Pendekar Patung Emas Jilid 30

 
Jilid 30

“HMM.. nyalimu semakin lama semakin berani yaaa, pertama- tama kau ahli mencopet harta benda orang lain, sekarang semakin berani lagi perbuatanmu, berani benar menggunakan golok untuk membunuh orang dan merampok harta kekayaan yang dibawa,” bentak Ti Then dengan keras.

“Hamba benar-benar tidak membunuh seorang pun” teriak si pencuri tiga tangan dengan keras. “Kali ini hamba jadi si pembegal sesungguhnya dikarenakan desakan biaya hidup, hamba terpaksa mau tidak mau harus melakukan pekerjaan ini.”

“Telur nenekmu, apakah ketiga buab tanganmu sudah dipotong orang lain?” bentak Ti Then lebih lanjut,

Si pencuri tiga tangan segera tertawa pahit.

“Boleh dibilang memaag sudah dipotong orang lain” sahutnya perlahan,

“Siapa yang punya keahlian yang begitu dahsyatnya sehingga melarang kau untuk melakukan pekerjaan mencopet lagi?”

Liong Touw Lotoa kami sendiri,

“Miauw So Suseng?” seru Ti Then sambil memandang tajam wajahnya.

“Benar, memang dia orang,” sahut si pencuri tiga tanga mengangguk.

“Dia melarang, kau mencopet baraag milik orang lain?” “Benar,” sekali lagi si pencuri tiga tangan mengangguk. “Kenapa?”

“Ada satu kali di kota Tiang An juga hamba melihat ada seorang kakek tua yang memakai baju yang amat perlente, dari badan kakek berbaju perlente itu hamba berhasil meacuri sebuah intan permata yang mahal harganya. sewaktu aku merasa kegirangan itulah mendadak aku menghadap. saat itu terlihatlah banyak kawan- kawan lain dari satu golongan sudah pada berkumpul di sana. Liong Touw LoToa tanya di antara kita siapa yang sudah mencuri sebuah intan permata dari badan seorang kakek tua yang memakai baju perlente siauw jin segera mengaku akulah yang si pencuri, dengan langkah lebar Liong Touw Lo toa segera menghampiri siauw jin dsn lantas hadiahi beberapa tamparan membuat mukaku jadi beegkak”

“Kenapa?” tanya Ti Then tertawa. Dengaa wajah yang meringis kera dia

menyawab

“Siauw jin punya mata tidak melihat gunung Thay san, kiranya kakek tua berjubah perlente itu bukan lain adalah ayah dari Liong Touw Lotoa kami”

“Haaa , haaaa .,. haaa , , bagus sekali bagus sekali” seru Ti Then sambil tertawa terbahak-baha. Kau manusia rendah juga berani mengganggu kepala Thay Swi memang harus mati , . memang harus mati,”

“Heeeei . . .” Si pencuri tiga tangan menghela napas panyan- panjang dengan sedihnya. “Selama beberapa tahun ini nasib siauw- jin memang kurang mujur- selalu mendapatkan mangsa yang salah saja,”

“Liong Touw Lo-toa kalian memang tidak seharusnya memberi hukuman kepadaku dia boleh mencopet harta kekayaan milik orang lain kenapa orang lain tidak diperkenankan mencopet harta kekayaan milik ayahnya?”

“Dia bilang siauw-jin sudah memyeset kulit mukanya karena itu menghukum hamba untuk Menutup tangan selama tiga tahun lamanya. coba kau bayangkan jikalau mengharuskan hamba menutup pintu selama tiga tahun lamanya dia selama tiga tahun ini tidak dapat pekerjaan bagaimana siauw ji bisa mendapat uang untuk membeli makanan? di dalam keadaan yang terpaksa siauw jin mau tidak mau harus ganti pekerjaan sebagai pembegal jalan. tetapi siauw jin benar-benar tidak pernah melukai barang seorang pun, yang hamba minta cumalah harta kekayaan orang yang lewat di sini karena hamba tahu melukai orang cuma mendatangkan kerepotan saja karena itu siauw-jin tidak berani melakukan pekerjaan itu.”

“Eeeei apa kau sering sekali membegal harta kekayaan dari orang yang lewat di jalan ini?” tiba-tiba Wi Lian In nyeletuk.

“Tidak,” jawab si pencuri tiga tangan sambil gelengkan kepalanya. “Setiap tempat siauw-jin cuma melakukaa pekerjaan selama tiga lima hari saja, siauw-jin tidak berani berdiam terlalu lama.”

“Dijalan ini kau sudah melakukan berapa hari?” tanya Wi Lian In. “Ini hari adalah hari kedua, tetapi cuma mendapatkan tiga kali

hasil saja, mendapat uang tidak seberapa banyak.”

“Kurang lebih setengah jam yang lalu apakah kau melihat ada seorang kakek tua berbaju hijau lewat di sini.”

“Oouw . . . nona maksudkan si pembesar kota Cuo It Sian?” tanya si pencuri tiga tangan.

“Tidak salah” sahut Wi Lian In dengan amat girang, “Kau melihat dirinya?”

“Benar,” sahut si pencuri tiga tangan mengangguk. “Untung sekali siauw-jin segera mengenal kembali kalau dia adalah si pembesar kota sehingga tidak berani muuculkan diri untuk menghalangi perjalanannya, jikalau siauw-jin tadi tidak sampai melibat lebih jelas mungki nyawa anyingku pun sudah lenyap.”

“Dia melihat dirimu tidak?”

Sekail lagi sipencuri tiga tangan menggelengkan kepalanya

.Begitu siauw-jin melihat dirinya berjalan mendatang, siauw-jin lantas bersembunyi di balik pepobonan dan tidak berani bergerak sampai napas pun tidak berani terlalu keras”

“Bagus ,, bagus sekali,” seru Wi Lian In dengan amat girang sekali, “Sekarang aku mau Tanya lagi„ ilmu mencopetmu lihay atau tidak ?” Si pencuri tiga tangan tidak mengetahui apa meksud dari perkataan ini, dia jadi ragu-ragu sebentar.

“Tidak berani dikatakan terlalu lihay. yaa , , . . boleh di kata cukup untuk memperoleh sesuap nasi saja.” sahutnya kemudian.

“Sebetulnya bagaimana ?” tanya Wi Lian In kemudian sambil menoleh kaarah Ti Then. Ti Then tersenyum.

“Diantara kawan-kawan segolongannya bolwh dikata dia merupakan salah seorang jagoannya yang berkepandaian paling tinggi”

“Kalau begitu bagaimana kalau kita mintai bantuannya ?” “Baik sih baik. cuma ”

“Kenapa ?”

“Kauw Ban Li,” seru Ti Then sambil menoleh kearah diri si pencuri tiga tangan “Beranikah kau pergi msncuri barang yang ada dibadan Cuo It Sian?”

Mendengar perkataan tersebut si pencuri tiga tangan jadi amat terperanyat sekali dengan gugupnya dia menggelengkan kepalanya.

“Tidak . . . tidak , . . siauw-jin tidak berani.. siauw-jin tidak berani” tolaknya dengan cepat, “Si pembesar kota Cuo It Sian merupakan salah satu jagoan yang berkepandaian paling tinggi pada saat ini di dalam Bu-lim bilamana tidak untung siauw-jin kena tertawan bukankah nyawaku akan melayang ?”

“Cuo It Sian bukanlah seorang iblis tukang penjagal manusia, buat apa kau takuti dirinya?” sambung Wi Lian In lebih lanjut.

“Tidak , . . tidak,” ber-turut sipencuri tiga tangan menggelengkan kepalanya lagi berulang kali, “Sekali pun nyali siauw jin lebih besar pun tidak akan berani mengganggu diri si pembesar kota itu.”

Kami ingin sekali mendapatkan semacam barang milik Cuo It Sian. bilamana kau mau membantu usaha kita ini dan mencurikan benda tersebut buat kami maka jasa mu itu bisa digunakan untuk menebus dosamu kali ini. kami bisa lepaskan satu jalan hidup buat dirimu, kalau tidak bmm. . , hm m. . .”

Mendengar perintahnya itu sepasang mata dari si pencuri tiga tangan terbelalak lebar-lebar, dengan amat terkejut sekali serunya:

“Kalian berdua ingin mendapatkan barang apa dari sipembesar kota Cuo It Sian itu?”

“Kau menyanggupi dulu untuk mencurikan buat kami sesudah itu aku baru beritahu urusan ini kepadamu.”

Sinar mata dari si pencuri tiga tangan segera beralih ke atas wajah dari Ti Then jelas air mukanya memperlihatkan keragu- raguan serta rasa terperanyatnya.

“Kau dengan si pembesar kota adalah sama-sama seorang pendekar yang mem punyai nama sangat terkenal sekali di dalam Bu-lim” serunya, “kenapa .  . kenapa . “

“Alasannya aku tidak bisa memberitahukan kepadamu,” jawab Ti Then samnbil tertawa, “tetapi aku boleh beritahu kepadamu akan sesuatu. jikalau ksu bantu mendapatkan barang itu berarti juga sudah membantu kami untuk melakukan satu pekerjaan mulia.”

Agaknya rasa hormat dari si pencuri tiga tangan terhadap diri sipembesar kota Cuo It Sian jauh melebihi rasa hormatnya terhadap diri Ti Then mendengar perkataan tersebut dia tetap memperlihatkan rasa keragu-raguannya.

“Sungguh ?” tanyanya.

“Kau tahu siapakah dia orang?” tanya Ti Then kemudian sambil menuding kearah diri Wi Lian In.

“Siauw jin tidak tahu,” jawab si pencuri tiga tangan sambil gelengkan kepalanya,

“Dia adalah putri kesayangan dari Wi Pocu dari Benteng Pek Kiam Po. Wi Liao In adanya,” “Aaaah kiranya nona Wi,” teriak si pencuri tiga tangan Kauw Ban Li dengan amat terperanyat.

Dengan nada serta kedudukan dari nona Wi serta aku orang tidak perduli kami hendak melakukan pekerjaan apa pun kau boleh merasa berlega hati.”

“Aku masih bisa menanggung akan sesuatu, apa yang kami minta bukanlah harta kekayaan melainkan semacam barang yang semula adalah milik ayahku sendiri,”

Sipencuri tiga tangan jadi amat terperanyat sekali.

“Aaaaa ... Cuo It Sian sudah mencuri barang milik ayahmu?” “Kita tidak bisa mengatakan dia sudah mancuri barang milik

ayahku” sahut Wi Lian In lebih lanjut. “Pokoknya dikarenakan semacam alasan yang tidak bisa dijelaskan. .- coba kau jawablah dulu mau bekerja untuk kami atau tidak?”

“Yang Siauw jin takuti kalau sampai aku ketangkap olehnya kemungkinan , kemungkinan” seru Si pencuri tiga tangan tetap ragu ragu.

“Sekali pun begitu belum tentu harus menemui ajal” potong Wi Lian In dengan cepat. “Asalkan kau tidak bilang kami yang memerintahkan dirimu untuk melakukan pekerjaan tersebut maka dia cuma menganggap kau sebagai searang pembegal jalan biasa saja, paling banyak yaaa bakal merasakan sedikit penderitaan saja”

Si pencuri tiga tangan termenung berpikir sebentar, lalu tanyanya lagi

“Jikalau Siauwjin tidak untung kena tangkap, bilamana dia hendak turun tangan membinasakan hamba maukah kalian berdua turun tangan menolong Siauw jin?”

“Tidak” jawab Ti Then sambil gelengkan kepalanya.

Diam-diam Si pencuri tiga tangan menarik napas panjang- panjang dia tertawa pahit. “Kalau begitu siauw jin tidak punya nyali untuk melakukan pekerjaan ini” ujarnya.

“Asalkan kau jangan bilang kami yang memerintahkan dirimu untuk melakukan perbuatan tersebut, aku rasa tidak akan berbahaya”

“Tidak bisa jadi . tidak bisa jadi” teriak si pencuri tiga tangan Kauw Ban Li sambil goyangkan tangannya berulang kali.

“Kalau begitu yaa sudah,”

Dia tahu dengan kepandaian dari si pencuri tiga tangan bilamana dia sudah menyanggupi untuk mencurikan pedang pendek yang ada di tangan Cuo It Sian maka kemungkinan sekali pekerjaan tersebut dapat mencapai hasil yang diharapkan, tetapi dia pun tidak mengharapkan bisa berhasil tnencuri pedang pendek itu secepatnya, karena itu dia orang tidak mau terlalu memaksa si pencuri tiga tangan untuk melakukannya.

Tetapi Wi Lian In tidak mau melepaskan begitu ssya kesempatan yang baik ini dia tertawa dingin.

“Tidak, kau harus menerima pekerjaan ini” tandasnya Si pencuri tiga tangan jadi amat gugup sekali.

“Nona Wi, kau baik-baiklah melepaskan diriku, Siauw jin benar- benar tidak punya nyali untuk mencopet barang milik si pembesar kota” ujarnya setengah merengek.

“Walau pun kepandaian silatnya amat tinggi tetapi terhadap perbuatan mencopet sama sekali dia tidak bisa berjaga-jaga buat apa kau takuti dirinys ?”

“Tetapi ,. “

“Kalau kau tidak-setuju juga boleh saja” ujar Wi Lian In kemudian sambil meloncat turun dari kudanya, “Sekarang ambil kembali golokmu itu,” “Nona Wi, kau bermaksud untuk berbuat apa?” tanya Si pencuri tiga tangan dengan ketakutan lantas mundur beberapa langkah ke belakang.

“Aku tidak dapat melepaskan seorang pembegal yang mendatangkan celaka buat orang orang yang melakukan perjalanan melewati tempat ini, tetapi aku sanggup untuk memberi satu kesempatan buatmu untuk beradu jiwa, bilamana kau ingin tetap hidup maka kau harus mengalahkan diriku”

Saking takutnya seluruh air muka Si pencuri tiga tangan sudah berubah jadi pucat pasi bagaikan mayat.

“Tidak, tidak” serunya sambil goyangkan tangannya berulang kali. “Siauw jin tahu kalau kepandaian hamba bukanlah tandingan dari nona Wi. Nona Wi kau am punilah aku orang ini,”

“pungut senyatamu dan berdiri!” perintah Wi Lian In dengan suara yang amat dingin.

Si pencuri tiga tangan segera menoleh kearah Ti Tben dan memohon kepadanya.

“Ti . . slauwhiap, kita sudah punya jodoh untuk bertemu muka satu kali. tolonglah diriku dan lepaskan siauw jin kali ini”

“Sayang aku tidak berkuasa” seru Ti Then sambil gelengkan kepalanya.

Mendadak Wi Lian In berkelebat dan maju mencengkeram baju di dadanya lantas mengangkat badannya yang sedang berlutut di atas tanah itu.

“Aku kasi muka padamu kau tidak mau menerima, ini hari janganlah kau menyalahkan kalau nonamu tidak akan berlaku sungkan-sungkan lagi terhadap dirimu.”

Selesai berkata telapak tangannya segera diangkat dan siap-siap turun tangan melancarkan serangan.

Si pencuri tiga tangan jadi amat terperanyat sekali, teriaknya kemudian. “Baik, baiklah, siauw jin menerima permintaan kalian itu.”

Tangan kanan dari Wi Lian In segera di tekuk, kedua jari tengah serta telunjuknya dengan bagaikan kilat cepatnya berkelebat menotok jalan darah Hiat Bun Sang Ci Hiat pada iga kanannya lalu baru lemparkan badannya ke atas tanah.

“Totokan ini aku menggunakan ilmu totokan tunggal dari Benteng Pek Kiam Po kami di dalam kolong langit saat ini tiada seorang pun yang bisa membebaskannya kecuali aku serta ayahku, sekarang aku totok dulu jalan darah Hiat Bun Sang Ci Hiat di badanmu, enam bulan kemudian jikalau tidak diobati maka kau akan muntah darah dan binasa.”

Mendengar perkataan dari Wi Lian In ini si pencuri tiga tangan benar-benar merasa ketakutan.

“Nona Wi” teriaknya ngeri. “Siauw jin sudah menyanggupi nona untuk melakukan pekerjaan tersebut, kenapa sekarang nona masih turun tangan juga mencelakai diri siauw jin?”

“Jangan takut, di dalam sepuluh hari ini kau tidak akan marasa badannya berubah” ujar Wi Lian In tenang saja. “Menanti sesudah kau berhasil memperoleh barang tersebut aku segera akan turun tangan membebaskan jalan darahmu itu dan mengobatinya.”

“Bilamana siauw jin tidak sanggup untuk mencopet barang itu?” tanya Si pencuri tiga tangan dengan kaget.

“Untuk menolong nyawamu sendiri kau harus berhasil mendapatkan benda tersebut”

“Tapi kalau siauw-jin tidak untung tertawan olehnya, lalu . . .” “Menanti setelah dia membebaskan dirimu aku baru turun tangan

menolong dirimu.”

“Baiklah,” ujar Si pencuri tiga tangan kemudian dengan sedih lantas bangkit berdiri. “Sekarang beritahu kepada siauw jin kalian menghendaki benda apa dari badannya.”

“Sebilah pedang yang bernama Biat Hun Kiam.” “Pedang pendek itu apa selalu ada di badannya?” tanya Sipencuri tiga tangan lebih lanjut.

“Tidak salah” sahut Wi Lian In mengangguk. “Kau harus bzrusaha mencurinya dapat pedang pendek itu sebelum dia tiba dirumahnya dikota Tiong Cing Hu.”

“Dia lewat ditempat ini setengah jam yang lalu, ada kemungkinan saat ini sudah berada beberapa puluh li jauhnya, bolehkah siauw-jin berangkat sekarang juga?”

“Dia tidak tahu ada orang yang hendak mengejar dirinya, kau lebih baik mengejarnya dengan sekuat tenaga, kemungkinan sekali masih bisa menyandak dirinya.”

“Setelah aku berhasil memperoleh barang itu siauw jin harus mencari kalian kemana?” tanya sipencuri tiga tangan kemudian.

“Asalkan kau lari balik kemari sudah tentu bisa bertemu dengan kita.”

“Baiklah,” ujar si pencuri tiga tangan sambil garuki kepalanya, “Siauw jin segera akan mengejar dirinya, semoga saja di dalam dua tiga hari ini bisa memperoleh hasil,”

Selesai berkata dia merangkap tangannya memberi hormat lalu putar badannya beelalu dari sana.

“Tunggu dulu,” tiba-tiba Ti Then berteriak.

“Ti siauwhiap ada perintah apa lagi?” tanya sipencuri-tiga tangan sambil putar badan.

“Tidak perduli kau berhasil mendapatkan barang itu atau tidak lebih baik kau jangan membocorkan urusan ini ketempat luaran, kalau tsdak sebelum kau berhasil mulai di dalam pekerjaanmu kau bakal menemui kematian.”

“Baik, baik, baik . .” seru sipencuri tiga tangan berulang kali. “Tentang hal ini siauw jin paham, sekali pun siauwjin sudah makan nyali macan juga tidak akan berani membocorkan urusan ini ketempat luaran” “Kalau begitu baiklah, sekarang kau boleh pergi,” seru Ti Then kemudian sambil mengulapkan tangannya.

Si pencuri tiga tangan cepat-cepat putar badannya dan berlari meninggalkan tempat itu hanya di dalam sekejap saja dia sudah lenyap di balik kegelapan.

Wi Lian In segera membungkukkan badannya memungut kembali golok yang menggeletak di atas tanah itu lantas dibuangnya ke tengah hutan setelah itu baru naik kembali ke atas kuda tunggangannya dan tersenyum.

“Kau mengira dia bisa memperoleh hasil tidak ?”

“Ilmu mencopetnya sangat libsy sekali, ada kemungkinan dia bisa memperoleh hasil,”

“Bilamana dia bisa memperoleh hasil kemungkinan sekali Cuo It Sian tidak menduga kalau pekerjaan itu kita yang perbuat bukan ?” tanya Wi Lian In kemudian.

“Bagaimana bisa jadi ?”

“Dulu sewaktu dia meocopet uang perakmu bukankah dia berpura-pura seperti seorang mabok dan menumbuk dirimu ?”

“Tidak salah,” sahut Ti Then mengangguk.

“Bilamana waktu itu kau tidak merasa dan kemudian kau menemukan uangmu sudah lenyap, tentu di dalam anggapanmu sudah menduga dialah yang berbuat, bukan begitu ?”

“Benar”

“Kalau begitu jikalau dia mencopet dengan menggunakan cara yang sama maka Cuo It Sian di kemudian hari bisa menduga kalau pedang pendeknya itu ada kemungkinan dicopet orang lain, sedangkan orang-orang Benteng Pek Kiam Po kita tidak ada seorang pun yang memahami ilmu mencopet maka itu dia tidak akan menduga kalsu pekerjaan itu kita yang perbuat.” “Perkataanmu ini kedengarannya memang sangat beralasan” seru Ti Then tersenyum.

“Apa mungkin salah?” tanya Wi Lian In heran.

“Menurut penglihatanmu: tidak perduli Si pencuri tiga tangan hendak mencuri pedang pendek itu dengan cara apa pun sewaktu Cuo It Sian menemukan pedang pendeknya kena tercuri maka dia akan menduga itulah perbuatan dari kita.”

“Tetapi dia tidak mem punyai bukti.” “Buat apa dia membutuhkan bukti?”

“Kalau begitu sewaktu dia menemukan pedang pendeknya tercuri dan memastikan kalau perbuatan itu adalah hasil pekerjaan dari Benteng Pek Kiam Po kita, coba kau pikir dia akan melakukan gerakan apa lagi” tanya Wi Lian In.

“Sudah tentu dia akan berusaha untuk merebut kembali dari tangan kita”

“Hmmm,” dengus Wi Lian Ia dengan dingin. “Kali ini dia jangan harap bisa merebutnya kembali dari tangan kita,”

“Tetapi sekarang kita belum memperoleh hasil,”

“Aku percaya Si pencuri tiga tangan pasti akan berhasil” sahut Wi Lian In sambil tertawa kikuk-

“Tadi kau menggunakan cara apa menotok jalan darah Hiat Bun Sang ci Hiat-nya?” tanya Ti Then kemudian.

“Coba kau terka,” seru Wi Lian Im sambil tertawa ringan. Ti Then segera angkat bahunya.

“Selamanya aku belum pernah mendengar kalau di dalam Banteng Pek Kiam Po mem punyai semacam ilmu menotok jalan darah yang menunggal, bukankah kau sedang beromong kosong?”

“Benar,” sahut Wi Lian In tertawa. “Ehmmm?” “Sungguh omong kosong”

“Kalau begitu kau menggunakan cara menotok yang mana menotok jalan darah Hiat Bun Sang Ci Hiatnya tanpa melukai dirinya?”

“Kau masih tidak paham?” “Benar.”

“Terus terang saja aku beritahu kepadamu aku sama sekali tidak menotok jalan darah Hiat Bun Sang Ci Hiat-nya, aku sedang menipu dirinya.”

“Aaaah , . . aaah ...” “Bagus tidak?”

“Bagus sekali, haaa .haa “

000odwo000

Malam semakin kelam, mereka dengan menunggang kuda melakukan perjalanan dengan sangat lambat sekali, setelah berjalan selama satu kentongan akhirnya terlihatlah di samping jalan terdapat sebuah kuil bobrok, mereka lantas masuk ke dalamnya untuk beristirahat.

Keesokan harinya kembali mereka menunggang kuda melanjutkan perjalanannya mengejar ke depan.

Hari itu mereka berdua sudah melakukan perjalanan sejauh ratusan li dan sampailah di sebuah kota kecil yang bernama Ngo Li Pang-

Tiba-tiba tampaklah dari tempat kejauhan sipencuri tiga tangan dengan amat cepatnya sedang berlari mendatang.

Baik Ti Then mau pun Wi Lian In yang melihat hal tersebut dalam hati merasa sangat girang sekali, dengan cepat mereka melarikan kudanya menyambut kedatangannya. “Sudah berhasil?” tanya mereka hamper berbareng dan sama sama meloncat turun dari atas kuda.

“Untung tidak menemui kegagalan, sudah aku dapatkan” seru si pencuri tiga tangan sambil tertawa kegirangan.

Sembari berkata dari dalam sakunya dia mengambil keluar sebuah pedang pendek beserta sarungnya !alu dengan menggunakan sepasang tangannya diangsurkan kearah Ti Then.

Wi Lien In dengan cepat merebut pedang itu kemudian dicabutnya pedang pendek tersebut untuk dilihat.

“Pedang ini tidak salah bukan?” tanyanya dengan rasa kegirangan.

“Di dalam badannya tidak terdapat pedang yang kedua cuma ada sebilah pedang itu saja,” ujar si pencuri tiga tangan sambil menyeka keringat yang mengucur keluar membasahi dahinya.

Ti Then segera meminta kembali pedang itu dan dilihatnya beberrpa saat lamanya, lantas dia memuji.

“Pekerjaan dari Cu Kiam Lojin memang sangat hebat sekali, dua potong pedang yang sudah patah ternyata bisa disambung kembali seperti sedia kala.”

“Kauw Ban Li, ilmu mencopetmu ternyata amat dahsyat sekali, dia tidak merasa bukan?” tanya Wi Lian Ia tertawa.

“Waktu itu dia tidak merasa, tetapi sekarang ada kemungkinan sudah merasa,”

“Kau turun tangan dimana?” taaja Wi Lian In lagi.

“Di dalam kota Hok Hong Sian tidak jauh dari tempat ini, dia masuk ke dalam sebuah rumah makan.”

“Kapan?” tiba-tiba Ti Then menimbrung.

Si pencuri tiga tangan berdiam diri sebentar untuk tukar napas, lantas baru jawabnya. “Siang ini juga kurang lebih satu jam yang lalu”

“Kalau begitu kemungkinan sekali dia bisa balik kemari untuk mencari, kita tidak boleh berbicara di tengah jalan, ayoh cepat mencari satu tempat untuk menghindar,” seru Ti Then dsagan cemas.

“Di atas bukit sana ada sebuah hutan, kita pergi ke dalam hutan itu saja,” seru Wi Lian In kemudian sambil menuding kearah sebelah kiri,

Selesai berkata dia segera meloncat turun dari kudanya dan berjalan menuju ke atas bukit kecil itu.

Setelah mereka bertiga tiba di dalam hutan di atas bukit kecil itu lantas bersama-sama duduk di atas rumput.

“Sudahlah,” terdengar Ti Then berkata. “Sekarang kita boleh bcrcakap-cakap dengan hati lega, coba kau ceritakanlah kisahmu sewaktu mencopet pedang pendek itu.”

Kemarin malam setelah siauw-jin meninggalkan kalian berdua lantas melanjutkan perjalanan ke depan dengan mengikuti jalan raya ini pagi ini aku sudah mengejarnya sampai di kota Hok Hong, aku pikir dia tentu beristirahat di dalam kota itu makanya dengan cepat siauw-jin melakukan penyelidikan. Setelah cari setengah harian lamanya ternyata masih belum ketemu juga. Akhirnya sewaktu siauw-jin hendak keluar dari kota mendadak tampak dia berjalan masuk ke dalam kota.”

Dia barhenti sebentar untuk menukar napas. Lantas sambungnya kembali.

“Siauw-jin melihat dia masuk ke dalam kota segera membuntutinya dari tempat kejauhan, ketika melihat dia berjalan masuk ke dalam sebuah rumah makan maka siauw-jin cepat-cepat mengikutinya dari belakang, kita berpisah cuma dua kaki saja dan saling berhadapan.

Dia minta macam-macam sayur untuk makan sedang siauw-jin cuma minta semangkok mie saja maka itu sewaktu dia mulai makan siauw-jin sudah selesai bersantap, sesudah membayar rekening siauw-jin lantas berjalan lewat di samping badannya waktu itu kaki kanannya direntangkan ditengah jalan maka siauw-jin pura-pura tersangkut kakinya dan terjatuh ke depan.

Siauw-jin dengan mengambil kesempatan ini lantas mencekal badannya untuk menahan badan sedangkan tangan yang lain merogoh ke dalam sakunya mencuri pedang tersebut yang kemudian hamba sembunyikan di dalam saku.

Setelah kejadian itu hamba pura-pura marah dan memakinya beberapa kejap kemudian terburu-terburu aku meninggalkan rumah makan itu dan lari kemari... demikianlah akhirnya aku menemukan kalian di sini.”

“Bagus, perbuatanmu amat bagus sekali” seru Ti Then tertawa. “Tetapi,” seru si pencuri tiga tangan itu lagi sambil tertawa pahit.

Sewaktu dia menemukan pedang pendeknya tercuri maka dia akan

tahu kalau perbuatan itu siauw-jin yang melakukannya dia tentu masih teringat wayah dari siauw jin...”

“Soal ini tidak mengapa, dunia adalah amat luas sekali sedang dia pun tidak tahu siapakah dirimu, untuk menemukan kau lagi adalah amat sukar sekali.”

“Semoga saja demikian,” ujar sipencuri tiga tangan sambil menghela napas panjang.

“Bilamana kau takut sampai ditemukan kembali olehnya maka kau boleh jauh meninggalkan Siok Oauw dua daerah ini bersamaan pula boleh sedikit merubah wayahmu, dengan demikian bukankah tidak usah takut lagi dengan dirinya?”

Air muka sipencuri tiga tangan segera kelihatan sedikit murung. “Siauw jin punya rencana untuk kembali bergulung didaerah

kota Tiang An saja tetapi...” “Ada kesukaran apa?” “Ti siauw-hiap dengan Liong Touw Lo toa kami apakah mem punyai hubungan yang baik?” balik tanya sipencuri tiga tangan itu sambil memandang tajam wayahnya.

“Tidak.” sahut Ti Then sambil gelengkan kepalanya. “Kalau begitu sudahlah.”

“Kau minta aku mewakili kau untuk mintakan keringanan dari Liong Touw Lo toa kalian agar larangan tersebut bisa dicabut kembali?”

“Benar,” sahut sipencuri tiga tangan sambil mengangguk, “Tetapi kalau memangnya Ti Siauw hiap sama sekali tidak mem punyai hubungan dengan Liong Toauw Lo toa kami hal itu tidak mungkin bisa terjadi.”

“Sekali pun aku bisa memintakan keringanan dari Liong Touw Lo toa kalian tetapi aku juga tidak bisa membantu pekerjaanmu ini,” sahut Ti Then dengan wayah serius. “Bagaimana aku bisa membantu seorang pencopet untuk minta keringanan kemudian memberi kesempatan buat dirinya untuk mencopet harta kekayaan orang lain?”

Air muka sipencuri tiga tangan itu segera berubah jadi memerah. “Sekali pun siauw jin adalah seorang copet tetapi di dalam

kalangan penyahat pun ada caranya, siauwjin selamanya tidak pernah turun tangan terhadap kaum miskin” serunya.

“Orang miskin tidak beruang sudah tentu kalian tidak bakal mau turun tangan terhadap mereka.”

Sekali lagi sipencuri tiga tangan garuk garuk kepalanya, kepada Wi Lian In kemudian ujarnya.

“Nona Wi sekarang kau boleh membantu siauw jin untuk mengobati luka yang terluka dari tertotoknya jalan darah Hiat Bun Sang Ci Hiat bukan?”

“Boleh.” “Kalau begitu silahkan kau turun tangan sekarang juga.”

“Kau baru tertotok satu hari satu malam saja, luka dalam pun belum terjadi. Sekarang cukup sedikit dipijit maka lukamu itu bakal sembuh dengan sendirinya.”

“Baik... baik...” seru sipencuri tiga tangan dengan amat girang. “Sebelum aku mengobati dirimu, aku memperingatkan satu

urusan lagi kepadamu, aku melarang kau untuk membocorkan rahasia dimana kau pernah membantu kami mencurikan sebilah pedang pendek dari diri Cuo It Sian, kalau tidak, jangan dikata kami tidak akan mtngam puni dirimu. Cuo It Sian tahu akan hal ini dia pun tidak bakal mau melepaskan dirimu.”

“Sudah tentu, sudah tentu,” sahut sipencuri tiga tangan berulang kali.

“Siauw-jin sendiri juga tidak ingin mati, sudah tentu aku tidak bakal membocorkan urusan ini ketempat luaran.”

“Ti Kiauw-tauw.” ujar Wi Lian In kemudian kepada diri Ti Then. “Kau bantu aku pijitkan dirinya sebentar.”

Ti Then segera mengangguk.

“Baiklah, sekarang kau boleh berbaring di atas tanah.”

Sipencuri tiga tangan menurut dan merebahkan diri ke atas tanah, Ti Then segera menepuk sebentar jalan darah Hiat Bun Sang Ci Hiat di atas tubuhnya kemudian mengurutkan juga urat nadi yang lain, setelah itu baru ujarnya,

“Sudah cukup, sekarang kau merasa nyaman tidak??”

“Sedikit pun tidak salah,” Sipencuri tiga tangan segera merasakan badannya amat nyaman sekali, dengan cepat dia meloncat bangun.

“Nyaman..... nyaman sekali, serunya. Ti siauw hiap boleh dikata mirip dengan Hoa Tou yang hidup kembali. Sungguh hebat sekali kepandaianmu.” “Ingat.” ujar Ti Then lagi sambil ketawa. “Di dalam enam bulan ini kau dilarang mendekati lawan sejenis dan bermain perempuan. Kalau tidak maka luka dalammu akan kambuh kembali.”

Sipencuri tiga tangan jadi melengak. “Iiih... sungguh... sungguh??” “Sudah tentu sungguh.”

Agaknya terhadap enam bulan dilarang bermain perempuan ini sipencuri tiga tangan merasa sangat sedih dan tersiksa sekali dia mengerutkan alisnya rapat-rapat lantas menghela napas panjang.

“Sungguh minta am pun, sungguh minta am pun...” serunya sedih.

Mendengar perkataan tersebut air muka Wi Lian In segera berubah memerah.

“Apanya yang am pun am pun? cepat menggelinding pergi dari sini,” bentaknya dengan keras.

“Ooh...” sipencuri tiga tangan segera sadar kembali, dengan cepat dia merangkap tangannya menjura lantas putar badan melarikan diri terbirit-terbirit dari sana.

Setelah Wi Lian In melihat dia telah pergi jauh, dia baru tertawa. “Kau sungguh pintar omong kosong,” serunya.

“Orang semacam dia ini jikalau tidak dikasih sedikit pelajaran lain kali masa bisa berubah jadi baik?

Dia mendengar selama setengah tahun tidak boleh main perempuan ternyata wayahnya sudah berubah jadi amat murung sekali, sungguh menggelikan.

Orang-Orang itu pinternya cuma makan, minum, judi, main perempuan dan berbuat jahat, kini dia mendengar selama setengah tahan lamanya harus mengekang napsu birahinya sudah tentu dia merasa sedih hati.” Wi Lian In segera menyawil ujung bajunya dengan tertawa malu- malu ujarnya tiba-tiba.

“Eeeei..... aku mau tanya padamu, kau pernah bermain perempuan tidak?”

“Tidak pernah..... tidak pernah.” seru Ti Then dengan gugap sambil menggelengkan kepalanya berulang kali. “Sampai hari ini juga aku masih seorang jejaka. kau jangan sembarangan menuduh.”

“Hmmmm, aku tidak percaya.” Seru Wi Lian In sambil mencibirkan bibirnya.

“Sungguh. Omong sesungguhnya sampai sekarang aku masih tidak tahu bagaimana caranya bermain perempuan dan bagaimana rasanya.”

“Kalau begitu begaimana kau bisa mengerti kata-kata main perempuan dua kata itu?”

“Sekali pun belum pernah makan daging babi tetapi pernah juga melihat babi lewat,” seru Ti Then sambil angkat bahunya. “Sekali pun kita belum tahu bagaimana caranya main perempuan tapi tahu juga kata-kata tersebut, bilamana sampai kata main perempuan saja tidak tahu bukankah kau anggap aku sebagai seorang goblok?”

Wi Lian In tidak mengucapkan kata-kata lagi dia cuma tersenyum saja.

“Kau tertawa apa?”

“Tidak mengapa, ayoh kita melanjutkan perjalanan lagi” seru Wi Lian In kemudian sambil meloncat bangun.

Demikianlah mereka berdua segera naik kuda menuruni bukit tersebut dan melanjutkan perjalanan kembali.

Karena takut ditengah perjalanan bertemu dengan Cuo It Sian, maka mereka tidak berani menuju ke kota Hok Hong Sian melainkan putar ke sebelah Selatan dan jauh-jauh menghindari kota tersebut untuk kemudian melanjutkan kembali perjalanannya menuju ke sebelah Barat.

“Ayahku pada saat ini ada kemungkinan masih menunggu di kota Tiong Cing Hu, bagaimana kalau kita langsung pergi mencari dirinya lantas bersama-sama pulang ke dalam Benteng?” ujar Wi Lian In di tengah jalan.

Ti Then yang secara diam-diam sedang berpikir kalau pekerjaannya kali ini mencuri kembali pedang Biat Hun Kiam tidak lebih cuma membutuhkan dua puluh harian saja sudah tentu tidak mau menyetujui usulnya ini, karena dia tahu bilamana dia diharuskan mencari Wi Ci To dan mengajaknya pulang bersama- sama maka ada kemungkinan dia segera akan menjodohkan putrinya kepadanya, hal ini sudah tentu sangat menguntungkan sekali terhadap usaha dari majikan patung emas karenanya dengan cepat dia gelengkan kepalanya.

“Tidak, kita tidak perlu mencari ayahmu,” serunya. “Kenapa?”

“Bilamana kita pergi kekota Tiong Cing Hu ada kemungkinan bisa diketahui Cuo It Sian atau anak buahnya, sekarang kita sudah memperoleh kembali pedang Bian Hun Kiam ini, lebih baik tidak usah pergi mencari kerepotan lagi.”

“Jikalau kita mengubah kembali wayah kita siapa yang bakal mengenal diri kita lagi?”

“Tetapi Cuo It Sian kenal dengan kuda serta anying ini” sahut Ti Then.

Sambil menuding kearah kuda Ang Shan Khek serta sianying Cian Lie Yen.

“Kalau kita tidak membawanya masuk ke dalam kota bukankah hal ini sudah beres?” desak Wi Lian In lebih lanjut. “Sekali pun dititipkan diluar benteng hal ini juga tidak aman. Bukankah kau tahu sendiri kalau Cuo it Sian mem punyai banyak lumbung padi diluar kota?”

“Hmmmm. Kau terlalu tidak bernyali” Seru Wi Lian In sambil mencibirkan bibirnya.

“Ayahmu beberapa kali memesan wanti-wanti agar usaha kita ini jangan sampai diketahui oleh Cuo it Sian, demi kebaikan lebih baik kita tidak usah melewati kota Tiong Cing Hu saja,”

“Tetapi ayahku sama sekali tidak tahu kalau kita sudah mendapatkan kembali pedang pendek itu, bilamana tidak memberi kabar kepada dia orang tua...”

“Ayahmu pasti tahu” potong Ti Then dengan cepatnya. “Bagaimana bisa jadi?” seru Wi Lian In melengak.

“Setelah Cuo It Sian mengetahui dia sudah kehilangan sebelah pedang pendek. Coba kau pikir dia bisa berbuat bagaimana?”

“Pertama-tama dia akan pergi ke mana-mana untuk mencari diri sipencuri tiga tangan Kauw Ban Li.”

“Tidak salah,” sahut Ti Then membenarkan. “Tetapi dia tidak tahu sipencuri tiga tangan adalah manusia dari daerah mana, menurut keadaan pada waktu itu dia tidak mungkin bisa pergi mencari diri sipencuri tiga tangan, maka itu akhirnya dia bisa teringat untuk pergi kembali ke Benteng Pek Kiam Po kita.”

Dia berhenti sebentar, lalu sambungnya lagi.

“Sewaktu da mengambil keputusan untuk pergi mengadakan penyelidikan di dalam Benteng Pek Kiam Po maka dia tentu akan pergi dulu ke kota Tiong Cing Hu, karena bagaimana pun dia pasti akan lewat dikota tersebut bahkan ada kemungkinan dia harus membawa beberapa orang pembantu...”

“Lalu bagaimana?” tanya Wi Lian In. Setelah dia kembali kekota Tiong Cing Hu maka hal ini pasti akan diketahui oleh ayahmu, sedang ayahmu cukup melihat sedikit perubahan wayahnya saja maka dia bisa tahu kalau kita sudah berhasil mendapatkan hasil, saat itu sudah tentu ayahmu akan langsung kembali ke Benteng dengan sendirinya.

Bilamana Tia ditemukan oleh Cuo It Sian?

Hal itu tidak usah dikuatirkan lagi. Kepandaian silat dari ayahmu jauh lebih tinggi dari kepandaian Cuo It Sian, sekali pun datang lagi beberapa orang juga tidak bakal bisa menandingi dirinya.

We Lian In temenung berpikir sebentar. Akhirnya dia mengangguk.

Baiklah kita tidak usah pergi ke kota Tiong Cing Hu.

Sekembalinya ke dalam Benteng. Kita harus baik-baik menyembunyikan kuda Ang Shan Khek serta anying Cian Li Yen itu kalau tidak bilamana sampai diketahui oleh Cuo It Sian kalau sikuda Ang Shan Khek serta anying Cian Li Yen ada di dalam benteng kami maka dia segera akan tahu kalau Si tikus pembuat lubang Bun In serta si kucing Bun Giok Kiauw yang ditemuinya hari itu dirumah petani adalah kita orang.

Padahal Tia tidak seharusnya merasa takut terhadap dirinya, jikalau dia diharuskan bertempur melawan orang dari benteng Pek Kiam Po kita boleh dikata kepandaiannya masih terpaut sangat jauh sekali.

Serangan terang-terangsan bisa ditangkis, serangan bokongan sukar terhindar, dia tahu bertempur secara terang-terangan tidak bakal menangkan kita sudah tentu dia akan bisa secara sembunyi menculik orang kita.

“Bilamana membicarakan sampai soal ini aku teringat kembali akan satu persoalan,” ujar Wi Lian In kemudian. “Kalau memangnya pedang pendek ini adalah milik Cuo It Sian kenapa ayahku harus merebutnya sedangkan Cuo It San yang tahu pedang tersebut sudah diambil oleh ayahku kenapa dia tidak minta kembali secara terbuka?”

“Di dalam hal ini sudah tentu ada persoalannya. Cuma saja kita tidak tahu” ujar Ti Then tertawa.

“Masih ada lagi” ujar Wi Lian In lebih lanjut. “Ayahku mendapatkan pedang pendek itu pasti ada gunanya, tetapi sebelum Cuo It Sian merebut kembali pedang pendeknya itu kenapa Tia sama sekali tidak pernah menggunakan pedang itu untuk melakukan sesuatu pekerjaan.”

“Bagaimana kau bisa tahu tidak pernah,” bantah Ti Then dengan cepat.

“Selama beberapa tahun ini aku merasa semua pekerjaan yang dilakukan oleh Tia sama sekali tidak ada hubungan dengan pedang pendek tersebut.”

“Kali ini kita berhasil mencuri kembali pedang pendek, aku rasa ayahmu pasti bisa menceritakan seluruh kejadian kepada kita.”

“Semoga saja demikian.”

Pada wajahnya secara tiba-tiba tersungginglah satu senyumam yang kemalu-kemaluan ujarnya.

“Semoga juga setelah urusan selesai kita bisa hidup dengan tenang dan bahagia.”

“Benar,” sahut Ti Then mengangguk. “Sejak aku menyabat sebagai Kiauw tauw sampai hari ini belum pernah secara sungguh- sungguh menurunkan pelajaran ilmu silat kepada jago pedang kita, aku rasa hal ini sungguh patut disesalkan.”

“Hal ini tidak dapat menyalahkan dirimu, omong terus terang saja selama setengah tahun apabila tidak ada kau maka benteng Pek Kiam Po kita entah sudah berubah jadi bagaimana?”

“Omong sebaliknya,” ujar Ti Then sambil tertawa. “Bilamana tidak ada aku maka hubunganmu dengan Hong Mong Ling tidak bakal retak. Sedangkan benteng  Pek Kiam Po- pun tidak bakal terkena serangan dari sianying langit rase bumi, kau tidak boleh menyalahkan orang lain, semua bencana ini akulah yang membawa datang.”

“Omong kosong,” seru Wi Lian In dengan manyanya. “Kalau kau berkata demikian, berarti juga kau senang kalau aku kawin dengan Hong Mong Ling manusia jahanam itu?”

“Aku tidak mengartikan demikian. ”

“Jikalau kau tidak suka dengan aku omonglah. Terus terang karena Tia ada kemungkinan sudah akan mengambil keputusan.”

“Kau marah lagi,” seru Ti Then sambil tertawa.

“Sudah tentu aku sangat marah.” seru Wi Lian In sambil mencibirkan bibirnya. “Kau orang sungguh membingungkan, kau selalu menganggap kaulah yang sudah merusak hubunganku dengan Hong Mong Ling.”

“Sudah.   sudahlah, kita tidak usah membicarakan lagi soal ini.”

“Bilamana kau sungguh suka padaku maka tidak seharusnya kau merasa sedih dan menyesal dikarenakan persoalan tersebut. Seharusnya kau menganggap kau telah menolong aku loloskan aku dari mulut macan.”

Di dalam hati diam-diam Ti Then tertawa pahit.

“Tidak.” pikirnya di dalam hati, “Bilamana kau sungguh-sungguh bisa kawin dengan Hong Mong Ling hal itu sungguh bagus sekali dan tidak bakal terjadi urusan apa pun. Tetapi bilamana kau mau kawin dengan aku hal itu benar-benar seperti juga menghantar kau kemulut macan.”

Wi Lian In yang melihat dia tidak mengucapkan sepatah kata pun segera memandang dirinya tajam-tajam.

“Lain kali kau tidak akan membicarakan perkataan ini lagi bukan?” tanyanya.

“Tidak.” Sahut Ti Then sambil tertawa paksa. “Aku sebetulnya sedang amat gembira, mendengar perkataanmu itu sekarang aku merasa seluruh perutku jadi kotor dan mual rasanya.”

“Baik, siauw-jin memang berdosa dan patut menerima hukuman mati.” Seru Ti Then dengan cepat.

“Hmmm...” Dengus Wi Lian In, tetapi sebentar kemudian dia sudah tertawa cekikikan.

Ti Then- pun tertawa, tapi dia tidak mengucapkan sepatah kata pun.

“Di dalam hati aku sudah mem punyai perhitungan. Entah kau setuju atau tidak?” ujar Wi Lian In kemudian.

“Coba katakanlah.”

“Setelah kita kembali ke dalam Benteng dan menyerahkan pedang pendek Bian Hun Kiam itu kepada ayahku, bagaimana kalau kita pergi kekota Tiang An untuk bermain dan sekalian membeli sedikit barang?”

“Setuju,” seru Ti Then dengan amat girangnya. “Cuma saja ada kemungkinan ayahmu tidak setuju. jikalau ayahmu menjetujui kita pergi sudah tentu aku amat setuju sekali.”

“Hal ini sukar untuk dikatakan.”

“Coba kau bilang Tia ada alasan apa melarang kita pergi?” “Alasannya ada dua, Pertama kita harus menyaga di dalam

benteng untuk bersiap-siap menghadapi serbuan dari Cuo It Sian yang hendak merebut kembali pedangnya, Kedua, haaa... haaaa... sesudah aku bicara kau jangan marah lho.”

“Kau bicaralah.”

“Hari itu sewaktu ada di dalam kebun bunga di dalam Benteng kau pernah beritahu kepadaku katanya ayahmu bermaksud hendak menjodohkan dirimu kepadaku, maka aku duga setelah kita kembali ke dalam Benteng kemungkinan sekali ayahmu segera mengambil keputusan, dengan demikian kita bukankah tidak bisa pergi?”

“Soal pertama aku tidak berani bicarakan, soal kedua kau tidak perlu kuatir” seru Wi Lian In dengan malu lantas dia melototi dirinya dengan gemas. “Sekali pun ayahku mengumumkan pernikahan kita tetapi belum tentu langsung diadakan perayaannya, dia bisa menunggu sesudah kita kembali dari kota Tiarg An kemudian mencarikan satu hari yang amat bagus.”

“Kalau memangnya bisa begitu hal itu amat bagus sekali,” ujar Ti Then tersenyum. “Aku pun sudah kepingin sekali pergi kekota Tiang An untuk menarik uang lima belas laksa itu untuk dibagikan kepada fakir miskin, uang kertas dari Giok Bian Lang-cun itu sudah aku bawa selama berbulan-berbulan lamanya, kalau tidak cepat- cepat diambil mungkin kertasnya akan hancur sendiri.”

“Dapatkah kau mengambil sedikit diantara uang itu untuk membelikan satu hadiah buat aku,” tanya Wi Lian in sambil tertawa.

“Hal ini boleh saja, cuma saja kau akan menganggap hadiahku sangat tidak berharga.”

“Kau punya rencana hendak menghadiahkan aku apa?”

“Jikalau diharuskan menggunakan uang lima belas laksa maka tidak perduli mau beli barang apa pun tidak boleh lebih satu tahil perak.”

“Iih    satu tahil perak?” tanya Wi Lian In tertegun.

“Benar satu tahil perak,” sahut Ti Then sambil mengangguk. “Aduuhh... kikir benar kau ini,” teriak Wi Lian In dengan amat

keras.

“Kalau uang sebesar lima belas laksa ini milikku maka aku boleh menggunakan seluruh uang itu untuk membelikan hadiah buatmu.”

“Hmmm, tidak kusangka kau jujur benar,” seru Wi Lian In sambil tertawa pahit. 00odwo00

Setelah menempuh perjalanan selama sembilan hari lamanya akhirnya pada siang hari itu juga sampailah mereka di dalam Benteng Pek Kiam Po dalam keadaan selamat.

Shia Pek Tha sekalian yang melihat Wi Lian In pulang bersama- bersama Ti Then jadi merasa terkejut bercampur girang, mereka masing-masing pada mengerubung maju untuk menanyakan bagaimana caranya dia bisa menemukan kembali Ti Then.

Wi Lian In lantas menceritakan apa yang dirasanya boleh dibicarakan, setelah itu baru kembali ke dalam kamarnya.

“Saudara-Saudara sekalian.” ujar Ti Then kemudian kepada para jago pedang merah yang ada di sana. “Tentunya kalian ingin mengetahui apa yang telah siauwte kerjakan sewaktu keluar dari Benteng ini bukan? tetapi dikarenakan Pocu sudah pesan wanti- wanti kepada siauw-te untuk jangan membocorkan rahasia ini maka maaf siauw-te tidak dapat menceritakan hal ini kepada saudara sekalian.

Satu-Satunya hal yang bisa siauw-te katakan adalah tugas yang diserahkan kepada siauw-te oleh Pocu sudah siauw-te laksanakan dan mencapai hasil yang diinginkan.”

“Pocu kita kapan baru bisa kembali ke dalam benteng?” tanya Shia Pek Tha kemudian.

“Menurut dugaan siauw te, ada kemungkinan paling lambat sepuluh hari kemudian Pocu baru kembali.”

“Pocu kami telah pergi kemana? Dapatkah Ti Kiauw tauw memberitahukan kami?” sambung Ki Tong Hong lebih lanjut.

“Tidak bisa,” sahut Ti Then sambil tersenyum. “Karena apabila siauwte mengatakan kemana Pocu sudah pergi berarti pula telah membocorkan rahasia ini.”

“Sudahlah... sudahlah,” ujar Shia Pek Tha kemudian sambil tertawa lalu menarik tangan Ti Then. “Tidak perduli Ti Kiauw tauw mendapatkan tugas yang bagaimana pun untuk diselesaikan ditempat luaran. Kali ini dia bisa pulang ke dalam Benteng dalam keadaan selamat kita harus merayakannya, ayoh jalan, kita pergi minum arak.”

Malam ini setelah bersama-bersama bersantap malam Ti Then berserta Wi Lian In yang dikarenakan lelah melakukan perjalanan jauh segera bersama kembali ke kamar masing-masing untuk tidur.

Ti Then tahu pada tengah malam nanti patung emas bisa munculkan dirinya. Tetapi dia yang dikarenakan sudah tidak merasa terperanyat oleh kemisteriusan dari majikan patung emas maka itu tidak sampai memikirkan kembali urusan itu di dalam hati, tidak lama setelah dia naik ke atas pembaringan dia sudah tertidar dengan amat pulas.

Ternyata sedikit pun tidak salah, baru saja lewat kentongan ketiga majikan patung emas sudah munculkan dirinya.

Dengan tanpa mengeluarkan sedikit suara pun dia sudah membuka atap rumah lantas menurunkan patung emasnya kesampng pembaringan Ti Then.

“Ti Then, kau bangunlah” seru majikan patung emas dengan mengerahkan ilmu untuk menyampaikan suaranya.

Dengan terkejut Ti Then sadar dari pulasnya, sambil menggosok matanya dia bangkit duduk.

“Selamanya tanpa kuundang kau datang sendiri,” serunya dengan menggunakan ilmu untuk menyampaikan suara.

“Apanya yang tidak benar?” tanya majikan patung emas sambil tertawa.

“Aku baru bisa tidur pulas setelah tiba di dalam benteng, tetapi kau selalu saja tidak membiarkan aku tertidur dengan nyaman dan enak.”

“Aku mau tahu selama sebulan ini patung emasku sudah berbuat pekerjaan apa saja ditempat luaran.” “Seharusnya kau telah tahu dengan sendirinya bukan?” “Apa maksudmu?”

“Apa dia belum pulang?”

“Siapa yang kau maksudkan dengan "dia"?”

“Manusia berkerudung baju biru yang kau kirim untuk mengawasi seluruh gerak gerikku itu.”

Agaknya majikan patung emas merasa sangat kaget sekali. “Kau... kau sudah bertemu dengan dirinya?” tanyanya cepat. “Benar,” sahut Ti Then tenang. “Bahkan kita pernah bercakap-

cakap.”

“Harus dibunuh, harus dibunuh.” Seru majikan patung emas sambil mendengus dingin. “Ternyata dia tidak melakukan pekerjaannya sesuai dengan perintahku.”

“Kecuali kau perintahkan dirinya untuk mengawasi aku secara diam-diam kau masih perintah dia untuk melakukan pekerjaan apa lagi?”

“Tidak ada,” sahut majikan patung emas. “Aku cuma perintah dia untuk mengawasi seluruh gerak gerikmu secara diam-diam karena aku takut kau sengaja mengulur-ulur waktu dan tidak langsung pergi mencuri pedang itu.”

“Sebetulnya dia adalah apamu?” “Kau tidak tahu?”

“Walau pun kami pernah bercakap-cakap tetapi dia sama sekali tidak membocorkan rahasiamu.”

“Kalau begitu bagus sekali.”

“Sebenarnya dia adalah apamu?” sekali lagi Ti Then bertanya. “Kau tidak perlu tahu.”

Ti Then segera tersenyum. “Sskali pun kau tidak berbicara kemungkinan sekali aku bisa menebaknya sendiri.”

“Sekali lagi aku memberi peringatan kepadamu, jika kau berani menyelidiki sesuatu yang menyangkut diriku, aku tidak akan berlaku sungkan lagi terhadap dirimu.”

“Dia adalah putramu?” Ti Then tidak perduli tetapi bertanya terus.

“Bukan.”

“Kalau begitu anak muridmu?”

Majikan patung emas segera menggerakkan patung emasnya dengan gaya hendak menyerang.

“Kau cari mati?” tanyanya dengan gusar.

“Sekali pun aku kepingin mati belum tentu kau membiarkan aku mati,” seru Ti Then mengejek.

“Kau sudah salah menduga” seru majikan patung emas tertawa dingin. “Aku boleh gagal di dalam rencanaku tetapi aku tidak akan membiarkan kau mengetahui siapakah aku orang.”

“Kau tidak berani membiarkan aku tahu, siapakah kau orang tetapi berani membiarkan dia tahu, kalau memang demikian pada waktu semula kenapa kau tidak menyuruh dia mewakili diriku?”

“Ada bermacam-macam persoalan, dia tidak bisa mewakili kau untuk masuk ke dalam Benteng Pek Kiam Po.”

“Kelihatannya dia masih amat muda,” seru Ti Then membantah. “Kepandaian silatnya- pun tidak jelek, ada alasan apa dia tidak bisa menggantikan diriku?”

“Alasannya tidak bisa diutarakan keluar.”

“Aku tahu,” ujar Ti Then kemudian sambil tertawa. “Wajahnya tentu tidak mendatangkan rasa simpatik dari orang lain, jikalau dia yang disuruh masuk ke dalam Benteng Pek Kiam Po, Wi Lian In tentu tidak suka kepadanya, bukan begitu??” “Yangan banyak omong lagi,” potong majikan patung emas dengan gusar. “Sekarang aku mau kau beritahu kepadaku, dimana kau sudah menemukan dirinya sedang membuntuti dirimu? apa yang sudah kalian bicarakan??”

“Sebetulnya aku tidak menemukan kalau dia sedang membuntuti diriku, dialah yang munculkan diri dengan sendirinya.”

“Kenapa dia mau munculkan dirinya untuk bertemu muka dengan dirimu?”

“Alasannya dia bisa munculkan diri dikarenakan hendak menolong nyawaku, karena sewaktu ada di atas gunung Bu Leng san secara tidak sengaja sudah terjatuh ke tangan sipendekar tangan kiri Ciat Pit Yuan.”

“Iiih. sipendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan bersembunyi

di atas gunung Bu Leng san?” tanya majikan patung emas dengan sangat terperanyat.

“Benar,” sahut Ti Then membenarkan. “Dia sudah menerima seorang murid yang bernama Kwek Kwan San, guru murid dua orang berdiam di dalam sebuah rumah gubuk di atas gunung tersebut.

Waktu itu aku lewat di sana dan bertemu dengan muridnya Kwek Kwan San, semula tidak tahu kalau dia adalah anak murid dari si Cian Pit Yuan itu, sehingga menerima undangannya untuk menginap satu malam di rumah gubuknya.”

Segera dia menceritakan semua kejadian yang sudah dialaminya sewaktu ada di dalam rumah gubuk tersebut.

“Demikianlah akhirnya dia munculkan dirinya dan menolong aku untuk membebaskan diri dari totokan jalan darah.” Ujar Ti Then mengakhiri kisahnya.

Sehabis mendengar kisahnya itu majikan patung emas baru bisa menghela napas panjang. “Oooh.... Kiranya demikian,” ujarnya. “Kalau begitu di dalam keadaan seperti itu memang ada keharusan untuk munculkan dirinya untuk menolong dirimu lolos dari bahaya maut, aku tidak bisa menyalahkan dirinya.”

“Kemungkinan sekali dia bakal dengan cepat kembali kerumah.” Ujar Ti Then dengan mengambil kesempatan ini.

“Benar. ” sahut majikan patung emas tanpa terasa.

Tapi sebentar kemudian dia sudah merasa kalau dia sudah salah ngomong, cepat-cepat bantahnya.

“Aaaah.... tidak... tidak. Dia tidak mungkin bisa masuk ke dalam Benteng Pek Kiam Po ini.”

Mendengar perkataan tersebut diam-diam Ti Then merasa amat geli sekali, pikirnya.

“Perduli kau adalah seekor rase tua berusia ribuan tahun, akhirnya keterlanjur ngomong juga. Hmmm... hmmm. sekarang

aku sudah tahu kalau kau mem punyai seorang anak buah yang menyelinap di dalam Benteng Pek Kiam Po ini.”

Walau pun di dalam hatinya dia berpikir demikian tetapi pada mulutnya dia sudah menyawab.

“Kalau begitu bagaimana kalian bisa bertemu dan saling berhubungan berita?”

“Soal ini adalah rahasiaku. Kau tidak perlu tahu.” “Rahasiamu sungguh tidak sedikit,” seru Ti Then tertawa.

“Tidak usah banyak omong lagi, sekarang teruskanlah laporanmu.”

“Setelah meninggalkan gunung Bu Ling san aku cepat-cepat melakukan perjalanan menuju kegunung Cun san, setelah mengetahui tempat tinggal dari Cu Kiam Lo jin, Kan It Hong adalah di dalam gua naga serta gua macan maka aku segera berangkat menuju kegua naga dan punya maksud untuk mencari dari gua itu terlebih dulu, siapa tahu baru saja memasuki gua tersebut mendadak dari dalam gua sudah berkumandang keluar suara orang yang sedang berbicara. ”

Majikan patung emas yang mendengar secara tiba-tiba Cuo It Sian turun tangan membinasakan diri Cu Kiam Lojin dengan amat terperanyatnya dia menjerit kaget.

“Nama besar serta sifat kependekaran Cuo It Sian sudah memenuhi seluruh angkasa dan tersebar luas didalan Bu lim, tidak kusangka sama sekali dia bisa melakukan pekerjaan yang demikian rendahnya, kenapa dia turun tangan membinasakan diri Cu Kiam Lo jin?”

“Dia tidak mengharapkan ada orang yang tahu kalau dia pernah membetulkan pedang ditempatnya Cuo Kiam Lojin. Atau dengan perkataan lain dia tidak ingin orang orang dari Bu lim mengetahui kalau pedang pendeknya itu pernah patah jadi dua bagian.”

“Alasannya?” tanya majikan patung emas. “Tidak tahu.”

“Ehmmm... kalau dikata mungkin Cuo It Sian pernah menggunakan pedang itu untuk....” ujar majikan patung emas setelah termenung berpikir keras, tetapi setelah sampai ditengah jalan dia bungkam sekali.

Ti Then yang mendengar dia tidak melanjutkan kembali kata- kata-nya segera bertanya.

“Kenapa?”

“Tidak mengapa.” Sahut majikan patung emas kemudian setelah termenung berpikir keras bsberapa saat lamanya. “Lalu akhirnya bagaimana?”

“Dia menyeret jenasah dari Cu Kiam Lojin ke dalam gua dan menguburnya.

Karena aku sudah memperoleh larangan dari Wi Ci To untuk munculkan diri merampas barang itu, secara diam-diam aku membuntutinya terus dari belakang, aku punya maksud untuk mencari kesempatan yang baik, malam itu setelah dia melakukan perjalanan sejauh lima puluh li, mungkin dikarenakan telah lelah maka akhirnya dia duduk beristirahat di atas tanah tidak lama kemudian mendadak muncul kembali seorang yang melakukan perjalanan malam.”

“Siapa?” timbrung majikan patuag emas dengan cepat.

“Tahukah kamu orang di dalam Bu lim ada seorang yang bernama sikakek pedang baja Nyio Sam Pak?”

“Tahu,” sahut majikan patung emas. “Nama besar dari sikakek pedang baja Nyio Sam Pak jauh di atas dari Cuo It Sian, apakah orang yang melakukan perjalanan malam itu adalah Nyio Sam Pak?”

“Bukan, orang yang melakukan perjalanan malam itu adalah anak murid dari Nyio Sam Pak yang bernama silang sakti Cau Ci Beng.”

Mendengar perkataan tersebut majikan patung emas jadi sangat terperanyat.

“Apakah mereka sudah mengadakan pertemuan ditempat itu?” “Bukan.” Bantah Ti Then kemudian. “Si elang sakti Cau Ci Beng

cuma lewat ditempat itu saja. Ketika dia menemukan Cuo It Sian ada di sana dia segera berhenti dan memberi hormat, karena dia pun kenal dengan dirinya, kiranya Cuo It Sian dengan suhunya Nyio Sam Pak adalah kawan lama. Menurut apa yang aku dengar, pada waktu yang lalu Cuo It Sian pernah membantu Nyio Sam Pak menghindarkan diri dari suatu bencana, untuk membalas budi itu, Nyio Sam Pak lantas menghadiahkan satu pedang Biat Hun kepadanya, pedang itu adalah pedang yang dibawa Cuo It Sian untuk disambung kembali di rumahnya Cu Kiam Lo jin.”

“Kalau demikian adanya rahasia yang menyelubungi pedang pendek itu ada kemungkinan mem punyai sangkut pautnya dengan diri Nyio Sam Pak,” ujar majikan patung emas memberikan pendapatnya.

“Aku kira tidak ada.” “Bagaimana kau bisa tahu?”

Demikianlah akhirnya Ti Then menceritakan kembali bagaimana Cuo It Sian membinasakan diri silang rajawali Cau Ci Beng... akhirnya dia menambahkan.

“Ditinyau dari hal ini bilamana pedang pendek Biat Hun itu ada rahasia yang mem punyai sangkut paut dengan diri Nyio Sam Pak tidak seharusnya Cuo It Sian turun tangan membinasakan dirinya.”

“Heee.... heee....” terdengar majikan patung emas tertawa dingin. “Di dalam satu hari berturut-turut membinasakan dua orang, hati Cuo It Sian benar-benar amat kejam sekali.”

“Dia pernah bergumam seorang diri katanya semua ini adalah Wi Ci To yang memaksa sehingga dia berbuat serong.”

“Menurut perkataan yang diucapkan itu aku menduga tentunya dia pernah menggunakan pedang pendek itu untuk melakukan satu urusan yang jahat, sehingga sewaktu Wi Ci To memperoleh pedang tersebut, dia jadi kelabakan dengan sendirinya.”

“Soal ini aku pun pernah memikirkannya, tetapi aku rasa tidak mirip. ”

“Kalau tidak, apa lagi alasan yang cocok?”

“Aku sendiri juga tidak tahu,” ujar Ti Then setelah ditanyakan oleh majikan patung emas itu.

“Aku rasa agaknya Wi Ci To belum sampai memegang semua buktinya, karena menurut perkataan dari Wi Ci To sendiri dia sudah menyimpan potongan pedang itu selama tiga tahun lamanya, jikalau dikata Wi Ci To sudah mencekal satu bukti yang nyata kenapa selama tiga tahun ini dia tetap merahasiakannya?”

“Mungkin Wi Ci To hendak menggunakan kesempatan ini untuk memaksakan sesuatu dengan dirinya, atau kemungkinan juga setelah didesak beberapa kali akhirnya Cuo It Sian jadi nekat dan mengambil tindakan untuk merebut kembali potongan pedang itu.”

“Tidak.” “Kau menganggap Wi Ci To tidak bisa melakukan pekerjaan ini?” tanya majikan patung emas sambil tertawa.

“Benar,” sahut Ti Then singkat.

“Kau tidak merasa Wi Ci To adalah seorang manusia yang amat misterius?”

“Tetapi aku percaya dia adalah seorang yang jujur dan berhati lurus,” sambung Ti Then cepat.

“Sudahlah, sekarang lanjutkan laporanmu, secara bagaimana kau bisa mencuri kembali pedang pendek tersebut.”

Ti Then- pun segera menceritakan bagaimana disebuah rumah penginapan dikota Hoa Yong Sian secara tidak sengaja dia sudah bertemu dengan Wi Lian In dan bagaimana dengan menggunakan ketajaman penciuman dari sianying Cian Li Yen melakukan kejaran terhadap diri Cuo It Sian dan akhirnya kurang sedikit ketahuan rahasianya sewaktu ada dirumah petani diluar kota Kong An Sian.

Dan paling akhir dia bagaimana menyuruh sipencuri tiga tangan untuk mencuri kembali pedang pendek itu.....

Selesai mendengarkan kisah tersebut majikan patung emas segera tertawa.

“Cuo It Sian dengan membuang banyak akal dan tenaga bersusah payah untuk merebut kembali potongan pedang itu kini tercuri kembali oleh kalian, bilamana dia tahu saking cemasnya mungkin bisa jadi gila dengan sendirinya.”

“Aku sama sekali tidak menaruh simpatik kepadanya.”

“Lalu pedang Biat Hun Kiam itu apakah sekarang ada dibadanmu?” tanya majikan patung emas tiba-tiba.

“Benar.”

“Bagaimana kalau diperlihatkan sebentar kepadaku.” “Tapi kau tidak boleh bawa lari lho.” Majikan patung emas tertawa.

“Bilamana aku bermaksud membawa lari bukankah sama saja mendatangkan kerepotan buat diriku sendiri?”

Di dalam hati Ti Then tahu dia benar-benar sangat mengharapkan dirinya bisa memperoleh penghargaan dari Wi Ci To sehingga berhasil mempersunting Wi Lian In sebagai istrinya, karena itu dia tidak mungkin dia mau membawa lari pedang pendek Biat Hun tersebut karena bilamana dia sampai berbuat demikian bukankah sama saja merusak rencana kita sendiri? Karena itu dia segera melepaskan pedang pendek itu dan diberikan kepada patung emas yang ada di hadapannya tersebut.

Majikan patung emas segera menarik patung emasnya itu ke atas dan melihat sebentar pedang pendek itu.

“Pedang pendek ini kelihatannya biasa saja, tidak ada keistimewaannya apa pun,” ujarnya kemudian.

“Benar,” sahut Ti Then membenarkan. “Aku pun tidak bisa melihat adanya satu keistimewaan.”

“Tetapi aku benar-benar merasa kagum atas kelihayannya dari Cu Kiam Lojin yang bisa menyambung pedang itu sehingga tidak kelihatan sedikit bekas pun.”

“Benar.”

Majikan patung emas segera meletakkan pedang pendek itu ke atas pergelangan tangan dari patung emasnya lagi dan mengereknya turun ke bawah.

“Ini terimalah kembali,” serunya.

Setelah menerima kembali pedangnya, Ti Then lantas berkata lagi.

“Eeei. aku mau pergi tidur, bagaimana kalau malam ini sampai di sini saja??” “Tidak, aku masih ada perkataan yang hendak ditanyakan kepadamu, kapan Wi Ci To baru kembali?”

“Mungkin sepuluh hari lagi.” Sahut Ti Then dengan cepat.

“Aku dengar perkataan dari para jago yang ada di dalam Benteng katanya Wi Ci To sudah memberikan putrinya kepadamu, maka itu setelah dia pulang ke dalam Benteng dia pasti mengumumkan pernikahan kalian.”

“Kalau tidak, kau jangan menyalahkan aku lho.”

“Kecuali secara diam-diam kau main setan, kalau tidak pasti berhasil,” ujarnya majikan patung emas dengan suara berat.

“Aku tidak sedang main setan, maksudku bilamana sampai terjadi lagi suatu peristiwa kemungkinan sekali Wi Ci To akan menangguhkan perkawinan diantara kita. Hal ini jelas adalah suatu alasan yang betul.”

“Setelah pedang pendek itu direbut kembali kau rasa bisa terjadi peristiwa apa lagi?” tanya majikan patung emas.

“Hal ini sukar untuk dibicarakan, setelah Cuo It Sian menemukan kalau pedang pendeknya sudah tercuri sudah tentu dia akan menaruh curiga kalau pekerjaan ini pasti hasil perbuatan dari Wi Ci To, maka itu aku menduga Cuo It Sian pasti datang. “

“Dia tidak punya bukti. Bagaimana berani datang kebenteng Pek Kiam Po untuk mencari gara-gara?”

“Untuk merebut kembali pedang pendek itu dia sudah membinasakan berpuluh-puluh orang banyaknya. Kau pikir kali ini dia tidak berani memperlihatkan satu permainan setan lagi?”

“Bilamana dia berani datang mencari gara-gara lagi, hal ini berarti pula hendak merusak rencanaku. Saat itu aku tidak akan berlaku sungkan-sungkan lagi terhadap dirinya,” ancam majikan patung emas dangan keren.

“Kau ingin berbuat apa?” “Bunuh dirinya berarti juga membantu Bu lim melenyapkan satu sumber bencana kau setuju bukan kalau aku turun tangan membinasakan dirinya?”

“Aku tidak menolak.”

“Bagus sekali,” sahut majikan patung emas dengan girang. “Jika tidak datang yaaa sudahlah, bilamana datang maka aku surah dia tidak dapat kembali kekota Tiong Cing Hu lagi.”

Berbicara sampai di sini dia segera menarik patung emasnya ke atas, menutup atap rumah dan lenyap tak berbekas.

Ti Then pun segera jatuhkan diri ke atas pembaringan dan sekali lagi tertidur dengan amat pulasnya.

Tiga hari kemudian sipedang naga emas Wi Ci To sudah kembali ke dalam Benteng Pek Kiam Po.

Begitu sampai di dalam Benteng dengan cepat dia memerintahkan Ti Then untuk menghadap ke dalam kamar bacanya.

“Ti Kiauw tauw, kau berhasil?” tanyanya.

“Benar...” sahut Ti Then sambil mengangguk. “Untung boanpwe berhasil mencuri kembali pedang Biat Hun ini.”

Sambil berkata dia mengambil keluar pedang pendek itu dan diangsurkan ke depan.

Wi Ci To setelah menerima pedang ini lantas dengan telitinya diperiksa sebentar. Tetapi sebentar kemudian air mukanya berubah sangat hebat.

“Secara bagaimana kau pergi mencuri pedang pendek ini?” tanyanya sambil mengangkat kepalanya.

Ti Then segera menceritakan seluruh kisahnya dengan amat jelas sekali....

Ketika dilihatnya Wi Ci To sedang mengerutkan alisnya rapat- rapat dia jadi merasa heran. “Ada apanya yang tidak beres?” tanyanya.

Wi Ci To tertawa pahit lantas mengangkat pedangnya ke depan. “Kau sudah tertipu,” serunya.

“Tertipu?” tanya Ti Then melengak.

“Benar, tetapi hal ini tidak bisa salahkan dirimu...” “Pedang pendek itu adalah palsu?”

“Benar,” sahut Wi Ci To mengangguk, “Walau pun bentuk serta besar kecilnya persis seperti pedang Biat Hun tersebut tetapi di atas pedangnya tidak terdapat tulisan Biat Hun dua kata.”

Ti Then segera merasakan wajahnya amat panas sekali, matanya terbelalak lebar-lebar.

“Apa mungkin tulisan itu sudah jadi lumer sswaktu Cu Kiam Lojin menyambung kembali potongan itu?” tanyanya.

“Pasti tidak.”

Kening yang dikerut Ti Then semakin mengencang, dengan gemasnya dia berseru,

“Tentulah sipencuri tiga tangan yang sudah main setan dengan aku, dia tidak berani mencopet pedang pendek Cuo It Sian lantas mencarikan satu pedang pendek lalu menipu diriku, bangsat cilik...”

“Tidak benar...” potong Wi Ci To sambil gelengkan kepalanya. “Pasti bukan sipencuri tiga tangan yang main setan, karena dia belum pernah melihat pedang Biat Hun tersebut sehingga tidak mungkin pula baginya untuk pergi mencari sebilah pedang pendek yang persis untuk menipu dirimu.”

“Kalau begitu boanpwe yang kena ditipu oleh Cuo It Sian bajingan tua itu?” ujarnya Ti Then sambil membelalakan matanya.

“Benar, kemungkinan sekali sewaktu dia mengenal kembali kuda Ang Shan Khek sewaktu ada dirumah petani itu dalam hatinya sudah timbul rasa curiganya, karena itu dia segera menyembunyikan pedang Biat Hun yang asli dan sengaja mencarikan satu yang palsu untuk dibawa dibadannya.”

Mendengar penjelasan tersebut Ti Then segera tertawa pahit. “Bagaimana pun jahe yang tua jauh lebih pedas, boanpwe sama

sekali tidak menyangka kalau dia bisa berbuat demikian” ujarnya.

“Dia memang benar-benar pinter sekali, sekali ini hampir-hampir saja lohu- pun kena ditipu olehnya.”

“Apakah di dalam kota Tiong Cing Hu dia sudah pasang seorang penggantinya??”

“Benar, bagaimana kau bisa tahu?” tanya Wi Ci To melengak. “Hal itu boanpwe ketahui setelah memikirkan dan mencocok-

cocokkan semua kejadian yang ada, beberapa bulan yang lalu dikarenakan boanpwe menaruh curiga dialah yang sudah melakukan jual beli dengan Hu Pocu, pernah bersama-bersama dengan Lian In pergi menyambangi dirinya. Dia yang melihat boanpwe menaruh curiga terhadap dirinya dia segera mengeluarkan satu bukti yang amat kuat sekali, dia bilang setiap hari penduduk dikota Tiong Cing Hu melihat dia ada di dalam kota dan minta boanpwe mengadakan penyelidikan, saat itu boanpwe sudah tentu amat percaya.”

-ooo0dw0ooo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar