Sampul Maut Jilid 05

Jilid 05

„Jika Yu Leng telah mewariskan ilmunya yang maha tinggi itu,” kata Kong-ya Coat. „Dia tentu sudah membunuh diri dan aku yang telah melanggar perintahnya, tak usah khawatirkan lagi Tay-yang-sin- jiauw!” „Jika Yu Leng telah membunuh diri, siapakah yang mampu memadamkan semua lampu dan obor demikian cepatnya!” tanya Eu-yong Lo-koay.

„Apa boleh buat!” kata Siauw Cu Gie. „Aku tidak ingin memusingkan apakah Yu Leng masih hidup atau sudah mati! Yang penting yalah cara bagaimana aku dapat menghindarkan diri dari cakaran Tay-yang-sin-jiauw!”

Setelah berkata begitu ia segera berbangkit dan meninggalkan kapal sungai itu tanpa menoleh lagi kepada Kong-ya Coat.

Eu-yong Lo-koay juga sudah tawar perasaannya dan tak lagi ingin melanjutkan pertempurannya melawan Kong-ya Coat, tanpa pamit lagi iapun berlalu dengan tergesa-gesa!

Hanya si pemabuk yang kelihatannya agak tenang dan masih dapat tertawa gelak-gelak.

„Mati atau hidup itu semua berada   di   tangan   Tuhan. Aku     hanya     khawatir     tak     dapat      minum      arak! Jika   kita   menderita   dan   tak    dapat    bertahan. Janganlah bermuram durja, tetapi bersorak!”

Demikianlah Si Lam Tojin bernyanyi, lalu dengan satu gerakan lincah ia berloncat dari kapal sungai itu ke dalam perahunya yang kemudian di dayungnya dengan tenang pula!

SEBELAS Waktu pesat sekali jalannya, tanpa terasa musim dingin telah datang lagi.

Di atas sungai Tiang-kang, yang letaknya dekat daerah kota Bu- ouw, di propinsi Kang-su, tampak sebuah perahu tengah berlayar dengan tenang.

Di dalam perahu tampak duduk dua orang, yang satu seorang laki- laki yang berperawakan tegap dan berusia kira-kira setengah abad. Sedangkan orang yang kedua adalah seorang kakek yang matanya picak satu dan kakinya pincang sebelah.

Laki-laki yang berperawakan tegap lalu berkata setelah menarik napas panjang.

„Ouw Si-ko, selama dua tahun ini kita telah lari ke timur, ngiprit ke barat menyembunyikan diri dari kejaran yang tak kunjung datang, boleh dikatakan tiada satu tempatpun yang kita tidak jelajahi, dan selama jangka waktu itu kita tidak mendengar berita tentang munculnya Yu Leng di kalangan Kang-ouw!”

„Hiantee,” sahut si Ahli nujum kipas baja. „Yu Leng sedang mencari Cu-gan-tan dan Tok-beng-oey-hong, dia tidak mengetahui bahwa kedua mustika itu berada di dalam tanganku! Ha, ha, ha!”

Setelah tertawa berkakakan, sekonyong-konyong ia berhenti dengan rupa kaget sambil menyapukan matanya yang tinggal sebelah itu ke kanan dan ke kiri.

„Ha, ha, ha!” kata Khouw Kong Hu, „kita berada di atas perahu, masa takut ada yang dengar kata-kata Ouw Si-ko itu?” „Memang Hiantee, jika kau membawa-bawa barang yang berharga apalagi barang-barang berharga itu kau peroleh secara tidak halal kau tentu akan menjadi gelisah!”

„Ouw Si-ko, siapa namanya si pemuda yang pernah kau tolong masuk ke dalam lembah Yu-leng-kok?”

„Ai! Akupun baru ingat kepada pemuda itu, dia bernama Wei Beng Yan. Menurut perhitunganku, Yu Leng telah mewariskan ilmu silatnya kepada pemuda itu dan telah membunuh dirinya sendiri, tetapi katanya ia sudah muncul lagi di kalangan Kang-ouw!”

„Aku selalu berada di samping Ouw Si-ko selama dua tahun ini, mengapa aku tidak mengetahui bahwa Yu Leng telah muncul lagi di kalangan Kang-ouw?”

„Apakah kau masih ingat pada setengah bulan yang lalu, ketika kita berada di telaga Kao-yu, beberapa nelayan telah menceritakan tentang pertemuan di telaga Tong-teng?”

„Aku masih ingat.”

“Kesudahan daripada pertemuan tersebut, seperti Hiantee telah dengar sendiri, adalah sama misteriusnya seperti pertemuan yang diadakan oleh Kong-ya Coat!”

„Apakah menurut hemat Ouw Si-ko orang yang memadamkan lampu-lampu dan obor-obor bahkan merombak Lui-tay, adalah Yu Leng juga?” „Menurut pendapatku memang demikian, tetapi masih ada soal yang ganjil berkenaan dengan sepak terjangnya sehingga aku tak berani mengatakan dengan pasti.”

„Rupanya peristiwa itu telah membikin si Ahli nujum kipas baja menjadi pusing juga, ya? Ha, ha, ha!”

„Betapa tidak! Dua tahun yang lalu Yu Leng telah merebut Ciam- hua-giok-siu, mengapa sekarang mustika itu berada di tangan si pemuda baju hijau? Dan siapakah gerangan pemuda itu?”

„Pemuda itu tentu saja putera Wei Tan Wi, siapa lagi?”

„Baik! pemuda itu Wei Beng Yan. Tetapi setelah Yu Leng mewariskan ilmu silatnya, mengapa dia sendiri tidak membunuh diri? Dan mengapa ketika Wei Beng Yan ingin menempur kedua iblis Soat-hay-siang-hiong tiba-tiba suasana jadi gelap dan mereka yang sudah bersiap-siap bertempur akhirnya lenyap tanpa bekas?!”

„. . . . . . . . . . .??”

Tak lama kemudian perahu mereka sudah tiba di kota Bu-ouw, sebuah kota besar yang terletak di sebelah selatan sungai Tiang- kang. Setelah mendarat mereka segera menuju ke suatu gedung yang besar dan indah, yang tiang-tiangnya terukir seekor naga besar. Pekarangan depan gedung tersebut sangat kotor, pintu- pintu dan jendela-jendela penuh dengan debu dan tertutup rapat. Rupanya gedung itu sudah lama diterbengkalaikan. Setelah meneliti gedung itu sekian lamanya, terdengar Khouw Kong Hu berkata dengan suara rendah.

„Ouw Si-ko, kota ini rupanya pusat perdagangan yang ramai sekali, jika kita terus menerus mundar-mandir di depan gedung ini, mungkin kita akan dicurigai ingin berbuat sesuatu yang tidak baik ”

“Jangan gelisah Khouw Hiantee, aku datang ke sini tentu dengan rencana yang cermat, dan aku berani memastikan bahwa nanti malam gedung ini kita dapat menyaksikan suatu pertunjukan. Maka sebelum masuk, kita harus menyelidiki betul keadaan di sekitarnya!”

Setelah itu Ouw Lo Si segera mengajak Khouw Kong Hu menuju ke suatu rumah penginapan. Begitu melangkah masuk, mereka jadi terperanjat, karena berpapasan dengan seorang gadis yang cantik jelita, muda belia yang mengenakan pakaian merah muda.

„Apakah gadis cantik berbaju merah muda, yang barusan saja keluar, ingin menyewa kamar di sini?” tanya Ouw Lo Si kepada pengurus hotel.

Si pengurus hotel menoleh dan sambil bersenyum ia menyahut.

“Ya, bukan saja ia berparas cantik, tetapi iapun sangat murah hati telah sudi membayar terlebih dulu uang sewa kamarnya,” sambil menunjukkan sepotong mas murni di tangannya dan meneruskan.

„Tetapi aneh, setelah ia melemparkan sepotong mas ini, tanpa menunggu aku menjawab ia segera berjalan keluar.” Ouw Lo Si bukan tertarik oleh kecantikan wanita itu, tetapi pakaiannya yang merah mudalah yang telah membikin ia terperanjat, karena dari cerita yang didengarnya tentang pertemuan di telaga Tong-teng, orang yang menceritakan telah berulang-ulang menyebut, gadis yang mengenakan pakaian merah muda, kapal sungai merah muda yang digantungi lentera kertas merah muda juga.

„Apakah mungkin gadis inilah yang dimaksud oleh orang itu?” tanyanya di dalam hati.

„Kita berdua pun ingin menyewa kamar,” kata Khouw Kong Hu.

„Baiklah,” kata si pengurus hotel. „Hei Lo-sam, tujukki kedua Locianpwee ini kamar yang di samping pekarangan tengah!”

Setelah berada di dalam kamar Ouw Lo Si segera menutup pintu. Tiba-tiba mereka mendengar suara si pengurus hotel di luar.

„Kamar di sebelah dua tamu kita ini adalah untuk seorang gadis, dan kau harus melayaninya dengan baik!”

„Ah!” kata Ouw Lo Si dengan suara rendah. „Kebetulan sekali kita dapat kamar ini!”

„Agar kita dapat mendengar gerak gerik gadis baju merah muda, bukankah?” tanya Khouw Kong Hu.

„Betul!” sahut Ouw Lo Si sambil bersenyum girang. „Ouw Si-ko, kau tiba-tiba jadi gembira sekali tampaknya?” „Apakah kau ketahui siapa pemilik rumah gedung besar yang kita selidiki tadi?”

„Tidak. Mengapa memang?”

„Rumah gedung itu milik ketiga saudara Tie yang telah ditewaskan oleh serangan Lui-ka-kong-kie Yu Leng!”

„O !”

„Apakah kau masih ingat apa yang dikatakan oleh ketiga saudara Tie itu, setelah mereka dilukai oleh Yu Leng?”

„Ya! Saudara Tie yang paling tua menantang kepada Yu Leng. Nanti sesudah lewat dua tahun lima bulan, apakah kau berani datang ke kota Bu-ouw?”

„Betul! Dan mereka pun mengetahui bahwa mereka bakal mati!”

„Jika demikian, mengapa mereka masih menantang Yu Leng?”

„Aku mengenal ketiga saudara Tie cukup lama, dan aku mengetahui juga bahwa pada tiap-tiap tiga tahun sekali Ceng Sim Lo-ni turun dari Go-bi-san untuk menjenguk ketiga saudara Tie, entahlah ada hubungan apa antara si biarawati dengan ketiga saudara Tie itu.”

„Jika begitu, ketiga saudara Tie tentu bermaksud agar Ceng Sim Lo-ni membalaskan kematian mereka itu.” „Aku kira begitu, menurut perhitunganku, malam ini tepat dua tahun lima bulan semenjak ketiga saudara Tie digempur oleh Yu Leng!”

„Apakah Yu Leng akan memenuhi janjinya? Apakah Yu Leng mengetahui bahwa ia akan berjumpa dengan Ceng Sim Lo-ni di sini?”

„Entahlah. Yang pasti yalah Ceng Sim Lo-ni akan berkunjung ke sini.”

„Tetapi kini kau telah salah bertindak Ouw Si-ko!”

„Salah bertindak?”

„Bukankah jika Yu Leng muncul di sini berarti kita mengantarkan jiwa kita secara tolol?!”

„Hiantee jangan keliru, dahulu kita lari sini lari sana menyembunyikan diri karena takut...... takut mustika yang berada di dalam tanganku diketahui oleh Yu Leng. Tetapi setelah Ciam- hua-giok-siu muncul lagi di kalangan Kang-ouw, kita tidak usah bersembunyi lagi!”

„Meskipun demikian, ada baiknya jika Yu Leng tidak melihat kita!”

Ouw Lo Si menggeleng-geleng kepalanya dengan paras mendongkol.

„Khouw Hiantee,” katanya, „apakah kau lupa akan janji kita untuk membalas dendam Kiu Ji-tee?! Mungkin juga yang melakukan pembunuhan itu erat sekali hubungannya dengan tindak tanduk Yu Leng ini!”

Khouw Kong Hu menjadi merah mukanya mendengar kata-kata Ouw Lo Si yang agak keras itu.

„Kita belum mengetahui musuh Kiu Ji-tee, namun aku yakin bahwa musuhnya itu lihay sekali, mungkin kita berdua tidak sanggup melawannya, tetapi tiada salahnya jika kita mengetahui betul musuh itu sebelum kita coba membikin pembalasan,” kata Ouw Lo Si.

Setelah itu ia tepuk dadanya seraya berkata lagi.

„Kita telah memiliki kedua mustika Thian-hiang-sian-cu dan dengan Tok-beng-oey-hong kita akan menuntut balas!”

„Tetapi, apakah Ouw Si-ko mengetahui caranya menggunakan benda mujizat itu?” tanya Khouw Kong Hu. „Cu-gan-tan tidak penting bagi kita, karena kita sudah tua, tetapi bagaimanakah menggunakan Tok-beng-oey-hong, yang dikatakan belum pernah gagal mengambil korban?”

„Justru itulah maksud kedatangan kita di sini,” kata Ouw Lo Si. „Jika perhitunganku tidak salah, aku mengharap dapat mengetahui cara menggunakannya benda mujizat itu dari Yu Leng!”

Berkata sampai di situ tiba-tiba si kakek merandek dan mengeluarkan suara.

„Ssst !” Kemudian terdengar suara orang bicara di luar kamar.

“Inilah kamar siocia, aku harap siocia menyukai hotelku yang sederhana ini!”

„Terima kasih!” sahut yang diajak bicara.

Ouw Lo Si menghampiri tembok kamar sambil mengangkat tangan kanannya, lalu dengan mengerahkan tenaga ke ujung jari tengahnya, ia menusuk tembok kamar itu dan ‘Cep!’ jari tengahnya itu menembusi tembok tanpa orang yang berada di sebelah menyadari!

Itulah ilmu Kim-kang-cit (Jari tangan baja), yang hanya dimiliki oleh beberapa gelintir jago-jago silat saja, karena sukarnya untuk dipelajari, dan tusukan dengan jari tangan yang digerakkan dengan lambat itu dapat menembusi baja !

Sejenak kemudian Ouw l.o Si mencabut jari tengahnya itu dengan tenang sekali, dan tampaklah satu lobang di tembok yang memisahkan kamarnya dengan kamar si gadis baju merah muda itu!

DUABELAS

Bila ada lobang kecil di tembok kamar di suatu rumah penginapan, biasanya lobang kecil demikian dianggap biasa dan takkan diperhatikan. Dengan melalui lobang kecil itulah Ouw Lo Si dapat mengintip ke dalam kamar di sebelah. Ia melihat gadis yang mengenakan baju merah muda masuk ke dalam kamar, lalu mengeluarkan sehelai bendera merah, di atas permukaan bendera tersebut tertera tiga huruf .

„Tong-teng Siauw (Keluarga Siauw dari telaga Tong-teng)!”

Ouw Lo Si mendekati mulutnya dekat telinga Khouw Kong Hu dan berbisik.

„Hiantee, geser meja itu dan letakkan secangkir teh di atasnya.”

Khouw Kong Hu tidak mengerti maksud si kakek, tetapi ia jalankan juga perintahnya itu.

Ouw Lo Si lalu mengintip lagi, sesaat kemudian, tanpa mengalihkan matanya dari lobang di tembok, ia menyelupkan jari telunjuknya ke dalam secangkir teh yang berada di atas meja, dan menulis di atas papan meja memberitahukan apa yang telah terjadi di kamar yang sedang diintipnya itu!

„Si gadis adalah adik perempuan Siauw Cu Gie! Kita dapat menyaksikan sandiwara.”

Demikian si kakek telah menulis. Tetapi kemudian ia jadi merandek ketika melihat bibir si gadis bergerak-gerak, seolah-olah sedang berbicara dengan seseorang. Ia tidak dapat mendengar percakapannya itu.

„Apakah dikamarnya itu sudah ada orang?” demikian pikirnya.

„Jika betul...... celaka duabelas, tentu pembicaraanku tadi telah dapat didengar oleh orang itu !” Ia mengintip terus, tetapi karena lobang di tembok itu kecil sekali, maka ia hanya dapat melihat si gadis yang kini sedang bersenyum manis sambil berbicara dan bergerak-gerak.

„Tidak salah lagi ia tengah berbicara dengan seseorang!” kata si kakek didalam hatinya. Saking penasarannya, ia lalu menempelkan telinganya ke lobang itu dan dapat mendengar.

„Apakah kau sudah lama tiba di kota ini? Kota Bu-ouw ini betul- betul ramai. Coba lihat bendera ini, aku telah menyuruh orang menyulam huruf-huruf di atasnya.”

Tiba-tiba si kakek berbalik sambil menarik tangan Khouw Kong Hu ke suatu tempat yang agak jauh dari lobang di tembok itu.

„Celaka!” bisiknya, „kita harus lekas-lekas berlalu dari sini!”

„Si-ko! Apa yang kau telah lihat?!”

„Barusan aku tidak memeriksa lagi kalau-kalau di sebelah ada orang. Jika percakapan kita tadi didengar olehnya, kita pasti akan dikejar oleh semua orang untuk merebut kedua mustika yang kini berada di tanganku. Aku tidak takut dikejar, tetapi lebih baik kita berjaga-jaga !”

Si kakek segera melangkah untuk meninggalkan kamarnya itu, tetapi ketika tiba di pintu kamar ia merandek. Lalu sambil mengertak gigi ia berkata dengan nada yang rendah sekali.

„Hiantee, jika percakapan kita tadi telah didengar oleh orang yang berada di kamar sebelah, mungkin sekarang kitapun tak dapat melarikan diri lagi! Aku kira dia tidak mendengar. Lebih baik kita jangan melepaskan kesempatan yang baik ini untuk mencari tahu, cara menggunakan Tok-beng-oey-hong!”

Setelah ia telah mengeluarlan senjatanya, yalah Cit-kauw-tie-san (Kipas baja dengan tujuh keajaiban), yang telah menggemparkan dunia Kang-ouw beberapa puluh tahun yang silam!

Khouw Kong Hu pun menghunus gaitan bajanya yang bergagang panjang, dan ujungnya merupakan sebilah arit yang tajam sekali.

„Hiantee, kau jaga pintu dan jangan kau bersangsi untuk segera turun tangan bila ada yang bergerak mencurigakan!” pesan si kakek.

Khouw Kong Hu mengangguk sambil mengawasi ke arah pintu.

Lalu si kakek pergi mengintip lagi. Ia melihat bahwa gadis itu masih terus berbicara, tetapi ia tetap tidak melihat orang yang sedang berbicara dengan gadis itu. Ia melihat si gadis mengulur tangannya untuk menerima sesuatu dari orang yang tidak kelihatan itu. Si kakek mencurahkan seluruh perhatiannya, meskipun ia seorang yang cerdik dan cerdas serta banyak pengalamannya, tetapi ketika dapat mengenali barang yang baru saja diterima oleh gadis itu, tiba-tiba dan tanpa terasa ia jadi berseru kaget.

„Astaga !”

Dan suaranya itu telah mengejutkan si gadis! Gesit seperti monyet si kakek melompat mundur ke belakang beberapa langkah sambil mengeluarkan suara.

„Phiss.   !” kepada Khouw Kong Hu.

Setelah itu, cepat bukan main si kakek telah mencelat melalui jendela untuk keluar ke pekarangan hotel, diikuti oleh Khouw Kong Hu.

Lala terdengar pintu kamar mereka terbuka oleh suatu dorongan keras, dan terdengar seorang laki-laki berbicara.

„Hm! Bie moay, tadi kau bilang di kamar ini ada orang. Coba lihat, kamar ini kosong!”

„Aku yakin betul tidak salah dengar,” sahut si gadis. „Orang itu pasti dari kalangan Kang-ouw, karena ia dapat bersembunyi demikian cepatnya!”

„Apakah dia mengintai-intai Ciam-hua-giok-siu? Betul-betul dia itu seorang yang bodoh menghendaki benda yang sukar diperoleh!”

Memang waktu mengintip tadi Ouw Lo Si telah melihat sarung tangan ajaib itu, namun ia bukan terkejut disebabkan telah melihat benda itu, ia terkejut karena telah melihat beberapa benda yang justru melekat di telapak tangan sarung tangan tersebut, yalah tiga buah jarum Yan-bie-tin -- jarum beracun yang ampuh kepunyaan saudara angkatnya, Khouw Kong Hu! Sambil sembunyi di bawah jendela Ouw Lo Si dapat mengenal suara orang laki-laki itu, yalah suara seorang pemuda yang pernah ia tolong dua tahun lebih yang lalu, Wei Beng Yan!

„Hiantee,” katanya-berbisik. „Simpan senjatamu dan janganlah bertindak tanpa dapat petunjuk dari aku!”

Khouw Kong Hu menjadi heran, tetapi ia menuruti saja apa yang diperintahkan oleh si kakek.

„Ikuti aku!” berbisik lagi si kakek sambil merangkak untuk menjauhkan diri dari jendela kamar hotel. Setelah cukup jauh, si kakek lalu berdiri dan berjalan menghampiri jendela kamarnya tadi, diikuti oleh Khouw Kong Hu!

„Aai, Wei Lotee!” serunya sambil berdiri di depan jendela kamarnya tadi. „Semenjak kita berpisah di pegunungan Tay-piet-san dua tahun yang lalu, apakah kau baik-baik saja?”

Kedua muda mudi itu menoleh ketika mendengar teguran itu. Dan ternyata betul saja si pemuda yang berbaju hijau itu Wei Beng Yan adanya!

Melihat si kakek penolong itu, si pemuda menjadi girang sekali.

„O     kiranya Ouw Locianpwee!” katanya.

Si kakek menyikut pelahan ke belakang, sikutnya itu tepat mengenai bahu Khouw Kong Hu, sebagai peringatan agar saudara angkatnya itu tidak bertindak sembarangan! „Wei lotee,” kata lagi si kakek, „sudah dua tahun lebih kita tidak berjumpa, aku telah menjadi tambah tua dan reyot, tetapi agaknya kau jadi semakin gagah dan tampan lagi! Apakah maksudmu sudah tercapai?”

Khouw Kong Hu tiba-tiba jadi pucat wajahnya ketika dapat melihat ketiga jarum Yan-bie-tin nya masih melekat di telapak tangan Ciam-hua-giok-siu yang sedang dipegang oleh Wei Beng Yan, tetapi pada saat itu ia terpaksa harus bersandiwara dan memaksakan diri untuk bersenyum seolah-olah sedang menjumpai seorang kawan lama!

„Terima kasih Ouw Locianpwee, aku baik-baik saja!” sahut Wei Beng Yan. „tetapi...... aku merasa sangat menyesal belum dapat menunaikan tugas suciku itu!”

„Tidak usah gelisah Wei Lotee,” kata si kakek, „lambat atau cepat pasti kau berhasil membalas sakit hati mu itu! -- Wei Lotee, aku ingin memperkenalkanmu kepada saudara angkatku ini, ia bernama Yo Go!”

Khouw Kong Hu makin heran mendengar si kakek memperkenalkan namanya sebagai Yo Go. tetapi ia lekas-lekas menyahut.

„Wei Lotee, aku telah mendengar banyak tentang kau dari kakak angkatku ini ”

„Aku merasa girang sekali dapat berkenalan dengan Locianpwee,” sahut Wei Beng Yan sambil memberi hormat. „Aku kira siapa yang berada di dalam kamar ini ” „Kita menyewa, kamar ini karena ada urusan dagang......” kata si kakek, „barusan kita keluar untuk melihat apakah orang yang kita nantikan itu sudah datang ”

„Ouw Locianpwee, nasib manusia tidak dapat ditentukan oleh siapapun,” kata Wei Beng Yan. „betul kita dapat berusaha sekeras mungkin, namun Tuhanlah yang berkuasa! Budi Ouw Locianpwee aku takkan lupakan.”

„Apakah yang berada di tangan Lotee itu benda yang terkenal sebagai Ciauw-hua-giok-siu?”

„Betul!”

„Bolehkah aku melihatnya ?”

„Dengan segala senang hati! Ha, ha, ha!”

Ouw Lo Si mengulur tangannya untuk menerima mustika yang disodorkan itu. Ia meneliti dengan hati berdebar-debar.

„Jika aku dapat merebut mustika ini,” kata si kakek di dalam hati.

„Aku akan merajai dunia Kang-ouw! Kedua muda mudi ini betul muda usia, tetapi mereka tidak dapat dipandang remeh, terutama si pemuda yang telah mewarisi ilmu Tay-yang-sin-jiauw!”

„Tiga jarum yang melekat di telapak tangan ini apakah artinya?” akhirnya si kakek berlagak menanya. „Ouw Locianpwee mungkin telah mengetahui bahwa jarum ini adalah jarum beracun Yan-bie-tin, milik Khouw Kong Hu, si gaitan baja tinju besi!”

„O........” sahut si kakek sambil berlagak kaget. „Khouw Kong Hu adalah nama yang aku pernah dengar...... apakah Wei Lotee mempunyai urusan dengan dia?”

„Betul aku tidak mengetahui bagaimana bentuk serta rupa Khouw Kong Hu ini, tetapi aku harus mengambil nyawanya!”

Khouw Kong Hu jadi terpaku dengan mulut menganga dan kedua mata melotot mendengar Wei Beng Yan harus membunuh orang yang bernama Khouw Kong Hu, dirinya sendiri!

„Tetapi mengapa Wei Lotee harus membunuh si gaitan baja tinju besi?” tanya Ouw Lo Si. „Menurut pengetahuanku, Khouw Kong Hu adalah jago silat yang selalu berbuat kebaikan di kalangan Kang- ouw. Apakah barangkali ia telah berbuat sesuatu yang hina terhadap Wei Lotee?”

„Akupun telah menyelidiki, dari banyak kawan aku mendapat kesan bahwa Khouw Kong Hu pantas mendapat gelar Tay-hiap (pendekar)!”

„Tentu Wei Lotee merasa sungkan untuk membunuh seorang Tay- hiap, bukankah?”

„Tetapi aku tidak dapat membangkang terhadap perintah guruku, Ai! Suhu, suhu! Dia melarang aku membunuh Soat-hay-siang- hiong, tetapi mengapa justru menyuruh aku membunuh seorang Tay-hiap ?”

„Dari manakah Wei Lotee dapati ketiga jarum itu?” tanya lagi Ouw Lo Si.

„Dua tahun lebih yang lalu, ketika aku memasuki lembah Yu-leng- kok di waktu hujan rintik-rintik aku telah menjumpai suhu,” We Beng Yan menyahut. „Suhu lalu menyalakan tiga lentera kertas dan menggantungnya di pintu lembah tersebut sebagai tanda bahwa lembah tersebut sudah tertutup dan siapapun di larang masuk. Tetapi tiba-tiba ketiga lentera kertas itu menjadi padam diterjang ketiga jarum Yan-bie-tin

“Jarum Yan-bie-tin pasti tidak bisa gagal memadamkan lentera- lentera itu,” kata Ouw Lo Si dan tanpa merasa ia melirik ke arah Khouw Kong Hu yang sudah khawatir sekali Rahasianya terbongkar. “Tetapi mengapa Yu Leng yang berjiwa besar memerintahkan Wei Lotee membunuh Khow Kong Hu yang hanya memadamkan lilin lentera? Bukankah itu hanya soal kecil saja?”

„Akupun tidak mengerti tindakan Suhu ini!” sahut Wei Beng Yan.

„Yan koko,” kata Siauw Bie dengan suara menghibur. „Sudahlah, kita masih ada urusan lain yang harus dibereskan!”

„O......,” kata Ouw Lo Si, “Wei Lotee sedang tidak sempat, kita minta maaf telah mengganggu ” „Ouw dan Yo Locianpwee,” kata Wei Beng Yan sambil membungkukkan tubuhnya, „Kita baru saja berjumpa tetapi sudah harus berpisah lagi!”

„Lain waktu, kita masih dapat berkumpul lagi,” sahut Ouw Lo Si,

„maka uruslah urusan Wei Lotee itu baik-baik!”

Setelah memberi hormatnya kedua muda mudi itu segera meninggalkan Ouw Lo Si dan Khouw Kong Hu. Si kakek pun lalu mengajak saudara angkatnya untuk menuju ke sebuah rumah makan.

„Hiantee,” kata si kakek sambil makan. „setelah mendengar keterangan Wei Beng Yan aku jadi yakin bahwa kecurigaanku berdasar yalah orang yang telah memadamkan lampu di pertemuan Tan-kwi-san-cong dan di telaga Tong-teng, bukan Yu Leng!”

Khouw Kong Hu yang baru saja reda ketegangan jiwanya hanya mengangguk.

„Mengapa Si-ko bisa berkesimpulan demikian?” tanyanya.

„Kesatu,”‘ si kakek melanjutkan. „Yu Leng telah mewariskan ilmu silatnya kepada Wei Beng Yan tetapi ia tidak membunuh diri. Kedua, Yu Leng yang berjiwa besar tidak mungkin ingin mengambil pusing soal ketiga jarum Yan-bie-tin mu!”

„Aku kira Si-ko telah berkesimpulan keliru tentang Yu Leng. Sebelum lembah Yu-leng-kok tertutup, banyak orang telah menjadi korban keganasan, rupanya Yu Leng tidak pandang bulu, barang siapa yang menimbulkan amarahnya, ia bunuh!”

„Kita akan membuktikan pendapatku itu nanti malam di gedung saudara Tie!”

Setelah selesai makan minum hari sudah menjadi magrib, maka mereka lekas-lekas membayar untuk segera menuju ke rumah keluarga Tie. Dari kejauhan rumah gedung tersebut kelihatannya gelap dan seram sekali. Mereka berjalan ke belakang rumah gedung itu. Lalu dengan ilmu meringankan tubuh, mereka meloncat ke atas tembok yang mengelilingi rumah besar itu.

Baru saja mereka berada di atas tembok, tiba-tiba lentera-lentera kertas merah yang tergantung di atas kong-liong ruangan belakang menyala. Mereka lekas-lekas menjatuhkan diri di atas tembok lalu sambil bertiarap mereka menyelidiki keadaan. dalam ruangan belakang rumah gedung itu.

Ruangan belakang itu besar dan cahaya merah yang dipancarkan oleh lentera-lentera kertas membikin mereka teringat akan peristiwa di tempat pembunuhan Kiu It!

Sekejap kemudian lentera kertas yang berada di ruangan dalam menyala dan berbareng dengan menyalanya lentera itu, tiba-tiba terdengar suara meraung -- serupa yang Ouw Lo Si biasa dengar dari lembah Yu-leng-kok, ketika kakek itu menyembunyikan diri di kaki pegunungan Tay-piet-san.

Mereka berusaha meneliti siapa yang telah meraung itu, tetapi karena sinar ketujuh lentera kertas merah tersebut, yang tergoyang-goyang tertiup angin malam, tidak demikian kuat sinarnya sehingga keadaan ruangan itu agak gelap, dan mereka tidak dapat melihat.

Suara meraung itu makin lama makin nyaring terdengarnya, lalu dari ruangan dalam berkelebat bayangan orang!

Ouw Lo Si dan Khouw Kong Hu terus tertiarap dan tidak berani bergerak, khawatir pengintaian mereka dipergoki. Sejenak kemudian mereka melihat sesosok bayangan mencelat melalui tembok yang mengelilingi Rumah itu. Mereka dapat melihat dengan samar-samar, seorang yang berambut panjang, berperawakan kurus jangkung melayang melewati tembok yang menjulur ke arah mereka sedang tertiarap.

Mereka terperanjat menyaksikan ilmu meringankan tubuh orang itu yang demikian hebatnya, berbareng dengan itu mereka dapat mendengar suara ‘Ting!’ yang agak aneh.

Setelah orang itu berlalu, Ouw Lo Si dan Khouw Kong Hu memberanikan diri turun dari tembok dan menghampiri ruangan belakang untuk bersembunyi di bawah jendela. Ouw Lo Si coba melongok ke dalam, ia dapat melihat Wei Beng Yan dan Siauw Bie sedang duduk dan bercakap-cakap.

◄Y►

„Bie moay,” terdengar Wei Beng Yan berkata kepada Siauw Bie. .

„Suhu baru saja keluar, rupanya ia sedang menantikan kedatangan seseorang, entahlah siapa.”

„Yan Koko, apakah kau merasa kecewa terhadap Suhumu?” Wei Beng Yan tidak menyahut, rupanya pertanyaan gadis itu membikin ia sedih.

„Apakah kau tidak merasa puas dengan tindak tanduk Suhumu?” tanya lagi si gadis.

„Bie moay, lebih baik kita tidak memperbincangkan lagi soal itu     ”

Dengan jawaban itu, Siauw Bie segera mengetahui bahwa Wei Beng Yan merasa kecewa terhadap Yu Leng. Lalu sambil memegang tangan pemuda itu ia menghibur.

„Yan Koko, kita datang dari tempat yang berlainan, namun nasib telah membikin kita saling mengenal. Ketika di telaga Tong-teng kau pernah berkata bahwa umur manusia tidak panjang tetapi jika dalam jangka usia kita yang pendek itu, kita mempunyai kawan yang mengenal isi hati kita, kita harus merasa beruntung, bukankah?”

„Betul! Jika aku mempunyai kawan serupa itu, matipun aku merasa puas. ”

„Bukankah aku, kawanmu yang demikian? Mengapa kau masih merasa ragu untuk memberitahukan isi hatimu kepadaku?”

„Bie moay! Di sini bukan tempat yang baik untuk menuang isi hati kita masing-masing! Aku akan memberitahukan kepadamu jika ada kesempatan terluang.”

„Percayalah, bahwa aku rela mengikutimu, atau dengan lain kata- kata aku rela sehidup semati bersama-samamu! Kau telah beruntung dapat mewarisi ilmu silat Yu Leng, bolehkah aku mengetahui kisahmu sewaktu masih berada di dalam lembah yang seram itu?”

Wei Beng Yan yang sudah ditembusi panah asmara menarik napas panjang, ia mendongak menatap lentera-lentera kertas dan mulai dengan kisahnya.

„Lebih dari dua tahun yang lalu, aku telah bertekad membunuh kedua iblis Soat-hay-siang-hiong dan Eu-yong Lo-koay yang telah membunuh ayahku, tetapi ketiga musuhku itu demikian hebat ilmu silatnya sehingga aku harus pergi ke lembah Yu-leng-kok untuk menambah kepandaianku. Setelah tiba di depan lembah, aku harus menunggu sampai tiga hari, dan selama tiga hari itu, tiap- tiap hari aku melihat mayat manusia dilemparkan keluar dari mulut lembah itu sehingga aku menjadi cemas sekali dan khawatir aku akan gagal dalam usahaku menuntut balas, tetapi bintang penolongku ternyata tidak berada di tempat yang jauh, dia yalah Ouw Locianpwee yang rumahnya aku tumpangi selama tiga hari itu ”

„Ada hubungan apakah antara kau dan si orang she Ouw itu?” tanya Siauw Bie.

„Hanya sebagai seorang sahabat    ”

„Yan koko, kau harus berhati-hati terhadap si orang she Ouw ini, menurut pandanganku dia itu sangat cerdik, mungkin ada apa-apa di balik ketulusan hatinya itu ”

„Aku kira tidak    tetapi biarlah aku melanjutkan kisahku ini.” „Lanjutkanlah, aku tidak pernah mencegah!”

„Setelah aku terima lentera kertas dari tangan Ouw Locianpwee, aku lalu berjalan memasuki mulut lembah di bawah hujan rintik- rintik. Tempat yang dipilih oleh Suhu betul-betul luar biasa sekali, seram dan gelap lagi! Tengah aku berjalan dengan perasaan takut, tiba-tiba aku dikejutkan olah suara helaan napas. Hatiku berdebar keras, karena helaan napas itu dekat sekali terdengarnya. Aku berhenti dan berdiri terpaku, tetapi demi tekadku menuntut balas, aku memberanikan diri untuk berjalan lagi, dan dengan tiba-tiba pula aku mendengar orang bernyanyi sedih.

„Dunia yang besar dan luas  ini, masih dapat  dicari  tapal  batasnya Tetapi       peristiwa       yang        menyedihkan        hati, Hanya terlupa pada akhirnya nyawa!”

„Syair yang bagus sekali!” Siauw Bie memuji.

„Sungguh aneh,” Wei Beng Yan melanjutkan. „Sungguh aneh suara nyanyian itu terdengarnya datang dari tempat yang jauh, seolah-olah berkumandang dari sebuah rumah kosong, padahal aku yakin benar, tarikan napas dan nyanyian itu adalah perbuatan orang yang sama!”

„Apakah orang yang bernyanyi itu Yu Leng Suhumu?” tanya Siauw Bie.

„Betul! Lalu tanpa menghiraukan itu semua aku berjalan terus sambil menenteng lentera merah yang sudah basah kuyup kertasnya terkena air hujan, tetapi apinya sendiri tidak padam. Aku jalan lagi dan tatkala sudah bertindak beberapa puluh langkah, samar-samar aku dapat melihat sesosok tubuh yang kurus tengah berdiri beberapa puluh meter saja di hadapanku. Aku jadi kaget bukan main, tetapi beruntung aku masih dapat menguasai diri untuk lekas-lekas berlutut sambil berkata.

„Teecu bernama Wei Beng Yan. Kedatangan Teecu di sini yalah untuk memohon kepada Locianpwee agar teecu diterima sebagai murid ”

„Siapa nama ayahmu?” tanya Yu Leng.

„.Ayah Teecu bernama Wei Tan Wi,” sahut Wei Beng Yan.

„Wei Tan Wi! Hm     ”

Setelah itu lama juga Yu Leng tidak berkata-kata, kemudian setelah meneliti Wei Beng Yan dengan tajam ia berkata lagi.

„Siapa yang telah memberikan petunjuk-petunjuk untuk kau masuk kemari?”

„Teecu datang di sini dengan tekad diterima menjadi murid Locianpwee untuk menuntut balas dendam ayah Teecu yang telah dibunuh oleh kedua iblis Soat-hay-siang-hiong dan Eu-yong Lo- koay. Teecu tidak pernah diberikan petunjuk oleh siapapun ”

Wei Beng Yan menjusta.

„Kau mengatakan Wei Tan Wi telah dibunuh orang?”

„Betul!” Yu Leng menarik napas sambil menyalakan tiga lentera kertas merah, yang kemudian digantungnya di mulut lembah.

„Baiklah    ” katanya.

Tetapi ketiga lentera kertas merah itu tiba-tiba menjadi padam.

„Kurang ajar!” bentak Yu Leng dengan gusar. „Kau tunggu di sini, aku harus memberi hukuman kepada jahanam yang telah berlaku kurang ajar ini!”

Setelah berkata demikian, Yu Leng segera meloncat dan mengejar keluar lembah, sesaat kemudian Wei Beng Yan mendengar jeritan- jeritan yang memilukan hati! Selama itu Wei Beng Yan tidak berani bergerak, ia tetap berlutut sambil memegangi lentera buatan Ouw Lo Si. Beberapa saat kemudian satu bayangan hitam telah kembali dan melewati kepalanya, lalu dari tempat yang agak jauh ia mendengar Yu Leng berkata.

„Kau harus berjalan terus, jangan biluk ke kanan atau ke kiri, nanti kau akan menjumpai aku di suatu tempat tertentu. Jagalah agar lentera yang kau bawa itu tidak padam apinya!”

Wei Beng Yan yang sudah ketakutan bukan main, menjadi girang tatkala mendengar perintah itu, ia segera berbangkit dan berjalan memasuki lembah itu. Setelah berjalan lebih kurang setengah jam, ia tiba di suatu batu gunung yang besar sekali, di atas batu itu tampak seorang sedang duduk bersila. Wei Beng Yan menatap orang itu yang ternyata Yu Leng adanya. „Aku telah tinggal lama sekali di dalam lembah ini,” kata Yu Leng,

„sehingga aku tidak mengetahui apa yang telah terjadi di luar. Kau mengaku sebagai putera Wei Tan Wi, untuk membuktikan ini kau harus sanggup memperlihatkan sesuatu kepadaku!”

„Ayah telah dikerubuti oleh Soat-hay-siang-hiong dan Eu-yong Lo- koay, sehingga tewas terkena racun Hian-peng-tok-bong, sebelum meninggal dunia ayah telah memberikan cincin baja ini kepadaku,” sahut Wei Beng Yan sambil melepaskan cincin baja yang berada di jarinya.

„Demikianlah nasib seorang Tay-hiap!” kata Yu Leng.

Setelah itu ia mengangkat sebelah tangannya untuk mengebat dari bawah ke atas akibat dari pada kebatan lengan bajunya itu telah menarik tubuh Wei Beng Yan yang sedang berlutut beberapa puluh meter jauhnya, kehadapannya!

„Ai!” Wei Beng Yan berseru kaget di dalam hatinya. „Dia telah mengangkat dan menarik tubuhku tanpa menyentuh anggota badanku, jika aku berhasil mewarisi ilmu silatnya, aku pasti dapat membalas dendam dengan mudah!”

„Coba aku lihat cincin itu!” kata lagi Yu Leng.

Masih dalam keadaan berlutut Wei Beng Yan lalu menyerahkan cincin yang diminta itu, ia berada dekat sekali sehingga ia dapat melihat muka Yu Leng yang pucat, rambutnya panjang menutupi pundaknya, perawakannya jangkung kurus, tetapi kedua matanya bersinar tajam sekali. „Setelah isteriku meninggal dunia,” Yu Leng berkata sambil memeriksa cincin baja itu. „Aku lalu bertapa di lembah ini, ayahmu adalah kawan akrabku, sayang sekali ia harus mati lebih dulu......

tetapi kita semua juga harus mati bukan    ?”

Mendengar ayahnya dikatakan ‘harus mati lebih dulu’ Wei Beng Yan merasa pilu sekali, ia hanya menundukkan kepalanya.

„Melihat usiamu yang masih muda,” kata lagi Yu Leng, „aku yakin kau hanya mengenal aku sebagai Yu Leng yang bertapa di dalam lembah Yu-leng-kok ini, siapa namaku yang asli dan siapa sebenarnya aku ini, kau tentu tidak mengetahui!”

Wei Beng Yan menjadi heran mendengar suara Yu Leng yang lemah lembut itu, ia tidak menduga sama sekali bahwa orang yang sering melemparkan mayat-mayat keluar dari lembah Yu-leng-kok itu halus sekali tutur katanya.

„Semenjak aku berdiam di sini,” Yu Leng melanjutkan. „tidak ada orang yang berani menyebut namaku yang sejati. Kau telah aku terima menjadi muridku dan menurut aturan yang lazim berlaku, kau harus mengetahui namaku, tetapi namaku sudah mati. Ya, sudah mati dan terkubur bersama-sama jenazah isteriku selama sepuluh tahun yang lalu! Kau panggil saja aku Suhu dan tak usah kau bersusah payah mencari tahu tentang riwayat pertualanganku di kalangan Bu-lim!”

Wei Beng Yan hanya mengangguk ia mulai mengenal sifat dan tabiat gurunya yang aneh itu.

Yu Leng bersenyum getir dan berkata lagi. „Ilmu silat ayahmu berbeda sekali dari ilmu silat yang bakal kau pelajari, tetapi segala ilmu silat boleh dikatakan dasarnya serupa. Setelah aku mengajari ilmu Tay-yang-sin-kong (Tenaga sakti) dan Tay-yang-sin-jiauw, ditambah dengan kecerdasanmu dan ilmu silat yang kau telah warisi dari ayahmu, maka kau sudah memiliki ilmu silat yang sukar dicari tandingannya di kalangan Bu-lim. Dengan kemahiranmu nanti, soal membalas dendam adalah soal yang remeh sekali!”

Mendengar penjelasan itu Wei Beng Yan jadi girang sekali, ia menjura menghaturkan hormat dan terima kasihnya yang tinggi.

Sekonyong-konyong Yu Leng berdiri lalu sambil mengangkat tinjunya ia bergerak dan menyerang udara kosong, berbareng dengan meluncurnya tinju yang besar dan bulat itu, terdengarlah suara.

„Braakk. !”

Wei Beng Yan menjadi terkesiap melihat akibat dari pada pukulan Yu Leng itu, pohon besar yang tadi berdiri dengan teguhnya telah tumbang terpukul oleh hembusan angin tinju itu!

„Suhu,” kata Wei Beng Yan, “apakah itu akibat daripada tenaga sakti ilmu Tay-yang-sin-kong?”

„Ya!” sahut Yu Leng sambil mengangguk dan bersenyum.

„Suatu tenaga dalam yang dahsyat sekali!” Wei Beng Yan tanpa terasa berkata. „Aku bertapa di dalam lembah ini sudah sepuluh tahun lamanya, selama jangka waktu itu aku senantiasa berlatih, sehingga ilmu silatku selalu menampakkan kemajuan-kemajuan. Sebetulnya, segala benda manusia atau binatang dapat aku musnahkan dengan Tay-yang-sin-kong, bila sasaran itu berada tidak melampaui jarak lima meter! Kau harus pelajari ilmu ini dan dalam waktu dua tahun yang mendatang ini kau harus sudah dapat memusnahkan segala sesuatu dalam jarak sasaran dua setengah meter! Dan kau tentu sudah mengetahui bahwa setelah aku mewariskan ilmu-ilmu tersebut, atau setelah lewat dua tahun, aku harus menyusul isteriku di dunia baka!”

Mendengar ucapan itu dan melihat kuku yang panjang dan runcing menghiasi jari tangan gurunya, Wei Beng Yan bergidik.

„Suhu seorang yang berkepandaian sangat tinggi,” pikirnya.

,,Mengapa dia harus membunuh diri? Untuk apakah manusia hidup di dunia? Apakah hanya untuk menanti mati??”

„Sepuluh tahun yang lalu, sambil membawa jenazah isteriku aku datang di lembah ini, dan di bawah batu gunung inilah aku telah mengubur isteriku itu. Aku akan menyusulnya di alam baka, tetapi sebelum itu aku harus memperoleh kembali ketiga mustika isteriku, yang sekarang entah berada di mana.”

„To-ji (murid) tidak berani minta banyak. To-ji sangat berterima kasih telah diterima sebagai murid!”

„Orang hidup hanya menanti mati, dan kita harus mati dengan perasaan puas. !” Ucapan Yu Leng itu sangat disetujui oleh Wei Beng Yan, ia tidak takut mati asal saja tekadnya menuntut balas terpenuhi.

„Aku akan mulai menurunkan kepandaianku setelah lewat lima hari, selama waktu itu kau diperbolehkan bergerak ke mana saja kecuali meninggalkan lembah ini.”

„Baik Suhu, To-ji akan menanti kedatangan Suhu di atas batu gunung ini.”

Pada malam itu mereka tidur bersama-sama, tetapi keesokan hatinya Wei Beng Yan tidak melihat Suhunya berada di situ.

Tepat pada hari keenam, Yu Leng tiba-tiba telah muncul lalu sambil bersenyum ia mengajak Wei Beng Yan ke suatu tempat yang rupanya sering dipergunakan Yu Leng untuk berlatih ilmu silat. Maka mulai hari itu dan selanjutnya Yu Leng telah memberi pelajaran ilmu silat dengan sabar serta seksama sehingga dalam waktu dua tahun itu Wei Beng Yan telah berhasil mewarisi jurus- jurus aneh dari ilmu Tay-yang-sin-kong dan Tay-yang-sin-jiauw.

TIGABELAS

Demikianlah dua tahun telah lewat, dan bulan tujuh sudah tiba lagi.

Selama berada di dalam lembah Yu-leng-kok, Wei Beng Yan sering melihat gurunya menggantung lentera-lentera kertas merah di dekat batu gunung yang besar itu sambil menarik napas dan mengucurkan air mata, ia segera mengetahui bahwa saat untuk gurunya membunuh diri sudah hampir tiba! Tanggal sebelas lewat, tanggal duabelas, tigabelas dan empatbelas...... selama empat hari empat malam itu gurunya tak pernah berlalu dari batu gunung. Dan akhirnya tanggal limabelas tiba, gumpalan awan hitam terapung-apung di angkasa raya, angin dingin meniup santar dan hujanpun lalu turun rintik-rintik.

Suasana di waktu itu serupa benar dengan suasana pada malam pertengahan bulan tujuh dua tahun yang lalu ketika ia berjalan masuk ke dalam lembah itu atas petunjuk-petunjuk si kakek pincang Ouw Lo Si.

Tiba-tiba Yu Leng menangis sedih, demikian terharunya Wei Beng Yan sehingga ia tidak dapat menahan perasaannya yang bergolak dan akhirnya iapun menangis tersedu-sedu!

„Beng Yan! Kau telah mewarisi ilmu silatku, jika kau terus berlatih dengan rajin dan tekun, maka dalam jangka waktu lebih kurang duapuluh tahun, kau pasti akan menjadi terlebih lihay daripadaku.”

„Suhu! Janganlah kita perbincangkan lagi soal ilmu silat! Subo (isteri guru) telah meninggal dunia, aku yakin rohnya telah bersemayam di tempat yang layak, mengapa Suhu masih saja bersedih hati?”

„Kau masih muda dan belum mengetahui apa artinya cinta bagi penghidupan! Semenjak Subo mu meninggal dunia watakku berubah banyak sekali. Aku telah membunuh banyak orang yang masuk ke dalam lembah ini disebabkan mereka telah membawa lentera kertas yang bentuk maupun warnanya aku tidak sukai!” „Mengapa Suhu hanya menyukai lentera kertas seperti yang pernah To-ji bawa ke sini dua tahun yang lalu?”

„Aku sangat menyintai isteriku, bentuk serta warna lentera kertas yang kau bawa dulu adalah kesukaannya. Cintaku demikian besar terhadap Subo mu itu, sehingga aku menjadi gusar jika melihat lentera kertas yang tidak serupa dengan kesukaannya itu ”

Wei Beng Yan tidak menanyakan lagi, ia hanya merasa heran mengapa Ouw Lo Si mengetahui rahasia lentera kertas ini?

Ketika mengingat si kakek, ia meraba-raba ketiga sampul surat yang telah diberikan oleh kakek itu, tiga sampul yang akan merupakan TIGA SAMPUL MAUT bagi dirinya sendiri!!

Sekonyong-konyong Yu Leng berkata lagi dengan suara keras.

„Beng Yan! Kau harus tinggalkan aku jauh-jauh. Jika kau masih suka tinggal di sini, aku melarang kau datang lagi sebelum tengah malam, di waktu itu yang harus kau perbuat yalah tancap dua batang kayu di depan batu gunung ini!”

„Suhu! Subo pasti tidak menyetujui tindakan Suhu ini,” sahut Wei Beng Yan yang mengetahui bahwa gurunya ingin membunuh diri.

„Suhu dapat memerintahkan apa saja, tetapi kali ini To-ji harus membangkang, To-ji tidak ingin meninggalkan Suhu sendirian di sini!”

Yu Leng bersenyum puas melihat kebaktian muridnya, lalu sambil merogoh sakunya ia berkata lagi. „Ketiga jarum Yan-bie-tin ini harus DIKEMBALIKAN kepada pemiliknya, yang terkenal di kalangan Kang-ouw sebagai si gaetan baja tinju besi!”

Setelah berkata demikian, ia lalu mengulur tangannya untuk menyerahkan ketiga jarum tersebut. Tetapi ketika Wei Beng Yan pun mengulurkan tangannya untuk menerima jarum-jarum itu, tiba- tiba Yu Leng membentak.

„Enyahlah dari hadapanku!”

Berbareng dengan berakhirnya bentakan itu, dengan tiba-tiba tubuh Wei Beng Yan jadi terpental ke belakang, ia berusaha menahan agar tidak jatuh tetapi suatu tenaga yang dahsyat sekali telah memaksanya bergulingan di tanah!

„Akan kusergap dia!” pikirnya selagi bergulingan di tanah.

Maka begitu lekas dapat berdiri lagi, Wei Beng Yan segera menerkam gesit seperti harimau, ke arah tadi Yu Leng sedang duduk bersila, ia telah menubruk tempat kosong, Yu Leng sudah tidak berada di situ lagi!

„Suhu! S u h u !” ia berteriak kalap.

Tidak terdengar suara sahutan. Ia berusaha mencari, tetapi setelah hampir seluruh pelosok lembah itu ia putari, Yu Leng tetap tidak kelihatan! Maka dengan tindakan lesu ia berjalan balik ke arah batu gunung, tatkala itu hari sudah menjelang tengah malam. Wei Beng Yan berjalan sambil menundukkan kepala, ketika hampir tiba di batu gunung ia menjadi terperanjat sekali -- di atas batu gunung itu tampak Yu Leng tengah berdiri sambil mendongak ke langit, yang aneh kini Yu Leng menutupi mukanya dengan selembar kain! Dengan satu loncatan ia sudah berada di depan batu besar itu.

„Suhu! Apakah yang telah terjadi?” tanyanya. „Aku telah berputar- putar mencari.”

„Mulai hari ini kau tidak usah usil-usil urusanku lagi, sekarang pergilah!”

„Suhu !”

„Pergi!”

Wei Beng Yan menjadi heran sekali, mengapa sikap dan nada gurunya mendadak berubah demikian kasarnya. Ia sebagai seorang murid tidak berani membangkang, setelah diusir ia segera bertindak untuk meninggalkan gurunya meskipun hatinya merasa bingung akan perintah gurunya itu. Ia berjalan sambil sebentar- sebentar menoleh ke belakang, ketika sudah berada beberapa ratus meter dekat mulut lembah, tiba-tiba ia mendengar gurunya memanggil.

„Beng Yan!!”

Wei Beng Yan memutar tubuhnya dengan mata terbelalak, ia betul- betul menjadi bingung bukan main, apakah Yu Leng memanggilnya agar ia kembali? „Beng Yan!! Apakah kau tidak mendengar suaraku?”

„Ya Suhu! To-ji mendengar suara panggilan Suhu!” seru Wei Beng Yan dengan hati berdebar-debar

„Kalau begitu kau kemarilah!”

Wei Beng Yan lekas-lekas bertindak untuk menghadap gurunya. Setelah berada dekat batu gunung lagi, Yu Leng lalu berkata.

„Apakah kau ketahui ini benda apa?” sambil mengeluarkan satu barang dari dalam bajunya.

Wei Beng Yan terkejut melihat benda itu, yalah sarung tangan Ciam-hua-giok-siu. Ia mengetahui sebelum masuk ke dalam lembah bahwa Suhunya memiliki tiga benda pusaka, tetapi benda pusaka itu telah dicuri orang, entah siapa. Yu Leng sendiri telah mengatakan bahwa ia ingin mencari ketiga pusaka itu sebelum mati, kenapa sekarang sarung tangan itu berada di tangannya? Apakah selagi ia memutari lembah, Yu Leng telah berhasil mendapatkan kembali pusaka itu?

„Tidak mungkin!” pikirnya.

„Apakah itu bukan sarung tangan Ciam-hua-giok-siu?” tanyanya kepada Yu Leng.

„Betul!” sahut Yu Leng sambil melemparkan benda itu kepada Wei Beng Yan. „Terimalah pusaka itu sebagai tanda mata dariku!” Wei Beng Yan meneliti benda itu sesaat lamanya. „Apakah dengan pemberian tanda mata ini, Suhu ”

„Tidak! aku tidak jadi membunuh diri! Aku telah mengambil keputusan baru, yalah hidup lagi sepuluh tahun untuk membereskan suatu urusan yang belum aku selesaikan. Kau telah mahir melancarkan, meskipun belum begitu sempurna, ilmu-ilmuku yang sakti, aku hanya khawatir. ”

„Apakah yang Suhu khawatirkan?”

„Pepatah kuno mengatakan. Orang dapat menggambar seekor macan dengan kulitnya yang loreng, tetapi tiada satu orangpun mampu melukis tulangnya sekali! Atau dengan lain perkataan, kita dapat mengenal orang, tetapi kita tak dapat mengenal isi hatinya!”

„Apakah Suhu khawatir akan kepatuhanku terhadap Suhu?”

„Tidak! Aku cukup mengenal keluhuran hatimu, tetapi meskipun demikian, dalam jangka waktu sepuluh tahun ini kau dapat berubah pikiran serta pendapat, mungkin juga kau akan membenci aku! Maka untuk mencegah kejadian itu, aku kira mulai hari ini sebaiknya kita putuskan saja hubungan kita sehagai guru dan murid!”

Jika pada waktu itu guntur meledak tepat di sisi telinganya, mungkin Wei Beng Yan tidak demikian kaget seperti ia mendengar ucapan Yu Leng itu. Apakah ia telah mengucapkan sesuatu yang menyinggung perasaan gurunya? Yu Leng memang seorang yang angkuh tetapi selama telah tinggal bersama-sama lebih dari dua tahun, ia telah dapat menyesuaikan diri dengan keangkuhannya itu. „Suhu! Mengapakah Suhu berpikiran demikian?”

„. . . . . . . . .”

„Jika Suhu masih tidak percaya akan kepatuhanku itu, To-ji bersedia bersumpah untuk mendengar segala perintah suhu!”

„Kau dapat melanggar sumpahmu sendiri!”

„Biarlah langit menjadi saksi bahwa jika To-ji melanggar sumpah, To-ji akan tidak diberkahi dalam usaha To-ji membalas dendam!”

„Ha, ha, ha! Jika kau berani bersumpah demikian, mau tak mau aku harus percaya bahwa hubungan kita tetap masih ada dan tak akan retak kelak!”

Wei Beng Yan berlutut untuk memberi hormat, tetapi Yu Leng mengebat lengan bajunya sambil berkata.

„Jangan berlutut! Sekarang telah tiba saatnya untuk kau pergi dan membereskan urusanmu sendiri, kesempatan untuk kita berjumpa lagi di kemudian hari masih banyak!”

Wei Beng Yan telah tinggal bersama gurunya selama dua tahun dan ternyata gurunya itu seorang yang cukup lemah lembut meskipun wataknya angkuh, ia telah manganggap gurunya itu sebagai ayahnya sendiri, maka ketika diperintahkan untuk pergi, ia merasa berat sekali untuk mengangkat kaki dari lembah itu, tetapi ia tidak berani membangkang, bukankah ia baru saja bersumpah untuk mendengar segala perintah gurunya? Berpikir sampai di situ ia segera memberi hormat, lalu bertindak pelahan-lahan keluar dari dalam lembah Yu-leng-kok.

EMPATBELAS

Wei Beng Yan berkelana kebanyak tempat untuk mencari ketiga musuh ayahnya, tetapi ia tidak berhasil, maka ia lalu menuju ke rumah seorang sahabat ayahnya yang bernama Gan Leng Hong, pada siapa ia telah menitipkan pedang ayahnya dua tahun yang lalu.

Ia menjadi terkejut sekali ketika mendapat kenyataan bahwa Gan Leng Hong kini sudah bukan lagi seorang jago silat yang disegani. Gan Leng Hong telah menjadi seorang cacad kedua matanya

sudah buta!

„Gan Supee, apa yang telah terjadi atas dirimu?” tanya Wei Beng Yan.

Gan Leng Hong bersenyum getir dan tidak menyahut. „Gan Supee, siapakah yang telah menganiayamu?”

„Ai! Aku tidak nyana kedua jahanam itu ingin juga mencelakai aku!” kata Gan Leng Hong sambil menggeleng-gelengkan kepalanya,

„Ilmu silat yang telah aku pelajari dengan susah payah telab dibikin musnah oleh kedua iblis itu!”

„Siapakah kedua iblis itu?”

„Lebih baik kau tidak mengetahui siapa iblis itu, jika kau berhasil membalas dendam ayahmu aku sudah merasa puas!” „Tetapi aku tidak akan merasa puas jika tidak mengetahui siapa musuh-musuh Gan Supee yang kejam itu!”

„Terimalah pedang Ku-tie-kiam ayahmu ini, seperti telah aku katakan tadi, jika kau berhasil membunuh ketiga musuh ayahmu, aku sudah merasa puas!”

„Aku tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum Gan Supee memberitahukan siapa yang telah menganiaya Gan Supee!”

„Beng Yan, apakah gunanya kau mendesak demikian rupa? Apakah kau kira kedua mataku ini akan dapat melihat lagi jika aku memberitahukan juga siapa musuh-musuhku itu?”

„Mata yang sudah dirusak tidak akan dapat melihat lagi. tetapi orang yang membutakan mata itu harus menerima hukuman! Maka tolonglah Gan Supee beritahukan siapa musuh-musuh Gan Supee itu dan apa sebabnya jahanam-jahanam itu berbuat demikian kejam terhadap Gan Supee?”

Gan Leng Hong menundukkan kepalanya berpikir, ia merasa kewalahan juga didesak terus.

„Baiklah jika kau ingin juga mengetahui,” sahutnya. „Kedua iblis yang telah menganiayaku adalah orang yang telah menewaskan ayahmu!”

„Hah! Soat-hay-siang-hiong    ?” „Betul! Soat-hay-siang-hiong! Ha, ha, ha! Kedua mataku dibikin buta, ilmu silatku musnah karena urat di punggungku telah diputuskan! Ha, ha, ha ”

Wei Beng Yan menjadi terharu sekali melihat keadaan Gan Leng Hong yang sudah seperti orang gila itu.

„Tetapi mengapa mereka harus menganiaya Gan Supee?” tanyanya

„Karena aku adalah sahabat terkarib ayahmu, karena khawatir aku membikin pembalasan, mereka telah menganiaya aku dengan mempergunakan racun sehingga aku pingsan dan di waktu inilah...... aku masih dapat merasakan suatu besetan kulit di punggungku setelah itu aku tidak dapat berdiri lagi...... tidak bisa berdiri lagi! Ha, ha, ha ”

Suaranya yang seram itu mendadak berhenti, Wei Beng Yan menghampiri sambil memanggil-manggil Supeenya, tetapi yang dipanggil telah menjadi mayat!

Baru saja keluar dari lembah Yu-leng-kok, Wei Beng Yan telah ketemui kekejaman kedua iblis musuh besarnya itu, sehingga napsunya membalas dendam semakin berkobar. Setelah mengubur jenazah Gan Leng Hong ia segera menuju ke pegunungan Kun-lun-san untuk mencari musuhnya itu, tetapi ia tidak berhasil menemui kedua iblis itu. Maka pada malam tanggal limabelas bulan delapan menurut hitungan Im-lek, karena tertarik oleh keindahan sang puteri malam, maka ia telah pergi pesiar dengan perahu di atas telaga tong-teng, sehingga di luar dugaan sama sekali di situ ia bertemu dengan Siauw Bie. Dan ketika ia hampir berhasil membalas dendam ayahnya, yaitu ketika bertempur dengan kedua iblis Soat-hay-siang-hiong, mendadak suasana di seluruh telaga menjadi gelap gulita!

Tatkala itu Siauw Bie juga sudah berada di atas Lui-tay dengan maksud membantu Wei Beng Yan menggempur kedua iblis itu, tetapi ketika suasana menjadi gelap, ia jadi gugup. Dalam kegelapan ia memanggil Wei Beng Yan.

„Hei! Kau berada dimana?!”

Siauw Bie terpaksa memanggil Wei Beng Yan dengan ‘Hei’, karena waktu itu ia belum mengetahui nama si pemuda. Ia terkejut bukan main ketika merasa lengannya dipegang orang, ia meronta dan berusaha membebaskan tangannya itu sambil melepaskan satu jotosan dengan tangannya yang bebas, jotosannya itu ditangkis dan ia menjadi kaget berbareng girang ketika mendengar.

„Siauw siocia, jangan menyerang! Akulah yang memegang tanganmu!”

Itulah suara Wei Beng Yan, pemuda pujaan hatinya! Sejenak kemudian ia mendengar lain orang membentak.

„Hei, kamu berdua! Mengapa masih berlaku sungkan? Ayoh ikut aku!”

Siauw Bie menjadi bingung mendengar ucapan orang yang ia tak kenal itu, tetapi terdengar Wei Beng Yan, berkata.

„Suhu! Kedua orang itu adalah musuh-musuh besarku yang     ” „Cukup!” orang itu memotong. „Kedua orang itu tidak boleh kau lukai! Mereka adalah kawan-kawan karibku!” sahut Yu Leng.

Wei Beng Yan betul-betul tidak percaya jika Yu Leng bisa memerintahkan demikian, apakah dia ini Yu Leng? Demikianlah ia menanya dirinya sendiri, tetapi ketika mengingat hanya gurunya saja seorang yang dapat memadamkan semua lampu dan obor demikian cepatnya, rasa ragu dan curiganya mendadak lenyap.

„Beng Yan! Kau harus, lekas-lekas berlalu dari sini! Ayoh ikut aku!” kata lagi Yu Leng.

„Baik Suhu!” sahut Wei Beng Yan sambil melepaskan tangan Siauw Bie dan mengikuti Yu Leng.

„Kau mau ke mana?” tanya Siauw Bie.

„Entahlah !”

„Aku ikut! Jangan tinggalkan aku!”

„Siauw siocia, aku ”

„Beng Yan, ajaklah siocia itu bersamamu!” kata Yu Leng.

Bukan main girangnya Wei Beng Yan mendengar perintah itu, ia sambar tangan Siauw Bie lalu sambil memeluk gadis itu ia kerahkan ilmu meringankan tubuhnya Gak-hie-to-cui (Buaya hitam menyeberangi sungai), untuk menyeberang ke tepi telaga dalam suasana gelap gulita. Setelah tiba di sana, mereka tidak melihat Yu Leng, sejenak kemudian awan hitam membuyar, bulan purnama bersembul kembali, dua pasang mata bertemu dan mendebarkan kedua insan. Meskipun kedua pasang bibir tertutup rapat tetapi, mereka tokh mengerti apa yang terkandung dalam lubuk hati mereka masing-masing!

„Tadinya aku mengira kau seorang pelajar yang mengerti juga sedikit ilmu silat, setelah melihat kau bertempur...... Ai......” kata Siauw Bie sambil bersenyum manis.

„Siauw siocia terlalu memuji!”

„Apakah kau orang yang telah beruntung mewarisi ilmu silat Yu Leng, orang sakti dari lembah Yu-leng-kok?”

Wei Beng Yan bersenyum dan mengangguk.

„Tetapi mengapa Yu Leng tidak membunuh diri setelah mewariskan ilmunya?”

Wei Beng Yan menundukkan kepalanya dan menghela napas panjang.

„Kisahnya agak panjang,” sahutnya, „aku tidak dapat menjelaskan di sini.”

Setelah itu ia lalu berjalan mundar-mandir di tepi telaga itu sambil menggendong kedua tangannya di belakang. „Ayahku telah tewas dianiaya orang,” katanya lagi, „mengapa guruku justru melarang aku membunuh orang yang telah membunuh ayahku itu? Ai ”

Tidak lama kemudian tampak sebuah perahu mendatangi, ketika sudah menepi kedua muda mudi itu dapat mengenali bahwa orang yang berada di atas perahu adalah Yu Leng sendiri.

„Suhu!” Wei Beng Yan memanggil sambil menghampiri.

Siauw Bie yang pernah mendengar bahwa Yu Leng itu adalah seorang jago silat yang luar biasa lihaynya, segera memberi hormat seraya berkata.

„Aku Siauw Bie merasa heruntung sekali dapat menjumpai Locianpwee!” sambil coba melihat wajah Yu Leng yang ditutupi oleh selembar kain itu, ia menjadi bergidik ketika dapat melihat sepasang mata yang bersinar terang.

„Beng Yan,” kata Yu Leng, „katakanlah jika kau merasa tidak puas terhadapku!”

„To-ji hanya merasa heran Suhu tidak memperkenankan To-ji membunuh Soat-hay-siang-hiong!”

„Jika kau masih menganggap aku sebagai gurumu, kau harus mentaati segala perintahku, apakah kau sudah mulai membangkang?”

Wei Beng Yan jadi sangat putus asa sekali. „Apa gunanya aku meyakinkan ilmu yang dahsyat,” katanya di dalam hati, „jika aku dilarang membunuh musuh-musuh besarku?”

Yu Leng menatap tajam ke arah Siauw Bie, lalu ia berkata.

„Jadi kalian berdua tidak ingin berpisah? -- Baiklah kalian harus menanti kedatanganku di rumah gedung keluarga Tie di kota Bu- ouw pada hari lusa.”

Setelah selesai bicara, dengan satu loncatan yang lincah bukan main ia telah berlalu dari situ.

Suasana di telaga sudah terang lagi, dari kejauhan tampak orang- orang yang barada di atas perahu atau kapal sungai, semua tengah sibuk, itulah orang-orang Siauw Cu Gie!

„Siauw siocia,” kata Wei Beng Yan, „untuk tidak membikin kakak laki-lakimu sibuk tidak keruan, aku kira ada baiknya kau balik saja kesana!”

Dengan tiba-tiba wajah Siauw Bie berubah jadi cemberut masam, lalu ia menyahut dengan sikap gusar yang dibikin-bikin.

„Barusan kau sendiri yang memperkenankan aku mengikutimu, sekarang sekonyong-konyong kau berubah pikiran!”

Wei Beng Yan bersenyum.

„Baiklah, mari kita berangkat ke kota Bo-ouw!” sahutnya. Dari telaga tong-teng mereka langsung menuju ke kota tujuan mereka dan tiba di sana lebih cepat daripada Yu Leng, yang tiba di situ pada malam harinya.

Demikianlah Wei Beng Yan telah bercerita tanpa mengetahui bahwa Ouw Lo Si dan Khouw Kong Hu telah mendengar ceritanya itu.

„Ouw Si-ko,” Khouw Kong Hu berbisik, „apakah kisah Wei Beng Yan itu dapat dipercaya?”

„Orang yang telah ditembusi panah asmara, tidak mungkin berdusta terhadap kekasihnya!” sahut Ouw Lo Si dengan suara rendah, „Tetapi kita harus senantiasa berusaha, agar kita tidak bentrok dengannya. Karena kini ia betul-betul seorang pemuda yang dahsyat sekali!”

Tetapi suara yang rendah itu ternyata dapat juga didengar oleh Wei Beng Yan, yang segera terdengar menegur.

„Apakah Suhu sudah kembali?”

„Ai coba lihat, betapa hebat indera pendengarannya!” Ouw Lo

Si berbisik dengan suara yang hampir tidak terdengar.

Khouw Kong Hu yang sudah sangat gelisah, ingin segera meloncat keluar dari tempat sembunyi, bagus saja Ouw Lo Si keburu menahan jika tidak ia tentu sudah dapat dilihat oleh Wei Beng Yan yang ketika itu sudah berdiri dekat jendela. Kalau saja Wei Beng Yan melongok ke bawah, maka terpergoklah perbuatan Ouw Lo Si dan Khouw Kong Hu yang telah mencuri mendengar percakapan orang itu.

Justru pada saat yang gawat itu, tiba-tiba terdengar suara.

„Tok! Tok! Tok!” yang nyaring sekali. Suara itu adalah suara orang mengetok kayu sebagaimana lazimnya dilakukan oleh penjual bakmi atau bakso, yang dibarengi dengan suara orang menyebut.

„O-mi-to-hud!”

Dan tiba-tiba tampak sesosok bayangan mencelat cepat laksana kilat melewati tembok yang mengelilingi rumah gedung itu. Sekejapan saja bayangan itu telah masuk ke dalam ruangan besar di mana Wei Beng Yan dan Siauw Bie berada.

Ilmu meringankan tubuh yang telah diperlihatkan oleh bayangan itu telah mempesonakan Ouw Lo Si dan Khouw Kong Hu.

Empat pasang mata yang di dalam maupun yang di luar ruangan dengan tertib mengikuti gerak-gerik bayangan yang baru datang itu, mereka dapat melihat seorang Nikouw yang sudah berusia lanjut, mengenakan jubah warna abu-abu, tengah berdiri mengawasi Wei Beng Yan dan Siauw Bie bergantian. Tangan kirinya memegang kayu tok-tokan yang mengkilat, sedang tangan kanannya memegang sepotong kayu yang diberi lobang panjang di tengah-tengahnya.

Wei Beng Yan mengkerutkan keningnya sejenak, kemudian sambil bersenyum ia berkata. „Apakah Suthay (panggilan kepada seorang rahib wanita) mencari seseorang?”

„Siapakah sebenarnya Sicu (saudara) ini? Mengapa berada di sini?” Nikouw itu balik bertanya dengan tidak kalah herannya.

Wei Beng Yan menjadi bingung ditanya demikian, karena ia datang di situ atas perintah gurunya tanpa diberitahukan apa sebabnya.

Kemudian Si Nikouw mengangkat kepalanya dan memperhatikan ke tujuh lentera kertas merah yang tergantung di situ.

„Hm! Ji Cu Lok pun berada di sini?” kata si Nikouw. „mengapa aku tidak melihat dia?”

Pertanyaan itu membikin Wei Beng Yan menjadi tambah bingung.

„Siapa itu yang dipanggil Ji Cu Lok?” pikirnya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar