Senopati Pamungkas Buku - II Jilid 09

Jilid 09

Beberapa saat sebelumnya, dengan sangat jelas Halayudha mengajak Upasara dan Singanada bertarung menghadapi Manmathaba dan ketiga pembantunya. Bahkan sudah menggebrak. Lalu kemudian jadi berubah. Menawarkan perdamaian dengan cara yang tak merendahkan dirinya. Malah memberikan kesan gagah.

Kalau Upasara tak menangkap maksudnya, Singanada lebih lagi. Ia malah menjadi tidak mengerti harus bagaimana. Membela siapa dan melawan yang mana.

Dua ksatria yang perkasa itu memang bukan tandingan bagi Halayudha untuk siasat semacam ini.

Dengan sangat mudah, Halayudha bisa membalik sikapnya seperti membalik telapak tangannya sendiri.

Saat pertama, ia merasa perlu mengajak semua ksatria dan senopati berpihak ke arahnya karena ancaman Manmathaba. Saat berikutnya, ia menyadari bahwa ia bisa mengambil keuntungan lebih jika berada di antara keduanya. Dengan perhitungan, siapa pun yang bertarung akan habis-habisan, dan terlalu besar risikonya. Sementara hasil akhir juga tak terlalu menguntungkan bagi dirinya. Kalau kelompok ksatria yang menang, cepat atau lambat ia akan menghadapi mereka. Cukup membuat segan karena di situ ada Upasara Wulung. Kalau kelompok pendeta Syangka yang keluar sebagai pemenang, posisinya di Keraton juga akan turut terguncang.

Maka jalan keluar yang melesat dalam angannya ialah tidak keduanya, tapi bisa memperoleh semuanya. Dengan memakai titik permasalahan Permaisuri, Putra Mahkota, atau bahkan Baginda sendiri.

Maka nama itulah yang dibawa-bawa untuk mempengaruhi dan menahan. Dengan begitu posisinya tetap aman kalau nanti terjadi apa-apa, di samping ia telah berjasa menyelamatkan Permaisuri dan Putra Mahkota.

Halayudha bisa berbuat cepat karena di dalam batok kepalanya telah terkumpul latar belakang masing-masing kelompok.

Kelompok ksatria dengan mudah bisa dipermainkan mengenai kesetiaan dan pengabdian kepada raja dan Keraton. Kelompok pendeta Syangka jelas lebih suka menanamkan pengaruhnya daripada harus bertarung.

Maka pertanyaan Halayudha sangat tepat.

“Kalau memang menghendaki kebahagiaan dan ketenteraman Baginda, marilah kita lanjutkan upacara minum tuak. Bagi yang tidak suka akan perjamuan ini, atau mereka yang tersesat datang kemari, pintu masih tetap terbuka.

“Marilah kita isi sepenggal sisa rembulan ini dengan ketenteraman yang ada.” Pengaruh kata-kata Halayudha terasakan seketika.

Bahkan Senopati Agung memasukkan kembali keris ke sarungnya, yang segera diikuti oleh semua pengikutnya.

“Tunggu dulu!

“Aku tak mau pergi dari sini sebelum dua urusan selesai.” Singanada bertolak pinggang.

“Pertama, aku minta pemusnah racun untuk Gendhuk Tri. Yang kedua, aku akan membunuh Senopati Agung.”

Halayudha tersenyum tipis. “Aku juga.

“Aku tak mau pergi begitu saja sebelum ada Kidungan Pamungkas.” Kali ini Puspamurti melenggok ke depan.

“Anakmas ksatria gagah Maha Singanada, soal jampi pemusnah racun akan diberikan dengan sendirinya.

“Para pendeta ini selalu mengikuti Permaisuri Yang Mulia.

“Soal bunuh-membunuh karena masalah pribadi, kapan pun Anakmas bisa mencari dan menemui Senopati Agung Brahma. Beliau mempunyai nama besar, pangkat, dan kedudukan yang besar. Tak terlalu sulit mencarinya.

“Dan Mahamata Puspamurti, janji Yang Mulia Permaisuri belum pernah tak tertepati. Sekarang pun bisa diterima.”

Dengan cara yang halus, Halayudha memaksa Pendeta Manmathaba memberikan jampi pemusnah bubuk pagebluk, dan sekaligus memaksa Permaisuri memberikan kitab yang dikehendaki Puspamurti.

Cara penyelesaian yang terbaik.

Karena memakai nama besar Permaisuri Indreswari. Yang mau tidak mau harus dituruti.

Apalagi Permaisuri Indreswari mengangguk perlahan.

Pendeta Manmathaba mengedip, dan ketiga pendeta segera mengambil sesuatu dari balik lipatan kain yang membelit tubuhnya. Yang segera diangsurkan ke Maha Singanada.

“Aha, jadi mereka memang benar-benar busuk, berniat meracuni kita semua….” Itu suara Gendhuk Tri.

Yang dalam keadaan setengah sadar mengikuti jalannya pembicaraan. Tubuhnya lemas, duduk tersandar di tiang, akan tetapi sejak ditinggalkan Singanada, kekuatan tenaga dalam Gendhuk Tri berangsur pulih, meskipun masih sangat lemah.

Akan tetapi lidahnya masih tajam. Membuka tajam semua mata yang dikuasai pandangan Halayudha. Dengan sepotong kalimat itu, Gendhuk Tri berhasil mengubah pandangan mengenai Pendeta Manmathaba. Dari seseorang yang memberikan pertolongan menjadi seseorang yang mengakui meracuni!

Semua telinga bisa mendengar apa yang dikatakan Gendhuk Tri, dan menangkap maksud di balik kata-kata tuduhan tidak langsung.

Semua mata melihat sendiri bagaimana Pendeta Manmathaba menjadi beku wajahnya. Gendhuk Tri menggeleng.

“Kakang Singa, untuk apa Kakang mengemis jampi pada orang yang busuk. Aku lebih suka mati dengan cara ksatria.”

Maha Singanada memandang bingung. “Jadi buat apa jampi ini?”

“Buang saja.”

Upasara tahu bahwa Gendhuk Tri memang suka bicara melantur. Tapi Singanada mengikuti saja apa yang dikatakan. Jampi yang berada dalam buah yang dikeringkan itu dibanting ke bawah.

Hancur berkeping.

“Gila,” Pendeta Resres mencoba meraup akan tetapi sia-sia. “Puluhan tahun diperlukan untuk meracik dan membuatnya, kamu buang begitu saja….”

“Gendhuk Tri tidak mau.”

“Sungguh biadab,” Pendeta Wacak menggeram keras. “Yang seperti inikah yang disebut ksatria?” Gendhuk Tri malah tertawa lebar.

Tubuhnya yang masih lemah bergoyang.

“Sudahlah, kalian tak punya persediaan banyak. Kalau jampi pemusnah itu lenyap, kalian membutuhkan waktu lama. Sudahlah, anggap saja ini pelajaran pertama.

“Kakang Singanada, ayo kita keluar dari tempat ini.”

Singanada membalikkan tubuh seketika mendekati Gendhuk Tri. “Boleh juga zaman percintaan sekarang ini.

“Sungguh tak tahu malu.”

Mendengar suara Puspamurti yang tajam, Gendhuk Tri hanya mengedipkan sebelah matanya. “Nenek yang kakek, untuk apa kamu merisaukan kami berdua?

“Kamu tak akan pernah mengerti. Baca saja kitab kidungan baik-baik, pelajari, yakini, dan kamu akan merasa menjadi yang paling hebat.

“Seperti semua yang ada di sini.

“Merasa yang paling berkuasa, merasa yang paling hebat ilmu silatnya, merasa paling mengabdi Keraton, merasa ada sesuatu yang luhur yang sedang dipertaruhkan.

“Padahal kalian semua tak ada bedanya dengan kami berdua.”

Bahwa kata-kata Gendhuk Tri meluncur dari kesadarannya yang tipis bisa dimengerti. Akan tetapi dengan cara bicara yang acak, justru bisa mengoyak sesuatu yang tersembunyi.

Yang paling terkena adalah Upasara Wulung.

Kamukah Telapak Siladri?

HUBUNGAN Upasara dengan Gendhuk Tri sedikit-banyak susah dimengerti. Baik oleh Upasara sendiri maupun oleh Gendhuk Tri. Atau setidaknya, keduanya berusaha memperlihatkan sikap yang wajar.

Hubungan yang pertama adalah hubungan antara kakak dan adiknya. Upasara mengenal Gendhuk Tri pertama kali semasa masih kanak-kanak, bisa dikatakan begitu. Semua tingkah dan polah Gendhuk Tri lebih menunjukkan kemanjaan seorang adik. Bisa dimengerti, karena sejak kecil Gendhuk Tri tak mengenal kasih sayang seorang kakak, atau bahkan orangtua. Kalaupun ada orang tua yang mengasuh dan mendidiknya, seperti gurunya Jagaddhita, hubungannya lebih bersifat resmi. Maka kehadiran Upasara dalam hidup dan perkembangan ke arah kedewasaan, mempunyai arti yang mendalam.

Perasaan menjadi kakak tak pernah lepas dari bayangan Upasara. Sikapnya yang selalu ingin melindungi, selalu mengayomi, tak berubah. Bagi Gendhuk Tri sendiri, perasaan menganggap Upasara sebagai kakak sangat menyenangkan. Hanya karena ia wanita, perasaan yang tumbuh lebih halus bisa dimengerti. Setidaknya lebih dirasakan dibandingkan Upasara yang agaknya memang tak begitu mengenal hubungan emosional.

Adalah perasaan seorang adik pula yang menyertai Gendhuk Tri ketika menyadari bahwa Upasara Wulung telah menyerahkan hatinya kepada Gayatri. Gendhuk Tri rela menerima hadirnya Gayatri dalam dunia Upasara.

Akan tetapi perasaan lain tak terbendung lagi sewaktu Upasara, dalam pandangan Gendhuk Tri, mulai dekat dengan Nyai Demang. Rasa cemburu tak bisa ditutupi.

Perlahan perasaan cemburu, tersaingi, mulai membentuk. Ditutupi atau disamarkan, tetapi menyeruak ke permukaan pada saat-saat tertentu.

Sama yang dihadapi Upasara sekarang ini. Ketika melihat Gendhuk Tri mulai menaruh perhatian kepada Maha Singanada. Ada perasaan tertentu yang tak bisa diterangkan dengan satu pengertian.

Itu sebabnya Upasara merasakan getaran yang aneh ketika Gendhuk Tri menyebutkan “Kakang”, akan tetapi sebutan itu tidak diperuntukkan bagi dirinya.

Sebutan untuk lelaki yang lain.

Ada semacam keangkuhan, atau tak bisa diartikan, untuk mengatakan bahwa hatinya cemburu. Rasa yang berkembang dalam diri Upasara justru rasa bersyukur, karena kini Gendhuk Tri sudah menemukan pasangan yang serasi.

Bahkan kalau bukan baru saja bertemu Gayatri, Upasara tak sepenuhnya bisa menangkap makna dari hubungannya dengan Gendhuk Tri.

Pertemuannya dengan Gayatri membuat simpul-simpul perasaan yang selama ini terkunci erat membuka.

Itu sebabnya Upasara merasa paling terpukul.

Kalau saja ia juga menyadari bahwa Gendhuk Tri sengaja mengucapkan kata-kata “kami berdua” untuk memanaskan hati Upasara, dan sekaligus menyalurkan kejengkelannya!

Akan tetapi Upasara tidak mampu menembus jalan pikiran Gendhuk Tri. Pun andai waktu dan kesempatan tidak seperti sekarang ini.

“Baik, mari kita sama-sama mati sebagai ksatria….” Singanada mengangguk mantap.

Tangannya menggandeng Gendhuk Tri dan melangkah bersama. Hanya empat langkah, karena kemudian Gendhuk Tri seperti berjalan limbung. Kakinya tak kuat menahan tubuh.

“Kenapa…” Upasara yang bergerak lebih dulu mendekat. Ketika tangannya mencekal tangan Gendhuk Tri, terasa sangat dingin dan mengeluarkan keringat yang lembap.

Sorot mata Gendhuk Tri menunjukkan kekaguman dan kebanggaan. “Kakang Upasara masih sempat memperhatikan saya?” “Bagaimana rasanya?”

Pertanyaan Upasara seperti menunjukkan kedunguan. Memang sebenarnya Upasara tak bisa menebak apa yang sesungguhnya dirasakan Gendhuk Tri. Tubuhnya begitu dingin dengan keringat yang melembap, akan tetapi getaran jalan darahnya deras.

“Letih, ringan, tapi tak apa. “Bagaimana dengan istri Kakang?” Upasara merah wajahnya.

Menghela napas. “Ia baik-baik saja.”

“Jadi Kakang sudah ketemu?” Upasara mengangguk.

“Syukurlah. Saya kuatir karena saya melihat Kangkam Galih ada di dalam Keraton.” Upasara mendesis.

Seketika ia menyadari bahwa pertanyaan yang diajukan Gendhuk Tri adalah menanyakan Ratu Ayu Azeri Baijani. Sedangkan ia menjawab mengenai Gayatri.

Perubahan wajah Upasara membuat Gendhuk Tri menatap heran. “Benar Kakang sudah bertemu?”

“Yang itu… yang itu… Hmmm, bagaimana pedang itu bisa ada di Keraton?”

Gendhuk Tri tak bisa menjawab. Tubuhnya melongsor jatuh. Hanya karena Singanada dan Upasara memegang dari sisi kanan dan kiri, tubuhnya tidak ambruk ke lantai.

Pada saat itu seorang berpakaian kebangsawanan maju ke depan. Singanada mengangkat tangan kanannya bersiap menghalangi.

“Cepat masukkan ke tubuh Gendhuk Tri. Kalau tidak, ia akan ketagihan seumur hidupnya.” Singanada mendehem.

“Bagus. Kamu yang memberi obat saya.

“Tak sangka kamu ternyata pemilik telapak tangan Siladri. Tapi mana mungkin aku menerima budi baik tanpa mengenal nama?

“Siapa kamu sebenarnya?

“Kalau pangeran, siapa nama besarmu?”

Siladri segera menjejalkan sesuatu ke mulut Gendhuk Tri. Upasara memandang dengan hormat, lalu menyembah.

Singanada ikut mengangguk. “Rupanya inilah pengkhianat itu….”

Kali ini yang bersuara adalah calon baginda.

“Tidak kusangka, sanak saudaraku sendiri menjadi musuh dari balik selimut.” Suaranya mengandung ancaman, hukuman keras.

Tapi Singanada malah berkata keras,

“Siapa pun dia, tolong katakan namanya. Biar saya bisa mengenang kebaikannya.” Singanada benar-benar polos dan tak tahu situasi yang sedang terjadi.

Bahwa calon baginda yang memerintah segalanya begitu murka, ditanggapi dengan tenang. Bahwa nama yang disebut oleh calon baginda ini di belakang hari akan mengalami bencana besar.

Dan ia masih sanak saudara, masih mempunyai hubungan yang erat dengan calon baginda sendiri.

“Kakang Singanada, jangan membuat malu saya. Masa Kakang tidak mengenal nama Pangeran Janaka Rajendra?”

Gendhuk Tri yang kembali sadar berlutut dan menghaturkan sembah. Singanada ikutan dengan kaku.

“Siapa dia?”

Wajahnya yang polos membuat Gendhuk Tri tersenyum.

“Dia putra utama Senopati Agung Brahma yang mau kamu bunuh. Masih kurang jelas?

“Senopati Agung Brahma adalah kakak ipar Baginda, sekaligus kakak ipar Permaisuri yang sekarang berada di sini.

“Masih kurang jelas?” “Aku bingung.

“Aku berjanji untuk membunuh Senopati Agung karena mulutnya lancang. Tapi anak lelaki nya baik sekali.

“Jadi bagaimana?

“Aku tetap akan membunuh bapaknya, dan mengucapkan terima kasih padanya. Begitu saja. “Kamu sudah baik?”

Ketika sebagian perhatian tertuju ke arah Gendhuk Tri dan Singanada serta Pangeran Janaka Rajendra, Barisan Padatala sudah bersiap dan mengurung. Sekali menggerakkan tangan, ketiganya sudah bisa meraih Singanada.

Upasara mengibaskan tangannya.

Pada saat yang bersamaan Manmathaba bergerak.

Lebih cepat dari Upasara, dan lebih mengarah. Upasara berusaha menangkis, untuk kemudian maju selangkah ke sebelah kanan, mencari ruang yang lega.

Akan tetapi kali ini Manmathaba tidak memberi kesempatan sedikit pun. Menyadari bahwa Upasara cukup tangguh, Manmathaba mengerahkan seluruh kemampuannya. Tanpa memedulikan bahwa geseran angin pukulannya bisa melukai para prajurit yang lain. Gelang emas yang tersusun di kakinya berdering ketika tubuhnya membalik.

Upasara menebas maju dengan tangan kosong. Kali ini rangkaian tenaga Kitab Bumi yang sudah mendarah daging tersalur sempurna. Gelombang tenaga yang mengisap, memutar, dihadapi dengan tenang.

Tapi kali ini Upasara salah perhitungan.

Bandring Cluring

MANMATHABA mendesis, tubuhnya meluncur ke atas, dan seketika itu pula gelang emas di kaki kanan dan kiri meluncur cepat. Mendesing dengan suara keras.

Bukan hanya itu.

Ketiga pendeta Syangka membentuk Barisan Padatala, dan dengan bersamaan juga menggempur ke arah Upasara. Dengan berbagai pukulan sekaligus dan serangan gelang kaki seperti Manmathaba. Bedanya, ketiga pendeta Syangka ini menyerang secara diam-diam. Bahkan lemparan gelang dari ketiganya tidak memperdengarkan suara.

Upasara boleh hebat, akan tetapi tak memperhitungkan serangan seperti ini. Tidak juga yang lain.

Karena sungguh tidak layak bagi seorang seperti Manmathaba menyerang dengan dibantu secara keroyokan.

Barangkali dari sekian banyak orang, hanya Halayudha yang sedikit-banyak bisa menerjemahkan dalam hati kenapa Manmathaba melakukan keroyokan.

Tradisi kehidupan di Syangka sangat berat. Apalagi dalam kehidupan kesehari-hariannya selalu di bawah pamor para pendeta dan ksatria dari Hindia yang terkenal penuh tipu daya. Baik dari segi ilmu silat maupun cara mengatur tenaga dalam.

Mungkin contoh yang tepat, akan tetapi Kiai Sambartaka menunjukkan ciri-ciri itu.

Dalam situasi semacam itu, bisa dimengerti bahwa merebut kemenangan merupakan tujuan utama. Bukan mempersoalkan bagaimana cara menempuhnya.

Setidaknya dari cara pengeroyokan sekarang ini. Bagi Manmathaba kemenangan adalah yang utama. Dan ia, seperti juga ketika pendeta anak buahnya, menyadari bahwa Upasara yang paling kuat. Yang bisa lolos dari serangan bubuk pagebluk!

Upasara terkejut, akan tetapi dengan memutar kedua tangan melindungi tubuh, kakinya bergerak cepat. Meloncat ke tengah udara sebatas pinggang, dan menyelusup ke sela-sela udara yang tersisa dari gempuran gelang kaki.

Bentrokan gelang kaki memekakkan telinga bagi yang mendengarkan.

Tapi lebih dari itu semua, ternyata gelang kaki yang berbenturan itu pecah, dan arahnya tetap tertuju ke Upasara Wulung!

Terdengar seruan keras dari Puspamurti yang menggerakkan kipas besarnya.

Akan tetapi jarak terlalu jauh, sehingga angin kesiuran yang dikeluarkan tidak bisa sempurna arahnya. Justru menambah bahaya!

Karena pecahan gelang itu seperti tertuju ke arah yang lebih tak terduga, dengan tambahan dorongan tenaga yang dahsyat.

Bisa dibayangkan betapa hebatnya pecahan gelang yang jumlahnya puluhan disentakkan dengan tenaga besar. Satu saja bisa menancap akan lain ceritanya.

Belum lagi kalau itu juga disusupi racun. Sesuatu yang sangat masuk akal mengingat pada hampir semua tubuh para pendeta tersembunyi hal-hal yang tak terduga.

Tubuh Upasara yang berada di tengah udara mendadak membeku, tangan kirinya terulur ke depan dan untuk pertama kalinya tangan kanannya mengikuti gerak kaki berputar.

Matanya tertutup, akan tetapi mulutnya menyunggingkan semburan keras. Halayudha menahan napas dalam-dalam.

Apa yang diperlihatkan oleh Upasara adalah bagian dari ilmu mengatur napas dalam Kitab Bumi yang sangat dihapal. Yaitu berusaha memakai tenaga bumi secara penuh.

Pada tingkat Upasara, pengerahan tenaga dalam itu bisa melalui mulut, tenaga dorongan tangan atau kaki, tetapi juga dari seluruh tubuh.

Dari sembilan lubang atau lebih. Cara ini memang kuat untuk menahan serangan, akan tetapi dengan begitu menempatkan Upasara pada posisi bertahan total. Embusan tenaga untuk memencongkan pecahan gelang, akan tetapi tidak untuk serangan berikut yang lain sifatnya.

Bagi seorang pesilat yang tengah memainkan jurus bertahan, apalagi dengan tenaga bumi yang dipakai Upasara, akan sangat sulit sekali mengubahnya.

Tenaga itu tak bisa diperhalus atau diubah seperti tenaga yang berada dalam tangan atau kaki. Yang bisa diubah dari mencakar, meninju, mengelus, atau mengusap dalam seketika.

Pengerahan tenaga bumi melalui sembilan lubang atau lebih, memerlukan pengerahan tenaga sepenuhnya.

Sebab kalau tidak, hasilnya akan sia-sia.

Dalam perhitungan Halayudha, bahkan di saat Upasara digempur dengan bubuk racun pagebluk, ia tidak menghindarkan diri dengan cara seperti ini.

Seputar tubuh Upasara mengeluarkan udara tipis karena pengerahan tenaga dalam. Gerincing pecahan gelang menimbulkan jeritan tertahan dari para prajurit yang terkena. Bahkan Senopati Agung Brahma perlu jumpalitan untuk menghindarkan diri.

Dan serangan beruntun masih terus menyergap.

Manmathaba tidak membiarkan begitu saja. Belitan tangannya mencengkeram Upasara yang seakan bergeming. Kalau tadinya bisa menghancurkan lengan baju Upasara, sekarang dengan perhitungan lain. Membelit ke tulang.

Tangan kiri Upasara bergerak ke samping bawah, bersamaan dengan tangan kanan yang tertarik ke atas. Kedua telapak tangannya membentuk kepalan tinju, berbeda dari biasanya yang selalu terbuka. Kaki kanan maju serong ke kiri, dan kaki kiri sedikit mundur.

Sepasang tangan melawan dua tangan membelit, dan enam tangan menggempur sekaligus. Hasilnya mengejutkan.

Baik bagi Upasara maupun lawan-lawannya.

Upasara merasa belitan di tangan kanannya membuat ngilu, sementara dua pukulan menerobos masuk ke dadanya dan menimbulkan rasa perih.

Sementara Manmathaba tak menduga bahwa belitannya kali ini bisa dipatahkan dengan tenaga keras. Bahkan tenaga membalik yang keluar dari siku Upasara seperti mengentak ulu hatinya.

Yang paling menderita adalah Pendeta Resres yang terkena agak telak. Masih untung tenaga yang lain menahan gempuran itu. Kalau tidak, Pendeta Resres tak akan bisa berdiri tegak tanpa memegangi dadanya.

Pendeta Taletekan melihat kesempatan untuk maju.

Inilah kehebatan Barisan Padatala. Ketiganya bisa maju-mundur dan saling mengisi dengan cepat. Dengan mengetahui bahwa tenaga yang mengarah kepadanya paling bisa ditanggulangi, Pendeta Taletekan menerjang maju. Dua jarinya terjulur ke depan, siap mencukil mata Upasara. Pendeta Wacak memancing perhatian pengerahan tenaga ke arah serangan dada.

Saat itu Manmathaba sudah bergerak maju. “Lipat!”

Aba-aba melipat menggambarkan betapa yakinnya Manmathaba bahwa sekarang belitannya tak akan meleset lagi.

Nyatanya begitu!

Baru kemudian Halayudha menyadari bahwa tenaga belitan itu sangat erat mencekik. Siapa yang terkena, tak akan bisa meloloskan diri.

Hanya jeritan mengaduh dan teriakan kencang.

Lalu tubuh terjerembap ke bawah, seakan tak mempunyai tulang lagi. Benar-benar luar biasa.

Benar-benar luar biasa dan mengerikan.

Belitan yang memutuskan tenaga di dalam tubuh.

Manmathaba sendiri tergoyang-goyang mundur, seolah mencari napas karena baru saja mengerahkan seluruh tenaganya.

Nyatanya begitu. Hanya saja ia tak menduga bahwa di kejauhan Upasara masih berdiri, meskipun kakinya agak limbung menjaga tubuhnya.

Singanada mengejapkan matanya.

Baru sekarang menjadi jelas bahwa Pendeta Taletekan yang menjadi korban. Terbelit dua tangan Manmathaba yang merontokkan semua urat tubuh.

Pada detik yang menentukan tadi, sewaktu Pendeta Taletekan maju, Upasara menggeser kakinya dengan sebat. Sekali seblak, kaki Pendeta Taletekan terguncang kuda-kudanya. Tubuhnya tersuruk maju pada saat Manmathaba seolah memeluk dirinya.

Hebat, akan tetapi Upasara sendiri merasa kesakitan di dadanya. Pukulan Wacak sempat masuk mengenai tulang iganya.

Puspamurti bergerak maju.

“Siapa kamu sebenarnya? Sejak kapan kamu gunakan Bandring Cluring itu?” Dari nadanya terdengar antara rasa ingin tahu, kekaguman, sekaligus kengerian.

Bisa dibayangkan kalau tokoh seperti Puspamurti sampai tergetar. Bisa dibayangkan senjata yang dikeluarkan oleh Manmathaba sekarang ini.

Jurus-Jurus Kebat Klewat

KALI ini Halayudha yang menyipitkan mata.

Apa yang membuat Puspamurti mengeluarkan seruan keheranan tak sebanding dengan apa yang dilihat. Manmathaba hanya memegang seutas tali panjang yang berwarna putih lentur, dan di ujungnya ada benda bulat. Senjata yang disebut Bandring Cluring.

Di tangan Manmathaba bandring itu berputar, mengeluarkan suara mendesing. Apa hebatnya?

Pertanyaan ini lebih merupakan pertanyaan untuk menemukan jawaban yang pas. Halayudha tahu betul bahwa Manmathaba bukan pendeta sembarangan. Ilmunya sudah dirasakan sendiri kehebatannya. Ditambah dengan tipu muslihat menggunakan bubuk beracun atau memecah gelang kaki, memang sulit disamai.

Tapi itu karena kehebatan ilmu silatnya.

Bukan andalan senjata yang ternyata hanya seutas tali yang diberi bandul ujungnya.

Pertanyaan ini lebih merupakan rasa ingin tahu untuk lebih waspada. Jelas Puspamurti tidak menyinggung sedikit pun jurus-jurus maut yang dikeluarkan Manmathaba. Tidak dengan ilmu belitan bagai gurita, tidak gelang kakinya yang menjadi senjata rahasia. Akan tetapi begitu mengeluarkan bandring, langsung mengeluarkan kekaguman.

“Apa istimewanya katapel buah duku itu?”

Itu suara Gendhuk Tri. Suara yang seperti bisa diduga, untuk mengejek lawan. Tetapi kentara juga suaranya bernada tawar. Atau dengan kata lain tersirat juga perasaan gentar.

Apalagi setelah Singanada menghela napas dan menggeleng. Memperlihatkan bahwa ia sama sekali tidak setuju dengan penilaian Gendhuk Tri.

Kalau dilihat sekelebatan, apa yang dikatakan Gendhuk Tri tidak salah. Bandring memang tak lebih dari katapel, alat untuk melantingkan batu kecil yang biasa dipakai anak-anak menjepret burung. Bahkan di ujungnya ada bandul yang mirip batu. Cluring sendiri bisa diartikan buah duku, atau buah langsat. Tidak terlalu mengada-ada kalau Gendhuk Tri menyebutnya sebagai katapel duku.

Singanada merasa perlu bersikap lebih waspada. Caranya berdiri mendekat ke arah Upasara menunjukkan keinginan untuk setengah membantu.

Sebab pengalamannya membuktikan bahwa Bandring Cluring adalah senjata yang sangat ganas. Sepanjang hidupnya Singanada hanya menjumpai dua tokoh yang menggunakan senjata tersebut.

Ini yang kedua.

Tidak terlalu luar biasa kalau tali panjang yang menggelantung itu tidak dibuat dari otot manusia. Entah dengan cara bagaimana, otot manusia itu dipilin menjadi tali yang liat. Membayangkan itu saja sudah menimbulkan rasa jijik. Karena untuk bisa mendapatkan tali sepanjang badan manusia, entah dibutuhkan berapa puluh mayat yang dibelah tubuhnya untuk diambil otot-ototnya.

Singanada pernah diajari mengenai ilmu yang paling sesat selama ini. Yaitu suatu aliran yang menggunakan tubuh manusia sebagai bahan percobaan untuk memperdalam ilmu silat. Di antaranya yang menggunakan batok kepala serta otot tubuh sebagai latihan. Yang berarti perlu ratusan korban tak berdosa untuk percobaan dan berlatih. Menurut kabar yang didengar, semua ksatria di seluruh jagat dianggap bukan manusia kalau melakukan latihan semacam itu, karena bertentangan dengan norma-norma kemanusiaan.

Tapi memang masih banyak yang secara diam-diam mempelajari.

Hanya saja baru sekarang ini Singanada melihat ada tokoh yang dianggap sakti, ternyata justru memperdalam ilmu sesat tersebut.

Desingan bandring menjadi sangat cepat. Kesiuran angin berkelebat menyabet sana-sini. Dalam pandangan sekilas saja bisa diketahui bahwa bandring itu seakan bisa menjadi panjang dan tiba-tiba berubah menjadi pendek. Seperti otot manusia hidup.

Ini salah satu bahayanya.

Bandring menjadi bagian anggota tubuh. Bisa digerakkan sesukanya.

Sebenarnya Gendhuk Tri tak begitu kuatir bahwa Upasara bakal bisa menghadapi dengan baik. Selama ini telah terbukti, Upasara bisa menghadapi dan mengatasi berbagai senjata dan ilmu silat yang paling aneh. Terutama sejak pertarungan di Trowulan, Gendhuk Tri yakin bahwa tak ada tokoh yang bisa mengungguli Upasara. Karena nyatanya di atas tokoh seperti Kiai Sambartaka, Kama Kangkam, Naga Nareswara, Paman Sepuh bisa diungguli. Bahkan Eyang Sepuh tidak bisa bertahan sebagai pemenang utama.

Namun kondisinya sekarang ini lain.

Sekarang Upasara tidak dalam kekuatan yang penuh. Setelah dikeroyok beramai-ramai, ia seperti terkena pukulan yang cukup menguatirkan.

“Kakang Singa bisa berbuat sesuatu…,” bisik Gendhuk Tri. “Susah.

“Kalau aku ikutan maju, bisa-bisa malah membuat Upasara repot.” “Kita maju bersama.”

“Kalau itu maumu, ayo….”

Gendhuk Tri masih ragu. Justru karena Singanada bersedia maju karena ajakan Gendhuk Tri. Bukan karena yakin bisa membantu atau berbuat sesuatu.

Pada saat Gendhuk Tri masih bimbang, Manmathaba sudah bergerak maju.

Bandring bergerak dalam putaran yang kencang dan mengurung Upasara dari arah kanan dan kiri. Dua bandring di kedua tangan berputar sangat keras.

Tiap kali menyentuh lantai menimbulkan suara sangat keras. Dan agaknya ini disengaja oleh Manmathaba, karena suara berisik, suara peletok-peletok yang keras sekali bagai irama tertentu yang memberi aba-aba kepada Resres dan Wacak untuk bergerak maju.

Ketiganya secara langsung mengurung, menyerang seirama dengan suara ujung bandul yang mengenai lantai atau tiang atau apa saja.

Tok-tok-tok-tok-tok-tok-tok. Trotok-tok.

Tok-tok… tok-tok-tok-tok-tok.

Upasara sendiri berdiri dengan gagah, kedua tangan terangkat di dada dengan tenaga penuh. Dengus napasnya menunjukkan ada beban berat yang diatasi.

Begitu dua kali bandring menggunting dari dua sisi, Upasara meloncat tinggi, meraup senjata seadanya, dan menangkis.

Segera terdengar peletokan lagi.

Senjata di tangan Upasara terkutung. Karena tebasan tali bandring! Inilah hebat.

Hancurnya senjata di tangan Upasara karena tebasan tali. Karena digunting dengan tali bandring.

Upasara sendiri menyadari bahwa ia terlambat memberikan perlawanan. Selama ini kepercayaan dirinya terlalu kuat hingga boleh dikata tak pernah memakai senjata andalan. Sungguh tak diperhitungkan bahwa ada tokoh seperti Manmathaba yang menggunakan keunggulan senjata untuk mengalahkannya.

Setiap kali Upasara berusaha mendesak maju, ujung bandul berputar di depan matanya, sehingga ia buru-buru meloncat minggir atau mundur. Sementara itu pula Wacak dan Resres makin merapat, menutup kemungkinan menghindar. Siapa pun yang menyaksikan jalannya pertarungan menghela napas. Merasa bahwa sebentar lagi akan terjadi sesuatu yang mengerikan. Tubuh yang terpotong-potong!

Ini karena putaran dan desing bandring Manmathaba yang makin lama makin menggila, dan seperti tak bisa dihentikan.

Bagi Gendhuk Tri, ini pertarungan yang menggeletarkan sukmanya untuk kedua kalinya. Yang pertama di Trowulan.

Akan tetapi saat itu pertarungan berlangsung dalam jarak pandang yang jauh dan yang dimainkan adalah kelihaian dalam menguasai tenaga dalam. Sehingga yang terlihat adalah gerak-gerak, kepulan asap.

Berbeda dari sekarang ini.

Yang jelas mana senjata dan bagaimana gerakan menggunting.

“Jurus-jurus dalam ilmu bandring disebut jurus Kebat Klewat, karena jurus ini kelewat cepat dan kelewat telengas. Tenaga yang disalurkan tak bisa ditarik kembali. Dan putaran itu makin lama makin cepat hingga akhirnya akan berhenti sendiri.

“Baik karena telah berhasil membunuh lawan atau yang bersangkutan kehabisan tenaga. “Entah bagaimana Upasara bisa meloloskan diri.

“Mungkin kita akan mati juga sebelum bisa bertanya. Tapi karena kita mati sama-sama, rasanya aku rela juga, Kanyasukla…”

Gendhuk Tri tak menangkap getaran asmara yang terpancar dari kata-kata Singanada. Karena perhatiannya terserap sepenuhnya ke gelanggang pertarungan. Karena makin lama Upasara makin mundur setindak-dua tindak secara berurutan.

Ini tandanya betul-betul terdesak.

14

Sebagai jago silat, seperti juga yang lainnya, kehancuran seseorang ditentukan kalau ia mulai mundur secara teratur. Beban yang menindih makin lama makin kuat. Seumpama gelundungan batu, makin ke bawah makin besar, dan makin berat.

Ilmu Kulit Ketela

SINGANADA menggeram keras. Ia tak bisa menahan diri. Rambutnya yang tergerai meliar ketika tubuhnya menerkam maju, menerobos kepungan. Tekadnya hanya satu: tak akan membiarkan Upasara mati dikeroyok.

Tindakan yang nekat. Karena bahayanya terlalu besar.

Sejenak Gendhuk Tri terpana. Ada rasa kagum dan kesal. Kagum karena sikap ksatria yang ditunjukkan Singanada, kesal karena dirinya belum leluasa bergerak.

Kegagahan Singanada memang terbukti. Dengan auman seekor singa, tubuhnya menerjang maju, tangannya mencakar kiri dan kanan, dengan cepat menarik Wacak ke arahnya. Dua sambaran pukulan lawan dibiarkan mendekat dan Singanada malah memapak maju. Benar-benar tak memedulikan keselamatan diri.

Bagi sebagian prajurit, tindakan Singanada seperti bunuh diri dengan sia-sia. Bagi Halayudha, tindakan Singanada sangat cerdik. Dengan menerjang masuk ke dalam bahaya, Singanada bisa menahan serbuan gencar yang mengarah ke Upasara.

Tanpa tindakan nekat, tak mungkin perhatian lawan terpecah. Nyatanya, untuk sementara, perhatian lawan terbelah.

Akan tetapi yang tak diduganya, justru serangan yang tertuju ke arahnya datang dari Bandring Cluring Manmathaba.

Satu irisan tajam membuat desis kecil.

Yang terasa kemudian adalah potongan rambut yang terbang ke udara.

Bagai pisau tajam, tali bandring yang terbuat dari otot berhasil memutuskan rambut Singanada. Meleng sedikit saja, bisa-bisa kepala atau tangan Singanada yang teriris putus.

Gendhuk Tri tak bisa menahan diri. Ia menerobos masuk dengan selendangnya. Kembali sebelum tubuhnya mendekat, kesiuran angin mengurung dirinya. Sebelum Gendhuk Tri sadar bahaya yang sesungguhnya, secara sempurna selendangnya menutup tubuh untuk melindungi.

Tok-pletok, bret-breeet. Tok-tok, pletok-tok.

Di antara bunyi peletok ujung bandul yang menyentuh lantai dengan irama tetap yang makin lama makin cepat, terdengar suara robeknya kain. Ternyata sobekan selendang Gendhuk Tri yang menjadi compang-camping dan putus kena sabetan tali bandring.

Siapa pun yang menyaksikan jalannya pertarungan, menahan napas karena ngerinya.

Dengan penguasaan tenaga dalam dan senjata bandring yang sakti Manmathaba sedang menunjukkan kelihaiannya. Tali bandringnya bisa menebas rambut, seperti juga mengiris selendang. Dua benda yang jauh berbeda. Rambut adalah bagian dari tubuh yang keras, kuat, dan cukup liat. Apalagi kalau jumlahnya ribuan. Diperlukan pisau yang kelewat tajam untuk bisa menebas. Sebaliknya selendang adalah benda yang lembut, apalagi tergerai oleh angin.

Akan tetapi keduanya ternyata bisa ditebas oleh tali bandring.

Berarti tali bandring Manmathaba sangat luar biasa, atau juga si pemakai sangat sakti. Bisa jadi keduanya. Kemampuannya menebas benda keras atau lembut tak ada celanya.

Sementara suara pletok-tok-tok makin keras, makin mendesing.

Ketiga senopati Keraton Singasari bagai kanak-kanak yang dipermainkan oleh seorang pelatih. Singanada dipaksa jumpalitan oleh gerakan yang menyerang. Tak ubahnya singa yang dipaksa meloncati api atau digulung dalam liang kecil. Yang tak bisa menghindar kalau tidak mau tercincang ayunan bandring.

Sementara Gendhuk Tri sendiri sejak loncatan pertama praktis tertahan serangannya. Hanya bisa mundur dengan robekan selendang yang makin hancur. Beberapa kali malah terancam jiwa dan kain yang dikenakan. Padahal bandring itu tidak tertuju langsung ke arahnya.

Padahal bandring itu sepenuhnya tertuju ke Upasara Wulung. Hanya sesekali mengarah kepadanya. Itu sudah membuat repot sekali. Bisa dibayangkan kedudukan Upasara sekarang ini. Upasara memang makin terdesak. Pukulan kiri-kanan yang seakan makin nempel dan mendesak, sementara ayunan bandring dengan tok-tok-pletok makin kencang di seputar tubuhnya.

Dalam keadaan terdesak, Upasara justru bisa menemukan beberapa kali pemecahan. Melihat kemungkinan untuk balas menyerang. Hanya saja kini perhatian terpecah sedikit untuk memperhatikan Singanada dan terutama Gendhuk Tri.

Hal ini sebenarnya sudah diketahui oleh Singanada. Menghadapi jurus Kebat Kelewat, tak perlu dibantu. Karena bantuan bisa berubah menjadi gangguan.

Keberanian Upasara untuk menjajal menangkap tali bandring atau bandulnya beberapa kali urung dengan sendirinya. Karena setiap kali mencoba merangsek maju, satu bandring bisa dipunahkan, bandring yang lain justru tertuju keras kepada Gendhuk Tri. Agaknya Manmathaba mampu mengatur serangan secara sempurna. Menyeimbangkan antara tenaga menyerang kanan dan kiri.

“Upasara, jangan pedulikan kami. “Gempur!” teriak Singanada. “Tidak!”

“Tolol, kamu.

“Harus bisa. Harus berani.” “Tidak.”

“Kalau kamu tak mau, biar aku mati duluan.”

Singanada menggerung keras. Tubuhnya menggeliat, punggungnya tertekuk ke dalam. Dengan sekali menyentak, badannya berbalik. Maju ke arah

Manmathaba!

Upasara tidak menduga bahwa Singanada akan berbuat seperti itu. Sengaja masuk ke tengah gelanggang.

Cepat Upasara membebaskan dari pikiran kasihan atau menguatirkan orang lain, ia melabrak maju. Tangan kirinya membelit ke arah putaran bandring, sementara tangan kanannya melakukan gerakan yang sama. Tubuhnya sendiri berputar keras sekali, cepat sekali seperti menggulung dengan kecepatan bumi. Hebat.

Teriakan kekaguman dalam hati meluncur dengan ikhlas dari hati Halayudha. Gulungan tubuh Upasara bagai gelombang air laut yang mengempaskan apa saja yang menghalangi. Membuyarkan serangan yang datang.

Pada kesempatan yang pendek, tangan Upasara meraih keris dari pinggang Senopati Agung Brahma, dan secepat itu kembali lagi ke gelanggang.

“Maaf….”

Hanya itu yang menandai bahwa Upasara meminjam dengan cara yang agak kasar.

Bahwa Upasara melakukan ini dalam keadaan terpaksa, bisa dimengerti. Karena tiada pilihan lain. Dan dengan keris di tangan, Upasara bisa memainkan jurus-jurus Banteng Ketaton. Yang lebih baik daripada menghadapi dengan tangan kosong.

Gelombang tubuh Upasara yang bergulat cepat, bisa membuyarkan serangan Manmathaba. Bahkan Wacak dan Resres tersurut mundur.

“Jangan pedulikan kami….”

Teriakan Singanada yang kedua, ditandai dengan gempuran langsung dan auman tinggi. “Awas….”

Peringatan Upasara tertuju kepada Singanada dan Gendhuk Tri, juga kepada lawan. Tangan kiri yang terbuka menuju ke arah tali bandring, sementara ujung keris di tangan kanan berputar menusuk ke arah lawan. Dua kaki yang menjadi kuda-kuda menekuk ke belakang sehingga tubuhnya condong ke depan, siap melakukan gerakan lanjutan.

Dan betul-betul bergerak!

Tangan kiri Upasara berhasil mengibaskan bandring, tangan kanan bagai menuding langsung ke arah tangan Manmathaba. Menusuk masuk menebas kulit dan menggores dalam!

Amblas!

Bersamaan dengan itu terdengar dua jeritan keras. Bandul pertama yang tertolak oleh Upasara mengenai batok kepala Pendeta Resres yang seketika pecah berantakan.

Bandul yang lain menyabet kaki Singanada yang langsung jatuh terjerembap. Anehnya, Manmathaba tetap berdiri gagah.

Kedua tangannya memainkan Bandring Cluring. Tanpa terluka sedikit pun! Tak ada darah mengalir, tak ada goresan. Tak ada bekas apa-apa.

Bahkan bibirnya tersenyum.

“Ksatria lelananging jagat, saat telah sampai. Sebelum matahari bercahaya….”

Bibir Halayudha tergetar keras. Giginya sampai gemeretuk. Tubuhnya tetap berdiri tegak tidak kelihatan menggigil, akan tetapi terasakan betapa seluruh bulu tubuhnya berdiri.

Ilmu yang dipamerkan Manmathaba adalah ilmu yang dikenal bernama Kulit Ketela. Ilmu kebal yang meskipun kulit menjadi setipis kulit ketela, akan tetapi kebal dari senjata apa pun.

Jelas sekali Upasara berhasil menikam, menggoreskan, akan tetapi bahkan bekasnya pun tak terlihat. Pendeta Manmathaba memiliki ilmu simpanan yang makin lama makin sulit dipercaya.

Kisah Sepasang Air

BETAPA tidak. Upasara adalah tokoh kelas utama dalam dunia persilatan. Apalagi menggunakan jurus yang diketahui dan dilatih sejak kecil, jurus Banteng Ketaton. Dengan tenaga dalam hasil latihan ajaran Kitab Bumi secara sempurna boleh dikatakan tak ada tandingannya. Senjata keris yang digunakan, pastilah juga bukan sembarang keris, karena milik Senopati Agung Brahma.

Bahkan dalam keadaan yang paling lemah sekali pun, kerisnya masih bisa menembus karang, membelah batu.

Nyatanya kulit luar Manmathaba pun tak tergores. Bahkan tak sempat terguncang karenanya.

“Baginda, bagian tubuh mana yang Baginda paling tidak sukai? Batok kepala, tulang dada, kemaluan, atau jakunnya? Itu yang pertama hamba ledakkan….”

Gendhuk Tri terhuyung-huyung. Di satu pihak sangat mencemaskan Singanada yang rebah tak bergerak, di lain pihak khawatir melihat nasib Upasara. Ksatria gagah yang selama ini selalu dikagumi dan bisa unggul, kini seakan menunggu nasib.

Mendadak satu tubuh mendekat ke arahnya. Merangkul erat. Masih tercium bau harum tubuhnya.

“Gendhuk, maaf, mari kita mainkan gerakan dari Kitab Air, seperti semula. Ini saatnya sepasang air menemukan denyutnya, menemukan gelora, menjadi mengalir.

“Ayo, Yayi Tri….”

Gendhuk Tri bagai terseret mengikuti gerakan lelaki di sebelahnya. Ia seakan terbimbing dan mulai bergerak. Bagai penari yang mulai rombeng selendangnya. Lelaki di sebelahnya melakukan gerakan yang sama.

“Ah, itu dia….”

Itu teriakan Halayudha.

Serentak dengan itu, Manmathaba meloncat mundur menjauh.

Apa yang terlihat adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Di antara kepungan para prajurit, di antara Putra Mahkota dan Permaisuri serta para petinggi Keraton yang mengenakan pakaian kebesaran, di situ terlihat bekas-bekas pertarungan yang mengerikan. Sesosok mayat yang tercabik-cabik, sesosok lainnya hancur kepalanya. Satu orang terluka kakinya dan tergeletak.

Sementara Upasara masih berdiri gemetar.

Dan Pendeta Manmathaba yang baru saja ganas telengas meloncat mundur.

Di gelanggang hanya ada sepasang lelaki-perempuan yang seolah sedang menari. Gerakannya serba lembut, bagai irama air mengalir tenang, sempurna, seirama dengan irama alami.

Sangat ganjil. Juga mengerikan.

Beberapa saat tak ada suara.

Hanya desir angin dari tangan Gendhuk Tri dan pasangan yang tak lain tak bukan adalah Pangeran Janaka Rajendra.

Teriakan kaget Halayudha bisa dimengerti. Selama ini ia banyak mempelajari ilmu silat dari berbagai kitab kelas utama. Salah satu yang membuatnya sangat gregetan ialah Tirta Parwa atau Kitab Air. Yang tadinya dianggap bersumber dari ilmu Pendeta Sidateka. Itu yang dipelajari secara perlahan, hingga ia perlu mengejar Gendhuk Tri.

Baru belakangan diketahui bahwa jurus-jurus Kitab Air itu diciptakan oleh Eyang Putri Pulangsih! Tokoh yang sezaman dan sekelas dengan Eyang Sepuh.

Yang membuat Halayudha sangat penasaran ialah kitab yang dipergunakan dan banyak dipelajari itu seperti tak memberikan apa-apa padanya. Artinya tak terlalu luar biasa. Sehingga Halayudha mempunyai dua kesimpulan. Pertama, kitab itu tidak sehebat yang digambarkan orang. Yang kedua, dirinya tak bisa menemukan kunci bagaimana memainkannya.

Baru kemudian sedikit terjawab, ketika Gendhuk Tri memainkan bersama Singanada. Mereka berdua bagai pasangan pendekar yang tak terkalahkan. Yang terpadu erat.

Saat itu Halayudha terdesak oleh mereka.

Saat itu Halayudha menemukan sumber utama kekuatan Kitab Air. Bahwa jurus-jurus itu mempunyai kekuatan berlipat ganda apabila dimainkan dengan dasar-dasar pernapasan dari Kitab Bumi. Yang bisa diterima, karena semasa hidupnya Eyang Putri Pulangsih mempunyai daya asmara terhadap Eyang Sepuh, ataupun Paman Sepuh.

Halayudha merasa menemukan kunci utama. Namun ternyata masih ada kemungkinan lain.

Jurus-jurus yang sama, yang dimainkan oleh Gendhuk Tri dan Pangeran Janaka Rajendra, mempunyai kekuatan lain. Yang sekilas lebih lembut, lebih alami, tetapi menyimpan kekuatan yang lebih mendesak.

Sepasang air yang tak kalah hebatnya dengan pasangan air dengan bumi. Sungguh luar biasa.

Tak terduga.

Bahwa di balik kehebatan, masih tersimpan kehebatan yang lain. Halayudha terbengong karenanya.

Terbersit kekaguman bahwa Eyang Sepuh yang mumpuni yang menguasai itu bukan satu-satunya yang paling hebat. Masih ada Eyang Putri Pulangsih yang justru menyimpan kehebatan berlapis-lapis.

Betapa sesungguhnya para empu mempunyai pandangan yang jauh, yang mampu meletakkan dasar- dasar kanuragan yang bisa terus dikembangkan sampai suatu tingkat yang tak bisa diperkirakan.

Siapa mengira bahwa memainkan jurus yang sama bisa menjadikan tenaga berlipat ganda?

Siapa yang mengira, kalau selama ini tumbuh anggapan bahwa barisan atau perpaduan kekuatan dilakukan dengan jurus yang dasarnya sama, akan tetapi gerakannya berbeda?

Dua belas murid Kiai Sumelang Gandring memperlihatkan barisan yang melipat gandakan kekuatan dengan gerakan yang berbeda. Demikian juga yang dilahirkan dari Perguruan Semeru. Bahkan yang dikenal dari negeri Turkana dengan Lompatan Turkana atau 64 Langkah Jong yang terkenal juga begitu. Bahkan Barisan Padatala, barisan tiga pendeta bergelang kaki, juga demikian prinsip-prinsip dasarnya.

Sepasang air tidak membeda-bedakan. Sama.

Sepasang air ialah air dengan air!

Itu sebabnya Halayudha ternganga. Untuk pertama kali menyadari bahwa ada sesuatu yang tak terpecahkan oleh kemampuan daya pikir dan keuletan berlatihnya.

Lebih mengherankan lagi bahwa Pangeran Janaka Rajendra melihat kemungkinan itu dan kemudian memainkannya. Hanya dari melihat gerakan Gendhuk Tri, bisa langsung menggabungkan.

Bagi Pendeta Manmathaba lain lagi alasannya melompat mundur.

Ilmu yang diperlihatkan Gendhuk Tri adalah ilmu yang dikenali, karena itu ilmu utama di negeri Syangka. Ilmu yang menjadi babon utama di negerinya, tak jauh berbeda dari Kitab Bumi di tanah Jawa.

Maka tadi ketika Gendhuk Tri menyerang masuk, Manmathaba segera mengenali. Dan juga menyadari kenapa beberapa serangannya hanya mampu merobek selendang, tapi tak bisa seketika menghancurkan lawan, atau setidaknya melukai.

Segalanya baru menjadi jelas ketika Pangeran Janaka Rajendra memainkan secara bersama. Jauh lebih indah, jauh lebih mengesankan, dan membuka hatinya.

Biar bagaimanapun telengasnya, Manmathaba masih bisa tergetar melihat ilmu andalannya yang dianggap suci. Apalagi kini dimainkan oleh orang lain!

Ini yang membuatnya melangkah mundur. Setengah tidak percaya.

Tapi itulah yang dilihatnya sendiri.

Perlahan Manmathaba bisa mengerti. Kenapa bubuk racun yang maha mematikan, bubuk pagebluk, bisa ditemukan pemusnahnya-walau mungkin untuk sementara.

Selama ini, hanya dirinya yang mampu membuat ramuan obat pencegah bubuk pagebluk! Tak tahunya ada juga orang lain.

Bisa dimengerti kalau Pangeran Janaka Rajendra mampu menciptakan atau menemukan obat pemusnah, karena juga mempelajari dari sumber yang sama.

“Manmathaba, majulah! Biar kita sempurnakan ilmu kita.” Manmathaba meloncat maju. Bandring di tangannya bergetar. “Mari, akan kuberi pelajaran yang berarti kalian….”

Mendadak Puspamurti menggeleng.

“Kamu jangan main curang, pendeta busuk.

“Kalau ada ilmu yang begini indah, kamu rusak begitu saja, aku tak bisa berdiam diri.

“Pangeran tampan dan penari jalanan, kalian menjauh saja. Pendeta busuk ini akan main curang lagi.”

Manmathaba sadar bahwa Puspamurti mengetahui sesungguhnya walau indah luar biasa akan tetapi gerakan Sepasang Air belum saatnya untuk diadu dengan ilmu Manmathaba.

Hal ini mudah dimengerti oleh mereka yang mempunyai penglihatan luas. Biar bagaimanapun, pasangan yang baru bertemu, belum bisa memainkan secara bersamaan. Menganut prinsip air mengalir, keduanya belum sepenuhnya bisa menyatu. Sehingga satu peluang kecil bisa diterobos oleh lawan.

Gelang Kaki Ketiga

PERMAISURI INDRESWARI mengangkat dagunya.

“Biarlah mereka lewat jalan yang tersesat. Itu bukan urusanmu, Manmathaba.” Tanpa tarikan napas yang membedakan nada, Permaisuri Indreswari melanjutkan,

“Biarkan Manmathaba menyelesaikan tugasnya, nenek ayu. Itu bukan urusanmu. Yang kamu cari adalah Kidungan Pamungkas. Terimalah….”

Puspamurti tersenyum.

“Ya, biar saja yang tolol bermain dengan yang dungu. Itu bukan urusanku.”

Kipas gedenya bergerak, dan angin menyambar kitab di tangan Permaisuri Indreswari. Puspamurti meraih, membaca sekilas. :

“Benar, ini kitab asli.

“Permaisuri bermata sipit, ternyata kamu memenuhi janjimu. Aku tak mau lagi berurusan dengan pendeta bau….”

Puspamurti langsung ngeloyor dengan langkah tenang. Satu tangan membaca kitab, tangan yang lain menyeret kipas, sambil terus berjalan.

Tak memedulikan sekitar.

Manmathaba memutar bandringnya. Mendesing.

Dengan mundurnya Puspamurti dan menjauhnya Pangeran Janaka serta Gendhuk Tri, yang tertinggal hanyalah Upasara, Wacak, serta Manmathaba. Sementara yang lain berada di tempat yang rada jauh.

“Aku akan menyelesaikan tugasku. “Bersiaplah!”

Kalimat Manmathaba pendek, seolah bergumam. Bandul bandringnya mendesing. Upasara mengeluarkan seruan sambil membidikkan kerisnya.

Kakinya menotol lantai, dan tubuhnya menyambar maju. Senopati Agung Brahma mendesis.

Apa yang dilihatnya di luar semua jalan pikirannya. Sungguh tak disangka bahwa Manmathaba menghajar Wacak. Bandul bandring justru mengarah kepada Wacak!

Setelah dua pendeta yang lain tewas, agaknya Manmathaba ingin menyelesaikan semuanya. Itulah yang dikatakan sebagai “menyelesaikan tugas”. Itulah sebabnya mengatakan “bersiaplah”. Karena kalau mau mengarah ke Upasara, tak ada kata pendahuluan “bersiaplah”.

Sulit diduga jalan pikiran para pendeta dari tanah Syangka ini. Kalaupun ketiga pendeta ini dianggap gagal dalam menjalankan tugas, tentunya hukuman tidak dijatuhkan saat itu juga. Di tengah pertarungan yang masih berlangsung.

Tata krama macam apa ini semua? Sungguh licik dan tanpa perasaan.

Tapi ternyata Senopati Agung Brahma juga tak bisa menduga jalan pikiran Upasara! Justru Upasara bergerak membidikkan kerisnya untuk menghalangi Manmathaba. Upasara melindungi pembunuhan atas diri Wacak, yang berdiri tegak sambil menutup mata.

Tata krama seorang ksatria. Sungguh luhur budinya.

Tapi juga susah dimengerti. Upasara yang dalam pertarungan dicurangi, masih membela Wacak.

Lebih menakjubkan lagi ternyata bidikan Upasara tepat mengenai ujung bandul yang nyaris menghancurkan batok kepala Wacak. Lebih menakjubkan lagi, karena ketika keris yang membalik kena benturan, bisa menghalau bandul kedua!

Luar biasa.

Tanpa terasa Halayudha menepukkan tangan tiga kali.

Untuk pertama kalinya, Halayudha memuji dengan ikhlas. Rela sampai ke dasar hatinya memuji kehebatan Upasara. Bidikan keris secara seketika, dilakukan sebagai reaksi dari serangan yang tak terduga, dan bisa menggagalkan dua serangan aneh sekaligus. Aneh, karena dalam penilaian Halayudha, ayunan bandul bandring berbeda satu sama lain. Berbeda arahnya, getaran, serta kekuatan yang terkandung dalam masing-masing bandul.

Sesungguhnya itulah ilmu bandring yang tadi dikagumi oleh Puspamurti. Adakalanya seperti membentuk lingkaran ke depan, tapi di sebelah lain bisa ke arah belakang, membentuk lingkaran yang tidak bulat. Dari suara tok-tok-pletok pun berbeda satu sama lain iramanya. Sehingga menyulitkan, karena serangan beruntun akan tetapi tidak dalam napas yang sama. Tidak dalam irama yang bisa diperkirakan perbedaan waktu antara serangan pertama dan kedua.

Kekaguman Halayudha terutama juga karena Upasara begitu cepat menangkap inti perbedaan tersebut. Dalam pertarungan, meskipun terdesak berat, ternyata Upasara bisa mempelajari gaya dan makna serangan.

Halayudha masih merasa kagum, meskipun ia menyadari ini semua terutama dari pendalaman dan pemahaman Delapan Jurus Penolak Bumi. Dasar-dasarnya adalah mengenali keadaan bumi. Di kiri ada gunung, di sebelah kanan ada mata air. Di barat ada lembah, arus angin berputar di selatan, pastilah titik lemah sebagai penangkal ada di tempat tertentu.

Begitu seterusnya.

Masing-masing kekuatan ada imbangan kelemahan. Akan tetapi lawan lakukan dengan cepat, sehingga memerlukan waktu untuk mengenali kiri dan mana kanan, mana bawah dan mana atas. Akan tetapi, Upasara menunjukkan daya serap yang cepat sekali.

“Upasara, kenapa kamu lakukan itu?” Pertanyaan yang pertama justru terlontar dari Pendeta Wacak. “Kenapa tidak?”

“Kematian adalah wajar dalam pertempuran.”

“Kematian adalah kewajaran dalam pertarungan,” Upasara mengulangi, dan dengan nada yang berbeda melanjutkan, “akan tetapi tidak dengan cara bunuh diri.”

“Aku anggota Barisan Padatala. Barisan berkaki gelang. Kalau dua yang lainnya sudah binasa, bukankah aku harus mati juga? Atau kamu lebih puas kalau aku mati di tanganmu?”

Senopati Agung menghela napas.

Sungguh bagai langit dan bumi perbedaan antara pendeta dari Syangka yang ini dan Upasara. Kalau yang satu serba curiga dan tidak bisa menghargai kebaikan hati orang lain, ksatria satunya justru tak menduga akan mendengar pertanyaan semacam itu.

“Aku gelang kaki terakhir, dan akan berakhir.

“Kalau kamu memang menginginkan aku mati di tanganmu, silakan….”

Wacak melangkah maju mendekat. Matanya tertutup, jalannya limbung, seakan menyerah. Upasara menggeleng. Kedua tangannya turun. Helaan napasnya dipenuhi rasa penyesalan. Penyesalan dan tidak mengerti sikap yang diambil Wacak.

Senopati Agung Brahma mendecak.

Belum terungkap semua decaknya, apa yang dikuatirkan terjadi!

Wacak yang seakan pasrah, linglung, limbung langkahnya, mendadak saja menubruk Upasara! Menyerang dengan tangan terbuka! Pada saat yang sama, bandul bandring Manmathaba menotol arah batok kepala bagian belakang.

Sakti seperti dewa sekalipun, Upasara tak pernah menduga serangan seperti sekarang ini. Dan nalurinya secara ksatria berbuat seperti diduga oleh Manmathaba! Yaitu menolong Wacak terlebih dulu! Membuka kedua tangan yang menubruk ke arahnya, baru memikirkan menyelamatkan diri sendiri dari serangan Manmathaba. Yang datang lebih cepat, karena Manmathaba menyerang bersamaan dengan Wacak, tanpa memedulikan keselamatan keduanya.

Kalau Upasara masih menggenggam keris, atau tidak begitu memedulikan dirinya, atau kalau Wacak tidak asal nekat, hasil akhir tak akan seperti sekarang.

Tapi Upasara hanya bisa memiringkan kepalanya, kedua tangan yang menjadi terlambat ditarik sepenuhnya ke belakang, menangkap tali bandring yang satu dan menyentakkan dengan keras. Sangat keras. Sangat mendadak. Sehingga Manmathaba terpental ke tengah udara.

Namun bersamaan dengan itu, kedua tangan Wacak telak-telak menghantam dada Upasara. Kedua kaki Upasara tak kuat menahan tubuhnya yang berputar, terjatuh sambil memuntahkan darah.

Tanpa memedulikan lawan yang sudah jatuh, Wacak meloncat ke atas dan siap menghancurkan dada Upasara dengan injakan sepasang kaki.

“Biadab!” Samar, lamat, setengah sadar, Upasara berusaha menggulingkan tubuh. Namun satu kaki Wacak sempat mampir di pundaknya. Terasa ngilu di sekujur tubuh. Apalagi ketika kemudian tendangan Wacak berikutnya mengenai punggungnya, Upasara bagai batang pisang, terlempar ke tengah udara.

Wacak bagai menemukan permainan yang mengasyikkan. Dua sikunya ditekuk ke depan, tepat mengenai dada Upasara yang kembali bergulingan sambil memuntahkan darah segar.

Senopati Agung Brahma merasa terlambat maju.

Karena dua atau tiga pukulan berikutnya tetap mengenai tubuh Upasara yang terus meluncur menghantam dinding Keraton bagian luar.

“Cukup!” teriak Permaisuri Indreswari.

Wacak bagai kesetanan, ia menyerang terus. Bahkan kali ini mengambil keris yang tadi dipergunakan Upasara untuk membebaskan dirinya dari maut!

Pukulan Pinggir

KERIS Senopati Agung Brahma itu untuk menikam habis Upasara. “Berani benar melanggar perintah Ratu!”

Suara Halayudha yang keras, dibarengi dengan dua tangan yang bergerak cepat memukul ke arah tubuh Wacak. Cukup cepat dan tepat. Tubuh Wacak bagai terdorong ke arah lain, agak menyerong ke arah kiri.

Kakinya bersandungan, akan tetapi keris itu tetap meluncur. Amblas ke dalam tubuh Upasara.

Inilah akhirnya.

Upasara yang tadi membebaskan Wacak justru terkena sabetan keris yang dipakai untuk menolong.

Di antara semua yang hadir, Senopati Agung Brahma yang paling menggigil dan menjadi pucat wajahnya. Apa yang disaksikan sejak awal membuat perutnya mual, dan rasanya sudah muntah berkali-kali akan tetapi tertelan kembali, sehingga makin menimbulkan rasa tidak enak.

Manmathaba sangat keji, Wacak demikian juga. Tapi Halayudha ternyata sama biadabnya!

Kalau Manmathaba dan Wacak melakukan kekejian dengan cara terang-terangan, Halayudha melakukan dengan kedok!

Dengan topeng mengikuti perintah Permaisuri. Untuk menghentikan gerakan Wacak. Dengan demikian seolah ia melaksanakan perintah Permaisuri untuk menahan serangan Wacak. Yang berarti menjalankan tugas. Di samping mendapat pujian dari para ksatria dan senopati, yang sebagian besar tidak pernah menganggap Upasara sebagai musuh utama yang harus dilenyapkan.

Padahal yang dilakukan, sebenarnya lebih busuk.

Halayudha memang memukul ke arah Wacak, sehingga Wacak terserong dan kakinya bersandungan. Akan tetapi sesungguhnya ia melakukan pukulan dengan tenaga Dayaka Dawata.

Senopati Agung Brahma bisa melihat dengan jelas.

Dayaka adalah sebutan untuk orang yang memberi sedekah, menaruh belas kasihan. Sedangkan dawata berarti pinggir atau tepi. Dua kata yang digabung menyimpan pengertian tersendiri.

Dengan mempergunakan tenaga Dayaka Dawata, atau Pukulan Pinggir, Halayudha seperti menolong Upasara padahal sebenarnya justru mencelakakan. Dengan pukulan pinggir, apalagi yang di arah bagian lengan dan pinggang kanan, jelas bahwa Halayudha ingin keris itu langsung tertuju ke arah Upasara!

Dengan demikian, Upasara akan tetap terkena tusukan keris yang dibidikkan, sementara tubuh Wacak tersungkur.

Kelicikan yang jelas terlihat di mata Senopati Agung ini yang membuat tiba-tiba jiwanya menjadi kosong. Kepercayaan diri kepada sesama manusia, sesaat terbang semuanya.

Tak ada yang tersisa. Tubuhnya makin menggigil.

Bagaimana mungkin ada manusia sejahat Halayudha yang sangat licik? Bagaimana mungkin manusia itu berada di Keraton, dan memegang jabatan yang tinggi, bahkan menjadi salah seorang senopati utama?

Berapa banyak korban tak berdosa jatuh ke tangannya? Dan masih berapa lagi yang akan berjatuhan? Dan bagaimana mungkin Halayudha yang bersikap curang bisa duduk tenang, menyembah hormat kepada Permaisuri tanpa terlihat sedikit pun penyesalan?

Pergolakan batin Senopati Agung makin lama makin menggerogoti kekuatan dalamnya. Hingga tanpa terasa lututnya melemas, tubuhnya terjatuh di tempat.

Tubuhnya menggigil.

Kalau kemudian Wacak diamankan para senopati yang lain, tak banyak artinya bagi apa yang terjadi. Tidak juga bagi Halayudha yang menyembah hormat.

“Maaf, Permaisuri Yang Mulia, hamba tak bisa melakukan tugas dengan baik. Saya hanya bisa menahan pembunuhan terhadap Upasara yang perlu kita tanyai….”

Dengan samar Halayudha mengisyaratkan bahwa Upasara tidak mati, hanya terluka. Sehingga maksud Permaisuri untuk menangkap Upasara hidup-hidup masih bisa terlaksana.

“Semua prajurit harap membersihkan ruangan. Sebentar lagi fajar akan tiba, dan Baginda akan memulai pemerintahannya pada lantai yang bersih dari semua kotoran.”

Halayudha menyembah lagi.

Permaisuri Indreswari melirik kecil, kemudian diiringkan oleh putranya masuk kembali ke dalam Keraton, diiringi para dayang dan pengawal utama.

Halayudha memerintahkan untuk menawan Upasara di tempat yang

Ditentukan, untuk kemudian ia sendiri bergegas memerintahkan pembersihan dan persiapan adanya pertemuan baru bersamaan dengan fajar.

Halayudha tahu bagaimana mengambil alih kepemimpinan sementara, sebelum Mahapatih atau senopati lain menyadari.

Bahkan dengan suara sangat tenang, Halayudha-lah yang meminta Pendeta Manmathaba beristirahat.

“Agar segar kembali dalam pasowanan yang akan datang.

“Apa yang Bapa Pendeta tunjukkan, lebih hebat dari semua yang ada di sini Bapa Pendeta berhasil mengalahkan ksatria jagat yang selama ini tak

terkalahkan.”

“Pujian yang berlebihan, meskipun begitulah kenyataannya. “Aku perlu belajar banyak darimu, Halayudha.”

“Ini yang berlebihan.

“Saya tidak layak mendengarnya….” Manmathaba mendehem.

“Agaknya kita ditakdirkan akan bertemu lagi….” “Saya siap melayani, seperti perintah Baginda….”

Halayudha bisa menangkap ancaman Manmathaba yang agaknya cukup mengetahui bahwa Halayudha mempunyai peranan yang unik tapi menentukan dalam tata pemerintahan Keraton.

Meskipun demikian, Halayudha tidak menunjukkan sedikit pun tanda-tanda ia mengetahui dirinya dicurigai atau diperhitungkan. Halayudha seakan menganggap ucapan “kita ditakdirkan akan bertemu lagi”, seperti arti yang diucapkan.

Sikapnya yang waspada, hati-hati, dan penuh dengan perhitungan, ditutupi dengan penampilan polos, seadanya, sebagai prajurit yang selalu mengikuti perintah atasan.

Itu pula yang dilakukan Halayudha ketika mendapat isyarat agar menghadap Permaisuri Indreswari di kamarnya.

Halayudha berjalan jongkok dan menyembah beberapa kali, duduk tepekur di tempat yang agak jauh dari pembaringan, di mana Permaisuri Indreswari terbaring menatap langit-langit.

“Apa yang harus kulakukan, Halayudha?” Halayudha menyembah.

Tanpa menjawab.

“Apa yang harus kulakukan, Halayudha?”

“Permaisuri yang Mulia lebih dari tahu apa yang sebaiknya dilakukan.”

Halayudha tetap bisa menahan diri untuk tidak segera menunjukkan bahwa ia mempunyai rencana tertentu yang sudah dipersiapkan. “Bagaimana keadaan sekarang ini?” Halayudha menyembah, menunduk lama.

“Fajar yang sangat indah sekali sebentar lagi mewarnai Putra Mahkota untuk memulai takhta. “Sekarang semuanya sudah rata, bercahaya, dan harum.

“Tak ada lagi yang menghalangi. Tidak juga sebutir kerikil yang paling kecil sekalipun.” “Apa benar begitu?”

Halayudha menyembah lagi.

“Siapa saja bisa menangkap firasat bahwa fajar akan dimulai setelah semua kegelapan tersapu rata. Tak ada lagi penghalang yang tersisa. Tidak dari Mahapatih atau semua senopati yang masih ingin membangkang. Tidak dari para ksatria yang sok gagah perkasa. Upasara Wulung yang di zaman Baginda tak bisa dicegah kenakalannya pun sekarang bisa ditundukkan.

“Semua pertanda dari Dewa bagi kesejahteraan dan kebesaran putra utama Permaisuri yang Mulia.” “Bagaimana dengan Senopati Agung?”

Halayudha terdiam.

“Bersama dengan fajar nanti, putraku, raja yang berkuasa, akan memutuskan apa yang harus ditaati oleh Senopati Agung dan seluruh keluarganya.”

“Hamba bisa mengerti kesulitan Permaisuri yang Bijak untuk mengampuni Senopati Agung….” “Aku lebih memikirkan putranya….
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar