Pendekar Kidal Jilid 21

Jilid 21

"Apa katamu?" teriak So-yok kurang senang.

Merah muka Kongsun Siang, sahutnya menunduk: "Hamba berkata sesuai kenyataan."

So-yok mendengus gera m. Kuatir Kongsun Siang banyak mulut dan me mbuat So-yok gusar, lekas Kun-gi menyela: "Bagaimana Hupangcu bisa menyusul ke mar i?"

Sikap kaku So-yok seketika sirna, katanya aleman setelah, me lerok sekali: "Masih tanya lagi, kau suruh aku menangkap orang, tapi urusannya kau rahasiakan kepadaku, tengah mala m tadi baru Sam- moay naik ke atas me mbawa suratmu dan suruh aku bertindak menurut petunjuk "

Kongsun Siang berdiri di sebelah samping, jaraknya cukup dekat, me lihat sikap dan mimik So-yok waktu bicara dengan Ling Kun-gi begitu mesra dan aleman, tanpa terasa kepalanya menunduk semakin rendah.

Kun-gi tersenyum, katanya: "Memang Cayhe suruh Congkoan me mber ikan surat itu kepada Hu pangcu setelah lewat kentongan kedua, harap Hu-pangcu maaf."

"Me mangnya siapa yang salahkan kau?" o mel So-yok, tiba2 dia cekikikan.   "Kau   diberi    kekuasaan    oleh    Thay-siang    untul me mbongkar urusan ini, jangankan aku, Toacipun harus tunduk pada perintah mu, me mangnya aku berani me mbangkang."

"Thay-siang me mberi kuasa, Pangcupun harus tunduk padamu", hal ini sa ma sekali tidak diketahui oleh orang2 yang ada ditingkat kedua, yaitu para Houhoat dan Hou-hoat-su-cia.

Dia m2 mencelos hati Coh-houhoat Leng Tio-cong, telapak tangannya berkeringat dingin, pikirnya: "Bocah ini selangkah lagi manjat ke atas, untung aku tidak berbuat salah terhadapnya." "Berat ucapan Hupangcu, tentunya 'Nyo Keh-cong' bertiga telah diringkus bukan?" (Nyo Keh-cong, Sim Kiansin dan Ho Siang-seng asli sudah gugur dan digantikan mata2 Hek- liong-hwe, hal ini telah dibeberkan dalam tanya jawab Ling Kun-gi dan Cin Tek-hong tadi ).

So-yok tertawa, katanya.: "Sudah tentu teringkus semua, malah mereka sudah mengaku terus terang," lalu dia menyambung: "tadi Kiu- moay melaporkan, katanya dari sini kelihatan cahaya pedang me la mbung tinggi, kemungkinan Ling- heng ketemu musuh tangguh, maka buru2 aku menyusul ke mari."

Baru sekarang Coh-houhoat Leng Tio-co ng se mpat tampil ke depan dan berkata sambil menjura: "Cong-coh me mang ahli mera mal dan tepat perhitungan, tajam pandangan dan tegas tindakan, sekali jaring seluruh mata2 musuh yang terpendam telah digaruk seluruhnya, sungguh aku merasa amat malu dan menyesal, selanjutnya aku tunduk lahir-batin kepada Cong-coh."

"Leng-heng terlalu merendah," ucap Kun-gi tertawa, "akupun secara kebetulan saja me mergoki mus lihat mere ka."

"Eh mana Cin Tek-hong?" tanya So-yok, "apakah dia me larikan diri? Menurut pengakuan Nyo Keh-cong, dialah pemimpin mata2 musuh."

"Cin Tek- hong sudah mati," Kun-gi menerangkan, "mati diserang oleh orang mereka sendiri, soal tidak penting, yang paling penting adalah para Cap-ji-sing-siok yang kita hadapi mala m ini, pakaian yang mereka kenakan semuanya kebal senjata, untuk penyerbuan kita ke Hek- liong-hwe kali ini, hal ini merupa kan masalah yang harus segera dipecahkan untuk mengatasinya, kalau tidak pihak kita pasti akan rugi besar."

"Bukankah ada tiga musuh yang mati, di mana mereka. Hayo kita periksa bersa ma", kata So-yok.

"Nah, itulah di sana," Kun-gi menuding. Lalu dia ir ingi So-yok mengha mpiri mayat2 itu. So-yok me lolos pedang dan me mbaco k tubuh salah satu mayat itu, bacokannya mengguna kan enam bagian tenaganya, tapi pedangnya terpental balik tak dapat tembus badan orang. Keruan So-yok melenggong, katanya heran: "Kulit apakah ini?"

"Cayhe tidak tahu, kita angkut saja mayat2 ini pulang dan diperiksa lebih lanjut."

"Cara ini paling baik, eh, mereka dina makan Cap-ji-s ing-sio k, jadi seluruhnya ada 12 orang."

Kun-gi lalu tuturkan kejadian tadi. Sebelumnya dia suruh orang banyak menggali liang besar, pakaian kulit hitam yang dipakai ketiga orang mati itu ia suruh belejeti, mayat mereka dikubur bersama Cin Tek-hong, Kho Ting-seng, Jiu Siu-seng sendiri menjinjing tawanan musuh yang menyaru dirinya naik ke sa mpan lebih dulu, kejap lain semua orang sudah berada di sampan dan lalu balik ke kapal besar.

Laksana panglima yang ke mbali dari medan perang dengan ke menangan gilang gemilang. Sementara itu di atas kapal, Pek-boa- pangcu Bok-tan, Congkoan Giok- lan sudah duduk menunggu sekian la manya di tingkat kedua. Yu-houhoat Coa Liang pimpin seluruh Houhoat dan Hou-hoat-su-cia   terpencar   disekeliling   kapal menya mbut kedatangan mereka.

Kun-gi bertanya, So-yok langsung masuk ke ruang besar, dua orang Hou-hoat-su-cia menya mbut dia mbang pintu.

Dua pasang lilin raksasa menyala terang benderang di ruang besar. tampak Pek-hoa-pangcu du-duk di kursi ujung atas menyandang meja panjang, Tho-hoa dan Kiok-hoa berdiri di kanan- kirinya, di sebelah belakang adalah para Tay-cia, pakaian mereka ringas bersenjata siap te mpur.

Melihat Kun-gi, Pek-boa-pangcu Bok-tan berdiri, katanya sambil tertawa lebar: "Apakah Ling-heng kepergok musuh?" Sorot matanya menyala terang penuh perhatian. tapi juga penuh rasa kasih sayang yang amat mendala m. Kun-gi menjura, katanya: "Terima kasih atas perhatian Pangcu, di Gu-cu-ki setelah Cayhe ber-hasil menangkap Cin Tek-hong, pada saat kami mengorek keterangannya, Nao Sam-jun Hwi- liong-tongcu dari Hek-liong-hwe tiba2 muncul dengan Cap-ji-s ing-sio k yang kebal senjata "

Terbeliak mata Pek-hoa-pangcu Bok-tan, katanya kaget: "Banyak jumlah bala bantuan musuh? Akhirnya bagaimana?"

"Syukurlah, berkat wibawa Pangcu yang sakti, musuh meninggalkan tiga sosok mayat dan me larikan diri.'

Cerah senyuman Pek-hoa-pangcu Bok-tan katanya: "Itu berkat kesaktian Ling-heng sebagai Cong-su-cia yang perkasa."

"Toaci," sela So-yok, "Cap-ji-sing-s iok dari Hek- liong-hwe semuanya berpakaian kulit yang kebal senjata, kita sudah belejeti pakaian ketiga korban itu."

Sementara itu Leng Tio-cong, Kongsun Siang dan la in2 juga ikut masuk ke ruangan besar, baru sekarang mereka sempat maju me mber i hor mat kepada sang Pangcu. Sedangkan Song Tek-seng dan Thio La m-jiang ta mpil ke depan menghaturkan ke tiga pakaian kulit itu. Sementara Ji Siu-seng juga maju me mberi hor mat sambil tetap menge mpit tawanannya. '

Sebentar Pek-hoa-pangcu pandang Ji Siu-seng palsu, lalu bertanya: "Mana Cin Tek- hong dan Kho Ting-seng?"

"Kedua orang ini sudah terbunuh musuh, ka mi sudah menguburnya," tutur Kun-gi..

Sambil me lir ik Ji Siu-seng palsu Pek-hoa-pangcu berkata pula: "Inikah utusan mereka yang me ma lsukan Ji Siu-seng. Untung Ling- heng me mbongkar kedok dan muslihat jahat mereka, kalau tidak sebelum kita tiba di sarang Hek-liong-hwe, seluruh Hou-hoat-su-cia sudah ditukar dengan orang2 mereka." Lalu dia mengulap tangan dan mena mbahkan: "Gusur dia dan sementara sekap saja di gudang bawah."'

Ji Siu-seng mengia kan terus gusur Ji Siu-seng palsu keluar. Pek-hoa-pangcu berkata lebih lanjut: "Silakan duduk Ling-heng, tadi Kiu- moay telah me mber i laporan padaku, dari arah Gu-cu- ki ada cahaya pedang yang berkelebatan, dikuatirkan Ling-heng meng- hadapi bahaya serbuan musuh, ma ka kusuruh Ji- moay menyusul ke sana me mberi bantuan, kukira pertempuran kalian pasti sangat sengit dan ber-bahaya, sukalah Ling-heng kisahkan kejadian tadi?"

Kun-gi menarik kursi dan berduduk.

So- yok ikut duduk di sebelahnya, sekilas dia melirik Song Tek- song dan Kongsun Siang, katanya: "Seorang diri tadi Ling-heng menghadapi Cap-ji-sing-sio k, musuh yang tangguh dan kebal senjata, tentu badan amat lelah, kukira kalian boleh bergantian mengisahkan kejadian itu."

Kongsun Siang mengangguk, katanya: "Baiklah, biar hamba yang me mber i laporan kepada Pangcu."

Pek-hoa-pangcu manggut2 setuju.

Kongsun Siang lalu bercerita cara bagaimana mereka berhasil menjebak Cin Tek-hong , serta mengorek keterangannya, sampai tahu2 Nao Sa m-jun muncul bersa ma Cap ji-sing-s iok, lalu mere ka bentrok dengan sengit, seorang diri Ling Kun-gi berhasil me mbunuh dan melukai Cap-ji-s ing-sio k, seluruh peristiwa diceritakannya dengan lengkap dan teliti. Kongsun Siang berwajah cakap dan pandai bicara, maka peristiwa menegangkan yang mereka alami itu dapatlah dia kisahkan dengan baik dan menarik sehingga hadirin yang mendengarkan seolah2 ikut menyaks ikan sendiri dite mpat itu. Waktu dia bercerita cara bagaimana pedang pusaka sekaligus me mbabat kutung tangan orang serta me mukul mati lawan, hadirin sama bertepuk tangan me muji.

Dengan seksama Pek-hoa-pangcu periksa baju kulit ra mpasan yang berada di atas meja, tanyanya sambil angkat kepala: "Tahukah kalian terbuat dari kulit apakah pakaian ini?"

Tahu bahwa pakaian kulit ini tak me mpan senjata tajam, meski senjata rahasia dan pukulan saktipun takkan dapat me lukai pemaka inya, maka para hadirin jadi lebih ketarik, bera mai2 mere ka merubung maju, tapi tiada seorangpun yang ma mpu me mber i keterangan.

Akhirnya Sa m-gansia Coa Liang buka suara: "Ha mba pernah dengar orang mengatakan di laut utara ada tumbuh sejenis binatang anjing laut, kulit bersisik le mbut dan halus sekali, dapat dibuat pakaian yang kebal senjata dan tahan pukulan, sarang Hek- liong-hwe mungkin terletak tak jauh dari Pak-hay, maka tidak heran kalau mereka bisa me mproduksi pakaian anjing laut ini secara besar2an."

Pek-hoa-pangcu manggut2, katanya: "Ya, mungkin saja, akhir2 ini Hek-liong-hwe me mang telah merangkul banyak sekali orang2 kosen dari berbagai kalangan, kalau mere ka sama mengena kan pakaian seperti ini dan kita tidak lekas me mpersiapkan diri, mungkin bisa mengala mi kegagalan."

"Buat apa Toaci kesal?" ujar So-yok, "Bukankah Cap ji-sing-s iok telah dibikin porak poranda dengan tiga mati dan tiga luka oleh Ling-heng, akhirnya melar ikan diri dalam keadaan serba runya m?"

Kata Pek hoa-pangcu: "Itu baru seorang yang me miliki Lwekang dan kepandaian setinggi ini, diantara kita sebanyak ini, kalau berhadapan dengan musuh yang kebal senjata, bukankah kita sendiri bisa runyam jadinya?" ia melongo k keluar jendela melihat cuaca, katanya pula: "Sudah terang tanah, sebentar lagi Thay-siang akan bangun, soal ini betapapun harus cepat kulaporkan kepada beliau." Ia berpaling dan berpesan kepada seorang pelayan: "Bak- ni, ambillah perangkat pakaian itu dan ikut aku ke atas, dua perangkat yang lain serahkan kepada Ling-houhoat untuk menyimpan se mentara." Lalu ia berdiri dan mena mbahkan pula: "Ling-heng, Ji moay, mari kita menghadap Thay-siang."

Ling Kun- gi, So-yok dan Giok-lan berdiri bersama. "Silakan Ling- heng," Pek-hoa-pangcu angkat sebelah tangannya.

"Pangcu silakan dulu," Kun-gi, merendah, "mana berani hamba mendahului.?" Pek-hoa-pangcu tersenyum, katanya: "Mengapa Ling-heng lupa, Thay-siang sudah me mberi mandat padamu, kau berkuasa penuh untuk me mbo ngkar perkara ini, aku dan Ji-moay termasuk pembantu saja, maka silakan Ling-heng jalan di depan."

Kata2 ini terucap dari mulut sang Pangcu sendiri, sudah tentu bobotnya jauh berbeda. Baru sekarang semua orang tahu bahwa, Ling Kun-gi adalah orang kepercayaan Thay-siang, kedudukannya seolah2 lebih tinggi dari Pangcu dan hupangcu ma lah.

Me mangnya hal ini sebetulnya tidak perlu dibuat heran, dinilai taraf ilmu silat dan martabat Kun-gi, dalam kalangan Bu- lim masa kini sukar dicari orang kedua yang mir ip dengan Kun-gi. Maka semua orang sudah menduga dan kini se makin yakin bahwa Ling Kun-gi akan se makin me nanjak ke atas menjadi calon menantu, cuma bakal me mpersunting Bok-tan, sang Pangcu yang cantik rupawan merajai se mua pere mpuan yang ada di sini, atau menikah dengan So-yok, Hupangcu yang cerdik pandai dan berkuasa serta garang dan angkuh ini

Betapapun Kun-gi t idak mau jalan di depan, terpaksa Bok-tan me mbuka jalan, disusul So-yok terus Giok- lan dan ke 10 Taycia beriring naik ke tingkat ketiga.

Tiba di depan kabin tengah di mana Thay-siang berada, kecuali Bwehoa yang dinas mala m ini, Bikui pernah menyaru jadi Cu-cu, tapi iapun tidak berani sembarangan masuk ke kabin, ma ka para Taycia lantas menyebar ke sekitarnya. Sementara Pek-hoa-pangcu dan Ling Kun-gi bere mpat lantas masuk.

"Urusan apa, Kun-gi?" tanya Thay-siang segera.

Lekas Kun-gi menjura, sahutnya: "Hamba akan me mberi laporan kepada Thay-siang."

"Baiklah, tunggu sebentar," seru Thay-siang.

Kun-gi me mberi hor mat, hanya dia saja yang tidak tekuk lutut menye mbah, sementara Bok-tan, So-yok dan Giok- lan sa ma tekuk lutut menye mbah tiga kali dan berseru bersama: "Tecu menya mpaikan se mbah sujud kepada Suhu."

Walau wajahnya tertutup cadar, tapi suara Thay-siang terdengar le mbut ramah: "Bangunlah kalian." Lalu dia duduk di kursi kebesarannya, tanyanya kepada Kun-gi: "Ling Kun-gi, baru sekarang kau menghadap, me mangnya  perkara.  Ci  Gwat-ngo  dan ko mplotannya sudah kau bongkar seluruhnya?"

"Lapor Thay-siang," seru Kun-gi, "syukurlah hamba tidak sia2 menuna ikan tugas berat ini."

''Em, baik sekali," tampa k sinar terang kedua mata Thay-siang dibalik cadarnya, katanya lembut dengan tertawa: "Memang, kau anak bagus, Losin tahu kau cukup ma mpu menjaring mere ka semua, ma ka Losin beri kuasa penuh padamu, kiranya kau tidak mengecewakan Losin. Oya, kalian lekas duduk, bicaralah pelan2."

Betapa halus dan kasih sayang panggilan "anak bagus" itu, bagi Kun-gi sendiri t idak merasakan apa2 tapi Pek-hoa-pangcu seketika merah jengah dan bukan kepalang rasa riang dan syur hatinya, Sejak Thay-siang menyerahkan lh-thiankia m kepada Kun-gi, sejak itu pula perasaan Bok-tan sudah mantap seolah2 soal jodohnya sudah terangkap.

"Terima kasih," sahut Kun-gi, lalu dia duduk di kursi sebelah bawah. Maka Pek-hoa-pangcu, Hu pangcu dan Congkoan juga ikut duduk.

Kun-gi mulai bercerita sejak dia diangkat menjadi Cong-su-cia, ma lam itu seseorang coba me mbunuh dirinya menggunakan Som- lo-ling, cara bagaimana dia menguntit musuh dan setelah dianalisa dengan teliti, dia yakin bahwa orang itu pasti Cin Tek-hong adanya. Waktu ke mbali didapatinya Kho Ting-seng yang berjuluk Gintancu ternyata hanya begitu saja kepandaiannya, padahal dia tersohor dengan pelor peraknya itu, setetah dekat dan diawasi kiranya wajah orang sudah terias, kedua hal inilah mulai menimbulkan rasa curiganya. Kemudian di atas kapal, Nyo Keh-Cong dan Sim Kiansin ke mba li dengan luka2, didapatinya pula wajah kedua orang ini riasan juga, hari ketiga demikian pula yang terjadi pada Ho Siang-seng dan Kho Ting-seng yang ke mbali dari ronda. Urusan berkembang sedemikian pesat, ini sudah jelas menandakan bahwa musuh me mang bekerja sejak lama dan direncanakan dengan matang, setiap orang kita yang keluar ronda, pulangnya ditukar seorang dengan kaki tangan musuh.

Thay-siang manggut2, ujarnya: "Kau me mang cerdik, ai, ada kejadian begitu, kenapa tidak kau katakan sejak mula?"

Sedikit me mbungkuk Kun-gi berkata: "Harap Thay-siang maklum, urusan semaca m ini, kalau tiada bukti, mana boleh se mbarangan menuduh orang?"

"Betul," ucap Thay-siang.," manggut2. "Coba teruskan." Kun-gi me lanjutkan uraiannya bahwa mungkin karena waktu itu dirinya berhasil me mbuat obat penawar getah beracun, maka pihak Hek- liong-hwe berusaha melenyapkan dirinya, maka terjadilah Ci Gwat- ngo me mfitnah dirinya dengan menye mbunyikan barang bukti di kamarnya, lalu dia ceritakan sa mpai pada giliran Cin Tek-hong mendapat tugas untuk ronda mala m. Secara diam2 ia lantas perintahkan Kongsun Siang, Song Tek-seng dan Thio La m-jiang agar me mbe kuk para kelasi perahu Cin Tek-hong dan Kho Ting-sing, betul juga pada badan para kelasi ini diperoleh sebuah kotak Som- lo-ling, maka dia lantas meninggalkan sepucuk surat rahasia kepada Congkoan, surat harus dibuka setelah kentongan kedua dan supaya disa mpaikan kepada Hupangcu untuk me mbekuk Nyo Keh-cong dan Sim Kiansin berdua, sementara dirinya bersa ma Kongsun Siang berempat menyamar kelasi dan cara bagaimana Cin Tek-hong me masang la mpu merah di ujung perahu la lu mendarat di Gu-cu- ki, di sana orang telah mengatur muslihat hendak menawan J i Siu- seng, tapi ma lah berbalik kena di-ringkus olehnya.

Pelan2 Thay-siang menepuk kursi, katanya mengangguk: "Bagus sekali, me mang tidak malu kau sebagai Cong-su-cia Pek-hoa-pang kita, bagaimana selanjutnya?" Kun-gi t idak berani ma in se mbunyi, cara bagaimana dia, mengorek keterangan dari Cin Tek-hong dia tuturkan pula seterang2nya, Thay-siang hanya manggut saja, tidak tanya seluk beluk Hek- liong-hwe lebih lanjut.

Dia m2 Kun-gi merasa heran, pikirnya: "Kenapa dia tidak tanya lebih lanjut? Me mangnya dia sudah jauh lebih tahu akan seluk-beluk Hek-liong hwe?'

Selanjutnya dia tuturkan C in Tek-hong mendadak mati terbunuh oleh orang2 pihak mereka sendiri dan menurut Nao Sa m-jun, atas perintah Hwecu mereka, dia diperintah menawan Kun-gi hidup2 . . .

Tampak mimik Thay-siang menaruh perhatian akan hal ini, matanya me mbulat ke arah muka Ling Kun-gi, tanyanya: "Apa yang dia katakan pada mu? Katakan terus terang, jangan dise mbunyikan."

Tutur Kun-gi: "Dia bilang asal hamba betul2 bisa me mbuat obat penawar getah beracun, Hek-liong-hwe t idak akan kikir me mber i imbalan upah besar dan kedudukan lebih t inggi "

"Bluk", Thay-siang menggebrak me ja, seruhya gusar: "Mereka me mancing dan hendak menyogok kau."

Pek-hoa-pangcu, Hupangcu dan Giok- lan sa ma berjingkat kaget. Kun-gi juga gelisah dan jeri, katanya: "Ha mba "

Thay-siang angkat kepala, katanya ramah: "Lo-sin tidak salahkan kau, lanjutkan keterangan ini."

Lalu Kun-gi tuturkan cara bagaimana seorang diri dia melabrak Cap-ji-sing-sio k, meski lawan me makai seragam kebal senjata, beruntung dia me mbekal Ih-thiankia m anugerah Thay-siang yang tajam luar biasa, beruntun dia melukai enam orang musuh, melihat gelagat tidak menguntungkan cepat2 Nao Sam-jun mencawat ekor me larikan diri.

Pada akhir ceritanya Ling Kun-gi berpaling dan berkata kepada Giok- lan: "Tolong Congkoan suruh mereka me mbawa pakaian kebal senjata itu ke mari dan diperlihatkan kepada Thay-siang." Giok- lan mengiakan, dia beranjak ke pintu serta menggapai, maka Bak-ni me langkah masuk sa mbil me mbawa pakaian kulit itu terus diaturkan ke hadapan Thay-siang.

Hanya sekilas Thay-sung pandang baju kulit itu lalu berkata sinis: "Kukira Cap-ji-s ing-sio k apa, kiranya orang2 yang berpakaian kulit binatang, me mang kulit anjing laut ini kebal senjata."

Mendengar nada perkataan orang Kun-gi berkesimpulan bahwa agaknya Thay-siang sudah tahu akan pakaian kulit anjing laut ini, dia m2 dia merasa heran.

Terdengar Thay-siang berkata lebih lanjut dengan suara lembut: "Ling Kun-gi, kali ini kau berhasil me mbongkar ko mplotan musuh yang menyelundup ke dalam Pang kita, inilah merupa kan pahala besar sekali . . . . ." bicara sa mpai di sini entah sengaja atau tidak matanya melir ik kearah Pek- hoa-pangcu Bok tan. "Kerjalah yaug baik, lebih giat dan rajin, Losin tidak akan menyia2kan bakat dan kebaikanmu." Kata2nya sudah ga mblang, sejak mula kiranya dia sudah ada maksud menjodohkan Bok-tan kepada Ling Kun-gi. Pek- hoa-pangcu tampa k ma lu dan menunduk se makin rendah.

Sudah tentu Kun-gi juga merasa ke arah mana ucapan Thay- siang ini, tapi karena Thay-siang tidak bicara blak2an, tidak enak dia bicara lebih banyak, ma ka sekenanya dia me mbungkuk serta berkata: "Terima kasih Thay-siang."

Sebaliknya terasa hampir me ledak dada So-yok dengan penuh kebencian dia me lerok ke arah Ling Kun-gi.

Kebetulan Thay-siang berpaling dan tanya: "So-yok, semua mata2 Hek-liong-hwe yang tertawan sudahkah kau tanyai keterangannya?"

"Sudah kuko mpes seluruhnya," jawab So-yok.

"Bagus, penggal saja kepala mereka," Thay-siang me mberi perintah.

"Tecu terima perintah," sabut So-yok me mbungkuk. "Ha mba ada sebuah per mohonan," sela Kun-gi.

Le mbut suara Thay-siang: "Kau ada pendapat apa, boleh kau utarakan."

"Mata2 Hek-liong-hwe yang diselundupkan ke Pang kita semua di bawah pengawasan Ci Gwat-ngo dan Cin Tek-hong, kedua pemimpinnya ini sudah mati, sisa yang lain hanyalah anak buah Hek-liong-hwe yang berkedudukan rendah, kukira dipunahkan saja ilmu silat mereka dan berilah kese mpatan hidup kepada mereka, semutpun ingin hidup apa lagi manus ia, kukira tidaklah jelek kita me mber ikan kebijaksanaan ini dan menaruh belas kasihan terhadap mereka. . . "

So-yok menjenge k dingin: "Hek-liong-hwe sudah je las bermusuhan dengan kita, terhadap musuh buat apa menaruh belas kasihan segala? Mereka menyelundup ke mari bukankan orang2 kita juga sudah menjadi korban? Hutang jiwa harus bayar jiwa, inilah hukum kodrat yang cukup adil."

Thay-siang tersenyum, katanya lembut: "Waktu gurumu masih muda dulu juga tidak pernah me nga mpuni setiap musuh, beberapa tahun belakangan ini sudah tekun me mpelajari ajaran agama, nafsu dan e mosi sudah jauh tertekan. Begini saja, bahwa Ling Kun-gi sudah telanjur mintakan a mpun bagi mereka, maka baiklah a mpuni saja jiwa mereka."

"Thay-siang me mang bajik dan welas  asih,  hamba menya mpaikan rasa terima kasih yang tak terhingga," seru Kun-gi. Sejenak merandek lalu ia berkata ppla: "Hupangcu, masih ada sebuah persoalan yang ingin hamba sa mpaikan.".

"Ada urusan apa?" suara So-yok dingin ketus.

"Nona kecil yang menya mar Cu-cu itu adalah orang dari Ceng- liong-tong, Ceng-lio ng-tong merupakan seksi dalam di Hek- liong- hwe, sekarang baru kita ketahui bahwa Ui-liong-tong yang termasuk seksi luar bermar kas di Ui-lionggia m di utara Kunlunsan, sejauh ini belum diketahui dima na letak markas seksi dalam mereka, ma ka orang ini teramat penting bagi kita, hendaklah jangan kau punahkan dulu ilmu silatnya."

So-yok me mandangnya dengan dingin, tanpa me mberi tanggapan terus putar badan tinggal keluar.

Melihat sikap orang yang kaku dan dingin, dia m2 Kun-gi menggerutu dalam hati, entah soal apa yang menyebabkan dia begitu, dihadapan sekian banyak orang juga mengumbar adat, Kun- gi hanya menyengir saja, katanya setelah me mbungkuk kepada Thay-siang: "Kalau Thay-siang tiada pesan apa2, hamba mohon diri saja."

"Ya, boleh kau pergi," rujar Thay-siang. Kun-gi menjura lalu mengundurkan diri.

Waktu itu hari sudah terang benderang, sementara kapal juga telah berlayar. Cahaya mentari terasa hangat dan ce merlang.

Kun-gi menengadah menghirup napas panjang, sambil berpegang langkan kapal pelan2 dia beranjak turun dari anak tangga kemba li ke tingkat kedua, ternyata sernua orang masih tunggu di ka mar makan kecuali yang bertugas diluar. Sekilas dia menyapu pandang lalu berkata dengan kale m: "Se ma lam suntuk kalian tidak tidur, kenapa tidak bubar dan istirahat saja?"

Coh-houhoat Leng Tio-cong segera me mapak maju, katanya tertawa:."Karena semala m Cong-coh berhasil me mbongkar seluruh jaringan mata2 musuh yang menyelundup di Pang kita mendirikan pahala besar lagi, maka kita semua ingin menyampa ikan sela mat pada mu." 

"Menjaring mata2 dan me lawan serbuan musuh dari luar, adalah tugas dan tanggung jawabku, apalagi kejadian semala m juga berkat bantuan para saudara, toh bukan pahalaku seorang, kita se mua orang sendiri, soal me mberi hor mat segala sungguh tak berani kuterima."

Tengah bicara tampak dari luar berbaris masuk se mbilan dara ke mbang yang menyoreng pedang, setiap dara kembang me mbawa sebuah nampan warna merah tertutup kain warna hitam, entah barang apa yang berada di na mpan kayu itu? Begitu masuk ke ruang makan kese mbilan dara kembang lantas berdiri berjajar, serempak me mber i hor mat, lalu seorang yang berdiri paling ujung buka suara: "Seksi hukum telah menunaikan tugas me mengga l kepala sembilan mata2 musuh, harap Cong-su-cia periksa adanya." Seiring dengan kata2nya, berbareng kesembilan dara ke mbang itu menyingkap kain taplak yang menutup na mpan merah itu. Ternyata nampan kayu itu semua berisi batok kepala manusia yang masih berlepotan darah segar..

Mata2 musuh yang dijatuhi hukuman mati penggal kepala ini jelas adalah orang2 yang menyamar Nyo Keh-cong, Sim Kiansin dan Ho Siang-seng, de mikian pula e mpat kelasi sa mpan yang masing2 bernama Li Hek- kau, Ong-ma-cu, Lim Telok dan Kim-lo-sa m. Batok kepala terakhir bera mbut panjang awut2an, beralis lentik ber muka halus, jelas adalah batok kepala gadis cilik yang menyaru Cu-cu.

Sembilan dara ke mbang yang me mbawa na mpan berisi batok kepala manusia ini se mua mas ih muda belia, berparas cantik bertubuh montok menggiurkan, pakaian mereka ringkas ketat, dengan garis tubuh yaug me mpesona, tapi se mbilan batok kepala manus ia yang berlepotan darah itu jauh menarik perhatian orang dan terasa menjijikan, siapapun takkan percaya bahwa dara2 kernbang ayu jelita seperti mere ka ini tega me mengga l kepala kesembilan korbannya ini.

Semula hadirin sama bersorak tawa ge mbira, kini se muanya me longo seram dan berdiri bulu kuduknya. Ling Kun-gi sendiri juga tertegun diam sekian la manya.

Maklumlah, atas persetujuan Thay-siang para mata2 ini hanya diputus hukuman punahkan ilmu silatnya tapi diampuni jiwanya, terutama gadis cilik yang menyaru Cu-cu dipandang lebih penting, maka dia merasa perlu berpesan kepada So-yok untuk menjaga dan menyela matkan jiwanya, karena hanya dara cilik inilah yang tahu letak markas Ceng-liong-tong, musuh yang amat terahasia itu. Dia m2 ia mendo ngkol, serunya naik pitam: "Siapa yang perintahkan kalian me menggal kepala mereka?"

Terdengar seorang menanggapi di luar pintu: "Sudah tentu atas perintahku!" Seiring suaranya tampak So-yok me langkah masuk.

Tak tertahan, seperti dibakar hati Ling Kun-gi, katanya dongkol: "Sudah kumohon a mpunkan jiwa mereka kepada Thay-siang. ."

"Yang berkuasa dalam seksi hukum aku atau kau?" tukas So-yok sengit. "Setiap tugas urusan dalam Pang kita masing2 diurus oleh jabatan masing2, apakah Cong-su-cia tidak merasa menca mpur i urusan orang la in?"

"Hupangcu me mang menjabat rangkap seksi hukum, tapi tahukah kau telah menggagalkan urusanku?" se mprot Kun-gi.

"Menggagalkan urusan apa?"

"Umpa ma kata dara cilik yang menyaru Cu-cu ini, dia adalah pelayan Cui-tongcu yang berkuasa di Ceng-liong-tong, hanya dia saja yang tahu di mana letak markas Ceng-liong-tong, maka tadi kupesan kepada Hupangcu supaya tidak me munahkan ilmu silatnya, kini kau malah me mbunuh dia "

Me mbesi hijau muka So-yok, jengeknya: "Aku mengagalkan urusanmu, me mangnya kau sudah kepincut pada dara molek ini, maka kau melarang aku menyentuh dia "

Merah muka Ling Kun-gi, semprotnya marah: "Kau me mang usil dan sengaja cari perkara."

"Ling Kun-gi!" teriak So-yok, "berani kau .... mema kiku?" Setelah me mbanting kaki dia terus putar badan berlari keluar. Dia pikir setelah marah dan berlari keluar, Kun-gi pasti akan mengejarnya keluar, tak terduga beberapa langkah kemudian, waktu dia berpaling, Kun-gi mas ih berdiri me matung di tempatnya. Saking marah tak tertahan dia berteriak: "Ling Kun-gi, keluarlah kau!"

Kun-gi tetap berdiri tidak bergerak. Dia m2 Kongsun Siang mende kati dan berbisik: "Watak Hu pangcu sela manya angkuh, dalam segala persoalan Ling-heng harus bersabar dan mengalah, dia me manggilmu keluar, mungkin dia merasa menyesal, di sini banyak orang dan malu menyatakan kesalahannya, lekaslah Ling- heng keluar saja."

Mengingat orang adalah Hupangcu, tak pantas dihadapan orang banyak dirinya marah2 padanya, Kun-gi mengangguk la lu beranjak keluar. Sementara sembilan dara ke mbang masih berdiri menjublek, karena pertengkaran Hupangcu dan Cong-su-cia menyangkut perintah yang mereka lakukan, mereka me njadi pucat ketakutan.

Coh-houhoat Leng Tio-cong mengacung je mpo l kepada Kongsun Siang, katanya tertawa: "Kongsun lote me mang pandai bicara, syukurlah kau berhasil me mbujuk Cong-su-cia."

"Ah, hamba hanya me mbujuk Cong-su-cia supaya tidak bekerja menurut i adat saja."

Leng Tio-cong tetap tersenyurn, katanya sambil meno leh ke arah para dara kembang: "Nona2, kalian boleh mengundurkan diri." Serempak kese mbilan dara me njura terus mengundurkan diri.

Menyapu pandang seluruh hadirin, Leng Tio-cong buka suara sambil mengelus jenggot kambing di dagunya: "Semala m kalian tidak tidur, sekarang boleh ke mbali ke ka mar masing2 untuk istirahat."

Hanya Kongsun Siang seorang yang bertaut ke dua alisnya, seperti dirundung persoalan rumit yang mengganjel hatinya, dia tetap mondar- mandir di ruang ma kan sa mbil menggendong tangan.

Keadaan sepi lengang, dalam ruang makan yang luas ini kini tinggal Kongsun Siang dan Sa m-gansin Coa Liang yang duduk dibangku panjang sa mbil mengangkat sebelah kakinya di atas bangku.. Hari ini. dia menjadi ko mandan para petugas siang. Dengan me micingkan mata dan miring kepala dia me mandang Kongsun Siang, tanyanya: "Kongsunlote, kau ada ganjelan hati apa?"

Kongsun Siang menggeleng: "Mana ada ganjelan hati segala." Coa Liang meraih secangkir teh terus diteguknya, katanya terkekeh: "Kongsunlote, jangan mulut mu bicara tidak sesuai dengan isi hatimu, aku berani bertaruh kau pasti sedang kas maran entah terhadap nona yang mana sampa i kehilangan se mangat seperti orang linglung. Ke mar ilah, hayo ceritakan padaku, nanti kubantu mencarikan akal."

Merah muka Kongsun Siang, katanya tergagap: "O, sungguh tiada persoalan apa2." Lalu dia menjura dan merna mbahkan: "Silakan duduk lagi, ha mba akan ke mbali ke ka mar saja." Bergegas dia lantas ke ka mar.

Mengawasi punggung orang, Coa Liang ter-kekeh2, katanya:, "Anak bagus kau masih pura2 dan mungkir, kalau betul kau sudah kasmaran, kau bisa sakit r indu."

Sementara itu So-yok berdiri di ujung dek tingkat kedua. Angin sungai menghe mbus santer. . wajah yang selama ini berseri cerah kini kelihatan meradang ke marahan dan kesal.

Kun-gi sudah berada di sa mpingnya, jelas dia telah mendengar langkah orang mendatangi, tapi dia sengaja me mandang ke te mpat nan jauh di depan tanpa meno leh atau me lir ik.

Kun-gi berhenti, serunya: "Hupangcu        "

Tetap tidak meno leh, suara So-yok kedengaran kaku dingin: "Jangan panggil aku Hupangcu, untuk apa kau masih hiraukan diriku?"

"Bukankah Hupangcu yang suruh aku ke mar i?”

"Siapa suruh kau ke mari? Aku tidak me manggilmu, pergilah kau."

.

"Hupangcu me manggilku dan aku sudah keluar, kalau kau

me mang tidak me manggilku, yah anggaplah aku yang salah dengar," pelan2 dia putar badan hendak tinggal pergi.

Mendadak So-yok putar badan, bentaknya: "Berdiri ditempat mu!" Kun-gi masih muda dan berdarah panas juga, katanya tertawa tawar: "Cayhe sebetulnya . . . .” dia mau berkata: "Cayhe menghargaimu sebagai Hupangcu, tapi Cayhe bukan orang yang boleh di panggil dan diusir begini saja." Tapi baru saja berucap 'Cayhe' itulah, sorot rnatanya kebentrok dengan wajah orang yang kelihatan sayu rawan, seperti dirundung kesedihan dan penyesalan, suaranya garang, tapi sorot matanya ber-kaca2 dan akhirnya meneteskan air mata.

Hati le laki umumnya me mang le mah bila me lihat air mata perempuan. Dan perempuan juga tahu cara menga mbil keuntungan ini, maka dalam setiap pertengkaran air matalah yang dijadikan alat untuk menundukkan lelaki. Sejak ja man dahulu kala air mata perempuan entah sudah menundukkan berapa banyak kaum laki2.

Demikian pula hati Ling Kun-gi seketika luluh, kata2 yang sudah siap tercetus dari mulutnya seketika dia telan ke mba li, setelah menghe la napas, dia berkata: "Kau me mang suka me mbawa adatmu sendiri"

"Aku me mbawa adat apa?" jengek So-yok.

"Entah karena apa Hupangcu marah2, sekaligus me mbunuh sembilan orang, me mangnya ini bukan me mbawa adatnya sendiri."

"Ya, aku marah2 dan me mbunuh orang, me mangnya kenapa?" Serius rona muka Kun- gi, katanya: "Kau ada-lah Hupangcu Pek-

hoa-pang, me mangnya siapa berani berbuat apa2 terhadapmu? Tapi

perlu Cayhe me mberitahukan nona bahwa kuinginkan keutuhan ilmu silat nona cilik penyaru Cu-cu itu adalah untuk kepentingan Pang kita, dengan tingkat kepandaiannya, utuh atau dipunahkan ilmu silatnya tidak menjadi persoalan bagi kita, cuma menurut rencanaku setelah nanti kita mendarat akan kuberi kese mpatan dia melarikan diri, dengan menguntit jejaknya kita pasti akan dapat meluruk ke Ceng-liong-tong dengan mudah, dengan Hek- liong-hwe Cayhe tiada permusuhan apa2, tapi jelek2 Cayhe adalah Cong-su-cia Pek-hoa- pang, aku punya tanggung jawab untuk berbakti dan bekerja demi kepentingan Pek- hoa-pang, dan kau me mbawa adatmu sehingga segala rencanaku kau gagalkan."

"Gagal ya gagal, me mangnya kenapa?" ejek So-yok.

"Bagi Cayhe sendiri tiada persoalan, kalau di sini aku tidak bisa bekerja dan tidak betah lagi, seandainya seluruh isi kapal bakal tertumpas  habis,  Cayhe  yakin  masih  cukup  ma mpu me mpertahankan diri, aku masih tetap bisa berkelana di Kangouw, aku tetap Ling Kun-gi, tapi kau adalah la in "

"Dalam hal apa aku berbeda?"

"Kau kan Hupaagcu Pek- hoa-pang, kalian mengerahkan seluruh kekuatan meluruk ketempat jauh ini, hanya boleh menang pantang kalah dan gagal, sekali menang akan ta mbah se mangat juang yang lebih berkobar dan menyapu segala aral rintangan, tapi bila gagal kalian akan berbalik tertumpas habis seluruhnya, nama Pek-hoa- pang selanjutnya akan lenyap dari percaturan Kangouw, oleh karena itu menghadapi setiap persoalan tidak boleh kita me mbawa adatnya sendiri."

"Kau sedang me ngajar dan me mper ingatkan aku?"

"Mengajar atau memperingatkan aku tidak berani, aku hanya me mber i ingat saja."

"Tidak perlu kau me mbujukku, me mang demikianlah aku ini, watak pembawaan sejak dilahirkan, segala tindak-tanduk selalu menurut i keinginan hati "

"Obat mujarab biasanya me mang pahit getir, bujuk kata umumnya me mang menusuk telinga, kalau Hupangcu t idak suka dengar nasihatku, ya sudahlah," Kun-gi putar badan hendak tinggal pergi.

Melihat orang mau pergi, semakin marah So-yok, bentaknya: "Berdirilah dite mpat mu."

"Apa pula yang ingin kau katakan?" "Terangkan sejelasnya, ya sudahlah apa maksudmu?" kiranya si nona salah paha m.

"Sudahlah, anggap saja aku tidak pernah bicara apa2"

Me mbesi kaku muka So-yok, serunya menuding Kun-gi dengan menggereget: "Ling Kun-gi, jangan kau kira secara langsung Thay- siang sudah me mberi muka padamu, maka kau lantas ingin berbuat tidak semena2, mendapat yang baru lupa yang lama, ketahuilah, kalau kau berani . . . . me mbuang akhir untuk per mulaan yang kalut, aku tidak akan me mbiarkan dirimu," lenyap suaranya mendadak dia putar tubuh terus berlari ke tingkat ketiga.

"Me mbuang yang akhir untuk per mulaan yang kalut" kata2 ini umpa ma geledek mengge legar di pinggir telinga Ling Kun-gi, apa lagi kata2 ini terucap oleh seorang perempuan maca m So-yok yang Hupangcu ini, dia terlongong sekian lamanya. Betapa berat dan serius kata "mendapat yang baru lupa yang lama" dari mulut seorang perempuan? Mendapat yang baru lupa yang la ma, me mangnya siapa yang baru dan siapa pula yang lama itu? Kapan dirinya pernah mendapatkan yang baru? Kapan pula yang lama? . . .

.

Lama sekah Kun-gi menjuble k di atas dek, mulutnya berulang mengguma m kata2 yang tak berujung pangkal itu, hatinya dirundung rasa kesal dan masgul yang tak terla mpias. Sungguh dia tidak habis mengerti darimana juntrungan kedua patah kata dan persoalan apa yang dimaksud?

Kun-gi adalah perjaka yang punya perasaan tajam dan otak yang encer pula, selama beberapa hari ini, bagaimana sikap dan tindak- tanduk So-yok terhadapnya, memangnya dia tidak tahu? Tapi dia yakin sebagai mur id didik Hoanjiu-ji-lay yang kesohor itu dirinya selalu bertindak jujur dan sopan, tak pernah melakukan perbuatan kotor apalagi me langgar susila.

Waktu Thay-siang me manggilnya dan So-yok mengantar, di la mping gunung yang mele kuk gelap itu, karena tak kuat menahan gejolak perasaan lantaran dirayu pernah dia me meluk ia satu kali, kan ia sendiri juga rela dan ma ndah dipeluk dan dicium, kalau bukan dia sendiri yang rela menyerahkan dirinya, memangnya dirinya berani berbuat kurangajar? Bagaimana kejadian itu dapat dikatakan sebagai permulaan yang kalut?

Dia tahu perempuan yang satu ini me mang angkuh dan tinggi hati, tidak dapat disangkal bahwa sikap orang me mang teramat baik pada dirinya, dan di sinilah mungkin letaknya kenapa dia sampa i berkata demikian pedas dan ketus. Beginipun baik, paling tidak selanjutnya nona itu tidak akan merecoki dirinya lagi.

Semala m suntuk Kun-gi tidak me meja mkan mata, angin sungai terasa silir nyaman, tanpa terasa ia merasa letih, setelah menguap dia ke mbali ke kabin. Setiba di kamar baru saja dia duduk di kursi dekat jendela, didengarnya seseorang mengetuk pintu pelahan, lalu daun pintu didorong orang, bayangan seorang berkelebat masuk. Itulah Kongsun Siang, mimik mukanya ta mpak aneh, seperti dirundung persoalan rumit saja, mulutnya berseru lirih: "Cong-coh"

Heran Kun-gi, tanyanya: "Ada urusan apa Kongsun-heng?'

"Ti . . . .tidak apa2," gagap jawaban Kongsun Siang, "kulihat Ling-heng baru ke mba li, maka sengaja kutengok ke mari." Jelas jawabannya sangat meng-ada2.

"Silakan duduk Kongsun-heng."

Kongsun siang duduk tanpa banyak kata, kedua tangan tergenggam dan jari2 nya mengerat kencang di depan dada, matanya mendelong mengawasi Kun-gi, bibirnya bergerak beberapa kali, seperti hendak mengutarakan apa2. Tapi begitu melihat sorot mata Kun-gi yang tajam, seketika dia menunduk, wajahnya mena mpilkan rasa penyesalan yang tak terhingga, ingin bicara tapi tak berani mengutarakan isi hatinya.

Kun-gi anggap t idak tahu, dia angkat poci teh dan menuang dua cangkir, katanya: "Minumlah Kongsun-heng."

Ter-sipu2 Kongsun siang menerima cangkir teh yang disodorkan padanya, sahutnya: "Terima kasih Ling-heng." Dia m2 Kun-gi merasa heran melihat sikap ganjil orang. "Kong sun-heng" katanya sambil angkat cangkir tehnya, "sema lam suntuk kaupun tidak tidur, kenapa tidak istirahat saja?"

Mendadak Kongsun Siang berdiri, katanya: "Silakan Ling-heng istirahat, aku tidak menggangu lagi."

Kun-gi tertawa tawar, ujarnya: "Silakan duduk Kongsun-heng, bukan maksudku mau mengusir mu, terus terang aku tidak merasa kantuk, maksudku kau sendiri yang perlu istirahat?'..

"Seperti juga Ling-heng, akupun tidak merasa kantuk," sahut Kongsun Siang.

"Kalau begitu silakan duduk lagi."

Kongsun Siang duduk pula, sekilas dia pandang Kun-gi lalu berkata: "Ada sepatah kata yang ingin kukatakan, tapi aku jadi ragu2 apakah pantas kuucapkan?'

"Sesama saudara, ada o mongan apa, boleh katakan saja." "Baiklah kubicara terus terang, kurasa Ling-heng dengan

Hupangcu adalah pasangan yang setimpal "

Mendadak Kun gi tertawa, katanya: "Apa arti kata2 Kongsun- heng?"

Kongsu Siang me lenggong, katanya: "Apakah ucapanku salah? Kulihat sikapnya terhadap Ling-heng begitu mesra dan manja, jelas dia penujui kau "

Kun-gi mengge leng, katanya: "Kongsun heng salah paham, watak Hupangcu dingin di luar panas di dalam, dia pandang aku sebagai saudara, akupun memandangnya sebagai adik hakikatnya tiada persoalan jodoh di antara kami."

Berkelebat sinar terang pada sorot mata Kongsun Siang, tanyanya: "Ha, betul de mikian?"

"Terus terang Kongsun heng, aku sudah punya " teringat

akan Tong Bunkhing dan Pui Ji-ping yang terjatuh di tangan orang2 Hek-liong-hwe, terbayang pula akan Un Hoankun yang kini menya mar jadi Bikui di Pek-hoa-pang ini, sesaat dia jadi sukar bicara lebih lanjut.

Terpancar rasa senang pada wajah Kongsun Siang, katanya tertawa: "O, kiranya Ling-heng sudah punya pacar."

Terpaksa Kun-gi manggut2, ujarnya: "Ya, boleh dikatakan demikian "

Tiba2 serius sikap Kongsun Siang, katanya sambil menekan suara: "Tapi dia begitu kas maran terhadap Ling-heng, sifatnya yang ketus dan kaku juga sudah kau ketahui, kukira urusan ini bisa jadi runyam."

"Hubungan laki pere mpuan harus cinta sama cinta, soal asmara sedikitpun tidak boleh dipaksakan, aku hanya anggap dia sebagai adik, tak pernah terpikir dalam benakku untuk me mpersunting dia sebagai seorang yang cerdik, lewat beberapa waktu lagi pasti dia, akan mengerti juga," sejenak dia berhenti lalu berkata menatap Kongsun Siang: "Dan lagi aku tidak akan tinggal terlalu la ma di sini."

Kongsun Siang mengangguk, ujarnya: "Aku tahu dua saudara Ling-heng menjadi tawanan Hek-liong-hwe, mungkin Ling-heng harus selekasnya menolong teman dan harus meninggalkan kita semua."

"Sekali bertemu Kongsun-heng kita lantas seperti sahabat lama, me mang de mikianlah maksudku, hanya kau saja yang dapat menyela mi perasaanku."

"Bila Ling-heng me mer lukan tenagaku, kapan saja dan di mana saja pasti aku rela dan senang hati me mbantumu biarpun sa mpa i titik darah terakhir."

Mendengar orang menyinggung titik darah terakhir (gugur), sekilas Kun-gi me lengak, katanya mengerut kening: "Soal menolong orang, me mang aku sedang merasa kebingungan, bahwa Kongsun- heng suka me mbantu, kuaturkan terima kasih." "Kalau Ling-heng merasa kekurangan tenaga, hubunganku dengan Thio La m-jiang a mat int im, kalau t iba waktunya cukup kuminta tenaganya pasti dia suka me mbantu juga."

Kun-gi me nghela napas pelan2, ujarnya: "Ai, dara cilik yang tertangkap itu sebetulnya adalah pelayan pribadi Cui-tongcu dari Ceng-liong-tong, keterangannya amat berguna bagi kita, tapi Hu- pangcu tadi telah me mbunuhnya, sumber penyelidikan yang kuharapkan menjadi gagal, bukankah a mat sayang?"

Kongsun Siang bertanya: "Dari ucapan Ling-heng ini seolah2 Thay-siang telah setuju penga mpunan jiwa mereka?" .

"Ya, aku telah mohon pengampunan mereka kepada Thay-siang." "Lalu kenapa dia me mbunuhnya?"

"Siapa tahu apa sebabnya, tidak hujan tiada angin tiba2 dia

marah2 padaku?"

"Waktu Ling-heng keluar tadi, apa yang dia katakan?"

''Dia sudah biasa me mbawa adat dan terlalu binal, me mangnya dia mau me ngaku salah?"

"Marah2 dan main bunuh tentu ada alasannya," ujar Kongsun Siang. "Apakah dia tidak menjelas kan kepada Ling-heng?"

"Tidak," sahut Ling Kun gi, "bicara baru beberapa patah kata lalu dia lari ke ka marnya."

Sudah tentu Kun-gi merasa rikuh dan malu mencer itakan tentang tuduhan So-yok mengena i dirinya, apalagi dia sendiri bingung apa maks ud kata2 "mendapat yang baru lupa yang lama, membuang yang akhir untuk per mulaan yang kalut".

"Kurasa kalau Ling-heng ada maksud mau pergi, tidak perlu kau me layaninya secara serius, segala urusan harus sabar dan berpikir panjang." "Me mang, sebetulnya wataknya yang sejati tidak jahat, cuma terlalu binal dan suka ma in bunuh, tangannya yang gapah itu me mbikin aku kurang cocok."

Sampa i di sini tiba2 Kongsun Siang berdiri, katanya: "Ling-heng harus istirahat, aku mohon diri saja." Terus dia melangkah keluar.

Setelah Kongsun Siang pergi sudah tentu Kun-gi tidak bisa tidur. Seorang diri dia pegangi cangkir tehnya sambil me la mun. Sekonyong2 dia seperti ingat sesuatu, mendadak dia berdiri dari tempat duduknya, seketika pucat wajahnya dan badanpun gemetar, keringat dingin ge merobyos, mulutnya berguma m: "Mungkinkah dia

. . . . "

-o-00d0w00-o-

Malam itu kapal besar itu berlabuh di Ko-toh-than yang terletak di Kwanciu, Go-san. Malam sudah larut, kabut tebal. Kira2 setengah li dari te mpat kapal besar itu berlabuh terdapat sebuah bukit kecil yang tandus, hanya ada puluhan batang pohon saja yang tumbuh di bukit itu, Angin ma lam menghe mbus men-desir2 seolah2 suara berkeluh-kesah.

Pada saat itu, tampak dua sosok bayangan orang sedang ber- lari2 ke arah bukit saling kejar. Orang yang di depan mengenakan baju hijau, seorang laki2, yang di belakang berperawakan ramping sema mpai, itulah seorang gadis re maja.

Malam berkabut cukup gelap sehingga sukar terlihat jelas wajah2 mereka, tapi dari perawakan mereka jalas bahwa mereka adalah muda- mudi yang mungkin sedang mengadakan pertemuan cinta rahasia di sini. Memang te mpat yang sunyi dengan hawa yang sejuk dan pemandangan mala m nan menyegarkan ini cocok benar untuk me madu cinta.

Halaman 63/64 dan Halaman 4 s/d 6

Hilang ....... lagi di antara mereka sudah tidak kuperhatikan."

Si pe muda banting kaki, katanya geram: "Bajingan laknat, selagi aku tidak di ka mar dia menyamar diriku mela kukan perbuatan kotor dan mesum itu."

Si gadis me lir iknya sekali, tanyanya heran: "Kenapa iapun me manggilmu Toako?" pertanyaan yang bernada cemburu.

"Hoanmoay, jangan kau salah paham, pertama kali waktu aku harus menghadap Thay-siang, di tengah ja lan dia me maksa aku menjadi Toakonya.”

"Tak heran, selama ini begitu besar perhatiannya terhadapmu."

Si pe muda menghela napas, ujarnya: "Ai, mala m itu juga kau menje laskan persoalannya padaku kemungkinan aku masih se mpat menangkap keparat itu." '

"Me mangnya kenapa kalau kau menangkapnya? Merekakan suka sama suka, apa sangkut pautnya dengan kau?"

"Aduh, kenapa kau mas ih belum mengerti. Kalau ma lam itu kutangkap keparat itu, paling tidak urusan akan me njadi je las tiada sangkut pautnya dengan aku dan bukan aku yang dijadikan kambing hita m:"

Ber-kedip2 bola mata si gadis, tanyanya: "Malam itu kuseret Giok- lan ke te mpat itu, kalau sa mpai terjadi sesuatu, dia kan bisa jadi saksi."

Berkerut alis si pemuda, katanya: "Urusan ini me mang serba susah, bagaimana aku harus me mberi penjelasan kepadanya?".

Bergetar tubuh si gadis, tanyanya sambil me mandangnya lekat2: "Kenapa? Me mangnya dia cari perkara pada mu?"

Si pe muda manggut2, katanya serba runyam: "Tadi pagi, dia me ma kiku, katanya aku mendapat yang baru lupa yang la ma segala." "Mendapat yang baru lupa yang lama," tanya si gadis, "Lalu bagaimana jawabmu?"

Sipe muda menyengir kecut,  katanya: "Sehabis mengataku,  dia lantas lari pergi."

Si gadis berpikir sebentar, katanya: "Kukira sudah saatnya kau harus meningga lkan te mpat ini."

"Tidak, sekarang aku masih belum boleh pergi." "Kenapa?"

"Pertama, perkara ini belum kuselidiki, sela ma belum terang

persoalan ini aku tetap akan menjadi ka mbing hita m, kalau kutinggal pergi begini saja, bukankah aku betul2 me mbuang yang akhir dari per mulaan yang kalut? Selain itu kedua temanku berada di tangan orang2 Hek- liong-hwe, aku harus me nolong mereka."

Berpikir sejenak si gadis mengangguk, katanya: "Alasanmu juga betul, lalu bagaimana selanjutnya?"

"Aku harus me mbekuk keparat yang me malsu diriku itu "

sampai di sini, mendadak ia genggam lengan si gadis, katanya lirih: "Ada orang datang, lekas kita se mbunyi."

Pohon ce mara di atas bukit me mang tinggi besar, tapi dahannya runcing dan daunnya jarang2, tidak cocok untuk menye mbunyikan diri.

Si pe muda celingukan, cepat ia tarik si gadis terus me lo mpat jauh ke semak2 sana dan merunduk maju, baru saja mereka sembunyi di belakang pohon ce mara besar, Ta mpak sesosok bayangan orang me lesat tiba, langkahnya begitu enteng dan cepat meski harus berlari menanjak naik ke atas bukit, begitu tiba dia berdiri tegak menghadap ke utara sambil menggendang kedua tangan. Bukit ini kecil tapi luasnya ada belasan to mbak.

Tempat orang itu berdiri sedikitnya berjarak empat-lima to mbak dari tempat se mbunyi kedua muda- mudi,  di tengah ma lam yang gelap oleh kabut ini, yang kelihatan hanya bayangan hitam belaka. sukar melihat bentuk dan ro man mukanya.

Kedua muda mudi itu mendeka m di-se mak2 di belakang pohon, mereka mengawasi bayangan orang itu tanpa berani bergerak.

Bayangan itu tetap berdiri menghadap ke utara, juga tiga bergerak sedikitpun. Begitulah keadaan demikian bertahan cukup la manya, tak kuat menahan rasa heran, si gadis berbisik di pinggir telinga si pe muda: "Untuk apa dia ke mari?"

Si pe muda menjawab dengan suara lir ih: "Kelihatannya dia sedang menunggu sesuatu."

Arah utara sebelah bukit kecil ini adalah hutan pohon cemara, pohonnya pendek2 dan tidak begitu lebat, tapi di ma lam nan gelap ini kelihatannya begitu lebat dan pekat. .

Tak la ma kemudian dari arah hutan ce mara itu berkumandang sebuah suara rendah berat: "Kau sudah datang?"

Orang yang berdiri tegak di atas bukit segera me mbungkuk hormat, sahutnya: "Cayhe sudah tiba."

Orang di dalam hutan ce mara ternyata tidak unjuk diri, suaranya tetap berkumandang: "Baik sekali!" sesaat kemudian dia bertanya: "Bagaimana di atas kapal?"

Orang di bukit menjawab: "Me mang Cayhe  hendak menya mpaikan laporan kepada Cujin (majikan), sejak datang seorang she Ling dalam Pang itu, dia diangkat menjadi Cong-su cia, usianya masih muda, tapi berilmu silat tinggi, kabarnya adalah mur id kesayangan Hoanjiu-ji-lay "

Orang di dalam hutan bersuara kaget dan heran.

Orang di atas bukit melanjutkan:   "Akhir2 ini dia   berhasil me mbongkar ko mplotan mata2 Hek-liong-pang yang diaelundupkan ke sana, ma ka dia mendapat kepercayaan Thay-siang '"

"O," orang di dalam hutan bersuara pula. "Kalau bocah she Ling ini tidak disingkirkan, mungkin akan merugikan juga bagi Cujin," ucap orang di atas bukit.

Mendadak orang di dalam hutan tertawa, katanya: "Majikan ma lah suruh aku me mberitahu padamu, sedapat mungkin kau harus ber-muka2 kepada bocah she Ling itu, dan ikatlah hubungan intim dan kerja sa ma baik dengan dia."

Orang diatas bukit mengia kan, sahutnya: ''Cayhe mengerti" "Majikan ada sepucuk surat," kata orang di dalam hutan cemara,

'Kau harus menyerahkan kepada Thay-siang, cuma jangan sa mpa i

jejakmu di ketahui."

"Cayhe akan laksanakan perintah dengan hati2."

"Nah terimalah surat ini!" "Ser" selarik sinar putih tiba2 menya mbar keluar dari hutan me layang ke atas bukit.

Orang di atas bukit cepat menangkapnya, langsung dimasukkan ke dalam saku.

Terdengar orang dalam hutan ce mara berkata pula: "Bagus, sekarang boleh kau ke mbali! "

Orang di atas bukit mengiakan,   sekali menutul kaki terus me luncur turun ke bawah bukit, sekejap saja bayangannya lenyap ditelan kegelapan. Keadaan hutan ce mara juga seketika menjadi sunyi, agaknya orang di dalam hutan itu juga telah pergi.

Selang agak la ma lagi baru kedua muda- mudi yang se mbunyi di semak belukar itu berani angkat kepala. Kata si gadis dengan pelahan: "Entah orang di dalam hutan itu sudah pergi belum?"

Pemuda itu mendahului berdiri, sahutnya: "Sudah pergi jauh."

Kaget dan heran si gadis, tanyanya: "Agaknya mereka bukan orang Hek- liong-hwe?"

"Sudah tentu bukan."

"Me mangnya siapa mereka?" "Sekarang belum jelas, sungguh tak nyana di dalam Pek- hoa- pang kecuali ada mata2 Hek-liong-hwe, masih ada juga komplotan agen rahasia lain."

'Tadi sudah kau lihat jelas siapa dia?" "Kukira dia mengenakan kedok." "Lalu suaranya? Kau tidak kenal?"

"Tentunya mereka juga sudah waapada kalau konangan orang, maka suara pembicaraan mereka tadipun menggunakan suara palsu, biarlah hal ini pelan2 kita selidiki."

"Bukankah kau dengar majikan mereka menginginkan dia kerja sama dengan kau?"

"Betapapun kita harus menyelidiki asal-usul dan seluk-be luk mereka, supaya kita tidak di peralat di luar sadar kita," berhenti sebentar, lalu ia mena mbahkan: "Hoanmoay, hayolah pulang!"

Dua bayangan orang segera meninggalkan bukit kecil itu dan me luncur ke bawah.

-oo0dw0oo-

Kapal besar berloteng susun tiga itu terus berlayar mengikuti arus sejak dari Kwa-ciu menuju ke muara sungai Tiangkang. Sekarang mereka sudah berlayar di lautan teduh.

Tiga layar besar berke mbang. Langit nan biru dihiasi gumpalan mega putih, gelo mbang laut menda mpar udara cerah.

Kalau kapal berloteng ini dapat laju dengan tenang di sungai Tiangkang, tapi tidak demikian di lautan teduh. Gelombang di lautan lepas ini jauh lebih besar dan kuat, kalau di Tiangkang kapal ini terhitung ukuran besar, tapi di lautan teduh seperti daun kering kecil tero mbang ambing diper mainkan gelombang yang naik turun, maka terasa sekali guncangan yang a mat kuat. Kehidupan orang2 di atas kapal sudah tentu tidak setenang dan senyaman waktu mas ih berlayar di sungai. Terutama para dara ke mbang yang tidak biasa hidup di atas air, mereka sa ma pening kepala dan muntah2, kaki enteng langkah limbung.

Setelah berada di lautan teduh ini, kapal bersusun ini putar haluan menuju ke utara, Siang mala m tak berhenti dan berlayar terus   tanpa   berlabuh   lagi.   Sejak   Cong-su-cia   Ling   Kun-gi me mbongkar mata2 Hek-liong-hwe, sepanjang jalan ini tak pernah lagi terjadi apa2. Lantaran tak terjadi apa2 ini maka terasa sekali kehidupan di tengah lautan ini menjadi ha mbar. Dan karena kehidupan yang hambar ini, ma ka dua persoalan yang selama ini masih mengganje l dalam benak Ling Kun-gi sukar diselidiki.

Kedua persoalan yang mengganjel hati Kun-gi ini adalah perta ma dia harus mencari tahu siapa laki2 yang menya mar dirinya me lakukan perbuatan mesum di ka marnya itu? Orang lain yang makan nangkanya, dia sendiri yang kena getahnya, maka dia harus menyelidikinya sa mpai persoalan ini menjadi jelas.

Kedua, siapakah orang yang mengadakan kontak dengan temannya di atas bukit itu?

Dia harus mengetahui rencana aksi mereka supaya dirinya tidak sampai diperalat diluar tahunya pula, sebagai Cong-su-cia Pek-hoa- pang, adalah tanggung jawab dan kewajibannya untuk menyelidiki hal ini. Tapi kalau lawan tidak mengadakan aksi tentu takkan timbul reaksi, padahal menyelidiki sesuatu me merlukan adanya aksi, kalau kehidupan di atas kapal ini terus tawar dan hambar begini, kecuali sehari makan tiga kali, semua orang menganggur dan cuma ngobrol di ka mar makan atau berma in catur belaka.

Begitulah hari ke hari telah lewat, kedua persoalan ini tetap belum ada penyelesaian.

Beberapa hari ke mudian kapal sudah keluar dari teluk Lo-s in, sepanjang pelayaran ini beberapa kali, mereka melihat banyak kepulauan besar dan kecil. Pada hari itu, pagi2 betul sa mpa i tengah hari seorang diri Thay- siang naik ke atap tingkat ketiga memandang jauh ke depan sana. Semua orang menduga mereka sudah hampir tiba ke tempat tujuan, tapi tiada seorangpun yang tahu di mana mereka bakal mendarat.

Menjelang senja, di bawah pancaran sinar surya yang kuning cemerlang, di kejauhan sana daratan sudah kelihatan sa mar2.

Thay-siang suruh Teh-hoa menya mpaikan perintahnya kepada Ko-lotoa, mumpung mala m ini gelombang pasang, sebelum tengah ma lam kapal harus sudah me masuki teluk kepulauan Ngo-hui-to. Berita ini segera tersiar ke seluruh kapal.

Tahu bahwa mala m ini kapal bakal menepi dan mereka akan mendarat, suasana menjadi hiruk pikuk, berkobar se mangat mereka.

Hari sudah petang, Kehidupan di atas kapal sesudah makan ma lam dan istirahat satu jam semua orang harus tidur ke ka marnya masing2. Tapi la in dengan mala m ini. Lampu terang benderang di kamar makan tingkat kedua, cuma pada setiap lubang dari jendela berkaca telah dipasang kain hitam yang tebal sehingga cahaya la mpu tidak menyorot keluar.

Meja besar yang berjajar segi tiga di ka mar ma kan kini tinggal satu saja, maka ruang makan ini terasa lebih luas. Orang2 sudah berdiri berjajar di kanan-kiri, sebelah kiri dipimpin oleh Cong-su-cia Ling Kun-gi, di belakangnya terbagi dua baris, Coh-houhoat Leng Tio-cong dan Sa m-gansin Coa Liang, di belakang mere ka lagi adalah ke tujuh Hou-huat, Kongsun Siang, Song Tek-seng, Thi La m-jiang, Toh Kanling, Lo Kunhun, Yap Kay-sian dan Liang Ih jun, ( Cin Tekiong sudah gugur ). Delapan Hou-hoat-su-cia adalah Ting Kiau, Ban Yu-wi, (e mpat diantara dua belas Hou-hoat-su-cia sudah terbunuh oleh orang2 Hek liong-hwe ).

Barisan sebelah kanan dipimpin oleh Congkoan Giok-lan, disusul enam Tay-cia, yakni Bikui Ci-hwi, Hu-yong, Hong-siang, Giok-je dan Loh-bi-jin (Hay-siang sudah mati), merekapun berdiri menjadi dua baris, Disusul oleh barisan para dara ke mbang yang berjumlah sembilan belas, Cu-cu sudah meningga l. Mereka berdiri tegak khidmad, suasana hening dan sunyi..

Tak la ma ke mudian ta mpak kerai tersingkap, yang mendahului me langkah masuk adalah Thay-siang, dia tetap menggunakan pakaian serba hita m, cadar hitam, sebutir mutiara sebesar buah anggur bertengger di atas gelung rambutnya. Perempuan tua ini me mang serba misterius. Di belakang Thay-siang adalah Pek-hoa- pangcu Bok-tan, Hupangpcu So-yok. Lalu dua pelayan Teh-hoa Liu- hoa,   satu membawa Ji-gi (   mistar batu jade ) seorang lagi me megang kebutan bergagang batu jade pula.

Thay-siang langsung menuju ke meja di tengah ruangan, Pangcu dan Hupangcu berdiri di kirikanan kedua pelayan berdiri paling belakang. Orang2 di barisan kanan-kiri serentak bersorak menyanjung puji dengan suara lantang.

Agaknya Thay-siang merasa puas, dia manggut2 kepada hadirin.

Me mang suasana seperti inilah yang disukai Thay-siang, dia adalah jantan di antara kaum pere mpuan, suka meno njolkan diri sebagai orang yang berkuasa dan berwibawa. Begitu senyap suasana di ruang makan ini, sorot mata Thay-siang yang mencorong tajam menyapu para hadirin, katanya kemudian: "Losin sudah perintahkan Ko-lotoa untuk berlayar me masuki teluk kepulauan Ngo-hui-to mala m ini selagi air laut pasang. Kita akan mendarat di suatu tempat yang dinamakan Cu-thau .. . ..." sampai di sini dia bicara, hadirin sudah menyambut dengan ta mpik sorak yang riang gembira.

Setelah suara keplok tangan sirap baru Thay-siang melanjut kan: "Cu-thau tempat kita mendarat itu kira2 puluhan li dari Kunlunsan, kira2 seratus li lebih dari Ui- lionggia m, markas besar Hek-liong-hwe, oleh karena itu setelah kita mendarat harus segera mendapatkan tempat berteduh untuk istirahat di samping me mbagi tugas." merandek sebentar lalu ia me lanjutkan: "Dari Cu-thau menuju barat, kira2 lima li jauhnya kita akan menuju ke sebuah gunung yang bernama Ciok santhu, di atas gunung ada sebuah Ciok-sinbio, di biara inilah kita akan istirahat." Sampai di sini dia angkat kepala serta berteriak; "'Ling Kun-gi!"

Lekas Kun-gi menyahut: "Ha mba ada di sini."

Kata Thay-siang "Kau pimpin Coh-yu-hou-hoat dan seluruh Houhoat-su-cia, setelah kapal mendarat bersama Congkoan Giok- lan kalian naik ke darat lebih dulu dan berkumpul di Ciok-sinbio itu. Di sebelah timur Ciok-santhau adalah sungai, sebelah barat adalah hutan, boleh kau berunding dengan Coh-yu-houhoat cara bagaimana harus menyesuaikan diri dengan keadaan di sana dan aturlah segala yang kita perlukan."

Kun gi mengiakan dan terima perintah.

Thay-siang berkata pula: "Giok-lan pimpin Bikui, Ci-hwi, Hu-yong, Hong sian, Giok-je ber-lima seperjalanan dengan Ling Kun-gi berangkat dulu ke Ciok-sinbio dan atur lebih dulu segala keperluan kita." Giok-lan dan para Tay-cia  yang disebut  na manya me mbungkuk hor mat sa mbil mengiakan.

"Loh-bi-jin bersama para dara ke mbang akan me ngiringi perjalanan Losin," de mikian pesan Thay-siang. Setelah me mbagi tugas berkata Thay-siang lebih lanjut: "Sekarang waktu masih cukup, kalian boleh bubar dan me mbenahi semua yang diperlukan, setelah tengah mala m nanti bekerjalah menurut pesanku tadi, awas jangan gagal."

Hadirin mengia kan, Thay-slang terus meninggalkan te mpat itu di bawah bimbingan Bok-tan dan So-yok. Setelah Thay-siang pergi, Giok- lan bersa ma para Tay-cia dan dara2 ke mbang itu juga mengundurkan diri ke tingkat ketiga. Maka terjadilah sedikit kesibukan di atas kapal, semua orang sibuk me m-benahi barang miliknya mas ing2.

Manusia adalah makhluk yang biasa hidup di daratan. Setelah puluhan hari hidup di atas kapal, siapapun sudah merasa gerah, kesal dan tak betah, semua orang ingin lekas2 naik ke darat. Setelah larut mala m dan re mbulan sudah mulai doyong ke barat, tiba saatnya air laut naik pasang. Ko-lotoa adalah seorang kelasi yang ahli, dia tahu cara bagaimana me manfaatkan tenaga angin dan kekuatan air. Tiga layar berke mbang, mumpung air laut pasang, kapal laju pesat mengikuti arah angin.

Sebelum kentongan ketiga, di bawah dorongan gelo mbang pasang serta hembusan angin kencang kapal sudah mulai me masuki teluk. Maka, terdengarlah dua kali suara tiupan kulit kerang, ketiga layar yang berkembang itu segera diturunkan.

Dalam teluk sekitar kepulauan Ngo hui-to ini banyak sekali pulau2 kecil, kini pulau2 kecil ini tenggelam di bawah air pasang, hanya batu2 karang saja yang kelihatan menonjol diper mukaan air. Agaknya Ko-lotoa sudah apal akan keadaan sekitar sini, maka kapal laju seperti ke mbali ke rumahnya sendiri.

Setelah layar diturunkan laju kapal menjadi la mbat, kalau air pasang sudah dengan sendirinya kapal mengapung ke atas, Ko- lotoa sendiri yang pegang ke mudi, kapal belok ke kanan dan ke kiri me lalui batu2 karang laksana seekor ikan raksasa yang berenang di dalam air.

Kira2 se masakan nasi ke mudian kapal mulai me masuki teluk rendah, terdengar suara keresekan di dasar kapal, kiranya perairan di sini sudah dangkal dan kapalpun berhenti. Tanpa diperintah para kelasi segera sibuk bekerja menurunkan jangkar maka kapalpun tak bergoyang lagi.

Bahwa kapal sudah berhenti di sini, itu berarti mereka sudah tiba di tempat tujuan. Tapi orang2 yang berdiri di atas kapal menjadi keheranan, selepas mata memandang hanya kegelapan melulu, kiranya kapal besar ini masih dikelilingi air, jaraknya dengan daratan paling tidak masih setengah li jauhnya.

Dengan cekatan para kelasi segera menurunkan 6 sa mpan, sementara Ko-lotoa mengha mpiri Ling Kun-gi, katanya sambil menjura: "Cong-su-sia, Cong-koan, sekarang boleh silakan turun ke sampan" Kun-gi me mperhitungkan sa mpan itu paling2 hanya muat tiga orang, jadi sekali jalan hanya bisa me mbawa 18 orang, rombo ngan sendiri bersama ro mbongan Giok-lan terang tidak bisa sekaligus mendarat bersama. Maka dia lantas berkata: "Terpaksa kita harus me mbagi dua rombo ngan, oleh karena itu harap Congkoan bersama para Tay-cia, Leng-heng dan para Houhoat dan aku sendiri akan turun lebih dulu sebagai rombongan pertama. Coa-heng bersama delapan Hou-hoat-su-cia berangkat pada rombongan kedua. Sekarang ro mbongan perta ma boleh turun ke sa mpan."

Sambil angkat tangan ke arah Giok- lan dia mena mbahkan: "Silakan." Lalu dia mendahului lo mpat turun ke salah sebuah sampan.

Leng Tio cong, tujuh Houhoat dan Giok- lan serta Bikui dan lain2 juga me lo mpat turun. Cepat sekali keenam sa mpan ini sudah me luncur ke arah daratan. Setelah kedua rombongan ini mendarat semua, sementara itu mereka sudah menghabiskan waktu setengah jam.

Setelah semua orang lengkap berkumpul, Kun-gi menjadi kebingungan, baru saja dia hendak ajak Giok-lan berunding, tampa k bayangan orang berkelebat, tahu2 Ko-lotoa yang kini mengena kan topi beludru, sambil menenteng pipa cangklong me ndatang terus menjura, katanya tertawa: "Atas perintah Thay-siang, hamba disuruh menyusul untuk menunjukkan jalan. "

Kun-gi melenggong, katanya   mengangguk:   "Bagus   sekali, me mang aku hendak berunding cara bagaimana menuju ke Ciok- santhan. Syukurlah Thay-siang mengutus Ko- lotoa ke mari, silakan."

Ko-lotoa tertawa, katanya: "Cong-su-cia terlalu sungkan, aku orang tua memang kelahiran Mo-ping, di ka mpungnya sendiri sudah tentu apal keadaan sini." Lalu dia menjura serta mena mbahkan: "Ma-rilah kutunjukkan jalannya."

Kun-gi dan Giok-lan berama i lantas mengikuti langkahnya. Sembari jalan Kun-gi berpaling dan berkata dengan mengguna kan ilmu gelo mbang suara kepada Giok-lan: "Congkoan, kau tahu asal usul Ko-lotoa?"

Giok- lan menjawab dengan gelombang suara pula: "Aku hanya tahu dia pandai berenang, dia-lah yang me mimpin ar mada laut Pek- hoa pang kita di sekitar perairan Phoa-yang-ouw, tentang asal usulnya aku tidak tahu. Sejak aku tahu urusan, agaknya dia sudah menjadi anak buah Thay-siang dan menjadi pe mimpin para kelasi itu."

"Jadi sudah la ma sekali dia ikut Thay-siang?"

Giok- lan manggut, tanyanya: "Adakah Cong-su-cia melihat gejala2 yang mencuriga kan atas dirinya?"

Kun-gi tertawa tawar, katanya: "'Tidak, aku hanya bertanya sambil lalu saja."

Selama percakapan ini, mereka berjalan terus dengan langkah cepat. Mendadak disadari oleh Kun-gi bahwa Ko- lotoa yang menunjuk jalan di depan berjalan dengan langkah enteng dan cekatan. Maklumlah ro mbongan di bawah pimpinan Ling Kun-gi ini semua me miliki kepandaian silat yang lumayan kalau tidak mau dikatakan kelas satu, Ko-lotoa hanya kelasi, dia berjalan paling depan lagi, padahal orang2 yang di belakangnya sudah berjalan sambil ber-lari2 kecil, dari ini dapatlah disimpulkan bahwa Ko-lotoa juga me miliki Ginkang yang tinggi, paling tidak sejajar dengan semua orang.

Kira2 semasakan air mereka sudah tiba di Ciok-santhau. Di tengah mala m di pegunungan yang tidak seberapa besar dan tinggi ini bertengger seperti raksasa mendeka m terletak Ciok-sanbio di samping gunung, jalan me nuju ke biara ini merupa kan undakan batu yang rata dan terawat bersih.

Di tengah perjalanan Kun-gi menga mati situasi sekelilingnya, lalu dia perintahkan Coh-houhoat Leng Tio-cong bersa ma Toh Kanling, Liang Ih-jun dan e mpat Houhoat-su-cia bertugas jaga di sebelah timur yang menghadap ke sungai. Coa Liang ber-sa ma Lo Kun hun, Yap Kay-sian bersama e mpat Houhoat-su-cia berjaga di hutan sebelah barat. Sementara dia pimpin Kongsun Siang, Song Tek- seng. Thio La m- jiang bersa ma Giok- lan langsung naik ke atas gunung.

Setiba di depan Ciok-sinbio baru Ko-lotoa menghentikan langkah, katanya menjura: "Biarlah aku mengetuk pintu." Lalu dia mendahului maju ke pintu serta mengetuk tiga kali.

Maka kuma ndanglah suara seorang perempuan bertanya: "Siapakah di luar?"

"Kita ke mari bukan untuk sembahyang," sahut Ko-lotoa. Jawaban yang tak sesuai dengan pertanyaan,

Dia m2 Kun-gi heran, tapi dia tidak bersuara.

Terdengar suara perempuan di dalam berkata pula: "Kalian tidak akan se mbahyang, lalu mau apa ke mar i?"

"Lam hay Koan sim datang mene mui Ciok-sin," sahut Ko- lotoa.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar