Senopati Pamungkas Buku - I Jilid 33

Jilid 33

Permaisuri Indreswari menyembah.

“Rasanya tak cukup diperingatkan, Baginda. Kali ini sangat keterlaluan sekali. Hukum buang pun rasanya…”

Tangan kiri Baginda bergerak perlahan. “Aku yang menentukan, Yayi!

“Aku tak pernah berkata dua kali. Halayudha, perintahkan Sora menghadap kepadaku.

“Aku akan berbicara langsung.”

“Sembah dalem, hamba akan menjalankan titah Baginda, malam ini juga.” “Kamu pergi sendiri, Halayudha.”

Halayudha menyembah, lalu mundur. “Tunggu, sebentar.

“Aku ingin mendengar pendapatmu…” Halayudha menyembah lagi.

“Permaisuriku yang lain lagi, Rajapatni, bersila sejak sore tadi di depan pintu. Kutanya ada apa, ia malah menangis. Kuajak masuk, ia menunduk.

“Hanya beberapa patah kata yang terucap, ‘Duka permaisuri bisa dibagi seperti panas matahari, akan tetapi duka seorang ibu yang kehilangan anaknya adalah duka yang tak bisa dibagi.’ Kamu bisa mengerti apa maksudnya?” Halayudha menyembah.

“Seratus kali bertambah pandai, hamba tetap tak menangkap isinya, Baginda.

“Hanya barangkali Permaisuri Rajapatni yang mengerti susastra tinggi ingin menyampaikan bahwa kegelisahan hati Permaisuri Rajapatni karena kehilangan kedua putrinya, yaitu Putri Ayu Rajadewi dan Putri Ayu Tunggadewi.

“Kerisauan ini hanya bisa dirasakan oleh ibu.” Baginda tersenyum.

“Itu aku tahu.

“Yang ingin kuketahui, apakah kamu tahu di mana kedua putriku itu?” Halayudha terdiam.

Baginda melirik ke Permaisuri Indreswari. “Bicaralah, Yayi.”

“Kami terpaksa mengasuhnya, karena putri sekar kedaton, bunga Keraton, dibiarkan keluyuran di luar.

“Sungguh aib dan ternoda kalau sampai diketahui orang luar.” Baginda mengangguk.

“Sampai kapan?”

“Sampai ibu yang melahirkan dan merasa berduka bisa mengasuhnya.” “Baik, kalau begitu.”

Baginda menggerakkan kedua tangannya.

Permaisuri Indreswari dan Halayudha menyembah bersamaan dan berjongkok mundur, agar tidak memunggungi Baginda.

Baru kemudian Baginda melangkah ke pintu. Memandang Permaisuri Rajapatni. “Yayi, kamu dengar sendiri semuanya?” Permaisuri Rajapatni tak bergerak. “Cukup.

“Sekarang kembalilah ke kaputren.” Permaisuri Rajapatni menyembah.

“Hamba tak akan beranjak dari tempat ini kalau kedua putri hamba belum kembali ke dalam pelukan hamba.”

Baginda tertawa kecil. “Inilah susahnya.

“Siapa menduga bahwa menjadi raja justru susah mengatur permaisuri yang mempunyai jalan pikiran sendiri-sendiri? Dengan satu patah kata aku bisa menentukan perang besar atau perdamaian. Semua akan mengikutiku.

“Tapi soal begini, ah, sungguh runyam.

“Kubenarkan tindakan Indreswari yang merasa menjaga tata krama Keraton. Kusalahkan kamu karena membiarkan putriku keluyuran. Kurasakan beratnya dukamu, Yayi.

“Bersabarlah, besok atau lusa, kedua putrimu akan kembali tanpa putus sehelai rambut pun. Kalau ada yang mengganggu, aku sendiri yang akan bertindak.

“Sekarang kembalilah.”

Permaisuri Rajapatni tetap tak bergerak.

“Aku tak hanya mengurusi putriku. Aku dititahkan oleh Dewa Penguasa Tanah Jawa untuk mengurus semuanya.

“Aku tahu siapa kamu, siapa Indreswari, siapa Sora, siapa Halayudha. “Sebagai raja, aku harus bertindak adil untuk semuanya. “Masih mau bertahan di situ?”

Permaisuri Rajapatni menyembah. Baginda menggelengkan kepalanya.

“Yayi Gayatri, kalau bukan kamu, malam ini juga kamu sudah kuusir dan tak kuizinkan bayangan tubuhmu masuk ke dalam Keraton untuk selamanya. Tapi kamu lain. Kamu memberikan kasih padaku, kamu ditakdirkan Dewa menjadi pendampingku.

“Tapi kamu sendiri yang menakdirkan berada di situ sampai tua!” Baginda segera melangkah ke dalam.

Sedia Senjata Sebelum Mendung

SEWAKTU Baginda masuk kembali ke kamar peraduan, Permaisuri Gayatri masih tetap bersila. Tak bergerak seujung rambut pun.

Ketika itu Halayudha sudah langsung mempersiapkan diri untuk menyusul ke Dahanapura, setelah lebih dulu menemui Mahapatih Nambi. Yang merasa agak heran, karena Permaisuri juga menyertai.

“Saya sendiri merasa berat, Mahapatih. Akan tetapi inilah titah Baginda. Agar menyelesaikan Senopati Sora yang berniat kraman. Kalau Senopati Sora tetap menolak untuk hukum buang besok, berarti Mahapatih yang harus menyelesaikan.”

Mahapatih mengangguk ragu.

Permaisuri Indreswari mengangguk dalam.

“Keputusan Baginda hanya dua. Membuang Sora atau menghukum mati. Yang pertama akan lebih berharga bagi Sora, kecuali kalau ia menghendaki lain.”

Halayudha menyembah ke arah Permaisuri Indreswari. “Dalam satu-dua hari ini, saya akan menghadap Mahapatih, dengan atau tidak bisa membawa Senopati Sora.”

“Kamu tak perlu kuatir hal itu, Nambi. Siapkan seluruh prajurit utama, semua senopati, untuk menghadapi bahaya sewaktu-waktu.”

Bagi Mahapatih Nambi ini menimbulkan kebimbangan yang cukup berat. Baginya, apa yang dilakukan Senopati Sora jelas keliru. Menentang secara terbuka. Akan tetapi untuk menghukum mati juga tak bisa begitu saja.

Akan tetapi kecil sekali kemungkinannya menafsirkan bahwa Halayudha maupun Permaisuri mengartikan lain perintah Baginda.

Rasanya sangat tidak mungkin! Itu seperti menyangsikan Baginda!

Tak akan terjadi pada seorang prajurit sejati, prajurit pengabdi. Maka tak ada pilihan lain kecuali menyiapkan pasukan istana yang siap gegaman, siap senjata tempur, untuk menghadapi kemungkinan yang tak diinginkan.

Kesulitan yang juga muncul malam itu ialah kenyataan bahwa pertarungan di halaman depan Keraton ternyata tak seperti yang diharapkan. Pendeta Syangka yang sangat diandalkan, ternyata tak mampu menangkap Maha Singanada.

Maha Singanada berhasil melarikan diri.

Atau meloloskan diri karena merasa dikerubut begitu banyak lawan. Kalau mau dipersoalkan, ini termasuk tanggung jawabnya juga. Bahkan sampai Pangeran Jenang kena tendang wajahnya oleh Nyai Demang, termasuk bagian yang bisa disalahkan ke arahnya.

Permaisuri bisa menumpahkan semua kesalahan ini padanya.

Yang berarti sandungan bagi pengabdiannya yang tulus. Yang berarti kegagalan dari sekian banyak tugas dan kepercayaan yang diberikan kepadanya.

Nambi menyadari sepenuhnya.

Sebagai senopati, Nambi merasakan puncak tertinggi pangkat yang bisa disandang adalah mahapatih, Karena senopati seperti dirinya bukannya titisan Dewa yang bakal bisa menduduki takhta. Ia tak mempunyai wahyu untuk itu. Hal itu sangat disadari betul.

Dalam perhitungan ketika mengucapkan doa di dalam hati, Mahapatih Nambi makin menyadari posisinya. Di seluruh Keraton ini, siapa yang bakal menjadi raja sudah ditentukan oleh Dewa yang menguasai Jagat.

Akan tetapi siapa yang menjadi mahapatih, tergantung siapa yang bisa meraih. Dari seluruh penduduk Keraton, hanya ada satu mahapatih.

Atas kemurahan Dewa Agung, maka dirinya terpilih untuk tugas sangat suci. Satu-satunya yang dipercaya menjadi mahapatih, dari sekian ratus senopati yang unggul, dan sepuluh senopati yang pantas menduduki jabatan tertinggi kedua ini.

Tidak, bagi Mahapatih Nambi bukan keinginan untuk mempertahankan jabatan dan pangkat ini selamanya. Baginya pangkat dan derajat adalah kepercayaan yang diberikan padanya. Pangkat yang dititipkan oleh Dewa melalui tangan Baginda.

Sebagai ksatria, Mahapatih Nambi tidak tamak dan serakah mengenai kemewahan dan kekuasaan.

Ia menerima segalanya berdasarkan rasa pengabdiannya. Sebagai perwujudan tanggung jawabnya.

Juga sekarang ini.

Kalau ia terpaksa bertindak keras kepada kawan yang dikenal semasa berjuang mengenyahkan prajurit Raja Jayakatwang dan mengusir pasukan Tartar dulu, semata- mata karena tugas.

Karena pengabdian.

Hanya itulah yang dimiliki dan wajib dilakukan sebagai prajurit.

Jangan kata sahabat, anak sendiri bila perlu disingkirkan kalau ternyata mengganggu ketenteraman Keraton.

Percakapan dalam hati Mahapatih Nambi membuatnya sedikit tenteram. Hanya saja tak bisa dipungkiri adanya sedikit ganjalan yang menggelisahkan.

Kalau Baginda bertindak adil dan benar, kenapa masih ada tokoh-tokoh seperti Upasara Wulung? Kenapa Upasara Wulung muncul secara terang-terangan dan membuat gegeran?

Mahapatih Nambi bisa membuat perhitungan sendiri atas Upasara Wulung dengan beberapa pertimbangan. Setidaknya bagi mereka yang tergabung dalam Perguruan Awan.

Mereka ini adalah ksatria sejati. Hal ini tak perlu diragukan lagi. Sifat-sifat luhur ksatria mengalir dalam darah dan terembus dalam semua tindakannya, sampai napasnya pun murni.

Tanpa keinginan jahat untuk merusak atau mengacau.

Kurang apa untuk seorang Upasara, kalau ia lebih dulu dipilih Baginda untuk menduduki derajat dan pangkat sebagai mahapatih? Kurang apa kalau sekarang Upasara menjadi lelananging jagat, dan mampu mempersunting Ratu Ayu Bawah Langit?

Semua yang diharapkan telah berada dalam genggamannya. Semua yang diidamkan lelaki berhasil digenggam. Tanpa perlu membuat keonaran pun, Upasara bisa hidup dengan tenang dan bahagia.

Akan tetapi justru bukan itu semua yang menjadi dasar pergerakan batinnya.

Di mana ada ketidakberesan, Upasara akan muncul dan berani menantangnya.

Termasuk pengeroyokan terhadap Nyai Demang.

Alasan bergerak Upasara hanyalah karena merasa ada sesuatu yang tidak benar. Ada perlakuan yang tidak adil.

Bukan karena iri, bukan karena mau merebut derajat dan pangkat, bukan pula karena harta.

Usikan ini membuat Mahapatih Nambi sedikit gelisah. Kalau Upasara memperjuangkan kebenaran dan keadilan, kenapa harus bentrok dengan Keraton? Apakah ini berarti Keraton tidak benar dan kurang adil? Bahwa masih banyak masalah yang perlu dibenahi dan didandani, Mahapatih Nambi mengetahui lebih dari siapa pun. Akan tetapi itu semua bisa dilakukan tanpa menimbulkan gegeran yang sifatnya terbuka menantang Keraton.

Yang justru kini dilakukan oleh Upasara.

Yang justru dulunya begitu rapi menyembunyikan diri.

Akan tetapi apa pun kebimbangan yang ada, suara kegelisahan yang mengusik, tak berarti banyak. Bagi Mahapatih hanya ada satu kebenaran yang abadi sebagai abdi.

Menjalankan perintah Baginda.

Kalau untuk itu ia harus memindahkan gunung atau membendung sungai, tetap akan dijalankan.

Juga kalau harus menghadapi Upasara Wulung!

Musuh Keraton adalah musuhnya. Penghalang kebijaksanaan Raja adalah lawan yang harus dibasmi.

Kemantapan dalam hati ini datang bersama fajar pagi yang menyemburatkan sinar. Mengusir hawa dingin dan mendung.

Mahapatih sudah menyiapkan seluruh prajurit utama untuk berjaga-jaga.

Untuk menangkap Senopati Sora. Atau kalau perlu memburu ke Dahanapura.

Prajurit telik sandi yang dikirimkan secara diam-diam sudah memberi laporan bahwa Senopati Halayudha sudah mengadakan pembicaraan dengan Senopati Sora. Prajurit kedua memberi laporan bahwa Senopati Sora menolak untuk dihukum buang. Prajurit ketiga melaporkan bahwa kini justru Senopati Sora sedang mempersiapkan prajuritnya yang setia untuk datang ke Keraton.

Utusan dari Halayudha menjelaskan kemudian bahwa dalam rombongan yang akan menghadap Baginda, selain Senopati Sora dan Gajah Biru, juga ada Senopati Juru Demung. Serta beberapa tokoh persilatan lain yang agaknya akan mendampingi Senopati Sora. Termasuk dalam rombongan itu, Upasara Wulung dan Nyai Demang dari Perguruan Awan. Dan sudah barang tentu akan disertai senopati Turkana yang pasti akan berpihak kepada Upasara.

Mahapatih diminta dengan hormat mengawasi gerak-gerik delapan senopati Turkana.

Jalan pikiran yang paling sederhana mengartikan bahwa Senopati Sora tidak sekadar ingin sowan kepada Baginda, melainkan sekaligus menyiapkan langkah terakhir, jika usahanya gagal.

Berarti juga perang besar.

Jalan pikiran Mahapatih Nambi bukan terlalu mencurigai dan dicari-cari. Sejarah mengajarkan bahwa sejak Raja Jayakatwang, Raden Sanggrama Wijaya juga melakukan cara yang sama.

Menyusup ke dalam Keraton dengan persiapan penuh. Mahapatih Nambi cepat mengambil keputusan.

Kebo Berune

UPASARA yang masih menggandeng Nyai Demang meninggalkan Kamandungan dengan langkah enteng.

“Adimas mau ke mana?”

Upasara tidak bisa menjawab seketika. “Ke mana sebaiknya, Mbakyu?”

Nyai Demang tertawa.

Dengan sedikit sungkan ia melepaskan tangan kiri Upasara yang mencekalnya.

Upasara jadi tersipu.

“Mana saya tahu? “Adimas kan pengantin baru? Pasti mempunyai acara dan kesibukan sendiri. Saya tak mau disalahkan di belakang hari jika pada malam pengantin ini Adimas keluyuran tak menentu.”

Kali ini Upasara menggeleng mantap. “Tak sepenuhnya begitu, Mbakyu.

“Tapi sudahlah, akan panjang kalau diceritakan. Nanti Mbakyu Demang akan mengetahui sendiri.”

“Maaf, saya tak ingin mencampuri urusan pribadi.”

Mereka berdua berjalan menjauhi Keraton. Bintang di langit sebagian bisa dilihat dengan jelas. Juga angin perlahan bisa dirasakan.

Upasara menghela napas berat.

“Saya juga tak ingin mencampuri urusan Keraton. Kalau sekarang atau nanti terjadi pergolakan, itu semata urusan Keraton. Sejauh tidak menyakiti Tunggadewi dan Rajadewi yang menjadi tanggungan saya.

“Rasanya kita masih perlu mencari Gendhuk Tri dan Dewa Maut.” “Kalau sudah bertemu kenapa?”

Upasara melengak lagi.

Ia benar-benar tak tahu apa yang harus dilakukan. Dan Nyai Demang bisa menebak dengan jitu.

“Kenapa Adimas ingin menjauhi Ratu Ayu?” Sesaat tak ada jawaban.

“Tidak juga, Mbakyu.

“Saya tidak berusaha menjauhi atau mendekati. Mbakyu Demang lebih tahu, ada beberapa salah pengertian dalam hubungan ini. Saya kira Ratu Ayu Azeri Baijani telah menemukan yang dicari. Yaitu Pedang Kelana, Galih Kangkam yang selama ini musnah dari Keraton Turkana. “Setelah menemukan yang dicari, masalahnya sudah selesai.” “Tidak sesederhana itu, Adimas Upasara.

“Salah pengertian atau bukan, semua telah mengetahui Adimas resmi menjadi suami Ratu Ayu. Beban atau kesenangan itu tak bisa dielakkan lagi.

“Saya bisa memahami perasaan Adimas, akan tetapi tidak demikian halnya dengan seluruh penduduk yang menyaksikan pertarungan di Kamandungan.”

“Lalu harus bagaimana?”

Nyai Demang mengangkat bahu.

“Sudah saja jalani hidup dengan baik. Belum tentu tidak menyenangkan. Bagi saya pribadi, itu lebih baik daripada Adimas selalu mengenang Gayatri.”

Wajah Upasara menjadi merah.

Sebenarnyalah itu yang menjadi ganjalan di hatinya. Upasara mengakui dan sadar sepenuh-penuhnya. Ratu Ayu, sesuai dengan julukannya, memang sangat elok. Mempunyai kekuasaan tertinggi. Akan tetapi Upasara tak bisa menerima dengan tenang. Selama ini yang masih memenuhi bayangan dan mimpinya adalah sosok Gayatri, yang telah menjadi Permaisuri Rajapatni.

Bahkan ketika Ratu Ayu menyilakan Upasara memilih juga yang lainnya dan tak menghalangi, Upasara merasa makin terjepit perasaannya.

Rasanya tak bisa melupakan Gayatri begitu saja. Nyatanya memang begitu.

Upasara malu mengakui hal itu. “Bukan itu, Mbakyu. Soalnya…”

“Adimas masih ingin merahasiakan kepada mbakyumu ini? Ah, Upasara… Upasara! “Mbakyumu ini sudah tua, sudah cukup kenyang dengan garam asmara.

Kenapa masih menganggap saya ini orang lain?” Upasara memalingkan wajahnya ke arah lain.

Dalam gelap perubahan wajahnya tidak bisa terlihat jelas. Tapi dari suaranya bisa dikenali getaran perasaan hatinya.

“Saya tak mengerti kenapa ada sisa-sisa perasaan seperti itu. Ah, Mbakyu Demang, mari kita bicarakan hal yang lain saja.”

Keduanya terdiam.

Hanya angin yang menggoyang ujung pohon dan dedaunan. Samar-samar terdengar seperti kidungan.

Kalau bulan diselimuti awan kenapa bicara tentang surya Kalau hati sedang tertawan kenapa bicara tentang surya?

Gerhana bulan pasti datang seperti gelombang kerinduan…

Bukan hanya Upasara yang terkejut. Bahkan Nyai Demang seperti tersengat.

Jelas sekali kidungan itu ditujukan kepada mereka berdua.

Yang membuat Nyai Demang tersengat, karena seakan mengenali lirik-lirik kidungan itu. Yang sengaja dibelokkan ucapannya. “Kalau bisa bicara terbuka, kenapa bersembunyi seperti kura-kura?”

Nyai Demang berseru perlahan sambil mengerahkan tenaga dalamnya. Karena sadar bahwa yang dihadapi adalah tokoh yang cukup sakti.

Dari tenaga dalam ketika melantunkan kidungan maupun dari keberanian mencampuri urusan.

“Menguping pembicaraan orang lain bukan pekerjaan ksatria. Masih ada tempat untuk muncul bersama.”

Tantangan Nyai Demang mendapat jawaban yang mengejutkan.

“Kalau yang tua mendatangi yang muda, apakah tidak akan dibilang kurang

ajar?”

Upasara mencekal tangan Nyai Demang. Dengan satu tekukan kaki, tubuhnya melayang ke arah datangnya suara. Ternyata di balik pohon-pohon, tersembunyi gubuk yang sangat sederhana. Sedemikian sederhananya, sehingga lebih mirip kandang kuda yang belum selesai.

Upasara menunduk.

“Izinkanlah kami mengganggu ketenangan Kakek yang mulia.” Nyai Demang merasa heran, karena Upasara menyebut sebagai Kakek. Lebih kaget lagi karena terdengar jawaban yang disertai batuk-batuk kecil.

“Saya sudah tua, tetapi siapa mengajarimu menyebut Kakek? Apa susahnya menyebut sebagai Eyang?”

“Maafkan, Eyang.” Terdengar tawa lirih.

“Tak kusangka. Ksatria lelananging jagat ternyata tahu sopan santun, mengerti tata krama. Sungguh, budaya Keraton yang mulia telah mendidik dengan sangat baik.

“Itu yang terbaik.”

Aneh kata-katanya, seperti tak keruan arah dan tujuannya. Upasara menyembah sekali lagi.

Sementara Nyai Demang masih berdiri kaku.

“Bocah slemok, kamu juga perlu menyembah sebelum masuk keratonku.”

Nyai Demang mengangkat hidungnya tinggi-tinggi. Dipanggil dengan sebutan bocah slemok, yang artinya anak yang gemuk menggemaskan, hati wanitanya tersinggung.

Mana mungkin dirinya dipanggil sebagai bocah?

“Saya yang rendah, Upasara Wulung, dengan ini mewakili menyampaikan hormat kepada Eyang.”

Nyai Demang mengerutkan kening. Ia tahu bahwa Upasara sangat menghormati seseorang, apalagi lebih tua. Akan tetapi tidak seperti sekarang ini.

Kerutan di kening Nyai Demang bisa berarti pertanyaan. Apakah ada orang yang begitu harus dihormati seperti penghormatan yang dilakukan oleh Upasara? Yang bersedia memanggil dengan sebutan Eyang secara seketika? .,

“Itu sejak tadi telah kurasakan.

“Sayang, kenapa bocah cerdik seperti kamu kurang bisa mengenali tata krama. Bukankah ini terakhir kali kamu bisa memberi hormat kepada aku yang sudah bakal pergi ke alam baka?”

Kini Nyai Demang seperti disadarkan bahwa ia bertemu tokoh sakti yang ganjil sekali. Setelah munculnya Kiai Sambartaka, Naga Nareswara, Kama Kangkam, dan Ratu Ayu, bukan tidak mungkin tokoh yang setara masih bisa muncul seketika.

“Menghormat hanyalah sekadar membungkukkan badan dan merangkapkan tangan. Apa susahnya?

“Sebelum tahu kepada siapa saya harus menghormat, buat apa susah-susah menyembah.”

“Jawaban yang bagus. Kalian pasangan yang tak ada tandingannya. Dari Berune aku datang, tak percuma bisa bertemu dengan pewaris darah ksatria Singasari. “Mati pun aku tak begitu menyesal sekarang ini.” Tri Parwa, Tiga Buku Utama

NYAI DEMANG merasakan suara kesakitan yang amat memedihkan. Sedikit keluhan yang tak tertahankan.

Bersama Upasara, segera masuk ke dalam gubuk.

Apa yang disaksikan membuatnya menatap tak berkedip. Gubuk yang didiami Kakek dari Berune tidak mirip rumah atau kamar yang biasa dihuni. Banyak debu menempel di tiang, di balai-balai. Seakan memang tak pernah ada yang menyentuh.

Di ruang tengah seorang kakek yang sangat tua wajahnya, kurus kering, bernapas satu-satu. Matanya seperti mendelik, rambutnya panjang tetapi jarang.

Engahan napas itu yang membuat hati Nyai Demang seperti tercakar. Pilu.

Spontan Nyai Demang bergerak untuk menolong, akan tetapi tangan Upasara bergerak menahan. Nyai Demang tertahan geraknya.

Tak ada yang bergerak.

Tidak juga Kakek Berune yang bernapas terengah-engah, dadanya naik-turun, tersengal-sengal.

Aneh, Nyai Demang tidak membayangkan bakal bertemu dengan tubuh tua yang susah bernapas. Baru saja ia mendengar kidungan yang dilantunkan tenaga dalam sangat kuat. Baru saja terdengar pembicaraan yang tangkas dan seolah mengerti banyak hal. Akan tetapi ketika masuk menemukan seseorang yang sangat tua dan kelihatan sangat menderita, sedang sekarat.

Dalam pandangan Nyai Demang, yang luar biasa justru Upasara Wulung. Dengan segera, Upasara bisa membaca dengan siapa ia berbicara. Begitu menghormat, begitu cepat mengetahui dengan siapa ia berhadapan.

Nyai Demang yakin, bahwa Upasara belum tentu tahu pasti di mana letak tlatah Berune. Tapi itu tak menghalangi dan mengurangi ketajaman pandangan.

Barangkali inilah bedanya. Nyai Demang merasa mempunyai pengetahuan yang luas. Dengan satu kata saja ia bisa mengenali dan menjelaskan di mana tanah Berune. Sebuah keraton kecil di ujung utara. Dalam kitab-kitab yang dibaca, Keraton Berune adalah wilayah luas yang subur, akan tetapi ksatrianya cukup tinggi ilmunya. Bersama dengan Keraton Balineo, dua tata pemerintahan itu termasuk wilayah besar Keraton Singasari. Kalau tidak keliru, dua wilayah itu di bawah tata pengaturan Keraton Sukadana di tlatah Karimata.

Namun ternyata pengertian-pengertian seperti itu tak membuatnya arif. Justru Upasara yang menangkap arti sebenarnya dari kehadiran seorang yang sangat tua, menderita.

Pendekatan kemanusiaan Upasara jauh lebih mengena.

Toh pada akhirnya, dari mana asal-usulnya, tak berarti banyak kalau ingin berkenalan dan menolong.

Kalau sekarang ini Upasara berdiam diri, bukannya tak mau bergerak menolong. Sekadar memindahkan ke tempat yang lebih bersih ataupun membantu pernapasan, sangat mudah dilakukan. Akan tetapi agaknya Upasara tak perlu turun tangan. Karena ketajaman pandang bahwa penderitaan yang sedang ditanggung Kakek Berune ini penderitaan karena pengaturan napas. Yang tidak bisa sembarangan dimasuki oleh orang lain.

Apalagi tadi disebut-sebut dari Berune. Yang bisa saja terjadi kekeliruan sewaktu ingin membantu.

Dan ini semua diketahui oleh Upasara dalam sekejap. Dalam perjalanan. Sungguh kemajuan tenaga dalam yang luar biasa.

Rasanya Nyai Demang masih mengenali Upasara yang menjadi murid utama Ngabehi Pandu. Gagah perkasa, akan tetapi tidak setinggi dan sedalam ini. Tidak sampai tingkatan yang begitu dalam.

Engahan napas berakhir.

Nyai Demang melihat bahwa keringat membasahi seluruh wajah dan dada yang kurus kering.

“Tidak jadi lagi. “Setiap kali mau mati, urung lagi. Padahal aku, Kebo tua ini, sudah ikhlas. Semua temanku sudah enak-enak di alam sana, sementara aku masih menderita begini.

“Benarkah kamu lelananging jagat? Bagaimana kabar Eyang Sepuh sekarang ini? Bagaimana kabar Mpu Raganata? Apa betul ia telah berkumpul dengan bidadari? Bagaimana dengan Paman Sepuh Bintulu? Apa betul wajahnya sekarang lebih jelek dari aku?

“Ceritakan dengan cepat. Sebentar lagi aku akan mati.” Upasara menyembah hormat.

“Saya Upasara Wulung, sekarang berdiam di Perguruan Awan tempat Eyang Sepuh menunggui hutan dan awan. Memang benar ada pertemuan besar di Trowulan. Akan tetapi sesungguhnya tidak ada pemberian gelar lelananging jagat.”

“Istrimu menarik sekali.

“Sayang aku sudah tua dan mau mati.”

Wajah Nyai Demang berubah keruh. Kalimat-kalimat Kebo Berune masih tetap membuat daun telinga sangat panas. Betapa tidak. Sejak pertama bertemu, sudah memanggil dengan bocah slemok. Kini memuji kecantikan tubuh, dengan tambahan dirinya sudah tua dan mau mati.

Memangnya kalau masih muda mau…

“Kakek Berune… Jauh-jauh Kakek datang hanya untuk menunjukkan diri masih punya pikiran kotor?”

Kebo Berune menyeringai.

Tubuhnya tetap tak bergerak. Tergeletak.

“Kami bersahabat, sebagai sesama penghuni Perguruan Awan.” Suara Upasara membuat Kebo Berune berdecak.

“Kawini saja. “Lima puluh tahun lagi, pada pertemuan besar, kalian sudah punya keturunan yang bakal menyelamatkan pertarungan besar di Trowulan.

“Berarti Singasari tetap yang paling murni dan besar. Sungguh menyenangkan.

Sayang, Baginda Raja Sri Kertanegara tak menyaksikan kebesaran ini.” Nyai Demang menggenggam tangannya yang basah oleh keringat.

“Apakah Kakek termasuk senopati Singasari yang dikirim ke tanah Berune, seperti halnya Senopati Kebo Anabrang?”

“Siapa itu Anabrang?”

“Senopati yang dikirim ke tlatah Melayu.”

“Aku cuma mengenal senopati yang ternama. Kalau yang kecil-kecil, mana mungkin aku mengenalnya? Bisa jadi mereka mengenal aku dengan baik.

“Cepat kalian ceritakan yang pokok. Singkat saja, sebelum aku mati.”

Upasara menyembah dan menceritakan jalannya pertarungan di Trowulan.

Kebo Berune mendengarkan sambil memejamkan matanya.

“Kalau benar begitu, Paman Sepuh Bintulu sudah mati. Sayang aku belum sempat mengejek wajahnya yang jelek. Ia dulu paling sombong…”

Sampai di sini Nyai Demang tak bisa menahan rasa gelinya. Jelas Kebo Berune ini yang angkuh dan tinggi hati dengan mengatakan tak mengenal Kebo Anabrang, masih juga bisa menilai orang lain yang sombong.

“…Bintulu merasa paling gagah. Paling tampan. Hmmm, tak tahunya jadi paling jelek dan menyembunyikan wajahnya. Tapi ia bisa menciptakan Bantala Parwa dengan baik.

“Berarti tugas selesai.

“Bintulu, kamu pasti tertawa-tawa di sana dan balik menertawakan aku. Iya, kan? Aku bisa merasakan. Tapi tunggulah sebentar lagi. Aku akan bertemu denganmu di sana.” “Jadi benar bahwa Bantala Parwa ditulis oleh Paman Sepuh Bintulu?” “Siapa lagi yang rajin menulis seperti Bintulu?

“Sejak dulu ia begitu. Ia selalu berpikir bahwa yang menguasai jagat ini adalah ilmu silat. Bukan pengetahuan mengenai ketatanegaraan yang ditekuni Raganata. Juga bukan omongan dan pikiran yang melayang seperti yang dikatakan Bejujag.”

“Bejujag?”

Nada tanya Nyai Demang mendapat anggukan dari Upasara yang kemudian berbisik, bahwa Bejujag adalah nama panggilan buat Eyang Sepuh.

Kalau sekarang Kebo Berune menyebutkan juga nama itu, berarti Kebo Berune hidup pada zaman yang sama.

“Kakek mengenal Eyang Sepuh secara langsung?” “Apa untungnya? Apa istimewanya? .,

“Bejujag, Bintulu, Raganata tak berbeda jauh dengan aku. Hanya saja mereka yang sejak dahulu diakui. Terutama Bejujag itu. Ia yang berhasil mengundang para ksatria seluruh jagat untuk berkumpul setiap lima puluh tahun.

“Di seluruh tanah Jawa ini hanya diakui ada Tri Parwa Utama. Hanya ada Tiga Kitab Utama. Aku tak pernah diperhitungkan.

“Ini kesalahan terbesar sejarah. Tapi aku tak bisa membuktikan kesalahan itu, karena kau tak bisa datang di Trowulan. Dan aku akan mati sebentar lagi.

“Jadi ada benarnya, hanya ada Tiga Kitab Utama!’

“Tiga? Sejauh ini kamu hanya mendengar Bantala Parwa.” Kebo Berune menggelengkan kepalanya.

“Raganata juga membuat kitab mengenai tata pemerintahan, Nagara Parwa. Tapi mana kamu tahu. Itu hanya diperuntukkan Baginda Raja Sri Kertanegara yang tanpa tanding. Sedangkan Bejujag juga menulis kitab yang setiap kali ditulis kembali. Aku tak pernah mengerti, karena setiap kali klika yang dikirimkan selalu berubah.” Kidung Paminggir

BAGI Upasara, keterangan Eyang Kebo Berune melengkapi apa yang selama ini sedikit-banyak telah diketahui, secara sepotong-sepotong.

Seperti diketahui, selama ini Upasara merasa gelap mengenai asal-usul Perguruan Awan. Apalagi mengenai tokoh sepuh, pujaan seluruh ksatria, yaitu Eyang Sepuh.

Barulah ketika bertemu dengan Paman Sepuh Dodot Bintulu, gambaran masa lalu itu sedikit terbentuk.

Kini menjadi lebih sempurna dengan penjelasan Eyang Kebo Berune.

Pada masa lima puluh tahun yang lalu, di tanah Jawa ada tiga ksatria muda yang telah mengukir nama dalam dunia persilatan. Ketiga ksatria muda itu di belakang hari dikenal sebagai Eyang Sepuh, Paman Sepuh, dan Mpu Raganata. Ketiga ksatria inilah yang mendapat kepercayaan utama dari Baginda Sri Kertanegara untuk mengembangkan ilmu silat yang ada.

Payung kebesaran Baginda Raja bukan hanya menyatukan mereka bertiga, akan tetapi juga memberi kelonggaran kepada masing-masing untuk mengembangkan kemampuannya sendiri-sendiri. Paman Sepuh yang kemudian memilih untuk menekuni ilmu silat dan akhirnya berhasil menuliskan Kitab Bumi. Dengan kelebihan ilmu dan kawicaksanan yang luar biasa, Paman Sepuh mampu mengumpulkan berbagai sari ilmu kanuragan yang ada.

Sebaliknya Mpu Raganata lebih memusatkan diri untuk menuliskan berbagai tata cara penyelenggaraan Keraton. Baik mengenai hubungan di dalam yaitu peraturan dan tata krama, maupun mengenai hubungan ke luar dengan keraton- keraton yang lain. Sementara Eyang Sepuh mengerahkan seluruh kemampuannya dalam ilmu silat yang lebih murni.

Ketiga ksatria perkasa ini sambil bertukar pikiran, lewat tulisan dari klika, memberitahukan apa yang dialami satu sama lain. Jurus-jurus, cara melatih pernapasan, maupun tata krama yang kemudian dijadikan perundangan, boleh dikatakan melalui ketiga ksatria yang berangsur-angsur juga bertambah usianya.

Dari sisi ini, Upasara bisa memahami kebesaran dan jiwa luhur Baginda Raja. Yang mampu menanamkan benih-benih kebesaran negara di atas segalanya. Dalam suasana pertentangan yang mungkin saja terjadi, ketiga ksatria masih selalu berhubungan dan memberikan hasil yang terbaik dari pencariannya selama ini.

Dan kalau dihubungkan dengan senopati yang lain lagi, bukan hanya mereka bertiga yang saling bertukar pikiran dan mendapatkan hasilnya. Melainkan juga para senopati utama. Tak peduli di mana pun berada.

Dengan demikian segala kemajuan dan pengetahuan yang diperoleh bisa diteruskan kepada yang lain. Tanpa perasaan iri atau mau menang sendiri.

Sungguh dalam hal seperti ini Baginda Raja Sri Kertanegara mengungguli pemikiran lain yang ada. Mampu menanamkan kebesaran dalam kebersamaan.

Bukan hanya Kebo Berune yang tetap memakai nama itu, melainkan juga Maha Singanada, ataupun Maha Singa Marutma, atau Kebo Anabrang, atau yang lain lagi.

Keunggulan Paman Sepuh Dodot Bintulu dalam merampungkan Kitab Bumi tidak hanya untuk dirinya sendiri. Melainkan untuk kebesaran Keraton Singasari.

Untuk tanah tumpah darah di mana ksatria Singasari lahir dan dibesarkan. Upasara sadar bahwa di samping ketiga ksatria muda itu, banyak yang lainnya.

Salah seorang di antaranya adalah Eyang Kebo Berune. Yang bukan hanya hidup sezaman, melainkan juga merupakan suatu bagian yang saling bertukar pikiran.

Nama Kebo Berune lebih menunjukkan bahwa kebo adalah simbol nama yang dipakai di zaman Baginda Raja, sementara Berune menunjukkan tanah di mana panji- panji Singasari dikibarkan.

Salah satu keelokan yang ditunjukkan oleh Eyang Sepuh ialah bahwa kehadirannya mampu memancing kedatangan para pendekar seluruh jagat. Untuk bertemu setiap lima puluh tahun. Sesuatu yang tak mungkin terjadi tanpa perlindungan sepenuhnya dari Baginda Raja. 

Bahkan ini termasuk salah satu kebijaksanaan Baginda Raja, menjadi penyelenggara pertemuan sejati para pendekar utama.

Ini pula yang membuat Eyang Kebo Berune datang kembali ke tanah Jawa dari pengembaraannya di negeri asing. Nyai Demang tak terlalu paham. Akan tetapi bisa merasakan, bahwa pada masanya Kakek Kebo Berune ini boleh dikatakan sejajar dengan tiga tokoh utama. Hanya, barangkali saja, perjalanan hidupnya yang berbeda. Setidaknya kalau dilihat dari penyesalan yang masih tersisa dari kata-kata Kakek Kebo Berune.

Nyai Demang jadi lebih menghormat dalam hati. Kalau kakek tua yang hanya bisa berbaring ini sangat ketus, bisa dimengerti. Dalam dunia persilatan, tokoh yang sakti memang biasa mempunyai tabiat yang berbeda dari kebanyakan orang. Makin aneh kadang makin menandakan kesaktiannya.

Kalau masih ada yang mengganjal dalam hati Nyai Demang, itu adalah sejumlah kecil pertanyaan. Apa yang menyebabkan Kakek Kebo Berune ini menderita penyakit yang begitu parah, sehingga setiap kali menyebut ajalnya sudah dekat? Siapa yang mampu merontokkan tenaga dalam yang masih begitu sempurna? Siapa lagi tokoh yang lebih sakti itu?

Rasa penasaran yang lebih membuat tak bisa menahan rasa ingin tahunya ialah mengenai adanya Tiga Kitab Utama. Selama ini Nyai Demang merasa sudah membaca hampir semua kitab pusaka yang ada. Bahkan lebih dari itu, juga dalam berbagai bahasa lain.

Akan tetapi selama ini tak pernah mengetahui bahwa Eyang Sepuh ternyata juga menulis!

Seperti apa pula itu?

“Apa betul Eyang Sepuh juga menulis kitab pusaka?” “Pusaka atau tidak, mana aku tahu?

“Bejujag itu selalu mengganti setiap kali. Akhirnya ia tak mau menuliskan lagi ilmu silat atau latihan pernapasan. Ia lebih suka melamun. Aku pernah membaca sebagian kidung lamunan untuk menyenangkan nyamuk dan menggelisahkan Raja.

“Bejujag itu memang licik, licin, pandai, cerdik untuk selalu mencari perhatian.”

“Apakah Eyang Berune mengetahui nama kitab yang ditulis Eyang Sepuh?” Tubuh yang tergeletak itu tetap tak bergerak. Perubahannya hanya terlihat di bibirnya. Sedikit mengejek. “Kamu akan kecewa. Bejujag itu cuma cari nama.

“Kitab yang ditulisnya tak lebih dari coretan anak-anak di pinggir sungai. Jauh di bawah kemampuan Bintulu yang dengan tegar dan gagah mampu menulis Kitab Bumi. Jauh di bawah kemampuan Raganata yang menulis Kitab Negara. Baik Bantala Parwa maupun Negara Parwa tak bisa disamai. Hanya disamai saja tak mungkin.

“Tapi Bejujag pintar, cerdik, nasibnya baik, dihormati, dipuja, disembah. Sejak dulu Baginda Raja selalu terkesima dengan kepandaian Bejujag bertutur kata.

“Dan Bejujag itu selalu bisa menarik perhatian dunia. Ksatria seluruh jagat merasa terhormat memenuhi undangannya. Akan lain kalau yang mengundang Bintulu, atau bahkan Raganata sekalipun!

“Padahal Bejujag itu hanya menulis beberapa bait kidungan yang paling kampungan.”

Nyai Demang tak bisa menahan diri.

“Apakah itu termasuk ‘bait yang tak terbaca di hati’? Rasanya…” Napas Eyang Kebo Berune berangsur tenang.

Membaik.

Wajahnya, sedikit lebih bersemangat.

“Itulah kelebihannya. Bait atau huruf yang dipakai selalu menjadi lebih terkenal. Bahkan Kitab Bumi pun dianggap sebagian atau seluruh ksatria sebagai hasil karya Bejujag. Bahkan ketika Bejujag mengatakan bahwa bukan ia yang menciptakan, tak ada yang percaya.

“Kalau bukan nasib baik, apa lagi namanya?” “Eyang, apa nama kitab pusaka itu?” “Lupakan.

“Itu bukan kitab. Apalagi pusaka. “Itu hanya merupakan beberapa baris kidungan, yang dinamai Kidung Paminggir. Entahlah kalau sekarang sudah diganti lagi.

“Ah, aku tahu. Bejujag tak berani muncul karena takut ketahuan belangnya.

Makanya ia menyembunyikan diri. Kalau tidak, ia pasti tahu aku di sini. “Bejujag, Bejujag!

“Sampai kapan kamu dipuja?”

Meskipun meragukan, tak ada rasa dendam dalam nada ucapannya.

“Kamu akan kecewa, kalau sudah membaca tulisannya. Aku lebih kecewa, karena aku tahu persis ia main-main. Ia mempermainkan aku, mempermainkan Bintulu dan Raganata. Mempermainkan seluruh ksatria sejagat.

“Dan ia menikmati.

“Aha, apakah tidak ada yang lebih ajaib dari hal ini? Bahkan kamu pun tahu ‘bait yang tak terbaca di hati’. Kalau ia berani muncul, akan aku telanjangi ia di sini, memaksanya meminta ampun dan menjilati kakiku, dan aku tak memperbolehkan.

“Biar tahu rasa.” Pukulan Pu-Ni

NYAI DEMANG, yang merasa begitu tulus menghormat pada Eyang Sepuh, merinding kulitnya.

Baru sekarang ia mendengar sendiri, seorang kakek yang terbaring dan sedang sekarat mencaci Eyang Sepuh dengan kata hinaan yang keterlaluan.

“Bisa jadi Eyang Sepuh menulis kitab yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang telah sampai pada tingkat tinggi.”

“Salah. “Keliru. “Itu selalu jalan pikiran orang lain. Tapi aku tak pernah bisa dikibuli. Aku tahu persis siapa dia.

“Upasara, coba kamu mainkan dasar-dasar Kitab Bumi. Aku ingin menyaksikan sebentar.”

Upasara memberi hormat.

Lalu berdiri, dengan kaki sedikit mengangkang. Mulailah ia memainkan dengan cepat, Dua Belas Jurus Nujum Bintang secara penuh, kemudian disusul dengan Delapan Jurus Penolak Bumi. Kemampuan Upasara dengan pengaturan tenaga dalam membuat Nyai Demang makin bertambah rasa kagumnya.

Getaran tenaga dari seluruh kulit Upasara mampu menggerakkan debu dan abu dalam rumah, akan tetapi setelah selesai memainkan, debu dan abu itu seperti tertumpuk di tempatnya semula!

Seperti tak pernah ada angin sebelumnya.

Namun, Eyang Kebo Berune sama sekali tak menoleh. Tetap tergeletak memandang langit-langit. Melirik pun tidak.

Yang membuat Nyai Demang heran, justru karena tanpa melirik pun Eyang Kebo Berune bisa mengetahui apa yang dimainkan Upasara.

“Dasar-dasar ilmu Kitab Bumi itu masih saja seperti yang ditulis oleh Bintulu. Hanya delapan jurus terakhir itu dikembangkan sedikit oleh Bejujag. Apa itu yang disebut-sebut sebagai Tepukan Satu Tangan?”

“Pandangan Eyang sangat tepat.”

“Hebat. Sekali lagi aku harus memuji Bejujag itu. Bintulu yang susah payah menemukan, dengan satu polesan saja menjadi Tepukan Satu Tangan yang seolah ciptaan Bejujag.

“Tapi ada apa dengan tangan kananmu?

“Bagaimana kamu bisa menjadi lelananging jagat dengan tangan lumpuh seperti itu?” Upasara menjelaskan bahwa tangan kanannya masih kaku digerakkan, meskipun tidak selalu mengganggu, karena pukulan dari Halayudha.

“Siapa Halayudha? “Halayudha atau Bintulu?”

“Besar kemungkinan murid yang mencelakakan Paman Sepuh Dodot Bintulu.” “Nah, berarti jelas sekali sekarang ini.

“Ilmu yang dipuji seluruh jagat, yang membuat semua pendekar sejati kelas utama datang ke tanah Jawa ini, bisa dikalahkan. Tepukan Satu Tangan yang hebat itu bisa dipatahkan oleh Bintulu. Berarti ia sudah berhasil memecahkan rahasia ciptaan Bejujag!

“Bintulu, akhirnya kamu yang paling perkasa juga.” Pujian yang terdengar menggeletar.

Upasara seperti disadarkan bahwa dalam banyak hal, Halayudha memiliki ilmu yang sakti mandraguna. Ilmu sakti sejati, yang bisa mematahkan ciptaan Eyang Sepuh.

Pada penguasaan yang sempurna, benar-benar merupakan maha malapetaka di belakang hari.

Baru sekarang terjawab, kenapa Upasara bisa dilumpuhkan oleh pukulan Halayudha.

“Upasara, apakah kamu juga murid Bintulu?” “Saya tak berani mengaku.

“Sebagian yang saya pelajari adalah dari Kitab Bumi yang ternyata ciptaan besar Paman Sepuh Dodot Bintulu.”

“Bukan, bukan itu.

“Apa yang kamu mainkan sepenuhnya Kitab Bumi yang sudah disempurnakan Bejujag. Terutama sekali dalam Delapan Jurus Penolak Bumi. Itu tak perlu diragukan lagi. “Akan tetapi tarikan napasmu, adalah murni dari dasar yang diajarkan Bintulu.”

Upasara menyembah hormat.

Menjelaskan bahwa ia pernah menghancurkan tenaga dalamnya. Dalam perjalanan kemudian, bertemu dengan Paman Sepuh Dodot Bintulu yang mengajarkan cara-cara memanggil kembali yang tersimpan, sehingga kekuatannya pulih kembali.

“Mungkin ini jawabannya.” “Bukan mungkin. Memang begitu. “Kalau begitu bisa bahaya.”

Nyai Demang yang berkeringat. “Bahaya?”

“Kalau kamu menyebut bahaya, cah slemok.” “Di mana bahayanya?”

“Seperti aku ini.

“Terbaring seperti ini. Karena pertarungan antara kekuatan tenaga dalam. Berganti-ganti aku mempelajari apa yang ditulis Bintulu dan Bejujag, sehingga akhirnya seperti ini.

“Aku mempunyai ilmu yang kuberi nama Pukulan Pu-Ni. Nama ini untuk mengingatkan bahwa pukulan ini benar-benar tercipta di tanah Pu-Ni atau Beruni atau Brunei, atau Barune, atau Berune, tergantung lidah kamu mau bilang apa.

“Pukulan ini, demi Dewa, seperti Tepukan Satu Tangan. Akan tetapi ternyata tenaga murni yang kumiliki dasarnya berbeda. Waktu aku seusia kamu, hal ini tak terasakan. Sekarang baru terasakan akibatnya.

“Aku sengaja datang untuk memberitahu Bejujag. Bahwa keduanya adalah manusia paling terkutuk di jagat ini. Bahwa persaingan keduanya menghancurkanku.” “Kenapa Kakek selalu mendendam pada mereka yang terhormat?”

Pertanyaan Nyai Demang membuat sorot mata Eyang Kebo Berune menatap langit-langit lebih keras.

“Kamu akan begitu juga, kalau mengetahui kekasihmu ini hanya bisa berbaring seperti aku, dan susah mati.”

Nyai Demang bergidik.

Apa yang dikatakan Eyang Kebo Berune merobek seluruh angan-angannya. Bukan karena disebutnya Upasara sebagai “kekasih”, melainkan karena keadaan Eyang Kebo Berune yang mengenaskan.

Seperti sekarang ini!

Bukan oleh lawan, melainkan oleh dirinya sendiri.

Benarkah Upasara akan mengalami keadaan sekarat seperti ini? Dan ini karena persaingan antara Paman Sepuh dan Eyang Sepuh?

“Mereka berdua sengaja memberikan ilmu silat dan cara pernapasan yang bertentangan. Agar dipelajari dan masing-masing pastilah berpikir yang lainnya akan rontok dan hancur. Celakanya, justru akulah yang terkena.

“Upasara, seharusnya kamu bisa membaca bahwa pengerahan tenaga tumbal adalah penyerahan. Yang berarti kerelaan. Kerelaan yang… apakah kalau menderita seperti ini juga harus rela?

“Nah, apakah kalian masih mau mengatakan aku jahat dengan memaki Bejujag?

“Siapa yang paling jahat?

“Aku, yang memilih menjadi prajurit dan dikirim ke tanah seberang? Ataukah Bintulu yang merasa dirinya paling tampan dan perkasa? Ataukah Raganata yang ingin menikmati kebesaran duniawi dengan mengabdi kepada Baginda Raja? Ataukah Bejujag yang secara sengaja menuliskan lamunan untuk menjungkirbalikkan ketenteraman? Ataukah Pulangsih yang menggoda itu?”

Kini, Nyai Demang bisa menangkap lebih luas daripada Upasara Wulung. Cepat sekali jalan pikiran Nyai Demang berkembang ke arah masa yang diceritakan Kakek Kebo Berune. Bahwa pada masa-masa itu ada tiga ksatria muda yang mempunyai nama besar. Di samping mereka ada juga seorang ksatria yang menjadi senopati, dan kemudian sesuai dengan sebutannya, dikenal sebagai Kebo Berune.

Ini ternyata belum semuanya. Masih ada satu lagi yang disebut dengan nama Pulangsih. Entah siapa tokoh yang satu ini, dengan kesaktian seperti apa pula.

Yang jelas, sebutan nama itu menunjukkan adanya dendam atau kemarahan, penyesalan, tetapi juga kegeraman yang berhubungan dengan asmara.

Pulangsih bisa berarti nama seorang wanita, akan tetapi juga bisa berarti kumpul asmara. Bermain asmara.

Nyai Demang bisa mengetahui bahwa tokoh wanita yang satu lagi tidak bernama Pulangsih. Nama itu lebih menunjukkan julukan yang akrab bagi mereka. Seperti halnya menyebut Eyang Sepuh dengan Bejujag atau si Kurang Ajar.

Sangat mungkin sekali, di masa mudanya Eyang Sepuh di antara sebayanya dikenal sebagai kurang ajar. Dan nama Pulangsih diberikan karena keempat ksatria ini sama-sama terlibat daya asmara.

Siapa pun orangnya yang disebut Pulangsih ini pasti luar biasa.

Kalau tidak, mana mungkin keempat ksatria yang perkasa pada zamannya memperebutkan?

“Kakek Kebo Berune, di manakah Eyang Putri Pulangsih sekarang ini?” Tak ada jawaban.

Hanya dada kakek tua yang tergeletak tanpa gerak itu jadi turun-naik dengan cepat. Napasnya tersengal-sengal.

“Rasanya aku mati sekarang ini.” Kidung Paminggir, Pupuh Pertama TUBUH kakek tua itu tergetar hebat. Tanpa suara gigi gemeretuk.

Tanpa gerak. Hanya dengus napasnya tak teratur. Makin lama makin cepat, bergejolak. Nyai Demang memandang ke arah Upasara. Namun Upasara hanya menunduk tak memperlihatkan reaksi.

“Kakek sedang lelaku…”

Lelaku adalah istilah yang lebih halus dan menghormat daripada sekarat. Intinya sama saja. Menjelang ajal. Biasanya ditandai dengan tarikan napas yang makin lama makin cepat, tersengal.

Walau ilmu tenaga dalam Nyai Demang tidak sangat istimewa, akan tetapi cukup bisa merasakan betapa gawatnya keadaan.

Nyai Demang tak bisa berdiam diri.

Hatinya tidak tega melihat lelaki tua yang menderita sendirian itu. Tangannya terulur ingin menenangkan. Ingin melakukan sesuatu yang bisa, sedikitnya, memperingan penderitaan. Tubuhnya maju ke depan.

Satu jari dari tubuh Kebo Berune, Nyai Demang menjerit.

Tubuhnya tertekuk, kedua kakinya mendadak lemas. Ada sengatan tenaga yang menghantam ke ulu hatinya. Bagai kena sentakan halilintar.

Sungguh tak dinyana tak diduga.

Dari tubuh yang kering kerontang tergeletak tanpa gerak ini bisa mengalirkan tenaga yang begitu kuat.

Nyai Demang memegangi perutnya. Rasa mual dari ulu hati tak bisa ditahan. Saat itu tangan Upasara menyentuh.

Dan mendadak Upasara menarik tangannya. Terasakan sentakan yang keras, bagai gelombang tenaga yang sangat tipis menyusup. Berbeda dengan Nyai Demang yang terhuyung-huyung, Upasara tetap berdiri kukuh. Malah lalu merangkap kedua tangan, menggosok telapak tangan dengan gerakan kaku karena tangan kanannya belum sempurna.

Lalu satu tangan maju mendekat ke arah tubuh Nyai Demang. Mendekat.

Lekat.

Dan ditarik kembali.

Nyai Demang mengaduh. Tubuhnya terkulai.

Upasara mengulang kembali setelah memusatkan seluruh pikirannya. Kini, lebih jelas bahwa tenaga yang bergolak dalam tubuh Nyai Demang adalah tenaga yang kelihatan bertentangan, bertarung satu sama lain. Sentuhan tangan Upasara mengalirkan tenaga yang terbendung itu.

Ini yang tadi dirasakan oleh Nyai Demang ketika menyentuh tubuh Eyang Kebo Berune.

Sentuhan kedua, masih terasakan getaran yang kuat. Upasara mencoba menolak, akan tetapi tubuh Nyai Demang jadi berkelojotan dan mengeluarkan rintihan memelas.

Terpaksa tenaga yang bergolak dari tubuh Nyai Demang diserap, sehingga Upasara merasakan getaran yang dahsyat di ulu hatinya.

Sesaat.

Tangannya dilepaskan.

Upasara memusatkan perhatian kembali. Mengumpulkan tenaga dalam, dan menjajal kembali.

Di luar dugaannya, tenaga bergolak dalam diri Nyai Demang masih tetap kuat menyerang. Dan setiap kali Upasara berusaha menggempur, badan Nyai Demang bergoyang tak tahan.

Ini hebat! Bisa dibayangkan pergolakan tenaga dalam yang luar biasa dalam tubuh Eyang Kebo Berune. Pasti jauh berlipat ganda dari yang sekarang sedang mengamuk dalam tubuh Nyai Demang.

Mengejutkan.

Upasara cukup pengalaman dalam soal olah pernapasan dan latihan tenaga dalam. Boleh dikatakan unsur-unsur yang sejati dalam cara melatih pernapasan sangat dikuasai. Dengan Kitab Bumi sebagai sumber utama, Upasara tumbuh sebagai ksatria yang bisa disejajarkan dengan pendekar-pendekar berusia lanjut.

Lebih menguntungkan lagi, justru pada usia masih muda Upasara sempat menjajal dengan berbagai pertarungan yang penting dan menentukan.

Akan tetapi, tenaga bergolak dari tubuh Nyai Demang tetap menimbulkan teka-teki baginya.

Karena agaknya tenaga dalam Nyai Demang seperti terkuras untuk meletup ke luar. Kalau tidak akan menggerogoti kekuatannya sendiri. Seakan butuh penyaluran.

Bahayanya, jika tenaga itu didorong atau dilawan, tubuh Nyai Demang yang termakan, yang menjadi korban.

Dengan kata lain, semacam tenaga bebas yang bergerak dan bisa menghantam apa saja.

Sejak pertama kali, Upasara telah mengetahui ada sesuatu yang luar biasa dalam diri Eyang Kebo Berune. Itu sebabnya ia menyabarkan diri untuk tidak bertindak sembrono. Hal itu yang juga diisyaratkan pada Nyai Demang.

Hanya saja pada saat terakhir, Nyai Demang merasa tidak tahan. Ia menyentuh tubuh Eyang Kebo Berune.

Akibatnya cukup gawat.

Kini Upasara sendirian. Eyang Kebo Berune masih tetap tak bergerak, sementara Nyai Demang juga mengalami nasib yang sama. Kini saatnya bergerak untuk melakukan sesuatu. Upasara pernah mengalami kejadian yang kurang-lebih sama. Yaitu saat di mana Gendhuk Tri terkena hawa racun yang luar biasa. Sehingga seluruh tubuhnya dialiri racun berbisa. Siapa yang tercakar, tenaga racun dalam tubuh Gendhuk Tri akan merembes masuk ke arah lawan.

Sangat berbahaya, karena ini berarti maut.

Bahkan jenis binatang berbisa tak berani mendekati tubuh Gendhuk Tri. Waktu itu Upasara bisa menyembuhkan dengan cara memberikan tenaga dalamnya untuk mengusir hawa racun. Ini bedanya.

Sekarang ini kalau Upasara akan memberikan tenaga dalamnya, belum tentu berhasil. Karena tenaga dalam yang bergolak tak bisa dijinakkan. Dipaksa keluar dengan perlawanan, akibatnya membahayakan si penderita. Sementara kalau diterima, pengalihan tenaga bergolak ini rasanya tak berkurang. Nyai Demang masih tetap menderita, dan dirinya sendiri diamuk tenaga perlawanan.

Tenaga sesat yang menjadi korban lebih banyak.

Upasara mencoba lagi. Kali ini berdiri tegak, dengan kedua kaki mengangkang. Tangan tertekuk di pusar. Perlahan kedua tangan bergerak ke atas, dengan siku mundur. Telapak tangan menghadap ke atas, bergerak naik.

Seiring dengan tarikan napas yang dalam. Lewat ujung hidung, masuk ke dalam otak di kepala, lalu turun ke belakang lewat sumsum tulang belakang, dan dikumpulkan di bagian pusar.

Sementara kedua tangannya bergerak perlahan ke depan, mendorong. Perlahan, dengan tangan kiri lebih mengarah, mendahului tangan kanan.

Bersama dengan embusan napas yang sudah ditahan sebisa mungkin di pusar.

Napas Bumi!

Tubuh Nyai Demang bergetar. Gejolak tenaga dalam menembus ke dalam tubuh Upasara lewat tangan Upasara. Yang untuk sementara melekat erat.

Upasara menampung sekuat mungkin.

Baru kemudian melepaskan dan melampiaskan tenaga yang bergolak ke arah

luar. Terdengar gejolak keras.

Pohon-pohon di luar rumah bergoyangan dan roboh. Gubuk itu sendiri bergerak, seolah jebol dari dasarnya.

Sesaat Upasara menahan diri, merasakan sisa-sisa serangan tenaga Nyai Demang.

“Apakah lebih baik, Mbakyu Demang?” “Ya.”

“Kalau begitu akan saya coba lagi. “Mbakyu jangan melawan. Biarkan saja.” Upasara bersiap lagi.

“Percuma.

“Kamu akan mati kelelahan. Tenaga Pukulan Pu-Ni tak bisa dipindahkan begitu saja.”

Upasara memandang hormat kepada Eyang Kebo Berune.

“Nyai Demang-mu itu menjadi lebih baik tubuhnya karena memang begitulah adanya. Tenaga Pukulan Pu-Ni akan muncul dan lenyap secara mendadak. Sampai satu saat tertentu, ia tak kuat lagi dan mati.

“Bukankah sekarang aku segar lagi?”

“Eyang Berune, saya masih terlalu dungu untuk memahami. Akan tetapi rasanya selalu ada jalan keluarnya.”

“Bejujag mungkin tahu.

“Tapi ia tak mau mengatakan.”

Mendadak Nyai Demang menggeliat dan bangun, seperti segar kembali. “Kakek Berune, coba katakan bagaimana bunyi kidungan yang Kakek sebutkan. Siapa tahu kita bisa bersama-sama memecahkannya.

“Setidaknya kidungan yang pertama saja.”

“Kenapa kita tidak mati bersama tanpa penasaran? Pupuh pertama atau terakhir, apa ada gunanya?”

Kidung Pujian bagi Baginda Raja

SEBENARNYA Nyai Demang sudah sangat merendah.

Dengan mengatakan bisa dipecahkan bersama, Nyai Demang tidak ingin menunjukkan dirinya lebih pintar dalam menguraikan arti Kidungan Paminggir dibandingkan Eyang Kebo Berune.

Bahkan dengan menyebutkan pupuh pertama, atau bait pertama saja, Nyai Demang ingin mengetahui sampai sejauh mana kitab yang konon ditulis oleh Eyang Sepuh.

Alasan yang lain bagi Nyai Demang ialah karena secara langsung Eyang Sepuh menyebutkan hal itu dalam pertemuan dengan Upasara.

Dan selama ini, beberapa kali Nyai Demang berusaha menerjemahkan makna kata-kata Eyang Sepuh. Dengan membolak-balik arti kidungan dalam Kitab Bumi.

Hasilnya?

Merasa bisa tapi juga ternyata bukan jawaban yang sebenarnya. Sehingga rasa ingin tahu Nyai Demang makin menggunung.

Sebenarnya Upasara juga mempunyai keinginan yang sama. Alasannya tidak jauh berbeda dari Nyai Demang.

Dalam Kitab Bumi, selintas bisa dibaca mengenai cara berlatih tenaga dalam, cara mengatur pernapasan. Akan tetapi dari Kitab Bumi itu pula, dengan lirik kata- kata yang sama, bisa diterjemahkan secara lain.

Bahkan kurungan bawah tanah yang berliku-liku juga bisa dipecahkan dengan lirik-lirik Kitab Bumi! Seperti yang telah dilakukan Dewa Maut ketika memberi petunjuk Nyai Demang.

Seperti yang telah diusahakan Nyai Demang untuk memancing kembali tenaga dalam Upasara yang musnah.

Seperti yang diajarkan Paman Sepuh Dodot Bintulu dalam mengembalikan tenaga dalam Upasara Wulung.

“Eyang, barangkali ada gunanya dicoba.” Terdengar helaan napas.

“Baik, baik. Kuakui keunggulan Bejujag itu.

“Di jagat raya ini, rasanya hanya aku yang mendengar Kidung Paminggir. Tinggal aku yang bisa mengajarkan dusta ini. Bintulu sudah tak ada, Raganata sudah musnah, Bejujag sendiri sudah bersembunyi sepenuhnya.

“Tinggal aku.

“Kecuali kalau Pulangsih si penggoda masih ada.

“Baik, baik. Upasara dan Nyai Demang, dengarkan baik-baik. Katakan dengan jujur apakah aku yang membual, atau Bejujag itu yang kurang ajar.”

Sunyi sebentar.

Upasara memusatkan perhatiannya.

Nyai Demang siap mencatat kidungan di lantai yang berdebu.

KIDUNG PAMINGGIR

Pupuh pertama, rasa syukur kepada segala Dewa yang memberkati keluhuran raja bijaksana sembahan seluruh umat manusia

bergelar agung Baginda Raja Sri Kertanegara tanpa cela, seumpama Dewa yang sesungguhnya seluruh jagat terpikat mendengarnya!

Upasara masih menunggu.

Nyai Demang menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Apa kalian masih ingin mendengarkan pupuh berikutnya?” “Hanya itu pupuh pertama?”

“Kamu kira Bejujag itu mau bersusah payah menyusun seperti Bintulu?” Nyai Demang segera menghapus tulisan tangan di tanah.

“Nah, kalian masih beranggapan tulisan Bejujag sejajar dengan kitab yang

lain?”

“Rasanya tidak di pupuh pertama.” Terdengar tawa halus.

“Aku lebih hafal dari Bejujag itu sendiri. Sampai pupuh kesembilan tetap tak ada apa-apanya. Bahkan lebih membual. Tapi baiklah, Nyai, karena kamu baik hati mau mati bersamaku, apa salahnya aku kabulkan keinginanmu?

“Sekalian menjelaskan bahwa Bejujag tak harus dipuja seperti itu. Dengar baik- baik, catat sampai putus jarimu.”

Sunyi lagi.

Upasara kuatir jika serangan dalam tubuh Eyang Kebo Berune bergolak lagi. Karena bisa terhenti di tengah jalan. Untuk selamanya.

Ini adalah kesempatan yang amat langka. Bisa bertemu secara langsung dengan tokoh yang sezaman dengan Eyang Sepuh dan mengetahui lebih banyak dari siapa pun.

Pupuh kedua, masih atas Baginda Raja yang lebih cendekia dari segala Dewa Duh, Baginda, inilah kisah seorang lelaki yang bertemu Tamu dari Seberang memberikan takhta padanya

jadilah ia seorang raja

melahirkan anak cucu bermahkota sampai akhir turunannya

Sampai akhirnya, adalah kisah lain lelaki paminggir, lelaki nista dan miskin mendengar suara, mendapat wahyu Wahyu Paminggir

menjadi penguasa seperti Dewa

Wahyu Paminggir dimiliki oleh lelaki jelata tanpa mahkota

Itulah saat, seluruh jagat menatap kebesaran Keraton

Duh, Baginda Raja yang lebih bijak dari Dewa ini bukan gempa, bukan bencana

sebab Wahyu Paminggir telah hadir sejak sebelum dituliskan oleh si pandir!

Nyai Demang jadi ragu-ragu.

Cara Kakek Kebo Berune mengidungkan sangat kurang enak di telinga, akan tetapi arti yang tertangkap lebih tidak enak lagi.

“Nah, kalian tahu sendiri bualan itu sekarang.

“Di saat Bintulu menyusun Kitab Bumi dengan jungkir balik, di saat Raganata merampungkan Kitab Negara, Bejujag justru main-main dengan lamunan.

“Bukankah semua tahu bahwa dulu ada lelaki bernama Ken Arok yang naik takhta, meskipun ia tidak dialiri darah Dewa?

“Bukankah Bejujag ingin menjelaskan lagi, bahwa kebesaran semacam itu akan terjadi lagi?

“Bukankah Bejujag ingin mengatakan ia sangat ingin sekali memegang jabatan

itu?

“Dan ia berhasil. Berhasil mengguncangkan Keraton. Sejak itu Baginda Raja melarang Bejujag menulis. Melarang Raganata membaca semua karyanya.”

“Jangan-jangan yang diramalkan adalah Adimas Upasara.” “Hmmm.”

“Bukankah paminggir berarti yang tidak pernah dianggap. Berarti selir, gundhik yang tidak resmi?

“Adimas Upasara juga ksatria yang tidak diakui resmi. Ia yang akan tampil suatu hari nanti.

“Ya, ya, ramalan dan perhitungan yang jitu.”

“Tolol!” terdengar seruan geram Kakek Kebo Berune menanggapi ucapan Nyai Demang. Untuk seorang tua, suara emosional begini terdengar menggelikan.

“Sangat tolol.

“Karena semua orang yang tidak berdarah turunan merasa bakal jadi pahlawan dan penguasa besar di belakang hari. Ini meracuni jiwa. Dan semua keturunan Dewa dibuat risau karenanya.

“Lagi pula apa istimewanya nujum seperti ini? Bisa diartikan siapa saja.” Upasara tetap tenang.

Pikirannya lebih jernih dibandingkan Nyai Demang maupun Eyang Kebo Berune.

“Maaf, Eyang Berune, saat apa Eyang Sepuh menyusun Kidung Paminggir itu?” “Saat apa?

“Tiap kali, ketiga ksatria perkasa mengirimkan hasil pemikiran dan pencariannya. Tidak saat apa-apa.”

“Apakah bukan jawaban bagi jurus-jurus yang dikemukakan oleh Paman Sepuh Bintulu? Atau jawaban bagi Eyang Mpu Raganata? Atau justru bagi Eyang Kebo Berune sendiri?”

“Atau bagi Eyang Putri Pulangsih?” Tambahan kalimat Nyai Demang membuat Eyang Kebo Berune berkejap-kejap matanya.

“Kenapa kamu berdua mempunyai jalan pikiran yang sama?

“Apa betul Bejujag itu yang paling sakti di antara kita semua? Sedemikian saktinya sehingga aku tak mampu menangkap kalimatnya?

“Bejujag, semoga kamu dikutuk semua Dewa yang pernah ada!” Pamiluta, Ilmu Bujuk Rayu

KAKEK tua tetap tergeletak.

Hanya jakunnya yang bergerak. Lebih cepat dari biasanya. Helaan napasnya agak tersendat.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar