Sampul Maut Jilid 03

Jilid 03

„Di waktu aku masih muda,” kata Kong-ya Coat, „aku pernah berkelana ke mana-mana, namun goa Long-ya di daerah Sit-mi ini aku tidak mengetahui dimana letaknya. Jika kedua Tay-hiap ingin membalas dendam Kiu Tay-hiap, jalannya tidak sukar!”

„Ya!” sahut Ouw Lo Si. „Kita hanya perlu menanyakan Pek Tiong Thian di mana letak goa Long-ya itu!”

„Cocok. Dialah alamat yang paling tepat!” kata Kong-ya Coat. Ouw Lo Si dan Khouw Kong Hu bermalam di tempat si Dewa sakti malam itu. Esok harinya, dengan alasan bahwa mereka ingin pergi ke pegunungan Tiang-pek-kiam, mereka ingin segera berlalu dari Tan-kwi-san-cong, tetapi Kong-ya Coat mendesak agar mereka dapat menunggu sampai hari berlangsungnya pertemuan Tan-kwi- piauw-hiang-song-gwat-ta-hwee yang sudah hampir tiba. Demikianlah mereka jadi menginap lagi.

Beberapa hari telah lewat, dan ke Tan-kwi-san-cong itu berturut- turut telah datang banyak jago-jago silat dari kalangan Kang-ouw, dan Kong-ya Coat menyambut mereka semua dengan seksama dan ramah-tamah.

Selama berdiam di situ, Ouw Lo Si dapat melihat atau sedikitnya mengerti watak tuan rumahnya, dan ia menjadi lebih heran tentang diselenggarakannya pertemuan tersebut. Jika Kong-ya Coat betul- betul ingin memberikan Ciam-hua-giok-siu sebagai hadiah kepada pemenang dari pertandingan ilmu silat itu, ia sungguh tidak dapat mengerti tindakan tuan rumahnya itu.

Dan jika Kong-ya Coat sengaja mengumpulkan para jago silat untuk kemudian dibunuh, perbuatan itu tak perlu baginya, karena ilmu silatnya sangat lihay, maka ia mampu mencari dan membunuh mereka di tempatnya masing-masing!

Tetapi jika Kong-ya Coat ingin memikat pencuri benda ajaib Tong- beng-oey-hong dan pil mujizat Cu-gan-tan, itupun tidak masuk diakal, karena pencuri itu pasti akan datang tanpa membawa kedua mustikanya yang ajaib itu! Demikianlah Ouw Lo Si berusaha menebak maksud daripada pertemuan adu ilmu silat itu. Dan dia hanya dapat menanti saja tanggal mainnya.

Pada tanggal empatbelas bulan delapan di Tan-kwi-san-cong telah berkumpul banyak jago-jago silat. Selama itu Ouw Lo Si memperhatikan bahwa Kong-ya Coat seolah-olah sedang menantikan kedatangannya satu orang tertentu.

Siapakah gerangan orang yang ditunggu-tunggu itu    ??

Ouw Lo Si tak dapat menebak, dan untuk menanyakan ia merasa sungkan!

Pada bulan delapan menurut perhitungan Imlek itu, pohon-pohon Tan-kwi sudah berbuah dengan suburnya di pegunungan Hoa-san. Tatkala itu adalah tanggal empatbelas, di bawah sebuah pohon Tan-kwi tampak Ouw Lo Si tengah berdiri sambil menikmati malam bulan purnama. Ia mengharap malam yang terang benderang itu lekas-lekas berlalu, karena segala keraguannya mungkin akan lenyap dan kesempatan untuk ia berlalu segera akan datang. Tetapi apa yang kemudian terjadi? Sungguh di luar dugaamnya bahwa dia akan meninggalkan tempat itu dengan perasaan takut yang hebat serta penasaran!

Kejadian tersebut secara sepintas lalu dapat dituturkan sebagai berikut.

Pada waktu itu, yang datang hadir di pertemuan adu silat Tan-kwi- piauw-hiang-song-gwat-ta-hwee sudah berjumlah kira-kira tujuhpuluh orang lebih, dan mereka semua adalah tokoh-tokoh yang terkenal dalam dunia Kang-ouw.

Antara yang hadir tampak pemimpin partai silat dari ibu kota Lee Beng Yan, jago silat pedang dari propinsi Hok-kian Lim Ceng Yao, si Raja naga dari telaga Tong-teng Siauw Cu Gie, si burung elang dari propinsi San-tung Song Thian Hui dan banyak yang lain- lainnya lagi.

Yang ganjil yalah semua tokoh-tokoh persilatan tersebut, sekembalinya dari pertemuan itu, bukan saja telah menjadi pecundang, malah mereka tampaknya tak ingin, atau merasa takut untuk merebut kembali nama serta kedudukan mereka sebagai tokoh-tokoh persilatan yang tenar di kalangan Kang-ouw!

Lebih heran lagi, setelah kembali dari pertemuan itu, mereka tak berani menceritakan jalannya pertemuan tersebut. Jika ada yang menanyakan, mereka hanya dapat menghela napas panjang sambil bersenyum getir. Bahkan ada diantara mereka bersembunyi untuk mengelakkan pertanyaan-pertanyaan!

Ada beberapa orang yang karena rasa penasarannya, telah pergi ke pegunungan Hoa-san, untuk menanyakan langsung kepada Kong-ya Coat, tetapi setibanya di sana, mereka telah dinasehatkan oleh murid-murid Kong-ya Coat untuk pulang saja, karena katanya, pemimpin mereka menolak untuk menerima tamu atau siapapun!

Sang waktu memang ganjil, lambat sekali bagi orang yang sedang menunggu, tetapi pesat laksana angin bagi orang yang sedang berpesta. Pertemuan Tan-kwi-piauw-hiang-song-gwat-ta-hwee yang telah membawa malapetaka itu, dengan pesat pula telah berlalu dua tahun. Dan selama dua tahun itu, gelombang di kalangan Kang- ouw telah mengamuk entah betapa dahsyatnya!

Peristiwa-peristiwa yang penting antaranya adalah.

Sai-pak-siang-liong (dua naga dari daerah utara) telah berkelana dan mengganas ke daerah timur.

Sepasang pedang Kim-si-liong-sat-kiam telah menyapu delapan markas partai silat Tai-hu.

Si Ahli nujum kipas baja Ouw Lo Si yang pernah menggetarkan Rimba persilatan, setelah mata kirinya dan kaki kirinya di bikin cacad, ia telah bersembunyi di suatu daerah dekat lembah Yu- leng-kok, tetapi kemudian didapat kabar bahwa dia telah kembali berkecimpungan di kalangan Kang-ouw.

Ketiga mustika milik Thian-hiang-sian-cu telah muncul lagi dan membuat heboh kalangan Rimba persilatan, tetapi tiada seorang pun mengetahui siapa pemiliknya sekarang!

Pintu untuk masuk ke lembah Yu-leng-kok telah tertutup, karena penghuninya telah menjumpai seorang yang akan diwariskan ilmu silatnya yang maha tinggi.

Si pemabok Si Lam telah keluar dari partai silat Kiong-ka-pang dan telah memperoleh ilmu dari pendeta sakti Sam Cong Tojin. Tetapi tabiat dan sifatnya tak berubah yalah dia masih berkelana dan minum arak sesukanya, dan sewaktu-waktu dilihat orang di kalangan Bu-lim!

Disamping itu semua, yang terhebat dan mysterius adalah pembunuhan kejam ditempatmja Kiu It -- Hui-ing-san-cong. Tiada seorang pun yang mengetahui siapa pembunuhnya dan dengan maksud apakah si pembunuh telah melakukan perbuatan yang kejam itu??

Semua peristiwa-peristiwa itu telah menjadi buah pembicaraan orang, namun pertemuan Tan-kwi-piauw-hiang-song-gwat-ta- hwee yang diselenggarakan oleh Kong-ya Coat tetap menarik sekali perhatian orang banyak. Dan seperti telah disebutkan di atas, akibat daripada pertemuan adu silat tersebut telah membuat semua tokoh-tokoh persilatan yang ikut serta, mengalami suatu ancaman hebat!!

Demikianlah peristiwa-peristiwa penting yang telah terjadi selama dua tahun itu.

◄Y►

Untuk menyingkap tabir rahasia semua ini, marilah kita ikuti ketua partai silat Tong-teng yang bernama Siauw Cu Gie, si Raja naga dari telaga Tong-teng, yang hendak mengadakan pemilihan seorang ketua untuk memimpin semua jago-jago silat yang hidup di daerah perairan.

Pertengahan bulan delapan sudah tiba lagi, dan pemandangan di atas maupun di sekitar telaga Tong-teng yang biasanya ramai dengan perahu-perahu pelancong yang simpang siur, kini suasana di sekitar telaga tersebut telah menjadi sunyi-senyap, gawat!

Nyanyian para nelayan yang biasanya berkumandang dan merayu-rayu kini tidak terdengar lagi. Hanya suara kodok-kodok atau tonggeret-tonggeret sajalah yang terdengar saling sahut, yang telah membuat suasana di situ bertambah tegang!

Di bawah sinar bulan purnama yang terang benderang itu, di suatu tempat yang luas, tampak sejumlah perahu yang besar atau yang kecil, lebih banyak dari pada biasanya, tengah mengambang di atas permukaan air telaga itu.

Dari suatu pantai kemudian tampak sebuah perahu nelayan kecil meluncur dengan tenang sekali. Seorang nelayan yang bertudung lebar sedang duduk di buritan sambil mengayuh perahu itu. Di hadapannya tampak seorang pemuda yang berhalis tebal, bersorot mata tajam, berparas tampan serta berpakaian baju hijau sedang berdiri di haluan perahu seraya bernyanyi dengan nada yang rendah dan sedih.

„Bulan purnama kapan keluarnya?

Bersinar di langit sangat megahnya,

Berapa luas adanya langit?

Adalah suatu pertanyaan yang sangat sulit.

Aku ingin  pulang  mengikuti  angin, Namun      khawatir      suasana      menjadi      dingin. Bersikap  sabar  menanti kesempatan, Mungkin maksud hatiku akan kesampaian!” Setelah si pemuda selesai bernyanyi, maka dari itu pantai tampak sebuah perahu yang besar meluncur di atas telaga mengejar perahu nelayan si pemuda yang kecil, yang lalu berhenti untuk menanti kedatangannya perahu yang besar itu.

Di atas perahu itu tampak dua orang laki-laki yang berpengawakan besar dan mengenakan pakaian serba hitam tengah berdiri tegak di haluan perahu. Ketika perahu itu sudah berada beberapa belas tombak lagi dari perahu nelayan, terdengar si pemuda bernyanyi lagi.

„Bulan     yang     bundar      dan      besar      di      langit, Dapat berubah bentuknya. Meskipun     banyak     rintangan     dan     soalnya      sulit, Aku harap dapat lekas mengatasinya!”

Kedua perahu sudah berada dekat sekali satu sama lain, seorang yang berpakaian serba hitam, itu segera membentak.

„Hei bung! Di sini bukan tempat untuk orang bernyanyi-nyanyi! Lebih baik kau lekas pulang!”

Tetapi si pemuda terus memandang bulan dan tak menghiraukan sama sekali bentakan itu.

„Hei bung! Apakah kau tidak mengerti teguranku? Apakah kau sengaja ingin mengantarkan jiwamu?!” kata lagi orang yang berpakaian serba hitam dengan gusar.

Si pemuda jadi mendongkol mendengar kata-kata yang kasar itu dan berbalik menanya dengan sikap yang tenang. „Hei bung! Kan menegur siapa?”

Si baju hitam menjadi makin gusar, dan membentak lagi. „Jika bukan menegurmu siapa lagi?!”

Tetapi setelah memperhatikan bahwa pemuda itu bukan orang yang ia dapat perlakukan sesukanya saja, dengan nada yang agak sabar ia lalu berkata.

„Malam ini adalah malam yang baik sekali. Kau seharusnya bersenang-senang. Mengapa justru kau datang ke sini mencari penyakit?! Aku menasihatkan agar kau lekas-lekas pulang!”

Si pemuda menoleh kepada tukang perahu diburitan seraya berkata .

„Ayoh, kita menuju kesana!” Sambil menunjuk ke suatu arah.

„Hei bung! Jangan kesitu! Aku nasihatkan agar kau lekas-lekas pulang ”

„Telaga Tong-teng yang luas ini adalah untuk orang pesiar di atas perahu pada malam bulan purnama ini menikmati keindahan alam. Jika aku dilarang berbuat begitu, aku betul-betul menjadi heran! Hei bung! Aku ingin menanya, mengapa aku dilarang pesiar di telaga ini? Apakah kau ingin mengangkangi telaga yang indah ini ?!”

„Pui Lo-ji! Jangan hiraukan pertanyaan itu. Coba kau tengok siapa yang lagi mendatangi! Celaka! Kita telah membiarkan orang pesiar di atas telaga pada malam ini!” kata orang yang kedua. Betul saja pada waktu itu tengah mendatangi sebuah kapal dengan tiga tiang layar dengan pesat sekali. Kedua orang yang berpakaian serba hitam nampaknya gemetaran, seolah-olah menantikan hukuman akibat kelalaian mereka itu!

Di bawah sinar bulan purnama, si pemuda dapat juga melihat bahwa kapal yang sedang mendatangi itu dicat merah muda, bahkan ketiga layarnya juga dicat merah muda. Yang lebih aneh lagi orang yalah yang mengemudikan kapal itu adalah seorang gadis yang cantik jelita dengan berpakaian serba merah muda. Di atas dek haluan kapal itu tampak duduk seorang gadis yang luar biasa cantiknya. Yang juga berpakaian serba merah muda!

Kapal itu dicat merah muda, anak buah dan pemimpinnya adalah gadis-gadis yang mengenakan pakaian merah muda, dan ‘teng’ di atas kapal itu juga berwarna merah muda, maka di atas telaga yang sunyi dan luas itu, di bawah sinar bulan purnama, terwujudlah suatu pemandangan yang seolah-olah keadaan di dalam dunia impian!

Begitu kapal tersebut berendeng dengan perahu yang besar, maka kedua orang yang berpakaian serba hitam itu berseru.

„Jie siocia! Apakah kau baik-baik saja?” Sambil membungkukkan tubuh mereka memberi hormat.

Gadis yang duduk di haluan kapal menyahut. “Hm!” Lalu memutar kedua matanya yang bundar dan bening ke atas tubuh si pemuda yang mengenakan baju hijau. „Siapa orang itu?!” tanyanya kepada si baju hitam. „Apakah kamu tidak memberitahukan kepadanya bahwa malam ini telaga Tong- teng menjadi daerah yang terlarang untuk umum?!”

„Aku telah memberitahukannya,” sahut si baju hitam. „Tetapi ia bilang telaga yang luas ini adalah terbuka untuk orang menikmati keindahan alam! Jika Jie siocia tidak pernah menasehatkan agar jangan turun tangan sebelum membikin persiapan, akupun pasti sudah menghajar dia itu!”

Si gadis hanya menggeram. „Hm!” Lalu ia mengawasi si pemuda yang tetap berdiri tegak mendengari percakapan mereka tadi, dan sama sekali ia tidak menunjukkan sikap ketakutan atau khawatir.

„Kau ini siapa dan datang ke sini hendak berbuat apa?” tanya si gadis.

„Pada malam pertengahan bulan delapan ini, adalah waktu yang baik untuk pesiar di atas telaga, mendayung perahu sambil menik¬mati suasana yang indah permai, dan itulah maksud kedatanganku di sini ”

„Telaga Tong-teng pada malam ini memang sebetulnya baik sekali dinikmati. Tetapi telaga ini telah menjadi daerah yang terlarang untuk umum malam ini. Jika kau tidak mengetahuinya, kitapun tak dapat mempersalahkanmu  !”

„Mengapa daerah telaga ini menjadi terlarang pada malam ini? Aku mohon siocia sudi memberi penjelasan kepadaku!” „Jika kau bukan dari kalangan Kang-ouw, meskipun aku menjelaskan kepadamu, kau takkan mengerti!”

„Tetapi...... jika siocia tidak berkeberatan, tolonglah jelaskan juga kepadaku ”

„Baiklah! Agar kau tidak jadi penasaran, aku akan mencoba menjelaskan dengan singkat! Malam ini banyak jago-jago silat telah berkumpul di telaga ini. Kita telah melarang orang pesiar di atas telaga, itu bukan berarti kita ingin mengangkangi telaga ini, tetapi kita ingin mencegah agar orang-orang yang telah pesiar di sini, karena tidak mengetahui, diserang oleh senjata jago-jago silat yang akan bertarung nanti!”

Kedua orang yang berpakaian serba hitam merasa heran atas sikap gadis itu, karena mereka sudah dapat menentukan bahwa pemuda itu akan pasti didamprat atau mungkin diserang oleh siocia mereka yang terkenal ketus itu!

Tetapi kenyataan......

Si pemuda bersenyum dan berkata lagi.

„Betul! Senjata tajam tiada matanya dan dapat melukai sembarang orang! Tetapi...... jika orang berani datang ke sini untuk pesiar, maka iapun harus berani dan rela menerima resiko dari segala kecelakaan! Aku sebetulnya seorang yang gemar belajar sastra, yah, boleh dikatakan ‘kutu buku’, tetapi aku selalu mengagumi jago-jago silat dari kalangan Kang-ouw!” Si gadis jadi bersenyum manis mendengar penjelasan itu, ia mengawasi si pemuda sambil membereskan rambutnya yang terurai tertiup angin.

Sejenak kemudian terdengar si pemuda menanya lagi.

„Aku ada satu permintaan, apakah siocia dapat mengabulkan?”

„Apakah kau ingin menonton keramaian?”

„Tepat! Siocia telah menebak jitu. Aku yang selalu menjunjung tinggi jago-jago silat yang luhur, tetapi belum pernah melihat dengan mata kepala sendiri mereka itu bertarung! Jika siocia memperkenankan aku menyaksikan mereka malam ini, aku sungguh merasa beruntung sekali!”

Si gadis bangun dari kursinya lalu berjalan memutari dek kapal sambil berpikir.

„Jika kau hanya ingin melihat keramaian dan duduk di pinggiran sambil menonton, sebetulnya tidak menjadi halangan ”

sahutnya. Lalu ia menatap si pemuda dan berkata lagi.

„Ya! Tidak menjadi halangan sama sekali!”

Salah seorang yang berpakaian serba-hitam tadi, setelah melihat si pemuda masih berdiri diam saja, menegur.

„Hei bung! Jie siocia sudah mengabulkan permintaanmu! Mengapa kau diam saja seperti orang gelo dan tidak lekas-lekas menghaturkan terima kasih?! Tetapi yang ditegur tetap berdiri tegak, seolah-olah tidak mendengar tegurannya, bahkan sambil menoleh ke buritan perahu ia berkata kepada tukang perahu yang bertudung lebar.

„Hei Pak! Rupanya malam ini kita beruntung sekali. Ayo ikut kapal Jie siocia untuk menonton keramaian!”

Si baju hitam menjadi mendongkol terhadap si pemuda karena ia tidak dipandang mata, namun ia tak berani berbuat apa-apa! Ia hanya merasa heran melihat Jie siocia mereka yang lain dari pada biasanya! Biasanya gadis itu sangat berangasan dan ketus karena selalu dimanjakan oleh kakak laki-lakinya, Siauw Cu Gie yang bernama julukan si Raja naga dari lima telaga.

Si baju hitam lalu membungkukkan badannya dan berkata.

„Jie siocia, jika tiada suruhan, aku akan segera kembali ke tempat penjagaan!”

Si gadis kebat tangannya sebagai tanda memperkenankan orangnya itu berlalu. Kemudian tanpa menoleh kepada si pemuda ia berkata.

„Jika kau ingin menonton keramaian dengan jelas, lebih baik kau pindah saja ke atas kapalku ”

Meskipun si gadis mengundang dengan suara yang agak rendah, tetapi undangan lisan itu tokh dapat juga didengar terang oleh si pemuda yang segera menyahut.

„Terima kasih banyak siocia! Aku akan segera datang!” Tukang perahu lalu merendengi perahunya dengan kapal sungai itu. Empat gadis yang cantik jelita berdiri berbaris di atas geladak kapal sambil bersenyum mendengari percakapan antara Ji siocia mereka dengan si pemuda.

Keempat gadis itu lalu menurunkan sebuah tangga tali agar si pemuda dapat naik ke kapal.

„Kau jangan banyak bicara,” kata Jie siocia sambil menyilahkan tamunya duduk di atas kursi yang tertutup dengan kain sutera merah muda. „Dan jangan bertindak sembarangan. Jika kau duduk diam di kursi ini, aku jamin keselamatan dirimu!”

Si pemuda hanya bersenyum dan mengangguk, lalu duduk di atas kursi yang berada di samping kursi si siocia. Maka kapal sungai itupun lalu berlayar lagi ke jurusan lain.

Selama itu suasana di atas telaga masih sunyi senyap. Tetapi kemudian dengan tiba-tiba terdengar terompet berbunyi panjang dan lama, memecahkan suasana yang hening itu. Berhentinya suara terompet dibarengi dengan terlihatnya cahaya lampu dan obor yang sinarnya membikin sebagian telaga menjadi terang benderang. Lalu menjadi sepi lagi.

Baru saja si pemuda ingin menanya si gadis dimana pertemuan akan diselenggarakan, segera tampak beberapa puluh lampu dan obor menerangi telaga. Suara terompet terdengar lagi.

Dari sebelah timur, sebelah selatan dan sebelah utara terlihat barisan-barisan kapal sungai yang bertiang layar tiga meluncur dengan tenang sekali. Barisan kapal sungai dari sebelah timur terdiri dari tujuh buah kapal, dan di atas tiang layar tengah dari kapal terdepan berkibar-kibar dengan megahnya bendera kuning yang bertulisan,

„SIAUW dari telaga Tong-teng.”

Barisan kapal sungai dari sebelah barat juga terdiri dari tujuh buah kapal dengan kain layar putih, dan di atas tiap-tiap kain layar tersebut tampak gambar seekor naga biru tengah mengunjuk giginya yang tajam dan membuka kukunya seolah-olah hendak menerkam mangsanya! Orang-orang di kalangan Bu-lim pasti mengenali bahwa barisan itu adalah dari Liong Cin Thian, si Naga biru dari partai silat Tai-hu!

Barisan kapal sungai dari sebelah selatan terdiri dari banyak buah kapal-kapal dengan lambang dari berbagai-bagai corak dan warna. Di atas kain layar masing-masing, ada yang menggambarkan dua tulang lengan tersilang dengan kepala tengkorak manusia, dan ada juga yang menggantungkan pita-pita panjang yang beraneka warna dan lain sebagainya.

Barisan kapal-kapal sungai dari sebelah utara terdiri dari lima buah yang luar biasa, karena ke lima buah kapal itu diikat menjadi satu erat-erat dengan rantai besi yang besar dan kuat, di atas geladak kapal tersebut ditutupi oleh papan kayu sehingga merupakan lapangan yang luas sekali. Tampak enambelas orang yang tinggi besar dan mengenakan pakaian serba hitam terbagi berdiri dengan tegak di empat sudut geladak tersebut.

Empat barisan kapal-kapal sungai tersebut dengan berbareng meluncur menuju ke tengah-tengah telaga. Jie siocia mengebat lengan bajunya, maka kapalnya itu lalu dikemudikan ke barisan kapal di sebelah timur, diikuti oleh perahu nelayan si pemuda.

Tidak lama kemudian empat barisan tersebut sudah bertemu di tengah-tengah telaga.

Tiba-tiba terdengar bunyi terompet yang memekakkan telinga.

Di atas geladak kapal terdepan dari barisan kapal di sebelah timur, tampak duduk seorang yang berpakaian jubah kuning, para mukanya putih, tetapi berewokan. Kedua matanya bersinar tajam dan sangat mulia kelihatannya. Di belakangnya berdiri dua baris orang-orangnya yang berpengawakan kuat tegap. Pemimpin itu adalah Siauw Cu Gie.

Di atas geladak kapal terdepan dari barisan di sebelah barat, tampak duduk seorang pemuda yang mengenakan pakaian kulit pelindung tubuh berwarna biru. Kedua matanya yang besar senantiasa melirik ke kanan dan ke kiri.

Tetapi di atas geladak kapal terdepan dari barisan di sebelah selatan tampak semua orang duduk diam seolah-olah menanti sesuatu yang gawat! Pada saat itu pula suasana di atas telaga menjadi sunyi-senyap!

Si pemuda baju hijau duduk diam dan merasa kagum menyaksikan semua persiapan tersebut, tetapi tampaknya ia tak merasa takut sedikitpun. Sesaat kemudian dari belakang barisan kapal-kapal di sebelah timur tampak kembang api meluncur ke atas dan terdengar suara peletikan lelatu api, dan suasana di situ menjadi menakjubkan sekali dengan memantulnya bayangan kapal-kapal di permukaan air telaga itu.

Si gadis bersenyum dan berkata kepada si pemuda.

„Jago-jago silat yang biasa hidup di perairan telah berkumpul pada malam ini. Mungkin kau tidak menduga bahwa pada malam ini kau dapat melihat mereka semua!”

Si pemuda bersenyum, sambil menghela napas ia lalu berkata dengan nada yang agak sedih.

„Nasib manusia sukar diramalkan, dan kejadian-kejadian di dunia yang luas ini tidak mungkin diduga!”

„Apakah kau tengah mengalami sesuatu yang menyedihkan?”

„Banyak soal-soal rumit di dunia ini, dan umur kita tidak panjang. Jika urusanku diperbandingkan dengan soal-soal di atas, agaknya tidak ada artinya lagi!”

„Apa kau ”

Ucapan itu belum selesai ketika terdengar suatu pengumuman yang diucapkan dengan keras dan jelas.

„Kalian telah datang di sini dari tempat-tempat yang jauh. Jika aku tidak melayani sebagaimana mestinya, aku minta maaf, tetapi aku yakin bahwa kalian sebagai jago-jago silat takkan menghiraukan soal yang sekecil itu! -- Pada kesempatan yang baik ini, aku minta kalian dapat mengikuti acara yang telah ditetapkan untuk membereskan soal-soal kita sendiri yang mencari hidup di perairan, karena soal-soal itu belum dapat dibereskan selama beberapa ratus tahun ini!”

Pengumuman itu disambut dengan suara gegap gembira oleh para hadirin,

„Siapakah yang telah mengumumkan pembukaan itu?” tanya si pemuda kepada si gadis. „Dan soal apakah yang belum dibereskan selama beberapa ratus tahun itu?”

„Dia itu adalah Siauw Cu Gie, kakak laki-lakiku!”

„O ”

Kemudian terdengar lagi suara pengumuman.

„Dalam beberapa ratus tahun ini, pengaruh jago-jago silat di perairan tidak sebesar pengaruh jago-jago silat di daratan. Kenyataan ini tidak dapat disangkal oleh siapapun! Jika kita meneliti sebab-musababnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kita terlalu tercerai-berai, malah kadang kala kitapun saling cakar antara kita sendiri! Setelah mempertimbangkan bolak-balik, aku jadi bertekad mencari seorang pemimpin untuk memimpin kita semua, karena dengan jalan ini kita pasti menjadi kuat dan dapat menangkis segala serangan dari manapun datangnya! Kita takkan mengalami lagi apa yang disebut peristiwa Pan-yo, yang sangat memalukan serta menyedihkan itu!” „Apa itu peristiwa Pan-yo?” tanya si pemuda.

„Betul-betul kau ini ‘kutu buku’, sehingga peristiwa yang sangat menggemparkan itu kau tidak perhatikan sama sekali!”

„Jie siocia, aku yang hidup di darat mana bisa mengetahui peristiwa yang terjadi di perairan?”

Si gadis makin menaruh simpati terhadap pemuda itu yang di samping tampan sopan santun juga kata-katanya sering penuh dengan humor!

„Pada pertemuan orang-orang dari kalangan Bu-lim di masa lampau telah dikeluarkan suatu peraturan, yalah, para jago-jago silat yang hidup di daratan dilarang untuk menerobos masuk ke daerah perairan, begitupun sebaliknya para jago-jago silat di perairan dilarang menerobos masuk ke daerah daratan,” sahut si gadis. „Tetapi pada dua tahun yang lampau, orang-orang dari Pek- bee-cit-hiong dari pegunungan Pek-bee telah merampok para saudagar di telaga Pan-yo. Jago-jago silat di telaga tersebut berusaha menolong, tetapi mereka telah digempur oleh orang- orang dari pegunungan Pek-bee itu, dengan alasan bahwa para jago silat di telaga Pan-yo lah yang hendak merampok saudagar- saudagar itu! Coba pikir, apakah itu bukan suatu peristiwa yang sangat memalukan bagi kita yang hidup di daerah perairan?”

Si pemuda mengangguk-angguk sambil bersenyum getir. Kemudian terdengar lagi suara pengumuman.

„Aku merasa girang bahwa usulku dapat diterima oleh kalian. Namun aku tidak ingin merebut kedudukan pemimpin yang aku maksudkan itu......! Aku telah mengundang kalian ke sini untuk menetapkan langkah yang kita harus ambil karena mau tak mau kita harus melawan dengan kekerasan karena pula, lain jalan tidak ada!”

Berbareng dengan selesainya amanat itu terdengarlah tepukan tangan yang riuh rendah menyatakan setuju akan usul si Raja naga dari lima telaga, yang tengah berdiri di haluan kapalnya menantikan berhentinya suara sambutan yang hangat itu.

Adapun syarat-syarat yang dibutuhkan untuk dapat menjadi ketua dari seluruh partai-partai silat perairan itu adalah.

Harus memiliki ilmu silat yang maha tinggi, dan agar pemilihan itu dapat dilakukan seadil-adilnya telah ditetapkan bahwa tiap-tiap partai silat, yang banyak maupun yang sedikit anggota- anggotanya, dapat mengajukan lima orang wakil untuk bertarung di atas Lui-tay terapung, yalah di atas ke lima buah kapal yang diikat erat-erat, yang berada di barisan kapal di sebelah utara itu.

Tiap-tiap pemenang memperoleh satu bendera sebagai angka untuk partai silatnya, dan partai silat yang berhasil memperoleh sepuluh bendera paling dulu, maka pemimpin partai tersebut dengan mutlak telah terpilih menjadi pemimpin dari seluruh partai- partai silat perairan itu, dengan perjanjian bahwa jika kemudian hari ada yang membangkang akan perintah-perintah pemimpin tersebut, maka mereka itu akan ditumpas oleh seluruh partai yang berada di bawah kekuasaan pemimpin partai itu.

„Sebetulnya syarat-syarat ini telah diumumkan beberapa waktu yang lalu, dan aku yakin kalian telah maklum.” Siauw Cu Gie melanjutkan amanatnya. „Tetapi demi kelancaran pertemuan ini, aku telah mengumumkannya sekali lagi! -- Maka untuk tidak membuang-buang waktu, aku persilahkan masing-masing partai mengajukan lima orang wakil untuk maju ke atas geladak kapal gabungan yang merupakan Lui-tay kita!”

Setelah selesai memberikan amanat, ia mengebat lengan bajunya, dan dengan tiba-tiba tampak kembang api meluncur lagi ke angkasa.

Sebagaimana telah dituturkan di atas, masing-masing partai yang hadir di situ telah diberitahukan maksud dari pada pertemuan itu, maka sudah tentu masing-masing partai telah membikin persiapan dengan tekun. Mereka ingin partai merekalah yang terpilih menjadi tampuk pimpinan dari semua partai-partai tersebut, karena di kalangan Kang-ouw, nama dan kedudukan yang tinggi adalah yang lebih diutamakan dari pada harta benda yang berlimpah- limpah atau jiwa sekalipun!

Sejenak kemudian, dari salah satu barisan kapal sungai di sebelah selatan meluncur sebuah perahu kecil, di atas haluan perahu itu, berdiri dengan tegak seorang yang berperawakan jangkung, bermuka kuning dan kedua matanya besar sekali. Ia mengangkat kedua tangannya yang dirapatkan sebagai tanda pemberian hormat kepada para hadirin seraya berkata.

„Batu harus dibelah untuk mengetahui mutunya. Aku Kim Khin sudah mengetahui bahwa ilmu silatku masih rendah, namun......

aku mohon diperkenankan untuk mempertunjukkan juga ilmu silatku!” Setelah berkata demikian. ia lalu mendayung perahunya menuju ke Lui-tay.

Kemudian tampak sebuah perahu lain yang didayung langsung ke Lui-tay. Dengan satu loncatan yang lincah orang yang berada di atas perahu itu sudah berada di atas Lui-tay seraya berkata.

„Aku Kang Tek Jin mohon diperkenankan untuk mempertunjukkan kepandaianku!”

Setelah memberi hormat kepada Kim Khin, Kong Tek Jin lalu mencabut seutas rantai baja, yang panjangnya kira-kira dua meter dan berujung sebilah pisau yang tajam.

Kim Khin pun segera mengeluarkan sepasang goloknya, lalu sambil bersenyum ia berkata.

„Aku harap saudara tidak mentertawakan jika aku membuat kesalahan!”

„Akupun harap saudara akan berbuat serupa!”

Setelah itu, secepat kilat ia telah menyerang Kim Khin dengan menyambitkan rantainya ke arah dada lawannya.

Kim Khin melangkah mundur satu tindak sambil mengegos ujung pisau, lalu dengan tidak kalah cepatnya ia meloncat dan menotok ketiak lawannya yang tengah mengangkat tangan menyambitkan rantai! Demikianlah pertarungan untuk memilih seorang pemimpin telah dimulai. Sebentar-sebentar terdenger suara „Crek! Tang!” karena beradunya kedua senjata jago-jago silat yang tengah bertarung itu.

Serangan-serangan Kang Tek Jin dilancarkan laksana badai mengamuk, tetapi Kim Khin dengan kelincahan dan ilmu meringankan tubuh yang baik telah berhasil mendekati lawannya sambil mencari kesempatan menusukan atau membabatkan goloknya!

„Menurut pandanganku,” si gadis memberikan pendapatnya kepada si pemuda. „Kim Khin, si ikan mas dari partai Ngo-heng- pang di tepi sungai Oey-ho, akan menang!”

Baru saja si gadis selesai mengucapkan kata-katanya itu tampak kedua golok Kim Khin terpentang, lalu menjepit rantai lawannya, yang kemudian diteruskan dengan kebutan Pek-hong-ciu-san (Angin utara meniup gunung). Maka terdengarlah satu suara

„Treng!” yang keras, tampak rantai baja Kang Tek Jin terlepas dari tangannya dan jatuh di geladak Lui-tay!

„Aku Kang Tek Jin mengaku kalah!” katanya dengan paras jengah.

„Siocia, betul-betul tajam pandanganmu!” si pemuda baju hijau memuji si gadis.

„Jika kau mengerti silat, kaupun dapat meramalkan siapa-siapa yang akan menang atau kalah dalam suatu pertarungan!” sahut yang dipuji. Si pemuda hanya bersenyum dan menoleh ke arah barisan kapal sungai yang tiang layarnya digantungi pita dari berbagai-bagai warna, dan ia dapat melihat satu bendera merah telah dikibarkan pada tiang layar yang terdepan, kapal partai Ngo-heng-pang.

Setelah empatbelas pertarungan atau aduan silat selesai, maka Kong Sun Sen dari partai silat Hong-tok dan Ji-tay dari partai silat Kao-yu masing-masing telah memperoleh satu bendera merah. Duabelas bendera merah lainnya telah direbut oleh jago-jago silat dari partai Tong-teng, Tai-hu dan tiga partai di daerah sepanjang sungai Oey-ho.

Adapun partai silat Tong-teng yang dipimpin oleh Siauw Cu Gie, telah memperoleh empat bendera merah, partai silat Tai-hu yang dipimpin oleh Liong Cin Thian juga telah memperoleh empat bendera merah, dan tiga partai silat di daerah lembah sungai Oey- ho yang menggabungkan diri menjadi satu, telah juga memperoleh empat bendera merah!

Jika partai silat Tong-teng dan partai silat Tai-hu mempunyai banyak jago silat yang lihay, itu tidak mengherankan, tetapi jika partai-partai silat di lembah sungai Oey-ho yang menggabungkan diri dan memakai nama Ngo-heng-pang juga berhasil memperoleh empat bendera merah -- sama banyaknya seperti jumlah bendera merah yang telah diperoleh oleh kedua partai silat tersebut di atas, ini betul-betul di luar dugaan banyak orang yang hadir!

TUJUH

Demikianlah tiga partai silat telah memperoleh bendera-bendera merah sama banyaknya. Sebetulnya partai silat Tong-teng berada di dalam kedudukan yang lebih unggul, karena Siauw Cu Gie hanya baru mengirim dua orang wakilnya, dan kedua orang itu telah berhasil memenangkan empat pertandingan!

Partai-partai sikat Kao-yu dan Hong-tok setelah mengetahui bahwa mereka tak dapat melawan jago-jago dari partai-partai lainnya, maka merekapun telah berhenti turut serta, dan lebih suka jadi penonton saja!

Partai silat Ngo-heng-pang dari daerah lembah sungai Oey-ho, meskipun telah berhasil memperoleh empat bendera merah, tetapi mereka telah kehilangan empat orang jago-jago silatnya karena terluka. Sedangkan Kim Khin, yang paling jempol ilmu silatnya juga sudah dirobohkan oleh Nio Ce It dari partai silat Tai-hu. Mengingat itu semua, partai inipun telah bertekad takkan mengikuti lagi pertarungan itu.

Dengan demikian, maka pertarungan akan dilangsungkan oleh partai-partai, dari Tong-teng dan Tai-hu saja.

Pada saat itu seorang dari partai Tai-hu baru saja berhasil merobohkan Yap Teng dari partai Tong-teng, dengan jurus Liong- sang-hong-bu (Naga melonjak cenderawasih menari-nari), sehingga Yap Teng terpental keluar dari Lui-tay dan tergelincir ke dalam telaga.

Perlu kiranya dijelaskan di sini bahwa Yap Teng adalah seorang jago yang telah berturut-turut memenangkan tiga pertempuran. Di kalangan Bu-lim ia terkenal sebagai Hay-tee-lo-gwat (Iblis menyerok bulan dari dasar laut). Jika sampai ia dapat dikalahkan, dapat diukur betapa lihay ilmu silat orang yang telah merobohkannya itu! Namun Siauw Cu Gie tetap bersikap tenang, rupanya ia sudah mempunyai rencana, dan merasa yakin betul bahwa partai silatnya akan menggondol piala kemenangan pada akhirnya!

Tidak demikian halnya dengan si gadis, adik Siauw Cu Gie. Ia menjadi agak gelisah menyaksikan kekalahan Yap Teng itu.

Pertarungan makin lama makin menjadi seru dan hebat karena saat yang menentukan makin mendekati. Enam pertarungan telah selesai, dan kedua partai silat tersebut tetap membagi bendera- bendera dengan jumlah yang sama!!

Liong Cin Thian, pemimpin partai silat Tai-hu mulai menunjukkan kegelisahannya ketika dari barisan Tong-teng meluncur sebuah perahu kecil yang ditumpangi oleh Ku Pak Su, si naga kecil murid kesayangan Siauw Cu Gie.

Ketika perahu itu sudah dekat Lui-tay, dengan jurus Ceng-teng- tiam-cui (Capung menyentuh air). Ssssst! Ku Pak Su sudah mencelat seperti kilat cepatnya menuju ke atas Lui-tay!

„Luar biasa!” terdengur pujian dari beberapa penonton dalam suasana yang sangat tegang itu!

Thio Beng, seorang jago silat dari partai Tai-hu, yang telah diakui memiliki kepandaian tertinggi di antara rekan-rekannya, menjadi cemas menyaksikan ilmu Ku Pak Su yang dahsyat itu, karena kali ini dialah yang harus naik ke atas Lui-tay untuk mempertahankan nama baik partainya. Sebagai kepala dari salah satu cabang partai Tai-hu, ia harus memberikan bukti bahwa ia juga memiliki kepandaian yang tidak boleh dipandang ringan. Maka dengan tekad berusaha mempertahankan nama serta kedudukannya, dengan sikap yang agak gelisah, iapun lalu mendayung perahunya menuju ke Lui-tay, kemudian dengan jurus Han-san-sin-tit (jangkrik muda meloncat di rumput), tampak ia menotok pinggir perahu dengan ujung jari kakinya dan sejenak kemudian ia sudah berdiri berhadapan dengan Ku Pak Su.

Mereka akan bertarung tanpa mempergunakan senjata, tampak si naga kecil sudah mulai menyerang dengan jurus Ciok-po-thian- kheng (Menghancurkan batu mengejutkan lawan). Ia memekik seperti burung hantu sambil mencelat di udara dan melepaskan tendangan ke arah dada lawannya!

Thio Beng dengan cepat melangkah ke samping mengelakkan tendangan maut itu. Egosannya yang dilakukan dengan cepat dan tenang itu telah memperoleh tampik sorak dari para hadirin. Tiba- tiba ia berbalik dan menerkam Ku Pak Su yang baru saja tiba di atas geladak, dengan jurus Beng-houw-kim-to (Harimau ganas menerkam kelinci).

Tidak percuma Ku Pak Su menjadi murid kesayangan Siauw Cu Gie, dengan jurus Ouw-bong-sim-ciu (Lindung hitam menyelam ke dalam air), entah dengan cara apa ia melejit, hanya tampak Thio Beng terhuyung-huyung menerkam angin!

Justru pada waktu lawannya terhuyung itulah, ia mengirim tinju bajanya ke atas punggung yang tidak terlindung itu! Thio Beng jadi terkejut bukan main berbareng merasakan hembusan angin tinju yang menerjang dari arah belakang, maka dengan tergesah-gesah pula ia membuang dirinya ke depan, menukik dan bergulingan di geladak Lui-tay, karena dengan jalan itu sajalah ia dapat menghindarkan bahaya maut!

Setelah dapat berdiri lagi, Thio Beng dengan wajah merah padam telah mendahului menyerang dengan jurus Tok-coa-touw-tok (Ular berbisa menyemburkan racun). menotok dada lawannya.

Ku Pak Su mengegos sambil menepuk tangan lawannya yang hendak menotok itu, dan dengan tinju yang lain ia menyerang lambung Thio Beng.

Thio Beng mundur secepat kilat, tetapi Ku Pak Su tidak memberikan ketika kepadanya, ia menggeser dan menghujani jotosan dengan jurus Kong-ciang-sang-kong (Dua palu baja menghujani tembok). Thio Beng terdesak dan tak berdaya sehingga akhirnya ia kecebur ke dalam telaga!

Melihat kekalahan orangnya, Liong Cin Thian tak dapat menahan napsunya lagi dan membentak.

„Ilmu silat Ku Tay-hiap betul lihay! Apakah aku Liong Cin Thian boleh menguji ilmu melontarkan senjata rahasianya?”

Lalu ia meloncat turun ke dalam sebuah perahu kecil dan dengan cepat perahu itu di dayungnya ke Lui-tay.

Ku Pak Su yakin bahwa Liong Cin Thian sebagai ketua dari partai silat Tai-hu pasti berkepandaian tinggi, maka ia jadi bersikap sangat waspada, apalagi setelah mendengar ia ingin diuji kepandaian melepaskan senjata rahasianya.

„Ku Tay-hiap!” kata Liong Cin Thian setelah berhadapan dengan lawannya itu. „Seperti telah kukatakan tadi bahwa aku hendak menguji ilmu melepaskan senjata rahasiamu. Perlu kiranya aku jelaskan di sini bahwa ilmu melepaskan senjata rahasia memerlukan juga mata yang tajam!”

Ucapan tersebut sebetulnya suatu sindiran untuk menyerang urat syaraf dan berbareng mengejek Ku Pak Su, karena bila Ku Pak Su menjadi gusar ia akan bertarung dengan hati yang tidak tenteram. Dan betul saja setelah mendengar sindiran itu, yang seolah-olah menganggapnya bermata lamur, ia menjadi gusar dan membisu menahan amarahnya.

„Aku tentu tidak mempunyai kepandaian apa-apa, terutama kepandaian bicara untuk mengimbangi kelihayan bicara Locianpwee!” sahutnya. „Maka dengan ini aku mohon mengundurkan diri dari Lui-tay ini!”

Ia membungkukkan tubuhnya menghaturkan hormat, lalu turun ke dalam perahu dan kembali ke barisannya!

Perbuatan tersebut sungguh di luar dugaan Liong Cin Thian, dan mungkin juga di luar dugaan orang banyak. Mereka jadi saling menatap wajah masing-masing sambil bertanya. „mengapa Ku Pak Su mengaku kalah sebelum bertempur?”

„Dia seorang Siauw-cut (orang tak ternama) yang bernyali tikus!” Demikianlah ada sebagian orang yang seenaknya saja telah melontarkan ejekannya. Tetapi ada juga sebagian orang yang malah memuji di dalam hati dan mengatakan bahwa sikap Ku Pak Su itu sangat bijaksana. Bahkan ada jago silat yang merasa kasihan terhadap Liong Cin Thian yang telah ditinggalkan mentah- mentah, seolah-olah lawannya itu segan meladeni orang yang kurang sehat otaknya!!

Meskipun Liong Cin Thian pernah memimpin orang-orangnya berkelana ke utara dan selatan, tetapi ia masih merupakan seorang pemimpin yang kurang pandai mengendalikan sikap dan kewibawaannya sendiri, ia tertawa berkakakan dan berkata dengan suara yang keras sekali.

„Kedua mata Ku Tay-hiap ternyata memang kurang tajam, dan sikapnya pun kurang tenang! Tetapi aku harus mengakui bahwa sangat cerdik. Ia mengetahui bahwa ia bukan tandinganku yang sepadan, dan telah menarik diri dari pertarungan ini. Jika banyak jago-jago muda lainnya sepintar Ku Tay-hiap, bukankah mereka akan lebih selamat? Ha, ha, ha!!”

Kata-kata itu bukan saja telah mengejek Ku Pak Su, tetapi juga semua anggota dari partai Tong-teng, terhitung pemimpinnya sekali, Siauw Cu Gie!

Sebagai pemimpin dari partai yang boleh dikatakan terbesar, Siauw Cu Gie masih dapat mengendalikan hawa amarahnya, tetapi baru saja ia ingin menjawab, tiba-tiba dari tempat yang tidak jauh dari kapal sungainya terdengar suara tertawanya seorang wanita. Ia menoleh ke belakang dan tersenyum setelah mengenali bahwa orang yang tertawa itu adalah adik perempuannya, Siauw Bie alias Jie siocia, yang cerdik luar biasa dan selalu dimanjakannya itu.

Kemudian sambil tertawa manis Siauw Bie menyahut.

„Pemimpin Liong betul-betul pandai bicara. Jika kepandaian bicara orang-orang di kalangan Bu-lim setaraf dengan kepandaian pemimpin Liong itu, sungguh sangat disayangkan bahwa ilmu silat akan musnah dari muka bumi ini, karena tiada lagi orang yang ingin mempelajarinya!”

Di bawah sinar lampu dan obor Liong Cin Thian dapat melihat seorang gadis yang mengenakan pakaian serba merah muda, yang cantik luar biasa tengah mentertawakan dirinya. Ia menjadi serba salah dan tak dapat berkata-kata untuk sementara waktu. Sahutan yang tajam itu telah menggores sanubarinya, dan ia menjadi masgul ketika mengetahui harus berhadapan dengan seorang gadis!

Dalam suasana yang mendadak sunyi itu, terdengar Siauw Bie berkata lagi.

„Jika pemimpin Liong lebih pintar bicara daripada bertempur, akupun tak dapat mengadu lidah terhadapnya. Tetapi jika Pemimpin Liong lebih pintar bertarung daripada bicara, aku minta kerelaan hatinya untuk mengajarkanku satu-dua jurus ilmu silat!”

Perkataan itu semata-mata adalah suatu tantangan. Mengingat kedudukannya sebagai seorang pemimpin dari satu partai silat yang besar, Liong Cin Thian harus menerima tantangan itu. Hanya jika ia menang dalam pertempuran itu, ia menang melawan seorang gadis, tetapi sebaliknya jika dia yang dirobohkan oleh gadis itu dimanakah ia harus menaruh mukanya?! Liong Cin Thian jadi ber¬diri menjublek sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sebetulnya tidak gatal!

Sejenak kemudian tampak Siauw Bie berjalan ke depan haluan kapal sungainya agar ia dapat dilihat tegas oleh para hadirin dan berkata lagi.

„Aku tidak dapat memaksa jika pemimpin Liong tidak bersedia melawan aku, karena mungkin aku tidak terhitung sebagai seorang jago silat yang terkenal sebagai pemimpin Liong, si Naga biru!”

Ejekan yang bertubi-tubi datangnya itu telah membikin si pemuda baju hijau yang mendampingi Siauw Bie jadi tertawa terpingkal- pingkal meskipun tampaknya ia berusaha keras menahan rasa gelinya itu.

Melihat demikian, Liong Cin Thian yang berada dalam kedudukan serba-sulit itu menjadi gusar bukan main.

„Hei monyet! apa yang kau tertawakan?!” bentaknya dengan mata melotot.

Si pemuda belum dapat menahan tertawanya, dengan sikap acuh tak acuh ia tertawa terus.

„Apakah orang tak diperbolehkan tertawa di sini?” tanya Siauw Bie.

„Lagipula jika kau mampu membikin seekor monyet tertawa, sesungguhnya kau ini seorang badut terbesar!” Liong Cin Thian jadi berjingkrak karena gusarnya dikatakan sebagai seorang badut, tetapi terhadap seorang gadis cantik sebagai Siauw Bie, ia seolah-olah kehilangan pegangan dan tiap- tiap jawaban Siauw Bie hanya menjerumusnya lebih dalam saja ke jurang lelucon! Ia menundukan kepala untuk berpikir dan mempertimbangkan langkah yang harus diambil. Lalu bagaikan orang sinting ia tertawa gelak-gelak dan berkata.

„Aku menanya pemuda itu, tetapi siocia yang menyahut. Sekarang aku ingin menanya, siocia dan dia itu ada hubungan apa, sehingga kau mengeloninya mati-matian?!”

Ditanya demikian, dengan tiba-tiba paras Siauw Bie menjadi merah, tetapi tidak salah jika gadis itu terkenal cerdik, karena tanpa menjadi bingung terdengar ia menyahut.

„Orang yang pertama-tama bicara denganmu adalah aku, mengapa kau menanyakan dia yang tidak ada hubungannnya samasekali? Apa barang kali kau memang sudah linglung?!”

Liong Cin Thian menjadi hijau mukanya serta gemetaran seluruh tubuhnya karena terlampau menahan gusar. Pertama ia dikatakan sebagai seorang badut, kini ia dianggap sudah linglung!

◄Y►

Ketika tanya jawab itu berlangsung dengan sengitnya, sekonyong- konyong terdengar seruan kaget dari beberapa hadirin, dan seketika itu juga tampak sebuah kapal sungai dengan tiang layar hitam dan kain layar putih tengah mendatangi ke arah Lui-tay. Di atas lajar yang putih itu tertulis tiga huruf, Soat-hay-tu!

Di bawah sinar bulan dan bintang-bintang, bukan saja tiga huruf yang tertulis di atas layar itu terlihat sangat jelas, bahkan seorang yang kurus jangkung, berambut panjang yang menutupi kedua bahunya, mengikat kepalanya dengan sehelai kain, dan mengenakan jubah serba putih juga tampak berdiri tegak di haluan kapal sungai itu.

Ketika sudah mendekati kapal sungai Siauw Cu Gie, manusia ganjil itu menanya dengan suara keras.

„Pemimpin Siauw! Kau sudah mengundang seluruh jago silat perairan, mengapa aku tidak turut diundang? Apakah barangkali kau sudah lupa kepadaku?!”

Baru saja selesai mengucapkan kata-katanya itu, tampak tubuhnya yang kurus jangkung laksana sebatang bambu itu berdiri tegak, kedua lututnya membengkok sejenak, dan dengan satu loncatan, secepat kilat ia sudah berada di atas Lui-tay!

Manusia ganjil itu bukan saja pakaiannya sembarangan, bahkan wajahnya pun jelek sekali. Kedua tulang pipinya menonjol keluar, hidungnya melengkung seperti patok burung betet, mulutnya monyong seperti mulut ikan hiu, tubuhnya kurus jangkung seperti sebatang bambu dan suara tertawanya nyaring seperti kuntilanak!

Para hadirin adalah jago-jago silat yang banyak berkelana dan lama berkecimpungan di kalangan Kang-ouw, namun delapanpuluh persen dari mereka tidak mengenal siapa manusia ganjil itu. Hanya si pemuda baju hijau terperanjat ketika melihat tiga huruf Soat-hay-tu, yang tertera di atas layar!

Liong Cin Thian yang sedang gusar, juga telah terperanjat dengan tibanya si jangkung itu.

„Hari ini adalah hari pertemuan para jago silat perairan,” bentaknya. „Saudara datang di sini atas undangan siapa?? Mengapa naik ke Lui-tay ini tanpa permisi dulu? Apakah kau menganggap kita semua patung-patung batu?!”

Si jangkung mengawasi Liong Cin Thian dengan tajam, sambil tertawa berkikikan, lalu ia menyahut.

„Jadi kau menganggap aku ini bukan seorang jago silat perairan, dan tak berhak turut serta dalam pertemuan ini?!”

Liong Cin Thian yang berwatak berangasan dan sedang mendongkol telah ‘dikocok’ pulang pergi oleh Siauw Bie, menjadi kalap.

„Aku sudah lama berkecimpungan di kalangan Kang-ouw dan mengenal banyak jago-jago silat perairan, tetapi aku tidak mengenal orang yang berparas seburuk kau ini!” bentaknya seraya melangkah maju beberapa tindak.

„Jika kau tidak menganggap aku ini sebagai jago silat, yah ! Aku

tidak berkeberatan sedikitpun. Tetapi aku sudah berada di atas

Lui-tay ini, apa yang hendak kau perbuat terhadapku?!” „Kau harus lekas-lekas enyah dari sini, dan jika kau masih ingin membangkang ”

Belum lagi selesai mengucapkan bentakannya itu, Liong Cin Thian sudah tidak lagi dapat menahan hawa amarahnya, dan dengan dua jari tangan kanannya ia menyerang dengan maksud menotok dada si jangkung!

Totokan itu kelihatannya tidak luar biasa, tetapi sebetulnya mengandung banyak perubahan dan tipu-tipu yang membingungkan bagi orang yang diserangnya. Orang yang mengenal Liong Cin Thian, terutama orang-orang dari partai silat Tai-hu, sudah mengetahui kelihayan totokan tersebut, dan mereka menduga bahwa si jangkung itu pasti menjadi korban.

Tetapi...... yang diserang tetap tertawa, seolah-olah tak membikin persiapan untuk menerima serangan lawannya itu. Ia hanya membengkokkan tubuhnya ke belakang ketika kedua jari tangan Liong Cin Thian yang hendak menotok dadanya itu sudah dekat sekali!

Liong Cin Thian yang sudah yakin betul bahwa totokan mautnya itu takkan gagal telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, malah karena napsunya ia telah menjadi lalai untuk membikin perubahan dan menyerang bagian lain dari lawannya, jika serangannya yang pertama itu tidak membawa hasil. Ia jadi terkesiap ketika merasakan telinganya ditiup oleh lawannya, maka dengan jurus Kim-li-to-cwan-po (Ikan hiu menembusi gelombang), ia meloncat ke belakang satu tombak dengan hati berdebar-debar! Si jangkung gembira sekali telah dapat mempermainkan lawannya itu, lalu sambil nyengir ia berkata.

„Kau telah berbuat curang! Kau sama sekali tidak memberikan ketika untuk aku bersiap-siap, tetapi dengan tiba-tiba kau telah menyerang!”

„Sekarang kau sudah siap, maka mulailah!!”

Bentakan yang keras itu disertai dengan satu loncatan untuk menerkam si jangkung. Tampak kedua tinju Liong Cin Thian melancarkan pukulan-pukulan dengan jurus-jurus Ban-li-hui-hong (Pelangi membentang di seluruh angkasa) dan Ouw-hong-cui- hong (Tawon mengamuk menyengat beruang), ke atas kepala dan pundak si jangkung!

Bukan main pesatnya hujan tinju itu, yang telah dilancarkan dengan maksud mengunjuk kewibawaan dan mencuci malu!

Tetapi...... hujan tinju secepat kilat itu hanya ditangkis oleh si jangkung dengan menyalibkan kedua lengan di atas kepalanya, dan pukulan-pukulan maut Liong Cin Thian itu seolah-olah ditumbukkan ke atas batu gunung yang besar!

Kemudian dengan jurus Nu-long-pa-san (Gelombang raksasa menggempur gunung), si jangkung menolak ke depan dengan lengannya yang disalibkan tadi, dan dengan satu jeritan yang membikin bulu roma berdiri, ia mencelat ke belakang melalui kepala lawannya! „Hei kerbau gila!” bentaknya. „Serangan yang dilakukan dengan jurus Ouw-hong-cui-hong itu boleh juga hanya sayang sebelum

tinju dilancarkan kau sudah terlampau banyak mengeluarkan tenaga. Jika kau menyerang musuh begitu caranya, mana kau dapat menang?! Menurut pandanganku, kau harus belajar silat lagi dua tahun! -- Ya! dua tahun lagi lamanya. Hee, hee, hee!”

Sebetulnya para hadirin sudah tidak senang melihat wajah si jangkung yang jelek, yang telah datang di situ tanpa diundang itu. Tetapi setelah menyaksikan dengan mata kepala sendiri cara ia melayani Liong Cin Thian seperti kucing mempermainkan seekor tikus, perasaan jemu dan masgul mereka segera berubah menjadi perasaan kagum!

Siauw Bie yang kini tengah duduk di samping si pemuda baju hijau, ingin menanyakan kalau si pemuda kenal manusia ganjil itu, tetapi ketika melihat sikap si pemuda tidak setenang semula, ia membatalkan maksudnya.

Dan pada saat itu pula di atas Lui-tay telah terjadi suatu pertempuran yang dahsyat sekali. Di bawah sinar bulan yang terang benderang, ditambah dengan sinar lampu dan obor, tampak si jangkung berlari dan berloncat-loncat dengan gesit sekali mengurung Liong Cin Thian yang jadi sibuk menangkis atau mengegosi tiap-tiap serangan lawannya yang aneh itu.

Pertempuran baru saja berjalan lebih kurang tigapuluh jurus, Liong Cin Thian sudah tampak terdesak. Ia yang berwatak berangasan tengah memberi perlawanan dengan sikap kurang waspada serta hati kurang tenang, maka ia telah melanggar sila-sila pokok atau pantangan-pantangan utama dalam ilmu silat!

Ilmu silat yang maha tinggi, gerak-gerik yang lincah laksana seekor kera, cara menangkis sesuatu serangan yang sulit yang dipamerkan oleh si jangkung, telah membikin para hadirin menjadi kagum tak terhingga.

Siauw Cu Gie yang tadinya ingin bertarung dan mengalahkan Liong Cin Thian, kini jadi berbalik mengharap agar Liong Cin Thian berhasil mengalahkan si jangkung itu! Ia hanya dapat mengharap, tetapi kenyataan tidak dapat dipungkir!

Semua hadirin telah dapat melihat bahwa Liong Cin Thian merupakan lawan yang empuk bagi si jangkung. Liong Cin Thian pun menyadari hal ini, namun demi nama baik partainya, ia mela¬wan terus dan bertekad memberikan apa saja yang dimilikinya untuk merobohkan lawannya itu!

Tiba-tiba terdengar satu jeritan yang amat nyaring, dan tampak Liong Cin Thian melonjak ke atas, lalu dari atas dengan kedua lengannya terpental lebar, ia menukik dan menerkam dahsyat sekali! Itulah jurus Yun-liong-sin-jiauw (Cakaran maut naga sakti), yang tidak dapat dipersamakan dengan jurus-jurus lainnya.

Si jangkung mengawasi lawannya yang sudah terapung di udara itu, ia menanti sebentar lalu sambil mengebatkan lengan jubahnya tampak tubuhnya yang kurus itu menerjang ke atas, dan pada saat kedua lawan itu saling lewat melewati itulah, tiba-tiba terdengar satu jeritan seram dan tampak tubuh Liong Cin Thian terkulai serta terlempar ke permukaan geladak Lui-tay, untuk kemudian terjerumus masuk ke dalam telaga!

Terpecahlah suasana yang hening dan tegang itu oleh suara gemuruh para hadirin yang jadi terperanjat bukan main menyaksikan adegan yang ganas itu. Orang-orang dari partai silat Tai-hu segera menceburkan diri mereka ke dalam telaga untuk menolong ketua partai tersebut, tetapi setelah sekian lamanya mereka mencari, tubuh atau mayat Liong Cin Thian tidak berhasil diketemukan!!

Setelah menyapukan matanya ke seluruh anggota-anggota partai silat Tai-hu, si jangkung lalu menoleh kepada Siauw Cu Gie dan berkata dengan suara yang lantang.

„Pemimpin Siauw! Pertemuan kali ini telah dihadiri oleh semua jago-jago silat dari daerah dekat telaga dekat sungai atau dekat sungai kecil. Akupun telah mengetahui bahwa yang ilmu silatnya tertinggi akan dipilih menjadi pemimpin. Aku sebetulnya tidak bermaksud dipilih, namun aku ingin juga coba-coba! Karena jika aku tidak mencoba, mungkin aku takkan enak tidur dan makan!”

Ia berhenti sejenak untuk melihat reaksi para hadirin atas ucapannya itu, lalu sambil tertawa ia melanjutkan.

„Partai silat Kao-yu, Hong-tok, Tong-teng, Tai-hu, yang dari daerah lembah sungai Tiang-kang dan sungai Oey-ho telah hadir di sini, ditambah dengan aku dari partai soat-hay maka bolehlah dikatakan bahwa pertemuan ini betul-betul telah komplit dihadiri oleh semua partai-partai silat perairan! Hai! Alangkah baiknya jika kita berhasil memilih seorang pemimpin sekarang ini!” Setelah berkata demikian ia terus tertawa berkikikan seolah-olah tiada manusia lain di sekitarnya.

„Saudara datang dari partai Soat-hay, apakah saudara ini murid Soat-hay Song Gie Locianpwee?” tanya Siauw Cu Gie dengan heran.

„Betul! Sungguh luas pengetahuan pemimpin Siauw. Aku bernama To Leng dan Soat-hay Song Gie Locianpwee adalah guruku!”

Ketika mengetahui si jangkung bernama To Leng semua hadirin menjadi terkejut. Karena dia itulah yang bernama julukan Bo-song- pek-hi, Cui-hun-siau-bin (Si baju putih menghalau roh)!

„Kalian telah menetapkan sendiri syarat dan caranya untuk memilih pemimpin,” kata To Leng. „Dan syarat serta cara pemilihan itu aku tentu harus menyetujui! -- Tadi aku telah bertarung satu kali dan seperti kalian telah saksikan bahwa aku yang menang. Sekarang aku sudah siap untuk bertarung lagi melawan siapa saja!”

Para jago silat yang telah dipecundangi tentu tidak akan berani maju lagi, sedangkan yang belum dikalahkan merasa gentar untuk berhadapan dengan To Leng yang telah dengan mudah melemparkan Liong Cin Thian ke dalam telaga!

Siauw Cu Gie menundukkan kepalanya berpikir keras dan mempertimbangkan tantangan itu. Sebetulnya maksud dari pada pertemuan tersebut adalah untuk mempersatukan jago-jago silat perairan di bawah satu pimpinan, dan siapapun tak dapat menyangkal manfaat atau faedahnya jika perhimpunan itu telah terwujud. Orang yang mencetuskan gagasan yang revolusioner itu adalah si Raja naga dari lima telaga sendiri, yang pun diam-diam berhasrat besar untuk terpilih menjadi pemimpin yang dimaksud itu. Ia tengah menilai apakah To Leng itu dapat ia robohkan. Tetapi sebelum herhasil mengambil keputusan, Siauw Bie sudah menantang bakal lawannya itu.

„Hei kau si jangkung jelek! Menurut pendapatmu Soat-hay dapat digolongkan sebagai daerah perairan. Jika demikian, ikan kayu juga dapat digolongkan sebagai ikan tulen! Hah! Aku menasehatkan agar kau pergi sekolah dulu, dan baru datang lagi setelah ikan kayu betul-betul boleh digolongkan sebagai ikan tulen!”

„Aku kira pada dewasa ini, pria dan wanita sama derajatnya. Karena wanita atau pria adalah manusia juga dan tak boleh dibeda- bedakan! Bagaimana pendapat siocia?” tanya To Leng sambil nyengir dan menantikan jawaban Siauw Bie. Tetapi si gadis tidak menyawab, maka ia meneruskan.

„Maksud dari pada ucapan tadi yalah, jika siocia ingin maju bertarung melawan aku, aku merasa girang sekali, tetapi itu tak usah aku sebut-sebut lagi. Sekarang mari kita kembali kepada pertanyaanmu tadi. apakah Soat-hay boleh digolongkan sebagai daerah perairan? -- Soat-hay adalah lautan es. Jika air sungai Oey- ho telah membeku dan menjadi es, apakah sungai tersebut masih tetap diakui sebagai sungai?!” Semua hadirin merasa tertarik sekali dengan pertanyaan- pertanyaan yang aneh itu, mereka hanya cemas si gadis akan menjadi ‘makanan empuk’ bagi si jangkung itu.

Sejenak kemudian mereka telah dibikin terkejut oleh munculnya sebuah bola kayu yang bergaris lintang lebih kurang dua meter dan dicat sangat indah dengan lima warna yang menyolok. Benda itu tengah meluncur di permukaan air telaga sambil terputar-putar pelahan.

Debat antara Siauw Bie dan To Leng jadi berhenti dengan tiba-tiba. Para hadirin mengalihkan perhatian mereka ke benda yang berbentuk aneh itu. Mereka saling bertanya-tanya dari manakah datangnya bola kayu itu? Apakah maksud dan gunanya?

Sejenak kemudian, setelah datang lebih dekat, tampak benda bundar itu terbuka bagian atasnya, lalu dari dalam keluar seorang yang badannya gemuk seperti seekor babi, rambutnya terurai, mukanya brewokan dan mengenakan baju yang banyak warnanya! Begitu keluar dari dalam bola itu, orang itu segera mendongak ke atas dan menyemburkan napasnya keluar dari mulut.

Setelah itu, tampak tubuhnya yang gemuk itu berputar dan menggulung seperti asap, lalu membal ke atas dengan lincahnya, dalam beberapa saat saja ia sudah berada di atas Lui-tay. Ia membuka mulutnya lebar-lebar dan tertawa cekikikan.

„Siapakah yang dipanggil si Raja naga dari lima telaga?” tanyanya dengan nada suara seorang wanita. „Lekas minta maaf kepadaku, jika tidak aku akan meniup semua kapal-kapal layar ini ke lautan utara! -- Camkanlah bahwa aku ini bernama Tong-kwee-sin-hi!” Pertemuan itu yang semula berjalan dengan lancar dan hampir berakhir, telah terganggu dengan datangnya To Leng. Itulah saja sudah membikin Siauw Cu Gie pusing kepala. Sekarang muncul lagi makhluk yang ajaib ini, yang telah datang dan mengancam tanpa alasan!

„Aku Siauw Cu Gie, yang terkenal sebagai si Raja naga dari lima telaga!” sahut ketua partai Tong-teng, ia sengaja memperkenalkan nama julukannya sekali saking gusarnya. „Aku telah berbuat apakah yang kiranya menyinggung perasaanmu sehingga aku perlu minta maaf? -- Aku menuntut penjelasan!”

„Oooo......! Tidak kunyana nama julukan setenar itu dimiliki oleh orang semacam kau ini! Kau telah mengundang semua jago-jago silat perairan, mengapa kau tidak mengundang aku dari dasar sebuah sumur?! Apakah di dasar sumur tidak ada air, sehingga aku Ceng-tai-leng-wa (si kodok sakti dari dalam sumur) tidak terhitung sebagai jago silat perairan?!”

Jawaban yang tidak keruan itu, yang diucapkan dengan nada suara seorang wanita, telah membikin semua orang tak dapat menahan tertawanya.

Tetapi tidak demikian halnya dengan Siauw Cu Gie, penyelenggara pertemuan itu, ia menjadi tambah pusing. Betapa tidak, pertama To Leng datang dan mengaku berasal dari Lautan es, kini lagi makhluk ganjil yang mengaku telah datang dari dasar sebuah sumur!

„Bukankah yang dapat hidup di dasar sumur hanya ikan-ikan saja?” ia bertanya di dalam hati. Selagi ia berpikir mencari jalan keluar dari kebingungannya, tiba- tiba dari kejauhan tampak dua buah perahu, satu besar dan yang satunya lagi kecil, yang terpisah kira-kira beberapa puluh meter saja, seolah-olah segan melalui perahu besar yang tengah meluncur pesat sekali.

Ketika perahu itu sudah datang dekat, tampak seorang kakek yang berambut putih seluruhnya, mengenakan jubah kain kasar dan bertudung lebar, tengah berdiri tegak di haluan dengan sikap yang garang sekali.

Kemudian secepat kilat ia telah meloncat ke atas dan tanpa menunggu sampai ditanya, ia segera berkata.

„Aku minta maaf, aku minta maaf! Pertemuan yang diselenggarakan oleh pemimpin Siauw tadinya tidak kuketahui, maka aku jadi terlambat datang, aku minta maaf kepada kalian yang telah menunggu lama! Aku bernama Tang Ceng Hong, sudah lama tinggal di tepi anak sungai dan kawan-kawan memanggilku Hua-kee-yun-hiap (Pertapa dari desa Hua-kee). Aku mengetahui bahwa pertemuan ini adalah untuk jago-jago silat perairan, dan karena aku dapat digolongkan sebagai satu di antara mereka, maka akupun datang untuk turut serta. Tentang apakah aku dapat dipilih sebagai pemimpin atau tidak, aku sungguh tak berani tekebur!”

Perahu kecilpun sudah mendekat. Orang yang mendayung rupanya bukan orang yang biasa mencari penghidupan di perairan, ini dapat dilihat jelas dari caranya dia mendayung, sehingga perahunya kelihatan seolah-olah orang yang mabok arak sedang berjalan! Tetapi cara dia meloncat dari perahunya ke atas Lui-tay, sungguh sangat mengagumkan!

Iapun tidak menunggu sampai ditanya. Setelah berada di atas Lui- tay, sambil mengangguk-angguk terhadap para hadirin, ia tertawa dan berkata.

„Telaga,  lautan,   sungai,   kali,   anak kali.   bahkan sumur......

semuanya tergolong sebagai daerah perairan. Aku ini Hee-tok-cui- kee (Jago silat dari rawa), juga tergolong sebagai satu di antara mereka itu, oleh karena itu aku terpaksa harus hadir. Jika aku telah terlambat datang, aku mohon kalian memberi maaf kepadaku    !”

Dua manusia ganjil telah hadir pula di situ. Yang satu mengaku telah datang dari Hua-tee (sungai bunga) dan yang satunya lagi mengaku telah datang dari Hee-tok (jambangan kecil) tetapi di manakah Hee-tok itu?!

Hee-tok-cui-kee rupanya yakin akan keraguan orang-orang yang hadir, maka dengan suara lantang ia segera berkata.

„Para hadirin yang terhormat, mungkin ada yang ingin menanyakan di mana letaknya Hee-tok itu? -- Memang tiada seorang pun yang tahu, karena Hee-tok berada di badanku ini!” sambil menunjuk jubah di bagian dadanya.

Penjelasan itu sangat membingungkan, orang-orang sudah mengetahui bahwa. 1) sumur, 2) rawa, 3) telaga, 4) kali, 5) anak kali, 6) Sungai dan 7) lautan, tergolong sebagai daerah perairan. Apakah ada daerah perairan yang kedelapan??!

Nio Ce It yang berangasan dari partai Tai-hu menanya.

„Aku tidak mengerti jika Hee-tok, yang menurut penjelasanmu berada ditubuhmu itu, tergolong sebagai daerah perairan juga! Jangan kira di sini tidak ada orang-orang gagah untuk memelintir batang lehermu, sehingga kau berani berlaku kurang ajar dan mempermainkan kita!”

Hee-tok-cui-kee tertawa terpingkal-pingkal ditegur demikian, lalu sambil menunjuk ke arah Tong-kwee-sin-hi, ia menyahut.

„Saudara itu mengaku bahwa dia datang dari dasar sumur, namun pengetahuannya ternyata lebih luas dari padamu! Hee-tok, meskipun daerah perairan kecil tetapi manfaatnya besar sekali!”

Setelah berkata demikian, ia mengeluarkan dari dalam jubahnya, sebuah kotak berukuran 15 cm x 9 cm, yang ternyata sebuah bakhi (batu alas untuk membuat tinta Tionghoa). Di tempat yang cegelok di ujung bakhi itu tampak air bak yang hitam dan kental. Karena kotak itu baik dibuatnya, maka air bak di dalam bakhi tersebut tidak mengetel keluar.

Tetapi setelah bakhi itu dipegang terbalik dan air yang hitam dan kental itu masih tidak tumpah ke bawah, para hadirin jadi terperanjat sekali dan yakin bahwa Hee-tok-cui-kee ini bukan orang sembarangan, karena dengan tenaga dalamnya yang sakti, ia telah berhasil menahan air bak itu sehingga tidak jatuh ke bawah!

„Hai kalian, dengarlah!” kata Hee-tok-cui-kee. „Air hitam ini tidak banyak, namun air ini takkan menjadi kering di musim kemarau, atau beku di musim dingin. Dengan air bak ini aku dapat menyapu laskar musuh. Bukankah dengan demikian aku juga dapat digolongkan sebagai jago silat perairan?”

Penjelasan yang mirip seperti penjelasan dari seorang yang miring otaknya itu membikin para hadirin heran dan geli bukan main. Siauw Cu Gie pun menjadi terpaksa nyengir dan berkata.

„Saudara telah memberikan penjelasan yang bagus sekali. Tetapi untuk terpilih menjadi pemimpin yang kita maksudkan itu, tiap-tiap partai silat harus mengajukan lima orang wakil untuk bertempur di atas Lui-tay. Saudara datang hanya seorang diri saja, bukankah itu sangat merugikan pihakmn sendiri?”

„Tetapi yang diutamakan adalah kemenangan, bukan jumlah orang, bukankah begitu......?” tanya Hee-tok-cui-kee sambil tertawa.

Siauw Cu Gie menjadi bungkam mendengar jawaban itu, yang seolah-olah menganggap semua orang dan dirinya sendiri akan dikalahkan dengan mudah.

Ketika itu, di atas Lui-tay sudah berdiri To Leng (si jangkung), Tong-kwee-sin-hi (si kodok). Tang Ceng Hong (si pertapa tua) dan Hee-tok-cui-kee (si jago silat dari rawa), yang semuanya pasti memiliki kepandaian yang tinggi. „Aku yakin betul bahwa mereka berempat tidak saling mengenal satu sama lain,” pikir Siauw Cu Gie sambil mengawasi ke atas Lui- tay. „Jika mereka saling tempur, bukankah ini suatu ketika yang baik untuk mereka saling bunuh?” Maka lekas-lekas ia menyahut.

„Betul, betul! Yang diutamakan adalah kemenangan, bukan jumlah orang! Sekarang kita dapat melangsungkan usaha pemilihan kita ini. Tadi saudara To Leng telah mengalahkan Liong Cin Thian, maka aku minta kepada saudara-saudara yang baru datang, agar satu per satu maju menurut urutan untuk bertempur melawan pemenang tadi!”

Usul itu segera dimengerti oleh orang banyak, karena Soat-hay- hua-kee, Ceng-tai dan Hee-tok...... itu semua tidak dapat digolongkan sebagai daerah perairan. Jika sampai salah satu dari antara mereka terpilih menjadi pemimpin, maka akibatnya tak dapat digambarkan lagi!

Orang-orang dari partai Tai-hu, Oey-ho dan Kao-yu semua menyetujui usul Siauw Cu Gie agar pengacau-pengacau itu bertarung lebih dulu, dengan harapan mereka saling bunuh antara mereka sendiri!

Kemudian terdengar Siauw Cu Gie bersiul nyaring dan tampak seorang memberikan kepadanya satu bendera merah.

„Barusan saudara To Leng telah memenangkan satu pertempuran,” katanya setelah menerima bendera itu. „Maka bendera merah ini menjadi miliknya!” Lalu seperti orang memegang pena di tangan kanan, dengan ibu jari dan dua jari lainnya menjepit gagang bendera itu, ia menyambit ke arah layar kapal sungai To Leng. Maka meluncurlah bendera merah itu di udara untuk kemudian dengan cepat sekali telah nancap di atas layar hitam yang dimaksud. Jarak dari kapal sungai Siauw Cu Gie ke kapal sungai To Leng terpisah kira-kira tigapuluh meter jauhnya, namun sambitan itu jitu sekali sehingga menimbulkan perasaan kagum para hadirin, berikut keempat manusia-manusia ganjil yang berada di atas Lui-tay sekalipun!

DELAPAN

„Terima kasih atas tanda kemenangan itu!” sahut To Leng. „Aku sudah memperoleh satu angka kemenangan sekarang apakah

saudara Tong-kwee-sin-hi sudah siap untuk melawan aku?”

Tong-kwee-sin-hi yang ditantang secara terbuka segera melangkah mundur satu tindak sambil tertawa berkikikan, lalu ia berdiri jejak siap sedia untuk bertempur.

„Saudara To, kau dapat segera mulai aku sudah siap!” sahutnya pendek.

Suasana sudah mulai menjadi tegang lagi. Semua partai silat yang diundang merasa girang bahwa tipu muslihat yang dilancarkan Siauw Cu Gie agaknya akan berhasil dan mereka ingin sekali menyaksikan ilmu-ilmu silat manusia-manusia ganjil itu yang tentunya hebat sekali.

Melihat bakal lawannya itu bertubuh buntek dan bulat seperti seekor kodok dan mendengar suaranya yang seperti suara seorang wanita, To Leng merasa geli sekali, tetapi ia tak berani berlaku lengah. Sambil menahan napasnya sejenak dan mengeluarkan suatu siulan yang panjang serta nyaring, ia mengambil ancang-ancang untuk menyerang lawannya.

Tong-kwee-sin-hi mundur lagi satu langkah seraya menggeram dan tampak gerakannya itu lamban sekali. Gerak gerik yang lamban itu telah diperhatikan oleh para penonton, dan mereka merasa heran, karena di waktu meloncat dari bola kayu di permukaan air telaga ke Lui-tay, si kodok ini telah melakukan loncatan yang luar biasa lincahnya.

Dalam suasana yang tegang itu, tiba-tiba terdengar suara siulan jung tidak kalah nyaring dan panjangnya dengan siulan To Leng tadi.

Siauw Cu Gie terkejut dan mengepal-ngepal tinjunya yang sudah basah dengan keringat kegelisahan. Ia tak menduga sama sekali bahwa pertemuan itu akan dikacau demikian rupa oleh manusia- manusia aneh itu.

Siulan itu terdengar lagi, kemudian dari kejauhan tampak seorang yang mengenakan baju hijau, menutupi mukanya dengan kain hijau yang jarang sehingga tak dapat dilihat bentuk wajahnya dan berperawakan sedang, tengah mendatangi. Yang aneh ialah dia dapat berlari-lari di atas air telaga sama pesat serta lincahnya seperti orang lain berlari di atas tanah! Belum lagi hilang perasaan heran para hadirin, tampak orang itu telah melakukan satu loncatan yang indah sekali, sesaat kemudian ia sudah derada di atas Lui- tay. „Menakjubkan, mempesonakan sekali!” seru para hadirin yang menyaksikan gerak-gerik orang yang baru datang itu, mereka merasa beruntung sekali telah dapat melihat dengan mata kepala sendiri ilmu meringankan tubuh yang dipamerkan oleh orang itu, yalah jurus Tui-hong-hoa-tian (Mengejar angin memburu kilat), yang hanya pernah mereka dengar.

„Betu-betul lucu, betul-betul lucu!” kata tamu yang baru datang itu.

Sebagai ketua pertemuan, Siauw Cu Gie harus melayani dengan cermat semua orang yang hadir di situ, maka ia lalu berkata.

„Saudara datang dari mana? Dan apakah yang telah membuat saudara merasa lucu ?”

Baru saja selesai Siauw Cu Gie menanya, dengan tiba-tiba si tamu baju hijau berbalik dan menghadap kepadanya sambil menatap tajam. Dari balik kain hijau yang jarang yang menutupi muka tamu itu, tampak dua titik sinar terang yang menyala-nyala!

Siauw Cu Gie boleh dikatakan telah mengalami segala sesuatu semenjak ia berkecimpungan di kalang Kang-ouw.

Pertempuran dahsyat, pembunuhan kejam, pembokongan keji, peracunan dan sebagainya. Tetapi baru kali ini ia menjadi gemetar ketakutan hanya ditatap oleh tamu yang ganjil itu!

„Hei kau!” bentak si tamu baju hijau. „Tentulah kau orangnya yang telah menyelenggarakan pertemuan ini bukankah?!”

„Betul...... betul!” sahut Siauw Cu Gie gugup. “......aku... Siauw    ” Tetapi si tamu baju hijau tidak menunggu lagi hingga si Raja naga dari lima telaga menyebutkan namanya, ia tertawa keras laksana guntur sehingga sahutan si Raja naga dari lima telaga tak terdengar karena ‘ditelan’ suara tertawanya yang seram!

Para hadirin menjadi cemas menyaksikan sikap si tamu baju hijau yang tak mengenal aturan itu. Bahkan Siauw Cu Gie yang terkenal tabah dan gagah juga telah merasa gentar dan tak berani menatap lagi wajah yang ditutupi kain itu!

Tetapi siauw Bie menjadi gusar menyaksikan kakak laki-lakinya dihina demikian kasarnya. Ia berdiri dan ingin membentak, namun si tamu baju hijau rupanya tidak sudi memberikan kesempatan untuk orang lain berbicara, setelah tertawa berkakakan, ia berkata lagi.

„Aku ingin menanya! Darimanakah datangnya air di dunia ini?!” Pertanyaan yang sederhana tetapi aneh itu membikin semua orang tercengang.

„Siapakah dia ini?” pikir Siauw Cu Gie. „Namun darimanakah datangnya air dunia ini?!”

Tiada seorangpun dapat menjawab pertanyaan itu. Suasana tambah sunyi, hanya terdengar suara ejekan yang diucapkan dengan suara rendah oleh si tamu baju hijau.

Tiba-tiba terdengar Siauw Bie menyahut dengan suara yang lantang. „Saudara telah ajukan suatu pertanyaan yang baik sekali! Bagiku pertanyaan itu tidak sukar. Air di dunia ini yang di dalam sungai,

di dalam kali, di dalam lautan, di dalam telaga, di dalam rawa, bahkan yang di dalam sumur dan lain sebagainya......, semuanya berasal dari air hujan yang jatuh dari langit!”

Jawaban yang tepat itu membikin semua orang jadi ternganga.

„Adikku telah menyawab betul,” kata Siauw Cu Gie setelah dapat mengumpulkan lagi semangatnya. “tetapi mengapa saudara menanya demikian?”

„Hee, hee, hee! Jika kau telah mengetahui bahwa air di dunia ini semuanya datang dari atas, mengapa kau masih ingin membentuk suatu gabungan dan memilih seorang ketua untuk memimpin semua partai-partai silat perairan?”

„Apa salahnya jika kita ingin berbuat demikian?”

„Kau adalah orang yang mencetuskan gagasan itu, mengapa kau tidak mengundang aku, aku yang juga tergolong sebagai jago silat perairan?”

„Siapakah gerangan nama saudara yang mulia dan dimanakah saudara bertempat tinggal jika aku boleh bertanya?”

„Aku tinggal di atas puncak pegunungan Kun-lun-san, dan oleh karena tiap-tiap hari di atas puncak itu turun hujan, maka bolehlah dikatakan bahwa akupun tergolong sebagai jago silat perairan! Aku harus turut serta dalam pertemuan ini!” Jawaban si tamu baju hijau telah membikin Siauw Cu Gie tak dapat tertawa bahkan menangis pun sukar baginya!

Benar, saja, seperti telah ia duga, seorang yang terlebih ganjil telah datang untuk mengacau.

„Karena dia selalu kehujanan di atas puncak pegunungan Kun-lun- san,” kata Siauw Cu Gie di dalam hati. “Maka iapun ingin tergolong sebagai seorang jago silat perairan! Bukankah ini suatu lelucon yang besar?!”

„Hee, hee, hee!” tamu itu tertawa lagi, „Aku bernama Thian-ji-sang- jin (Orang sakti yang selalu kehujanan), dan aku bertapa di atas puncak Thian-ji-hong!”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar