Pusaka Tongkat Sakti Jilid 8 (Tamat)

Jilid 08 (Tamat)

Untuk sesaat suasana sepi. Lian Giok masih membisu sambil matanya dipandangkan kearah mengalirnya air anak sungai didepannya. Dan kesempatan ini tidak dilewatkan oleh Hayhauw dengan begitu saja, ia menatap wajah gadis itu dari samping dan dadanya jadi berdebar keras. Betapa tidak, dara perkasa ini sudah mengait jantungnya sejak pertemuan untuk pertama kali pada malam hari didusun Bok licun, sudah membuatnya mabuk kepayang, kini ia dan dara itu hanya berduaan, suatu kesempatan yang selalu ia harapkan. Akan tetapi anehnya pada kesempatan ini justru Hayhauw tak dapat berbuat sesuatu, jangankan mampu membuka mulut menyatakan cinta secara langsung, sedangkan bernafas pun dirasanya sukar sekali. Hingga apa yang ia sempat lakukan adalah hanya mencuri pandang menatap wajah dara itu dari samping dikala sidara sendiri sedang memandang kearah lain.

Tiba tiba Lian giok menoleh kepadanya sehingga dengan demikian, pandang mata mereka jadi saling baradu dan seakan-akan ada kekuasaan gaib yang mempengaruhi terhadap perasaan sepasang anakmuda ini karena setetalah tatap mereka bertemu seakan-akan mereka berperasaan sama tiba-tiba mereka saling seayum ...

"Hauw ko, mengapa kau mencuri pandang terhadapku?" tanya Lian giok dengan suara lirih.

Sungguhpun, suatu pertanyaan yang tak disangka oleh Hayhauw sehingga anak muda ini karuan saja menjadi agak kegelapan. Kalau saja pertanyaan mana dilontarkan dengan nada ketus, pasti Hayhauw akan mati kutu. Akan tetapi pertanyaan itu demikian lirih suaranya sambil bibir tetap bersenyum, membuat Hayhaw timbul keberaniannya dan cepat menjawab.

“Karena, niocupun tadi diam-diam mengintip aku ...”

Makin mengembanglah senyum dibibir Lian giok setelah mendengar jawaban yang tepat sebagai imbalan ini, membuat kemurungan yang bagaikan mendung meliputi wajahnya sejak tadi ketika itu menjadi sinar dan nampaklah kecerahan yang menyegarkan sukma Hayhauw.

"Hauw ko" ujar Lian Giok kemudian sambil mengalihkan letak tubuhnya sehingga kini ia duduk menghadap anak muda itu. "Mengapa kau selalu menyebutku niocu? Alangkah akan senangnya hatiku apabila kau merobah istilah panggilan itu, dengan sebutan yang sederhana dan layak ..."

Sambil menekan goncangan hatinya. Hayhauw berlagak pilon dan bertanya. "Gerangan apakah yang niocu kehendaki

... ?"

"Lagi-lagi niocu, niocu ... ! Sungkankah engkau memanggilku dengan sebutan seperti malam tempo hari?"

Melihat sikap nona itu sungguh Hayhauw dapat menarik kesimpulan bahwa si nona ternyata bukanlah seorang dara pemalu, bahkan dapat dikatakan agak berani sehingga otomatis pemuda ini menjadi lebih berani menghadapinya dan sifat jenakanya tiba-tiba timbul. Ia hendak menggoda si nona. Dengan kening dikerutkan ia pura-pura lupa sambil menggumam.

"Sebutan seperti malam tempo hari ... ? Aku telah menyebut apa ya?"

"Hmmmmm! Belum menjadi kakek sudah pelupa" cela si nona setelah mengeluarkan suara dengusan dari hidung, dan wajahnya agak memberengut.

"Oh, ya ... " tiba-tiba Hayhauw menepuk jidat, "ingatlah aku sekarang. Kalau tak salah pada malam tempo hari itu, dengan jenazah ayahmu yang kupanggul menjadi saksi aku telah memanggilmu dengan sebutan ... Bidadari kekasih hatiku

..."

"Idihhh! Kau ini barang kali mendadak gila" tukas Lian Giok sambil melengos dan jelas terlihat oleh Hayhauw betapa wajah si nona seketika dijalari warna merah.

"Boleh jadi penyakit gilaku mendadak kumat karena sebenarnya kuakui bahwa memang aku ini sudah sejak lama dihinggapi penyakit ini, jelasnya sejak aku bertemu untuk pertama kalinya dengan seorang putri dan seorang pemimpin Tiong gi pay didusun Bok li cun.” 

"Cihhhh! jemu aku mendengarnya. Diajak bicara benar- benar, kau melantur tidak karuan" seiring ucapan yang bernada ketus ini, tiba-tiba Lian Giok bangkit dan agaknya ia segera akan pergi meninggalkan Hayhauw sehingga pemuda ini cepat-cepat ganti siasat dengan merubah sikap sambil berkata dengan nada sungguh-sungguh.

"Giok moay maafkan kalau kata-kataku barusan ternyata telah menyinggung perasaan hatimu! Kau takkan terus marah kan?"

Lian Giok kembali duduk, sungguhpun kulit wajahnya yang masih memerah itu tetap memberengut. Dan letak duduknya kini membelakangi Hayhauw yang ketika itu sudah berdiri, sambil menahan rasa geli dihatinya, pemuda ini tinggal diam dan membisu sampai seketika lamanya. Ia sengaja berbuat demikian, untuk menanti reaksi dari si gadis selanjutnya.

Akan tetapi setelah selang beberapa saat kemudian, Hayhauw menjadi merasa kewalahan sendiri karena ternyata dara itu jangankan mengadakan reaksi seperti yang diharapkannya sedang menolehpun tidak. Tiba-tiba dihatinya timbul perasaan cemas kalau-kalau nona itu benar-benar marah dan ketika itu ia sendiri tidak mengerti mengapa dihatinya kalau benar-benar sampai Lian Giok membenci kepadanya.

"Giok moay ... ," akhirnya dengan suaranya bernada keluhan terucaplah dari mulut Hayhauw dua suku kata ini.

Dan pada detik berikutnya ia melihat kepala Lian giok berputar perlahan sehingga akhirnya dara itu berpaling kepadanya dan sepasang matanya yang ditatapkan dalam sikap sebuah lirikan yang sinar mata dara ini justru disambut oleh tatapan Hayhauw. Dan ketika kemudian bibir Lian giok perlahan mengembangkan senyum dikulum, maka otomatis Hayhauwpun menyambut dengan senyum sambil bibir agak digigit diiringi helaan nafas yang sangat dalam, disusul meneguk liur ...

"Hauw ko ..." kemudian baru terdengar Lian giok berkata sambil memutarkan tubuhnya sehingga letak duduknya kini kembali menghadapi pemuda itu yang tinggal berdiri seperti patung. "Sesungguhnya, aku sengaja menjumpaimu ditempat ini, hendak kusampaikan secara langsung ucapan terimakasihku, atas jasamu yang sangat besar telah membantuku menyelamatkan jenazah ayahku"

"Giok moay" Hayhauw cepat menukas "tak usah kau berkata demikian. Hal itu sudah menjadi kewajibanku, lagi pula menyelamatkan jenazah ayahmu adalah berkat perjuangan kita bersama, sehingga tak layaklah kalau hal mana kau anggap sebagai jasaku."

Jawaban Hayhauw ini benar-benar telah meninggalkan kesan yang sangat mendalam dihati Lian giok dan dara ini segera mendapat kesimpulan bahwa pemuda yang memang sudah menarik hatinya ini ternyata tidak gila pujian. Kegagah perkasaan Hayhauw sudah ia saksikan dan selaku pimpinan kesatuan Lian giok benar-benar merasa bangga mempunyai seorang anggota baru seperti Hayhauw ini. Namun, disamping itu, dara ini masih belum merasa cukup puas sebelum mendengar betapa pendapat mengenai kesatuan aksi warisan mendiang ayahnya ini dari pemuda itu.

"Dengan sejujurnya kukatakan terus terang Hauw ko, bahwa dengan ikut sertanya kau ini membawa arti serta kekuatan yang bukan kecil bagi Tiong gi pay ini. Akan tetapi, aku sangat inginkan pengakuan yang sejujurnya pula darimu yakni bagaimanakah pendapatmu tentang Tiong gi pay ini?"

”Terus terang saja Giok moay, karena aku sebagai anggota baru dan hanya baru empat hari saja aku berada disini, maka aku masih belum dapat mengemukakan sesuatu tanggapan mengenai kesatuan ini. Namun yang terang, Giok moay, dengan sejujurnya kukatakan bahwa aku sangat gembira dapat menjatuhkan diri bersama Tiong gi pay yang kau pimpin ini. Agaknya belum pernah aku merasa segembira sekarang, kawan-kawan yang ada disini selain rata-rata memiliki jiwa patriot dan gagah perkasa, juga mereka amat baik terhadapku. Apalagi kau sendiri, Giok moay selaku pemimpin dari Tiong gi pay ini lebih-lebih pula baiknya terhadapku sehingga demi Tiong gi pay, demi untuk membalas atas kebaikanmu, maka sebagai tanda terimaka kasihku yang tak terhingga, aku rela mengorbankan nyawa di kancah perjuangan ini".

Lian giok bersenyum mendengar kata-kata Hayhauw yang bersemangat itu. Dan lalu ia bertanya "Bagaimana pendapatmu, Hauw ko, yakinkah bahwa perjuangan kita ini akan menang?"

"Betapa tidak? Aku yakin seyakinnya. Bukankah pemberontakan menyatakan bahwa bangsa Goan ini sudah mendekati keakhirannya? Maka aku yakin bahwa perjuangan kita ini tak akan memakan waktu yang terlalu lama."

"Mudah-mudahan demikian," kata Lian giok. "Mudah- mudahan penjajah dari utara yang sudah kurang lebih delapan puluh sembilan tahun bercokol dinegeri kita sehingga telah menimbulkan kesengsaraan bangsa kita, terutama rakyat jelata, demikian menyedihkan, akan cepat terkikis habis setidak-tidaknya terusir pergi oleh perjuangan ini. Ah ... sudah dapat kubayangkan, betapa akan bahagia serta tenteram dan damainya kehidupan kita ini setelah bebas dari kungkungan belenggu penjajah lalim," Untuk sesaat Lian giok diam dan nona ini kelihatan seperti melamun, seakan-akan membayangkan masa depannya berdasarkan ucapan yang terakhir itu.

Dan Hayhauw juga membisu sambil menengadahkan wajahnya keangkasa dimana terlihat awan-awan beriring iringan perlahan ditiup angin senja. Agaknya pemuda ini melamunkan hal yang serupa dengan lamunan Lian giok.

"Hauw ko" keheningan yang berlangsung sesaat lamanya itu kemudian dipecahkan oleh suara Lian giok.

Hayhauw menoleh dan untuk kesekian kalinya dua pasang mata dan kedua muda-mudi ini saling pandang dengan sinar mata yang mencerminkan suara hati mereka "Apa, Giok moay?" tanya Hayhauw setelah melihat nona itu tidak segera meneruskan perkataannya.

"Apabila Thian melindungi kita berdua, dan kita tetap selamat setelah berakhirnya perjuangan menumbangkan kekuatan penjajah ini apakah yang menjadi cita-citamu dalam kehidupan kemudian?" Pertanyaan ini tak dapat segera dijawab oleh Hayhauw dan hal ini memang sama sekali tak pernah terpikir olehnya sehingga betapa masa depannya kelak, baginya masih amat gelap, ia tak menyangka sama sekali bahwa Lian giok akan bertanya seperti itu sehingga ia bingung untuk menjawabnya dan membuatnya termenung sebentar sambil matanya memandangi mengalirnya air sungai yang kecil didepannya. Dan setelah menghela napas yang sangat dalam, ia menjawab juga akhirnya,

"Apabila, keadaan mengijinkan, aku ingin kembali kekampung halaman, dimana aku akan menuntut penghidupan petani, sebagai rakyat jelata sebagaimana aku berasal. Mudah-mudahan saja harapanmu sebagaimana yang telah kau katakan tadi benar-benar terlaksana, bahwa hidup bahagia serta tentram dan damai dalam mengecap alam kemerdekaan setelah berakhirnya alam penjajah ini." Setelah mengakhiri jawabannya ini, selanjutnya ia balik bertanya, "Dan kau sendiri, bagaimana, Giok moay?"

Kini Lian giok yang menghela nafas, lalu sahutnya dengan sember, "Entanlah ... ! Aku hanya seorang perempuan bodoh dan hidup didunia ini sebatang kara pula sehingga tak dapat kubayangkan betapa kehidupan yang akan terjadi bagi diriku kelak ... Ah ... kalau saja ayah tak cepat-cepat meninggalkan aku, niscaya aku takkan senelangsa ini ... " Tiba-tiba sepasang mata dara ini berlinang air mata. Persoalan masa depan yang ditanya jawaban dengan Hayhauw ternyata membangkitkan rasa duka dan sedih, karena teringat akan kamatian ayahnya dan yang membuatnya tak kuasa pula menahan kepiluan dihatinya sehingga pada detik berikutnya, sambil menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya, terisak-isaklah ia menangis.

"Giok moay ... Tak usah kau berkecil hati. Segala sesuatu yang belum terjadi dan kita hadapi baiklah kita serahkan saja kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kalau kau sudi, aku bersedia membantumu untuk membina masa depanmu itu ...” Sambil berkata dengan maksud menghibur ini, seakan-akan ada suatu tenaga gaib yang menggerakkannya sehingga tanpa disadari oleh Hayhauw tahu-tahu pemuda ini sudah duduk disisi, Lian giok seraya sepasang tangannya diletakkan dikedua belah pundak gadis itu.

Perbuatan Hayhauw yang terdorong oleh rasa cinta sangat besar terhadap Lian giok membuat dara itu menjadi terkejut. Lian giok melompat berdiri bagaikan disengat kalajengking untuk melepaskan kedudukannya dari pegangan anak muda itu. Wajah dan pipinya yang dibasahi air mata itu sebentar pucat sebentar merah dan sepasang matanya, yang membasah itu terbelalak lebar memandang wajah Hayhauw yang masih duduk diatas batu didepannya.

Sadarlah Hayhauw bahwa ia sudah melakukan perbuatan yang tidak semestinya, perbuatan lancang dan tidak sopan sehingga telah menyebabkan dara itu bersikap seperti itu. Maka ia cepat berdiri sambil menyatakan rasa penyesalannya.

"Maaf, Giok moay, atas kelancanganku yang tak kusadari tadi ..."

Akan tetapi, selanjutnya Hayhauw hanya tinggal bengong termangu-mangu sambil berdiri semati patung karena nona itu dengan gerakan cepat sekali lari meninggalkannya sambil membawa isak tangisnya yang makin menjadi! Sulit sekali baginya untuk dapat menyelami betapa benarnya perasaan hati Lion giok akibat perbuatan yang terdorong oleh rasa cinta dan kasih yang amat besar itu. Dan akhirnya, pikiran bingung- bingung dan hati cemas tak karuan, Hayhauw meninggalkan tempat itu. Kepalanya menunduk langkah kaki gontai ketika ia berjalan menuju kebedeng pemondokannya. Ia menghela nafas panjang berulang kali. Sikap Lian giok itu benar-benar tidak dapat dimengerti olehnya. Pada mulanya dara itu menampakkan sikap yang sangat menantang seakan-akan memancing isi hati dari Hayhauw, akan tetapi akhirnya ketika Hayhauw meletakkan sepasang tangannya dikedua pundak Lion giok sebagai tanda besarnya rasa cinta dan kasih, mengapa dara itu tiba-tiba memperlihatkan reaksi sedemikian rupa, seakan-akan marah?! Lagi-lagi pemuda ini merasa sangat kecil hati kalau-kalau Lian giok sampai benar-benar merasa marah dan membencinya!

Ketika Hayhauw sampai ditempat pemondokannya, pemuda ini mendapatkan Ho Bunki si Kepalan baja dari Hokkian menyambutnya sambil bertanya: "Saudara Han, habis dari manakah kau barusan?"

"Aku baru saja habis duduk-duduk dipinggir sungai" sahut Han Hayhauw dengan terus terang.

"Apakah yang kau lakukan dan dengan siapakah kau duduk-duduk disana?"

Hayhauw merasa heran sekali mengapa kawan ini bertanya sampai demikian melit dan pemuda ini jadi terkejut ketika melihat wajah Ho Bunki memperlihatkan rupa marah kepadanya. Sepasang mata kawan itu tampak menyala-nyala seakan akan mengeluarkan api. Hayhauw yang berotak cerdas serta segera maklum dan dapat menduga bahwa sikepalan baja ini diam-diam sudah mengintai dan agaknya sudah mengetahui apa yang terjadi antara ia dan Lian giok disisi sungai tadi.

Sejak untuk pertama kalinya ia bertemu dengan Ho Bunki, Hayhauw sudah melihat sikap dari pemuda ahli gwakang itu yang tidak simpatik terhadapnya dan sebagai latar belakang dari gejala ini Hayhauw dapat menangkap bahwa teman seperjuangannya itu merasa cemburu terhadapnya dan memang dapat diterangkan bahwa hakekat yang sebenarnya justru demikianlah adanya. Seperti sudah diceritakan bahwa Ho Bunki secara diam-diam sudah menaruh hati terhadap Lian giok dan sungguhpun baru hanya merupakan cinta sepihak namun kedatangan Hayhauw dalam pasukan Tiong gi pay ini dan kemudian ternyata ia melihat bahwa antara Hayhauw dan Lian giok nampaknya seperti sudah sama mempunyai hubungan batin yang sangat erat, maka terasalah oleh Ho Bunki bahwa kini sudah mempunyai saingan dalam hal memperebutkan hati Lian giok. Hingga segala gerak-gerik antara Hayhaw dan Lian giok selalu ia perhatikan dan rasa cemburu yang pada mulanya hanya merupakan setitik lelatu akhirnya menjadi berkobar menyala dilubuk hatinya ketika secara kebetulan sekali ia telah memergoki Hayhauw dan Lian giok duduk dipinggir sungai! Hatinya berdebar dan panas, dan kalau menurutkan adatnya yang kasar, rasanya ia ingin segera menerjang Hayhauw yang sudah berhasil merebut idaman hatinya itu. Akan tetapi karena mengingat bahwa Hayhauw berkepandaian tinggi sehingga jelas bukan tandingannya lagi pula ia selalu memang disiplin dalam kesatuan bahwa dalam saat-saat suasana segenting ini dimana sangat memerlukan persatuan kerukunan, sehingga ia sadar bahwa tidak semestinya ia membuat permusuhan dengan kawan sendiri hanya karena gara-gara memperebutkan perempuan! Itulah sebabnya, Ho Bunki jadi hanya mengintai saja dibalik rumpun semak-semak dari tempat yang agak jauh sehingga apa yang dipercakapkan oleh Hayhauw dan Lion giok tidak sampai terdengar oleh telinganya, tapi segala gerak-gerik dara idaman hati dan pemuda saingannya itu dapat disaksikan dengan jelas oleh sepasang matanya dan ketika ia melihat adegan terakhir, bukan main panasnya dada anak muda yang hatinya dibakari api cemburu ini! Maka tatkala melihat betapa Lian giok berlari pergi sambil menangis meninggalkan Hayhauw dan pemuda saingannya ini akhirnya meninggalkan tempat yang diintainya itu dengan lunglai, Bunki segera berlari kepondoknya dimana ia akan menunggu Hayhauw dan akan ditegurnya.

Mendengar teguran Bunki yang penuh nafsu itu, biarpun hati Hayhauw merasa kurang senang karenanya, namun ia yang sudah dapat menyelami isi hati serta watak temannya itu. Hayhauw tetap bersikap tenang dan lantaran pemuda inipun justru tidak menghendaki suatu bentrokan dengan temannya yang beradat berangasan ini maka secara cerdik sekali ia coba memancing untuk memadamkan api cemburu dihati Bunki sambil menyahut.

"Saudara Ho agaknya kau sudah mengintip, ketika aku bersama niocu duduk-duduk dipinggir sungai tadi sehingga kupikir tak perlu aku memungkiri lagi. Terus terang saja kuakui, kawan bahwa hati mudaku ini sangat jalang dan pada kesempatan tadi secara lancang sekali, aku telah menyatakan rasa cintaku terhadap niocu ..." Hayhauw sengaja menghentikan kata-katanya sebentar sambil matanya memperhatikan sikap Bunki.

"Bagaimana selanjutnya ... ?" Bunki tiba-tiba bangkit dari bangku yang didudukinya. Nada pertanyannya jelas sebagai pertanda kemarahan hatinya. Kedua matanya melotot dan sepasang tangannya sudah mengepal, agaknya sepasang kepalan yang menjadi senjata ampuhnya itu siap akan dihantamkan kedada Hayhauw. Rupa-rupanya terlupalah untuk seketika itu akan kedisiplinan yang selalu ia taati.

Hayhauw sengaja memperdengarkan suara helaan nafasnya yang panjang dan berkata dengan nada keluhan.

"Ah, kawan, ternyata rasa cintaku ditolaknya mentah- mentah dan kemudian baru aku tahu dari keterangan niocu sendiri bahwa rasa cinta dengan sebulat hatinya yang murni telah ia serahkan kepada ..."

"Kepada siapa?" Ho Bunki mendesak. "Kepadamu, kawan ... !"

Untuk sejenak anak muda dari Hokkian itu melongo dan sikap galaknya tadi kini tiba-tiba menjadi lunak.

"Betulkah ia berkata begitu? Tidakkah kau bohong?"

Hayhauw merasa geli hatinya melihat siasatnya berhasil. ia sudah mengenal cukup baik sekalipun hanya bergaul baru beberapa hari saja bahwa Ho Bunki, disamping kegagahan yang dimilikinya dan berhati jujur, akan tetapi anak muda alias sikepalan baja ini tidak memiliki otak yang cerdas sehingga begitu mudah sudah kena dipancingnya dan agaknya apa yang ia katakan segera dipercayainya.

"Apa gunanya aku membohongi kawan sendiri? Percayalah kawan!" Hayhauw melanjutkan Siasatnya sementara itu ia melihat wajah Bunki berseri-seri. "Malah saking besarnya rasa penyesalan dihatiku aku, terlanjur sampai memegang kedua pundak niocu untuk menyatakan maaf yang sebesar-besarnya. Akan tetapi niocu yang sudah menjadi milikmu itu ternyata malah menjadi sangat marahnya sambil menangis karena mungkin disebabkan merasa dihina, ia berlari neninggalkan aku, dan aku masih sempat mendengar ancamannya bahwa kekurangajaranku ini, katanya akan dibertahukan kepadamu! Saudara Ho yang beruntung demikianlah pengakuanku dan sekarang dapatkah kau maafkan aku ...?"

Tiba-tiba Bunki maju dan memeluk Hayhauw. Pelukan sebagai pernyataan kegirangan yang dirasakan dihati sangat besar. Ia percaya penuh apa yang dikatakan Hayhauw, sehingga tahulah ia sekarang Lian giokpun ternyata mencintainya.

"Saudara Han, kau benar-benar berhati mulia. Aku sama sekali tidak merasa marah terhadapmu oleh karena perbuatanmu justru disebabkan kau belum tahu bahwa niocu kita itu adalah kekasihku. Karena kalau misalnya kau sudah mengetahui, pasti kaupun takkan berani berbuat seperti itu bukan?"

Sambil menahan rasa kegelian dihatinya, Hayhauw menggarami "Sudah barang tentu tidak. Aku toh, bukan orang gila, maka kalau sudah tahu sekuntum bunga indah disunting orang, apalagi orang itu justru adalah kau sendiri maka mana mungkin aku akan berani berlaku lancang dan kurang ajar yang berarti sama halnya mencari penyakit sendiri? Itulah sebabnya sekali lagi aku minta maaf darimu yang sebesar- besarnya dan aku menyamikan ucapan selamat atas jalinan kasih antara kau dan niocu, semoga dalam perkawinanmu kelak memperoleh kebahagiaan. Dan kawan bolehkah aku tahu, kapankah pernikahanmu itu dilangsungkan ...?"

Kasihan dan mengelikan sekali Ho Bunki yang bodoh itu. Kata-kata Hayhauw yang cerdik itu mulanya membuat ia merasa seperti disanjung dan mempunyai harapan yang tinggi dan muluk. Akan tetapi setelah mendengar pertanyaan dari Hayhauw yang terakhir, harapan yang tinggi dan muluk itu tiba-tiba terbanting jatuh dan pecah berantakan. Betapa tidak, jangankan sudah dapat ditentukan hari pernikahan, sedangkan melihat gejala-gejala bahwa Lian giok menyambut rasa hatinyapun belum, oleh karena memang perasaan hati yang menanggung rindu selama ini hanya tinggal bersarang dirongga dadanya sendiri. Karena perangai yang polos dan jujur ditambah lagi otaknya yang kurang cerdas sehingga Bunki nampak bingung sekali untuk menjawab pertanyaan Hayhauw yang benar-benar merupakan suatu pukulan hebat bagi perasaannya dan anak muda ini untuk sesaat lamanya tinggal melongo saja dan kedua matanya berkedip-kedip seakan sedang melakukan otaknya untuk mencari akal supaya bisa menjawab pertanyaan Hayhauw dengan sempurna sekedar menghilangkan rasa malu yang ketika itu sudah memerahkan wajahnya.

Sementara Bunki masih kebingungan dan Hayhauw benar- benar hampir tak kuasa menahan kegelian hatinya, tiba-tiba ketika itu terdengar bunyi suitan yang nyaring dan berulang- ulang. Kedua-duanya anak muda ini sudah maklum bahwa suara tersebut adalah merupakan isyarat dari Lim Hongpin supaya semua anggota Tiong gi pay yang ketika mana kebetulan tidak bertugas berkumpul.

"Nah, kita mesti berkumpul. Rupanya ada bahaya ... !" kata Ho Bunki yang merasa telah terlepas dari kebingungan dan pendekar muda yang berjuluk sikepalan baja ini segera melompat keluar gubuk dan Hayhauw mengikutinya setelah melemparkan buntalannya keatas balai-balai bambu tempat tidurnya.

Bersamaan dengan teman-teman lainnya yang sudah berlompatan dari pemondokan mereka dan berbareng dengan mereka pula Hayhauw dan Bunki berlari menuju kesebuah lapangan yang biasa dipergunakan mereka berkumpul apabila diadakan rapat kilat maupun brifing atau berunding. Sebentar saja para anggota Tiong gi pay sudah berkumpul ditempat tersebut mengitari Lim Hongpin. Dan setelah menanti sesaat guna menunggu nona Lian giok yang kemudian baru muncul dengan kedua matanya masih merah tanda baru saja menangis. Lim Hongpin dengan suara lantang dan nyaring segera memberi laporan bahwa diluar hutan kelihatan para hwesio dari kuil Lianhoksi sedang berlari-lari mendatangi. Berita ini benar-benar sangat mengejutkan semua orang karena semenjak Tiong gi pay bermarkas dihutan ini, belum pernah salah seorang dari hwesio yang menjadi pendukung dan membantu kesatuan ini mendatanginya, sekarang ternyata mereka berlari-lari mendatangi, hal yang luar biasa ini tentu saja sudah merupakan tanda yang cukup menegangkan.

Dan setelah bertukar pikiran sebentar, antara tokoh-tokoh utama dari Tiong gi pay dan nona ini bertindak mewakili ayahnya selalu berdasarkan hasil perundingan apabila menghadapi sesuatu masalah, maka mereka segera berlari menuju ketepi hutan sebelah timur guna menyongsong kedatangan para hwesio dari kuil Lianhoksi itu.

Benar saja. Sekalipun masih agak jauh namun sudah terlihat jelas oleh mereka bahwa To Gun Hosiang, To Ci Hosiang, To Bi Hosiang, dan To Gi Hosiang berlari-lari mendatangi. Nampaknya mereka amat tergesa-gesa seakan- akan keempat orang hwesio ini sedang dikejar musuh sehingga membuat para penunggunya berdebar hati bertanya- tanya bahwa apakah yang telah terjadi dengan para hwesio itu sehingga meninggalkan kuil mereka dan datang kemari?

oooooooOdwOooooooo

Sebagimana sudah dituturkan bahwa semenjak jenazah Tan Kimpo berhasil diselamatkan serta kemudian dikebumikan, kesatuan aksi Tiong gi pay dalam suasana berkabung dan selama tiga hari kesatuan aksi ini tidak melakukan pergerakan sehingga selama itu mereka sama sekali tidak tahu apa yang telah terjadi dikota Thaygoan.

Goatseng Taysu Kulangcha, itu panglima perang dari "Pasukan Garuda", setelah melakukan penguntitan secara diam-diam terhadap tokoh Tiong gi pay yang berlari sambil membawa jenazah Tan Kimpo pada malam itu, maka mak1umlah ia bahw para hwesio penghuni kuil Lianhoksi yang memang sudah dicurigainya kini jelas merupakan pihak musuh dan ketika ia melakukan penguntitan lebih jauh sehingga kembali kekota Taygoan tatkala fajar hampir tiba maka taulah pula bahwa dimana yang menjadi tempat sarang Tiong gi pay.

Karuan saja kemarahan Kulangca bukan main atas kematian sekaligus kelima orang pembantu utamanya, yaitu Ma Inliang, Ceng Kunhi, So Banpek, Ho Likiat, dan Angbin Sinkay. Kejadian mana benar-benar merupakan suatu peristiwa besar bagi "pasukan garuda" dan Kulangcha harus mengakui bahwa pasukan Tiong gi pay benar-benar sangat kuat. Menurut keinginan hatinya yang dipenuhi nafsu dendam angkara murka Kulangcha hendak mengerahkan segenap kekuatan pasukannya untuk melakukan pembalasan, akan tetapi karena mengingat betapa kekuatan serta ketangguhan pihak lawan, apalagi sekarang setelah lima orang pembantu utamanya tewas sekaligus yang berarti merupakan kelemahan yang tak dapat dipungkiri lagi bagi pihaknya maka Kulangcha tidak berani segera melakukan pergerakan. Hanya satu- satunya siasat yang diperbuat adalah ia lalu menggantung dua mayat To Lek Hosiang dan To Li Hosiang didepan pintu gerbang ditiang pengantungan bekas yang dipergunakan menggantung Tan Kimpo. Dua mayat hwesio ini digantung sedemikian rupa, yakni dijungkirkan dengan kepala dibawah dan bagian kakinya diatas sehingga nampaknya sangat mengerikan dan hal ini sengaja dilakukan oleh Kulangcha dengan maksud sebagai pancingan agar kawan-kawan hwesio yang sudah menjadi mayat ini kembali datang mengambilnya dan disitulah ia akan mengerahkan seluruh kekuatan yang ada pada "Pasukan garuda" untuk menggempurnya sebagaimana siasat yang pernah ia lakukan dengan mempergunakan mayat Tan Kimpo sebagai umpan.

Akan tetapi, setelah ditunggu sampai dua hari dan ternyata apa yang diharapkan Kulangcha sama sekali tidak terbukti, sementara mayat dua hwesio itu sudah mulai menyiarkan bau busuk sehingga akhirnya terpaksa Kulangcha menyuruh anak buahnya untuk menyingkirkan dua mayat tersebut. Dan para serdadu yang mendapat tugas ini segera membawa mayat- mayat itu dilemparkan begitu saja seperti membuang bangkai anjing disebuah dusun yang telah kosong jauh diluar kota.

Dan pada suatu hari berikutnya, sungguh dugaan Kulangcha bahwa kota Taygoan telah didatangi sepasukan tentara yang kemudian ternyata barisan seperjuangan yang dipimpin oleh seorang panglima bangsa Moneol bernama Kozila. Perlu diketahui bahwa pada waktu itu barisan pemberontak yang dipimpin oleh Coe Goan Ciang telah berhasil merebut dan menduduki kota raja tentu saja setelah mengalami pertempuran dahsyat karena mendapat perlawanan gigih dari tentara Mongol sehingga menimbulkan korban bukan sedikit bagi kedua belah pihak. Hanya sangat dibuat sayang, meskipun istana kaisar sudah diduduki namun kaisar terakhir dari kerajaan Goan tiauw yang terkenal dengan nama gelarnya Toghon Timur berhasil meloloskan diri dan berlari bersama sisa pasukannya yang terpukul mundur. Sambil mundur dan sekalipun sudah jelas kekuasaannya didaratan Tiongkok tak dapat dipertahankan lagi, kaisar terakhir dari wangsa Goan itu ternyata tidak mau menyerah mentah-mentah atau lebih tepat dikatakan sebagai pelampiasan marahnya, ia memerintah segenap, pasukannya bahwa sambil mundur untuk kembali keutara harus meninggalkan dibumi Tiongkok kerusakan yang sehebat- hebatnya. Akibat perintah dari kaisar buron ini benar mengerikan sekali setiap tempat dimana saja yang mereka lewati dalam keadaan terpukul mundur, musnahlah rumah- rumah penduduk dibumi hanguskan dan tiada ampun bagi semua bangsa Han yang kebetulan mereka pergoki, tidak peduli laki-laki wanita, kakek-kakek, nenek, bahkan bayi sekalipun tak terkecuali, semua dibunuh mati.

Demikianlah, setelah kekuasaan penjajah berikut kaisarnya terusir dari kota praja dan pasukan pemberontak yang dipimpin Coe Goan Ciang terus melakukan pengejaran, maka secara berturut-turut kota-kota besar diberbagai propinsi berhasil pula direbut oleh kesatuan aksi dan sehingga perjuangan untuk menggulingkan kekuasaan penjajah benar- benar sudah mencapai puncaknya.

Adapun pasukan penjajah yang dipimpin kozila seperti sudah disebutkan tadi sebenarnya merupakan sisa pasukan yang tadinya menduduki salah satu kota besar dipropinsi Honan dan dalam perjalanan menuju keutara melintasi daerah Sansi serta secara kebetulan sekali mampir dikota Taygoan dan disambut oleh Kulangcha.

Bukan main kagetnya hati Kulangcha setelah mendengar berita dan kenyataan dari Kozila bahwa sudah tiba saatnya bagi mereka untuk segera angkat kaki dari bumi Tiongkok, akan tetapi dalam pada itu hati dari panglima "pasukan garuda" ini setidak-tidaknya merasa girang juga karena mampirnya pasukan kawannya itu merupakan bantuan yang cukup kuat untuk menumpas komplotan pemberontak Tiong gi pay sebagai pelampiasan dendam yang terkandung didadanya. Dan ternyata setelah Kulangcha merundingkan maksud hatinya ini kepada Kozila, maka Kozila menyetujuinya sambil berkata.

"Memang hal ini sudah seharusnya dan mutlak menjadi kewajiban kita, sesuai dengan perintah Kaisar!"

Semangat dua panglima perang itu benar-benar harus dipuji, mereka masih tetap menaati apa yang diperintahkan kaisar, sungguhpun kedudukan mereka boleh dibilang sudah terjepit! Memanglah, bangsa mongol adalah bangsa yang gagah berani dan memiliki disiplin yang amat baik sehingga jiwa besar warisan Jenghis Khan ternyata dipunyai juga oleh Kulangcha dan Kozila.

Begitulah, pada sore itu juga Kulangcha dan Kozila menggabungkan pasukan mereka lalu mengurung kuil Lionhoksi. Bahkan dalam penyerbuan ini ikut serta pula Ouwbin Sinkay karena pengemis sakti bermuka hitam ini memang merasa sakit hati sekali atas kematian saudaranya sehingga ia mempergunakan kesempatan ini untuk memunahkan dendam kesumatnya!

Pintu kuil Lianhoksi tertutup rapat-rapat dan suasana nampaknya sangat sunyi sepi, seakan-akan didalam kuil itu tiada penghuninya. Kulangcha segera menghampiri dan akan mengetuk daun pintu dari kuil tersebut, akan tetapi ia ragu- ragu dan maksudnya yang semula diurungkan. Kemudian sambil mundur disebabkan ia merasa sangat berbahaya apabila terlalu mendekati pintu itu, ia berseru dengan suara keras.

"To Gun Hosiang! Kami sudah tahu bahwa kau dan kepala gundul lainnya adalah golongan pemberontak, maka lebih baik kalian buka pintu dan keluar untuk menerima hukuman!" Suara ini bergema nyaring, kemudian keadaan sunyi sekali. Biarpun diantara mereka mengeluarkan suara, semuanya memasang mata dan telinga tanpa bergerak sambil bersiap siaga kalau-kalau terjadi suatu kemungkinan dari dalam kuil yang mereka kurung rapat disekelilingnya itu. Kemudian, terdengarlah suara jawaban dari dalam kuil dengan irama kata yang tenang dan halus, tapi nyaring menusuk telinga.

"Pinceng memang adalah gerombolan pemberontak, dan kalian telah mengurung kuil ini. Maka kalau hendak menangkap pinceng, kalian silahkan masuk saja!"

"To Gun Hosiang engkau jangan memancing? Menyerahlah baik-baik, sebelum kemarahan kami memuncak!" Balas Kulangcha.

"Menghadapi kaum penjajah, kami takkan menyerah mentah-mentah! Kalian datang bukan pinceng yang mengundang. Pinceng sudah mempersilahkan kalian masuk tapi dari jawaban yang kudengar mencerminkan bahwa kalian takut dipancing. Ah, kalau kalian benar-benar tidak berani masuk, maka lebih baik kalian pergi saja mengikuti jejak kaisar kalian yang sudah nurut seperti anjing duduk kena pukul!"

Sesaat Kulangcha dan Kozila serta Ouwbin Sinkay saling pandang, mereka sungguh tak menyangka bahwa berita tersebut sudah diketahui juga oleh hwesio pengnuni kuil ini. Lalu terdengar Kozila berseru marah karena perkataan To Gun Hosiang yang terakhir benar-benar merupakan penghinaan bagi mereka.

"Bangsat gundul keras kepala dan sombong! Kau mengatakan kami takut dan bahkan kau menghina kami, maka bukan salah kami kalau kau menghendaki kekerasan!" Setelah berkata demikian, Kozila lantas memberi abu-aba.

"Serbuuu ... !!"

Serempak bagaikan air bah, pasukan Mongol itu maju menyerbu sambil bersorak riuh rendah. Mereka ini ada yang mendobrak pintu merusak jendela yang terdapat disekitar kuil itu sehingga kuil Lianhoksi yang bentuk bangunannya tak berapa besar ini seakan-akan sebutir gula dikerubuti semut! Begitu daun pintu depan dan belakang serta yang terdapat disamping kuil itu, juga semua jendela-jendela sudah digedor rusak terbuka maka para serdadu lalu berlompatan masuk. Akan tetapi pada detik berikutnya tubuh-tubuh para serdadu ini beterbangan keluar kembali bagaikan sekawanan nyamuk ditembus angin santer! Tubuh yang beterbangan keluar itu menabrak dan menimpa kawan-kawan yang berada dibelakangnya sehingga disekitar kuil terdengar pekik kekagetan serta jerit kesakitan dan kemudian mereka mendapatkan bahwa tubuh-tubuh kawan mereka yang dibalikkan kembali dalam keadaan seperti terbang dari dalam kuil itu ternyata semuanya sudah tidak bernyawa.

Melihat kenyataan dalam segebrakan saja mengakibatkan tidak kurang dari dua puluh orang serdadu sudah mampus, Kozila maklum bahwa para penghuni didalam kuil itu telah melepaskan pukulan jarak jauh, suatu tanda bahwa hwesio itu memiliki kepandaian tinggi sehingga kalau penyerbuan seperti ini dilanjutkan pasti akan mendatangkan kematian bukan sedikit bagi anak buahnya, maka ia segera mengeluarkan aba- aba untuk menghentikan penyerbuan dan lalu ganti siasat.

Siasat apakah yang dilakukan oleh Kozila? Ternyata siasat ini sangat keji untuk melampiaskan kemarahannya terhadap pihak yang dianggap musuh dan hal ini memang sesuai pula dengan perintah kaisarnya. Diperintahkannya sebagian serdadu yang tetap dalam posisi mengepung disekitar kuil menyiapkan anak panah dan amgi (senjata rahasia), diarahkan kesetiap pintu dan jendela yang sudah rusak terbuka. Anak panah anak panah dan senjata-senjata rahasia ini akan segera merupakan sambaran maut apabila terlihat para hwesio mencoba melarikan diri. Sementara pasukan yang sebagian lagi sibuk bekerja, mengumpulkan daun-daun, rumput-rumput dan kayu-kayu kering, ditaruh disekitar kuil dan setelah bahan bakar ini bertumpuk lalu disiram minyak dan dibakar. Sebentar saja, dibantu oleh tiupan angin senja, kuil Lianhoksi terbakar. Api bernyala-nyala tinggi dan hawa panas sampai terasa oleh serdadu yang mengepung kuil itu sekalipun kepungan mereka sudah mundur enam tujuh tombak jauhnya dari posisi semula.

"Siasat bagus! Siasat bagus ... !" berulang kali Kulangcha berseru kegirangan memuji siasat kawannya. Sementara Ouwbin Sinkay terdengar ketawa terkekeh-kekeh tanda bahwa hati pengemis ini sangat puas. Adapun Kozila sibuk mengomando pasukan sehingga baugunan kuil yang seluruhnya sudah dikuasai api yang berkobar-kobar itu, juga secara terus-menerus dihujani anak panah serta senjata rahasia terarah kelubang pintu dan jendela untuk mencegah para hwesio pemberontak itu melarikan diri dari dalam kuil. Suara ledakan benda-benda yang terbakar terdengar sangat bising ditambah lagi api makan kayu berkeratakan. Tak lama kemudian, disusul suara hiruk pikuk tatkala atap kuil yang terbakar itu ambruk. Asap hitam membumbung tinggi membawa letik-letikan lelatu yang beterbangan keangkasa.

Akhirnya api padam setelah segala sesuatu yang bisa terbakar dari kuil itu musnah, yang tinggal hanya bangunan tembok yang telah menghitam. Segala macam perabot terbuat dari pada kayu termasuk pula patung-patung yang biasa menjadi benda-benda pujaan para hwesio didalam kuil Lianhoksi musnah sama sekali menjadi tumpukan puing. Melihat kenyataan ini, baik para pemimpin maupun para serdadu Goan ramai bersorak-sorak. Mereka semua tidak ada yang melihat hwesio yang ditakuti itu lari keluar tanda bahwa para hwesio kosen yang tadinya membuat mereka merasa cemas dan ketakutan kalau golongan pemberontak itu keluar dan mengamuk kini jelas sudah mampus terbakar. Inilah sebabnya mereka bersorak-sorak karena gembiranya.

Akan tetapi Kozila ternyata tidak mau bekerja kepalang tanggung segera menyerukan perintah. "Bongkar puing-puing itu dan mari kita lihat mayat-mayat kepala keledai itu!"

Kembali para serdadu bekerja. Kalau tadi mereka bekerja untuk membuat api, adalah sekarang sebaliknya, mereka sibuk memadamkan api diantara puing-puing yang masih membara merah. Tetapi bukan main rasa gegetun dan heran mereka, ketika setelah tumpukan-tumpukan puing dan gundukan- gundukan abu diobrak-abrik ternyata apa yang mereka cari tidak diketemukan. Semua orang penasaran dan akhirnya saling pandang, benar-benar ajaib dan mengherankan. Jelas sekali para hwesio itu tidak keluar dari kuil dan mereka yakin semuanya sudah mampus terbakar, akan tetapi kenyataannya disitu tidak terdapat mayat atau sisa-sisa mayat dari hwesio itu.

"Tak mungkin!" kini baru terdengar Kulangcha berseru keras saking penasaran dihatinya, "Kalau mereka bisa lari menyelamatkan diri pasti terlihat oleh kita yang mengurung tempat ini. Ayo, cari lagi! Bersihkan semua puing barang kali mereka mempunyai tempat perlindungan dibawah tanah."

Kembali para serdadu repot memengedug puing-puing dan abu, dan akhirnya tepatlah dugaan Kulangcha, bahwa dibagian ruangan tengah bekas kuil itu terlihatlah lantai berlobang. Kulangcha menyuruh tiga orang serdadu dengan senjata mereka siap ditangan lalu masuk, dan setelah ditunggu sesaat lamanya semua orang jadi tercengang karena ternyata tiga orang serdadu tadi tampak bermunculan dari lembah yang terdapat dibelakang bekas bangunan kuil tersebut. Kiranya lubang tadi merupakan jalan rahasia dibawah tanah dan ketika tiga orang serdadu tadi menyusurinya lebih lanjut ternyata mempunyai lubang tembusan di tebing lembah yang curam itu.

"Bedebah" Kulangcha memaki marah "Setan gundul itu rupanya telah merat dan kuyakin bahwa mereka menuju sarang gerombolan pemberontak Tiong gi pay. Mari kita kejar!"

Demikianlah, pasukan Goan yang dalam kesempatan terakhir hendak melakukan kerusakan dan kematian sebanyak-banyaknya bagi pihak lawan meneruskan gerakan operasinya menuju kearah barat, ketempat dimana menjadi pusat dan sarang kesatuan Tiong gi pay.

ooooooOdwOoooooo

Demikianlah adanya penuturan singkat dari To Gun Hosiang ketika ia bersama saudaranya tiba dihadapan para tokoh Tiong gi pay yang menyambutnya. "Dan pasukan penjajah kulihat sedang melakukan pengejaran, kita harus bersiap-siap!" To Gun Hosiang menutup penuturannya.

Mereka segera berunding. Betapa mestinya mereka harus mengadakan perlawanan apabila nanti pasukan penjajah itu benar-benar berani memasuki hutan dan meranjah tempat mereka. Akan tetapi pasukan penjajah itu ketika tiba ditepi hutan ternyata tidak segera melakukan penyerbuan, melainkan lalu mengambil posisi melingkar disebelah barat, utara, dan timur sekitar hutan itu. Sedangkan disebelah selatan, karena tempat mana justru adalah sebuah jurang yang sangat curam sehingga sukar dan berbahaya sekali jika menempatkan pasukan dan lagi menurut perhitungan Kulangcha tak mungkin gerombolan pemberontak akan melarikan diri melalui tempat itu karena kalau terpaksa juga menempuh jalan ini, maka dapat dipastikan mereka akan mati konyol, tubuh-tubuh mereka akan terpelanting dari tebing yang begitu tinggi dan curam.

Memang tepatlah perhitungan Kulangcha, tebing tersebut demikian lurus tegak bagaikan dinding sehingga mustahil sekali kalau orang dapat menaiki atau menuruninya, kecuali kalau orang dapat terbang! Itulah sebabnya Kulangcha merasa tak perlu mengadakan peningkaran dibawah tebing yang merupakan tepi sebelah selatan hutan sarang Tong gi pay itu. Tapi Kozila ternyata lebih waspada dan tidak setuju kalau tebing itu tanpa dijaga sehingga akhirnya biarpun tempat dibagian itu tidak dipagari oleh pasukan, namun ditempatkan juga seberapa belas orang serdadu ahli panah!

Hutan sarang Tiong gi pay benar-benar dikurung dan pasukan Goan ini sama sekali tampaknya tidak bermaksud menyerbu memasuki hutan, hanya bersikap mengepung dan menjaga. Hal ini mungkin disebabkan bahwa ketika itu hari sudah terlalu sore, sehingga resikonya besar sekali kalau mereka sampai kegelapan didalam hutan! Itulah sebabnya pasukan ini sama sekali tidak berani bergerak maju dan kemudian, seiring udara menjadi gelap, Kulangcha dan kawan- kawannya lalu mengeluarkan perintah supaya semua serdadunya berteriak-teriak mencaci maki sehingga tantanganya supaya gerombolan pemberontak panas hati dan keluar hutan dan mudahlah mereka sergap! Akan tetapi, para pemberontak itu ternyata tak begitu bodoh dan mudah dipancing, sehingga setelah suara teriakan-teriakan riuh rendah bergema meningkahi kesunyian berlangsung hampir setengah malam, akhirnya berhenti dengan sendirinya karena semua serdadu sudah kehabisan suara, yakni serak tenggorokan mereka serasa pecah dan kering serta capek! Sedangkan keadaan didalam hutan yang mereka lingkari itu tampak semakin sunyi semakin gelap dan makin menyeramkan!

Baik Kulangcha maupun Kozila, bahkan Ouwbin Sinkay yang sudah dikenal berkepandaian tinggi akhirnya menjadi kebingungan menghadapi kenyataan ini dan mereka merasa menyesal sudah berlaku terlanjur sudah kepalang mendatangi tempat ini! Dan akhirnya Kulangcha terdengar berkata menyatakan putusannya. "Kita sudah kepalang terlanjur, sudah kepalang mendatangi tempat ini dan kecewa sekali kalau kita harus kembali dengan tangan kosong. Maka menurut pendapatku, sekarang kita berpencar dan masing-masing memimpin pasukan dari tiga jurusan ..."

"Kemudian ... ?" tukas Kozila yang diam-diam hatinya agak mendongkol juga sampai dibawa temannya ditempat ini.

"Kita bakar hutan ini" kata Kulangcha tegas. "Bagus, Hayo kita mulai ..." sambut Ouwbin Sinkay.

Begitulah, ketiga pemimpin utama ini segera berpencar dan bekerja sesuai dengan siasat Kulangcha tadi. Maka sibuklah para serdadu mengumpulkan bahan-bahan umpan api dan karena ditepi hutan itu sangat mudah untuk mendapatkannya sehingga sebentar saja tiga penjuru ditepi hutan itu sudah dibendung oleh onggokan-onggokan umpan api yang serba kering dan siap tinggal menunggu perintah untuk disulut.

Justru pada waktu itulah, sebelum umpan-umpan api yang sudah menggunung dan memanjang serta sudah melingkari tiga penjuru hutan dibakar, tiba-tiba didalam hutan itu terlihat cahaya api yang berkobar-kobar dan seiring dengan mana seruan-seruan nyaring yang masing-masing terarah ketiga penjuru hutan dalam waktu hampir bersamaan.

"Hei, kawan-kawan! Pasukan dari sebelah timur sudah masuk dan membakar kubu-kubu sarang pemberontak ..." Demikian seruan dari dalam hutan itu yang berupa panggilan bagi pasukan Mongol yang ada ditepi hutan sebelah barat yang dipimpin oleh Kozila. Begitu melihat cahaya berkobar- kobar didalam hutan dan mendengar seruan itu Kozila berseru gembira dan segera memberi aba-aba sehingga tanpa sempat lagi menjulut umpan-umpan api yang sudah mereka sediakan tadi serempak para serdadu maju berserabutan memasuki hutan. Begitu pula Kulangcha yang memimpin pasukan disebelah timur, ketika melihat api berkobar didalam hutan dan mendengar seruan yang menjadi minta bantuan bahwa pasukan dari sebelah barat sudah berhasil menyerbu dan membakar kubu-kubu kaum pemberontak, maka tak banyak membuang waktu lagi Kulangcha segera memimpin pasukan masuk hutan dan hal semacam ini telah dilakukan pula oleh Ouwbin Sinkay dari sebelah utara, dengan demikian, maka dalam waktu yang hampir berbareng tiga pasukan yang masing-masing dipimpin oleh perwira berkepandaian tinggi ini telah menyerbu memasuki hutan dari tiga jurusan. Dan semuanya langsung menuju ketengah hutan dimana terlihat api berkobar makin hebat disertai terdengarrya suara gaduh dan ribut beradunya senjata dan jerit pekik orang tanda bahwa dipusat pemberontak itu telah terjadi pertempuran hebat.

Apakah sebenarnya yang telah terjadi ditengah hutan sarang kesatuan Tiong gi pay itu? Untuk mengetahuinya marilah kita lihat, betapa yang diperbuat oleh para tokoh- tokoh dari kesatuan orang-orang gagah ini sementara pasukan Mongol tengah bersorak-sorak ditiga penjuru ditepi hutan memancing mereka.

Kemudian, setelah diketahui bahwa pasukan penjajah itu hendak membabakar hutan, para tokoh-tokoh Tiong gi pay ini secara kilat kembali, berunding dan akhirnya siasat yang direncanakan Hayhauw yang selanjutnya mereka lanjutkan. Hayhauw sengaja membakar beberapa buah gubuk sehingga api berkobar dan terlihat dari luar hutan. Lalu dengan dibantu Lim Hongpin dan Kang Culay anak muda yang cerdik ini berlari mendekati tepi hutan sebelah timur dan berseru-seru seperti yang telah dituturkan tadi. Sementara Lim Hongpin dan Kang Culay berbuat seperti itu pula ini didekat tepi hutan sebelah utara dan barat. Dan sebagaimana sudah dijelaskan pasukan Mongol secara mudah kena pancing.

Setelah melihat pancingannya termakan oleh pihak lawan, maka Han Hayhauw dan kawan-kawannya lalu membuat suara gaduh bersorak-sorak menjerit jerit sambil senjata mereka diadu-adukan sedemikian rupa sehingga menimbulkan suara seperti sedang bertempur kedengarannya. Kemudian sesudah mendapat kenyataan bahwa pihak musuh benar-benar sudah merangsek dekat, dalam waktu hampir bersamaan, maka api yang berkobar membakar gubuk-gubuk tadi segara mereka padamkan dan api itu dapat dipadamkan dengan cepat dan mudah karena beberapa wadah air untuk dipergunakan maksud itu sudah mereka sediakan sebelumnya, sehingga keadaan didalam hutan yang tadinya terang benderang kini mendadak jadi gelap gulita dan seiring mana terdengar seruan-seruan nyaring.

"Itulah, gerombolan pemberotak didepan! Ayo ganyang mereka!"

"Hayo, bikin habis saja tikus-tikus busuk ini. Jangan disisakan meski seekorpun ..."

"Serbu ... !!"

Adapun sementara itu pihak pasukan Mongol yang datangnya dari tiga jurusan benar-benar sudah saling berhadapan dan oleh karena api yang tadi menerangi pandangan mereka mendadak padam membuat mereka menjadi kegelapan didalam gelap. Demi mereka dengan aba- aba serbu, maka meskipun secara membabi buta mereka ini menerjang maju dan terjadilah pertempuran yang dahsyat sekali didalam kegelapan itu. Suara beradunya senjata sangat ramai, dibarengi suara jerih dan pekik susul-menyusul.

Dilain pihak, Han Hayhauw dan kawan-kawannya setelah mendengarkan seruan-seruan untuk mengadu dombakan musuh lalu lari cepat kesebelah selatan dan berkumpul dengan para anggota Tiong gi pay yang sekian banyak itu. Mereka berkumpul ditempat ini dengan aman karena dari sebelah selatan hutan sama sekali tidak terancam bahaya dari pihak musuh. Dan andai kata tempat ditengah hutan itu terang pasti mereka ini akan tertawa kegelian karena melihat betapa pasukan Mongol itu saling baku hantam dengan pihaknya sendiri.

Pasukan Mongol yang datangnya dari tiga jurusan yang berlawan dan didalam cuaca gelap itu terus saling gempur sampai sekian lamanya karena dari ketiga pihak mereka ini sama mengira bahwa yang bertemu dengan mereka itu adalah pihak pemberontak. Sungguh kasihan sekali nasib para serdadu ini, mereka bertempur dalam cuaca yang sedemikian gelapnya sehingga tak dapat mereka melihat mana lawan dan mana kawan dan karenanya, tidaklah diantara mereka menemukan ajal secara sia-sia. Dan apabila perang campuh ini berlangsung beberapa saat lagi niscaya serdadu-serdadu dalam pasukan ini akan musnah semua. Baiknya tiba-tiba terdengar aba-aba yang suaranya amat nyaring sehingga mengatasi segala kehiruk-pikukan.

"Tahan senjatamu semua! Hentikan pertempuran ini ... !" ternyata aba-aba ini dikeluarkan oleh Ouwbin Sinkay yang segera menyadari bahwa pertempuran ini telah terjadi secara tidak semestinya.

Serempak perang campuh itu jadi berhenti dan pengemis sakti bermuka hitam itu lantas membuat penerangan dengan jalan membakar sebuah gubuk yang dekat dengan mereka. Setelah api berkobar dan cuaca menjadi terang, bukan main rasa sedih, kaget, dan marah hati para perwira maupun para serdadu dari Mongol ini. Betapa tidak, karena kini mereka dapat melihat dan mendapat kenyataan bahwa diantara mereka tidak seorangpun terdapat anggota pemberontak dan tubuh-tubuh yang banyak bergelimpangan mandi darah itu semuanya ternyata adalah kawan-kawan mereka sendiri. Sadarlah mereka bahwa mereka telah bertempur hanya menurutkan nafsu dan semangat yang menyala-nyala, tanpa berdasarkan otak sehingga tahunya mereka hanya main hantam kromo saja. Terutama sekali perasaan jengel dan menyesal yang bukan main besarnya sangat dirasakan oleh ketiga orang pemimpin pasukan. Mereka selaku panglima- panglima perang yang pengalaman dan mahir Siasat serta melakukan taktik tempur ternyata sekarang mereka merasakan menjadi manusia-manusia yang paling bodoh sehingga jadi terjebak seperti ini.

"Kurcaci pemberontak jahanam! Kalau benar-benar kalian mengaku orang gagah, mengapa berbuat demikian pengecut? Keluarlah! Ayo mari kita ..." Kulangcha mengeluarkan makian marah dan nada suaranya sangat nyaring sehingga bergema dalam hutan karena panglima ini telah mengerahkan khikangnya supaya maksudnya terdengar sampai ditempai jauh. Akan tetapi ia tak dapat mengumbar tantangannya lebih lanjut dan tiba-tiba ia menjerit ngeri, tahu-tahu lima batang anak panah telah menancap sekaligus didadanya membuat orang Mongol yang mempunyai nama besar Goatseng Taysu ini, segera roboh dan putus nyawanya. Melihat kejadian ini keruan saja Kozila dan Ouwbin Sinkay berlutut, semua serdadu merasa kaget bukan main dan sementara mereka belum sempat membuat sesuatu, berluncuranlah banyak sekali anak panah anak panah dari arah selatan menyerang mereka bagaikan hujan, maka tak sedikitlah serdadu yang tubuhnya ditembus hujan anak panah ini.

"Mundur ... !" Kozila segera memberi komando dan ia sendiri bersama Ouwbin Sinkay berlari paling dulu. Semua serdadu mengikuti dibelakangnya sambil berlari pontang- panting dan berserabutan.

Serangan anak panah dari pihak Tiong gi pay makin menghebat, sehingga kasihan sekali para serdadu dari pasukan penjajah yang diserang habisan-habisan tanpa dapat membalas sama sekali itu. Bahkan kemudian dibelakang mereka terdengar sorak-sorai yang riuh dan ternyata pihak Tiong gi pay telah keluar dari tempat persembunyian dan kini melakukan pengejajaran. Kozila dan Ouwbin Sinkay makin cepat berlari sehingga seakan-akan mereka sedang berbalapan, sama sekali tak memperdulikan bagaimana nasib anak buahnya yang tertinggal jauh dibelakang. Akhirnya dua orang tokoh dari pasukan Mongol yang dalam keadaan seperti itu lebih mementingkan keselamatan nyawa sendiri ini tibalah dihutan. Tapi sama sekali kedua orang yang berkepandaian tinggi ini tidak menyangka bahwa didepan mereka tiba-tiba dicegat oleh beberapa orang.

Terdengar suara ketawa terkekek-kekeh dari seorang diantara pencegat itu.

"He he he heh ..., Hendak lari kemanakah kalian berdua ini?"

Kozila dan Owbin Sinkay segera dapat menduga bahwa orang-orang yang mencegat didepan itu tentu dari pihak Tiong gi pay. Saking marahnya dan tanpa meladeni ucapan orang ketawa terkekeh-kekeh itu Kozila terus menerjang sambil mengerjakan senjatanya. Begitu pula Owbin Sinkay telah mengirim serangan berupa cengkeraman maut yang dilakukan sepasang tangannya. Akan tetapi kedua orang yang sudah nekat ini banyak kesempatan untuk bertingkah karena orang yang selalu memperdengarkan ketawanya yang terkekeh- kekeh, yang kemudian ternyata bersenjatakan sebatang tongkat ditangannya, memiliki kelihayan luar biasa dan terlalu tangguh bagi Kozila maupun Ouwbin Sinkay yang hati dan pikirannya memang sudah panik dan kacau ini sehingga hanya dalam tiga gebrakan saja robohlah tubuh kedua perwira bangsa Mongol ini bersamaan melayangnya nyawa mereka, dihantam oleh tongkat yang digerakkan oleh orang luar biasa lihaynya itu. Selanjutnya, orang yang bersenjata tongkat dan yang selalu memperdengarkan ketawa terkekehnya itu lalu mengajak kawan-kawannya yang ternyata berjumlah cukup banyak, lalu memasuki hutan, sehingga ketika mereka ini berpapasan dengan serdadu-serdadu yang berlari kalang kabut maka dengan seenaknya mereka mengerjakan senjata- senjata masing-masing bagaikan membabat rumput sehingga tak bada para serdadu yang terus didesak oleh pihak Tiong gi pay dari dalam hutan itu bagaikan sekawanan nyamuk yang berpapasan dengan bendungan api, begitu mereka tiba, begitu pula mereka bertemu ajal.

Makin paniklah keadaan serdadu Mongol setelah menghadapi serangan musuh dari belakang dan dari depan itu. Cahaya api dari gubuk yang dibakar Ouwbin Sinkay tadi sampai saat itu masih berkorbar sungguh sangat merugikan mereka karena kemana saja mereka lari dan dimana saja mereka coba menyembunyikan diri, seperti dibalik-balik pohon atau diantara rumpun-rumpun belukar, selalu dapat terlihat oleh pihak musuh sehingga mereka tak luput dari kejaran. Agaknya serdadu yang ternyata hanya tinggal separoh dari jumlah yang semula ini benar-benar akan binasa semua kalau pada saat kemudian terdengar seruan nyaring dari pihak pencegat di depan mereka itu.

"Hei, para serdadu Mongol! Dengar dan ketahuilah oleh kalian, bahwa dua orang komandan kalian yakni Kozila dan Ouwbin Sinkay telah mati ditangan kami, maka kalau kalian masih merasa sayang akan nyawa kalian, cepat menyatakan menyerah! Buang senjatamu dan semua berlutut ... !"

Mendengar seruan ini kegaduhan diantara para serdadu yang panik itu segera berhenti dan dalam saat yang bersamaan mereka ini lantas melemparkan senjata masing- masing dan mereka lalu berlutut sebagai tanda pernyataan bahwa mereka yang memang masih mempunyai keinginan untuk hidup, menyerah secara mutlak. Dan seiring dengan takluknya para serdadu ini, terdengarlah suara ketawa terkekeh-kekeh.

Ketika mana pihak Tiong gi pay pun sudah menghentikan gerakan senjata mereka semua. Orang dari kesatuan ini terjun sejenak hati dan pikiran mereka saling bertanya, bahwa siapakah gerangan orang-orang yang menjadi pihak ketiga itu serta menghentikan pertempuran? Kemudian, tampaklah salah seorang dari mereka ini melompat kedepan sambil berseru girang.

"Suhu ... !" Ternyata orang ini adalah Han Hayhauw yang segera dapat mengenal suara dan nada ketawa yang terkekeh-kekeh itu adalah suhunya, sehingga dengan hati merasa lega dan girang anak muda ini segera berlari menghampiri orang lihay yang bersenjatakan tongkat itu yang memang bukan lain ialah Tiong Sin Tojin adanya. Dibelakang Hayhauw, lalu berlompatan pula kawan-kawan mengikuti anak muda ini yaitu Lian Giok, Lim Hongpin, Kang Culay. Ho Bunki dan To Gun Hosiang berikut tiga hwesio saudaranya. Kalau Hayhauw dan Lian Giok segera berlutut dihadapan Tiong Sin Tojin, adalah para tokoh Tiong gi pay yang lainnya cukup memberi hormat sambil berdiri sebagai penyambutan guru Hayhauw.

Setelah ketawa terkekeh pula terdengar Tiong Sin Tojin berkata terhadap muridnya.

"Hauw Ji kau benar-benar telah membuat hatiku merasa bangga bukan main karena ternyata kau telah dapat memenuhi harapanku, menyumbangkan darma baktimu dalam masa perjuangan ini bersama Tiong gi pay. Muridku, berdirilah, juga kau nona Tan ... !"

Setelah Hayhauw dan Lian Giok berdiri kembali, Tiong Sin Tojin memandangi tokoh-tokoh Tiong gi pay seorang demi seorang.

"Kiranya To Gun Bengyu (sahabat) juga berada disini? Pantas tadi ketika aku tadi mencarimu dikuil Lianhoksi, aku hanya ketemukan kuil tempatmu itu sudah tinggal reruntuh".

"Benar, pinceng berada disini, Tiong Sin Toheng (saudara tua)" sahut To Gun Hosiang sambil maju kedepan dan secara singkat hwesio ini lalu menuturkan peristiwa apa yang telah terjadi sehingga akhirnya ia bersama tiga orang saudaranya berkumpul dengan kesatuan Tiong gi pay.

Tiong Sin Tojin hanya mengangguk-angguk tanpa berkata sesuatu setelah mendengar penuturan hwesio itu. Dan selanjutnya, dengan mempergunakan pandang matanya yang dapat melihat ditempat gelap, orang tua yang bersenjatakan tongkat ini seakan-akan mencari seseorang diantara para tokoh Tiong gi pay.

"Saudara-saudaraku, diantara kalian aku tak melihat Tan Kimpo, dimanakah paycu kalian itu?" tanyanya kemudian.

Tiba-tiba terdengar isak tangis yang ditahan. Ternyata pertanyaan Tiong Sin Tojin telah membangkitkan rasa sedih dihati Lian giok sehingga gadis ini tak kuasa lagi menahan tangisnya.

"Suhu, Tan paycu telah meninggal dunia" Hayhauw memberi keterangan dan selanjutnya anak muda ini lalu mengisahkan peristiwa kematian Tan Kimpo secara ringkas. Suhunya menghela napas setelah mendengarnya dan berkata terhadap Lian giok.

"Tan siocia, ayahmu gugur sebagai pahlawan sejati sehingga kematian yang sudah menjadi kehendak Thian itu tidak perlu kau terlalu sedihkan, bahkan seharusnya kau merasa bangga bahwa ayahmu kusuma bangsa pembela negara dalam perjuangan mengakhiri kekuasaan penjajah ditanah air yang kita cintai ini! Nona Tan sudahlah, hentikanlah tangismu yang dapat melemahkan semangat perjuangan kita ini ... !" Setelah diam sebentar, kakek berkepandaian tinggi ini lalu melanjutkan perkataannya.

"Dengarlah, saudara-saudara! Pada saat ini juga kita semua harus meninggalkan hutan ini! Sudah menjadi kewajiban kalian, saudara-saudara dari Tiong gi pay untuk menduduki dan menjaga kota Thaygoan yang telah kami rebut! Sementara aku dan kawan-kawanku, hendak terus melakukan pengejaran terhadap pihak musuh yang telah buron supaya tidak mempunyai kesempatan untuk menyusun kekuatan! Jangan membuang waktu lebih lama lagi ... !"

Tentu saja berita dan perintah yang disampaikan Tiong Sin Tojin disambut dengan gembira oleh semua orang-orang Tiong gi pay dan begitulah, pada saat itu juga mereka meninggalkan hutan itu menuju kota Thaygoan.

Dalam perjalanan itu Tiong Sin Tojin sempat bercerita bahwa semenjak berpisah dengan muridnya ia lalu membentuk sebuah kesatuan yang kemudian memukul mundur pasukan penjajah yang menduduki kota di Honan. Kozila komandannya lalu menarik tentaranya dan sebagaimana sudah diketahui bahwa dalam perjalanan hendak kembali keutara, pada suatu hari Kozila bersama pasukannya tiba dikota Thaygoan dan disambut oleh Kulangcha serta Ouwbin Sinkay yang segera mengajaknya menumpas kaum pemberontak. Adapun Tiong Sin Tojin beserta kawan- kawannya, setelah berhasil merebut kota yang semula diduduki pasukan Kozila, lalu melakukan pengejaran dan akhirnya tibalah mereka dikota Thaygoan dan kebetulan sekali ketika mana sebagian pasukan Goan sedang dibawa operasi oleh Kulangcha guna menumpas pemberontak, sehingga kota tersebut yang hanya dijaga sebagian pasukan rendahan, segera dapat direbut oleh Tiong Sin Tojin. Kota Thaygoan sudah terlepas dari kekuasaan tentara penjajah dan ketika Tiong Sin Tojin mengadakan pemeriksaan, ternyata gedung gubernuran telah kosong tanpa penghuni. Agaknya Lo Binkong, gubernur boneka itu siang-siang sudah merat berikut seluruh keluarganya.

Kemudian Tiong Sin Tojin mendapar keterangan dari serdadu yang ditawan bahwa Kozila dan Kulangcha sedang pergi beroperasi menumpas Tiong gi pay. Maka orang gagah ini lalu membawa sebagian kawannya menuju tempat yang menjadi markas Tiong gi pay dan bagaimana selanjutnya, seperti sudah diceritakan.

oooooooOdwOooooooo

Setelah berselang beberapa waktu kemudian semenjak kesatuan Tiong gi pay menduduki dan menguasai wilayah Thaygoan, maka secara resmi terjadilah peralihan wangsa yaitu dari wangsa Goan berganti kepada wangsa Beng dan kaisar daripada wangsa baru ini bukan lain adalah patriot bekas pemimpin pemberontak yang bertindak selaku pencetus perjuangan, ialah Coe Goan Ciang yang kemudian dalam sejarah Tiongkok lebih terkenal dengan nama gelar Beng Tha Coe.

Tentu saja diproklamirkannya kerajaan baru ini disambut dengan rasa syukur dan gembira oleh segenap penduduk Tiongkok, terutama sekali oleh rakyat kecil. Karena setelah hampir seabad lamanya bumi Tiongkok dijajah oleh bangsa Mongol yang telah mengakibatkan banyak kesengsaraan bagi rakyat kecil, kini kekuasaan dipegang oleh bangsa sendiri, maka dapat dipastikan bahwa keadaan penghidupan dan nasib rakyat kecil akan mengalami perubahan besar atau setidak- tidaknya tentu akan lebih baik dari pada jaman penjajahan.

Kota-kota dan dusun-dusun berangsur menjadi ramai setelah para pengungsi kembali berdatangan. Setelah api peperangan yang menimbulkan banyak kesukaran dan kematian itu padam, sangat terasalah betapa tenteram dan damainya keadaan penghidupan.

Sesungguhnya suasana sudah aman, akan tetapi kesatuan aksi Tiong gi pay masih belum dibubarkan karena pada hakekatnya tenaga dari kesatuan ini kini berfungsi menjaga keamanan dan ketertiban, sambil menunggu keputusan dari kaisar dalam menghadapi perkembangan selanjutnya. Han Hayhauw sudah mulai merasa tidak betah dalam saat- saat seperti itu, karena hari demi hari dapat dikata hanya tinggal nganggur, benar-benar sangat menjemukan bagi hati anak muda ini. Ditambah lagi hubungan antara Lian giok dan dirinya kini nampaknya menjadi renggang. Gadis itu selalu bersikap dingin sehingga makin teballah anggapan Hayhauw bahwa nona itu sudah benar-benar membenci kepadanya akibat kelancangannya ketika mereka masih bermukim dihutan pada beberapa hari yang lalu. Han Hayhauw sering duduk termenung seorang diri sambil merasakan kepedihan dihatinya dan tak habis-habisnya ia menyesali diri sendiri atas kelancangan yang pernah diperbuatnya. Makin diingat peristiwa itu justru yang jadi sebab utama bagi anak muda ini merasa tidak kerasan berdiam dikota Thaygoan lebih lama lagi. Ia ingin menjauhi Lian-giok karena selama ia berdekatan dengan gadis itu makin terasa hatinya tersiksa. Ia ingin kembali kekampung halamannya, ia akan bersembahyang dikuburan ayah, ibu, dan cicinya sebagai pernyataan bahwa pembalasan sakit hati terhadap Ceng Kunhi yang menyebabkan kematian mereka itu, sudah dilaksanakan. Dan selanjutnya ia bercita-cita hendak menuntut penghidupan dikampung halamannya sebagai petani sebagaimana dulu sejak kecil menjadi pekerjaannya. Hayhauw sudah merasa yakin benar bahwa dengan kekuasaan dipegang bangsa sendiri, tentu takkan terdapat lagi segala macam penindasan, takkan ada lagi penghisapan manusia atas manusia seperti dizaman penjajah sebagaimana yang pernah dialaminya.

Begitulah, pada suatu hari Hayhauw lalu menyatakan keinginan hatinya ini dihadapan para tokoh Tiong gi pay yang ketika itu kebetulan mereka sedang duduk berkumpul, diantaranya terdapat juga Lian giok.

"Apa? Kau pulang ... ?" To Gun Hosiang bertanya heran setelah mendengar pernyataan Hayhauw. "Ya, benar, Losuhu. Maksud ini sudah menjadi putusanku yang tetap setelah maklum bahwa disini kini sudah tiada lagi suatu pekerjaan yang perlu kubantu", sahut Hayhauw sejujurnya

"Hauw te, kau keliru", tiba-tiba Kang Culay terdengar menyela. "Kau jangan lupa bahwa kita ini justru sedang menantikan keputusan dari Thay Coe yang akan menganugerahkan pahala bagi kita. Jasa yang telah kau sumbangkan dalam perjuangan menegakkan kemerdekaan ini bukan kecil artinya, maka Thay Coe pasti akan memberi pahala berupa pangkat atau setidaknya kedudukan terhormat bagimu! Adik Hauw, kau jangan begitu bodoh hendak meninggalkan kesempatan yang baik ini begitu saja sebelum kau mengecap nikmatnya buah hasil dari pada jasa dalam perjuanganmu."

Mau tidak mau Hayhauw jadi tersenyum mendengar perkataan si ahli panah dari Santung ini.

"Terimakasih atas nasehat dan saranmu ini, paman Kang. Akan tetapi menyesal sekali aku tak dapat menerimanya karena selain niatku sudah tetap dan pada hari ini juga aku akan berangkat, juga kalau menurut pendapatku yang bodoh sungguh kurang bijaksana kalau perjuangan yang dilakukan disertai rasa pamrih, mengharapkan pahala sebagai imbalan jasa! Aku justru mempunyai pendirian bahwa dalam hal mempertaruhkan raga dan nyawa dalam menghadapi perjuangan adalah semata-mata berdasarkan kesadaran akan kewajiban demi membela bangsa dan tanah air, dan sama sekali tanpa mengharapkan sesuatu yang dibuat pahala sebagai upah dari pada yang pernah disumbangkan terhadap perjuangan! Apalagi aku ini hanya seorang anak kampung bodoh dan apa yang telah kulakukan dalam perjuangan sungguh kecil dan tak berarti, maka mana mungkin aku akan bisa mendapatkan pahala sedangkan aku sendiri justru tidak mengharapkannya! Aku masih ingat perkataan Tiong Sin suhu, bahwa yang dapat dibanggakan oleh para pejuang bukanlah pahala berupa pangkat atau kedudukan, akan tetapi perjuangan berakhir dengan kemenangan mutlak adalah justru berarti pahala yang benar-benar berhak dibanggakan! Nah, sekarang perjuangan telah berakhir dengan kemenangan mutlak, sehingga berarti untuk sementara ini kewajibanku selaku pejuang yang tak berarti sudah selesai dan inilah sebabnya yang membuat aku ingin pulang kekampung halaman yang sudah sangat kurindukan ..."

Kata-kata Han Hayhauw yang tegas dan tepat ini membuat semua orang mendengarnya jadi membisu sambil menunduk. Agaknya perkataan Hayhauw ini benar-benar sangat mengena bagi mereka karena pada hakekat yang sesungguhnya umumnya mereka sangat mengharapkan anugerah dari kaisar sebagai upah atas jasa-jasa mereka selaku pejuang.

Demikianlah, pada hari itu juga, tanpa ada orang yang berani mencegahnya Han Hayhauw berangkat pulang. Buntalan pakaian di gendong di punggungnya, senjata tongkatnya dipegang erat-erat dalam cekalan tangan kanannya, langkah kakinya lebar-lebar ketika ia berjalan langsung menuju kearah kampung halamannya. Ketika Hayhauw dilepas gurunya turun gunung ia tidak membawa apa-apa selain ilmu kepandaian, buntalan pakaian dan sebatang tongkat pemberian gurunya, disertai dada dipenuhi semangat besar. Dan kini ia pulang kekampungnya juga tiada membawa benda apa-apa selain yang itu-itu juga, tongkat yang sebatang dan baju pesalin sebuntalan yang diantaranya terdapat pakaian usang dan robek-robek yang masih belum juga selesai dijait. Adapun didadanya kini membawa dua macam perasaan, pertama perasaan bangga selaku seorang pejuang yang sudah menyelesaikan perjuangannya dengan kemenangan, kedua perasaan pedih dan sakit hati yang hancur luluh akibat cinta pertamanya telah menemui kegagalan. ooooooooOdwOooooooo

Sudah tiga hari Han Hayhauw melakukan perjalanan dan selama mana anak muda ini belum pernah mempergunakan ilmu lari-cepatnya, melainkan sengaja ia hanya berjalan seperti biasa saja sambil menikmati keindahan tamasya alam yang sedikitnya mendatangkan juga semacam pelipur lara bagi hatinya yang patah.

Hari itu udara luar biasa panasnya, sinar matahari sangat terik seakan-akan memberi segala sesuatu yang terdapat dimuka bumi sehingga meskipun belum sampai tengah hari dan ketika mana Hayhauw sedang berjalan disebuah jalan kecil yang diapit sawah-sawah kering dan gundul, merasa tak kuat menahan udara yang begitu panas. Ia lalu duduk diatas rumput dbiawah teduhnya sebatang pohon yang tumbuh dipinggir jalan, untuk beristirahat barang sebentar. Hayhauw merasa heran mengapa hari ini ia rasakan badannya begitu lesu dan tidak bersemangat, sampai-sampai seakan-akan ia tidak kuat lagi melanjutkan perjalanan. Keadaan ditempat itu yang memang amat sunyi dan lengang membuat perasaan hati anak muda ini benar-benar kesunyian. Sawah gersang yang sangat luas disekitarnya mendatangkan perasaan rendah diri dan serasa dirinya demikian kecil tak berarti.

Hayhauw duduk sambil memeluk lutut, kepalanya ditundukkan dan muka disembunyikan diantara kedua lututnya dan berkali-kali ia menghela nafas. Getaran sanubarinya seakan akan membisiknya, bahwa kelesuan yang dirasakan ketika itu bukan disebabkan teriknya matahari yang menyebabkan hatinya merasa kesepian karena pengaruh suasana disekitar dirinya, melainkan karena adalah oleh sebab jiwanya yang merana, kalbunya yang remuk redam, hatinya yang perih bagaikan disayat sembilu, gara-gara cintanya terhadap Lian giok bagaikan sebuah biduk yang taidinya berlayar diatas laut tenang, tiba-tiba ditiup  angin kencang sehingga sang biduk terhempas membentur batu karang dan hancur berantakan! Benar-benar kasihan anak muda ini, hidupnya ia sejak kecil penuh derita dan setelah dewasa baru pertama kali ia merasai kenikmatan dan kebahagian cinta- kasih yang mendalam terhadap seorang dara dan pertama kali ini pula cinta kasih yang pernah dinikmati hanya dalam waktu yang tidak berapa lama itu telah mengoyak hatinya, meluluhkan kalbunya dan menghancurkan harapan muluknya.

"Ah ..., Giok moay. Tak kusangka engkau akan membuatku seperti ini. Kau sendiri yang menantang lebih dulu, tapi setelah kuikrarkan cintaku padamu dengan sungguh-sungguh, kau jadi menangis, marah dan malah kau terus membenciku

... Ah, kau sungguh kejam, Giok moay ..." demikian Hayhauw mengeluh perlahan sebagai perluapan dari derita bathinnya yang dirasakan benar-benar berat.

Tak lama kemudian, setelah Hayhauw berkeluh kesah, akhirnya terlupalah derita bathinnya karena sitiran angin yang sejuk telah membuat ia ngantuk sekali sehingga tanpa dirasanya lagi ia telah tertidur pulas dalam keadaan masih duduk, dengan punggung bersandarkan batang pohon.

Entah berapa lama ia tertidur dan tatkala ia sadar serta membuka kedua matanya, alangkah tercengang dan heran hatinya sehingga ia hampir tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Ia menggosok-gosok matanya, karena merasa sangsi bahwa apa yang dilihat didepannya adalah bayangan belaka.

"Giok moay ... ? Benarkah engkau ini Giok moay? Tidakkah aku ini sedang bermimpi ...?" Hayhauw bertanya setelah yakin bahwa apa yang dilihatnya adalah benar-benar Lian giok yang entah sejak kapan sudah duduk bersimpuh didepannya.

"Benar, aku memang Lian giok yang sengaja menyusulmu dan kebetulan sekali kau kujumpai ditempat ini." terdengar yang ditanya memberikan penyahutan dengan suara lembut penuh kehalusan budi. Yakinlah Hayhauw sekarang bahwa wanita yang tahu-tahu sudah duduk didepannya itu benar-benar Lian giok adanya, bukan hanya bayangan belaka dan bukan pula terjadi dalam impian. Dan sungguhpun demikian, namun anak muda ini merasa heran.

"Giok moay, apakah yang menjadi maksudmu sehingga kau telah sudi menyusulku? Bukankah kau marah dan membenci kepadaku?" tanyanya kemudian sambil memandang tajam untuk coba menyelidiki perasaan gadis itu, rupa-rupa dugaan timbul diotaknya.

Lian-giok tak Segera menjawab dan untuk sesaat ia menundukkan kepalanya. Hayhauw masih tetap memandangnya dan dalam kesempatan ini ia mendapat kenyataan bahwa wajah gadis itu nampak agak lesu dan sinar matanya sayu membayangkan kesedihan. Baru tiga hari saja berpisah, Hayhauw yang memiliki penglihatan waspada segera dapat kenyataan bahwa tubuh gadis itu sudah agak kurus. Sungguhpun demikian, namun bagi penglihatan Hayhauw kecantikan Lian giok tidak jadi berkurang meskipun wajah itu kemerah-merahan karena terbakar teriknya sinar matahari dan agak dikotori debu yang melekat diantara peluh yang membasah di kening dan kedua belah pipinya.

"Hauw ko siapakah sebenarnya yang menyimpan rasa benci? Engkau atau aku ... ?" akhirnya terdengar juga suara Lian giok yang sangat lirih, sambil tetap menunduk.

"Kaulah yang membenciku, Giok moay. Buktinya, sejak kunyatakan isi hatiku kepadamu kau telah memperlihatkan reaksi yang menyebabkan aku jadi merasa diri paling rendah dan hina sehingga aku tak berani lagi mendekatimu. Apalagi sikapmu sampai waktu kulihat sangat dingin, kaku dan selalu membuang muka seakan-akan kau tak sudi lagi melihat aku. Bukankah hal ini sudah menjadi bukti yang sangat jelas bahwa kau membenciku?" Lian-giok mengangkat nuka dan ia balas memandang tajam kepada Hayhauw. Air mukanya membayangkan keharuan hatinya setelah mendengar perkataan pemuda itu. Dan ia berkata setelah menghela napas

"Ah ... , kiranya antara kita telah terjadi salah paham, akan tetapi justru antara kita masing-masing mempunyai anggapan yang banyak persamaannya."

"Apakah yang kau maksudkan, Giok moay?"

"Hauw ko, kau menganggap dan merasa bahwa aku membencimu. Demikian pula sebaliknya, aku sendiripun justru beranggapan dan merasa bahwa kau membenciku karena kenyataannya sejak kejadian sore itu yang tak bisa kulupakan, kau tak lagi menegur dan menyapaku, bahkan kau selalu menjauhiku. Apalagi ketika kau hendak berangkat, terhadapku sama-sekali kau tidak berpamitan. Bukankah hal ini sudah menjadi bukti yang sangat jelas pula bahwa kau membenciku?"

"Aku tidak membenci terhadapmu, tidak sama sekali. Giok moay! Maka kini jelaslah antara kita telah terjadi salah paham seperti yang kau katakan tadi, sehingga dengan demikian berarti pula sesungguhnya kau pun tidak membenci terhadapku, bukan ... ?"

"Kalau kau kubenci, tak mungkin aku menyusulmu sampai disini", sahut si nona sambil menggedikkan kepala dan setelah melempar kerling, lalu ia kembali menundukkan kepalanya.

Berserilah wajah Hayhauw mendengar ini, seri yang baru untuk pertama kalinya membayang diair mukanya setelah untuk beberapa waktu yang terakhir wajah itu selalu diliputi kemurungan. Seketika itu ia rasakan rongga dadanya demikian sesak karena hatinya secara tiba-tiba jadi membesar. Ia mengingsutkan duduknya kedepan sehingga lebih mendekati Lian giok sambil berkata dengan suaranya tergagap-gagap. "Jadi ... jadi ... kau tidak membenciku ... ? Dan berarti kau juga ... mencintaiku seperti aku mencintaimu sebagaimana yang pernah kunyatakan."

Kepala Lian-giok yang menunduk semakin dalam seakan- akan gadis ini hendak menyembunyikan wajahnya yang telah dijalari warna merah karena jengah. Tangan kanannya yang berjari mungil mencabut-cabut rumput kering disisi pahanya. Rambutnya yang digelung keatas agak terlepas dan segumpal rambutnya tertiup angin melambai-lambai mengusapi jidat dan pipinya.

"Giok moay ... Kau jangan membuat hatiku menderita lebih hebat lagi ... Kini sangat kuharapkan kau akan memberi jawaban sejujurnya, jangan kau bersikap seperti tempo hari yang telah menyebabkan hatiku serasa dikoyak, kalbuku hancur luluh ..."

Perlahan-lahan Lian giok mengangkat mukanya dan ketika ia beradu pandang bengan pemuda itu, kembali ia cepat menunduk dan jelas terlihat oleh Hayhauw bahwa bibir si gadis menyunggingkan sekulum senyuman. Sinar mata itu, ditambah lagi senyuman itu, sudah merupakan jawaban yang jauh lebih sempurna dari pada ucapan yang dinyatakan melalui mulut. Hal ini segera dapat dimaklumi oleh Hayhauw sehingga anak muda ini saking besarnya pengaruh emosi yang menggelora didadanya, tahu-tahu tangan si gadis yang tadi mencabut-cabut rumput kering itu telah disambar dan lalu digenggamnya erat-erat seakan-akan tak mau melepaskannya lagi.

Kalau menurut keinginan hatinya, mau rasanya Hayhauw untuk memeluk dan mendekap tubuh Lian giok, mencium pipi dan bibirnya. Akan tetapi pemuda ini cukup sadar dan dapat membatasi pengaruh hatinya yang penuh gairah karena mengingat bahwa mereka berada ditempat terbuka, bahkan dipinggir jalan pula. Dan lagi kalau ia coba berlaku lancang seperti tempo hari ia khawatir gadis itu akan beraksi seperti tempo hari pula. Oleh karena itu, dalam detik-detik memperluapkan perasaan hati masing-masing, maka sepasang anak muda yang tengah diayun-ambingkan dalam gelombang asmara ini hanya cukup dengan saling genggam tangan mereka yang gemetar, mulut sama membisu hanya mata mereka yang banyak bicara.

"Hauw ko ..." akhirnya pecahlah kesunyian oleh suara merdu bernada rendah yang lepas dari lapisan bibir Lian giok setelah tangan yang saling genggam itu terlepas sendirinya.

"Ya, apa, Giok adikku sayang ... ?"

"Mana bajumu yang belum sempat kujahit itu?"

Mau tak mau Hayhauw jadi ketawa tertahan mendengar ini. Nyata Liang giok masih ingat akan baju bututnya dan sekarang gadis itu benar-benar hendak menaati janjinya yang tertunda. Sungguhpun hal ini sangat remeh, tapi bagi Hayhauw sangat besar artinya, yakni sebagai tanda setia dari pada gadis itu

"Ada, dalam buntalan ini" ia menyahut sambil meraih buntalan yang ketika sebelum ia tertidur tadi telah diletakkan disisi tubuhnya, bersama tongkat yang menjadi barang pusakanya.

"Apakah kau hendak menjahitnya sekarang juga?"

"Kalau perlu, boleh! Akan tetapi, bagaimana kalau kujahit nanti saja setelah kita tiba dikampung halamanmu?"

Hayhauw tersentak. "Eh, jadi ... kau hendak ke ..."

Si gadis cepat menukas "Ho leng chun, dusun kampung halamanmu, dan siapa tahu, kalau Thian mengijinkan, kampung halamanmu itu akan menjadi tempat untuk menitipkan diriku yang hanya sebatang kara ini ..."

"Giok moay ... , Giok moay ... Jelaslah bagiku kini bahwa cinta kasihmu terhadapku tidak kalah besarnya dari pada rasa cintaku terhadapmu! Giok moay, marilah kita berangkat! Mudah-mudahan Thian mengijinkan dan memberkahi kepada kita, apabila kita setelah tiba di Ho leng chun, cinta kasih kita ini akan lebih erat, lebih teguh sehingga merupakan bahtera laju mencapai pantai harapan!"

Demikianlah akhirnya, Hayhauw dan Lian giok segera berangkat meneruskan perjalanan mereka menuju dusun Ho leng chun, tanpa memperdulikan sinar matahari yang masih terik. Mereka berjalan saling berendeng, sambil bercakap- cakap yang diseling ketawa mesra dan kadang-kadang disertai pula saling cubit-mencubit kecil ... Mereka sama sekali tidak tahu bahwa sepeninggal Lian giok, Ho Bunki, itu kepalan baja dari Hokkian yang pernah dikibuli Hayhauw, menjadi gelapakan tak keruan karena kehilangan Lian giok yang diam- diam telah pergi tanpa pamit kepada siapapun, menyusul kekasih pilihan hatinya !

Cerita ini sebenarnya sudah berakhir sampai disini dan tak perlu ditambah sedikit catatan ini kalau sekiranya setelah kerajaan Bengtiauw berdiri, apa yang menjadi harapan para patriot bangsa yang mempunyai andil besar dalam membina kerajaan yang dirajai oleh bangsa sendiri, apa yang menjadi harapan segenap bangsa Han terutama diri kalangan rakyat jelata bahwa nasib hidup mereka akan dapat ditanggulangi setelah negara lepas dari kungkungan penjajah, terpenuhi! Adapun kenyataannya benar-benar menyedihkan!

Melihat keadaan yang tambah menyedihkan ini, sudah tentu menimbulkan rasa penasaran dan kecewa yang bukan main besarnya di hati para orang gagah yang benar-benar pernah menyumbangkan jiwa raganya demi perjuangan membangun kerajaan Beng. Tadinya ada dalam pegangan bangsa sendiri, lalu pada pulang kekampung masing-masing karena sebagian besar dari mereka ini adalah pejuang- pejuang tanpa mengharapkan pahala dan sama sekali tidak mempunyai minat ikut campur dalam urusan pemerintahan. Akan tetapi setelan melihat kenyataan yang menyedihkan sehingga mendatangkan rasa kecewa dan penasaran yang bukan main besarnya dihati para kesatria ini, bangkitlah semangat mereka sehingga dimana-mana lalu bermunculan pemberontakan-pemberontakan sebagai protes terhadap kaisar yang ketika itu masih terlena dininabobokan oleh pembesar-pembesar durna. Dan dalam pemberontakan yang bertujuan mengikis habis pembesar-pembesar durna serta koruptor-koruptor, untuk menggugah kaisar dari "tidurnya" untuk menuntut perbaikan negara dan menanggulangi nasib rakyat jelata ini, dimana ikut serta juga Han Hayhauw yang rela meninggalkan Lian giok yang sedang mengandung setelah perkawinan mereka. Hayhauw segera mengambil senjatanya yang sudah lama istirahat, yang ia anggap barang pusaka, dan ia turut berjuang demi kebenaran dan keadilan.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar