Pendekar Kidal Jilid 32

Jilid 32

Pada saat itulah Tu Hong-s ing, Yong King-tiong dan la in2 juga telah keluar. Yong King-tiong segera bersuara: "Apa yang diucapkan Ling- kongcu me mang betul, asal kalian mau letakkan senjata, ku tanggung jiwa kalian tidak akan diusik."

Melihat gelagat jelek, orang itu segera menyurut mundur, tiba2 dia berteriak: "Angin kencang, mundur! " - Gerak tubuhnya ternyata sebat sekali, begitu putar tubuh terus lari, keluar pintu.

Tak terduga baru beberapa langkah dia lari, waktu dia angkat kepala, entah cara bagaimana pemuda jubah hijau yang tadi berdiri di tengah pendopo tahu2 sudah mengadang di depan pintu dan berkata dengan tertawa: "Kalian ingin lari, kukira tidak segampang itu."

Melihat pe muda ini bertangan kosong, laki2 baju hitam ini menjadi berani, dia menjengek: "Cari ma mpus kau anak muda!" - Sebat sekali dia menyelinap maju, pedang hitam di tangannya langsung menus uk dada.

Hanya sedikit miringkan tubuh, dengan mudah Kun-gi hindarkan tusukan orang, berbareng tangan kiri bekerja, dia pencet pergelangan tangan lawan, dua jari tangan kiri langsung menutuk Ling-tai-hiat pula. Kontan laki2 itu ge metar, mulut mengerang tertahan, selebar mukanya kontan pucat pias seperti balon yang ke mpes, badannya lunglai ha mpir tak kuat berdiri. Jelas laki2 ini telah dipunahkan ilmu silatnya oleh Ling Kun-gi.

Tiba2 Kun-gi me mba lik badan, matanya menyapu pandang empat orang yang lain, katanya ke-reng: "Kalian ke mari, Hek- liong- hwe menjadi cakar alap2 kerajaan dan kalian adalah anteknya cakar alap2, kalau cakar alap2 harus diberantas, kalian para anteknya juga harus dihukum, tapi cukup dipunahkan saja ilmu silatnya."

Keempat orang saling pandang, lalu seorang bersuara: "Kami adalah kaum persilatan, dari pada kehilangan ilmu silat lebih baik kami mat i."

"Ya, dengan bekal sedikit kepandaian silat itulah kalian telah berbuat kejahatan di Kangouw, kalau ilmu silat dipunahkan, kalian diberi kese mpatan untuk menebus dosa dan kemba li menjadi manus ia baik2."

Keempat orang saling pandang pula, mendada k serempak berteriak, empat pedang hitam sekaligus menubruk maju dengan tusukan dan tabasan dari berbagai jurusan.

Ting Kiau berjingkrak gusar: "Anak anjing, masih berani kalian ma in gila!"

Kipas lempitnya tiba2 terbentang, baru saja dia hendak turun tangan, didengarnya Ling Kun-gi tertawa panjang, katanya: "Tadi Cayhe sudah bilang, kalian harus dipunahkan ilmu silatnya, siapapun tak luput dari hukuman setimpal ini."

Belum habis bicara, keempat laki2 itu sudah sama mengerang dan menungging. Tiada hadirin yang melihat jelas cara bagaimana Ling Kun-gi kerja kee mpat lawannya ini, tapi pedang sudah terpental jatuh, keempat orang itupun sudah duduk le mas di lantai. Kiranya dalam segebrak saja mereka telah sa ma dipunahkan ilmu silatnya oleh Ling Kun- gi. Seperti tidak terjadi sesuatu apa Kun-gi me ma ndang Yong King- tiong serta bertanya: "Paman Yong, keluar dari sini, apakah sudah berada didunia luar?"

"Betul," ujar Yong King-tiong tertawa, "Inilah Hwi- liong-tong, di luar adalah Hian-koan-gia m, terpaut satu puncak gunung dengan Ui-liong-tong, sekarang kita boleh keluar dari sini."

Sorot mata Kun gi menyapu kelima jago pedang yang menyerah di Hek-liong ta m, katanya:

"Kalian ke mari."

Kaget dan pucat muka kelima orang, katanya: "Ling- kongcu, kami berlima sudah menyerah, malah me mbawa Kongcu menolong orang dalam lorong2 sesat, kami tidak berani bilang ada pahala, paling tidak itu sudah menebus dosa ka mi, harap Kongcu bermurah hati, ampunilah dosa kami yang dahulu."

Kun-gi tertawa tawar, katanya: Kalian bantu aku me nolong orang, untuk ini aku pribadi bersyukur dan terima kasih, tapi kalian baru menanjak setengah umur, setelah meninggalkan Hwi- liong- hwe, tetap akan berkecimpung di Kangouw kalian mas ih bisa hidup dua puluh atau tiga puluh tahun lagi, memangnya siapa berani menja min kalian tidak akan melakukan kejahatan pula di luar?"

Kelima orang serempa k bersumpah: "Kami bersumpah akan menjadi manus ia baik2, pasti takkan berkecimpung di Kangouw"

"Kalau kalian tidak akan berkecimpung lagi di Kangouw lalu buat apa kalian me miliki kepandaian?"

Kelima orang segera berlutut, katanya: "Mohon Kongcu suka murah hati, jika ka mi betul2 menggunakan ilmu silat untuk berbuat jahat, biarlah ka mi mati tercacah golok dan pedang."

"Kalian berdiri, mengingat kalian telah bantu mencari orang, akan kututuk satu jalur Hiat-tomu, kalian tetap mempertahankan lima bagian kepandaian ini cukup untuk melindungi badan dan me mbe la keluarga, cuma selanjutnya takkan bisa berlatih lebih tinggi lagi, asalkan tidak menggunakan tenaga sepenuhnya kalian tidak akan menga la mi apa2, dengan adanya pe mbatasan ini, pasti kalian tidak akan melakukan kejahatan."

Kelima orang masih ngotot hendak minta keringanan. Yong King- tiong tiba2 me mbentak: "Keputusan Ling- kongcu cukup adil, kalian masih belum puas? Sela ma dua puluh tahun ini betapa banyak insan persilatan yang terbunuh oleh orang2 Hek-lio ng-hwe seperti kalian ini, kalian pantas dibunuh untuk menebus dosa, me mangnya kalian masih tidak terima?"

Karena ditegur Yong King-t iong, kelima orang tak berani bersuara lagi, secepat kilat Lin g Kun-gi bekerja, satu persatu dia tutuk tempat yang sama di tubuh kelima orang. Kelima orang sa ma mer inding, hanya itu perasaan mereka, la lu bera mai mere ka menjura pada Un Hoan-kun, katanya: "Berkat ke murahan hati Ling- kongcu kami telah me mperoleh penga mpunan, sejak kini ka mi akan meninggalkan Hek-liong-hwe, nona sudah berjanji akan

me mber i obat penawar, harap nona ber murah hati pula."

"Me mangnya kalian terkena racun apa?" tanya Un Hoan-kun menggoda.

"Ka mi mene lan Sip-hun- wan, dalam dua belas jam kalau tidak ditawarkan akan menjadi pikun, sukalah nona tidak menyiksa kami lagi."

"O." Un Hoan-kun bersuara dalam mulut, tanyanya berpaling kepada Tu Hong-sing: "Saudara Tu bagaimana? Kaupun ingin obat penawar?"

Tu Hong-s ing menyengir, katanya: "Nona sendiri telah berjanji, tentunya takkan memper mainkan kami." - Meski dalam hati amat dongkol tapi lahirnya dia tetap tersenyum. "Sip-hun-wan buatan khusus keluarga Un dari Ling-la m, sudah tentu hanya nona saja yang punya obat penawarnya, bukankah nona sudah janji akan me mber i obat penawarnya sebelum me ninggalkan te mpat ini?"

"Un Hoan-kun menggigit bibir, katanya dengan tertawa: "Bahwasanya keluarga Un dari Ling- lam tidak pernah me mbuat atau me miliki Sip hun-wan, darimana pula aku me miliki obat penawarnya?"

Gemerobyos keringat To Hong sing karena ce mas, katanya: "Agaknya nona sengaja mau merenggut jiwaku ini."

"Aku tidak menipumu," ucap Un Hoan-kun tertawa, "aku betul2 tidak punya obat penawar."

Tu Hong-s ing menyeka keringat yang me mbasahi jidatnya, katanya gugup: "Tapi aku jelas sudah menelan Sip-hun- wan. Yong- congkoan, kau sendiri menyaksikan, kita terhitung te man la ma, me mangnya kau tega melihat aku tersiksa pada hari tuaku ini?"

Un Hoan-kun morogoh keluar sebuah cupu2 kecil serta menuang keluar sebutir pil dan ditaruh di telapak tangan, katanya: "Bukankah yang kau telan pil ini?"

Dengan cermat Tu Hong-s ing menga mati pil itu, katanya mengangguk: "Ya, me mang pil ini, nona bilang pil ini na manya Sip hun-wan"

Un Hoan-kun angsurkan cupu2 kecil itu, katanya. "Kalau saudara Tu bisa me mbaca, silakan lihat sendiri apa, yang tertulis di sini?"

Tu Hong-sing terima Cupu2 kecil itu serta me mbaca tulisan di secarik kertas yang tertempel di cupu2 itu, katanya: "Ciap bi-tan khusus buatan keluarga Un. Jadi nona me mber i aku menelan Ciap- bi-tan. Kau tidak menipuku?"

Un Hoan-kun terima ke mba li cupu2 itu, katanya sambil cekikik: "Buat apa aku menipumu?, soalnya paman Yong bilang kau gila pangkat dan tamak harta, belum bisa dipercaya, maka sengaja kucekok kau dengan sebutir pil yang kukatakan Sip-hun-wan, dengan cara ini baru akan me maksa kau bekerja sekuat tenaga, yang benar Ciap-bi-tan ini khusus untuk me munahkan segala maca m obat bius, bila kau mene lannya sebutir, dalam jangka dua belas jam, kau tak perlu takut terhadap segala maca m bebauan yang me mabukkan, sudah tentu tidak akan me mbawa akibat sampingan untuk kesehatan orang, lalu obat penawar apapula yang akan kau minta lagi?"

Yong King t iong tergelak2, katanya: "Tu-heng sekarang boleh legakan hatimu?"

Merah muka Tu Hong-s ing, katanya kikuk: "Nona Un me mang pandai me mper mainkan orang."

Tiba2 tampa k serius sikap Yong King tiong, katanya: "Apa yang Tu-heng katakan tadi me mang t idak salah, dulu kita sa ma2 sebagai salah satu dari pada tiga puluh enam panglima Hek-liong-hwe, setelah meningga lkan Kun- lun san kitapun akan berpisah, tiga puluh enam panglima kini tinggal kau dan aku berdua, mengenang masa lalu sungguh bagai mimpi, apakah rencana hidup Tu heng selanjutnya takkan kucampur tangan, tapi perlu kuberi pesan sepatah kata padamu, yaitu kita adalah keturunan bangsa Han, menjadilah manusia yang tahu harga diri, kuharap Tu-heng jangan lupa me mbina diri."

Tu Hong-sing merangkap tangan me njura, katanya: "Nasihat Yong-heng se murni e mas, aku terima nasihat mu, semoga kita kelak masih ada kesempatan bertemu. sekarang aku mohon diri." -Setelah menjura dan mohon diri pada seluruh hadirin, cepat2 dia melangkah pergi.

"Sekarang kalianpun boleh pergi," kata Yong King- t iong kepada kelima jago pedangnya.

Serentak mereka menjura lalu beriring keluar langsung turun gunung.

Yong King tiong menghe la napas, katanya menengadah: "Dengan kedua tangannya Lohwecu mendirikan Hek liong-hwe tiga puluh tahun yang lalu dengan mengerek panji kebesaran menentang kerajaan Ceng me mbe la dinasti Bing, dua puluh tahun terakhir ini Hek liong-hwe justeru dikangkangi cakar alap2 kerajaan dan diperalat untuk menumpas patriot bangsa sendiri, selama lima puluh tahun ini, Losiu hidup terkurung di sini e mpat puluh tahun, dulu waktu datang adalah pemuda yang gagah dan kekar, kini keluarnya telah berubah seorang kakek yang sudah uban dan loyo, proyek besar di dalam -perut gunung hasil jerih payah banyak orang di sini selanjutnya akan terpendam untuk selama2nya." - Sampa i akhir katanya, saking sedih air matanya lantas bercucuran.

"Yong-lo pek," kata Kun-gi, lorong di perut gunung ini simpang siur dan menyesatkan, jika dibiarkan dalam keadaan utuh seperti ini, sekali te mpo mungkin akan digunakan orang2 Kangouw dari golongan hitam sebagai sarang kejahatan, apakah tidak lebih baik disumbat saja?"

Yong King-tiong tersenyum, katanya: "Ling- kongcu tak usah kuatir, bahwa Losiu me milih jalan keluar dari sini, sebetulnya me mang sudah kurencanakan untuk menutup mati te mpat ini, karena pintu rahasia dari berbagai tempat harus dibuka dari dala m, hanya kunci pintu besar Hwi liong- tong ini yang harus dibuka dari luar, setelah kita keluar semua baru ditutup dan kuncinya dirusak, orang luarpun takkan bisa masuk pula."

"Kalau te mpat ini hanya bisa dibuka dari luar, kecuali pa man Yong, tentunya masih ada orang la in pula yang tahu."

"Soal ini mer upakan salah satu rahasia penting dalam Hek- liong- hwe, hanya para Tongcu saja yang tahu, kini yang mati sudah pergi, yang masih hidup ter masuk Losiu sendiri hanya tinggal t iga orang lagi."

"Entah siapa dua orang yang la in?" tanya Kun-gi.

"Seorang adalah ibumu," ujar Yong King-t iong, "seorang lagi adalah Cui Kin- in. Ai, seharusnya tadi kita me nawannya."

Mengingat dua kali gurunya bersuara mencegah Kun-gi melukai dan menahan Cui Kin- in, dia m2 dalam hati dia menggerutu: "Entah bagaimana asal usul pere mpuan ini? Ilmu pedang dan kepandaian silatnya ternyata tidak lebih rendah dari padaku."

Sementara mereka berbincang2, ro mbongan besar itupun telah keluar dari pintu gerbang Hwi-liong-tong, di bagian luar ternyata adalah sebuah gua raksasa yang tingginya ada beberapa tombak dan luasnya ada enam to mbak.

Setelah orang banyak sama keluar, Yong King-tiong mengha mpiri dinding sebelah kanan, sebuah batu besar digesernya, lalu tangannya menggagap sekian la manya, maka terdengarlah suara gemuruh, pelan2 sebuah batu raksasa melorot turun dari atas. Pintu gerbang Hwi- liong-tong seketika tersumbat menjadi sebuah dinding batu yang berlumut.

Sambil berjongkok Yong King-tio ng meno leh, katanya: "Ling- kongcu, Losiu pinjam Seng- ka-kia mmu sebentar."

Kun-gi mengiakan, ia keluarkan Seng-ka- kiam dan diangsurkan. Yong King-t iong terima pedang pendek itu lalu menabas,

menusuk dan me mbacok serabutan ke dalam  lubang, beruntun

terdengar suara besi patah dan berjatuhan, kiranya alat2 rahasia yang menjadi kunci pe mbukaan pintu gerbang telah dirusaknya.

Yong King-tiong menggeser balik batu besar itu untuk menutup lubang, setelah berdiri wajahnya tampa k lesu gura m, mimiknya sedih dan rawan, se-olah2 dalam sekejap ini usianya bertambah tua beberapa tahun. Dengan langkah lebar segera dia mendahului berjalan keluar.

Sang surya me mancarkan cahayanya yang hangat dan cemerlang, alam pegunungan menghijau per mai, cuaca cerah, hawa sejuk, cukup la ma mereka berada di perut gunung yang sumpek, kini dapat menghirup hawa pegunungan yang segar sepuas2nya.

Gua besar ini terletak di sisi kanan Hian-koan-gia m, keadaan tebing di sini a mat curam dan tingginya ratusan tombak, untuk turun naik bila tidak me miliki kepandaian silat tinggi orang harus merangka k berpegang pada celah2 batu karang seperti naik tangga layaknya, boleh dikatakan seluruh badan terapung di udara, sekali lena bisa terpeleset dan hancur lebur jatuh ke dalam jurang.

Yong King-tiong bawa orang banyak turun ke dasar jurang dengan sela mat, me mbelo k ke pinggang gunung, mes ki di sini masih di te mpat ketinggian, tapi tempat2 yang harus mereka lewati tidak berbahaya seperti tadi. Rombongan besar ini lebih banyak perempuan daripada laki2, setelah berhasil menempuh perjalanan sukar ini, maka legalah perasaan se mua orang.

Yong King-tiong me lihat cuaca, mentari sudah mulai doyong ke barat, hari menjelang sore, maka dia menoleh dan berkata: "Apakah kalian ingin istirahat?"

Kun-gi mengajukan pertanyaan: "Yong-lopek, berapa jauh perjalanan dari sini ke Gak koh bio?"

"Kalau jalan cepat sebelum magrib mungkin kita bisa sampai tempat tujuan," sabut Yong King-tiong.

Bahwasanya Bok-tan belum tahu kalau Thay-siang sudah mangkat, dia kira orang sedang menunggu kedatangannya di Gak- koh-bio, maka sa mbil me mbetulkan letak ra mbutnya dia berkata: "Ka mi tidak letih, biarlah kita istirahat di Gak- koh-bio saja."

Yong King-tiong mengangguk, katanya: "Begitupun baik, perut kalian kosong, kalau ja lan cepat2 mungkin kita mas ih se mpat ma kan ma lam di Gak- koh bio."

0000oodwoo0000

Gak-koh-bio terletak di bukit Gak- koh ting, bentuk biara ini cukup megah dan angker, bau dupa sudah tercium dari beberapa li jauhnya.

Singkatnya Yong King-tiong telah bawa Kun-gi dan la in2 tiba di bawah Gak koh-ting, dari kejauhan mereka sudah melihat di depan Gak-koh-bio berdiri seorang laki2 tinggi besar berjubah biru seperti sedang me mandang ke tempat jauh menunggu kedatangan seseorang.

Tong Bun-khing bersuara kaget girang, katanya: "He, itukan Pa- congkoan? Ling-toako, bagaimana mungkin Pa congkoan juga berada di sini?" Sudah tentu Kun-gi tak bisa me njawab, terpaksa dia manggut, katanya: "Mungkin sedang me ncarimu."

Kalau mereka melihat Pa Thian-gi, sudah tentu Pa Thian gi juga sudah melihat kedatangan mereka, dengan langkah lebar segera dia menyongsong dengan tawa lebar: "Ling kongcu, Jikohnio dan Sam- kohnio (Pui Ji-ping) sa ma datang, sejak pagi kutunggu di sini, kaki sampai terasa pegal."

Belum Kun-gi bersuara, Pui Ji-ping lantas tanya: "Pa congkoan, apa ibu juga datang?"

"Tidak, yang ke mari adalah Locengcu dan tuan muda," sahut Pa Thian-gi, "malah pa man Sa m- koh-nio Cu-cengcu juga berada di sini bersama Un- locengcu dan Un-jicengcu"

Kini giliran Cu Ya- khim berjingkrak girang, serunya: "Hah, ayah juga datang!"

Sudah tentu Un Hoan-kun kejut2 girang, serunya: "Ayah dan pamanku juga datang?"

"Beginilah duduk persoalannya, Siau-yan, pelayan keluarga Un yang ketakutan pulang me mberi laporan pada Un-locengcu bahwa nona Un menyelundup ke Pek-hoa-pang dan tiada kabar beritanya lagi. Kebetulan Un locengcu dan Lo cengcu kita sedang bertamu di Liong bin sin ceng, sementara Cu-cengcu juga kehilangan nona Cu dan Jikohnio, maka bera mai mere ka lantas menyusul ke Pek-hoa- pang ."

Bok-tan berteriak kaget, tanyanya: "Jadi kalian sudah me luruk ke Pek-hoa-ciu?"

Seperti diketahui Hoa-keh-ceng di Pek-hoa-ciu dijaga oleh Bwe hoa, Lian hoa dan la in2, tapi yang datang kali ini adalah Tong- cengcu dari Sujoan yang terkenal ahli racun, bersama Un-locengcu yang tersohor menggunakan obat bius serta Ciam-lio ng Cu Bun-hoa, kalau tiga tokoh silat kelas wahid ini bergabung, umpa ma Thay- siang sendiri belum tentu dapat melawan mereka. Maklum sebagai Pek hoa-pangcu sudah tentu dia prihatin akan soal ini? Pa Thian-gi tidak tahu asal usul Bok-tan, tapi karena orang datang dengan Ling Kun gi berjalan di depan rombongan lagi, ma ka katanya dengan tertawa: "Tidak, mereka berama i baru sampai di Ciam-s in, kebetulan bersua dengan guru Ling-kong-cu, ma ka mereka disuruh langsung datang ke Gak- koh-bio di Kun-lun-san ini."

Bok-tan menghe la napas lega dan tidak bersuara lagi. Giliran Kun-gi bertanya: "Kapan kalian datang?"

"Ke maren baru t iba di sini."

Tengah bicara ta mpak dari dalam pagar biara berjalan seorang pemuda jubah kuning, melihat kedatangan ro mbongan orang banyak langkahnya lantas dia percepat, teriaknya: "Ling-heng, kenapa baru sekarang datang?"

Lekas Kun-gi me mapak ma ju, teriaknya: "Tong- heng."

Yang keluar ternyata adalah tuan muda keluarga Tong, yaitu Tong Siau-khing adanya, mereka berjabat tangan erat."

Tong Bun- khing dan Pui Ji-ping maju mende kat, berbareng mereka menyapa: "Toako!"

Maka menjadi tugas Kun-gi me mperkenalkan Tong Siau-khing kepada Yong King-tiong, Bok-tan, Un Hoan- kun dan lain2.

Satu persatu Tong Siau- khing me mberi hor mat, katanya ke mudian: "Ling-pekbo bilang sore hari ini kalian pasti datang, makanan sudah disiapkan. Ling-pekbo bersa ma ayah dan lain2 sudah la ma menunggu di pendopo, mari kutunjukkan jalan." - Lalu dia bawa orang banyak masuk lewat pintu tengah menuju ke biara.

Setelah orang banyak masuk ke pendopo besar, Yong King-tiong me mber i tanda kepada Siau-tho dan kee mpat jago pedang baju hitamnya supaya tinggal di luar pendopo saja.

Bok-tan juga suruh Ci-hwi, Hong-s ian, Hu-yong, Giok-je bersa ma Houhoat Ting Kiau, Liang Ih-jun, Toh Kian- ling, Lo Kun-hun serta keempat dayangnya Bak-ni, Swi-hiang, Toh- kian dan Jing-hwi tinggal di pendopo, hanya Pa Thian-gi sebagai Congkoan keluarga Tong tetap ikut masuk melayani para ta mu.

Tong Thian-jong, Un It-hong, Cu Bun-hoa dan Thi-hujin tengah berbincang2 dengan paderi tua berjubah kuning. Tiba di depan pintu, Tong Siau- khing mendahului masuk dan berseru: "Yah, inilah Ling-heng telah datang."

Orang banyak di ka mar ta mu itu sa ma berdiri.

Kun-gi silakan Yong King-tio ng masuk lebih dulu. Thi-hujin lalu me mper kenalkan Tong Thian-jong dan la in2 kepada Yong King- tiong, lalu giliran Kun-gi me mperkena lkan Ban Jin-cun, Kho Keh- hoa, Bok-tan dan Giok-lan kepada ibunya. Setelah saling basa-basi ala kadarnya, semua orang dipersilahkan duduk.

Thi-hujin lantas berkata: "Gi ji, lekas me mber i hor mat kepada Thian-hi Losiansu, Lo-siansu ini adalah sahabat karib kakek luarmu dulu."

Paderi jubah kuning ini beralis panjang putih, wajahnya kelihatan bersih dan terang meski sudah berkeriput, usianya pasti sudah lebih sembilan puluhan, tapi sorot matanya tajam berkilau, jelas seorang paderi sakti yang berkepandaian silat dan Lwekang tinggi. Lekas Kun-gi me langkah maju serta menjura, katanya: "Wanpwe Ling Kun-gi menyampa ikan salam sujud kepada Losiansu,"

Thian-hi Siansu merangkap kedua tangan, dia manggut2, katanya:."Tidak berani, Siau-s icu jangan banyak adat, jangan pula kau me mbahasakan Wanpwe padaku."

"Kenapa Lo-s iansu sungkan pada anak2?" ucap Thi hujin.

Thian-hi Siansu tergelak2, katanya: "Hujin mungkin tidak tahu, dulu Lolap me mang bersahabat kental dengan Thi losicu, tapi guru Ling-s iau-sicu mas ih terhitung Susiokku, kalau menurut tingkat perguruan bukankah Ling sicu menjadi suteku?"

"Hal ini aku me mang tidak tahu," kata Thi-hujin. Dia m2 Ling Kun-gi me mbatin: "Kiranya Lo-siansu ini juga murid cabang Siau-lim."

Cu Bun hoa terbahak2, katanya: "Ling-hujin tak usah kesal, Lo- siansu adalah sahabat kental Thi lohwecu, kalau bicara perguruan masih suheng Ling-lote, maka me nurut he matku, bila Thi- hujin hadir, dia dianggap sebagai Wanpwe, kalau Thi-hujin tiada kalian boleh anggap sa ma angkatan."

Berseri wajah Tong Thian-jong, katanya kepada Kun-gi sa mbil me me lintir kumis: "Ling-hiantit, kali ini kau mendirikan pahala besar, sekaligus me nghancurkan Hek- liong hwe sehingga kaum Kangouw umumnya mme mperoleh kesela matan, tugas me mbe la bangsa selanjutnya juga terletak di pundak kalian generasi muda."

"Paman terlalu me muji," sahut Kun-gi me mbungkuk. "Siautit sih hanya menunaikan kewajiban saja,"

Un It-hong menimbrung: "Hiantit tak usah sungkan, tunas muda kaum Kangouw me mang selalu mela mpaui kaum tua, hanya kaum muda seusia kalian saja yang ma mpu menguasai dunia."

Sejak berkumpul sesa ma tahanan di Coat-seng-san-ceng dulu, Tong-cengcu dan Un-cengcu sa ma me mbahasakan Ling-lote kepada Kun-gi, tapi sekarang me ndadak berubah panggilan, me mang tepat juga karena Kun-gi pandang Tong Siau-khing dan Tong Bun- khing seangkatan, adalah jamak kalau Tong- cengcu me mangginya Hiantit. Tapi Ling Kun-gi dengan Un Hoan kun ada hubungan cinta, sudah tentu Un Hoan-kun ma lu me mber i tahukan hubungan pribadinya ini kepada sang ayah, tapi bahwa Un-cengcu juga telah ubah panggilannya sebagai Hiantit kepada Kun-gi, ini menandakan bahwa dia telah tahu juga hubungan cinta puterinya. Jelas hal ini dia tahu dari laporan Siau- yan.

Kun-gi sudah tentu juga tahu liku2 persoalan ini, terasa mukanya menjadi hangat, sesaat dia berdiri diam dan rada kikuk.

Sejak masuk tadi Bok-tan tidak me lihat kehadiran Thay-siang, dalam hati dia sudah bingung dan gelisah, gurunya adalah adik Ling-hujin, bahwa dia disuruh menyusul ke Gak- koh bio ini, kini Ling hujin dan lain2 ada di sini, jelas gurunya tak mungkin pergi lebih dulu, lalu di manakah sekarang beliau?

Selesai dia duduk ter menung itulah, didengarnya Thi-hujin me manggilnya dengan suara le mbut: "Nona Bok-tan, apalah nona So-yok tidak datang?"

Lekas Bok-tan mengiakan, sahutnya: "Jimoay suka umbar adat, tadi dia menerjang ke luar dari Hwi- liong- koan terus pergi dengan marah, sa mpaipun pesan guru juga tidak dihiraukan lagi."

Thi-hujin mengangguk, katanya: "Betul, me mang pesan guru agar kalian ke mari, mungkin anak Gi sudah beritahu pada mu, Losin adalah kakak guru kalian, sebelum ajalnya dia pernah bicara denganku supaya me mandang kalian sebagai keluarga sendiri, baiklah kau panggil aku bibi saja."

Mendengar kata "sebelum ajalnya", Bok-tan dan Giok-lan seketika terkesima kaget, pikiran seperti butak dan kalut seketika. Bok-tan berdiri dengan berlinang air mata, tanyanya: "Bibi, maks udmu Suhu beliau "

Sedih   juga    Thi-hujin,    katanya:    "Apa    anak    Gi    tidak me mber itahukan pada kalian?"

"Karena Pangcu dan Congkoan baru saja lolos dari bahaya, maka anak kira lebih baik ibu saja yang "beritahukan mereka," demikian kata Kun-gi.

Bertetesan air mata Bok-tan, tiba2 dia menjatuhkan diri, katanya sesenggukan: "Bibi lekas engkau beritahukan cara bagaimana meninggalnya Suhu?" karena dia berlutut, ter sipu2 Giok- lan ikut berlutut, air matapun bercucuran.

Lekas Thi-hujin bangunkan kedua orang, katanya: "Nak, kalian berdiri saja, dengarkan ceritaku," - Bok-tan dan Giok- lan lantas berdiri, tapi air mata tetap tak terbendung.

Dengan le mbut Thi-hujin me mbujuk dan menghibur mere ka sekian la ma, lalu bercerita tentang riwayat hidup Thay-siang sampa i mene mui ajalnya. Sejak kecil Bok-tan dan Giok-lan diasuh dan dibesarkan oleh gurunya, tak nyana dalam menunaikan tugas di Kun-lun- san sini mereka harus berpisah untuk sela ma2nya dengan guru tercinta, sudah tentu tidak kepalang sedih dan pilu mereka, tak tertahan air mata bercucuran lebih deras.

Thi-hujin ikut meneteskan air mata, katanya: "Nak, kalian harus ubah kesedihan ini menjadi kekuatan, dikala mendekati ajalnya adik Ji-hoa ada berpesan dua hal dan minta Losin me mberitahukan pada kalian."

Bok-tan menyeka air mata, katanya: "Bibi, Suhu ada pesan apa?"

Kereng sikap Thi-hujin, katanya: "Sebelum mangkat gurumu bilang, dia mengasuh kalian hingga besar dan akhirnya mendirikan Pek hoa-pang, tujuan utama adalah untuk menandingi Hek- liong- hwe, kemudian dia mendapat kabar bahwa sua miku sudah almarhum, sementara Hek-lio ng-hwe jatuh ke tangan kerajaan, maka timbul angan2nya untuk menumpas Hek- liong-hwe, tapi karena ilmu pedang peninggalan Tiong yang Cinjin tersimpan di Hek-liong-ta m, bila berhasil me mpelajar i ilmu pedang itu pasti tiada orang yang dapat menandinginya, maka dia berkeputusan untuk me luruk ke Hek- liong-hwe, lalu kalian dibagi me njadi t iga rombongan untuk me mancing perhatian musuh, sementara dia secara diam2 menyelundup ke Hek- liong tam.

"Kini Hek-liong-hwe sudah lebur, kejadian sudah lalu, tapi karena kehancuran Hek-liong hwe, pihak kerajaan pasti tidak berpeluk tangan, Pek-hoa-pang merupakan sasaran mereka yang utama, maka hal perta ma yaitu supaya kau secepatnya mengirim perintah me mbubarkan Pek-hoa-pang agar anak buah dan anggota Pek-hoa- pang tidak me njadi buronan kerajaan."

"Keponakan terima perintah," sahut Bok-tan sa mbil sesenggukan.

"Hal kedua adalah keinginan gurumu yang belum tercapai, soalnya Losin adalah anak angkat Lohwecu, adik Ji-hoa adalah anak kandung tunggal yang harus mewar isi marga Thi, maka sebelum ajalnya dia minta supaya kau mewaris i tradisi keluarganya " Mendengar sampai di sini se makin keras tangis Bok-tan, sedih dan pilu.

Berkata Thi-hujin lebih lanjut : "Dikala Pek-hoa-pang me milih Cong-hou-hoat-su-cia tempo hari, adik J i-hoa sudah ada maksud menjodohkan kau dengan anak Gi, tatkala mendekati ajalnya dia usulkan hal ini padaku, peduli anak Gi sudah atau belum bertunangan, dia minta Losin untuk menjodohkan kau dengan anak Gi, kelak setelah punya anak, anak kalian harus menggunakan she Thi, itu berarti kau bukan menantu keluarga Ling, tapi menantu keluarga Thi, ini soal masa depanmu, walau adik Ji-hoa me mber i kuasa, tapi Losin tetap minta pertimbanganmu sendiri, entah kau terima t idak keputusan ini?"

Bok-tan masih sesenggukan, air mata me mbasahi selebar mukanya, serta mendengar Thi- hujin me mbicarakan soal perjodohan dan masa depannya, meski sebagai Pangcu, tapi betapapun dia adalah gadis re maja, maka kepalanya tertunduk dalam, mukanya yang basah tampak merah seperti buah apel masak. Walau hati setuju, tapi saking malu, sukar juga dia bersuara, setelah tergagap2 sekian lamanya, akhirnya dia berkata lirih: "Ini perintah suhu sebelum mangkat, keponakan menyerahkan keputusan kepada bibi saja." - Sampai akhir katanya suaranya lirih seperti bunyi nya muk.

Thi-hujin berkata pula dengan tertawa: "Kalau kau sudah setuju, baiklah hal ini diputuskan de mikian." - Sudah tentu keputusan inipun sekaligus me mantapkan hati Bok-tan, ia menunduk lebih dala m, mulut mengiakan lirih.

"Anak Gi," Thi-hujin berpaling me manggil Kun-gi.

"Ada pesan apa ibu?" tanya Kun-gi dengan muka merah seperti kepiting rebus.

"Ibumu sudah bicara dengan Tong- locengcu, Tong- lohujin ada maks ud menjodohkan puterinya dengan kau, tempo hari dia me mber i tanda mata Seng-ka-kia m juga kesitulah maksud tujuannya. Sementara Un-locengcu hanya punya puteri tunggal, persoalannya malah mendahului daripada yang lain, demi menjaga keselamatanmu, Nona Un sampai menya mar dan menyelundup ke Pek-hoa-pang, maka kedua keluarga moho n bantuan Cu-cengcu sebagai perantara untuk mengajukan perjodohan ini kepada ibu, setelah ibu berunding dengan para Cengcu, karena Un-locengcu hanya punya puteri tunggal dia mengusulkan cara yang sama, supaya putera-puterimu kelak dengan nona Un menggunakan she Un, sedang puteri Tong locengcu tetap mewaris i marga Ling kita, dengan demikian tiga marga tetap me mpero leh keturunan, tiga isterimu masing2 me mpunyai kedudukan yang berbeda pula, maka soal perjodohan rangkap tiga inipun boleh diputuskan de mikian, lekas kau me mberi hor mat kepada para mertua mu."

Sudah tentu nona Tong dan nona Un sejak tadi sudah lari sembunyi ke belakang. Mendengar pesan ibunya, dengan muka merah terpaksa Kun-gi mengha mpiri Tong Thian-jong dan menye mbah.

Berseri muka Tong Thian-jong. lekas dia bangunkan Kun-gi serta tertawa, katanya: "Hiansay (menantu baik) lekas berdiri. Haha, waktu pertama kali Lohu melihat mu lantas teringat kepada puteriku, tak nyana isteriku lebih dulu juga penujui kau."

Kun-gi berdiri lalu, menyembah pula pada Un It-hong. Cepat Un It-hong me mbimbingnya bangun, katanya tertawa: "Hian say tak usah banyak adat," setelah bergelak tertawa ia berkata pula,! "Menurut Tong-heng kau dipenujui lebih dulu oleh ibu mertua- mu, tapi menantuku ini justeru puteriku sendiri yang naksir, jadilah kita ini mertua kontan."

Maka Yong King-tiong, Bau Jin-cun, Kho Keh-hoa dan la in2 sa ma me mber i sela mat kepada Thi-hujin, Tong dan Un-cengcu.

Dengan menge lus jenggot Yong King-tiong berkata : "Hari ini kita baru pulang me nghancurkan sarang penyamun, serangkaian perjodohanpun terjadi, sungguh peristiwa yang mengge mbirakan, tapi aku berpendapat sesuai tradisi bangsa kita, daripada perjodohan rangkap tiga akan lebih baik kalau rangkap lima sekaligus, untuk ini aku me mberani- kan diri menjadi perantara, pertama kutujukan kepada Ling- hujin dan Cu-cengcu, entah kalian suka me mberi muka padaku atau tidak?"

Thi-hujin keheranan, katanya : "Rangkap lima bagaima na maks ud Yong-tayhiap?"

Yong King-tiong tergelak2. katanya: "Dua perjodohan yang akan kuusulkan ini dari, keluarga Ban di Ui-san dan keluarga Kho dari Ciok- mui, asal Ling hujin dan Cu-cengcu mengangguk, maka jadilah aku ini perantara resmi."

Cu Bun-hoa berpaling ke arah Ban Jin cun dan Kho Keh-hoa, kitanya: "Jadi Yong loko mengajukan la maran bagi keluarga Ban dan Kho, entah nona keluarga siapa yang dila mar?"

"Keluarga Ban dengan Liong-bin san-ceng terhitung keluarga persilatan turun temurun, pasangan setimpal dan jodoh yang cocok, Ban-lote sudah cinta sama cinta dengan puterimu, aku ini hanya perantara formil belaka, entah bagaimana pendapat Cu cengcu?"

Cu Bun hoa tertawa lebar, katanya: "Keluarga Ban dari Ui-san secara beruntun menjabat Bu- lim-beng- cu, Yong-tayhiap, perjodohan ini jelas menguntungkan puteriku."

"Jadi Cu-cengcu sudah setuju, haha, " Losiu betu12 jadi Comblang res mi. Nah, Ban-lote, majulah mene mui mertuamu."

Ban Jin-cun segera menyembah kepada Cu Bun- hoa. Bahwa menantunya gagah dari keluarga persilatan kena maan lagi, sudah tentu tidak kepalang senang hati Cu Bun-hoa, lekas dia me mbalas setengah hormat.

Kini Yong King-t iong berpaling, kepada Thi-hujin. katanya: "Kini aku mohon arak perja muan pula kepada Thi-hujin,"

"Mohon Yong-tayhiap jelaskan," ucap Thi-hujin.

"Berat kata2 Hujin. aku mengajukan la maran untuk Kho- lote atas perintah Ji-kohnio Pek-hoa-pang harus dibubarkan, nona Giok- lan yang dulu menjabat Congkoan adalah gadis yang le mah le mbut, cerdik pandai lagi, dengan Kho- lote merekapun merupa kan pasangan yang setimpal, hal ini pernah ku-bicarakan pada Kho- lote, asal Hujin mener ima la maran ini, maka perjodohan inipun jadilah."

Thi-hujin manggut, katanya: "Jimoay me mang berpesan setelah Pek-hoa pang dibubarkan, murid didiknya boleh mene mpuh cara hidupnya sesuai keinginan masing2, apalagi kalau sudah punya jodoh kan lebih baik, kini Yong-tayhiap mengajukan la maran, tapi Losin perlu tanya dulu pada Giok- lan."

Lalu dengan tertawa dia berpaling kepada Giok-lan, katanya : "La maran yang diajukan Yong-tay-hiap sudah kau dengar sendiri, bagaimana kau me nerimanya?"

Merah muka Giok- lan, langsung dia menjatuhkan diri, katanya dengan menangis: "Kalau Suhu menyerahkan keputusan kepada bibi, keponakan menurut keputusan bibi saja."

"Anak baik," ucap Thi-hujin sa mbil menarik tangannya, "bangunlah, baiklah bibi mener ima.."

"Kionghi" (sela mat) Kho- lote," seru Yong King-tiong. "Hujin sudah terima la maranmu, Pek-hoa-pang Thay-pangcu sudah meninggal, Ling-hujin adalah orang tua mereka, nah, kaupun harus member i hormat kepada beliau, ya, sekalian kau boleh panggil Gakbo pada beliau."

Bahwa Kho Keh-hoa dapat me mpersunting isteri cantik, sudah tentu senangnya tak terlukiskan, cepat dia maju ke depan dan berlutut me mberi hor mat.

Kun-gi maju me ma pahnya bangun.

Thi-hujin tertawa, katanya: "Kho-siangkong sudah me manggil Gakbo padaku, sebetulnya Losin tak berani terima. Tapi begitupun baik, Giok-lan juga a mat kusayang, anak Gi putera tunggal, tidak punya saudara, biarlah Giok- lan kupungut jadi puteri angkatku, jadi cocok aku menjadi ibu mertua."

"Sa m- moay," kata Bok-tan senang, "lekas beri hormat kepada ibu angkat." Giok- lan berlutut dan menye mbah sembilan kali, katanya: "Bu, terimalah se mbah sujud anak- mu ini."

Thi-hujin menariknya bangun serta memeluknya, katanya halus: "Anak baik, me mang kau anak ibu yang baik."

Maka berama i2 orang banyak bergiliran menya mpaikan sela mat kepada Thi- hujin.

Tong Bun-khing, Un Hoan-kun, Cu Ya-khim, Bok-tan dan Giok-lan sudah terangkap jodohnya, semua orang sama r iang ge mbira, hanya Pui Ji-ping seorang yang piatu, hidup sebatangkara, tiada ayah, tinggal ibu beranak hidup merana Ke- luarga Pui bukan keluarga persilatan, ibunya tak pandai main silat, tidak seperti Thay siang dari Pek-hoa pang yang tenar dari berkuasa, sudah tentu orang banyak tidak hiraukan dirinya lagi. Pa mannya Cu Bun hoa sibuk mengurus i puteri sendiri, ibu angkatnya (Tong hujin) juga sibuk dengan urusan perjodohan puterinya, Mana peduli akan dirinya? Pikir punya pikir rasa sedih seketika merangsang sanubari Pui Ji ping, tapi sedapat mungkin dia tahan air mata yang hampir menetes, dengan lesu dia m2 dia ngeluyur keluar, seorang diri dia bersandar di pagar taman mela mun dan mengawasi ikan mas dalam kola m.

Sementara itu dua meja hidangan sudah disiapkan, meja pertama diperuntukan Yong King-tiong, Ling Kun-gi, Ban Jin cun, Kho Keh-hoa empat orang, meja kedua untuk Tong Bun-khing, Un Hoan-kun, Bok-tan, Giok- lan dan Pui Ji-ping.

Dia m2 Tong Bun khing menyusul keluar dan mende kati Pui Ji- ping yang sedang mela mun, katanya: "Sam- moay, hayo masuk, makanan sudah siap."

"Tidak, aku tidak lapar," sahut Pui Ji-ping ogah2an.

Tong Bun khing menarik tangannya, katanya lirih, "Adikku yang baik, jangan nanti kesehatan-mu terganggu karena kelaparan, aku tahu perasaanmu, masuklah, jangan sampai orang lain tahu akan is i hatimu." Merah muka Pui Ji ping, o melnya: "Aku punya isi hati apa?"

Tong Bun-khing tertawa, katanya: "Ya, tak perlu kukatakan." - Lengan Ji ping lantas ditariknya terus diseret masuk.

Sudah tentu makanan yang dihidangkan pantang ikan dan barang berjiwa, tapi semua orang sudah kelaparan sekian la ma, maka hidangan vegetarian juga dirasakan a mat lezat, hanya Pui Ji- ping saja yang tidak doyan makan.

Dalam pada itu Thi hujin, Tong Thian-jong, Un It-hong dan Cu Bun-hoa duduk mengelilingi meja bundar tengah berunding soal pernikahan putera-puteri mereka. Melihat orang banyak sudah selesai makan Cu Bun-hoa lantas berteriak dengan tertawa: "Yong- tayhiap, harap kemari."

Sambil me megang cangkir teh Yong King-t iong mengha mpiri ke sisi kiri, tanyanya: "Cu-heng ada petunjuk apa?"

"Kita sedang merundingkan pelaksanaan pernikahan rangkap ini, kau dan aku sa ma2 menjadi co mblang, adalah ja mak kalau kita urun2 pendapat."

"Baiklah, biar kududuk di kursi terakhir saja," ucap Yong King- tiong sa mbil menar ik kursi.

"Anak Gi," panggil Thi-hujin, "kaupun ke mar i."

Kun-gi datang ke sa mping ibunya, katanya: "Ibu ada pesan apa?",

"Menurut Tong- gakhumu, setelah perjodohan ini diresmikan, ada lebih baik kalian lekas me langsungkan pernikahan, ibu sudah tua, lebih baik juga bila kau lekas berkeluarga supaya ibu me nunaikan kewajiban sebagai orang tua terhadap ayahmu, maka ibu putuskan untuk merangkap pernikahan sekaligus pada bulan sepuluh yang akan datang "

Sebelum ibunya habis bicara, Kun-gi tiba2 menjatuhkan diri, teriaknya sambil berlinang air mata: "Bu, pernikahan anak lebih baik ditunda saja." "Kenapa?" tanya Thi-hujin.

"Walau kita sudah me mbunuh Han Jan to, tapi biang keladi yang merebut Hek-liong hwe kan bukan dia, maka anak pikir akan pergi ke Jiat-ho, dengan kedua tanganku sendiri akan kupenggal kepala Ki Seng-jiang dan bangsat Ci Kun jin, lalu pergi ke kotaraja pula mencari tulang jenazah ayah."

Tong Thian jong me lir ik ke arah Cu Bun-hoa dan Yong King- tiong. Cu Bun-hoa mengerti, sebelum Thi-hujin bicara dia sudah batuk2 ringan, lalu mendahului buka suara: "Ling- lote me mang anak berbakti, tekadnya patut dipuji,   tapi   ibumu   sudah   kepingin me mbopo ng cucu, apalagi tadi soal ini sudah dirundingkan dan disetujui pernikahan akan dilangsungkan bulan sepuluh, jadi masih ada waktu tiga bulan, maka menurut pendapat Lohu biarlah Ling- lote menikah dulu baru pergi ke Jiat-ho."

Yong King-tiong ikut mengusulkan: "Apa yang dikatakan Cu- cengcu me mang t idak salah, kalau Ki Seng-jiang dan C i Kun-jin berada di Jiat-ho, mereka toh tidak akan merat begitu saja, dengan bekal kepandaian Kongcu sekarang tidak sulit untuk me mbunuh mereka, soal tulang jenazah Hwecu, urusan sudah terjadi dua puluhan tahun, mungkin sukar untuk mene mukan, lebih baik Kongcu turuti keinginan ibumu, ke mbali dulu ke Kangla m, setelah me langsungkan pernikahan, tahun depan musim semi baru kau mulai bergerak ke utara."

"Bu," seru Kun-gi mendo ngak. "dendam ayah belum terbalas. tulang ayah belum juga ditemukan, sekali2 anak tidak akan menikah, dari sini ke Jiat-ho tidak jauh, buat apa harus pulang pergi menunda waktu. Menurut pendapat anak, mumpung berita Hek- liong-hwe hancur belum mereka dengar, akan lebih mudah aku bekerja di Jiat-ho, keparat Ki Seng jiang itu licik dan culas, pasti dia akan meningkatkan kewaspadaan dan penjagaan, bahwa Ci Kun-jin tidak menjabat pangkat lagi, pasti minta perlindungan pula kepada Ki Seng-jiang di J iat-ho, orang ini bernyali sekecil tikus, begitu me mpero leh kabar tentu menyembunyikan diri, hal ini akan me mpersulit usaha anak malah, maka anak pikir, lebih cepat kita bekerja akan lebih baik, biarlah sekarang juga anak berangkat supaya urusan tidak bocor."

Thi hujin berpikir sebentar, akhirnya mengangguk, katanya: "Begitupun baik, pernikahan dilangsungkan setelah kau beres menuntut balas sakit hati ayahmu, supaya arwah ayahmu di alam baka terhibur dan tenteram . . . . . " tak tertahan dia meneteskan air mata.

Sambil mengelus jenggot, Tong Thian-jong berkata kepada Un It- hong: "Un-heng, kalau de mikian keinginan Hiansay karena baktinya terhadap orang tua, biarlah kita racun dan bius para cakar alap2 yang bercokol di Jiat ho itu."

Cepat Kun-gi bicara: "Perjalanan ke Jiat-ho ini cukup kulakukan sendiri saja, kalau banyak orang mungkin menimbulkan perhatian musuh, untuk ini Siausay tak berani bikin capai para Gakhu."

"Seorang diri Hiansay tentu kekurangan tenaga, Jiat-ho jangan kau sa makan dengan Coat ceng-san-ceng."

"Siau-say akan bekerja me lihat gelagat," Kun-gi tetap kukuh pendapat. Lalu dia, berpaling kepada Yong King tiong, tanyanya: "Yong-lo pek, apa kau tahu keadaan Ki Seng jiang?"

Yong King-tiong tertawa, katanya: "Bangsat tua ini adalah biang keladi yang menimbulkan pemberontakan dalam Hek liong hwe sehingga Han Jan-to mengkhianat, Losiu me mbencinya sampa i ketulang sumsum, maka gerak-geriknya selalu kuselidiki dari berbagai pihak, me mang sedikit banyak aku tahu keadaannya, sayang selama dua puluh tahun ini hasil yang kuperoleh kurang me muas kan, dari sini dapatlah kita simpulkan betapa licin bangsat tua ini?"

"Dia adalah anak angkat almarhum kakek luar-ku, ke mungkinan ayahkupun mati oleh muslihatnya," demikian timbrung Ban Jin cun, "Ling-heng, bagaimana kalau Siaute ikut kau? Akan kutanya dia berhadapan." - Tangan kanannya tampak terkepal, jelas betapa benci dan denda mnya. "Kalau Ban -heng curiga Ki Seng-jiang yang me mbunuh ayahmu, tak enak aku mer intangimu, tapi kita harus bekerja secara diam2 . .

. . . . "

"Bukan hanya membunuh ayah saja," kata Ban Jin-cun sengit, "keluarga Ban ka mi tertumpas habis seluruhnya, kemungkinan pula dia yang menjadi biang keladinya."

"Ya, itu ke mungkinan," timbrung Yong King-tiong, "Ki Seng-jiang sekarang menjabat Congtay pasukan pengawal yang bertugas di istana peristirahatan kerajaan di Jiat-ho, boleh dikatakan dia yang paling berkuasa di sana, kalau dia bisa berkuasa pula di Coat-seng- san-ceng yang berada di Tay-piat-san, ini me mbukt ikan bahwa mungkin dia pula yang menjadi orang di belakang layar menguasai Hek-liong-hwe sela ma ini."

Sampa i di sini mendadak dia menepuk paha, serunya tertawa: "Ya, tidak salah, pernah Losin dengar dari Han Jan-to bahwa jago2 kosen yang sering diutus ke berbagai propinsi kebanyakan datang dari villa kerajaan dan dari anggota bayangkari yang bertugas di Jiat-ho itu, karena raja Boan setahun paling2 datang sekali ke sana, maka hari2 biasa boleh dikatakan a mat iseng, maka tugas untuk mengawasi para utusan rahasia dan menumpas para pemberontak seluruhnya dipikul oleh barisan bayangkari di villa kerajaan itu, Hek- liong hwe merupa kan salah satu ko mplotan mereka untuk menghadapi kaum persilatan, sudah tentu tugas ini di bawah kekuasaan Ki Seng jiang pula."

"Jadi Cui Kin in hanya utusan pula. Ai, sayang tempo hari kita tidak menahannya."

"Itu kan kehendak gurumu, pasti beliau punya alasan yang tepat," ujar Thi hujin.

Mendadak Thian-hi Siansu merangkap kedua tangan sambil bersabda, katanya: "Tay-thong Su-siok ke maren mala m juga bicara dengan Lolap, katanya Cui-sicu bukan saja adalah murid kesayangan Soat-san Sinni, malah dia punya asal-usul istimewa, terang bukan utusan dari Ki Seng jiang.". "Apa pula yang dikatakan guruku?" tanya Kun-gi, "bolehkan Losiansu menerangkan?"

"Tay thong Taysu hanya bilang demikian, soal lain Lolap tidak tahu, Oya, Cui-tongcu itu pernah kemari dua kali, kalau menurut pandangan Lolap dia tidak mirip manus ia yang kejam suka me mbunuh, bila Ling-sicu kelak berte mu dia, lebih baik tidak menyudutkan dia sehingga me mbikinnya serba susah, kalau dipaksa dia bisa mene mpuh jalan lain ini tentu tidak menguntungkan kedua pihak."

Kun-gi merasakan o mongan paderi tua ini masih terselip hal2 yang kurang dimengerti dikatakan bahwa Cui Kin-in me mpunyai asal-usul, tapi tidak mau menjelas kannya. Memangnya kenapa? Apakah karena gurunya, yaitu Soat-san Sinni, maka orang lain harus menga lah kepadanya? Dalam hati berpikir, segera ia bertanya kepada Yong King-tio ng: "Pa man Yong, setiap tempat me mpunyai adat dan kebiasaan sendiri, apakah pa man bisa mencer itakan keadaan di Jiat-ho pada umumnya?"

"Seng-tek-hu berada di sebelah, barat propinsi Jiat-ho, semula merupakan kota pegunungan, maka raja Boan mendir ikan Villa disana yang dinamakan Pi-s iok-ceng, Ki Seng jiang adalah penguasa Pi-siok- ceng itu, tapi kedudukannya lebih tinggi dari ko mandan bayangkari yang bertugas di istana raja, malah merangkap wakil gubernur yang berkuasa di seluruh propinsi Jiat-ho, pasukan bayangkari yang ada di villa itu terbagi dua barisan, setiap barisan terdiri sepuluh kelo mpo k, setiap kelo mpok sebelas orang, itu berarti Ki Seng-jiang me mpunyai dua ratusan anak buah yang seluruhnya me miliki kepandaian silat yang tinggi, mereka adalah sampah persilatan yang menjual diri dan rela dijadikan antek, tapi diantara mereka tak sedikit terdapat para cendekia, pendek kata mereka lebih unggul dari para jago pedang Hwi-liong-tong yang bertugas di Hek-liong-hwe," sebentar berhenti lalu ia menyambung: "O, ya, hampir Losiu lupa, Ki Seng-jiang adalah laki2 yang ke maruk paras cantik, dia punya gundik yang menetap di luar Pi-siok-ceng, konon dalam sebulan ada dua puluhan hari dia menetap di rumah gundiknya itu, kalau Kongcu dapat menyelidiki te mpat tinggal gundiknya itu,   kukira   lebih   leluasa   turun   tangan   daripada me mbunuhnya di Pi-s iok-ceng."

"Banyak terima kasih atas keterangan paman, Wanpwe pasti dapat menyelidikinya," kata Kun-gi. "Ada sebuah hal pula, kau harus hati2," pesan Yong King-t iong lebih lanjut, "di luar kota Sek-tek terdapat delapan kuil La ma, semuanya dikepalai paderi Tibet, mereka adalah murid2 dari aliran Ih- ka-bun, ilmu silat mereka menyendir i, konon waktu Ki Seng-jiang me mimpin barisan bayangkari di istana raja pernah mengangkat seorang Lama sebagai guru, ma ka kuil2 La ma itu ke mungkinan bersekongkolan dengan Ki Seng-jiang, hal inipun harus diperhatikan."

Mendengar Ban Jin-cun mau pergi, ma ka Kho Keh-hoa tidak mau ketinggalan, sekarang dia baru dapat kesempatan bicara: "Ling- heng sudah berjanji hendak mengaja k Ban-heng, me mangnya aku disisihkan dalam tugas mulia ini?"

"Betul," timbrung Tong Siau-khing. "Ling-heng, kalau ayah, Un- lopek dan Cu-lopek tidak jadi pergi, maka aku harus ikut pergi."

Baru saja Kun-gi mau buka suara, tahu2 Bok-tan, Giok-lan, Tong Bun-khing, Un Hoan-kun dam Cu Ya-khim dan la in2 sere mpak juga menyatakan mau ikut. Hanya Pui Ji ping seorang yang tunduk kepala tanpa me mber i ko mentar, sudah tentu hadirin tiada yang me mperhatikan dia.

Thi-hujin tersenyum pada hadirin,   katanya:   "Kaum   muda me mang suka bergerombol, tujuan kita bukan untuk ta masya, kalau banyak orang malah me narik perhatian musuh, begini saja, anak Gi boleh seperjalanan dengan Ban-siauhiap, tapi di tengah jalan harus berpencar, pura2 tidak saling kenal, Bok-tan boleh ikut bersamaku untuk me mberi bantuan bila mana perlu kepada anak Gi, sementara Giok- lan selekasnya ke mbali ke Pek-hoa ciu (se menanjung seratus bunga), me mbubarkan Pek-hoa-pang, sementara para Cengcu diharap pulang me mbawa puteri masing2 ke Kangla m, kali ini betapapun dilarang me nyusul ke Jiat-ho supaya tidak terjadi sesuatu di luar perhitungan." Rencana yang diatur Thi-hujin sudah tentu tidak sempurna, tapi juga merupakan cara pemecahan untuk sementara, secara tidak langsung dia me mper ingatkan kepada Thong Thian jong. Un It-hong dan Cu Bun-hoa supaya lebih me mperhatikan dam mengenda likan puteri2nya, betapapun Jiat ho adalah daerah kekuasaan kerajaan yang diperkuat dengan barisan bayangkari, jadi jangan disa ma kan seperti tempat ta masya.

"Jadi ibu juga mau pergi?" tanya Kun-gi keheranan.

Thi-hujin tertawa, katanya: "Kalau ibu juga pergi kan dapat me mber i bantuan padamu", jangan kuatir pasti tidak akan mena mbah beban bagimu."

"Ibu besan tidak usah kuatir," timbrung Tong Thian jong, "biarlah kita tinggal di sini beberapa hari sa mbil menunggu ibu besan dam bakal menantu kita ke mba li lagi ke sini baru sa ma2 pulang mengurus pernikahan."

"Nah, semua sudah dengar," sela Un It-hiong, yang tidak punya tugas siapapun dilarang ikut pergi,"

Yong King-tiong mena mbahkan: "Baiklah kita atur begini saja, kita menunggu kabar baik di sini sambil me mpers iapkan pesta pernikahan, dari-pada berpencar tak keruan paran."

Keputusan sudah ditetapkan, walau Kho Keh-hoa, Tong Siau khing dan nona2 yang lain a mat getol ingin pergi, tapi tiada seorangpun yang berani buka mulut.

"Kalau ibu tiada pesan lagi, anak ingin berangkat sekarang juga," demikian Kun gi minta diri.

Thi-hujin mengangguk, katanya: "Begitupun baik, berangkat lebih dini lebih cepat sa mpai ke tepat tujuan, besok pagi2 ibu segera menyusulmu."

Lalu mereka menentukan cara dan tanda2 rahasia untuk mengadakan kontak. Kun-gi dan Ban Jin cun diharuskan ingat semua tanda2 rahasia itu, ke mudian satu persatu diizinkan berangkat. Setelah Kun-gi berangkat lebih dulu, dia m2 Thi-hujin panggil Ban jin-cun, dengan suara lirih dia me mber i pesan entah apa kepada Ban Jin-cun, ta mpak anak muda, itu mengiakan lalu berangkat.

Giok- lan mengajak Ci-hwi dan Hu-yong pamit pada Thi hujin dan lain, merekapun segera berangkat ke mbali ke Pek-hoa-ciu. Sisa yang lain menetap di Gak koh-bio, setelah makan mala m, Pa Thian- gi dan Ting Kiau juga pergi secara diam2, mereka me mpero leh tugas untuk menyiapkan kereta dan kuda.

Malam itu tiada kejadian apa2, hari kedua pagi2 benar Pa Thian- gi sudah ke mbali, langsung me mberi laporan kepada Thi hujin. Ting Kiau sudah menyaru kusir dan menunggu di luar.

Sementara Thi-hujin dan Bok-tan menyamar sebagai ibu beranak, setelah berpamitan merekapun meninggalkan Gak-koh-bio secara dia m2.

Kira2 menje lang tengah hari, Cu Ya-khim ta mpak berlari2 me masuki pendopo dan berteriak gugup: "Yah, celaka, Piaumoay minggat secara dia m2."

Cu Bun hoa kaget sekali, tanyanya: "Anak Khim, apa katamu? Ji ping ke mana?"

"Waktu bangun tidur tadi pagi Piau-moay sudah mengeluh katanya badannya kurang sehat, barusan akan kutengok dia dika marnya, tapi tidak kute mukan bayangannya, kemungkinan dia menyusul ke J iat ho."

Cu Bun-hoa berkerut kening, katanya sambil me mbant ing kaki: "Anak ini, ai, kalau betul2 dia menyusul ke Jiat-ho, ini bukan main2. Ling- lote dan Ling- hujin tidak tahu akan hal ini, pasti bisa celaka dia."

"Ke marin sudah kurasakan se-olah2 nona Pui dirundung persoalan rumit apa, mungkin karena Thi-hujin ke marin me larang orang banyak ikut, ma ka dan menjadi nekat." "Bukan begitu persoalannya," ucap Cu Ya-khim sa mbil cekikikan. "Sela ma ini Piaumoay dia m2 kas maran kepada Piaukonya, jadi dia minggat dengan uring2an."

"Anak perempuan, sembarang o mong," Cu Bun-hoa segera menegur puterinya.

Tong Bun-khing segera mendekati ayahnya serta berbisik sekian la manya. Tampak Tong Thian-jong me ngerut kening, katanya: "Kukira nona Pui belum pergi jauh, mar ilah kita me mbagi jurusan untuk menyusulnya kembali, umpa ma tidak ketemu juga harus selekasnya me mber i kabar kepada ibu besan."

"Usul Tong-lo ko me mang benar," sela Yong King-tiong: "Urusan jangan ditunda, marilah kita kerjakan dengan berpencar."

"Kalau ketemu lalu bagaimana?" tanya Un It-hong.

"Kukira ibu besan pergi hanya me mbawa Bok-tan dan Ting Kiau, kalau terjadi sesuatu pasti kekurangan tenaga, apakah perlu kita menyusul lagi satu rombongan, dan secara diam2 me mberi bantuan kepada mereka?"

"Aku jarang berkecimpung dalam Bu lim di daerah Kangla m, biarlah aku saja yang berangkat," Un It-hong mena mpilkan diri.

"Te man2 Kangouw yang kenal padaku juga jarang2," Cu Bun-hoa ikut bicara.

"Baiklah kita bagi begini saja, Tong-lo ko tetap di sini, Un-lo ko dan Cu-loko berpencar dalam dua ro mbongan, secara diam2 satu dengan lain harus selalu mengadakan kontak untuk me ncari jejak nona Pui, kete mu atau tidak harus langsung maju ke Jiat-ho dan secara diam2 me mberi bantuan dima na perlu kepada Ling-hujin, jalanan daerah ini aku cukup apal, cuma aku sendiri kurang leluasa ke Jiat ho. biarlah kubantu mencari jejak nona Pui di daerah yang berdekatan sini saja, bagaimana pen-dapat hadirin"

Tong Thian-jo ng tertawa sambil mengelus jenggot, katanya: "Untuk menjaga kedudukan di sini, me mang tepat pilihan jatuh pada diriku." Dia ma klum bahwa Yong King tiong me milih dirinya me mang tepat dan mengandang arti yang menda la m, karena sebagai Ciangbunjin keluarga Tong, tidak sedikit kaum persilatan dari aliran putih dan golongan hitam yang mengenalnya, bahwa dirinya mendadak muncul di Jiat-ho pasti menarik perhatian banyak orang, maka lebih baik dia berjaga di sini saja.

Un It-hong segera berkata: "Baiklah kita atur de mikian, aku dengan jite (Un It kiau) dan anak Hoan satu rombongan, sementara Cu-heng dan puterinya satu ro mbongan."

Kho Keh-hoa cepat menimbrung: "Wanpwe ingin pergi bersa ma Cu-cencu."

Dia m2 Tong Bun-Khing menjawil engkohnya Tong Siau-khing segera menoleh ke arah ayahnya, katanya: "Yah, anak dan Ji-moay juga ikut pergi, dengan Cu- losiok."

Tong Thian-jong mendengus sa mbil menarik muka: "Lagi2 adikmu yang me mbikin gara2."

Terpaksa Tong Bun khing berteriak: "Yah, izinkanlah kami ikut berangkat?"

Tong Thian-jong mengangguk, katanya: "Ya nona Un dan nona Bok-tan juga pergi, kalau puteriku tidak ikut pergi, bukankah orang lain akan merebut pahalanya? Sudah tentu ayah terpaksa menyetujui."

"Yah!" seru Tong Bun- khing dengan jengah karena di olok2.

Tong Thian-jong tergelak2, katanya: "Anak perempuan selalu berkiblat keluar, me mangnya ayah salah o mong?"

"Baiklah, tak perlu banyak bicara," ajar Cu Bun hoa, "kita harus lekas berangkat.

Maka Un It hong dan Cu Bun hoa masing2 me mimpin rombongannya terus berangkat, Yong King-tiong juga bawa kelima jago pedangnya menyusul belakangan.

>O< >O< >O< Hou-pak-gau merupakan jalan penting keluar masuk te mbok besar di sebelah barat laut, di kanan kirinya gunung gunung sambung me nyambung tak berujung pangkal, tembo k besar bagai ular raksasa menjalar di pegunungan yang turun naik itu, pintu2 gerbang sudah tentu didirikan di pegunungan itu pula, lebarnya cukup untuk lewat satu kereta, keadaan di sini cukup berbahaya.

Untuk wilayah Jiat-ho, Hou-pak-gau merupakan pintu gerbang utama hubungan langsung antara Jiat-ho dengan kotaraja, maka setiap hari orang dan kendaraan yang lalu lalang di sini cukup ramai.

Tatkala itu menjelang magrib, sang surya sudah ha mpir terbenam, burung sama terbang kembali ke sarang, barisan keretapun beriring sedang ke mbali me masuki kota supaya tidak ke mala man di ja lan.

Pada saat begitulah tiba2 terdangar suara kelintingan berpadu dengan derap tapal kuda tengah berpacu kencang keluar dari Hoa pak-gau ke arah utara, agaknya penumpang kuda itu ada urusan penting, pecutnya diayun berulang kali me mbeda l kudanya se makin kencang, jalan pegunungan yang berdebu itu seketika menjadi berhamburan sehingga orang2 yang beramai mengayun langkah mau masuk kota sa ma mencaci kalang kabut.

Penunggang kuda itu tak peduli dengan caci ma ki orang, kudanya tetap dibedal kencang dan sekaligus dilarikan puluhan li. Setelah melewati suatu tempat yang bernama La hay-kou penunggang kuda itu merogoh saku menge luarkan sebuah panji kecil segi tiga terus diayun kian-ke mari ke arah hutan di lereng gunung sana, mulutpun berteriak: "Perhatian, sudah datang." - Belum habis bicara, kedua kakinya menge mpit perut kuda terus dibedal pula ke depan.

Kira2 se masakan air ke mudian, dari kejauhan terdangar pula derap tapal kuda yang berlari pelan2 mendatangi, kiranya ada dua ekor kuda yang jalan beriring. Yang di depan adalah kuda warna coklat mulus. di belakangnya adalah kuda warna ceplok putih hitam, kudanya kuda pilihan yang kekar, cuma dilarikan pelan2, jelas kedua penunggangnya me mang tidak begitu pandai naik kuda. Meski la mbat lari kuda toh lebih cepat daripada orang berjalan, kejap lain kedua kuda itupun sudah tiba didepan hutan.

Jarak semakin dekat dan kelihatan penunggang kuda coklat itu adalah pemuda berbaju sutera, usia-nya belum ada dua puluh, alisnya tebal, matanya besar bercahaya, bibirnya merah, kuncir hitam yang cukup besar menjuntai di belakang punggungnya, sungguh gagah dan menarik sekali.

Yang berkuda ceplok hitam- putih adalah kacung berusia enam belasan, wajahnya bersih dan cukup cakap juga, gerak geriknya tampak cerdik. Majikan dan pelayan dua orang ini jelas adalah anak bangsawan entah keluarga mana di kotaraja yang hendak buru2 masuk ke kota.

Tatkala kedua kuda tunggangan mereka ha mpir mendekati hutan, tiba2 dari dalam rimba berkumandang   suitan   nyaring me lengking. Segera muncul bayangan tujuh delapan orang laki2 berkedok seperti burung terbang melayang hinggap di tengah jalan, golok di tangan mereka tampak mengkilap, cepat mereka berpencar mengurung kedua orang penunggang kuda.

Sudah tentu pemuda baju sutera itu menjadi ketakutan, hampir saja dia terjungkal jatuh dari punggung kudanya, giginya berkrutuk saling beradu, katanya gemetar: "Ka . . . . .ka. . . . .kalian. . . .

.mau mau apa?"

Pemimpin ro mbongan laki2 berkedok me mbentak: "Jangan cerewet, lekas turun, tuan besar hanya ingin harta tak mau nyawa. kalau kau masih ingin hidup tinggalkan harta bendamu, tuan akan menga mpuni jiwa kalian dan boleh lekas masuk kota." Pemuda baju sutera mengiakan berulang sa mbil melorot turun, tapi segera terjungkal bergulingan saking le mas kakinya.

Kacung yang berada di belakangnya juga me lo mpat turun dengan ketakutan, lekas dia me mburu maju me mapah majikannya, serunya gemetar: "Kongcuya, bagaimana baiknya?" - saking takut kedua lututnya juga lemas tak bertenaga, ada keinginan me mapah majikannya tahu2 dia ikut terjungkal roboh sekalian saling t indih.

Seorang lelaki berkedok mengha mpiri dengan me lotot, sementara pemimpin orang2 berkedok itu menga mbil buntalan di punggung kuda terus dibuka, lainya kecuali berapa perangkat pakaian masih ada sebuntal uang emas lima puluh tahil. Sorot mata laki2 ini ta mpak mengunjuk rasa girang, tapi dia lantas mendengus hardiknya: "Anak bangsawan yang keluyuran dari kotaraja masa hanya membawa sangu sedikit ini? Bagaimana kita harus me mbagi hasil?"

Laki2 bergolok yang menatap kedua majikan dan pelayan itu mende kat serta menodongkan golok-nya, bentaknya: "Lekas katakan, masih ada barang lain di badanmu?"

Melihat keadaan gawat, pemuda baju sutera lekas berteriak: "Ceng-ji, lekas . . . . . . uang perak perak dikantongmu keluarkan semua."

Dengan tangan gemetar kacung itu merogoh kantong dan menge luarkan uang e mas dan beberapa keping uang perak dan diletakan di tanah, katanya: "Semua . . . . . . semua ada . . . . . .

ada di sini."

"Hanya ini saja?" laki2 bergolok itu me nyeringai.

Kacung itu ketakutan, mukanya pucat kuning, sahutnya: "Betul .

. . . . . tiada lagi."

Laki2 bertopeng itu menjadi berang, golok dia te mpe lkan ke leher pemuda baju sutera, ancamnya: "Kalau mau hidup lekas katakan, di mana kau simpan uangmu?"

Pemuda baju sutera sema kin lunglai ketakutan, mukanya seperti mayat, mulut megap2 dan bersuara lemah: "Toaya, am . . . . . . .

ampun!"

Kacungnya merangka k dan menyembah, serunya: "Tuan2 besar harap maklum . . . . . . Kongcu mau pulang uang sangunya sudah habis di tengah jalan, sungguh . . . . . . . hanya itu saja yang masih ada."

Menyeringai pe mimpin rombongan itu, katanya: "Agaknya sebelum melihat peti mati kalian tidak akan menangis, tuan besarmu. ."

Takut luar biasa pemuda baju sutera itu, ia berteriak: "A mpun, am . . . a mpun?"

Pada saat gawat itulah "tring", tiba2 golok yang mengancam leher pemuda baju sutera itu mencelat, belum lagi pe megang golok itu se mpat berteriak kaget, tahu2 goloknya sudah terbang jauh.

Terdengar seorang mendengus: "Begal bernyali besar, berani beroperasi di ja lan raya dekat kota raja?"

Sekilas ta mpak mencorong sorot mata pe muda baju sutera yang masih lunglai di tanah.

Kala itu hari sudah mendekati petang, kejadian teramat mendadak, serempak kawanan begal berkedok itu melengak, mereka meno leh kesana. Tampak dari arah Ko- pak-gau entah sejak kapan berdiri seorang laki2 muka merah, jubah panjang warna biru yang dipakainya sudah luntur, terbuat dari kain kasar pula, jelas dia orang dari kalangan kurang ma mpu.

"Saudara dari golongan mana?" hardik pe mimpin begal.

Laki2 jubah biru luntur itu menyahut angkuh: "Aku bukan orang dari golongan manapun."

Sekilas mengerling ke arah laki2 jubah biru, pe mimpin begal menjenge k: "Saudara agaknya bukan penduduk setempat, kuharap kau tidak menca mpur i urusan orang lain, menyingkir lah!

Laki2 jubah biru bergelak tawa, katanya: "Setiap orang di kolong langit ini boleh mengurus apapun yang terjadi di kolong langit ini, aku tidak senang me lihat cara me mbega l dengan kekerasan begini."

Pemimpin begal terbahak2, katanya: "Anak muda, kenapa tidak kau pentang matamu, me mangnya kau belum pernah dengar na ma besar Jit hiong (tujuh jagoan) dari Ko-pak-gau?" - Waktu dia mengulap sebelah tangan, dua laki2 berkedok segera mengayun golok me nubruk ke arah laki2 jubah biru itu.

Keruan pemuda baju sutera kaget. teriaknya kuatir: "Kalian tak boleh me mbunuh orang"

"Hanya dua saja yang maju masih belum tandinganku," ejek laki2 jubah biru. Waktu bicara ke-dua orang berkedok itupun sudah menubruk tiba, tanpa bicara mereka ayun golok terus membaco k dan menabas.

Jangankan mengawasi, melir ikpun tidak laki2 jubah biru atas serangan kedua golok ini, ia tidak berkelit juga tidak mengegos, waktu mata golok hampir mengenai badannya, tiba2 tangan kanan meraih, sebat sekali pergelangan tangan laki2 sebelah kanan yang pegang golok dia betot terus didorong ke kiri.

Hakikatnya tidak terlihat jelas, tahu2 golok dari orang itu sudah didorong menubruk ke sebelah kiri, goloknya terayun kencang me lintang, "trang", dengan tepat dia tangkis bacokan golok temannya yang menyerang dari sebelah kiri. Keduanya sama tergetar sakit tangannya oleh benturan keras ini, ha mpir saja golok tak kuasa dipegang lagi, serempak mereka tertolak mundur dua langkah. Hanya segebrak saja keduanya sudah kecundang, sudah tentu mereka tidak terima, sembari menghardik ke mbali mereka putar golok menyerbu pula.

"Manusia yang tidak tahu diri," jengek laki2 jubah biru. Tiba2 badannya berputar, kaki kanan terayun menyapu kencang. Gerak sapuan kaki secepat kilat, belum lagi kedua laki2 berkedok itu menubruk tiba, dua2nya sudah tersapu jungkir-balik dan mencelat dua tomba k jauhnya.

Celakalah mereka mengge linding ke lereng gunung, meski tidak sampai terluka parah, tapi tulang seluruh tubuh serasa retak, setengah harian mereka menjerit kesakitan tak ma mpu bergerak.

Kaget dan gusar pemimpin begal, sa mbil ang-kat tinggi golok bajanya dia membentak: "Semua maju, cacah hancur tubuh keparat ini!" - Lima orang berkedok serentak merubung maju, sinar golok ke milau segera menyambar.

Pemuda baju sutera dan kacungnya kini sudah berdiri, malah mereka tidak mena mpilkan rasa takut lagi. Kini kedua orang ini dapat menonton, kelima orang berkedok bagai lima ekor harima u kelaparan ingin mener kam mangsanya, mereka menubruk sa mbil ayun golok me mbacok dan me mbabat serabutan dari segala arah.

Tapi laki2 jubah biru itu tetap tenang2, di antara gerakan kedua tangannya, dengan telak tangan kanannya dapat menepuk pundak kiri laki2 berkedok pemimpin begal itu, orang itu mengerang tertahan dan terpental, "bruk", dengan keras terbanting dua tombak jauhnya. Sekali tangan kiri meraih pula laki2 jubah biru tangkap pergelangan tangan seorang lagi, golok yang masih terpegang di tangan orang itu dia angkat untuk mengetuk golok orang ketiga yang menyerang tiba. "Trang", golok orang ketiga kontan mence lat, berbareng dia lepaskan pegangannya sehingga laki2 yang dia pegang itu roboh tersungkur me ncium tanah.

Sekaligus t iga musuh telah dia bereskan, begitu sikut kanan bekerja, dia sodok pula orang ke empat tepat di bawah ketiaknya. Orang inipun mengerang kesakitan, dengan mundur se mpoyongan dia mendekap perutnya sambil menungging. Ke mba li lengan baju si jubah biru me ngebut, dengan telak ujung lengan bajunya menggubat golok orang kelima. Kali ini kepandaian yang dia unjukkan lebih mena kjubkan lagi, betapa keras dan tajam golok baja itu, tapi entah mengapa, hanya sekali kebas golok lawan sudah tergulung. " Bruk", tahu2 golok besar itu berubah selarik sinar ke milau terbang tinggi me luncur ke dalam hutan dan lenyap tak keruan paran, pemilik golok sendiri sampa i berdarah tangannya, cepat dia melo mpat mundur sa mbil mendekap tangan sendiri.

Kejadian ini terlalu panjang diceritakan, padahal hanya berlangsung dalam sekejap saja. Bagi pandangan si pe muda baju sutera dan kacungnya, begal2 yang garang itu tahu2 lantas kalang- kabut dihajar oleh penolongnya. Laki2 jubah biru tidak bertindak lebih jauh, dengan berdiri menggendong tangan dia tertawa lantang: "Jago Kok-pak-gau apa segala, kiranya hanya begini saja, mala m ini hanya sedikit kuberi peringatan, kalau berani melakukan pe mbegalan dan mencabut jiwa orang, awas bila kebentur di tangan-ku lagi pasti tidak kuberi ampun."

Lekas pe mimpin begal merangkak bangun, setelah menje mput goloknya, tanpa bicara dia memberi tanda kepada keenam saudaranya terus ngacir.

Melihat   kawanan begal sudah pergi,   bergegas kacung itu me mbenahi barang mereka yang tercecer di ja lan. Pemuda baju suterapun menghe la napas lega, dia mengha mpir i serta menjura kepada laki2 jubah biru, katanya: "Syukur tuan telah menolong kami berdua, budi pertolongan jiwa ini takkan kulupakan sela manya, harap terima lah puji hor matku."

Lekas laki2 jubah biru balas menjura, katanya: "Berat kata2 Kongcu, kawanan begal ini berani beroperasi di daerah dekat kotaraja, mereka patut dihajar adat, apalagi kebentur di tanganku, sebagai kaum persilatan wajib kubantu yang le mah dan menindas yang lalim. Selanjutnya kuyakin mereka pasti takkan berani bertingkah pula dite mpat ini, silakan Kongcu melanjut kan perjalanan, Cayhe juga ingin lekas sampai ke te mpat tujuan, mohon pamit,"

Habis berkata dia menjura terus putar badan dan me langkah pergi.

"Tunggu sebentar saudara," seru pemuda baju sutera.

Laki2 jubah biru berhenti, tanyanya menoleh: "Kongcu masih ada urusan apa?"

"Saudara seorang pendekar yang me mbantu kaum le mah dan me mbe la kebenaran. Pernah kubaca dalam hikayat para pendekar di jaman dahulu, kukira ja man sekarang sudah tiada kaum pendekar segala, baru hari ini bertemu dengan saudara sehingga mataku benar2 terbuka, sungguh beruntung sekali aku ini. Kini cuaca sudah hampir gelap, saudara jelas sudah tak keburu masuk kota, tak jauh di depan adalah An kiang tun, umpa ma saudara buru2 melanjut kan perjalanan juga harus cari penginapan, maka menur ut hemat Siaute, bagaimana kalau saudara kuundang ke sana untuk ma kan minum bersama sa mbil mengobro l, sudikah kau me mber i muka?"

Melihat orang me mohon dengan tulus dan jujur, tanpa terasa dia tertawa, katanya: "Kongcu sudah bilang de mikian, bagaimana pula aku berani menola knya? Me mang Cayhe akan menginap di An- kiang-tun, kalau undangan Kongcu kutolak, rasanya kurang hormat."

Pemuda baju sutera kegirangan, serunya: "Saudara sudi me mberi muka, sungguh me nyenangkan,"

ia mengawasi laki2 jubah biru, lalu berkata pula: "Kita bertemu di tengah perjalanan bukan lantaran pertolongan saudara tadi, yang terang kita agaknya me mang ada jodoh, panggilan "Kongcu" padaku sungguh tak berani kuterima, kalau   sudi biarlah   kita   saling me mbahasakan saudara saja, entah bagaimana pendapat mu?"

"Cayhe orang persilatan yang kasar, bagaimana        "

"Aku yang muda Pho Kek-pui, kalau saudara sudi boleh panggil aku Kek pui saja, entah siapa na ma dari she saudara yang mulia?".

"Cayhe Lim Cu jing."

"Kiranya Lim heng, ma lam sudah tiba, marilah kita berangkat saja. Lim-heng."

"Boleh Pho-heng naik kuda saja," ucap Lim Cu jing.

Sudah tentu Pho Kek pui tidak mau naik kuda, katanya: "Dari sini tak jauh ke An-kiang tun, kebetulan mendapat te man Lim-heng, biarlah kita jalan kaki saja sa mbil ngobrol " - Lalu dia berpaling me mber i pesan kepada kacungnya: "Ceng-ji, bawalah kuda berangkatlah lebih dulu ke An-kiang-tun, mintalah Ban-an-can me luangkan dua ka mar bersih untuk ka mi, suruh pula siapkan beberapa macam hidangan kege maranku, ma lam ini aku akan ngobrol se mala m suntuk dengan Lim- heng." Sambil mengiakan kacung itu cemplak kuda terus dibedal ke depan, Pho Kek-pui mengir ingi Lim Cu-jing berjalan kaki sambil ngobrol panjang lebar, Terasa oleh Lim Cu jing bahwa pemuda belia ini bukan saja sikapnya ramah, tutur katanya juga lembut, terpelajar, pengetahuannya cukup luas, sehingga percakapan mereka se ma kin cocok dan intim.

Tiba di An- kiang-tun, la mpupun telah menyala di mana2, toko2 kecil di pinggir jalan sudah tutup pintu semuanya, hanya kelihatan beberapa sinar pelita mas ih menyorot keluar dari sela2 pintu jendela, tak jauh di muka tampak sebuah la mpion warna kuning dengan sinar guram bergoyang tertiup angin mala m, di sanalah letak Ban-an-can, sebuah hotel merangkap rumah makan.

An-kiang-tun hanya sebuah tempat persinggahan kaum musafir yang kemala man di tengah perjalanan, tapi karena letaknya tepat di tengah antara Ko-pak-gau dan Lian-ping, banyak kaum pedagang yang terpaksa nginap di sini, maka jalan raya yang ramai ini menjadi pusat perbelanjaan penduduk setempat. Setelah tutup toko, penduduk suka keluyuran di luar mencari angin dan jajan di warung2, sudah tentu di sini ada pula sarang judi dan perempuan yang siap menghibur laki2 yang kesepian.

Ban-an-can me miliki dua maca m ka mar, ka mar biasa dan ka mar istimewa, ka mar ist imewa ini biasa dikhususkan untuk kaum perempuan bangsawan atau isteri pejabat yang kebetulan nginap di hotel kecil ini, di seberang jalan ada pula sebuah rumah makan, meski t idak besar, tapi menyediakan delapan meja juga.

Kamar istimewa Ban-an-can mala m ini seluruhnya diborong Pho- kongcu. Kacung cakap itu bersama seorang pelayan hotel telah menunggu di muka pintu, melihat Pho-kongcu datang bersama, Lim Cu-jing, lekas dia me mburu maju serta menjura, katanya: "Lapor Kongcu, ha mba sudah pesan ka mar dan hidanganpun sudah siap, silakan Kongcu masuk kedala m."

Pelayan juga maju menya mbut serta membungkuk: "Silakan para Kongcu!" Pho Kek-pui berpaling, katanya: "Silakan Lim-heng."

Lim Cu-jing balas menyila kan orang, akhirnya mereka masuk bersama keruang depan, tertampak ada beberapa meja, keadaan rada sepi, banyak meja yang kosong, meja yang terbesar dan terletak di tengah tampak sudah siap menghidangkan beberapa maca m masakan.

Ceng-ji dan pelayan sa ma2 me layani mereka ma kan minum.

Pho Kek-pui silakan Lim Cu-jing minum dan makan sa mbil ajak bicara: "Lim-heng, ke manakah tujuanmu?"

Lim Cu-jing hirup secangkir arak lalu menyahut: "Ke Jiat-ho." "Untuk apa Lim-heng ke Jiat-ho?"

"Ada seorang paman Cayhe me mbuka Piau- kiok disana, khusus mengantar barang keluar perbatasan, Cayhe sudah lama berkelana di Kangouw, selama ini tidak me mbawa hasil apa2, maka ingin kesana mencari pekerjaan tetap saja."

Pho Kek-pui mengerling, sorot matanya mena mpilkan rasa gegetun, mulutnya sudah terbuka tapi urung bicara, tapi akhirnya toh dia berkata juga: "Dengan bekal kepandaian Lim heng yang tinggi ini hanya mau bekerja dalam sebuah Piau- kiok, apakah tidak me mbena mkan masa depanmu sendiri?"

Lim Cu-jing tertawa, katanya: "Cayhe seorang Kangouw, terpaksa harus mencari hidup dalam percaturan dunia persilatan, bekerja di Piaukiok hanyalah jalan satu2nya yang dapat kutempuh?"

"Walau Siaute baru pertama kali ini bertemu dengan Lim-heng, tapi rasanya kita seperti sahabat lama saja, kita sudah saling me mbahasakan saudara lagi, bila Lim-heng sudi pergi ke kotaraja, Siaute akan bantu mencarikan pekerjaan di sana."

Lim Cu-jing menggeleng, katanya tertawa: "Banyak terima kasih atas kebaikan Pho-heng, kota-raja adalah kota mewah, orang Kangouw seperti diriku ini belum tentu cocok hidup dikota rama i itu.

Ceng-ji angkat poci, dia isi penuh pula cangkir kedua orang. Pho Kek-pui angkat cangkir dan berkata: "Budi pertolongan Lim- heng yang besar tak berani Siaute bilang akan me mbalasnya, biarlah kuaturkan secangkir arak ini sekaligus untuk merayakan persahabatan baru kita." - Lalu dia tenggak habis lebih dulu araknya. 

Lim Cu-jing mengir ingi minum, katanya: "Kita kan sudah bersahabat, kalau Pho-heng selalu bicara soal meno long jiwa segala, apa tidak mer ikuhkan kiranya?"

Pho Kek-pui tertawa, katanya: "Lim-heng benar, Siaute me mang pantas dihukum "

Setelah Ceng-ji mengisi penuh cangkir mereka, ke mbali dia tenggak habis secangkir, tanyanya: "Di rumah Lim-heng masih punya famili siapa?"

"Di rumah masih ada ibunda seorang saja."

Berputar bola mata Pho Kek-pui, katanya: "Berapa usia Lim- heng, belum berkeluarga bukan?" Setelah dua cangkir masuk perut, mukanya tampak mulai merah.

"Cayhe berusia dua puluh empat, kaum kelana Kangouw, mana berani berumah tangga?"

Tiba2 Pho Kek-pui tertawa pula, katanya: "Lim-heng lebih tua empat tahun dari aku, pantasnya aku panggil Toako pada mu." - Sebelum Lim Cu jing bicara dia menya mbung lagi: "Lim-heng begini gagah dan serba pintar, ada sepatah kata ingin kuutarakan, entah boleh tidak?"

"Pho-heng boleh bicara saja."

"Siaute punya seorang adik pere mpuan, tahun ini berusia sembilan belas, Siaute tidak berani mengagulkan dia, tapi dapat dikatakan serba pandai dan cukup se mpurna, kalau Lim-heng sudi Siaute suka me mbantumu " Lekas Lim Cu-jing menggoyang tangan, katanya: "Pho heng suka berkelakar, Cayhe seorang gelandangan Kangouw., sekali2 tak berani pikirkan soal nikah segala."

"Kenapa Lim-heng merendahkan derajat sendiri, seorang pahlawan tidak dinilai keturunannya, Siaute sudah bilang Lim-heng pasti bukan orang sembarangan, kalau adikku bisa me mpero leh suami segagah kau justeru dia yang untung."

"Pho-heng terlalu me muji, soal ini jangan dibicarakan lagi, Cayhe

. . . . "

Kebetulan pelayan mengantarkan hidangan pula, Pho Kek-pui mengawasinya dengan tertawa, tapi dia tidak berbicara lebih lanjut. Lekas sekali hidangan susul menyusul disuguhkan pula sampa i me menuhi meja. Meski bukan masakan pilihan, tapi di tempat sekecil ini dapat menghidangkan masakan ini, boleh dikatakan lumayanlah.

Menghadani hidangan yang me menuhi meja di depannya, Lim Cu jing menjadi rikuh, katanya: "Buat apa Pho-heng memesan masakan sebanyak ini?"

"Siaute dapat berkenalan dengan Lim-heng, sungguh beruntung sekali, ma ka Siaute perlu merayakannya, malah Siaute kuatir hidangan ini tidak me menuhi selera Lim heng."

Haru Lim Cu jing dibuatnya, katanya: "Pho-heng terlalu baik padaku."

Pho Kek- pui sudah mulai terpengaruh oleh arak yang ditenggaknya, mukanya tampak merah, matanya mengerling, tanyanya: "Orang jaman dulu sering menggunakan arak untuk mengikat persaudaraan, sejak kini Siaute pandang Lim-heng sebagai saha-bat karibku, apakah Lim-heng sudi pandang Siaute sebagai teman sehaluan pula?"

"Pho-heng sudi pandang Cayhe sebagai orang sendiri, sudah tentu kuterima maksud baikmu ini."

Pho Kek-pui berseru girang: "Apakah kau bicara setulus hati?" "Persahabatan yang sejati harus terukir di dalam hati, sudah tentu Cayhe bicara sejujurnya."

"Bagus, Lim- heng, hayo habiskan secangkir lagi, mala m ini Siaute benar2 sangat ge mbira."

Begitulah mere ka makan minum sa mpai Pho Kek-pui ha mpir mabuk, menyadari keadaannya yang sudah tak tahan lagi, Pho Kek- pui berkata: "Lim-heng masih kuat minum, tapi Siaute tak tahan lagi, sungguh sayang. Mohon maaf, biarlah Siaute masuk ka mar istirahat saja."

"Betul, silakan Pho-heng istirahat saja," ucap Lim Cu jing.

Ceng-ji dan dua pelayan segera me layani Pho Kek-pui masuk ke kamarnya.

Malam itu tiada terjadi apa2, esok pagi waktu Lim Cu-jing bangun tidur dan me mbuka pintu, seorang pelayan sudah berdiri di depan pintu dan mengangsurkan sepucuk surat, katanya: "Lim-ya sudah bangun, Pho-kongcu ada pesan supaya hamba menyerahkan sepucuk surat ini langsung kepada Lim-ya."

Lim Cu jing me mbaca pada sampul surat itu tertulis: "Disa mpa ikan kepada Lim heng pribadi".

"Mana Pho kongcu?" tanya Lim Cu jing.

"Pho-kongcu ada urusan penting, sebelum fajar telah berangkat lebih dulu," jawab pelayan.

Lim Cu-jing heran, tapi dia manggut2. Pelayan segera berlalu, tak la ma kemudian datang pula me mbawa sebaskom air untuk cuci muka.

Lim Cu-jing me mbuka sa mpul surat, dia keluarkan secarik kertas yang ditulis dengan huruf yang bergaya indah dan rapi, bunyi surat itu de mikian:

Diaturkan kepada saudara. Cu jing yang mulia, Persahabatan di rantau sungguh merupakan pengala man yang menyenangkan sela ma hidup Siaute. Karena ada urusan penting, pagi2 Siaute sudah berangkat lebih dulu, kuatir mengganggu tidur Lim heng, terpaksa kutinggalkan sepucuk surat ini, dalam perjalanan ke Jiat-ho, bila Lim-heng gagal mendapatkan pekerjaan, di sini terlampir sepucuk surat untuk seorang pembesar kenalanku. boleh saudara ke sana dan mencobanya, kuda seekor kutinggalkan supaya Lim-heng gunakan, demikian pula lima puluh tahil e mas ini untuk sangu di perjalanan, untuk ini sudi kiranya Lim-heng me nerimanya. Hanya sekian saja yang dapat kuutarakan melalui surat ini,

Salam hangat dari adikmu, Pho Kek-pui.

Habis me mbaca surat ini, diam2 Lim Cu-jing me mbatin: "Dia

punya hubungan baik dengan penguasa di J iat ho, me mangnya dia bangsa Ki-jin?"

Waktu dia merogoh ke dalam sa mpul, di dalam me mang ada le mpitan sa mpul surat yang lain dan bertuliskan: "Disa mpaikan kepada Hu-tok-jong pribadi."- Nadanya tidak begitu sungkan. Waktu sampul itu dia balik ternyata tidak direkat, keruan Lim Cu-jing semakin heran, maka dia keluarkan surat di dala mnya dan dibaca, tulisannya hanya sebaris yang berbunyi: "Dengan ini kuperkenalkan sahabatku Lim Cu-jing, harap dilayani se mestinya, kebaikan yang diterimanya akan kurasakan juga." - Di bawah tulisan ada sebuah cap bergaris melingkar, waktu ditegasi kiranya dua huruf Boan.

Nada surat yang satu ini bila dibanding dengan is i surat yang ditujukan dirinya sungguh sangat jauh bedanya, kalau surat untuk dirinya menyatakan penyesalannya harus berpisah dan betapa tebal rasa persahabatannya,   tapi   surat   yang   kedua   ini   bernada me mer intah dari seorang atasan kepada bawahannya.

Pho Kek-pui, me mangnya siapa dia?

Segera Cu-jing lempit pula surat itu dan dimasukkan ke dalam sampul terus disimpan dalam kantong, setelah bebenah lalu dia keluar. Rekening hotel jelas sudah dibayar oleh Pho Kek-pui, di luar pelayan sudah menuntun seekor kuda dan menunggunya. Di depan pelana kuda terikat sebuah buntalan warna ungu, bobotnya agak berat, kiranva berisi uang mas.

Meski keberatan terpaksa Cu-jing terima juga barang tinggalan ini, sekenanya dia rogoh saku me mberi sekeping uang perak kepada pelayan, kuda terus dibedal me lanjutkan perjalanan.

ooo(00dw00)ooo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar