PPKE Bab 01 : Menangis air mata bayangan

 
Bab 01 : Menangis air mata bayangan

Angin dingin bertiup sangat kencang salju yang seperti bulu angsa melayang-layang di angkasa.

" Tampaknya hujan salju kali ini .adalah hujan salju yang sangat besar dan jarang terjadi, hujan ini sudah turun selama beberapa hari, di angkasa sekarang pun masih tetap gelap, seperti akan jatuh saja, seluruh permukaan bumi telah diselimuti salju.

Disini adalah tanah liar yang sangat luas, bukit-bukit berbaris terlihat dari kejauhan, saat ini dan di tempat inipun sedang dilanda tiupan angin kencang dan hujan salju besar, pada malam hujan salju dengan angin bertiup kencang ini, terdengar suara "Kraak kraak!" yang amat keras terdengar dari dalam bukit.

Suara ini terdengar sambung menyambung tidak beratur, melihat ke arah sana, terlihat di kaki bukit ada dua tiga puluh orang yang sedang bekerja keras dengan keringat bercucuran, suara "Kraak kraak!" tadi, adalah suara kapak besar yang sedang membelah pohon hutan.

Di antara orang-orang yang bekerja ini, ada orang tua yang sudah beruban, juga ada anak muda yang bertubuh tegap, yang lebih mengherankan adalah, ada juga seorang anak kecil yang masih berusia tujuh delapan tahun!

Sedang apa mereka? Mungkin tidak ada seorang pun yang tahu, di pinggir orang-orang ini, berdiri seorang laki-laki besar setengah baya bertubuh tegap, di tangannya memegang sebuah cambuk' kulit, tidak henti-hentinya berjalan mondar-mandir, asalkan melihat ada orang yang bermalas-malasan, maka tanpa ampun akan dicambuknya, sehingga walaupun salju sangat lebat dan angin sangat deras, tidak ada seorang pun yang berani bermalas-malasan.

Anak kecil yang berusia tujuh delapan tahun itupun diam seribu bahasa, dia membelah pohon dengan kapaknya, sepasang tangannya sudah menge-luarkan darah, tapi dia sekali pun tidak mengeluh kesakitan, kadang-kadang dia melihat ke langit yang kelabu, berharap malam segera tiba, dan dia dapat pulang ke rumah untuk beristirahat.

Waktu pelan-pelan berjalan, raja langit tidak mengecewakan orang yang menghadapkannya, langit akhirnya menjadi gelap.

Laki-laki besar yang memegang cambuk kulit itu melirik sekali, dengan keras berkata:

"Sudah, sudah cukup, sekarang boleh istirahat."

Mendengar kata-kata ini, wajah anak kecil tampak rasa gembira, tapi ketika dia akan menaruh kapak besar di tangannya/ kembali terdengar laki-laki besar itu berkata dingin:

"Bagi siapa yang hari ini belum menyelesaikan pekerjaannya, tetap tidak boleh meninggalkan tempat ini, besok aku pasti akan memeriksanya kembali."

Habis berkata dengan sombongnya dia melihat pada para pekerja, lalu dengan langkah besar melangkah turun ke bawah gunung.

Sekarang orang yang telah menyelesaikan pekerjaannya dengan senang pergi meninggalkan tempat itu, akhirnya di atas gunung kosong ini hanya tinggal tiga orang, anak kecil itu salah satu di antaranya.

Dua orang lainnya berusia lebih tua dari pada dia, pengetahuannya juga lebih banyak, dua orang itu saling pandang sekali, lalu salah satunya berkata:

"Kalau kita melanjutkan pekerjaan, meskipun sampai tengah malam tidak akan bisa selesai, udara begini dingin, lebih baik kita pulang beristirahat dulu satu malam." Orang yang satunya lagi tentu saja setuju, dia lalu menunjuk pada anak kecil itu, tanyanya:

"Bocah, bagaimana dengan kau?"

Hati anak kecil itu bergetar, dia tidak tahu bagaimana menjawabnya, dua orang itu tidak menunggu dia lagi, dengan langkah besar mereka turun ke bawah gunung.

Demikian, sekarang di atas gunung tinggal dia soorang diri, dia ingin melanjutkan pekerjaannya, tapi Lingannya terasa sakit sekali, ditambah tertiup angin utara, tangannya segera mengucurkan darah segar, dia merasakan sakitnya sulit ditahan, sambil mengadukan gigi, diapun melemparkan kapaknya melangkah pulang.

Saat itu sudah petang hari, di atas tanah liar, selain suara angin salju yang menyapu permukaan tanah, tidak terdengar suara lainnya, anak kecil ini berjalan sendirian, tubuhnya hanya memakai pakaian tipis, malah ada dua lubang sobekan besar, angin dingin yang menusuk tulang itu menembus ke dalam lubang bajunya, memaksa dia memeluk tubuhnya sendiri, walaupun ada sedikit lebih hangat, tapi di wajah kecilnya, dia menjadi sakit kedinginan.

0odwo0

Pelan-pelan dia berjalan ke depan, mengangkat kepala melihat langit, salju melayang melewati wajahnya, di matanya terlihat ada air mata berlinang, ketika air matanya akan menetes, dia memaksa menahannya supaya tidak menetes, dia berguman pada dirinya:

'Sen Sin-hiong, Sen Sin-hiong! Kenapa kau menangis lagi? Bukankah ibu sudah bilang, anak baik tidak akan mencucurkan air mata?'

Sesaat setelah dia berkata demikian, dia segera menegakan tubuhnya, melangkah teg^ap maju ke depan.

Dia berjalan pelan-pelan, angin salju semakin kencang, tidak jauh dari perbukitan ada sebuah kota kecil, Sen Sin-hiong sedang berjalan menuju ke kota itu. Baru saja dia menginjakan kakinya di mulut kota, seorang tua setengah baya kebetulan keluar menutup pintu, melihat Sin-hiong lewat, dengan menghela nafas dia berkata:

"Haay! Anak yatim piatu yang patut dikasihani."

Tadinya Sin-hiong sudah lebih tabah sedikit, ketika suara orang tua itu terdengar di telinganya, dia tidak bisa bertahan lagi, air mata akhirnya menetes juga.

Angin utara semakin kencang, salju turun pun semakin lebat, kemungkinan tidak akan reda dalam waktu lima-enam hari.

Sin-hiong berjalan di jalan raya, kepalanya menunduk, kadang- kadang dia pun melihat-lihat ke dua sisi jalan, waktu walaupun tidak terlalu malam, tapi orang-orang kota sudah menutup pintunya supaya lebih hangat, hanya dia seorang diri yang berjalan di jalanan.

Dia berjalan dari ujung kota ke ujung kota, di sana ada satu rumah yang,sangat sederhana, tiba di depan pintu, pelan-pelan dia membuka pintu yang tidak di kunci itu, setelah masuk, tanpa menyalakan lampu, dia langsung berkata pelan:

"Ibu, A-Hiong pulang!"

Walaupun sudah berkata demikian, di dalam tidak ada orang yang menyahutnya, ternyata ibunya sudah meninggal sebulan yang lalu, setiap kali dia pulang ke rumah dia selalu berkata demikian, seperti ibunya masih hidup saja.

Dia maju dua langkah, bersujud di sisi ranjang yang dulu menjadi tempat ibunya tidur, kembali dengan pelan berkata:

"Ibu, kenapa kau tidak menjawab A-Hiong?"

Dia menjulurkan kedua tangan kecilnya yang terluka dan kedinginan, pelan-pelan mengusap-usap sisi ranjang, air matanya bercucuran... tapi dia tidak mengusap mengeringkannya, hingga terasa pandang-an matanya menjadi tidak jelas, dia menangis, tapi tidak mengeluarkan suara tangisan. Setelah ibunya meninggal dunia, selama satu bulan lebih, dia hanya hidup seorang diri, karena tidak ada uang untuk memakamkan ibunya, Sin-hiong meminjam uang lima liang pada keluarga Sun, dengan syarat dia harusberkerja untuk keluarga Sun selama satu tahun.

Malam ini, dia baru pulang dari tempat kerja-nya.

Kepala keluarga Sun yang bernama Sun Bu-pin, perangainya sangat kejam, meskipun usia Sin-hiong masih kecil, tapi pekerjaannya hampir sama dengan pekerjaan orang dewasa, jika pekerjaannya belum selesai maka dia tidak boleh pulang, karena Sin-hiong adalah anak tabah, dia tidak pernah mengeluh, hanya ketika sudah pulang ke rumah baru diam-diam dia menangis.

Hari ini, salju turun sangat lebat, sehingga dia merasa kepayahan, maka setelah d^a pun pulang ke rumah, dia menangis dengan sedihnya.

Menangis sebentar, air matanya pun sudah hampir kering, baru saja dia akan bangkit berdiri untuk pergi tidur, mendadak di pintu rumahnya terdengar suara keras "Paak!" seorang laki-laki yang tinggi besar telah menerobos masuk.

Sin-hiong terkejut, suaranya terasa gemetar:

"Paman Sun,.   "

Belum selesai dia berkata, orang yang dipanggil paman Sun sudah tertawa dingin:

"Apakah pekerjaanmu sudah selesai? Kenapa pohon besar itu belum tumbang?"

Mendengar ini, hati Sin-hiong menjadi kecut, dengan gagap dia berkata:

"Paman Sun, pohon itu paman menyuruh kami bertiga supaya menumbangkannya, setelah mereka berdua pergi, aku baru pulang."

Ternyata orang ini adalah Sun Bu-pin yang meminjamkan uang lima liang pada Sin-hiong, dulu dia pernah mendapat perlakuan tidak baik dari ibu Sin-hiong, jadi terhadap orang lain dia masih bisa baik-baik, hanya terhadap Sin-hiong saja, dia sangat keras.

Sun Bu-pin maju selangkah, katanya marah:

"Kau belum menyelesaikan pekerjaan, kenapa pulang ke rumah?"

Sin-hiong tidak bisa menjawab, Sun Bu-pin tertawa dingin, lalu dia membentak lagi:

"Cepat pergi, pergi, hari ini jika kau tidak nienijrnbangkan pohon besar itu. maka aku akan menggali kembali kuburan ibumu yang TBC itu."

Mendengar Sun Bu-pin memaki ibunya, entah datang dari mana keberaniannya, tiba-tiba Sin-hiong" berteriak:

"Ibumu baru setan TBC, besok aku akan Kembalikan uangmu!

Aku tidak akan bekerja lagi!"

Usianya terlalu kecil, dia hanya tahu kalau orang memaki ibunya maka dia akan membalas dengan kata yang sama.

Melihat Sin-hiong berani membantah, Sun Bu-pin langsung melayangkan tangannya "Plaak!" lalu memaki lagi:

"He he he, berani juga kau, dalam satu tahun ini, kalau aku menyuruh kau apa, maka kau kerjakan apa, jika berani tidak mendengarnya, aku akan melemparkanmu ke dalam gunung untuk makanan serigala liar."

Dalam satu bulan lebih ini, Sin-hiong sudah mengalami tidak sedikit makian dan pukulan, tapi tidak seberat malam ini, tamparan tadi hampir saja membuat dia tidak sadarkan diri, dia terhuyung- huyung sebentar lalu berdiri lagi, balas berkata:

"Aku tidak mau, aku tidak mau, aku tidak mau,    "

Sun Bu-pin tertegun, ternyata watak Sin-hiong yang amat keras ini, baru pertama kali dia melihatnya, telapak tangannya diangkat, kembali dia akan menempelengnya lagi, pada saat ini, mendadak dari tempat yang tidak jauh ada orang memanggil-manggil: "Sen Sin-hiong, Sen Sin-hiong!"

Suara orang ini sangat pelan, sambil memanggil sambil berlari mendekat, tadinya Sin-Rjong sudah tidak bisa menahan amarahnya, tapi setelah mendengar suara panggilan ini, hatinya tidak tahan meloncat-loncat, wajahnya pun ikut berubah.

Sun Bu-pin melototkan matanya pada Sen Sin-hiong, dengan dingin berkata:

"Ternyata kau memikat putriku?"

Dia tidak berpikir berapa usia Sin-hiong, mana mungkin bisa memikat putrinya? setelah berkata begitu dia lalu bersembunyi di sudut gelap, maksud-nya ingin melihat mereka berdua sebenarnya mau berbuat apa?

Sin-hiong yang sudah ketakutan jadi tertegun, dia sampai lupa mencegahnya, di luar pintu sudah muncul seorang gadis cilik yang rambutnya dikepang dua.

Gadis kecil itu menggoyangkan rambut kepang nya yang panjang, sambil melihat ke dalam dia berkata:

"Heey, Sen Sin-hiong, aku membawakan baju untukmu!"

Sin-hiong mana berani bicara, gadis yang baru datang dari tanah salju yang bersinar terang, ketika masuk ke dalam ruangan yang gelap, tentu saja masih belum bisa melihat keadaan dengan jelas, setelah memanggil, merasa tidak ada orang yang menjawab, kembali dengan pelan dia berkata:

"Sen Sin-hiong, kau ada di rumah tidak?"

Dia sangat berani, setelah memanggil, tidak peduli di dalam rumah ada orang atau tidak, dia melemparkan baju yang ada di tangannya ke dalam rumah, berkata pada diri sendiri:

'Tidak peduli kau ada dirumah atau tidak, jika aku terlalu lama, dan ketahuan oleh ayahku, aku pun akan dipukulnya lho?" Habis berkata, dia membalikan tubuh langsung meninggalkan tempat itu, tapi...mendadak krah bajunya seperti ada yang menarik, tahu-tahu dia sudah diangkat ke atas oleh Sun Bu-pin sambil membentak:

"Cui-giok, dia yang menyuruh kau mengantarkan? Atau kau sendiri yang datang mengantarkan?'

Gadis kecil yang dipanggil Cui-giok itu sudah mengenal suara yang berkata itu, wajahnya menjadi pucat, dengan ketakutan dia hanya berteriak "Ayah!", lalu tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Sekarang Sin-hiong malah menjadi sadar, melihat keadaannya dia segera berteriak:

"Paman Sun, aku yang menyuruh dia datang mengantarkan." Sun Bu-pin membalikkan tubuh, memakinya:

"Aku sudah tahu, tentu kau anak haram ini yang menyuruhnya, bagaimana mungkin putriku bisa berbuat begitu"

Setelah berkata, dia lalu meloncat ke depan, kembali menempelengnya tiga kali.

Sin-hiong masih anak kecil, bagaimana bisa tahan ditempeleng berturut-turut tiga kali, mulutnya segera mengeluarkan darah, tapi wataknya yang keras, tetap tidak mengeluarkan jerit kesakitan.

Sun Cui-giok yang diangkat oleh ayahnya, tidak bisa melihat bagaimana wajah ayahnya, dia hanya bisa melihat wajah Sin-hiong yang berdarah, dia terkejut, teriaknya:

"Ayah, ayah, aku sendiri yemg datang mengantarkannya."

Sun Bu-pin hanya tertawa dingin, sepasang matanya melototi Sin-hiong, bentaknya:

"Kau lihat apa? Cepat tebang pohon besar itu!"

Malam sudah larut, hujan salju di luar begitu besar, tangan dan kaki Sin-hiong sudah kesakitan karena dingin, jangan kata disuruh bekerja, berjalan ke tempat kerja saja, mungkin jatuh di tengah perjalanan.

Rupanya selama satu bulan lebih, Sin-hiong sudah sering kali dipersalahkan, hari ini setelah kedinginan lalu menerima pukulan, di dalam hati kecilnya, bagaimana pun tidak bisa menerima.

Dia harus meninggalkan tempat tinggalnya, benar, bagaimana pun dia harus meninggalkan tempat ini!

Setelah berpikir begitu, satu patah kala pun dia tidak berucap, dia membalikkan tubuh langsung masuk ke dalam kamar.

Siapa tahu, baru saja dia bergerak masuk, Sun Bu-pin melangkah maju, dengan marah membentak:

"Kau mau apa?"

Sin-hiong menegakan tubuhnya, berkata keras: "Aku tidak bekerja lagi, aku mau meninggal-kan tempat ini?"

Sun Bu-pin marah sekali "Paak paak!" kembali menempeleng dua kali, lalu memakinya:

"Selesaikan dulu pekerjaanmu satu tahun ini, kau anak haram mau berontak?"

Kali ini Sin-hiong dipukul lebih keras lagi, dia merasa mata berkunang-kunang, hampir saja jatuh pingsan, sesaat dia menjadi hilang kendali, mendadak dia mengepalkan tinju, balas memukul Sun Bu-pin.

Walaupun Sun Bu-pin sedang mengangkat seseorang, tapi menghadapi Sin-hiong yang masih ingusan ini, bisa dikatakan semudah membalikan telapak tangan, tinju Sin-hiong belum mendarat, wajahnya sudah ditempeleng beberapa kali dengan keras.

Kali ini Sun Bu-pin menempelengnya dalam keadaan sangat marah, berapa besar tenaganya? Mungkin dia sendiri pun tidak tahu, bagaimana Sin-hiong bisa bertahan, "Waaa!" dia berteriak keras, lalu jatuh pingsan. Sun Bu-pin tertegun, dalam hatinya berpikir, 'lebih baik sekalian saja kubuang ke dalam gunung supaya dimakan serigala liar, anak kecil seperti ini, tidak ada orang yang memeliharanya, walau matipun tidak akan menjadi perhatian orang.'

Begitu hati kejamnya timbul, dia lalu meng-angkat tubuh Sen Sin-hiong, berlari ke dalam gunung.

Kejadian ini, hampir saja membuat Sun Cui-giok yang sedang ketakutan menjadi pingsan, ketika dia sudah sadar, dia melihat ayahnya mengangkat Sin-hiong lari ke dalam gunung, wajahnya terlihat merah padam dan menakutkan orang, dia berteriak:

"Ayah, ini bukan salahnya Sin-hiong, kau maafkan dia!" Sun Bu-pin malah memegang lebih erat lagi memakinya:

"Jangan berteriak, jika tidak diam, aku juga akan melemparmu ke dalam gunung supaya dimakan serigala liar."

Mendengar akan diumpan pada serigala liar, benar saja Cu-giok menjadi diam, ketakutan, dia memandang ayahnya yang keji, diam tidak berani bicara lagi.

Saat ini salju dan angin sedang turun lebih lebat lagi, di dalam gunung tidak terlihat seorang pun, setelah Sun Bu-pin tiba di dalam gunung, lalu memilih satu tempat dan melemparkan Sin-hiong ke atas tanah, dengan kejinya berkata:

"Anak haram, sekarang kau boleh ikuti setan TBC ibumu itu." Habis bicara, dia berjalan balik dan melihat-lihat ke sekeliling,

baru mengangkat Sun Cui-giok berlari pulang ke rumah.

Sun Cui-giok melihat ayahnya melemparkan Sen Sin-hiong ke dalam gunung, tanpa peduli lagi berlari pulang ke rumah, dia menjadi sedih dan menjerit-jerit menangis, tapi, suaranya sangat lemah, di dalam gunung ini selain dia dan ayahnya, siapa lagi yang bisa mendengarnya?

Tapi, kejadian di dunia, yang diluar dugaan bisa saja terjadi, malam ini justru terjadi satu kejadian aneh. Ketika tubuh Sun Bu-pin pelan-pelan meng-hilang di gunung ini, dari atas sebuah pohon cemara yang rimbun, secepat kilat turun satu bayangan hitam.

Bayangan hitam ini bukanlah serigala, tapi seorang manusia!

Orang ini godeknya sudah beruban, wajahnya bersih, jalannya tertatih-tatih, di udara yang amat dingin ini, dia sama dengan Sin- hiong, hanya memakai baju yang tipis, dia meloncat turun dari pohon cemara yang tinggi, di atas permukaan salju malah sedikit pun tidak meninggalkan jejak kaki.

Dengan cepat dan ringan dia berlari ke tempat jatuhnya Sin- hiong, lalu mengangkat tubuh Sin-hiong, dia mengangkat kepalanya ke atas langit dan menghela nafas:

"Haay...! Sungguh anak baik yang sulit dicari, tidak sia-sia aku memperhatikanmu selama setengah tahun!"

Kata-kata ini entah berkata pada dirinya atau bukan? Hanya saja setelah berkata begitu, suaranya jelas tampak sedikit gemetar, dia memandang Sen Sin-hiong berkali-kali, wajahnya tampak senang sekali.

Angin utara bertiup semakin kencang, salju pun turunnya semakin lebat!

Tampak orang tua yang rambutnya sudah beruban, usianya sudah lebih dari tujuh puluh tahun, meskipun begitu dia tidak bisa menahan kegembiraan dalam hatinya, mendadak dia mengangkat kepalanya ke atas langit lalu bersiul panjang, suaranya terdengar jauh sekali, laksana auman harimau, siulan naga, dan juga laksana seorang dewa yang menguasai bumi dan langit, dalam lautan salju ini, ada semacam perasaan bangga dirinya telah berhasil.

Malam, semakin lama semakin larut.

Esok hari keadaannya akan bagaimana? Tidak ada orang yang berani meramalkan.

Esok lusa keadaannya akan bagaimana? Juga tidak ada orang yang berani meramalkan.

Kalau begitu, satu tahun dua tahun tiga tahun empat tahun, malah sepuluh tahtm kemudian akan bagaimana? Itupun tidak ada orang yang berani meramalkan.

OooodwoooO

Di saat petang hari, seekor kuda berwarna merah lari melewati lapangan liar.

Orang yang duduk di atas kuda, tangannya memeluk sebuah kecapi kuno dengan lima senar, memakai baju warna kuning muda, hanya saja wajahnya kuning kering, seperti orang yang baru sembuh dari sakit keras.

Usia dia tidak besar, kelihatannya hanya tujuh delapan belas tahun, dia sedang melarikan kudanya ke ujung lapangan liar.

Sambil berjalan dia memetik senar kecapi di tangannya, suara kecapi yang sangat merdu terdengar ke sekeliling dia, membuat orang yang mendengarnya timbul perasaan dan semacam pikiran yang amat jauh.

Di ujung lapangan liar adalah sederet perbukitan, di bawah perbukitan bertebaran beberapa bangunan rumah, sepasang sorot mata yang tajam orang ini dengan kaku melihat-lihat, dengan suara mengandung perasaan iba dia berguman sendiri:

'Sepuluh tahun telah berlalu, pemandangannya masih sama, tapi orang-orangnya sudah berubah, apakah aku masih bisa menemukan mereka atau tidak, entahlah?'

Pelan-pelan dia melarikan kudanya, berlari menuju salah satu rumah yang lebih besar di sisi gunung.

Malam telah tiba, bumi menjadi semakin samar samar, hanya suara kecapi yang dihantar angin itu, laksana datang dari langit, membuat bumi yang gelap ini menambah sedikit kehidupan. Ketika suara kecapi semakin mendekati rumah itu, mendadak dari dalam rumah berkelebat satu bayangan orang yang amat gesit.

Bayangan orang ini sesaat melihat-lihat ke sekeliling, lalu bersembunyi di sudut yang gelap.

Saat ini, tamu aneh yang berjalan sendirian sudah melewati parit, dia berjalan menuju rumah itu, ketika hampir tiba di depan pintu rumah, mendadak dia menarik tali kekang menghentikan kudanya, melihat di dalam rumah tampak gelap sekali, sesaat dia tertegun, lalu dengan pelan-pelan turun dari atas kudanya.

Orang yang tadi berkelebat keluar dari dalam rumah, ternyata telah melihat orang ini berhenti di depan pintu rumah, tidak tahan dia berpikir dalam hatinya:

'Heh, dia benar-benar tidak akan pergi lagi!'

Belum selesai dia berpikir, tamu aneh yang memetik kecapi sudah membalikkan tubuhnya dan bertanya:

"Mohon tanya saudara, apakah di dalam rumah masih ada orang?"

Ketika dia berkata-kata, tampak wajahnya tersenyum ramah, setelah selesai berkata, malah melepaskan pelana dari atas kudanya, rupanya walau di dalam rumah tidak ada orang, dia seperti sudah memastikan akan menginap.

Begitu dia berkata, orang yang bersembunyi di sudut yang gelap tidak terasa menjadi terkejut, dalam hatinya berpikir:

'Saat dirinya bersembunyi, orang yang datang ini masih berjarak dua puluh tombak lebih, apa lagi hari sudah gelap, tapi dia malah bisa melihatnya dengan jelas, ketajaman mata orang ini sungguh- sungguh sangat jarang ada di dunia persilatan?'

Ternyata malam ini, di tempat ini akan terjadi sesuatu? Di dalam rumah tampak sudah berjaga-jaga dengan ketatnya, setelah tamu aneh yang memetik kecapi ini muncul, keadaan di dalam rumah pun mendadak menjadi tegang. Sesaat orang yang bersembunyi itu masih tidak bisa memutuskan apakah harus menjawab atau tidak, dari dalam rumah berkelebat lagi satu bayangan orang, dalam sekejap sebilah pedang panjang yang berkilauan telah menempel di leher tamu aneh ini, lalu bentaknya:

"Hemm.. hmm.., kau mau apa?"

Di bawah sinar bulan bisa dilihat dengan jelas, wajah orang yang memegang pedang ini tampan sekali, di antara alisnya lebih-lebih memancarkan sikap gagah perkasa, apalagi saat tadi dia keluar dan menempelkan pedangnya, kecepatan gerakannya sungguh jarang terlihat di dunia persilatan!

Orang yang bersembunyi di kegelapan diam-diam memujinya, di dalam hati berpikir:

'Tidak percuma Ho Koan-beng menjadi seorang murid hebat diantara murid-murid Hoa-san, mengandalkan gerakan ini saja, tidak usah malu disejajarkan dengan pesilat tinggi dunia persilatan.

Orang yang memetik kecapi tadi dengan tenang masih terus melepaskan tali kekang kudanya, lalu berkata:

"Apakah perbuatan anda ini cukup sopan untuk menyambut tamu?"

Begitu kata-katanya keluar, orang yang memegang pedang jadi merasa keheranan, sambil menekan-kan pedang di tangannya, dia berkata:

"Siapa sebenarnya dirimu? cepat katakan, jika tidak, jangan salahkan aku membunuhmu!"

Sekarang orang yang memetik kecapi sudah selesai melepaskan tali kekang kudanya, dengan tawar dia berkata:

"Nama hanyalah tanda bagi seseorang, seperti kau Sin-kiam-jiu (Malaikat pedang) Ho Koan-beng, Ho-tayhiap yang julukannya sudah menggemparkan dunia persilatan, nama besar ini tentu saja perlu dirindukan, aku hanyalah Bu-beng-siauw-cut (orang kecil yang tidak bernama), tidak penting menyebutkan nama pada orang lain?"

Dia selalu menunjukan penampilan yang tenang, tidak terburu- buru, terhadap ujung pedang Ho Koan-beng yang menempel di lehernya, seperti tidak peduli.

Hati Ho Koan-beng menjadi tegang, orang sekali berkata bisa menyebutkan julukannya, sebenar-nya dia dari mana, dia sendiri malah tidak tahu, bagaimana tidak membuat dia jadi meningkatkan kewaspadaannya?

Setelah berkata orang yang memetik kecapi itu menepak-nepak tubuh kudanya, berkata:

"Merah, kau pun boleh istirahat satu malam!"

Kuda itu seperti mengerti perkataannya, sekali meringkik, lalu lari menuju kegelapan malam.

Perbuatannya yang aneh ini, seperti tidak ada orang saja di sisinya, Ho Koan-beng pun jadi serba salah, pedang pusaka yang dipegang, ditusukan salah, tidak ditusukan juga salah, keadaannya menjadi sangat tidak nyaman.

Keadaan yang terjadi sulit dibayangkan, Ho Koan-beng adalah pesilat tinggi muda yang belum lama muncul di dunia persilatan, orangnya sangat pintar, apa lagi jurus pedangnya Tui-hong-kiam- hoat (Ilmu pedang pengejar angin), dalam satu malam dia pernah berturut-turut mengalahkan dua belas orang jago silat dari Ho-pak (utara). Tapi tidak disangka, malam ini dia malah mengalami keadaan yang tidak nyaman.

Orang yang bersembunyi di kegelapan sudah berjalan keluar, berkata:

"Ho-tayhiap, asal usul orang ini sedikit aneh!" Kata-kata dia sebenarnya tidak berguna, jika Ho Koan-beng tidak merasa orang ini sedikit aneh, mungkin dari tadi dia sudah membunuhnya.

Sepasang mata Ho Koan-beng menyorot dua kilatan aneh, seperti ingin menembus hati orang yang memetik kecapi itu, tapi orang itu tidak mempeduli-kannya, sepasang matanya selalu menatap pada pintu besar di depan yang cat merahnya sudah luntur, entah ada perasaan apa di dalam hatinya?

Pada saat ini, tiba-tiba pintu besar terbuka, mata orang yang memetik kecapi itu menjadi terang, seorang wanita sudah berjalan keluar.

Wanita ini memakai baju ringkas, wajahnya sangat cantik, di punggungnya terselip sebatang pedang panjang, wajahnya ada rasa khawatir yang tidak bisa ditutupi, setelah dia keluar, melihat sekali pada orang yang memetik kecapi, tanyanya:

"Ada maksud apa Tuan datang kemari, apakah bisa menjelaskannya?"

Tubuh anak muda yang memetik kecapi jadi bergetar, diam-diam menghela nafas panjang, di dalam hati berpikir:

'Dia tetap tidak berubah, akhirnya aku bisa bertemu juga dengan dia, haay, dimana ayahnya?'

Pikiran ini hanya sekelebat lewat di otaknya, sekarang dia harus menjawab pertanyaan wanita itu, pelan-pelan dia mengangkat kepalanya, berkata:

"Karena mengejar waktu, aku jadi terlewatkan tempat beristirahat, apakah boleh aku menginap semalam di rumah anda?"

Ho Koan-beng yang ada di belakang segera berteriak:

"Cui-giok, jangan dengarkan dia, orang ini asal usulnya mencurigakan."

Tubuh Cui-giok tergetar, berkata:

"Koan-beng, kau tarik kembali pedangmu, dia bukan kelompok setan itu!"

Setelah berkata, pada anak muda yang memetik kecapi, berkata lagi:

"Malam ini di tempat kami ada masalah, jika Tuan tidak takut urusan, silahkan masuk minum teh!"

Wajah anak muda pemetik kecapi itu tampak sinar terima kasih, tapi dia tidak berkata apa-apa lagi, dia hanya menganggukkan kepala, lalu mengangkat pelana kudanya dan berjalan masuk ke dalam rumah.

Ho Koan-beng dan seorang lainnya tidak tahan jadi khawatir, Ho Koan-beng buru-buru berkata:

"Cui-giok, kita hanya punya waktu tiga hari, kenapa kau masih mengundang kerepotan?"

Cui-giok menghela nafas, matanya yang besar memandang ke arah lapangan liar yang luas, dia seperti sedang mengharapkan sesuatu. Tapi, dia sudah mengharapkan-nya selama sepuluh tahun.

Selama sepuluh tahun, dia sering bermimpi, malah mimpi yang aneh-aneh.

Ternyata anak muda pemetik kecapi yang datang malam ini, tindak-tanduknya yang aneh itu telah menyentuh hati Cui-giok, sehingga ingatannya terbuka kembali pada kejadian sepuluh tahun yang lalu, kejadian yang menakutkan itu, malah membuat dia lama tidak bisa melupakannya.

Melihat Cui-giok tampak bengong menatap ke arah jauh, di dalam hati Ho Koan-beng berpikiran lain, dia cepat-cepat berjalan maju ke depan, memegang tangannya yang halus, pelan berkata:

"Adik Giok, kau tidak perlu khawatir, guruku pasti datang."

Cui-giok hanya bersuara "Mmm!", saat ini di sekeliling tempat itu semuanya hanya salju putih, deruan angin dinginnya membuat dia gemetar, dia berkata seperti bukan dari isi harinya:

"Sangat mengerikan sekali!"

Ho Koan-beng mengira dia merasa takut terhadap masalah yang akan datang malam ini, padahal bagaimana pun hal ini akan terjadi, saat itu dia maju selangkah merapatnya, dengan penuh kasih sayang berkata: "Takut apa? Aku ada di sisimu!"

Sikap dua orang yang mesra ini, dilihat oleh seseorang, orang ini adalah anak muda yang memetik kecapi itu, dia jadi berpikir sejenak:

'Mengandalkan apa aku ini? dulu aku hanya seorang pegawai kecil di rumahnya.”

Malam sangat tenang, Ho Koan-beng dan Cui-giok berdiri di luar sesaat, setelah merasa sedikit kedinginan, Ho-Koan-beng mendorong pelan Cui-giok, berkata:

"Di luar dingin sekali, lebih baik masuk ke dalam."

Baru saja dia selesai berkata, mendadak dari kejauhan terdengar suara keliningan kuda, wajah Cui-giok berubah hebat, dengan suara gemetar berkata:

"Koan-beng, Sang-toh sudah datang!" Wajah Ho Koan-beng ikut berubah, katanya:

"Entah dia datang sendiri, atau bersama gurunya?"

Ternyata orang yang datang ini adalah, penjahat besar yang membuat orang dunia persilatan ketakutan hanya mendengar namanya saja, dengan kedudukan Ho Koan-beng, saat dia mengatakan ini, suaranya pun terasa sedikit gemetar!

Seorang lainnya sudah meloncat turun, berkata:

"Ho-tayhiap, apakah kita bertiga tidak bisa bersatu melawannya?"

Ho Koan-beng membelalakan matanya, lalu berkata dingin: "Saudara Gouw, kami dari Hoa-san-pai ber-beda dengan kalian

dari Bu-tong-pai, kami selamanya tidak pernah memenangkan pertarungan dengan keroyokan, jika kau menilai aku ingin mengandalkan orang lain untuk membantu, kau salah melihat orang." Habis berkata begitu, bersama dengan Cui-giok berlalu tidak mempedulikannya lagi!

Hati orang bermarga Gouw merasa tidak enak, pikirnya:

'Jika aku seorang diri mampu melawannya, akupun tidak akan lari kemari? Hemm.. hemm... bagaimana aku bisa menerima ejekanmu?”

Saat ini suara keliningan kuda terus mendekat, orang yang di panggil Gouw tidak sempat berpikir lagi, tubuhnya berkelebat, kembali bersembunyi di semak belukar tadi.

Setelah suara keliningan itu semakin dekat, samar-samar terselip suara seruling, dalam campuran dua suara itu, sekejap sudah tiba di depan pintu, terdengar sebuah tawa keras yang menembus langit, satu bayangan orang yang sangat gesit sudah meloncat ke atap rumah, teriaknya:

"Ho Koan-beng, Sun Cui-giok, kalian suami istri cepat keluar!"

Di bawah sinar bulan, orang yang datang ini pun seorang anak muda yang gagah, setelah dia naik ke atap rumah, dia kembali meniup serulingnya, sambil meniup seruling dia berkeliling satu kali ke seluruh rumah, setelah bersuara "Iiih!" sekali, dia tertawa dan berkata:

"Ternyata telah mengundang orang membantunya, aku Sang-toh malah tidak enak bertarung di dalam rumah, silahkan semuanya keluar saja."

Maka bayangan-bayangan orang berkelebat laksana kapas melayang keluar pintu.

Ternyata saat Sang-toh tiba di pekarangan terbuka, anak muda pemetik kecapi itu sedang membawa pelananya berjalan masuk ke belakang pekarangan, Sin-kiam-jiu Ho Koan-beng dan Sun Cui-giok berdua, semuanya sudah bersembunyi di dalam kegelapan.

Begitu Sang-toh keluar, Sin-kiam-jiu Ho Koan-beng mengikutinya berkelebat keluar, teriaknya: "Sobat, marga Ho tidak berniat melibatkanmu ke dalam masalah ini. Orang ini adalah Giok-siau-long-kun (Laki-laki bersuling giok) Sang-toh, dialah orang yang ternama akan kekejamannya, setelah dia tiba, gurunya pun tidak lama lagi akan tiba."

Dia berkata, kata-katanya seperti tidak jujur, tapi setelah anak muda pemetik kecapi mendengar, dia mengangkat kepala menguap sekali, dengan tawar berkata:

"Ho-tayhiap bicara apa? Aku datang hanya untuk menumpang menginap, apa itu Giok-siau-long-kun atau bukan, apa hubungannya dengan aku?"

Dia lalu mengangkat pelana kudanya, berjalan menuju ke ruang penyimpanan kayu bakar.

Terhadap keadaan di tempat ini dia seperti sangat hafal, sayang Ho Koan-beng dan Sun Cui-giok sedang gelisah, siapa pun tidak memperhatikannya.

Dikatakan demikian, di dalam hati Ho Koan-beng menjadi marah, diam-diam dia mendengus, di dalam hati dia berkata:

'Jika saatnya tiba, kau baru tahu ada atau tidak hubungannya denganmu.'

Di luar pintu terdengar lagi suara dingin:

"Ho Koan-beng, jika kalian tidak mau keluar, aku akan bakar rumah ini!"

Ho Koan-beng jadi tergetar, pikirnya:

'Mengandalkan dirinya dan Cui-giok malah ditambah Gouw-in, murid dari Bu-tong, dia tidak tahu apakah bisa menghadapi dia atau tidak, dari pada mengorbankan tiga nyawa, lebih baik aku sendiri saja yang menghadapinya?

Maka dia berkata pada Cui-giok yang sedang bersembunyi:

"Adik Giok, kau cepat melarikan diri, di jalan jika tidak bertemu dengan guruku, selamatkan dirimu ke tempat lain saja!" Siapa sangka setelah dia berkata, di sekeliling-nya terasa hening, tidak ada suara, begitu melihat ini Ho Koan-beng tidak tahan jadi tergetar!

Dia tidak berpikir apa-apa lagi, langsung lari ke tempat persembunyiannya Cui-giok, terlihat dia sedang tertidur lelap disana, malah kelihatan tidurnya nyenyak sekali, dia kembali jadi tertegun!

Dari pengamatannya, sekali melihat dia sudah tahu Cui-giok telah di totok jalan darah tidurnya, hanya saja orang yang menotok itu menggunakan cara khusus, bolak balik memeriksanya, dia masih belum tahu jalan darah mana yang telah ditotoknya?

Ho Koan-beng terkejut sekali, pikirnya: 'Jika orang yang menotoknya berniat buruk, sebelum menotok Cui-giok mungkin sudah dilukainya terlebih dulu, jika orang yang menotoknya berniat baik, lalu kenapa dia tidak terang-terangan saja menampakkan diri menolongnya?

Dalam waktu sekejap ini, dia hanya terpikir dua orang.

Satu adalah gurunya, tapi apakah ini mungkin, dia hafal sekali sifat gurunya, jika dia sudah tiba, tidak mungkin tidak menampakan dirinya?

Yang satunya lagi, dia terpikir anak muda pemetik kecapi itu, namun kemungkinan ini tampaknya sangat kecil, orang itu wajahnya kuning kering, sekelebat melihatnya persis dengan orang yang baru sembuh dari sakit keras, selain sifatnya sedikit aneh, apa yang disebut ilmu silat, mungkin dia pun tidak tahu:

Ho Koan-beng berpikir keras tapi tidak mendapatkan jawaban, sesaat dia jadi terbengong, teriakan dan makian di luar, dia seperti tidak peduli, seperti tidak mendengarnya.

Ketika dia sedang bengong, mendadak di atas kepalanya terdengar suara "Ssst!", ternyata Giok-siau-long-kun sudah tidak sabar lagi, dia langsung berkelebat masuk ke dalam ruangan, sambil tertawa seruling di tangannya sudah datang menyerang!

Tidak percuma Ko Koan-beng menjadi orang ternama, walau dalam keadaan bengong, mendengar di atas kepala ada gerakan, pedang pusaka yang sudah berada di tangannya, dengan jurus Heng-kang-cai-Iong (Sungai melintang memotong ombak), menyabet ke depan tubuhnya, memotong ke sepasang kaki Sang- toh.

Sang-toh tertawa dingin:

"Jurus ini boleh juga, tapi tidak terhitung jurus istimewa!"

Seruling di putar membuat tabir bayangan hijau, bukan saja telah mementahkan jurus Ho Koan-beng, arah kepala serulingnya tepat mengarah ke jalan darah Cian-keng, Hong-hu, dua jalan darah besar di depan rubuh Ho Koan-beng.

Ho Koan-beng memiringkan rubuh, tapi seruling Giok-siau-long- kun mengikuti gerakannya, tepat memotong gerakan menghindarnya, memaksa jurus kedua Ho Koan-beng tidak bisa dikeluarkan.

Ho Koan-beng terkejut, di saat yang berbahaya ini, mendadak sebuah suara kuat membelah angin melesat menuju ke jalan darah Meh-ken di pergelang-an tangan Sang-toh!

Pengalaman Sang-toh dalam pertarungan besar maupun kecil sudah tidak terhitung banyaknya? Ketajaman mata dan telinganya sudah sampai tingkat teratas, tahu ada orang yang diam-diam menyerang, serulingnya segera dihentakan, senjata gelap itu berhasil ditahan terpental ke udara.

Mengambil kesempatan saat Giok-siau-long-kun terhalang, tubuh Ho Koan-beng sudah meloncat mundur ke belakang sejauh dua tombak, rasa terkejut-nya belum habis, dengan suara gemetar dia berteriak:

"Entah orang hebat dari mana yang datang membantu, Ho Koan- beng sangat berterima kasih atas bantuannya!"

Setelah berkata, dia melihat ke sekeliling, keadaan tetap hening tidak ada suara, tidak tahan dia kembali terbengong! Wajah Giok-siau-long-kun yang tampan pun ikut berubah, ternyata saat dia tadi menangkis senjata gelap itu, hampir saja serulingnya terlepas, dia tidak bisa membayangkan, di dunia persilatan masa kini siapa yang memiliki ilmu silat setinggi ini?

Tapi dia sudah sudah berpengalaman menghadapi musuh, setelah berpikir sejenak dengan teliti, mendadak dia memutar serulingnya di depan tubuh, sambil tertawa berkata:

"Bagus, apakah kau masih tidak mau mengundang orang yang membantu kau itu keluar?"

Mendengar ini, Ho Koan-beng terpikir lagi anak muda yang memetik kecapi, hanya saja bagaimana pun dia tidak bisa percaya, orang pesakitan seperti dia, dengan senjata gelap yang sekecil itu, bisa memukul mundur Giok-siau-long-kun yang sangat ternama di dunia persilatan.

Tapi, di sekitar tempat ini, selain tamu aneh yang memetik kecapi, hanya ada Gouw-in saja, bagaimana kemampuan Gouw-in? Ho Koan-beng tahu sekali, hal ini sangat tidak mungkin?

Dengan sorot mata yang curiga dia menyapu, angin malam bertiup, bayangan pohon di pinggir gunung melambai, di sekeliling lapangan liar terlihat hening, sekarang selain dia dan Sang-toh berdua, Ho Koan-beng tidak melihat bayangan orang ketiga?

Sang-toh dan Ho Koan-beng, hampir berpikiran sama, sorot matanya menyapu ke sekeliling tempat itu, tapi tidak menemukan ada sesuatu yang aneh, dia adalah orang pintar yang ternama, saatMnipun merasa tidak mengerti.

Malam, semakin lama semakin larut.

Ho Koan-beng menghela nafas, berkata:

"Sang-tayhiap, terhadap masalah nona Sun aku benar-benar sulit menjelaskannya."

Tiba-tiba Giok-siau-long-kun sadar kembali, dalam hati berpikir: 'Dirinya dengan Sun Cui-giok tadinya adalah sepasang sejoli yang ideal, tidak diduga di tengah jalan muncul seorang Ho Koan-beng, sehingga Sun Cui-giok pelan-pelan menjauhi dirinya, malah akhirnya bertolak belakang dengan dirinya, kekesalan ini bagaimana bisa setiap orang menerimanya?'

Dia berpikir bolak balik, dalam hatinya berpikir lagi:

"Kau sudah mendapatkan dia, sudah tidak usah di katakan lagi, tapi tidak seharusnya diam-diam masih memaki aku sebagai orang sesat, juga melibatkan guruku, hemm hemm, jika aku tidak membunuh kalian berdua, sungguh aku tidak bisa meredakan kebencian di dalam hatiku.'

Berpikir sampai disini, timbul hati kejamnya, tanpa mempedulikan lagi siapa yang bersembunyi di kegelapan malam? Dia lalu mengangkat serulingnya, kembali menotok dada Ho Koan-beng! -

Siapa sangka, baru saja dia mengangkat tangan nya, kembali satu suara membelah angin menyerang-nya!

Serangan Giok-siau-long-kun ini sebenarnya hanya pura-pura, serangannya belum dilancarkan, di dalam hati dia sudah waspada, dia segera membalikan seruling, siap memukul jatuh senjata gelap itu, tapi serangan senjata gelap itu ternyata sangat cepat, gerakan dia masih terlambat selangkah, dia hanya merasakan sikunya lemas, lengan yang sudah diangkat kembali jatuh ke bawah.

Sang-toh sudah banyak pengalaman menghadapi lawan, dia sudah tahu di dalam kegelapan bersembunyi seorang pesilat tinggi, dengan jurus   Pathong-hong-ie (Hujan angin di delapan penjuru), dia menggerakan serulingnya sampai angin dan hujan pun tidak bisa menembus, dengan benci dia berkata:

"Ho Koan-beng sampai jumpa, kita masih ada waktu dua hari!"

Selesai berkata, orangnya sudah meloncat ke atas, suara seruling yang pilu bercampur dengan suara keliningan kuda yang memekakan telinga, terdengar dari dekat lalu menjauh, dalam sekejap sudah pergi entah kemana!

Tindakannya terlalu mendadak, sampai Ho Koan-beng yang melihatnya jadi terbengong, ketika dia terkejut, mendadak di belakang tubuhnya ada angin berkesiur, tanpa berpikir lagi dia membalikan tangan menusukan pedangnya ke belakang!

Baru saja dia menusukan pedang, terdengar seorang berteriak: "Koan-beng, kenapa dirimu? Ini aku!"

Orang yang bicara itu adalah Sun Cui-giok, Ho Koan-beng yang dua kali hampir menjadi orang mati, menyaksikan ini tanpa terasa mengeluh:

"Adik Giok, kita sungguh-sungguh buta, cepat ikut aku mengucapkan terima kasih pada orang yang telah menolong!"

Cui-giok tertegun, tanyanya terkejut:

"Siapa yang menolong kita?*'

Ho Koan-beng yang sudah lolos dari maut, saat ini tidak ada semangat menjelaskannya, dia sendiri pertama tama lari menuju ke pekarangan belakang.

Baru saja melangkah masuk ke pekarangan, belakang, sudah terdengar dengkuran tidur dari dalam ruang penyimpanan kayu bakar, tidak tahan dia kembali jadi tertegun, di dalam hati berkata:

'Orang ini pasti bukan penolongku, melihat rupa dia yang penyakitan, bagaimana mungkin memiliki kemampuan setinggi ini, dapat mengusir pergi Giok-siau-long-kun yang namanya menggempar-kan dunia?'

Dengan pandangannya, ditambah belum berjalan sampai ruang penyimpanan kayu bakar sudah terdengar suara dengkuran, di dalam hati Koan-beng berpikir:

'Tidak usah dikatakan lagi, dia pasti bukan lawan Sang-toh, menyuruh dia menangkis tiga jurus dari Sang-toh, mungkin juga tidak bisa menahannya?'

Saat ini Cui-giok sudah berlari masuk, tanya-nya: "Beng-ko, apa yang sedang kau pikirkan?" Ho Koan-beng kembali menghela nafas dengan beratberkata:

"Adik Giok, apakah kau tahu kita sudah hidup untuk kedua kalinya?"

Cui-giok membelalakan sepasang matanya yang besar: "Sebenarnya apa yang sedang kau katakan?"

Ho Koan-beng menghela nafas panjang, lalu secara ringkas menceritakan kejadian tadi, mendengar itu, sepasang mata Cui-giok membelalak lebih besar lagi.

Sebenarnya dia tadi bersembunyi di sudut gelap, ketika dia merasa ada angin meniup lembut, dia langsung tidak sadarkan diri, siapa tahu setelah dia sadar kembali, bukan saja Giok-siau-long-kun sudah lari ketakutan, juga orang ini telah menyelamatkan nyawanya Ho Koan-beng.

Ho Koan-beng bengong sebentar, kembali berjalan ke pintu ruangan penyimpanan kayu bakar, terlihat pintu kamarnya terbuka lebar, anak muda pemetik kecapi itu sedang berbaring diatas ranjang yang dibuat sementara dari papan, tidur dengan nyenyak sekali.

Sun Cui-giok pun ikut masuk ke dalam, tapi ketika dia melihat tempat dan bentuk tidurnya orang ini, hatinya segera tergetar!

Ingatan ini tertera sangat dalam di otaknya, sepuluh tahun yang lalu, anak yatim piatu yang kasihan itu kadang-kadang di saat tidak bisa pulang, sering tidur seperti ini, dan juga cara tidurnya, hampir sama persis dengan Orang ini!

Tanpa sadar Sun Cui-giok jadi tertegun, di dalam hati diam-diam berkata:

"Sepuluh tahun, sepuluh tahun, apakah kejadian ajaib bisa benar-benar terjadi?"

Melihat Cui-giok memandang cara tidur tamu anehnya sampai bengong, di dalam hati Koan-beng merasa tidak enak, pelan berkata: "Adik Giok, mari kau pulang dan istirahat!"

Hati Sun Cui-giok tergerak, diam-diam berpikir:

'Di tempat ini dia menunjukan perbuatan begini, tidak heran jadi menimbulkan rasa curiga Ho Koan-beng, mengenai apakah orang ini adalah Sen Sin-hiong atau bukan, dia harus pelan-pelan menyelidiki- nya.'

Maka dia menyahut sekali, diam seribu bahasa lalu berjalan kembali ke kamarnya.

Perasaan Ho Koan-beng pun terasa bertumpuk tumpuk, dia berpikir-pikir lagi, di dalam hatinya, meneguhkan sebuah pikiran, yaitu malam ini orang yang diam-diam menolongnya, pasti bukan anak muda pemetik kecapi ini.

Ho Koan-beng pun kembali lagi ke kamarnya, kejadian yang terjadi malam ini, sungguh terlalu ajaib, otaknya berputar-putar, membuat dia lama tidak bisa tidur, ketika di ufuk timur mulai memutih, dia baru bisa tidur.

Dia tidur tidak lama, seperti terbangunkan oleh suara tebangan pohon, di dalam hati dia merasa heran, buru-buru dia memakai baju bangkit berdiri, berjalan keluar pintu melihat, tampak anak muda pemetik kecapi yang kemarin malam menginap, sepasang tangannya sedang memegang kapak, di sisi gunung sedang menebang satu pohon yang besarnya sampai pelukan tiga orang dewasa.

Ho Koan-beng tertegun, di dalam hati berpikir, sedang apa dia?

Anak muda pemetik kecapi itu tanpa bersuara menebang pohon besar itu, "Kraak kraak!" suaranya terdengar sampai jauh sekali, dan akhirnya membangunkan Cui-giok juga. Dia keluar pintu, begitu melihat hatinya terasa jatuh ke bawah, hampir saja dia berteriak! 

Dia ingat dengan jelas, suatu malam ketika hujan salju, ayahnya menyuruh Sin-hiong menebang pohon besar ini, tidak diduga setelah lewat sepuluh tahun dia masih tidak melupakan hal ini, dan sengaja datang kemari menyelesaikan keinginannya. Tapi, ketika dia melihat dan melihat lagi, dia merasa penampilan orang ini sedikitpun tidak mirip, jangan kata bayangan belakang dan bentuk tubuhnya, wajahnya Sen Sin-hiong bagaimana pun tidak akan kuning kering seperti ini?

Tapi tidak peduli dia mirip atau tidak, di dalam hati Sun Cui-giok pun sangat emosi, tidak tahan berkata:

"Haai..., sudah sepuluh tahun, pohon besar ini sudah tumbuh lebih besar lagi!"

Anak muda pemetik kecapi itu menebang pohon sambil menundukan kepala, kapak naik ke atas dan turun ke bawah, gerakannya sangat mahir, siapa-pun yang melihat langsung tahu dia adalah ahlinya.

Mendadak Ho Koan-beng teringat satu hal, tidak tahan bersuara "Iiih!" lalu bertanya:

"Adik Giok, dimana Gouw-in?"

"Bukankah kemarin malam dia masih ada? Jika dia meninggalkan tempat ini, mungkin nyawanya tidak terlindung?"

Ho Koan-beng memandang sekali: "Kita tidak perlu pedulikan dia lagi, walaupun dia akan mati, itu pun urusannya!"

Memang dalam dunia persilatan sekarang, persaingan di antara berbagai perguruan sangat keras, masing-masing perguruan menyebut dirinya aliran lurus, Siau-lim tidak tunduk pada Bu-tong, Bu-tong pun tidak tunduk pada Siau-lim, Hoa-san, Go-bi, Kun-lun dan Tiang-pek pun sama saja, maka ketika kemarin malam Gouw-in berkata ingin bersama-sama melawan

Giok-siau-long-kun, wajah Ho Koan-beng segera tampak sinis.

Ketika kedua orang itu berbicara, mendadak kapak anak muda pemetik kecapi itu sudah berhenti menebang, sambil menggelengkan kepala berkata:

"Pohon ini besar sekali, mungkin memerlukan dua hari baru dapat menumbangkannya!" Setelah berkata, dia bersiul nyaring melesat ke langit, siulannya belum berhenti, dari kejauhan sudah tampak satu bayangan merah melesat datang dengan cepatnya.

Begitu dia menaruh kapaknya, bayangan merah itu sudah mendekat, ternyata itu adalah kuda merah yang ditungganginya kemarin malam, terlihat dia dengan pelan meloncat naik, dan tubuhnya sudah berada di atas kuda.

Ho Koan-beng jadi tergetar, sekarang dia sudah sadar, dari siulan panjangnya anak muda pemetik kecapi tadi, nadanya sangat nyaring, jika tidak memiliki tenaga dalam latihan puluhan tahun, mana mungkin dia bisa melakukannya?

Dia berpikir-pikir, saat ini sepertinya samar-samar dia tahu, orang ini mungkin ada hubungannya dengan orang yang diam-diam menolongnya kemarin malam, ketika melihat dia naik ke atas kuda, dia mengira akan pergi, maka buru-buru dia berlari ke depan, sambil berteriak:

"Saudara tunggu sebentar, aku ingin bicara!"

Anak muda pemetik kecapi memandang dia sekali, tanyanya: "Tidak tahu Ho-tayhiap ada perlu apa?"

Wajah Ho Koan-beng tampak sinar berterima kasih, berkata:

"Aku ada mata tapi tidak bisa melihat, kemarin malam telah berlaku kurang sopan, mohon anda tinggal lagi beberapa hari disini, bagaimana?"

Nada bicaranya, laksana seorang tuan rumah saja, di atas wajah anak muda pemetik kecapi yang kuning itu, mendadak terkilas satu sinar aneh, berkata:

"Walaupun aku tidak berkata pada Ho-tayhiap, tapi aku hanya bisa tinggal satu malam di rumah ini."

Berkata sampai disini, mendadak dia merubah nada bicaranya, dengan pelan dan dalam berkata: "Mengenai pohon besar itu? Aku sangat membencinya, maka aku harus menebangnya, jika anda suami istri tidak keberatan, setengah bulan kemudian aku pasti kembali menyelesaikannya."

Perkataannya sedikit tidak menyambung, tapi sebenarnya ada maksud tertentu, dia memandang mereka berdua suami istri, apakah karena terpengaruh oleh Giok-siau-long-kun, itu tidak jelas.

Ho Koan-beng merasa kesulitan, berkata:

"Apakah saudara benar-benar tidak bisa tinggal disini satu dua hari saja?"

Anak muda pemetik kecapi mengangkat kepala melihat langit, matahari pagi baru saja terbit, dalam hati berpikir:

'Sepuluh tahun lalu, di tempat ini, di waktu ini, saatnya aku bekerja,' sorot matanya melihat ke sisi gunung dengan sorot penuh kerinduan, tapi tidak menjawab apa yang ditanyakan Ho Koan-beng tadi.

Perilakunya yang sedikit aneh ini, tidak bisa mengelabui mata Sun Cui-giok, setelah mendengar kata-katanya, tidak tahan dia menjadi sedih sekali, dia menundukkan kepalanya,, kejadian masa lalu laksana lampu berputar-putar di depan matanya, jika benar orang yang di depan mata ini adalah Sen Sin-hiong, kata-kata ini pasti ada maksud tertentu.

Anak muda pemetik kecapi pelan-pelan menggerakkan kudanya, berjalan lewat di depan Cui-giok dan Ho Koan-beng, Ho Koan-beng jadi tambah gelisah, katanya lagi:

"Walaupun saudara harus pergi, juga harus makan dulu."

Habis berkata, dia memegang rambut kuda (kudanya belum memakai pelana), kegelisahannya tampak jelas sekali.

Kenapa Ho Koan-beng memaksa dia untuk tinggal terus, masalah ini hanya dia sendiri yang tahu.

Memang, Giok-siau-long-kun kemarin malam sudah datang, dan tidak beruntung mengalami kegagalan hingga pulang kembali, Ho Koan-beng tahu dia pasti akan kembali lagi dengan membawa gurunya Ang-hoa-kui-bo (Iblis bunga merah) yang julukannya sangat menakutkan di dunia persilatan, Ho Koan-beng bukan lawan Sang-toh, gurunya walaupun dapat menghadapi Ang-hoa-kui-bo, tapi siapa yang bisa menghadapi Sang-toh? Hal inilah yang membuat dia sangat gelisah.

Anak muda pemetik kecapi menggelengkan kepala dengan suara mengeluh berkata: "Haay..., aku harus pergi!"

Sun Cui-giok melihat dia bersikeras mau pergi, dengan gelisah sekali, teriaknya:

"Bagaimana kau boleh pergi! Kau tidak boleh pergi!"

Suaranya penuh dengan nada memohon, membuat wajah anak muda pemetik kecapi menjadi serius, dia menatapnya dengan sorot mata bengong, dalam hatinya timbul sebuah pikiran yang sulit dikatakan, mendadak membalikan kudanya, berjalan kembali ke sisi gunung.

Setelah tiba di sisi gunung, terlihat dia menepak kudanya, pelan berkata:

"Merah, kita tinggal beberapa hari lagi." Habis berkata, dia meloncat turun dari atas kuda, mengambil kapak yang ada di sisi pohon besar, kembali menebang pohon itu.

Tindakan dia walaupun aneh, tapi Ho Koan-beng tahu dia telah meluluskan untuk tinggal, tentu saja dalam hatinya sangat gembira.

Pikiran Cui-giok lain lagi, dia tahu setiap tindakannya mengandung makna, mungkin semua ini mengandung kekesalan, tapi setelah dipikir, dia merasa ada sedikit tidak benar, jika dia datang dengan hati benci, kemarin malam dia tidak akan menolong.

Dua orang ini sekarang sudah berani memastikan kemarin malam yang menolong mereka adalah dia, walau mereka tidak ada bukti, juga tidak melihat dengan mata kepala sendiri, tapi selain dia ada siapa lagi? Ho Koan-beng seperti terlepas dari beban berat, pelan-pelan membalikan tubuh, berkata:

"Adik Giok, sifatnya aneh, mungkin sejak kecil sudah mendapatkan pukulan, sekarang siapkanlah makan siang."

Pikiran Sun Cui-giok pun tidak menentu, tapi dia tidak enak memperlihatkan di hadapan Ho Koan-beng, terpaksa menyahut sekali, lalu berjalan kembali ke dalam rumah.

Ho Koan-beng memandang bayangan belakangnya, di dalam hati timbul banyak pikiran, pada saat ini, dari kejauhan terdengar suara panjang ringkikan kuda, di dalam gumpalan debu, samar-samar terlihat seekor kuda berlari.

Ho Koan-beng sangat gembira, buru-buru dia menyambutnya, teriaknya:

"Guru, guru, anda sudah datang!"

Kuda yang datang larinya cepat sekali, tidak lama kemudian sudah bisa dilihat dengan jelas penunggangnya.

Orang ini adalah seorang tua, dengan janggut perak melayang- layang di depan dadanya, wajahnya merah memakai baju warna biru ungu, dialah ketua Hoa-san-pai Tui-hong-tayhiap, Cia Thian-cu.

Cia Thian-cu turun dari kudanya, begitu melihat ke atas, belum sempat bertanya, mendadak dia bersuara keheranan:

"Apa itu?"

Baru saja Ho Koan-beng akan membungkuk menghormat, mendengar perkataan gurunya, dia ikut melihat ke arah yang yang dilihat gurunya, terlihat di atas sebelah kanan pintu, entah ditulis oleh siapa, ada empat huruf di tulis menggunakan darah segar "bunuh semua", di kedua sisi empat huruf itu, digambar sebatang seruling dan sebuah tongkat besi, menakutkan siapa pun yang melihatnya.

Ho Koan-beng tidak tahan lagi dengan terkejut berkata: "Kenapa kami tadi tidak melihatnya?"

Pintu itu tidak tinggi, tadinya dia ingin meloncat ke atas menghapusnya, tapi tidak ada tempat untuk bisa menahan tubuh, maka dia cuma melihat-lihat, lalu diam tidak bicara lagi.

Mata Tui-hong-tayhiap Cia Thian-cu menyapu, mendadak terlihat anak muda pemetik kecapi sedang menebang pohon besar, tanyanya:

"Anak Beng, siapa dia?"

Tidak percuma Cia Thian-cu menjabat sebagai seorang ketua perguruan besar, penglihatannya sangat teliti, malah seorang yang tidak mencolok mata pun bisa menjadi perhatiannya.

Ho Koan-beng berkata:

"Orang ini kemarin malam datang kesini untuk menumpang menginap, sifat dia sedikit aneh."

Perkataannya pelan sekali, habis berkata, dia lalu menceritakan kejadian yang terjadi kemarin malam.

Ciang-bun-jin Hoa-san-pai berpikir sejenak, berkata: "Koan-beng, cepat lihat ke dalam rumah."

Baru saja dia berkata, mendadak terlihat Cui-giok dengan tergesa gesa berlari keluar berteriak:

"Koan-beng, cepat kemari dan lihat."

Begitu melihat Cia Thian-cu sedang berdiri di sisi Ho Koan-beng wajahnya berubah menjadi serius:

"Cia Lo-cianpwee, anda datang tepat sekali, di belakang terjadi kekacauan lagi."

Ciang-bun-jin Hoa-san-pai tidak menjawab, sambil mengambil nafas, langsung masuk ke dalam rumah.

Ho Koan-beng melihat wajah Sun Cui-giok yang tergesa-gesa, tidak tahan bertanya: "Adik Giok, sebenarnya apa yang terjadi?"

Cui-giok meredakan nafasnya sejenak, baru berkata:

"Di pekarangan belakang kita, dilempari beberapa ekor mayat anjing dan babi, di atasnya juga ada empat huruf "Bunuh semua", kau pikir ini serem tidak?"

Ho Koan-beng diam-diam menarik nafas, di dalam hati berkata:

Disini selain kemarin malam pernah di datangi Sang-toh, hanya ada anak muda pemetik kecapi itu. Tapi Sang-toh tidak lama berada disini, apakah hal inipun dilakukan oleh tamu aneh itu?"

Berpikir sampai disini, matanya memandang ke arah sana, terlihat anak muda pemetik kecapi masih menebang pohon besar itu, saat kapaknya membacok, terdengar suara nyaring "Kraak!", tadinya suara ini tidak dirasakan apa-apa, sekarang begitu mendengar, malah perasaannya seperti ada yang menusuk.

Sin-kiam-jiu Ho Koan-beng tertegun sejenak, lalu berkata pada Sun Cui-giok:

"Kau awasi orang yang menebang pohon itu, biar aku masuk ke dalam melihatnya."

Dia langsung berlari masuk.

Siapa sangka, baru saja dia melangkah masuk ke dalam pintu, di depan ada orang berlari keluar, dalam keadaan terkejut hampir saja Ho Koan-beng menabraknya, orang itu berkata:

"Anak Beng, kenapa kau tergesa-gesa seperti ini?"

Wajah Ho Koan-beng menjadi merah, dengan gagap berkata: "Guru, menurut pandanganku, hal ini pasti ada apa-apanya."

Tui-hong-tayhiap Cia Thian-cu melihat Ho Koan-beng yang tergesa gesa, di dalam hatinya merasa tidak senang, sambil tertawa dingin dia berkata:

"Walaupun ada masalah sebesar langit, masih ada guru disini yang akan mengatasinya!"

Ho Koan-beng tahu dirinya salah bicara, dia bum-buru mundur ke samping, menyahut "Ya!" lalu menahan nafas tidak berani bicara lagi.

Ciang-bun-jin Hoa-san-pai melangkah keluar pintu, melihat anak muda penebang pohon itu masih terus bekerja, tidak terasa dia mengerutkan alisnya, walaupun pengalaman dunia persilatannya sudah banyak, diapun diam-diam merasa keheranan.

Ho Koan-beng mengikutinya melangkah keluar, melihat Cui-giok bengong berdiri disana, dia berkata:

"Adik Giok, hari sudah siang, kau siapkan saja makanan, urusan disini biar guruku yang mengurus-nya."

Sun Cui-giok seperti terkena hipnotis, dia menyahut, tapi tubuhnya tidak bergerak sedikitpun.

Ho Koan-beng merasa heran, di dalam hatinya berpikir, entah kenapa dia hari ini, saat itu dia berkata lagi:

"Adik Giok, kau kenapa?"

Sun Cui-giok kembali menyahut, tapi tubuh-nya tetap tidak bergerak.

Hati Sin-kiam-jiu semakin tidak enak!

Buru-buru Ho Koan-beng berlari kesisi Sun Cui-giok, melihat dia bengong mengawasi anak muda pemetik kecapi itu, dalam hatinya kembali timbul perasaan lain, dia memaksa menelan kembali kata- kata yang mau diucapkannya.

Sun Cui-giok terus menatapnya, sekarang, dia seperti sudah tidak curiga lagi.

Dia sudah memastikan orang ini pasti Sen Sin-hiong, sebab ketika Sin-hiong masih kecil, dia menebang pohon, biasa menggunakan tangan kiri, sekarang dia bisa melihat anak muda pemetik kecapi inipun menggunakan tangan kiri, sehingga dia jadi terbengong, lupa akan hal lainnya.

Situasi yang ada di depan mata sekarang walaupun sangat tegang, tapi melihat keadaannya, mendadak di hati Ho Koan-beng timbul perasaan kesepian, dia diam seribu bahasa lalu bergeser ke samping guninya.

Ciang-bun-jin Hoa-san-pai melihat sejenak, lalu berkata seram: "Orang yang melakukan ini sungguh kejam sekali, Hmm...

mereka harus dibasmi semua!"

Perkataannya jika dikatakan oleh orang lain, masih tidak apa-apa, tapi justru dikatakan oleh seorang jago silat kelas wahid dunia persilatan, Ho Koan-beng yang mendengar merasa alas kakinya menjadi dingin, terus merambat sampai ke atas punggung, kejadian yang begitu tiba-tiba, sampai etika antara guru dan murid pun tidak dipedulikan.

Pada saat ini, mendadak anak muda pemetik kecapi mengelap keringat di keningnya, lalu berkata sendiri:

"Haai, masih setengah lebih, mungkin hari ini tidak bisa selesai." Setelah berkata, dia mengangkat kepala melihat ke langit,

matahari sudah tinggi sekali, pelan-pelan dia berjalan mendatangi.

Tiga orang yang berdiri disana, masing-masing mempunyai pikiran yang berbeda, tapi berpikir keras dalam waktu yang bersamaan.

Walaupun Ciang-bun-jin Hoa-san-pai seorang tetua yang sangat dihormati, tapi melihat kejadian yang terjadi di depan matanya, begitu sadis juga misterius, saat dia berdiri di luar pintu, keadaannya seperti berbeda sekali.

Dalam harinya diam-diam dia merasa heran, tapi tidak tahu apa sebabnya.

Sun Cui-giok melihat anak muda pemetik kecapi pelan-pelan berjalan mendatangi, rupanya persis seperti Sin-hiong yang sepuluh tahun lalu, tanpa sadar dia berteriak: "Sin-hiong, sudah waktunya makan!"

Wajah anak muda pemetik kecapi tampak terkejut, dia melihat sekali pada Sun Cui-giok, lalu menundukan kepala meneruskan jalannya.

Sikap kedua orang yang penuh rahasia ini, terlihat oleh mata Ho Koan-beng, hatinya merasa tidak enak, dia berpikir:

'Gurunya ada disini, tapi dia sekali pun tidak menyapanya, terhadap orang yang penuh misterius ini dia malah berkata begitu mesranya, sebenarnya apa penyebabnya?'

Ho Koan-beng menarik Sun Cui-giok, tanyanya: "Adik Giok, apakah nasinya sudah siap?"

Tiba-tiba Sun Cui-giok tergetar, dia seperti terbangun dari mimpi, wajahnya menjadi merah: "Hampir siap!"

Setelah berkata begitu, dia baru membalikan tubuhnya berjalan ke dalam rumah.

Ho Koan-beng mendengus, hatinya merasa tidak enak, sikapnya semakin nyata di wajahnya.

Entah Ciang-bun-jin Hoa-san-pai sedang memikirkan apa? Terhadap sikap muridnya dia pun seperti tidak menaruh perhatian, setelah berjalan-jalan di luar pintu sejenak, dia berkata:

"Anak Beng, kita bicara di dalam."

Dia lalu menarik tangan Ho Koan-beng, berjalan masuk ke dalam rumah.

Ketika tiga orang itu sudah masuk ke dalam rumah, anak muda pemetik kecapi itu baru melangkah ke depan pintu, dia mengangkat kepalanya melihat ke atas, terlihat di atas pintu ditulis beberapa huruf "Bunuh semua", wajahnya tampak tersenyum sinis. Sesudah itu baru melangkah masuk.

Tiba di dalam ruangan, Ciang-bun-jin Hoa-san-pai sedang berbincang-bincang dengan Ho Koan-beng dia malah berjalan mengelilingi ruangan, memegang-megang ini, melihat-lihat itu, terhadap segala sesuatu yang ada disana, seperti sangat hafal sekali, tapi pun seperti sangat asing.

Tidak lama kemudian, Cui-giok sudah menyiapkan makanan di atas meja, anak muda pemetik kecapi malah tanpa sungkan lagi langsung duduk di atas kursi besar di tengah, tampil sebagai tamu agung.

Ho Loan-beng dan Cui-giok menjadi tertegun. Seharusnya dia sadar di antara empat orang di dalam ruangan ini, tidak peduli usia atau kedudukannya, seharusnya Ciang-bun-jin Hoa-san-pai, Cia Thian-cu yang duduk di kursi itu, tidak diduga dia malah duduk disana, bagaimana kejadian ini tidak membuat mereka terkejut.

Sun Cui-giok dengan keheranan melihat dia sekali, tapi dia malah berlagak seperti seorang angkatan saja, sekali pun tidak memandang kepada ke tiga orang itu.

Walaupun kesabaran Ciang-bun-jin Hoa-san-pai sudah sangat terlatih, tapi melihat keadaan yang terjadi, wajahnya terlihat menjadi sedikit marah.

Tapi aneh, walaupun nasi dan masakan sudah tersedia, dia sedikit pun tidak bergerak, menunggu setelah Tui-hong-tayhiap Cia Thian-cu dan Sin-kiam-jiu Ho Koan-beng duduk dan mengambil sumpit, dia baru mengikutinya mengambil sumpit.

Ketika tiga orang itu tidak mengambil masakan atau nasi, diapun tidak bergerak, Ho Koan-beng yang melihat, kembali hatinya merasa keheranan.

Jika dikatakan dia tidak tahu sopan santun! Kelihatannya tidak begitu? Jika dikatakan dia mengerti sopan santun, kenyataannya dia tidak tahu sopan, sebabnya dia duduk dikursi itu, karena Ho Koan- beng dan Sun Cui-giok berdua bersikeras menahannya, kedua orang itu jadi tidak enak menyuruh dia berganti tempat, karena mereka berdua tidak mengatakannya, Tui-hong-tayhiap pun dengan kedudukan sebagai ketua satu perguruan besar, lebih tidak enak meribut-kan masalah kecil seperti ini. Keadaan menjadi canggung sekali, hanya dia seorang diri yang tidak mempedulikannya, Tui-hong-tayhiap melihat dipihaknya sudah memegang sumpit, saling pandang dan tidak bergerak, tidak tahan dia bersuara "Hemm!" lalu bertanya:

"Anak Beng, apa masih ada tamu lagi?"

Hati Ho Koan-beng menjadi gelisah, dia mengira gurunya menyalahkan dia tidak seharusnya mengundang tamu yang tidak tahu sopan santun ini, saat itu dengan cemas dia menjawab:

"Benar, aku tidak akan mengundang tamu lagi!"

Dengan sorot mata dingin Ciang-bun-jin Hoa-san-pai melihatnya, dalam hatinya berpikir:

'Koan-beng biasanya pintar, kenapa hari ini bicaranya selalu tidak nyambung.' Hatinya merasa kesal lalu berkata:

"Aku tanya apa masih ada orang tidak, jika tidak ada kita boleh mulai makan."

Ho Koan-beng melihat mereka berempat hanya memegang sumpit tapi tidak bergerak, baru dia sadar, dengan gagap berkata:

"Tidak ada, tidak ada!"

Ciang-bun-jin Hoa-san-pai melihat muka muridnya yang seperti kebingungan, kembali dia bersuara "Hemm!" baru menggerakan sumpit mulai makan nasi.

Sarapan ini, sungguh terasa sangat canggung, terlihat Ho Koan- beng banyak pikiran, di dalam hati dia berpikir:

"Tadi aku mengundang orang ini tinggal disini, berharap dia malam hari nanti bisa menghadapi Sang-toh, siapa tahu di hadapan guruku, dia malah membuat kelakar yang begitu besarnya."

Dia berpikir lagi:

'Jika orang ini saat ini ingin pergi, aku malah akan memberi dia ongkos perjalanan, jika nanti makan malam masih begini, kesalahanku akan semakin besar.' Ketika sedang berpikir, mendadak dari kejauhan terdengar derap kuda berlari, Ho Koan-beng terkejut, cepat-cepat berkata:

"Guru, silahkan duduk sebentar, biar murid keluar melihat siapa yang datang!"

Habis bicara, dia bangkit berdiri, berlari keluar.

Begitu Ho Koan-beng keluar pintu. Kuda yang datang itu sudah tiba di depan ramah, begitu melihat, dia merasa orang yang datang terasa asing sekali, tapi orang itu sudah meloncat turun dari kudanya, dengan wajah tegang bertanya:

"Aku Ci-hoat-kui (Setan rambut merah) Cin Kao, mohon tanya apakah disini ada Ho-tayhiap?"

Ho Koan-beng jadi tergetar, nama besar Ci-hoat-kui dia sepertinya hafal, saat itu dia berkata:

"Aku Ho Koan-beng, anda menanyakan diriku entah ada keperluan apa?"

Mendengar ini mendadak Ci-hoat-kui Cin Kao bersujud di atas tanah, dengan suara gemetar berkata:

"Ho-tayhiap tolong nyawaku!"

Ho Koan-beng icx kejut, teriaknya:

"Anda ada masalah apa? Silahkan berdiri dan bicara."

Wajah Ci-hoat-kui penuh dengan kesusahan dan kesedihan, dia tetap bersujud, tidak mau berdiri:

"Tayhiap, terimalah permohonan jiwa anjingku, baru hamba berani berdiri dan menceritakannya."

Dia malah sampai merubah sebutan dirinya, Ho Koan-beng yang mendengar, jadi semakin terkejut, semua orang tahu Cin Kao bukan orang biasa, dalam hati Ho Koan-beng pun tahu benar, di daerah Ho-pak di kelompok aliran hitam, Ci-hoat-kui adalah penjahat yang sangat ternama, hari ini tanpa sebab yang jelas dia datang kemari mencari dirinya, entah ada masalah besar apa? Tapi jika sekarang dia tidak menyanggupinya, kelihatannya Ci- hoat-kui akan terus berlutut di tanah, dan tidak mau berdiri, maka dengan menghela nafas panjang dan tidak bisa berbuat apa-apa dia berkata:

"Baiklah, aku menyanggupi."

Ci-hoat-kui bersujud lagi beberapa kali, baru bangkit berdiri katanya:

"Beberapa hari yang lalu, di jalan raya Koan-lok hamba bertemu dengan Ang-hoa-kui-bo dan murid nya, hamba di siksa oleh mereka, ingin melawan tidak mampu melawannya, tadinya ingin bunuh diri saja, siapa sangka dua iblis ini tidak membiarkan hamba mati."

Mendengar ini Sin-kiam-jiu Ho Koan-beng menghela nafas dingin: 'Ingin mati pun tidak bisa, mereka berdua sekarang ini malah

akan menyerangku, apa gunanya kau minta tolong padaku/ Tapi Ho Koan-beng tetap bertanya:

"Kenapa dia tidak membiarkan kau mati?" Cin Kao batuk sekali, melanjutkan:

"Dia berkata, kau bisa tidak mati, hanya ada satu orang yang bisa menyanggupi menolongmu."

Ho Koan-beng semakin mendengar semakin heran, tanyanya: "Tapi siapa orang itu?"

Di dalam hatinya sekarang, asalkan ada orang bisa dimintai pertolongan, dia sendiri malah ingin pergi meminta pertolongannya.

Ci-hoat-kui dengan wajah sedih berkata: "Orang ini adalah kau Ho-tayhiap, semut saja ingin hidup, makanya hamba jauh-jauh datang kemari, minta pertolongan Ho-tayhiap, menyelamatkan nyawa hamba."

Begitu mengucapkan ini, hati Ho Koan-beng terasa seperti hancur, matanya menjadi bingung, dalam hati berpikir: 'Mereka melakukan ini, supaya dia melepaskan Cui-giok?’

Ketika Ho Koan-beng tidak tahu harus berbuat bagaimana, Ciang- bunjin Hoa-san-pai dan Sun Cui-giok sudah berjalan keluar.

Ci-hoat-kui mengenal Tui-hong-tayhiap Cia Thian-cu, begitu melihatnya buru-buru dia bersujud kembali:

"Baik sekali, ternyata Cia-cianpwee ada disini, tolonglah nyawa anjing hamba ini."

Ciang-bun-jin Hoa-san-pai mengerutkan alisnya: "Koan-beng, apa sebenarnya yang terjadi?"

Ho Koan-beng tidak mempedulikan gurunya yang ada di samping, setelah mengeluh panjang, lalu menceritakan maksud kedatangannya Ci-hoat-kui.

Setelah mendengar ini, Ciang-bun-jin Hoa-san-pai dengan kesal berkata:

"Iblis itu sungguh keterlaluan."

Walaupun berkata begitu, dia tetap khawatir, jika Ang-hoa-kui-bo dengan muridnya, malam ini benar benar datang kemari, melihat kekuatan mereka sekarang, yang benar-benar mampu melawannya, mungkin tidak sampai setengahnya.

Dia melihat cuaca, sekarang sudah tengah hari, dalam hati berpikir:

'Sekarang waktunya masih lama, kenapa aku tidak pergi ke sekitar ini untuk menyelidikinya?

Berpikir sampai disini, maka dia berkata pada Ho Koan-beng: "Anak Beng, bawa dia masuk ke dalam, aku ingin berkeliling dulu

untuk menyelidikinya!"

Habis berkata, dia langsung pergi.

Ho Koan-beng terpaksa menarik bangun Ci-hoat-kui, bersama- sama Cui-giok membawanya masuk ke dalam. Kembali ke dalam ruangan besar, anak muda pemetik kecapi itu sudah tidak ada di tempatnya, entah pergi kemana, Ho Koan-beng bertanya:

"Adik Giok, kemana orang itu?" Sun Cui-giok mengerutkan alisnya:

"Dari tadi dia sudah kembali ke mang penyimpanan kayu bakar untuk istirahat."

Ho Koan-beng tidak melanjutkan pertanyaan-nya, dalam hati terpikir masalahnya yang semakin tegang, kelihatan, demi masalah ini Ang-hoa-kui-bo tidak akan segan-segannya mengerahkan seluruh kekuatannya, dia sendiri walaupun di bantu gurunya mungkin akan kalah juga.

Tiga orang yang duduk di ruangan besar tidak bisa berbuat apa- apa, dalam keadaan tidak ada pekerjaan, seorang diri Ho Koan-beng berjalan menuju ke gerbang.

Bolak-balik berjalan, dia tidak tahu malam ini harus bagaimana mengatasinya.

Pikir punya pikir, sorot matanya tidak sengaja melihat ke atas, mendadak dia melihat empat huruf merah darah itu entah sejak kapan sudah dihapus seseorang, di sisi gambar seruling dan tongkat besi, sudah ditambah sebuah gambar yang mirip kail tapi bukan kail, seperti pedang tapi juga bukan pedang, melihat ini Ho Koan-beng jadi terkejut sekali.

Dia selangkah pun tidak pernah keluar dari ruangan ini, beberapa huruf yang tidak enak dipandang di atas pintu itu, dengan tenangnya telah dihapus dan ditambah gambar senjata aneh itu oleh seseorang, tapi dia malah sedikit pun tidak tahu, kalau begitu, ilmu silat orang ini sungguh sudah sampai tingkat yang mengejutkan.

Waktu pelan-pelan berlalu, Ho Koan-beng tidak sadar sudah berdiri bengong di depan pintu itu entah sudah berapa lama, mendadak ada orang menyentuh dirinya, dia jadi terkejut, tangannya langsung dibalikkan menghantam ke belakang.

Orang yang ada di belakang tubuhnya menghela nafas panjang berkata:

"Koan-beng, dalam waktu semalam kenapa kau bisa berubah jadi seperti ini?"

Ternyata suara ini adalah suara gurunya Tui-hong-tayhiap Cia Thian-cu, wajah Ho Koan-beng menjadi merah, dia menggelengkan kepala:

"Guru kau lihat di atas sana!"

Ciang-bun-jin Hoa-san-pai melihat ke atas, dengan terkejut berkata: "Kenapa bisa dia?"

Melihat wajah gurunya mendadak berubah hebat, di dalam hati Ho Koan-beng semakin tegang, buru-buru dia bertanya:

"Guru, siapa yang anda katakan itu?"

Tui-hong-tayhiap menundukan kepala, berguman:

"Kim-kau-kiam (Pedang kail emas), Kim-kau-kiam, haay! Apakah setan tua yang ganas dan tidak tahu aturan ini masih belum mati?"

Di dalam otaknya sekilas teibayang bayangan seseorang, saat itu sembilan ketua perguruan besar di dunia persilatan bersama-sama menyerang dia seorang diri, walaupun telah menbuat cacat satu kaki kanannya, tapi sembilan ketua perguruan pun terluka hampir dua pertiganya, jika orang ini benar-benar datang kemari, masalah malam ini akan menjadi lebih sulit lagi.

Ho Koan-beng tidak berani bertanya lagi, hatinya terasa meloncat-loncat. Matahari semakin terbenam ke barat, hati dia pun ikut terbenam, malam ini apakah akan selamat atau tidak, dia tidak lagi berani memikirkannya.

Ciang-bun-jin Hoa-san-pai menghela nafas:

"Masalah sudah di depan mata, gelisah pun tidak ada gunanya, apa yang dikatakan 'perahu sampai di jembatan akan lurus dengan sendirinya," kita hanya bisa serahkan nasib pada langit saja."

Ho Koan-beng tidak bisa berkata apa lagi, Dia hanya bisa bengong memandang gurunya.

Matahari terbenam diufuk barat, angin malam meniup sepoi- sepoi, mengikuti hembusan angin terdengar suara "Kraak kraak!", Ho Koan-beng melihat, terlihat anak muda pemetik kecapi itu dengan kapaknya sedang mengampak pohon itu lagi, tidak tahan hatinya tergerak, dalam hati berkata:

'Asal usul orang ini aneh sekali, apakah semua ini dia yang melakukannya?'

Anak muda pemetik kecapi itu mengampak sebentar, melihat hari sudah gelap, sambil menenteng kapak terbalik berjalan menuju ke dalam rumah.

Dia berjalan lewat di depan Ho Koan-beng dan gurunya, tanpa melirik sedikitpun, langsung berjalan menuju kamarnya.

Melihat bayangan punggung orang ini, Ciang-bun-jin Hoa-san-pai bertanya:

"Anak Beng, apa marganya?"

Ho Koan-beng menggelengkan kepala, dia lalu menceritakan kembali kejadian kemarin malam, ketika dia minta menumpang menginap di rumah, dalam hati Ciang-bun-jin Hoa-san-pai pun timbul curiga, tapi karena dia tidak melihat dengan mata kepala sendiri, maka walaupun di dalam hatinya ada beberapa perkiraan, tapi tetap saja tidak bisa percaya penuh.

Malam kembali menyelimuti bumi, di lapangan liar hening tidak ada suara, Sun Cui-giok keluar dari dalam rumah, berteriak:

"Makan!"

Hati Guru dan murid terasa sangat berat, terhadap makan malam ini, sedikit pun tidak ada selera, Ho Koan-beng dengan tawar menjawab: "Kalian makanlah dulu!"

Sun Cui-giok dengan terkejut sekali melihatnya, seperti sudah tahu, mereka berdua guru dan murid sedang memikirkan cara menghadapi masalah malam ini, saat itu dia tidak banyak bertanya lagi kembali masuk lagi ke dalam.

Dalam hati Ciang-bun-jin Hoa-san-pai timbul banyak kecurigaan, begitu juga dalam hati Ho Koan-beng banyak persoalan yang mengganggu, kedua orang ini terus berpikir-pikir, keduanya tidak tahu bagaimana bisa timbul masalah-masalah yang aneh ini, terpaksa dengan pikiran kosong kembali masuk ke dalam rumah.

Di dalam ruangan besar, termasuk Ci-hoat-kui, semua ada empat orang, Tui-hong-tayhiap sudah mengatur, menjadikan Sun Cui-giok dan Ho Koan-beng satu kelompok dan menyurah Ci-hoat-kui sembunyi di dalam sudut gelap di pekarangan, dia sendiri berjalan kesana-kemari, jika mereka menemukan hal yang mencurigakan, maka harus bersiul sebagai isyarat, selesai mengatur demikian, Ho Koan-beng mendadak teringat satu hal, tanyanya:

"Guru, bagaimana dengan orang itu?"

Yang dia tanyakan tentu saja anak muda pemetik kecapi, Ciang- bun-jin Hoa-san-pai membuka sepasang telapak tangannya, berkata:

"Biarkan saja!"

Baru saja dia berkata, tiba-tiba di luar terdengar suara ketukan pintu yang bernada gelisah.

Empat orang yang ada di dalam rumah menjadi terkejut, dalam hatinya berpikir, saat ini walaupun sudah malam, tapi masih terlalu dini bagi orang yang bergerak di malam hari, bagaimana bisa ada suara ketukan pintu?

Di saat keempat orang itu tertegun, orang di luar dengan terburu-buru berteriak:

"Mohon tanya, apakah ini rumahnya suami istri Ho-tayhiap?" Ho Koan-beng mendengar, suara orang ini terasa asing sekali, saat itu tanpa berpikir panjang, dia berbisik-bisik sebentar dengan Cui-giok, kedua orang membagi diri dari kiri dan kanan lalu menerjang keluar.

Dua orang itu berturut-turut tiba di luar pintu, terlihat di depan pintu berdiri satu orang, wajah orang ini terlihat sangat gelisah dan tidak henti-hentinya melihat ke arah jauh, sepertinya takut ada yang meng-ikutinya dari belakang.

Begitu Ho Koan-beng muncul, dia bertanya:

"Sobat, malam-malam berkunjung kemari entah ada keperluan apa?" -

Melihat ada orang keluar dari dalam rumah, dengan terburu-buru orang itu bertanya:

"Apakah anda Ho-tayhiap?" "Betul, akulah Ho Koan-beng."

Orang itu menjadi gembira "Bluuk!" dia ber-sujud ke atas tanah, berteriak:

"Ho-tayhiap selamatkan diriku!"

Hati Sin-kiam-jiu tergetar, tidak perlu ditanya lagi, dia sudah tahu masalahnya, buru-buru dia ber-kata:

"Apakah Ang-hoa-kui-bo yang menyuruh kau datang kemari?" Kali ini orang itu yang terkejut, sambil terkejut berkata:

"Betul, Ho-tayhiap bisa tahu kejadian sebelumnya, nyawa hamba akhirnya bisa diselamatkan juga."

Ho Koan-beng tertawa pahit, lalu berkata ke belakang: "Adik Giok, ada seorang lagi datang kemari!"

Sun Cui-giok berkelebat keluar, mendadak menusukan pedangnya pada orang itu!

Ho Koan-beng terkejut, teriaknya: "Cui-giok, kau mau apa?" Dia menjulurkan pedangnya, ingin menangkis, siapa tahu Cui- giok membalikan pergelangan tangan, ujung pedangnya ditempelkan di jalan darah Beng-bun orang itu, berkata dingin:

"Cepat katakan dengan jujur, jika ingin menipu, pedang pusakaku tidak akan memberi ampun!"

Ho Koan-beng mendadak jadi sadar, di dalam hati berpikir saat orang ini datang sedikit pun tidak menimbulkan suara, tiba-tiba mengetuk pintu, hal ini sungguh mencurigakan.

Orang itu membelalakan sepasang matanya, dengan keras berkata:

"Kau ini Ho-tayhiap bukan?"

Ho Koan-beng mengangkat kepalanya:

"Siapa bilang bukan, hemm... hemm, jika kau ingin menipu, tidak akan berhasil!"

Mendengar ini, ketegangan di wajah orang itu baru mengendur, keluhnya:

"Betullah kalau begitu, aku pun tahu Tayhiap akan curiga padaku, haay! Kalian lihat apa ini?"

Sesudah berkata dia mengangkat kedua kaki-nya, Ho Koan-beng dan Sun Cui-giok melihat, terlihat di telapak kakinya darah segar menetes, ternyata dia telah menempuh jalan yang amat jauh, baru bisa tiba disini.

Melihat ini Ho Koan-beng dan Cui-giok jadi tertegun, tanyanya: "Anda dilukai oleh siapa?"

Buru-buru orang itu melanjutkan:

"Aku dilukai oleh Ang-hoa-kui-bo, lalu aku disuruh mencari Ho- tayhiap, untuk menyelamatkan nyawaku, jika tidak. "

Ho Koan-beng setengah percaya setengah curiga dia memandang Sun Cui-giok, lalu tanyanya: "Mohon tanya siapa nama anda?"

"Aku adalah murid dari perguruan Tiang-pek, Sie Yong-ki, mohon Tayhiap bisa menolongku."

Tidak lama setelah mengatakan ini, Ciang-bun-jin Hoa-san-pai Cia Thian-cu sudah iberjalan keluar, melihat sekali pada Sie Yong-ki, lalu berkata pada Ho Koan-beng:

"Anak Beng, bawalah dia masuk ke dalam untuk dirawat lukanya!"

Ho Koan-beng menyahut, lalu dengan Cui-giok membopong dia masuk ke dalam, kemudian menutup pintu.

Kata Sun Cui-giok:

"Lo-cianpwee, Beng-toako, aku masuk ke dalam mengambil obat, untuk mengobati luka orang ini."

Setelah berkata, dia lalu membalikan tubuh dengan langkah ringan masuk ke dalam.

Di luar selain Cia Thian-cu dan muridnya, masih ada Ci-hoat-kui Cin Kao yang bersembunyi di kegelapan dan Sie Yong-ki yang terluka.

Cia Thian-cu melihat-lihat ke sekeliling, lalu berkata:

"Anak Beng, kau dan aku berpisah mengawasi ke sekeliling, jika ada apa-apa, segera bersiul memberi kabar."

Ho Koan-beng menyahut, lalu berjalan ke sebelah kanan, sedangkan Ciang-bun-jin Hoa-san-pai berjalan ke sebelah kiri.

Saat itu di dalam ruangan belakang sudah ada Giok-siau-long- kun Sang-toh yang entah kapan masuk kesana, dia sedang menunggu di dalam ruangan.

Anak muda pemetik kecapi yang berada di sudut mengawasinya, menunggu apa yang akan dilakukannya.

Pada saat ini terdengar langkah Cui-giok yang berjalan masuk, Giok-siau-long-kun mendengar suara itu, dia melihat pada Cui-giok lalu mengeluarkan suara "Hemm hemm hemm.'", Sun Cui-giok adalah seorang yang sangat teliti, mendengar di dalam ruangan ada suara asing, dia menghentikan langkah-nya, mendadak mendengar ada orang berkata:

"Ho-hujin, ada masalah apa hingga kau begitu gelisah! berjalan begitu cepat, apa tidak takut terjatuh? Lebih baik pikirkan dulu dirimu!"

Sun Cui-giok terkejut, mendengar suara orang ini, dia mengenal sekali itu adalah suara Giok-siau-long-kun Sang-toh, nada bicaranya terdengar penuh dengan rasa cemburu, saat ini dia seperti binatang yang terperangkap, tidak tahan dia membentak:

"Kau mau apa!"

Setelah berteriak, dia sadar Sang-toh masih ingin mempermainkan dia sebelum membunuhnya, siapa sangka pada saat ini, mendadak di belakang tubuhnya ada angin bertiup, seseorang berkata dingin:

"Jangan melukai dia!"

Orang ini suaranya sangat pelan, Cui-giok jadi bersemangat lagi, dia membelalakan mata melihatnya, terlihat di sisinya berdiri seorang yang bercadar hitam, walaupun wajahnya di tutup cadar, tapi sekali melihat Cui-giok sudah tahu dia adalah anak muda pemetik kecapi itu.

Sepasang tangannya kosong tidak memegang apa-apa, hanya tampak sepasang matanya yang menyorot tajam, Cui-giok merasa kelopak matanya menjadi panas, teriaknya:

"Sin-hiong, aku tahu ini adalah kau!"

Orang yang bercadar itu tidak mempedulikan dia, dua jarinya sudah bergerak menjepit.

Sang-toh tertawa dingin:

"Ingin bertarungi? Kenapa bercadar takut, di lihat orang!" Seruling di tangannya segera menotok jalan darah kaku Cui-giok, sambil membalikkan tangan menotok ke arah orang itu!

Dalam satu junis dia melakukan dua gerakan, selain menotok jalan darah Cui-giok, masih dapat membalas serangan orang bercadar itu, mengandalkan ilmu silat ini cukup membuat ketakutan para pesilat tinggi dunia persilatan.

Siapa sangka orang itu tidak menghindar dan tidak bergerak, sambil tertawa dingin malah berkata:

"Gurumu tidak datang, kau seorang diri masih kurang kuat!"

Kedua jarinya mendadak disentilkan, itulah Tan-ci-sin-tong (Jentikan jari dewa) yang sangat terkenal di dunia persilatan, Giok- siau-long-kun hanya merasa pergelangan tangannya sedikit tergetar, seruling di tangannya hampir saja direbut oleh lawan-nya.

Sang-toh jadi terkejut, dia sadar telah bertemu dengan lawan tangguh, dia tertawa panjang, lalu meloncat ke atas, sekejap mata sudah menghilang di kegelapan malam.

Ho Koan-beng yang ada diluar, melihat Cui-giok sudah pergi cukup lama, tapi sedikit pun tidak ada kabarnya, buru-buru berjalan keluar menengoknya, begitu melihat dia tergeletak di atas lantai, buru-buru dia membopongnya, berteriak:

"Guru, guru    !"

Berteriak beberapa saat, baru melihat gurunya berlari masuk ke dalam, Ho Koan-beng berkata lagi:

"Coba guru lihat, kira-kira dia terluka tidak?" Cia Thian-cu melihatnya:

"Tidak apa-apa, dia hanya ditotok jalan darah kakunya!"

segera dia menepuk, dan Cui-giok kembali menjadi sadar, tanyanya:

"Dimana orangnya?"

Ho Koan-beng diam-diam menghela nafas: "Entah siapa yang datang? Baru saja berada di atas atap rumah, entah bagaimana tahu-tahu sudah meloncat ke bawah, haay, kapan adik Giok ditotok?"

Dia berturut-turut dua kali berkata 'entah', malah membuat Tui- hong-tayhiap bingung!

Harus diketahui saat peristiwa tadi terjadi, Ciang-bun-jin Hoa- san-pai sedang berada di paling belakang rumah, kejadian di depan dia sedikit pun tidak tahu, saat itu dia bertanya:

"Hanya satu orang yang datang?" "Murid hanya melihat satu orang!"

Lalu dia menggerakan matanya, melihat Cui-giok sudah sadar kembali, baru merasa sedikit tenang, mendadak teringat di luar masih ada Sie Yong-ki berdua, meskipun dia tidak peduli Sie Yong- ki, berdua? Tapi sudah seharusnya dia pergi melihatnya, berkata lagi:

"Guru, kita pergi keluar rftelihat-lihat."

Tiga orang lari keluar, terlihat Sie Yong-ki seorang diri sedang berjongkok membungkus lukanya, Giok-siau-long-kun sudah tidak ada.

Ho Koan-beng sangat kebingungan, keadaan di tempat ini dia sangat hafal, jika Giok-siau-long-kun dalam sekejap mata bisa menghilang, bagaimana pun dia tidak bisa percaya.

Wajah Sun Cui-giok terlihat seperti kehilangan, dia teringat kejadian yang baru berlangsung, orang yang bercadar tadi jika bukan Sin-hiong lalu siapa?

Dia tidak bisa mengerti kenapa dia harus bersikap begitu misterius, tapi masalah ini kelihatannya hanya dia seorang diri saja yang tahu, dia harus mencari kesempatan menjelaskan padanya, sebab dia sendiri tahun demi tahun mengharapkan dia pulang, sampai sekarang sudah sepuluh tahun!

Hati Ho Koan-beng pun terasa kacau sekali, tanyanya: "Saudara Sie, bagaimana luka di kakimu?" Sie Yong-ki tetap masih tidak bisa berjalan, berkata:

"Tidak apa-apa, tapi Tayhiap harus melihat siapa kedua orang itu?"

Ho Koan-beng berlari ke sebelah kanan, begitu meneliti, tidak tahan berteriak:

"Heh, dia Ci-hoat-kui Cin Kao, kenapa dia pun dibunuh?"

Kata-kata ini begitu keluar, hati Ciang-bun-jin Hoa-san-pai pun terasa berat.

Ci-hoat-kui Cin Kao tadi disuruh bersembunyi di dalam pekarangan, kapan dibunuh, mereka semua tidak tahu, orang-orang di pihaknya, bukankah seperti orang yang tidak berguna saja?

Ciang-bun-jin Hoa-san-pai berkata:

"Koan-beng, kau lihat lagi kepala siapa yang ada disana?"

Ho Koan-beng menurut, lari kesana, begitu melihat, terasa hatinya menjadi berat, teriaknya: "Murid Bu-tong, Gouw-in!"

Dia terpikir Gouw-in kemarin malam dia masih hidup, kemudian mendadak dia menghilang, dia mengira Gouw-in sudah pergi tanpa pamit, siapa duga ternyata dia telah dibunuh seseorang

Dalam sekejap, di sisi gunung yang sepi ini, suasana menjadi seram dan menyedihkan menutupi hati setiap orang, semua orang tidak tahan merinding.

Ciang-bun-jin Hoa-san-pai berpikir sebentar, mendadak berteriak: "Anak Beng, kau urus baik-baik, orang itu pasti masih ada di

sekitar ini!"

Habis berkata, dia sudah berlari ke dalam lapangan liar yang gelap.

Ho Koan-beng melihat bayangan punggung gurunya, tidak tahan diam-diam dia mengeluh, menurut yang dia tahu, sejak gurunya turun gunung, dia selalu bertindak lebih dulu, tidak diduga disini malah selalu didahului orang, kelihatannya kejadian ini bukan dilakukan sendiri oleh Sang-toh, mungkin saja guru setannya itu sudah datang.

Berpikir sampai disini, tidak tahan dia jadi mengkhawatirkan gurunya, dia berjalan ke arah kedua mayat, tangan di angkat memrjawa mayat itu, lalu di sekitarnya menggali lubang untuk menguburkannya.

Tiga orang itu kembali lagi ke dalam ruangan besar, Ho Koan- beng menaruh Sie Yong-ki di atas kursi yang ada sanderannya, tidak henti-hentinya berjalan bolak-balik di dalam ruangan, suasananya sangat berat.

Mendadak, di luar pintu terdengar alunan suara kecapi, entah siapa orang yang memetik kecapi, sebuah lagu sedang dilantunkan, suaranya sangat memilukan, jika dihubungkan dengan keadaan di dalam ruangan yang berat itu, membuat orang yang mendengarnya tidak tahan ingin meneteskan air mata.

Sun Cui-giok pun mendengar, hatinya tergetar, dia tidak tahan lagi, lalu bangkit berdiri berjalan keluar.

Ho Koan-beng terkejut berkata:

"Adik Giok, kau jangan keluar seorang diri!"

Sun Cui-giok tidak mempedulikannya, dia tetap terus jalan keluar.

Di lapangan liar sepi sekali, di bawah sinar bulan dan bintang, terlihat anak muda pemetik kecapi sambil memeluk kecapinya duduk diatas batu hijau, matanya terpejam, dua jarinya dengan pelan memetik kecapi, alunan yang memilukan, keluar dari jari-jarinya itu.

Sun Cui-giok berjalan ke sisinya, tapi anak muda pemetik kecapi tidak mempedulikannya, dia sudah tenggelam ke dalam suara kecapinya.

Saat ini Ho Koan-beng pun sudah berjalan keluar, dari kejauhan dia melihat di sisi gunung ada satu bayangan orang yang bergerak- gerak, mula-mula dia terkejut, menunggu dia bisa melihat dengan jelas, ternyata orang itu adalah gurunya yang dengan lesu sedang berjalan kembali. Ho Koan-beng tidak perlu bertanya, dia tahu gurunya kembali dengan sia-sia.

Tiga orang itu tanpa disengaja berjalan ke sisinya anak muda pemetik kecapi, Cui-giok bertanya: "Kecapi ini apa ada namanya?"

Anak muda pemetik kecapi itu sedikit mem-buka matanya lalu menggelengkan kepala: "Tidak ada."

"Seharusnya ada sajaknya bukan?"

Dalam hati Ho Koan-beng merasa terkejut, pikirnya, bagaimana dalam keadaan begini masih sempat menanyakan hal yang tidak ada sangkut pau tnya.

Anak muda pemetik kecapi itu berkata tawar:

"Ada sih ada, hanya takut merusak pendengaranmu!" Cui-giok dengan emosi berkata:

"Kalau begitu coba kau nyanyikan, aku tahu seseorang setelah mati, pasti harus disembahyangi, jika sebelum mati bisa mendengar satu lagu yang melega-kan hati, mati pun bisa memejamkan mata."

Setelah dia mengatakan ini, di sudut matanya sudah berlinang dua tetes air mata, Ho Koan-beng melihat keadaan ini, masih mengira setelah mendengar lantunan kecapi ini, dia jadi terlalu sedih, sehingga berkata yang bukan-bukan, pelan dia menghampirinya, berkata:

"Adik Giok, kita tidak akan mati."

Ciang-bun-jin Hoa-san-pai seperti teringat sesuatu, dalam hatinya berkata:

"Betul, ternyata keduanya datang demi wanita ini, haay, jika hanya demi asmara perempuan dan laki-laki, lalu menimbulkan kerusuhan besar di dunia persilatan, bukankah itu sangat tidak pantas sekali?'

Anak muda pemetik kecapi melihat situasi yang mesra ini, mendadak bangkit berdiri, mengeluh berkata:

"Haay, lewat malam ini, aku pun sudah harus pergi!"

Di dalam suaranya samar-samar ada perasaan kesepian, setelah bicara, pelan-pelan berjalan kesisi gunung, kembali mengangkat kapak, mulai lagi bekerja menebang pohon besar itu.

Dengan perasaan tidak mengerti Ho Koan-beng mengikutinya: "Saudara, buat apa ini?"

Wajah kuning kering anak muda pemetik kecapi tergerak, berkata:

"Musim dingin hampir tiba, di saat hujan salju memerlukan banyak kayu bakar, aku telah menumpang makan di rumahmu, jadi harus mengerjakan sesuatu untuk kalian?"

Mendengar ini wajah Sun Cui-giok berkelebat bayangan gelap, sejenak tidak bisa menahan diri, teriak berkata:

"Sin-hiong, kenapa kau masih berkata begitu, ayahku sudah lama meninggal dunia!"

Begitu kata-kata ini keluar, Ho Koan-beng langsung mundur selangkah ke belakang, sambil terkejut berkata:

"Ternyata kalian sudah saling kenal?"

Rasa terkejut di wajahnya, kepedihan di hati-nya, dalam sekejap terpampang jelas, dia bengong memandang tamu aneh pemetik kecapi yang dipanggil Sin-hiong, sesaat dia jadi tidak bisa bicara.

Seperti sudah disepakati, dia dengan Cui-giok tadinya sudah berjanji tiga hari kemudian akan menikah, tidak diduga lima hari yang lalu didatangi oleh Giok-siau-long-kun, sehingga pernikahannya terganggu, jika diganggu lagi oleh orang yang dipanggil Sin-hiong, maka, pernikahan dia dengan Cui-giok akan gagal sudah. Dia sangat mencintai Sun Cui-giok, sehingga tidak mempedulikan segala akibatnya, demi masalah ini, dia sekarang bermusuhan dengan Sang-toh, Sang-toh malah memanggil gurunya, masalah ini semakin menjadi besar, jika mengatakan Ci-hoat-kui dan murid Bu- tong Gouw-in adalah korban dari perkembangan masalah ini, itupun tidak dianggap keterlaluan.

Ciang-bun-jin Hoa-san-pai memperhatikan dari samping, dalam hati segera jadi mengerti, dia tahu anak muda yang dipanggil Sin- hiong ini, pasti bukan seorang yang biasa, tapi dia punya sahabat di seluruh negeri, tidak ada satu pun yang dia tidak kenal di berbagai perguruan, tapi dia justru tidak tahu asal-usul anak muda ini.

Anak muda pemetik kecapi itu memandang dengan sorot mata kaku, memandang sekali pada Ho Koan-beng dan Sun Cui-giok yang ada di sampingnya, dengan suara yang dalam berkata:

"Hujin bicara apa? Aku tidak mengerti!"

Sun Cui-giok melihat dia tidak mau mengaku, hatinya jadi gelisah, air mata sudah bercucuran, dia berdiri di sisi menangis, Ho Koan-beng melihat, di dalam hati merasa tidak enak sekali, pikirnya buat apa aku masih tinggal disini?

Dia sedang memikirkan apakah dirinya masih perlu tinggal disini, dia jadi sangat menyesal kemarin malam memaksa musuh cintanya ini tinggal disini, sehingga membuat Cui-giok jadi sedih, dia sendiri pun sangat sedih.

Dulu ketika menebang pohon besar ini, gerakan anak muda pemetik kecapi sangat lincah sekali, setelah melihat Sun Cui-giok menangis, walau masih meneruskan menebang pohon, tapi yang dia rasakan saat ini, yang dia tebang itu bukanlah pohon besar, tapi adalah sebuah besi baja yang amat keras dan kuat.

Di dalam hatinya masih ada perasaan pedih.

Tiga orang itu berdiri diam, selain anak muda pemetik kecapi masih terus menebang pohon, di tempat ini, sangat hening seperti kematian. Anak muda pemetik kecapi itu hanya menebang beberapa saat, lalu berjongkok melihatnya, pohon besar ini sudah ditebangnya sekitar tujuh delapan puluh persen, di dalam hati berpikir:

"Besok pagi satu hari lagi, aku sudah bisa menyelesaikan harapanku ini."

Dalam hatinya berpikir begitu, lalu menaruh kapaknya, mengangkat kecapi klasiknya, tidak mempedulikan Ho Koan-beng dan Sun Cui-giok berdua, bagaimana perobahan wajah mereka, dia sendirian berjalan meninggalkan tempat itu.

Dengan demikian, mereka berdua jadi semakin canggung saja.

Mendadak Cui-giok menghentikan tangisnya dengan bencinya berkata:

"Bagus, jika kau tidak mau mengakuinya, bunuh saja aku!"

Anak muda pemetik kecapi itu merasa hatinya tergetar, di dalam hati berkata:

'Kau salah mengerti, kenapa kau memaksa aku mengakuinya?"

Sebenarnya tadi dia ingin mengakuinya, hanya karena Cui-giok sekarang atau di kemudian hari akan menjadi orangnya keluarga Ho, jika dia mengakuinya, bagaimana dia menyelesaikan keadaan ini? Maka dia hanya bisa mengeraskan hati, tapi di dalam hatinya, dia sangat pedih sekali?

Begitulah sifat dia, lebih baik dirinya yang sedih, tapi tidak ingin membangun kegembiraan diri sendiri di atas kepedihan orang lain.

Tapi, sekarang bukan hanya dia sendiri yang pedih, Sun Cui-giok sedang pedih, Ho Koan-beng juga pedih, malah Giok-siau-long-kun Sang-toh pun sedang pedih?

Semua ini, dia tahu betul, berjalan dua langkah, tidak tahan mengeluh panjang:

"Sen Sin-hiong, buat apa kau membuat begitu banyak orang menjadi sedih?" Ketika mengangkat kepala, bulan sudah terbenam di barat, tapi tepat di saat ini, dari kejauhan kembali terdengar derap kaki kuda yang cepat menuju ke tempat itu.

0oooodeooo0
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar