Sampul Maut Jilid 01

Jilid 01

Gunung Tay-piet-san terletak di tapal batas propinsi-propinsi An- hui, Ouw-lam dan Ho-pak. Gunung itu menjadi terkenal karena lembah Yu-leng-kok nya yang seram dan ajaib. 

Pada waktu badai mengamuk di malam hari, di dalam lembah

tersebut seringkali tertampak sinar dari lampion (lentera kertas) merah, dan para penduduk di dekat lembah itu tak dapat menjelaskan siapakah pemilik lampion merah itu. Lebih ajaib lagi di dalam lembah itu seringkali dijumpai kerangka-kerangka manusia! Oleh karena itu Lembah Yu-leng-kok sangat ditakuti oleh para penduduk dan pemburu.

Di suatu pinggir jalan kecil yang menuju ke lembah itu dan tidak jauh dari lembah tersebut berdiri satu rumah gubuk yang dibuat dari bambu, dan penghuninya adalah seorang kakek penjual arak yang sudah berusia tujuhpuluh tahun lebih, buta mata kirinya dan pincang sebelah kaki kirinya. Disamping menjual arak dan barang hidangan lain, iapun menyediakan tempat untuk orang bermalam.

Diceritakan bahwa pada suatu waktu di dalam lembah itu telah terjadi peristiwa yang seram dan ganjil dua malam berturut-turut. Setelah lewat tengah malam terlihat beberapa orang menenteng lampion, satu setelah yang lain, berjalan masuk ke dalam lembah tersebut dan tidak tampak mereka keluar lagi!

Si kakek yang melihatnya telah menghitung dan ternyata telah ada tujuh orang yang membawa lampion masuk ke dalam itu. Pada esok harinya para pemotong kayu dan pemburu menceritakan bahwa mereka telah menjumpai tujuh mayat manusia tanpa kepala di luar lembah Yu-leng-kok itu. Dan pada hari keduanya dijumpai lagi empat mayat manusia juga tanpa kepala!

Pada malam ketiga karena rasa ingin tahunya, si kakek telah sengaja tidak tidur, ia memperhatikan dari rumah gubuknya segala sesuatu yang terjadi di lembah itu. Setelah lewat tengah malam, tiba-tiba ia melihat satu bayangan hitam mendatangi dari sebelah tenggara. Bayangan itu rupanya juga menenteng satu lampion yang berbentuk pesegi dan tengah berjalan masuk ke dalam lembah Yu-leng-kok!

Ketika ia sedang mencurahkan perhatiannya kepada bayangan itu, ia ditegur oleh seorang tamu yang telah bermalam di rumah gubuknya sejak kemarin malam.

„Ada apa lagi, kakek Ouw?” tegur, tamu yang masih muda itu.

Si kakek berbalik, dan sambil bersenyum ia menjawab. „Eh Tuan Hing, kau belum tidur? Aku ini Ouw Lo Si telah membuka warung arak di sini selama lima tahun. Selama lima tahun. ini, pada tiap- tiap tanggal sepuluh sampai tanggal limabelas bulan tujuh, aku senantiasa menemui mayat kawan-kawan dari dunia Kang-ouw. Tahun ini rupanya lebih aneh lagi. Hari ini baru saja tanggal duabelas bulan tujuh, akan tetapi yang menenteng lampion berbentuk delapan pesegi dan masuk ke dalam lembah Yu-leng-kok itu sudah ada duabelas orang! Tuan Hing, aku melihat tuan bermuram durja saja selama sehari semalam ini, dan bersikap gelisah sekali. Apakah kedatangan Tuan ke sini juga ingin menyelidiki lembah Yu-leng-kok yang ajaib itu?”

Tamu yang muda itu berusia lebih kurang sembilanbelas tahun, berparas tampan dan tegap pengawakannya. Tetapi ketika itu ia bermuram dan tampaknya iapun memperhatikan juga segala sesuatu yang terjadi di lembah Yu-leng-kok di depannya itu. Iapun telah melihat bayangan hitam yang sedang menenteng lampion dan berjalan masuk ke dalam lembah itu.

Pertanyaan si kakek hanya membikin ia menarik napas. Lalu sambil mengerutkan keningnya ia berkata. „Kakek Ouw, tak perlu kita memperbincangkan soal itu. Ayo, keluarkan lagi dendeng daging sapi dan sebotol arak. Aku mengundang kau minum!”

Si kakek melihat lagi ke arah lembah dan kini terlihat olehnya cahaya dari dua lampion bergerak menuju ke lembah itu. Ia menggeram. „Ditambah dengan dua itu sudah menjadi limabelas! Memang betul, lebih baik kita minum arak dari pada menghiraukan itu! Mereka yang menenteng lampion-lampion itu semuanya orang- orang bodoh! Mereka tak datang ke warungku untuk minum arak dulu. Besok pasti mereka sudah menjadi mayat!”

Lalu ia mengambil dendeng sapi serta sebotol arak dan duduk menyertai pemuda itu. „Tuan Hing, kau telah menghamburkan banyak uang membeli arak dan hidanganku. Nah, dendeng daging sapi dan sebotol arak ini aku yang menyuguhkan,” kata si kakek sambil tertawa lebar.

Pemuda itu bersenyum, ia mengeluarkan dari sakunya sepotong mas yang beratnya sepuluh tail (kira-kira empatratus gram). Sambil menatap si kakek ia berkata.

„Kakek Ouw, kau telah menebak jitu. Selambat-lambatnya tanggal limabelas bulan tujuh ini, akupun ingin masuk ke dalam lembah Yu- leng-kok itu. Dan akupun tidak dapat mengetahui bagaimana nasibku nanti. Mungkin juga nasibku akan serupa dengan nasib mereka yang harus mati kemudian tulang-tulangku berserakan di kaki gunung Tay-piet-san ini! Sepotong mas ini aku berikan dengan rela kepada kakek Ouw, agar kakek Ouw dapat pindah dan mencari penghidupan di kota, dan tak usah tinggal berdiam di tempat yang terpencil ini.”

Si kakek menatap potongan mas yang berkilap-kilap itu, lalu ia tampaknya kaget sekali waktu melihat cincin besi di telunjuk tangan kanan pemuda itu. Sambil menerima potongan mas itu ia berkata.

„Tuan Hing baik sekali, terima kasih untuk pemberian ini. Tetapi mengapa kau ingin masuk ke dalam lembah Yu-leng-kok yang berbahaya itu?”

Si pemuda tertawa getir, tetapi tak menyahut.

„Tuan Hing, cincin besi itu bagus sekali. Dimanakah kau membelinya?” tanya si kakek sambil menunjuk ke jari telunjuk kanan si pemuda. Si pemuda sambil memandang ke arah lembah lalu menyahut.

„Cincin ini adalah cincin pusaka!!”

Setelah minum secangkir arak si kakek berkata lagi sambil tertawa.

„Tuan Hing, meskipun usiamu masih muda, tetapi aku rasa kau telah lama berkecimpungan di kalangan Kang-ouw, dan aku yakin kau sebetulnya bukan dari keluarga Hing!”

Si pemuda menundukkan kepalanya dan tidak menyahut.

„Aku Ouw Lo Si telah mengalami segala sesuatu di kalangan Kang- ouw. Mataku yang kiri ini telah dibikin buta oleh musuh-musuhku. Setelah kaki kiriku dibikin pincang, aku baru mengundurkan diri dari kalangan Kang-ouw. Betul ilmu silatku tidak lihay, tetapi pengalamanku banyak sekali. Cincin besi di telunjuk tangan kananmu itu, jika aku tidak salah lihat, adalah senjata ampuh dari Wei Tan Wi Tay-hiap yang terkenal sebagai Hu-hoan-tie-kiam Ceng-tiong-cou, Cincin terbang pedang ajaib yang menggetarkan daerah tengah. Setelah melihat cincin itu aku segera dapat mengambil kesimpulan bahwa kau pastilah bukan dari keluarga Hing!”

Mendengar ucapan itu si pemuda terkejut. Ia segera berdiri tegak, tetapi pelahan-lahan lalu duduk kembali seolah-olah mengingat sesuatu, dan sambil menghela napas ia menyahut.

„Kakek Ouw telah menebak jitu. Aku tak dapat menutup rahasia lagi. Memang sebenarnya aku ini putera tunggal Wei Tan Wi, namaku Wei Beng Yan. Sebelum ayahku menutup mata, beliau telah mewariskan cincin baja ini ” „Kapan Wei Tay-hiap meninggal dunia??” Ouw Lo Si mendahului menanya si pemuda dengan gugup dan matanya yang tinggal sebelah terbelalak.

Ditanya demikian Wei Beng Yan tak lagi dapat menahan air matanya dan menyahut dengan suara dalam.

„Tiga bulan berselang!”

Ouw Lo Si menatap wajah si pemuda dengan tajam, seolah-olah tidak percaya akan kata-kata pemuda itu, sesaat lamanya baru ia berkata lagi.

„Mendengar nada Wei Lotee, aku yakin bahwa Wei Tay-hiap tidak mati dengan wajar. ”

Dengan suara gusar Wei Beng Yan menyahut. „Ya! Kematiannya membuat aku sangat penasaran!”

Ouw Lo Si menanya lagi. „Siapakah musuhnya yang demikian lihay? Dengan ilmu silatnya yang maha tinggi itu, aku yakin tidak sembarang orang dapat mengalahkannya apalagi membunuhnya ”

Wei Beng Yan menyahut. „Tentu saja musuh-musuh ayahku bukan jago-jago silat kemarin dulu. Mereka adalah Eu-yong Lo-koay (iblis gila) dari pegunungan Kun-lun dan Soat-hay-siang-hiong (dua iblis yang haus darah) dari pegunungan Pek-thian yang telah bergabung dan menghantam ayah. Dengan pedang Ku-tie-kiam, ayah dapat menerobos keluar dari kepungan jahanam itu, tetapi karena beliau terkena racun Hian-peng-tok-bong dari senjata Soat- hay-siang-hiong, maka beliau akhirnya tak dapat menahan racun tersebut yang membakar jantungnya!”

„Eu-yong Lo-koay dari pegunungan Kun-lun dan Soat-hay-siang- hiong dari pegunungan Pek-thian adalah jago-jago silat yang sangat keji di kalangan Kang-ouw!” berkata Ouw Lo Si dengan beringas. „Jago-jago silat yang kepalang tanggung kepandaiannya sudah menjadi makanan yang empuk bagi mereka. Apakah Wei Lootee datang ke sini ingin menjumpai penghuni lembah Yu-leng- kok itu?”

Wei Beng Yan berpikir sejenak sebelum menyahut. „Betul. Aku mohon Locianpwee dapat memberikan keterangan-keterangan dan petunjuk-petunjuk kepadaku.”

Setelah minum dua cangkir arak si kakek berkata. „Karena Wei Lotee berlaku terus terang, maka akupun harus berterus terang pula. Setelah tinggal berdiam di sini sambil menjual arak dan hidangan selama lima tahun, aku yakin aku mengetahui juga tabiat penghuni lembah itu. Justru cincin baja di jari telunjuk tangan kanan Lotee itulah erat sekali hubungannya dengan penghuni lembah Yu-leng-kok! Tetapi selama sepuluh tahun ini, karena suatu urusan yang menyayatkan hatinya, maka penghuni lembah itu telah berubah menjadi seorang yang aneh wataknya. Aku khawatir tanpa mananyakan riwayat cincin baja itu, kau pasti menjadi korban dari Thay-yang-sin-jiauw (cakaran sakti) penghuni itu!”

Wei Beng Yan mengkerutkan keningnya dan menanya lagi.

„Apakah aku harus masuk ke dalam lembah itu dengan menenteng lampion juga pada tanggal sepuluh sampai tanggal limabelas bulan tujuh nanti?”

Ouw Lo Si mengangguk. „Betul. Kau harus masuk dengan menenteng lampion pada waktu tersebut. Tetapi selama

beberapa tahun ini, orang-orang yang masuk ke dalam lembah itu, meskipun mereka masuk dengan menenteng lampion, namun tidak urung mereka tokh telah menjadi mayat-mayat juga! Mereka seolah-olah menenteng lampion maut!”

„Lampion yang bagaimana bentuknya yang aku harus bawa   ?”

menanya Wei Beng Yan.

Sambil mengangguk-angguk si kakek berkata. „Aku bukan saja mengetahui lampion yang bagaimana bentuk dan warnanya yang disukai oleh penghuni lembah itu, tetapi akupun dapat membuat lampion yang pasti disukai olehnya! Maukan aku membuatkan satu untukmu?”

Wei Beng Yan girang bukan main mendengar si kakek mengajukan pertolongan, ia berdiri tegak, mengangkat kedua tangannya memberi hormat dan berkata. „Terima kasih atas kerelaan hati Locianpwee.”

Si kakek meneruskan. „Aku ini seorang dagang dan seorang pedagang tentu selalu mengharapkan   keuntungan   bukan? Aku ”

„Sebutkanlah upah yang Locianpwee minta, jika aku dapat membalas dendam ayahku yang telah dibunuh, aku berjanji akan memenuhi segala permintaanmu!” kata Wei Beng Yan dengan bernapsu tanpa menunggu kata-kata si kakek selanjutnya.

Sambil bersenyum Ouw Lo Si berkata dengan tenang. „Jika lotee ingin juga masuk ke dalam lembah itu, aku akan berikan petunjuk- petunjuk dan aku hanya minta kau berijanji melaksanakan pesanku. Akan kuberikan kepadamu tiga sampul surat. Setelah kau, atas petunjuk-petunjukku, berhasil masuk dan belajar ilmu sakti dari orang aneh penghuni lembah Yu-leng-kok itu dan setelah mahir tentu akan dapat dengan mudah saja melaksanakan maksud membalas dendam ayahmu, dan setiap kali kau berhasil membunuh mati Eu-yong Lo-koay dari pegunungan Kun-lun dan kedua iblis Soat-hay-siang-hiong dari pegunungan Pek-thian, kau harus buka satu sampul suratku, dan laksanakan segala sesuatu yang tertera di dalam surat itu. Sanggupkah kau terima syarat- syaratku ini?”

„Aku harus melaksanakan itu setelah aku berhasil membunuh mati musuh-musuh ayahku,” pikir Wei Beng Yan, „itu tak sukar dilaksanakan,” maka ia mengangguk menyatakan setujunya.

Setelah memperoleh kesanggupan si pemuda, Ouw Lo Si bersenyum lagi. Lalu ia mengajak Wei Beng Yan masuk tidur.

Pada keesokan harinya, di luar lembah orang menjumpai lagi lima mayat-mayat!

Setelah bersantap, Ouw Lo Si mulai membuat lampion yang sangat sederhana berwarna merah. Wei Beng Yan juga telah menghitung bahwa pada malam-malam tanggal sepuluh, sebelas, dan duabelas, tiga malam berturut-turut di bulan tujuh itu, orang-orang yang masuk ke dalam lembah itu telah menenteng lampion- lampion yang bercorak ragam, tetapi mereka semua yang berjumlah enambelas orang telah menjadi mayat-mayat. Lalu ia menanya.

„Ouw Locianpwee, apakah kau yakin betul bahwa penghuni lembah Yu-leng-kok itu menyukai lampion yang sederhana ini?”

Ouw Lo Si mengangguk, sambil bersenyum ia lalu menyahut.

„Jangan khawatir, kau pasti berhasil masuk ke dalam lembah dalam keadaan hidup! Kau harus masuk ke dalam lembah itu ketika hujan rintik-rintik, dan sambil menenteng lampion merah yang sederhana ini, pelahan-lahan berjalan masuk ke dalam lembah. Lagi pula kau harus menyanyi suatu lagu yang sedih agar tak membikin penghuni lembah itu menjadi uring-uringan. Dengan mempersembahkan cincin baja itu kepadanya, aku yakin penghuni itu akan rela mengajari kau ilmu silatnya yang maha tinggi!”

Setelah lampion merah itu selesai dibuat, si kakek sambil bersenyum menulis dua huruf

„Cap Ni” Sepuluh Tahun

di atas kertas lampion itu.

Wie Beng Yan sudah tidak meragu-ragukan lagi ketulusan hati si kakek untuk menolong dirinya, tetapi ia masih tetap khawatir jika nanti pada malam tanggal duabelas, empatbelas dan limabelas tidak turun hujan! Itu berarti ia harus menanti lagi sampai lain tahun bulan tujuh untuk melaksanakan maksudnya mencari ilmu sakti dari penghuni lembah yang aneh itu.

Ouw Lo Si yang berpengalaman rupanya dapat membaca isi hati Wei Beng Yan. Maka ia tertawa gelak-gelak seraya berkata.

„Wei Lotee tak usah menjadi gelisah. Pepatah kuno menyatakan bahwa orang yang tinggal di dekat pegunungan mengetahui sifat burung-burung dan orang yang tinggal di dekat sungai mengetahut sifat ikan-ikan. Aku telah tinggal di pegunungan Tay-piet-san ini banyak tahun. maka dengan sendirinya aku dapat mengetahui perubahan cuaca di daerah sekitar sini. Kemarin lohor aku lihat pelangi di sebelah barat daya, dan aku berani memastikan bahwa malam ini akan turun hujan ”

Ucapan yang penuh keyakinan itu telah menenangkan hati Wei Beng Yan. Lalu Ouw Lo Si masuk ke dalam kamarnya untuk menulis tiga pucuk surat yang kemudian ditutup baik-baik di dalam tiga sampul.

Angin barat meniup sepoi-sepoi, dan setelah mendekati tengah malam, betul saja hujan turun rintik-rintik. Hati Wei Beng Yan berdebar-debar menyaksikan keadaan yang tepat benar sebagaimana telah dikatakan oleh si kakek pincang itu.

Tiba-tiba Ouw Lo Si menanya sambil bersenyum. „Wei Lotee, pedang Ku-tie-kiam ayahmu mengapa tidak kau bawa ?”

Pertanyaan itu membikin Wei Beng Yan menjadi merah mukanya,

„Aku datang kesini dengan maksud masuk ke dalam lembah Yu- leng-kok mencari ilmu. Aku tak mengetahui bagaimana nasibku nanti. Oleh karena itu aku telah menitipkan pedang itu kepada seorang kawan karibku,” katanya dengan gugup.

Ouw Lo Si mengangguk. Lalu menanti sampai waktu lewat tengah malam. Ia menulis nomor urut di atas ketiga sampul suratnya sebelum diserahkan kepada Wei Beng Yan seraya barkata.

„Wei Lotee, di kalangan Kang-ouw, ‘janji’ seseorang adalah ‘benda’ yang sangat berharga. Aku dapat melihat bahwa kau adalah seorang muda yang berbakat baik sekali. Jika kau berhasil diterima oleh penghuni lembah itu, maka dengan ketekunan, keuletan dan perhatian penuh, dalam jangka waktu lebih kurang dua tahun, kau pasti berhasil mempelajari ilmu silatnya yang maha tinggi. Kemudian kaudapat membalas dendam ayahmu. Tetapi aku minta kau jangan lupakan janjimu kepadaku tentang tiga pucuk surat ini. Tiap-tiap kau berhasil membunuh Eu-yong Lo-koay dan kedua iblis Soat-hay-siang-hiong dari pegunungan Pek-thian ”

„Aku harus buka satu sampul suratmu dan laksanakan segala sesuatu yang tertera di dalam surat itu!” Wei Beng Yan meneruskan kata-kata Ouw Lo Si yang belum habis diucapkan itu.

„Bagus!” Ouw Lo Si memuji. „Tidak kecewa Wei Tan Wi Tay-hiap mempunyai seorang putera sebagaimu !”

Dengan ikhmat dan tenang Wei Beng Yan, menyahut. „Lo- cianpwee telah menolong banyak kepadaku. Budi yang hesar itu tak dapat kulupakan, dan aku bukan seorang laki-laki jika aku mengingkari janjiku!” Sambil menggosok-gosok kedua telapak tangannya Ouw Lo Si berkata. „Itulah yang aku harapkan. Aku lihat sudah masuk empat orang yang menenteng lampion ke dalam lembah itu. Di waktu hujan turun rintik-rintik ini adalah kesempatan terbaik untuk kau masuk ke dalam lembah. Aku mendoakan agar Lotee dapat masuk dan keluar dari lembah Yu-leng-kok itu dengan selamat dan tidak kurang sesuatu apapun! Nah, terimalah lampion ini dan sampai kita bertemu lagi dua tahun yang akan datang !”

Wei Beng Yan menerima lampion yang disodorkan si kakek lalu dia memberi hormat kepadanya dan berjalan keluar dari rumah gubuk itu menuju ke mulut lembah Yu-leng-kok. Ketika hampir tiba di pinggir lembah itu, ia membaui darah yang amis sekali dari empat mayat manusia yang pada menit-menit yang lalu masih merupakan manusia segar bugar! Ia mengkirik melihat mayat-mayat itu, namun dengan keteguhan hati ia berjalan terus. Iapun tak lupakan pesan si kakek pincang untuk bernyanyi sedih ketika mulai memasuki lembah maut itu.

„Di    dalam     dunia     yang     besar     dan     luas     ini, Nasib manusia bersaling ganti, Suka-ria  atau  duka  cita, Tak dapat diminta menurut kehendak kita!”

Demikian ia bernyanyi terus menerus tanpa mengetahui jika Ouw Lo Si mengikutinya dari belakang.

Si kakek juga melihat empat mayat-mayat di pinggir lembah itu, dan dengan gesit ia lari kembali ke rumah gubuknya.

◄Y► Setelah minum secangkir arak, Ouw Lo Si melihat ke arah lembah Yu-leng-kok lagi dan masih dapat melihat cahaya dari lampion merah yang ditenteng Wei Beng Yan dalam suasana yang gelap itu.

„Baru kali ini aku dapat manyaksikan cahaya dari lampion merah tergantung di......” kata Ouw Lo Si kepada dirinya sendiri, tetapi belum lagi selesai ia mengeluarkan isi hatinya, dengan tiba-tiba ia menggeram dan keremuk cangkir arak di dalam tangannya, lalu dengan ilmu To-sai-ban-thian-sing (Menyebar bintang di angkasa) ia menyambit pecahan cangkir arak keluar jendela sambil membentak dengan gusar.

„Siapa yang begitu kurang ajar mengganggu aku di malam buta begini?!”

Bentakan itu dijawab dengan suara tertawa, dan sekejap kemudian, dari jendela yang terbuka meloncat masuk cepat laksana kilat, seorang yang berpengawakan kurus, berusia lebih kurang limapuluh tahun dan bersenjata sepasang gaitan baja.

Setelah berada di dalam, sambil mengangkat kedua tangannya memberikan hormat, orang itu berkata. „Ouw Si-ko! Meskipun sudah lewat sepuluh tahun, akan tetapi ternyata ilmu To-sai-ban- thian-sing mu itu masih tetap lihay seperti waktu-waktu yang lampau! Jika aku tidak waspada, akupun takkan luput dilukai oleh pecahan cangkir arak yang kau sambitkan tadi!”

Ouw Lo Si segera mengenali bahwa orang itu adalah kawan akrabnya yang bernama Khouw Kong Hu dengan julukan Sin-kou- tie-ciang (Gaitan ajaib tinju baja). „Khouw Hiantee, angin apakah yang telah meniup kau ke sini?” tanyanya sambil tertawa berkakakan.

Dengan nada yang ikhmat Khouw Kong Hu menanya. „Ouw Si-ko, apakah kau telah mengetahui bahwa Tong-coan-sam-ok (Jahanam-jahanam dari daerah timur) telah memperoleh mustika milik Thian-hiang-sian-cu dan segera mereka akan datang dan masuk ke dalam lembah Yu-leng-kok?”

Si kakek dengan tenang-tenang saja menyahut. „Tong-coan-sam- ok telah memperoleh mustika milik Thian-hiang-sian-cu dengan susah payah. Tetapi Khouw Hiantee, kau dapat melihat dengan mata sendiri bahwa mereka telah datang sedikit terlambat! Lembah Yu-leng-kok sudah tertutup. Jika jahanam-jahanam itu masih juga berani masuk ke dalam lembah itu, aku yakin bahwa mereka kelak akan menjadi mayat-mayat tanpa kepala!”

Setelah berhenti sejenak lalu meneruskan. „Khouw Hiantee, aku telah dapat suatu akal untuk membasmi jahanam itu yang aku sangat benci. Meskipun mereka telah berhasil memperoleh mustika milik Thian-hiang-sian-cu dan telah datang dari tempat yang jauh, namun mereka semua akan mati konyol dibunuh oleh Thay-yang-sin-jiauw (Cakaran sakti}.”

Lalu sambil mengajak Khouw Kong Hu ia loncat keluar untuk pergi ke mulut lembah Yu-leng-kok.

Khouw Kong Hu tidak mengerti maksud Ouw Lo Si tetapi mengikuti juga jejak si kakek. Ketika sudah tiba dekat Lembah, si kakek berbisik di telinganya. „Khouw Hiantee, kita harus masuk ke dalam lembah itu dengan waspada. Jika kita sudah berada di mulut lembah, maka kau harus menggunakan ilmu Bo-hong-yan-bie-tin (Jarum terbang) untuk memadamkan lilin dari lampion merah yang terlihat tergantung itu!” sambil menunjuk lampion yang tergantung di dalam lembah.

Khouw Kong Hu sudah mengetahui arti daripada lampion yang tergantung itu. Artinya lembah itu sudah tertutup, dan barang siapa berani masuk tentu akan dibunuh oleh penghuni lembah itu! Ouw Lo Si telah menyuruh adik angkatnya memadamkan lilin dari lampion yang tergantung itu dengan maksud membiarkan ketiga jahanam-jahanam Tong-coan-sam-ok masuk ke dalam lembah tanpa mengetahui bahwa lembah itu telah tertutup, dan akhirnya akan dibunuh mati oleh penghuni lembah itu, meskipun mereka telah datang untuk menyerahkan mustika milik Thian-hiang-sian- cu, yang sangat dicintai oleh si penghuni lembah!

Khouw Kong Hu mengangguk dan mengeluarkan tiga batang jarum dari sakunya, lalu dengan ilmu Bo-hong-yan-bie-tin ia melontarkan jarum-jarum tersebut ke arah lampion yang terlihat tergantung, dan secepat kilat lilin lampion tersebut padam diterjang senjata ampuh si gaitan ajaib tinju baja!

Tak lama kemudian terlihat di jalan pegunungan yang menuju ke lembah itu, cahaya dari tiga lampion merah yang bergerak-gerak. Khouw Kong Hu dan Ouw Lo Si lekas-lekas meloncat ke atas satu pohon besar dan berdiri di atas satu dahan untuk bersembunyi sambil menantikan terjadinya sesuatu yang seram!

Tiga orang yang mendatangi itu sangat pesat larinya, dan sekejapan saja sudah tiba di pinggir lembah. Mereka adalah ketiga jahanam Tong-coan-sam-ok yang berpengawakan kurus dan menenteng lampion-lampion merah. Satu persatu mereka masuk ke dalam lembah, dan sejenak kemudian dari dalam lembah terdengar jeritan yang memiluhkan hati, dan kemudian terlihat tiga bayangan hitam terlempar keluar dari dalam lembah itu!

Tiga bayangan hitam yang terlempar itu adalah bangkai-bangkai manusia yang sudah tercakar tak keruan rupanya!

Khouw Kong Hu ingin segera meloncat turun dari pohon, tetapi ditahan oleh Ouw Lo Si. Betul saja dari dalam lembah meloncat keluar satu bayangan hitam yang menenteng lampion merah. Bayangan hitam itu berlari-lari mengitari mayat-mayat tadi lalu lari masuk ke dalam lembah lagi!

Setelah lewat kira-kira lima menit, Ouw Lo Si meloncat turun dari pohon, lalu menghampiri mayat-mayat ketiga jahanam-jahanam itu, dan setelah menggeledah ia dapati satu selubung kuningan dan satu kotak kecil dari batu giok dari tubuh mayat-mayat itu.

Ketika itu sudah jam lima pagi, dan hujan pun sudah berhenti.

Setelah suasana mulai menjadi terang, maka di pinggir jurang yang merupakan pintu masuk ke dalam lembah Yu-leng-kok yang sempit itu terlihat delapan huruf yang digores oleh seorang yang pasti memiliki ilmu silat yang sakti sekali. Adapun delapan huruf itu berbunyi.

„Lembah ini sudah tertutup. Barang siapa lancang masuk, tentu mati!” „Setelah melihat delapan huruf tersebut, Ouw Lo Si bersenyum, lalu mengajak Khouw Kong Hu kembali ke rumah gubuknya.

„Ouw Si-ko,” kata si saudara angkat sambil menyertai kakak angkatnya berjalan pulang. „Aku tidak heran jika kau sangat gembira meskipun kau tidak tidur semalam suntuk. Tanpa turun tangan, kau telah berhasil membunuh mati ketiga jahanam Tong- coan-sam-ok yang kau sangat benci, dan sekaligus kau telah memperoleh mustika milik Thian-hiang-sian-cu ”

Ouw Lo Si hanya bersenyum, dan setelah mereka tiba kembali di rumah gubuk, segera menyiapkan minuman dan hidangan untuk kawan akrabnya itu. Sambil makan dan minum Ouw Lo Si lalu mulai percakapannya.

„Khouw Hiantee, kau telah tebak jitu kegembiraanku. Tetapi aku menjadi gembira bukan karena hasil yang kau telah sebutkan tadi. Masih ada dua urusan yang membikin aku sangat gembira. Apakah kau dapat menebak?”

Khouw Kong Hu berusaha memikir dan menebak, tetapi akhirnya ia menggeleng-geleng kepala seraya menyahut. „Ouw Si-ko terkenal sebagai Tie-san-sai-cu-kat (Ahli nujum dengan kipas baja). Urusan yang menggembirakan aku tak dapat menebaknya!”

„Urusan pertama kau dapat tebak dengan mudah. Aku tinggal berdiam di pegunungan ini sudah hampir sepuluh tahun, kini aku telah menjumpai kawan akrabku, bukankah itu menggembirakan?” kata si kakek. „Urusan kedua agak rumit. Hiantee mungkin masih ingat akan mataku yang kiri dan betis kiriku yang telah menjadi cacat ini.”

Khouw Kong Hu minum habis secangkir arak, lalu menatap Ouw Lo Si dan mengenangkan peristiwa-peristiwa yang lampau ketika si kakek itu menggetarkan dunia Kang-ouw.

„Ouw Si-ko,” katanya, „Kita berkawan sangat akrabnya. Peristiwa- peristiwa yang lampau tak mudah aku lupakan. Mata kirimu telah dibikin buta oleh ketiga jahanam Tong-coan-sam-ok, yang menyambit dengan abu kapur ke arah kedua matamu! Betis kirimu telah dibikin cacad oleh Hu-hoan-tie-kiam Ceng-tiong-cou (Cincin terbang pedang ajaib yang menggetarkan daerah tengah) Wei Tan Wi dengan pedang Ku-tie-kiam nya!”

Mengingat peristiwa-peristiwa yang lampau itu, Ouw Lo Si merasa masgul. Ia menarik napas panjang menyatakan kekecewaannya.

„Khouw Hiantee,” kata si kakek „Apakah kau dapat mengetahui mengapa di mulut lembah Yu-leng-kok telah digantungkan lampion merah?”

Khouw Kong Hu mengangguk.

„Soal ini aku juga telah mengetahui,” kata Khouw Kong Hu.

„Penghuni lembah Yu-leng-kok itu sangat ganjil wataknya. Semenjak istrinya, Thian-hiang-sian-cu yang sangat ia sayang jatuh sakit pada tanggal sepuluh bulan tujuh sepuluh tahun yang lalu, dan meninggal dunia setelah menderita sakit hanya selama enam hari, ia telah menjadi demikian sedihnya sehingga ia tak ingin hidup lagi!” Khouw Kong Hu berhenti sejenak untuk mengeringkan isi cangkirnya, setelah itu ia melanjutkan lagi.

„Tetapi berhubung ilmu silatnya yang sakti belum dapat ia wariskan kepada orang lain, maka ia telah tinggal terpencil di dalam lembah itu sambil menanti-nanti orang yang dapat ia wariskan ilmunya itu. Sekarang terlihat tergantung satu lampion merah, bukankah tanda itu menyatakan bahwa dia telah menjumpai seorang murid?”

Ouw Lo Si mendengari penuturan itu sambil mengangguk-angguk

„Hiantee telah menuturkan dengan betul,” kata si kakek. „Dan    ,

setelah usaha tersebut selesai dilaksanakan, iapun akan menyusul istri kesayangannya di alam baka!”

Khouw Kong Hu menyengir mendengar kata-kata itu, yang dianggapnya bodoh.

„Bodoh! Mengapa orang yang hidup harus mengikuti jejak orang yang sudah mati!” katanya.

Tampak si kakek pun turut tersenyum menyaksikan saudara angkatnya itu, yang tidak mengenal urusan asmara.

„Apakah kau tahu bahwa murid yang telah dijumpainya itu adalah orang yang aku telah berikan petunjuk-petunjuk cara masuknya ke dalam lembah?” kata si kakek.

„Dan orang itu adalah putera satu-satunya Wei Tan Wi, orang yang telah membikin cacad betis kiriku!” Khouw Kong Hu terperanjat mendengar penjelasan itu.

„Aku tak dapat mengerti akan tindakan Si-ko itu. Ketika jahanam Teng-coan-sam-ok yang telah membikin buta mata kirimu telah mati konyol di luar lembah Yu-leng-kok karena tipu muslihatmu. Tetapi kau telah membantu puteranya orang yang membikin kakimu pincang sebelah, agar pemuda itu dapat menjadi ahli waris ilmu silat yang sakti! Sebetulnya, bagaimana maksudmu?” tanya Khouw Kong Hu dengan heran.

Dengan nada yang agak keras Ouw Lo Si menyahut.

„Ketiga jahanam Tong-coan-sam-ok adalah jago-jago silat yang jahat dan busuk,” kata si kakek sambil mementang matanya yang tinggal sebelah.

„Mereka telah mati konyol dan akupun merasa puas! Tetapi Wei Tan Wi Tay-hiap yang telah binasa dibokong oleh Eu-yong Lo-koay dan kedua iblis Soat-hay-siang-hiong adalah seorang jago silat yang luhur. Aku tak dapat membalas dendam terhadap puteranya. Aku hanya dapat membikin pembalasan dengan cara yang lain, yalah yang lebih bijaksana!”

Lalu ia menceritakan peristiwa tiga pucuk surat yang diberikan kepada Wei Beng Yan sebelum pemuda itu masuk ke dalam lembah.

Khouw Kong Hu menjadi ternganga setelah mendengar bisikan si kakek. „Jika aku tidak membunuh putera Wei Tan Wi, aku senantiasa merasa kecewa melihat betis kiriku yang pincang ini,” Ouw Lo Si melanjutkan.

„Tetapi jika aku membunuhnya juga, aku pasti akan dicaci maki oleh orang-orang di kalangan Kang-ouw. Maka aku telah mengambil keputusan dan bertekad membantu putera musuhku agar dia dapat mempelajari ilmu silat dan dapat membalas dendam ayahnya dengan syarat. Setiap kali ia berhasil membunuh musuh- musuh ayahnya yaitu Eu-yong lo-koay dan kedua iblis Soat-hay- siang-hiong, dia harus membuka satu sampul suratku,” berkata sampai di sini Ouw Lo Si berhenti untuk memperhatikan sikap Khouw Kong Hu yang tengah tersenyum simpul mengetahui siasat si kakek yang penuh dengan akal bulus itu.

„Setelah Wei Beng Yan berhasil membunuh mati jahanam- jahanam itu, akupun turut berjasa dalam dunia Kang-ouw, karena dengan rencanaku, ketiga iblis yang kejam dan jahat itu habis terbasmi. Disamping itu, akupun dapat memulihkan namaku yang tercemar karena telah dipencundangi oleh Wei Tan Wi. Coba pikir, apakah itu bukan suatu rencana yang baik sekali?” tanya si kakek sambil tertawa lebar.

Khouw Kong Hu menunjukan ibu jarinya sambil memuji.

„Ouw Si-ko, julukan Tie-san-sai-cu-kat tidaklah kecewa orang telah berikan kepadamu!”

„Tetapi apakah senjatamu Cit-kauw-tie-san, masih tetap ampuh seperti sediakala?” tanyanya lagi. Ouw Lo Si masih terus tertawa gelak-gelak. Dari saku dibalik jubahnya ia keluarkan satu kipas baja yang dapat dilipat. Lalu ia berkata dengan bangga.

„Aku telah dipecundangi Wei Tan Wi dengan pedang Ku-tie-kiam nya dan dianiaya oleh ketiga iblis Tong-coan-sam-ok, tetapi......

semenjak itu aku jadi tambah giat berlatih, dengan senjata Cit- kauw-tie-san ini aku yakin dapat menggempur jago silat yang manapun!”

“Akupun yakin bahwa Ouw Si-ko takkan merasa puas jika tidak memulihkan nama. Maka aku ingin memberitahukan satu rahasia dari kalangan Bu-lim kepada Si-ko,” kata Khouw Kong Hu dengan wajah sungguh-sungguh.

„O...... Khouw Hiantee datang ke sini dengan suatu maksud     ”

kata si kakek. „Mengapa tidak segera menyatakan maksud itu?” Khouw Kong Hu menggeleng-gelengkan kepalanya.

„Ouw Si-ko jangan terburu napsu!” katanya. „Rahasia ini berkenaan dengan mustika Thian-hiang-sian-cu, Cu-gan-tan (Pil remaja) dan Tok-beng-oey-hong (Tawon merenggut jiwa) telah diperoleh Tong-coan-sam-ok dan kini berada di tanganmu. Tetapi Ciam-hua-giok-siu (Sarung tangan sakti merenggut jiwa) berada di tangan Kong-ya Coat, si dewa sakti!”

Bukan main terkejutnya Ouw Lo Si mendengar berita itu, sehingga ia berseru. „Hai! Tanpa Ciam-hua-giok-siu, Kong-ya Coat sudah merupakan satu lawan yang berat. Apalagi dengan senjata yang ampuh itu ,

hai ”

Khouw Kong Hu tampaknya putus asa mendengar ucapan kakak angkatnya itu.

„Kong-ya Coat itu sangat congkak dan tamak sifatnya, dan ingin memiliki semua mustika milik Thian-hiang-sian-cu! Ia telah mengundang Tong-coan-sam-ok untuk datang ke tempatnya pada pertengahan musim gugur untuk turut serta dalam pertemuan para jago silat, dan kemudian bermaksud merebut mustika Cu-gan-tan dan Tok-beng-oey-hong sehingga ia dapat memiliki ketiga mustika itu dan menjagoi di kalangan Kang-ouw!”

Ouw Lo Si menjadi heran mendengar keterangan itu.

„Tetapi mengapa Tong-coan-sam-ok membawa kedua mustika Thian-hiang-sian-cu itu ke lembah Yu-leng-kok di pegunungan Tay-piet-san ini?” tanya si kakek.

„Itu mudah dimengerti,” sahut Kouw Kong Hu. „Tong-coan-sam-ok yakin betul bahwa mereka tak dapat melawan Kong-ya Coat. Jika menolak undangan tersebut, mereka tentu diejek oleh jago-jago silat lain. Lagipula hilangnya mustika Thian-hiang-sian-cu pasti takkan ditinggal diam begitu saja oleh penghuni lembah Yu-leng- kok itu,” sambil menunjuk ke arah lembah.

Ouw Lo Si yang mendengari dengan penuh perhatian mendongak sambil manggut-manggut. „Dari pada dihajar, ketiga jahanam itu telah mengambil keputusan untuk mengembalikan kedua mustika itu kepada si penghuni lembah,” kata lagi Khouw Kong Hu. „Mungkin saja mereka dapat pertolongan dari jasa mereka itu!”

„Jadi kedatangan Khouw Hiantee ke tempatku ini dengan maksud mengajak aku pergi ke tempat Kong-ya Coat untuk mengadu silat melawan para jago silat yang telah diundangnya itu?” si kakek menanya lagi.

Khouw Kong Hu mengangguk, dan berkata lebih lanjut.

„Setelah kita tiba di tempat itu, kita dapat mengumumkan bahwa ketiga jahanam Tong-coan-sam-ok telah binasa di tangan penghuni lembah Yu-leng-kok, dan mustika Cu-gan-tan dan Tok- beng-oey-hong telah dikembalikan kepada pemilik asalnya. Dengan demikian para jago silat akan memperhatikan mustika Ciam-hua-giok-siu yang berada dalam tangan Kong-ya Coat!”

Ouw Lo Si tampaknya sangat tertarik oleh keterangan-keterangan Khow Kong Hu.

„Nanti dalam suasana yang pasti akan panas itu, kita berdua dapat mencari kesempatan untuk merebut mustika itu. Lagi pula lampion merah yang tergantung di mulut lembah telah menyatakan bahwa penghuninya takkan keluar lagi dari lembah itu. Jika ke tiga mustika itu sudah berada dalam tangan kita, Si-ko dapat menjagoi lagi di kalangan Bu-lim!”

DUA Ouw Lo Si, si ahli nujum kipas baja, betul-betul terbujuk oleh kata- kata Khouw Kong Hu itu.

Tiba-tiba ia mengeluarkan kipas bajanya dan secepat kilat menyerang udara kosong! Setelah itu ia tertawa gelak-gelak seraya berkata.

„Baik! Aku akan turut melaksanakan rencana Hiantee untuk pergi ke tempat Kong-ya Coat!”

Khouw Kong Hu menjadi girang sekali. Lalu terdengar si kakek berkata lagi.

„Hm......, Wei Tan Wi sudah mati. Penghuni lembah Yu-leng-kok takkan keluar lagi dari lembahnya, maka jago-jago silat yang dapat mengimbangi ilmu silatku hanya ketinggalan lima orang saja. Yalah Kong-ya Coat, si dewa sakti, Eu-yong Lo-koay Si Iblis jahat, Kedua jahanam Soat-hay-siang-hiong, iblis-iblis yang haus darah. Dan Ceng Sim Lo-ni, si rahib wanita dari pegunungan Go-bi-san yang sudah lama tidak keluar dari tempat pertapaannya!”

Khouw Kong Hu tampaknya tidak sependapat dengan saudara angkatnya itu.

„Si-ko, rupanya kau tidak mengikuti perkembangan di kalangan Kang-ouw!” kata si gaitan baja tinju besi. „Si-ko telah tinggal terpencil di pegunungan ini selama hampir sepuluh tahun lamanya, sehingga kau tidak mengetahui bahwa di kalangan Kang-ouw telah muncul beberapa jago-jago silat yang tak dapat diremehkan! Misalnya Kim Lam It Hong, Sai Pak Song Liong dan Ciu Kai Si Lam.... mereka semua memiliki ilmu silat yang sangat tinggi ”

Khouw Kong Hu menjadi agak menyesal setelah mengucapkan kata-katanya itu, karena ia mengetahui watak Ouw Lo Si agak congkak dan khawatir kata-katanya itu menyinggung si kakek, maka lekas-lekas ia menambahkan,

„Namun aku yakin Ouw Si-ko dapat melawan mereka semua dengan kipas bajamu itu, ! Ha, ha, ha!”

Tertawanyanya itu disertai juga oleh Ouw Lo Si yang sudah bertekad menutup warung araknya, mengakhiri penghidupannya sebagai seorang pertapaan di pegunungan Tay-piet-san yang terpencil dan kembali berkecimpungan lagi di daerah TAK BERTUAN Rimba persilatan!

Mereka meninggalkan pegunungan itu untuk langsung menuju ke tempat Kong-ya Coat, yang terletak di kaki gunung Hoa-san di propinsi An-hui.

◄Y►

Pertemuan para jago silat yang diselenggarakan oleh Kong-ya Coat pada pertengahan musim gugur masih satu bulan lagi.

Setelah berunding, mereka akhirnya mengambil keputusan untuk pergi ke kota Bo-pao di sebelah selatan propinsi Ho-peh, untuk mencari seorang kawan karib mereka, dan mengajaknya bersama- sama pergi menghadiri pertemuan adu silat tersebut. Baru saja tiba di kota Bo-pao, mereka telah disambut olah suatu kejadian yang aneh.

Meskipun sudah bulan tujuh, namun keadaan di daerah sekitar kota Bo-pao yang terletak di sebelah selatan sungai Tiang-kang itu, masih seperti di musim panas saja tampaknya.

„Khouw Hiantee,” kata Ouw Lo Si, ketika mereka berada di suatu warung arak di luar kota Bo-pao. „Perhatikan tempat ini. Apakah kau dapat melihat suatu yang agak luar biasa?”

Khouw Kong Hu menoleh ke kanan dan ke kiri sambil memperhatikan.

„Menurut pandanganku,” sahutnya, „warung arak ini hampir mirip dengan warung kepunyaan Ouw Si-ko yang terletak dekat lembah Yu-leng-kok!”

Ouw Lo Si tampaknya mendongkol dan sambil menggeleng-geleng kepalanya ia berkata lagi.

„Hiantee kurang memperhatikan! Di kalangan Kang-ouw segala sesuatu harus diperhatikan dengan seksama. Aku yakin telah datang banyak jago-jago silat di daerah sekitar kota Bo-pao ini. Warung arak yang terpencil ini telah menyuguhknn makanan yang lezat, ini berarti bahwa dalam beberapa hari ini, ke warung arak ini telah datang banyak tamu-tamu?”

Khouw Kong Hu sambil bersenyum berkata. „Tidak salah jika Si-ko dapat julukan Cu-kat (seorang Nabi yang berpandangan luas)!”

Si kakek tampaknya puas mendapat pujian itu.

„Aku belum dapat mengatakan dengan pasti,” kata Ouw Lo Si.

„Coba dengar suara ringkikan kuda di pekarangan belakang warung ini. Apakah warung yang terpencil ini dapat menyediakan tempat untuk orang memelihara kuda?”

Khouw Kong Hu memasang kedua kupingnya mendengari dangan penuh perhatian,

„Betul! Akupun dapat mendengar ringkikkan kuda itu,” sahutnya.

„Perhatikan lagi meja di sebelah kiri itu,” kata Ouw Lo Si sambil menunjuk ke arah meja tersebut. „Dan lihat bekas bacokan di atas meja. Meja itu penuh dengan minyak dan lemak, tetapi tak ada minyak atau lemak dibekas bacokan itu. Ini suatu bukti yang terang bahwa bacokan tersebut dilakukan belum lama berselang. Lagi pula bekas bacokan tersebut dapat membuktikan bahwa senjata yang dipergunakan untuk membacok bukan senjata biasa!”

Khouw Kong Hu menjadi terbengong mendengar keterangan itu, dan dengan kaget ia menanya.

„Apakah Ouw Si-ko menganggap banyak jago-jago silat telah datang dan telah terjadi perkelahian hebat di warung arak ini?”

Ouw Lo Si memperhatikan keadaan di sekitarnya, lalu ia berkata. „Itu aku tak dapat memastikan, tetapi sudah terang bahwa banyak jago-jago silat telah datang ke sini. Di daerah ini selainnya saudara angkat kita, Kiu It, yang dihormati karena ilmu silatnya, siapakah lagi yang memiliki ilmu silat terlebih lihay?”

Khouw Kong Hu berpikir sejenak, kemudian berkata.

„Tujuhbelas tahun yang lalu Kiu Ji-ko dengan ilmu silat tinju Hui- ing-cit-cap-ji-sut-bo-ti-shin-ciang (Ilmu silat burung garuda merenggut maut dengan tujuhpuluh dua perubahan) dan senjatanya yang hebat dan cengkeraman Hui-ing-shin-jiauw (Cengkeraman burung garuda) telah mengusir tujuh jahanam dari daerah Ho-peh, aku tak pernah mendengar jago silat lain dapat melawan Kiu Ji-ko!”

„Hm......” si kakek menggeram, „jika demikian, para jago silat datang ke sini dengan dua maksud. Mencari Kiu Ji-tee dan memohon bantuannya, atau mencari kepadanya dengan maksud membikin perhitungan dan membalas dendam! Ini sukar ditebak ”

Setelah itu tampak si kakek menundukkan kepalanya dan mengenangkan sesuatu.

Lalu ia herpaling lagi kepada Khouw Kong Hu seraya berkata.

„Semenjak kaki kiriku dibikin cacad dekat telaga Tong-teng dan mata kiriku menjadi picek di pegunungan Go-bi-san, aku selalu menjadi lebih waspada. Sebetulnya tempat kediaman Kiu Ji-tee sudah tidak jauh lagi dari sini. Ayo! kita lekas-lekas menjumpainya untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya pada dewasa ini ” „Akupun sudah ingin mengajak Si-ko lekas-lekas mencari Ji-ko,” kata Khouw Kong Hu, „mungkin kita masih keburu menikmati hidangan lezat dan arak yang harum  ”

Setelah membayar, maka mereka segera berangkat menuju ke tempat saudara mereka itu.

Perjalanan itu harus melalui lembah-lembah yang sempit, semak belukar yang lebat dan mendaki beberapa jurang yang curam.

Kiu Ji-ko menamakan tempatnya Hui-ing-san-cong (Tempat garuda bernaung). Dulunya tempat itu adalah markasnya tujuh iblis propinsi Ho-peh yang banyak dosanya. Mereka sengaja mendirikan markas di sini agar sukar dicari. Namun, Kiu Ji-ko berhasil mencarinya dan membasmi mereka semua! Sekarang kita sudah tiba di tempat belukar ini, apakah Ouw Si-ko mengetahui di mana letak pintu masuknya?” tanya Khouw Kong Hu.

Ouw Lo Si mendongak dan memandang jurang curam di hadapannya.

Tanah di atas jurang itu rata dan banyak pohon tumbuh dengan lebatnya.

Sejenak kemudian terdengar si kakek berkata.

„Pada limabelas tahun yang lalu, pada bulan tujuh Kiu Ji-tee merayakan hari ulang tahun kesatu puteri kesayangannya, dan ia telah mengundang banyak tamu ke pesta tersebut. Akupun telah datang. Aku sudah lanjut usia, namun otakku masih sehat, dan aku masih ingat jalan ke Hui-ing-san-cong. Tu! Sisi gunung itu adalah pintu masuknya!”

Secepat kilat dengan ilmu It-hok-cong-thian (Bangau sakti menerjang ke angkasa) ia telah meloncat ke atas birai yang lebih kurang tiga meter tingginya.

Bukan main kagumnya Khouw Kong Hu menyaksikan si kakek pincang yang seolah-olah terbang ke atas.

„Ouw Si-ko! Hebat betul loncatanmu itu!” serunya memuji. Lalu iapun meloncat dengan gesitnya ke atas birai itu!

„Loncatan Hiantee lebih lihay dari pada loncatanku!” kata si kakek,

„seolah-olah Hiantee melakukannya tanpa mengeluarkan tenaga ”

Khouw Kong Hu bersenyum girang mendengar pujian itu.

Setelah mendaki lereng gunung, akhirnya mereka tiba di atas jurang yang tanahnya agak rata.

Tidak berapa jauh di hadapan mereka, tampak satu goa gunung yang tingginya kira-kira satu meter dan lebarnya kira-kira tiga meter.

Mulut goa itu gelap sekali dan mungkin juga menjadi sarangnya binatang-binatang, ular-ular atau serangga yang berbahaya. „Jika aku belum pernah datang ke sini, akupun takkan mengetahui bahwa goa ini adalah pintu masuk ke tempat Kiu Ji-tee. Ayo ikuti aku yang memimpin jalan,” seru si kakek.

Dari saku jubahnya ia mengambil dua batang lilin, yang segera disulutnya dan memberikan satu kepada kawannya sebelum mereka berjalan masuk ke dalam goa yang gelap itu.

Baru saja si kakek melangkah beberapa tindak, tiba-tiba ia merandek dan berbisik.

„Apakah itu??”

Kira-kira sepuluh meter jauhnya di hadapan mereka, tampak empat lanpion yang besar yang sudah rusak, bergelantungan di udara. Si kakek meloncat dan menyambret ke atas sambil mengambil satu.

Kertas dari pada lampion itu masih bagus warnanya, rupanya lampion-lampion tersebut belum lama digantung di atas goa itu.

Setelah meneliti si kakek memberikan pendapatnya.

„Menurut hematku, lampion-lampion ini baru digantung pada dua hari berselang. Tetapi heran keadaannya sudah rusak. Aku kira lampion-lampion ini telah dirusak oleh hembusan angin tenaga

dalam yang dahsyat! Aku yakin di Hui-ing-san-cong pun sudah terjadi suatu perubahan. Kita harus berhati-hati!”

Ia lemparkan lampion itu dan berjalan maju dengan lilin di tangan. Dengan cahaya lilin yang remang-remang itu mereka dapat melihat lagi lampion-lampion yang tergantung di atas, yang juga sudah dirusak.

„Melihat keadaannya akupun yakin sudah terjadi perubahan di sini. Lebih baik kita keluarkan senjata untuk menjaga diri,” kata Khouw Kong Hu sambil mengeluarkan sepasang gaitan bajanya dan pegang senjata tersebut di satu tangan, dengan tangan yang lainnya memegang lilin.

Mereka berjalan maju dengan hati-hati sekali dan tiap-tiap jarak lima meter, mereka menyaksikan lampion-lampion yang telah dirusak!

„Ketika aku datang ke sini limabelas tahun yang lalu, aku tidak melihat lampion-lampion merah serupa ini,” kata Khouw Kong Hu.

„Tetapi hari ini tanggal berapa dan bulan apa?” tanya si kakek.

„Betul, hari ini adalah tanggal sembilan bulan tujuh,” sahut Khouw Kong Hu. „Tetapi hari lahir puteri kesayangan Kiu Ji-ko adalah tanggal tujuh. Lampion-lampion tersebut tentunya di pasang pada dua hari berselang.”

Tetapi dengan tiba-tiba Ouw Lo Si membentak memperingati Khouw Kong Hu.

„Awas angin hebat!”

Khouw Kong Hu segera mengegos untuk mengelakkan hembusan angin sebelum mengawasi keadaan di depannya. Di bawah cahaya lilin di kedua pinggir tembok goa tersebut tampak berdiri tegak dan berbaris orang-orang yang mengenakan pakaian serba hitam!

Khouw Kong Hu yang berangasan segera membentak.

„Yang berdiri di depan, kawan atau lawan?! Namun kita mohon memberitahukan bahwa si kipas baja Ouw Lo Si dan si gaetan ajaib Khouw Kong Hu telah datang untuk menjumpai pemimpin Hui-ing- san-cong, Kiu It!”

Seruan itu tidak mempengaruhi kedua baris orang-orang yang tetap berdiri tegak di kedua pinggir tembok goa itu, tetapi gema dari seruan Khouw Kong Hu terus mendengung.

„Hui-ing-san-cong, Kiu It...... Hui-ing-san-cong, Kiu It    ”

Senjata di tangannya sudah siap sedia, maka jika orang-orang yang berpakaian serba hitam itu bergerak, Khouw Kong Hu akan segera menyerang lebih dahulu.

„Hei! Kamu kawan atau lawan?! Jika tak menjawab, aku terpaksa harus menggunakan kekerasan!” Khouw Kong Hu membentak lagi.

„Hm......” kata si kakek sambil bersenyum getir. „Kau tak dapat memaksa mereka bicara ”

„Mengapa? Apakah mereka bisu sehingga tak dapat menyahut??” tanya Khouw Kong Hu dengan heran. „Mereka memang bisu dan tak dapat menyahut     karena mereka

telah jadi mayat    !” si kakek menegaskan.

Dan tanpa menghiraukan lagi kawannya, ia sudah meloncat ke depan orang-orang yang berpakaian serba hitam itu.

Khouw Kong Hu tidak mau ketinggalan, iapun meloncat dengan gesitnya.

Tetapi setelah berada dekat sekali dengan orang-orang yang tengah berdiri dengan tegak itu, meskipun sudah lama berkecimpungan di kalangan Bu-lim dan juga melihat pembunuhan banyak kali, namun pada waktu itu mereka bergidik ngeri melihat orang-orang itu, karena mereka semua telah lama menjadi mayat!

Tiap-tiap orang itu terpantek di tembok goa dengan sebilah pisau pendek menusuk tenggorokan masing-masing!

Darahnya telah menjadi kental, biji mata mayat-mayat itu melotot keluar dengan mulut terbuka, seolah-olah mereka ingin mengatakan bahwa mereka mati dibunuh secara kejam sekali!

Yang lebih ganjil lagi yalah keempatbelas orang itu telah binasa dalam keadaan hampir serupa, seolah-olah mereka mati serentak tanpa kesempatan untuk melawan ataupun berontak!

Ouw Lo Si dan Khouw Kong Hu berdiri terpesona menyaksikan nasib orang-orang itu. Lalu si kakek cabut satu pisau dari tenggorokan seorang korban, dan dengan cepat Khouw Kong Hu menahan mayat itu dengan gaitan bajanya untuk diletakkan di atas tanah.

„Hm!” si kakek menggeram. „Coan-yo-shin-ji (Belati menembusi tenggorokan)! Apakah mungkin semua ini adalah perbuatan Yo Tie Ko si lengan delapan??”

Khouw Kong Hu terkejut mendengar ucapan itu, dan melihat pisau belati yang dipegang oleh si kakek. Ia mengenali bahwa pisau belati itu betul saja senjata Coan-yo-shin-ji milik Yo Tie Ko.

„Aku tidak nyana ia begitu keji dan tidak sungkan melakukan kekejaman ini meskipun ia sudah mengenal Kiu Ji-ko berpuluh- puluh tahun lamanya!” kata Khouw Kong Hu.

Ouw Lo Si menancapkan pisau belati itu di tembok goa dengan mengebatkan tangannya.

„Aku kenal nama Yo Tie Ko, si lengan delapan, tetapi aku tak kenal orangnya dan belum pernah berhubungan dengannya. Akupun telah mengetahui senjata rahasianya, Coan-yo-shin-ji yang lihay, yang ia dapat lontarkan dengan kedua tangannya pesat sekali seolah-olah ia mempunyai delapan lengan......” kata Ouw Lo Si dengan nada agak gusar, lalu ia melanjutkan.

„Coba lihat pisau belati yang aku tancapkan tadi. Daun pisaunya hanya masuk limabelas sentimeter, tetapi pisau yang nancap melalui tenggorokan keenambelas korban ini telah nancap sampai ke gagangnya! Bayangkanlah, betapa hebat ilmu si lengan delapan itu!”  Khouw Kong Hu mengerutkan keningnya sejenak, lalu ia lari menuju ke ujung goa gunung itu.

Tampak olehnya pohon-pohon Liu tumbuh di suatu taman bunga, rumput tebal di tanah serta pohon-pohon bunga dari berbagai- bagai macam.

Iapun menghadapi tembok jurang yang tebing dengan beberapa panjang di atasnya.

Ouw Lo Si senantiasa mengikutinya dari belakang.

Ketika mendaki jurang yang tebing itu, mereka melihat sebuah rumah yang dikurung oleh tembok. Itulah Hui-ing-san-cong, tempat tinggal Kiu It, yang pada saat itu menyiarkan bau amis darah yang menusuk hidung!

Ketika itu sudah senja, dan sinar matahari masih memancarkan cahaya merah kekuning-kuningan sehingga membuat keadaan di sekitar tempat itu menjadi tambah seram kelihatannya!

Di depan rumah itu, di atas tanah yang penuh dengan batu gunung tampak empat huruf yang besar yang berbunyi.

„Kematian bagi orang yang menipu!”

Lalu Khouw Kong Hu memanggil-manggil dengan suara keras.

„Kiu Ji-ko! Kiu Ji-ko!” Setelah itu seperti seekor harimau gila ia berlari ke kiri dan ke kanan di dalam pekarangan luar rumah itu sambil terus memanggil- manggil.

Ouw Lo Si berdiri terpaku mengawasi gerak-gerik adik angkatnya itu.

„Apakah masih ada orang yang tinggal di dalam rumah itu?” ia menanya dirinya sendiri.

Dan alangkah terkejutnya ketika ia mengalihkan pandangannya ke arah batu-batu gunung yang berserakkan di tanah. Sambil mencurahkan perhatiannya ia meneliti dengan tajam.

Diantara batu-batu gunung itu terlihat kepala manusia!

Khouw Kong Hu pun telah dapat melihat dan segera menghampirkan ke arah tergeletaknya kepala manusia itu, dan dengan tiba-tiba terdengar ia berseru keras.

„Kiu Ji-ko...... Kiu Ji-ko......! Masakan Ji-ko menemui ajalmu demikian menyedihkan ???!”

Sambil berlutut di hadapan kepala manusia itu, yang ternyata benar kepala Kiu It yang sudah terpisah dari badannya, Khouw Kong Hu berkata kepada Ouw Lo Si.

„Si-ko, kita telah mengangkat saudara dengan Kiu Ji-ko, dan dendam ini kitalah yang harus membalasnya!”

Ouw Lo Si menyahut sambil menggertak gigi. „Ilmu silat Kiu Ji-tee lihay sekali, dan semua anggota keluarganya juga pandai silat. Masakan Yo Tie ko, si Lengan delapan, demikian lihaynya, sehingga ia dapat membunuh sepuluh orang sekaligus?!”

Tetapi baru saja si kakek selesai berkata, terdengar Khouw Kong Hu berseru kaget.

„Pembunuhan ini bukan dilakukan oleh Yo Tie ko! Orang-orang yang telah dibunuhpun bukan keluarga Kiu Ji-ko saja!”

Dengan mata terbelalak, Ouw Lo Si menanya.

„Apa kata Hiantee? Aku tak mengerti ”

Sambil menunjuk ke arah satu kepala manusia lain, Khouw Kong Hu menyahut.

„Kepala itu di sebelah kepala Kiu Ji-ko adalah kepalanya Yo Tie ko, si Lengan delapan! Dan itu kepalanya Bee Cu Peng, si Pedang terbang. Hai    , Bee Cu Peng yang sudah lanyut usianya dan putih

rambutnya! Nah! itu kepalanya Tong To Tit, si Kepala berandal dari propinsi Hok-kian. Ciam Bun, si Bangau terbang, dan dua saudara Ciok, yang bersenjata sepasang golok. Mereka lahir pada waktu yang hampir sama, dan mati pada waktu yang sama. Tu disana adalah kepalanya Pang Thian Kie, si Macan belang......, dia ,

dia ”

Tiap-tiap Khouw Kong Hu menunjuk satu kepala manusia, ia menarik napas, dan kali ini ia berkata agak keras. „Bekas bacokan di warung arak dibuat oleh Pang Thian Kie karena aku mengenali senjatanya. Ai...... nasib manusia siapapun tak dapat meramalkan. Setengah tahun yang lalu aku masih menjumpainya naik perahu pesiar di telaga Tong-teng bersama- sama kedua saudara Ciok. Tetapi kini...... mereka hanya ketinggalan kepalanya saja!”

Selama itu Ouw Lo Si hanya menggeleng-geleng kepala sambil menarik napas.

Lalu ia menghampiri Khouw Kong Hu dan berkata.

„Semua jago-jago silat ini, meskipun aku tidak kenal, namun mereka adalah orang-orang yang telah membikin nama di kalangan Bu-lim. Aku sungguh tak mengerti mengapa di kalangan Bu-lim masih ada orang yang demikian kejamnya. Mereka dibunuh sekaligus. Apakah maksud si pembunuh kejam itu? Tadinya aku kira dia itu Yo Tie ko adanya tetapi sekarang, akupun tak dapat

memecahkan kejadian yang aneh ini. Sayang...... sayang kita datang agak terlambat, sekarang sukar bagi kita mencari pembunuh saudara Kiu itu!”

Gedung itu masih terhias dengan lampion-lampion yang beraneka warna, akan tetapi dengan kepala manusia berserakan dan bau darah yang memuakkan sekali, mereka menjadi bergidik dan emoh tinggal lama-lama di situ.

Kiu It, si garuda sakti, telah membikin namanya tenar karena ilmu silatnya yang hebat. Tetapi ia harus menemui ajalnya dengan menyedihkan sekali, yalah di waktu ia merayakan hari ulang tahun puteri kesayangannya, dan semua anggota keluarganya berikut kawan- kawan dan tamu-tamunya yang datang merayakan telah dibunuh.

Suasana pelahan-lahan sudah mulai menjadi gelap.

Gedung, yang mungkin ramai dalam suasana perayaan beberapa hari berselang, kini menjadi sunyi senyap, dan seram karena sudah terjadi jagal dengan kepala-kepala manusia berserakan dan bau darah yang amis sekali!

TIGA

Ouw Lo Si dan Khouw Kong Hu berdiri berpandangan tanpa bicara.

Biarpun pintar dan beraninya mereka, tetapi di tengah-tengah keadaan yang membikin bulu roma berdiri itu, mereka tak dapat berbuat sesuatu apapun.

Entah berapa lama mereka berdiri terpaku di situ, dan suasana sudah menjadi tambah gelap.

Akhirnya, terdengar Ouw Lo Si berkata.

„Kiu Ji-tee telah binasa dalam keadaan yang menyedihkan sekali! Dan membikin pembalasan adalah kewajiban kita sebagai saudara-saudara angkatnya. Sekarang marilah kita kubur dulu mayatnya, dengan layak, agar tidak diganggu oleh binatang- binatang ” Tetapi baru saja selesai kata-kata itu diucapkan, tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara orang mengejek.

Ouw Lo Si dan Khouw Kong Hu jadi merandek.

Lalu terdengar lagi suara yang diucapkan dengan tegas dan keras.

„Manusia kejam? Perbuatan yang keji sekali!”

Suara itu rupanya datang dari luar tembok, dan setelah ucapan itu berhenti, terlihat kembang api berhamburan seperti air hujan tumpah dari langit, disertai dengan hembusan angin keras datang mendampar mereka!

Secepat kilat Ouw Lo Si kebut kipas bajanya melindungi dirinya dan tinju kanannya menonjok keluar.

Khouw Kong Hu juga mengayun kedua tinjunya seolah-olah menyerang kembang api yang datang mendampar itu.

Bukan main hebatnya jotosan-jotosan dan kebutan kipas baja itu dan seketika itu juga tampak beberapa puluh kembang api terdorong mundur jauh ke belakang!

Tanpa menanti datangnya musuh, si kakek segera membentak.

„Kawan! Berhenti dulu!”

Dan dengan satu loncatan, tubuhnya sudah melayang keluar tembok untuk mengejar serta menghajar musuh gelap itu dengan kipas bajanya. Tetapi pada saat yang bersamaan tampak meloncat masuk satu bayangan seraya membentak.

„Siapa yang dapat lolos dari sini?!”

Bentakan itu disertai dengan serangan dua tinju. Tinju kiri bayangan itu menyodok perut Ouw Lo Si dan tiba-tiba kedua jotosan itu segera berubah mencengkeram pergelangan tangan kanan dan menotok jalan darah di dekat jantung si kakek!

Sungguh hebat gerakan bayangan itu, karena menyerang sambil meloncat tak dapat dilakukan oleh sembarang jago silat.

Si kakek yang dapat melihat bahaya maut, secepat kilat menyapu serangan-serangan tersebut dengan kipas bajanya sekuat tenaga. Demikianlah pertarungan tiga jurus itu dengan sekejapan saja telah selesai, tetapi setelah kedua pihak menginjak tanah lagi, dengan hampir barbareng mereka masing-masing berseru.

„Kau ?!”

Khouw Kong Hu memperoleh kesempatan untuk melihat bahwa musuh yang telah menyerang itu panjang rambutnya, berpakaian jubah kuning dan berpengawakan kurus kering.

Saking kagetnya tanpa terasa ia berseru.

„Eu-yong Lo-koay!!” Dalam suasana yang agak gelap, jago silat dari pegunungan Kun- lun yang terkenal kejam dan jahat itu tiba-tiba tertawa berkakakan dan berkata.

„Ohoo    ! Aku kira kau ini siapa! Tidak dinyana aku menggempur

Ouw Lo Si, si ahli nujum kipas baja! Sudah hampir duapuluh tahun kita tak berjumpa, apakah kau baik-baik saja? Aku merasa sangat gembira dapat menguji ilmu silatmu Ha ha ha!”

Tetapi setelah itu sikapnya tiba-tiba berubah beringas dan berkata.

„Selain kau Ouw Lo Si, aku yakin jago silat lain tak dapat melakukan pembunuhan demikian kejamnya!”

Ouw Lo Si baru saja pulih semangatnya setelah mengetahui ia telah bertarung melawan Eu-yong Lo-koay, dan ketika mendengar tuduhan itu ia menjadi gusar dan balas membentak.

„Selain aku, Ouw Lo Si, masih ada satu orang yang demikian kejamnya!”

„Ha, ha, ha! Betul! Betul, selain Ouw Lo Si, masih ada aku, Eu- yong Lo-koay yang tidak kalah kejamnya!” sahut Eu-yong Lo-koay dengan tertawa dibikin-bikin, sehingga menimbulkan perasaan cemas Khouw Kong Hu yang sudah siap saja memberi bantuan kepada kakak angkatnya.

Dengan nada mengejak, si kakek berkata lagi.

„Perbuatan yang kejam dan keji itu, hanya aku atau kau saja yang dapat melakukannya!” Eu-yong Lo-koay menatap si kakek, lalu ia berkata sungguh- sungguh.

„Aku tak mengetahui siapa pembunuh Kiu It! Percayalah bukan aku yang melakukan perbuatan kejam itu! Aku dan saudara angkatmu tak manyimpan dendam, hanya tersiar kabar di kalangan Kang-

ouw bahwa kau, Ouw Lo Si, telah memiliki mustika Ciam-hua-giok- siu! Jika betul demikian, aku minta pinjam benda ajaib itu, dan aku segera akan berlalu dari sini. Aku berjanji akan mengembalikannya setelah lewat satu tahun. Jika tidak ”

„Jika tidak bagaimana?!” Ouw Lo Si mendahului menanya dengan gusar.

„Jika tidak...... kita terpaksa harus melanjutkan pertarungan yang tidak terjadi pada duapuluh tahun yang lampau!” kata Eu-yong Lo- koay.

Ouw Lo Si merasa heran mengapa Eu-yong Lo-koay yang jarang keluar dari tempat pertapaannya telah datang juga ke tempat Kiu It itu.

„Apakah dia yang telah melakukan pembunuhan?” ia menduga- duga di dalam hati.

„O...... kau datang ke sini dengan maksud mengambil Ciam-hua- giok-siu?” akhirnya ia menanya.

Eu-yong Lo-koay tertawa gelak-gelak dan menyahut.

„Betul!” „Benda yang kau ingini itu memang ada, tetapi kau telah datang ke tempat yang salah,” kata Ouw Lo Si. „Kau mengaku bahwa kau tidak melakukan pembunuhan ini, dan mengingat kedudukanmu, aku percaya. Tetapi Ciam-hua-giok-siu berada di kampung Tan- kwi-san-cong di pegunungan Hoa-san. Kau barusan bilang ingin menguji ilmu silatku, aku Ouw L.o Si akan memenuhi permintaanmu itu sekarang!”

Eu-yong Lo-koay masih terus tertawa dan berkata lagi.

„Benda itu bagus sekali! Dan aku tidak pergi ke tempat yang keliru. Hanya kau yang bicara salah!”

„Apakah perkataanku salah?” tanya Ouw Lo Si.

„Di kalangan Kang-ouw, semua orang berkata bahwa Ciam-hua- giok-siu telah diperoleh Kong-ya Coat yang, telah mengundang para jago silat untuk mengadu ilmu silat di tempatnya nanti pada pertengahan musim gugur. Ha, ha, ha, sungguh lucu sekali, dikatakan bahwa Kong-ya Coat akan menghadiahkan Ciam-hua- giok-siu kepada pemenang dari pada pertemuan yang ia selenggarakan itu. Tetapi beberapa orang telah juga mengetahui bahwa Kong-ya Coat telah tertipu ”

Ouw Lo Si dan Khouw Kong Hu, menjadi terperanjat mendengar keterangan itu.

„Apakah Kong-ya Coat tertipu oleh Kiu It?” tanya si kakek. Eu-yong Lo-koay tampaknya mendongkol sekali. „Kiu It dapat menipu Kong-ya Coat, tetapi dia tak dapat menipu aku! Hanya sayang aku telah datang terlambat. Sekarang aku mengerti.”

„Akupun sudah mengerti!” kata Ouw Lo Si.

„Kau mengerti apa?” tanya Eu-yong Lo-koay dengan heran.

„Aku mengerti bahwa pembunuhan yang kejam ini bukan dilakukan olehku, maupun olehmu ” kata Ouw Lo Si, lalu dengan beringas

dan nada yang keras ia berseru.

„Kejam! Betul-betul kejam! Jika Kiu It bersalah atau berdosa, mengapa semua anggota keluarganya dibunuh juga? Dan mengapa kawan-kawan dan tamu-tamunya, juga dibunuh?! Kiu Ji- tee! Kiu Ji-tee! Jika kelak aku tidak membikin pembalasan, aku ini sesungguhnya bukan satu laki-laki!”

Setelah keadaan agak reda, Eu-yong Lo-koay lalu menanya.

„Siapakah pembunuhnya? Masakan Kong-ya Coat??”

„Tidak salah! pembunuh yang maha kejam itu yalah Kong-ya Coat yang selalu sesumbar, menjalankan kebajikan!” sahut si kakek.

Dan sambil menunjuk kepada huruf-huruf yang berbunyi.

„Kematian bagi orang yang menipu!”

Ouw Lo Si melanjutkan. „Kong-ya Coat selalu sesumbar ia tak ingin menjagoi di kalangan Bu-lim dan tak ingin mencari keuntungan untuk diri sendiri. Tetapi semua jago-jago silat di seluruh negeri telah mengetahui bahwa daerah di kedua pinggir sungai Tiang- kang ini adalah di bawah kekuasaannya orang-orang Kong-ya Coat yang bermarkas di Tan-kwi-san-cong di pegunungan Hoa- san. Setelah mengetahui bahwa ia telah tertipu, ia segera datang ke Hui-ing-san-cong ini dan membikin perhitungan. Dan sebelum berlalu ia menulis huruf-huruf tersebut dengan darah manusia untuk mengunjuk gigi!”

Eu-yong Lo-koay mendengari sambil manggut-manggut

„Betul! Tidak   percuma   kau   dijuluki   Sai-cu-kat!”   katanya.

„Pemandanganmu tidak di bawah Cu-kat Kong Beng dahulu. Mungkin benar apa katamu bahwa Ciam-hua-giok-siu kini berada di tangan Kong-ya Coat. Jika demikian pertemuan Tan-kwi-piauw- hiang-song-gwat-ta-hwee pada pertengahan musim gugur, akupun ingin turut hadir!”

Perkataan tersebut diakhiri dengan kebutan lengan baju jubah kuningnya, dalam sekejapan saja ia telah meloncat melalui tembok dan pergi entah ke mana!

Setelah Eu-yong Lo-koay pergi, si kakek meraba-raba dua mustika yang ia simpan baik-baik dalam saku di dada jubahnya.

Lalu ia berkata kepada Khouw Kong Hu yang masih belum sadar akan kejadian-kejadian yang ganjil lagi kejam di sekitarnya itu.

„Ciam-hua-giok-siu telah tersembunyi banyak tahun. Bagaimana dapat diperoleh Kong-ya Coat? Dan ada hubungan apakah benda itu dengan Kiu Ji-tee? Apakah Khouw Hiantee dapat memberi keterangan kepadaku?”

Khouw Kong Hu menundukkan kepalanya, berpikir sebentar lalu menyahut.

„Semenjak Thian-hiang-sian-cu meninggal dunia, soal tiga mustika itu tidak lagi diketahui orang. Hanya tersiar kabar Cu-gan-tan dan Tok-beng-oey-hong berada di tangan ketiga jahanam Tong-coan- sam-ok. Cara diperolehnya benda-benda tersebut tiada seorangpun yang mengetahui. Namun cara Kong-ya Coat memperoleh Ciam-hua-giok-siu, hampir tiap-tiap orang di kalangan Bu-lim telah mengetahuinya. Sebetulnya sarung tangan ajaib itu tersembunyi dalam tangan Cia It Hok, si pedang sakti, yang sekarang jarang muncul di kalangan Bu-lim.”

„Setelah memperoleh mustika itu, tentu Cia It Hok tidak sesumbar. Bagaimana Kong-ya Coa dapat mengetahuinya?” tanya Ouw Lo Si.

Mendengar pertanyaan itu Khouw Kong Hu bersenyum, lalu menjelaskan bahwa partai Tiang-pek-kiam yang dipimpin oleh Cia It Hok kini pamornya sudah mulai turun. Dahulu partai itu tergolong sebagai salah satu kesembilan partai silat yang sangat dimalui. Partai yang dulunya tenar itu tahun yang lalu telah menghadapi tiga soal yang sulit.

Cia It Hok sebagai pemimpin partai tersetut tak dapat memecahkan soal-soal itu, dan dengan terpaksa ia harus meminta pertolongan orang lain. Maka diumumkan agar diketahui oleh semua partai silat atau jago- jago silat bahwa barang siapa yang dapat membantu partai Tiang- pek-kiam mengatasi ketiga kesulitan tersebut, akan diberi hadiah mustika Ciam-hua-giok-siu.

Cia It Hok tidak menjelaskan apa ketiga soal yang sulit itu, namun daya tarik Ciam-hua-giok-siu terlampau kuat, sehingga telah membuat banyak sekali orang-orang di kalangan Bu-lim pergi menawarkan pertolongan mereka kepada partai itu.

„Dan ketika banyak jago-jago silat datang ke partai Tiang-pek- kiam, Cia It Hok mengumumkan bahwa kesulitan-kesulitan partaynya telah dapat pertolongan Kong-ya Coat yang telah berhasil membereskan kesulitan-kesulitan itu, dengan demikian mustika itu telah jatuh ke dalam tangan si orang she Kong-ya yang segera membawa hadiahnya itu ke pegunungan Hoa-san,” kata Ouw Lo Si.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar