Sampul Maut Jilid 09

Jilid 09

Belum lagi selesai ucapan itu, Tang Ceng Hong sudah menyerang dada Wei Beng Yan sambil membentak.

„Kau selalu mengeloni ayahmu, hari ini kau    ”

Baru berkata hingga di situ, tampak Tang Ceng Hong yang sedang menyerang, terdorong mundur ke belakang dengan langkah limbung.

„Tang Tay-hiap!” seru Wei Beng Yan setelah barusan berhasil mengelakkan serangan dan mendorong pundak kakek itu. „Aku tidak ingin bermusuhan dengan Tay-hiap!”

Tang Ceng Hong sebagai seorang yang cukup tenar namanya di kalangan Kang-ouw, jadi gusar bukan main kena “dicolong” demikian mudahnya. Sambil membelalakkan matanya ia membentak lagi.

„Sungguh gesit gerakanmu tadi! Aku mengetahui bahwa kau telah mengalahkan Suto Eng Lok, tetapi aku tidak gentar menghadapi putera musuh besarku!”

Wei Beng Yan bersenyum mendengar kata-kata yang paling belakang itu, ia mengetahui bahwa Tang Ceng Hong telah salah paham mengenai si pembunuh keluarga serta murid-muridnya itu.

„Tang Tay-hiap,” katanya tenang, „aku yang muda minta maaf! Aku tidak mengatakan bahwa Tang Tay-hiap telah menuduh orang sembarangan, maksudku yalah mungkin Tang Tay-hiap keliru dalam hal ini!”

„Aku keliru?!” sahut Tang Ceng Hong sambil merogo ke dalam sakunya, sejenak kemudian tangannya itu telah memegang secarik kain sutera yang dilontarkan ke arah Wei Beng Yan, sambil melanjutkan ucapannya.

„Apakah tanda tulisan dengan darah itu bukan lambang daripada ayahmu itu?”

Wei Beng Yan menangkap secarik kain sutera yang dilontarkan itu yang bertulisan beberapa huruf yang berbunyi,

„Dosa tidak dapat diampuni!”

Di sudut kain sutera itu tertera gambar sebilah pedang dan cincin. Lambang pribadi ayahnya. „Hah?!” serunya tercengang.

Karena gaya tulisan itu bukan milik ayahnya. Itu adalah gaya tulisan gurunya, Yu Leng.

Ia dapat mengenali, karena Yu Leng atau Pek Tiong Thian pernah memberikannya beberapa surat petunjuk agar ia bersama Siauw Bie pergi mencari di mana letaknya pegunungan Oey-san untuk mencari buah yang berkulit kuning.

Pada detik itu juga Wei Beng Yan sudah dapat membuktikan bahwa ayahnya tidak pernah menginjakkan kakinya di tempat Tang Ceng Hong. Ia mengenal baik watak ayahnya, yang jika ingin bertarung melawan musuh, selalu memberitahukan lebih dulu, agar musuhnya itu bersiap sedia dan menghadapinya secara berterang.

Memang di kalangan Kang-ouw, Wei Tan Wi terkenal sebagai seorang pendekar sejati yang tidak pernah membokong, mempergunakan siasat-siasat keji atau meninggalkan tanda apapun sebagaimana tertera di kain sutera itu.

„Tang Tay-hiap,” kata Wei Beng Yan akhirnya. „Kapankah terjadinya peristiwa ini?”

„Pertengahan bulan delapan, sembilan tahun yang lalu!”

„Bulan delapan...... sembilan tahun yang lalu......” kata Wei Beng Yan sambil berpikir. „Hah! Tatkala itu ayah dan aku sedang berada di atas telaga Tong-teng menikmati malam bulan purnama!” „Kau masih menyangkal, setelah melihat bukti yang tidak dapat diragukan lagi itu?”

„Hanya Tang Tay-hiap saja yang mengatakan, tidak dapat diragukan lagi!”

„Apa artinya pedang dan cincin di atas kain sutera itu?”

„Tang Tay-hiap, sebelum aku menjawab, apakah kau bersedia menerangkan cara bagaimana kau menjumpai kain sutera ini?”

„Beginilah caranya!” sahut Tang Ceng Hong sambil melepaskan tinjunya ke arah dada Wei Beng Yan.

„Tang Tay-hiap!” bentak Wei Beng Yan sambil menahan kepalan Tang Ceng Hong dengan telapak tangannya, „kau akan menyesal jika menolak permintaanku tadi!”

Tang Ceng Hong terkejut sekali serangannya itu ditahan tanpa membuat si penahan sendiri terpental ke belakang.

„Ai!” serunya dalam hati, „jika ia balas menyerang, bukankah aku yang akan mendapat susah?”

Setelah itu ia lalu berkata.

„Apa yang kau kehendaki?” sambil menarik pulang tinjunya

„Cara bagaimana kau menjumpai kain sutera ini? Apakah kau melihat ayahku melakukan pembunuhan kejam itu?” Tang Ceng Hong mengenangkan peristiwa sembilan tahun yang lampau itu. Tatkala itu ia baru kembali dari perjalanan jauh dan merindukan sekali keluarga serta murid-muridnya. Tetapi begitu tiba di depan pintu rumahnya, ia menjadi terkejut melihat darah cerecetan di sana sini dan tiada satupun orang yang masih hidup.

Di atas meja, ia menemui secarik kain sutera yang kini dipegang oleh Wei Beng Yan, ia segera menganggap bahwa yang membunuh keluarga serta murid-muridnya itu adalah Wei Tan Wi. Tetapi karena merasa yakin ia tidak mampu menggempur musuh besarnya itu, ia lalu pergi ke pegunungan Oey-san dengan maksud memperdalam ilmunya.

Dan begitu merasa kepandaiannya sudah cukup, ia memperoleh kabar bahwa musuh besarnya (Wei Tan Wi), sudah dibunuh oleh Soat-hay-siang-hiong dan Eu-yong Lo-koay. Oleh karena rasa kecewanya itulah, ia telah membuat sebuah patung, yang meskipun tidak mirip sama sekali dengan potongan serta wajah musuhnya, tetapi oleh karena dapat melihat tiga huruf yang digores oleh dia sendiri di atas dada patung itu, rasa kepuasan hatinya terkabulkan juga tiap-tiap kali ia menyerang patung itu.

Kali ini, setelah mendengar keterangan Wei Beng Yan bahwa Wei Tan Wi tidak pernah membokong atau meninggalkan tanda apapun di tempat musuh, dan setelah menyerang pemuda itu tanpa si pemuda sendiri balas menyerang, pada hal kemungkinan untuk si pemuda membunuh dirinya terbuka selebar-lebarnya, ia menjadi sadar bahwa ia mungkin telah diperalat oleh orang yang mengandung dendam terhadap Wei Tan Wi. „Wei siaohiap,” katanya, „dapatkah kau memberi keterangan sesuatu mengenai peristiwa ini?”

„Aku merasa girang sekali tay-hiap memajukan permintaan itu!”

„Siapakah yang demikian keji ingin menjebloskan aku?”

„Aku mengetahui siapa orang itu!”

„Siapa?!” kata Tang Ceng Hong sambil meloncat ke depan mendekati Wei Beng Yan.

Desakan itu membikin Wei Beng Yan gugup.

„Apa yang harus aku lakukan?” tanyanya dalam hati.

Untuk sementara waktu ia jadi bingung, karena belum dapat memastikan bahwa gurunya itu adalah Yu Leng palsu, tetapi ia merasa yakin betul bahwa tulisan yang tertera di atas kain sutera itu pasti tulisan gurunya, Yu Leng.

„Wei siaohiap,” Tang Ceng Hong berkata lagi, „apakah kau sungkan memberitahukan siapa orang itu!”

„Tay-hiap, aku bukan sungkan memberitahukan, tetapi karena sesuatu hal, aku belum dapat menyebut nama orang itu!”

„Mengapa?”

„Mengapa? Itu juga aku belum dapat menjelaskan sekarang!” „Jika aku percaya kepadamu, lalu bagaimana?”

„Aku berjanji akan membantu tay-hiap membunuh jahanam itu! Tay-hiap telah menahan sabar selama sembilan tahun dan aku percaya bahwa tay-hiap pasti dapat menahan sabar sedikit waktu lagi!”

duapuLuh empat

Wei Beng Yan berkata begitu, karena mengingat bahwa setengah bulan lagi ia akan menjumpai gurunya di atas puncak Ci-sin-hong. Ia merasa gelisah juga, karena jika gurunya itu Yu Leng yang tulen, ia pasti tidak akan berhasil memenuhi janjinya terhadap Tang Ceng Hong itu, sebab Yu Leng yang tulen lebih unggul dalam segala hal! Tetapi jika ternyata Yu Leng palsu, gurunya yang palsu inipun bukan main lihay kepandaiannya hingga dapat menyingkirkan gurunya yang tulen.

Mengetahui Wei Beng Yan ingin membantunya. Tang Ceng Hong segera berubah sikap terhadap pemuda itu.

„Wei siohiap masih muda sekali ketika ayahmu tewas, dari siapakah kau memperloleh pelajaran silat?” tanyanya.

„Ji Cu Lok!”

„Yu Leng?!”

„Betul.” Tang Ceng Hong tertawa berkakakan mendengar itu, lalu sambil tertawa terus ia berkata .

„Tidak heran kau telah mempermainkan aku demikian mudah barusan! Tetapi mengapa kau berada di pegunungan Oey-san

ini?”

„Aku tengah menjalankan perintah guruku untuk mencari semacam buah yang berkulit kuning, yang katanya terdapat di pegunungan ini.”

„Kapan Ji Cu Lok memerintahkan Wei siohiap?”

„Beberapa hari yang lalu.”

Tang Ceng Hong tetkejut mendengar jawaban itu, kemudian sambil mengerutkan dahinya ia berkata lagi.

„Apakah Ji Cu Lok belum membunuh diri?”

„Belum!”

„Baik Apakah Ji Cu Lok telah berubah menjadi seorang pelawak besar?” kata Tang Ceng Hong sambil menggaruk-garuk kepalanya. „Tetapi apakah Wei siohiap mengetahui nama buah yang berkulit kuning itu?”

Wei Beng Yan tidak mengetahui nama buah itu, ia lalu melukiskan dengan gerak tangan bentuk buah yang hendak dicarinya, yang membuat Tang Ceng Hong heran sekali. „Wei siohiap, “ katanya, „mungkin kau keliru mendengar pesan gurumu.”

„Guruku telah berulang kali memesan, dan aku merasa yakin aku tidak keliru!”

„Ini betul-betul mengherankan!”

„Buah apakah yang sebetulnya dimaksud oleh guruku itu?”

„Buah itu bernama Cian-jin-huang.”

„Apa khasiatnya?”

„Mengerikan!”

Wei Beng Yan kaget sekali.

„Mengerikan? Apakah buah itu beracun?!” tanyanya lagi.

„Betul, sangat beracun! Dengan satu buah saja orang dapat membasmi seribu jiwa! Beberapa waktu yang lalu, di tepi sungai ini memang tumbuh pohon buah itu, karena khawatir buahnya dipetik orang yang tidak bertanggung jawab, aku lalu menebangnya. Sekarang mungkin pohon buah itu sudah tiada lagi di dunia ini!”

Wei Beng Yan jadi terbengong mendengar keterangan itu, karena seperti telah dikatakan oleh Tang Ceng Hong bahwa buah yang sedang dicarinya itu mungkin sudah tidak ada lagi di dunia ini maka ia sudah mau ambil keputusan untuk pergi mencari Siauw Bie lagi, ketika...... „Apakah si Tang tua ada di rumah? Mengapa batu-batu penutup goa sudah terangkat?”

Demikianlah terdengar suara seseorang dari luar lembah, yang membikin Tang Ceng Hong jadi mendadak pucat.

„Tang Tay-hiap,” kata Wei Beng Yan. „siapakah yang memanggil- manggil itu?”

„Wei siohiap,” sahut Tang Ceng Hong gugup, „marilah ikut aku keluar dari jalan lain dan jangan menjumpai..... orang itu ”

Wei Beng Yan jadi bingung sekali melihat gerak gerik Tang Ceng Hong yang tiba-tiba berubah jadi gelisah.

„Mengapa?” tanyanya, „bukankah sahabat Tang Tay-hiap berarti sahabatku juga?”

„Tidak...... ee...... maksudku     ”

Belum lagi selesai Tang Ceng Hong memberikan jawaban ketika orang yang berseru barusan sudah berada di dalam goa. Jubahnya kuning, berparas pucat pasi, rambutnya panjang serta tubuhnya kurus kering. Setelah mengawasi Wei Beng Yan dengan sikap yang congkak, orang itu segera menghampiri.

Meskipun keadaan di situ agak gelap, tetapi karena orang itu sudah berada dekat sekali, maka Wei Beng Yan segera dapat melihat bahwa wajah orang itu kejam sekali, dan oleh karena ditatap terus menerus, diluar kehendaknya sendiri sekonyong-konyong ia jadi panas dan menanya. „Tay-hiap! Mengapa kau agaknya tidak senang melihat kehadiranku di sini?”

Orang itu tiba-tiba berhenti bertindak karena terperanjat ditegur demikian tegasnya oleh seorang muda yang dianggapnya masih bau pupuk. Setelah menatap Wei Beng Yan sejenak, orang itu lalu berkata kepada Tang Ceng Hong.

„Tang tua! Mengapa kau tidak memperkenalkan siapa sebenarnya aku ini?”

„Ada...... ada baiknya..... jika kau sendiri yang mengatakan ”

sahut Tang Ceng Hong terputus-putus.

„E...... mengapa kau mendadak jadi menggigil? Apa kau merasa takut untuk memperkenalkan aku kepada bocah ini?”

„Tay-hiap!” kata Wei Beng Yan yang sudah merasa mendongkol dirinya disebut bocah, „jika kau merasa sungkan memperkenalkan dirimu, aku ”

„Ha, ha, ha! Aku tidak merasa berkeberatan!” sahut orang itu sambil mengejek. “Aku adalah yang terkenal dengan nama julukan si sapujagat, atau Eu-yong Lo-koay dari Kun-lun-san!”

Kedua mata Wei Beng Yan tiba-tiba jadi terbelalak, untuk kemudian dipejamkan keras-keras menahan suatu golakan jiwa yang melonjak-lonjak di dalam jantungnya.

„Hei bocah!” kata lagi Eu-yong Lo-koay. „Siapa kau?” Setelah dapat menguasai lagi perasaannya, Wei Beng Yan dengan tenang mencabut pedang pusaka ayahnya dan berkata. „Apakah kau masih ingat kepada pemilik pedang ini?”

„Pedang apakah itu?”

„Jika kau tidak mengetahui pemilik pedang ini, kau pasti mengetahui cincin ini!” kata Wei Beng Yan sambil melucuti cincin peninggalan ayahnya untuk kemudian diangsurkan ke depan hidung Eu-yong Lo-koay.

„Ha, ha, ha! Aku kenal, aku kenal...... ada hubungan apa antara kau dan si pemilik kedua barang itu?”

„Aku putera tunggal pemilik kedua benda ini!”

Eu-yong Lo-koay tertawa berkakakan mendengar jawaban itu, ia memandang sangat rendah kepada pemuda yang sedang berdiri dihadapannya itu.

„Jadi kau bermaksud membalas dendam?” tanyanya sambil mengejek, „aku khawatir kau akan menyusul ayahmu di akhirat!”

Wei Beng Yan berusaha keras menekan perasaannya yang sudah meluap-luap, karena mengetahui dalam keadaan gusar yang melampaui batas, betapa lihay kepandaiannya pun, dia pasti dengan mudah saja dikalahkan oleh musuh besarnya yang di samping berilmu tinggi, berwatak sangat licik itu. Sesaat kemudian ia berkata lagi dengan tenang.

„Memang aku bermaksud menuntut balas! Hunuslah senjatamu!” „Ha, ha, ha! Untuk melawan seorang bocah ingusan seperti kau, aku tidak memerlukan senjata. Kau mulailah dengan jurus-jurus si jahanam Wei Tan Wi!”

Wei Beng Yan tidak merasa sungkan lagi, begitu mendengar musuh besarnya tidak sudi mengeluarkan senjatanya, ia segera menyerang.

Pedang Ku-tie-kiam berputar-putar dengan gerakan yang aneh dan lincah kemudian sambil berseru seram Wei Beng Yan menusuki ke arah dada Eu-yong Lo-koay dengan jurus Sam-seng- poa-gwat (Tiga bintang mengurung rembulan).

Sungguh di luar taksiran Eu-yong Lo-koay bahwa lawannya yang masih muda belia itu dapat menyerangnya dengan jurus lihay yang kerap dilancarkan oleh Wei Tan Wi dulu, tidak nampak perubahan dalam jurus itu, hanya si pemuda dapat bergerak terlebih gesit daripada ayahnya. Dengan demikian Eu-yong Lo-koay tidak lagi berani berlaku lengah, lekas-lekas ia meloncat ke samping dan......

„Brett!!” lengan jubahnya tertusuk bolong.

„Ai!” serunya dalam hati, „aku tidak sangka    ”

Belum lagi keburu balas menyerang ketika tampak pedang lawannya sudah menyerang lagi dengan jurus Ouw-liong-tok-cut (Naga hitam menyemburkan bisa). Dengan tersipu-sipu ia menginjak tanah dengan kedua kakinya, gerak itu ternyata memungkinkannya meloncat melalui kepala lawan untuk kemudian menyerang dari belakang. Wei Beng Yan terkejut sekali telah menyerang tempat kosong, berbareng dengan itu ia merasa suatu angin serangan meluncur ke arah punggungnya, untuk mengangkat pedang dan menyabet ke belakang tidak lagi mungkin, maka terpaksa ia gerakkan tangan kirinya yang terlebih bebas dan menggeprak.......

„T a k k k!!” dua tenaga yang telah terlatih baik betul telah bertemu, tampak Wei Beng Yan terjerumus ke depan, kuda-kudanya tergoyah.

Sedangkan Eu-yong Lo-koay jadi berseru sambil berusaha menahan terjangan tenaga gebrakan lawannya, namun tidak urung iapun terdorong mundur tiga langkah.

„Ai!” pikirnya cemas, „tidak kusangka bocah masih ingusan ini memiliki tenaga dalam yang demikian sempurna. Bukankah Siauw Cu Gie pun kelabakan diterjang hembusan angin seranganku, Hui- liong-sin-jiauw (Cakaran naga sakti) itu?”

Wei Beng Yan yang sudah dapat menguasai keseimbangannya lagi, segera memindahkan pedang ke tangan kirinya, lalu tampak ia mengangkat tangan kanannya dengan suatu gerakan tertentu serta teratur. Tampak tinjunya yang sudah mulai meninggi itu mengeluarkan sinar merah yang menyilaukan mata. Dalam suasana sunyi dan genting itu terdengar suara berkerekek tulang- tulangnya yang seolah-olah robohnya suatu rumah gubuk.

Itulah ilmu Thay-yang-sin-jiauw! Eu-yong Lo-koay yang baru saja pulih semangatnya, terkesiap bukan main melihat cara serta sikap menyerang lawannya itu, sambil mundur beberapa langkah ia berkata.

„Apakah..... itu Thay-yang-sin-jiauw ?”

„Bagus! Jika kau masih dapat mengenali jurusku ini!” sahut Wei Beng Yan ketus, „hari ini Thay-yang-sin-jiauw akan menyingkirkan satu iblis.”

Berbareng dengan berakhirnya ancaman itu, tampak tangan Wei Beng Yan yang sudah berjari tegang mendadak meluncur turun ke depan dengan pesat sekali.

Dari pengalaman yang didengarnya di kalangan Bulim, Eu-yong Lo-koay sudah mengetahui bahwa Thay-yang-sin-jiauw adalah suatu ilmu yang dahsyat luar biasa, yang begitu jauh belum pernah dapat dielakkan oleh siapapun. Ia juga mengetahui bahwa ilmunya sendiri tidak mungkin dapat mengimbangi ilmu tersebut, tetapi oleh karena mengingat Wei Beng Yan belum berpengalaman, maka ia bermaksud melawan juga serangan lawannya itu.

„Siapa tahu aku mampu merobohkan pemuda ini......” demikian pikirnya sambil menggerakkan tangan kirinya menangkis dan.......

„Krakk!!”

Lengannya yang dibuat menangkis itu patah di beberapa bagian. Ia merasa seluruh tubuhnya terbakar dan sakit tidak terhingga, seolah-olah ia telah disengat oleh ribuan tawon hutan. Tang Ceng Hong jadi terpesona menyaksikan adegan yang mengerikan itu. Iapun mengetahui bahwa Thay-yang-sin-jiauw adalah suatu ilmu yang luar biasa, barusan ia telah melihat cara bagaimana ilmu itu telah dilancarkan, yang telah dengan satu gebrakan saja menghajar Eu-yong Lo-koay babak belur. Eu-yong Lo-koay yang sangat ditakuti oleh banyak orang-orang selama beberapa puluh tahun terakhir ini.

Seharusnya Eu-yong Lo-koay sudah tewas berani menangkis serangan Wei Beng Yan, tetapi oleh karena masih kurang pengalaman dan kemahiran atas Thay-yang-sin-jiauw si pemuda maka Eu-yong Lo-koay hanya menderita patah tulang dan merasakan suatu terjangan hawa panas yang tidak terkendalikan.

Wei Beng Yan yang baru untuk pertama kalinya mempergunakan ilmunya itu, tidak mau membuang-buang waktu lagi, ia segera mengangkat lagi tangannya dan membentak.

„Jahanam! Hari ini juga kau harus membayar hutang kepada ayahku!”

Lalu secepat kilat ia telah mengirim lagi cakarannya, yang ternyata terlebih dahsyat daripada serangannya yang pertama. Cakaran pertama hanya mengeluarkan hawa panas dan hembusan angin menderu-deru, sedangkan cakaran yang kedua ini mengeluarkan sinar yang berpijar menyilaukan mata serta goncangan yang menggoyahkan keadaan sekitar dalam goa Tang Ceng Hong itu.

Eu-yong Lo-koay mengetahui bahwa gapura akhirat sudah terbentang lebar untuk menyambut kedatangannya. Ia menganggap bahwa kematian yang pasti akan datang itu disebabkan Tang Ceng Hong sudah bersahabat dengan pemuda itu, maka hatinya yang keji tidak rela untuk mati seorang diri saja.

Selagi Wei Beng Yan mengangkat tangannya, entah dengan gerakan apa, sekonyong-konyong tampak ia menerkam Tang Ceng Hong yang sedang menonton pertempuran, untuk kemudian mempergunakan tubuh kawannya itu sebagai perisai terhadap serangan Wei Beng Yan.

Tang Ceng Hong meronta, menyerang, namun satu totokan di dekat dadanya membikin ia tidak berdaya.

Wei Beng Yan terkejut sekali, ia lekas-lekas merubah serangannya menjadi suatu tepukan di punggung Tang Ceng Hong yang jadi terbebas lagi dari totokan.

Baru saja Wei Beng Yan ingin melanjutkan serangannya tadi, mendadak Tang Ceng Hong telah menerjang sambil melancarkan satu tendangan ke arah kawannya yang dulu selalu dipuja-puja itu.

Eu-yong Lo-koay sudah mengenal Tang Ceng Hong cukup lama, maka dengan sendirinya ia mengetahui sampai dimana tingkat kepandaian kawannya itu, tanpa menghiraukan tangan kirinya yang sudah patah, ia menangkis dengan lengan kanannya dan berhasil membikin Tang Ceng Hong terpental beberapa meter ke belakang.

„Jahanam!” bentak Wei Beng Yan, „akulah yang ingin berurusan denganmu, bukan Tang Tay-hiap.” Eu-yong Lo-koay tidak menyahut, sambil terbungkuk menahan rasa sakit di lengan kirinya ia mengawasi .pemuda itu dengan sorotan mata penuh napsu membunuh.

„Wei siohiap,” bisik Tang Ceng Hong, „awas, jangan sampai tertipu oleh jahanam yang penuh dengan akal bulus keji ini, dia pasti sedang merencanakan sesuatu yang ”

Belum lagi selesai peringatan itu diucapkan, ketika tiba-tiba tampak Eu-yong Lo-koay mengerahkan seluruh tenaganya yang terakhir dan sambil memekik seperti burung setan, tangan kanannya yang masih sehat diangkatnya ke atas dan meluncurlah benda-benda kecil yang berkilau-kilau seperti bintang di langit ke arah kedua lawannya itu.

Tang Ceng Hong berseru tertahan karena kaget, sedangkan Wei Beng Yan tidak bergerak dari tempat berdirinya, tiba-tiba tampak lengan kanannya terangkat naik dan dengan gerakan yang aneh sekali, ia mengebut ke arah benda-benda yang sedang meluncur itu. Dan terdengarlah suatu ledakan yang memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu tampak Eu-yong Lo-koay terdorong mundur sambil meringis menahan hawa panas akibat serangan Thay- yang-sin-jiauw. Wajahnya yang memang sangat seram itu, pelahan-lahan berubah hijau, dan setelah memuntahkan darah dari mulutnya ia roboh tidak berkutik lagi.

Wei Beng Yan menghampiri untuk memeriksa mayat musuh besarnya itu, ia mendapat kepastian bahwa Eu-yong Lo-koay sudah betul-betul tidak bernyawa, dua daripada ke sepuluh paku maut Song-bun-teng, yang dilontarkannya tadi ternyata telah menancap di lambungnya.

„Ha, ha, ha!” demikianlah ia tertawa berkakakan seram, sehingga Tang Ceng Hong bergidik. “Ayah! Aku telah berhasil menewaskan salah satu musuh ayah! Tugasku belum selesai aku...... aku ”

Tang Ceng Hong jadi terharu menyaksikan sikap pemuda itu, yang tadinya dianggap sebagai putera musuh besarnya, Wei Tan Wi, yang telah difitnah orang.

Mengapa Tang Ceng Hong jadi mengenal dan bersahabat dengan Eu-yong Lo-koay?

Marilah kita tengok sebentar kepada kejadian-kejadian yang telah lalu.

Oleh karena menganggap yang melakukan pembunuhan terhadap anggota-anggota keluarga serta murid-muridnya adalah Wei Tan Wi, maka Tang Ceng Hong lalu pergi ke pegunungan Oey-san untuk memperdalam ilmu silatnya. Namun ia menjadi kecewa sekali ketika mengetahui bahwa Wei Tan Wi telah dibunuh oleh kedua jahanam Soat-hay-siang-hiong dan Eu-yong Lo-koay. Setelah dipikirnya bolak-balik, ia malah jadi, merasa berterima kasih terhadap ke tiga orang yang menurut anggapannya telah membantu usahanya membalas dendam.

Semenjak waktu itulah ia memuja dan bersahabat kepada ketiga iblis itu. Di pihak Eu-yong Lo-koay, persahabatan itu merupakan suatu keuntungan besar, karena Tang Ceng Hong dapat memberikannya banyak bantuan dalam usahanya mengumpulkan racun. Karena disamping ilmu silatnya lihay, Tang Ceng Hong pun menanam banyak macam tumbuh-tumbuhan dan bunga-bunga yang justru mengandung racun yang dimaksud oleh Eu-yong Lo- koay itu.

Wei Beng Yan berdiri termenung, mengenangkan kembali peristiwa-peristiwa di telaga Tong-teng, ketika ia memperoleh kesempatan untuk membunuh kedua jahanam Soat-hay-siang- hiang, tetapi telah dicegah oleh ‘gurunya’ dengan alasan bahwa kedua musuh besarnya itu adalah sahabat lama ‘gurunya’.

„Wei siohiap,” kata Tang Ceng Hong, „semoga kau berhasil menunaikan tugasmu itu.”

„Terima kasih Tang Tay-hiap,” sahut Wei Beng Yan. „Oleh karena aku harus memenuhi janjiku kepada Suhu, aku mohon diri saja sekarang,” sambil memberi hormat dan berjalan keluar lorong goa itu!

Tang Ceng Hong mengantarkan sampai di luar dan berkata.

„Wei siohiap, kawan-kawanku banyak sekali, tetapi yang berumur sebaya dan selihaymu hanya kau seorang saja, aku merasa sangat beruntung dapat mengenalmu.”

duapuLuh lima

Setelah memberi hormat lagi, Wei Beng Yan lalu meninggalkan mulut goa itu, ia merasa beruntung sekali telah berhasil membunuh salah satu musuh ayahnya, dan tanpa terasa tangannya meraba ketiga sampul surat. „Ouw Lo Si!” bisiknya kaget. „Aku sudah boleh membuka salah satu sampul ini.”

Ia lalu memilih sampul yang bernomor urut SATU. setelah disobeknya sampul itu, ia menjadi heran dapat mengendus suatu bau harum yang ganjil.

„Akh! Mungkin ini adalah bau harum bunga di tempat pertapaan Tang Ceng Hong,” pikirnya. Ia membuka terus dan membaca surat itu, yang berbunyi.

„Selamat! Kau telah berhasil membasmi satu musuh. Dengan membasmi jahanam, kau sudah membalas budi.”

Demikianlah bunyi surat Ouw Lo Si yang pertama, yang membikin Wei Beng Yan tertawa terpingkal-pingkal. Setelah membaca lagi, ia lalu membuang Surat kakek itu dan melanjutkan perjalanannya untuk mencari Siauw Bie. Tanpa terasa ia sudah berjalan ke arah tempat tinggal To Siok Keng. Bukan main terkejutnya ketika dapat melihat bahwa rumah gubuk gadis itu sudah musnah menjadi abu.

„To Siok Keng adalah murid Thian-hiang-sian-cu, pikirnya sambil mengawasi abu rumah itu yang berhamburan tertiup angin malam,

„siapakah yang begitu berani membakar rumahnya?”

Karena rasa khawatirnya atas keselamatan gadis she To itu, dengan suara lantang ia lalu memanggil.

„To siocia      To siocia!” Tidak terdengar suara sahutan, suasana tetap sunyi senyap. Ia memanggil lagi dan lagi. Sejenak kemudian terdengar suara tertawa seorang wanita yang datang dari arah belakangnya. Ia berbalik dan dapat melihat seorang wanita muda sedang berdiri di bawah sinar bulan tidak beberapa jauh dari tempatnya berdiri.

„Bie moay!” serunya kaget.

Memang wanita itu itu bukan lain dari pada Siauw Bie yang sedang dicarinya hingga ia berjumpa dengan Tang Ceng Hong di lembah Hua-kee dan berhasil membunuh Eu-yong Lo-koay.

„Bie moay, aku sudah mencari ke mana-mana, tetapi akhirnya aku menjumpaimu juga di sini!” katanya lagi sambil menghampiri gadis itu.

„Puih! Bukankah kau sedang mencari si gadis she To?!!” sahut Siauw Bie gusar. „dan setelah melihat aku, kau lalu bilang sedang mencari aku. Aku bukan anak kecil lagi sehingga dengan mudah saja dapat kau abui!”

„Bie moay, aku melihat gubuk To siocia sudah terbakar habis. Terus terang saja, oleh karena merasa gadis itu itu mungkin telah dilukai orang, maka aku lalu memanggil namanya. Percayalah aku..... aku sebenarnya sedang mencari kau.”

„O...... kau merasa sangat khawatir terhadap gadis itu? Mengapa kau masih meladeni aku? Ayohlah cari terus padanya ”

„Bie moay! Aku sesungguhnya sedang mencarimu,” kata Wei Beng Yan sambil mengawasi pergelangan tangan Siauw Bie yang sudah dibalut. Ia baru ingin menanyakan tetapi Siauw Bie sudah berkata lagi.

„Apakah benar kau sedang mencari aku?”

„Mengapa kau masih selalu menyangsikan? Bie moay aku ”

Siauw Bie tidak lagi dapat menahan rasa hatinya, ia menubruk dan merangkul Wei Beng Yan sambil berkata.

„Yan koko, aku telah melakukan sesuatu yang mungkin kurang baik ”

„Apa yang telah kau lakukan?”

„Akulah yang telah membakar ke tiga rumah gubuk itu.”

„Kau?!” tanya Wei Beng Yan seraya melepaskan rangkulan Siauw Bie.

„Betul!”

„Ai! Kau telah mengundang bahaya.”

„Bahaya? Kau tidak perlu menakut-nakuti aku, aku melakukan itu semua dengan pikiran yang sadar,” sahut Siauw Bie yang sudah mulai marah lagi.

„To siocia adalah seorang yang lihay kepandaiannya, aku kira dia takkan tinggal diam melihat perbuatanmu ini, kau telah menciptakan satu musuh yang berbahaya!” „Hii, hii, hii! Dia memang tidak akan mendiamkan perbuatanku ini jika...... aku tadi tidak membakarnya hidup-hidup ”

„Kau telah membunuh gadis itu?!”

„Ya! Dia telah mematahkan pergelangan tanganku. Sebagai pembalasan aku telah menyambitnya dengan jarum beracun sehingga ia tidak dapat bergerak, lalu aku membakar rumahnya!” sahut Siauw Bie sambil bersenyum puas.

„Kau sudah gila!” bentak Wei Beng Yan yang gusar mengetahui perbuatan Siauw Bie segila itu, „membakar orang dan rumahnya sekali, orang yang tidak bersalah apa-apa!”

Siauw Bie kaget juga melihat kegusaran pemuda itu, tetapi karena ia sudah biasa dimanjakan dan menjadi kepala besar, ia merasa sungkan untuk menerima kesalahannya itu, ia bahkan menjadi marah ketika mengetahui Wei Beng Yan mengeloni si gadis she To.

„Aku tidak merasa menyesal atas perbuatanku itu!” katanya ketus.

„Jika kau tidak senang melihat itu semua, kau bebas untuk bertindak menurut kehendak hatimu!”

„Bie moay, apakah kau selalu menuruti saja napsumu yang kurang baik itu?”

„Hm! Semenjak kita pertama kali tiba di rumah gubuk itu, aku sudah mengetahui bahwa kau sangat tertarik kepada gadis cendil itu! Tidak heran jika kau sekarang menyesali perbuatanku!” Wei Beng Yan memang tertarik oleh sifat serta sikap To Siok Keng yang perihatin, ramah tutur kata dan halus budi pekertinya, tetapi hatinya yang sudah direnggut Siauw Bie, tidak gampang-gampang dapat dicuri oleh kecantikan To Siok Keng. Namun setelah melihat bukti keganasan Siauw Bie, dengan tiba-tiba saja rasa cintanya berbalik menjadi suatu rasa benci yang hebat!

Ia menghormati keluhuran dan kebajikan, sebaliknya sangat membenci dan selalu mengutuk kejahatan, kepalsuan atau kekejaman yang berbentuk apapun! Setelah mengawasi Siauw Bie sejenak, ia lalu menghampiri sisa-sisa rumah yang sudah terbakar.

„Apakah kau ingin menghidupkan kembali mayat gadis itu?” tanya Siauw Bie mengejek.

„Aku akan mencari mayatnya untuk dikubur sebagai mana layaknya, semoga perbuatanku ini akan menebus dosa-dosamu.”

„Hii, hii, hii! Aku tidak sangka persahabatan kita hanya kuat menahan sampai di sini saja!”

„Aku selalu berdoa agar kau kelak menjumpai seseorang yang berwatak tidak seburuk watakku.”

„Jadi kau mengusir aku?!”

„Ya! Jika dalam beberapa detik ini kau masih tidak pergi, aku terpaksa harus memberi sedikit pengajaran kepadamu.”

Hampir-hampir saja Siauw Bie tidak percaya bahwa orang yang mengatakan demikian itu adalah Wei Beng Yan, kekasihnya. Dan untuk tidak merendahkan dirinya sendiri, meskipun merasa berat meninggalkan pemuda itu, ia lalu berjalan pergi. Perasaan cemburu telah membikin ia menjadi kejam dan buta terhadap segala peringatan.

Jika pada waktu itu ia dapat menyesal akan perbuatannya, mungkin Wei Beng Yan dapat mengampuni dan mereka masih tetap sebagai kekasih. Tetapi sebagaimana pepatah telah mengatakan.

„Pakaian dapat ditukar, watak manusia berakar!”

Siauw Bie melarikan diri dengan harapan dikejar oleh Wei Beng Yan, tetapi ternyata ia keliru! Wei Beng Yan tidak mengejar, bahkan menoleh pun tidak. Tampak si pemuda mencongkel- congkel puing dan berusaha mencari mayat si gadis she To.

Ketika itu keadaan sudah hampir mendekati fajar, dalam suasana yang makin mendingin itu, terdengar Wei Beng Yan berseru.

„To siocia, kau begitu suci! Kau tinggal dengan tenang dan tenteram di tempat yang terpencil ini tetapi aku telah membawa

malapetaka!”

Meskipun Wei Beng Yan berkenalan dengan To Siok Keng belum lama, namun sikap dan watak gadis itu telah meninggalkan kesan yang mendalam dalam lubuk hatinya. Seruannya itu seolah-olah diucapkannya untuk seorang kawan karib atau orang yang sangat dicintainya.

„Wei siaohiap ” Demikianlah terdengar suara empuk serta merdu memanggil nama Wei Beng Yan yang sekonyong-konyong jadi bercekat.

„Wei siohiap, akulah yang bersalah! Karena aku seorang, kalian berdua jadi retak!”

Wei Beng Yan perlahan-lahan berbalik dan......

„Apakah kedua mataku ini tengah menipu?!” pikirnya sambil mengucek-ucek matanya untuk kemudian mengawasi lagi ke arah semak belukar, tidak jauh dari tempatnya berdiri, ia melihat seorang gadis sedang berdiri sambil bersenyum simpul. Gadis itu mengenakan pakaian serba putih, parasnya putih dengan kedua baris alis yang hitam, senyumnya segar serta manis, seolah-olah sinar surya di pagi hari yang mengusir sisa-sisa kabut malam yang dingin!

Dialah bukan lain daripada gadis yang baru saja disanjung- sanjung, To Siok Keng!

Melihat sikap Wei Beng Yan yang seperti orang baru sadar dari mimpinya, To Siok Keng tertawa sambil menghampiri dan berkata.

„Wei siohiap, apakah kau kira aku ini rokh jahat yang gentayangan di pagi buta?”

„Katanya..... siocia..... telah terbakar hidup-hidup......” sahut Wei Beng Yan gugup. „Punggungku telah terkena senjata rahasia beracun Siauw siocia, tetapi aku masih dapat melarikan diri ketika melihat atap rumahku yang terbakar.  ”

„Mengapa siocia dapat dilukai oleh gadis picik itu?”

Ya, mengapa To Siok Keng jadi dilukai oleh Siauw Bie? Marilah kita menoleh sebentar kepada peristiwa yang baru saja terjadi.

Sebelum masuk ke dalam goa Tang Ceng Hong, Wei Beng Yan mengejar Siauw Bie yang melarikan diri dengan tekad kembali lagi dan membunuh To Siok Keng. Ia bersembunyi di balik batu besar. Begitu melihat Wei Beng Yan meloncat ke atas jurang, ia lalu menyelinap dan lari balik ke rumah si gadis she To. Setibanya di depan rumah gubuk, ia melihat To Siok Keng sedang duduk bersila sambil memegangi serulingnya. Tanpa pikir panjang lagi ia menerobos masuk seraya membentak.

„Hei gadis cendil! Aku sudah kembali!”

To Siok Keng kaget sekali, tetapi meskipun demikian ia tidak menjadi gusar dikatakan sebagai gadis cendil.

„Memukul anjing kita harus memandang majikannya!” demikian pikirnya. Ia menganggap Siauw Bie sebagai anjing peliharaan Wei Beng Yan! Ia telah dilukai oleh Siauw Bie, tetapi ia tidak ingin balas menyerang. Justru sikapnya yang menyerah inilah telah disalah artikan oleh Siauw Bie yang menganggapnya takut.

„Apakah Siauw siocia datang seorang diri saja?” tanyanya. „Tentu saja! Apakah kau kira Wei Beng Yan turut datang juga untuk melindungimu?” jawab Siauw Bie tegas.

„Kau telah datang kembali tentu dengan maksud menyerang aku,” kata To Siok Keng sambil meletakkan serulingnya di atas meja,

„dan mungkin kau sudah jadi demikian cemburu sehingga bermaksud membunuh aku!”

„Ya, aku datang dengan maksud seperti telah kau katakan barusan, tetapi untuk itu aku tidak usah tergesa-gesa!”

„Mengapa kau masih bersikap lamban? Ayohlah serang!”

Siauw Bie demikian gusarnya sehingga baru saja To Siok Keng selesai mengatakan kata-katanya itu, ia sudah meloncat. Terkamannya dilancarkan dengan jurus Siang-liong-to-thian (Sepasang naga mengamuk di angkasa), yang seolah-olah dapat menggempur gunung..... maka tidak heran jika hembusan anginnya saja sudah cukup untuk membikin seluruh gubuk itu tergoyah!”

To Siok Keng tidak mengegos atau bergerak dari tempat duduknya, hanya tampak ia mengebut lengan bajunya sambil memejamkan kedua matanya!

Siauw Bie jadi girang bukan main, sambil menambah tenaga kepada serangannya itu ia menyodok terus dan pada saat kedua tangannya hampir mengenai sasaran, tiba-tiba tampak kedua mata To Siok Keng terbuka lebar dan balas menyodok ke atas dengan dua jari tangannya dengan jurus Sin-kang-cit (Sodokan atau totokan jari maut). Meskipun Siauw Bie berkepandaian sama dengan kakaknya, Siauw Cu Gie, yang terkenal sebagai si Raja naga dari lima telaga tetapi menghadapi serangan itu ia jadi terkejut bukan main. Ia mengetahui bahwa Sin-kang-cit senantiasa membawa maut kepada apa saja dalam jarak satu meter!

Untuk membela dirinya yang kini berada hanya setengah meter saja dari lawannya, Siauw Bie terpaksa membuang dirinya ke samping dan roboh di lantai. Ia merasa malu sekali, tetapi dengan jalan itu sajalah ia dapat mengelakkan serangan To Siok Keng yang cerdik itu.

„Siauw siocia,” kata To Siok Keng yang tidak menyerang terus lawannya yang sedang bergulingan di lantai. „Ilmu silatmu lihay sekali, tetapi pernah apakah kau dengan Siauw Pek Lam Tay- hiap?”

„Bagaimana kau mengenal ayahku?” tanya Siauw Bie terperanjat mendengar lawannya mengetahui nama ayahnya almarhum.

„Aku tidak menduga Siauw Tay-hiap, ayahmu, telah berhasil menurunkan ilmunya yang dahsyat itu!”

„Jangan kau menganggap bahwa oleh karena mengenal nama ayahku, aku lalu tidak menyerangmu lagi! Kau jagalah!”

Berbareng dengan selesainya ucapan itu, Siauw Bie yang sudah berdiri lagi, telah menyerang pula. „Ai, Siauw siocia! Kau betul-betul tidak berbudi!” seru To Siok Keng sambil mengegos, „Aku sudah berkali-kali mengalah, jika kau mendesak terus aku terpaksa ”

„Kau terpaksa?! Cobalah kau paksakan dirimu untuk mengelak dari seranganku ini!” ejek Siauw Bie sambil menyerang lagi.

To Siok Keng betul-betul melawan, ia menangkis dan......

„Aaah !”

Teriak Siauw Bie sambil terhuyung ke belakang untuk kemudian roboh lagi di lantai. Ternyata tenaga dalam To Siok Keng jauh lebih mahir daripada gadis she Siauw yang congkak ini.

Tetapi sebagai seorang yang sudah dicengkeram setan cemburu, Siauw Bie tidak sudi mengalah begitu saja, dengan tiba-tiba ia melentik dari lantai sambil mengayun tangannya melontarkan senjata rahasia yang beracun ke arah lawan atau saingannya itu.

„Siauw siocia!” seru To Siok Keng terkejut, „mengapa kau berlaku demikian kejam?” Sambil mengegos ke samping dan memutar tubuhnya. Dua batang jarum dapat dielakkan, tetapi tiga yang lain cepat luar biasa telah menancap di punggungnya. Sambil menahan sakit ia mengerahkan tenaga dalamnya untuk menahan agar jarum-jarum itu tidak menusuk sampai ke urat besar di punggungnya.

„Hei wanita cendil!” bentak Siauw Bie, ,,lebih banyak kau berbicara, makin cepat lagi kau pergi ke akhirat!” To Siok Keng tidak menyahut, tampak mukanya pucat sekali, ia mengetahui betul akan kebenaran kata-kata lawannya itu.

Tetapi     entah disebabkan oleh rasa apa yang mungkin sedang

berkecamuk hebat di dalam hatinya, Siauw Bie sekonyong- konyong telah menyerang lagi dengan tangan kirinya dan.....

„T r a k k.   !” terdengar suara beradunya sesuatu.

Tampak Siauw Bie tiba-tiba melangkah mundur ke belakang dengan tindakan berat, lengan kirinya terkulai. Sambil terbungkuk- bungkuk tangannya yang kanan menahan pundak kirinya yang agak menurun ke bawah, karena pergelangan tangan kirinya sudah patah digebrak seruling To Siok Keng.

Kalau saja To Siok Keng ingin merenggut nyawa lawannya, ia dengan mudah saja dapat melaksanakan maksudnya itu, tetapi ia yang berjiwa besar tidak sampai hati melakukan itu.

„Siauw siocia,” katanya tenang. „kita tidak mempunyai dendam apapun, bahkan kita baru saja berkenalan, maka setelah kau melukakan aku dengan senjata rahasiamu, dan aku terpaksa melukakan pergelangan tanganmu untuk sekedar menahan seranganmu barusan, aku kira kau sudah puas dan sudi meninggalkan aku sendiri di sini ”

Siauw Bie yang sudah mengetahui bahwa kepandaiannya memang masih berada di bawah lawannya itu berkata. „Baiklah! Kali ini aku mengalah.......” katanya sambil berbalik dan meninggalkan gubuk itu. Tetapi setibanya di luar, sekonyong- konyong pikirannya berubah lagi.

„To Siok Keng!” serunya, „pergelangan tangan kiriku telah patah, tetapi apakah kau berani menandingku di luar?!”

To Siok Keng tidak ingin meladeni tantangan lawannya itu, ia tetap duduk bersila sambil mengawasi gerak gerik Siauw Bie dari dalam rumah gubuknya.

„To Siok Keng!” Siauw Bie berteriak lagi, „aku menanti jawabmu!” To Siok Keng tetap tidak memberikan reaksi apa-apa.

„Apakah kau tahu bahwa aku dapat memaksa kau keluar?”

„Tidak ada apapun yang dapat memaksa aku! Kau pergilah!” akhirnya To Siok Keng menyahut juga.

„Tidak sekalipun api?!”

„...................???!”

Siauw Bie jadi gusar sekali, ia berjalan meninggalkan gubuk itu untuk mencari kayu kering dan bahan yang mudah terbakar lainnya. Kemudian ia balik lagi dan mengancam.

„To Siok Keng! Aku akan menghitung hingga angka tiga, jika pada waktu itu kau masih tidak menghiraukan tantanganku, aku akan menyulut bahan pembakar yang sudah tersedia ini! — Satu! Dua! Ho...... ho kau ternyata lebih suka diambus daripada menjumpai

aku!”

Setelah itu Siauw Bie betul-betul membuat api dengan menggosok-gosokkan dua batang kayu, yang secara lambat sekali kemudian jadi api dan membakar rumah saingannya itu. Api segera menyala untuk kemudian berkobar membakar bagian atas rumah gubuk yang sangat sederhana itu, temboknya dibangun daripada tanah liat, sedangkan pintu, tiang, kaso serta jendelanya dibuat daripada bambu, maka dalam waktu yang singkat saja, ketiga rumah gubuk itu telah menjadi abu.

„Itulah bagian wanita cendil!” Siauw Bie berseru gembira, „wanita cendil yang berani main-main terhadap Ji siocia dari telaga Tong- teng!”

Setelah mengawasi lagi sekian lamanya, meskipun merasa heran, juga tidak melihat To Siok Keng melarikan diri keluar rumah gubuk itu, ia lalu meninggalkan tempat itu untuk mencari Wei Beng Yan.

„Siauw siocia tidak mengetahui bahwa aku masih dapat melarikan diri dari pintu belakang,” To Siok Keng melanjutkan ucapannya kepada Wei Beng Yan. „Sehingga ia menganggap aku sudah terbakar hidup-hidup!”

Tiba-tiba wajah Wei Beng Yan jadi merah, ketika mengingat ia telah menyatakan rasa belasungkawanya atas dugaannya bahwa To Siok Keng telah meninggal dunia, namun ketika empat mata muda mudi itu bertemu, kedua belah pihak mendadak merasakan sesuatu, sesuatu yang aneh dalam hati masing-masing. „To siocia,” Wei Beng Yan akhirnya berkata, „coba aku lihat punggungmu.”

„Wei siohiap, kau kejarlah Siauw siocia dan minta maaf kepadanya. Aku dapat mengurus diriku sendiri.”

„Minta maaf?! Aku harus minta maaf?”

„Ya! Kau harus minta maaf, kerena kaulah yang telah memarahi gadis itu! Mungkin ia sekarang masih bersedih hati.”

„O To siocia juga telah mendengar percakapan kita tadi?”

„Betul, tetapi bukan maksudku untuk mencuri dengar percakapan kalian itu, aku memang sedari tadi sedang bersembunyi di semak belukar ini dan tidak berani banyak bergerak.”

„To siocia telah mendengar percakapan kita tadi, pihak mana yang bersalah tentu kau dapat menimbang-nimbang sendiri. Mengapa aku yang harus meminta maaf?”

To Siok Keng tiba-tiba meringis menahan sakit di punggungnya.

„Wei siohiap...... kau ” katanya terputus-putus.

„To siocia! Punggungmu harus segera diobati atau ”

To Siok Keng jadi serba salah, ia mengetahui untuk mencabut jarum-jarum di punggungnya ia memerlukan bantuan seseorang, dan seseorang itu hanya si pemuda saja yang sedang berdiri dihadapannya. Ia merasa malu untuk minta pertolongan Wei Beng Yan, karena untuk mencabut ketiga jarum beracun di punggungnya itu, ia terpaksa harus membuka pakaian lalu kutangnya.

„Aku..... aku telah mengerahkan tenaga dalamku, sehingga racun ke tiga senjata rahasia ini tidak mungkin merembes masuk ke pembuluh-pembuluh darahku..... aku kira jarum-jarum itu kini sudah tidak berbahaya lagi ” sahutnya gugup.

„To siocia, aku tidak mengandung maksud lain daripada ingin menolongmu..... aku ”

„Bukan......, bukan itu yang aku khawatirkan ”

„O..... ho..... ho... ya memang mau tak mau kau harus membuka

pakaianmu,” kata Wei Beng Yan, „tetapi demi jiwamu, kau harus. ”

„Baiklah......” sahut To Siok Keng dengan paras memerah. Ia segera memulai membuka bajunya, lalu kutangnya dan lekas- lekas menutupi buah dadanya.

Selagi si gadis melakukan itu semua, Wei Beng Yan berbalik ke suatu arah yang bertentangan, namun hatinya tidak urung berdebar keras.

„Wei siohiap.......” kata To Siok Keng, „aku sudah....... siap ”

Wei Beng Yan pelahan-lahan berbalik, dan di bawah sinar bintang- bintang subuh yang suram, ia dapat melihat kulit yang putih laksana salju. Meskipun ia tidak bermaksud melakukan sesuatu yang kurang sopan terhadap gadis itu tetapi sebagai seorang jejaka yang penuh semangat, ia mau tak mau harus merasakan juga suatu golakan ganjil dalam dadanya.

Lekas-lekas ia mengangkat kedua tangan sambil mengerahkan tenaga dalamnya ke kesepuluh jari tangannya, dengan cepat sekali telah menjepit ujung jarum yang menonjol keluar di punggung gadis itu.

Kemudian dengan ilmu tay-yang-cip-cui (Matahari menghisap air).......

„S s s t     ” salah satu dari ketiga jarum beracun itu telah tercabut!

Demikianlah, satu setelah yang lain, ketiga jarum beracun Siauw Bie, berturut-turut dengan cepat telah dipindahkan ke tanah dari punggung To Siok Keng.

„To siocia, jangan kaget akan tindakanku yang selanjutnya    ”

Wei Beng Yan memperingati gadis itu sambil menempelkan mulutnya dan menyedot di bekas lobang-lobang ke tiga jarum itu. Sejenak kemudian tampak ia membuang ludahnya yang berwarna merah kehitam-hitaman. Lalu telapak tangannya mengusap serta mengurut-urut punggung gadis itu agar darahnya dapat mengalir sebagaimana biasa lagi.

„Pengobatan sudah selesai!” kata Wei Beng Yan dengan perasaan lega.

„Terima kasih Wei siohiap,” kata To Siok Keng sambil mengenakan kembali pakaiannya. „To siocia, rasanya agak janggal jika aku memanggil kau siocia, dan kau memanggil aku Siohiap.”

„Ya, apakah kau mempunyai usul yang lebih baik?”

„Secara tidak langsung kita adalah murid-murid dari satu perguruan, bagaimana jika aku memanggil kau sumoay (adik seperguruan) dan kau memanggil aku Suko (kakak seperguruan)?”

„Suko..... sumoaymu setuju ”

Wei Beng Yan tampaknya girang sekali dipanggil Suko, ia bersenyum lebar sambil mengawasi To Siok Keng.

„Suko,” kata To Siok Keng, „aku sebetulnya ingin menanyakan sesuatu, tetapi keburu terbit peristiwa yang tidak enak ”

„Apa yang ingin kau tanyakan?”

„Suko mengatakan bahwa Ji Locianpwee telah keluar dari lembah Yu-leng-kok, aku sungguh tidak mengerti mengapa dia tidak memenuhi sumpahnya?”

„Soal itulah yang justru membikin aku selalu gelisah. Tetapi cobalah perinci kisahku yang akan kuceritakan lagi ”

Maka berceritalah Wei Beng Yan semenjak ia diterima menjadi murid oleh Ji Cu Lok di dalam lembah Yu-leng-kok. Bagaimana setelah berhasil mewarisi ilmu-ilmu yang dahsyat, ia lalu disuruh pergi, dan tathala kembali lagi, ia menjumpai gurunya sudah menutupi mukanya dengan selembar kain hitam. Bagaimana ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri, gurunya melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk.

Ketika Wei Beng Yan selesai dengan kisahnya, suasana fajar sudah berlalu, matahari mulai memancarkan sinarnya di angkasa dan semangat To Siok Keng pun agaknya sudah pulih kembali.

„Menurut penuturan suko,” kata To Siok Keng, „tindak tanduk Ji Cu Lok itu memang sangat mencurigakan dan terkutuk. Aku khawatir dia akan menyuruh Suko melakukan lagi perbuatan-perbuatan yang tidak pantas!”

„Setengah bulan lagi aku akan menjumpai guruku itu di puncak Ci- sin-hong, apakah sumoay ingin juga bertemu dengan guruku itu?”

„Aku ingin turut serta, aku ingin melihat suami guruku itu!”

„Sumoay, sebagai murid Thian-hiang-sian-cu, kau tentu mengetahui watak gurumu itu. Apakah iapun suka menutupi mukanya dengan selembar kain hitam?”

„Aku..... aku tidak..... tahu       ”

Bukan main terperanjat Wei Beng Yan mendengar sumoynya tidak mengetahui watak gurunya.

„Bahkan aku belum pernah bertemu dengan Thian-hiang-sian-cu!” To Siok Keng berkata lagi.

„Belum pernah bertemu?! Bagaimana mungkin kau sebagai murid belum pernah bertemu dengan gurumu itu?” To Siok Keng bersenyum getir, kedua matanya yang sayu memandang jauh ke depan.

„Memang,” katanya, „itu semua memerlukan penjelasan    ”

„Sumoay, jika penjelasan itu akan membikin kau sedih, lebih baik kau jangan menutur!” Wei Beng Yan memotong ketika melihat betapa muram wajah gadis itu selagi mengucapkan kata-katanya itu.

„Meskipun pengalaman-pengalaman yang akan aku tuturkan sangat menyayatkan hati, tetapi suko harus mengetahui siapa aku ini sebenarnya dan mengapa aku tinggal terpencil dalam hutan belukar ini?”

Wei Beng Yan hanya menatap To Siok Keng dan tidak mengatakan sesuatu.

„Dua tahun yang lalu,” demikianlah To Siok Keng mulai dengan kisahnya yang seram dan sedih. „Tepatnya pada tanggal tujuh bulan tujuh, ketika itu aku tengah merayakan hari ulang tahunku yang ke enambelas. Para tamu, dan handai taulan ayahku sudah datang sedari siang-siang hari. Mereka belum mempunyai kesempatan untuk memberi selamat padaku, karena aku sedang sibuk sekali membantu kedua kakak perempuanku di dapur. Ketika malam hari yang aku tunggu-tunggu akhirnya tiba ”

Malam hari yang ditunggu-tunggu oleh To Siok Keng tiba, tampak ia mengenakan pakaian, sepatu, saputangan, yah, boleh dikatakan segala sesuatu yang dikenakannya serba baru. Kemudian satu demi satu tamu-tamu serta handai taulan ayahnya memberi selamat panjang umur.

To Siok Keng girang sekali, begitupun ayah, ibu serta kedua kakak perempuannya. Untuk memeriahkan suasana pesta ulang tahun itu, beberapa orang sahabat ayah To Siok Keng lalu mengadakan pertunjukan ilmu silat yang kemudian diseling dengan pertunjukan sulap dan lelucon yang jenaka, tetapi suasana yang penuh dengan tepukan tangan dan sorak sorai itu tiba-tiba diganggu oleh suara meraung yang seperti meraungnya seekor naga terluka.

Lampu-lampu dan obor-obor yang menerangi ruangan di mana orang banyak sedang berkumpul dan berpesta pora dengan tiba- tiba pula menjadi padam, berbareng dengan itu suatu hembusan angin santer mendampar dengan dahsyat sekali.

Tanpa dapat ditahan lagi To Siok Keng jadi terpental dan kepalanya terbentur tiang besar yang menunjang rumahnya itu, sehingga ia tidak sadarkan diri. Entah berapa lama ia berada dalam keadaan pingsan, tetapi ketika siuman kembali, ia dapatkan tubuhnya sedang menggeletak ditumpukkan daun-daun kering.

Ia berbangkit dan meneliti keadaan di situ dan menjadi terkejut sekali ketika dapat melihat pengasuh perempuannya yang sudah berusia agak lanjut juga kerada di situ, tampak sebilah pisau pendek telah menancap di punggungnya.

Melihat itu semua, To Siok Keng segera mengetahui bahwa pengasuhnya telah menggendongnya sampai di situ dalam keadaan lupa parah. Ia menangis terus menerus sehingga akhirnya suaranya hilang sama sekali. Oleh karena merasa sangat berhutang budi kepada pengasuhnya yang telah mengorbankan jiwanya itu, maka ia lalu mencari tempat yang cukup baik untuk mengubur jenazah pengasuhnya dengan seksama

Di bawah satu pohon yang rindang, To Siok Keng menggali tanah dengan mempergunakan pisau yang tadi menancap di punggung pengasuhnya. Ketika sedang menggali tiba-tiba ujung pisaunya menyentuh sesuatu benda keras, yang ternyata bukan lain daripada sebuah kotak empat persegi terbuat daripada besi yang sudah berkarat.

Oleh karena perasaan sedihnya, ia tidak menghiraukan kotak besi itu, tetapi setelah selesai mengubur jenazah pengasuhnya, lagi- lagi kotak itu menampakkan diri, seolah-olah sengaja mengambil tempat di sebelah atas gundukan tanah itu. Acuh tak acuh ia memungut kotak itu, kemudian entah mengapa, dengan tiba-tiba ia melontarkan kotak itu ke arah batang pohon, sehingga kotak yang sudah berkarat itu pecah berantakan.

Apa yang kemudian terlihat? Sebuah kitab!

Sebuah kitab yang terbungkus oleh kain sutera putih!

Dengan hati berdebar-debar To Siok Keng menghampiri untuk kemudian memungut kitab itu, yang ternyata berisikan catatan ilmu-ilmu yang belum pernah didengar dari ayahnya, apalagi melihat seseorang melancarkan jurus-jurus yang aneh itu. Di bagian depan kitab itu tertera sebuah lukisan yang agak kasar tetapi jelas sekali, lukisan itu merupakan sepasang suami-isteri, yang ternyata bukan lain daripada penulis kitab tersebut, Gui Su Nio, alias Thian-hiang-sian-cu dan suaminya, Ji Cin Lok, alias Yu Leng dari lembah Yu-leng-kok.

„Kisah aneh yang sukar dipercaya orang!” kata Wei Beng Yan yang telah mendengari dengan penuh perhatian.

„Dan berdasarkan petunjuk-petunjuk dari kitab itu,” kata To Siok Keng, „di bawah penerangan obor aku tiap malam meyakinkan jurus-jurus yang tertera dalam kitab itu, karena pada siangnya aku harus secara bersembunyi menjauhkan diri dari si jahanam yang telah membunuh seluruh anggora keluargaku, sehingga akhirnya aku tiba di pegunungan ini.”

„Hai....... sungguh luar biasa pengalaman sumoay itu!” kata Wei Beng Yan.

„Sebagai tanda terima kasihku, aku lalu membuat ke dua patung ”

„Siapakah sebenarnya sumoay sendiri?”

„Aku Kiu Su Yin, puteri Kiu It! Orang satu-satunya yang dapat lolos dari cengkeraman maut!”

„Jadi To Siok Keng adalah nama sumoay yang palsu?”

„Betul. Aku menukar she dan namaku untuk sekedar mengelakkan diri dari si jahanam. To aku ambil dari she pengasuhku yang setia, sedangkan Siok Keng adalah ilhamku sendiri, mengingat nama itu cukup enak didengarnya.”

„Sumoay, ternyata nasib kita sama buruknya.” duapuLuh enam

Demikianlah sejak saat itu Wei Beng Yan dan To Siok Keng selalu berada bersama-sama, mereka berkelana di daerah pegunungan Oey-san itu sambil merundingkan ilmu-ilmu yang telah diperoleh dari guru mereka masing-masing, dan mereka menarik kesimpulan bahwa ilmu Thian-hiang-sian-cu dapat dipergunakan secara bergabung dengan ilmu Ji Cu Lok, mereka berlatih bersama untuk kemudian melanjutkan perjalanan mereka menuju ke puncak Ci- sin-hong.

Selama berkelana di pegunungan Oey-san, Wei Beng Yan dan To Siok Keng belum pernah menjumpai Siauw Bie, tetapi sebaliknya si gadis she Siauw telah melihat mereka dari kejauhan sehingga tiga kali.

Hebat betul rasa cemburu Siauw Bie ketika menyaksikan pergaulan Wei Beng Yan dan To Siok Keng yang demikian akrabnya, sehingga akhirnya rasa cemburunya itu berubah menjadi perasaan benci dan dendam yang dalam sekali.

Ia mengetahui tidak dapat melawan gadis yang menjadi saingannya itu, yang ternyata tidak tewas meskipun telah terkena jarum beracunnya, dan ia bertekad untuk menganiaya dengan jalan lain....... „Sumoay, “ kata Wei Beng Yan, „hari untuk kita bertemu dengan guruku hanya tinggal satu hari saja...... aku ”

„Suko!” seru To Siok Keng kaget melihat muka Wei Beng Yan tiba- tiba jadi pucat dan berdirinya agak limbung. „Apakah kau merasa kurang sehat badan?”

„Tidak..... aku hanya...... merasa sedikit pusing kepala ”

Malam harinya, karena merasa khawatir diganggu oleh binatang buas mereka lalu meloncat ke atas suatu dahan pohon yang besar dan beristirahat di situ.

Sang fajar datang dan mengambil alih tugas sang malam. Hati Wei Beng Yan berdebar-debar tatkala mengingat bahwa hari itulah yang akan menentukan siapa itu Yu Leng sebenarnya?

Tetapi tiba-tiba suatu rasa sakit merangsang kepalanya sehingga ia berseru.

„Haii ”

To Siok Keng yang juga baru tersadar merasa kaget sekali mendengar suara keluhan itu. Ia melihat muka Wei Beng Yan pucat sekali, kedua tangannya sedang memegangi dan memijat-mijat tempilingannya.

„Suko, kau kenapa?!” tanyanya cemas.

„O....., aku barusan merasa kepalaku sakit sekali ” „Sejak kemarin aku sudah melihat bahwa kau tengah menderita sakit.”

„Aku sudah merasa sehat sekarang. Ayohlah kita turun,” kata Wei Beng Yan sambil meloncat dari dahan pohon itu, yang kira-kira lima meter tingginya.

Semalam, dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh Wei Beng Yan dengan mudah saja dapat mencapai dahan pohon itu, dan untuk meloncat turun tentu saja ia harus mengerahkan tenaga dalam untuk sedikit menahan berat badannya, tetapi ternyata

ia tidak lagi dapat melancarkan ilmu tersebut, tubuhnya meluncur cepat ke bawah tanpa dapat dikuasai dan membentur tanah dengan keras. Ia menjadi terlebih kaget ketika dapat kenyataan bahwa tulang betisnya yang kiri telah patah.

To Siok Keng yang dapat melihat kecelakaan itu menjadi heran sekali, lekas-lekas ia meloncat turun untuk memeriksa luka yang diderita oleh Wei Beng Yan sambil menanya dengan paras khawatir.

„Suko, apakah kau menderita sakit?”

Sambil meringis menahan sakit Wei Beng Yan berusaha berbangkit, tetapi ia tidak berhasil.

„Aku merasa heran sekali,” katanya. „Semalam aku dapat tidur dengan nyenyak dan tidak mengalami sesuatu yang luar biasa, tetapi barusan aku tidak dapat mengerahkan tenaga dalamku lagi,

.........aduh! Rasanya tulang betisku telah patah!” „Patah?!” tanya To Siok Keng.

„Patah!”

„Bagaimana mungkin seseorang yang berkepandaian seperti suko jadi patah tulang betisnya hanya meloncat dari tempat tidak beberapa tinggi itu?”

„Akupun tidak mengerti mengapa dengan tiba-tiba saja tenagaku lenyap!”

„Setengah bulan yang lalu,” kata To Siok Keng setelah berpikir sejenak, „Suko telah melancarkan Thay-yang-sin-jiauw dua kali berturut-turut, apakah mungkin itu sebabnya?”

„Tidak mungkin!” Wei Beng Yan menolak pendapat gadis itu.

„Menurut guruku, jika Thay-yang-sin-jiauw sering dilancarkan, tenaga serta kemahiranku malah akan bertambah!”

„Mungkin Suko telah salah makan? Sesuatu yang beracun maksudku.”

„Selama setengah bulan ini aku selalu berada di dampingmu aku hanya makan apa yang kau makan!”

Apa yang sebetulnya telah terjadi atas diri Wei Beng Yan?!

Itulah akibat daripada ke TIGA SAMPUL MAUT yang telah diberikan oleh si kakek bermata satu Ouw Lo Si, yang selalu bermulut manis seperti madu, tetapi hatinya berbulu seperti hati srigala. Ouw Lo Si yang telah dibikin pincang sebelah kakinya oleh Wei Tan Wi, ayah Wei Beng Yan, ternyata belum merasa puas sebelum membalas sakit hati kepada putera musuhnya, Wei Beng Yan!

Sebetulnya ia sudah ingin membunuh Wei Beng Yan, yaitu sebelum pemuda itu masuk ke dalam lembah Yu-leng-kok, tetapi karena khawatir dicemooh oleh sahabat-sahabatnya di kalangan Bulim, bahwa ia menganiaya seorang pemuda yang masih belum berkepandaian cukup, maka diputarlah otaknya.

Demikian keras otaknya bekerja sehingga akhirnya ia menemukan juga suatu tipu muslihat yang betul-betul di luar dugaan siapapun, yalah dengan memberi bantuan kepada putera musuhnya itu, sehingga pemuda itu berhasil memiliki ilmu yang dahsyat, dengan perjanjian bahwa tiap-tiap kali pemuda itu berhasil membunuh Soat-hay-siang-hiong atau Eu-yong Lo-koay yang kebetulan menjadi musuhnya juga, si pemuda harus membuka sampul suratnya yang bernomor satu, dan ternyata sampul itu telah diisikan racun Poa-gwat-tan — semacam bubuk racun yang dibuat daripada serangga berbisa yang terdapat di daerah propinsi Sin- kiang. Racun itu berbau harum semerbak tetapi melumpuhkan bagian-bagian dalam tubuh orang yang mengendusnya.

Itulah sebabnya mengapa Wei Beng Yan dengan tiba-tiba saja kehilangan seluruh tenaga dalamnya! Ia telah terkena racun Poa- gwat-tan ketika membuka sampulnya yang pertama, yang baru merangsang setelah lewat jangka waktu dua minggu. Dengan tenaganya yang sudah banyak berkurang dan tulang betisnya patah, Wei Beng Yan mungkin tidak lagi dapat pergi ke puncak Ci-sin-hong untuk menjumpai gurunya.

◄Y►

Selagi To Siok Keng merawat luka Wei Beng Yan itu, ternyata Siauw Bie telah tiba di atas puncak yang dimaksud di atas, menantikan kedatangan Yu Leng. Perasaan benci Siauw Bie terhadap bekas kekasihnya dan To Siok Keng makin hari makin mendalam saja tampaknya, ia bermaksud menghilangkan kedua orang muda itu dengan memberitahukan kepada Yu Leng bahwa Wei Beng Yan telah mencurigakan keaslian gurunya itu.

Lama juga ia menunggu di situ, tetapi ia tidak melihat Yu Leng atau Wei Beng Yan mendatangi. Perasaannya sudah mulai jadi gelisah, ketika......

„Mengapa kau berada sendirian saja di sini? Ke mana Beng Yan?”

Demikianlah teguran yang membikin Siauw Bie bergidik, ia lekas- lekas berbalik dan dapat melihat Yu Leng yang sudah menutupi mukanya lagi, sedang berdiri dengan angkuhnya.

„Locianpwee,” katanya, „aku harap kau tidak menyebut Wei Beng Yan lagi!”

„Jangan menyebut namanya lagi? mengapa?”

„Aku telah menasihatkan padanya, tetapi ia tidak menggubris nasihatku itu. Ia bilang Locianpwee bukan gurunya yang tulen!” Sekonyong-konyong Yu Leng atau Pek Tiong Thian melangkah mundur mendengar keterangan itu.

Siauw Bie pun terperanjat melihat reaksi Yu Leng itu, karena ia belum mengetahui bahwa Yu Leng adalah Pek Tiong Thian.

„Ha ” pikirnya, „kalau begitu benar dugaan si kakek pincang itu!

Inilah ketika yang terbaik untuk mengadu-dombakan Wei Beng Yan dan To Siok Keng dengan Yu Leng gadungan ini.”

„Apakah kaupun menganggap aku menyamar sebagai Yu Leng?” tiba-tiba Pek Tiong Thian menanya.

Siauw Bie jadi kelabakan ditanya begitu, lama juga ia berpikir untuk kemudian menyahut. „Karena soal mencurigakan Locianpwee inilah aku jadi bertengkar dengan Beng Yan, dia kini sudah berkenalan dengan seorang gadis yang mengaku sebagai murid Thian-hiang-sian-cu!”

„Hm! Siapa nama gadis itu?

„To Siok Keng!”

„Aku tidak mengenal nama itu! Sekarang mereka berada di mana?”

„Sudah hampir setengah bulan aku tidak melihat mereka, tetapi aku yakin mereka masih berada di daerah pegunungan ini.”

„Bagaimana pendapatmu? Apakah mereka akan datang juga di sini?” „Ya! Aku kira mereka pasti akan datang di sini.”

„Baiklah, aku akan menunggu kedatangan mereka!” kata Pek Tiong Thian sambil mengambil tempat duduk.

Dengan hati berdebar-debar Siauw Bie pun turut mengambil tempat duduk.

Sambil menanti kedatangan Wei Beng Yan dan To Siok Keng di puncak Ci-sin-hong itu, marilah kita mengungkap rahasia Yu Leng gadungan ini atau Pek Tiong Thian yang telah begitu berhasil menjalankan perannya sebagai Ji Cu Lok asli.

Tetapi bagaimanakah Ji Cu Lok asli itu sampai dapat disingkirkan?!

Seperti telah diceritakan di bagian yang terdahulu bahwa Pek Tiong Thian telah banyak mempelajari ilmu-ilmu dari kitab Jit-gwat- po-lek, tetapi sayang lembaran-lembaran yang memberi petunjuk tentang ilmu Thay-yang-sin-jiauw dan Thay-yang-sin-kang, yang menurut desas desus di kalangan Bu-lim, telah diambil oleh Ji Cu Lok! Justru bagian itulah yang terpenting, maka ia telah bertekad untuk berkunjung ke lembah Yu-leng-kok untuk mencuri catatan kedua ilmu yang dahsyat itu.

Dengan ilmunya yang tinggi Pek Tiong Thian dengan mudah saja dapat menyelundup ke dalam lembah itu. Hari itu adalah tanggal limabelas bulan tujuh -- tepat dua tahun Wei Beng Yan menjadi murid Ji Cu Lok.

Pek Tiong Thian tiba di dalam lembah itu, ketika Ji Cu Lok tengah menatap bulan purnama di langit sambil sebentar-sebentar menyebut nama isterinya, sehingga ia tidak mengetahui bahwa Pek Tiong Thian senantiasa mengawasi tiap gerak geriknya. Tiba- tiba Ji Cu Lok menghunus pedangnya, lalu sambil mengacungkan senjatanya itu ke atas, ia memanggil-manggil lagi nama isterinya. Setelah itu cepat luar hiasa pedangnya berkelebat dan memotong urat nadinya sendiri.

„Su Nio........ aku segera menyusul    ”

Setelah itu tampak tubuhnya menukik dari atas batu besar untuk kemudian terbanting di tanah, Yu Leng alias Ji Cu Lok, telah meninggal dunia!

Pek Tiong Thian tidak menduga jika ia datang tepat pada waktu Yu Leng harus membunuh diri memenuhi sumpahnya terhadap isteri kesayangannya, Gui Su Nio.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar