Pendekar Kidal Jilid 17

Jilid 17

Entah kenapa pula nona itu tidak mau menjelaskan persoalannya, seakan2 bila dirinya lekas ke mbali akan segera mendapat jawaban, tapi kenapa pula dirinya diharuskan menunggu dia menyusul datang setelah me mber i laporan kepada Congkoan-Me mangnya ada kejadian apa? Se mar in dipikir se makin mengganjel perasaan.

"Me mangnya ada orang hendak mence lakai diri- ku secara dia m2?" demikian batinnya. Inipun tidak mungkin, umpa ma betul seorang ada maksud mencela kai jiwanya, tak mungkin dia sembunyi di dalam ka marnya. Maka sekian lamanya dia berdiri diam di tempat gelap. tapi setelah ditunggu beberapa kejap tetap tidak terlihat ada tanda apa2. Untunglah dikala Kun-gi sudah ha mpir kehilangan kesabaran, didengarnya desir angin mala m yang lirih dari balik te mbok sana, waku Kun-gi meno leh, dilihatnya dua bayangan orang muncuf di atas tembok. Seorang mengenakan pakaian serba putih, pedang tergantung dipinggang, gayanya lembut laksana dewi kahyangan. Seorang lagi berpakaian kencang, tubuhnya sema mpa i menggiurkan- Mereka bukan la in adalah Congkoan Giok- lan dan Un Hoan-kun yang me nyaru Bi kui.

Lekas Kun-gi menyongsong ke sana, katanya menjura: "Mengganggu Congkoan saja."

Lekas Giok- lan balas hor mat, matanya yang bening mengawasi Kun-gi, katanya: "Bi kui Ling- kongcu menunggu, entah apa yang telah terjadi di sini? "

Apa yang terjadi, Kun-gi sendiri juga tidak tahu, sudah tentu dia tidak bisa menjawab, terpaksa dia berkata sekenanya: "Congkoan sudah tiba, marilah bicara di dalam saja."

Sekilas Giok- lan mengerling, katanya: "Kiu-moay barusan lapor padaku, katanya waktu dia lewat sini telah mendangar orang bicara dalam ka mar, semula dikira Ling- kongcu sendiri, ternyata waktu dia ronda sampai pekarangan tengah telah bertemu dengan Ling kongcu yang sedang mengejar musuh, maka dia sadar adanya gejala yang tidak sehat, cepat dia memberi laporpadaku, kini Ling- kongcu sudah ke mbali, entah adakah sesuatu yang mencurigakan di dalam ka mar ini? "

Kun-gi me mbatin: "o, ada orang sembunyi di dalam ka marku, hanya soal begini saja kenapa t idak dijelaskan padaku? "

Dengan tersenyum dia lantas berkata: "Sejak Cayhe datang tadi sudah kuperhatikan, tiada gerakan apa2 di sini, biarlah aku masuk me mer iksanya lebih dulu." Lalu dia hendak menerobos masuk lewat jendela. “Hati2 Ling- kongcu" seru Un Hoan-kun gugup,

"Betul," sambung Giok-lan, "me mang Ling-ko ngcu harus lebih hati2." Kun-gi tertawa tawar, ujarnya: "Ya, tidak jadi soal."-Sekali lo mpat dia menerobos masuk ke ka mar, matanya menje lajah seluruh penjuru kamar, tapi tetap tiada kelihatan bayangan prang? Kiranya sejak di luar dan waktu me lo mpat masuk tadi dia m2 dia sudah pasang kuping danpentang mata, asal ada orang sembunyi di dalam kamar pasti didengarnya. Kun-gi keluarkan geretan api, setelah menyulut la mpu dia terus angkat palang dan membuka pintu, katanya: "silakan kalian masuk"

Dia m2 Un Hoan-kun me mbatin: "Agaknya sudah terlambat, kedua orang itu sudah pergi."

Giok- lan melangkah masuk lebih dulu, mata-nya yang jeli tajam menje lajah ke segala penjuru, lalu berkata: "Kiu- moay bilang bahwa Ling- kongcu mengejar musuh yang me mbo kongmu, laporannya tidak jelas, me mangnya siapa yang bernyali besar berani bertingkah di te mpat kita ini? Harap Ling- kongcu sudi me njelaskan? "

Kecut tawa Kun-gi, katanya: "Cukup lama juga aku mengudak dia, sayang tak berhasil kususul, malah dua Centing kita dibunuh oleh nya, sungguh harus diaesalkan" Lalu dia ceritakan kejadian yang diala minya.

Berkilat mata Giok- lan, katanya setelah merenung sebentar: "orang ini bisa bergerak bebas menghindari pos2 penjagaan, jelas ialah orang kita sen-diri, mungkin karena siang tadi dia kau kalahkan dalam pertandingan, karena dendam maka mala m ini hendak menuntut balas secara menggelap."

"Cayhe juga pikir de mikian, pikirku hendak mengejarnya untuk me mber i penjelasan dan me mbujuknya . "

"Besar nyali orang ini, berani ma in gila di sini, tapi dia bisa lolos dari kuntitan Ling-kongcu, jelas   Ginkang   dan   kecerdikannya me mang lebih tinggi daripada orang lain," ujar Giok-lan- "Lalu senjata rahasia yang Ling-kongcu gulung tadi entah ditaruh di mana? "

Kun-gi menuding kepojok dinding, katanya: "Karena buru2 hendak mengejar musuh, maka kule mpar ke kaki te mbok itu." Sinar la mpu me mang tidak sa mpai menyoroti kaki tembo k sana, Giok- lan tidak perhatikan kalau di kaki te mbok ada jarum2 berserakan-Kini dengan cer mat dia me mperhatikan, seketika berubah rona mukanya. Dingin sorot matanya, katanya: "Mung- kinkah dia orang Hek-liong-hwe?"

"Sa m-ci," Un Hoan-kun menyeletuk. "darimana kau tahu dia orang Hek- liong-hwe? "

Dari kantong bajunya Giok- lan keluarkan sekeping besi se mbrani, lalu menyedot sebatang jarum. Jarum ini lebih kasar dari jarum jahit umumnya, seluruh batangnya berwarna hitam lega m, jelas dilumur i racun jahat, Lalu sambil mengacungkan besi se mbrani, dia bertanya kepada Kun-gi: "Apakah Ling-kongcu tahu asal-usul jarum baja ini? "

"Cayhe tidak tahu," sahut Ling Kun-gi. .

Giok- lan tertawa tawar, katanya: "Racun yang dilumur kan di jarum ini adalah getah beracun."

Sejak mula Kun-gi kira sipe mbokong adalah orang dalam Pek- hoa-pang, mendangar Giok lan bilang dia orang Hek-liong-hwe, tanpa terasa ia bersuara heran-Giok-lan berkata lebih lanjut, Jarum baja ini dilepaskan dari So m- lo-ling, na manya adalah Sha-cap-lo k- khong-wi- hong-cia m (Jarum kumbang kuning 36 lubang)."

"Pengetahun Congkoan me mang luas, melihat jarum lantas tahu nama dan asal-usulnya," demikian puji Kun-gi.

Manusia di kolong langit ini baik pria atau wanita, kalau dirinya dipuji, tentu tidak kepalang riang hatinya. Terutama Giok-lan yang sudah kasmaran terhadap perjaka di depannya ini, maka ia pandang Kun-gi seolah2 sudah setengah miliknya-. Dengan penuh arti matanya mengerling Kun-gi, katanya tersenyum malu2: "Thay-siang pernah menerangkan soal jarum ini, katanya jarum2 ini disimpan di dalam kotak gepeng terbuat dari baja, seluruhnya ada 360 batang yang tersimpan di dala mnya, maka dina makan So m-lo ling. yakni seumpa ma fir man raja akhirat (som-lo), sekali tekan bisa menya mbitkan 36 batang, maka dina makan pula jarum kumbang kuning 36 lubang."

"Senjata rahasia macam ini hanya dibikin oleh ahli yang luar biasa," demikian tutur Giok— lan lebih lanjut, "konon jarum ini adalah buah karya seorang pandai besi yang lihay, sampai sekarang jarang ada orang Kangouw yang ma mpu meniru me mbuatnya. belum pernah terjadi lawan yang diserang bisa selamat, kalau ma lam ini yang diserang orang lain, tentu jiwanya takkan selamat dari jarum2 berbisa ini."

"Mungkin nasib Cayhe lagi mujur," ujar Ling Kun-gi, "untung aku sudah bersiaga sebelumnya."

Mengawasi jarum ditangannya, Giok-lan me nepekur sejenak, katanya kemudian: "Jarum ini sudah dilumuri getah beracun, ini berarti mereka sudah ma mpu me mbuat Som- lo-ling ini," sampa i disini mendadak dia meno leh kepada Un Hoan- kun, katanya: "Kiu- moay, coba kau hitung jumlahnya, apakah 36 batang? " .

Un Hoan-kun segera menghitung, lalu berka-ta: "Betul, di sini ada 35 batang, ditambah satu menjadi 36 batang"

Bertaut alis Giok- lan, katanya: "Agaknya mereka me mang sudah berhasil me mproduks i So m-lo- ling, malah seluk beluk markas kitapun telah sede mikian apalnya, soal ini tidak boleh dipandang remeh."

"Bukan mustahil ada mata2 musuh yang berada diantara kita," ujar Bi- kui alias Un Hoan-kun.

Giok- lan manggut2, teringat laporan Bi- kui bahwa dua orang pernah berbicara di dalam ka mar ini, maka dia bertanya "Kiu- moay, dapatlah kau menjelaskan suara pe mbicaraan di ka mar ini pria atau wanita? "

Seketika panas muka Un Hoan-kun, untung dia mengenakan kedok sehingga mimik mukanya tidak dilihat orang, ia pura2 berpikir lalu berkata: "Kalau t idak salah suara lelaki dan  perempuan .....

"merandek sebentar lalu mena mbahkan. "Waktu itu kukira Ling-kongcu masih dalam keadaan setengah mabuk dan berbicara dengan Sin- ih."

"Waktu aku bangun dan semadi diatas ranjang untuk mendesak keluar arak dari badanku, Sin- ih langsung ke mbali ke ka marnya, tak pernah masuk ke mari lagi," demikian Kun-gi menerangkan sambil berjalan mendekati te mpat tidur serta menyingkap kela mbu. Dilihatnya seprei acak2an, bantal guling tidak terletak pada tempat semestinya lagi, ma lah tepat di tengah ranjang kedapatan noktah darah.

Kun-gi terbeliak kaget, teriaknya: "Darah Darah siapa ini?

Me mangnya dia terluka dan se mbunyi di te mpat tidurku? "

Karena kela mbu tersingkap oleh tangannya, maka keadaan ranjang itupun terlihat oleh Giok- lan dan Un Hoan- kun. Ada kalanya nona2 atau para gadis jauh lebih tajam perasaan dan firasat-nya daripada kaum pria. Umpa ma soal noktah darah ini, bagi Kun-gi yang masih perjaka dan hijau plonco ini, dia mengira ada seseorang telah terluka, tapi kedua nona di belakangnya ini cukup cerdik, me lihat keadaan ranjang itu seketika terbayang oleh mereka .. . .

....

Jengah Giok-lan dan Un Hoan- kun, sekujur badan terasa panas dan gemetar, untuk sesaat mereka sama melenggong tak tahu apa yang harus di-ucapkan. Tapi Giok- lan me mang lebih tabah, katanya sambil me mbalik badan: "Kiu- moay, pergilah kau panggil Sin-ih, suruhlah dia mengganti seprei dan bantal guling yang baru," Hoan- kun mengiakan terus beranjak keluar.

Waktu me mbalik tubuh tadi, mendada k didapatinya sesuatu benda di bawah bantal, tergerak hati Giok-lan, sebagai Congkoan Pek-hoa-pang, ma ka dia tidak perlu ma in malu lagi, tanyanya: "Ling- kongcu hanya bersemadi di ranjang, seperai dan bantal guling tidak mungkin menjadi acak2an begini? "

"Ya, ma lahan Cayhe belum pernah menyentuh bantal guling dan ke mul itu," sahut Kun-gi. Sengaja Giok- lan ajak  mengobrol: "Aneh  kalau begitu, me mangnya kenapa orang itu se mbunyi di atas ranjang Ling- kongcu? " Sa mbil bicara dia melangkah maju badan sedikit miring sehingga pandangan Kun-gi teraling, dia m2 dia ulur tangan ke bawah bantal, gerakannya pura2 memeriksa, kalau2 sebatang tusuk kundai e mas sudah dia simpan ke dalam lengan bajunya.

Kebetulan Un Hoan-kun, sudah ke mbali mengajak Sin-ih, Giok- lan lantas tanya kepadanya: "Tadi adakah kau mendengar suara apa2 di ka mar ini? "

Terbeliak mata Sin-ih mengawasi Kun-gi sahutnya bingung: "Tiada suara apa2, ha mba tidak mendengar apa2"

Giok- ian mendengus, katanya: "Kalian tidur mendengkur seperti babi, Ling- kongcu keluar mengejar bangsat, ada orang masuk kamar ini, tapi tiada orang tahu."

Gemetar tubuh Sin ih, ratapnya menunduk: "Ya, hamba me mang pantas ma mpus ..."

"Sudah, jangan banyak bicara, lekas bersihkan ranjang Ling- kongcu," perintah Giok- lan, lalu dengan menggunakan ilma mengirim gelombang suara dia mena mbahkan: "Ingat, kejadian ma lam ini dilarang beritahu kepada siapapun tahu? "

Sin-ih mengangguk. sahutnya: “Ha mba tahu"-Bergegas dia bekerja seperti yang di pesan-Cepat sekali dia sudah menggant i bantal guling dan ke mul serta seprei baru ranjang Kun-gi.

"Waktu sudah larut, besok pagi2 Ling-kongcu harus menghadap Thay-siang, lebih baik istirahat saja," demikian kata Giok-lan setelah Sin-ih mengundur kan diri. Lalu dia berpaling, " Kiu- moay, hayolah ke mbali."

"Cayhe amat menyesal, penjahat tidak berhasil kutangkap. Congkoan malah susah payah setengah ma la man," Kun-gi berucap.

"Jangan sungkan Ling- kongcu, me mang ini tugasku, tadi sudah kusuruh Hong-s ian pergi ke danau me mer iksa sebab ke matian kedua Centing serta para ronda lain yang bertugas sepanjang pesisir danau, adakah perahu yang mencur igakan di sana? Tentunya kini sudah ke mbali, biar aku mohon diri," bersa ma Hoan-kun mere ka lantas beran-jak keluar.

Bertimbun tanda tanya yang menekan perasaan Kun-gi. Menurut rekaan Giok-lan, orang yang membo kong dirinya mengguna kan Som- lo-ling, maka dia diduga adalah mata2 Hek- liong hwe yang diselundupkan ke mari. Hal ini kiranya tidak me leset, di depan pertemuan besar siang tadi Thay-siang telah mengumumkan bahwa dirinya berhasil me mbikin obat penawar getah beracun, akhirnya diangkat menjadi Cong-hou-hoat dari Pek-hoa-pang, soal ini jelas merupakan tekanan dan anca man serius bagi Hek-liong-hwe. Kalau dirinya bisa terbunuh atau dilenyapkankan merupakan pahala yang amat besar sekali artinya, Kalau tidak, kapan dirinya pernah bermusuhan dengan orang, untuk apa pula orang malam2 menyelundup ke mari dan menyerangnya? Atau mungkin ada tujuan lain lagi?

Un Hoan-kun bilang mendengar kasak-kusuk dua orang perempuan dan laki2, satu di antaranya terluka, mungkin lantaran me lihat nona Un, ter-paksa sembunyi ke atas ranjangku sehingga meninggalkan noktah darah di sini. Lalu siapa kedua orang ini? Di mana pula mereka bergebrak dengan musuh sehingga terluka? Kenapa sembunyi dika marku? De mikian Kun-gi merasa bingung.

Tapi yang me mbuatnya paling bingung adalah nona Un sendiri, me mangnya dia merasa sesal atau direndahkan? Apa pula yang disedihkan sa mpai mala m2 lari kepinggir danau dan bertangisan seorang diri? Malah dari apa yang dia guma mkan seperti menaruh salah paham dan penasaran terhadap dirinya, memikirkan persoalan ini, tanpa merasa Kun- gi tertawa geli sendiri.

Maklumlah kaum re maja, terutama anak gadis yang sedang kasmaran biasanya me mang suka ce mburu. De mi dirinya, tanpa jeri Un Hoan-kun mene mpuh bahaya ikut menyelundup ke Pek-hoa- pang, dengan menyaru Bi- kui, tentu siang tadi dia me ltihat sikap So- yok. sang Hu-pangcu yang begitu mesra dan kasih sayang terhadapnya sehingga hatinya-merasa iri, padahal se mua ini merupakan salah paham belaka .

Tengah dia berpikir terdengar suara kokok aya m, ternyata hari sudah menjelang pagi.. Maka dia ti-dak banyak pikir lagi, tanpa copot pakaian terus duduk ke mbali se madi di atas ranjang.

Tak la ma ke mudian haripun sudah terang tanah. Di dengarnya suara Sin-ih berkumandang di depan pintu: "Ling-kongcu, sudah bangun? "

Kun-gi mengiakan terus melangkah turun dan me mbuka pintu. Sin-ih sudah menunggu depan pintu sa mbil me mbawa sebaskom air untuk cuci muka. Setelah Kun-gi selesai me mbersihkan badan, sementara Sin-ih sudah menyiapkan sarapan pagi dan persilakan dia makan.

Baru saja Kun-gi ke mba li ke ka marnya habis ma kan, Congkoan Giok- lan sudah datang, katanya tertawa: "Selamat pagi Ling- kongcu, perahu sudah siap. marilah kita berangkat.”

“Cayhe sudah menunggu sejak tadi, apakah Congkoan sudah makan? "

"Sela manya aku tidak pernah ma kan pagi," ucap Giok-lan, "hayolah lekas berangkat, pantang terlambat kalau menghadap Thay-siang," lalu dia mendahului jalan keluar.

Mengiringi orang keluar, Kun-gi bertanya: "Bagaimana hasil penyelidikan nona Hong-sian sema la m? "

“Hasilnya nihil," tutur Giok-lan sambil mengge leng, tiba2 dia me mba lik tubuh, katanya lirih. "Kejadian se mala m kecuali aku dan Kiu- moay, Hong-sian sendiri juga tidak tahu, Ling-kongcu harus ingat, kepada siapapun jangan bicarakan soal ini."

Kun-gi melenga k. tanyanya: "Kenapa? "

Giok- lan menghela napas "Liku2 persoalan ini cukup rumit, sulit juga aku menyela mi soal ini dalam waktu singkat dengan hanya tanda2 yang tidak seberapa ini, tapi Ling-kongcu harap percaya saja."

Walau merasa heran, tapi melihat sikap dan nada suaranya begini serius, Kun-gi manggut2, sahutnya: "Pesan nona pasti kuperhatikan."

Giok- lan tersenyum lebar, suaranya lebih lir ih.. "Syukurlah, apapun yang terjadi, aku takkan me mbikin susah pada mu."

Tak la ma ke mudian mere ka sudah berada di atas tanggul sungai yang letaknya di belakang ta- man, sepanjang tanggul ditanami pohon Yang- liu. tertampak sebuah perahu beratap alang2 sudah menanti di bawah sana.

Tempo hari Kun-gi pernah naik perahu yang sa ma dengan So- yok, punya pengalaman satu kali, ma ka kali ini dia tidak main sungkan lagi, dengan ringan dia lantas melo mpat ke atas perahu dan menyusup ke dalam serta duduk bersimpuh. Giok-lan juga me lo mpat naik dan duduk bersimpuh pula, tanpa dipesan perempuan pendayung diburitan segera menjalankan perahunya .

Terdengar Giok- lan berbisik dengan ilmu gelo mbang suara: "Kedua orang yang menguasai perahu adalah pengikut Thay-siang sejak muda, harap Ling- kongcu hati2 kalau bicara." Secara tidak langsung dia me mper ingatkan Kun-gi bahwa kedua orang ini adalah kepercayaan So-yok.

Sudah tentu Kun-gi sukar menangkap maksud kisikannya ini, dia hanya melongo bingung saja. Melihat sikap orang, maka Giok- lan mena mbahkan: "Jangan Ling-kongcu takut atau curiga, aku hanya me mber i peringatan padamu, jangan sembarang bicara di atas perahu ini. Thay-siang tidak suka kalau orang me mbicarakan pribadinya."

Kun-gi me ngangguk sa mbil me njawab dengan cara yang sama: "Terima kasih atas petunjukmu. "Masih ada satu hal," demikian Giok- lan mena mbahkan lagi, "dan ini yang terpenting, Pangcu minta aku menyampaikan pada Ling- kongcu.”

“Pangcu ada pesan apa? "

Ber-kedip2 bola mata Giok-lan, senyumnya tampak penuh mengandang arti, katanya: "Kemarin kau baru diangkat jadi Cong- houhoat, hari ini Thay-siang sudah mengundangmu ke Pek-hoa-ko k pasti beliau punya maksud2 tertentu, maka Pangcu minta supaya aku menyampa ikan pesannya, apapun yang dikatakan Thay-siang, kau harus segera mengiakan."

Kembali Kun-gi dibuat melenggong, tanyanya: "Memangnya Thay-siang hendak suruh aku berbuat apa? " .

Melihat sikap dan air muka serta sorot matanya, diam2 Giok-lan me mbatin: "Me mang tidak meleset dugaan Toaci, agaknya pikirannya tidak terpengaruh oleh Bi-sin-hiang."

Tapi dia tetap bicara dengan ilmu suara itu: "Tak peduli kerja apapun yang diserahkan padamu, tanpa ragu2 kau harus segera menerima tugas itu.?"

"Ini   " berkerut kening Kun- gi.

Giok- lan tersenyum, katanya: "Toaci bilang, Ling-kongcu ma mpu menawarkan getah beracun yang tak bisa ditawarkan oleh manus ia manapun di dunia ini, sudah tentu kaupun bisa memunahkan segala obat bius yang me mpengaruhi pikiran orang, oleh karena itu, setiba di perahu ini perlu aku me mberi peringatan padamu. Sela manya tiada seorangpun yang berani me mbangkang dan me nolak perintah Thay-siang, sudah tentu semakin cepat kau terima tugasnya itu akan lebih baik, celakalah kalau sa mpai me mbuatnya kurang senang atau curiga."

Apa yang dikatakan ini cukup ga mblang, walau tak secara langsung, tapi artinya sudah diketahui bahwa kau ternyata tidak terpengaruh oleh obat Bi-sin-hiang itu. Kejadian ini me mang ada latar belakangnya. Tatkala So-yok diperintahkan menyerahkan Bi-sim-hiang ini kepada Bok-tan sang Pangcu, dari Bok-tan diserahkan pula kepada Giok-lan supaya menuna ikan perintah Thay-siang ini, kebetulan pembicaraan mereka dicuri dengar oleh Bi- kui alias Un Hoan-kun, jing-s in-tan buatan keluarga Un adalah obat mujarap yang khusus diperuntukan menawarkan segala obat bius di kolong langit ini, sudah tentu dengan me mbekal obat mujarab ini Ling Kun-gi tidak pernah terpengaruh pikirannya, tapi soal ini hanya dlketahui oleh Ling Kun- gi dari Un Hoan-kun saja.

Bahwa dia pura2 terbius-oleh obat itu dan mau terima jabatan dalam Pek-hoa-pang lantaran ingin cari tahu dari mana Pek— hoa- pang me mperoleh t iga jurus ilmu pedang warisan keluarganya, ma lah Hwi-liong-sa m-kia m merupakan ilmu pelindung Peks hoa- pang lagi? Un Hoan- kun pula yang mengajukan akal dan usul ini.

Sekarang dari mulut Giok-lan secara tidak langsung didengarnya sindiran dirinya tidak terpengaruh oleh obat bius, bahwa hal ini sudah mereka ketahui, sungguh tidak kepalang kagetnya... maklum seseorang yang merasa bersalah-dala m hati akan merupa kan tekanan batin, sekali rahasia ini terbongkar, pastilah selebar mukanya merah padam. Demikianlah keadaan Ling Kun gi sekarang. Tapi dia tetap berkata dengan gelombang suara: "Pangcu. . ."

Tersenyum Giok-lan me ngawasi wajah orang

"Jangan kuatir, Toaci berma ksud baik, cukup asal kau selalu mengingat kebaikannya."

Lalu dia menyodorkan secangkir teh dan menengga knya dulu se- cangkir yang lain, katanya: "Cong-sucia, enak bukan rasa teh ini? "

Kun-gi segera tahu maksud orang, sahutnya tertawa: "Ya, enak dan segar, rasanya seperti bunga ce mpaka." Dua patah terakhir ini mereka t idak me nggunakan ilmu gelo mbang suara pula.

Laju perahu amat pesat, hanya sekejap mereka sudah berada diterowongan air yang masuk keperut gunung, setelah mengikut i arus yang deras dan ber-belok2, akhirnya laju perahu menjadi la mbat dan tak lama kemudian berhenti. Kerai tersingkap. Giok-lan lantas berdiri, katanya. "Sudah-sampai. Cong-sucia pernah datang sekali, tapi jalanan mungkin masih belum apal, biarlah aku naik lebih dulu" Sedikit tutul kaki, badannya segera mengapung tinggi ke atas dan ditelan kegelapan di sebelah sana, Lalu terdengar suara bergerit: "Silakan Cong-sucia naik ke mar i, cuma harus hati2, lumut di sini a mat licin."

"Cayhe tahu," kata Kun-gi, belum lenyap suaranya badannya sudah hinggap di sisi lok- lan. Tempat ini berada diperut gunung, gelapnya bukan ma in, jari sendiripun tidak kelihatan.

Betapapun Lwekang Giok-lan agak rendah, kalau mala m biasa di tempat terbuka dia masih bisa me lihat sesuatu dalam jarak dekat, tapi di dalam terowongan bawah tanah yang gelap begini, sudah tentu dia tidak bisa melihat apa2. Tapi kupingnya tajam, dari desir angin dia tahu bahwa Ling Kun-gi sudah berada di sa mpingnya, maka dengan suara lir ih dia berkata: "Inilah jalan rahasia satu2nya yang bisa mene mbus ke Pek-hoa-ko k dilarang keras menyalakan la mpu, jalanan disini-pun a mat jelek. tempo hari kau pernah kemari, tentunya sudah tahu, Thay-siang suruh aku me mbawa mu ke mari, biarlah kau jalan mengikuti langkahku dengan bergandengan tanganku."

Jari2nya yang halus tahu2 sudah pegang tangan Ling Kun-gi terus ditariknya ke depan-Kun-gi biar-kan saja tangannya dipegang dan menurut saja kemana dirinya ditarik. Terasa jari jemari yang me megang tangannya begitu halus dan le mas seperti tidak bertulang, seketika sekujur badannya gemetar seperti kena aliran listrik.

Terdengar Giok-lan berkata: "Sebagai anak perempuan yang telah dewasa, selamanya belum pernah kubersentuh tangan dengan laki2 manapun, ma ka hatiku sedikit tegang, harap Ling-kongcu tidak mentertawakan aku."

Berdebar juga hati Kun-gi, tapi tak mungkin dia melepaskan tangannya, terpaksa dia bilang: "Di sinilah letak kesucian Congkoan- " "Justeru karena aku yang ditugaskan membawa Kongcu ke mari, umpa ma orang lain, aku tak sudi saling bergandengan tangan seperti ini."

Kali ini Kun-gi bungkam saja, tak enak banyak bicara lagi. Didengarnya Giok-lan bicara lebih lanjut, suaranya syahdu:

"Soalnya Ling- kongcu adalah perjaka yang patut dibuat teladan, seorang Kuncu sejati, kaulah pe muda yang menjadi pujaan hatiku

......."

Bertaut alis Kun-gi, katanya: "Ah, Congkoan terlalu me muji diriku."

Jari2 Giok- lan yang menariknya itu tiba2 me megang lebih kencang, katanya sambil ja lan ke depan: "Untuk selanjutnya. tanganku yang satu ini tidak akan bersentuhan lagi dengan laki2 manapun jua." Mendadak dia berpaling dan bertanya: "Kau percaya apa yang kukatakan? " Suaranya kedengaran le mbut, tapi bola matanya tampak berkilauan ditengah kegelapan, me mancarkan rasa tekad penuh keyakinan.

Gugup dan gelisah Kun-gi, "Nona         "

"Tak usah kau gelisah, apa yang pernah ku-katakan selamanya tak pernah kujilat ke mbali, tak perlu kutakut ditertawakan Ling kongcu, dalam kalbuku me mang hanya .... . . hanya ada seorang, maka tidak akan kuizinkan laki2 la in untuk menyentuh badanku, siapa berani menyentuh tanganku segera kutabas buntung tanganku ini . "

Keruan Kun-gi gugup setengah mati, katanya: "Nona, jangan se- kali2 kau berbuat menurut dorongan hatimu "

"Jangan kau me mbujukku, yang jelas akupun tidak akan sembarangan me mbiarkan orang menyentuhku," ujar Giok- lan tertawa, jari2nya memegang lebih kencang lagi. "Nah, ha mpir sampai, jangan bersuara lagi."

Terpaksa Ling Kun-gi terus menggre met maju me nyusuri dinding gunung dengan badan miring .-Tak la ma ke mudian Giok-lan lepas tangannya serta maju ke dinding yang mengadang di depan serta mengetuk sekali.

Terdangarlah suara Ciok-lo lo bertanya dari dalam: "Apakah Giok- lan? "

Lekas Giok- lan berseru: "Ciok-lolo, aku mendapat perintah me mbawa Cong-sucia ke mari"

"Nenek sudah tahu," ujar Ciok- lolo, pelan2 pintu papan batu di depan mereka me nggeser mundur dan terbuka, bayangan Ciok lolo yang tinggi besar itu segera muncul di balik pintu. Sorot matanya dingin tajam, dari kepala sa mpai kaki Ling Kun-gi diawasinya dengan teliti, mulutnya terkekeh sekali, lalu berkata: "Bocah inikah, kalau Thay-siang mau cari mantu kiranya cukup setimpal, kalau diangkat jadi Cong-sucia, kukira Thay-siang rada berat sebelah, terus terang aku nenek tua ini mengukurnya terlalu rendah."

Giok- lan unjuk tawa manis, katanya: "Kemar in Lolo tidak hadir, sudah tentu tidak menyaksikan betapa perkasa Cong-sucia menga lahkan para lawannya dalam lima babak berturut2, ini kenyataan, apalagi dalam pertandingan besar dan terbuka itu, semua peserta boleh ikut bertanding secara adil, mengapa Thay- siang kau katakan berat sebelah? "

Ciok-lo lo ter-kekeh2, katanya: "Bocah sekolahan sele mah ini, satu jari nenek saja sudah cukup me mbuatnya berjongkok setengah hari dan tidak ma mpu berdiri, kalau bicara soal kepandaian sejati, dia bisa menang lima babak secara beruntun, betapapun nenek tidak mau percaya."

Bagaimana juga Kun-gi masih muda dan berdarah panas, melihat sikap orang yang terlalu me mandang rendah dirinya, ia naik pita m, pikirnya: "Jangan kau kira sebagai anak buah Thay-siang, biar kuajar adat padamu."

Maka dengan tersenyum segera ia menimbrung: "Kalau Ciok- lolo tidak percaya, kenapa tidak mencobanya, apakah betul Cayhe dapat dibikin jongkok seperti kata mu." Sudah tentu Giok-lan jadi rikuh. Tapi gelak tawa Ciok-lo lo yang tajam me lengking itu sudah berkumandang, katanya: "Anak bagus, sombong juga kau, nah, mari kita coba." Dima na tangan kanannya terangkat, betul2 dia cuma acungkan sebuah jari telunjuk. pelan2 terus menekan kepundak Ling Kun- gi.

Giok- lan menjadi kuatir, serunya: "Ciok-lo lo, taruhlah belas kasihan."

Jari telunjuk Clok- lolo sudah menekan pundak Kun-gi, mulutnya menggera m sekali: "Giok- lan, apa yang kau risaukan? Nenek tentu punya perhitungan." Dia m2 dia kerahkan lima bagian tenaganya.

Tak nyana pundak Kun-gi seperti batu laksana besi kerasnya, lima bagian tenaganya ternyata tak ma mpu me mbuat tubuhnya bergeming. Baru sekarang si nenek kaget, pikirnya: "Bocah ini kelihatan le mah le mbut, seperti anak sekolahan yang tak mampu menye mbelih ayam, ternyata me miliki bekal kepandian selihay ini, agaknya nenek tua terlalu me mandang enteng padanya." Serta merta kekuatan jarinya bertambah, akhirnya dia kerahkan setaker tenaga menekan ke bawah.

Tak terduga meski dia sudah kerahkan sepuluh bagian tenaganya, daya perlawanan diatas pundak Ling-Kun-gi juga cerlipat ganda, tetap sekeras baja, sedikitpun t idak bergeming.

Keduanya jadi sama2 adu otot dan mengerahkan segenap daya kekuatanya, rambut uban dipelipis Ciok-lo lo tampak bergetar berdiri, wajahnya yang sudah keriput juga tampak merah pada m. Tapi Ling Kun-gi tetap adem ayem, sikapnya tak acuh seperti tak pernah terjadi apa2 atas badannya2, sedikitpun tidak kelihatan bahwa diapun mengerahkan tenaga untuk melawan tekanan si nenek.

Semula Giok-lan merasa kuatir bagi Kun-gi. Maklumlah Ciok- lolo dulu adalah pelayan pribadi Thay-siang, kepandaian silat dan Lwekangnya merupa kan tokoh kelas satu yang jarang ada tandingan dalam Peks hoa-pang, dikuatirkan Kun-gi bu- kan tandingan Ciok-lo lo. Kini melihat keadaan mereka, maka tahulah dia bahwa Lwekang Ling Kun-gi ternyata jauh lebih unggul dibanding Ciok-lo lo, dari kuatir dia m2 ia merasa kaget dan senang malah. Tapi mulutnya sengaja pura2 bersuara gugup: "Ciok-lo lo "

Muka Ciok- lolo se makin gelap. keringat sudah me mbasahi jidatnya, sementara tangannya yang menekan pundak Kun-gi tampak mulai ge metar, tapi dia tetap ngotot tidak mau menarik balik tangannya. Maklumlah, dengan cara adu tenaga seperti ini, kedua pihak sudah sama2 mengerahkan tenaga dalam, bila salah satu pihak sedikit mengalah saja, ma ka kekuatan lawan yang dahsyat akan segera menerjang dan menggetar putus urat nadi dalam tubuh. oleh karena menyadari bahaya ini, meski sudah merasa kewalahan, Ciok-lo lo toh terpaksa harus bertahan. .

Sudah tentu Kun-gi maklum, apa maksud teriakan Giok-lan tadi, semula dia hendak bikin kapok nenek ini, tapi sekarang dia urungkan niatnya. Katanya dengan tersenyum tawar: "Ciok-lo-lo, boleh berhenti tidak? Kalau hanya dengan sebatang jari tanganmu mungkin takkan ma mpu menekan aku sa mpa i berjongkok."

Terasa oleh Ciok-lolo, seiring dengan pembicaraan Kun-gi pundak anak muda yang sekeras baja itu tiba2 semakin lunak. kiranya dia sudah mula i mengendur kan tenaganya.

Sudah lanjut usia Ciok-lo lo, tapi masih berdarah panas dan masih suka menang, merasakan lawan menar ik tenaganya, hatinya senang, segera dia kerahkan tenaga lebih besar, jarinya mene kan lagi ke bawah. Di luar tahunya, pundak Kun-gi mendadak berubah jadi 

Halaman 29/30 Hilang

Melihat Ciok- lolo menaruh Curiga, lekas Giok— lan menyela bicara: "Me mangnya Ciok- lolo tidak tahu bahwa cong-sucia adalah mur id kesayangan Hoan-jiu-ji- lay Put-thong Taysu yang terkenal di kalangan Kangouw"

Me mangnya selama 30-an tahun ini tiada kaum persilatan yang tidak mengenal kebesaran nama Hoan-jiu-ji-lay, tokoh kosen yang sudah menjadi dongeng Bu-lim, umpa ma belum pernah lihat tentu juga pernah mendengar na manya. Terpantul mimik aneh pada wajah Ciok-lo lo, katanya dengan suara tinggi: "Pantas kalau begitu, nenek tua dikalahkan oleh mur idnya Hoan-jiu ji-lay, ya, cukup setimpal juga."-La lu dia dia mengulap tangan: "Nah, lekas kalian pergi:"

"Terima kasih Ciok- lolo," seru Giok- lan sa mbil me mberi hor mat.

Setelah masuk kepintu besar, dari dinding dia menga mbil sebuah la mpion serta menyalakan lilin di dala mnya, katanya, "cong-sucia, marilah lekas."-Mereka menaiki tangga batu yang menanjak ke atas, beberapa kejap kemudian Giok- lan bertanya sambll me noleh: "Ling- kongcu, kau masih begini muda, tapi bekal Kungfumu sungguh luar biasa."

Tawar tawa Kun-gi, katanya: "Nona jangan terlalu me muji."

"Apa yang kukatakan benar2 keluar dari lubuk hatiku yang dalam. Kepandaian Ciok-lo lo ter masuk no mor satu dua di lingkungan kita, hari ini dia terjungkal ditanganmu, tapi dia tunduk lahir-batin."

Mendadak Kun-gi teringat sesuatu, hal ini masih melingkar2 dalam benaknya, Cuma dia merasa serba susah apakah hal ini patut dia bicarakan dengan Giok-lan? Tengah dia me nimang2, mendada k tergerak hatinya, dia ingat pembicaraannya dengan Giok- lan diperahu tadi, kenapa sekarang tidak mengorek keterangannya? Maka dia lantas bertanya: "Mengenai pe mbicaraan kita di atas perahu tadi, ada sebuah pertanyaan ingin kuajukan.”

“Ada partanyaan apa? " jawab Giok- lan.

"Nona pernah bilang bahwa Pangcu mengata-takan cayhe dapat menawarkan getah beracun yang tak bisa dipunahkan oleh siapapun,, maka tiada obat bius apapun di kolong langit ini yang bisa me mbius pikiran cayhe, oleh karena itu kau merasa perlu untuk me mper ingatkan kepada cayhe, apapun yang dikatakan Thay-siang harus kupatuhi, betul tidak? ”

“Betul, Toaci me mang suruh aku menya mpaikan demikian.” “Kenapa harus demikian? " "Apa yang dikatakan Thay-siang selamanya tiada orang berani me mbangkang, tiada yang pernah ragu2."

"Itu cayhe tahu, tapi Pangcu suruh nona me mperingatkan hal ini padaku, tentu ada sebabnya."

"Asal kau bekerja dan me laksanakan tugas seperti pesan kami, tanggung kau t idak mengala mi kesulitan.”

“Agaknya nona tidak suka menerangkan."

"Kalau kau tahu, tak perlu aku menje laskan, kalau belum tah lebih baik tidak tahu saja."

"Kalau cayhe terkena racun yang tak terobati dan terkena obat bius yang pengaruhi pikiran cayhe? "

Giok- lan me lengak, tanpa pikir ia berkata: "Kalau terjadi demikian, aku dan Toaci pasti takkan berpeluk tangan."

Terharu Kun-gi: " Kalau demikian cayhe ha-rus berterima kasih atas kebaikan kalian."

Giok- lan menghentikan langkah, tiba2 dia me mbalik badan, katanya dengan nada penuh perhatian: "Apakah kau merasakan gejala tidak enak pada tubuhmu? "

Kun-gi tersenyum, ujarnya: "Beruntunglah aku ini, tiada sesuatu obat bius apapun yang tak dapat kutawarkan."

"o, jadi kau sedang menggoda ku, "rengek Giok- lan, "sla2 aku berkuatir bagimu"

"Mana berani cayhe menggoda nona, soal-nya "

"Ada, omongan apa silakan Ling-kongcu kata-kan saja, omongan seorang Kuncu pasti tidak akan kubocorkan, tak usah kuatir."

"Legalah cayhe mendengar ucapan nona ini," kata Kun-gi, mendadak dia gunakan ilmu gelo mbang suara "cayhe masih ingat waktu pertama kali berte mu dengan Pangcu, atas pertanyaan Pangcu cayhe pernah menyebut ibuku she Thi." Semula Giok- lan kira ada persoalan penting apa yang hendak dibicarakan oleh Kun-gi sa mpai dia merasa perlu menggunakan ilmu bisikan, tak tahunya hanya membicarakan she ibunya. Tapi ter- paksa dia menjawab dengan ilmu suara pula: "Me mangnya ada apa? "

Tetap menggunakan ilmu suara Kun-gi berkata pula: "Waktu itu Cayhe hanya bicara sekenanya, pada hal waktu Cayhe keluar rumah, ibunda pernah berpesan wanti2, Cayhe dilarang menyebut she beliau dihadapan orang luar."

"Soal ini hanya diketahui aku dan Toaci, kami pasti tidak akan bicarakan kepada siapapun."

"Ke marin waktu Cayhe mene mui Thay-siang, besar sekali perhatiannya terhadap riwayat hidup-ku "

"Lalu kau juga katakan hal itu kepada Thay-siang? "

"Waktu itu aku lupa akan pembicaraanku dengan Pangcu, maka kukatakan ibuku she ong."

"Jadi kau kuatir Thay-siang tanya soal ini padaku dan Toaci, padahal jawabanmu satu sa ma lain tidak cocok? ”

“Begitulah maksudku, maka    ”

“Kau ingin aku bantu kau berbohong? "

"Sela ma hidup belum pernah Cayhe berbohong, soalnya pesan ibu, harap nona "

"Tak usah sungkan, nanti sekembali akan ku-sa mpaikan Toaci, kalau Thay-siang tanya, anggap-lah ka mi sendiri juga t idak tahu."

"Bukan sengaja Cayhe hendak me mbohongi Thay-siang, kalau nona dan Pangcu dapat me mbantu, sungguh betapa besar terima kasih Cayhe."

"Baiklah, hayo lekas jalan, jangan bikin Thay-siang menunggu terlalu la ma," langkah mereka segera dipercepat. Setiba di ujung tangga batu, Giok-lan mendorong sebuah pintu batu serta meniup padam api lampion dan digantung diatas tembok. lalu mere ka melangkah keluar.

Tahu2 sang surya ternyata sudah tinggi di tengah angkasa, tapi kabut masih tebal di Pek- hoa-kok. pancaran sinar surya nan kuning emas mena mbah se marak panora ma le mbah yang penuh di-tabur i ke mbang mekar semerba k. Pek-hoa-teng (gardu seratus bunga) di tengah lembah sana seperti bercokol di antara taburan bunga yang menyongsong pancaran sinar mentari.

Duduk mengge lendot di kursi malas di dalam gardu yang dibangun serba antik dan megah itu, gadis rupawan yang mengenakan pakaian warna merah menyala, wajahnya ber-seri2 seperti mekar-kuntum2 bunga di Sekelilingnya, biji matanya menger ling le mbut, penuh gairah hidup nan bahagia, pelan2 dia berdiri, bola matanya lekat meratap wajah Ling Kun-gi, katanya dengan tertawa: "Kenapa Ling-heng Sekarang baru tiba? Sudah sekian la ma orang menunggumu di sini." Dia ubah panggilannya menjadi Ling-heng (kakak Ling), terasa betapa mesra dan dekat hatinya? Gadis rupawan ini bukan lain adalah Hu-pangcu So-yok.

Hari ini bukan saja dia bersolek dan berdandan, malah sinar matanya tampak bercahaya, wajahnya berseri2 penuh gairah. Sudah tentu kali ini dia tidak me makai kedok.

Tersipu2 Kun-gi menjura, katanya: "Maaf Hu-pangcu menunggu terlalu la ma."

Giok- lan tertegun, selamanya belum pernah dia me lihat So-yok berdandan begini cantik, ma klumlah biasanya dia begitu angkuh, dingin dan ketus.

So-yok mengir ingi Kun-gi jalan ke depan, agak-nya Giok-lan sengaja ketinggalan di belakang. Diam2 ia perhatikan So-yok hari ini seolah2 telah ganti rupa, se mbari jalan mukanya berseri tawa, tangannya bergerak mengikuti celoteh mulutnya, sikapnya begitu mesra. Sikap Kun-gi sebaliknya kelihatan risi dan kikuk, kadang2 dia sengaja menjauhkan diri, mungkin karena So-yok bersikap merangsang sehingga perasaannya tidak tenteram, malah saban2 dia menoleh ajak Giok-lan bicara juga. Untunglah langkah mere ka lebar, lekas sekali mereka sudah tiba di depan gedung bertingkat yang megah dan mentereng seperti dalam lukisan itu.

So-yok ajak mereka masuk ke ruang kecil di sebelah sa mping, katanya tersenyum manis: "Silakan duduk Ling-heng." sekali tangan bertepuk seorang pelayan berpakaian ke mbang lantas keluar, katanya sambil me mbungkuk: "Ada pesan apa Ji-kohnio (nona kedua)? " 

So-yok menarik muka, katanya: "Memangnya kalian tidak tahu aturan, Cong-sucia dan Cong-koan telah tiba, kenapa tidak lekas tuang air teh, me mangnya perlu kuperintahkan."

Gemetar tubuh pelayan itu, sambil munduk2 dia mengiakan terus berlari keluar. Cepat dia sudah kembali me mbawa tiga cangkir teh yang masih mengepul.

So yok berpesan: "Pergi kau tanya kepada Teh-hoa, bila Thay- siang selesai dengan acara paginya, selekasnya me mberitahu ke mari."

Pelayan itu mengia kan terus mengundurkan diri. Kira2 setanakan nasi ke mudian pelayan tadi kembali dengan langkah tergesa, serunya membungkuk: "Thay-siang persilakan Conghouhoat dan Congkoan menghadap."

So-yok manggut2, katanya sambil berdiri: "Ling- heng, Sam- moay, mar ilah kita masuk."

Mereka terus menyusur ke dalam, setiba di depan sebuah kamar, So-yok langsung me langkah masuk serunya: "Suhu, Ling-heng dan Sam- moay telah datang."

Maka terdengar suara Thay-siang dari dalam. "Suruh mereka masuk." So-yok me mbalik berkata kepada Kun-gi dan Giok- lan: "Thay- siang suruh kalian masuk."

Sikap Kun-gi a matpatuh dan hormat, begitu melangkah masuk segera dia menjura, serunya: “Hamba Ling Kun- gi me mber i se mbah hormat ke-pada Thay-siang." Mulut mengatakan sembah hor mat, hakikatnya dia t idak berlutut sa ma sekali.

Sebaliknya Giok-lan lantas tekuk lutut menyembah, serunya: "Tecu mendoakan Suhu sehat walafiat."

Duduk di atas kursi besar, sepasang mata Thay-siang setajam pisau menatap Ling Kun-gi, sesaat kemudian baru manggut2, katanya kepada Giok- lan.

"Bangunlah." Giok- lan mengiakan dan berdiri.

Thay-siang bertanya: "Sudah kau pilih dua belas dara kembang yang kuminta itu? " Giok- lan menjawab sudah.

"Baik sekali," ucap Thay-siang, ke mba li sorot matanya berputar ke arah Kun-gi, suaranya kalem: "Ling Kun-gi, tahukah kau untuk apa Losin me manggilmu ke mari? "

Hor mat dan patuh suara Kun-gi: "Hamba menunggu perintah Thay-siang."

Mendengar ucapannya ini, dia m2 Thay-siang ma nggut2, katanya lebih lanjut: "Kau terpilih menjadi Cong-hou-hoat-su-cia tahukah apa tugas dari Cong-hou-hoat-su-cia sebenarnya? "

“Harap Thay-siang suka me mberi petunjuk." seru Kun-gi.

"Cong-hou-hoat-su-cia me mikul tugas mengawal  Pangcu, me mbe la kepentingan Pang kita dan me mberantas setiap musuh." Kun-gi mengiakan sa mbil me mbungkuk.

"Walau di bawah Cong-hou-hoat-su-cia masih ada Houhoat kanan kiri dan delapan Hou hoat serta 24 Su-cia yang berada di bawah perintahmu, tapi tugas dan tanggung jawabmu adalah yang terbesar.” “Ya," ke mba li Kun-gi mengiakan- "Sebagai mur id Put-thong Taysu, dengan bekal kepandaianmu sekarang, kalau ada musuh tangguh menyatroni ke mari, sudah cukup kuat kau menghadapinya, cuma dalam waktu dekat ini kita akan me luruk ke Hek-liong-hwe, selama dua puluh tahun ini, tidak sedikit kaum persilatan dan pentolan penjahat yang di jaring pihak Hek- liong- hwe, sebagai Cong-hou-hoat Pang kita dengan tugas dan tanggung jawabmu itu, kuyakin kau tidak akan me mbikin ma lu kita se mua."

Halaman 41/42 Hilang-

bakal atau telah menjadi calon suami Hu-pangcu?

Sudah tentu Kun-gi tidak tahu akan liku2 ini, apa yang dia harapkan hanya mencapai tujuannya sendiri, kenapa ilmu pedang warisan keluarganya menjadi ilmu sakti pelindung Pek-hoa-pang? . Dia yakin kedua jurus ilmu pedang yang akan diturunkan kepadanya oleh Thay-siang tentu dua jurus ilmu sakti pelindung Pang itu.. Umpa ma kata hanya sejurus saja dirinya me mperoleh kese mpatan belajar, maka dirinya pasti akan me ndapat peluang untuk menanyakan asal-usul dari ilmu pedang ini.

Kejadian ini sungguh sukar dicari, juga merupakan harapan yang di-ida m2 kan setiap orang, keruan hatinya senang bukan main, lekas dia menjura, serunya: "Dua jurus ilmu pedang yang diajarkan Thay- siang tentu adalah ilmu pedang sakti yang tiada taranya, hamba baru saja menjadi anggota, setitik pahala belum lagi kuperoleh, mana kuberani "

Lekas So-yok menyela bicara: "Kau adalah Cong-hou-hoat-su-cia, besar tanggung-jawabmu, maka Thay-siang melanggar kebiasaan mengajar ilmu pedang padamu, lekaslah menye mbah, dan mengaturkan terima kasih? "

Thay-siang mengangguk, katanya "Kalau orang lain mendengar Losin mau mengajarkan ilmu pedang padanya, entah betapa riang hatinya, tapi kau bisa tahu diri mengingat baru masuk jadi anggota dan belum se mpat mendirikan pahala, inilah letak titik kebaikannya. Ilmu silat me mang teramat penting artinya bagi setiap insan persilatan, karakter dan tindak tanduk merupakan pupuk dasar yang utama pula, agaknya aku tidak salah menilai dirimu"

Sampa i di sini dia menoleh kepada So-yok dan Giok-lan, katanya: "Dalam me luruk ke Hek- liong- hwe kali ini, menurut perhitungan gurumu kcse mpatan menang hanya lima puluh persen saja, ma ka setiap orang harus mempunyai bekal   yang   cukup   untuk menge mbangkan ke ma mpuan barte mpur secara tersendiri, maka kalianpun boleh ikut masuk bersa maku, akan kutambah sejurus ilmu pedang pula kepada kalian, bagi Giok- lan nanti kuizinkan mengajarkan jurus kedua, kepada Bwe-hwa dan lain2, tapi dalam jangka tiga hari, semua orang sudah harus sempurna dalam latihan, kini kita tentukan tiga hari lagi la lu akan mulai bergerak."

Bahwa Thay-siang juga akan mengajar kan lagi sejurus ilmu pedang, tentu saja So-yok kegirangan, serunya berjingkrak: "Suhu, kau baik sekali."

Giok- lan menjura hor mat: "Tecu terima perintah."

Thay-siang sudah berdiri, sekilas dia pandang Kun-gi, katanya le mbut. "Kalian ikut aku." segera ia melangkah masuk.

Lekas So-yok me ndorong pelahan punggung Kun-gi, katanya lir ih. " Lekas ja lan"

Me mangnya Kun-gi ingin cepat2 masuk dan melihat keadaan yang sebenarnya, tanpa banyak bersuara segera ia melangkah masuk. mereka berada di sebuah pekarangan di belakang aula pemujaan-dipinggir sana berjajarpot2 bunga cempaka, begitu mereka me masuki pekarangan belakang, bau harum bunga semerbak merangsang hidung me mbangkit kan se mangat dan menyegarkan badan-Suasana hening sepi dan terasa khidmat, dengan langkah pelan dan mantap Thay-siang berjalan di depan, dia menyingkap kerai terus masuk ke dala m. Kun-gi, So-yok dan Giok- lan beruntun ikut masuk juga .

Kun-gi celingukan kian ke mari, ka mar ini berbentuk panjang. tepat di atas dinding tengah terpancang sebuah lukisan seorang laki2 berwajah merah berjambang mengenakan jubah kelabu, kedua matanya tajam, kelihatan gagah perkasa.

Di atas gambar orang terdapat sebaris huruf yang berbunyi: "Ga mbar ayah almarhum Thi Tiong hong."

Mencelos hati Kun-gi, tempat ini adalah kedia man Thay-siang, ayah almarhum di dalam ga mbar itu tentu ayah dari Thay-siang. Me mangnya Thay-siang juga she Thi? Jadi dia satu she dengan ibunda. Me mang tidak sedikit orang she "Thi" di kolong langit ini, tapi bagaimana dengan Hwi- liong sa m- kiam? Hanya beberapa gelintir orang saja yang pernah mempe lajari ilmu pedang sakti mi. Mungkinkah dia dengan ibu .... Terasa persoalan pelik ini pasti sangat ada hubungannya, tapi sukar menyela minya.

Tiba dihadapan lukisan, Thay-siang menyulut tiga batang hio, pelan2 dia tekuk lutut dan berse mbahyang, mulutnya ko mat-ka mit, sesaat kemudian baru berdiri, katanya dengan me mbalik badan- "Ling Kun-gi, majulah ke mari, se mbah sujud kepada Cosu."

Kun-gi berdiri tidak bergerak. katanya hor mat: "Lapor Thay- siang, me mang ha mba sudah jadi anggota Pek-hoa-pang, tapi tak mungkin aku mengangkat guru lagi."

Sudah tentu So-yok dan Giok-lan terperanjat, mereka kenal betapa buruk watak Thay-siang, setiap orang tunduk dan patuh pada setiap patah katanya, belum pernah terjadi seorang berani meno lak keinginannya.

Tapi di luar dugaan kali ini Thay-siang ternyata tidak marah, ma lah dia unjuk senyum manis, katanya: "Losin tahu kau adalah mur id Put-thong Taysu, mana berani kupaksa kau menjadi murid ku, apa lagi tiada laki2 yang pernah kuterima menjadi mur id, tapi sekarang Losin harus ajarkan ilmu pedang pada mu betapapun kau harus bersembah sujud dulu kepada Cosu (cakal bakal) ilmu pedang itu"-Apa yang diuraikan ini me mang juga masuk akal.

Maka Ling Kun-gi berkata dengan hor mat: "Baiklah, ha mba terima perintah."-Lalu dia berlutut di depan gambar dan menyembah e mpat kali.

Di atas meja Thay-siang me mungut dua gulung am kertas terus diangsurkan kepada Kun-gi katanya: "Inilah jurus pertama dan kedua dari Tin-pang-kia m-hoat kita, Losin kali ini me ngajar padamu dengan melanggar pantangan-. setelah kau berdiri akan kumulai mengajarkan teorinya."

Kun-gi terima gulungan kertas itu katanya: "Terima kasih akan kebaikan Thay-siang." Lalu dia berdiri:

Kata Thay-siang: "Walau Losin dengan kau tiada hubungan guru dan mur id, tapi aku punyatangung jawab sebagai orang yang mengajarkan ilmu pedang ini padamu, maka selanjutnya jangan kau sia2kan pengharapan Losin-"

"Sela ma hidup ha mba tidak akan me lupakan kebaikan ini," seru Kun-gi khidmat. Thay-siang menuding ke dinding sebelah timur, katanya: "Gantunglah di sana"

Kun-gi beranjak ke arah yang ditunjuk, di- lihatnya ada dua paku di atas dinding, maka dia buka gulungan kertas lalu menggantungnya di dinding. Gambar pertama adalah lukisan jurus Sin-liong jut-hun (naga sakti muncul dari mega), tepat di atas gambar bertuliskan-“Hwi-liong-sa m-kia m jurus pertama Sin- liong jut-hun."

Tersirap darah Kun-gi, timbul berbagai tanda tanya dalam benaknya, mendadak ia bertanya: "Tin-pang-sam- kiam yang Thay- siang maksud apakah Hwi- liong-sa m-kia m ini?"

"Betul, ketiga jurus ilmu pedang ini dulu dina ma kan Hwi- liong- sam-kia m. Sejak Losin mendirikan Pek-hoa-pang, namanya kuganti menjadi Tin-pang-sa m- kia m.”

“Apakah ketiga jurus ilmu pedang ini adalah ciptaan Cosu yang barusan kuse mbah ini? ”

“Ya, bolehlah dikatakan de mikian," ucapnya. ini berarti mungkin juga bukan ciptaannya. Agaknya Thay-siang merasa terlalu banyak pertanyaan yang diajukan Kun gi, maka sikapnya tampak kurang sabar, katanya: "Ling Kun-gi, mungkin mereka sudah pernah me mberitahu pada mu, Losin adalah orang yang tidak senang ditanyai tetek-bengek."

Kun-gi mengia kan, katanya: "Karena mendapat berkah pelajaran ilmu pedang ini, maka ha mba ingin mengetahui sedikit asal-usul ilmu pedang ini saja."

Thay-siang mendengus, katanya: "Ajaran pedang adalah cara bagaimana kau me mainkan pedang, cukup asal kau belajar dan apal cara bagaimana menggerakkan pedang ditanganmu." Kali ini Kun-gi tidak berani bicara lagi, lekas ia mengia kan sa mbil munduk2.

Tanpa bicara lagi Thay-siang lantas mengajarkan teorinya kepada Ling Kun-gi, lalu dia tunjuk lingkaran2 di dalam ga mbar serta me mber i penjelasan secara terperinci, dia terangkan pula gerak tubuh, langkah kaki serta gerak pedangnya serta variasi perubahannya. Lalu dia suruh So-yok dengan gerak dan gaya yang jelas mende monstrasikan jurus yang dia jelaskan beruntun dua kali.

.

Sebetulnya ketiga jurus ilmu pedang ini sudah terlalu apal kalau tidak mau dikatakan sudah di luar kepala Kun-gi, tapi sekarang dia pura2 menaruh perhatian dan mendengarkan dengan seksa ma.

Setelah So-yok berhenti baru Thay-siang ber-tanya: "Kau sudah paham? "

“Hanya gaya pedang dan jurus2nya saja yang hamba ingat, sementara variasi perubahannya dalam waktu dekat mas ih sulit kusela mi" demikian jawab Kun-gi.

Thay-siang tersenyum senang, katanya: "Perubahan kedua jurus ilmu pedang ini me mang ruwet dan banyak cabangnya pula, bahwa kau bisa mengingat gerak-tipunya sudah terhitung bolehlah, inti sari jurus pedang ini harus lebih meresap kau pelajari, me mangnya dalam jangka sesingkat ini kau dapat me maha minya? Terus kan latihanmu di sini, sebelum matahari tenggelam kau harus, apal dan sempurna me mpelajari kedua jurus ilmu pedang ini, sekarang akan kua mbil ke mba li lukisan ini." Kun-gi munduk2 sa mbil mengia kan- Thay-siang menga mbil pula gulungan kertas lain yang lebih kecil dari meja pe mujaan, katanya me mbalik kearah So-yok dan Giok-lan, "Kalian masuk ke   sana   ikut   gurumu."-Lalu   dia   mendahului me langkah ke ka mar sebelah kiri, Giok-lan dan So-yok mengikut i di belakang tanpa bersuara, tentunya mereka juga akan diajari jurus ketiga da-ri Tin-pang-sa m-kia m itu.

Selama tiga hari ini, seluruh penghuni Pek— hoa-ceng, seluruh anggota Pek-hoa-pang sibuk dan giat latihan memperdala m ilmus ilat masing2, ada yang sibuk latihan pedang,

Ada yang menggosok golok atau gaman masing2, tak sedikit pula yang mengeraskan kepalan dan meringankan tendangan kaki, suasana ramai penuh dihinggapi se mangat tempur yang berkobar. Semua satu hati, ingin unjuk kepandaian sendiri di medan tempur me lawan jago2 Hek-liong-hwe.

ooooodwooooo

Sampa i hari kee mpat, hari masih pagi, bintang mas ih berkelap- kelip di cakrawala, udara masih dingin diliputi kabut tebal, Tiada nampak sinar la mpu di Hoa-keh-ceng yang terletak diPek- ma- kok. tapi adalah serombongan orang berbaris sedang keluar dari pintu gerbang.

Barisan ini dipimpin sendiri oleh Thay-siang yang berpakaian serba hitam dengan cadar hitam pula, di belakangnya berturut2 adalah Bok-tan, Pek-hoa-pangcu, Hu-pangcu So-yok, Congkoan Giok- lan serta tujuh Tay-cia, mereka adalah Bi-kui, Ci-hwi, Hu-yong, Hong-sian, Giok-je, Hay-siang dan Loh-bi-jin, paling belakang adalah barisan 24 dara2 kembang, semua berpakaian ringkas ketat warna gelap.

Inilah kekuatan inti Pek-hoa-pang yang langsung di bawah ko mando Thay-siang. Sementara Bwe-hoa, Liau-hoa, Tho-hoa, Kick- hoa dan Giok- li berlima mengantar keluar, mereka berlima tidak turut serta, tapi ditugaskan me njaga Hoa-keh-ceng. Hari masih gelap. sepanjang pesisir danaupun mas ih pekat tiada sinar lampu. Tapi di tengah kegelapan berkabut tebal itu, dipinggir danau pada dermaga paling utara berlabuh sebuah kapal besar, bertingkat tiga, dari ujung yang satu ke ujung yang lain kapal ini bercat hitam lega m, maka kelihatannya seperti sebuah bukit kecil yang bertengger di pinggir danau.

Karena tidak tampak sinar la mpu sehingga terasa kapal bertingkat ini rada misterius. Di daratan tampak bayangan orang berbaris berjajar me manjang, tegak siap tanpa bersuara. Mereka dipimpin oleh Ling Kun-gi, disambung Leng Tio-cong, Coa Liang, lalu Kongsun Siang, Song Tek-seng, Cin Te-khong, Thio La m-jiang, Toh Kian-ting, Lo Kun-hun, Yap Kay-sian, Liang lh-jun, paling akhir adalah ke-12 Houhoat-sucia.

Setelah mereka me nyambut kedatangan Thay-siang ke atas kapal, lalu beruntun merekapun naik ke atas kapal pula. Kejap lain kapal besar ini telah berlayar kearah utara, suasana tetap hening tak ada yang bersuara.

Tak la ma ke mudian kegelapanpun berganti re mang2 la lu muncul sinar emas kemilau di ufuk timur, kabut semakin tipis, sinar surya terang benderang me mancar kan cahaya di permukaan danau nan tenang, tiada yang tahu bahwa di balik ke tenangan ini laksana bara di dalam seka m.

Kapal yang ditumpangi Pek-hoa-pang Thay-siang Pangcu untuk menyerbu Hek- liong-hwe ini sudah tentu dibuat khusus, kekuatannya berlipat ganda. berlaju lebih cepat daripada kapal besar seukurannya. Kapal ini terbagi tiga tingkat tapi yang kelihatan diper mukaan air hanya dua tingkat. Tingkat paling atas tempat kedia man Thay-siang, Bok-tan, So-yok, Giok-lan dan enam Taycia. Ting- kit kedua untuk Ling Kun-gi bersa ma para hou-hoat-sucia, Tingkat paling bawah diperuntukanpara dara ke mbang yang dipimpin Loh-bi-jin.

Kapal terus laju ke utara. Semua hanya tahu tujuan mereka untuk bertempur mati2an dengan orang2 Hek- liong-hwe, sementara di mana letak sarang Hek-liong-hwe tiada seorangpun yang tahu, berapa lama pula mereka harus berlayar baru akan tiba dite mpat tujuan? Ini merupakan rahasia, sampaipun Bok-tan dan So-yok, pimpinan tertinggi Pek-hoa pang juga tidak tahu. . Sudah tentu mereka sa ma heran dan ber-tanya2, Kalau Hek-liong-hwe musuh Pek-hoa-pang, kenapa Thay-siang harus merahasiakan sarang musuh?

Pagi hari kedua setelah mereka berlayar, udara masih remang2, semala m kapal bertingkat ini berlabuh di Tay koh-teng, sejauh ini belum lagi berangkat. Enam sa mpan berbentuk lonjong yang bisa bergerak gesit dan cepat dipermukaan air ta mpak berdatangan, kiranya tiba saatnya berganti piket 12 Houhoat-sucia bergiliran ronda mala m dengan kedelapan Houhoat di sekeliling perairan-Pada tingkat kedua terdapat sebuah ruangan ma kan yang luas, tempat untuk istirahat pula, tiga meja segi delapan berjajar dalam bentuk segi tiga terletak di tengah ruangan-Pada saat mana Cong-houhoat- sucia, Coh-yu-hou-hoat dan delapan Hou-hoat berada di ruang besar ini. Inilah saatnya sarapan pagi.

Derap kaki yang berat berdantam di atas geladak, dua bayangan orang cepat sekali sedang turun ke-ruang makan ini. Leng Tlo-cong yang duduk paling ujung kiri sedang menggerogot sebuah bakpau sambil meno leh, mendadak matanya terbeliak dan bertanya kereng: "Apa terjadi sesuatu Toh-houhoat dan Lo-houhoat? "

Toh Kian- ling dan Lo Kun-hun semala m bertugas dengan empat Houhoat lain meronda perairan, setelah terang tanah baru kemba li, untuk ke mba li sebetulnya tidak perlu tergesa2, karena mendengar langkah mereka yang gugup inilah ma ka Leng Tlo-cong merasa curiga la lu bertanya.

Yang masuk me mang Toh Kian- ling dan Lo Kun-hun, keduanya menjura. Toh kian- ling men-jawab: "Apa yang dikatakan Coh- houhoat me mang betul, Nyo Keh-cong dan Sim Kian-sin sa ma2 terluka."

Tergetar Leng Tiong cong, tanyanya: "Terjadi apa, di mana? ” “Di sebelah utara Toa-hou-san.” “Dima na mereka? "

"Sudah ke mba li, cuma dua kelasi diperahu Sim Kian-sin sa ma tewas."

Tengah bicara, tampa k datang Ban Yu-wi, Coh Hok-coan berdua me mapah Sim Kian-sin dan Nyo Keh cong yang terluka itu.

Kun-gi berdiri menya mbut kedatangan mere-ka, tanyanya: "Bagaimana luka2 kalian?"

Toh Kian- ling menerangkan: "Nyo-sucia terluka dipaha oleh senjata gelap musuh, untung dia selalu me mbawa obat, racun sudah dikupas, cuma senjata rahasia terlalu kecil, masih sukar dikeluarkan-badan Sim-sucia terluka tiga bacokan pedang, terlalu banyak keluar darah, tadi sampai pingsan, setelah kubalut dan telan dua butirobat, keadaannya sudah agak pulih, kesehatan mereka tidak perlu di- kuatirkan lagi.”

“Bagus, biar mere ka duduk. coba akan kuperiksa," kata Kun-gi.

Ban Yu-wi dan Coh Ho-coan mengiakan, mereka bimbing kedua orang yang terluka itu duduk di kursi.

Ting Kiau tampa k beranjak masuk dari dalam baju dia keluarkan sebuah lempengan besi persegi, katanya: "Cong coh (panggilan dinas pada Ling Kun-gi), inilah senjata rahasia lembut dipaha Nyo- heng, mungkin sebangsa jarum beracun. bagaimana kalau kuperiksa dan menyedotnya keluar? "-Dia bersenjata kipas le mpit yang biasame-nye mburkan jarum2 beracun, maka selalu ia bawa besi sembrani untuk menyerap jarum2 beracun itu.

Kun-gi tahu bahwa anak buahnya ini sa ma merasa sirik padanya karena merebut jabatan Cong-houhoat, kinilah kese mpatan untuknya mende montrasikan kepandaiannya di depan orang banyak. maka dia berkata: "Tak usalah, biar kuperiksa lebih dulu." Lalu dia singkap kaki celana Nyo Keh-cong yang telah dirobek. tampak lima lubang kecil berwarna biru, kulit dagingnya sudah di- polesi obat penawar getah bercun, kadar racunnya boleh dikatakan sudah tawar, tapa batang jarum masih berada di dalam daging, maka dia berpaling sa mbil menuding lubang kecil itu, katanya: "Jarum ini me mang beracun, meski sudah dipolesi obat penawar, daging dan darah tetap keracunan, kalau hanya menyedot keluar jarumnya saja tanpa mengeluarkan darah yang sudah keracunan, kalau terlalu la ma tetap akan me mbahayakan badan."

Toh Kian-ling berkata: "Ha mba sudah me mberi minum t iga butir pil penawar racun buatan Pang kita,"

Kun-gi menggeleng dan berkata: "Kukira tidak berguna, kecuali Nyo-heng sendiri ma mpu mengerahkan hawa murni dan mendesak jarum keluar dari kulit dagingnya."

Sudah tentu keterangannya ini sia2 belaka, duduk saja Nyo Keh- cong sudah payah, mana ma mpu me ngerahkan tenaga segala?

Kun-gi lantas mengusap per mukaan kulit paha Nyo Keh-tong yang bengkak, kejap lain dia me mbalik tangan, tampak lima batang jarum baja sele mbut bulu kerbau berjajar di telapak tangannya.

Leng Tio-cong terbeliak serunya tertahan: “Hebat betul Lwekang Cong coh."

Kun-gi tertawa, ujarnya: "Bicara kekuatan Lwekang sejati, mana aku bisa menandangi Leng-heng, apa yang kugunakan barusan adalah daya sedot dari Kim-liong-jiu saja."

Dipuji dihadapan umum, sudah tentu Leng Tio-cong merasa bangga dan besar pula artinya bagi pribadinya. Maka mukanya berseri, berulang dia menjura, katanya: "Cong coh terlalu me muji "

Sementara itu Kun-gi ulur tangan kiri menggengga m telapak tangan kanan Nyo Koh-cong, diam2 dia kerahkan hawa murni me lalui lengan orang terus mendesak kepaha orang, Maka Kelihatan darah hitam mulai me leleh keluar dari kelima lubang jarum. Tak la ma kemudian, darah hitam telah berganti darah merah segar. Kun-gi lantas lepas genggamannya, katanya:. "Sudah, racun sudah menga lir keluar, lekas kalian bantu me mberi obat luar serta dibalut."

Nyo Keh-cong menarik napas panjang, hatinya lega, tapi masih le mah, katanya: "Terima kasih, Cong coh." Ban Yu-wi mengeluarkan obat dan me mbalut luka kawan itu.

Kemudian Kun-gi bertanya. “Hari ini siapa yang piket? " Coa Liang menjawab: "Yap Kay-sian dan Liang Ih-jun."

Yap Kay-sian dan Liang Ihjun, segera tampil ke muka, katanya sambil menjura: "Entah Congcoh ada pesan apa?" Empat Houhat- sucia juga ikut berbaris di belakang mereka.

"Waktu berlayar lagi, kalian harus segera berangkat, periksa dulu daerah sekitar Toa-hou-san. kalau menemukan jejak musuh, berilah tanda penghubung.".

Yap Kay-sian dan Liang Ih- jun mengiakan, setelah menjura terus bawa empat Hou-hoat-sucia berangkat.

Baru saja Kun-gi hendak minta keterangan lebih jelas dari Nyo Keh-cong dan Sim Kian-sin tentang peristiwa yang terjadi. Tiba2 Congkoan Giok-lan melangkah masuk.

Kun-gi mendahului berdiri serta menyapa, Giok- lan balas hor mat dan berkata: "Cong-sucia, kalian boleh duduk. tak berani kuterima penghormatan ini."

Leng Tio-cong menyingkir ke kanan bersa ma Coa Liang, tempat duduknya diperuntukan Giok— lan. Semua orang kemba li duduk berurutan.

Giok- lan me mandang Nyo dan Sim berdua, tanyanya: "Cong-su- cia, mereka berdua terluka, apa yang terjadi? "

"Mereka mengala mi sergapan di sekitar Toa-hou-san," tutur Kun- gi. "Orang Hek- liong- hwe? "

Menuding jarum yang terletak di meja, Kun-gi berkata: " orang itu menggunakan Bhe-hay-cia m yang direndam getah beracun, tentunya orang Hek— liong-hwe.”

“Apakah sudah kau kirim orang me nyelidiki te mpat kejadian? " tanya Giok-lan- "Yap dan Liang berdua Hou- hoat sudah ku-utus kesana, menurut dugaanku bangsat itu tentu sudah angkat kaki, apa lagi sekarang sudah terang tanah, mungkin takkan me mperoleh apa2."

Tengah bicara dilihatnya Hu-pangcu So-yok me langkah tiba, matanya mengerling kearah Kun-gi, katanya lincah: "Ling-heng, katanya orang kita mengala mi sergapan? Apakah bentrok dengan orang2 Hek- liong hwe"

Kun-gi berdiri, katanya tertawa: "Kebetulan Hu-pangcu ke mari, duduk persoalannya aku sendiri juga belum jelas, Silakan duduk." Dia berdiri lalu menyilakan So-yok duduk di te mpatnya.

"Silakan duduk Ling-heng, aku duduk bersa ma Sa m- moay saja." Terpaksa Kun-gi duduk ke mba li di te mpatnya. Toh Kian-ling dan

Lo Kun-hun sa ma2 berdiri dan menyapa: "Hamba me mberi hor mat

kepada Hu-pangcu.”

“Se mala m kalian berdua yang piket? " tanya So-yok. Toh dan Lo mengiakan-

"Kapan perist iwa itu terjadi? " tanya So-yok pula.

"Kira2 kentongan ke-lima," tutur Toh Kian- ling, la lu dia menerangkan lebih lanjut: "Se mala m waktu ka mi keluar, bersa ma Lo-heng ka mi terbagi dua kelompok. Lo-heng bersama Ban dan Coh bertiga meronda ke selatan Toa-hou-san, ha mba bersa ma Nyo dan Sim tiga orang me mer iksa bagian utara, kentongan kelima, cuaca amat gelap. permukaan danau diliputi kabut tebal, dalam jarak lima tombak tak terlihat apa2 ”

“Ceriterakan secara singkat, jangan bertele2," tukas So-yok tak sabar.

Toh Kian- ling tahu watak Hu-pangcunya ini, maka cepat ia meneruskan: "Sa mpan kita bertiga beriring dalam jarak belasan tombak. karena kabut a mat tebal, hamba berdiri di ujung perahu, mendadak kudengar suara bentakan di depan, cepat kusuruh kayuh sampan ke arah datangnya suara, tapi Waktu. . .. waktu hamba tiba, dua tukang perahu disampan Sim-sucia sudah menjadi korban, Sim-heng terkena tiga bacokan pedang, badan berlumuran darah dan rebah di atas sampan, melihat hamba datang mulutnya masih sempat berteriak. "Kejar" lalu jatuh semaput, sedang Nyo-sucia juga mengge letak di ujung sana terkena senjata rahasia musuh dan tak sadarkan diri."

"Kau sendiri tidak melihat bayangan musuh? " tanya So-yok "Waktu itu kabut amat . . . ." sebetulnya dia hendak mengatakan

"amat tebal", tapi dia lantas berhenti lalu menyambung pula: "waktu hamba me nyusul tiba, kapal musuh sudah tidak kelihatan lagi."

Karena terluka tiga bacokan pedang dan terlalu banyak keluar darah, keadaan Sim Kian-s in paling payah, sambil berpegang pinggir meja dia berdiri dan berkata: "Lapor Hu-pangcu, duduk kejadiannya hanya hamba yang paling jelas.”

“Luka Sim-heng tidak ringan, bicaralah sambil duduk saja," ujar Kun-gi. Mengawasi So-yok. Sim Kian-s in tidak berani bersuara.

Giok- lan lantas menyela: "Cong-sucia suruh duduk, ma ka duduklah kau sa mbil bicara."

Sim Kian-sin berduduk. lalu sambungnya: "Te mpat kejadian kira2 di sebelah barat laut Toa-hou-san, sampan hamba waktu itu kira2 hanya lima li dari daratan, kudengar suara percikan air, semula kukira sampan Nyo heng yang mendekat, maka tidak kua mbil perhatian " So-yok mendengus tidak sabar.

Sim Kian-s in merandek dan tergagap. lekas dia meneruskan kisahnya: "Akhirnya kudengar pula suara benda kecebur, waktu aku berpaling, terlihat bayangan hitam me lesat di buritan, baru saja hamba menghardik, gerak-gerik bayangan itu a mat lincah, tahu2 pedangya sudah menusuk t iba terpaksa ha mba me lawannya."

"Kau tidak me lihat je las wajahnya? " tanya So-yok,

"Bukan saja dia herpakaian serba hitam, batang pedangnya itupun hitam lega m, ha mba hanya melihat perawakannya kurus tinggi, sayang tidak se mpat me lihat wajahnya." "Bagaimana per ma inan pedangnya? " tanya Giok— lan-

"Ilmu pedangnya keras dan ganas, hamba me lawannya dua puluhan gebrak, paha terkena bacokan sekali "

"Kapan Nyo Keh-cong me nyusul tiba?" tanya So-yok,

"Kira2 setelah ka mi bergebrak sepe minuman teh, sampan Nyo- heng datang dari arah kiri, kudengar Nyo-heng me mbentak se mbar i menubruk datang, maka kulihat orang berbaju hntam itu mendengus dan mengayun tangan kiri sa mbil menyeringa i: Turunlah Kabut amat tebal, kuatir Nyo-heng kena dikerjai ma ka hamba berteriak: Awas Nyo-heng Tapi Nyo-heng sudah telanjur me lo mpat datang, kudangar dia mengeluh sekali terus tersungkur di buritan, karena sedikit terpencar perhatianku ke mbali aku terkena serangan lawan, pedangnya dilumuri getah beracun, kaki ha mba seketika menjadi kaku dan roboh terkapar, untung sa mpan yang lain sudah berdatangan, bangsat itu tampak gugup terus melar ikan diri, kejap lain Toh-houhoatpun tiba."

So-yok menggeram gusar, katanya: "Musuh hanya datang satu orang, bayangannya saja kalian tidak jelas, pihak kita sudah jatuh dua korban, kalau seperti ini gelagatnya, me mangnya ada harapan kita meluruk ke sarang Hek- liong-hwe? "

Gelisah sikap Toh Kian-ling, jawabnya malu: "Ya, ha mba me mang tidak becus "

"Kalian ini me mang cuma setimpal makan minum dan ber-foya2 saja di Hoa- keh-ceng." So-yok muring2.

"Kejadian di luar dugaan, kabut tebal lagi, berhadapanpun sukar me lihat wajah orang, cuaca buruk ini me mang a mat menguntungkan musuh," demikian timbrung Kun-gi.

So-yok mencibir, katanya: "Kalau peristiwa se ma lam diketahui Thay-siang, siapa yang akan ber-tanggung jawab kalau dicaci maki? " Kun-gi tertawa, katanya: "Sejak mula Thay-siang sudah bilang, tanggung jawab kepentingan Pang kita berada dipundakku, sudah tentu akulah yang harus bertanggung jawab? "

"Bagaimana kau akan bertanggung jawap? " tanya So-yok dengan kerlingan mata genit.

"Dalam beberapa hari lagi, Cayhe yakin akan berhasil menangkap bangsat itu, cukup bukan? "

So-yok berdiri, katanya: "Bicaralah setelah bangsat itu betul2 kau tangkap. jangan takabur lebih dulu, dihadapan Thay-siang jangan sekali2 kau bicara de mikian- "

Melihat Hu-pangcu berdiri, lekas Giok- lan ikut berdiri, kata Kun- gi: "Me mangnya Hu-pangcu tidak percaya kepadaku? "

Menggiurkan tawa So-yok. katanya: "Aku percaya . . . .

"bergegas dia me langkah pergi dan Giok- lan ikut di belakangnya.

Setelah So-yok pergi, perasaan para Houhoat sama lega dan enteng, mereka bersenda gurau sebentar, lalu Leng Tiong-cong berdiri sambil menenteng pipa cangklong. katanya: "Sudahlah, kapal sudah berlayar cukup jauh, sudah hampir sa mpai Toa-hou-san, hari ini yang piket di kapal besar adalah Cin Tek- khong dan Tio Lam- jiang bukan? Marilah kita naik ke atas geladak."

Cin Tek-khong dan Thio La m-jiang mengiakan bersama, mereka ikut Leng Tio-cong naik keatas.

Kamar tidur Ling Kun-gi terletak di sebelah kiri ruang makan, kecuali dipan, dipinggir jendela masih ada sebuah meja kecil dan dua buah kursi. Pajangan amat sederhana, tapi di atas kapal keadaan ini sudah cukup bagus untuk te mpat tinggal. Waktu Kun-gi ke mbali ke ka marnya, sepoci teh kental sudah tersedia di mejanya, dia tuang secangir teh lalu duduk di kursi yang dekat jendela, didengarnya seorang mengetuk pintu pelahan.

"Siapa?" tanya Kun-gi.

Orang di luar menjawab: "congcoh, ha mba Kongsun Siang." "Silakan masuk Kongsun-heng," seru Kun-gi.

Kongsum Siang dorong pintu me langkah masuk. katanya menjura: "Ha mba tidak mengganggu congcoh bukan."

Kun-gi taruh cangkir tehnya di atas meja, katanya berdiri: "Silahkan duduk Kongsun-heng, marilah minum secangkir," dia ambil cangkir lain hendak menuangkan air teh.

Buru2 Kongsun Siang maju sa mbil berkata gugup: "Biarlah hamba ambil sendiri."

"Jangan sungkan Kongsun-heng, berada di ka marku ini, aku jadi tuan rumah," Kun-gi tuang secangkir air teh terus ditaruh di meja.

"Terima kasih congcoh," Ucap Kongsun Siang.

"Usia kita sebaya, kenapa tidak mebahasakan saudara saja, dipanggil congcoh rasanya risi," kata Kun-gi berkelakar.

Bersinar biji mata Kongsun Siang, katanya: "Pertama kali hamba berhadapan dengan congcoh lantas timbul perasaan cocok. dalam pertandingan tempo hari sungguh me mbuat ha mba kagum dan tunduk lahir batin. Sayang jabatan me mbatasi kita, kalau tidak hamba ingin benar angkat persaudaraan-"

Kun-gi tertawa, katanya: "ini cocok dengan pikiranku, me mang sudah kulihat Kongsun-heng punya pambek luar biasa, selanjutnya bolehlah kita saling me mbahasakan saudara saja?"

Haru dan terima kasih Kongsun-siang, katanya: "Maksud baik congcoh sungguh tak terhingga terima kasih hamba, tapi ada aturan Pang kita yang membatasi diri kita, betapapun hamba tidak berani me langgarnya.

"Pangcu, Hu-pangcu dan congkoan serta dua belas TayCia bukankah juga saling me mbahasakan saudara, mereka toh tidak me langgar aturan Pang."

"Betapapun ha mba tidak berani gegabah." "Kalau Kongsun-heng kukuh pendapat, biarlah di kamarku sekarang kita tidak perlu sungkan dan kikuk. Mari silakan duduk Kongsun-heng, kita mengobroL"

"Ling-heng sudi merendahkan derajat bersahabat dengan hamba, baiklah aku menurut perintah saja," demikian ucap Kongsun Siang, lalu dia duduk di kursi di depan Kun-gi, katanya: "Guruku berwatak jujur dan setia, walau orang2 Kangouw me mber i julukan Sia- long ( serigala sesat ) kepada beliau, yang betul beliau lurus dan bijaksana, cuma jarang bergaul, selama hidup tak pernah tunduk kepada siapapan, hanya terhadap guru Ling-heng seorang beliau tunduk dan kagum setinggi langit, pernah beliau bilang, hanya gurumu seorang di wilayah Tionggoan yang dipuja dan dikaguminya."

"Guruku juga pernah menyinggung guru Kong-sun-heng, ilmu pedangnya menyendiri merupakan aliran yang tiada bandingan, me mang tidak malu beliau sebagai cikal bakal suatu aliran-"

"Sudah tiga tahun aku masuk ke daerah sini, tidak sedikit kaum persilatan yang kukenal, sampai akhirnya mendar ma baktikan diri pada Pek-hoa—pang, kurasa kaum Bu- lim di Tionggoan hanyalah bernama kosong belaka, bahwa guruku hanya mengagumi gurumu saja, maka akupun,hanya kagum dan simpatik terhadap Ling-heng seorang."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar