Pertempuran di Lembah Hay Tong Jilid 01

Jilid 01

"Cuncu, ke dalam daerah kita ada masuk sebuah perahu asing," demikian laporan satu penduduk pada ketuanya, Tan Tay Yong. "Perahu itu datangnya tadi siang, penumpangnya ada satu nona umur tujuh atau delapan belas tahun. Kita tadinya tidak terlalu perhatikan kendaraan itu, sampai sudah jauh lewat lohor, ia masih belum mau berlalu, maka itu, aku datang melaporkan."

"Jikalau penumpang perahu itu tidak ada orang lelakinya, ia barangkali tidak ketahui aturan kita di sini," berkata si ketua. "Sekarang kau jangan ganggu padanya atau bertindak sembarangan, hanya pasang mata saja malam ini, besok kita nanti lihat lebih jauh. Larang siapa juga hampiri atau naiki perahu asing itu, kita semua ada laki-laki sejati, jaga jangan sampai orang bilang kita menghina orang perempuan. Kita dapati dusun kita ini mengandal sama tenaga kita, dari itu, kita mesti jaga nama baik kita. Aku ingin laranganku ini diturut, jikalau tidak, hati-hati, jangan nanti sesalkan aku keterlaluan!"

"Baik, cuncu," berkata penduduk itu yang segera undurkan diri.

Tan Tay Yong adalah ketua dari Giokliong-giam Hiecun, dusun perikanan dari lembah Giokliong-giam. Dusun ini berada di bawahan, di sebelah ilir dari sungai Englok-kang. Sungai ini berada dalam daerah Losiauw- san, di Oulam. Di sebelah udik, di atasan Englok-kang, ada berdiam rombongan penduduk lainnya, begitu pun di sebelah bawahan dusun perikanan ini, ada lagi lain-lain penduduk. Hiecun tidak punya perhubungan dengan tetangga-tetangganya; malah dengan rombongan dari Englok-kang udik mereka berselisih, sebab merekalah yang dimusuhi.

Hiecun ada satu daerah yang bagus, indah pemandangan alamnya, sungainya banyak ikannya, daratannya ada sawah kebunnya, hingga di air mereka bisa tangkap ikan, di darat mereka dapat potong padi dan pungut hasil tanaman lainnya. Maka dalam semua musim mereka dapat hidup dalam kecukupan, apapula memang mereka semua hidup sederhana, makan pakainya hemat, malah bahan pakaian pun mereka tenun sendiri. Di bawah anjurannya Tan Tay Yong juga mereka semua mempunyai simpanan uang, hingga umpama kata mesti nganggur sekian waktu, mereka tidak akan kekurangan belanja. Keadaan ada lain bagi pihak penduduk Englok-kang udik: mereka tidak bersawah kebun, tidak bercocok tanam, kalau musim paceklik mereka nampak kesukaran, sedang di musim pasang, mereka kebanjiran. Giokliong-giam Hiecun ada punya aturan sendiri yang diadakan untuk keselamatan diri sendiri, yaitu melarang orang lain tempat datang menangkap ikan dalam daerahnya, melarang orang lain kampung datang tinggal di dusunnya, malah orang tidak boleh bermalam di situ. Untuk pesiar, orang diberi ketika juga, tetapi tidak dalam rombongan-rombongan. Larangan ini diikuti kekerasan, ialah andaikata ada yang melanggarnya, orang yang melanggar itu lantas diusir, kalau perlu dengan paksa.

Satu kali telah terbit bentrokan antara pihak Hiecun dan pihak Englok-kang udik. Sebabnya ialah serombongan penduduk Englok-kang datang menangkap ikan. ketika dilarang, mereka melawan, hingga kedua pihak jadi bertempur Kesudahannya pihak Englok-kang kalah dengan kerusakan.

Pihak Englok-kang juga penasaran, karena mereka anggap pihak Hiecun sudah rampas daerah yang makmur itu, yang mereka anggap ada termasuk dalam daerah mereka, sedang dengan dirampasnya dusun itu, mereka jadi kehilangan daerah air yang banyak ikannya

Pihak Tan Tay Yong adalah pengungsi dari daerah sungai Hucun-kang. Tadinya, dalam satu rombongan mereka datang ke Hiecun untuk menangkap ikan, dari hanya bermondok, lantas mereka berumah tangga, hingga tempat itu merupakan satu kampung kecil.

Jumlah mereka ada kira-kira tujuh puluh keluarga. Tapi, meski kecil jumlah mereka, namun mereka sangat ragem dan kuat. Memang mereka ada asal rombongan nelayan yang berani.

Sebenarnya pihak Hiecun ada dari rombongan Kiushe Hiekee, yaitu rombongan Nelayan Sembilan She dari Hucun-kang. Rombongan ini ada mempunyai orang- orang yang gagah, paling belakang masih ketinggalan dua tetuanya yang lie-hay, yaitu Hiejin Tan Ceng Po dari Tonglouw dan Lim Siauw Chong dari Liongyu. Berdua mereka jarang muncul, kalau mereka atau salah satunya datang, tentu untuk urusan penting, yaitu Hiecun berada dalam bahaya atau ada salah satu anggota keluarga yang main gila dan perlu dikendalikan. Mereka lakukan penilikan secara diam-diam pada anak cucunya. Pihak mereka tidak bergaul dengan pihak lain tapi mereka juga tidak mau ganggu lain orang. Maka itu, Tan Tay Yong selalu berjaga-jaga, supaya daerahnya tidak ada orang yang datangi.

Begitulah lantas ada datang laporan berhubung kedatangannya perahu asing itu.

Perahu asing itu muncul di harian yang indah dari musim Cui dari siang sampai sore ia tidak berlalu lagi, tidak heran kalau penduduk Hiecun jadi bercuriga, hingga mereka pasang-mata. Meski begitu, Tan Tay Yong hendak berlaku hati-hati.

Besoknya, sampai terang tanah, perahu asing itu tetap masih belum berlalu. Sekarang diketahui, kecuali si nona sebagai penumpang, ada lagi satu orang perempuan, satu nyonya setengah tua. Berhubung dengan ini, Tan Tay Yong telah menerima laporan yang kedua kali. Tapi, meski demikian, ia belum mau ambil tindakan. Ia tidak percaya bahwa orang mau tinggal menetap.

Kemudian datang laporan yang ketiga, kali ini adalah halnya perahu asing itu telah pergi, entah ke mana

Tan Tay Yong segera pergi memeriksa, ia dapati laporan itu benar adanya "Bagus!" pikir Tan Tay Yong. "Memang lebih baik ia pergi siang-siang, kita jadi tidak usah pusing kepala! Syukur aku tidak bertindak sembrono "

Tapi, selagi ia memandang jauh ke sungai, tiba-tiba matanya melihat sebuah perahu kecil sedang mendatangi. Perahu itu memakai layar, lajunya pesat laksana anak panah. Cepat sekali perahu itu sudah mulai masuk ke dalam daerah Hiecun.

Layar sudah lantas diturunkan, tapi perahu maju terus, sekarang karena pengaruhnya penggayuh.

Ketua Tan melihat di kepala perahu ada satu nona dan di belakangnya ada satu nyonya yang menggayuh perahu.

Perahu itu telah dikepinggirkan ke tempat yang kemarin.

Si nona pandang Tan Tay Yong sekian lama, lantas ia singkap papan perahu akan keluarkan satu rantang penuh makanan, dengan membawa itu ia masuk ke dalam gubuk perahu.

Tay Yong bertindak maju sampai dekat ke muka perahu yang ia awasi dengan teliti. Ia dapat kenyataan, kendaraan itu bukan kepunyaan pihak Englok-kang. Ia tadinya hendak menanya mereka itu orang dari mana dan bermaksud apa datang ke Hiecun, tapi ia harus batalkan niatannya, karena kedua orang perempuan itu selanjutnya tidak muncul pula. Terpaksa ia ngeloyor pulang dengan anggapan, karena mereka ada orang- orang perempuan, seharusnya mereka bukan orang jahat atau dari pihak musuh. Di lain harinya lalu ternyata bahwa dua perempuan itu tidak niat berlalu dari Hiecun yang terlarang itu. Mereka telah mendarat dan menempati sebuah gubuk tertutup papan yang mencii sendirian di tepi sungai. Itu ada gubuknya satu familie nelayan yang datang ke situ pada dua tahun berselang, tetapi mereka telah diusir oleh pihak Hiecun dan berlalu dengan tinggalkan gubuknya itu yang mereka tidak bikin rusak atau bongkar. Karena telah lama tidak diisi, gubuk itu rusak di sana-sini. Tapi gubuk itu diperbaiki oleh si nyonya dan nona, hingga tidak lagi ada yang bocor atau berlubang.

Lagi-lagi Tan Tay Yong menerima laporan.

"Sekarang ini tidak bisa lain, mereka itu harus diusir," demikian penduduk kampung itu. "Kita tidak bisa ijinkan orang asing tinggal nyelak di antara kita!"

"Sabar," berkata ketua itu. "Jangan kita bertindak sembarangan atau ganggu mereka. Mereka ada orang- orang perempuan, kita tidak boleh berlaku kasar.

Tunggulah, aku tahu bagaimana harus bertindak. Siapa tidak dengar aku, akan dihukum menurut aturan kita!"

Penduduk itu terpaksa menurut. Mereka hanya menaruh perhatian saja.

Kuatir penduduknya main gila, pada suatu sore dengan diam-diam Tan Tay Yong pergi ke gubuk tua itu. la berniat menanyakan keterangan pada kedua orang asing itu. Di tepi sungai tertambat perahu kecil itu. Dari dalam gubuk, sinar api molos keluar. Jendela yang terbikin dari bambu telah ditempelkan kertas.

Menghampiri pintu, Tan Tay Yong sengaja batuk-batuk selaku tanda. "Nyonya dan nona, aku sengaja datang berkunjung!" ia berkata. "Ada suatu urusan yang aku hendak bicarakan kepadamu berdua!"

Daun pintu segera terpentang dan si nona muncul di muka pintu, ia manggut pada si ketua.

"Ibu, cuncu datang berkunjung!" ia berkata pada ibunya. "Rumah kita begini macam, cara bagaimana dapat kita sambut tamu di sini?"

Sambil berkata demikian, si nona tetap berdiri di tengah pintu, rupanya ia seperti kuatir ketua Tan akan menyerbu masuk....

Lantas dari dalam terdengar suaranya si nyonya setengah tua, 'Cuncu unjuk muka terang pada kita, cara bagaimana kita bisa tidak sambut padanya? Silakan cuncu masuk!"

Si nona lekas-lekas berdiri nyam-ping, ia menjura pada Tan Tay Yong.

'Cuncu, silakan masuk!" ia mengundang. "Silakan duduk di dalam!"

Tan Tay Yong terima undangan itu, ia bertindak masuk.

Si nyonya telah muncul, ia terus unjuk hormat pada tamunya

'Cuncu, sudikah kau maafkan kami," berkata ia. "Sebenarnya begitu lekas kami datang ke Giokliong-giam, kami harus kunjungi kau, tak disangka sekarang cuncu adalah yang mendahului kami. Sungguh kami merasa kurang enak. Kami ada ibu dan anak yang terlunta-lunta hingga hidup mirip sebagai pengemis, maka itu, dengan kebaikan cuncu, kami hendak tinggal di sini untuk sementara waktu saja Kami tidak mempunyai apa-apa di sini, sampai pun kursi tidak ada, kecuali bangku tua ini. Silakan duduk!"

Memang juga Tan Tay Yong tidak lihat perabotan lainnya dalam ruangan itu, malah pembaringan terbikin dari dua lembar papan pintu tua, yang hanya diganjal bawahnya. Apa yang aneh, demikian miskin perlengkapannya rumah, tapi segala apa ada sangat bersih, begitu juga bersihnya pakaian dari ibu dan anak itu, meskipun pakaian mereka ada dari bahan cita yang murah.

Bangku kecil ada di dekat jendela, di situ Tay Yong duduk.

Nyonya rumah duduk di pembaringan, di samping berdiri gadisnya. "Aku belum ketahui she dan namamu, nyonya," Tay Yong kemudian tanya. "Nyonya berdua sebenarnya ada asal mana?"

"Kami ada dari kaum keluarga Yan," sahut si nyonya, "kami asal Ciantong di Ciatkang tetapi sudah satu tahun lebih kami mengembara di Sucoan. Di kampung kami, kami tidak mempunyai sanak keluarga pula, kami sekarang tinggal berdua saja. Karena sejak muda hidup di atas air, kini pun kami terpaksa main di perahu saja. Cuncu telah kunjungi kami, mungkinkah ada suatu urusan penting?"

Tay Yong heran. Kenapa nyonya itu dan anaknya ketahui ia ada ketua Hiecun? Bukankah mereka ini baru datang dan tidak pernah bicara pada salah satu penduduk, malah sebaliknya penduduk rata-rata niat usir mereka? Kenapa si nyonya nampaknya tidak puas terhadap kunjungannya ini? Mau tidak mau, ia lalu bicara dengan sikap sungguh-sungguhkan toanio," berkata ia, "aku datang kemari karena desakannya penduduk nelayan dari dusunku ini. Baiklah aku berikan keterangan. Giokliong-giam Hiecun ini dibuka oleh kami, kami tidak punya perhubungan dengan pihak mana juga, kami hidup mengandel tempat dan tenaga sendiri. Oleh karena kami hidup menyendiri, kami pun telah adakan aturan istimewa, ialah melarang lain orang yang bukan sekaum atau segolongan tinggal di dalam daerah ini. Kau berdua telah datang secara mendadak dan lantas tinggal di rumah ini, perbuatanmu ini ada bertentangan dengan aturan kami. Nyonya berdua biasa hidup di atas air, nyonya niscaya ketahui sifatnya kaum nelayan. Mereka itu berniat minta nyonya berdua lekas keluar dari daerah ini, tetapi aku cegah tindakan lancang dari mereka. Kau berdua sebagai orang-orang perempuan, kami tidak ingin menghina, maka itu, aku telah datang dengan maksud baik. Ini ada keteranganku yang sebenarnya, nyonya.

Dusun kami ini ada aman dan makmur sekalipun di musim paceklik, kami masih tidak kekurangan suatu apa. Pribahasa kata, satu keluarga hidup senang, lain keluarga penasaran. Ini sudah terjadi dengan kami. Kami yang hidup cukup dan senang, telah membuat pihak Englok- kang udik menjadi jelus dan berdengki, malah mereka niat merampas daerah ikan kami. Karena ini, kami pernah bentrok satu kali, dengan demikian kami selalu berjaga-jaga, sebab kami kuatirkan serangan yang kedua, yang mestinya ada terlebih hebat. Oleh karena itulah kami tidak bisa ijinkan orang asing tinggal di dalam dusun kami. Sekarang kami minta nyonya dan anakmu suka berdaya, lebih lekas lebih baik, karena benar-benar kamu berdua tidak dapat tinggal di sini. Diumpamakan anak-anak muda kami bertindak lancang, terang dengan begitu kami jadi menghina pada nyonya berdua.

Tidakkah nyonya pun ada berpikir demikian?"

Baru saja Tan Tay Yong tutup mulutnya, atau nyonya itu sudah bersenyum tawar.

"Inilah aneh!" katanya. "Kami berdua hidup di atas perahu butut sejak banyak tahun, di tempat mana saja yang ada ikannya, kami selalu singgah untuk menangkap ikan, sampai sebegitu jauh kami ada merdeka. Tan cuncu, kau ada orang dari kaum Sungai Telaga, kau niscaya ketahui bahwa sungai ada kepunyaan orang banyak dan 'Su hay wie kee' — empat penjuru lautan adalah rumah kita! Kau bilang, daerah ini kau yang buka, hasilnya semua kau yang punya, hingga kau larang lain orang turut mengecap. Tapi di sebelah itu aku ketahui, negeri adalah kepunyaan pemerintah agung, sebagaimana Giokliong-giam Hiecun ini pun tidak menjadi kecuali! Cuncu, apakah bisa jadi, daerah ini kau telah beli semua? Kami telah datang kemari, kami berdua adalah orang-orang perempuan dan pula melarat, melihat keadaan kami, kami memang tahu gampang orang memandang hina pada kami. Karena itu, kita tahu diri! Kami hidup dari hasil sungai, tetapi kami tidak berani tangkap ikan di dalam kalangan ini, maka untuk menangkap ikan, kami pergi keluar daerah. Begitupun untuk tinggal, kami tidak berani masuk ke Hiecun, kita hanya pilih gubuk ini di mulut muara, gubuk yang kosong dan rusak. Dengan tinggal di gubuk reyot ini, kami sama saja dengan orang yang dirikan gubuk saung, melulu untuk lindungi diri dari serangannya angin dan hujan.

Tapi cuncu, kau larang kami menumpang di sini, apakah maksudmu yang sebenarnya? Undang-undang negeri memang keras, meski begitu, tidak nanti negeri tutup semua sungai, telaga dan laut! Kami tinggal di sini, cuncu, tetapi tidak nanti kami ganggu pihakmu. Anakku ini adalah yang biasa tangkap ikan, ia mempunyai kebisaan sendiri. Kalau pihakmu sedang menangkap ikan, kami akan menyingkir jauh-jauh, bukankah itu tidak mengrecoki? Kami sekarang sudah tinggal di sini untuk sementara waktu, kami tidak bisa lantas pindah, maka, cuncu, harap kau suka berlaku murah "

Tan Tay Yong tercengang, itulah jawaban yang ia tidak sangka-sang-ka. Dan jawaban itu sangat beralasan, hingga ia tidak dapat jalan untuk membantahnya. Tapi di sebelah itu, ia juga merasa tidak puas mendengar lagu suara yang menantang itu.

"Yan toanio, aku sebenarnya datang dengan maksud baik," ia berkata, dengan mencoba berlaku sabar. "Menurut katamu, nyonya, sudah terang kau tidak niat berlalu dari sini, meski demikian, aku masih hendak pakai aturan. Aku hendak berdamai nyonya, kenapa kau artikan secara keliru? Jikalau kau tetap tinggal di sini, bagimu bahayanya ada banyak, andaikata orang-orang muda dari kampung ini tidak mau mengerti dan mereka ambil tindakan yang tidak pantas, yang tidak menguntungi kau, aku benar-benar tidak dapat bertanggung jawab. Karena benar-benar aku tidak sanggup kendalikan lagi mereka itu. Dalam hal ini, aku minta nyonya tidak sesalkan aku "

Air mukanya Yan Toa Nio tidak berubah meski ketua Hiecun telah menyatakan demikian.

"Aku tidak berdaya, cuncu," katanya. "Sekarang baik cuncu jangan pedulikan lagi pada kami, ibu janda, anak piatu. Apakah kami sudah ditakdirkan berperuntungan buruk! Kami terima. Tetapi aku bisa terangkan, kami berdua belum pernah lakukan apa-apa yang bertentangan dengan pri-kemanusiaan dan pri-keadilan, maka aku percaya kami akhirnya tidak akan ketemui orang yang mengandung maksud jahat terhadap kami. Andaikata penduduk Hiecun hendak mengganggu kami, apa boleh buat. Kami berdua telah merasa beruntung masih bisa hidup sampai sekarang, apa yang akan terjadi selanjutnya, kami tidak pikirkan Kami anggap jiwa

kami sebagai benda yang tidak ada harganya "

Tan Tay Yong jadi bertambah mendongkol. Nyonya itu bicara dengan sabar, tetapi kata-katanya sangat tajam menusuk hatinya. Ia datang dengan maksud baik, siapa nyana, orang telah salah mengerti. Lantas, sambil tertawa dingin, ia berbangkit.

"Yan toanio, aku mesti sesalkan diriku yang usilan," katanya, yang masih coba kendalikan diri. "Aku telah menjadi nelayan duapuluh tahun lamanya dan hidup di muka air, selama itu aku selalu bawa sikap terus terang, aku menjunjung pri-kemanusiaan. Kau telah datang ke tempat ini, aku tidak niat menghina kau dan tidak pernah pikir untuk mengganggu, inilah sebabnya aku datang sendiri padamu. Aku merasa bahwa sebagai ketua aku ada lemah, tetapi tidak pernah berlaku kurang hormat pada orang luar yang datang kemari, dan itu menyesal aku telah menyebabkan toanio jadi tidak puas. Maaf, aku telah gerecoki kau berdua. Sampai lain hari!" Lantas ia berbangkit. Yan Toa Nio juga berbangkit dan berkata, "Jangan mengucap begitu, cuncu. Kau tidak gerecoki kami. Biasanya saja kalau orang mengurus satu pada lain. Malah aku berterima kasih untuk sikapmu ini. Tapi kita berada dalam kesukaran, andaikata mesti berlalu dari sini, barangkali tidak ada lain tempat di mana kami bisa tumpangkan diri. Cara bagaimana kami bisa pindah lagi? Cuncu, maafkan kita..."

Tan Tay Yong dalam kemendongkolannya tidak ingin menyahuti nyonya itu.

"In-jie, antarkan cuncu," sang nyonya berkata pula. "Kau sudah besar, cuncu datang untuk unjuk kebaikannya, kenapa kau berdiam saja? "

Si nona tidak jawab ibunya, ia hanya pergi antarkan tamu yang tidak diundang itu.

Selagi tadi ia masuk, Tan Tay Yong kurang perhatikan di sekitarnya, tetapi sekarang, ia heran melihat di dalam pekarangan ada lima buah batu besar sekali, setiap batu barangkali beratnya ada tiga atau empatpuluh kati, ditaruh berbaris rapi. Ia tahu, batu sebesar itu tidak terdapat di sekitar mulut muara, hanya di kaki bukit Giokliong-giam. Tapi ibu dan anak itu baru saja sampai, cara bagaimana mereka bisa datangkan semua batu itu?

Meski hatinya bersangsi, Tan Tay Yong berjalan terus. "Maaf, cuncu, aku tidak mengantar lebih jauh!"

berkata si nona, sesampainya ketua ini di luar pagar pekarangan. "Kalau ada tempo, sudilah kau datang pula ke sini untuk pasang omong "

"Silakan kembali, nona," sahut Tay Yong, sambil putar tubuhnya.

Dengan tidak sungkan-sungkan, si nona tutup pintu pagar. Baru saja Tan Tay Yong jalan tiga tindak segera ia dengar suara tertutupnya pintu gubuk, hingga ia menjadi heran.

"Begitu cepat jalannya," pikir ia. Tanpa merasa ia merandek, balik ke pintu pagar dan mengintip ke dalam. Benar saja, si nona telah menghilang ke dalam rumahnya! Lantas dari dalam rumah terdengar suara tertawa, disusul dengan ucapan, "Pasti ia mendongkol bukan main!"

"Eh, In-jie, apa kau bilang?" terdengar tegurannya si nyonya tua. "Tamu kita itu tentu belum pergi jauh "

Tan Tay Yong coba mendengari, akan tetapi rumah itu jadi sunyi sirep, maka dengan masgul, ia lanjuti perjalanannya pulang. Terang nyonya dan anaknya itu mencurigai, ia menduga-duga. Ada luar biasa, sebagai orang-orang perempuan, mereka hidup berduaan saja di muka air untuk bergaul dengan orang laki-laki dari segala macam tingkatan. Katanya mereka ada nelayan, tetapi roman dan keadaan mereka tidak menunjuki sebagai orang-orang kasar yang biasa hidup melarat dan bersengsara. Tidak bisa jadi mereka ada nelayan tulen.

Tetapi, kenapa perlengkapan rumah mereka ada demikian miskinnya?

"Anehnya, mereka tidak takuti aku?" cuncu ini pikir lebih jauh. "Dengan maksud baik aku minta mereka pindah, kenapa mereka membelar? Aku seorang yang banyak pengalaman, tetapi tidak mampu menduga ibu dan anak itu ada dari golongan mana "

Tay Yong pergi dengan tidak diketahui oleh penduduk kampung, tetapi toh ada orang yang dapat lihat ia pergi ke gubuk itu. Kendati mereka ini tidak berani mengikuti, tetapi mereka toh menunggui di muka kampung.

"Kapan mereka ingin pergi?" demikian pertanyaan mereka.

"Ibu dan anak itu tidak punya andalan," Tay Tong sengaja simpangi, "dan mereka telah dihinakan oleh pihak Englok-kang udik, maka itu, mereka telah menyingkir kemari, katanya untuk sementara waktu saja. Di sini mereka merasa lebih aman. Aku minta kamu jangan melakukan apa-apa yang tidak pantas terhadap mereka itu."

Keterangan ini dipercaya oleh beberapa penduduk kampung itu, mereka lantas bubaran.

Tay Yong pulang terus ke rumahnya. Keluarganya hidup sederhana, la tinggal bersama isteri dan anak gadisnya, Giok Kouw, yang baru berusia enambelas tahun. Anak ini ia ajarkan silat dan berenang. Giok Kouw sering bersama-sama kawan sepantarannya, berlomba kemudikan perahu. Ia berotak terang, maka oleh ayahnya ia suka diajak berdamai, sedang isterinya, Tay Yong seperti kesampingkan.

Malam itu Tay Yong pulang dengan masgul, ia minum beberapa cangkir arak menghibur dirinya. Setelah itu, ia terus naik ke pembaringan akan tidur. Sejak pulang ia tidak mengucapkan sepatah kata.

Giok Kouw melihat sikap ayahnya, ia tidak berani menanyakan, tetapi besoknya, justru hawa udara jelek dan nelayan-nelayan tidak ada yang pergi tangkap ikan, ia samper-kan ayahnya. "Kau nampaknya tidak gembira, ayah, kenapakah?" ia bertanya. "Kenapa ayah tidak ingin bicara dengan anakmu?"

"Sebenarnya aku bukan tidak bergembira," Tay Yong jawab. "Sejak dari Hucun-kang kita pindah kemari, aku berterima kasih pada Thian, yang tidak ingin musnahkan pihak Kiushe Hiekee. Tahun ketemu tahun, hidup kita di sini ada dalam kecukupan dan aman sentausa, hingga aku merasa sangat puas "

"Tetapi, ayah, kenapa semalam kau pulang dengan masgul?" Giok Kouw mendesak. "Kenapa kau diam saja? Apakah segala makhluk-makhluk menjemukan di tengah sungai itu ingin mengganggu kita dari Giokliong-giam?"

"Mereka benar tidak puas terhadap kita, akan tetapi aku tidak pedulikan mereka!" kata Tay Yong dengan bersemangat. "Jika mereka berani datang pula, aku nanti sambut mereka dengan labrakan. Melainkan satu hal kecil kadang-kadang bisa mendatangkau pikiran. Apakah kau tidak ketahui halnya sebuah perahu kecil itu?"

"Ya, aku ketahui halnya perahu itu," sahut si nona. "Malahan aku pun pernah lihat sendiri perahu itu! Tetapi ayah telah melarang orang dekati kendaraan air itu, bagaimana aku berani melanggar laranganmu?

Sebenarnya, ayah, mereka ada gelap bagi kita! Apakah mereka ada dari pihak Englok-kang udik?"

"Inilah aku tidak berani pastikan," sang ayah menyahut. "Aku pernah menduga demikian, tetapi aku masih sangsi bahwa mereka datang dengan maksud jelek. Sikapnya ibu dan anaknya itu terlalu bersifat menyerang " Lantas Tay Yong tuturkan pengalamannya waktu ia kunjungi Yan Toa Nio dan gadisnya itu, ia telah pikirkan ucapannya si nona Yan tapi tidak dapat membade.

"Apa yang sudah pasti, ibu dan anak itu bukannya sembarang nelayan," kemudian Tay Yong tambahkan. "Aku sekarang masgul, karena tidak tahu tindakan apa aku harus ambil terhadap dua orang itu. Kita tidak ketahui mereka siapa, mereka belum berbuat jahat, cara bagaimana kita bisa keraskan mereka? Di samping itu, sebagai ketua, aku bertanggung jawab untuk dusun kita dan semua penduduknya, karena andaikata terhadap mereka ada terjadi suatu bencana, berapa susahnya untuk membuka lagi satu dusun perikanan seperti ini?"

Giok Kouw tertawa dengan mendadak apabila ia dengar pernyataan ayahnya itu.

"Ayah," berkata ia, "sekalipun kau tidak berdaya menghadapi hal ini, kau tidak usah bersusah hati? Baik hal ini kau serahkan pada anakmu, aku yang nanti urus!"

Tay Yong tertawa melihat kelakuan anaknya. "Jangan banyak tingkah di depan ayahmu!" ia

menegur sambil main-main. "Mustahil aku kalah

pengalaman terhadap kau? Coba bilang, kau mempunyai daya apa?"

"Ayah, jangan kau pandang enteng padaku!" sang gadis pun tertawa. "Adakalanya, seorang yang banyak pengalaman masih kalah terhadap seorang yang dikatakan masih hijau! Tidak, ayah, sekarang aku tidak ingin bicara dulu, aku hendak cari tahu hal ikhwalnya ibu dan anak itu, setelah itu, ayah akan ketahui apa yang aku telah lakukan guna lenyapkan kemasgulanmu!" Tay Yong kenal adat anaknya, ia tidak menanyakan lebih jauh. la pun telah bisa bikin hatinya menjadi lega

Selama itu, tiga hari telah lewat. Hiecun ada aman dan tenang seperti biasa, dan ibu dan anak itu, tamu-tamu yang dicurigai, juga tidak melakukan apa-apa yang menarik perhatian.

Hari itu ada terang dan hawa nyaman, Giok Kouw ajak satu kawan yang bernama Siauw Hong pergi ke sungai untuk main perahu. Mereka masing-masing menggayuh sebuah kendaraan untuk dipakai berlomba, seperti telah sering terjadi. Siauw Hong pandai berenang dan menggayuh seperti lain-lain nona kaumnya Giok Kouw dididik sebagai anak laki-laki, ia pandai main di air, berenang, selulup dan kemudikan perahu. Tapi juga Siauw Hong tidak mau kalah. Demikian mereka berdua puas-puasan main di air, yang luasnya belasan lie.

Tatkala itu matahari sudah mau turun, maka pemandangan alam di muka sungai ada indah dan menarik hati. Kedua perahu seperti main petak di muka air yang luas, yang bergelombang, tinggi dan rendah.

Kedua nona juga sering tertawa satu dengan lain. Giok Kouw sangat gembira, karena ia dapati Siauw Hong tidak mampu menangkan padanya, nampaknya ia sangat bersemangat.

"Adik Siauw Hong, tenagamu telah habis," Giok Kouw berkata, apabila ia melihat perahunya ada di depan, terpisah dari perahunya Siauw Hong kira-kira tujuh atau delapan tombak. "Apakah tetap kau masih belum menyerah? Apa kau ingin aku bikin kau menjadi telah setengah mati? " "Aku tidak percaya kau mampu bikin aku lelah setengah mati!" menyahut Siauw Hong sambil tertawa. Dan ia gunakan antero tenaganya untuk susul kawan itu, perahu siapa tetap laju dengan pesat sekali.

Adalah di waktu itu, mendadak di muka air, sedikit jauh di sebelah belakang mereka, ada muncul sebuah perahu lain yang pesat lajunya, dan dalam sekejap saja telah potong dan lewati kedua perahunya, nona-nona dari Hiecun itu.

"Ah!" berseru Giok Kouw dan Siauw Hong dengan berbareng.

Segera juga nona-nona Tan kenalkan bahwa itu adalah perahunya si orang asing, dari penumpangnya adalah si nona she Yan sendiri yang kelakuannya mencurigai. Ia heran, kenapa perahu bisa muncul secara demikian mendadak. Karena penasaran, ia lantas gayuh perahunya dan niat menyusul. Perbuatannya ini ditelad oleh Siauw Hong, sebab kawan ini juga telah mendapat tahu hal adanya perahu asing serta sikap aneh dari dua penumpangnya — yang dua-duanya ada orang-orang perempuan.

Dalam sekejap mata, kedua pihak sudah lantas saling susul, seperti juga mereka sedang berlomba. Si orang asing di depan, Giok Kouw di tengah dan Siauw Hong paling belakang.

Perahu kecil di depan terus laju dengan pesat, tujuannya ada mulut muara, akan tetapi segera juga kepalanya terputar, untuk kembali ke muka sungai yang luas, menerjang ombak yang naik dan turun. Giok Kouw dan Siauw Hong telah gunai tenaganya akan berkuasa atas perahu mereka masing-masing, apa mau mereka tidak sanggup candak perahu di depannya, mereka senantiasa ketinggalan di belakang kira-kira tujuh atau delapan tombak.

Nona asing di depan tidak pernah menoleh ke belakang, ia agaknya tidak ketahui bahwa di belakangnya ada orang yang hendak menyusul atau kuntit padanya.

Sekarang barulah Giok Kouw menjadi heran. Biasanya nelayan dari Hiecun paling terkenal pandai mengendarai perahu, lain-lain golongan tunduk terhadap mereka. Ia sendiri, di bawah pimpinan ayahnya, telah menjagoi di dalam dusunnya—ia sudah belajar hampir sepuluh tahun— siapa nyana, sekarang ada orang yang melebihinya! Ia jadi penasaran, karena sifat dan adatnya sebagai orang laki-laki.

"Ia tentu sengaja pertontonkan kepandaiannya di depanku," ia pikir dengan sengit. Tapi sia-sia saja ia coba menyusul, ia tidak berhasil....

Siauw Hong telah mandi keringat, ia bukan basah karena air sungai.

Cuaca telah mulai berobah menjadi suram, tanda dari sang sore.

Saking penasaran, Siauw Hong pun menjadi panas. "Aku mesti kasih rasa padanya!" pikirnya. Ia hendak

potong jalan dan terjang perahu si nona asing, supaya perahu itu apabila tidak terbalik dan tenggelam, sedikitnya akan minum air sampai setengah perahu. Perahu asing itu dapat disamperi semakin dekat.

Jalannya kedua kendaraan tetap ada pesat sekali. Kapan ia rasa sudah datang cukup dekat, mendadak Siauw Hong gunai tenaganya, akan bikin perahunya melesat dan tubruk perahu asing itu, yang ia'pandang sebagai musuh.

Di luar dugaan, mendadak perahu asing itu belok dengan patah, lolos dari tubrukan, tubuhnya, agak berendeng satu dengan lain. Karena perahunya Siauw Hong melesat, ia mendului dan mendekati si nona tidak dikenal itu. Justru itu, mendadak Yan Leng yang menggayuh, sampok penggayuhnya Siauw Hong, atas mana, perahunya Siauw Hong jadi hilang imbangannya dan miring ke kiri, hingga hampir terbalik. Syukur ia dapat mengimbangi tubuhnya sendiri.

Tatkala perahunya Giok Kouw tiba, perahunya nona Yan telah melesat jauh lagi.

Siauw Hong mendongkol bukan main, mukanya menjadi pucat.

Giok Kouw tahu keadaan kawannya, ia menghibur. "Jangan gusar, ia memang hendak permainkan kita,"

katanya. "Mari kita susul terus padanya!" Sekarang, dengan berendeng mereka mengejar.

Perahu di depan agaknya tidak digayuh pesat, semakin lama, mereka dapat samperi semakin dekat, hingga terpisah hanya empat tombak satu dengan lain.

"Adik Hong, hayo keluarkan tenagamu!" Giok Kouw menganjurkan, sedang ia sendiri segera putar kepala perahunya untuk mencegat dan memotong jalan. Tenaganya Giok Kouw lebih kuat dari kawannya, perahunya bisa menyusul dengan cepat.

Kelihatannya perahunya Leng ln akan kecandak dan ketubruk, tetapi luar biasa, kapan dua penggayuhnya dikasih bekerja dengan cepat, perahunya segera melesat seperti loncat, dan kapan ia gerakkan dua penggayuhnya secara hebat, air muncrat di belakangnya, perahu itu berhenti secara mendadak! Dan dua perahu "musuh" yang tubruk tempat kosong, berada empat tombak di belakangnya! Hampir Giok Kouw dan Siauw Hong saling terjang....

"Sungguh nona-nona nelayan yang liehay!" untuk pertama kali nona Yan buka mulutnya. "Jadinya semua perahu dari Giokliong-giam Hiecun ada begini liehay? Nona-nona, kenapa kamu begini mendesak? Baiklah, besok kita orang bertemu pula!"

Giok Kouw dan Siauw Hong berdua mandi keringat, napasnya memburu, baru saja mereka hendak menyahuti, atau dari kejauhan ada terdengar suara suitan bambu yang berbunyi berulang-ulang. Mereka tahu, itu adalah tanda yang cuncu sedang mendatangi.

Leng In juga dengar tanda suitan itu, sambil putar perahunya ia bersenyum.

"Jiewie ciecie, kamu sangat lelah! Nah, sampai kita orang bertemu pula!" ia berkata, serta segera menggayuh perahunya menggleser menuju ke mulut muara.

"Encie, kita roboh kali ini!" kata Siauw Hong pada kawannya. "Tidak apa!" sahut Giok Kouw dengan sengit. "Asal ia tidak kabur dan tidak tinggalkan Gioklionggiam, masih banyak ketika untuk kita orang ketemukan pula padanya! Mari kita pulang, cuncu telah datang mencari kita "

Benar-benar segera tertampak sebuah perahu yang lajunya pesat. Tan Tay Yong kelihatan di perahu itu.

"Giok Kouw, kau main gila!" demikian tegurannya ayah itu. "Sekarang ini sudah jam berapa? Kenapa kau masih tidak ingin lekas-lekas pulang?"

Giok Kouw dan Siauw Hong geraki perahu mereka akan papaki ayah atau ketua itu.

"Ayah," memanggil yang satu.

"Cuncu," memanggil yang lain. Tapi napas mereka masih saja jalan dengan keras.

"Kita berdua telah loloskan seekor ikan besar!" Giok Kouw kemudian berkata sambil tertawa. "Jika ayah tidak datang, kita tentu masih tidak ingin pulang! "

Romannya Tan Tay Yong ada gusar

"Hm, nona sudah begini besar masih saja bengal!" katanya. "Hayo lekas pulang, barang santapan telah sedia!"

Lantas cuncu ini perintah dua perahu itu jalan lebih dulu dan perahunya jalan belakangan.

Ketika itu langit sudah gelap. Di dalam muara, di atas perahu-perahu nelayan, orang telah pasang pelita. Asap mengepul dari sana-sini, karena waktu itu penduduk Hiecun sedang masak nasi. Selagi berjalan pulang, Giok Kouw dan Siauw Hong menoleh ke rumah gubuk di tepi sungai, dari dalam rumah itu bersorot keluar sinar api.

Siauw Hong pulang sendirian ke rumahnya, Giok Kouw ikut ayahnya. Sesampainya di rumah, Tay Yong segera tegur gadisnya, yang selanjutnya ia larang bertindak dengan turuti suaranya hati. Ia unjuk bahayanya main di air, terutama di waktu malam, karena ombak tidak mengenal kasihan. Sekalipun siang, bahayanya masih tidak kurang.

"Kau jangan anggap dirimu telah pandai berenang, tetapi yang binasa di air justru kebanyakan orang yang bisa berenang," demikian ayah itu tegaskan. "Kalau kau tidak dengar perkataanku, kau bukan anakku yang baik! "

Giok Kouw bersenyum saja atas tegurannya ayah itu, ia dahar nasinya.

"Ayah, kau masih belum ketahui duduknya perkara," kemudian ia berkata. "Aku bukannya orang gila akan tidak mengenal bahaya, tetapi aku terpaksa "

Dan ia tuturkan pengalamannya bersama Siauw Hong, bagaimana Lcng In permainkan mereka.

"Terang mereka bukan nelayan sembarangan, ayah baik perhatikan mereka," kata anak ini akhirnya

Tay Yong berpikir. Ia memang sudah curiga, berhubung dengan pengalamannya sendiri.

"Aku percaya mereka bukannya orang-orang jahat.

Apa bisa jadi mereka ada dari kaum kita yang tidak bisa tancap kaki di lain tempat dan terpaksa ingin menumpang dengan kita? Atau mereka lagi menyingkir dari jaringnya wet? Kenapa mereka mesti umpeti diri?"

"Biar bagaimana, ayah, aku nanti selidiki mereka!" Giok Kouw berkata dengan tetap. "Mereka mesti ada simpan rahasia, entah apa adanya itu "

"Mereka tinggal di luar muara, bagi kita tidak berbahaya. Tapi karena kita mempunyai musuh-musuh, tidak jahatnyajika kita berlaku hati-hati. Kecuali jika mereka telah buktikan kejahatannya, kita tidak harus melakukan apa juga yang dapat menghina mereka."

Giow Kouw manggut, ia setujui ayahnya itu.

Besok malamnya, selagi seluruh desa terbenam dalam kesunyian dan orang di rumahnya sudah tidur, diam- diam Giok Kouw dandan dan keluar dari rumahnya, menuju ke gubuk di tepi kali di mana Yan Toa Nio dan anaknya mondok. Ia tidak nampak rintangan, sedang rembulan ada terang. Memang di dusunnya itu tidak ada penjagaan orang ronda, kecuali dua perahu, yang bikin peninjauan di muka air. Hiecun tidak menjaga malam, karena sebegitu jauh mereka ada aman sentausa.

Keluar malam di waktu terang bulan ada menarik hati. Air sungai yang bergemerlap memberikan pemandangan alam yang indah. Di darat ada bukit Giokliong-giam yang permai, puncaknya tinggi, pepohonannya lebat.

Selagi berjalan, tiba-tiba Giok Kouw merandek dan terus sembunyi di bawahnya pohon yangliu. Di puncak bukit mendadak kelihatan satu bayangan yang berlari-lari dengan pesat, cepat sekali melewati dua puncak yang lebih rendah. "Apa itu?" nona ini menduga-duga. "Di sini tidak ada binatang liar, sebulan tiga kali, ayahku tentu ajak orang pergi memburu, karena ia tidak ingin binatang jahat bersarang di daerah kita ini. Apa itu ada bayangan manusia?"

Giok Kouw pasang mata terus. Lekas sekali bayangan itu sudah lari turun, menuju ke mulut muara, akan kemudian berada dekat dengan ia— terpisah satu dengan lain hanya belasan tombak. Orang tidak lihat padanya, karena ia sembunyikan diri. Bayangan itu benar ada bayangan manusia, tangannya menyekal seikat bambu panjangnya empat, atau lima kaki, tujuannya adalah rumah gubuk. Larinya bayangan itu ada pesat sekali.

"Tidak bisa salah lagi, ibu dan anak itu ada orang- orang luar biasa," berpikir Giok Kouw.

Oleh karena penasaran dan ingin tahu, dengan berani nona Tan menuju ke gubuk itu. Banyak pohon-pohon telah mengalingi tubuhnya, la hampirkan pagar dan melihat cahaya api molos dari jendela. Selagi mendekati, kupingnya dapat tangkap suara nyaring seperti bambu dibelah. Lantas dari sela-sela pagar, ia mengintip ke dalam pekarangan dan segera ia tampak pemandangan yang bikin ia celangap bahna tercengang.

Satu orang — tentu salah satu dari ibu dan anak itu, karena Giok Kouw tidak dapat lihat dengan tegas — sedang melakukan suatu latihan istimewa. Di tanah, dengan teratur ada menggletak bambu bulat, yang telah terpotong-potong pendek, rupanya setiap batas buku.

Dan orang itu bertindak di atas potongan bambu yang diinjak dengan keras, saban kakinya bertindak, bambu itu tentu pecah dan menerbitkan suara keras!

Nona Tan tahu dengan baik bambu itu, apapula yang baru dipetik, ada ulet seperti kayu, maka luar biasalah orang itu yang dapat menginjak hingga jadi pecah. Itu adalah tanda bahwa tenaga menginjaknya ada besar luar biasa.

"Ayah ada gagah, tetapi ayah belum tentu mampu berbuat seperti ini. " Giok Kouw pikir.

Sekarang nona Tan bisa kenalkan yang mana ibu dan yang mana anak di antara dua tamu asing yang luar biasa itu. Cahaya rembulan telah membantu matanya! Ia duga potongan bambu ada dari jumlah empat sampai limapuluh potong.

"ln-jie, bambu yang barusan kau ambil, pergi kau letaki di bawah jendela untuk dijemur sampai setengah harian, agar sarinya menjadi setengah kering," terdengar suaranya Yan Toa Nio. "Mari kita lekas berlatih, supaya kita dapat beristirahat. Tadi kau telah buang tempo terlalu lama di atas bukit Giokliong-giam."

"Bulan ada begini indah, ibu, kenapa sih mesti terburu-buru ingin masuk tidur?" terdengar suara anaknya. "Kita jangan sia-siakan ketika yang bagus seperti ini Apa tidak baik kita berlatih Enghoan Tiauw-

kie-ciang dan Toasui Paychiu?"

"In-jie, jangan kau terlalu turuti kegembiraanmu," kata orang tua itu yang mencegahnya. "Permainan bambu barusan telah sangat meminta tenagamu, sedang tadi di atas bukit memetik bambu, kau telah gunakan tenaga lenganmu. Kau mesti mengerti, kalau tenagamu terganggu, pelajaranmu bisa terganggu semuanya "

"Kau selamanya memang berlaku terlalu hati-hati, ibu," membandel si anak. "Apakah artinya memetik bambu seikat? Mustahil karena itu, lenganku bisa rusak? Dasar ibu yang lagi tidak gembira, maka ibu tidak mau layani aku Tidak, ibu, sebelumnya kau temani aku, aku

tidak ijinkan kau pergi tidur!"

"Kurang ajar!" kata sang ibu. "Kau berani paksa ibumu? Baik, kau mesti dikasih rasa, supaya kau mengerti! Kalau kau tidak mampu menyambuti, awas, jangan kau kucurkan airmatamu "

"Jangan omong besar dulu, ibu, jangan kau pandang terlalu rendah pada anakmu," sahut si nona. "Mari kita mulai, andaikata aku tidak sanggup menyambuti, baik selanjutnya aku berhenti berlatih!"

"Ah, anak, jangan kau jumawa!" ibu itu menegur. "Tapi malam ini aku benar-benar lagi tidak gembira, maka mari kita berlatih sebentar, lantas kita masuk tidur. Kau tahu, di dalam dusun orang telah curigai kita, apapula kemarin kau telah pertontonkan kepandaianmu."

"Sudah, ibu, jangan kau sebut-sebut kejadian kemarin," anak itu berkata, suaranya tercampur kemendongkolan. "Aku tidak ganggu mereka, tetapi mereka seperti hendak hinakan aku, aku mana bisa antapi saja? Mereka itu telah dapat bagiannya "

"Sudah cukup!" Yan Toa Nio mencegah. "Mari kita mulai!" Leng In turut ibunya, ia lantas undurkan diri, sebagaimana ibunya pun mundur, hingga mereka berdiri berhadapan jauh satu dengan lain.

Lantas keduanya gerakkan kaki dan tangan mereka, dalam serupa aksi, sesudah itu mereka berlari-lari dengan cepat, terputar-putar di dalam pekarangan itu, akan kemudian mereka lari balik.

Kembali Giok Kouw jadi tercengang melihat kegesitan tubuh mereka Ia telah belajar di bawah pimpinan ayahnya, ia merasa dirinya gesit sekali, tetapi sekarang ia tampak dua orang yang kegesitannya jauh melebihi ia! Ia jadi ketarik, ia terus pasang matanya, ia ingin melihat pertunjukan apa lagi ia bakal saksikan.

Entah kapan bergeraknya, sekarang tertampak tangannya Leng In menyekal satu batu besar, sambil bawa itu, ia lari mengubar ibunya, yang kabur di sebelah depannya

Mendadak Yan Toa Nio lompat melesat ke sebelah timur.

Melihat begitu, Leng In yang sedang mengejar di sebelah barat, turut lompat serta berseru, "Ibu, sambutlah ini!"

Dan tangannya segera menimpuk dengan batu.

Anehnya, ia seperti menimpuk dengan bola yang enteng.

Batu itu menyambar Yan Toa Nio, selagi pundaknya hampir kena, ia berkelit ke kiri serta putar tubuhnya, berbareng dengan itu, dua tangannya diangkat, kelihatannya seperti hendak menangkap batu itu, tidak tahunya, batu itu disampok kembali hingga berbalik menyambar ke jurusan penyerangnya

Baru saja Leng ini menimpuk, ia telah pungut batu yang kedua, maka selagi batu pertama balik ke jurusannya, ia sudah bisa menimpuk pula serta berseru, "Nah, terimalah ini satu lagi!"

Sekarang ia mengarah dada ibunya yang sedang menghadap padanya. Tapi berbareng dengan itu, ia jadi repot sendirinya, karena batu pertama sudah datang dekat padanya, tidak tempo lagi, ia ambil sikap seperti ibunya, dengan dua tangan ia papaki batu itu untuk disampok balik pula!

Giok Kouw tercengang bukan buatan, hingga ia melongo. Benar-benar ia tidak sangka, ibu dan anak itu mempunyai tenaga begitu besar, kecelian mata dan kepandaian untuk saling sambuti batu besar itu!

Toa Nio sedang mau lari tatkala batu yang kedua menyambar padanya, dadanya yang diarah, karena ia sudah mulai bergerak, batu itu sekarang menuju iga kanannya

"Kurang ajar!" ia berseru serta egos sedikit tubuhnya untuk angkat kedua tangannya Kendati demikian, ia bukannya sampok balik batu itu seperti tadi dengan dua tangan, hanya dengan sebelah tangan kanan!

Hampir berbareng, kedua batu yang disampok pulang balik, telah bentrok satu dengan lain hingga menerbitkan suara keras, dan karena bentroknya hebat sekali, lelatu api dan pecahan batu telah menyambar dan melesat berhamburan. Kedua batu itu telah jatuh ke tanah dengan terbelah, boleh dikata hancur. Setelah menyampok, Yan Toa Nio lompat akan lari pula.

Leng In penasaran, ia jumput batu yang ketiga, dengan cekal batu itu di kedua tangannya, ia kejar ibunya pula. Ia bisa mendekati ibunya, kira-kira satu tombak lebih terpisah dari ibunya, ia menimpuk pula. Sekali ini ia tidak berseru, hanya diam-diam saja. Karena mereka berada dekat, tidak heran bila datangnya batu ada cepat luar biasa.

Yan Toa Nio lari terus, ia seperti tidak ketahui bahwa anaknya telah menimpuk, ia baru bergerak kapan ia rasai samberan angin dari batu itu. Secara mendadak ia lompat jumpalitan, tangannya mcnyambcr ke jurusan batu yang segera ia tanggapi. Ia masih belum berdiri betul ketika batu itu sudah tersampok pula, hanya dari mulutnya terdengar seruan, "Anak nakal! Terima baru ini kembali!"

Cepat luar biasa, batu itu balik menyambar ke jurusan dadanya si nona.

Lekas-lekas Leng In mundur dengan kaki kanan, yang ia tekuk sedikit, tubuhnya ikut mendek, kedua tangannya ia angkat, kapan batu itu sampai, dengan dua tangannya ia menyampok, hingga batu kembali pula pada ibunya.

Boleh jadi karena tenaga yang dipakai ada kurang, waktu sampai di dekat Toa Nio, batu itu melayang turun ke bawah tanah, tapi justru itu, Toa Nio lompat menghampirkan untuk memapaki dengan dua tangannya, ia cegah batu itu jatuh ke tanah, hanya ia terus lempar ke jurusan pagar. Demikian baru batu itu jatuh ke tanah, menyebabkan pasir dan tanah muncrat berhamburan! Dari tercengang, Giok Kouw menjadi kaget, syukur batu itu tidak sampai ke pagar, kalau tidak, ia bisa jadi celaka, karena batu justru menjurus pada tempat di mana ia sedang mengintip. Ia bergidik kalau ingat bahaya yang barusan mengancam itu.

"Nah, anak, sekarang kau tidak boleh buka mulut besar pula!" segera terdengar suaranya sang ibu. "Sekarang ternyata, pelajaran Enghoan Tiauwkie-ciang dan Toasui Pay-chiu tidak lagi kau boleh pandang enteng. Pelajaran itu meminta beryakinan belasan tahun baru bisa didapati dengan sempurna "

Airmatanya Leng In mengucur, ia berkata, "Ibu, kau telah piara satu anak yang tak berguna Aku tidak

mempunyai harapan lagi, selanjutnya aku tidak mau yakinkan pula ilmu menimpuk dan menyambut batu "

Mendengar begitu, si ibu yang tadi bersenyum, sudah lantas lari menghampiri anaknya, yang ia segera rangkul, seperti juga gadis itu ada satu bocah cilik.

"In-jie," katanya, sambil tepuk-tepuk pundak gadisnya, "kau sudah begini besar, kenapa masih kekurangan semangat? Kenapa sih kau tidak sanggup tahan sedikit kekalahan? Kalau kau betul begini lemah, percuma aku telah piara kau belasan tahun! Aku bukannya ingin mengumpak, kebisaanmu sebenarnya tidak lemah! Satu anak perempuan berkepandaian seperti kau, itulah bukannya gampang. Sudah, anak, kau jangan berduka.

Kau harus ketahui, aku mempunyai kepandaian sesudah belajar di bawah pimpinan engkong luarmu sejak umur delapan tahun. Dan ilmu menimpuk dan menyanggap batu besar ini, baru aku yakinkan sempurna pada tiga tahun yang lalu. Bukankah dulu aku masih tidak mampu? Jangan putus asa, anak, jangan kau bikin hatiku menjadi tawar. Lebih dulu maksud hati kita harus kesampaian, baru kita boleh alpakan ilmu silat kita, pada waktu itu aku nanti tuntut penghidupan suci. Sekarang kau mesti pusatkan perhatianmu, empos semangatmu untuk berlatih lebih jauh! Anak, kau ada satu anak yang cerdik, kau tentunya telah insyaf sendiri! Melulu untuk kau, aku mesti hidup sampai sekarang ini, kalau tidak ada aku, apa kau kira dirimu masih hidup dalam dunia ini? Sudah, jangan berduka, untuk dapatkan kepandaian sempurna, kau harus berlatih keras. Ilmu silat tidak bisa didapati dalam tempo yang pendek. Apa yang kita harapkan sekarang adalah kita bisa panjang umur, biarlah kita lawan penderitaan hidup. Mustahil Thian akan antapi kita binasa dengan penasaran? "

Leng In susut airmatanya, lantas saja ia tertawa. "Ibu, kau paling bisa justakan anakmu!" ia berkata.

"Tadi kau hinakan aku, sekarang kau angkat! Baiklah selanjutnya aku akan belajar dengan sungguh-sungguh. Sekarang mari kita masuk tidur!"

Anak ini tarik tangan ibunya untuk diajak masuk. Giok Kouw menghela napas lega, ia bangun berdiri-

Sedari tadi ia berdongko saja, mengintip mereka Tapi justru ia berdiri, dengan tidak disengaja, ia kasih dirinya kelihatan oleh Leng In, yang kebetulan menoleh ke jurusannya, karena nona ini balik tubuh, akan pegang tangan ibunya

"Siapa itu di luar?" nona Yan segera menegur. "Kau datang kemari, kenapa kau umpeti diri? Silakan masuk, kita berdua bukannya tukang makan orang " Giok Kouw jadi malu, tapi sudah terlanjur, ia tidak bisa singkirkan diri.

"Aku, orang dari dalam dusun," ia menyahut. "Aku jalan-jalan kemari, melihat gubuk ini ada orang, aku melongok. Maaf, sampai besok!"

Tapi Leng In telah tolak ibunya dan tertawa.

"Aku kira siapa, kiranya kau, encie!" ia berkata. "Kita sudah kenal satu dengan lain! Kau sudah datang, jika kau tidak masuk dan duduk dulu, terang kita berlaku tidak hormat!"

Sembari kata begitu, nona Yan lari ke pagar untuk buka pintu.

Giok Kouw tidak bisa menyingkir lagi. Dengan anggapan, mengintip saja bukannya satu kesalahan atau perbuatan jahat, ia lantas balik tubuhnya akan terima undangan itu. Ia bertindak masuk.

Di bawah terangnya rembulan, Leng In lihat mukanya Giok Kouw bersenyum, tidak bengis seperti di sungai, maka ia menghampiri untuk jabat tangan orang.

"Encie, aku masih belum ketahui she dan namamu "

katanya.

"Aku ada orang she Tan," Giok Kouw menyahut. "Cuncu dari Giokliong-giam Hiecun adalah ayahku. Aku bernama Giok Kouw. Aku minta maaf untuk kelakuanku kemarin."

"Jangan haturkan maaf, encie!" Leng In tertawa. "Dengan tidak kebentrok dulu, kita orang tidak nanti bisa berkenalan. Kita ada sama-sama orang perempuan, bukankah? Silakan masuk!" Ia tarik tangan orang untuk diajak masuk.

Yan Toa Nio berdiri menantikan. Leng In berkata pada ibunya, "Ibu, ini adalah nona Giok Kouw, puterinya Tan cuncu! Rumah kita ada begini buruk dan kita harus sambut satu tamu agung!"

Giok Kouw girang melihat orang berlaku demikian manis terhadap ia, ia pun jadi tidak likat-hkat lagi. la samperkan nyonya rumah serta berkata, "Yan pehbo, aku ada satu anak dusun. Tengah malam aku datang kemari mengganggu kau, aku minta maaf "

Nyonya Yan pandang nona itu sambil bersenyum. "Jangan bilang begitu, nona," katanya. "Kita lancang

datang kemari dan tidak mau pergi lagi, dalam hal ini kita mengharap kemurahan hati dari cuncu. Kita pun mengharap maaf padamu, nona!"

Mendengar begitu, Giok Kouw malu sendirinya, hingga ia jadi jengah.

"Nona, mari masuk ke dalam," Yan Toa Nio mengundang.

"Terima kasih, pehbo," sahut Giok Kouw yang lantas bertindak masuk, si nyonya mendului ia, si nona dampingi padanya.

Benar seperti kata ayahnya. Giok Kouw dapati sebuah gubuk yang kosong melongpong, tidak ada perabotannya, malah tidak ada kursinya. Maka itu Leng In minta ia duduk di bangku, sedang ibunya di pembaringannya.

"Nona, mari kau duduk dengan aku di sini," Toa Nio memanggil. Nona Tan berbangkit, menghampiri nyonya rumah dan duduk di sampingnya.

Toa Nio pegang tangannya Giok Kouw, ia awasi mukanya

"Nona, berapa usiamu tahun ini?" ia tanya "Aku berumur enambelas, pehbo."

"Kalau begitu, kau seumur dengan In-jie!" berseru nyonya itu. "Nona, kau pasti pernah yakinkan ilmu silat, kalau tidak, tak nanti kau tonton kita dengan asyik! "

Giok Kouw terperanjat dalam hatinya. "Rupanya orang telah pergoki aku " pikirnya.

"Sungguh berbahaya " Tapi ia lalu bersenyum. "Aku

hanya berlatih beberapa jurus di bawah pimpinan ayah, itulah sebabnya kenapa tubuhku sehat. Ayah sendiri tidak mengerti banyak, ia hanya mengerti sedikit ilmu silat dari pihaknya keluarga Chung." Toa Nio tertawa. "Mengerti silat sedikit dan tubuh sehat, itulah sudah cukup," ia bilang. "Kau toh tidak ingin mengembara untuk jual silat, bukan? Apa perlunya untuk belajar sampai pandai betul?"

Di dalam hatinya, Giok Kouw tertawai nyonya ini.

"Kau pandai bicara putar balik, nyonya," pikirnya. "Kau bilang pelajaranku sudah cukup tapi kau sendiri dan anakmu masih belum puas "

Kendati ia pikir demikian Giok Kouw toh tidak berani menyeng-gapi.

"Maafkan aku, pehbo, tetapi aku ingin sekali ketahui, pehbo berdua ada asal mana?" kemudian ia tanya. "Apa pehbo berniat tinggal tetap di sini? Kemarin ini, karena desakan penduduk kampung, ayah telah datang kemari, hingga ia sudah omong lebih banyak dari semestinya. Syukur penduduk kita tidak datang sendiri. Aku kagum melihat kepandaian encie In kendalikan perahu, aku ingin menjadi sobatnya Jika pehbo niat tinggal lama di sini, aku hendak ajak pehbo dan encie datang ke dalam kampung kita, supaya kita orang bisa tinggal sama-sama. Tidakkah ini baik?"

Toa Nio pandang gadisnya, ia tertawa.

"Terima kasih untuk kebaikanmu, nona," ia menyahut. "Untuk kita memang tidak niat berlalu dari sini tetapi itu bukannya berarti kita mau tinggal tetap untuk selama- lamanya. Barangkali bakal membikin berabe saja untuk kita pindah tinggal ke dalam dusun. Dengan tinggal di mulut muara ini, kita ada merdeka, kapan kita suka, kita bisa lantas berangkat pergi. Tidakkah benar begitu, nona?"

Giok Kouw tidak puas dengan jawaban itu, tetapi ia tidak kemarakan perasaan hatinya itu.

"Apakah kepandaian encie Yan, pehbo yang ajarkan sendiri?" menanya Giok Kouw.

"Kepandaian apa sih yang ia punyakan? Aku sendiri tidak punya guna, apa yang aku bisa ajarkan padanya?"

Dasarnya satu nona, Giok Kouw tidak bisa kendalikan hatinya. Jawaban ini membikin ia tidak puas.

"Yan pehbo, di dusun kita ini tidak ada orang asing!" katanya dengan nyaring. "Semua penduduk dusun ada saudara-saudara dan keponakan, sedikitnya ada saudara- saudara angkat, maka itu, bisa dimengerti yang penduduk di sini tidak bisa awasi saja pehbo hendak memaksa berdiam di sini. Ayah sebagai cuncu berkewajiban untuk campur tahu urusan pehbo. Aturan kita, kita mesti pegang. Coba terhadap lain orang, tindakan keras mestinya sudah diambil. Tapi pehbo berdua sebagai orang perempuan, maka kita jadi berlaku sungkan, tentang ini aku minta pehbo sudi mengerti.

Sebagaimana pehbo lihat sendiri, aku telah datang kemari, aku telah saksikan kepandaian pehbo berdua, kenapa sekarang pehbo masih menyangkal bahwa pehbo tidak mempunyai kepandaian? Aku tidak mengerti, kenapa pehbo perlakukan aku sebagai bocah cilik?

Apakah itu disebabkan pihak kita sudah berlaku tidak pantas terhadap pehbo berdua? Benar-benar pehbo, aku tidak mengerti kenapa kau menyangkal "

Yan Toa Nio pandang nona itu, ia lalu bicara dengan sungguh-sungguh.

"Nona, meski benar kita mempunyai kepandaian, kalau kita bicarakan itu padamu, kau niscaya tidak akan mengerti," demikian katanya. "Apa yang kita bisa adalah latihan biasa saja untuk setiap malam. Mana bisa diartikan kepandaian sejati?"

Giok Kouw benar-benar jadi tidak senang.

"Pehbo, kau sudah ada umur, tidak pantas aku berlaku kurang ajar terhadapmu," ia berkata pula. "Tapi dari kelakuan dan sikapmu ini, terang kau pandang di dusun kita ini tidak ada orang yang berharga. Pehbo, apa yang barusan kau berdua latihkan, adalah kepandaian sejati, aku tidak mempunyai guru yang pandai, tetapi sedikitnya aku pernah dengar orang bicara tentang bugee. Pehbo keliru apabila kau anggap kita dari Hiecun ada tukang gega-res melulu. Ayah telah berbuat sebisanya akan kendalikan penduduk kita, supaya mereka tak berbuat tidak selayaknya terhadap kalian berdua, siapa tahu, pehbo sebaliknya berlaku keterlaluan pada kita ayah dan anak. Kalau tetap kau berpendirian demikian, pehbo, baiklah, kita ayah dan anak tidak bisa campur lagi urusanmu, andaikata ada nelayan yang berlaku tidak pantas, kita lepas tangan!"

Setelah kata begitu, Giok Kouw berbangkit akan awasi ibu dan anak itu, tapi mereka saling pandang sambil bersenyum, hingga ia jadi mendongkol sekali. Dengan tidak pamitan lagi, ia bertindak pergi.

"Encie Giok, mari!" Leng In memanggil selagi orang bertindak. "Jangan gusar, encie. Ibu sudah ada umur, apa yang ia bilang ada hal yang benar, tetapi karena ia hidup di atas air, maka pergaulannya kurang. Encie, apakah kau tidak dapat memaafkannya?"

"Aku ada seorang kasar," Giok Kouw jawab sambil menoleh. "Aku selamanya berlaku terus terang, maka itu, aku tidak bisa melihat orang bicara putar balik. Sudahlah, sampai lain kali saja!"

Ia tolak daun pintu, ia terus bertindak ke luar.

Toa Nio dan Leng In mengikuti. "Nona Giok, tunggu sebentar," berkata nyonya itu. "Aku si nelayan perempuan yang menjemukan memang biasanya tidak bisa bicara dengan manis, juga sebabnya kenapa aku jadi tidak punya sanak dan kadang, tidak punya senderan atau andalan, tetapi kendati demikian, mustahil kami tidak mengerti maksud baik dari kau, ayah dan anak.

Nona, aku minta kau jangan pandang aku sebagai si perempuan gila yang ngaco belo. Kalau sebentar kau pulang, pergi kau sampaikan pada ayahmu, bahwa aku telah ketemu orang berilmu, yang telah ajarkan aku sedikit ilmu, hingga aku mengerti juga perihal hongsui. Kau lihat Hiecun di waktu malam terang bulan seperti ini! Tidakkah desa ini mirip dengan Tohhoa-goan, daerah dari sumber bunga-bunga toh dalam kenang-kenangan? Di luar tahunya kau orang, desa yang begini indah, sekarang telah mulai tertawung dengan awan kedukaan dan halimun kesedihan. Jikalau mataku tidak lamur, kira- kira dalam tempo sepuluh hari ini, aku kuatir bakal terjadi suatu bencana besar, begitu besar hingga aku kuatir juga meskipun kita jaga belum tentu bencana itu dapat diluputkan! Tinggal dengan tenang tetapi toh tetap memikirkan dan bersiaga terhadap mara bahaya itu adalah ujar-ujamya rasul dan nabi, untuk kita orang menjaga dan pelihara diri. Cuncu ada satu orang berpengalaman dari kalangan Sungai Telaga, ia mestinya mengerti ini. Bukankah kau tinggal di Hiecun secara mengungsi? Rumah tanggamu, rumah tangga asli dan asalnya, di manakah adanya? Bukankah kamu sama saja dengan kami yang sedang merantau? Tempat ada begini bagus dan aman, apakah tidak sayang andaikata tempat ini mesti dipasrahkan pada lain orang? Nona aku telah bicara, sekarang, percaya atau tidak, terserah pada orang-orangmu! Aku hendak utarakan rasa syukurku pada kau-orang, ayah dan anak, yang sudah tidak segera mengusir kami dari sini. Dengan sebenarnya kami masih ingin tinggal lamaan sedikit di tempat ini. Di bawahnya

sarang yang terbalik, tidak akan ada telur yang utuh, maka itu, sebagai tuan rumah, kamu tidak mampu bela diri, apalagi kami, orang-orang tumpangan, tamu yang tidak diundang? Tapi mudah-mudahan, ketemu bahaya, bahaya itu dapat berobah menjadi keselamatan, ketemu kesukaran, kesukaran itu dapat menjadi kebaikan, dengan begitu, itu berarti keberuntungan dari aku si perempuan nelayan tua yang tak berguna! "

Giok Kouw tercengang mendengarkan ucapan yang panjang lebar, ia bisa lihat ucapan diutarakan dengan suara dan roman sungguh-sungguh, tetapi semua itu tidak masuk pada otaknya. Ia anggap nyonya ini benar- benar sedang ngaco belo!

"Ia telah berlaku tidak semestinya pada kita tetapi sekarang ia hendak bujuki kita," demikian ia pikir, "apakah ia kira kita ada bocah-bocah cilik, yang boleh dilagui?"

Karena memikir demikian, nona Tan tertawa. "Pehbo, kau bukan saja pandai di muka air, tapi kau

nyata ada seperti separoh dewi!" kata ia dengan

mengejek. "Karena kau berilmu, cara bagaimana aku berani tidak percaya kau? Baiklah, sebentar aku nanti sampaikan ucapanmu pada ayahku, aku akan anjurkan supaya ayah lekas-lekas ajak semua penduduk dari Hiecun pergi menyingkirkan diri, supaya kalau nanti ancaman bahaya telah datang, mereka tidak menjadi menyesal dan penasaran! Kita orang tadinya tinggal dengan aman dan senang di tempat yang indah ini, sekarang ternyata kita orang tidak punya rejeki untuk tinggal tetap di tempat yang indah dan makmur ini.

Inilah yang dibilang, orang yang tidak punya hokkie mesti mengalah pada orang yang hokkie-nya besar! Dengan angkat kaki, kita jadi bisa serahkan tempat kita pada orang yang kehendaki ini, apakah itu bukannya takdir?" Setelah kata begitu, dengan bersenyum sindir, Giok Kouw lantas angkat kakinya untuk berlalu dari rumah gubuk itu.

Yan Toa Nio dan gadisnya berdiri di depan pintu, mereka mengawasi terus pada si nona tamu, mereka seperti tidak mau masuk ke dalam gubuknya. Giok Kouw ketahui kelakuan orang itu, ia berpura-pura tidak tahu dan jalan terus, di bawahnya sinar bulan yang permai itu. Sebab jagat ada sunyi, ia dengar nyata ucapannya Yan Toa Nio yang terakhir, katanya, "Bocah perempuan ini tidak mau percaya perkataanku, sayang Nanti,

sesudah bencana besar datang menimpa, barulah ia percaya "

Giok Kouw tidak gubris ocehan itu, malahan ia lekas- lekas jalan pulang ke kampungnya...

--ooo0dw0ooo--
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar