Senopati Pamungkas Buku - II Jilid 03

Jilid 03

Akan tetapi kaki Halayudha bisa menyentuh dinding, atau malah belum menyentuh sama sekali, tubuhnya telah berbalik lagi, menyerang dengan cara yang sama.

Lagi-lagi terdengar “plak” lirih.

Tubuh Halayudha meluncur ke tempat semula.

Dan mendadak berbalik sebelum kakinya menyentuh tiang Keraton. Berbalik lebih cepat sehingga mengeluarkan desingan suara yang menyobek udara.

Sungguh luar biasa!

Jarak antara tubuh Upasara dan dinding Keraton cukup jauh. Demikian juga dari tempat di mana Halayudha meluncur. Namun semua itu hanya dilewati dalam sekejap. Benar-benar seperti kecepatan anak panah yang dilepaskan dari busur yang terentang penuh.

Bolak-balik.

Dan setiap kali hanya terdengar suara “plak” lirih.

Mahapatih Nambi merasa menyaksikan pertarungan yang belum pernah dibayangkan. Tubuh Halayudha bisa meluncur begitu cepat dan berputar balik, tidak terlalu istimewa. Andaikata tidak meluncur tepat di tengah dua tubuh yang berdiri di tempatnya sejak tadi.

Di antara tubuh Eyang Putri Pulangsih dan Gendhuk Tri. Yang seakan menjadi tiang, di mana Halayudha menerobos dengan leluasa.

Yang tidak diperhitungkan Mahapatih Nambi ialah bahwa setiap kali tubuh Halayudha meluncur ke dekatnya, Gendhuk Tri merasa tertekan tenaga yang berat sekali. Mengimpit dadanya.

Kesiuran angin Halayudha memaksa untuk minggir dua langkah ke samping. Sementara Eyang Putri Pulangsih masih menyilangkan kedua tangan di depan dada.

Halayudha sendiri merasa getaran yang terpancar keras dari tenaga dalamnya, tiap kali seperti membentur permukaan yang licin. Sehingga benturan tenaga itu membuat tubuhnya melesat.

Upasara tidak meladeni keras lawan keras. Juga tidak mengisap tenaga lawan.

Telapak tangannya seperti membiaskan tenaga yang datang.

Lima kali berputar balik, Halayudha menyimpan tenaga benturan yang keras. Ia pusatkan tenaga di pundak. Dengan demikian ia ingin memaksa beradu tangan, dan pada saat yang sama akan menyusul dengan serangan keras.

Akan tetapi Halayudha rada kecele. Kembalinya Timinggila Kurda Tenaga dalam Upasara sama saja. Tak terdesak tak membalik.

Yang terjadi justru sebaliknya. Tubuhnya sendiri yang terlontar lebih keras dari semula. Di saat meluncur, tenaga dalam Halayudha bereaksi sendiri dengan keras. Sehingga luncuran tubuhnya makin kencang.

Dengan mengeluarkan suara keras, Halayudha mendadak membalik tubuhnya. Bagai geliatan yang liat, tubuhnya berbalik seketika, dan kedua tangannya memagut tubuh Upasara!

Inilah jurus-jurus Timinggila Kurda atau Ikan Gajah Murka. Jurus-jurus maut andalan Paman Sepuh!

Gendhuk Tri sudah tersingkir makin jauh tanpa terasa. Lingkaran yang mengepung juga membuka makin lebar.

Dengan jurus ini, Halayudha memaksa pertarungan jarak pendek. Menggelut Upasara, yang mendadak memutar tubuhnya ke arah yang berlawanan dengan putaran Halayudha.

Masih bersila, tubuh Upasara berputar makin lama makin kencang. Makin lebar putarannya, sehingga kini mengelilingi tubuh Eyang Putri Pulangsih yang masih berdiri tegak sejak tadi.

Apa yang dilakukan Upasara sebenarnya membuka ruang pertarungan yang lebih longgar. Karena merasa bahwa jurus-jurus Timinggila Kurda akan lebih menemukan bentuknya dalam ruang pertarungan yang lebar.

Seekor ikan paus yang murka membuat gelombang lebih besar.

Halayudha tidak merasa bahwa Upasara terpancing atau terdesak oleh serangannya. Nalurinya yang tajam justru mengatakan sebaliknya. Upasara sedang memberi kesempatan. Untuk menjajal ilmu yang sejati.

Halayudha tak mau menyia-nyiakan kesempatan.

Belitan tubuhnya makin menggila. Menerjang bolak-balik dari segala penjuru dengan tangan dan kaki terentang. Seolah seorang anak yang kesetanan, yang menyerang dengan gerakan apa saja.

Inti Timinggila Kurda memang demikian halnya. Tak berbeda dari yang dikuasai Upasara ketika masih memainkan Banteng Ketaton. Inti pengerahan tenaga sama caranya.

Hanya latihan dan penguasaan tenaga yang jauh berbeda yang juga membedakan kekuatan serangan yang ada.

Tangan kiri Upasara mendadak mengeras. Kepalannya terbentuk.

Ke arah mana serangan Halayudha datang, ke arah itu pula tangannya bergerak. Menyambut. Tiga gempuran berlalu.

Sebelum kemudian tangan itu bergerak menangkap gerakan Halayudha. Memotong gerakan dengan paksa.

“Hiyah!!”

Halayudha berteriak nyaring. Dua tenaga kuat beradu. Tubuh Halayudha melesat jauh ke dinding Keraton di mana ia memanggang Pendeta Syangka! Sementara Upasara berdiri gagah.

Beberapa kejap tubuh Halayudha seperti tertahan di dinding.

Akan tetapi beberapa pasang mata yang awas mengetahui, bahwa justru sekarang Halayudha menunjukkan kesaktiannya. Ia terlempar sampai dinding, akan tetapi sekarang ini tubuhnya tidak menempel dinding, dan kakinya tidak menginjak tanah.

Seolah mengapung. “Hebat!”

Upasara tak menjawab pujian Halayudha. Telapak tangannya terdorong ke depan.

Tubuh Halayudha bergoyang-goyang sebelum turun ke tanah. “Hebat!

“Itukah jurus Penolak Bumi yang kondang tanpa tanding itu?” “Kondang atau tidak, apa bedanya?

“Tanpa tanding, apa mungkin?” Halayudha maju setindak.

“Upasara, katakan jurus mana yang kamu mainkan?” “Tak ada jurus.

“Saya tak memainkan apa-apa.”

Kalau ada yang menggelengkan kepalanya perlahan, itu hanyalah Eyang Putri Pulangsih. Dalam hatinya seperti terbersit umpatan yang mengatakan bahwa Upasara Wulung sangat tolol.

Mengatakan apa adanya.

Itulah ketololan yang juga dimiliki Bejujag. “Coba ini!”

Halayudha menggertak maju. Kedua tangannya terayun ke depan, akan tetapi sapuan kakinya lebih cepat. Jauh sebelum mengenai tubuh Upasara, kakinya telah berputar balik. Pada saat yang sama tangannya mendorong tubuh Upasara.

Walaupun kelihatan tetap tenang, Upasara merasa bahwa tekanan tenaga dalam Halayudha makin lama makin berat. Dengan mengosongkan tenaga di bagian kaki dan mendorong di bagian atas, Upasara menyadari bahwa bagian jurus-jurus Banjir Bandang Segara Asat sedang dimainkan.

Dengan tenaga dalam dan penguasaan yang lebih sempurna dari Ugrawe!

Saat Ugrawe menguasai jurus itu, ia bisa malang-melintang tanpa lawan. Semua lawan bisa disikat dan dilumpuhkan. Karena tenaga dalam diisap habis, untuk dipindahkan ke dalam dirinya. Memakai perimbangan banjir besar di tubuh sendiri, akan tetapi kering kerontang di laut.

Pemindahan tenaga dalam yang sangat berbahaya. Karena ini berarti pertarungan akhir.

Pada saat tenaga dalam Ugrawe kalah kuat, yang terjadi adalah sebaliknya. Tenaga dalamnya yang terisap ke luar.

Yang berarti habis!

Akan menjadi cacat seumur hidup.

Upasara terkesiap. Sama sekali tak menyangka bahwa Halayudha akan memainkan jurus yang paling berbahaya. Kalau berani mengeluarkan Banjir Bandang Segara Asat, berarti sudah menakar kekuatan tenaga dalam lawan.

Dan yakin akan memperoleh kemenangan.

Sepersekian kejap Upasara ragu, Halayudha mendesakkan tenaganya. Upasara memutar tubuhnya dengan kencang. Tangan kanannya bergerak ke bawah, memotong arus tenaga isap dan tenaga dorong.

Halayudha memutar tubuhnya ke samping.

Dua tangannya berada di sebelah atas pundak. Sedikit miring. Siap melancarkan serangan berikutnya.

“Hebat!” Kali ini Upasara yang memuji.

“Tak percuma menjadi lelananging jagat!” teriak Halayudha dengan napas sedikit tersengal. Pujian Upasara bukan basa-basi.

Untuk pertama kalinya ia menyaksikan bahwa Halayudha mampu menguasai pernapasan dan pengerahan tenaga dalam yang sempurna. Yang sulit dicari tandingannya.

Selama ini Upasara hanya mengetahui bahwa jurus maut memindahkan tenaga dalam hanya bisa dimainkan untuk meraih kemenangan atau kalah.

Dan bukannya bisa ditarik kembali. Itulah sebabnya ia memuji tulus.

Sebaliknya, Halayudha juga merasakan kekuatan yang sesungguhnya. Sejak melancarkan Banjir Bandang, ia tidak melakukan sepenuh hati.

Karena masih menjadi tanda tanya apakah keunggulan penguasaan tenaga dalamnya lebih atau masih kalah.

Makanya di tengah perjalanan ia menarik kembali.

Pujian Halayudha terutama karena Upasara mampu bergerak memotong gerakannya. Dan bukan sekadar menerima.

Ini juga untuk pertama kali Halayudha mengetahui bahwa gerakan lawan bukan hanya sekadar menerima, akan tetapi juga mementahkan.

Meskipun belum tentu Upasara mampu mementahkan serangan kalau dirinya menyerang sepenuh tenaga, Halayudha merasakan keunggulan Upasara menangkap arah dan mengukur serangan.

Mahapatih Nambi yang mencoba mengikuti jalannya pertarungan dengan saksama, memperhitungkan bahwa dalam gebrakan ini Halayudha lebih unggul. Sekurangnya mampu memaksa Upasara berdiri, dan menggunakan tangan kanan.

Padahal dalam prinsip-prinsip dasar, jurus-jurus Tumbal Bumi yang disebut Tepukan Satu Tangan, tetap dengan satu tangan. Mahapatih Nambi tidak menganggap dirinya sok tahu. Akan tetapi seperti dimaklumi, Kitab Bumi— lengkap dengan bagian Tumbal Bumi atau Penolak Bumi—boleh dikatakan dipelajari oleh semua senopati utama.

Halayudha mengibaskan tangannya.

Tangan kanannya bergerak melengkung seperti menyampok air di sungai, dan dengan satu gerakan yang sama tubuhnya mengikuti tarikan tenaga sampokannya.

Hanyut menuju Upasara. “Pencuri dungu!”

Kali ini Gendhuk Tri yang bersuara keras. Ia mengetahui bahwa Halayudha memainkan ilmu silat yang selama ini dimainkannya!

Itu sebabnya Gendhuk Tri menganggap Halayudha sebagai pencuri ilmu orang. Nyatanya memang begitu.

Tirta Karkata

INI yang membuat para senopati menahan napas.

Tadinya mereka berharap melihat pertarungan yang seru, yang mengucurkan darah dengan gerakan- gerakan ajaib. Akan tetapi nyatanya yang terjadi hanya gebrakan-gebrakan lirih.

Sesekali saja.

Perhitungan seperti itu bisa saja keliru.

Harapan menyaksikan pertarungan kelas satu pernah diangankan juga oleh Gendhuk Tri. Ketika secara tidak langsung mengetahui pertarungan di Trowulan.

Akan tetapi jangan kata melihat tontonan yang menarik, untuk bisa mengikuti gerakan saja susah. Tidak persis sama, akan tetapi inilah yang tengah terjadi.

Halayudha meliuk seolah sedang memamerkan tarian, tubuhnya hanyut secara lembut. Menggelinding ke arah tubuh Upasara. Akan tetapi ketika mendekat, mendadak kedua tangan terulur ke depan.

Menjepit tenggorokan Upasara. “Hhh!” Terdengar tarikan napas pendek.

Upasara seakan mendengar tarikan napas pendek itu. Berarti Eyang Putri Pulangsih pun mau tak mau akhirnya bereaksi.

Berarti ada apa-apanya.

Dugaan Upasara tak sepenuhnya meleset. Telinganya mendengar desahan napas Eyang Putri Pulangsih. Hanya saja makna yang ditangkap terlalu jauh.

Eyang Putri Pulangsih mendengus bukan karena Halayudha memperlihatkan jurusnya secara bagus, akan tetapi melihat bahwa apa yang selama ini diajarkan, bisa menjadi lain.

Sebagai pencipta ilmu silat yang bersumber dari Kitab Air yang ditulis oleh tangannya sendiri, Eyang Putri Pulangsih mengetahui persis apa yang terjadi. Akan tetapi tidak menyangka bahwa di tangan Halayudha gerakan itu bisa diubah menjadi gerakan panas.

Tak pernah terbayangkan ketika menciptakan dulu.

Gendhuk Tri yang tadinya mengenali ilmu silatnya yang ditiru Halayudha, jadi sangsi. Tapi sekaligus juga kuatir. Karena Halayudha memainkan secara telengas.

Memang di tangan Halayudha, segala ilmu silat bercampur aduk menjadi satu. Dengan kemampuan mengendalikan napas dan kemampuan menimba serta menyaring, Halayudha boleh dikata tanpa tandingan dalam soal ini.

Ilmu murni yang dipelajari sudah bercampur dengan ilmu yang lain. Yang kebetulan sama-sama ilmu kelas satu.

“Air apa? Air kotor macam begitu dipamerkan?”

Suara Gendhuk Tri lebih merupakan gambaran kecemasan yang ada.

Upasara mengertakkan giginya. Jepitan di tenggorokan ditangkis keras, dan dengan gerakan yang sama sikunya amblas ke dada lawan.

Trak! Traak! Traaaak! Trak!

Empat kali terdengar suara benturan keras, seakan tulang-tulang patah. Upasara mengimbangi kekerasan dengan kekerasan. Jepitan yang masuk ditolak dengan menerobos ke dalam dan dengan tenaga keras coba dipatahkan.

Tangan Halayudha yang menjepit menjadi renggang. Seolah jepitan yang menemukan barang lebih keras. Dua kali usaha dilakukan dengan hasil yang sama.

Halayudha mendesis perlahan, mengubah gerakannya menjadi lembut, dan seakan membelai leher Upasara, atau mengili-ngili. Dibarengi gerak tubuhnya yang hanyut oleh irama tangan, sangat kontras dengan apa yang dimainkan sebelumnya.

Upasara segera menyadari bahwa Halayudha memperlihatkan kelebihannya dalam mengatur tenaga dalam. Sebelum menggila dengan Timinggila Kurda yang dahsyat serta Banjir Bandang, dalam sekejap sudah mengganti dengan jurus keras yang lembut, lalu berubah lagi dengan jurus lembut yang keras.

“Amati baik-baik. Inilah Tirta Kartaka!”

Gendhuk Tri memang tidak mengenal nama jurus-jurus yang dimainkan. Ia tahu persis arah gerakan dan perubahan-perubahan yang terjadi, akan tetapi secara langsung tidak mengerti istilah atau penamaan jurus-jurus tersebut.

Bisa dimengerti karena dulu Eyang Raganata yang menurunkan ilmunya, baik kepada Jagaddhita maupun kepadanya secara langsung, tak pernah memberitahu. Karena memang itu bukan hak Eyang Raganata. Eyang Putri Pulangsih yang lebih berhak.

“Aku sengaja memberikan pelajaran.” Gendhuk Tri gondok sekali.

Dongkol hingga ke pangkal leher.

Akan tetapi diam-diam tetap mengagumi kehebatan Halayudha. Bukan hanya lidahnya yang culas dan otaknya yang licin, akan tetapi ilmu silatnya juga serba tak terduga.

“Ia benar sekali, Gendhuk.

“Kamu perhatikan baik-baik.” Gendhuk Tri mendengar bisikan di telinganya. Pasti Eyang Putri yang berdiri di kejauhan, yang seperti tak bergerak itu, yang memberitahu. “Dasar-dasar yang digerakkan adalah dasar yang sama dengan yang kamu pelajari. Sumber gerakan yang ada adalah sumber tenaga air. Akan tetapi ia menggabungkan dengan kemampuannya sendiri untuk mengembangkan.

“Kembangan atau variasi yang dimunculkan sekarang adalah gabungan tenaga menjepit yang keras- lembut dan lembut-keras, yang tak ada dalam tenaga air.

“Tenaga air adalah tenaga mengalir.

“Halayudha ini menghimpun dan memainkannya.

“Ia menyebutnya sebagai Tirta Kartaka atau bisa berarti Air Udang atau Air Ketam. Udang mempergunakan tenaga lembut-keras, sedangkan ketam mempergunakan tenaga keras-keras dalam menjepit lawan.

“Boleh juga orang ini!

“Kartaka yang bisa berarti ketam dan atau udang, sengaja tidak dipisahkan, melainkan digabungkan. Mana ketam dan mana udang tak dipersoalkan lagi.

“Boleh. Orang ini ilmunya boleh juga.”

Menghadapi benturan yang keras atau elusan, Upasara menggeser kedua kakinya. Miring ke samping, sambil kedua tangannya menarik udara sekitar. Dengan demikian Halayudha menjadi sedikit sempoyongan.

Kalau tadinya Halayudha sedikit lebih unggul, kini nampak justru keteter. Gerakannya tak lagi bisa perkasa. Beberapa kali terseret maju, dan dengan membuang tubuhnya, Halayudha berusaha tampil dengan perkasa.

“Kakang bisa mengatasi!”

“Jangan tolol,” bisik suara Eyang Putri Pulangsih agak menyakitkan telinga. “Bukan kakangmu yang hebat. Tapi Bejujag. Apa yang dimainkan sekarang adalah jurus Penolak Bumi.

“Kembangan yang diperlihatkan Upasara menunjukkan ia sedang mengisap dan membuang habis tenaga sekitar. Tenaga air yang dipakai Halayudha sedang ditawu. Sedang dikuras habis.

“Bejujag menciptakan Kitab Penolak Bumi secara sempurna. Ilmu yang kuciptakan sekian tahun bisa dimentahkan.

“Apa artinya udang atau ketam dalam soal menyerang kalau tak ada air? “Sayang sekali kalau segera habis.

“Gendhuk, kamu katakan agar Halayudha segera memainkan Kidungan Lwah Gangga Gahan” Gendhuk Tri jadi bingung sendiri.

Ia menggigit bibirnya. “Jangan tolol.

“Ini pelajaran penting bagimu. Kalau pertarungan berjalan lama, kamu bisa mendapatkan banyak kesempatan melihat. Sekalian aku melihat seberapa jauh Bejujag menghadapi ilmuku.”

Dengan napas terengah-engah Gendhuk Tri berteriak, “Halayudha, kamu jangan menjadi tolol.

“Sudah terang tenaga air kamu menjadi musnah, masih saja nekat. Jangan membuat aku yang mewarisi ilmu itu menjadi malu. Kenapa tidak memainkan Kidungan Lwah. Bukankah Sungai Gangga sangat masyhur?”

Eyang Putri Pulangsih tersenyum dalam hati.

Sama sekali tak disangka bahwa “cucu-muridnya” mempunyai lidah yang tajam. “Aku coba….”

Gendhuk Tri kaget sendiri.

Karena Halayudha bisa menangkap dengan baik. Gerakan tangannya ditarik kembali, dan kini tubuhnya mengambang ke atas, bagai gelombang. Begitu saja menyerang ke arah Upasara dengan suara kesiuran angin yang keras.

Halayudha bisa menangkap pengertian Lwah, yaitu tenaga sungai atau tenaga bengawan. Dengan mengambil perumpamaan Sungai Gangga, Halayudha bisa mengubah serangannya yang mulai kering, dengan awalan. Seolah menghapus pertarungan yang tengah berlangsung dan memulai dari awal.

“Lyap-Lyus yang menjadi lanjutannya. Bukankah begitu?” Gendhuk Tri tertegun. Ia tak tahu harus menjawab bagaimana. Pertanyaan itu tak bisa dimengerti. Karena kidungan yang utuh tak diketahui.

Tapi Gendhuk Tri tak mau kehilangan akal. “Untuk hal kecil begitu saja pakai tanya segala….”

Prathiwibhara

UPASARA yang merasakan akibatnya. Tubuh Halayudha seakan menyeret dan melontarkan, mengaduk-aduk dirinya. Mau tak mau Upasara mengimbangi dengan meloncat ke atas, membalik, dan membiarkan Halayudha menguasai medan pertarungan.

Pukulan kanan-kiri yang menyambar, membuat Upasara bertahan. Kembali jantung Gendhuk Tri terguncang keras.

Lyap-Lyus yang hanya sepatah dan sekali diucapkan, membawa perubahan yang besar. Lyap artinya meluap atau penuh. Kini tenaga bengawan itu diluapkan. Lyus artinya binasa atau meninggal, atau meninggalkan gelanggang. Kemungkinan ketiga inilah yang terjadi pada diri Upasara.

Medan pertarungan dikuasai sepenuhnya oleh Halayudha. Yang secara perlahan tapi keras dan pasti mengurung Upasara.

“Katigalyus…”

Seruan di telinga Gendhuk Tri segera tergema tanpa bisa dikuasai sendiri.

Padahal Gendhuk Tri mengetahui bahwa ucapan itu berarti petunjuk bagi Halayudha. Mungkin yang menentukan. Karena kini Halayudha meningkatkan serangan menjadi tiga kali lipat. Katigalyus berarti ketiga-tiganya sekaligus!

Yang bisa berarti tiga kali lipat.

Tiga lawan bisa diringkus dalam saat yang sama. Brett!

Upasara meloncat mundur dengan sebat hingga ke dinding, dan Halayudha menyambar datang. Bentrokan kecil, membuat Upasara meninggalkan dinding, meloncat ke atas, dan sekejap kemudian gelombang bengawan sudah merangseknya.

Dengan menggerung keras, Upasara menyelinap masuk.

Ketika Halayudha menerjang ke arahnya, Upasara menyelinap di antara dua kaki Halayudha. Lolos di balik tubuh Halayudha.

Luar biasa!

Akan tetapi sebelum bisa melancarkan serangan, tubuh Halayudha sudah berbalik dan tangannya terayun, seakan merogoh isi perut Upasara.

Diiringi desisan kecil Upasara berusaha menangkis. Plak!

Terdengar suara kecil, lirih.

Tubuh Upasara menjadi bergoyang karenanya.

Halayudha tersenyum penuh kemenangan ketika untuk kedua kalinya tangannya terayun. Lompatan Upasara hanya membuat tubuhnya makin jauh saja.

Pukulan Halayudha tidak ditarik.

Tangannya meluncur terus menembus dinding Keraton. Amblas ke dalam.

Baru ketika ditarik kembali, dinding itu menjadi bolong dan debu beterbangan tertiup angin. Di dinding, membekas dua tangan Halayudha, sebatas siku!

Leher Gendhuk Tri menjadi beku.

Bisa dibayangkan jika dada atau isi perut Upasara tersambar pukulan ini! Dinding saja amblas. Dan bekasnya hanya sebatas kepalan tangan.

Sekitarnya masih utuh. Ludah pun tak bisa ditelan.

Sungguh tak masuk akal jika Upasara Wulung dikalahkan oleh Halayudha karena petunjuk Gendhuk Tri. Sampai mati pun ia akan terus menyesali. Tapi Gendhuk Tri tak bisa berbuat lain.

Karena yang membisiki adalah eyang gurunya.

Yang membuatnya pusing dan tak mengerti ialah, bahwa tadi Eyang Putri Pulangsih datang bersama Upasara Wulung. Dan berdiam diri pada saat permulaan pertarungan.

Tapi kini justru berbalik. Membantu Halayudha.

Walaupun sebenarnya telah diberitahu, Gendhuk Tri tak bisa menangkap keinginan Eyang Putri Pulangsih. Baginya tidak masuk akal kalau ini semua hanya dikarenakan Eyang Putri Pulangsih ingin menjajal ilmunya dengan apa yang diajarkan Eyang Sepuh. Tak masuk akal karena risikonya begitu tinggi.

Sedikit saja salah, tubuh. bisa hancur. Atau setidaknya, cacat seumur hidup. “Jangan tolol.

“Semua mempunyai risiko. Kalau tidak mau menjadi ksatria, jangan terjun ke dunia silat. Menenun kain mungkin lebih tepat. Atau menjadi waranggana.”

Eyang Putri Pulangsih mengetahui jalan pikiran Gendhuk Tri dan mencegat dengan pernyataan, bahwa itu sudah biasa. Kalau mau aman ya menjadi pesinden atau penyanyi kidungan diiringi gamelan.

Bahwa Gendhuk Tri bisa menolak mengatakan apa yang terbisikkan di telinganya, bukan hal yang sulit. Ia bisa melakukan hal itu.

Namun ia juga sadar, bahwa Eyang Putri Pulangsih jauh lebih bisa membisikkan itu secara langsung kepada Halayudha.

“Aku mau tahu, apakah Bejujag bisa menandingiku. “Kitab Bumi macam mana yang tidak hanyut oleh air?” “Tapi sungguh tidak adil,” kata Gendhuk Tri.

“Apanya yang tidak adil?”

“Kakang Upasara tak ada yang membisiki.” “Biar saja sampai Bejujag muncul.”

“Kalau tidak?”

“Berarti Bejujag mengakui kekalahannya.” “Belum tentu, belum tentu….”

“Gendhuk geblek, jadi kamu lebih mengakui keunggulan Bejujag?” Gendhuk Tri tersenyum tawar.

Sunggingan senyuman menjadi gambaran kesakitan.

“Tidak adil, karena Halayudha tinggal memainkan saja. Padahal yang sangat menentukan justru pada jurus keberapa ilmu ini dimainkan.

“Menentukan itu yang lebih wigati, bukan sekadar memainkannya. Kalau cuma itu, saya juga bisa melakukannya.”

“Belum tentu.

“Apa yang dimainkan Halayudha mempunyai dasar Kitab Bumi juga. Sekurangnya ketika masih diciptakan Dodot Bintulu.”

Padahal dengan ucapan tadi, Gendhuk Tri mengisyaratkan dirinya yang maju menggantikan Halayudha. Kalau ini bisa terjadi, bukankah adu ilmu antara para tokoh sakti masa lalu tak perlu meninggalkan korban?

“Keampuhan ilmu silat berbeda dengan bunyi kidungan.

“Ilmu silat harus dilatih, harus ditemukan lawan. Tanpa itu latihan yang ada lebih untuk kesegaran dan olah tubuh. Dan seorang ksatria harus terjun ke medan pertempuran. Dengan menjadi prajurit atau apa saja.

“Sri Baginda Raja berpesan begitu.

“Apa gunanya punya ilmu silat tinggi kalau tak bisa membunuh lawan? Itu belum ilmu silat!” Gendhuk Tri makin merasa jengkel dinasihati seperti itu. “Kamu masih perlu mendengar lebih banyak. “Kalau mengaku pewaris Kitab Air.” Gendhuk Tri memejamkan matanya. “Sekarang saatnya…

“Gendhuk Tri, katakan sekarang saatnya lwa, lwang, lwar” Gendhuk Tri mengulangi.

Halayudha mendadak mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Tubuhnya berputar dengan satu kaki sebagai sumbu.

Makin kencang, dan bergeser ke arah lwar atau utara. Sementara lwa atau keluasan, kelapangan Lwang atau ruang yang ada, menjadi kekuasaan pengaruh Halayudha.

Bagai terseret arus, Upasara tak bisa menghindar ke arah lain. Tubuhnya terseret, menghadap ke arah utara, di mana Halayudha makin gencar melancarkan serangan.

“Bagus! “Ikuti aku….”

Halayudha menggeser ke arah timur, dan Upasara mengikuti. Bahkan ketika Halayudha berputar, tubuh Upasara ikutan berputar.

“Bagus!

“Kumakan kamu….” Gendhuk Tri menjerit lemas.

Bukan hanya dirinya yang mengetahui bahwa permainan Halayudha sudah mencapai puncak yang menentukan kemenangan. Karena kini Halayudha sepenuhnya mendikte pertarungan. Ke arah permainan keras, lembut, keras-lembut, lembut-keras, Halayudha-lah yang menentukan.

Upasara hanya bisa melayani.

Tanpa bisa menentukan gerakan atau cara bertarung.

Sekuat apa pun bertahan, akan tetapi jika pertarungan mulai dikuasai seseorang, yang terpaksa mengikuti akan kedodoran. Karena tak bisa seperti apa yang diharapkan. Hanya bisa mengimbangi.

Kedua tangan Halayudha terangkat tinggi.

Upasara mengikuti, seakan siap menahan serangan.

Tapi mendadak sekali, tangan itu terulur turun dengan tubuh terbalik ke atas. Sedemikian cepatnya, sehingga sebelum kedua tangan Upasara mengikuti, tubuhnya kena jamah.

Terpegang erat.

Tinggal membanting atau meremukkan. “Prathiwibhara!”

Prathiwitala

GENDHUK TRI merasa pertarungan berakhir.

Teriakan itu seperti mengakhiri pertarungan yang sesungguhnya. Karena dengan meneriakkan serangan terakhir, Halayudha yakin dan pasti apa yang dilakukan!

Dalam keadaan terdesak, Upasara tak mempunyai pilihan lain. Gendhuk Tri tak berani membuka matanya.

Akan tetapi telinganya seperti mendengar desahan napas yang ditarik dengan berat.

Barulah kini sadar, bahwa teriakan itu bukan diucapkan oleh Halayudha. Melainkan oleh Upasara Wulung.

Ah, bagaimana mungkin ia bisa melupakan nada suara Upasara?

Desahan napas berat itu pasti dari Eyang Putri Pulangsih yang merasa kecewa. Berarti…

Gendhuk Tri membuka matanya.

Pemandangan yang terlihat masih seperti semula.

Upasara Wulung berdiri tegap. Dadanya dipegang kencang oleh Halayudha yang menangkap dari atas. Kini siap membanting atau menghancurkan. Tampak sekali tenaga yang tengah dikerahkan Halayudha, sehingga udara sekitar seperti dipenuhi dengus keras. Tapi anehnya, Upasara bergeming. Tetap berdiri tegak.

Kalau pukulan Halayudha bisa membuat lubang di dinding Keraton menganga, kenapa sekarang tak berarti?

Tak kurang kagetnya, Halayudha sendiri. Dengan pengalaman bertarung yang boleh dikatakan lebih dari mengenyangkan, Halayudha sangat yakin bahwa ia sepenuhnya menguasai pertarungan. Bisa memaksa Upasara bertahan.

Pada saat yang menentukan tenaga air bah yang ada disalurkan, dan bisa menangkap Upasara. Tanpa sempat melawan.

Akan tetapi seperti ada keajaiban.

Tubuh Upasara menjadi kelewat berat. Tak bisa digerakkan, apalagi diangkat. Semakin keras ia mengeluarkan tenaga, semakin yakin bahwa usahanya sia-sia.

Bahkan ketika berusaha menyalurkan tenaga dalam untuk menggempur, Upasara tetap bergeming. Seakan tenaga dalamnya demikian kuat mewadahi air bah yang menyerang.

Baginda yang sejak tadi mengikuti jalannya pertarungan yakin bahwa kini kemenangan di tangan Halayudha, salah seorang senopatinya. Setidaknya sampai saat bisa menangkap tubuh Upasara. Maka cukup mengherankan, kalau sekarang Halayudha berkutetan sendiri hingga tubuhnya mengepulkan asap tebal berwarna cokelat. Tanda pengerahan tenaga yang berlebihan.

Sebaliknya, Upasara tetap gagah.

Bahkan kedua tangan yang tadi mengikuti gerakan Halayudha, masih tetap terbuka telapak tangannya ke arah langit.

Bukankah…

“Kemplang saja ubun-ubunnya… atau Kakang pilih pencet hidungnya!”

Perhitungan Gendhuk Tri yang memberi komentar sederhana alasannya. Melihat Halayudha terpaku, Upasara bisa melakukan apa aja sesuka hatinya. Telapak tangan yang menengadah ke langit bisa diturunkan ke ubun-ubun lawan.

Andai tahu nasihatnya bisa menghancurkan Upasara, Gendhuk Tri tak punya sisa umur untuk menyesali.

Hal ini baru jelas, ketika bisikan Eyang Putri Pulangsih yang geram terdengar lirih. “Jangan tolol, jangan sembrono.

“Upasara tak akan mengubah tubuhnya sekarang ini. Ia sedang melakukan pernapasan dan sekaligus juga gerakan Prathiwibhara, atau Memberat Seperti Bumi.

“Inilah jurus yang paling curang yang diciptakan Bejujag.

“Gendhuk, kamu tahu air yang bergerak. Bukan oleh tenaganya sendiri, melainkan tenaga lain yang ada. Tanpa memaksa.

“Bejujag curang. Ia menyandarkan kekuatannya pada bumi, pada tanah. Kekuatan tanah yang diambil untuk intinya. Seperti sekarang ini.

“Tak apa, hampir semua ilmu begitu. “Tapi lihatlah.

“Telapak tangan Upasara Wulung yang menengadah ke atas. Lihat baik-baik, bukankah itu curang?” “Curang?”

“Ya.

“Bejujag curang.

“Masa kamu pura-pura tak melihat?”

Mata Gendhuk Tri sampai berkejap-kejap karenanya. “Curang?”

“Jangan kamu ulang seperti keheranan.

“Itulah kecurangan Bejujag. Dalam ilmu pernapasan yang mengambil kekuatan bumi, telapak tangan selalu menghadap ke bawah, berputar gerakannya. Menghadap tanah sebagai tanda hormat.

“Tapi Bejujag menciptakan itu dengan menghadapkan telapak tangan ke atas. Ke langit.

“Berarti ia memakai tenaga bumi, tapi juga main mata dengan tenaga langit. Apa itu tidak curang? “Kalau Bejujag ada, sekarang ini pasti sudah terkencing-kencing karena malu.”. “Kenapa, Eyang?”

“Kenapa? Kamu tanya kenapa?

“Sudah jelas ia mengabdi bumi. Memuliakan bumi. Kenapa memunggungi bumi?” “Menghormati tidak berarti hanya menyembah.

“Mencintai tidak berarti hanya memiliki.” Gendhuk Tri terbelalak.

Upasara bersuara dengan keras.

Apakah itu suara Bejujag, ah maaf, Eyang Sepuh? “Bagaimana kamu bisa bilang begitu, Upasara?” Suara Eyang Putri Pulangsih memecah kesunyian.

Kini Eyang Putri Pulangsih tidak melalui bisikan, melainkan langsung menanyakan kepada Upasara yang masih berdiri gagah dengan kedua tangan Halayudha memegangi erat-erat.

“Mencintai adalah menjadi diri sendiri.

“Dalam diri, tak ada perasaan iri kepada tubuh sendiri.” “Siapa mengajarimu itu?”

“Maaf, Eyang Putri, dalam kidungan Penolak Bumi, semua diajarkan. Hamba hanya menghafal belaka.”

“Kenapa telapak tanganmu tidak menutup ke bawah?” “Tak perlu, Eyang.

“Bumi adalah diri kita sendiri. Disembah atau tidak, tak mengubah arah.” “Kalau begitu, kenapa kamu tak berani bergerak?”

“Tenaga berat bumi, menunjukkan penghormatan yang besar kepada bumi. Tenaga yang menyerahkan sepenuhnya kepada bumi.”

“Kenapa tanganmu tak berani bergerak, itu pertanyaanku.” “Prathiwitala.”

Itu berarti Upasara sedang melakukan gerakan Permukaan Bumi. Prathiwitala artinya adalah Permukaan Bumi. Dengan demikian, Upasara telah menjawab pertanyaan Eyang Putri Pulangsih.

Bahwa sebagai permukaan bumi, tangan tengadah juga merupakan bagian dari bumi. Tak peduli ke mana pun tengadahnya.

Atau tengkurapnya.

Sekilas seperti tanya-jawab yang mengada-ada.

Akan tetapi sesungguhnya Eyang Putri Pulangsih sedang menakar sejauh mana kekuatan utama Bejujag yang dikenalnya, yang akan dijajal ilmu silatnya setelah berpisah lima puluh tahun. Setelah saling membicarakan tidak langsung.

Dan Bejujag bisa menjawab.

Bejujag-nya bisa menjelaskan bagaimana tenaga bumi yang dipergunakan dengan leluasa, tanpa harus tergantung pada gerakan yang formal. Dengan kata lain, gerakan-gerakan tertentu tak lagi harus mencerminkan pengerahan tenaga tertentu.

Gerakan tangan memukul, tidak berarti mengerahkan tenaga ke telapak tangan. Ini pula sebabnya pukulan yang paling berarti diberi nama Tepukan Satu Tangan.

Yang sulit diterima akal, bagaimana mungkin bertepuk dengan sebelah tangan, dan menghasilkan suara lebih nyaring.

Tapi justru penguasaan inilah yang tertulis dalam Tumbal Bantala Parma.

“Bukankah pengerahan tenaga dalam seperti itu justru aku yang memulai? Tenaga bisa mengalir dari arah mana saja?”

“Hamba tidak tahu, Eyang.” “Ya, kamu tidak tahu.

“Bejujag juga akan menjawab begitu. Karena malu mengakui, akulah sumbernya.” Gendhuk Tri menggeleng. “Eyang Putri Pulangsih, kenapa meributkan soal itu?

5

“Baru saja Eyang Putri mengatakan, tanpa pertarungan tak bisa ditentukan siapa yang mempunyai ilmu lebih tinggi. Bukankah sekarang sudah terbukti?”

Mendadak terdengar suara nyaring. Nadanya tinggi sekali.

Sehingga Baginda sempoyongan dan ditopang oleh Mahapatih Nambi. Dan Permaisuri Rajapatni jatuh telentang.

Suara Eyang Putri Pulangsih!

Tangisan Manastapa

ROBOHNYA Baginda bukan karena pengaruh tenaga dalam. Seperti juga terjengkangnya Permaisuri Rajapatni.

Suara mendesis yang keluar dari tarikan napas berat Eyang Putri Pulangsih adalah apa yang dikenal dengan Tangisan Manastapa, Tangisan Dukacita yang Menyayat.

“Bejujag, kuakui keunggulanmu.

“Hari ini aku kera wanita yang tak bodoh, sepenuhnya mengakui keunggulanmu.

“Lima puluh tahun waktu yang lama bagiku untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Akan tetapi kenakalanmu lebih disayang Dewa.”

Selesai berkata, Eyang Putri Pulangsih menunduk.

Ganti kini yang bergoyang keras adalah tubuh Upasara Wulung. Halayudha yang sejak tadi berkutetan merasa aneh. Kalau tadi tubuh Upasara Wulung bagai tertanam dalam bumi, kini ada saat- saat luang yang bisa dipakai untuk membedol tubuhnya. Dan seperti rencana semula. Bisa dibanting atau diremukkan.

Kesempatan yang baik.

Kesempatan yang baik untuk merenggut kemenangan.

Dengan mahapatih sebagai jabatan imbalan. Dan gelar ksatria lelananging jagat.

Hanya saja Halayudha ragu. Apakah kondisi Upasara terpengaruh teriakan Eyang Putri Pulangsih atau sedang mencoba sesuatu yang lain.

Karena rasanya tak masuk akal jika Upasara bisa tergetarkan hatinya dan terpengaruh tenaga dalamnya.

Karena meskipun tenaga dalam yang terpancarkan sangat kuat, akan tetapi Upasara masih bisa mengungguli.

Yang tak pernah terpikirkan oleh Halayudha yang cerdik dan banyak akalnya ialah adanya liku-liku di balik penciptaan segala ilmu yang kini dipertarungkan.

Upasara terpengaruh bukan karena tenaga dalamnya terbetot. Melainkan karena duka hati Eyang Putri Pulangsih tergema dalam dirinya.

Itu memang keunikan Tangisan Manastapa.

Bagi mereka yang tengah dilanda duka, perasaan akan terseret keras. Begitu juga halnya dengan Baginda.

Yang sedang berduka karena satu dan lain hal. Berbeda dari Eyang Putri Pulangsih, Baginda berduka karena merasa caranya mengendalikan kekuasaan gagal.

Sementara Permaisuri Rajapatni, mudah diduga.

Kemunculan Upasara Wulung membuyarkan semua angan-angannya. Mencampuradukkan perasaannya. Ia menjadi kikuk dan serbasalah. Tak jauh berbeda dari Upasara Wulung yang menjadi salah tingkah. Hanya karena sejak tadi duduk bersila tanpa bergerak dan tak begitu diperhatikan, jadi tidak begitu kelihatan.

Sebaliknya, Gendhuk Tri tidak terpengaruh selain telinganya sedikit sakit. Bukan karena tak menyimpan duka, melainkan karena dukacita yang dialami Gendhuk Tri bukanlah dukacita yang mengendap ke dalam bawah sadar. Ke lubuk hati yang dalam dan tak tersingkirkan, tak hilang oleh perhatian yang lain.

“Lima puluh tahun aku menunggu. Untuk melihatmu mengakui bahwa aku mempunyai harga yang dibanggakan. Kukeduk semua isi Kitab Bumi, kusempurnakan dalam Kitab Air.

“Ternyata kamu memang lelaki perkasa.

“Bejujag, hari ini aku rela menerima kekalahan itu.” Tangan Eyang Putri Pulangsih mengibas.

Untuk pertama kalinya bergerak sejak datang tadi.

“Tugasku yang terakhir, mempertemukan Upasara dengan Gayatri, telah selesai. Tugasku menemukan dirimu dengan diriku telah selesai.

“Bejujag, aku tak bisa iri dengan kabegjan, dengan keberuntungan yang kamu peroleh.

“Kudengar Raganata pergi, Dodot Bintulu pergi, dan kamu bisa moksa. Aku yang masih hidup ternyata tetap tak bisa membuktikan keunggulanku.

“Bejujag, kamulah lelaki sejati.

“Baginda Raja akan menerimamu di sampingnya.” Halayudha bersiap menggempur Upasara.

Sekali dicoba dengan menyalurkan tenaga dalamnya. Dan membuat heran, karena Upasara seperti merasakan kesakitan yang luar biasa. Daya balik tenaga dalamnya seperti tak terarah.

Ini saatnya!

Upasara sendiri merasakan ada sesuatu yang tak beres dengan kemampuannya mengerahkan tenaga dalam. Sesuatu yang memang kadang masih dirasakan tanpa bisa dikuasai.

Hanya saja kalau terjadi di saat segenting ini, bisa berbahaya. Apalagi yang dihadapi adalah Halayudha.

Tetapi tak bisa lain.

Tak bisa mengubah gerakannya menancap bumi dan menengadah langit. Sedikit saja perubahan, Halayudha bisa merasakan. Dan dengan segera akan menyerbu masuk.

Satu kali cukup untuk melukai Upasara. Atau bahkan melumpuhkan.

Itu yang akan terjadi, kalau tidak terdengar teriakan dalam nada yang sama tingginya. “Raganata telah mati, Dodot Bintulu sudah mati. Bejujag sudah sembunyi, sampai mati kering. “Tapi masih ada aku.

“Pulangsih, Pulangsih-ku, masih ingatkah kau padaku?”

Siapa pun yang mendengarkan merasa ganjil. Suara yang sember dengan nada masih remaja.

Lebih aneh lagi begitu memperhatikan siapa yang mengatakan itu. Yaitu Nyai Demang yang menggendong tubuh kaku Kebo Berune.

Kehadirannya saja aneh. Apalagi suaranya, dan isi ucapan yang menggambarkan kerinduan mendalam.

“Pulangsih, ini aku.”

Eyang Putri Pulangsih menghela napas. “Kebo tolol, kamu mau apa lagi?

“Semua sudah terlambat. Kamu sendiri sudah terlambat.” “Sama sekali tidak.

“Aku masih segar bugar. Lima puluh tahun lalu, seperti yang kujanjikan, aku akan datang merebut kemenangan dan menempatkan kamu di sisiku.

“Selamanya.

“Aku mau tahu siapa yang bisa berdiri menghalangi. Raganata? Aha, mayatnya pun sudah jadi tanah. Dodot Bintulu? Cacing yang makan tulangnya sudah berdebu. Bejujag? Apa anehnya lelaki kurang ajar yang beraninya bersembunyi sepanjang hidupnya? Yang kerjanya mencuri dan mengatakan tak bisa apa-apa?

“Pulangsih, aku Kebo tolol. “Tapi akulah yang mendapatkanmu.”

Halayudha tak tahu persis. Apakah ia bergembira atau sedih dengan membawa Nyai Demang ke Keraton. Kalau semula ingin mempelajari ilmunya kini menjadi lain akhirnya.

“Kamu sudah modar. “Jangan memaksa diri.”

“Pulangsih, siapa bilang aku mati? “Tidakkah kamu lihat diriku sekarang ini?” Gendhuk Tri menggigil.

Ini benar-benar tak masuk akal. Pertarungan lima puluh tahun lalu masih terus berlanjut sampai kini. Eyang Kebo Berune masih merasa hidup. Walau hanya memakai pinjaman tubuh Nyai Demang. “Nyai…”

Teriakan Gendhuk Tri membuat tubuh Nyai Demang miring ke arahnya. “Itu Kakang Upasara.

“Tidakkah kamu perlu menanyakan kabar keselamatannya?”

Inilah cara Gendhuk Tri untuk memotong hubungan batin antara Eyang Kebo Berune dan Nyai Demang. Karena kalau kesadaran Nyai Demang muncul, pengaruh pada dirinya surut.

Dengan menyebutkan nama Upasara, Gendhuk Tri berharap Nyai Demang akan muncul kesadarannya.

Perhitungan yang bagus!

Tapi tidak berarti tepat pada sasaran.

Karena kini pengaruh Eyang Kebo Berune sangat kuat. Niatan dan keinginan yang selalu mendesak untuk bertemu dengan Eyang Putri Pulangsih, jauh menindih keinginan Nyai Demang untuk menyapa Upasara.

“Nyai…”

“Percuma…” Kalimat Eyang Putri Pulangsih seperti tertuju ke arah Gendhuk Tri dan Nyai Demang sekaligus. “Tak ada gunanya lagi.”

Halayudha mencelos.

Kini tubuh Upasara menjadi kokoh lagi. Tak bisa digasak lewat tenaga dalam.

“Nenek tua, kenapa tidak kamu tolong orang itu?”

Kali ini Gendhuk Tri jadi pencilakan. Matanya berputar, mencari-cari suara yang seperti dikenalnya. Benar saja, itu suara Cebol Jinalaya!

Yang makin membuat Gendhuk Tri gelisah tak menentu. Bagaimana mungkin si Cebol itu berlaku kurang ajar? Menyebut dengan panggilan nenek tua?

Bukankah tadi masih di depan? Masih menyaksikan pertarungan antara Singanada dan Senopati Agung?

Di mana mereka kini, dan apa yang terjadi?

Keraton Tanpa Tata Krama

BARU Gendhuk Tri sadar.

Bahwa Singanada juga berada di halaman dalam. Bersama dengan Senopati Agung dan para pengiringnya.

Halaman dalam Keraton benar-benar penuh sesak.

Sesuatu yang untuk pertama kalinya terjadi. Orang-orang luar bisa masuk seenaknya. Bisa leluasa berdiri seperti juga yang dilakukan Cebol Jinalaya.

Semua terjadi di depan Raja.

Gendhuk Tri bersyukur bahwa Singanada tidak melanjutkan pertarungan mati-hidup dengan Senopati Agung. Ia hanya bisa menduga-duga bahwa pertarungan mereka berdua terhenti.

Terhenti sementara.

Dugaan Gendhuk Tri tak jauh meleset. Di saat keduanya bertarung makin ketat, makin menuju penentuan, terlihat dua bayangan berkelebat. Yang muncul dan lenyap kembali.

Sebagai sesama jago silat, Singanada maupun Senopati Agung sudah terbiasa dengan kejadian itu. Tak bakal terpengaruh. Akan tetapi sekali ini lain.

Desiran bayangan yang muncul dan pergi bukan sekadar bayangan jago silat. Melainkan juga membersitkan sesuatu yang begitu hebat dan dekat dengan mereka.

Bisa dimengerti karena keduanya mempunyai akar yang sama. Yaitu sama-sama bersumber dari Kitab Bumi. Dan yang sedang dimainkan oleh Upasara maupun Halayudha saat itu tak jauh berbeda.

Tanpa sungkan-sungkan, Singanada meloncat mundur. “Aku tetap akan membunuhmu.

“Tapi rasanya sayang sekali kalau tidak melihat apa yang terjadi di dalam.” Senopati Agung mengusap janggutnya perlahan.

Walau dirinya sangat ingin tahu, hatinya tak bisa mengatakan seperti apa yang diinginkan. Ada perasaan yang tak ingin merendah—meminta kesediaan lawan, hanya untuk melihat pertarungan yang lain.

Rasa sungkan itu yang justru tak ada dalam diri Singanada. Melihat Senopati Agung berdiam diri, Singanada menggertak. “Kalau mau bilang mau.”

“Kalau tidak?”

“Aku mau lihat dulu.” “Hmmm…”

“Apa hmmm? Aku sudah berjanji membunuh siapa pun yang menanyakan dan mengungkapkan asal- usulku.

“Itu pasti kutepati.

“Tapi di dalam ada tontonan yang lebih bagus.”

Sikap terbuka. Dada yang lapang, mengakui keunggulan orang lain. “Baik kalau itu keinginanmu.”

“Tunggu saja!”

Tanpa peduli diserang dari bokong, Singanada segera masuk ke dalam. Dan menjadi bagian penonton yang larut dalam pertarungan.

Begitu juga halnya Senopati Agung.

Hanya perbedaannya, perasaan Senopati Agung seperti ditusuk dengan ujung sapu lidi yang kotor. Merobek wajahnya, meninggalkan luka yang memalukan.

Biar bagaimanapun, Senopati Agung adalah kakak ipar Raja. Yang justru lebih ketat memegang tata krama dan aturan Keraton.

Sama sekali tidak menduga bahwa halaman dalem, yang biasanya dilewati orang-orang tertentu sambil berjongkok dan menyembah, kini tak bisa dibedakan dengan alun-alun.

Diam-diam, Senopati Agung melirik Raja.

Untuk menangkap perasaan yang terpendam. Karena rasanya sangat ganjil bagian utama Keraton diinjak-injak orang luar secara kasar.

Ini bisa berarti penghinaan yang memalukan. Tak bisa dibiarkan.

Karena membiarkan hal ini berlalu, seperti juga tidak lagi menghormati kebesaran Raja yang tak tertandingi.

Salah satu bentuk penilaian kejayaan Keraton bisa dilihat dari seberapa jauh penduduk menghormati tata krama ini.

Ini yang membuatnya sangat sedih.

Apa artinya sebuah Keraton megah tanpa tata krama? Apa artinya seorang raja kalau tidak diperhatikan dan tak dihormati?

Kerisauan Senopati Agung juga dirasakan oleh para senopati yang lain, termasuk Mahapatih Nambi. Bahkan sejak semula ia mengalihkan pembicaraan agar medan pertarungan tidak terjadi di dalam. Semua menjadi serbasalah.

Menyarankan Raja masuk ke dalam juga salah. Membiarkan pertarungan terus berlangsung juga keliru.

Mahapatih Nambi tetap tak bisa menerima, meskipun yang memerintahkan penangkapan Upasara Wulung adalah Raja sendiri.

Singanada mengangguk ke arah Gendhuk Tri, begitu sorot mata gadis itu tertuju ke arahnya. Gendhuk Tri menunduk tersipu.

Tiba-tiba saja ia merasa sangat kikuk. Melihat Singanada dan sekaligus melihat Upasara. Entah kenapa.

“Nenek tua, apa kamu dengar yang kukatakan?

“Kamu bisa mengucapkan dengan enak, tokoh pujaan yang sakti seperti Eyang Raganata. Berarti mereka temanmu sendiri. Kenapa orang yang sudah mati tak kamu tolong?

“Bukankah menolong orang yang mau mati termasuk kebajikan yang direstui Baginda Raja yang bijaksana, yang kamu sebut-sebut namanya?”

Eyang Putri Pulangsih menutup matanya sambil menggeleng. “Itu bukan urusanku.”

“Kalau bukan urusan Nenek, urusan siapa?

“Apa semua menjadi urusan Baginda Raja yang mulia?”

Mahapatih Nambi menggertak keras. Tombaknya terlepas. Dua tombak meluncur. Tepat di antara dua kaki Cebol Jinalaya.

Kemurkaan Mahapatih adalah kemurkaan untuk menghormati Baginda. Bagaimana mungkin seorang yang cebol, berkulit hitam, begitu memuja-muja Baginda Raja Sri Kertanegara di depan Baginda?

Hal seperti itu tak bisa dibiarkan.

Hanya yang membuatnya sedikit kaget ialah bahwa arahan tombaknya menjadi meleset beberapa jari.

Mahapatih tidak melanjutkan lagi. Hanya berharap Cebol Jinalaya tahu diri.

Tak berani mencoba karena tidak mengetahui siapa yang telah menolong Cebol Jinalaya. Begitu banyak tokoh yang sakti di sekelilingnya.

Hanya berharap tahu diri, karena sesungguhnya Mahapatih tak bisa terjun langsung ke gelanggang. Tapi juga tak bisa berdiam diri.

“Pulangsih, putri asmaraku.

“Kamu masih tak percaya aku masih hidup?” “Terlambat.

“Tangisan yang paling duka, tak bersisa air mata. “Kebo tolol, untuk apa mencari lebih derita. “Bahkan selama ini harapanmu sia-sia.”

Eyang Putri Pulangsih mengucapkan dengan datar. Tak ada lagi kata. Tidak seperti orang yang berbicara. Seperti mengeja, dan terbata-bata.

“Apakah itu berarti selama ini kamu tak pernah memperhitungkan diriku? “Apakah selama ini kamu tak mempunyai daya asmara setitik pun padaku? “Pulangsih, katakanlah!”

Cebol Jinalaya menepuk jidatnya sendiri.

“Mayat hidup alias Kebo tolol, kenapa sudah bisa mati malah bicara soal daya asmara?”

Tangan Nyai Demang terangkat. Telunjuknya menuding ke arah Cebol Jinalaya. Pada saat yang bersamaan Singanada dan Gendhuk Tri meloncat masuk ke dalam gelanggang.

Bersatu dengan gerakan sama, di angkasa, keduanya mengeluarkan tenaga dalam, menghalang arah tudingan.

Dengan terpaksa, dua tenaga gabungan mencoba mematahkan serangan berjarak Nyai Demang. Singanada terpental kembali. Hingga perlu berjumpalitan untuk menenangkan dirinya. Demikian juga Gendhuk Tri yang merasa ujung selendangnya menjadi beku dan terasa dingin serta perih.

Cebol Jinalaya terdorong ke samping, merintih. Tapi senyumnya tersungging.

“Mudah-mudahan ini jalan kematian yang kurindukan itu.”

Perlahan Halayudha mulai mengendurkan tenaganya. Merasa sia-sia. Kalau ia bisa segera melepaskan, ia bisa leluasa dan bertarung dari awal lagi.

Sungguh tidak enak berada di tengah lapangan sambil memegangi Upasara yang berdiri mematung. “Baru menghadapi sebutir air dan secuil bumi kamu sudah tak bisa apa-apa.

“Kebo tolol, sungguh aneh, kenapa kamu tak tahu diri?”

“Karena aku memang tolol, seperti yang kaukatakan, Pulangsih.”

Mati dalam Hidup

“Tolol.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar