Perintah Maut Jilid 24

 
Jilid 24

“KEKUATAN NGO HONG BUN memang tidak boleh dipandang ringan, sampaipun saudara Kang Han Cing turut lenyap, inilah suatu bukti kalau mereka mempunyai jago2 yang kuat.”

Mereka mempersoalkan urusan Kang Han Cing, tidak seorangpun yang tahu kalau lakon pembicaraan mereka itu sudah berada didalam satu rumah makan yang sama, hanya terpaut beberapa meja saja. Nenek Ular turut mengikuti pembicaraan mereka, duduk dengan hati berdebar2, sangat gelisah, takut2 kalau penyamaran Kang Han Cing bisa diketahui orang. Hatinya mengucapkan seribu doa, mengharapkan orang2 itu cepat pergi. Dan hal ini tidak mungkin, karena orang2 dari Lembah Baru menggunakan rumah makan tersebut sebagai tempat yang ditunjuk untuk berkumpul dan tukar menukar berita.

Ternyata rencana Tan Siauw Tian tidak berhasil seratus persen, menggunakan siasat ‘Memancing Macan Meninggalkan Sarangnya’ menggunakan 2 perahu sebagai umpan, para jago Lembah Baru berhasil mengubrak-abrik Goa Sarang Tawon, mereka mendapat gambaran yang cukup jelas. Kang Han Cing sudah memberitahu dimana kira2 letak Goa Sarang Tawon itu, maka markas cabang Ngo-hong-bun yang bisa tembus ke kelenteng Sin- ko-sie berhasil dihancurkan. Disini mereka berhasil.

Dilain pihak, mereka kehilangan Cu Liong Cu dan Kang Han Cing yang ditugaskan sebagai umpan. Dan disini mereka mengalami kegagalan !

Tidak seberapa lama, datang pula belasan orang, mereka adalah Tan Siauw Tian, Kong Kun Bu dkk. Tentu saja, Kong Kun Bu yang sekarang adalah Kong Kun Bu asli karena Kong Kun Bu penyamaran Co Hui Hee sudah pecah sama sekali.

Seperti juga Tian hung Totiang dan Lie Wie Neng, kedatangan Tan Siauw Tian dkk tidak banyak menolong, mereka datang dengan tangan kosong. Tidak seorangpun yang berhasil menemukan jejak2 Cu Liong Cu, Kang Han Cing dan Cu Hoay Uh.

Kedatangan jago2 Lembah Baru itu membuat pemilik rumah makan ketakutan setengah mati, mengetahui kalau resiko dari hadirnya jago-jago rimba persilatan itu bisa membahayakan usahanya, mereka melayani dengan lebih ber- hati2.

Yang lebih kejepit adalah Nenek Ular, seperti menduduki kursi berduri, ia sedang mencari jalan untuk meninggalkan tempat tersebut.

Tentu saja ia tidak berani lengah, mengingat bahwa lawannya berupa jago-jago istimewa.

Rumah makan itu semakin meriah dengan kedatangan Goan Tian Hoat, sebagai jago cerdik pandai, Goan Tian Hoat membawa berita baru. Tukang jual teh kedapatan mati, walau pihak Ngo hong-bun sudah menggunakan air keras melenyapkan bukti2, dengan ketelitian Goan Tian Hoat, ia berhasil menemukan bekas2nya. Sesudah membikin penyelidikan di sekitar daerah itu, maka kematian tukang jual teh itu tidak bisa disangsikan lagi.

Bukan itu saja yang dibawa oleh Goan Tian Hoat, jago Hay yang-pay kita mengeluarkan dua macam tanda bukti, itulah kerudung hitam Cu Liong Cu dan Jarum Ular. Diperlihatkannya kepada semua orang.

Kerudung hitam tipis adalah milik Cu Liong Cu, semua orang tidak menyangsikan lagi. Dan semuapun bisa membuktikan kebenaran itu. Tian-hung Totiang berkerut alis. “Rasa2nya, Cu Liong Cu sudah jatuh kedalam tangan Ngo hong- bun. Entah bagaimana keadaan Kang Han Cing dan Cu Hoay Uh?” Ia mengutarakan perasaannya. “Mungkinkah berhasil menolong si Putri Beracun

?”

Menunjuk ke arah Jarum Ular Goan Tian Hoat berkata : “Jarum ini kedapatan tidak jauh dari kerudung tipis, mungkinkah benda milik Cu Liong Cu juga ?”

Tan Siauw Tian memeriksa dengan teliti, menoleh kearah Tian hung Totiang dan mengajukan pertanyaan : “Perut jarum ini tidak berisi, sudah kosong, tentunya ada sesuatu yang disempurnakan dari tempat asalnya. Kukira bukan milik Cu Liong Cu. Bagaimana pendapat Totiang?”

Tian-hung Totiang juga seorang akhli tabib, ia memeriksa beberapa saat dan berkata : “Tepat ! Isi jarum adalah semacam racun ular yang luar biasa sekali. Kukira bukan milik si Putri Beracun.”

Kong Kun Bu berkata : “Cu Hoay Uh cianpwe ayah dan anak perempuannya tidak memelihara ular. Pasti bukan milik mereka.”

“Aaaa……” Tiba2 Tian-hung Totiang bertepuk kepala. “Adanya benda ini mengingatkan aku kepada seseorang."

“Tentunya seorang jago silat tua.” Berkata Goan Tian Hoat. “Siapakah orang itu ?”

“Nenek Ular.” Berkata Tian-hung Totiang. “Nenek Ular ?" Lie Wie Neng belum pernah dengar nama ini.

“Ya.” Tian-hung Totiang menganggukkan kepala. “Nenek Goa Naga Siluman mempunyai seorang dayang kepercayaannya yang bernama Nenek Ular, demikian semua orang menyebutnya seperti itu, karena tidak ada yang tahu siapa nama aslinya. Nenek tua inilah yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi, dan khususnya obat2an dan racun2 dari segala macam ular.”

“Bagaimanakah ciri2 Nenek Ular ?"

“Ia suka mengenakan pakaian warna hitam, berkerudung kepala hitam, istimewa mengenakan gelang tangan jambrut, bukan jambrut biasa, kalau orang begitu saja ingin kepada gelang jambrutnya itu, maka mereka akan segera celaka, gelang ‘jambrut’ itu adalah sepasang ular beracun, setiap waktu bisa memagut orang.”

“Oh ! Dimanakah si Nenek Ular ?”

“Tempatnya sudah tidak jauh dari kita," berkata Tian hung Totiang.

Semua mata terarah kepada nenek dan 'perawan kesiangan'nya !

Dan Nenek Ular sudah siap melepaskan ular2nya, kalau perlu mengadakan perlawanan kelas berat.

Tian hung Totiang meneruskan cerita : “Kini Nenek Ular menempati Lembah Ular yang tidak jauh dari tempat ini." Dan tokoh bersangkutan yang namanya baru disebut mengeluarkan napas lega.

“Kalau betul senjata rahasia ini berasal dari Nenek Ular, tentunya Cu Liong Cu berada di tempat itu. Mari kita segera mendatangi Lembah Ular,” Tan Siauw Tian memberi usul.

Itu waktu, Nenek Ular berhasil memanggil pelayan rumah makan, dan mengatakan kepada pelayan itu, kalau anak perawannya ‘sakit keras’, minta tolong dipanggilkan sebuah kereta. Pelayan rumah makan membutuhkan tip dan persenan, tanpa perintah kedua segera melaksanakan permintaannya. Terdengar suara gelinding kereta yang menuju ke arah rumah makan itu.

“Popo, kereta sudah siap !” Muncul pelayan itu dan meneriakinya.

Maka nenek ini memayang anak 'perempuannya’, dengan mulut penuh kesayangan berkata : “Oh, anakku sayang, biar ibumu yang menggendong. Kita segera sampai dirumah. Kereta sudah datang.”

Kedua orang itu meninggalkan rumah makan, berjalan didepan hidung-hidungnya para jago-jago Lembah Baru. Tidak seorangpun yang tahu kalau mereka adalah Nenek Ular dan Kang Han Cing.

*** Bab 81

SEBUAH KERETA meninggalkan kota Yen-ciu, mereka membawa seorang nenek dan seorang banci, dengan arah tujuan kota Heng-ciu, seperti apa yang sudah dipesankan oleh sipelayan rumah makan.

Kini kota Heng-ciu sudah berada didepan mata, kusir kereta semakin bersemangat, tidak lama lagi ia menerima uang sewa dan selesailah tugas itu.

“Lo-popo," katanya. “Didepan adalah kota Heng- ciu, dimana kalian akan turun ?"

“Terus……Terus jalan,” Berkata Nenek Ular.

Kereta memasuki pintu Utara, melewati jalan2 yang penuh sesak, dan akhirnya tiba dipintu Selatan.

“Lo-popo.” berkata lagi sang kusir. “Sudah berada diujung pintu."

“Terus…..Terus……!"

“Terus lagi sudah bukan kota Heng-ciu." “Ya ! Tentu saja.”

“Uang sewa kereta dijanjikan hanya sampai kota Heng ciu.” Sang kusir keberatan.

“Terus. Akan kuberi tambahan," berkata Nenek Ular.

Maka kereta pun keluar kembali, meninggalkan pintu Selatan kota Heng ciu. Kusir kereta hanya bisa mengomel didalam hati, mendapat janji uang tambahan itu, rasa dongkolnya hanya bisa disimpan begitu saja. Kereta itu masih diteruskan kedepan, sehingga memasuki daerah pegunungan.

“Kemana nih ?” Ia bertanya lagi. “Terus lurus !" Perintah sang nenek.

“Maju lagi adalah daerah pegunungan.”

“Apa kita orang dilarang menetap didaerah pegunungan ?” Bentak si nenek.

“Oh…..Oh......Bukan itu yang dimaksudkan," cepat2 sang kusir memberi koreksi. “Daerah pegunungan susah dilalui kereta."

“Apa sudah tidak bisa dilalui lagi ?”

“Sekarang masih bisa. Tapi hanya kurang lebih

10 lie, sesudah itu, kereta tidak bisa menanjak keatas.”

“Cukup. Sekarang teruskan saja perjalanan.”

Kereta masih terus maju kedepan, semakin lama semakin lambat, jalanpun menjadi kecil, akhirnya tidak bisa diteruskan karena menanjak keatas. Terpaksa kereta dihentikan.

“Apa sudah tidak bisa diteruskan lagi ?" Bertanya sang nenek rewel.

“Lo-popo, hanya bisa sampai disini saja," berkata sang kusir. “Betul2 tidak bisa terus lagi."

“Baiklah.” Nenek Ular keluar dari kereta itu. “Kau tahu tempat apakah ini ?” “Siok-sek po,” sang kusir membanggakan pengetahuannya. “Sesudah melewati Siok sek po, didepan adalah On-leng.”

“Dan sesudah itu ?"

“Puncak yang menjulang tinggi itu adalah puncak gunung Tulang ikan. Eh, mungkinkah lo- popo belum pernah ke tempat ini?” kusir kereta memandang sang nenek dengan perasaan heran.

“Siapa bilang aku belum pernah ke tempat ini?” berkata Nenek Ular. “Aku hanya hendak menguji pengalamanmu selama menjadi kusir kereta. Kalau2 kau tidak bisa menyebut nama tempat.”

Sang kusir tertawa. “Ha, ha…..” Dia belum sadar kalau maut sudah mengintai sangat dekat. “Bagi kita orang yang harus bernapas diatas kereta, sedikit banyak harus mempunyai pengetahuan yang semacam ini. Bagaimanapun harus bisa nama2 tempat yang belum dan mau dilalui. Tempat ini memang sangat sepi. Baru kali ini aku melakukan perjalanan, tapi ti….”

“Dan inipun untuk terakhir kalinya," sambung si nenek.

Dikala sang kusir memandang dengan perasaan penuh tanda tanya, nenek Ular memamerkan ‘gelang jambrutnya', maka sepasang gelang hidup itu meletik, memberi pagutan maut. Seperti apa yang dicetuskan oleh sang nenek, perjalanan kusir kereta ke tempat itu adalah perjalanannya yang terakhir, kini arwah sang kusir melayang-layang ke akherat. Dengan menyeringai seram, Nenek Ular berkata

: “Siapa suruh kau bisa menyebut nama gunung Tulang Ikan ? Demi keamananku dan keamanan Sri Ratu sekalian. Apa boleh buat.”

Jelaslah sudah, kemana Kang Han Cing mau dibawa. Tentu saja kearah gunung Tulang Ikan, ditempat inilah Sri Ratu Goa Naga Siluman mengasing dan menyembunyikan diri, memelihara kesehatan badannya.

Mengapa golongan Perintah Maut mau melebur diri kedalam partay Ngo-hong-bun? Karena dibelakang Ngo hong-bun berdiri seorang tokoh kuat, Nenek Goa Naga Siluman yang ditakuti dan disegani.

Dan dimanakah sarang pusat partay Ngo hong bun ?

Tentu saja dipuncak gunung Tulang Ikan itu !

Nenek Ular menenteng Kang Han Cing menuju kearah gunung Tulang Ikan.

Sesampainya digunung Tulang Ikan, sang nenek disambut oleh Kepala Keamanannya yang bernama Pang Khong Goan, memandang ke arah Kang Han Cing yang masih berada dipunggung sang nenek, Pang Khong Goan bertanya : “Coa Khu Po, siapakah yang kau bawa itu ?"

Nama Nenek Ular Co Khu Po !

“Seseorang yang diingini oleh Sri Ratu.” Jawab sang nenek. “Apa kau tidak mau minum teh ditempatku dahulu ?” Bertanya Kepala Keamanan Pang Khong Goan.

Sebagai seorang kepala keamanan seharusnya Pang Khong Goan memiliki kedudukan yang lebih tinggi, apa mau Nenek Ular menjadi dayang Nenek Goa Naga Siluman, karena itulah menyulitkan kedudukannya. Ia tidak berani mencegah, maka dengan mengajaknya minum teh, ia bisa memberitahu kalau nenek itu ada membawa seseorang.

Nenek Ular bisa menangkap arti yang disembunyikan oleh Pang Khong Goan, dengan sungguh2 ia berkata : “Apa kau tahu, siapa orang ini ? Dia adalah orang yang ditunjuk oleh Sri Ratu, harus diantar segera !”

“Siapakah dan bagaimana asal usulnya sehingga Sri Ratu begitu tertarik ?” Tanya Pang Khong Goan.

“Huh !” Dengus sang nenek, “Terang2an saja kau hendak mempersulit diriku. Lihat !" Sang nenek mengeluarkan tanda pengenal kebebasan jalan Ngo-hong-bun, tanda itu berupa tulang ikan yang terbuat dari batu kumala, khusus disediakan kepada mereka yang mendapat perintah langsung dari Nenek Goa Naga Siluman.

Melihat adanya tanda bebas jalan itu, Pang Khong Goan tidak berani mempersulit lagi, dipersilahkannya Nenek Ular membawa Kang Han Cing melewati pos penjagaan. Nenek Ular tidak banyak bicara, menenteng Kang Han Cing, ia memasuki lorong rahasia, lorong itu berada di perut gunung, kurang lebih satu lie, menembus di bagian lain, cahaya matahari seperti biasa, disinilah yang bernama Istana Naga, tempat persembunyian Nenek Goa Naga Siluman yang dirahasiakan.

Kalau didepan, si nenek mendapat pencegatan Pang Khong Goan, disini terjaga oleh seorang nenek gemuk, kedudukannya sama2 dengan Nenek Ular, namanya Kui Ku Po dengan nama julukan Nenek Bunga, dia adalah kepala barisan pengawal istana Naga.

Kui Ku Po memperhatikan orang yang digendong oleh Nenek Ular, menyipitkan mata dan mengajukan pertanyaan : “Coe Khu Po, siapa yang dibawa ?”

“Tokoh penting.” “Tokoh penting ?"

“Ya ! Darah orang ini sangat dibutuhkan Sri Ratu."

“Sri Ratu membutuhkan darah orang ini? Mengapa aku tidak pernah tahu menahu ?” Sebagai tangan kanan Nenek Goa Naga Siluman, Kui Ku Po harus serba tahu, hanya ia belum pernah tahu tentang adanya kebutuhan darah orang dari majikannya, karena itu wajib mengajukan pertanyaan. “Darah orang ini bisa digunakan untuk menyembuhkan tangan kanan Sri Ratu,” Coa Khu Po memberi keterangan.

“Oooo….Begitu ! Baiklah, tinggalkan saja dia disini." Berkata Kui Ku Po. Maksudnya meminta Kang Han Cing.

“Sri Ratu sangat…..”

“Sri Ratu sedang bersemedhi. Tidak boleh mendapat gangguan.” Kui Ku Po memberi keterangan. “Hanya pada saat tertentu saja beliau bersedia menemui orang.”

“Oh,” berkata Coa Khu Po. “Tidak mengapa. Biar menunggu saat itu saja."

Kui Ku Po bertepuk tangan, maka dari istana Naga keluar 2 dayang pelayan, kepada dayang inilah, ia berkata : “Bawa orang ini ke kamar dibawah tanah !”

Kedua dayang itu saling pandang sebentar, yang dikanan mewakili kawannya berkata : “Lapor kepada Kui congkoan, ruang dibawah tanah hanya ada 2 buah kamar. Dan kedua2nya itu sudah penuh...”

“Aku tahu," Kui Ku Po tidak puas. “Dijadikan satu saja dikamar nomor 2."

Kedua dayang itu membungkukkan badan, menghampiri Nenek Ular, meminta Kang Han Cing dari gendongannya.

Nenek Ular masih ragu2, memandang Kui Ku Po dan berkata : “Cicie Kui, orang yang kubawa ini bukan manusia biasa. Ada baiknya kalau berhati- hati. Apa tidak bisa memisahkannya disatu kamar tersendiri ?”

Kui Ku Po tertawa. “Istana Naga disediakan untuk Sri Ratu istirahat. Tentu saja tidak menyediakan kamar tahanan. 2 buah kamar dibawah tanah itupun berada didalam keadaan darurat, sedianya hendak dihadapkan kepada Sri Ratu, berhubung Sri Ratu masih berada di dalam keadaan bersemedhi itu, maka sementara digunakan sebagai kamar darurat. Seseorang yang sudah berada didalam Istana Naga, apa masih diragukan bisa melarikan diri ?”

“Tapi......Tapi… "

Wajah Kui Ku Po berubah dengan tidak senang, berkata : “Apa kau tidak percaya kepadaku?"

“Bukan tidak percaya," Nenek Ular Coa Khu Po masih belum mau menyerahkan Kang Han Cing kepada 2 dayang yang sudah menyodorkan tangan itu. “Tapi…….Tapi "

“Hmm…..." Kui Ku Po mengeluarkan suara dengusan dari hidung. “Takut kehilangan bagian pahala ? Baiklah. Pegangi sendiri orang tawananmu itu. Tunggu saja sampai tengah malam. Mungkin Sri Ratu bisa menyelesaikan penyemedhiannya.”

Sesudah itu, Kui Ku Po membalikkan badan, siap meninggalkan Nenek Ular.

Cepat2 Nenek Ular berteriak : “Kui cicie, jangan marah. Baiklah." Sambil menyerahkan Kang Han Cing kepada dayang istana. Kedua dayang itu mengambil orang yang diserahkan dan berjalan pergi.

***

DISEBUAH kamar berdinding hitam yang sangat gelap, dikamar inilah Kang Han Cing mendapat tahanan sementara, sambil menunggu vonis Sri Ratu Naga Siluman, sesudah nenek itu selesai menekunkan pelajaran semedhinya.

Baru sekarang si pemuda sadar dari ‘istirahat jangka panjangnya’. Istirahat jangka panjang adalah reaksi dari minum mabuk-mabukan dari sedotan darah Ular Lindung yang tidak disengaja, hasil perpaduan dari obat Thian-kie-in-kang-tan. Dimisalkan orang lain yang menyedot darah Ular Lindung itu, tidak bisa disangsikan lagi, orang tersebut akan mati kembung di tempat !

Memang Kang Han Cing luar biasa, ia mendapat obat Thian-kie-in-kang-tan, dengan pemakanan obat ini, ia berhasil menghindarkan dari mati kembung darah ular.

Obat Thian-kie-in-kang tan membantu darah Kang Han Cing menerima aliran darah Ular Lindung, disebarkan ke sekujur badan, dan hasil itu memang luar biasa.

Didalam kamar gelap itu bukan hanya Kang Han Cing seorang, karena ia mendapat dandanan wanita, Coa Khu Po tidak menerangkan jenis kelaminnya, hal ini menjadikan Kui Ku Po salah paham, sangkanya orang yang digendong Coa Khu Po itu wanita biasa, dan didalam Istana Naga tidak tersedia kamar lainnya, maka disatukan sekamar dengan salah satu lakon dari dalam cerita ini – Sun Hui Eng !

Adanya Sun Hui Eng di tempat itu berstatus sebagai orang tawanan, bersama2 Co Hui Hee menunggu keputusan guru mereka, si Nenek Goa Naga Siluman. Masing2 terpisah disatu kamar. Dan kamar yang ditambah Kang Han Cing adalah kamar Sun Hui Eng.

Sesudah Kang Han Cing sadar, orang yang pertama ditemukannya adalah Sun Hui Eng, itu waktu Sun Hui Eng sedang membelakanginya, tidak tampak wajah, hal ini membuat si pemuda mengajukan pertanyaan : “Eh, dimana aku berada? Siapakah nona?” tentu saja Kang Han Cing berbicara dengan suara asli.

Sun Hui Eng terkejut, kalau tadi ia menyangka kepada kawan sejenis, kini dugaan itu keliru. Dan rasa kagetnya itu bertambah, takutnyapun timbul berbareng, masakan dia disatukan dengan laki2 ‘asing’ ?

“Hai !” ia berbalik cepat. “Kau laki-laki?”

Mereka saling tatap dan Kang Han Cing mengenali kepada Sam kiongcu Ngo hong bun Sun Hui Eng.

“Sam kiongcu ?” rasa heran dan tidak mengerti bercampur aduk menjadi satu. Sun Hui Eng memperhatikan ‘wajah’ yang bisa menyebut lengkap kedudukannya itu, tentu saja ia tidak bisa mengenali, mengingat dandanan Kang Han Cing yang begitu molek. “Kau kenal diriku?” ia bertanya heran.

“Sam kiongcu lupa kepadaku ?” bertanya Kang Han Cing. Pemuda ini juga heran, bagaimana Sun Hui Eng secepat itu tidak lagi kenal kepadanya? Hal ini bisa dimaklumi, karena Kang Han Cing tidak tahu kalau Nenek Ular Coa Khu Po sudah mengubahnya menjadi seorang ‘perawan kesiangan’ yang mengenakan pakaian wanita.

“Kau…..?! kau…….” Sun Hui Eng mengenali suara Kang Han Cing, tapi suara itu dianggap keluar bukan dari mulut asli Kang Han Cing, keluar dari mulut seorang ‘gadis’ yang tidak dikenal. Terbayang khayalan yang bukan2. Mungkinkah orang ‘kemasukan’ ? kemasukan roh Kang Han Cing yang sudah mati terkena Jarum Ular?

“Oh !” Sun Hui Eng menutup wajahnya dan menangis sesenggukan. “Betul2 kau mati penasaran. Sukmamu belum rela pergi dari….oh…..”

“Apa ? mati penasaran ?” Kang Han Cing baru sempat memperhatikan pakaiannya. “Eh, siapa yang menggantikan pakaianku ?”

“Jie kongcu," sambat Sun Hui Eng. “Hidupkupun tidak lama lagi. Oh.....Bawalah aku turut serta….Pergi ke tempat duniamu yang sudah abadi itu…..” “Sam Kiongcu." berkata Kang Han Cing. “Aku belum mati.”

“Belum mati ? Bagaimana suaramu bisa masuk ke orang lain ?"

Sesudah berkutet beberapa waktu, Sun Hui Eng bisa diberi mengerti, kalau ‘perawan kesiangan’ yang berada di satu kamar dengannya itu betul2 Kang Han Cing asli.

Mereka saling tukar pengalaman, mengertilah sudah, apa saja yang sudah menimpa diri mereka.

Kang Han Cing menceritakan pengalamannya yang seperti terjadi di dalam dongeng seribu satu malam itu.

“Kalau begitu, ular didalam ruang bawah tanah Coa Khu Po yang menolong dirimu ?”

“Kira2 demikianlah."

“Siapa yang menggantikan pakaianmu seperti ini ?” Bertanya Sun Hui Eng.

“Mana kutahu. Baru saja aku sadar sekarang." “Oh……”

“Eh, dimanakah kita berada sekarang ?" “Istana Naga."

“Istana Naga ?"

“Istana Naga adalah tempat guruku,” Sun Hui Eng memberi keterangan.

“Goa Naga Siluman ? Oh……kau ditawan oleh gurumu?” bertanya Kang Han Cing. “Aku ditipu mentah2 oleh Co Hui Hee." Sun Hui Eng memberi keterangan. “Tapi belum bertemu dengan guruku."

“Siapa yang menawanmu ditempat ini ?" “Jie sucie."

“Apa gurumu bisa percaya kepada keterangan Jie suciemu ?"

“Go sumoay Co Hui Hee bisa memberikan kesaksian2nya.” Sun Hui Eng menangis, kalau memikirkan nasib mereka. Sedari adanya sejarah, belum pernah ada tawanan Istana Naga yang lolos dari kematian.

“Sudahlah. Jangan menangis lagi.” Kang Han Cing meng-elus2 gadis itu.

“Seharusnya aku gembira karena kau masih segar bugar. Tapi…..tapi kau jatuh ke tangan Ngo hong bun, agaknya kita sudah ditakdirkan mati bersama.”

“Jangan menangis,” Kang Han Cing meng-elus2. “Biar kudebat gurumu nanti.”

Cepat2 Sun Hui Eng menjulurkan tangannya yang halus, ditempatkan ke mulut si pemuda, dengan perlahan berkata : “Jangan bicara seperti itu…..”

Terasa satu rangsangan yang hebat, Kang Han Cing bertahan sekeras mungkin, ia berkata : “Mengapa ?”

“Suhu tidak suka orang mendebatnya.” Sun Hui Eng memberi keterangan. “Masih lumayan kalau kita mau menyerah. Tapi jangan sekali2 menentang kemauannya, apa lagi mendebat, hal itu akan menimbulkan sesuatu yang lebih buruk.”

“Apa tidak lebih baik, kalau kita melarikan diri

?” Kang Han Cing memberi usul.

“Tidak semudah itu. Istana Naga bukan sembarang tempat. Tidak ada kesempatan untuk melarikan diri.”

“Kau rela mempasrahkan diri di tempat ini ?" Tanya Kang Han Cing.

“Oh…..” Si gadis menubruk dan memeluk Kang Han Cing, menangis ter-isak2.

“Kita akan berusaha melarikan diri dari tempat ini.” Putusan Kang Han Cing tidak bisa tergoyah.

Pendirian seorang manusia akan lebih kuat bilamana mendapat dukungan dari orang yang dipercaya, terutama dukungan seorang kekasih. Begitu juga keadaan Sun Hui Eng, biarpun ia tidak mempunyai pegangan kuat bisa melarikan diri dari Istana Naga, ia tidak mau membantah kekasih itu, dari pada mati konyol mempasrahkan diri, lebih baik mencobanya sekali, siapa tahu kalau berhasil

?

Memang demikianlah maksud tujuan dari si empunya cerita. Kang Han Cing berhasil menyeret Sun Hui Eng, melarikan diri dari kamar tahanan.

Kamar tempat mengurung mereka bukanlah kamar tahanan khusus, pada tubuh Kang Han Cing masih terselip pedang lemas pemberian nenek Wie Tay Kun, si Nenek Ular hanya menggantikan pakaian luarnya, tidak mencopot bulat, karena itu pedang lemas bisa dipertahankan.

Singkatnya, mereka berhasil membongkar kamar itu. Tentu saja disaat diluar tidak ada orang.

Memang ! kamar mereka tidak terjaga, penjagaan Istana Naga sudah cukup kuat, belum pernah ada orang yang ditawan disitu, dan juga belum pernah ada yang melarikan diri dari Istana Naga.

“Pinjamkan pedang itu kepadaku." Sun Hui Eng menyodorkan tangan.

Kang Han Cing menyerahkan pedang Kim liong- kiam.

Sesudah menerima pedang itu, Sun Hui Eng berkata :

“Kau lari kearah kanan, ingat, begitu ada tikungan, belok kanan. Ingat betul2 kanan. Sesudah menemukan tangga batu, kau harus menaikinya dengan kecepatan kilat, lompat keluar dan menyembunyikan diri di semak2, sebelah kanan ! Tunggu aku di tempat itu.”

“Kau tidak turut serta ?" Bertanya Kang Han Cing heran.

“Kalau mau melarikan diri jangan kepalang tanggung. Aku mau menolong Cu Hoay Uh dan Cu Liong Cu."

Ternyata Kakek dan Putri Beracun juga berada di tempat itu, tertawan oleh pihak Ngo-hong-bun. “Kalau mau menolong orang, mengapa kita tidak menolong ber-sama2 ?” bertanya Kang Han Cing.

“Disini masih banyak dayang2 istana, kalau denganku seorang, mereka belum tentu berteriak. Lain lagi kalau melihat kau turut serta dibelakangku. Mereka bisa mengacaukan rencana.”

“Baiklah.”

“Ingat ! Kalau ada tikungan, harus mengambil arah yang dikanan, tahu ?”

“Nngg…..”

Mereka segera berpisah, Kang Han Cing melarikan diri kearah kanan, dan Sun Hui Eng masih berusaha menolong Cu Hoay Uh dan Cu Liong Cu.

***

Bab 82

MENGIKUTI PERJALANAN Kang Han Cing.

Ia kurang paham seluk-beluk keadaan Istana Naga, karena itu lebih berhati2. Mengayun langkah demi langkah, sesudah betul2 tahu tidak ada orang didepannya.

Seperti apa yang Sun Hui Eng pesan, setiap ada tikungan, ia mengambil arah yang sebelah kanan, inilah jalan keluar dari Istana Naga.

Belasan tikungan sudah dilewatkan, tapi masih juga belum menemukan undakan tangga batu. Suatu bukti betapa luas dan misteriusnya Istana Naga itu.

Kang Han Cing berpikir : “Mungkinkah salah jalan ?”

Disaat itu terdengar suara derap langkah kaki yang sedang mendatangi kearahnya, cepat2 Kang Han Cing menyembunyikan diri di tikungan sebelah kiri.

Dua dayang istana berjalan sambil mengobrol, mereka tidak menduga kalau ada orang mau melarikan diri.

Karena munculnya dua dayang istana itu yang menyesatkan arah Kang Han Cing, untuk menyelamatkan dirinya, si pemuda lari ke arah lorong yang sudah ditempuh. Itulah jalan kiri !

Berjalan lurus ke depan, Kang Han Cing menemukan jalan bercabang, satu ke kanan dan satu ke kiri. Kalau tadi ia lengah dan mengambil jalan salah, kini teringat kembali pesan Sun Hui Eng, ia menempuh yang kanan.

Lorong itu menemukan ujungnya, terhias oleh gantungan2 permata, sangat indah dan menarik. Menyangka kepada jalan keluar, secepat kilat Kang Han Cing menerobos tempat tersebut.

“Eh, anak perawan siapa yang masuk ke dalam Istana Naga ?” terdengar satu suara.

Kang Han Cing salah jalan, bukannya keluar dari istana, tapi salah masuk ke kamar terhias bagus itu. Kini didepannya duduk bersila seorang nenek, wajahnya sangat buruk, hidungnya mancung lurus, dengan mata mencelong ke dalam. Nenek inilah yang mengajukan pertanyaan.

“Cianpwe yang bertanya?” Kang Han Cing memandang nenek itu.

“Hei, anak perjaka ? Mengapa kau mengenakan pakaian perempuan?”

“Ada hubungan apa denganmu ?” balik tanya Kang Han Cing.

“Ha, ha….” Nenek itu tertawa. “Puluhan tahun ini, kau yang pertama kali berani menentang kata2ku.”

“Mengapa tidak berani?” tantang terus Kang Han Cing. “Kita sama2 tidak tahu menahu, bukan?”

“Eh, sesudah menemuiku, kau tidak tahu siapa diriku ?”

“Kau……kau Nenek Goa Naga Siluman ?” “Bedebah !” sepasang sinar mata nenek itu

menjadi liar, sebentar kemudian redup kembali.

Dengan tenang berkata : “Gunakanlah istilah yang lebih sopan, kalau kau minta dirimu lebih dihormati orang.”

Secara tidak terduga, Kang Han Cing sudah menerobos masuk ke dalam kamar semedhi si Nenek Goa Naga Siluman.

“Hei, siapa namamu?” bertanya si nenek. “Boanpwe Kang Han Cing.”

“Kang Han Cing ?” “Ya ! Mengapa ?”

“Hmm….menurut keterangan Sin Hui Siang, seorang pemuda bernama Kang Han Cing memelet Co Hui Hee dan Sun Hui Eng secara serentak. Kau itukah orangnya?”

“Boanpwe memang Kang Han Cing. Tapi tentang cerita itu bukanlah cerita yang sebenarnya.”

“Huh ! A Pie !” si nenek memanggil keluar.

“Siap !” seorang dayang perempuan berlari masuk. Inilah yang bernama A Pie. “Sri Ratu ada perintah baru ?”

“Pergi ambil air sebaskom, suruh orang ini membersihkan wajahnya yang celomotan itu,” perintah Nenek Goa Naga Siluman.

“Siap,” dayang istana yang bernama A Pie mengundurkan diri. Tidak lama kemudian ia sudah balik kembali dengan menenteng ember untuk cuci muka yang sudah terisi air, disodorkannya ke depan Kang Han Cing.

Bukan maksud tujuan Kang Han Cing menyembunyikan diri dibalik wajah belepotan bedak itu, hal mana terjadi karena pandainya si Nenek Ular membawa orang. Sesudah menemukan air dan mendapat kesempatan itu, Kang Han Cing membersihkan wajahnya. Terpeta kembalilah sebuah wajah pemuda yang tampan, walau masih mengenakan pakaian wanita, wajah itu tidak menghilangkan cahaya sang putra Datuk Selatan.

Tampak sekilas senyuman di bibir Nenek Goa Naga Siluman, menganggukkan kepala memberi pujian : “Betul2 pemuda ganteng. Pantas saja kalau Co Hui Hee dan Sun Hui Eng bisa jatuh cinta. Eh, siapakah yang memberi pelajaran ilmu silat kepadamu? Kulihat kau memiliki kekuatan yang luar biasa.”

“Suhu boanpwe Ciok-kiam Sianseng !” jawab Kang Han Cing.

“Pendekar Bambu Kuning Ciok-kiam Sianseng

?” Ulang Nenek Goa Naga Siluman kurang yakin kepada keterangan itu. “Aku tidak percaya. Bagaimanapun si Ciok-kiam Sianseng tidak akan bisa mendidik seorang murid yang seperti dirimu.”

“Mengapa tidak bisa? Apa sebelumnya ada yang percaya kalau guru cianpwe berhasil menciptakan tokoh tenar seperti cianpwe?”

“Ha, ha……kau adalah jago pertama yang berani menentang diriku,” berkata Nenek Goa Naga Siluman. Kemudian menoleh kearah A Pie. “A Pie,” perintahnya. “Sediakan seperangkat pakaian laki2, suruh dia ganti pakaian.”

“Mari ikut aku,” berkata A Pie.

Kang Han Cing turut kepada A Pie, ia mengundurkan diri, sebelum itu ia memberi hormat kepada Nenek Goa Naga Siluman dan berkata : “Banyak terima kasih atas perhatian dan kasih cianpwe.”

Di dalam masih mengenakan pakaian perempuan, agaknya kelakuan Kang Han Cing itu sangat lucu, Nenek Goa Naga Siluman tertawa kecil. “Semua orang takut kepadaku, hanya kau seorang yang tidak, mengapa?” ia bertanya.

“Mengapa harus takut?” berkata Kang Han Cing. “Didalam anggapan boanpwe, tidak ada sesuatu dari tingkat cianpwe yang menakutkan. Cianpwe cukup ramah dan bijaksana.”

“Ha, ha…..lekas kau turut A Pie untuk ganti pakaian,” Nenek Goa Naga Siluman bangga karena mendapat pujian yang seperti itu.

Kang Han Cing mengundurkan diri. A Pie sudah menyerahkan kepadanya seperangkat pakaian pria dan membiarkan si pemuda ganti pakaian. Sesudah merapikan diri, Kang Han Cing dipersilahkan menghadap Nenek Goa Naga Siluman yang ke 2 kalinya.

Seorang dayang perempuan lain sudah berada di tempat itu dan sedang memberi laporan : “Lapor kepada Sri Ratu, diluar sudah menunggu Coa Khu Po yang hendak minta bertemu.”

Hati Kang Han Cing mencelos, kalau sampai Nenek Ular menghadap Nenek Goa Naga Siluman, bisakah ia menghindari diri dari kesulitan2 itu ?

Ternyata rasa takut Kang Han Cing itu bisa mereda sesudah mendengar putusan Nenek Goa Naga Siluman yang menolak permintaan bertemunya sang dayang lama, katanya : “Katakan kepada Coa Khu Po, aku masih ada tamu. Tunggulah sebentar.”

Dayang istana itu mengundurkan diri. Nenek Goa Naga Siluman menggapaikan tangan, ia menggunakan tangan kiri karena tangan kanannya sudah Masuk Api, karena terluka dibawah tangan kedua orang tua Tong Jie Peng.

“Anak muda,” katanya. “Duduk disini. Banyak yang hendak kutanyakan kepadamu.”

Kang Han Cing duduk di tempat yang sudah ditunjuk.

“Anak muda,” bertanya lagi Nenek Goa Naga Siluman. “Berapa umurmu?”

“Boanpwe 19 tahun.”

“Hee….Co Hui Hee berumur 20, lebih besar 1 tahun. Dan Sun Hui Eng 18, satu tahun lebih kecil dari umurmu.”

Kang Han Cing sulit mengelakkan persoalan yang menyangkut kedua murid nenek itu, ia bungkam.

Nenek Goa Naga Siluman bertanya lagi : “Bagaimana keadaan rumah tanggamu? Siapa2 saja yang masih ada? Berapa saudara?”

“Boanpwe hanya mempunyai seorang saudara tua.”

“Ouw….saudaramu sudah beristri?” “Belum.”

“Dan kau?”

“Umur boanpwe masih terlalu kecil untuk mengikuti persoalan itu.”

“Ouw…..apa sudah ada tunangan.” “Belum.”

“He, he…..syukurlah….syukurlah…..” nenek ini tertawa terkekeh. “Eh, apa kau bersedia belajar silat dariku ?”

“Boanpwe sudah mempunyai guru,” jawab Kang Han Cing. “Tidak baik merubah pintu perguruan. Atas kebaikan hati cianpwe itu boanpwe hanya bisa mengucapkan terima kasih.”

“he, he….memang murid berbakti. Aku tidak memaksa untuk mengganti pintu perguruan, maksudku untuk memberi petunjuk2 penting, mengingat bakat2mu yang memang luar biasa, kalau saja bersedia menetap di tempat ini 2 atau 3 bulan, pasti akan tercipta seorang anak muda tanpa tandingan yang pertama.”

“Sebetulnya tidak baik menolak kebaikan hati cianpwe, tapi…..”

“Eh, Co Hui Hee dan Sun Hui Eng mempunyai kecantikan yang hampir sama, siapa diantara kedua muridku itu yang lebih mencocoki seleramu?”

“Cianpwe salah paham. Sebetulnya perkenalan boanpwe dengan mereka hanya berjalan….”

“Ha, ha……sudahlah…..! aku tahu. Memang jamak kalau lelaki mata keranjang. Yang ini cinta, yang itu sayang. Begini saja kuatur, tinggallah untuk beberapa waktu, per-lahan2, kau bisa memilih satu diantara kedua muridku itu.”

“Cianpwe……” “Tidak perlu diragukan. Mereka mendapatkan didikan langsung dariku. Mungkin seimbang dengan ilmu yang kau miliki. Agar tidak dikatakan aku berat sebelah. Begini saja kuatur. Tidak salah lagi, pilihan mereka tidak salah. Aku bukan ibu kandung mereka, tapi semua kudidik sedari kecil. Hubungan kami lebih erat dari ibu dan anak, anggap saja aku sebagai mertua sendiri. Ha, ha, ha, ha…….”

“Cianpwe……”

“Nah ! kukira cukup sampai disini. Aku hendak menemui Coa Khu Po. Kau boleh mengundurkan diri.”

“Terima kasih.” Kang Han Cing memberi hormat dan meninggalkan tempat itu.

“Tunggu dulu !” tiba2 Nenek Goa Naga Siluman berteriak.

Kang Han Cing hendak cepat2 meninggalkan tempat itu, ingin sekali tidak menggubris panggilan tadi, tapi ia tahu sampai dimana ilmu kepandaian sang Sri Ratu, tindakan itu adalah tindakan berbahaya. Maka dengan amat terpaksa ia balik kembali.

Nenek Goa Naga Siluman mengeluarkan sesuatu, diserahkannya kepada Kang Han Cing dan berkata : “Istana Naga tidak bisa disamakan dengan tempat biasa. Peganglah ini, agar kau bebas dari gangguan2 mereka.” Itulah tanda bebas jalan untuk seluruh Istana Naga, ukiran tulang ikan yang terbuat dari pada batu kumala.

Kang Han Cing menerima hadiah itu, membungkukkan badan dan memberi hormat, demikian ia mengundurkan diri, tidak lupa mengucapkan terima kasihnya.

Nenek Goa Siluman tersenyum puas dan mengoceh seorang diri : “Sungguh anak muda yang tahu diri. Jarang sekali ada pemuda yang hormat seperti ini.”

Lebih daripada jarang, hanya Kang Han Cing seorang yang bisa menemukan pengalaman2 seperti tadi.

Bagaikan orang yang bebas dari vonis hukuman, Kang Han Cing keluar dari kamar semedhi Nenek Goa Naga Siluman. Ia tidak berani melarikan diri, karena mengingat bahaya yang masih mengancam. Berjalan beberapa waktu, memilih lorong2 yang tepat, sesudah jauh, baru ia mengayun langkahnya cepat2. Kali ini ia tidak banyak mendapat kesusahan, menemukan jalan yang benar dan keluar dari lorong tangga undakan batu.

Keluar dari goa rahasia, waktu sudah malam, disana disambut oleh Sun Hui Eng. Dengan kecemasan yang tidak terhingga, si gadis menegur : “Mengapa lama sekali?”

“Aku ditahan oleh gurumu.” Kang Han Cing memberi keterangan. “Heh ?!!” Sun Hui Eng memperhatikan pakaian Kang Han Cing yang sudah ganti pakaian pria, hatinya penuh tanda tanya.

Secara singkat diceritakan pengalamannya yang sesat jalan itu. Dan kini mereka meneruskan pelariannya. Jumlah mereka 4 orang, Sun Hui Eng berhasil melepas Cu Hoay Uh dan Cu Liong Cu.

Keluar dari istana, mereka berlari2 diantara semak2, dengan adanya Sun Hui Eng sebagai petunjuk jalan, mereka tidak banyak mengalami kesulitan. Dikala hendak melewati pos penjagaan si Kepala Keamanan Pang Khong Goan, dengan tenang Sun Hui Eng mendekati tempat itu.

“Siapa?” terdengar suara bentakan Pang Khong Goan.

“Paman Pang, aku !” sahut Sun Hui Eng.

“Oh ! Sam kiongcu, mau kemana ?” bertanya si Kepala Keamanan Tulang Ikan.

“Suhu memberi sesuatu tugas, tolong paman Pang buka pintu.”

“Dan mereka ?”

“Mereka bekas anak buah Perintah Maut, tentu saja turut serta.”

“Sam kiongcu jangan menjadi gusar. Tunggulah sebentar. Biar kuhubungi Kepala Istana Kui Ku Po.”

“Mengapa harus menunggu Kui Ku Po? Tugas ini sangat penting, tahu?” “Eh, tidak percaya? Hayo ikut kepada suhuku.” Sun Hui Eng mulai cemas, ia berlagak galak.

Disebutnya tanda Tulang Ikan membuat hati Kang Han Cing tergerak, ia turut bicara : “Sam kiongcu, apa perlu memperlihatkan tanda Tulang Ikan?”

Sun Hui Eng tidak menyangka kalau Kang Han Cing memiliki pas jalan Istana Naga, sangkanya hanya gertak sambel saja, karena itu ia berkata : “Tugas kita harus dirahasiakan. Mengapa harus memperlihatkan tanda Tulang Ikan?”

“Paman Pang bukan orang luar.” Berkata Kang Han Cing. “Tidak ada salahnya kalau memperlihatkan tanda Tulang Ikan kepadanya. Nah! Tanda Tulang Ikan berada disini, lekas buka pintu !”

Betul2 Kang Han Cing memperlihatkan tanda Tulang Ikan yang didapat dari Nenek Goa Naga Siluman.

Mengenali kepada tanda kebesaran itu, Pang Khong Goan memberi perintah kepada orang2nya untuk membuka pintu gerbang.

Disaat ini terdengar suara lonceng bahaya dibunyikan !

Dua orang berbaju hitam yang membuka pintu gerbang menjadi ragu2, sebelum mereka sempat menutup pintu kembali, Sun Hui Eng dkk sudah bergerak cepat mencelat dari sela2 pintu gerbang itu. Pang Khong Goan menerima code tanda bahaya, wajahnya berubah, melihat kelakuan Sun Hui Eng dkk yang mencurigakan, ia turut mengejar.

“Sam kiongcu,” teriaknya. “Tunggu dulu !”

Cu Hoay Uh berada di paling belakang, mengetahui datangnya bahaya pengejaran, ia mengebutkan lengan baju. “Tidak perlu menyusahkan diri,” katanya. “Kami bisa berjalan sendiri.”

Sepintas lalu kebutan Cu Hoay Uh itu hanya kebutan biasa saja, kenyataannya mengandung satu kekuatan besar yang tidak tampak. Menyerang Pang Khong Goan.

Sebagai Kepala Keamanan Gunung Tulang Ikan, Pang Khong Goan tidak mudah ditipu mentah2, ia bisa melihat gelagat yang kurang baik, cepat2 mengerahkan tenaga dalam, memukul kebutan si Kakek Beracun.

Terjadi benturan tenaga, tubuh Pang Khong Goan terpental balik. Disaat itu, ia melihat orang2nya yang hendak mengejar, maka berteriak memberi peringatan : “Awas, pukulannya yang beracun!”

Ternyata Cu Hoay Uh memberi sedikit permainannya, membuat Pang Khong Goan keracunan, karena itu si Kepala Keamanan tidak bisa meneruskan pengejarannya, ia harus duduk bersila, mendesak keluar benih2 racun yang memasuki tubuhnya. Cu Hoay Uh, Cu Liong Cu, Kang Han Cing dan Sun Hui Eng melarikan diri. Mereka di-kejar2 oleh 16 orang Pang Khong Goan. Beruntung mendapat peringatan si Kepala Keamanan, 16 pengawal keamanan itu tidak berani mengejar terlalu dekat, takut kalau kena racun lagi.

Keadaan yang seperti inipun sudah sangat menyulitkan Sun Hui Eng dkk, mereka tidak bisa membebaskan diri dari pengejaran orang2 itu.

Sun Hui Eng memandang Kang Han Cing bertiga. “Kalian lari dahulu, biar kuhadapi mereka itu.” Katanya sambil menunggu para pengejar2nya.

16 orang pengawal keamanan mengurung gadis itu. Sun Hui Eng memperhatikan mereka, satu persatu ditatapnya dalam2, kemudian memandang seorang yang menjadi pemimpinnya seraya membentak : “An Kie To, apa maumu?”

“Hamba hanya mendapat perintah,” jawab orang yang dipanggil An Kie To itu.

“Kau berani?” bentak Sun Hui Eng.

“Sam kiongcu, kembalilah ber-sama2 kami,” berkata An Kie To merendah.

“Tutup mulut !” bentak Sun Hui Eng. “Seperti inikah kau bicara denganku ?”

“Sam kiongcu……”

Sedang mereka adu mulut tidak ada habisnya, dari jauh terdengar satu suara teriakan nyaring: “Tangkap! Tangkap Sam kiongcu yang mau kawin lari !” Itulah suara Go kiongcu Co Hui Hee !

Wajah Sun Hui Eng berubah, meninggalkan rombongan An Kie To, mengejar ke arah larinya Kang Han Cing. Sebentar kemudian mereka berkumpul kembali. Tetap dikejar oleh 16 orang anak buah Pang Khong Goan.

Dengan adanya pembuntutan2 yang seperti itu, tentu saja sangat memudahkan pengejaran pihak Ngo hong bun. Sebentar kemudian, Co Hui Hee berhasil menyusul tiba, dengan disertai oleh seorang nenek gemuk, inilah kepala istana Naga Kui Ku Po. Dibelakang mereka turut juga si Nenek Ular Coa Khu Po.

“Tangkap perawan lari ! Tangkap perawan melarikan laki2 !” teriak Co Hui Hee tidak berhenti.

Sun Hui Eng mendelikkan mata. ”Go sumoay,” tegurnya. “Apa kau tidak bisa menggunakan mulut yang lebih bersih?”

“Mau apa?” rasa cemburu Co Hui Hee bertambah besar, manakala melihat Kang Han Cing yang mendampingi dan merapat disebelah sang sucie.

“Go kiongcu,” mengetengahi nenek bunga Kui Ku Po. “Sam kiongcu, kalian tidak usah bertengkar mulut. Sri Ratu sudah tahu urusan ini, lebih baik kalian balik kembali. Biar Sri Ratu yang memberi putusan.”

“Aku tidak mau kembali,” teriak Sun Hui Eng. “Sam kiongcu…….” “Bibi Kui Ku Po,” berkata Sun Hui Eng dengan airmata bercucuran. “Baiklah. Aku bersedia kembali, asalkan kalian bersedia membebaskan mereka.”

“Itu tidak mungkin.” Kui Ku Po menolak. “Perintah Sri Ratu belum pernah dibantah ! Orang yang dikehendaki adalah pemuda she Kang itu.”

“Aku disini,” teriak Kang Han Cing. “Mau apa?” “Han   Cing,”   Sun   Hui   Eng   menubruk   dan

mendekap dada si pemuda. “Jangan kau turut

campur. Pergilah segera. Biar aku turut dengannya. Didepan suhu, ia bisa membela diriku. Legakanlah hatimu.”

Melihat mereka bermesra-mesraan, Co Hui Hee meludah : “Cih ! tidak tahu malu. Pacar2anpun harus memilih tempat dahulu.”

Kakek Beracun Cu Hoay Uh tampil kedepan, ia berteriak keras : “Cukup ! siapapun tidak perlu berdebat. Apa yang kalian kehendaki? Aku Kakek Beracun tidak akan tinggal diam.”

“Cu Hoay Uh !” bentak Kui Ku Po. “Bukankah kau hendak menemui Sri Ratu? Kini beliau sudah selesai bersemedhi, mengapa kau sudah tidak ingin menemuinya lagi?”

“Tidak perlu,” Cu Hoay Uh sudah siap sedia. “Aku sudah berhasil menemukan putriku, kini hendak pulang dahulu.”

Memandang kearah Kang Han Cing dan Sun Hui Eng, si kakek berkata : “Mari kita pulang. Siapa yang berani menghadang peryalanan, dia akan belajar dengan permainan2 racunku.”

“Masih mau lari?” Co Hui Hee menyelak diantara rombongan orang2 itu.

“Go kiongcu,” Cu Hoay Uh memberi peringatan. “Kalian saudara seperguruan janganlah berlaku kelewatan.”

“Huh ! Siapa yang sudi menjadi saudara seperguruannya orang yang sudah gila laki?”

“Go sumoay…..” “Apa ? Apa salah ?”

Lagi2 Cu Hoay Uh menyelak ditengah, mendorong Sun Hui Eng dan berkata : “Berangkatlah dahulu.”

Dihadapinya Co Hui Hee dan berkata : “Go kiongcu, jangan katakan aku tidak mengenal budi.”

Lagi2 ia mengibaskan lengannya, memaksa Co Hui Hee pergi dari tengah jalan.

Satu kali letikan badan, Co Hui Hee belum mau menyerah, itu waktu Sun Hui Eng dan Cu Liong Cu sudah lari jauh, para anak buah Pang Khong Goan hanya berdiri mematung, tidak membuat pencegatan. Hal ini membuat ia naik darah dan memaki kepada orang2 itu : “Hei, apa kalian sudah menjadi mayat hidup? Mengapa tidak berusaha menahan larinya mereka?”

Cu Liong Cu tersenyum kecil. “Tepat !” sambungnya. “Mereka sudah menjadi mayat2, tapi bukan mayat hidup. Mereka sudah menjadi mayat mati.”

Satu kali sapuan tangan, 8 pengawal keamanan Gunung Tulang Ikan jatuh roboh. Mereka terkena racun si gadis.

Di pihak lain, Nenek Ular Coa Khu Po menerjang Kang Han Cing. “Kembalikan Ular Lindungku !” teriaknya penasaran.

Benturan tidak bisa dielakkan, tubuh Coa Khu Po terbanting jatuh, manakala membentur kekuatan Kang Han Cing yang luar biasa.

Kang Han Cing tertawa mengejek, memperhatikan keadaan nenek itu, ia masih siap menerima serangan2 berikutnya.

Coa Khu Po berusaha bangkit kembali, sepasang matanya yang sipit dikernyitkan, dengan kebencian yang tidak terhingga, ia bekoar : “Kau berani, he? Nah, rasakan kehebatan si Nenek Ular.”

Ia sudah mencopot sepasang ‘Gelang jambrut’nya, dilempar kearah si pemuda.

Sun Hui Eng berteriak : “Han Cing, awas ular beracun!”

Sudah terlambat ! kedua ular itu melingkar seperti gelang, dari kiri dan kanan, meluncur ke arah si pemuda. Kang Han Cing masih menganggap sebagai senjata rahasia biasa, dengan satu kali sawut, kedua ‘Gelang’ itu sudah berada didalam genggamannya.

Semua orang akan tertipu, Kang Han Cing tidak terkecuali ! Begitu miripnya ular jambrut itu tidak seorangpun yang akan menduga, termasuk pemuda kita, terpeganglah segera. Kini dua ekor ular itu menggunakan taringnya, menggigit pergelangan tangan Kang Han Cing, menyantel dan menggantung.

Tradisi lamanya, orang yang terpagut ular jambrut terkena keracunan, ular itu tidak akan lepas sebelum orang yang digigit mati biru.

Menyimpang dari tradisi2 itu, sepasang ular jambrut yang memagut pergelangan tangan Kang Han Cing kelojotan, bagaikan menggigit besi panas, cepat2 melepaskan taring mereka.

Terlalu lambat untuk diceritakan, disaat Kang Han Cing terjengkit karena gigitan ular2 itu, ia sadar kalau dirinya sudah tertipu, secepat itu mengeraskan pegangannya, ditariknya kekiri dan kekanan, kedua ekor ular itu terpotong menjadi empat bagian. Dilemparkannya bangkai2 ular dan berteriak : “Nenek jahat, hayo ! senjata aneh apa lagi yang kau miliki? Keluarkan semua!”

Mulut Coa Khu Po melompong lebar2 menyaksikan keadaan itu, hatinya terasa menjadi sedih, mengingat kedua ular kesayangannya itu dipotongi orang. Sepasang matanya menjadi liar, dengan geram berteriak : “Aaaa……aku lupa kalau kau sudah minum darah Ular Lindung.”

“Apa? Aku minum darah ular?”

“Belagak tolol ! Ular Lindung yang sudah kutungkuli selama 30 tahun di dalam kolam rahasia menjadi korbanmu. Huh ! Lekas kembali menemui Sri Ratu.” Co Hui Hee pernah melihat adanya ruang rahasia di bawah tanah dari bangunan ular. Itu waktu ia tidak sempat mendapat keterangan yang lebih jelas, dengan heran ia mengajukan pertanyaan : “Eh, bibi ular, kau memelihara Ular Lindung dibawah ruang rahasia? Apakah kegunaan Ular Lindung itu?”

“Untuk menyembuhkan dan mengembalikan lengan kanan suhumu,” berkata Coa Khu Po. “Tapi dicolong oleh anak muda ini, menjengkelkan tidak?”

Dihadapinya lagi Kang Han Cing dan membentak : “Hayo ! Lekas kembalikan darah Ular Lindung itu. Kau boleh memberi keterangan kepada Sri Ratu.”

Kang Han Cing baru mengerti apa yang telah menimpa dirinya, sehingga merasakan sesuatu yang lain, pantas saja tenaganya bertambah, ternyata ia sudah meminum darah Ular Lindung, sambil tertawa ia berkata : “Baru saja aku dari Nenek Goa Naga Siluman.”

“Huh ! Jangan kurang ajar.”

“Apa yang kurang ajar? Aku memang sudah bertemu dengan Nenek Goa Naga Siluman.”

“Sri Ratu ! Gitu !”

“Baik. Aku sudah menemui Sri Ratu,” berkata Kang Han Cing. “Dan diapun menghadiahkan tanda bebas jalan Tulang Ikan yang terbuat dari batu kemala.” “Itu waktu beliau tidak tahu kalau kau sudah merampas darah Ular Lindungnya.”

“Sesudah tahu, bagaimana?” “Minta ganti rugi.”

“Bagaimana harus memberi ganti kerugiannya?” “Serahkan darahmu !”

“Mana bisa? Aku mati, bukan?”

“Jangan banyak rewel. Lekas ikut pulang ke Istana Naga !”

“Silahkan coba bila kau mampu mengalahkan diriku.” Berkata Kang Han Cing menantang.

Coa Khu Po sudah mengeluarkan ban pinggang, juga berupa ular beracun yang mempunyai kulit keras, kebal senjata, dilayangkannya ke arah si pemuda, dengan satu gerakan silat.

Kang Han Cing sudah mengeluarkan pedang lemas, dipapaskan kearah datangnya serangan itu. Passs……ular kuat Coa Khu Po terpapas putus.

Mata si Nenek Ular semakin liar. Kui Ku Po berteriak : “Cicie, serahkan kepadaku.”

Didalam keadaan seperti itu, permainan Coa Khu Po sudah kehabisan. Ia menang di bidang racun2an, teristimewa meminta bantuan ular2nya, kini ular beracun tidak mempan, karena Kang Han Cing sudah meminum darah Ular Lindung. Ular kuat yang digunakan sebagai senjatanya tidak guna, karena Kang Han Cing mempunyai pedang pusaka, kecuali menyerahkan sang lawan kepada Kui Ku Po, memang tidak ada jalan lain. Karena itu ia mengundurkan diri.

Kui Ku Po menggantikan kedudukan Coa Khu Po, menghadapi Kang Han Cing yang selalu siap tempur. Ilmu kebanggaan Kui Ku Po bernama Ilmu Pukulan Angin Kiu-coan-ciang, istimewanya bisa menggempur lebih dari satu kali, mudah menghancurkan isi dalam lawan. Kini digunakan memukul si pemuda.

Kang Han Cing menyimpan kembali pedang pusaka, dilipat dipinggang. Menghadapi Kui Ku Po yang bertangan kosong, ia juga siap dengan telapak tangannya. Terdengar beradunya kedua pukulan, masing2 tidak dapat mempertahankan kedudukan semula.

Kui Ku Po menatap lawannya beberapa saat, ia mendapatkan anak muda itu tidak menderita kerugian sesuatu apa. “Bagus,” geramnya. “Terima lagi sekali pukulanku ini.”

Tubuhnya berputar sebentar, dan Kui Ku Po melaksanakan ancamannya.

Kang Han Cing memanjangkan tangan, dengan jurus Pendekar Bambu Kuning yang bernama Ciang-liong-cut-hay, siap menerima pukulan Kui Ku Po.

Pukulan kedua Kui Ku Po yang sudah mendapat persiapan matang, kekuatannya bisa membelah perut gajah. Didalam anggapannya, pukulan ini bisa menghancurkan Kang Han Cing, se-tidak2nya membuat pemuda itu jatuh ngeloso. Mengingat rahasia simpanan pukulan angin Kiu-coan-ciang, anggapan Kui Ku Po memang masuk diakal. Mana disangka kalau Kang Han Cing menghadapinya dengan tipu Ciang-liong-cut- hay, perlawanan yang menjadi momok dari segala macam pukulan magic hitam.

Sebelumnya Kang Han Cing sudah menyedot napasnya dalam2, maka sesudah terdengar bunyi benturan tenaga, kedudukannya tidak tergoyah lagi.

Hal ini membuat Kui Ku Po meng-garuk2 kepala, kalau didalam tahap pertama ia berhasil menggeser kedudukan bhesi si pemuda, mengapa pukulan kedua ini tidak membawa hasil yang diharapkan? Sedang ia tahu betul kalau pukulan tenaga kedua tadi dikerahkan lebih besar dari tenaga pukulan pertama. Mungkinkah bisa terjadi sesuatu, didalam sekejap mata Kang Han Cing menerima tambahan tenaga baru?

Kui Ku Po mana bisa mengerti, apa hasil ramuan darah Ular Lindung yang mendapat bantuan obat Thian-kie-in-kang-tan, semakin besar datangnya serangan semakin besar pula tenaga simpanan yang berada di dalam gudang urat. Dengan cara pukulan Kui Ku Po yang menggunakan tenaga secara bertahap, secara tidak langsung membangkitkan tenaga listrik raksasa Kang Han Cing yang tersimpan.

Kalau gebrakan pertama menghasilkan kesudahan remis, gebrakan2 berikutnya tidak menguntungkan Kui Ku Po, semakin lama tampak Kang Han Cing yang semakin gagah, tentu saja kebalikan dari pada itu, si Nenek Bunga yang menyadi payah.

Beberapa kali lagi benturan, tubuh Nenek Bunga Kui Ku Po terpental ke belakang, tentu saja ia tidak tahan menerima kekuatan Kang Han Cing yang sudah bertambah berlipat ganda.

Co Hui Hee turun ke gelanggang, dihadapinya Kang Han Cing dengan tipu2 Tiga Pukulan Burung Maut.

Ganti lawan ! Kini Kang Han Cing menghadapi Co Hui Hee !

Menghadapi permainan2 ini, Kang Han Cing sudah apal, maka pertempuran berjalan seimbang.

Dilain pihak, Pang Khong Goan sedang menempur Kakek Beracun Cu Hoay Uh, ia mengejek sang lawan, dikatakan hanya pandai menggunakan racun2an dan tidak mempunyai kepandaian asli. Hal ini membuat Cu Hoay Uh naik darah, diterimanya tantangan perang tanpa racun2an, dan ternyata mereka sama kuat, sama ulet.

Cu Hoay Uh berjanji didalam 100 gebrakan, ia tidak akan menggunakan racun dan pasti bisa mengalahkan Pang Khong Goan.

Pang Khong Goan juga berjanji didalam waktu

100 jurus itu, ia akan mengalahkan si Kakek Beracun tanpa bantuan orang. Ia rela menyerahkan batok kepala, kalau tidak bisa melaksanakan janji itu.

Demikian pertempuran berjalan sengit. Cu Liong Cu berhasil mengajak Sun Hui Eng menerobos kurungannya orang2 Istana Naga. Tapi mereka masih mengkhawatirkan keselamatan Kang Han Cing.

Kalau Kang Han Cing bisa mengalahkan Coa Khu Po dan Kui Ku Po, mengapa tidak bisa mengalahkan Co Hui Hee? Ya ! seharusnya Co Hui Hee tidak bisa berbuat banyak, mengingat ilmu kepandaian Go kiongcu yang masih berada dibawah jago muda kita. Lain lagi kesudahannya, sesudah Tong Jie Peng memberi ilmu pelajaran hebat dari pulau Tong-hay, kini kita lihat si gadis menggerakkan jari2nya, dengan cara2 yang belum lama dipelajari, tanpa bisa dielakkan, tubuh Kang Han Cing terpental jauh, dengan sebelah tangan mati sebelah.

“Aaaa…..” Co Hui Hee mengeluarkan jeritan tertahan. Cepat2 ia menubruk kearah pemuda yang dicintainya.

Disaat yang sama melihat Co Hui Hee berhasil merobohkan Kang Han Cing, kedua nenek tua, Coa Khu Po dan Kui Ku Po menubruk ke arah si pemuda.

Cu Liong Cu tidak mau ketinggalan, mengikuti jejak Sun Hui Eng, juga siap membantu Kang Han Cing.

Yang datang paling dahulu adalah Coa Khu Po dan Kui Ku Po, mereka menerkam Kang Han Cing. Jago muda kita sudah tidak bisa menggerakkan tangan kanan, tapi sebelah tangan pun cukup mengelakkan sergapan kedua nenek tua itu, satu persatu dibuat terpental jauh. Ber-sama2 dengan Cu Liong Cu dan Sun Hui Eng, dibawah apitannya kedua gadis itu, mereka melarikan diri.

“Ayah !” Cu Liong Cu meneriaki si Kakek Beracun. “Lekas selesaikan pertempuran itu.”

Tentu saja kalau Cu Hoay Uh mau, ia bisa cepat2 melepaskan gas beracun untuk menyelesaikan pertempurannya dengan Pang Khong Goan, tapi itu melanggar peraturan dan menyimpang dari janjinya yang masih mampu mengalahkan lawan tanpa bantuan racun2an.

“Sebentar lagi,” ia meneriaki putrinya.

“Keadaan Jie kongcu sudah tidak mengijinkan kita lama2 berada di tempat ini.” Berkata Cu Liong Cu.

Ya ! Kang Han Cing sudah kehilangan kekuatan tempurnya !

Cu Hoay Uh menahan satu serangan Pang Khong Goan, sesudah itu ia berteriak : “Tahan !”

“Masih ada tiga jurus lagi !” berkata Kepala Keamanan Gunung Tulang Ikan yang masih penasaran. “Tidak mungkin.”

Mungkin atau tidak, si Kakek Beracun sudah bertekad meninggalkan lawannya, karena itu tanpa memperdulikan janjinya yang bersedia melayani sampai 100 jurus, tubuh Cu Hoay Uh melejit, meninggalkan lawannya, siap menggabungkan diri bersama2 Sun Hui Eng dkk. “Jangan lari !” Pang Khong Goan berteriak dan mengejar. “Lanjutkan dahulu sisa 3 jurus yang belum selesai itu.”

Ternyata mereka sudah bergebrak sebanyak 97 ronde.

“Sisa tiga jurus ini biar dilanjutkan lain kali saja.” Cu Hoay Uh tertawa dan tetap berlari.

“Tidak mungkin,” Pang Khong Goan tidak setuju, dengan tinjunya yang keras, ia mengejar dan mengirim pukulan.

“Ha, ha……” Cu Hoay Uh tertawa. Tangannya terayun ke belakang, dari sana mengepul asap berwarna hitam, sebentar kemudian asap itu berkembang biak, menutup semua pemandangan.

Pang Khong Goan dkk menahan kaki mereka, mana mungkin kalau asap hitam si Kakek Beracun tidak disertai kombinasi istimewa? Terhentilah pengejaran itu.

Tidak henti2nya Cu Hoay Uh melepas asap hitam, menggabungkan diri dengan Cu Liong Cu, Sun Hui Eng dan Kang Han Cing, mereka meninggalkan gunung Tulang Ikan.

Asap yang dilepas oleh si Kakek Beracun mana mungkin bisa disamakan dengan asap biasa ! tidak seorangpun dari pihak Ngo hong bun yang berani mengejar. Dengan cara demikian, Kang Han Cing dkk bebas meninggalkan Istana Naga.

(Bersambung 25)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar