Pendekar Tanpa Tandingan Jilid 11 (Tamat)

 
Jilid 11 (Tamat)

Yang Hoa memandang calon suaminya, bibirnya yang merah dan mungil itu tampak bergerak-gerak hendak berkata, tetapi didahului oleh ucapan Li Kay.

“Souw sicu, biarlah kami berlima melayani dulu lihiap yang galak ini dan kuminta dengan hormat supaya kau mundur dulu!”

Bun Liong merasa serba salah. Kalau ia mundur, ia sangat menguatirkan keselamatan calon isterinya karena betapa pun juga ia merasa kurang yakin bahwa nona itu akan dapat menandingi Shan-tung-ngo-hiap itu.

Masih mending kalau si nona kalah tanpa mendapat celaka. Tapi akan celakalah kalau si nona itu sampai melukai ke lima orang itu dan kalau hal ini terjadi, maka berarti tertanam bibit permusuhan dengan mereka!

Sebaliknya kalau ia tidak mundur, ia akan dianggap tidak berterima kasih oleh calon isterinya yang sudah demikian baiknya dengan memberi kesempatan kepadanya supaya ia memperhatikan jalan dan gaya ilmu silat bintang lima itu, agar nanti dengan mudah ia menghadapinya. Selagi ia masih bimbang dan belum memperoleh keputusan, ia mendengar ucapan Yang Hoa yang berkata dengan nada tidak sabar:

“Liong-ko, mengapa kau masih tegak seperti patung saja? Keberatankah hatimu kalau aku hendak menambah pelajaran dan pengalaman?!”

Bun Liong menghela napas, ia menyesali adat calon isterinya yang seperti batu, tapi disamping itu ia merasa kagum akan sikap si nona yang gagah itu. Maka setelah memesan; “Yang-moay, hati- hatilah kau……!” mau tak mau ia lalu mundur meninggalkan kalangan dan menonton dengan berdebar-debar.

“Nah, mulailah…….!” bentak si nona kemudian dan tiba-tiba pedangnya berkelebat menyambar ke arah leher Lo Kin karena selain orang ini berada paling dekat di depannya, juga Yang Hoa merasa marah sekali terhadap orang ini.

Lo Kin berkelit ke samping dan Yang Hoa merasa aneh karena orang yang diserangnya itu tidak mempergunakan goloknya menangkis dan selagi ia merasa keheranan ini, tahu-tahu pedangnya ditangkis oleh senjata rantai yang diayunkan Li Kay. “Nona, sabar dulu!” kata kepala Shan-tung-ngo-hiap itu, “Kita belum mengadakan perjanjian.”

Yang Hoa menarik pedangnya dan balas menanya: “Perjanjian apakah…..?” Irama katanya terdengar ketus sekali.

“Kita harus mengadakan perjanjian dulu. Kami berlima akan mengeroyokmu dan kita bermain-main selama seratus jurus! Ketentuannya ialah, kalau sebelum seratus jurus kau sudah kami robohkan, berarti kau kalah dan sebaliknya kami berarti kalah bilamana kau dapat membobolkan kepungan ilmu silat Bintang Lima yang kami mainkan. Setuju ?”

Tanpa banyak pikir, Yang Hoa menyahut: “Setuju!”

“Nah, mari kita mulailah!” seru Li Kay dan tiba-tiba rantainya disabetkan ke arah si nona.

Yang Hoa cepat menangkis dengan pedangnya. Akan tetapi berbareng dengan gerakannya ini tiba-tiba golok tipis di tangan Lo Kin telah menyambar ke arah kakinya dan pada saat itu pula tongkat Lim Cu, orang ke tiga dari Lima Pendekar Shan-tung yang berpakaian seperti pengemis itu, sudah hendak menotok lambungnya. Yang Hoa terkejut dan ia dapat menangkis golok Lo Kin, sedangkan tongkat Lim Cu ia kelit dengan mempergunakan gin- kangnya. Akan tetapi baru saja kedua serangan dapat ia patahkan, dari arah belakangnya tiba-tiba senjata kampak dari Ho Kun membacok pinggangnya, Ho Kim menyerampang kakinya dengan tombaknya panjang dan dari samping kanan rantai Li Kay sudah meluncur dengan gerakan hendak membela lehernya!

Kewaspadaan dan kecepatan gerakan Yang Hoa sungguh mengagumkan karena dengan tangkas dan terampil ia dapat mematahkan lagi tiga macam serangan yang dilakukan oleh tiga lawan dan datangnya dari tiga jurusan ini.

Kampak Ho Kun ia tangkis dengan pedangnya, dan kaki kanannya menendang batang tombak Ho Kim. Rantai dari Li Kay yang hendak membelit lehernya tadi ia kelitkan dengan sedikit membungkukkan punggung.

Dan dengan gerakan yang luar biasa cepatnya ia balas menyerang, pedangnya berkelebat mengarah pundak Lo Kin! Akan tetapi sekali lagi Yang Hoa merasa heran karena yang diserang hanya berkelit saja tanpa menangkis atau balas menyerang, sedangkan yang menangkis pedangnya adalah tongkat Lim Cu si pengemis dari samping kirinya dan ketika itu ia sudah diserang pula oleh kampak dan tombak dari Ho Kun dan Ho Kim dari lain jurusan!

Sadarlah Yang Hoa bahwa ke lima lawannya itu melakukan serangan secara teratur dan berantai. Hal ini mengingatkannya pada pertempuran dengan lima perampok anak buah Houw-jiauw Lo Ban Kui yang mengeroyoknya dengan ilmu silat Ngo-heng-tin, yang mempunyai dasar yang hampir serupa yaitu apabila yang seorang diserang, yang lain menangkis dan tiga orang lainnya penyerangan lawan jadi tiada putusnya!

Mereka mengurung dari lima sudut dan kedudukan mereka selalu berobah-obah. Li Kay bertindak sebagai komando.

Yang Hoa segera melihat bahwa Ngo-seng-kun ini daya tempurnya tidak banyak berbeda dengan Ngo-heng-tin. Hanya tentu saja daya kepung dan gempur yang dilakukan oleh Lima Pendekar Shan- tung ini jauh lebih hebat, apalagi senjata-senjata mereka beraneka macam sehingga Yang Hoa benar-benar merasa tidak mudah untuk melayani dengan hanya sebatang pedang.

Akan tetapi Yang Hoa adalah seorang dara pendekar yang pantang mundur sebelum mendapat kekalahan yang mutlak. Biarpun ia sudah merasa repot sekali menghadapi keroyokan mereka, dan biarpun ia yakin takkan menang, namun sambil menggertak gigi ia mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk terus bertahan dan ia selalu berusaha untuk membobolkan kurungan sebelum sampai seratus jurus!

Lima perampok yang mengeroyok dengan Ngo-heng-tin tempo hari, Yang Hoa dapat mengalahkannya dengan jalan menyerangnya secara menggelap, yaitu dengan mempergunakan senjata rahasia. Akan tetapi terhadap Shan-tung-ngo-hiap ini tentu saja ia tidak berani berbuat licik dengan mempergunakan senjata piauwnya karena mereka bukan musuh-musuh yang harus dibasmi, melainkan justeru merupakan lawan-lawan yang bermaksud saling menguji kepandaian, sehingga betapapun juga ia harus menghadapinya secara jujur!

Pertempuran baru saja berlangsung empatpuluh jurus dan Yang Hoa sudah merasa kewalahan sekali. Ia terus dihujani senjata- senjata dari ke lima lawannya sehingga jangankan mempunyai kesempatan untuk balas menyerang, untuk menjaga diri saja ia sudah sangat ripuh!

Dan begitulah, ketika menjelang jurus yang kelimapuluh, tiba-tiba senjata rantai Li Kay telah meluncur dan membelit ke dua kakinya. Yang Hoa menggerakkan pedangnya menyabet ke arah rantai, tetapi golok Lo Kin menangkis pedangnya itu dan tongkat Lim Cu sudah menyamber menotok iganya.

Dan ketika Li Kay membetot rantainya sambil berseru keras, maka tak dapat dicegah lagi tubuh Yang Hoa terguling dan pedangnya terlepas dari pegangan!

“Hahaha! Nona manis, baru bertempur setengah jalan saja kau sudah bertiduran di tanah! Bangkitlah dan aku anjurkan supaya kau belajar lagi ilmu silat sedikitnya sepuluh tahun!” seru Lo Kin mencemoohkan.

Dengan wajah merah Yang Hoa bangkit dan mengambil pedangnya, kemudian ia menghampiri Bun Liong yang berdiri di luar kalangan. Bun Liong merasa lega karena biarpun Lima Pendekar Shan-tung itu kelihatan kasar-kasar, tapi mereka ternyata berlaku jujur, merobohkan Yang Hoa tanpa melukainya!

Sementara itu terdengar Li Kay mengajukan tantangan: “Souw sicu, kemarilah! Sekarang, giliranmu…….!!”

Bun Liong menghampiri dengan langkah tenang dan bertanya: “Perjanjian apakah yang kini berlaku bagiku?” “Dengan Ngo-seng-kun kau akan kami uji selama limapuluh jurus!” sahut Li Kay dan cerdik. Ia sengaja memperpendek waktu pertempuran karena maklum akan kelihayan pemuda itu.

“Baik! Sebagai tuan rumah, aku terima kehendakmu. Nah, mulailah…..!”

Shan-tung-ngo-hiap memang sudah bersiap, maka sekali saja Li Kay yang bertindak selaku komando memberi tanda, serempak mereka melakukan serangan terhadap Bun Liong yang sudah dikepung ditengah-tengah mereka!

Ternyata Lima Pendekar Shan-tung sekarang menghadapi pemuda itu gaya serangnya tidak dimulai dari jurus permulaan seperti mereka lakukan terhadap Yang Hoa tadi, melainkan mereka mulai dengan jurus yang kelimapuluh satu. Jadi jurus selanjutnya dari taktik tempur tadi!

Tentu saja siasat cerdik ini sama sekali diluar dugaan Yang Hoa dan Bun Liong sendiri. Sehingga diam-diam Yang Hoa yang menyaksikannya jadi mengeluh, kiranya sia-sia saja ia cape-cape bertempur tadi untuk memberi “contoh” pada calon suaminya!

Bun Liong juga merasa terkejut dan ia jadi maklum bahwa Shan- tung-ngo-hiap ini agaknya sudah mengetahui apa yang disiasatkan oleh calon isterinya tadi. Tadinya Bun Liong bermaksud hendak melayani mereka dengan bertangan kosong saja, akan tetapi setelah mengetahui bahwa Shan-tung-ngo-hiap itu bersiasat cerdik sehingga ia merasa kalau dengan bertangan kosong saja tak mungkin dapat menang, maka cepat ia merenggut tali di pinggangnya dan pada detik berikutnya senjata cambuknya sudah berada di tangan!

Akan tetapi seperti biasa kalau ia menghadapi pertempuran tidak segera balas menyerang, hanya mengandalkan gin-kangnya mengelak ke sana ke mari sambil memperhatikan perkembangan taktik gempur dari ke lima lawannya. Maklum bahwa lima lawannya melancarkan serangan-serangan secara dahsyat dan bertubi-tubi, maka untuk “mengocok” lima lawannya karena mereka hendak merobohkannya dalam waktu sesingkat mungkin.

Bun Liong memainkan ilmu silat Sin-wan Kun-hoat dicampur dengan Pat-kwa Kun-hoat. Sin-wan Kun-hoat membuat gerakannya selincah seekor lutung, sedangkan gerakan-gerakan atau langkah-langkah kakinya disesuaikan dengan kedudukan pat- kwa (segi delapan), dan akibatnya ternyata hebat sekali!

Kelima orang Shan-tung itu terkejut sekali dan kagum akan kehebatan ilmu gin-kang pemuda itu. Serangan mereka yang cukup teratur berangsur-angsur menjadi kacau-balau karena mereka seakan-akan melihat pemuda itu menjadi delapan orang yang bergerak-gerak di antara senjata-senjata mereka dengan luar biasa gesitnya!

Bukan mereka berlima yang mengurung, bahkan kini mereka merasa seperti terkurung oleh delapan orang! Nampaknya pemuda itu berada di depan, akan tetapi baru saja mau diserang, yang kelihatan hanya kelebatnya bayangan biru dan tahu-tahu pemuda itu sudah berada di belakang atau disampingnya. Pemuda itu seakan-akan dapat memecahkan dirinya menjadi delapan orang!

Berkali-kali Li Kay berseru memberi komando keoada saudara- saudaranya supaya kepungan dan taktik Ngo-seng-kun tidak sekacau itu. Akan tetapi sia-sia saja karena barisan kepungnya selalu berantakan.

Kini Bun Liong berada di tengah-tengah keroyokan biasa yang kacau balau. Setiap serangan yang dihadapinya hanya mengandalkan kekuatan dan kepandaian para pengeroyok masing-masing. Jauh bedanya dengan penyerangan Ngo-seng- kun yang amat teratur dan kuat seperti yang dihadapi oleh Yang Hoa tadi! “Souw sicu, bukalah mata kami dengan seranganmu!”

Li Kay berkata keras selama ini tidak melihat serangan dari pemuda itu. Ia merasa amat penasaran dan hendak melihat bagaimana hebatnya pemuda itu kalau menyerang.

Sebagai jawabannya, terdengarlah suara lecutan cambuk tiga kali yang disusul oleh teriakan-teriakan tiga orang di antara mereka!

Ternyata Bun Liong telah menggerakkan pecutnya dengan luar biasa. Sekali sapu saja ia telah berhasil merampas tiga macam senjata dari tangan ke tiga lawannya yang dianggapnya paling lemah dengan menggunakan belitan ujung cambuknya!

Ternyata ujung cambuknya yang lihay itu dalam waktu yang sama telah melibat tombak di tangan Ho Kim, kampak Ho Kun dan tongkat Lim Cu. Sekali Bun Liong menyentakkan cambuknya ke atas, senjata yang tiga macam itu terlepas dari pegangan mereka dan diterbangkan ke udara di dalam belitan ujung cambuk itu!

Lim Cu dan si Sepasang saudara kembar she Ho cepat melompat mundur. Dan mereka melihat dengan heran betapa Bun Liong membuat senjata-senjata mereka kini berjatuhan ke bawah dan jatuhnya mengarah kepala Li Kay dan Lo Kin. Dengan kaget kedua orang itu mengelak dan dalam kesempatan ini mereka langsung menyerang pemuda itu. Biarpun senjata tiga kawannya sudah dirampas, itu belum berarti kalah, maka mereka merasa berhak untuk terus menyerang!

Golok Lo Kin membacok ke arah lehernya, sementara rantai Li Kay yang dimainkan oleh tangan kanan dan kirinya disabetkan dengan gerakan menotok ke arah iga dan kaki pemuda itu. Bun Liong menyambut dua serangan ini dengan gerakan cepat. Ia melompat ke samping, lalu kaki kanannya menendang pergelangan tangan Lo Kin yang menyabetkan golok.

Lo Kin cepat menarik tangannya akan tetapi terlambat karena pergerakan hendak menarik tangannya ini, ujung sepatu pemuda itu jadi menghantam jari-jari tangan yang mencekal golok. Golok itu terpental dan terdengar teriakan kesakitan dari Lo Kin yang segera melepaskan goloknya, dan ternyata tulang dari dua buah jari tangannya telah remuk akibat serempetan ujung sepatu Bun Liong.

Karena Bun Liong melakukan tendangan maka otomatis ujung rantai yang mengarah kakinya itu jadi dielakkan. Sedang ujung rantai yang hendak menotok iganya, Bun Liong tangkap dengan tangan kirinya. Li Kay mengerahkan tenaga untuk membetot. Dan untuk sesaat ia dan pemuda itu jadi saling mengadu tenaga lweekang tenaga dalam, saling menarik rantai itu.

Tiba-tiba Bun Liong melepaskan tarikannya dan cambuknya dipecutkan ke arah Li Kay. Dan karena tidak menduga, Li Kay jadi terjengkang sambil berteriak kesakitan karena ia rasakan dadanya sakit dan pedas dihajar cambuk pemuda itu dan baju di bagian dadanya robek pula!

“Maafkan kelancanganku, Shan-tung-ngo-hiap!” kata Bun Liong sambil melompat meninggalkan mereka.

Di bawah suara tempik sorak yang gemuruh Li Kay cepat bangun dari terjengkangnya dan ke lima pendekar dari Shan-tung itu saling berpandangan dengan wajah pucat. Belum pernah mereka mengalami kekalahan yang demikian mutlak dan mereka seakan- akan kurang mempercayai peristiwa yang baru saja mereka alami.

Akan tetapi akhirnya Li Kay menghadap ke arah Bun Liong, sambil tersenyum puas dan menjura, ia berkata:

“Souw sicu, kami benar-benar merasa puas dengan kegagahan dan kelihayanmu, dan sepantasnyalah kalau kau mendapat nama julukan Bu-tek Enghiong. Terima kasih atas pelayananmu dan selamat tinggal…….!”

Melihat mereka memungut senjata-senjata mereka yang terlepas tadi, Cio wan-gwe selaku tuan rumah yang mengadakan pesta itu lalu berkata:

“Ngo-wi (Tuan berlima), jangan tergesa-gesa pergi. Marilah ngo-wi mampir ke pondokku bercakap-cakap sebentar, untuk mempererat tali persahabatan kita!”

Akan tetapi, ke lima orang tersebut sudah tak kelihatan lagi, pergi dengan jalan menyelinap di antara orang banyak.

Gemuruhlah suara orang banyak itu membicarakan kelihayan Souw Bun Liong. Dan sejak hari itu, nama Souw Bun Liong tambah tenar, pemuda ini menjadi pujaan dan kebanggaan seluruh penduduk wilajah Tong-koan dan nama julukan Bu-tek Enghiong, mereka anggap cukup pantas dan sesuai dengan kelihayan pemuda itu!

◄Y►

Setelah keamanan dipulihkan, keadaan kota Tong-koan berangsur-angsur hidup kembali seperti sedia kala. Para saudagar banyak datang dan singgah di kota yang merupakan pintu gerbang antara tiga propinsi ini!

Toko-toko banyak yang sudah dibuka lagi dan hotel-hotel sudah banyak menerima tamu-tamu yang menjadi langganan mereka dahulu! Pendeknya dapat dikatakan bahwa kota Tong-koan yang untuk beberapa waktu mengalami kematian, akhirnya sudah menjadi hidup kembali dengan segala keramaian dan kesibukannya.

Pada suatu hari, dua bulan kemudian sejak pemulihan keamanan, dusun Lo-kee-cun berada dalam suasana gembira, yakni merayakan pemikahan Souw Bun Liong dengan Ho Yang Hoa.

Rumah keluarga Souw itu dihiasi dengan kertas-kertas berwarna, bunga-bunga kertas dan bunga-bunga asli. Semenjak pagi hari para tamu sudah datang berduyun-duyun, ratusan orang jumlahnya.

Sebagaimana kebiasaan dalam setiap pesta yang diadakan orang pada masa itu, ruang bagi para tamu terbagi dalam beberapa bagian. Para pembesar setempat bersama dengan para hartawan sahabat-sahabat Cio wan-gwe, ditempatkan di ruang depan rumah itu yang sudah dirombak sehingga cukup luas, mereka ini disambut oleh Cio wan-gwe sendiri yang bertindak sebagai wakil tuan rumah.

Sedangkan tamu-tamu yang dianggap sebagai “tamu biasa” karena terdiri dari rakyat jelata dan sebagian besar adalah anggauta-anggauta Pauw-an-tui sehingga dianggap sebagai “orang sendiri”, mendapat tempat di halaman depan rumah yang sudah diperlengkapi dengan atap darurat yang khusus dibangun untuk keperluan pesta itu. Dan tamu golongan ini cukup disambut oleh Can Po Goan dan Kwe Bun.

Sepasang pengantin duduk bersanding di ruangan depan di mana tamu-tamu golongan pertama tadi ditempatkan. Sepasang pengantin ini sebentar-sebentar harus berdiri karena harus menyambut dan menerima ucapan selamat dari para tamu yang baru datang.

Pengantin pria yang tampan itu berseri-seri gembira dan bahagia, sedangkan pengantin wanita yang cantik jelita itu lebih sering menundukkan muka karena malu. Disamping mereka, duduk ibu- ibu mereka, yakni nyonya janda Souw dan nyonya janda Ho atau jelasnya Kho In Hoa dan Li Lan Eng. Di sebuah sudut kiri dari tempat duduk mereka, yaitu di pojok ruangan, bertumpuk-tumpuk barang sumbangan memenuhi sebuah meja panjang dan besar. Dan barang-barang hantaran lainnya lagi yang berupa pigura-pigura berisikan lukisan indah atau tulisan “Lian” (semacam sajak yang merupakan doa restu bagi kebahagiaan, kerukunan pengantin) dipajang di dinding ruangan tersebut dan jumlahnya banyak sekali, sehingga merupakan pameran lukisan dan lian!

Di antaranya, ada sebuah yang istimewa dan ukurannya pun paling besar. Yang istimewa ini hanya berupa sekeping papan berukuran besar dan tak beda dengan papan nama toko. Papan besar ini dasarnya dicat merah darah dan berisi empat buah hurup besar berwarna emas yang berbunyi:

Bu-tek-eng-hiong!

Papan ini digantung di atas ambang pintu dan ini adalah hadiah dari Ti-koan kota Tong-koan yang memberi nama julukan pada Bun Liong pada dua bulan yang lalu itu.

Pesta itu berlangsung dengan amat meriah dan ramai. Hidangan- hidangan lezat dikeluarkan dan arak wangi yang mahal dituang ke dalam cawan para tamu berkali-kali sehingga makin lama makin riuhlah gelak tawa para tamu yang sudah mulai mabok!

Pesta pernikahan ini lebih besar dan lebih meriah kalau dibandingkan dengan pesta pernikahan putera tunggal Cio wan- gwe pada dua bulan yang lalu.

Bun Liong dulu tidak pernah mengira bahwa hari pernikahannya bakal dirayakan sedemikian meriah dan royal. Ia sangat berterima kasih kepada Cio wan-gwe karena dialah yang menanggung biaya pesta ini.

Akan tetapi, di antara kemeriahan itu ada hal yang mengecewakan kedua mempelai, yaitu tiada hadirnya guru-guru mereka dalam pesta ini. Beberapa hari sebelumnya, Yang Hoa sudah pergi sendiri ke kuil Thian-an-si untuk memberitahukan tentang pernikahannya kepada Gwat Im Nionio dan mengharapkan kedatangan nikouw itu.

Akan tetapi pendeta wanita itu menyatakan kemenyesalannya karena ia tidak bisa hadir dan hanya memberikan doa restunya saja sehingga nona ini menjadi sedih dan kecewa.

Bun Liong sendiri juga sudah pergi ke gunung Hoa-san dan alangkah besar  hati pemuda itu karena Bu Beng Lojin selain memudji dan kagum akan kelihayan Bun Liong yang sudah dapat memulihkan keamanan sebagaimana yang diharapkannya. Juga ia janji akan turun gunung guna menyaksikan hari pernikahan murid kesayangannya ini.

Akan tetapi, mengapa orang tua sakti itu belum muncul juga? Hari sudah begitu siang. Itulah sebabnya maka di samping kesibukan menerima ucapan selamat dari para tamu, Bun Liong sebentar- sebentar melayangkan pandang ke arah pintu.

Ia sangat mengharapkan kehadiran gurunya. Akan tetapi apa yang diharapkan tak kunjung tiba, bahkan sebaliknya apa yang tidak diharapkan dan di luar dugaan, tiba-tiba terjadi!

Selagi pesta itu sedang dipuncak kemeriahannya, tiba-tiba semua orang dikejutkan oleh suara barang jatuh. Dan ternyata papan yang tergantung di atas ambang pintu, yaitu papan yang berukiran huruf Bu Tek Eng Hiong tadi, telah jatuh dan pecah menjadi beberapa keping! Bahkan kalau Cio wan-gwe yang berdiri di bawahnya tidak cepat mengelak dengan sebuah lompatan, kepalanya tertimpa!

Selagi kekagetan orang belum hilang terdengar ucapan: “O-mi-to- hud…!” dan seiring dengan itu seorang hwesio kepala gundul dan tubuhnya bundar seperti bal karet, telah berdiri di ambang pintu, tepat dihadapan Cio wan-gwe! Semua orang, yaitu para tamu, tercengang melihat kedatangan hwesio gendut yang tiba-tiba ini.

Bun Liong segera bangkit dari tempat duduknya untuk menyambut kedatangan tamu yang tak diundang itu, yang ternyata sudah lama dikenalnya karena hwesio teromok itu adalah si pendeta gadungan Ceng-kin-ciu Ci Lun Hosiang! Akan tetapi sebelum mempelai ini berbuat sesuatu dan baru saja beranjak dari tempat duduknya, tiba-tiba terdengar seruan dari nyonya janda Souw:

“Liong-ji! Itulah ia si hwesio keparat pembunuh ayahmu…….!”

Ci Lun Hosiang ketawa bergelak mendengar ini. “Nyonya, ternyata matamu masih awas dan ingatanmu masih tajam! Memang benar, aku adalah pembunuh suamimu dan sekarang tahukah kau apa maksud kedatanganku ke mari?”

“Maksud kedatanganmu kemari adalah untuk mengantar nyawa, pendeta gadungan!” Bun Liong membentak karena selain ia menyimpan dendam terhadap hwesio atas kematian ayahnya, juga merasa marah sekali karena hari bahagianya telah diganggu oleh kedatangan musuh besarnya ini yang datang-datang telah menjatuhkan papan yang bertuliskan “Bu-tek Enghiong” tadi! “Bocah sombong! Menyesal sekali dalam perjumpaan pertama waktu dulu pinceng tidak memuntirkan batang lehermu! Kiranya dengan mengandalkan kepandaian warisan si Ong Kim Su kau sudah berbuat ugal-ugalan membunuh kedua orang muridku dan seorang suhengku.

“Bahkan kau sudah menebar maut pula terhadap cucu-cucu muridku! Kalau kau mengatakan kedatangan pinceng ini untuk mengantar nyawa, sebaliknya pinceng sendiri hendak mencuci dosa-dosamu!”

Bukan main terkejutnya Bun Liong, juga para hadirin, mendengar ucapan si pendeta gadungan ini, dan maklumlah mereka bahwa para pemimpin penjahat yang sudah diganyang habis itu adalah anak-anak murid si hwesio murtad ini!

Akan tetapi Bun Liong adalah seorang pemuda yang cerdik, ia ingin mendapat penjelasan dan bertanya:

“Hwesio! Siapakah yang kau maksudkan kedua murid dan seorang suhengmu itu?”

“Kau jangan berlagak pilon, bocah sombong! Akan tetapi agar penebusan dosamu tidak menjadi penasaran, baiklah kuterangkan. Bahwa kedua muridku itu adalah Houw-jiau Lo Ban Kui dan Huang-ho-sin-mo Ma Gu Lin, suhengku adalah ayah angkat dari Ma Gu Lin……”

“Oh, begitu…….?!” Bun Liong cepat menukas dan pemuda ini dengan suara lantang cepat pula melanjutkan perkataannya ditujukan kepada para tamu:

“Cuwi-lay-ping (para hadirin yang terhormat) dan saudara- saudaraku sekalian. Dengarlah! Hwesio ini adalah dedengkot dari komplotan penjahat musuh kita. Tindakan apa yang harus kita perbuat terhadap Pendeta palsu ini?!”

Serempak terdengar seruan-seruan dari para anggauta Pauw-an- tui yang berada di halaman depan:

“Ganyang! Kirimkan saja hwesio gulungan kasur ini ke neraka jahanam supaya berkumpul dengan kambrat-kambratnya!”

Air muka Ci Lun Hosiang jadi beringas dan tiba-tiba ia mendapat serangan kilat dari Cio wan-gwe yang berdiri didekatnya! Cio wan- gwe telah melancarkan tendangan geledek ke arah lambung si gendut akan tetapi sebelum kaki yang menendang itu mengenai sasaran, tahu-tahu Cio wan-gwe menjerit dan tubuhnya terpental jauh sekali. Sekali saja mengebutkan lengan jubahnya, Ci Lun Hosiang telah mengirim serangan ke arah dada si hartawan itu. Dan serangan yang segebrakan ini ternyata telah mendatangkan maut, karena tubuh Cio Song Kang jadi terpental dan napasnya seketika itu juga jadi terhenti!

Berbareng dengan serangan yang mematikan Cio wan-gwe itu, tangan kanan Ci Lun Hosiang melancarkan serangan ke lain jurusan, yaitu ke arah Bun Liong, dengan pukulan Ceng-kian-ciu yang amat hebat! Bun Liong maklum bahwa pukulan ini sangat berbahaya dan ia sudah tahu bahwa pukulannya saja dapat menghancurkan batu karang. Maka ia cepat melompat ke samping.

Juga Yang Hoa sudah dapat menghindarkan diri dari serangan ini dengan sebuah kebutan. Akan tetapi tiba-tiba terdengar jeritan dan tahu-tahu tubuh Kho In Hoa, ibu Bun Liong yang duduk disamping kursi penganten, telah roboh terjengkang berikut kursi yang didudukinya!

Ternyata, hawa pukulan Ci Lun Hosiang yang telah berhasil dielakkan oleh Bun Liong dan isterinya, telah menghantam nyonya yang tidak mengerti ilmu silat itu! Peristiwa ini tentu saja membuat kemarahan Bun Liong dan Yang Hoa jadi memuncak! Sementara itu para anggauta Pauw-an-tui yang dipimpin oleh Can Po Goan telah maju mengeroyok Ci Lun Hosiang, sedangkan para tamu lainnya yang tidak mengerti ilmu silat telah lari berserabutan dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu dengan sangat ketakutan! Keadaan di tempat itu kini menjadi ribut dan kacau balau!

Menghadapi keroyokan para anggauta Pauw-an-tui yang tidak bersenjata itu, karena memang untuk menghadiri pesta perkawinan ini mereka tidak membawa senjata, Ci Lun Hosiang ketawa mengejek. Dan beberapa kali saja ia mengebutkan kedua lengan jubahnya, robohlah beberapa orang pengeroyoknya!

Juga Can Po Goan yang langsung berhadapan sambil mengeluarkan ilmu silat Siauw-lim-kun-hoatnya, biarpun sudah melancarkan serangan-serangan gigih dengan tipu-tipu yang paling diandalkan, akhirnya jadi roboh juga dalam keadaan pingsan karena kepalanya telah ditampar oleh kebutan ujung lengan jubah si dedengkot kaum penjahat yang luar biasa lihaynya itu!

Sementara itu Bun Liong, sudah menanggalkan baju pengantinnya sehingga ia tinggal mengenakan baju biasanya yang berwarna serba biru. Juga Yang Hoa meniru perbuatan suaminya, pakaian pengantinnya ditanggalkannya dan setelah menyambar pedangnya yang tergantung di dinding ruangan tengah. Ia melompat keluar mengikuti suaminya diikuti oleh ibunya yang sudah mempergunakan senjata-senjata rahasianya di tangan!

“Saudara-saudaraku, mundurlah…….!” teriak Bun Liong yang ketika itu sudah menerjang musuh besarnya sambil melancarkan pukulan Lui-lek-ciang!

Betapapun juga Ci Lun Hosiang jadi terkejut karena ia tidak menyangka sama sekali bahwa pemuda itu memiliki ilmu pukulan yang berdasarkan lweekang tinggi. Hawa pukulannya saja sudah mendatangkan angin yang sangat kuat!

Ia dapat mengelak ke samping akan tetapi gerakannya mengelak ini justeru dipapak oleh pedang Yang Hoa yang membacok kepala gundulnya!

“Pletaakkk…….!” pedang Yang Hoa telah membacok kepala gundul itu. Akan tetapi bukan main terkejutnya isteri Bun Liong ini, karena pedangnya kembali terpental seakan-akan mengenai kepala yang terbikin dari baja saja!

Ci Lun Hosiang ketawa mengejek. Akan tetapi sebelum hwesio gadungan sempat mengirim serangan balasan kepada sepasang pengantin baru itu, tiba-tiba lima batang senjata rahasia yang dilepaskan oleh nyonya Li Lan Eng telah meluncur bagaikan kilat ke arah lima jalan darahnya yang berbahaya!

Akan tetapi luar biasa sekali gerakan yang dilakukan Ci Lun Hosiang ketika menyambut luncuran lima batang piauw yang datangnya secara berbareng itu. Ujung lengan jubahnya yang sebelah kiri dikebutkan untuk menangkis serangan Bun Liong yang ketika itu sudah mengirim serangan susulannya pula.

Kakinya melangkah ke depan dua tindak untuk menghindarkan pedang Yang Hoa yang semula hendak menusuk lambungnya. Sedangkan ujung lengan jubah sebelah kanannya membuat gerakan memutar dan sekali gus lima batang senjata rahasia dari Lan Eng itu dapat digulung lengan jubahnya.

Dan sebagai gerakan lanjutan, ia mengebutkan lengan jubahnya ke depan dan hebat sekali. Ke lima batang piauw yang ditangkap oleh gulungan lengan jubahnya tadi meluncur kembali ke arah penyambitnya!

Ibu Yang Hoa itu terkejut sekali dan meskipun ia sudah mencoba berkelit dengan cepat, namun sebatang senjata rahasia telah menancap tepat di dada sebelah kirinya! Nyonya itu menjerit, tubuhnya roboh berkelojotan dan tewas seketika itu juga karena senjata rahasia tersebut bukan saja menancap di dada kirinya, bahkan telah menembus sampai ke punggungnya!

Yang Hoa berteriak dan dengan amarah yang meluap-luap nyonya muda ini memutarkan pedangnya sedemikian hebat. Pedang di tangannya telah merupakan segulungan sinar putih menyambar- nyambar ke arah tubuh Ci Lun Hosiang.

Begitu pula Bun Liong, pemuda yang biasanya dapat berlaku tenang ini setelah melihat bahwa hwesio itu sudah menewaskan ibu dan mertuanya, jadi berlaku nekad karena marahnya. Pukulan Lui-lek-ciang telah dilancarkannya secara tak segan-segan karena maklum bahwa musuh besarnya ini merupakan lawan yang luar biasa tangguhnya!

Benar-benar ilmu kepandaian hwesio gadungan itu luar biasa hebatnya dan memang jauh lebih tinggi dari kepandaian Bun Liong. Apalagi kalau dibandingkan dengan Yang Hoa.

Ci Lun Hosiang menang tenaga, menang pengalaman dan karenanya ia dapat menghadapi keroyokan ke dua orang muda itu sambil terus ketawa-tawa mengejek. Dan setelah pertempuran mencapai tigapuluh jurus, dengan hanya mempergunakan kebutan-kebutan ujung lengan jubahnya yang lebar, ia sudah mulai mendesak kedua lawannya!

Semua orang yang melihat kenyataan ini mulai merasa cemas dan bingung. Akan tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa untuk membantu karena kepandaian mereka sama sekali tak berarti untuk menghadapi hwesio yang lihay itu!

Kemudian terdengar Ci Lun Hosiang ketawa bergelak ketika ujung lengan jubahnya berhasil membelit pedang Yang Hoa. Dan berbareng dengan itu ujung lengan jubah yang satunya lagi dikebutkan dengan gerakan menotok ke bagian ulu hati Yang Hoa.

Dengan kaget Yang Hoa berkelit sambil membalikkan tubuh, akan tetapi justeru dengan demikian ujung lengan jubah si hwesio itu jadi menyabet punggungnya. Yang Hoa menjerit. Pakaian di bagian punggungnya robek dan tubuhnya terhuyung-huyung, lalu roboh mulutnya memuntahkan darah!

Peristiwa ini tentu saja menyebabkan hati Bun Liong bukan main kaget, sedih, marah dan bingungnya. Maka ia terus mengirim serangan-serangan maut, seluruh kepandaian yang ada padanya dikeluarkan semua untuk merobohkan musuh besarnya. Akan tetapi, setelah merobohkan Yang Hoa, Ci Lun Hosiang kini dapat mencurahkan seluruh perhatiannya pada pemuda lawannya itu dan sambil tak henti-hentinya ketawa mengejek dan memperolok-olokkan ia melancarkan serangan balasan. Kedua ujung lengan jubahnya menyambar-nyambar mendatangkan angin taufan yang kuat sekali dan manakala dilihatnya kesempatan, ia melancarkan pukulan Ceng-kin-ciu yang dahsyat bertubi-tubi!

Bun Liong terdesak terus dan berkat gin-kangnya yang tinggi tubuhnya bergerak seperti seekor burung walet yang gesit mengelak kian kemari, lincah sekali akan tetapi terus terdesak! Adakalanya ia sempat juga mengirim pukulan geledeknya, akan tetapi hasilnya nihil belaka karena sebelum hawa pukulannya ini mendekati tubuh yang gendut itu, telah patah di tengah jalan karena kena digempur oleh hawa pukulan Ci Lun Hosiang yang lebih kuat!

Keadaan Bun Liong benar-benar berbahaya sekali. Kalau pemuda ini hatinya tidak begitu sedih dan bingung karena malapetaka yang menimpa ibu, ibu mertua dan isterinya karena kekejaman musuh besar ini, biarpun ia takkan dapat mengalahkan lawannya namun sedikitnya ia tak mungkin akan terdesak secepat itu! Melihat keadaan pemuda itu Ci Lun Hosiang menjadi gembira sekali.

“Hahaha…….! Hanya sebegini saja kepandaian warisan si Kim Su……?! Cuma demikian saja kebecusan si Bu-tek Enghiong…….?! Hahaha, lucu, lucu dan menggelikan sekali…….!!”

Ia mendesak terus dengan serangan yang bertubi-tubi, walaupun gerakan pemuda itu sangat gesit mengelak ke sana ke mari, tetapi Ci Lun Hosiang tak kalah gesitnya. Tubuhnya yang bundar itu seperti menggelundung ke sana ke mari mengejar dan terus mendesak pemuda itu!

Bun Liong menggigit bibirnya sehingga berdarah. Pemuda gagah perkasa ini sudah yakin bahwa bakal roboh, namun ia tidak mau menyerah mentah-mentah sungguhpun ia merasa lelah sekali karena ia sudah terlalu banyak menghamburkan tenaga lweekangnya dalam melakukan pukulan Lui-lek-ciang yang sia-sia itu!

Akhirnya sebuah serangan dan Ci Lun Hosiang mengenai pundak Bun Liong. Hebat sekali pukulan ini karena dilakukan dari jarak yang tidak berapa jauh dan ketika itu tubuh Bun Liong masih dalam keadaan miring untuk mengelakkan serangan yang lebih dulu sehingga ia tidak sempat mengelak, maka tubuh pemuda itu terpental dan jatuh bergulingan di atas tanah!

Lagi-lagi Ci Lun Hosiang ketawa mengejek dan tubuhnya “menggelundung” maju mengejar Bun Liong sambil mengirim pukulan lagi yang hawa pukulannya mengenai pungggung pemuda itu. Akan tetapi, biarpun keadaannya sudah payah sekali karena tenaganya sudah hampir habis dan merasakan pundaknya sakit sekali, Bun Liong masih dapat memaksakan diri mengerahkan tenaga lweekangnya untuk mencegah pukulan musuhnya itu melukai tubuh bagian dalam!

Bahkan ketika Ci Lun Hosiang menubruknya, pemuda itu masih dapat menyelamatkan diri sambil melompat bangun. Akan tetapi baru saja berdiri, Ci Lun Hosiang sudah mengirim serangan lagi, kini dengan tenaga Ceng-kin-ciu sepenuhnya dan pukulan ditujukan ke arah kepalanya.

Untuk menghindari serangan yang berbahaya dan mematikan ini tiada jalan lain lagi bagi Bun Liong, kecuali cepat menggulingkan tubuhnya di atas tanah. Ci Lun Hosiang merasa heran dan penasaran sekali. Biasanya, sekali pukulannya mengenai lawan, pasti lawan itu akan roboh binasa. Akan tetapi kini, biarpun pukulannya sudah dua kali mengenai pundak dan punggung Bun Liong, pemuda ini masih dapat bergerak cukup gesit.

Diam-diam ia mengagumi kekuatan yang dimiliki oleh lawan mudanya itu! Dan, keadaan Bun Liong benar-benar berbahaya sekali ketika hwesio ini maju menubruk pula!

Bun Liong merasakan dirinya sudah terlalu lemah dan payah dan dalam keadaan tidak berdaya ini. Ia sudah rela untuk menerima kematian di bawah tangan pendeta gadungan yang murtad itu!

Akan tetapi, sebelum tubrukan Ci Lun Hosiang mengenai sasarannya, tiba-tiba berkelebatlah sesosok bayangan menyambar di depannya. Ci Lun Hosiang merasakan ada tenaga terjangan yang kuat sekali menghadang di depannya.

Juga tangan kanannya yang sudah terulur ke depan untuk mengirim pukulan terakhir kepada pemuda yang sudah tidak berdaya itu, telah disampok oleh tenaga yang luar biasa kuatnya. Dan karenanya, ia cepat melompat mundur dengan hati kaget. “Suhu……! Kau datang…….!” seru Bun Liong yang ketika itu sedang merangkak berusaha bangun dan ia sangat besar hati melihat suhunya datang menolong!

Memang sesosok bayangan yang menghadang dan menolak pukulan Ci Lun Hosiang tadi tidak lain dari guru Bun Liong, Bu Beng Lojin, si kakek sakti yang entah dari mana datangnya jahu- jauh telah berada di situ pada waktu yang tepat bagi keselamatan muridnya.

“Liong, kau jangan banyak bicara dan bergerak, beristirahatlah dengan bersamadhi!” ujar kakek itu kepada muridnya.

Perintah ini ditaati oleh Bun Liong yang segera duduk bersila dan bersamadhi untuk memulihkan tenaganya.

Bu Beng Lojin lalu menghadapi Ci Lun Hosiang dan menegur:

“Ci Lun, pertama-tama aku mengucapkan selamat bertemu kembali dengan perjumpaan kita di tempat ini. Dan dua, terpaksa aku harus menyatakan bahwa kau hendak membunuh seorang lawan yang sudah tidak berdaya itu bukanlah perbuatan seorang gagah!” Setelah melihat bahwa orang di depannya itu adalah Bu Beng Lojin dan setelah mendengar perkataannya, tiba-tiba Ci Lun Hosiang ketawa bergelak-gelak:

“Hahaha, Kim Su, sungguhpun tubuhmu makin tua makin kurus kering seperti tubuh seorang pemadatan, tetapi aku melihat dan merasakan bahwa tenagamu makin kuat. Selamat bertemu, kawan, dan pertemuan kita ini sungguh menggembirakan hatiku karena dengan demikian pinceng tidak usah susah-susah ke gunung Hoa-san untuk mencarimu!”

“Kaupun makin tua makin gendut seperti tubuh kerbau kebiri saja dan kepalamu makin licin seperti batok binatang penyu!” balas kakek itu dan nada suaranya terdengar sangat tandas ketika melanjutkan perkataannya:

“Hanya sayang sekali, dengan kepalamu yang licin dan jubah yang menutupi tubuh terokmokmu, perbuatanmu telah mencemarkan para alim ulama yang menjalankan ibadah suci!”

Mendengar sindiran yang tajam ini, Ci Lun Hosiang ketawa pula dan berkata: “Kim Su, datang-datang kau sudah memaki pinceng. Apakah sangkut pautnya aku ini dengan engkau sehingga kau begitu usil terhadap diriku?!” Kakek yang kelihatan tua renta itu tersenyum tatkala berkata:

“Ci Lun, biarpun segala perbuatanmu tidak mempunyai sangkut paut dengan aku pribadi, akan tetapi ketahuilah bahwa segala sepak terjangmu sungguh mengotorkan dunia yang memang sudah sangat kotor ini! Aku tidak tahu betapa tingginya sudah dosa-dosa yang kau tumpuk, yang kutahu hanyalah kau menjadi pendeta palsu sudah merupakan dosa yang pertama.

“Kemudian dengan jubah hwesio dan kepala gundulmu kau mengikuti jalan kehidupan yang sesat. Ini sudah merupakan dosamu yang kedua.

“Dan belakangan ini, menurut pengakuanmu yang kudengar tadi, kau adalah guru dari para pemimpin penjahat dan kau hendak menuntut balas atas kematian para muridmu itu. Jadi berarti kau adalah biang keladi segala penjahat!

“Biangkeladi penjahat tentu saja lebih jahat dari pada seorang penjahat. Ah, Ci Lun, air sesungai Huang-ho sekalipun agaknya takkan dapat mencuci bersih dosa-dosamu, kecuali kalau kau dilenyapkan dari muka bumi ini…….!”

“Bagus!” Ci Lun Hosiang berseru marah: “Ocehanmu yang panjang lebar itu kiranya hanya merupakan tantangan terhadapku! “Kebetulan sekali, karena pinceng sendiri pun memang mempunyai niat hendak menebus dua kali hinaan waktu dulu! Pinceng berjanji bahwa kalau sekali ini pinceng dikalahkan lagi olehmu, pinceng akan kembali ke Tibet!”

“Oh, ya, baru kuingat bahwa kau berasal dari Tibet. Akan tetapi sebelum kau datang merantau ke daratan Tiongkok ini, pernah kudengar cerita tentang seorang budak tukang sapu di dalam kuil yang melakukan perbuatan kotor memperkosa seorang gadis di dalam tempat suci itu sehingga mendapat hukuman dari para pendeta Lhama.

“Kuil yang sudah dikotori oleh budak tukang sapu itu dibakar dan budak murtad itu sendiri lalu diusir dan tidak diakui lagi sebagai bangsa Tibet. Tidak tahu apa hubungan budak cabul itu dengan kau!?”

Merahlah wajah Ci Lun Hosiang yang bundar itu mendengar sindiran si kakek yang mengungkat perbuatannya sewaktu ia masih muda itu. Saking marahnya ia tidak bisa berkata-kata lagi. Ia hanya mampu berseru keras dan secara tiba-tiba sekali ia mengirim pukulan Ceng-kin-ciu ke arah kakek itu. Bu Beng Lojin sudah maklum betapa lihay dan berbahayanya pukulan dari si Tangan Seribu Kati ini. Akan tetapi ia tidak mengelak atau berkelit, bahkan menyambutnya dengan tubuh agak direndahkan dan kemudian kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka mendorong ke depan sambil berseru keras.

Dua macam hawa pukulan bertenaga raksasa dari dua pihak ini beradu. Ci Lun Hosiang mundur terhuyung-huyung dan Bu Beng Lojin juga sempoyongan karena mereka telah dihantam hawa pukulan sendiri yang terpukul membalik!

Memang hebatlah kalau dua orang yang sama tinggi berkepandaiannya bertempur, baru segebrakan saja merupakan jangkauan maut!

Para anggauta Pauw-an-tui yang sejak tadi mengelilingi tempat itu pada bubar dan mereka menonton dari tempat jauh. Karena takut terkena hawa pukulan yang nyasar.

Selanjutnya mereka menyaksikan dua datuk persilatan yang berilmu tinggi itu bertempur hebat. Akan tetapi mereka tak dapat melihat bagaimana cara kedua orang itu bertempur karena yang mereka dapat lihat hanyalah dua sosok bayangan yang berkelebat ke sana ke mari bagaikan dua iblis sedang berhantam. Tak terdengar suara tangan atau kaki saling beradu, akan tetapi di sekitar tempat pertempuran itu bertiup angin keras dan debu mengebul menggelapkan penglihatan! Kemudian mereka melihat betapa kedua bayangan yang tadi berkelebatan itu berhenti bergerak.

Dan ternyata ketika itu kedua tangan Bu Beng Lojin dan Ci Lun Hosiang saling menempel dan saling mendorong! Tubuh kedua orang itu tidak bergerak, akan tetapi tampaknya benar-benar menegangkan.

Pertempuran yang dilakukan dengan tangan, kaki, bahkan dengan senjata sekalipun, masih belum begitu menegangkan seperti pertempuran adu tenaga dalam seperti yang dilakukan oleh Bu Beng Lojin dan Ci Lun Hosiang pada saat itu. Sedikit saja kalah tenang, penyerangan dari lawan berarti membahayakan jiwanya.

Dan dalam hal adu lweekang ini kalah menang hanya diputuskan oleh kematian seorang di antaranya!

Seluruh tubuh Ci Lun Hosiang yang bundar itu tampak menggigil menandakan bahwa ia sedang mengerahkan segenap tenaga dalamnya. Wajahnya merah dan sikapnya sangat nekad. Akan tetapi Bu Beng Lojin benar-benar seorang sakti setengah dewa. Sikapnya tampak tenang seperti biasa, bahkan kakek kosen ini masih dapat bicara, padahal kalau sedang mengadu tenaga dalam seperti ini, berbicara adalah suatu pantangan yang paling besar!

“Ci Lun, insyaflah kau akan kesesatan-kesesatanmu dan kalau kau benar-benar akan kembali ke negara asalmu aku akan memberi pengampunan padamu!”

Sambil berkata dennkian Bu Beng Lojin sengaja mengendurkan tenaga dorongannya, untuk memberi kesempatan kepada hwesio itu supaya menarik tenaga dorongannya dan mengakhiri pertempuran ini sebelum maut merenggut nyawa!

Kalau saja Ci Lun Hosiang bukan seorang sombong yang mempunyai dasar buruk, tentu ia segera mengetahui bahwa kepandaiannya jauh lebih rendah dari lawannya. Dalam pergulatan mengadu tenaga lweekang ini saja dia sudah mengerahkan seluruh tenaga yang ada padanya, akan tetapi sebaliknya Bu Beng Lojin masih dapat berkata-kata dengan seenaknya. Hal ini membuktikan bahwa tenaga kakek sakti yang dikerahkan dalam pergulatan itu paling banyak hanya setengahnya saja! Akan tetapi Ci Lun Hosiang tidak mau menerima usul Bu Beng Lojin itu. Ia maklum bahwa dengan mengakhiri pertempuran itu begitu saja dan menerima usul lawannya, sama halnya dengan mengaku kalah dan hal ini akan menjatuhkan namanya.

Maka, melihat Bu Beng Lojin mengurangi tenaganya, Ci Lun Hosiang yang curang itu hendak mengambil keuntungan dari kesempatan baik ini. Benar ia menarik kembali tenaga dorongannya, akan tetapi secara tidak diduga ia tiba-tiba melakukan serangan mendadak!

Dalam gerakan kilat kaki kirinya menendang ke arah selangkangan dibarengi tangan kanannya dengan gerakan eng-jiauw-kang atau Cengkeraman Kuku Garuda menyerang ke arah dada kakek itu! Kalau salah satu dari kedua serangan ini mengenai sasaran dengan tepat, orang yang diserang pasti mati seketika!

Ci Lun Hosiang yakin bahwa serangan mendadak yang dilakukan dalam jarak berdekatan dengan lawannya ini salah satu akan mengenai sasaran!

“Kau bandel dan curang…….!” Bu Beng Lojin berseru marah.

Dengan gerakan yang sama cepatnya, kakek ini mengirim pukulan yang dilakukan dengan pengerahan lweekang sepenuhnya ke arah kepala gundul itu. Dan tangan kirinya menyampok tendangan kaki lawan dengan sebuah sentakan ke samping, sedangkan cengkeraman pada dadanya tidak dihiraukan sama sekali!

Dua hal yang aneh dan hebat terjadi dalam waktu yang sama. Ketika cengkeraman hwesio itu mengenai sasaran, yang kena dicengkeram hanya kain baju yang menjadi robek saja sedangkan dada yang dicengkeramnya itu, dadanya sudah tidak berdaging atau berkulit yang dapat dicengkeram, agaknya kulitnya sudah mengeras dan rata dengan tulang sehingga keras sekali!

Hal ini tak lain disebabkan Bu Beng Lojin mengerahkan tenaga sin- kangnya ke arah dada untuk menahan cengkeraman. Melihat serangannya tidak berhasil, Ci Lun Hosiang merubah cengkeramannya menjadi sebuah pukulan yang dilakukan dalam gerakan lanjutan tanpa menarik tangannya terlebih dulu!

Sementara itu, pukulan Bu Beng Lojin dengan jitu sudah menghantam kepala gundul itu. Beradunya pukulan dengan kepala gundul itu mengeluarkan suara keras.

Akan tetapi anehnya kepala gundul itu tidak pecah, bahkan tiba- tiba kepalan tangannya meleset seakan-akan kepala itu terbuat dari baja yang dilumuri minyak, sangat keras dan licin. Akan tetapi, dua serangan dari dua pihak yang masing-masing dibentengi oleh kekuatan sin-kang yang terjadi pada saat yang sama itu mendatangkan akibat yang hebat sekali!

Tubuh Bu Beng Lojin karena dadanya ditumbuk oleh pukulan tangan Ci Lun Hosiang, yang kurus kering itu jadi terhuyung- huyung. Dan tubuh Ci Lun Hosiang yang bunder terokmok itu karena akibat kepala pelontosnya dihantam oleh kepalan kakek itu dan kakinya disentakkan ke samping oleh tenaga sampokan lawannya yang luar biasa kuatnya, jadi berpusing seperti gangsing!

“Suhu! Biarlah teecu yang menghabiskan riwayat kotor si gundul durjana itu!” Seru Bun Liong yang pada saat itu segenap tenaganya sudah pulih kembali setelah bersamadhi selama pertempuran antara si gundul dan gurunya tadi berlangsung.

Bu Beng Lojin tidak menjawab. Akan tetapi sambil batuk-batuk kakek ini lalu menubruk tubuh Ci Lun Hosiang yang masih berputar itu dan tahu-tahu ia telah berhasil menangkap tubuh lawannya.

Dan dengan gerakan yang luar biasa diangkatnya ke atas. Lalu sambil berseru keras tubuh bundar yang beratnya sedikitnya duaratus kati itu dilemparkan ke arah Bun Liong yang berada sejauh kurang lebih enam tombak! Ci Lun Hosiang sebenarnya masih keadaan setengah pingsan karena pukulan Bu Beng Lojin yang menghantam kepalanya tadi dan yang membuat tubuhnya berputar seperti gangsing. Itulah sebabnya maka ia sama sekali tak berdaya ketika tubuhnya tiba- tiba ditangkap, diangkat dan kemudian dilemparkan oleh lawannya!

Bun Liong ketika itu sudah berdiri tegak dan siap menyambut tubuh besar yang melayang ke arahnya seakan-akan hendak menimpanya. Kedua tangannya diulurkan ke atas dan pada lain saat tangan kanannya secara tepat sekali menangkap tengkuk Ci Lun Hosiang dan tangan kirinya dengan jari-jari tangan dikembangkan menyanggap pinggul yang penuh daging dan gajih itu.

Kemudian sambil mengerahkan tenaga barunya, ia berseru keras. Tubuh hwesio gadungan musuh besarnya itu didorongkan ke udara sehingga terlempar dan melayang kembali ke arah Bu Beng Lojin.

Ketika tubuh yang seperti gulungan kasur itu masih melayang di udara menuju Bu Beng Lojin yang masih batuk-batuk. Kakek ini menahan batuknya lalu menggunakan tangan kanannya melakukan gerakan seperti mendorong ke udara. Dan sebelum tubuh Ci Lun Hosiang sampai di tangannya, tubuh itu telah kena didorong oleh tenaga hebat yang keluar dan telapak tangan kakek sakti itu dan terpental kembali ke arah muridnya! Inilah tenaga khi-kang yang sudah mencapai tingkat tinggi hingga tenaga dorongan yang keluar dari telapak tangan kakek itu cukup hebat untuk mementalkan kembali tubuh Ci Lun Hosiang yang begitu besar dan berat!

Pada saat itu tenaga Bun Liong sudah pulih kembali dan ia segera mencontoh perbuatan gurunya. Iapun menggunakan khi-kangnya dalam serangan melancarkan pukulan Lui-lek-ciang yang dilakukan oleh tangan kanannya dengan telapak tangan terbuka untuk mendorong tubuh yang masih berada di udara itu sehingga terpental kembali ke arah gurunya!

Semua orang yang menyaksikan peristiwa hebat itu, yang belum pernah mereka lihat, jadi bersorak-sorak riuh rendah. Mereka merasa gembira melihat kemenangan kakek itu dan baru sekarang mereka mengetahui bahwa kakek itu sebenarnya guru pang-cu mereka. Yang menarik perhatian mereka adalah pertunjukan istimewa dan luar biasa itu.

Ci Lun Hosiang yang sial itu agaknya memang sudah ditakdirkan mengalami peristiwa malang seperti itu. Yaitu seakan-akan menjadi sebuah bola yang dipermainkan dan dilemparkan pulang balik oleh Bu Beng Lojin dan Bun Liong!

Dan ketika tubuh Ci Lun Hosiang sudah dipulang-pergikan sampai lima kali pada suatu ketika selagi tubuh si hwesio itu berada di udara di tengah-tengah antara Bu Beng Lojin dan Bun Liong, guru dan murid ini telah melakukan dorongan dalam waktu yang sama. Dan karenanya tubuh Ci Lun Hosiang untuk seketika jadi berhenti di udara karena digencet oleh hawa pukulan dari dua jurusan!

Akhirnya tubuh itu jatuh ke bawah dengan mengeluarkan suara berdebuk. Dan ternyata Ci Lun Hosiang sudah tidak bernyawa lagi dalam keadaan genjor-genjor seperti buah pepaya yang terlalu tua!

Bun Liong segera berlutut di depan gurunya. “Suhu, terima kasih atas pertolongan suhu. Kalau suhu tidak keburu datang pada waktu yang tepat, selain teecu takkan dapat membalas dendam atas kematian ayah terhadap si pendeta sesat itu, juga entah apa jadinya dengan diri teecu ini!”

Bu Beng Lojin kembali batuk-batuk dan membangunkan muridnya. “Liong muridku, maafkanlah aku yang terlambat menolongmu. Padahal, sebenarnya sudah sejak tadi aku datang, sebelum si gundul murtad itu datang mengacau!” “Benarkah…….?” Bun Liong bertanya heran, “Tapi mengapa teecu tidak melihat suhu?”

“Karena aku merasa segan untuk memasuki sebuah rumah yang di atas ambang pintunya terdapat papan yang tertuliskan Bu-tek Enghiong! Dan aku merasa terlalu rendah untuk turut menghadiri pernikahan seorang Pendekar Tanpa Tandingan!”

Bun Liong maklum bahwa gurunya menyindir dan menyesalinya, maka cepat ia berlutut pula, “Suhu, maafkanlah teecu karena nama julukan itu sesungguhnya bukan keinginan teecu, dan juga papan itu adalah pemberian dari…….”

“Sudah, sudahlah! Aku sudah maklum semua persoalannya,” ujar kakek itu menukas. “Sekarang marilah kita memeriksa dan menolong para korban perbuatan manusia sesat itu!”

Bun Liong baru teringat bahwa Ci Lun Hosiang tadi sudah merobohkan Cio wan-gwe, ibunya, Can Po Goan, ibu mertuanya dan isterinya serta beberapa orang kawannya. Maka cepat ia bangkit dan bersama gurunya yang masih batuk-batuk.

Can Po Goan hanya pingsan saja dan setelah mendapat pertolongan dari Bu Beng Lojin, guru silat yang hanya menderita luka ringan itu segera siuman. Begitu juga Yang Hoa, ia hanya pingsan saja, akan tetapi lukanya ternyata sangat berat karena sudah menderita luka dalam sehingga tak dapat dibikin siuman dengan segera.

Adapun Kho In Hoa, Lan Eng, dan Cio Song Kang wan-gwe ternyata sudah tidak bernyawa lagi!

Betapa sedihnya hati Bun Liong melihat peristiwa malapetaka ini! Sebenarnya ia ingin menangis sekeras-kerasnya, akan tetapi tentu saja hal itu tak dapat dilakukannya sehingga ia tinggal bengong saja untuk beberapa saat lamanya.

Kemudian penglihatannya berkunang-kunang dan kabur, kepalanya pening, tubuhnya lemas seperti tak bertulang dan akhirnya ia roboh pingsan! Ketika ia sadar kembali karena pertolongan suhunya, ia mendengar kakek itu berkata:

“Liong aku dapat memaklumi betapa hancurnya hatimu dengan terjadinya peristiwa malang ini, tetapi hadapilah dengan keteguhan dan ketabahan! Mana kekuatan batin yang pernah kuajarkan kepadamu?”

“Maafkanlah atas kelemahan teecu, suhu,” kata Bun Liong dengan suara sember karena menahan kesedihannya, “Selanjutnya teecu mohon petunjuk suhu…….” Dengan matanya yang mulai membasah dan dadanya turun naik karena menahan sedu sedan, ia memandang wajah gurunya yang penuh keriputan tapi membayangkan keagungan itu.

“Liong, hanya isterimu perlu cepat ditolong, serangan pada punggungnya tadi telah melukai jantungnya! Maukah kau membawa isterimu ke tempatku dan kita mengobatinya di sana?” tanya kakek itu yang sangat mengasihi muridnya.

“Tentu saja teecu bersedia!”

“Mari, kita sekarang berangkat dan bawalah isterimu!”

Sebentar Bun Liong ragu, dilihatnya mayat ibu, ibu mertuanya dan Cio Song Kang itu. “Tapi bagaimana dengan jenazah-jenazah ini, suhu? Bukankah perlu diurus dulu?”

“Yang sudah mati biarlah diurus oleh kawan-kawanmu, dan menolong isterimu yang masih mempunyai kemungkinan hidup perlu segera kita lakukan. Cobalah minta pertolongan kawan- kawanmu untuk mengurus dan mengubur jenazah-jenazah itu sebagaimana layaknya!”

Bun Liong menurut nasehat gurunya. Biarpun hatinya merasa berat sekali akan tetapi iapun sependapat dengan gurunya bahwa menolong isterinya adalah lebih penting. Maka dengan suara penuh permohonan ia lalu berkata kepada Can Po Goan yang berdiri di depannya dengan muka pucat dan sedih.

“Can lopeh dan saudara-saudaraku sekalian. Aku memohon pertolongan dan bantuan dari kalian supaya mengurus dan mengubur jenazah ibu dan ibu mertuaku sebagaimana mestinya.

“Untuk biayanya Can lopeh ambillah uangku seadanya yang disimpan di bawah kasur di dalam kamarku. Dan jenazah Cio Song Kang wan-gwe, bawalah ke Tong-koan dan sampaikanlah ucapan dukacita dan kemenyesalanku kepada putera dan menantunya.

“Aku sekarang juga akan pergi ke gunung Hoa-san membawa isteriku yang akan dirawat dan diobati oleh guruku ini di sana. Kuminta doa dari kalian untuk keselamatan isteriku dan lain hari mungkin kami akan kembali kepada kalian…….” Perkataan ini diucapkan dengan suara pilu dan mata membasah.

Bu Beng Lojin menambahkan: “Juga mayat manusia yang hidupnya penuh kesesatan itu harus dikubur!” katanya sambil menunjuk ke arah mayat Ci Lun Hosiang yang terkapar di tanah itu. “Kita boleh membenci kejahatan dan keburukan tingkah lakunya, akan tetapi raganya yang hanya menjadi alat itu harus kita kembalikan kepada asalnya.” Setelah berkata begitu kakek ini mengajak muridnya.

“Liong, marilah kita berangkat…….!”

Kemudian kakek itu melangkah perlahan dan tindakan kakinya seperti terseok-seok. Akan tetapi sebentar saja ia sudah pergi jauh dan lenyap dari penglihatan semua orang.

Sementara itu Bun Liong sudah memanggul tubuh isterinya dan berlari cepat menyusul gurunya

Hari sudah senja tatkala Bu Beng Lojin dan Bun Liong tiba di puncak gunung Hoa-san. Dengan seijin gurunya yang terus batuk- batuk Bun Liong membaringkan tubuh isterinya di dalam sanggar pertapaan kakek itu.

“Liong, baiknya tubuhmu cukup kuat sehingga tidak menderita apa- apa atas pukulan si Ci Lun tadi,” ujar kakek itu sambil duduk bersila. “Berkat latihan yang teecu terima dari suhu maka teecu tidak menderita luka apa-apa, hanya tubuh teecu terasa sakit-sakit,” sahut Bun Liong.

Tapi alangkah kagetnya hati pemuda ini ketika ia menoleh kepada kakek yang duduk bersila itu. Ia melihat wajah gurunya demikian pucat dan meringis-ringis, sedangkan batuknya makin menjadi dan kedua tangannya menekan-nekan dadanya.

“Suhu, suhu mendapat luka?!” tanya Bun Liong, kaget dan cemas.

Kakek itu mengangguk dan di antara batuknya ia menjawab: “Ya, dadaku sangat sakit sekali. Agaknya pukulan si Ci Lun tadi mengakibatkan aku menderita luka dalam.”

“Suhu…….!” Bun Liong berlutut di depan kakek itu, “Apa yang teecu harus perbuat untuk menolong suhu?”

“Kau jangan terlalu bingung, tenanglah Liong! Aku hendak beristirahat dulu,” kata kakek itu dan kemudian sepasang matanya dipejamkan hendak mulai bersamadhi.

Akan tetapi batuk-batuknya selalu mengganggunya, tapi sungguhpun begitu Bun Liong tidak berani mengganggunya. Beberapa saat kemudian suara batuk-batuk itu berhenti dan kakek kosen yang sudah menderita luka dalam amat parah itu, kakek itu dapat bersemadi dengan tenang.

Bun Liong mendekati tubuh isterinya dan kebetulan sekali ketika itu Yang Hoa mulai siuman. Mula-mula sepasang pelupuk matanya membuka perlahan-lahan kemudian manik matanya melirik ke kanan kiri. Akan tetapi tiba-tiba matanya ditutupkan lagi, wajahnya meringis dan pucat agak kebiru-biruan, dari mulutnya keluar suara keluhan yang tertahan oleh rasa nyeri yang sangat hebat!

Melihat isterinya mulai siuman, hati Bun Liong merasa lega, akan tetapi ia jadi amat bingung melihat perobahan isterinya itu. Ia maklum bahwa isterinya juga menderita luka dalam.

Lalu ia memangku tubuh isterinya, kepalanya disandarkan pada lengan kirinya. Sementara tangan kanannya menotok jalan-jalan darah di beberapa bagian tubuh isterinya, dengan harapan supaya isterinya tidak terlalu merasakan kenyerian penderitaannya.

Dan benar saja sesaat kemudian Yang Hoa membukakan kembali pelupuk matanya. Setelah matanya melirik-lirik lagi ke kanan ke kiri, ia menatap ke wajah suaminya dan terdengar suara pertanyaannya yang perlahan setengah berbisik dan terputus- putus: “Liong-ko, dimanakah kita berada kini…….?”

“Kita berada di tempat pertapaan guruku, di puncak gunuug Hoa- san, Yang-moay. Apa yang kau rasakan sakit, Yang-moay?” tanya Bun Liong lirih.

Yang Hoa menggigit bibirnya dan wajahnya meringis pula. Akan tetapi tatkala kemudian ia berkata, kata-katanya bukan jawaban atas pertanyaan suaminya, melainkan justeru balik bertanya: “Bagaimana jadinya dengan si Hwesio jahat musuh besarmu itu?”

“Ia sudah dibikin mampus oleh guruku…….”

Yang Hoa menarik napas. ”Syukurlah…… Tapi…… Bagaimanakah…… dengan ibu-ibu kita dan Cio wan-gwe. Can lopeh yang sudah diserang oleh manusia jahat itu…….?”

“Can lopeh selamat, Cio wan-gwe tewas dan……..” Bun Liong ragu-ragu untuk berkata lebih lanjut, karena kalau berkata terus terang ia takut akan mengagetkan isterinya yang keadaannya sangat mengkhawatirkan ini.

Akan tetapi Yang Hoa seperti dapat menduga, “Dan…… dan ibumu dan ibuku juga tewas bukan…….?” Bukan main bingungnya Bun Liong. Untuk sesaat lamanya ia membisu saja, sehingga suasana di tempat itu yang memang hening semakin sunyi.

Keheningan di puncak gunung Hoa-san itu tentu saja akan terasa sangat menenteramkan, kalau saja Bun Liong tidak sedang menghadapi keadaan yang demikian mengecilkan hatinya.

“Liong-ko. mengapa kau diam saja dan tidak membenarkan dugaanku…….?” Yang Hoa mendesak.

Bun Liong menekan perasaan hatinya dan sebagai jawaban, ia hanya mengangguk perlahan. Disangkanya isterinya itu akan menangis dan pingsan lagi.

Akan tetapi kenyataannya sungguh mengherankan Bun Liong karena sama sekali Yang Hoa tidak menangis seperti lajimnya seorang anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya. Yang Hoa hanya memeramkan kedua matanya sebentar kemudian membukanya lagi tatkala berkata,

“Hal ini sudah kuduga karena sebelum aku dirobohkan oleh hwesio jahat tadi, aku seperti mendapat pirasat bahwa ibu-ibu kita sudah tak mungkin hidup lagi mengingat hebatnya kelihayan hwesio jahat itu. Dan biarpun aku sendiri akan menyusul mereka, aku dapat menerima kematian dengan hati puas…….”

“Yang-moay, isteriku!” Bun Liong cepat menutup mulut isterinya. “Kau jangan berkata begitu! Apakah kau akan meninggalkan aku sendiri dengan hati puas…..?

“Tidak! Kau tidak boleh meninggalkan aku. Kau pasti sembuh dan sehat kembali…….! Kau harus ingat bahwa musuh-besarmu, Cio Leng Hwat dan si perampok tunggal yang membunuh ayahmu, masih belum mampus…….”

Yang Hoa menyingkirkan tangan suaminya yang menutupi mulutnya dengan menggerakkan tangan kirinya yang lemah. Bun Liong heran sekali ketika melihat isterinya tiba-tiba tersenyum,

“Mereka, musuh besarku, sebenarnya sudah mampus…….” katanya.

“Apa?” tanya Bun Liong dengan sangat terperanjat. “Apakah kau maksudkan bahwa manusia penghianat she Cio dan si perampok tunggal itu sudah kau ganyang!?”

Yang Hoa menggeleng-gelengkan kepala, “Sungguhpun kematian mereka itu tidak langsung oleh tuntutan balasku, namun artinya sama juga, arwah mereka pasti akan menerima pembalasan dari arwah ayahku…….”

“Yang-moay, bicaramu tidak jelas. Jelaskanlah persoalan yang sebenarnya!”

Karena tak mengerti Bun Liong mendesak dan ia lupa bahwa isterinya sedang menderita sakit payah.

Yang Hoa meringis sambil menggigit bibir. Agaknya luka dalamnya kembali terasa nyeri. Dan sesaat kemudian, setelah rasa nyeri itu agaknya lenyap dengan sendirinya, ia berkata dan kini suaranya sangat lemah dan parau:

“Liong-ko. Sebenarnya aku dan ibuku sudah mengadakan penyelidikan yang seksama. Pada hari diselenggarakannya pibu dimana kemudian kau menjadi ketua Pauw-an-tui, kami sudah menemukan musuh besar yang kami cari itu! Akan tetapi waktu itu kami, yaitu aku dan ibuku, belum berani segera turun tangan karena kami belum yakin benar dan takut keliru.

“Setelah kami selidiki, ibuku dapat mengenal wajah si piauwsu penghianat ini dan juga potongan tubuh serta raut muka si perampok tunggal tepat seperti yang pernah digambarkan oleh pegawai-pegawai mendiang ayahku. Tak salah lagi mereka adalah kedua orang yang sedang kami cari.

“Tapi mengingat keadaan mereka, terutama kebaikan orang she Cio itu, kami tidak berani turun tangan…….” Ia berhenti sebentar dan kini napasnya sangat sesak.

Bun Liong menunggunya, hatinya sangat tertarik akan lanjutan penuturan isterinya.

Dan kemudian Yang Hoa meneruskan: “Liong-ko. Suboku, Goat Im Nionio pernah mengatakan bahwa seorang yang tadinya jahat dan merupakan musuh besar kita, akan tetapi kemudian ia insaf dan merobah hidupnya ke arah jalan yang benar, maka ia disebut tidak boleh penjahat lagi. Begitu juga dengan yang membunuh ayahku itu.

“Ketika kujumpai ia sudah menjadi orang baik, menjadi pelopor dari organisasi massa dan terkenal dengan jiwanya yang besar dan kesosialannya, bahkan menanggung segala biaya perkawinanku pula. Karena itu, aku jadi tidak berani membunuhnya dan aku serta ibuku bahkan jadi merasa berhutang budi yang sangat besar kepadanya ” Tiba-tiba Bun Liong menukas: “Apakah kau maksudkan Cio Song Kang wan-gwe, Yang-moay…….?”

“Tak salah! Cio Song Kang yang sekarang menjadi seorang hartawan dan memiliki jiwa besar itu sebenarnya tak lain dari pada Cio Leng Hwat, si piauwsu penghianat yang merampok barang kawalan tanggungan ayahku dan pembunuh ayahku…….!”

Bun Liong mendadak merasakan kepalanya amat pening. Pembukaan rahasia itu benar-benar membuat pikirannya kalut dan hampir saja ia tak mau percaya atas keterangan isterinya itu.

“Liong-ko, suamiku, keteranganku sangat mengejutkan hatimu, bukan?!”

Bun Liong menghela napas dan sambil menggoyang-goyangkan kepala ia menyahut: “Ah……. Kalau saja penjelasan ini bukan dari engkau, tentu aku tak mau percaya. Hal ini benar-benar sangat mengejutkan hatiku, Yang-moay, karena aku sama sekali tak pernah menyangka bahwa Cio Leng Hwat itu adalah Cio wan- gwe…….”

Kembali ia menggeleng-gelengkan kepala dan menghela napas pula. Kemudian ia balik bertanya: “Dan konconya, yaitu si perampok tunggal itu, bagaimana dan siapakah orangnya?” “Dia sudah mampus lebih dulu, mampus di bawah golok si Serigala Hitam Ciam Tang ketika terjadi keributan di dalam kota Tong- koan…… Dia adalah Lu Sun Pin si Pagoda Besi!”

Makin bertambah peninglah kepala Bun Liong.

“Hatimu sungguh mulia, isteriku. Melihat perobahan hidup musuh- musuh besarmu, kau sudah dapat membatalkan maksud dan tujuanmu semula……. Di dunia ini jarang manusia yang berhati semulia engkau……” ujarnya setengah berbisik sambil mengecup kening isterinya dengan penuh rasa bangga, penuh rasa kasih sayang sebagai pengantin baru dan penuh rasa haru yang menyayat-nyayat kalbu.

Akan tetapi Yang Hoa ketika keningnya dikecup oleh suaminya, mukanya meringis-ringis pula, kaki dan tangannya menggeliat- geliat dan gemetar, dan dari mulutnya terdengar rintihan yang tertahan…….

Bun Liong seakan-akan baru sadar bahwa dalam keadaan seperti itu isterinya tak boleh banyak bicara. Ia merasa bersalah telah membiarkan dan bahkan mengajak isterinya bicara terlalu banyak. Selagi ia menyesali perbuatannya dan kebingungan karena tidak mengetahui apa yang ia mesti perbuat untuk menolong isterinya, tiba-tiba ia mendengar suara suhunya: “Liong…….!”

Ia cepat menoleh dan tampaklah gurunya yang masih duduk bersila itu memandang kepada ia dan isterinya, ia melihat bibir kakek itu seperti menggigil tatkala berkata lebih lanjut:

“Pergilah cepat ke kebun obat dan petiklah daun Ang-cauw (rumput merah) sebanyak lima genggam, buah Houw-bak (mata harimau) sepuluh biji dan kembang Kim-hoa (bunga emas) tujuh tangkai. Biarlah isterimu dibaringkan dulu dan aku menjaganya…….”

Tanpa banyak membuang waktu lagi Bung Liong melepaskan isterinya dari pangkuannya dan membaringkannya dengan perlahan. Ia maklum bahwa suhunya menyuruh mengambil bahan- bahan obat itu adalah untuk mengobati dan menolong isterinya. Maka ia segera keluar sambil mengingat-ingat bahan-bahan obat yang dikatakan suhunya tadi.

Tanpa menghiraukan tubuhnya yang sangat letih dan sakit-sakit serta perutnya yang lapar, ia berlari cepat ke arah lereng sebelah selatan, di mana banyak terdapat tetumbuhan bahan obat-obatan. Bun Liong sudah hapal akan bentuk dan warna bahan-bahan obat yang mesti dipetiknya karena ketika ia tinggal di gunung ini, ia sering diberitahu oleh gurunya tentang jenis-jenis bahan obat dan faedahnya.

Akan tetapi untuk mengambilnya ternyata memakan waktu lama juga karena bahan-bahan obat itu tumbuhnya terpisah-pisah sedangkan hutan obat-obatan ini luas sekali hampir sepanjang dan seluas lereng sebelah selatan sehingga sangat sukar mencarinya. Apalagi ketika itu hari hampir gelap, maka makin sukarlah.

Ketika bahan-bahan obat yang diperlukan itu sudah semua diambilnya dan dibungkus menjadi satu dalam kain pengikat kepalanya, Bun Liong cepat berlari kembali ke atas puncak. Napasnya terengah-engah karena jalan yang sangat nanjak yang ditempuh dengan berlari tergesa-gesa itu sungguh melelahkan tubuhnya yang sudah letih.

Ia mesti berhenti beberapa kali untuk mengumpulkan napas dan tenaganya, sungguhpun sebenarnya ia sangat ingin lekas-lekas menyerahkan bahan-bahan obat itu kepada gurunya, supaya isterinya cepat diobati. Ia percaya bahwa gurunya ahli dalam pengobatan dan ia percaya pula bahwa nyawa isterinya pasti tertolong. Akhirnya ia tiba di gubuk gurunya itu. Walaupun ketika itu sudah setengah gelap, namun ia masih dapat melihat dengan jelas bahwa gurunya masih duduk bersila di tempatnya semula dan matanya dipejamkan.

Bun Liong tidak berani mengganggu gurunya yang masih bersamadhi, maka diletakkannya bungkusan bahan-bahan obat itu di depan kakek itu. Dan kemudian ia menghampiri isterinya yang masih berbaring.

Dirabahnya kening isterinya sambil dipanggil-panggilnya perlahan, akan tetapi Yang Hoa diam saja seakan-akan sedang tidur nyenyak. Kemudian ia merasai detik nadi di pergelangan tangan isterinya.

Ia jadi bengong sesaat karena, nadi itu sudah tidak berdetak lagi! Pada detik berikutnya Bun Liong jadi menangjs tersedu-sedu sambil memeluk tubuh isterinya yang ternyata sudah tidak bernyawa itu……

Ia maklum bahwa isterinya menderita luka dalam yang hebat, akan tetapi sama sekali ia tidak menyangka bahwa isterinya akan mati begitu cepat! Betapa hancur luluhnya perasaan pemuda ini. Dapatlah dibayangkan dan tak terlalu berlebihanlah kalau dikatakan bahwa dunia ini seperti mendadak kiamat baginya…….

Kemudian pemuda yang sangat malang itu seperti menjadi kalap. Ia melepaskan tubuh isterinya yang tadi dipeluk-peluknya, dan sambil meratap seperti anak kecil ia menghampiri gurunya yang masih duduk bersila itu.

Ia hendak memprotes dan menyalahkan kakek itu mengapa tidak menolong isterinya. Untuk sekali ini dengan membuta ia berani melanggar larangan suhunya yang bersamadhi.

“Suhu…….! Mengapa kau membiarkan isteriku melepaskan nyawa? Suhu…..! Tolonglah isteriku barangkali saja masih dapat ditolong…….!” katanya nyaring di antara sedu sedannya sambil berlutut di depan kakek itu.

Akan tetapi, kakek itu diam saja dan hal ini benar-benar membuat Bun Liong yang pikirannya seperti mendadak gila itu bertambah nekad. Dipegangnya kedua pundak kakek itu dan diguncang- guncangkannya sambil meratap dan memohon:

“Suhu…….! Tolonglah isteriku…….!” Akan tetapi Bun Liong tiba-tiba jatuh tersungkur dan menindih tubuh gurunya yang tiba-tiba terguling menjengkang! Dan makin hebatlah tangis Bun Liong setelah diketahuinya bahwa kakek yang tadi duduk bersila seperti sedang bersamadhi itu, ternyata hanya tinggal raganya saja…….!

Kesunyian di puncak gunung Hoa-san yang sudah mulai gelap itu dipecahkan oleh suara tangis yang mengharukan dari seorang pemuda yang meratapi nasibnya yang sangat malang. Hari itu adalah hari perkawinannya, akan tetapi juga merupakan hari naasnya yang luar biasa, hari kematian ibu, ibu mertua, isteri dan gurunya…….

Tapi, suara tangis itu hanya sebentar saja dan pada saat selanjutnya suasana menjadi benar-benar sepi, karena ketika itu Bun Liong sudah tak sadarkan diri. Tubuhnya terkapar menggeletak di antara mayat isteri dan gurunya di dalam gubuk itu. Kesadaran pemuda ini sudah tak kuasa lagi menerima pukulan batin yang luar biasa hebatnya itu!

Pada keesokan harinya, ketika sang Surya baru saja muncul di ufuk timur, tampaklah seorang pemuda yang berwajah kuyu berjalan dengan langkah-langkah lesu dari puncak gunung Hoa- san menuju ke arah lereng sebelah timur. Sambil melangkah, sebentar-sebentar ia membalikkan kepalanya melihat ke arah puncak yang makin lama makin jauh ditinggalkannya.

Air matanya berlinang-linang membasahi ke dua belah pipinya yang pucat dan dari kerongkongannya terdengar suara sedu sedan yang ditahan-tahan. Makin lama ia berjalan makin ke bawah dan akhirnya menghilang di antara semak belukar dalam hutan yang mulai ramai dalam suara kicau burung-burung dan kokok-kokok ayam hutan yang menyambut datangnya sang pagi…….

Pemuda itu adalah Bun Liong. Ia pergi meninggalkan gunung Hoa- san setelah mengubur mayat-mayat isteri dan gurunya di dalam hutan yang penuh ditumbuhi pohon-pohon yang-liu, penguburan itu dilakukannya ketika fajar baru menyingsing.

Ia pergi dengan membawa kesedihan dan pikirannya seperti kurang beres. Kalau ia hendak kembali ke dusun Lo-kee-cun, ia harus menempuh lereng sebelah utara, sedangkan ia justeru menuju ke lereng sebelah timur dan entah akan kemana ia seterusnya…….

Sementara itu Can Po Goan dan kawan-kawannya telah mengubur jenasah-jenasah ibu dan ibu mertua Bun Liong di pekarangan belakang dari rumah keluarga Souw. Penguburan itu didahulukan sebagaimana mestinya.

Sedangkan mayat Ci Lun Hosiang dikubur di pinggir hutan. Dan karena semua orang merasa benci terhadap mayat gendut ini, maka mayat itu dikubur tanpa peti dan hanya dikubur begitu saja seperti mengubur bangkai anjing.

Rumah keluarga Souw serta bekas pesta perkawinan itu tidak seorangpun yang berani mengganggu, semua pintu-pintunya tinggal terbuka dan orang tak berani memasukinya. Rumah itu terus dijaga oleh anggauta Pauw-an-tui siang malam secara bergiliran sambil menanti kedatangan Bun Liong.

Akan tetapi setelah menanti sampai sepekan lamanya dan pemuda itu masih belum muncul juga, akhirnya pada suatu hari mereka mengambil keputusan untuk pergi menyusul ke gunung Hoa-san. Namun mereka kecewa karena di gunung itu tak seorangpun yang mereka jumpai, yang mereka dapatkan di puncak gunung itu hanya sebuah gubuk sederhana yang kosong.

Mereka menunggu di situ sampai tiga hari tiga malam sambil terus berusaha mencari di hutan-hutan. Akan tetapi baik Bun Liong maupun Yang Hoa atau kakek sakti itu tetap tak dapat mereka jumpai dan karena itu, akhirnya mereka kembali pulang dengan kecewa dan sedih.

Can Po Goan memutuskan untuk membereskan segala perabotan rumah tangga di dalam rumah keluarga Souw itu. Pintu rumahnya dikunci dan terus dijaga.

Bahkan papan yang bertuliskan “Bu-tek Enghiong” yang telah pecah itu mereka perbaiki dan dipancangkan pula di atas ambang pintu rumah yang sudah ditinggalkan oleh penghuninya itu!

Walaupun Pangcu mereka sudah tidak ada, namun organisasi Pauw-an-tui terus berdiri dipimpin oleh Can Po Goan dengan dibantu muridnya, Kwe Bun. Pauw-an-tui tetap bekerja aktif, walaupun keadaan sudah aman, namun organisasi keamanan ini terus mempertinggi kewaspadaan dan memperkuat penjagaan supaya keamanan seluruh wilayah Tong-koan tetap terjamin.

Dan mereka, terutama Can Po Goan, tetap menunggu Bun Liong dan Yang Hoa kembali. Akan tetapi harapan mereka hanya merupakan harapan kosong belaka karena mereka sama sekali tidak mengetahui bahwa Pauw-an-tui Sianli Ho Yang Hoa sudah meninggalkan dunia yang fana ini. Bun Liong entah pergi ke mana karena pemuda itu sampai saat cerita ini berakhir, tidak pernah datang kepada mereka yang selalu mengharap-harapkannya……..

T A M A T
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar