Pendekar Tanpa Tandingan Jilid 07

 
Jilid 07

Sementara itu Bun Liong sudah merasa khawatir kalau-kalau tunangannya yang keras hati itu akan bentrok dengan si Pagoda Besi yang mempunyai tabiat suka memandang rendah kepada orang, akan tetapi tiba-tiba Can Po Goan, guru silat bekas tentara yang jangkung kurus tampil ke depan dan berkata:

“Saudara Lu biarpun kata-katamu sangat beralasan, namun kurasa kau tak usah terlampau selempang kepada nona calon isteri pang- cu kita ini dan menurut pendapatku, percayalah, bahwa sebagai calon isteri Souw sicu tentu tak kan sudi turut serta dalam pekerjaan yang penuh bahaya, kalau ia tidak memiliki kepandaian yang sudah dijadikan andalannya. Pula, aku percaya bahwa Souw sicu sendiri akan sanggup melindungi calon isterinya.”

Bun Liong merasa lega dan Yang Hoa pun merasa berkurang kemendongkolan hatinya karena ucapan Can kauw-su selain memuji kepadanya secara tak langsung, berarti juga bantahan yang amat mengena bagi bekas satrunya, Lu Sun Pin. “Benar!” Cio wan-gwe nyeletuk, “Biarlah soal ini kita serahkan kepada Souw sicu saja, disamping itu tentu saja kita harus merasa gembira menerima bantuan dari seorang lihiap. Nah, sekarang kita mulai mengadakan perundingan untuk menyusun dan mengatur cara kerja perkumpulan kita, dan aku harap Souw sicu sebagai ketua mengeluarkan saran-saran terlebih dahulu.”

“Maaf, Cio tayjin,” kata Bun Liong, “sesungguhnya siauwtee tak dapat menempatkan diri sebagai ketua, dan istilah pang-cu samasekali tidak cocok dengan siauwtee yang masih sangat hijau ini.

“Kedudukan pang-cu yang cuwi berikan kepada siauwtee ini sebenarnya hanya secara kebetulan saja karena kemarin siauwtee kebetulan berhasil mengalahkan Ciam Tang si Srigala Hitam dan Bong Pi serta Bu-kiam si Dua Buaya Sungai Kuning. Padahal kepandaianku tidak jauh selisihnya dengan kepandaian dari kalian tiga orang tua.

“Sedangkan dalam hal pengalaman, terus terang saja siauwtee jauh kalah oleh sam-wi (kalian bertiga), terutama oleh Can lopeh dan Lu sianseng yang sudah mempunyai nama besar dan amat terkenal di kalangan kang-ouw. Oleh karena itu, maka kedudukan ketua sama sekali tak sesuai ditempati olehku dan kuserahkan kepada seorang di antara sam-wi saja, sedangkan siauwtee sendiri lebih suka menjadi anggauta saja.”

Ke tiga orang tua itu agak tercengang dan mereka termenung sejenak menganalisa gagasan pemuda itu dan betapapun juga akhirnya mereka mengakui bahwa alasan Bun Liong memang dapat dibenarkan, bahwa selaku ketua dari sebuah perkumpulan, apalagi perkumpulan Pauw-an-tui yang merupakan organisasi massa, tidak bergantung kepada tingginya ilmu silat saja, melainkan harus mempunyai syarat-syarat lain lagi yang penting.

Melihat betapa ke tiga orangtua itu berdiam saja dan sama-sama mengerutkan kening. Bun Liong segera berkata: “Siauwtee rasa, karena organisasi kita dipelopori oleh Cio tayjin, maka yang paling tepat Cio tayjinlah yang menjadi ketua.”

“Akur!”, kata Lu Sun Pin setengah berseru, “Memang Cio wan-gwe lah yang paling tepat!”

Dan reaksinya, terdengarlah Cio wan-gwe membantah keras: “Tidak bisa, tidak bisa! Mana ada aturan seperti ini? Biarpun organisasi ini boleh dibilang aku yang menelurkan, tapi untuk menjadi ketua, benar-benar aku merasa tak sanggup!” Kembali semua orang diam. Bun Liong yang cerdik maklum bahwa kedudukan ketua sebuah perkumpulan adalah sangat berat tanggung-jawabnya, sehingga Cio wan-gwe juga tidak mau, sama halnya dengan dia sendiri. Maka pemuda ini lalu berkata dan sengaja ditujukan kepada si Pagoda Besi terlebih dulu: “Kalau begitu, Lu sianseng saja kita angkat bersama menjadi pangcu.”

Tiba-tiba si Pagoda Besi itu mendelikkan matanya yang besar.

“Tidak, tidak! Untuk menjadi ketua orang harus memiliki kebijaksanaan, kesabaran dan pemandangan yang luas! Aku sama sekali tidak bijaksana, tidak mempunyai kesabaran, berpemandangan cupat dan lagi tingkat kepandaianku berada di bawah tingkat kepandaian saudara Can. Saudara Can orangnya memiliki kesabaran, kebijaksanaan dan pengalamannya sebagai bekas tentara tentu lebih masak daripada kita, maka kurasa tidak ada orang lain di antara kita yang lebih cakap kecuali saudara Can yang pantas menjadi ketua!”

Can Po Goan menggelengkan kepala sambil menarik napas panjang, dan kemudian ujarnya: “Kemarin, dengan disaksikan oleh khalayak ramai Souw sicu secara mutlak dinyatakan sebagai ketua, maka kuanggap Souw sicu lah yang harus menjadi ketua dan tidak bisa ingkar dari kedudukan ini.” Diam-diam Yang Hoa merasa geli hati melihat dan mendengar orang itu dan memang sanggah perbantahan dari satu terhadap yang lain amat beralasan.

Setelah mendengar betapa Can kauwsu akhirnya melemparkan kembali kedudukan ketua kepadanya, benar-benar kepala Bun Liong sangat pusing. Karena pemuda ini menyadari bahwa dirinya masih terlalu hijau dan sama sekali belum mengerti tentang organisasi, apalagi harus menjabat kedudukan ketua!

Kalau dipaksakan juga menerima kedudukan ini, bagaimana kalau nanti terjadi kekusutan karena salah urus, salah tindak, yang akibatnya bukan saja merugikan perkumpulan, tapi juga dijadikan buah cemoohan. Dan bahkan sangat mungkin ia akan mendapat teguran keras dari gurunya!

Kemaren Bun Liong merasa gembira dan bangga dapat merebut kedudukan ketua Pauw-an-tui dan gelar Tong-koan Ho-han. Akan tetapi sejak semalam ia merundingkan soal ini dengan calon isterinya yang biarpun masih sangat muda tapi ternyata mempunyai kecerdasan luar biasa dan berpemandangan luas.

Maka sadarlah Bun Liong bahwa kebanggaan yang diperolehnya sama sekali tak dapat dibenarkan. Karena, menjadi seorang ketua atau pemimpin, — kata calon isterinya bukan saja berat tanggung jawab, juga resikonya sangat besar, salah sedikit saja nama baiknya akan jatuh ke dalam jurang yang memalukan!

Itulah sebabnya mengapa kini Bun Liong merasa keberatan menjadi ketua Pauw-an-tui dan ia menyatakan lebih suka menjadi anggauta saja. Akan tetapi kenyataannya, setelah ia menyerahkan kedudukan ketua kepada Cio wan-gwe, kemudian kepada Lu Sun Pin yang lalu menunjuk Can Po Goan yang akhirnya menunjuk kepada dirinya pula, benar-benar Bun Liong merasa boh-wat (hilang akal)!

Akan tetapi, biarpun Bun Liong sangat bingung, berkat kecerdikannya dapat juga berkata sebagai pernyataan menerima akan tetapi sekaligus merupakan tangkisan:

“Can lopeh amat licin sehingga soal ini dilempar kembali kepada siauwtee!” ujarnya sambil tersenyum. “Dan kalau sam-wi benar- benar memaksa siauwtee harus menduduki tempat ketua, baiklah, siauwtee terpaksa harus menerimanya juga…….”

“Bagus! Bagus!” seru ke tiga orang tua itu dengan gembira karena mereka bebas dari persoalan yang amat berat tanggung jawabnya itu. “Nanti dulu…….!” Bun Liong menukas segera sehingga ke tiga orang tua yang baru saja kegirangan serempak memandang dengan heran kepada pemuda ini.

“Dengarlah dan maafkanlah siauwtee karena secara terus terang mesti menyatakan bahwa sam-wi ini tidak mau berpikir secara luas. Sebagaimana pernah tadi siauwtee katakan, bahwa siauwtee ini tak lebih dari seorang pemuda yang hijau, dan kalau kalian memaksakan juga menjadi ketua, sam-wi sekalian harus berpikir, bahwa kebaikan apakah yang dapat siauwtee lakukan?

“Paling-paling siauwtee akan berbuat serampangan menurutkan pergolakan darah muda yang panas dan berdasarkan kebodohan siauwtee. Dan kalau terjadi kekalutan dalam organisasi kita ini sebagai akibat dari tak becusnya pucuk pimpinan dan andaikata sampai terjadi hal yang sebaliknya misalnya organisasi kita yang diganyang oleh komplotan penjahat itu siapakah yang dipersalahkan dalam hal ini?

“Nah, inilah sebabnya maka siauwtee sangat mengharapkan sam- wi sekalian mempertimbangkan masalah kedudukan ketua ini masak-masak dan jangan mengambil keputusan serampangan belaka sehingga kelak akan menyesal, rugi dan mendapat malu besar!” Kembali tiga orang tua itu diam dan saling berpandangan dengan wajah bodoh. Benar juga gagasan pemuda she Souw ini, pikir mereka. Keadaan di ruangan sepi, karena ke tiga orang tua itu seperti terbentur pada jalan buntu!

Adapun nona Yang Hoa yang sejak tadi sudah merasa geli hati melihat persoalan ketua ini yang agaknya amat membingungkan bagi mereka yang bersangkutan, lalu berpaling kepada Bun Liong yang duduk di sebelahnya dan pemuda itupun menoleh dan memandang kepadanya.

Dari sinar mata tunangannya, Yang Hoa dapat membaca isi hatinya bahwa ia meminta bantuan kepadanya untuk mencari jalan keluar dari masalah yang amat sulit ini. Yang Hoa menggerakkan alisnya ke atas seakan-akan ia bertanya kepada tunangannya apakah ia boleh mengeluarkan pendapat untuk membantunya.

Dan sebagai jawaban Bun Liong menggedikkan kepala ke arah ke tiga orang tua itu sebagai isyarat bahwa gadis tunangannya yang mempunyai kecerdasan luar biasa ini boleh bicara. Yang Hoa tersenyum manis dan ia berkata kepada ke tiga tokoh penting dari Pauw-an-tui yang masih termangu-mangu itu. “Sam-wi sekalian! Maafkanlah kalau siauwli berani bersikap lancang, karena siauwli tahu bahwa seharusnya siauwli selaku anggauta bawahan, turut duduk dan ikut bicara di sini. Akan tetapi, mendengar persoalan kedudukan ketua ini yang membuat kalian nampak kebingungan dan lagi siauwli mendapat isyarat dari tunanganku yang minta bantuan unkuk mencari jalan keluar dari kesulitan ini, maka perkenankanlah siauwli menyumbangkan sedikit pendapat.”

Serempak, tiga orang tua itu memandang kepada gadis itu tanpa berkata-kata dan hal ini dianggap oleh Yang Hoa sebagai isyarat bahwa ia boleh bicara terus.

“Biarpun siauwli hanya seorang anak perempuan dusun dan bodoh dan sama sekali belum mengerti urusan perkumpulan atau organisasi, namun dari buku-buku yang siauwli pernah baca (sengaja ia tidak menyebutkan bahwa buku-buku yang pernah dibaca sebenarnya adalah kitab-kitab ketika ia bermukim di kuil Thian-an-si), di antaranya siauwli masih ingat buku tentang pedoman organisasi dan perkumpulan sehingga siauwli tahu sedikit peraturan dan syarat-syaratnya.”

“Bagus, katakanlah segera!” Kata Cio wan-gwe dengan sinar mata yang penuh harapan. “Beginilah…….,” Yang Hoa melanjutkan ucapanya. “Tadi kudengar bahwa seorang yang menjadi ketua harus memiliki kesabaran, kebijaksanaan, berpemandangan luas dan ilmu silatnya tinggi, dan pendapat kalian ini memang tepat sekali.

“Menjadi ketua harus memiliki kesabaran, kebijaksanaan dan berpemandangan luas, sebenarnya sudah terdapat pada Can lopeh. Pengalaman tempur yang dahsyat dan kegagahan, sudah dimiliki oleh Lu sianseng yang berjuluk Pagoda Besi yang tentunya sudah mempunyai pergaulan luas di dunia kang-ouw.

“Dan karena organisasi ini bersifat penjaga keamanan dan bermaksud menumpas komplotan gerombolan, maka orang yang menjadi ketuanya harus memiliki kepandaian yang sesuai dengan sifat perkumpulan, yaitu kepandaian bu (silat) dan menurut apa yang siauwli dengar tadi hal ini dimiliki oleh koko Bun Liong setelah berhasil menjadi juara dari pertandingan pibu yang dilangsungkan di depan gedung kemaren.

“Ke tiga macam syarat tadi sudah dimiliki oleh tiga orang di antara cuwi dan sekarang menurut pengetahuan siauwli setelah tiga syarat tadi harus ditambah lagi syarat keempat yaitu keuangan! Sebuah perkumpulan atau organisasi harus cukup kuat keuangannya agar perkumpulan yang dibentuknya pun kuat. Apalagi di dunia ini segala sesuatu kekuatan dan kehormatan selalu dipandang dari segi keuangan!

“Dan demikian juga bagi orang yang menjadi kepala atau pemimpin dari sebuah perkumpulan, disamping harus memenuhi tiga syarat yang telah disebutkan di atas, juga yang sangat penting, harus kuat keuangannya, yakni tegasnya seorang hartawan, agar dihormati, disegani dan badan yang dipimpinnya dapat bekerja lancar.

“Dan syarat keempat ini dimiliki oleh Cio tayjin. Dengan adanya ke empat syarat yang sudah dimiliki oleh kalian berempat maka apa sukarnya untuk mengatur siapa yang pantas menjadi pang-cu Pauw-an-tui ini?

“Daripada saling tunjuk yang tiada putusnya, bukankah lebih baik kalau sekarang dibentuk ketua gabungan yang terdiri dari empat orang? Kalian berempat dapat memegang jabatan sebagai ketua gabungan ini, selain lebih kuat, juga memperlambangkan persatuan dan kerjasama yang baik dalam perkumpulan, memberi tauladan kepada semua anggauta! Bagaimana pendapat dan pikiran kalian dengan usul yang siauwli sumbangkan ini?”

Ke tiga orang tua itu saling berpandangan sebentar. Wajah Cio wan-gwe nampak berseri, Lu Sun Pin memandang Yang Hoa dengan matanya yang terbuka lebar seolah-olah ia tidak percaya bahwa usul itu keluar dari mulut si nona, sedangkan Can Po Goan mengangguk-angguk kecil.

“Aku sependapat dengan nona dan memanglah kalau di antara masing-masing merasa keberatan menjadi ketua, maka lebih baik kita berempat dijadikan ketua gabungan,” komentar Cio wan-gwe kemudian dan hartawan ini lalu bertanya kepada Lu Sun Pin yang duduk di sebelahnya: “Bagaimana pikiranmu, Lu-tee dan juga kau Can kauw-su?”

“Aku setuju,” sahut si Pagoda Besi.

Dan Can Po Goan menyusul memberi suara: “Memanglah tiada cara yang lebih sempurna selain kita harus menjadi ketua gabungan!”

“Dan Souw sicu, bagaimana?” tanya Cio wan-gwe terhadap Bun Liong yang diam-diam mengagumi kecerdasan tunangannya.

“Siauwtee merasa gembira dan berterima kasih kalau sam-wi menyetujui usul dari Yang-moay ini,” jawab Bun Liong. “Bagus!” ujar Cio wan-gwe gembira. “Kita harus berterima kasih kepada nona calon isteri Souw sicu ini, karena kalau tiada dia di sini, pasti kita akan terus saling tunjuk tiada putusnya seperti tadi.

“Nah, sekarang, setelah persoalan yang membingungkan kita tadi itu dapat dipecahkan dengan hasil yang sempurna, maka marilah kita merundingkan bersama bagaimana cara dan baiknya mengatur anggauta-anggauta barisan keamanan kita ini supaya gerombolan garong itu dapat di atasi kebrutalannya, bahkan tujuan organisasi kita ini mengganyang mereka sampai habis! Dan tentu saja kita sangat mengharapkan buah pikiran dan usul-usul dari nona.”

Demikianlah, mereka berlima terus berunding dan dalam perundingan ini ternyata rancangan dari Can Po Goan yang mereka jadikan pedoman, karena guru silat bekas tentara ini memang sangat paham tentang menyusun barisan, mempunyai banyak siasat untuk membendung, mengepung dan menggempur musuh!

Perundingan kilat yang dilakukan dalam musyawarah kecil itu diakhiri oleh mereka sambil mengganyang santapan pagi yang sudah terhidang itu sampai licin tandas, sebagai lambang bahwa komplotan garong yang akan mereka ganyang itu, pasti terkikis habis!

Sementara itu di luar gedung, di pelataran depan di mana kemaren berdiri panggung lui-tay yang kini ternyata sudah dibongkar, telah banyak berkumpul pemuda-pemuda yang datang dari seluruh wilayah Tong-koan. Jumlah mereka sangat besar sekali dan jauh lebih banyak dari jumlah orang-orang yang menonton pibu kemaren. Mereka datang berbondong-bondong dan semuanya sebagai sukarelawan untuk mendaftarkan diri menjadi anggauta Pauw-an-tui.

Dan orang-orang yang sibuk mendaftarkannya, terdiri dari Tan Seng Kiat, Kwe Bun (murid-murid dari Can kauw-su), Sim Kang Bu, So Ma Tek (murid-murid dari Lu Sun Pin) dan dibantu oleh Cio Swi Ho, putera tunggal Cio wan-gwe. Para anak muda yang tadinya saling bermusuhan ini, sekarang bekerja sama dan sibuk mencatat nama-nama para calon anggauta yang datang berbondong itu.

Mereka duduk menghadapi sebuah meja panjang dan kelihatannya akur sekali seakan-akan sebelumnya tidak pernah terjadi permusuhan yang hebat. Para anak muda ini, setelah berakhirnya pibu kemaren dan melihat betapa guru-guru mereka menjadi akur, maka merekapun mencontoh perbuatan gurunya yang memang memberi nasehat pada mereka bahwa permusuhan yang tidak semestinya itu harus diakhiri.

Para anak murid Can kauwsu maupun Lu Sun Pin memang sangat mentaati guru-guru mereka, dan itulah sebabnya maka hari itu mereka bekerja sebagai pencatat nama orang-orang yang menyatakan diri menjadi anggauta Pauw-an-tui. Disamping kesibukannya, mereka bekerja dengan wajah yang berseri-seri karena mereka sadar bahwa kini mereka sudah sama-sama menjadi kawan sehaluan untuk menggalang persatuan dan tekad yang sama, yaitu mengganyang musuh-musuh mereka, musuh- musuh masyarakat wilayah Tong-koan umumnya, yaitu gerombolan garong dan komplotan bajak sungai!

◄Y►

Cahaya merah yang terlihat oleh Bun Liong dan Yang Hoa semalam memang perbuatan komplotan penjahat tersebut yang untuk kesekian kalinya kembali mengunjukkan keganasannya. Beberapa rumah penduduk di pinggir kota Tong-koan telah dibakar, harta benda rakyat jelata habis digasak, dan dua orang gadis muda hilang diculik! Peristiwa semacam ini memang bukan rahasia lagi bagi seluruh penduduk wilayah Tong-koan, tapi peristiwa yang terjadi malam itu agaknya disebabkan karena komplotan garong tersebut ingin melampiaskan dendam mereka setelah Ciam Tang si Srigala Hitam, Bu Kiam dan Bong Pi dikalahkan oleh Bun Liong di atas panggung lui-tay pada siang harinya. Mereka mengunjukkan aksi mereka sebelum barisan keamanan dibentuk dan beberapa orang penduduk sempat mendengar teriakan-teriakan dan sesumbar mereka:

“Mana Pauw-an-tui…….?!” “Mana perlawanan dari mereka?!”

“Hahaha, Pauw-an-tui tahu empuk……!!”

Hal ini benar-benar merupakan tantangan dan penghinaan yang hebat bagi Pauw-an-tui!

Itulah sebabnya, maka ketua gabungan yang merupakan Catur- tunggal dari Pauw-an-tui, setelah selesai berunding pada pagi hari itu merasa perlu untuk segera mengerahkan tenaga barisan keamanan yang mereka pimpim mulai hari itu juga. Pemimpin Catur-tunggal ini mengatur bagaimama wilayah Tong-koan harus dijaga. Tan Seng Kiat dan Sim Kang Bu serta para suteenya, diangkat menjadi pemimpin regu. Para anggauta Pauw-an-tui yang ternyata sangat banyak jumlahnya itu diatur dan diharuskan supaya menjaga dusun-dusun tempat tinggal masing-masing dengan dipimpin dan dibantu oleh kepala-kepala regu yang sudah ditunjuk dan mereka diwajibkan mengadakan perlawanan apabila komplotan musuh memperlihatkan batang hidungnya!

Demikianlah sejak hari dan malam itu seluruh pelosok wilayah Tong-koan telah dijaga oleh anggauta-anggauta Pauw-an-tui. Sebagian besar orang-orang lelaki dengan membekal senjata yang ada pada mereka melakukan penjagaan dengan waspada dan siap siaga.

Biarpun kebanyakan mereka terdiri dari penduduk biasa dan tidak bisa main silat, akan tetapi oleh karena semuanya setuju dengan tujuan organisasi Pauw-an-tui dan ditambah lagi mereka dipimpin oleh kepala-kepala regu yang mengerti ilmu silat, maka semangat dan keberanian mereka bangkit sehingga menimbulkan tekad yang bulat untuk bertempur mati-matian dengan gerombolan musuh mereka dan musuh seluruh masyarakat wilayah Tong-koan!

Semenjak masih sore, rumah-rumah telah menutup pintunya dan semua orang lelaki berada di luar rumah melakukan penjagaan, sedangkan para wanita dan anak-anak bersembunyi di dalam rumah dengan hati berdebar-debar. Setiap bunyi gaduh yang terdengar oleh mereka, baik bunyi tikus maupun kucing, membuat mereka pucat ketakutan.

Seluruh wilayah Tong-koan dalam keadaan tegang, karena kalau biasanya gerombolan-gerombolan datang merajah hanya akan menimbulkan kerugian bagi mereka. Kini pasti akan timbul pertempuran hebat karena semua orang lelaki akan melakukan perlawanan yang nekad!

Malam itu tidak terlalu gelap. Walaupun tidak berbulan, namun ribuan bintang di langit cukup memberikan penerangan yang remang-remang di muka bumi. Pemimpin Catur-tunggal dari Pauw- an-tui yang dibantu oleh nona Yang Hoa yang tidak mau berpisah dari calon suaminya dan yang tidak mau diam saja menghadapi situasi genting ini, telah melakukan kewajiban mereka masing- masing.

Cio wan-gwe yang pada malam itu telah mengenakan pakaian silat yang serba ringkas, membekal senjata sebatang toya, dikawani oleh Lu Sun Pin yang bersenjatakan golok besarnya dan Cio Swi Ho, yakni putera tunggal Cio wan-gwe, yang membawa senjata sebatang pedang, berjalan berkeliling dengan berpencar melakukan perondaan di dalam kota.

Sedangkan Can kauw-su, Bun Liong dan Yang Hoa mendapat tugas meronda di bagian luar kota! Menurut petunjuk dari Can kauw-su, Bun Liong dan tunangannya harus berkeliling meronda di pinggir wilayah Tong-koan bagian utara, sedangkan Can kauw-su sendiri berkeliling meronda di pinggir bagian selatan.

Setiap kelilingnya mereka mesti bertemu di pinggir barat dan timur, dan setelah itu, mereka berpisah pula untuk terus melakukan perondaan, mengontrol para anggauta penjaga yang terdapat di setiap pelosok dan memimpin mereka itu untuk melakukan perlawanan apabila gerombolan musuh mereka datang mengganggu! Baik Can kauw-su maupun Bun Liong atau Yang Hoa, melakukan perondaan itu sambil memainkan kepandaian ilmu lari cepat masing-masing, sehingga tubuh mereka hanya nampak berkelebat bagaikan bayangan setan malam!

Akan tetapi sampai jauh malam dan entah sudah berapa belas kali mereka bertemu di pinggir timur dan barat, sama sekali belum terlihat gejala-gejala munculnya gerombolan garong itu. “Mungkin mereka tidak berani muncul karena tahu bahwa kita sudah melakukan penjagaan,” kata Can kauw-su ketika mereka bertemu pula di atas wuwungan rumah di pinggir barat wilayah Tong-koan.

“Benar-benar mereka sangat pengecut!” ujar Bun Liong gemas.

Sedangkan Yang Hoa ketika itu nampak sedang membereskan segumpal rambut yang terjuntai di atas keningnya, yang terlepas karena tiupan angin malam.

“Memang, tiada perbuatan penjahat yang tidak pengecut, dan mereka tentu selalu mencari kesempatan dan keuntungan selagi pihak kita lemah dan lengah. Oleh karena itu, maka betapapun juga, jangan kita lekas merasa bosan dalam melakukan tugas kita ini,” kata Can kauw-su setengah memberi semangat kepada dua teruna itu.

Setelah beristirahat melepaskan lelah sejenak, mereka kembali menjalankan tugas.

Sudah tiga malam berturut-turut mereka melakukan penjagaan dan perondaan seperti itu, akan tetapi ternyata gerombolan penjahat tidak muncul. Hal ini tentu saja membuat segenap para penjaga jengkel dan lelah dan pula karena tiga malam terus menerus tidak berani tidur dan selalu bergadang, maka semangat dan tubuh mereka menjadi sangat lesu.

Gejala yang dapat melemahkan kedudukan penjagaan ini dapat dimaklumi oleh pemimpin Catur-tunggal, dan Can kauw-su berkata kepada Bun Liong dan tunangannya ketika mereka bertemu pula di tempat biasanya, yaitu pada malam keempat.

“Kalau keadaan terus-terusan begini, dengan sendirinya kedudukan kita pasti menjadi lemah dan hal ini sangat berbahaya sekali, maka besok sebaiknya kita berunding lagi untuk merubah taktik!”

“Kau benar, Can lopeh,” Bun Liong membenarkan. “Dan menurut pendapat siauwtee lebih baik kita satroni saja sarang-sarang mereka dari pada kita bekerja seperti ini yang sama sekali tidak menguntungkan, bahkan kemungkinan besar kita bisa menderita kerugian.”

“Ya, posisi bertahan kita agaknya mesti diubah dengan taktik tempur, karena tujuan kita pun memang hendak mengganyang habis mereka. Dan lagi…….” Can kauw-su tidak sempat melanjutkan perkataannya, karena ketika itu tiba-tiba saja ia melihat cahaya api berkobar dikejauhan, yaitu kira-kira di dalam kota Tong-koan.

“Lihat, api…….! Kebakaran……!!” seruan ini keluar dari mulut Bun Liong dan Yang Hoa hampir berbareng, karena kedua anak muda yang selalu waspada inipun telah melihat pula cahaya merah yang berkobar-kobar dalam waktu yang bersamaan.

“Keparat! Rupanya komplotan manusia biadab itu telah dapat masuk ke dalam kota di luar tahu kita!” Can kauw-su berteriak marah dan segera ia mengajak Bun Liong dan tunangannya: “Mari kita cepat menuju ke sana!”

Maka dengan mengerahkan ilmu lari cepat, mereka segera berlarian ke arah berkobarnya api itu. Pada waktu itu, tengah malam telah lama lewat, bahkan telah mendekati fajar. Ketika mereka sudah mulai memasuki kota, jelas tampak oleh mereka bahwa cahaya api yang terlihat dari jauh tadi adalah rumah-rumah di banyak tempat yang telah menjadi lautan api, dan ketika mereka sudah masuk ke dalam kota, terdengarlah sorak sorai dan pekik jerit yang campuh sekali!

Dan memanglah pada malam keempat dan setelah mendekati fajar itu, komplotan perampok telah berhasil memasuki dan menyerbu ke dalam kota Tong-koan tanpa dapat dibendung lagi oleh para anggauta Pauw-an-tui yang menjaga di pinggir kota. Ternyata komplotan perampok itu, yang belum diketahui dari pihak gerombolan si Cakar Harimau atau anak buah dari si Sungai kuning, atau sangat mungkin dari ke dua-duanya seperti yang sudah-sudah, telah menyerbu dan memasuki wilayah Tong-koan dari berbagai jurusan.

Siasat ini membuat para penjaga menjadi kacau-balau dan kekuatan mereka menjadi terpecah-pecah. Lebih kacau lagi ketika perampok-perampok dari luar dusun mempergunakan anak-anak panah yang membawa api, sehingga dengan cepat dan mudah beberapa buah pondok yang terdekat telah terbakar.

Sebenarnya, para penjaga di garis depan sudah melakukan pertahanan dan perlawanan dengan bertempur nekad dan mati- matian sehingga akibatnya, tidak sedikit juga para perampok yang terluka dan tewas. Akan tetapi kawanan perampok jauh lebih kuat dan lebih ganas, sehingga pertahanan para anggauta Pauw-an-tui jadi kewalahan dan bobol.

Dengan demikian maka kawanan perampok bisa masuk dan menyerbu ke dalam kota dan di sini mereka disambut pula oleh Barisan Penjaga Keamanan yang mengadakan pertahanan dan perlawanan secara gagah berani! Sebentar saja pertempuran hebat segera terjadi dan beberapa rumah penduduk jadi terbakar oleh anak-anak panah berapi yang dilepaskan oleh para perampok!

Ketika Can kauw-su, Bun Liong dan Yang Hoa tiba di tempat kekacauan keadaan benar-benar sudah sangat panik. Suara robohnya rumah-rumah yang dibakar gerombolan demikian gemuruh bagaikan bunyi bukit runtuh, jerit minta tolong dari wanita- wanita dan anak-anak penghuni rumah yang terbakar bercampur dengan teriak dan suara beradunya senjata dari orang-orang yang bertempur!

“Can lopeh dan juga kau, Yang-moay, lebih baik kita berpencar dan sebaiknya kalian pergi ke rumah Cio Tayjin, siapa tahu di sana terbit kekacauan yang lebih hebat dan mereka memerlukan bantuan! Di sini biarlah aku yang turun tangan!” kata Bun Liong.

Can kauw-su terkejut ketika teringat kepada rumah hartawan Cio karena mengingat bahwa hartawan itu menjadi pelopor dari Pauw- an-tui, maka sangat mungkin Cio wan-gwe dan gedungnya menjadi sasaran utama dari para penjahat ini. Cepat Can kauwsu berlari ke arah tempat yang dimaksud diikuti oleh nona Yang Hoa setelah memberi pesan kepada tunangannya: “Koko, kau berhati- hatilah!”

Can kauw-su dan Yang Hoa berlari cepat seperti terbang menuju ke tempat tinggal Cio wan-gwe. Di tengah perjalanan mereka membantu para anggauta Pauw-an-tui dan pedang-pedang mereka membabat para perampok!

Can kauw-su merasa kagum melihat sepak terjang dan kegagahan nona Yang Hoa yang mengamuk bagaikan singa betina. Setiap kali pedangnya berkelebat, pasti seorang perampok menjerit dan roboh, karena dalam jiwa nona ini sudah tertanam kebencian yang mendalam terhadap segala macam orang jahat!

Sementara Bun Liong bertindak dan turun tangan ketika melihat tidak jauh di depannya ada empat orang anggauta Pauw-an-tui sedang mengeroyok dua orang yang berpakaian serba hitam, — yang menjadi ciri khas dari kaum perampok — yang ilmu silatnya cukup tinggi sehingga penjaga-penjaga itu terdesak hebat. Dua orang perampok itu bersenjata golok besar dan ketika Bun Liong baru saja muncul di antara mereka, seorang anggauta Pauw-an-tui telah rebah berlumuran darah dan kawannya yang tiga orang lagi itupun sudah kewalahan sekali. Bun Liong maklum bahwa menghadapi pertempuran yang campuh itu, lebih praktis ia menggunakan senjatanya. Maka sekali tangannya merenggut tali pengikat pinggangnya, seutas tali yang merupakan cambuk itu telah berada di tangannya dan sekali saja tangannya bergerak, maka terdengarlah bunyi: “Tarrrr……!”

Dua golok di tangan perampok itu terlempar jauh dibuatnya karena telah disamber, dibelit dan di “lempar”kan oleh cambuk itu. Kaki dan tangan kirinya menyusul pula bergerak, dan akibatnya sekaligus dua orang perampok roboh tidak berdaya!

Para penjaga menjadi girang, lalu tubuh kedua perampok itu dijadikan bulan-bulanan kegemasan dan kemarahan mereka, dengan dihujani bacokan, pentungan, gebukan dan tendangan mereka, sehingga mayat musuh seluruh penduduk Tong-koan itu menjadi hancur luluh dan mengerikan!

Bun Liong berlari ke arah lain di mana juga terdapat dua orang perampok yang dikeroyok oleh para penjaga. Dua orang perampok ini ternyata lebih lihay lagi sehingga di tempat ini sudah ada empat orang anggauta Pauw-an-tui yang menggeletak berlumuran darah, sedangkan lima orang kawannya lagi yang masih mengeroyok, sudah terdesak sekali. “Serahkan mereka kepadaku!” teriak Bun Liong dan ke lima orang anggauta Pauw-an-tui itu ketika melihat pemuda yang menjadi pang-cu mereka datang, segera melompat mundur. Sebaliknya, dua orang perampok ketika melihat Bun Liong, serempak maju mengeroyok sambil mempergunakan golok-golok besar mereka.

Dengan mempergunakan kesebatannya Bun Liong berkelit sehingga dengan mudah dia dapat menghindari serangan dua batang golok yang seakan-akan hendak menggunting tubuhnya dari kanan dan kiri itu. Dan berbareng dengan itu iapun menyabetkan cambuknya memberi serangan balasan dan ternyata dua orang perampok itu cukup gesit sehingga dapat melayani untuk beberapa jurus.

Akan tetapi Bun Liong tidak mau membuang banyak waktu untuk melayani mereka. Ia mainkan cambuknya dengan cepat dan dua gebrakan kemudian cambuknya kembali telah merampas senjata perampok tersebut dan pada waktu itu juga terdengar mereka menjerit, karena yang seorang telah mendapat sodokan kilat dari kaki Bun Liong yang menghantam lambungnya dan yang seorang lagi, telah roboh dalam keadaan lemas karena jalan darah hian-hi- hiat di bawah tenggorokannya telah kena ditotok oleh ujung cambuk! Para anggauta Pauw-an-tui bersorak gembira sambil menubruk mereka dan tubuh perampok yang sudah tidak berdaya itu dijadikan pelepas kemarahan mereka!

Bun Liong lalu melompat ke tempat lain di mana terdengar hiruk pikuk dari orang-orang yang bertempur dan pemuda ini mendapat kenyataan bahwa benar-benar komplotan perampok itu amat cerdik. Mereka bergerak dengan berbareng pada waktu yang sama sehingga Bun Liong yang baru sekali menghadapi pertempuran campuh, agak bingung dan sukar sekali baginya untuk membagi- bagi tenaganya.

Terpaksa ia bekerja cepat dan dengan mengerahkan ginkangnya yang tinggi. Ia berlari kesana kemari untuk membantu para penjaga yang terdesak oleh para perampok itu!

Para perampok yang sukar ditaksir jumlahnya itu ketika mendengar bahwa pemuda yang menjadi pang-cu Pauw-an-tui telah datang dan mengamuk sehingga banyak kawan mereka telah jatuh menjadi korban, maka mereka lalu bersatu. Dan ketika Bun Liong sedang menghadapi keroyokan tiga orang perampok di dekat tumpukan puing yang masih menyala dari sebuah rumah penduduk yang dibakar oleh salah seorang kawan mereka, datanglah enam orang perampok lain dan sebentar saja Bun Liong dikepung dan dikeroyok oleh sembilan orang perampok yang bersenjata pedang, golok, tombak dan lain sebagainya!

Bun Liong sedikitpun tidak jerih, bahkan sambil menggertak gigi karena menahan marah, ia segera memainkan ilmu cambuknya Shan-kong-joan-pian. Cambuk di tangannya bergerak-gerak dan memnyamber-nyamber bagaikan kilat sambil mengeluarkan suara “Tar…! Tar….! Tar…..!!” bagaikan bunyi petir kecil yang membelah suasana.

Dalam menghadapi sembilan orang lawan yang mengeroyoknya ini, Bun Liong tidak berani berlaku sembarangan dan karena memang ia ingin bekerja cepat, maka pemuda ini telah mengeluarkan jurus-jurus dari ilmu cambuknya yang terlihay yaitu gerak tipu yang disebut Kim-coa-hi-cuy atau Ular Emas Mandi Di Air! Duakali terdengar bunyi “tar-tarr” dari cambuknya, menjeritlah dua orang perampok karena muka kedua orang ini telah kena dihajar oleh sabetan ujung cambuk yang membuat kulit muka mereka amat sakit dan pedas dan kepala mereka jadi pening.

Senjata yang dipegangnya terlepas dengan sendirinya karena kedua tangan mereka menutupi wajah mereka yang ternyata telah pecah dan berdarah. Untuk sesaat mereka berdiri sambil berteriak- teriak kesakitan dan akhirnya keduanya jatuh tersungkur sambil terus mengaduh-aduh.

Bun Liong meneruskan serangannya. Cambuknya diulur sampai panjang dan meluncur berlegat-legot seperti seekor ular emas yang sedang bermain di air dan sekali disentakkan ke belakang, ujung cambuk itu secara istimewa sekali telah melibat pinggang tiga orang lawan dan ketika sekali lagi Bun Liong menarik cambuk itu sambil berseru keras, maka tak ampun lagi tiga orang perampok serempak roboh terguling saling bertindihan!

Empat orang perampok yang belum kebagian dihajar, seketika menjadi melongo karena amat kagetnya. Sama sekali tidak mereka sangka bahwa pemuda itu dalam dua gebrakan saja telah dapat merobohkan lima orang kawannya. Tapi seorang diantaranya, yang mempunyai keberanian sangat besar, segera melompat maju dan golok di tangannya berkelebat bagaikan sambaran halilintar.

Perampok ini merasa pasti bahwa serangannya akan berhasil karena ia menyerang dari arah belakang pemuda itu. Akan tetapi ia kecele dan kaget, karena secepat kilat Bun Liong membalikkan tubuh dan cambuknya terayun menyambut golok. Perampok itu menyabetkan goloknya hendak membabat cambuk dan ketika goloknya membentur ujung cambuk itu, ia rasakan tangannya menggetar dan ternyata ujung cambuk itu tidak dapat terputus oleh sabetan goloknya, bahkan sebelum ia sempat mengelak, ujung cambuk secara istimewa sekali telah dapat melibat pinggangnya!

Sebelum ita dapat meronta dan melepaskan diri, terdengarlah Bun Liong berseru nyaring dan tahu-tahu tubuhnya telah ditarik dan melayang ke udara bagaikan dilontarkan oleh tenaga raksasa. Dan sial sekali baginya, karena ketika tubuhnya jatuh kembali, persis menimpa gundukan puing yang masih menyala sehingga ia berteriak-teriak sambil meronta dan menggeliat, akhirnya ia mampus dalam keadaan hangus!

Pengeroyok yang tinggal tiga orang lagi, setelah melihat bahwa kelihayan pemuda itu benar-benar hebat, mereka jadi merasa jerih dan serempak bagaikan mendapat perintah, ketiganya segera menggunakan gerak tipu mengangkat kaki seribu alias, lari ngacir!

Tetapi Bun Liong yang sudah marah sekali terhadap musuh yang dikonfrontasinya tidak mau membiarkan mereka mabur begitu saja. Cambuknya yang panjang itu segera diayun ke depan dan terdengar “tar-tar-tar!” tiga kali membuat ke tiga perampok mengeluarkan lengkingan meninggi dan tubuh mereka dalam saat yang sama jatuh tersungkur dengan hidung mencium tanah.

Selain baju bagian belakang mereka telah robek dan kulit punggung mereka menjadi pecah dan berdarah terkena sabetan ujung cambuk, juga ujung cambuk itu setelah menghajar punggung-punggung mereka langsung meluncur dan berputar ke bawah sehingga sekaligus membelit kaki-kaki mereka. Dan inilah yang membuat mereka jatuh tersungkur!

Tentu saja para anggauta Pauw-an-tui menjadi girang luar biasa melihat hal ini, mereka berebutan maju dan memberi hajaran tambahan terhadap tubuh-tubuh dari delapan perampok itu! Tiada hentinya para anggauta Pauw-an-tui memuji kegagahan pang-cu mereka yang masih muda.

Akan tetapi Bun Liong yang dipuji sudah semenjak tadi pergi dari tempat itu dan cepat berlari menuju ke gedung Cio wan-gwe, selain untuk membantu hartawan itu sendiri bersama Lu Sun Pin, dan Can kauw-su, juga pemuda ini merasa khawatir kalau tunangannya mendapat bahaya!

Sementara itu Yang Hoa juga menghadapi lawan, bahkan lawannya lebih berat daripada yang dihadapi Bun Liong. Benar seperti yang menjadi dugaan Bun Liong tadi bahwa rumah Cio wan-gwe tentu akan menjadi sasaran utama dari serbuan komplotan perampok.

Dan memang begitulah kenyataannya, ketika Yang Hoa bersama Can kauw-su tiba di situ mereka melihat pertempuran hebat di depan gedung Cio wan-gwe! Lima orang perampok sedang mengamuk dan biarpun Cio wan-gwe telah menjaga rumahnya dengan sepuluh orang anggauta Pauw-an-tui pilihan yang terdiri dari murid-murid Lu Sun Pin dan Can kauw-su, tetap tak berdaya bahkan Yang Hoa melihat bahwa enam orang anggauta Pauw-an- tui ketika itu sudah rebah sambil merintih-rintih!

Tidak jauh dari tempat pertempuran itu, tampak pula Cio wan-gwe sedang bertempur mati-matian menghadapi seorang perampok yang bertubuh tinggi besar. Perampok tinggi besar ini mudah dikenal oleh siapapun, ialah Ciam Tang si Srigala Hitam yang memimpin penyerbuan ini!

Ketika itu, permainan toya Cio wan-gwe sudah kacau dan ia sudah terdesak hebat dan terus didesak oleh Ciam Tang yang mengeluarkan ilmu goloknya yang benar-benar tinggi. Tidak jauh dari tempat pertempuran kedua orang ini, tampaklah tubuh Lu Sun Pin menggeletak berlumuran darah dan sudah tak berkutik. Agaknya Pagoda Besi ini sudah dirobohkan terlebih dulu oleh pemimpin gerombolan itu!

Tanpa banyak cakap Can kauw-su dan Yang Hoa segera maju dan menyerbu. Kalau Can kauw-su menghadapi lima orang perampok yang telah merobohkan enam orang anggauta Pauw-an-tui tadi, maka Yang Hoa segera menyela di antara pertempuran Ciam Tang dan Cio wan-gwe.

“Cio tayjin, serahkan bajingan rendah ini kepada siauwli!” seru nona itu sambil menyabetkan pedang pendeknya ke arah Ciam Tang.

Cio wan-gwe yang memang sudah terdesak itu girang mendapat bantuan nona ini, maka segera melompat mundur dari kalangan tapi bukan untuk istirahat, melainkan pergi membantu Can kauw- su!

Sambil menggerakkan goloknya menangkis, Ciam Tang ketawa bergelak.

“Hahaha…….! Pernah kudengar bahwa dalam organisasi Pauw- an-tui ini terdapat seorang anggauta wanita yang cantik seperti bidadari, dan kabar itu benar-benar tidak bohong karena sesungguhnya kau lebih cantik dan lebih gagah dari segala macam bidadari penghuni sorga!” katanya dan sepasang matanya yang besar memandang kurang ajar.

“Jangan ngaco, manusia bedebah!” maki Yang Hoa marah dan kembali pedang di tangannya berkelebat menyambar.

“Amboi, amboi, galak benar si manis ini!” balas Ciam Tang sambil berkelit dan diam-diam ia merasa sayang kalau harus bertempur dengan gadis secantik itu.

Seketika juga timbullah maksud jahatnya, yaitu ingin menangkap Yang Hoa hidup-hidup dan menculiknya. Karena ia belum mengetahui kepandaian si nona sehingga dianggapnya lawan ringan dan menyenangkan, maka sambil berkelit itu, ia maju setindak ke depan dan tangan kirinya secepat kilat mengulur hendak menotok jalan darah di pinggul si nona.

Yang Hoa maklum maksud keji dari pemimpin gerombolan ini, maka dengan marah ia menyabetkan pedangnya dan kalau saja Ciam Tang tidak berlaku gesit dan cepat menarik kembali tangannya, pasti tangan itu akan terbabat!

“Ciam Tang, manusia sesat! Apakah kau masih belum kapok setelah dihajar adat oleh calon suamiku di atas panggung lui-tay tempo hari sehingga kau jatuh dari panggung seperti seekor anjing buduk kena tendang, maka kini kau membawa anak buahmu datang lagi kemari hendak mencari mampus?!” Yang Hoa memaki pula dan diam-diam ia mengagumi kegesitan si Srigala Hitam.

“Apa? Pemuda sombong itu calon suamimu?! Pantas, pantas! Pantas saja calon isterinya pun demikian sombong, berlagak seperti seorang pendekar wanita!!”

Ciam Tang, ketika bergelak dan katanya pula: “Bagus, kalau ternyata kau calon isteri dari bocah ingusan yang sudah menghinaku, maka kaupun berhak menerima pembalasanku!”

Kemudian ia mengeluarkan suara auman seperti seekor harimau lapar sambil melompat maju dan goloknya yang besar mengirim serangan dahsyat ke arah Yang Hoa! Memanglah, si Srigala Hitam ini merasa sakit hati kepada Bun Liong dan penyerbuan malam inipun hanya untuk melampiaskan dendamnya.

Karena ia belum bertemu dengan Bun Liong, sedangkan sekarang berhadapan dengan calon isteri musuh besarnya itu, maka ia merasa cukup pantas kalau nona galak ini menerima pembalasannya mewakili calon suaminya. Kalau tadi ia bermaksud menangkap nona ini dan menculiknya untuk kemudian dijadikan permainan, kini maksud itu dibuangnya jauh-jauh dan diganti dengan nafsu membunuh!

Yang Hoa yang melihat betapa si Srigala Hitam mulai membuka serangan, cepat miringkan tubuhnya untuk berkelit dan secepat kilat pedangnya digerakkan mengirim serangan balasan ke arah kaki lawan sehingga pada detik berikutnya Ciam Tang dan gadis ini telah terlibat dalam sebuah pertempuran hebat!

Serangan-serangan golok Ciam Tang dilancarkan demikian kuat, cepat dan ganas! Setelah bertempur sampai belasan jurus ia mengakui bahwa nona lawannya sangat gesit sehingga sukar sekali untuk dijadikan sasaran bagi goloknya, maka ia mengganti taktik dan kini ia selalu mengarahkan goloknya ke pedang si nona, dengan maksud hendak mematikan pedang lawan alau membikin pedang itu terlepas dari pegangan. Kalau sudah demikian, ia akan lebih mudah mencapai kemenangan, pikirnya.

Akan tetapi, ternyata Ciam Tang kecele! Sudah lebih enam kali goloknya sengaja diadukan dengan pedang Yang Hoa sehingga menerbitkan bunyi “trang, traannng!” nyaring sekali dan bunga api berpancaran keluar setiap kali dua batang senjata saling membentur dengan hebatnya! Disamping merasa kecele, Ciam Tang diam-diam hatinya terkejut sekali karena bukan saja pedang gadis itu tidak terbabat putus atau terpental, bahkan ia merasa telapak tangannya bergetar, sakit dan pedas akibat sambutan tenga lweekang yang amat kuat dari gadis itu. Untung tenaga gwa-kangnya cukup kuat dan iapun segera menyalurkan tenaga lweekang agar goloknya tidak sampai terlepas dari pegangannya, akan tetapi betapapun juga pengalaman ini sudah cukup mengagetkannya.

Ciam Tang maklum bahwa gadis yang semula dipandang ringan ini, kini ternyata tidak boleh dibuat sembarangan. Tetapi iapun jadi penasaran dan marah sekali, maka sambil menggertak gigi ia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, dan memainkan goloknya dengan lebih dahsyat!

Yang Hoa yang sudah menerima gemblengan matang dari Goat Im Nionio tetap saja dapat mematahkan semua serangan lawannya dengan kelincahan, ketangkasan dan ketenangannya yang mengagumkan.

Ketika pertempuran sudah mencapai jurus ketigapuluh, Ciam Tang melancarkan serangannya dengan geraktipu-geraktipu yang paling lihay. Sambil mulutnya berseru keras, ia menggerakkan goloknya dengan tipu Kim-so-tui-tee (Kunci Emas Jatuh Di Tanah), golok yang besar dan mengkilap tajam itu setelah membuat gerakan berputar ke atas, tiba-tiba meluncur ke bawah menyentuh tanah sambil mengeluarkan bunyi “cring!” karena ujungnya yang runcing mengenai sebutir batu, dan dari bawah golok itu membuat serangan miring ke atas yang merupakan sabetan maut ke arah dada Yang Hoa!

Melihat datangnya serangan hebat ini, Yang Hoa lalu miringkan tubuhnya ke kiri dan pedangnya digerakkan dari arah kiri ke kanan menangkis golok lawan yang meluncur ke arah dadanya itu, sehingga kembali pedang dan golok beradu menerbitkan bunyi nyaring dan bunga api berpijar. Akan tetapi gadis tidak berhenti sampai di situ saja, karena dari pertemuan pedang dan golok itu ia sengaja membuat pedangnya terpental untuk kemudian diteruskan dengan menggunakan gerak tipu Duri Menusuk Dari Bawah Bunga. Pedangnya berkelebat di bawah golok dan melesat ke arah tenggorokan lawan dengan amat cepatnya!

Gerakan ini benar-benar di luar dugaan Ciam Tang yang menjadi terkejut dan gugup sekali. Ia berseru keras untuk mengerahkan tenaga dan sambil menarik kembali goloknya, ia mencoba menjatuhkan dirinya ke belakang agar dirinya terhindar dari serangan yang benar-benar berbahaya.  Akan tetapi ia kurang cepat dan ujung pedang Yang Hoa masih menyerempet pangkal lengan kirinya!

Disamping menahan rasa sakit pada pangkal lengannya yang terluka, kini Ciam Tang benar-benar terkejut dan gentar. Karena selain sudah membuktikan bahwa gadis itu mempunyai kepandaian yang jauh melampaui dugaannya semula, bahkan pada hakekatnya ia merasa kalah unggul oleh gadis itu!

Pada saat itu, Ciam Tang mendengar teriakan-teriakan dan pekikan-pekikan susul menyusul dan ketika ia mengerling ke arah suara itu, anak buahnya telah roboh semua dihajar oleh Can kauw- su bersama Cio wan-gwe! Hal ini benar-benar mematikan semangat Ciam Tang karena belum pernah ia mengalami peristiwa kehancuran seperti kali ini dan ia jadi mengakui bahwa dengan terbentuknya Pauw-an-tui, benar-benar ia merasa “ketemu batunya”!

Tetapi Yang Hoa tidak mau membuang kesempatan ini. Ia segera melompat maju dan pedangnya mengirim serangan yang mematikan, sehingga untuk menyelamatkan dirinya, Ciam Tang kembali membuat tiga kali lompatan ke belakang dan ketika ia sudah berdiri pula di tempat yang kira-kira sejauh lima tombak dari si nona, si Srigala Hitam tiba-tiba bersuit nyaring dan ia melarikan diri di dalam gelap!

Agaknya suitan itu sebagai isyarat bagi para anak buahnya supaya segera angkat kaki. Akan tetapi ternyata tidak seorangpun anak buahnya yang mentaati isyarat pemimpinnya ini, karena semuanya telah menggeletak di tanah akibat pengganyangan organisasi Pauw-an-tui yang untuk pertama kalinya telah mencatat kemenangan!

“Bangsat rendah, hendak pergi ke mana?!” teriak Yang Hoa ketika melihat pemimpin gerombolan itu melarikan diri dan segera mengejar.

“Bagus, kejar dia jangan sampai lolos, Yang-moay!” seruan ini adalah dari Bun Liong yang baru tiba ke tempat itu.

Ketika Yang Hoa mendengar ini menjadi girang hatinya karena calon suaminya dalam kekacauan ini ternyata tidak kurang suatu apa, maka dengan perasaan yang senang sekali ia terus berlari mengejar Ciam Tang.

Bun Liong sendiripun, setelah melihat bahwa di tempat itu sudah aman, segera berlari menyusul tunangannya untuk sama-sama mengejar pemimpin gerombolan yang melarikan diri itu. Tak lama kemudian para anggauta Pauw-an-tui berdatangan dari berbagai pelosok untuk membantu kawan-kawannya di pusat terjadinya penyerbuan kawanan perampok itu, tapi mereka mendapatkan bahwa tempat itu sudah aman dan tidak seorang perampokpun yang masih hidup.

Ketika mereka melihat Yang Hoa dan Bun Liong berlari mengejar si Srigala Hitam yang mabur itu, merekapun tidak mau ketinggalan, semuanya turut mengejar. Sambil berteriak-teriak, mereka berlari- lari jauh di belakang Yang Hoa dan Bun Liong.

“Kejar……! Tangkap si bajingan keparat…..!! Jangan beri dia hidup…..!! Bikin mampus saja……!! Ganyaaaang…….!!”

Akan tetapi, oleh karena pemimpin gerombolan itu menggunakan ilmu lari cepat, demikian pula Yang Hoa dan Bun Liong, sebentar saja para anggauta Pauw-an-tui tertinggal jauh dan menjadi bingung karena ketiga orang itu tidak terlihat lagi sehingga mereka tidak tahu ke jurusan mana harus mengejar!

Ternyata ilmu lari cepat dari Ciam Tang sudah cukup tinggi, sehingga untuk beberapa lama, Yong Hoa dan Bun Liong belum berhasil menyusulnya. Dalam kesempatan ini, biarpun tidak pernah berjanji lebih dulu, telah digunakan oleh Yang Hoa dan Bun Liong untuk saling menguji ilmu lari cepat masing-masing karena memang kedua calon suami isteri ini belum pernah saling mengunjukkan kepandaian masing-masing dalam keadaan yang asli.

Hal ini pada dasarnya mempunyai dua macam kebaikan. Pertama, mereka jadi mempunyai kesempatan untuk saling memperlihatkan ilmu lari cepat yang dimilikinya dari satu kepada yang lain dan kedua, mereka tambah mempercepat pengejaran terhadap si Srigala Hitam yang sudah agak jauh di depannya itu!

Yang Hoa yang berlari terlebih dulu, telah mengerahkan seluruh kepandaian dalam hal ilmu lari cepatnya, sehingga Bun Liong yang menyaksikan betapa si nona berlari demikian cepat di depannya dan sebentar-bentar menengok kepadanya seakan-akan menantang supaya ia mengejarnya, maka dengan sendirinya ia merasa bahwa dirinya hendak diuji dan diajak balap oleh calon isterinya.

Ketika Yang Hoa mengerahkan ilmu larinya yang paling dibuat andalan, yakni ilmu lari Liok-tee-hui-heng (Lari Terbang Di Atas Bumi), tubuhnya melesat maju sedemikian cepatnya seakan-akan terbangnya seekor burung walet. Bun Liong pun segera mengerahkan ilmu larinya yang juga paling diandalkan, yaitu Teng-peng-toh-cuy (Menginyak Rumput Menyeberang Air), sehingga tubuhnya yang memang memiliki gin- kang tinggi itu menjadi sedemikian ringan seakan-akan sehelai daun kering yang tertiup angin santer, melesat ke depan dengan kecepatan luar biasa dan menyusuI Yang Hoa!

Yang Hoa jadi terkejut dan kagum ketika tiba-tiba merasa angin bertiup dari belakang dan tubuh Bun Liong cepat menyambar lewat disampingnya. Diam-diam si nona jadi “panas hati”.

“Hm! Akupun bisa menyusulmu, lihatlah!” gumamnya di dalam hati dan ia segera mengganti ilmu larinya dengan ilmu lompat yang disebut Anak Panah Terlepas Dari Busurnya.

Dalam berlarinya, sekali saja sepasang kaki Yang Hoa menginjak bumi, maka segera tubuhnya mencelat ke depan dalam suatu gerak lompatan yang cepat sekali sehingga benar-benar seperti meluncurnya sebatang anak panah dan benar saja. Dengan mempergunakan ilmu lompat yang luar biasa ini, Yang Hoa berhasil menyusul Bun Liong dan bahkan ia dapat melampauinya jauh di depan dan ketika tubuhnya yang melayang turun lagi dengan sepasang kakinya kembali menyentuh bumi, lalu menengok ke belakang. Ia jadi tersenyum kagum ketika dilihatnya betapa tubuh calon suaminya itupun telah melayang mendatangi yang ternyata telah mempergunakan ilmu lompat pula yang disebut Naga Sakti Mengejar Mustika, dan tahu-tahu pemuda itu telah berada tepat di sebelah kirinya!

Yang Hoa tersenyum manis sambil mengerling tajam, dibalas oleh calon suaminya dengan senyum bahagia dan pandangan mata yang penuh kasih mesra! Mereka terus berlari lagi dan ternyata akibat dari balap lari itu, kini mereka sudah dapat menyusul Ciam Tang dekat sekali!

Sementara itu, fajar mulai menyingsing dan karena pagi itu tidak ada halimun, maka sebentar saja keadaan menjadi terang. Hal ini amat menggelisahkan hati Ciam Tang yang melarikan diri oleh karena ketika ia sudah sampai jauh di luar perbatasan wilayah Tong-koan dan hendak memasuki hutan, ke dua orang pengejarnya terus mengejar dan tak mau melepaskannya, serta keadaan yang mulai terang itu tidak memungkinkannya untuk menyembunyikan diri.

“Ciam Tang! Tidak ada gunanya kau melarikan diri! Biarpun masuk ke dalam tanah kau takkan terlepas dari tangan kami!” seru Yang Hoa sambil melompat maju sehingga kini benar-benar ia berhasil mendekati Ciam Tang dan pedangnya pun nampak berkelebat membabat punggung pemimpin gerombolan itu.

Akan tetapi, ketika itu Ciam Tang mendadak membuat gerakan yang tiba-tiba. Karena maklum bahwa pedang nona pengejarnya itu mengancam punggungnya, secepat kilat ia membalikkan tubuh dan goloknya disamberkan bukan untuk menangkis pedang lawan, tetapi justeru ia sengaja hendak merabas pinggang si nona! Hal ini sungguh mengagetkan Bun Liong yang melihatnya sehingga pemuda ini segera berseru:

“Yang-moay, awas…….!!!!”

Namun, Yang Hoa sudah cukup waspada biarpun ia sendiri sangat kaget karena gerakan Ciam Tang benar-benar di luar dugaannya. Tapi berkat gin-kangnya yang sudah tinggi, nona ini dapat berlaku sebat menjatuhkan diri bergulingan ke samping sehingga dirinya terlepas dari serangan yang tiba-tiba itu dan kesempatan ini digunakan oleh Ciam Tang untuk segera membalikkan tubuhnya dan terus melarikan diri pula!

Akan tetapi sebelum pemimpin gerombolan ini berlari jauh dan menghilang ke dalam hutan, tiba-tiba seutas tali meluncur ke arah sepasang kakinya, tapi sebelum ujung cambuk dari Bun Liong ini sempat menjerat sasarannya, tiba-tiba penjahat itu terdengar berteriak dan tubuhnya roboh terguling berkelojotan!

Bun Liong heran karena cambuknya belum mengenakan sasaran dan penjahat itu sudah mendahului berteriak dan roboh. Pemuda yang waspada ini menaruh curiga kalau-kalau si Srigala Hitam itu hanya berpura-pura belaka untuk kemudian memberi serangan mendadak seperti barusan, maka ia meneruskan serangan ujung cambuknya yang ditotokkan ke arah jalan darah yang-kwan-hiat di punggung penjahat itu sehingga seketika itu juga si Srigala Hitam jadi berhenti dari berkelojotannya dan tidak berkutik pula!

Ketika Bun Liong mendekati dan memeriksa tubuh si Srigala Hitam yang telungkup, ia melihat bahwa punggung penjahat itu, telah menjadi sasaran sebatang Piauw yang menancap tepat di tengah- tengah dan ternyata piauw tersebut disambitkan oleh Yang Hoa secara cepat dan jitu sekali!

Bun Liong maklum bahwa si Srigala Hitam telah menemui ajalnya dan ia memandang kepada calon isterinya yang ketika itu sudah berdiri di sisinya. “Sambitan senjata rahasiamu sungguh lihay sekali, Yang-moay,” katanya memuji dengan sejujurnya. Yang Hoa tersenyum, dan biarpun dara ini kelihatan amat letih, namun wajahnya makin cantik dalam penglihatan Bun Liong.

“Liong-ko, tugas kita sudah selesai. Marilah kita kembali ke kota!” katanya sambil membersihkan pedangnya dari noda-noda darah bekas pertempuran di dalam kota tadi, kemudian pedang itu dimasukkan ke dalam sarungnya yang tergantung di pinggangnya.

“Mari, Yang-moay,” Bun Liong menyetujui sambil menggulung cambuknya.

Akan tetapi, sebelum kedua anak muda ini sempat melangkahkan kaki mereka dari tempat itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kehiruk-pikukan suara sorak sorai dari dalam hutan dan serempak banyak sekali orang-orang yang berpakaian serba hitam muncul dan berlompatan keluar dari balik tetumbuhan liar, mereka ini langsung menyerbu Bun Liong dan Yang Hoa!

Biarpun kedua anak muda ini amat terkejut tetapi hati mereka cukup tabah. Mereka tidak takut bahkan sebaliknya mereka menjadi sangat marah ketika dilihatnya bahwa penyerbuan itu dipimpin oleh dua orang yang mereka sudah kenal, yaitu si Sepasang Buaya Sungai Kuning, yang berlari paling depan dengan senjata siap di tangan! Agaknya gerombolan bajak sungai ini sengaja hendak menyerbu ketika fajar baru menyingsing dan di tempat itu kebetulan sekali mereka bertemu dengan Bun Liong dan seorang dara cantik. Hal ini sangat menggirangkan hati Bong Pi dan Bu Kiam yang memang hendak membalas sakit hati mereka terhadap pemuda yang pernah mengalahkan mereka di atas panggung lui-tay tempo hari!

Kalau saja mereka kali ini berhasil membunuh pemuda yang mereka sudah rasakan kelihayannya bukan saja rasa sakit hati mereka terbalas, tapi juga sekaligus mereka dapat melenyapkan ketua Pauw-an-tui, demikian pikir mereka! Oleh karena itu, maka Sepasang Buaya Sungai Kuning ini segera mengepalai para anak buahnya dan menyerbu hendak mengeroyok si pemuda yang dianggap sebagai musuh besar mereka!

Sebentar saja Bun Liong dan Yang Hoa sudah dikurung, dan Bong Pi serta Bu Kiam langsung menyerang Bun Liong. Sambil ketawa mengejek, pemuda ini menyambut serbuan mereka dengan ayunan cambuknya!

Adapun nona Yang Hoa setelah mencabut kembali pedangnya, segera mengamuk laksana seekor singa betina dan kalau Bun Liong sementara itu menghadapi Bong Pi dan Bu Kiam, maka nona ini melawan para anak buah bajak sungai yang mengurungnya itu. Yang Hoa yang sangat membenci segala kaum penjahat, telah menggunakan pedangnya dengan tidak kepalang tanggung.

Walaupun dirinya dikurung, dan banyak senjata menyerang bagaikan hujan dari segala jurusan, akan tetapi apakah arti para anak buah bajak sungai yang terdiri dari manusia-manusia kasar bagi dara perkasa ini?! Setiap kali pedangnya berkelebat, menjerit dan robohlah tubuh seorang bajak sehingga sebentar saja sudah tak kurang, dari lima orang anggauta bajak sungai yang menggeletak luka atau tewas dan Yang Hoa terus menggerakkan pedangnya bagaikan halilintar menyambar-nyambar menyabet dan membabat sehingga jerit pekik dan robohnya tubuh-tubuh pengeroyoknya susul menyusul!

Adapun Bong Pi dan Bu Kiam, dengan penuh nafsu membunuh menggerakkan pedang mereka mengeroyok Bun Liong dan tadinya mereka menganggap bahwa dengan pengeroyokan beramai, mereka pasti dapat merobohkannya, tapi kini mereka kecele! Mereka repot sendiri karena pedang-pedang mereka lebih banyak dipergunakan untuk melindungi diri mereka dari sabetan- sabetan cambuk Bun Liong, daripada untuk menyerang!

Kalau tempo hari mereka berdua menghadapi Bun Liong yang hanya bertangan kosong saja sudah dibikin tidak berdaya, apalagi sekarang pemuda itu menggunakan senjatanya yang istimewa, maka keruan saja mereka jadi repot. Dan permainan pedang mereka yang biasanya sangat dibanggakan karena mempunyai sistim kerja sama dan taktik yang kompak, kini menjadi kacau berantakan!

Kalau menurutkan hawa amarah, sebenarnya Bun Liong ingin membunuh mereka secepat mungkin, tapi pemuda ini kurang puas kalau tidak mempermainkan mereka lebih dulu! Sambil terenyum- senyum cambuk di tangannya digerakkan dengan seenaknya saja, tetapi akibatnya ternyata Bong Pi dan Bu Kiam terdesak hebat! Pakaian mereka sudah compang camping dan kulit tubuh mereka sudah pecah-pecah dan berdarah dilecut ujung cambuk Bun Liong!

“Hahh! Dua Buaya Sungai Kuning! Inikah agaknya yang kalian maksudkan dengan serangan gelombang yang kalian ancamkan kepadaku tempo hari? Eh……! Kenapa kalian menari-nari…….!” kata Bun Liong mengejek ketika melihat betapa ke dua orang lawannya berjingkrak-jingkrak kesakitan karena kaki-kaki mereka kena dihajar pecutnya!

Ketika itu tiba-tiba terdengar pula suara sorak sorai dari lain jurusan. Bun Liong dan Yang Hoa cepat melirik dengan terkejut karena mengira bahwa kawanan gerombolan datang pula, tetapi hati mereka serempak menjadi lega karena suara sorak sorai itu adalah dari para anggauta Pauw-an-tui yang ikut mengejar Ciam Tang tadi, akhirnya mereka sampai di situ!

Demi dilihatnya betapa pangcu mereka dan tunangannya sedang dikeroyok oleh para penjahat maka tanpa komando lagi mereka serempak maju dan membantu Bun Liong dan Yang Hoa yang sebenarnya tidak perlu dibantu oleh mereka itu!

Maka tempat itu ramailah oleh suasana pertempuran yang ribut. Para anggauta Pauw-an-tui yang gagah berani menggerakkan senjata masing-masing sehingga gerombolan bajak sungat itu dikepung dan tak diberi jalan lolos!

Melihat datangnya bala bantuan dari anggauta Pauw-an-tui ini Bong Pi dan Bu Kiam yang benar-benar sudah merasa kewalahan itu jadi kebingungan, akan tetapi berkat pengalamannya yang banyak mereka tidak cepat putus asa, bahkan untuk menyelamatkan diri dari kepungan yang berbahaya ini segera mereka mengeluarkan serangan licik, yaitu serempak seperti berjanji lebih dulu, Bong Pi dan Bu Kiam merogoh kantong baju mereka dan pada detik berikutnya, dalam saat yang sama berlesatanlah dari tangan mereka enam batang senjata rahasia ke arah Bun Liong! Bun Liong yang selalu waspada sudah maklum maksud mereka ketika dilihatnya mereka merogoh kantong baju tadi, maka ketika melihat dirinya diserang secara begitu tiba-tiba oleh enam batang senjata rahasia sekaligus, sedikitpun ia tidak menjadi gugup. Akan tetapi karena pihak penyerang sangat dekat dan senjata-senjata rahasia itu meluncur sangat cepat sehingga ia tidak keburu untuk menyampok atau menyambut enam batang piauw tersebut.

Maka jalan satu-satunya untuk menghindarkan diri dari serangan berbahaya ini, ia segera melompat ke atas dan tubuhnya membuat salto tiga kali di udara dengan sangat indahnya sehingga enam batang Piauw tadi mengenai tempat kosong dan berlesatan di bawahnya! Akan tetapi celaka sekali, senjata-senjata rahasia yang tidak mengenakan sasarannya ini langsung menghantam tiga orang anggauta Pauw-an-tui yang kebetulan sekali berada tidak jauh di belakang Bun Liong, sehingga tiga orang yang sial ini terguling roboh sambil menjerit-jerit kesakitan!

Kesempatan yang demikian baik, yaitu ketika Bun Liong sedang berjungkir balik di udara, telah digunakan oleh Bong Pi dan Bu Kiam untuk melarikan diri sambil berseru nyaring: “Angin kencang…….!!” Inilah istilah rahasia bagi para anak buahnya untuk cepat melarikan diri, dan setelah membobolkan kepungan dengan merobohkan empat orang anggauta Pauw-an-tui yang mengurung dan menghadangnya, Bong Pi dan Bu Kiam dapat melarikan diri dan menghilang ke dalam hutan, diikuti oleh sisa anak buahnya yang lari berserabutan!

“Kejar…….! Kejar!!!!” demikian teriakan para anggauta Pauw-an- tui dengan bernafsu dan mereka lari mengejar.

“Jangan!! Kawan-kawan, jangan mengejar…….!” teriak Bun Liong yang ketika itu sudah “jatuh” kembali dan berdiri di muka bumi.

Para anggauta Pauw-an-tui itu membatalkan pengejarannya dan berjalan dengan sikap panasaran dan heran. Bun Liong maklum apa yang dirasakan di hati mereka, maka ia berkata memberi penyelasan:

“Saudara-saudaraku, musuh yang sudah melarikan diri ke dalam hutan, jangan sekali-sekali kita kejar terus, sebab sangat berbahaya sekali!”

Puaslah para anggauta Pauw-an-tui mendengar penjelasan ini dan kemudian atas ajakan Bun Liong, mereka beramai-ramai kembali ke kota sambil menggendong atau menggotong kawan-kawan mereka yang luka, dan empat orang di antaranya ternyata telah tewas!

Ditengah perjalanan mereka bertemu dengan Cio wan-gwe dan Can kauw-su yang agaknya hendak menyusul mereka. Ke dua orang tua gagah ini menyatakan terima kasih kepada Bun Liong dan Yang Hoa dan para anggauta Pauw-an-tui sekalian atas bantuan mereka yang telah berhasil mengganyang komplotan pengacau dan membunuh Ciam Tang, dan berhasil memberi hajaran pula terhadap komplotan bajak sungai sebelum mereka sempat membuat kerusuhan di dalam wilayah Tong-koan.

Tapi sebaliknya Bun Liong dan kawan-kawannya terkejut dan berduka cita, setelah mendengar dari Cio wan-gwe bahwa Lu Sun Pin telah tewas akibat pertempuran dengan si Srigala Hitam Ciam Tang tadi. Hanya nona Yang Hoa saja yang bersikap lain mendengar kematian si Pagoda Besi ini, daripada terkejut dan berduka cita dara ini lebih banyak memperlihatkan kemenyesalan.

Demikianlah, dengan berbondong-bondong mereka berjalan menuju ke kota dan di setiap dusun yang mereka lalui, mereka disambut oleh para penduduk yang mengelu-elukan kemenangan mereka. Para penduduk mengagumi Yang Hoa, selain mengagumi kecantikannya, juga memuji keberanian dan kegagahan dara perkasa itu!

Para anggauta Pauw-an-tui yang menderita luka ditampung di rumah-rumah perguruan silat milik Can kauw-su dan mendiang Lu Sun Pin, yang dijadikan rumah sakit darurat dimana sudah tersedia jururawat-jururawat sukarelawan dan beberapa orang tabib.

Setelah mengubur para korban yang gugur sebagai pahlawan termasuk jenazah Lu Sun Pin dan mengubur pula para anggauta gerombolan yang mati konyol itu, semua anggauta Pauw-an-tui lalu pulang ke rumah masing-masing untuk beristirahat. Para anggauta Pauw-an-tui yang mendapat tugas jaga siang menempati tempat-tempat penjagaan yang sudah ditentukan, untuk menggantikan tugas kawan-kawannya yang semalam telah bekerja berat!

Hari itu penduduk wilayah Tong-koan merayakan peristiwa kemenangan semalam dengan gembira sekali disamping turut belasungkawa atas kematian para anggauta Pauw-an-tui. Semua penduduk wilayah Tong-koan memberi nama pujian bagi Yang Hoa yakni Pauw-an-tui Sianli atau Dewi Pauw-an-tui! Nama pujian ini memang tepat sekali karena bukan saja Yang Hoa sudah membuktikan kegagahannya, akan tetapi juga merupakan anggauta wanita yang satu-satunya dalam Barisan Penjaga Keamanan itu. Bahkan sangat jelita pula, hingga serasilah kalau ia disebut Dewi…….!

Ketika Bun Liong dan Yang Hoa sudah tiba di rumahnya, kedua anak muda ini disambut oleh nyonya janda Souw dengan pelukan kelegaan hati sedangkan nyonya janda Ho, menyambut kedatangan mereka dengan wajah berseri-seri menandakan bahwa hati orang tua ini merasa gembira melihat puteri dan calon menantunya selamat dan bangga akan kegagahan dua orang muda itu.

Kemudian Bun Liong dan Yang Hoa mendengar cerita dari nyonya janda Souw bahwa semalaman rumah mereka telah didatangi oleh tiga orang penjahat. Itu agaknya mempunyai maksud hendak mengambil jiwa Bun Liong.

Akan tetapi sebelum mereka sempat bertindak dan baru saja mengintai di atas genteng rumah, seorang demi seorang telah dapat diganyang oleh nyonya janda Ho dengan menyambitkan tiga batang Piauw dari dalam rumah. Biarpun ke tiga orang penjahat itu terhalang oleh genteng sehingga nyonya ini tidak melihat sasaran yang diarahnya dan hanya berdasarkan kira-kira saja tetapi ternyata ke tiga batang piauw yang disambitkannya telah mengenai sasarannya dengan sangat jitu sehingga ke tiga orang penjahat itu, yang dapat dipastikan suruhan dari Ciam Tang, berteriak dan jatuh dari atap rumah dan kemudian menemui ajalnya di bawah gebukan dan bacokan orang-orang yang memang sudah berjaga-jaga dan siap siaga!

“Hmmm! Kawanan penjahat sudah mengetahui tempat tinggal kita. Hal ini sungguh berbahaya sekali!” kata Bun Liong seolah-olah berkata pada diri sendiri.

“Liong-ko, tak usah kau berkecil hati. Selama ibuku berada di sini, apakah yang mesti dikhawatirkan?”

Bun Liong menatap tunangannya dengan sikap berterima kasih dan sinar matanya yang hanya Yang Hoa saja yang dapat menangkap maknanya…….

Prakarsa dari Can kauw-su untuk menyerbu sarang kaum gerombolan seperti yang pernah diutarakan kepada Bun Liong, segera dikemukakan dalam pertemuan dengan Cio wan-gwe pada keesokan harinya. “Cio tayjin, setelah terjadi peristiwa kemarin malam, tidak mustahil kalau pihak garong itu akan melakukan pembalasan kepada kita. Maka aku beranggapan bahwa sudah seharusnya kita mendahului memukul mereka di sarangnya. Hal ini kurasa lebih baik dan daerah kita ini akan cepat aman dari pada kita harus selalu berjaga-jaga tanpa mengetahui bila mereka akan bergerak menyerang kita.”

Prakarsa ini, setelah dipertimbangkan masak-masak, disetujui oleh Cio wan-gwe. Demikianlah pada hari itu juga persiapan untuk menyerbu ke sarang gerombolan garong segera diatur, disamping barisan untuk menjaga keamanan daerah pun diperkuat!

Sarang garombolan yang terletak di hutan sebelah selatan kota, yaitu sarang komplotan perampok yang dikepalai oleh Houw-jiauw Lo Ban Kui, diputuskan untuk diserbu lebih dulu mengingat pihak komplotan perampok ini akan melakukan serangan pembalasan besar-besaran setelah Ciam Tang berikut anak buahnya diganyang sampai benar-benar ludas!

Barisan untuk penyerbuan telah diatur oleh Can kauw-su yang lebih matang pengalamannya selaku bekas tentara. Bun Liong dan Yang Hoa yang sudah diketahui kegagahannya, mendapat tugas untuk mendatangi sarang gerombolan sebagai siasat pancingan, sedangkan Can kauw-su sendiri memimpin sejumlah anggauta Pauw-an-tui untuk menyusul belakangan dengan diam-diam dan akan menyerbu sarang gerombolan dari lain jurusan!

Siasat penyerbuan ini telah diatur secara seksama dan cermat dan Bun Liong serta Yang Hoa pun diberi petunjuk-petunjuk oleh guru silat bekas tentara itu betapa sepasang anak muda ini harus berbuat dalam penyerbuan ini!

Sementara itu, Cio wan-gwe sendiri memimpin barisan penjagaan di dalam daerah untuk berjaga-jaga kalau-kalau sementara kawan- kawannya pergi menyerbu, datang serangan mendadak dari pihak gerombolan bajak sungai yang sarangnya akan diserbu pula kemudian, setelah penyerbuan sarang komplotan perampok berhasil!

Sebagaimana sudah diterangkan bahwa yang menjadi pemimpin komplotan perampok penghuni hutan sebelah selatan kota Tong- koan adalah Houw-jiauw Lo Ban Kui, seorang setengah tua yang tinggi ilmu silatnya, terutama ilmu silat Houw-jiauw-kun-hoat (Ilmu Silat Cakar Harimau), dengan kuku-kuku dari ke sepuluh buah jari tangannya yang sengaja dipeliharanya sampai panjang dan runcing serta beracun, sungguh berbahaya sekali! Justeru dari kehebatan kuku-kuku jari-jari tangannya inilah maka ia mendapat julukan si Cakar Harimau. Karena selain kuku-kuku itu demikian kuat sehingga dapat merobek kulit tubuh, juga sedikit atau berat luka di kulit yang disebabkan sentuhan kuku-kuku itu berarti bahaya maut, kuku-kuku tersebut mengandung racun yang sangat berbahaya!

Bentuk tubuh Lo Ban Kui tidak tinggi besar seperti kebanyakan kepala perampok yang nampaknya menyeramkan, melainkan ia bertubuh pendek kecil sehingga merupakan seorang kakek kerdil dan punggungnya agak bungkuk. Rambut di kepalanya jarang sekali sehingga ia kelihatan setengah botak, demikian juga kumis dan jenggotnya, seutas demi seutas agaknya dapat dihitung dengan mudah karena jarangnya seperti rumput tumbuh di tanah yang tandus! Hanya matanya saja yang bersinar tajam dan bergilar liar, mencerminkan sifat yang bengis dan kejam!

Kakek kerdil bungkuk ini mempunyai pembantu dua orang, yaitu si Srigala Hitam Ciam Tang dan Tiat-pi-him (Beruang Lengan Besi) Go Bang, seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) yang mempunyai tenaga luar biasa kuatnya!

Mereka bertiga merupakan tiga serangkai yang telah membuat nama besar di daerah utara. Akan tetapi pada suatu hari, di utara telah muncul seorang pendekar tua yang memiliki kepandaian yang tinggi sekali.

Munculnya pendekar perantau yang tidak mau memperkenalkan namanya ini, yang amat benci terhadap golongan liok-lim dan kaum penjahat, telah membnat gempar di kalangan rimba hijau. Banyak kepala perampok yang telah tewas dan roboh di tangan pendekar tua ini.

Dan Houw-jiauw Lo Ban Kui beserta kawan-kawannya dapat menyelamatkan diri dari pengganyangan pendekar tersebut setelah sarang mereka diobrak-abrik dan tak sedikit anak buah mereka menjadi korban!

Tiga serangkai kepala perampok ini bersama sisa anak buahnya lalu lari ke selatan dan akhirnya memilih tempat di hutan sebelah selatan kota Tong-koan dan di daerah ini mereka mengeduk rejeki tanpa ada yang menghalang-halangi! Tapi pekerjaan mereka ini mendapat saingan dari komplotan bajak sungai yang kebetulan waktu itu melakukan operasi di kota dan daerah Tong-koan.

Hal ini bagi Lo Ban Kui dan anak buahnya bukan merupakan penghalang, melainkan justeru merupakan “lawan usaha,” sehingga mereka berlomba-lomba menggasak harta milik penduduk Tong-koan. Berlomba membuat kekacauan dan kekejaman, sehingga keadaan kota dan daerah Tong-koan sangat menyedihkan.

Akan tetapi, dengan dibentuknya Pauw-an-tui yang anggauta- anggautanya terdiri dari seluruh lapisan masyarakat wilayah Tong- koan, mau tak mau mereka ini mesti mengakui bahwa mereka kini menghadapi penghalang dan lawan yang kuat! Apalagi Houw- jiauw Lo Ban Kui setelah Ciam Tang dan para anak buahnya diganyang ludes oleh barisan penjaga keamanan tersebut.

Hal ini benar-benar baginya merupakan pukulan hebat dan diam- diam ia mengakui kekuatan Pauw-an-tui! Namun, disamping itu, hati si Cakar Harimau ini merasa panas dan penasaran, karena dari anak buah penyelidiknya ia mendapat keterangan bahwa ketua Pauw-an-tui itu hanya seorang pemuda yang masih muda sekali dibantu oleh seorang dara cantik jelita yang berkepandaian tinggi dan yang menyebabkan kematian Ciam Tang berikut para anak buahnya.

“Hmm! Sepasang bocah macam apakah maka berani berkonfrontasi dengan pihakku?! Rasakan pembalasanku!” dengus Lo Ban Kui marah. Terhadap para anak buahnya ia kemudian mengadakan peraturan keras dan disiplin. Disamping mengandung maksud hendak mengadakan pembalasan besar-besaran, juga sejak malam kematian Ciam Tang, si Cakar Harimau ini mengatur penjagaan sarangnya dengan amat kuat karena ia sudah dapat menduga bahwa organisasi Pauw-an-tui itu suatu waktu pasti akan datang menyerbu ke tempat mereka!

Dibuatnya jebakan-jebakan dan di setiap sudut hutan di sekitar sarang yang dijadikan tempat takhta kerajaan si Cakar Harimau ini dipagari dengan para anak buahnya yang sembunyi di balik tumbuh-tumbuhan hutan. Maka ditugaskan sebagai penjaga dan penyelidik sehingga karenanya, kedatangan Bun Liong dan nona Yang Hoa ketempat ini, telah mereka ketahui dengan cepat!

Tiat-pi-him Go Bang yang mengepalai penjagaan mendapat bisikan dari salah seorang anak buahnya yang bertindak selaku penyelidik bahwa dua orang muda yang mendatangi adalah Souw Bun Liong pang-cu Pauw-an-tui bersama tunangannya yang bergelar Pauw-an-tui Sianli.

“Hahahaha……..!” Si Beruang Lengan Besi ketawa bergelak setelah mendengar keterangan itu dan dengan irama kata memandang rendah berkata: “Kukira ketua Pauw-an-tui yang mendapat julukan Tong-koan Ho-han seorang pendekar besar bertangan selusin. Tidak tahunya hanya bocah cilik yang masih bau susu!

“Apa maksudnya kambing muda itu maka berani mendatangi sarang macan?! Tapi, eh, bocah perempuan itu benar-benar cantik sehinngga tidak terlalu berkelebihan kalau mendapat julukan Sianli (dewi). Biarlah akan kutangkap hidup-hidup untuk hiburan di waktu iseng, sedangkan kambing muda yang jantan itu boleh kita bikin mampus saja!”

Sungguhpun Bun Liong dan Yang Hoa masih berada di tempat yang agak jauh dari tempat persembunyian Go Bang dan anak buahnya, namun karena kedua anak muda ini telinganya sudah terlatih sehingga berpendengaran tajam, maka ucapan si Beruang Lengan Besi mereka dengar dengan cukup jelas.

Yang Hoa yang beradat keras dan paling muak kalau mendengar perkataan kurang ajar, apalagi ditujukan terhadap dirinya dan diucapkan oleh perampok yang sangat dibencinya sejak kematian ayahnya, maka nona ini dengan hati marah dan gemas mempercepat langkah kakinya dan menuju ke arah suara si Beruang Lengan Besi tadi. Sedangkan Bun Liong mengikutinya di belakangnya. Pemuda ini berlaku tenang dan sabar, hanya sinar matanya yang tajam saja yang menunjukkan bahwa ia selalu waspada.

Ketika kedua anak muda ini tiba di tanjakkan sebuah bukit di mana para perampok yang dipimpin oleh Go Bang telah menanti sambil bersembunyi di balik semak belukar yang rungkut. Tiba-tiba dari depan terdengar suara mengiuk dan tidak kurang dari lima batang anak panah meluncur cepat dan mengarah ke kedua anak muda itu.

Bun Liong masih bersikap tenang-tenang saja tampaknya, akan tetapi Yang Hoa merasa marah sekali dan gadis ini secepat gerakan kijang telah melompat ke depan sambil mencabut pedangnya. Dan sekali saja senjata ini diputarkan, runtuhlah semua anak panah yang menyambar ke arah dirinya dan calon suaminya, bagaikan air hujan yang terhalang payung!

“Bagus, Yang-moay!” sambil tersenyum bangga Bun Liong memuji calon isterinya, yang membuat gerakan cepat dan tepat yang dsebut gerak tipu Dewi Kwan-Im Membuka Payung!

“Perampok-perampok rendah dan hina dina! Becusnya menyerang secara sembunyi saja! Kalau benar kalian laki-laki sejati, keluarlah untuk menyambut kedatangan nonamu!” bentak Yang Hoa nyaring.

Suara bentakan ini menggema di dalam kesepian hutan. Dan belum lagi gema ini lenyap dari pendengaran, tiba-tiba dari balik semak-semak dan belakang pohon-pohon besar berlompatan keluar empat orang liauw-lo (anggauta rampok) yang bertubuh beraneka bentuk dan masing-masing memegang golok di tangan.

Mereka ini langsung menubruk dengan golok terangkat yang hendak disabetkan ke arah Yang Hoa. Tepat dikala itu yakni ketika tubuh Yang Hoa yang berpotongan indah itu agaknya hampir tercincang oleh ke empat bilah golok para liauw-lo tadi, tiba-tiba terdengar seruan keras dari balik semak:

“Awas! Jangan sampai melukai si Dewi Kahyangan itu!” Inilah seruan peringatan dari Tiat-pi-him Go Bang terhadap anak buahnya, karena seperti pernah dikatakannya tadi, si Beruang Lengan Besi ini menghendaki nona cantik itu ditangkap hidup- hidup!

Akan tetapi, sebelum ke empat liuwlo itu sempat menahan gerakan golok mereka untuk mentaati peringatan “atasan” mereka, ke empat 1iauwlo kasar itu kalah cepat oleh gerakan yang dibuat Yang Hoa. Karena gadis ini telah berseru keras sambil menyabetkan pedangnya bagaikan sambaran halilintar sehingga sekali tangkis saja ke empat golok lawannya terpental!

Anak buah perampok itu terkejut dan hendak lari agaknya akan kembali ke tempat persembunyian mereka, akan tetapi tangan kiri dan kaki kanan Yang Hoa bergerak cepat. Dan entah gadis ini membuat gerakan bagaimana, tahu-tahu dua orang liauw-lo yang lari paling belakang telah roboh dan mengaduh-aduh!

Sementara itu dua orang liauw-lo yang lari duluan telah menghilang di antara semak-semak sehingga Yang Hoa merasa gemas sekali tidak keburu memberi hajaran terhadap mereka.

Oleh karena itu, untuk melampiaskan kegemasan hatinya, nona yang mempunyai sifat telengas ini setelah dengan cepat menyarungkan kembali pedangnya. Segera kedua tangannya menyambar lengan tangan kedua liauw-lo yang baru saja dirobohkannya itu, dihela dan disentakkan ke atas sambil berseru:

“Perampok-perampok hina, terimalah kembali dua ekor anjing budukmu ini!”

Sungguh luar biasa sekali, bagaikan seekor burung rajawali menyambar dua ekor itik dengan mudah, dengan sekali ayun saja Yang Hoa telah membuat kedua tubuh perampok melayang di udara dan terlempar ke arah sebatang pohon besar di depan! Dapat dipastikan dua orang liauw-lo sial itu akan mati dengan kepala pecah atau tulang remuk membentur pohon kalau saja ketika itu tidak terdengar seruan:

“Hebat dan ganas sekali!” dan berbareng dengan itu dari balik semak-semak melayang keluar seorang lelaki bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam, sehitam pakaian yang dikenakannya, yang cepat menyambar tubuh kedua liauw-lo yang masih melayang dan agaknya hendak membentur batang pohon itu!

Begitu orang tinggi besar ini mengulurkan kedua tangannya, ia berhasil menangkap dengan tepat leher baju kedua liauw-lo itu dan tubuhnya melayang turun dengan gerakan ringan sekali. Kemudian ia mendorong tubuh kedua liauw-lo itu ke kanan dan ke kiri sehingga keduanya jatuh terguling ke dalam semak!

Diam-diam Yang Hoa dan Bun Liong merasa terkejut dan kagum melihat gerakan Garuda Sakti Menyambar Kelinci yang diperlihatkan oleh orang tinggi besar itu untuk menolong kedua kawannya tadi. Tubuh yang demikian tmggi besar tapi mempunyai gerakan yang demikian cepat dan ringan, dan selagi ia melompat keluar dari semak dapat menyanggap tubuh kedua kawannya dengan tepat. Hal ini sudah membuktikan betapa tinggi kepandaian orang tinggi besar itu!

“Hei! Sepasang kambing muda, apakah yang kalian kehendaki maka datang-datang mengunjukkan lagak tengik?!” tegur orang tinggi besar itu yang tidak lain adalah Tiat-pi-him Go Bang, sambil bertolak pinggang dan matanya yang besar berapi-api. Sedangkan goloknya yang besar dan tidak bersarung, nampak menggantung dan bergoyang-goyang di pinggangnya, sehingga sangat menyeramkan kelihatannya!

“Raksasa hitam! Enak saja kau pentang bacot! Sebaliknya kuhendak bertanya apa maksudmu maka kedatangan kami yang membawa maksud baik ini disambut dengan serangan anak panah?!” Yang Hoa balas memaki dan juga sambil bertolak pinggang.

Makin menghitamlah kulit muka Go Bang saking marahnya mendengar dirinya dimaki “raksasa hitam” oleh nona itu. Tapi sebelum ia dapat melampiaskan kemarahannya kepada nona itu, tiba-tiba Bun Liong maju ke depan, sambil menjura di hadapan si Beruang Lengan Besi pemuda ini berkata dengan berdiplomasi sabar dan hormat, “Tay-ong maafkanlah atas kelancangan kami yang datang berkunjung ke tempatmu tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Maksud sebenarnya kunjungan kami berdua ini, selaku utusan dari Pauw-an-tui hendak bertemu dengan Houw-jiauw Lo Ban Kui locianpwee untuk merundingkan suatu hal yang penting mengenai kebaikan kita bersama. Benarkah yang berkenan berhadapan dengan siauwtee ini adalah Houw-jiauw Lo Ban Kui locianpwee yang kumaksudkan?”

Melihat sikap yang sopan dan mendengar tutur sapa yang teratur penuh hormat dari Bun Liong, agak meredahlah kemarahan di hati Go Bang sehingga si Beruang Lengan Besi ini menyeringai senang. Dan biarpun tadi ia sudah tahu siapa sebenarnya sepasang anak muda itu, dari pada menjawab pertanyaan yang diajukan Bun Liong, sebaliknya ia balas menanya pura-pura tidak tahu:

“Kau bilang kalian datang kemari selaku utusan dari Pauw-an-tui, maka jelaskanlah siapa nama kalian dan menjabat kedudukan apakah dalam Pauw-an-tui?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar