Demang sama sekali tidak meleset.

Gendhuk Tri melirik Nyai Demang dengan pandangan tajam. Bukan tidak mungkin, mengingat Nyai Demang pernah menyebut hal itu.

Nyai Demang meletakkan telapak tangannya di lantai.

“Saya tidak mendapat kesempatan mempelajari ilmu yang sedang kondang sekarang ini. Saya tidak mempunyai kemampuan seperti itu.

“Namun rasanya bukan sesuatu yang luar biasa, Paman.

“Sewaktu kecil saya juga mempunyai teman bermain. Saya juga membuat dan dibuatkan rangkaian kalung dari tangkai daun singkong. Membuat sungai dengan air kencing, dan anak laki-laki selalu bisa membuat lebih bagus. Membuat ulat dari tangkai daun pepaya yang ditumpuk dari bagian atas. Membuat kupu-kupu dari daun jati kering.

“Menganyam rumput, membentuk tokoh wayang dan memainkan.

“Seperti yang Paman katakan, semua anak bermain dengan cara yang sama. Barangkali hanya Adik Jagattri ini yang tak sempat, karena masa kanak-kanaknya dihabiskan dalam pertarungan.

“Kami semua mengalami masa yang sama dengan Paman.

“Hanya bedanya, Paman mempunyai kenangan yang manis. Hanya bedanya Paman bisa terus memainkan wayang dengan sangat baik.

“Sangat baik setelah Paman tidak lagi menjadi senopati.” “Senopati?”

“Dengan kekuatan dan kemampuan Paman yang begitu hebat, apakah mungkin Paman berhenti sebagai prajurit biasa-biasa saja? Dengan penguasaan ilmu silat itu saja akan menempatkan jabatan yang tinggi. Apalagi di saat Sri Baginda Raja, kesempatan untuk itu sangat terbuka lebar.”

“Tidak, tidak. “Kamu keliru, Nyai.

“Saya bukan senopati, bukan prajurit. Tak ada yang pernah mendengar nama saya.” Gendhuk Tri mengangguk membenarkan.

Selama ini memang tak pernah terdengar nama atau ciri-ciri yang mengarah kepada Ki Dalang Memeling.

Tapi Nyai Demang melanjutkan, “Kalau Paman ingin bukti lain, saya akan mengutarakan.

“Kita kembali ke zaman kejayaan Keraton ketika Sri Baginda Raja mengatur langit dan bumi. Kebesaran yang tiada tara dengan peresmian ajaran ilmu silat, dengan niatan Sri Baginda Raja menguasai seluruh lautan dan gunung.

“Saat itu semua ksatria, semua senopati yang terbaik, yang disegani, yang mengabdi kepada Keraton, menyimpan kebanggaan untuk menyebarkan ajaran Sri Baginda Raja.

“Dengan cara diangkat sebagai senopati, dan dikirimkan ke tanah seberang.

“Hanya di zaman Sri Baginda Raja begitu banyak senopati yang tidak berawal dari pengabdian sebagai prajurit. Hanya di zaman Sri Baginda Raja terjadi begitu banyak pergeseran pangkat dan jabatan dalam tata pemerintahan Keraton.”

Gendhuk Tri mengakui kebenaran kata-kata Nyai Demang. Sepenuhnya.

Karena mahagurunya, Mpu Raganata, termasuk mahapatih sakti yang harus merelakan jabatan dan pangkatnya untuk diduduki orang lain. Yang menyebabkan Mpu Raganata mengembara dan melatih beberapa penari Keraton.

Termasuk Jagaddhita. Termasuk dirinya.

Makanya Gendhuk Tri mengangguk mantap. Hanya belum bisa menebak arah kalimat Nyai Demang. “Kalau ada sepuluh senopati, saat itu delapan di antaranya dikirim ke tanah seberang.

“Satu tetap berada di Keraton, dan satu menyingkir.”

“Kamu mau mengatakan saya termasuk yang menyingkir itu, Nyai?” “Tidak,” sekarang Nyai Demang yang menyebut dengan mantap. “Paman Dalang justru termasuk yang dikirim ke tanah seberang.”

“Saya tak pernah mengenal tanah lain selain tanah Jawa ini. Tak pernah melihat, tak pernah menyentuh.”

Nyai Demang menyembah.

“Sekali lagi saya minta maaf, Paman Dalang.

“Saya tidak bermaksud menyelam ke dalam masa lalu Paman yang sengaja disembunyikan. Tidak ingin mengaduk masa silam yang sepenuhnya menjadi rahasia Paman.

“Maaf, Paman Dalang.

“Hanya karena tadi Paman menceritakan Bibi Jagaddhita, menceritakan kehidupannya, kesimpulan itu terangkat dengan sendiri.

“Maaf, kami mohon maaf.”

“Nyai boleh meminta maaf karena keliru.”

Nyai Demang menarik udara keras. Hatinya menjadi geram. Pandangannya sedikit tajam ketika menatap Ki Dalang Memeling.

“Paman memaksa saya untuk mengatakan apa yang sekarang ini saya rasakan. Bahwa Paman sengaja menembangkan lagu dolanan anak-anak itu untuk menarik kami datang kemari. Akan tetapi begitu kami datang, Paman menutup diri.

“Kalaupun Paman Dalang dulunya senopati seberang yang kemudian menyembunyikan diri dan mengubah diri menjadi dalang, itu sepenuhnya urusan Paman pribadi.

“Tapi Paman tak bisa mengatakan saya keliru.” “Kenyataannya memang begitu.”

Gendhuk Tri sadar bahwa pembicaraan berkembang ke arah urat leher yang tertarik lebih kencang. Dan tak bisa ditarik kembali.

Karena suara Nyai Demang meninggi ketika berkata,

“Kenapa Paman Dalang menyebutkan nama Senopati Agung Brahma? Satu-satunya nama yang Paman katakan.”

“Karena Senopati Agung Brahma yang menyembunyikan diri sebab takut mendengar suara masa lalu. “Dan selalu begitu sebelum akhirnya dikirim ke seberang.”

“Kenapa bukan yang lainnya? “Puluhan senopati yang lain kembali ke Keraton. Dengan mengibarkan panji kemenangan, dengan menyimpan panji kekecewaan.

“Kenapa hanya Senopati Agung Brahma yang Paman Dalang sebutkan?

“Apakah bukan Paman Dalang yang menyebabkan Senopati Agung Brahma menyembunyikan diri selama ini?”

Pertemuan Balung Pisah

NYAI DEMANG merangkul Gendhuk Tri kencang. Mencium pipinya lekat sekali.

“Jagattri, Dewa Yang Maha murah telah mempertemukanmu dengan mertuamu. Biarlah saya mewakili keluargamu untuk menerima lamaran Ki Dalang Memeling.

“Paman Dalang, kenapa tidak melakukan sekarang ini?

“Agar Adik Jagattri bisa melakukan sungkem pangabekti untuk menghormati mertua? “Saya merasa kurang enak, sebagai besan bersikap kurang ajar seperti ini.”

Wajah Gendhuk Tri berubah.

Pandangannya menunduk ketika bentrok dengan sorot mata Ki Dalang Memeling. Apakah benar Ki Dalang ini ayah Upasara Wulung?

Bekas senopati seberang? Siapa lagi kalau bukan?

Benarkah? Sulit dipercaya.

Kata-kata Nyai Demang sangat tiba-tiba. Menyabet beberapa pengertian yang mempunyai makna sangat luas.

Pertama, menyebutkan dirinya sebagai wakil orangtua Gendhuk Tri, untuk menerima lamaran. Kedua, meminta dirinya untuk menghaturkan sembah pangabekti, sembah penghormatan sebagai menantu kepada mertua. Sehingga tidak menjadi kurang ajar karena selama ini hanya menyebutnya sebagai paman, dalam artian sebutan penghormatan untuk orang yang berusia lebih tua.

Meskipun nantinya tidak perlu mengubah panggilan Paman Dalang menjadi Bapa Dalang, akan tetapi nadanya berubah.

Gendhuk Tri gemetar.

Ia telah menyaksikan betapa ketika peti mati yang disangka berisi tulang Upasara dulu dicandikan, Ki Dalang Memeling yang paling sibuk. Paling prihatin. Terlibat dalam kegiatan emosi.

Apakah karena ia sudah mengetahui dan sudah merasa? Dari mana Nyai Demang tahu semua ini?

Betulkah dari kekuatan Merogoh Sukma Sejati?

Lamunan Gendhuk Tri buyar mendengar kalimat Ki Dalang. “Nyai Demang, sungguh tidak pantas Nyai datang kemari.

“Sayalah orangtua yang kurang ajar, yang tak tahu diri. Seharusnya saya yang datang kepada Nyai, untuk menyampaikan lamaran anak lelaki saya. Yang ingin mempersunting putrimu, untuk bersama- sama menunggu jatuhnya embun di waktu pagi, menunggu jatuhnya hujan di sore hari.

“Kalau Nyai tidak berkeberatan, merelakan putrinya hidup bersama anak lelaki saya, berbantal bumi berselimut langit, menempuh perjalanan bersama sebagaimana warisan dan ajaran leluhur, perkenankanlah hari ini saya melamar anak gadis Nyai.”

Kalau tidak dalam suasana seperti sekarang ini, Gendhuk Tri pasti sudah tertawa terbahak-bahak. Hati dan perasaannya menjadi sangat geli mendengarkan rangkaian kalimat Ki Dalang yang disampaikan dalam suasana begitu merunduk, dalam suara yang tak berbeda sedikit pun dengan mengidung.

Tetapi Gendhuk Tri tak mungkin tertawa. Tersenyum pun tidak.

Wajah Nyai Demang berubah sangat serius. Jari-jarinya gemetar mengelus kain di lututnya yang tertekuk.

Sungguh berbeda dengan ucapan sebelumnya. Yang masih disampaikan dengan nada gembira. Suara dan nada bicara Nyai Demang seakan berasal dari orang yang selama ini tak dikenal. “Kisanak, Ki Dalang Memeling yang terhormat.

“Saya mendengar semua ucapan Kisanak. Dewa menjadi saksi. Langit dan bumi menjadi saksi.

“Perkawinan adalah kesucian utama. Tata tentrem masyarakat, Keraton, bersendikan tata krama dalam persatuan suami-istri membentuk keluarga.

“Seperti tertulis dalam kitab, seperti ajaran leluhur dan tradisi yang mulia.

“Kami hanya meneruskan nilai-nilai adiluhur untuk keagungan masyarakat dan Keraton.

“Hanya perlu Kisanak ketahui, kami adalah keluarga yang tidak punya apa-apa. Langit yang memayungi kami, bukan milik kami. Bumi yang kami injak, bukan bumi kami. Nyawa yang ada dalam tubuh kami, bukan milik kami.

“Kami hidup hanya dengan raga, yang menumpang kepada kebaikan Dewa serta Raja.

“Apakah Kisanak tidak menyesal nantinya memilih anak gadis kami, yang tak bisa bersisir, tak bisa menanak nasi, tak bisa apa-apa karena sangat bodoh.

“Kisanak, sebelum Kisanak mengajukan lamaran, apakah tidak sebaiknya Kisanak melihat sekitar? Begitu banyak anak gadis yang memiliki kelebihan. Agar Kisanak tidak menyesal di belakang hari.”

“Nyai, sebaliknya dari itu. Jauh dari itu.

“Saya lelaki yang tidak memiliki apa-apa. Orangtua yang hanya tua. Tak lebih, malah bisa kurang.

“Saya melamar anak gadis Nyai, tidak untuk membahagiakan. Tetapi mengajak bersama hidup dalam kekurangan.

“Nyai, saya memberanikan diri melamar dengan tukon yang tiada artinya.”

Ki Dalang mencabut kerisnya, dengan hormat mengangsurkan dengan kedua tangan. Nyai Demang mengangguk, menerima dengan hormat.

“Kisanak, saya terima tukon, saya terima mahar ini, semoga menjadi bibit kawit mengabdi kepada Keraton, kepada keluarga. Bisa mengangkat derajat dan pangkat keluarga, bisa membahagiakan leluhur yang melahirkan.

“Kisanak, saya terima pemberian ini.” Nyai Demang memandang Gendhuk Tri.

“Jagattri, anakku, kamu telah mendengar sendiri.

“Ibumu mewakili orangtuamu menerima lamaran Kisanak Dalang Memeling. Hubungan kamu berdua telah terjalin lama dan telah saling bisa menerima.

“Hubungan ini tak ada halangannya.

“Tak ada yang menghambat, tak ada yang menghalangi. Semuanya berjalan dengan baik dan benar, sesuai ajaran kitab, sesuai petunjuk Dewa.

“Kami duduk sama-sama, berada di jagat sama-sama, tak perlu ada perhitungan pratiloma dan perhitungan anuloma, tak ada lembu yang dikoloh atau dikendalikan.

“Kita semua bersyukur karena bisa menemukan kembali balung yang selama ini telah terpisah. “Anakku, lakukanlah sembah bekti pada Rama Dalang, ramamu sendiri.”

Gendhuk Tri benar-benar tak bisa bernapas. Seluruh tubuhnya mandi keringat.

Ia seperti larut dalam suasana yang mengisapnya. Apa yang diucapkan Nyai Demang yang menyebutkan sebagai ibunya, sangat menggetarkan hatinya.

Selama ini Gendhuk Tri malang-melintang tanpa mengenal siapa ibunya. Dan kini, dalam suasana yang mistis, dirinya mempunyai ibu.

Itu yang membuat napasnya sesak.

Gendhuk Tri sadar apa yang terjadi. Mengetahui bahwa Nyai Demang dan Ki Dalang Memeling berusaha mendudukkan diri sebagai sesama, sebagai satu warna.

Sehingga tak perlu ada perhitungan dan pertimbangan pratiloma maupun pertimbangan anuloma. Bahkan lebih jauh lagi mengatakan mereka adalah keluarga yang sama, berasal dari balung yang sama.

Pratiloma bisa diartikan menyungsang, melawan arus. Dalam artian wadak pengertian itu ialah menyisir rambut dari bawah ke atas. Ini sesuatu yang tidak biasanya. Dalam artian yang lebih jauh, pratiloma dipakai untuk sebutan bila warna pihak perempuan lebih tinggi, kedudukan, asal-usul pangkat, dan derajatnya melebihi pihak lelaki. Perkawinan pratiloma tidak begitu dianjurkan, meskipun tidak dilarang. Namun ada semacam pengaman, agar perkawinan jenis ini tidak terjadi. Karena kalaupun terjadi hanya bisa diterima bila pihak keluarga perempuan menyetujuinya. Dalam keadaan seperti ini, pihak perempuan bisa diumpamakan lembu yang dikoloh, lembu yang dipasangi tali di hidungnya, sehingga bisa dituntun ke mana saja, atau menyerahkan diri kepada warna pihak suaminya.

Sedangkan anuloma tidak menjadi masalah besar. Karena dalam artian yang sebenarnya pun berarti menyisir rambut dari atas ke bawah, sebagaimana kelaziman yang berlaku. Kalaupun ada perbedaan warna, perbedaan kasta, anak keturunannya kelak akan mengikuti kasta ayahnya.

Dalam hal ini, Nyai Demang tidak memperhitungkan asal-usul Gendhuk Tri. Suatu permintaan yang sangat besar artinya.

Bukan karena Nyai Demang tidak mengetahui bahwa keturunan Ki Dalang Memeling kemungkinan besar lebih tinggi kastanya, akan tetapi menganggapnya sebagai balung, sebagai tulang dari kerangka sendiri, dari tubuh yang sama.

Yang kebetulan berpisah. Dan kini ditemukan kembali.

Kumpule balung pisah, artinya berkumpulnya kembali tulang terpisah, adalah istilah yang telah menjadi ucapan sehari-hari. Bukannya tanpa alasan, karena sesungguhnya mereka beranggapan bahwa semua berasal dari keturunan yang sama, kecuali raja. Semua masih dihubungkan sebagai sanak saudara, betapapun telah jauh hubungannya.

Ini juga tidak berlebihan untuk menggambarkan pertemuannya dengan Ki Dalang Memeling.

Sungkem Menantu

GENDHUK TRI beringsut maju.

Perlahan sekali. Dengan gemetar, wajahnya menunduk, menyembah lutut Ki Dalang Memeling yang tak bisa menahan air matanya.

“Anakku…”

Ketika Gendhuk Tri melakukan sembah yang sama kepada Nyai Demang, rangkulan dan tangis meledak bersamaan.

Sebagai bagian dari upacara, lamaran telah terjadi. Dengan menerima tukon, dan membalas sungkem, berarti Gendhuk Tri serta Nyai Demang telah menerima lamaran secara utuh. Mulai saat itu juga Gendhuk Tri diperlakukan sebagai istri.

Hak dan kewajibannya adalah hak dan kewajiban seorang istri, menantu Ki Dalang Memeling. Dan Ki Dalang bisa melarang apa yang akan dilakukan Gendhuk Tri melebihi Nyai Demang sendiri.

“Nyai Besan, terima kasih atas penerimaan ini….” “Paman Besan jangan merasa sungkan.

“Tata krama yang teramat sederhana tidaklah mengurangi arti sama sekali. Walaupun kita belum tahu di mana anakku Maha Singanada.”

Hidung Gendhuk Tri membeku. Lehernya seperti menebal dari dalam. Uratnya kaku.

Apakah ia tidak salah dengar?

Nyai Demang menyebutkan nama Maha Singanada. Bukan Upasara Wulung.

Gendhuk Tri terguncang bukan karena ia tidak menyukai atau tidak memilih Maha Singanada. Gendhuk Tri terguncang karena tadinya mengira bahwa Ki Dalang Memeling adalah ayahanda Upasara Wulung.

Dari mana Nyai Demang mengetahui hal itu?

Dalam soal ilmu silat di antara yang menghuni Perguruan Awan, Nyai Demang boleh dikatakan paling rendah tingkatannya. Akan tetapi dalam menangkap dan membaca peristiwa kehidupan orang, boleh dikatakan paling unggul.

Bukan kebetulan kalau sekarang ini bisa dipertemukan karena mereka sebenarnya masih mempunyai hubungan. Sekurangnya Ki Dalang Memeling mengenal Jagaddhita semasa kanak-kanak, dan kini putranya lelaki mendapatkan jodoh putri murid Jagaddhita. Boleh dikatakan mempertemukan balung yang selama ini tercerai.

Nyai Demang sedikit-banyak mengetahui, dan dengan pengalaman hidupnya bisa menyatukan sebagai bagian yang utuh. Meskipun selama ini tidak ada yang mengatakan secara terbuka.

Maha Singanada tidak pernah menceritakan asal-usulnya. Hanya sedikit yang diketahui bahwa ia kembali bersama rombongan yang dikirim ke tanah Campa, ke Keraton Caban, bersama rombongan yang mengantarkan Dyah Tapasi, putri Sri Baginda Raja.

Kalau mengingat usianya yang masih muda, sangat tidak mungkin sekali Maha Singanada sudah menjadi prajurit saat itu. Kemungkinan yang paling besar adalah ia ikut ke negeri seberang sewaktu masih kecil. Tapi itu juga tidak masuk akal.

Sepanjang yang diketahui, tak ada anak-anak yang ikut dikirim ke seberang.

Kemungkinan yang ada, salah seorang senopati ada yang membawa istrinya yang sedang hamil, atau Maha Singanada lahir di seberang. Itu yang masuk akal.

Kalau benar begitu, kemungkinan lebih lanjut bisa dirunut. Karena dalam rombongan ke Campa, hanya putri Keraton, Dyah Tapasi, serta para dayang satu-satunya rombongan wanita. Itu dugaan Nyai Demang.

Dugaan yang berikutnya tersusun ketika Nyai Demang sebagian mendengar sebagian mengetahui sendiri persengketaan antara Maha Singanada dan Senopati Agung Brahma.

Singanada yang bersikap ksatria hanya sekali menunjukkan perangai yang sulit ditebak. Langsung menantang Senopati Agung Brahma, dan permusuhan itu hanya diakhiri dengan kematian salah seorang.

Dari perkenalan dan pembicaraan tidak langsung dengan Pangeran Anom selama ini, Nyai Demang mengetahui rahasia hati Senopati Agung Brahma yang dulunya secara diam-diam tergayut asmara dengan Dyah Tapasi.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar