Pertempuran di Lembah Hay Tong Jilid 03

Jilid 03

Ayah dan anak itu menjadi girang, setelah besarkan api, dengan hati-hati mereka letaki surat itu di atas meja dan keduanya lantas unjuk hormat sambil paykui pada surat itu.

"Dasar anak cucunya Kiushe Hiekee di sini tidak akan ludas, mereka telah bikin tergerak hatinya leluhur kita, hingga mereka hendak ditolong," kata Tay Yong kemudian pada anaknya. "Siauw Chong ini adalah couwhu Lim Siauw Chong."

"Dengan begini menjadi nyata, Lim couwhu dan engkong kita terang masih berada di dunia ini," kata Giok Kouw yang kegirangan. "Sudah lama aku tidak lihat mereka itu, mereka telah bertapa hingga ada yang kata mereka telah jadi malaekat dan tidak campur lagi urusan dunia, siapa nyana sekarang mereka masih ingat anak cucunya, yang mereka hendak lindungkan keselamatannya."

"Sekarang telah menjadi terang, Lim Siong Siu berlima telah ditolong oleh Lim couwhu," Tay Yong berkata. "Couwhu janji mau bantu kita, kendati demikian, kelihatannya kita masih mesti lakukan satu pertempuran hebat, karena musuh ada tangguh sekali. Aku kuatir kalau mereka lakukan pembokongan terhadap kita "

Tay Yong berhenti bicara dengan mendadak, karena mereka dengar suara apa-apa di jendela, ia kaget karena melihat daun jendela terbuka sendirinya. Hampir dengan berbareng, mereka lompat ke kedua pinggiran. Tapi daun jendela tertutup pula kapan dari luar melesat masuk selembar kertas.

"Siapa?" teriak Tay Yong, yang menjadi gusar serta hunus goloknya.

Tapi keadaan ada sunyi seperti biasa.

Ketika cuncu ini lari ke luar rumah, sampai di lataran, ia tidak melihat siapa juga. Malam ada tenang sekali.

Dari empat penjuru, di mana kaum nelayan melakukan penjagaan, tidak ada gerakan apa juga.

"Ayah, mari!" terdengar suaranya Giok Kouw di dalam rumah.

Tay Yong masuk dan lihat muka anaknya pucat. "Apakah bunyinya surat itu?" ia tanya

Giak Kouw angsurkan kertas itu pada ayahnya, siapa segera membaca. Surat itu datangnya dari Na Thian Hong, ketua dari Englok-kang Coanpang dan Pian Siu Hoo, ketua dari Kangsan-pang Coanpang. Coanpang berarti rombongan perahu nelayan. Mereka itu tidak menulis apa-apa kecuali memberi hormat....

"Ini ada suatu hinaan besar bagi kita!" kata Tay Yong dengan gusar sekali. "Kita telah kirim orang membikin penyelidikan, kita gagal, sudah begitu, mereka sengaja antarkan surat mengirim tabe ini. Dengan jalan ini mereka hendak majukan tantangan secara hormat, inilah tanda bahwa mereka ingin tumplek antero tenaganya untuk hadapi kita, guna rampas Giokliong-giam Hiecun! Maka sekarang tidak ada lain jalan daripada kita terima tantangannya itu. Jangan kuatir, anak, kita akan hadapi segala apa!" "Kita memang tidak usah takut, ayah," Giok Kouw bilang. "Aku memang ketahui, ayah ada berani dan tidak takut mati. Tapi, dengan penjagaan yang begini kuat, musuh bisa datang dan pergi dengan merdeka, apakah artinya penjagaan kita terlebih jauh?"

Belum Tay Yong sahuti anaknya kapan kuping mereka dengar suitan bambu, maka berdua mereka lari keluar, akan cari keterangan, justru satu nelayan dari mulut muara datang pada mereka untuk memberi laporan.

"Ada apakah?" Tay Yong mendului tanya.

"Dari jurusan mulut muara, tidak ada gerakan apa- apa, tanda datang dari jurusan Giokliong-giam," sahut pembawa warta itu.

Tay Yong menoleh pada gadisnya.

"Pergi pulang dan tunggu rumah, aku mau pergi melihat," ia berkata.

"Aku juga mau pergi melihat," kata si nona.

Tay Yong sudah lantas lari menuju ke jurusan bukit, ia ambil jalan air, untuk mana telah dibuka satu jalanan air yang sempit, yang muat hanya sebuah perahu kecil. Ia lompat turun atas perahu dan anaknya pun turut. Dua nelayan sudah menunggu di perahu itu, yang segera digayuh pergi.

Di sepanjang jalan ada nelayan-nelayan yang menjaga, tapi saban kali Tan cuncu menanya, selalu ia dapat jawaban bahwa tanda datangnya dari atas bukit, bahwa sudah ada orang yang memburu naik ke atas bukit itu.

"Apakah ada musuh datang dari sana?" Semua orang menjawab tidak terang. Maka Tay Yong maju terus, dengan terus menanya tidak berhentinya, sebentar saja ia sudah sampai di tempat tujuannya. Di sini ia dapat kenyataan, nelayan-nelayan dari empat perahu yang menjaga di situ sudah pergi melakukan penyelidikan, dan dari atas bukit tertampak dua lentera sorot Khongbeng-teng yang bersinar kuning.

"Apakah cuncu yang datang?" demikian terdengar orang menanyanya.

"Benar," sahut Tay Yong, yang segera ajak puterinya mendarat dan naik terus.

"Tidak apa-apa, cuncu," adalah laporannya satu pemimpin rombongan itu, Lie Coan Seng namanya. Ia telah papak ketua itu. "Kita sudah periksa semua tempat di sini, kita tidak dapatkan juga "

"Sebenarnya, apa yang sudah terjadi?" ketua itu menegaskan.

"Kita diperintah menjaga di bawah curam," Coan Seng jawab. "Kita tidak lihat suatu apa, tapi barusan satu saudara dengar suara apa-apa di atas curam, ketika ia pergi periksa, samar-samar ia tampak bayangan orang. Ia kuatir matanya kabur, ia tidak berani banyak berisik, tapi dengan diam-diam ia memberi kabar padaku, maka aku segera kirim dua saudara akan pasang mata. Belum lama, dari bawah lompat naik satu bayangan, loncat tinggi sampai tiga kaki, maka dengan tiga kali loncatan saja, ia telah bisa sampai di atas. Ia segera ditegur oleh saudara-saudara yang menjaga di atas, tetapi ia tidak menjawab, malahan ia lari terus, ketika ia dipanah, ia lolos. Kemudian muncul satu bayangan lain yang mengejar bayangan pertama, bayangan kedua ini mempunyai gerakan tubuh yang tidak kalah gesitnya. Ia juga ditegur tetapi ia diam saja. Maka itu terang mereka bukan ada orang dari pihak kita. Karena ini, tanda suitan lantas dibunyikan. Dari bawah kita semua memburu ke atas, untuk lakukan pemeriksaan, tetapi kesudahannya nihil, hanya dari kejauhan kita dengar orang bertempur serta saling menegur."

Hatinya Tay Yong berdebar mendengar keterangan itu. Itulah di luar dugaan yang orang benar-benar ambil jalan dari atas bukit, dari curam yang tidak disangka- sangka, sedang yang dijaga keras adalah mulut muara. Cara bagaimana orang bisa jalan di tempat yang tidak ada jalanannya itu, yang penuh dengan bahaya?

Dengan ajak kawan, Tan cuncu coba bikin pemeriksaan sendiri, lentera Khongbeng-teng telah digunakan, hasilnya sama saja, yaitu kosong. Di tempat yang sukar itu tidak kedapatan tanda atau bekas apa juga yang mencurigai.

Akhirnya Tay Yong pulang sesudah ia pesan untuk Lie Coan Seng menjaga pula dengan hati-hati serta menambah jumlahnya saudara-saudara yang menjaga di atas curam itu. Ia ajak Giok Kouw mampir ke mulut muara, akan menilik pula sambil menanyakan keterangan kalau-kalau di muara ada gerakan apa-apa, tetapi jawaban yang ia dapat adalah bahwa segala apa tenang seperti biasa. Hanya tadi, di pihak musuh datang lagi tiga buah perahu besar di kiri dan kanan, muatannya ada tujuh atau delapan orang yang dandanannya bukan seperti dari Englok-pang.

Tan Tay Yong manggut-manggut, ia mengerti bahwa musuh telah tambah tenaga, bahwa Hiecun terancam bahaya, la utarakan apa yang ia pikir ini kepada anaknya. Tatkala itu sudah terang tanah. Dalam perjalanan pulang, Tay Yong coba melihat ke jurusan gubuk, ia lihat ibu dan anak dari keluarga Yan itu berada di dalam pekarangan rumahnya, sikapnya tenang.

Lagi-lagi Tay Yong goleng kepala. Ia seorang yang berpengalaman, tetapi sekarang ia menjadi bingung. Apa yang harus dilakukan terhadap ibu dan anak itu, yang ia tidak berani — malahan tidak nanti — usir dengan paksa? Ia toh tidak berani pastikan dua orang asing itu ada sahabat atau musuh, sedang mereka ada orang-orang perempuan.

"Andaikata mereka datang untuk membantu, aku toh harus malu, karena aku tidak mampu duga mereka dengan jitu " demikian ia pikir.

Kira-kira tengah hari, dari mulut muara datang satu nelayan yang melaporkan bahwa pemimpin dari Englok- pang, Na Thian Hong, ada kirim utusan membawa karcis nama dan surat untuk minta ketemu dengan Tan cuncu.

Tay Yong berpikir sebentar, lantas ia perintah utusan itu diijinkan masuk ke mulut muara, ia akan menantikan di sana di dalam perahunya.

Seperginya nelayan itu, Tan cuncu lantas siap dan pergi ke mulut muara, di sini ia naik sebuah perahu besar dan atur sejumlah saudara-saudara nelayan untuk berbaris menyambut utusan musuh. Mereka berbaris rapi dan unjuk roman keren tetapi tidak bersenjata.

Tidak antara lama dari mulut muara kelihatan mendatangi sebuah perahu yang laju sekali. Di kepala perahu itu berdiri tegak satu orang, tubuhnya bergeming kendati juga perahu memain karena bergeraknya penggayuh. Ia berumur tigapuluh lebih, baju dan celananya hijau, kaki celananya digulung, hingga kelihatan kakinya yang telanjang, hanya dibungkus dengan cauw-eh, sedang kepalanya ditutup dengan tudung rumput. Melihat romannya, ia ada seorang yang cerdik.

Sebentar saja, perahu nelayan itu telah sampai pada perahu besar. Dengan tubuh yang nampaknya enteng sekali, orang itu mencelat lompat dari perahunya pindah ke perahu besar. Dari kere, yang memisahkan mereka, Tan Tay Yong dapat melihat nyata gerakan orang yang gesit itu, hingga ia menduga pada kepandaian orang.

Satu nelayan segera singkap kere serta berkata, "Silakan, tuan, cuncu undang kau masuk!"

Tay Yong berbangkit menyambut sambil unjuk hormatnya

"Aku girang sekali jikalau kau sudi perkenalkan dirimu, tuan," ia berkata.

"Aku ada Cee Sie Kiat, orang sebawahan dari Na loo- tocu dari Englok Coanpang," sahut tamu itu. "Apa aku lagi berhadapan dengan cuncu dari Giokliong-giam Hiecun?"

"Benar. Silakan duduk!" "Terima kasih, cuncu. Aku sedang terima perintah, aku pun ada pegawai rendah dalam Englok-pang, mana aku berani berlaku tidak tahu aturan "

Sembari kata begitu, dari jepitan surat yang ia cekal, ia keluarkan selembar karcis nama dan sepucuk amplop, yang mana ia serahkan pada tuan rumah- Tay Yong menyambuti sambil mengucap terima kasih, lagi sekali ia mengundang duduk. Tapi tamu ini tetap berdiri diam.

Segera juga Tay Yong kenalkan karcis nama itu, yang sama dengan yang ia terima di waktu malam. Maka ia lalu buka suratnya dan baca seperti berikut:

Yang terhormat,

Cuncu Tan Tay Yong dari Giokliong-giam Hiecun. Dengan hormat, karena paksaannya musim paceklik,

pihak kita telah coba minta pinjam tempat di daerah

perikanan Giokliong-giam, apa mau, karena penolakan cuncu, satu pertempuran yang menyedihkan telah terjadi. Tatkala itu, karena sedang bepergian, aku tidak bisa lantas datang pada cuncu untuk menghaturkan maaf. Sejak itu, banyak tahun telah lewat, tetapi saudara-saudaraku yang telah terima budi kebaikan cuncu, tidak ada satu yang bisa lupai itu. Demikianlah, sekarang kita orang datang berkunjung. Dalam tempo 3 hari, saudara-saudara kita akan memasuki Giokliong- giam untuk minta pengajaran, aku minta sukalah cuncu jangan menampik. Sekian, lain tidak.

Hormatnya.

NA THIAN HONG.

Tay Yong tertawa setelah ia habis baca surat itu. "Aku merasa girang sekali yang pemimpinmu begini

hargakan aku," ia kata, "aku pun girang yang ketua dari Kangsan-pang turut datang juga. Memang, sejak di Hucun-kang, pihak kamu memang sudah punyai perkenalan, aku tidak nyana, setelah berselang duapuluh tahun lebih orang masih tidak lupai aku! Karena omongan terlebih sempurna daripada surat, maka sahabat, kau saja tolong sampaikan jawabanku. Tempo tiga hari itu aku terima baik, waktu itu aku akan menyediakan air dan arak guna menyambut pihakmu, sebagaimana keharusannya satu tuan rumah. Kau banyak cape sahabat, sampai secangkir thee kau tidak minum, aku tidak berani tahan kau lebih lama lagi, nah, persilakan! Sampai ketemu pula lagi tiga hari!"

"Terima kasih, cuncu!" sahut tamu itu. "Kau sudi terima kita, itu menyatakan kau ada satu sahabat. Nah, sampai ketemu pula!"

la putar tubuhnya dan bertindak pergi, Tay Yong mengantarkan hingga ia bisa lihat bagaimana leluasa orang lompat balik ke perahunya, perahu bergeming, papan perahu tidak bersuara, mula-mula kakinya itu berdiri sebelah, dalam sikap dari Kimkee toklip atau "Ayam emas berdiri dengan sebelah kaki", kemudian ia putar tubuhnya serta terus angkat kedua tangannya menghadapi tuan rumah.

"Maaf, aku tidak mengantar terlebih jauh!" kata Tay Yong yang balas hormat itu.

Anak perahu dari Giokliong-giam tidak senang menampak sikap yang jumawa itu, maka waktu ia kasih bekerja penggayuhnya, akan bikin perahu mulai berangkat dan sengaja gunakan tenaganya dengan dikageti. Biasanya gerakan itu akan bikin terpelanting orang yang sedang berdiri di atas perahu. Tapi maksud ini gagal, karena cepat sekali Cee See Kiat sudah turunkan sebelah kakinya yang lain, hingga ia injak papan perahu dengan kedua kakinya— kedua kaki yang berdiri dengan tetap!

"Saudara-saudara, kamu benar pandai!" ia kata sambil bersenyum. "Kamu pasti ada banyak cape!"

Anak-anak perahu itu menjadi malu sendirinya, dengan tidak kata apa-apa, mereka kasih perahunya jalan terus, sampai di mulut perahu di mana tamu yang jumawa itu segera lompat ke perahunya sendiri untuk lanjuti perjalanannya pulang.

Sementara itu Tan Tay Yong sudah lantas pulang, sedang tadinya orang mengharap ia menuturkan apa-apa berhubung dengan diterimanya karcis nama dan surat dari Kangsan-pang dan Englok-kang itu. Karena ini, mereka hanya bisa menduga-duga saja.

Giok Kouw mengerti kesukaran ayahnya. Pian Siu Hoo dari Kangsan-pang dan Na Thian Hong dari

Englok-kang memang ada musuh-musuh yang harus dimalui, sedangkan tenaganya Giokliong-giam Hiecun hanya cukup untuk dipakai melayani orang-orang biasa saja, tidak segala jagoan dari kalangan Sungai Telaga. Karena ini, ia pun diam saja, ia ikuti ayahnya pulang.

Alisnya Tay Yong mengkerut. la tahu ia lagi hadapi musuh berbahaya dan ia tidak bertetap hati kendati ia ketahui, pada pihaknya ada bantuan dari pihak tetuanya yaitu Lim Siauw Chong.

"Ayah, bukalah pikiranmu," kata Giok Kouw akhirnya untuk hiburkan ayah itu. "Selagi bahaya mengancam, kita mesti lupakan segala apa kecuali persiapan untuk membela diri. Louw couwhu telah berjanji akan bantu kita, aku percaya ia tidak akan antap anak cucunya menjadi korban musuh. Umpama kata kita tidak berdaya, ini juga bukannya alasan untuk kita mandah saja! Semua saudara kita bukannya orang-orang yang takut mati!

Kalau sudah sampai saatnya, mari kita melawan, apabila mesti binasa, mari kita binasa semuanya!"

Tay Yong manggut-manggut, anak itu benar adanya. "Aku mengerti," ia bilang, "ini ada jalan satu-satunya

bagi kita."

Lantas Tay Yong ajak pengiring akan melakukan penilikan lagi, setelah mana ia himpunkan semua kepala rombongan, pada mereka ia beritahukan tentang tantangan musuh dan minta semua bersatu hati untuk bersiap dan membela diri, untuk usir musuh. Ia minta, sekalipun siang, jangan ada yang alpa.

Penjagaan di atas Giokliong-giam telah ditambah.

Kemudian Tay Yong melongok lagi nyonya Yan dan anaknya, untuk kesangsiannya, ia dapati ibu dan anak itu tenang seperti biasa. Ia benar-benar tidak bisa bade halnya dua orang asing ini.

Sementara itu, dua hari telah lewat dengan tenteram. Di hari ketiga, Seantero hari tidak ada gerakan apa-

apa dari pihak musuh. Di waktu sore, Tay Yong juga

tidak dapati munculnya Lim Siauw Chong, susiok-nya, tetua dari Kiushe Hiekee, ia menjadi bingung. Maka ia kumpulkan empat tauwbak: Wan Sam Siu, Yap A Tiong, Ho Jin dan Lim Siong Siu.

"Kita telah terima tantangan Na Thian Hong, malam ini adalah waktu yang ditetapkan," ia berkata. "Mereka mempunyai banyak orang pandai, inilah terpaksa aku mesti bilang terus terang padamu, karena, sebagai cuncu, aku tidak boleh justakan kamu. Sebagai ketua, aku tidak boleh ucapkan kata-kata yang bisa melemahkan pihak kita, toh aku tidak bisa sembunyikan rasa hatiku. Apa faedahnya akan omong besar apabila buktinya sebaliknya? Aku tahu, apabila tidak ada orang berilmu bantu kita, kita mesti menderita kekalahan, tetapi sebagai ketua, aku akan pertaruhkan jiwaku, akan membela Hiecun sebisa-bisaku. Di atas itu, aku mesti lindungkan kehormatannya Kiushe Hiekee! Maka sekarang aku harap semua saudara pun bersatu pikiran dengan aku!"

Empat tauwbak itu tidak kenal takut, sebaliknya mereka jadi bersemangat

"Jangan cuncu berkuatir," mereka nyatakan. "Kita semua tidak takut mati, kita akan belakan Giokliong-giam dengan jiwa kita, kalau perlu, kita akan siram Hiecun dengan darah kita!"

"Ini barulah turunan dari Kiushe Hiekee!" berkata Tay Yong sambil manggut-manggut. "Sekarang aku mau minta perhatian kamu semua. Kalau sebentar musuh datang, apabila perahu mereka tidak melebihkan sepuluh buah, kau boleh ijinkan mereka masuk, tetapi begitu mereka sudah ada di dalam, mulut muara harus ditutup, dengan tidak ada titah, penutupan itu tidak boleh dibuka, satu perahu pun tidak boleh keluar! Tentang kejadian di dalam, semua pihak penjagaan di sini jangan ambil tahu. Untuk penjagaan di mulut muara, aku ingin disediakan duapuluh empat perahu, setiap perahu mesti pasang dua lentera merah dan empat obor. Semua perahu ini harus berbaris dari Hiecun sampai di mulut muara Mulai dari mulut muara, Lim Siong Siu mesti menjaga bersama delapan buah perahu. Pasukan ketiga dari Ho Jin tidak usah semuanya mengawasi nyonya Yan dan anaknya, kau mesti siap untuk bantu di sebelah dalam muara, untuk menjaga kalau-kalau musuh menerjang dengan mendadak. Pasukan kedua dari Yap A Tiong semasuknya perahu-perahu musuh, mesti lantas gabungkan diri dengan pasukan kesatu dari Wan Sam Siu, kau mesti berpencar di sekitar daerah kita, untuk menunggu titah terlebih jauh. Malam ini ada malam terakhir bagi hidup atau musnahnya kita aku harap semua insyaf dengan kewajiban masing-masing. Sekarang, silakan kamu bekerja!"

Empat tauwbak itu berikan janji mereka, sesudah itu mereka pergi dengan berpencaran, akan bersiap menuruti perintah ketuanya. Maka selanjutnya, Hiecun malam itu ada beda daripada biasanya Maka setiap satu tombak lebih tentu ada terdapat dua perahu di kiri dan kanan, masing-masing dengan dua lentera dan empat obor.

Di depan Hiecun ada enam-belas perahu besar, pada setiap tiang layarnya ada satu lentera merah yang besar, pada setiap kepala perahu ada empat nelayan, yang bersenjata tempuling, pakaiannya pakaian berenang, kepalanya dibungkus rapi.

Di pantai di depan Hiecun, di mana ada lapangan yang besar, ada ditaruh enambelas perangkat kursi meja, guna sambut tamu. Di sini ada diatur barisan-barisan dari empat-puluh nelayan, sebagian pegang lentera, sebagian bersenjata tempuling, golok dan klewang, untuk di air. Tan Tay Yong pakai thungsha biru, ia tidak bekal senjata, hanya karcis nama. Ia telah siap akan sambut tamu.

Giok Kouw telah dandan dengan ringkas, tetapi orang- orang perempuan lainnya semua berdiam di dalam rumah dan dilarang keluar. Tapi mereka insyaf gentingnya keadaan, maka mereka tidak masuk tidur.

Sekalipun adanya persiapan, seluruh Hiecun ada sunyi senyap. Maka Tan Tay Yong merasa puas di waktu ia pergi untuk melakukan penilikan, ia dapat semua titahnya telah dijalankan betul.

Belum terlalu lama, dari atas Giokliong-giam ada terdengar suara suitan bambu, yang beruntun terus, satu kali. Suitan itu memang ada pertandaan dan suaranya ada rupa-rupa, dengan dengar suaranya orang lantas ketahui ada terjadi apa-apa.

Tan Tay Yong terperanjat.

"Kembali di puncak ada orang yang menoblos dengan diam-diam," ia berkata. "Sekarang semua mesti siap dan pasang mata! Na Thian Hong gunakan cara ini, terang ia bukannya saru sahabat dari kalangan Sungai Telaga. Kita telah bikin perjanjian, kenapa ia bersikap begini?

Sekarang mari kasih dengar tanda, supaya semua pihak kita umpati diri, supaya dilepaskan anak panah terhadap siapa saja yang melintas dalam daerah kita!"

Baru saja titah itu hendak dijalankan, mendadak dari tempat gelap di samping mereka, lompat keluar satu orang ke depannya Tay Yong.

Semua orang menjadi kaget, mereka menyangka musuh, lantas mereka maju. Tan Tay Yong tidak bersenjata tetapi ia tidak takut, dengan tabah ia awasi orang itu.

"Siapa kau, sobat?" ia menegur. "Kenapa kau lancang masuk kemari?"

Ditegur demikian, orang itu tertawa berkakakan. "Aku pulang ke rumah sendiri, kenapa aku dikatakan

lancang?" ia berkata.

Tay Yong lihat orang itu pakai baju biru dengan celana pendek biru juga, kakinya tidak terbungkus kaos, bersepatu rumput, kepalanya ditawungi tudung lebar, hingga orang itu mirip dengan satu nelayan atau tukang sawah. Mengawasi lebih jauh, ia taksir usianya tujuhpuluh lebih, kumis dan jenggotnya ubanan, mukanya kurus tetapi segar dan sehat. Tiba-tiba ia terperanjat, lantas ia menghampirkan, untuk berlutut.

"Siokhu, Tay Yong unjuk hormatnya padamu!" ia berkata.

Melihat sikapnya ketua itu, semua orang lantas batalkan sikap mereka yang mengancam.

"Bangun, bangun!" berkata orang tua itu, yang bukan lain daripada tetua Kiushe Hiekee, Lim Siauw Chong. "Sekarang bukan waktunya untuk bicara lagi, segera juga kedua kunyuk tua dari Englok-pang dan Kangsan-pang bakal datang kemari! Aku datang bersama dua orang, aku nanti ajar kau kenal dengan mereka "

Sembari kata begitu, tetua itu menoleh ke tempat gelap dan meng-gape.

"Mari sini! Sekarang aku telah menjadi tuan rumah di sini, aku undang kamu untuk minum thee! Mari!" Berbareng dengan undangan, itu, dari tempat gelap ada lompat keluar dua orang, lompat turun dari tempat tingginya tiga tombak dan turunnya tepat di samping Lim Siauw Chong. Dua-dua mereka mempunyai roman luar biasa. Yang pertama rambut dan kumis jenggotnya sudah ubanan, alisnya tidak terkecuali, tubuhnya tinggi dan besar, muka bundar dan montok serta segar, satu muka yang tidak seharusnya dipunyakan oleh satu aki- aki. Bajunya warna abu, adalah thungsha, dengan kancing-kancing tembaga yang besar, tangan bajunya lebar dan panjang, hingga jadi gerombongan. Kakinya pakai kaos panjang dan sepatu. Air mukanya tersungging dengan senyuman. Yang kedua, beda dengan, si jangkung dari besar itu, ia bertubuh kate dan kurus luar biasa, mirip dengan kulit membungkus tulang, pakaiannya ringkas dan pendek, bersepatu rumput dengan tidak pakai kaos kaki, sedang kulit mukanya ada pucat kuning seperti seorang yang penyakitan. Berdua mereka jadi tambah luar biasa, karena mereka berdiri berendeng, hingga roman mereka jadi beda sekali satu dengan lain.

"Jiewie loo-suhu, ini adalah keponakanku yang tak berguna, Tan Tay Yong namanya," berkata Lim Siauw Chong pada kedua tamunya. "Apa yang bakal terjadi malam ini, keponakanku sekalian ada mengandel betul pada kamu berdua "

Si tua tinggi besar dan ubanan tertawa haha-hihi.

"Siauw Chong, kau aneh!" ia berkata. "Kita orang bekerja janganlah seperti katanya pribahasa: 'Kapan sudah terdesak, baru merangkul kaki Budha', sesudah melewati sungai, segera merusaki jembatan, sesudah luka sembuh, lantas melupai sakit, atau sesudah urusan beres, lantas berpura tidak kenal, hingga dua atau tiga tahun, kau sukar untuk diketemukan! Inilah aku tidak mau, sahabat, dengan begitu kau bukanlah sahabatku! Kita orang bersaudara biasanya tidak ada hutang, kita menjual kontan dan tidak mainkan tempo, maka kalau nanti urusan sudah beres, dengan baik-baik kau harus undang kita berjamu! "

Tay Yong sementara itu sudah lantas berlutut di depannya tamu untuk perkenalkan diri sambil unjuk hormatnya.

Si kate kurus, yang romannya mirip dengan monyet, sudah lantas berkata dengan suaranya yang agak serak, "Cucu, apakah kau kenal siapa kita berdua? Dengan kau berlutut di depan kita, apakah itu tidak menurunkan derajatmu sebagai ketua di sini?" demikian ia tanya.

"Aku minta loo-cianpwee jangan tertawai aku, dengan sebenarnya aku tidak kenal pada loo-cianpwee berdua " jawab Tay Yong dengan jengah. Kemudian ia

menoleh pada Lim Siauw Chong sambil berkata. "Siokhu, tolong kau ajar aku kenal dengan jiwie loo-cianpwee ini...

"

Tetua Kiushe Hiekee manggut, ia segera tunjuk si tinggi besar yang ubanan.

"Ini ada Hengyang Hie-in Sian le, untuk seluruh Ouwlam, dengan ilmu silatnya Bianciang Kanghu, ia telah pimpin semua ahli silat..." Kemudian ia menunjuk si kurus kering yang beroman monyet, ia tambahkan, "Ia adalah tukang usil urusan sewenang-wenang di daerah Tiangkang, hingga orang juluki ia Souwposu, atau si Pembalasan cepat. Ia ada orang she Cukat ber nama Pok." Baru saja Lim Siauw Chong tutup mulutnya atau ada lompat turun orang yang ketiga yang kumis dan jenggotnya hitam menutupi mulutnya.

"Dan ini ada Hee In Hong, yang namanya tersohor di selatan dan utara Taykang, karena golok besarnya Kimpwee Kamsantoo," ia segera perkenalkan lebih jauh.

Maka Tay Yong pun lekas-lekas unjuk hormatnya pada orang yang ketiga ini. Kemudian ia lekas berbangkit dan segera mengundang duduk pada ketiga tamunya itu.

Sementara itu beberapa nelayan segera menyuguhkan thee panas.

"Kau telah undang kita, apa begini caranya kau sambut tamu?" menegur Cukat Pok pada Lim Siauw Chong. "Kamu semua benar-benar tidak boleh dibuat permainan. Sampaipun arak kau tidak sediakan! Kenapa kau begini muris, sampai uang dipandang dan disayang seperti jiwa sendiri?"

"Jangan tidak kenal aturan, sahabat!" Lim Siauw Chong sahuti. "Dengan tidak berjasa kau menerima pahala, aku kuatir, umpama kau makan, barang makanan juga tidak nanti mau hancur. Kau lihat cuaca, sekarang ini sudah jam berapa? Bukankah di mulut muara sedang menantikan sahabat-sahabat karib kita! Kita harus terlebih dulu usir mereka pergi, baru kemudian kami bisa makan dan minum dengan tenang, untuk merayakan pesta kemenangan! Waktu itu barulah barang makanan dapat digayem hingga hancur! "

"Kau harus hati-hati jika setelah melewati sungai segera merusak jembatan, atau setelah liamkeng segera memukul hweeshio!" berkata Souwposu Cukat Pok sambil bersenyum. "Kau harus mengerti, aku bisa membayar dan membalas kontan padamu, jangan karena kau telah mencari aku, segera kau boleh perintah aku sebagai si kacung tolol, yang boleh diperintah menjual tenaga untuk si orang she Lim! Bukankah kau ada dari pihak Kiushe Hiekee? Jikalau padaku tidak dihaturkan terima kasih sebagaimana pantasnya, di antara kami mesti ada perhitungan yang belum beres! "

"Eh, Cukat Pok, kenapa sih kau tidak mengenal aturan?" menegur Hee In Hong. "Kenapa di antara sekalian tetua, kau berhitungan begini matang? Apa kau tidak kuatir kehormatan dirimu nanti juga turun harga?"

Hengyang Hie-in tertawa berkakakan.

"Cukat loosu, apa kau tidak dengar suara suitan di mulut muara itu?" ia tanya. "Bukankah itu ada tanda bahwa di mulut muara orang telah bergerak? Pasti, rupanya usaha kita bakal segera dimulai!. "

Benar saja, suara suitan lantas terdengar berulang- ulang, disusul dengan lajunya sebuah perahu kecil yang sangat pesat, di atas mana ada tanda lentera dan bendera merah. Sesampainya di depan Hiecun, satu nelayan yang berdiri di kepala perahu kecil itu sambil goyang bendera merahnya segera berseru, "Tiga perahu besar dari pihak luar sudah mulai masuk!"

"Aku tahu," jawab Tay Yong serta berbangkit.

Atas jawaban itu, perahu kecil tersebut segera balik kembali.

Sekarang semua mata ditujukan ke muka air, ke jurusan mulut muara. Tiga buah perahu nelayan besar tertampak sedang mendatangi, empat buah perahu di kiri dan kanan mengiringi. Muka air menjadi terang, di situ memain cahaya obor dan lentera, air jadi bercahaya bergemirlapan. Lajunya perahu-perahu sangat cepat, air sungai sampai jadi berombak.

Tay Yong ajak sejumlah saudaranya pergi ke tepi untuk membikin penyambutan. Delapan nelayan, dengan masing-masing pegang lentera, berbaris di kedua pinggiran.

Selagi tiga perahu besar mendatangi, kelihatan di perahu pertama ada empat anak buahnya berdiri di kepala perahu, pakaiannya serupa, di tangannya masing- masing me-nyekal obor, sedang di perahunya ada dua buah lentera besar. Kelihatan nyata di kertas lentera ada tiga huruf "Kang San Pang". Kedua jendela telah dipentang, di dalam perahu kelihatan tiga orang sedang berduduk. Penumpang lainnya adalah enam anak buah dan satu tukang kemudi.

Perahu yang kedua ada sama keadaannya, kecuali di lenteranya ada tertulis tiga huruf lain, yaitu "Lan Kie Pang".

Adalah perahu ketiga yang pakai lentera dengan tiga huruf "Eng Lok Pang" dan di situ ada berduduk lima atau enam orang.

Sebentar kemudian ketiga perahu sudah berlabuh, dari perahu pertama mendarat satu anak buah, tangannya menyekal karcis nama, yang mana sambil menjura ia serahkan pada Tan Tay Yong. Ia kata itu adalah karcis nama tanda menghormat dari pihaknya, pihak tamu.  Di antara terangnya lentera, Tay Yong periksa karcis nama itu. Ia baca:

Na Thian Hong, pemimpin dari Englok-pang. Pian Siu Ho, pemimpin dari Kangsan-pang. Han Kak, pemimpin dari Hangciu-pang.

le Tong, pemimpin dari Lankie-pang.

Auwyang Cu Him, pemimpin dari Tonglouw-pang. Sun Po Sin, pemimpin dari Liongyu-pang.

Cui Cu le. Cia Kiu Jie.

Dua nama yang tidak berpartai itu ada ahli-ahli silat ternama di Tiangkang.

Segera Tay Yong perintah satu nelayan bawa surat itu pada Lim Siauw Chong, agar tetua itu ketahui siapa-siapa yang berada pada pihak musuh, ia sendiri lalu berkata pada pembawa karcis itu, "Silakan sekalian tamu-tamuku mendarat!"

Sementara itu sekalian tamu sudah mulai mendarat, maka kapan mereka itu telah datang dekat, sambil bertindak ke samping, Tay Yong angkat kedua tangannya untuk unjuk hormatnya.

"Tan Tay Yong dari Giokliong-giam Hiecun berterima kasih yang cuwie loo-suhu telah sudi datang ke desaku ini, harap dimaafkan yang aku telah terlambat menyambut " ia berkata. "Silakan cuwie loo-suhu

duduk minum thee " Na Thian Hong adalah yang kepalai kawan-kawannya itu. Di antara mereka, empat berpakaian sebagai nelayan sejati, yaitu baju dan celana pendek, kaki telanjang, hanya pakai cauw-eh, tetapi mereka semua membawa senjata, senjata rahasia tidak terkecuali.

Dengan sikap menghormat Tay Yong memimpin rombongan tamunya menuju ke kursi meja di mana Lim Siauw Chong dengan tiga sahabatnya telah berbangkit dan bertindak maju akan bikin penyambutan.

Selagi kedua pihak saling mendekati, Hengyang Hie-in Sian Ie segera mendului kawan-kawannya maju ke depan, sembari tertawa, ia lantas berkata, "Malam ini pertemuan kita ada suatu pertemuan yang beruntung sekali! Aku tidak sangka bahwa Pian loo-suhu dari Kang- san-pang juga telah turut datang! Ini ada pertemuan yang sukar dicari keduanya! Dan kau, Auwyang loo-suhu dari Tonglouw-pang, apakah kau masih kenal padaku, Hengyang Hie-in Sian Ie? Cu Ie, Kiu Jie, jiewie loo-suhu, kamu telah membuang tempo akan datang kemari! Kalau tidak keliru, sudah beberapa tahun telah lewat sejak kita orang bertemu paling belakang!"

Ternyata, dari pihak tamu, empat orang telah dikenal oleh Sian Ie.

Di antara tamu-tamu itu, Pian Siu Hoo adalah yang merasa paling heran atas beradanya Hengyang Hie-in di Giokliong-giam Hiecun, keheranan ini sampai terpeta pada air mukanya, akan tetapi ia sudah lantas maju akan menjabat tangan orang serta berkata sambil paksakan bersenyum.

"Sian loosu, kau telah datang kemari untuk bantu meramaikan pertemuan kita, inilah hal yang kita sebenarnya minta pun tidak berani! Adalah pengharapanku, ke mana saja kita sampai, kita akan ketemui sahabat-sahabat kekal, karena dengan begitu, di mana ada urusan, kita orang bisa bicara dengan leluasa. Loo-suhu, aku ingat, kita orang telah berpisah empat atau lima tahun lamanya "

"Rasanya jauh terlebih lama daripada itu, loo-suhu!" Sian le jawab. "Pada tujuh tahun yang lalu, di waktu aku pergi ke See-ouw, aku telah ketemu kau di sana!

Bukankah apa yang aku ingat ini tidak keliru?"

Pemimpin dari Kangsan-pang yang bergelar Tiathong- liong, si Naga Besi, manggut.

"Matahari dan bulan lewat laksana melesatnya anak panah, apa yang sudah lewat nampaknya ada seperti di depan mata," berkata ia. "Lihatlah, sekarang rambut dan kumis kita sudah putih, akan tetapi kita tidak engah sang waktu telah lewat entah berapa banyak tahu-tahu kita telah menjadi tua!"

"Tetapi Pian loosu, aku sendiri merasa bahwa aku masih belum tua!" berkata Nelayan Tersembunyi dari Hengyang, si sobat tua bangka, kalau bukannya pada diri kita masih ada hati jagoan, mana kami berani campur tahu segala urusan orang lain?"

Mukanya ketua dari Kangsan-pang menjadi bersemu merah, ia merasa terpukul sindir oleh kenalan itu, yang bicara secara manis dan halus, tetapi yang maksud ucapannya sangat menusuk hati. Maka ia lekas-lekas simpangi pembicaraan. "Loo-hiapkek, di sini masih ada orang yang belum dikenal, mari kita belajar kenal, supaya kita bisa pasang omong dengan leluasa," demikian katanya.

Mendengar itu, Tan Tay Yong segera mendahului. "Ini ada Cukat Pok loo-suhu," berkata ia. "Ini ada Hee

In Hong loo-suhu. Dan ini ada pamanku Lim Siauw Chong."

Atas itu, ketua dari Englok-pang, Na Thian Hong, juga maju, akan perkenalkan kawan-kawannya, sebagaimana nama-nama mereka telah termuat dalam karcis nama.

Sampai di situ barulah mereka pada ambil tempat duduk.

Beberapa nelayan sudah lantas datang menyuguhkan thee.

"Berhubung dengan kedatangan kita malam ini, aku minta Tan cuncu tidak anggap kita lancang," Na Thian Hong mulai berkata. "Untuk kebaikannya nelayan dari kedua pihak, untuk penghidupan mereka, aku anggap soal lebih baik diurus beres terlebih siang. Seperti telah diketahui, Englok-pang telah hidup turun menurun sebagai keluarga nelayan yang hidupnya di muka air selalu. Beberapa ratus keluarga kita tidak pernah memikir untuk hidup dari usaha lain. Adalah tidak beruntung, selama ini kita telah hadapi bahaya paceklik, hingga kita telah datang ke Giokliong-giam Hiecun ini. Daerah Giokliong-giam adalah daerahnya Englok-pang, sejak Tan cuncu pimpin rombongan ini, kau telah duduki daerah ini. Ketika itu kita telah ketahui, yang daerah ini telah diduduki oleh pihakmu, tetapi kami diam saja. Itulah disebabkan adanya tahun-tahun yang makmur, hingga kita masing-masing dapat hidup senang dan tenteram di masing-masing daerah sendiri. Adalah karena nasehatku, Na Thian Hong, maka pihak Englok-pang diam saja mengawasi sepotong dari daerahnya ini diduduki oleh pihak lain. Kita sama-sama mau cari hidup dan aku telah larang pihakku ganggu pihak lain. Apa lacur, tiga tahun beruntun, kita telah mengalami saat yang sukar, di sebelah itu, kita mesti melihat Giokliong-giam tidak kurang suatu apa, malahan sebaliknya daripada terancam bahaya, ia bertambah makmur. Giokliong-giam, di air ada banyak ikannya, di darat ada subur sawah kebunnya. Ini adalah suatu imbangan tidak adil, karena satu pihak terancam bahaya lapar, lain pihak makmur. Ini juga sebabnya kenapa kita akhirnya menoleh kemari, adalah menjadi pengharapan kami untuk mendapat bagian. Kita anggap keinginan kita ada pantas dan sah.

Pantas karena kita ada sesama manusia, dan sah karena daerah ini asalnya ada milik kita. Tapi sayang, maksud kita itu tidak kesampaian. Kau ketahui sendiri, Tan cuncu, pihakmu telah kang-kangi Giokliong-giam yang kamu telah jadikan seperti kepunyaanmu sendiri, dan sudah begitu, lain pihak, ialah kita dari Englok-pang, dilarang datang kemari, sekalipun untuk menangkap ikan. Sebuah perahu kita pun tidak boleh masuk kemari! Kalau kau ada pihak Englok-pang juga, kita masih bisa bicara halnya siapa datang duluan dan datang belakangan, tetapi ini tidak, karena kau ada pihak tamu dan kita tuan rumah. Kenapa, sebagai tamu, kau larang tuan rumah masuk ke dalam daerahnya sendiri? Oleh karena ini, seperti telah diketahui, maka telah terjadi bentrokan di antara kita. Sebab anak-anak muda kita yang tidak bisa dikasih mengerti, yang telah turuti suara hatinya, telah datang juga kemari dengan paksa, tetapi mereka telah diserang dan diusir, hingga antara mereka ada yang binasa dan luka, perahu-perahunya ada yang karam, kena dirampas dan rusak. Kejadian ini, aku anggap tidak pantas, inilah sebabnya kenapa pembicaraan secara baik sampai tertukar dengan cara keras. Kendati demikian, aku tidak mau berlaku lancang. Maka ini juga sebabnya kenapa sekarang kami datang secara baik untuk lakukan pembicaraan. Kita tidak datang sendiri, kita datang beramai-ramai bersama sahabat-sahabat yang kita sengaja undang. Mereka adalah dari berbagai-bagai kalangan. Dengan bertindak begini, aku tidak ingin nanti dikatakan bahwa kita telah gunai paksaan. Dengan ada saksi kita orang bisa pasang omong, guna cari keadilan, siapa benar, siapa salah.

Cuncu, kau telah pegang pimpinan, kau mestinya dari satu rombongan. Ini ternyata benar, sebab aku dengar kau sebenarnya ada asal Hucun-kang, dari pihak Kiushe Hiekee. Karena kau ada dari Hucun-kang, tindakanmu jadi terlebih-lebih tidak pantas. Hucun-kang ada jauh dari sini, daerah itu ada luas, beberapa ratus lie lebarnya. Di sebelah mana saja kau dapat mendirikan pangkalan di sana, maka kenapa kau justru datang ke sini, daerah Englok-pang, dan di sini kau duduki tempat secara paksa dan segera menjagoi, hingga tuan rumah sendiri kau usir, tidak ijinkan menginjak sebelah kaki? Dengan menuruti kau, cuncu, tidak bisa tidak, adalah terlebih baik buat kita untuk bubarkan saja Englok-pang, semua angkat kaki dari muka air, akan cari penghidupan baru di daratan! Maka sekarang, cuncu, aku telah datang kemari, maksudku adalah untuk minta kau suka mengalah, supaya pihakmu pulang ke Hucun-kang dan Giokliong- giam ini kau serahkan kembali pada kita, selanjutnya kita orang hidup dengan tidak saling ganggu. Tapi andaikata kau paksa hendak menggunakan kekerasan, sudah terang di antara kita tidak bisa lagi ada pembicaraan secara baik, kita hanya mesti andalkan tenaga dan kepandaian masing-masing!"

Tan Tay Yong antapi orang bicara dengan merdeka, adalah setelah tamu sudah tutup mulutnya, ia tertawa berkakakan.

"Englok pangcu, terhadap pengutaraanmu ini, aku tidak puas," ia berkata. "Sebegitu jauh aku ketahui kaum nelayan di Englok-kang adalah merdeka, mereka tersebar di muka air, mencari penghidupan dengan tidak memakai modal uang, adalah pihakmu yang telah persatrukan mereka, hingga kemudian mereka berpencarian secara tidak terang, hingga pemerintah, pembesar negeri, telah berikan garis-garis di mana mereka bisa menangkap ikan, hingga lain pihak dilarang berusaha di situ. Orang- orangku sekarang memang berasal dari Hucun-kang, dari pihak Kiushe Hiekee, tetapi kita ada penduduk yang merdeka, untuk usaha kita tidak dibataskan oleh aturan- aturan atau larangan-larangan dari pembesar negeri. Kita ada merdeka untuk pergi ke mana suka. Dari Hucun- kang benar aku telah datang kemari, tetapi aku tidak bermaksud untuk mengganggu orang, aku telah kendalikan orangku yang berjumlah seratus jiwa lebih.

Kau ketahui sendiri, muara ini dulunya ada tersia-sia, tertutup dan balah, coba ini ada satu muara seperti sekarang keadaannya, siang-siang tentu sudah ada orangmu yang usahakan duduki, tidak nanti pihakku kebagian ketika akan berusaha di sini! Kau tahu, berapa banyak keringat telah kita kucurkan, beberapa tahun kita harus lewatkan, untuk bikin Giokliong-giam Hiecun berupa seperti sekarang ini! Pihakmu hanya melihat dan berniat mendapat hasil, kamu tidak memikirkan susah payah orang bertahun-tahun, apakah itu adil! Cara bagaimana kau bisa datang-datang mau enak dahar cape lelahnya lain orang. Secara begitu, kau jadinya menghina, bersikap keterlaluan! Aku sudah ambil tujuan, kita tidak mau mengganggu orang, kita juga tidak mau diganggu! Giokliong-giam ini ada tempat kita, di sini kita mau tetap berdiam, kecuali orang musnahkan, kita tidak hendak berlalu dari sini! Na pang-cu, untuk suruh kita mengalah, itu adalah soal lain!"

Na Thian Hong tertawa dingin. “Tan cuncu, aku minta kau jangan pandang urusan secara begini enteng!" ia mengingatkan. "Aku si orang she Na memang ada satu nelayan yang tidak ternama, tetapi, setelah aku datang kemari, jangan kau ambil putusan cara sembarang-an.

Bisa jadi aku sendiri suka terima perkataanmu, tidak demikian dengan rombonganku! Kau telah saksikan sendiri, kawanan dari Englok-pang sudah ambil sikapnya terhadap Giokliong-giam, maka aku kuatir, kapan sudah tiba saatnya, urusan tidak bisa diperbaiki lagi. Jangan kau nanti menyesal sesudahnya kasep!..."

Tan Tay Yong juga tertawa ber-kakakan.

"Na pangcu, kau menjadi satu ketua, kau adalah orang yang berarti dari rombonganmu, kenapa kau bicara secara begini rupa?" ia menegur. "Kita dari pihak Kiushe Hiekee, dari yang tua, yang ubanan, yang muda sampai pada bocah-cilik, semuanya tidak kenal apa yang disebut 'takut mati'. Jikalau kau paksa kehendaki Giokliong-giam ini, kami tidak merasa puas kecuali kau telah unjuk dirimu siapa! Bagaimana kesudahannya tindakan kami ini, tidak nanti kami menyesal! Maka, Na pangcu, kau boleh bertindak sesukamu, jangan kau sungkan-sungkan!"

Tan Tay Yong telah bicara sebagai cuncu, kendatipun di situ ada Lim Siauw Chong yang menjadi tetua. Ia berani tanggung jawab atas sikap keras dan putusannya yang pasti itu.

Na Thian Hong beradat keras, ia segera berbangkit. 'Tan cuncu, kau berani omong besar, ini ada

urusanmu sendiri!" ia berkata dengan nyaring. "Kau nanti lihat aku si orang she Na ambil tindakan!"

Lim Siauw Chong berada di tempat berkumpul itu, selama pembicaraan itu, dari pelahan sampai keras, ia diam saja, ia melainkan bersenyum kapan ia saksikan sikap yang jumawa dari pihak tamu.

Ketua dari Kangsan-pang, Tiat-hong-liong Pian Siu Hoo sudah lantas berbangkit.

"Na loosu, jangan kau gusar dulu," ia berkata. "Jikalau begini macam jalannya pembicaraan, kita-orang sebagai sahabat-sahabat pasti tidak perlu lagi berada di sini.

Dalam urusan ini, pertimbangannya orang banyak adalah sangat perlu, karena kami datang kemari pun untuk mencari keadilan. Tunggu sebentar loosu, aku ingin bicara sedikit dengan Tan cuncu."

Mendengar ucapan itu, Tay Yong segera unjuk hormatnya pada si Naga Besi itu.

"Pian pangcu, silakan bicara," ia berkata. "Dalam rombongan Hu-cun-kang aku ada dari golongan muda, dalam kalangan coanpang, rombonganku pun ada dari golongan kecil, maka itu aku ada seorang yang kurang pengalaman, hingga aku selalu bersedia akan terima pengajaran. Aku juga mohon maaf andaikata dalam omonganku ada apa-apa yang tidak seharusnya..."

"Jangan terlalu sungkan, Tan cuncu," Pian Siu Hoo bilang. "Kami dari kalangan coanpang, masing-masing mempunyai aturan sendiri. Itu bukannya undang-undang dari negeri akan tetapi aturan itu biasanya dijunjung tinggi oleh kalangan kita, dan biasanya tidak ada yang berani langgar. Kita kaum nelayan memang merdeka, lebih-lebih mereka yang tidak tunduk langsung di bawahnya pembesar setempat, tetapi kendati demikian, apabila kami tidak punya aturan, sebenarnya kami sukar merasakan ketenteraman. Aku tahu betul, sejak dulu, pihak Kiushe Hiekee hidup di daerah Hucun-kang, belum pernah ada yang pindah atau mengembara, hanya baru Tan cuncu sendiri, yang ajak suatu rombongan pergi merantau sampai di Giokliong-giam ini, ialah daerah dari sungai Englok-kang. Memang kita tahu cuncu adalah orang yang buka daerah perikanan ini, hingga menjadi makmur seperti sekarang. Tapi juga benar, pihak Englok- pang yang terdiri dari beberapa ribu keluarga, di muka perairan, belum pernah menggangu lain pihak. Jadi tegasnya, masing-masing pihak hidup sendiri, tidak terbitkan onar, tidak saling ganggu. Disebabkan karena pihak Englok-pang hidup dalam kecukupan, maka kami tidak pernah perhatikan daerah Giokliong-giam ini, akan tetapi selama beberapa tahun yang terakhir ini, ia telah mengalami kesukaran, bahaya paceklik telah mengancam hidup mereka, maka akhirnya mereka menoleh kemari.

Cuncu, kau ada punya daerah perikanan yang makmur, dari pihak tamu kau sekarang menjadi tuan rumah, dengan melarang pihak Englok-pang mencari hidup di sini, menurut aku, kau berlaku kurang adil. Di kalangan Sungai Telaga ada suatu aturan umum, yaitu siapa pun juga, tidak boleh bertindak melewati batas. Maka, dalam hal ini, cuncu, aku mau minta supaya kau sudi mengalah sedikit. Umpama kata kau berkokoh, hingga kedua pihak mesti alami kerusakan, itu bukannya tindakan dari seorang cerdik! Kenapa mesti mengambil tindakan tolol? Cuncu, kita ada orang-orang luar, kita datang untuk bantu cari perdamaian. Menurut aku, daerah perikanan ini baiklah dibuka, kau kasih ijin untuk pihak mana saja menangkap ikan di sini, siapa ada nelayan pandai, dialah yang akan peroleh hasil banyak. Biarlah semua orang punyai hak, akan dapatkan hasil dari muara pemberian Thian ini. Bukankah ini ada tindakan yang bagus, yang menguntungkan dua-dua pihak?"

Tay Yong hendak jawab tamunya, tetapi Hengyang Hie-in Sian le, yang datang atas undangannya Lim Siauw Chong, telah dului ia. Orang tua ini, sambil urut-urut kumisnya yang telah jadi putih semua, berkata dengan sabar, "Pian pangcu, pertimbanganmu ini benar ada pertimbangan untuk damaikan perselisihan, maka menurut aku, setelah dengar kau, Tan cuncu haruslah mengalah, mengalah dengan banyak. Memang biasanya, dalam mendamaikan perselisihan, orang mesti lihat siapa si juru damai itu. Di antara Englok-pang dan pihak Giokliong-giam Hiecun sekarang telah terdapat satu jalan buntu, kesudahan dari itu akan ada suatu pertempuran yang hebat. Maka tidak heran sekarang, dari daerah Hu- cun-kang, telah muncul orang ternama dari Kangsan- pang, yang mau jadi juru damai, guna bikin kedua pihak menjadi akur pula. Tan cuncu, tidak peduli beralasan atau tidak, kau seharusnya mengalah pada Pian pangcu. Dilihat dari pihak perseorangan, kau berdua tidak mempunyai pergaulan yang rapat, tetapi dilihat dari coanpang, ialah kalangan nelayan, kau orang sedikitnya ada punya hubungan. Tidakkah Kangsan-pang dan Giokliong-giam telah hidup dari serupa mangkok nasi? Tan cuncu, jangan kau tidak puas atas pertimbangannya Pian pangcu, kau mesti pandang si juru pendamai, maka hayo-lah kau bikin sudah perselisihan ini, kau harus lekas ajak semua penduduk Hiecun mundur dari Giokliong- giam pulang ke Hucun-kang, di sana telah menantikan periuk yang lama! "

Setelah mengucap demikian, Sian le tertawa bergelak- gelak.

Mukanya Pian Siu Hoo menjadi merah. Ia merasa ketusuk dengan ucapan itu.

"Sian tayhiap, kita ada sama-sama orang dari kalangan Sungai Telaga, kalau bicara, aku minta sukalah kau omong dengan terus terang!" ia berkata. "Aku minta janganlah orang hanya bicara dengan andalkan lidahnya yang tajam. Tayhiap, andaikata kau anggap kami orang- orang luar, ada terlalu usilan, baiklah, aku akan segera undurkan diri dari Giokliong-giam ini!"

"Pian pangcu, kau omong terlalu jauh!" berkata Sian le dengan lekas. "Sebagai orang tua, aku biasa omong terus terang, apa yang dipikir di hati, dikeluarkan di mulut. Bukankah kita ada orang-orang dari satu golongan, yaitu golongan yang paling suka campur tahu urusannya sahabat-sahabat agar sahabat-sahabat itu menjadi akur? Apakah yang pangcu anggap tidak cocok? Barangkali lain halnya jika pangcu dan Kiushe Hiekee mempunyai ganjalan yang hendak dibikin beres sekarang, justru ada urusan sulit ini. Kalau tidak, pangcu, kau dan aku ada sama saja, kedatangan kami kemari untuk mendamaikan. Dalam hal ini, aku minta janganlah orang berpemandangan cupet! "

Mukanya Pian Siu Hoo menjadi bertambah merah, tanda dari kemurkaan, ia tentu sudah lantas berbangkit kalau tidak Han Kak, ketua dari Hangciu-pang ulapkan tangannya, akan mencegah padanya.

"Sian loo-hiapkek, kau adalah tetua dalam kalangan Bulim, kendatipun aku belum pernah ketemu, tetapi namamu yang besar aku pernah dengar," berkata orang she Han ini. "Di kalangan Sungai Telaga, apakah yang paling dijunjung tinggi? Tidakkah kita orang paling bisa membedakan di antara kebaikan dan kejahatan, persahabatan dan permusuhan? Kalau kita mempunyai ganjalan dengan pihak Kiushe Hiekee, tidak nanti kita gunai ketika ini berbareng dengan adanya urusan dari Na pangcu, kami tidak akan pinjam golok orang untuk membunuh orang! Loo-hiapkek, ucapanmu barusan ada melukai perasaan orang. Kita yang datang semua ada sahabat-sahabat, kecuali Na pangcu, tidak satu dari kita ada musuhnya Tan cuncu. Kita datang guna prikeadilan, maka itu kita anggap ada kurang benar untuk pihak Hiecun kangkangi muara ini "

Mendengar perkataannya ketua dari Hangciu-pang, Lim Siauw Chong lantas berbangkit, dengan angkat kedua tangannya ia unjuk hormat pada tamunya itu.

"Lauwhia, terima kasih untuk nasihatmu," kata tetua dari Kiushe Hiekee ini. "Mengenai urusan kita ini, barangkali penjelasan sangat perlu. Pada duaratus tahun yang lalu, oleh leluhur kita, kita dilarang meninggalkan Hucun-kang. Maksud dari larangan itu ada baik, tetapi akibatnya ada berbahaya. Mana bisa kita hidup di satu tempat turun temurun dengan tidak ada perobahan, sedang kita ada kaum yang gagah dan bersemangat? Dulu kita bisa hidup menyendiri, tetapi sekarang tidak. Jumlah kita bertambah, tetapi daerah tidak ikut meluas mengimbangi jumlah itu, maka untuk hidup kita, anak cucu kita harus mencari jalan sendiri. Semua orang tahu, kalangan pencarian kita ada cupet, dan pihak yang memusuhkan kita bukannya tidak ada. Sampai sebegitu jauh, pihak kita hidup dalam lapangan yang sempit, maka bisalah dimengerti bahwa kita menghadapi kesukaran. Meski begitu, kita jaga diri, kita tidak mau ganggu lain pihak dan tetap berusaha sendiri. Kita pun tetap hidup di muka air. Adalah karena terpaksa, maka di antara kita ada yang meninggalkan Hucun-kang.

Rombongan Tan Tay Yong ini adalah salah satu di antaranya, la dudukkan Giokliong-giam dengan tidak menyusahkan pihak mana juga, ia banting tulang, makan dan pakai dari hasil tenaga sendiri. Semua orang ketahui, daerah perikanan ini tadinya ada daerah kosong dan tersia-sia, daerah ini baru jadi makmur setelah disiram keringat mereka yang bercape lelah. Apakah adil, kalau sekarang mereka hendak diganggu? Kenapa tidak dari tadi-tadinya, dari mulanya diusahakan, mereka dilarang dan dicegah? Kenapa baru sekarang mereka didatangi, dengan bawa satu jumlah besar kawan-kawan dan juga membikin pusing sahabat-sahabat yang sedikit pun tidak ada kepentingannya dalam hal ini? Tidakkah dengan demikian kita jadi tidak enak hati terhadap sahabat- sahabat itu? Kalau Englok-pang hargai persahabatan, tidak nanti ia datang dan ganggu kita! Kalau Englok-pang tidak ganggu kita, sudah pasti kita tidak akan ganggu padanya. Adalah kalau terpaksa, baru kita tidak bisa diam saja. Maka sekarang aku hendak tegaskan, pihak Hiecun tidak bisa berlalu dari sini, kecuali apabila darah kita telah mengucur habis. Terserah pada Englok-pang, tindakan apa ia hendak ambil!"

Ketua dari Tonglouw-pang, Auwyang Cu Hin, berbangkit.

"Lim loo-enghiong, apakah kau bukannya loo- cianpwee Lim Siauw Chong, ketua dari Kiushe Hiekee?" ia tegaskan.

Lim Siauw Chong manggut. "Itulah benar," ia menyahut dengan manis.

"Lim loo-enghiong," kata pula Auwyang Cu Him, "sebenarnya adalah keinginanku yang kedua pihak saling mengalah. Dalam hal ini kita sebenarnya cocok dengan bunyinya pri-bahasa yang membilang, 'Orang hanya lihat keuntungan, tidak bahayanya, seperti ikan cuma lihat umpan, tidak melihat pancing'. Dari pri-bahasa ini, haruslah kita menyingkir. Mengalah ada berarti keberuntungan kita, kalau sebaliknya, itu berarti jalan buntu, orang sama-sama ada di pojokan. Apakah artinya kalau kedua pihak sampai nampak kerugian, hingga muka air mesti disiram darah? Menurut aku, loo- enghiong baik mengalah dan Na pangcu jangan mendesak, dengan begitu, perselisihan dapat dibubarkan "

Mendengar begitu, Samsiang Cui Cu Ie dan Kimpian Cia Kiu Jie, kedua ahli silat undangannya Na Thian Hong lalu berbangkit. "Apa yang Auwyang pangcu bilang ada hal yang sebenarnya," mereka nyatakan berbareng. "Urusan bagaimana besar juga, harus dibikin habis. Kenapa kedua pihak tidak mau saling mengalah?"

IeTong, ketua dari Lankie-pang, juga berbangkit. "Kita kaum Sungai Telaga memang harus saling

mengalah," ia berkata. "Na pangcu inginkan Kiushe

Hiekee berlalu semua dari Hiecun ini, itu ada keterlaluan, dan Tan cuncu berkokoh hendak kangkangi daerah ini, itu pun kurang pantas. Di sini mesti ada tempat untuk tuan rumah dan tamu Kiushe Hiekee tetap sebagai tamu, kendati ia telah banting tulang mengusahakan daerah ini, maka itu, ia mesti sedikit sungkan. Di sebelah itu, Tan cuncu juga niscaya telah saksikan kesulitan hidup dari pihak Englok-pang. Satu makmur dan ada kelebihannya, satu malang dan lagi menderita Bagaimana sekarang?

Menurut aku, baiklah Hiecun bagikan umpama separoh dari hasil kelebihannya untuk menolong pihak yang menderita dari Englok-pang. Dengan begitu, kedua pihak jadi saling menolong, kedua pihak tidak bermusuhan lagi. Apakah kedua pihak sudi dengar pertimbanganku

ini?"

"Cara pemecahan ini, maafkan aku, tidak dapat aku terima!" berkata Na Thian Hong sambil bersenyum tawar. "Kalau ini dilakukan sebelumnya ada bentrokan, bisa jadi kami akan terima, tapi sekarang, tidak! Sekarang melainkan ada satu jalan, ialah pihak Kiushe Hiekee mesti angkat kaki semua dari Giokliong-giam, aku tidak akan ganggu selembar jiwa atau sebuah perahu pun, jikalau tidak, tidak bisa lain, kedua pihak harus unjuk kegagahannya! Aku si orang she Na tak berguna, aku bersedia akan korbankan semua orang dari Englok-pang! Aku mempunyai kepandaian akan ambil pulang Giokliong-giam! Maka Kiushe Hiekee baik lekas mundur, kita lantas jadi tidak saling ganggu! Aku telah bicara, ijinkanlah aku berlalu!"

Baru saja Na Thian Hong tutup mulutnya atau satu suara tertawa yang panjang dan nyaring yang membikin sakit kuping mendengarnya, terdengar oleh ketua dari Englok-pang itu!

Itu ada suara tertawanya Souw-posu Cukat Pok, tamu yang kurus kering dari Lim Siauw Chong. Dia ini sampai sebegitu jauh duduk diam saja, atau ia bicara sambi tertawa-tawa dengan Hee in Hong, ia seperti tidak punya sangkutan suatu apa dengan jalannya pembicaraan yang begitu hebat, malahan ia agaknya tidak sudi dengar pembicaraan orang. Tetapi sekarang, dengan tiba-tiba ia kasih dengar suaranya — suara yang tidak diinginkan.

Kemudian, setelah lenyapnya suara tertawa itu, ia hadapi Na Thian Hong sambil menggape-gape serta berkata, "Sahabat, tunggu dulu! Dengan maksud apa kau datang kemari? Dengan cara bagaimana barusan kau datang kemari? Apakah dapat kau pergi dengan begini saja? Kenapa kau tidak menanyakan dulu pada ketua dari Giokliong-giam Hiecun, apakah tempat ini bisa mengantapi orang datang dan pergi dengan sesuka- sukanya saja? Tunggu dulu, sahabat, aku Cukat Pok, aku ingin tanya kau!"

Mendengar suara dan melihat sikapnya, bukan main mendongkolnya Na Thian Hong.

"Eh, sahabat, jangan kau berlaku kurang ajar padaku si orang she Na!" ia menegur. "Aku bukannya orang yang kau boleh permainkan menurut sukamu! Apakah bisa jadi kau hendak larang aku pergi?"

"Sahabat, sikapmu sungguh aneh!" kata Cukat Pok, yang tidak pedulikan orang gusar. "Kalau kau datang dengan maksud untuk gunakan kekerasan saja, kau sebenarnya tidak perlu omong banyak! Kau telah datang kemari dengan cara baik, bukankah ada maksudmu untuk kita gunakan cara-cara terhormat dari kalangan Sungai Telaga, maka kenapa sekarang kau main ancam- ancaman? Lihatlah pasukan perahumu di luar muara!

Dengan itu kau boleh gertak segala penduduk biasa! Kalau dengan pasukan itu kau hendak gertak Hiecun, kau keliru! Nyata sekali, dengan bawa pasukan, kau sudah berniat menyapu Hiecun ini! Tetapi, kejadiannya bakal tidak begitu gampang seperti kau kira! Bukankah di sini ada berkumpul banyak sahabat-sahabat baik, yang ingin rekoki urusan? Maka aku percaya, urusan akhir-akhirnya akan dapat dibikin beres. Sahabat, turutlah aku, bereskanlah urusan secara damai, kekerasan tidak akan ada faedahnya. Kenapa air sungai ini mesti disiram dengan darah? Bisakah kau berlaku sabar? Kalau tidak, sahabat, sekarang kau boleh mundur dari Giokliong- giam, aku kasih kau tempo sepuluh hari, akan menyerang masuk kemari. Selama tempo itu, andaikata ada sebuah saja dari perahumu yang menoblos ke dalam muara ini, aku akan nyatakan takluk padamu, aku akan angkat kau menjadi guru! Ingat, sahabat, untuk bekerja, orang jangan ingat saja keuntungan diri sendiri, orang mesti ingat juga kepentingannya lain orang! Kau terlalu kouw-ka-tie, karena kau hendak korbankan banyak jiwa, malahan juga jiwanya sahabat-sahabatmu! Bukankah ada jalan paling adil kalau sekarang ditetapkan, dua kali dalam satu tahun, setiap musim Cun dan Ciu, pihak Giokliong-giam membantu pihakmu dengan barang- barang kelebihan hasilnya, untuk dibagikan di antara nelayan-nelayan Englok-pang yang paling melarat? Cara ini akan menyingkirkan pertempuran yang tidak ada perlunya, akan memegang kekal persahabatan kami.

Kenapa kau tidak ambil tindakan ini, Na pangcu?"

--ooo0dw0ooo--
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar