Pendekar Kidal Jilid 10

Jilid 10

Kali ini Cu Jing mendengar jelas, orang di belakangnya. Dengan sigap dia me mba lik badan, tapi tetap tidak melihat bayangan seorangpun, keruan ia terkejut, jelas orang itu bicara di belakangnya, kenapa tidak kelihatan, dengan merinding dia bertanya: "Siapakah kau?"

"Aku ya aku," suara itu berbisik pula.

"Masa kau tidak punya she dan na ma?" ta-nya Cu Jing.

"Betul, aku orang tua me mang tidak punya she dan nama," sahut suara itu dengan tertawa.

Di kala orang bicara, dengan gerakan cepat Cu Jing me mbalik badan, tapi tetap tidak melihat bayangan orang. Malah suara orang berkumandang di telinganya: "Kau tidak usah berpaling, umpa ma kau putar2 sampai pusing tujuh keliling juga tidak akan bisa melihat aku orang tua."

"Me mangnya kau setan" seru Cu Jing. Tanpa terasa dia mer inding.

"Di siang hari bolong mana ada setan" seru suara itu. "Aku orang tua ini adalah dewa hidup sungguhan, kau percaya tidak?"

Cu Jing geleng kepala, katanya: "Aku t idak percaya." "Tidak percaya tidak jadi soal, lekas me lerai mereka."

"Mereka lagi berhantam sengit, bagaimana aku bisa me misahnya?"

"Kau tidak usah kuatir, loloslah pedangmu, gunakan jurus Thian- to-tiong-ho terus terjang ke tengah mereka, aku akan membantumu secara diam2."

Segera bisikan suara itupun menerangkan lebih lanjut: "Thian-to- tiang-ho adalah sejurus ilmu pedang dari Bu-tong-pay, kau bisa ma inkan t idak? Yaitu pedang tusuk lurus ke depan, la lu ujung pedang mendongak ke atas terus di sendal saja begitu."

"segampang itu?" seru Cu Jing tidak percaya.

"Kan ma ksudmu me misah? sudah tentu se makin ga mpang semakin ber manfaat. Ai, buyung, jangan banyak bertanya, cukup asal kau bergaya dan berpura2 saja, biar aku yang me mbantumu. "

"Umpa ma berhasil me misah mereka, apakah mereka mau di lerai?" tanya Cu Jing.

"Setelah mereka kau pisah, bekerjalah lebih lanjut menurut petunjukku."

Dengan seksama Cu Jing dengarkan suara orang, terasa serak dan rendah berat, ia tahu pasti seorang cianpwe kosen yang aneh tabiatnya, maka dia manggut2, katanya: "Baiklah, aku akan bekerja menurut petunjukmu " Setelah berpikir la lu dia bertanya pula "Apakah nanti kau tidak akan unjukkan dirimu?"

"Kau Buyung ini mewakilkan aku bekerja kan sudah cukup, muncul atau tidak bagiku sa ma saja. Nah, lekas maju, ingat jangan pedulikan jurus serangan apapun yang tengah mereka lancarkan, kau tetap gunakan jurus Thian-to-tiong-ho saja."

Dengan heran dan penuh tanda tanya Cu Jing keluarkan pedang terus mendekati gelanggang.

Waktu itu pertempuran Ban Jin-cun dan Kho Keh-hoa sudah mencapai babak genting me nentukan, pedang mereka dengan berlo mba kecepatan merobohkan lawan, lingkaran sinar pedang laksana kelebat kilat menyamber.

Ui-san kia m-hoat menguta makan ketenangan dan ke mantapan- Sebaliknya Liok-hap- kiam dari keluarga Kho yang tersohor menguta makan tusukan dan menutuk. oleh karena itu murid didiknya semua menggunakan batang pedang yang tipis dan panjang, begitu ilmu pedang dikembangkan, bagai bint ik2 sinar perak bertaburan. Konon kalau Liok-hap-kia m-hoat diyakinkan sampai taraf tertinggi, sejurus gerakan pedang sekaligus dapat menusuk telak 36 Hiat-to musuh, maka dapatlah dibayangkan betapa cepat gerak serangannya.

Kira2 tujuh kaki di luar gelanggang pertempuran Cu Jing sudah merasa silau dan tersampuk oleh angin kencang yang me mbendung langkahnya, bayangan orang dan sinar pedang sukar dia bedakan, sesaat ia berdiri me longo tak tahu apa yang harus dia kerjakan?

Baru saja ia merandek, suara tadi lantas mendesaknya: "Sudah kubilang jangan kau pedulikan mereka. Nah, bersiaplah, angkat pedangmu dan cungkil." -Begitu suara orang masuk telinga, tanpa kuasa tangan kanan Cu J ing yang me megang pedang tiba2 bergerak terus menyongke l ke depan-

Kalau dituturkan me mang aneh, dengan serampangan pedangnya menyongkel, tapi justru menimbulkan kejadian aneh. Terdengar "trang-tring" dua kali, kedua batang pedang Ban Jin cun dan Kho Keh-hoa yang sedang saling labrak dengan sengit itu lengket seperi tersedot oleh besi sembrani, se muanya menindih pada ujung pedang Cu Jing tanpa bisa bergeming lagi.

Keruan kedua orang sa ma terbelalak kaget, mereka kerahkan tenaga   dan menarik sekuatnya,   tapi pedang mereka   seperti me lengket di ujung pedang Cu Jing, tak kuasa mereka menariknya.

Merah mata Ban Jin-cun, serunya: "Cu-heng, aku takkan hidup berjajar dengan dia, lebih baik jangan kau turut ca mpur."

Kho Keh-hoa juga menggerung murka, teriaknya:. "Apa2an maks ud saudara ini?"

Pada saat itulah, suara tadi mengiang pula di telinga Cu Jing: "Buyung, sekarang beritahu mereka bahwa atas perintah gurumu, kau disuruh me lerai perkelahian mereka."

Cu Jing merasa heran, batinnya: "Masa kedua orang ini juga tidak me lihat bahwa di belakangku ada orang?" Maka sa mbil menuding pedangnya ia berkata: "Kalian harap berhenti dulu, atas perintah guru cayhe sengaja kemar i untuk me lerai per musuhan keluarga kalian."

"Cu-heng," kata Ban Jin-cun, "Sakit hati ke matian orang tua setinggi langit, ini bukan per musuhan biasa, buat apa Cu-heng menca mpur i urusan ini"

"Betul,"jengek Kho Keh-hoa, "aku pantang berdiri sejajar di dunia ini dengan dia, kalau bukan aku yang gugur, biar dia yang mampus, tak usah orang lain melerai segala."

Cu Jing tersenyum, katanya: "Kalian sama2 menuduh ayah lawan menyerbu rumah kalian serta me mbunuh segenap anggota keluarganya, kukira dalam peristiwa ini ada latar belakang "

Tiba2 suara tadi terkekeh dipinggir telinganya, katanya: "Tepat sekali ucapanmu Buyung."

"Me mang betul o mongan Cu-heng, ayahku almarhum sudah meninggal setahun yang la lu karena sakit, mana mungkin me mimpin orang menyerbu ke C iok-bun segala, keparat ini hanya me mbua l belaka."

"Kaulah yang me mbuat," maki Kho Keh- hoa, "Sudah terang bapakmu me mbawa gerombo lan penjahat menyergap rumah ka mi, seluruh keluargaku tiada yang ketinggalan hidup, ayahku jelas meninggal di bawah pedang bangsat she Ban, mana mungkin me mbawa orangnya menyerbu ke Ui-san, jelas kau me mfitnah dan cari alasan belaka untuk menista pihak ka mi, aku bersumpah takkan hidup berda mpingan dengan keluarga Ban kalian- Keparat, lihat pukulan"

Karena pedang mereka lengket dengan pedang Cu Jing dan tak kuat ditarik ke mbali, saking murka Kho Keh-hoa lantas ayun kepalan menggenjot ke muka Ban Jin- cun, Sudah tentu Ban Jin-cun tak mau kalah, jengeknya: "Me mangnya aku takut pada mu?" iapun ayun tangan kiri balas me nyerang.

Jarak kedua orang cukup dekat, maka kedua pihak lantas beradu pukulan- Tapi begitu kepalan saling sentuh, seketika mereka merasakan sesuatu yang ganjil, hakekatnya kepalan sendiri tidak bersentuhan dengan kepalan lawan, di tengah antara mereka se- olah2 ada lapisan lunak yang tidak kelihatan me mbendung pukulan mereka, musuh jelas terlihat di depan mata, tapi pukulan sukar mencapai sasaran. Hati mereka sa ma2 mencelos, pikirnya: "Entah siapa orang she cu ini? Usianya masih begini muda, tapi me mbeka l Lwekang begini tinggi. "

Sudah tentu Cu Jing juga menyaksikan dengan jelas, dia tahu bahwa tokoh di belakang dirinya yang me misah pukulan kedua orang, dan anehnya mereka berdiri di samping dirinya, kenapa tidak me lihat tokoh yang ada dibelakangnya.

Maka didengarnya suara tadi berkata pula: "Nah, sekarang boleh kau turunkan pedangmu, katakan urusan ada pangkal ujungnya, utang bisa ditagih, kalau mau berkelahi juga boleh setelah terang persoalannya," "Harap kalian berhenti dulu," kata Cu Jing menurut petunjuk itu, "utang jiwa bayar jiwa, utang uang harus ditagih, kalau mau berkelahi boleh juga, tapi urusan harus dibikin terang lebih dulu." Lalu pelan2 dia turunkan pedangnya.

Begitu pedangnya ia tarik, kedua orang segera merasa longgar, cepat mundur seraya menurunkan pedang .

Kata Ban Jin-cun- "cara bagaimana Cu-heng hendak me mbikin terang urusan ka mi?"

Belum Cu Jing menjawab, suara tadi sudah berkata: "Suruh mereka menceritakan kejadian yang menimpa keluarga mereka masing2?"

Cu Jing lantas berkata: "Siaute ke mar i atas perintah guru, soalnya urusan kalian terlalu janggal, banyak   liku2   yang mencur igakan, sudikah kalian menuturkan dulu peristiwa yang menimpa keluarga kalian masing2 ?"

Terpaksa kedua orang memasukkan pedang kedalam sarung serta mundur lagi selangkah.

Ban Jin-cun lantas berkata: "Boleh cu- heng suruh dia men- jelaskan lebih dulu."

Kho Keh-hoa menyeringai dingin: "Boleh saja, kenyataan terpampang di depan mata, me mangnya kau dapat mungkir?"

"Marilah kita duduk di sini," ajak Cu Jing.

Ban Jin- Cun dan Kho Keh-hoa menurut, mereka bersimpuh di atas rumput tanpa bicara. Terdengar suara tadi me mbisiki pula: "Suruhlah bocah she Kho tuturkan pengala mannya."

"Kho- heng," kata Cu Jing segera, "boleh kau bercerita lebih dulu."

Terpancar sinar beringas dari mata Kho Keh-hoa menatap Ban Jin-cun, katanya penuh kebencian. "Pada suatu mala m kira2 setengah bulan yang lalu, baru kentongan pertama, tanpa sengaja pamanku kedua melihat bayangan puluhan orang bergerak di bawah gunung dan berlari2 naik ke puncak, waktu itu jaraknya masih beberapa li dari ruma h kami, pa man tidak tahu pendatang kawan atau lawan? cepat ia me mber itahukan kepada ayah disa mping me mberi peringatan kepada semua orang untuk bersiaga. Di bawah pimpinan pa man sendiri bersa ma beberapa centeng se mbunyi di depan rumah, kami ingin tahu siapakah pendatang itu ....." sekaligus bicara sampa i disini baru ia berganti napas: "mala m itu kebetulan tanggal 14, bulan terang benderang, baru saja aku bersama paman dan lain menye mbunyikan diri, puluhan orang itupun sudah tiba, tampak yang berlari paling depan adalah seorang laki2 tegap ber muka merah berja mbang hita m, mengenakan baju hijau, menenteng pedang beronce kuning, begitu melihat orang ini pa man lantas bersuara heran, cepat dia melo mpat keluar menyongsong, serunya: Ban bengcu ma la m2 berkunjung, Siaute Kho cin-sing terla mbat menya mbut, harap dimaafkan- Dari seruan paman itu aku baru tahu bahwa pendatang adalah Thok-tah-thian-ong Ban Tin- gak. yang dulu pernah menjabat Bu- lim Bengcu, maka akupun me lo mpat keluar ikut menya mbut"

Belum orang selesai bicara tiba2 Ban Jin-cun menyengek: "Kukira tidak benar, ayahku sudah meninggal setahun yang lalu, mana mungkin orang yang sudah mati setahun la manya muncul di cioks- bun?"

"Apa yang kututurkan adalah kejadian yang nyata," teriak Kho Keh-hoa gusar. "Me mangnya aku mengarang cerita bohong?"

Terdengar suara tadi berkata: "Suruhlah bo-cah she Ban itu tidak menyela lagi, dengarkan dulu cerita bocah she Kho sa mpai selesai."

Cu Jing lantas berkata: "Kalian tidak usah r ibut, di sinilah kejanggalan yang kumaksud tadi, sementara harap saudara Ban bersabar, dengarkan dulu cerita saudara Kho sa mpai habis."

Kho Keh-hoa menerus kan ceritanya: "Melihat pa manku, Ban Tin- gak manggut2 sambil balas hor mat, tanyanya: Kho ji-heng jangan sungkan, apakah kakakmu di rumah? Pa man mengangguk sambil berpesan padaku: Keh-hoa, lekas lapor pada Toa-ko, katakan Ban- bengcu dari Ui-san datang. Belum lagi aku sempat mengia kan Ban Tin-gak telah berkata pula dengan nada berat: Tak usahlah. Belum habis dia bicara, mendadak ia melo los pedang terus menusuk paman, karena sedikitpun tidak bersiaga dan tidak menduga, kontan paman tertusuk mati "

"Waktu itu saudara Kho kan berdiri di belakang pa manmu, kau tidak se mpat turun tangan?" tanya Cu Jing.

"Waktu paman bicara padaku, aku sudah melangkah setindak. jadi berdiri di sa mping pa man, tapi tusukan Ban Tin-gak me mang amat cepat, apalagi kejadian teramat mendadak dan di luar dugaan, baru saja aku mendengar suara pedang terlolos, sinar pedang sudah berkelebat laksana kilat, tahu2 pamanpun roboh mandi darah, keruan kagetku bukan ma in, waktu aku mendelik ke arah Ban Tin- gak, bangsat tua itu menyeringai, kata-nya: Lohu me nga mpuni jiwa mu, supaya keluarga Kho kalian tidak putus turunan- Menyusul telapak tangan terayun ke arahku "

"Tanpa me mba las saudara Kbo lantas terluka?" tanya Cu Jing.

Gemeretak gigi Kho Keh-hoa. "Entah gerakan apa yang digunakan bangsat tua itu? Hanya terasa dadaku sepeiti dipukul godam, badan lantas mencelat tiga tombak jauhnya, pikiran masih sadar, tapi tenaga habis badan lunglai, Lwekang dan kepandaianku telah punah dalam sekali pukul tadi, maka dengan mata terbelalak aku hanya bisa mengawasi bangsat tua itu pimpin anak buahnya menerjang ke dalam rumah, keadaan menjadi kacau-balau, suara benturan senjata berkumandang, sungguh mengenaskan 28 jiwa penghuni perka mpungan kami itu tiada satupun yang ketinggalan hidup oleh sergapan me ndadak ini, ayah-bunda mati tertusuk pedang "

Terdengar suara tadi berkata: "Suruhlah dia berpikir cer mat, adakah bagian ceritanya yang ketinggalan?" Cu Jing segera menurut, tanyanya, "coba saudara Kho pikir lagi lebih seksa ma, adakah kejadian lain yang terlepas dari ceritamu tadi."

Kho Keh-hoa berpikir sejenak. katanya: "Tiada lagi, kerja gerombo lan itu cukup rapi, di antara 28 korban yang meninggal, kecuali ayah bundaku yang terbunuh oleh pedang, yang lain terluka oleh berbagai maca m senjata. ada senjata rahasia beracun lagi, tapi tiada satupun senjata rahasia yang kute mukan, tiada pula tanda2 lain yang mencurigakan. "

Sampa i di sini, tak tertahankan lagi air matanya bercucuran, katanya sambil menuding Ban Jin- cun- "Dendam kesumat sedalam lautan ini, kaulah yang harus melunasinya . "

Kuatir kedua   orang   timbul keributan lagi,   lekas   Cu Jing me mbujuk: "Harap Kho-heng bersabar sebentar, sekarang giliran Ban-heng menceritakan pengala mannya."

"Akhir musim semi tahun yang lalu," de mikian Ban Jin-cun mengawali ceritanya, "ayahku keluar menya mbangi sahabat, kira2 setengah bulan ke mudian beliau pulang diantar seorang pa man angkatku, katanya dibokong orang, waktu pulang sampai rumah sudah tak mampu bicara, akhirnya beliau meninggal karena tidak terobati."

Terdengar suara tadi berkata kepada Cu Jing "Tanyakan Tok-tah- thian-ong dibokong oleh siapa, di mana letak luka2nya?"

Cu Jing lantas bertanya: "Entah siapakah yang melukai ayahmu, di bagian mana letak luka2nya?"

"Setiba di rumah ayah sudah tak bisa bicara," demikian tutur Ban Jin-cun lebih lanjut," menurut pa man, ayah dibokong orang pada suatu pegunungan, setelah beliau terluka dan lukanya cukup parah, tak mungkin buru2 pulang ke rumah, ma ka beliau ber-lari ke Kim- keh-ce, tempat kedia man pa manku itu, dia hanya bilang terkena pukulan Bu-sing- ciang, jiwanya pasti mangkat dalam tujuh hari, beliau minta pa man suka me lindungi keluarganya " "Siapa pa man angkat yang Ban-heng maksudkan?" tanya Cu Jing.

"Pamanku she cek bernama Seng-jiang, kenalan turun temurun, sejak kecil pa manku itu sudah angkat kakekku sebagai ayah angkat, pernah dia menjabat suatu pangkat dalam pe merintahan, sekarang dia sudah pensiun dan menikmati hari tuanya di rumah."

Terdengar suara orang tadi tidak sabar lagi, dia mendesak: "Suruh dia lekas tuturkan persoalannya, aku masih ada urusan la in-"

"Kapankah keluar Ban-heng mengala mi sergapan musuh?" tanya Cu Jing segera.

"Pada tanggal 16 ma la m," sahut Ban Jin-cun.

Kho Keh hoa segera menjengek: " Keluargaku mengala mi petaka pada tanggal 14 mala m, Jadi ayahku sudah meninggal dua hari la manya, bagaimana mungkin beliau me mbawa orang menyerbu ke Ui-san me mbunuh keluarga mu?"

Ban Jin-cun tidak hiraukan ucapan, orang tuturnya lebih lanjut: "Sejak ayah meninggal, ibu sangat sedih dan menangis terus menerus, akhirnya beliau jatuh sakit dan tak bangun lagi, mala m itu kira2 baru lewat kentongan pertama, baru saja aku keluar dari kamar ibu hendak ke mbali ke ka marku, mendadak kudangar suara ribut dan bentakan orang ramai serta benturan senjata, waktu aku me mbur u keluar, tampak puluhan laki2 berkerudung sedang lari kian ke mar i, melihat orang lantas bunuh, banyak korban sudah berguguran, gerombolan itu semua berkepandaian tinggi, cara turun tangannya juga amat keja m.

"Liok-sio k (pa man keena m) Lui-kong (aki petir) Ban Liok-jay tampak sedang berhantam dengan seorang laki2 berja mbang dan berpedang, kudengar paman mencaci dengan murka: Kho cin-hoan, keluarga Ban kami ada per musuhan apa dengan Liok-hap-bun kalian? Tanpa hiraukan peraturan Kangouw ma la m2 kau bawa gerombo lan penjahat menyerbu ke mari, me mbantai keluarga kami

......" "Mungkin dia sedang berhantam dengan setan," ejek Kho Keh- hoa.

Terdengar suara tadi berkata: "Tanyakan, apakah hanya Liok- hap-kia m Kho cin-hoan saja yang tidak berkerudung?"

Cu Jing lantas tanya: "Ban-heng melihat je las, di antara sekian banyak : gerombo lan berbaju hitam itu, hanya Liok-hap-kia m Kho cin-hoan saja yang tidak berkedok?"

"Ya, dia tidak me ma kai kerudung." "Suruh dia me lanjutkan," pinta suara tadi.

"Akhirnya bagaimana"" tanya Cu Jing segera,

"Sudah tentu aku a mat mur ka," tutur Ban J in-cun, "waktu aku me lolos pedang, mendadak kudengar seorang me mbentak disa mpingku, robohlah kau." Batok kepalaku seperti ditempeleng sekali, kontan aku jatuh semaput, waktu aku siuman ke mbali hari sudah terang tanah, kawanan penjahat sudah tak kelihatan bayangannya, tapi anehnya setelah semaput setengah malaman, waktu siuman, aku tidak kurang suatu apa2, sampai sekarang aku masih tak habis mengerti, kenapa orang itu tidak me mbunuhku? Sedang seluruh penghuni ruma hku se muanya mati dalam keadaan yang mengenaskan. cepat aku lari ke ka mar ibu, kedua pelayan pribadi ibu terbunuh dengan senjata rahasia beracun dan ibuku . . .

. "

Menyinggung ibunya, tak tertahan air mata bercucuran saking sedih, tuturnya lebih lanjut. "Beliaupun rebah kaku di atas ranjang, darah hitam mele leh dari pundak kirinya, jelas beliaupun terbunuh oleh senjata beracun, tapi tak kutemukan senjata rahasia apapun . .

. . akhirnya setelah pikiran agak tenang baru kudapati jari tangan kanan ibu menggengga m kencang, ternyata dalam telapak tangannya menggengga m sebuah senjata rahasia."

Tak tahan Kho Keh-hoa menyela: " Liok- hap-kia m sela manya tak pernah me ma kai senjata rahasia, apalagi beracun, entah senjata rahasia macam apakah itu?" "Suatu benda berbentuk bintang sebesar biji melinjo, berwarna hitam lega m."

Suara tadi berbunyi pula di telinga Cu Jing: "Tanyakan apa dia me mbawa senjata rahasia itu, suruh dia keluarkan supaya kulihat."

"Entah senjata rahasia itu Ban-heng bawa atau tidak sekarang?" tanya Cu Jing.

"Selalu kubawa ke manapun aku pergi," sahut Ban Jin-cun. "Bolehkah Ban-heng perlihatkan padaku?" tanya Cu Jing.

"Sudah tentu boleh," ujar Ban J in-cun- Lalu di merogoh kantong

menge luarkan sebuah buntalan kecil.

Pada saat itulah, mendadak bayangan seseorang laksana burung elang menukik dari angkasa meluncur turun cepat dan hinggap di depan Ban Jin cun, di mana sinar berkelebat, sebatang pedang tipis panjang tahu2 menyongkel ke depan, maka buntalan kain di tangan Ban Jin-cun seketika mencelat ke atas, sekali samber orang itu menangkapnya dengan tangan lain, berbareng kedua kaki menjeja k tanah, tubuhnya mencelat pula ke udara.

Kejadian ini terlalu mendadak, gerakan orang-pun teramat cepat dan tangkas lagi, hakikatnya tiga anak muda itu t idak me lihat jelas bayangan siapa orang tadi dan tahu2 buntalan ditangan Ban Jin-cun sudah direbut orang.

Sudah tentu Ban Jin cun yang paling kaget, cepat ia me mbentak seraya berdiri, baru saja dia hendak mengudak. tiba2 dilihatnya bayangan orang yang sudah mela mbung ke udara itu berjumpalitan beberapa kali di atas terus melayang turun pula dan "bluk",jatuh dengan keras di tanah.

Baru sekarang mereka bertiga sempat melihat jelas orang itu berpakaian hita m, bertubuh tinggi kurus, wajahnya kuning, gerak- geriknya gesit, dengan tangkas dia melejit bangun terus hendak me larikan diri pula, tapi baru saja dia lari beberapa tindak, mendadak badannya bergetar terus berhenti dan mematung kaku di tempatnya. Sudah tentu Cu Jing bertiga menyaks ikan dengan melongo keheranan. Mendadak terdengar suara serak tua bergelak tertawa. katanya: "Dihadapan aku orang tua, dengan sedikit kepandaianmu ini berani kau bertingkah?" - Suara ini berge ma seperti berkumandang dari angkasa, tapi seperti juga bicara di sa mping mereka bertiga, keruan Ban Jin-cun dan Kho Keh-hoa melongo kaget. tanpa janji mereka celingukan kian ke mari, tapi mana ada bayangan orang?

Cu Jing maklum Hiat-to laki2 kurus baju hitam ini terang ditutuk oleh orang tua yang sejak tadi bicara dengan dirinya itu, diam2 ia kaget dan kagum luar biasa, bayangan orang tua ini tidak kelihatan, entah dengan cara apa dia menundukkan orang berbaju hitam ini? .

Terdengar orang berbaju hitam mencaci ma ki dengan beringas: "Bangsat tua, siapa kau? Main se mbunyi, terhitung orang gagah maca m apa? Me mangnya kau tidak cari tahu siapa tuan besarmu ini"

Suara serak tua itu tergelak2, ujarnya: "Kau bocah ini belum setimpal tanya siapa aku orang tua ini. Tapi berani kau kurang ajar padaku, ma ka kau harus kuhukum. Nah, sekarang ga mpar lah mulut mu sendiri"

Sungguh aneh, mendadak si baju hitam angkat kedua tangan sendiri, "Plak-plok," berulang kali ia benar2 mengga mpar mukanya sendiri.

Cu Jing bertiga yakin si baju hitam terang tak rela mengga mpar muka sendiri, sorot matanya tampak mena mpilkan rasa kebencian, tapi juga jeri dan tak berani bersuara lagi. Keruan ketiga anak muda yang menyaksikan itu sa ma tertegun.

Terdengar suara serak itu berkata "Nah, urusan kedua keluarga kalian akupun tidak perlu banyak mulut, kalian tidak perlu saling bunuh pula, sebab musabab peristiwa yang menimpa keluarga kalian boleh tanyakan pada kunyuk hitam ini, aku orang tua hendak pergi." Ban Jin cun dan Kho Keh-hoa menengadah ke atas, tanyanya dengan hormat: "Terima kasih atas petunjuk Locianpwe, moho n tanya siapakah gelaran engkau orang tua yang mulia?"

Tapi sekelilingnya sunyi senyap. kiranya cian-pwe kosen yang terdengar suara tapi tak terlihat bayangannya itu sudah pergi entah ke mana.

Ban Jin-cun lantas menjura kepada Kho Keh-hoa, katanya: "Kho- heng, perihal permusuhan keluarga kita, berkat petunjuk Locianpwe itu, bukan saja telah menghimpas kesalah paha man kita berdua, beliaupun telah menawan seorang musuh, pada dirinyalah kita harus menuntut balas dan menyelidiki siapa gerangan biang keladi dari se mua petaka yang menimpa keluarga kita ini."

"Apa yang dikatakan Ban-heng me mang benar," ujar Kho Keh- hoa.

Mereka lantas mengha mpir i si baju hita m, Ban Jin-cun merogoh kantong orang menga mbil balik buntalan kainnya tadi dan dibuka, isinya me mang benda hitam berbentuk bintang sebesar biji me linjo."

Haru dan pedih hati Ban Jin-cun, katanya berlinang air mata: "Silakan periksa Kho-heng, inilah senjata rahasia yang kuperoleh dari tangan ibuku.."

"Simpanlah dulu saudara Ban," kata Kho Keh-hoa, "tawanan hidup ada di depan mata, me mang-nya berani dia tidak mengaku."

Ban Jin-cun segera bungkus lagi senjata rahasia itu dan disimpan dalam baju.

Dengan ujung pedangnya Kho Keh hoa ancam tenggorokan orang berbaju hitam, desisnya dengan penuh dendam: "Kau sudah berada di tangan kami, mau hidup atau ingin mati, terserah padamu mau tidak menjawab pertanyaan ka mi."

Waktu mereka mendekat, orang kurus berbaju hitam lantas pejamkan mata tanpa bersuara sekecap-pun- Dingin suara Ban Jin cun- "Apa yang dikatakan saudara Kho sudah kau dengar bukan? Yang ingin ka mi cari adalah biang keladinya, asaikan kau terangkan siapa perencana peristiwa ini, kami akan a mpuni jiwa mu."

Orang itu tetap berdiri tegak, bibirnya tetap terkancing rapat, se- olah2 buta dan tuli, anggap tidak dengar semua pertanyaan mereka.. .

Kho Keh-hoa naik pitam, ujung pedangnya yang mengancam tenggorokannya bergetar, bentaknya: "Keparat, dengar tidak pertanyaan kami?" Betapa runcing ujung pedangnya itu, sedikit menggunakan tenaga saja kulit daging teng gorokan si baju hitam sudah terluka, tampa k darah hitam me mbasahi dada.

Manusia umumnya berdarah merah, tapi laki2 kurus berbaju hitam ternyata mengeluarkan darah warna hitam, darah hitam kental seperti tinta.

Tergerak hati Ban Jin-cun, katanya gugup: "Kho-heng, agak ganjil keadaannya" Kho Keh-hoa melongo, tanyanya: "Apanya yang ganjil?"

Hanya beberapa patah kata bicara, tertampak darah kental hitam yang mengucur dari tenggorokan laki2 baju hitam itu sema kin deras me mbasahi sekujur badan, segera hidung mereka mengendus bau busuk. Sebetulnya tenggorokannya hanya tertusuk sedikit, tapi dalam sekejap luka itu sudah me lebar dan me mbusuk. darah yang me leleh keluar se makin banyak, bau busuk se makin keras dan menja lar ke sekujur badan. Ban Jin-cun jadi curiga, tanyanya: "Kho- heng, pedangmu kau lumur i racun?"

Kho Keh-hoa sendiri terkesima sahutnya gugup: "Belum pernah kulumuri racun pedangku ini ..... " sembari bicara dia angkat pedangnya, ternyata ujung pedangnya telah berwarna hitam legam. seketika ia bersuara kaget dan heran-

Sudah tentu Ban Jin-cun juga kaget dan heran pula, mendadak tergerak pikirannya, tanpa bicara dia angkat pedang dan menggores pundak serta lengan laki2 baju hita m, ke mbali darah hitam mele leh keluar.

Ternyata ujung pedang Ban Jin-cun juga segera berubah hitam legam, mirip dengan ujung pedang Kho Keh- hoa, seperti pernah direndam dalam racun- Tak kepalang kagetnya, serunya: "Racun yang jahat sekali"

"Me mangnya dia sudah ma mpus ?" tanya Kho Keh- hoa.

"Ya, mungkin tahu tiada harapan hidup, dia telan racun yang keras sekali bekerjanya."

Kho Keh- hoa menghela napas, katanya: "Dia sudah mat i, tak mungkin dimintai keterangan lagi."

"Dia meninggalkan sebatang pedang," ujar Ban Jin-cun, "tidak sukar mencar i tahu asal usul-nya dari senjatanya ini." Tiba2 mulutnya bersuara seperti ingat apa2, katanya pula: "Saudara cu ke mari atas perintah gurunya untuk melerai permusuhan kita, kukira gurunya pasti tahu siapa musuh kita bersa ma?"

Kho Keh- hoa me mbenarkan, berbareng mereka me noleh ke sana.

Selama beberapa saat itu Cu Jing tidak ikut ke mari, dikiranya dia sudah pergi, tak tahunya dia sedang berdiri menengadah sambil me la mun, entah apa yang sedang dipikirkan. Te mpat di mana dia berdiri jaraknya hanya dua tombak dengan Ban dan Kho berdua, jadi badan laki2 kurus berbaju .hitam yang mula i me mbusuk itupun tidak dilihatnya.

Me mang dalam sekejap ini kulit daging si baju hitam bagian atas sudah mula i jadi cairan darah dan membusuk dengan cepat sekali, tulangnya

====================================

Halaman 55/58 Hilang

==================================== --rangan tangan- Soalnya gerakan Jiau-kau-sek ini terlalu gampang, sekali belajar siapapun pasti bisa, selanjutnya dia ulangi jurus kedua Bak- kau-sek. tangan kiri pelan2 terayun ringan ke belakang, sudah tentu gerakan ini dia sudah mahir sekali.

Setelah beberapa kali dia ulangi kedua jurus ini, terasa tiada sesuatu yang istimewa dalam ke-dua tipu silat ini? Ia heran kenapa si orang tua berpesan sedemikian serius padanya, nadanya malah seolah2 bila dirinya berhasil meyakinkan kedua jurus ini takkan mendapatkan tandingan di kolong langit ini.

Tapi Cu Jing yakin si orang tua tak mungkin berdusta, bisa jadi kedua jurus yang kelihatan sangat sederhana ini mengandang intisari ilmu silat kelas tinggi yang tersembunyi? Mengingat hal ini, tak tertahan dia ulangi berlatih sekali lagi kedua jurus Jiau-kau-sek dan Bak- kau-sek tadi.

Aneh juga, semakin merasa gerakannya sederhana, semakin lancar dan enak dilatih, tapi setelah diselami, kenyataan tidak segampang dugaan semula. Tapi hanya sampai taraf sekian saja, yang kalau ditanya di mana letak ga mpangnya gerakan jurus2 pemukul anjing itu ia sendiripun tak ma mpu me mberi penjelasan-

Cu Jing me mang bukan orang bodoh, otaknya encer, dari kedua gerakan sederhana yang sebenarnya sukar disela mi ini dia se makin yakin dugaannya pasti tidak me leset, bahwa di dalam kedua jurus ilmu silat yang sederhana ini tersembunyi ilmu silat taraf tinggi. Sesaat dia menengadah, me longo mengawas i langit.

Begitulah, waktu Cu Jing me mburu kesana, sementara itu yang berbaju hitam sudah tinggal tulang yang berwarna hitam, berdiri tegak dan seram kelihatannya, keruan dia bergidik serunya kaget: "kenapa dia?"

"Mati minum racun," kata Kho Keh-hoa.

Ban Jin-cun sedang ambil pedang milik laki2 berbaju hitam tadi katanya: "Pedang inipun dilumur i racun, racunnya bukan sembarang racun, belum banyak orang2 Kangouw ya me maka i racun, seperti ini, maka tidak sulit untuk menyelidiki asal-usulnya." "Waktu ibunda saudara Ban meningga l, tangannya menggengam senjata rahasia yang dilumur i racun juga, dalam Bu- lim yang terkenal suka me ma kai racun hanya keluarga Tong di Sujwan, marilah kita me luruk ke Sujwan saja," ajak Kho Keh-hoa.

Karena badan sudah luluh menjadi cairan darah hitam. ma ka sarung pedang si baju hitam yang se mula tergantung di pinggangnya ini terjatuh di tanah dan berlumuran darah kotor, Ban Jin-cun tidak berani menga mbilnya, maka dia tetap genggam pedang milik si baju hita m, katanya sambil me mber i hor mat pada Cu Jing,

"Berkat usaha saudara cu yang mulia dan bijaksana sehingga permusuhan keluarga kami berdua tidak sa mpai berlarut2 menimbulkan korban pula, bangsat inipun sudah mati minum racun, tiada keterangan yang dapat kita peroleh, oleh karena itu, kumoho n Cu-heng suka menje laskan satu hal"

"Ban- heng mau tanya soal apa?" jawah Cu Jing.

"Cu-heng ke mari atas perintah guru untuk me lerai per musuhan kedua keluarga kami, jadi mestinya tahu siapa sebetulnya musuh keluarga kami bukan?"

"Wah, maaf, aku justeru tidak tahu apa2," ucap Cu Jing sambil mengge leng,

"Cu-heng mungkin tidak tahu, tapi gurumu pasti tahu, entah siapakah gelaran na ma gurumu?"

Merah muka Cu Jing, karena tidak biasa berbohong, terpaksa ia berterus terang apa yang terjadi sebenarnya.

"Jadi Cu-heng juga tidak tahu siapa gerangan cianpwe kosen itu?" tanya Kho Keh-hoa. Cu Jing mengia kan sa mbil me nggeleng.

"Aku yakin beliau pasti tahu siapa musuh keluarga kami, tapi tiada harapan lagi untuk mene mukan jejak orang tua ini," demikian keluh Kho Keh-hoa. "Menurut apa yang kutahu," ujar Ban Jin-cun sesaat ke mudian setelah merenung, "banyak sekali tokoh2 kosen yang lihay dalam Bu-lim, tapi yang memiliki kepandaian sakti seperti orang tua itu hanya ada seorang saja, malah dari cara beliau campur tangan tadi, tak ubahnya seperti sepak terjang cianpwe kosen yang suka menge mbara itu ".

"Siapakah cianpwe kosen yang saudara Ban maksudkan?" tanya Kho Keh- hoa.

"Hoan jiu ji lay," sahut Ban Jin- cun.

"Betul," tukas Kho Keh-hoa, "cuma orang tua ini mirip naga yang hanya kelihatan eklornya dan menyembunyikan   kepala, entah ke mana saja dia pergi, cara bagaimana kita mene mukan beliau?"

Cu Jing jarang berkelana di Kangouw, dia tidak tahu siapa Hoan jiu ji- lay yang dibicarakan ini, tapi dia ma lu untuk bertanya.

"Di atas Pak-sia m-san ada bersemayam seorang kosen bergetar Cu-ki-cu, dia amat apal terhadap segala peristiwa yang terjadi di Bu- lim, kejadian masa silam dan apa yang bakal terjadi pada masa yang akan datangpun dapat dia ramal dengan tepat, dari sini ke Pak-sia m-san tidak jauh lagi, marilah kita ke sana dan tanya padanya, mungkin dari mulutnya kita bisa mendapat keterangan asal-usul racun dan senjata rahasia seperti bintang itu. Bagaimana pendapat Kho-heng?"

"Akupun pernah dengar na ma Cu-ki-cu ini" ujar Kho Keh-hoa, "konon sangat luas pengetahuannya dan tinggi ilmunya, mahir me mecahkan segala kesulitan di dunia ini, tiada jeleknya kita mengadu untung dan tanya padanya."

Ban Jin-cun melirik ke arah Cu Jing, tanya-nya: "Apakah Cu- heng, ada minat ikut bersa ma kami ke Pak sia m-san?"

"Aku mas ih punya urusan lain, maaf tak dapat mengir ingi perjalanan kalian," sahut Cu Jing.

"Baiklah kita berpisah di sini saja, semoga jaga diri baik2 dan selamat berte mu pula," ujar Ban Jin-cun. Kho Keh- hoe juga menjura, katanya: "Ber-hati2lah saudara cu."

Maka merekapun berpisah, Cu Jing sendiri tidak punya tujuan pasti, dia ingat si orang tua pernah bilang "kalau se mpat pulang, nanti ma lam kita bertemu di La m-pa k-ho," ma ka dia berkeputusan untuk mene mui si orang tua misterius itu nanti ma lam di restoran Lam- pak ho.

Waktu itu sudah magrib, Cu Jing langsung kemba li ke La m-pak- ho menga mbil kuda terus cari penginapan, dia me milih ka mar yang terletak di ujung belakang, tempatnya nyaman dan sepi.

Setelah me mbersihkan badan, untuk me mbuang waktu, Cu Jing tutup pintu, seorang diri dia ulangi latihan kedua jurus Jiau kau-se k dan Bak-kau-sek itu, sekarang dia betul2 yakin, walau kedua jurus itu namanya aneh dan lucu, ternyata mengandung ilmu silat tingkat tinggi yang tiada tara-nya, maka kali ini dia betul2 tumple k seluruh perhatian untuk mengulang ke mbali, gerakannya kini jauh lebih la mban dan ma ntap.

Tak terduga setelah sekian la ma ia mengulang beberapa kali, meski diketahui bahwa di balik gerakan sederhana itu mengandang intisari yang mendala m, tapi se makin dianggap t inggi dan menda lam kenyataan berbalik terasa sepele dan biasa saja, tiada tanda2 mukjijat yang dia te mukan- Begitulah setelah dia latihan beberapa kali, keringat sudah gemerobyos baru dia menemukan letak rahasia sebenarnya dari kunci kesederhanaannya.

Yaitu jangan kau pandang kedua jurus sederhana ini begitu tinggi dan mujijat, semakin mujijat yang kau tafsirkan, maka kau akan mengerahkan hawa murni dan mengerahkan tenaga, gerakanpun jadi la mban, itu berarti permainanmu menjadi kaku dan kurang wajar, kurang variasi dan tiada perubahan- Tapi sebaliknya jika kau pandang kedua gerakan sederhana ini sebagai sangat gampang dan sepele saja, maka dengan mudah pula kau akan menguasai setiap gerak tipunya. Dengan penemuannya ini, tidak kepalang senang hati Cu Jing, pikirnya: "Setengah harian aku bersusah-payah, meraba sana sini, tak tahunya be-gini mudah dipecahkannya."

Hari sudah gelap. pelayan datang me mbawakan makan ma la m, tapi Cu Jing menolaknya dengan alasan sudah janji makan di restoran dengan seorang kenalan- Cu Jing lantas bawa cit-sing-kia m dan keluar.

Sinar la mpu sudah menerangi segenap pelosok kota, orang yang lalu lalang dijalan raya semakin ra mai, lebih berjejal dari siang hari, banyak muda mudi yang pelesir dan berbelanja di toko2, tapi Cu Jing tiada minat melihat kerama ian kota, langsung ia menuju ke Lam- pak-ho terus naik ke loteng tingkat dua

Pelayan yang siang tadi melayani Cu Jing me milih meja dekat jendela, kali ini Cu Jing tidak ma u banyak bicara, setelah me mesan beberapa masakan dan melongo k pe mandangan jalan raya di bawah sana.

Pada saat dia melihat2 itulah mendada k didepan sebuah toko kain sana berdiri seorang berbaju hita m, orang itu tengah menengadah mengawasi ke arah dirinya. Semula dia tidak a mbil perhatian dan melengos kejurusan lain, tapi pikirannya tiba2 tergerak, dandanan dan muka si baju hitam ini mirip benar laki2 kurus, berbaju hitam yang mati ditanah lapang tadi siang itu, lekas dia melo ngok ke sana pula, tapi bayangan orang berbaju bitam itu sudah tiada lagi, entah ke mana?

Kebetulan pelayan menyuguhkan hidengan yang dia pesan- Dengan pejam mata Cu Jing coba menghirup seteguk arak. Kiranya dia belum pernah minum arak. baru hari ini akan coba2 seorang diri.

Tiba2 terdengar seorang bersenandang dengan suara seperti bambu pecah: "Hwesio kere (miskin), kere Hwesio, tak punya batok tiada pondok. Tidak sembahyang, tidak menabuh genta, Telanjang kaki, kelana ke- mana2. jubah koyak untuk menahan angin kencang, demi me mbangun kelenteng bobrok. cari sedekah di rumah arak, bertemu dengan orang berjodoh (der mawan), daging arak harap menyuguh"

Menyusul di ujung tangga loteng lantas muncul pula seorang Hwesio kelilingan-

Hwesio ini mengenakan kopiah rombeng, jubah kelabu yang dipakainyapun sudah berta mbal sula m, tapi badannya gemuk putih, alisnya nan uban menjuntai panjang ke samping, kedua tangan terang kap didepan dada dengan cengar-cengir dia mondar- mandir di antara tetamu yang me menuhi meja makan, lalu katanya dengan suara lantang: "Silakan, silakan, Hwesio kere berkelana di dunia fana, sebelum pulang ke alam baka, entah tuan dermawan mana yang berjodoh dengan sang Buddha, semoga dapat rejeki besar dan bernasib baik. Siancay, Siancay, omitohud" sembari mengoceh kakinya melangkah ke sana-sini, dan sepasang matanya berjelilatan kian- ke mari.

Pada suatu meja, kebetulan dua orang tamu sedang saling dorong menyodorkan cangkir arak, Hwesio keretiba2 berhenti di sana, dengan kedua tangan dia jemput kedua cangkir arak itu sembari berkata dengan tawa lebar: "Kalian tidak perlu sungkan, kedua cangkir arak ini biar aku Hwesio kere yang minum saja" Satu tangan satu cangkir-ganti berganti dia tenggak habis is i kedua cangkir arak.

Sudah tentu kedua tamu itu gusar, orang disebelah kiri menghardik murka: "Hwesio je mbe l, apa2an kau ini?"

Si Hwesio kere tertawa lucu, katanya: "De mi secangkir arak kalian tolak sana dan dorong sini hingga muka merah pada m, Hwesio kere orang beribadah dan suka meno long sesa ma manusia, biarlah aku mewa kili kalian minum arak ini, kan beres?" se mbar i bicara tahu2 tangannya, mencomot sepotong daging terus dijejal ke mulut.

Tamu di sebelah kanan menggebrak gusar, bentaknya: "Kenapa kau a mbil ma kanan dengan tangan telanjang?" "Setelah minum arak harus didorong dengan daging baru arak bisa turun ke perut." de mikian kata Hwesio itu. "Sedekah sepotong daging ini akan Hwesio kere bawa kedunia akhirat, sebagai sangu untuk menghadap sang Buddha, bukankah berarti kau telah berdarma bagi sesamanya, budi kebaikanmu akan dikenang sepanjang masa." Habis berkata, dia terus me langkah pergi

Kedua tamu itu hanya mencaci ma ki tanpa bisa berbuat apa2.

Hwesio itu tidak hiraukan kedua tamu yang mencak2 itu, kemba li mulutnya tarik suara bersenandung pula: "Daging harus dipanggang, arak harus dimasak, makan daging minum arak di dunia fana. biar sepatu butut, jubah koyak ditertawakan orang, me mangnya aku bukan manus ia gede atau orang kaya" Tenggorokannya mengeluarkan suara serak aneh dan sumbang seperti bambu pecah, tapi dia justeru bersenandung dengan gembira sa mbil berjoget segala.

Sembari ja lan matapun jelatatan, ia longok sana toleh sini yang diperhatikan hanya meja para tamu, akhirnya dia menuju ke meja yang ditempati Cu J ing, mendadak ia berhenti serta ter-gelak2 riang, katanya: "Me mang di sini lebih sunyi dan bersih"

Kepada Cu Jing dia me mber i salam lalu berkata: "Sicu duduk sendirian di sini, agaknya ada jodoh dengan sang Budha, hidangan untuk Hwesio kere hari ini agaknya tidak. . menjadi kapiran-" .. Tanpa tunggu jawaban Cu Jing, dia tarik kursi terus duduk dihadapannya.

Tingkah laku Hwesio miskin ini kelihatan sinting, tapi kata2 senandungnya tadi me mang tepat, mau tidak mau timbul rasa hormat Cu Jing terhadap Hwesio ini, lekas Cu Jing menjura, ka- tanya: "Silakan duduk. Toasuhu."

Hwesio kere menyengir, katanya manggut2: "siausicu me mang berbakat sejak kecil, kau me mang berjodoh dengan ajaran Budha, terpaksa aku Hwesio miskin mengganggumu saja." Habis berkata dia lantas menggebrak meja, serta menggembor keras2: "Pelayan- .

. . pelayan    " Seorang pelayan berlari datang, serunya sambil mengerut kening: "Hwesio, kenapa berkaok2 ?"

Berdiri alis panjang si Hwesio, katanya dengan mendelik: "Pelayan, restoran ini kan me layani orang , makan minum? Bahwa Hwesio kere sudah datang kemari juga berarti tamu, kenapa seenak perutmu ma in panggil Hwesio segala?"

"Habis harus kupanggil apa ?" tanya sipelayan bingung..

"Lain kali kalau ada Hwesio ke mari, kau harus me manggilnya bapak Taysu, kalau yang datang Hwesio setua diriku ini, maka kau harus me mangilnya kakek Taysu."

"Sering kudengar orang hanya memanggil Tay-su saja, mana ada yang memanggil bapak Taysu atau kakek Taysu?" sipelayan menggerunde l.

"Hai jadi kau sudah tahu, lalu apa bedanya Taysu dan bapak Taysu? Me mangnya ayahmu bukan bapakmu?"

Sipelayan tidak sabar lagi, serunya: "Sudahlah, kau ma kan apa?" "Kau tidak me manggilku kakek Taysu, kalau sang Buddha marah,

kau akan dihukumnya terperosot jatuh."

"Sudah puluhan, tahun aku jadi pelayan di sini, belum pernah terpeleset jatuh, lekaslah kau pesan apa?, cuma di sini tidak sedia hidangan ciacay (vegetarian)."

"Ya, ya Hwesio kere me mang tidak pernah me mbaca mantra, sudah tentu tak perlu ciacay segala"

"Baiklah, lalu kau pesan apa?" tanya sipelayan, dia tetap tak mau panggil Taysu.

"Nah, dengarkan, seporsi daging e mpal, satu porsi sayap bebek. dua kati arak. tapi suruh koki masak dulu seporsi paha ayam panggang, semangko k besar kuah ikan, udang, jamur dan daging babi,." seorang diri tapi santapan yang dipesan ternyata sangat banyak. pelayan mangiakan saja terus putar tubuh menuju ke belakang. Tak la ma ke mudian dia sudah balik dengan tangan kosong. Tapi sebelum dia datang ke depan si Hwesio, tiba2 kakinya keserimpet, kontan tubuhnya terbanting jatuh. Untung dia tidak me mbawa nampan hidangan,jatuhnya amat keras, dengan menyengir kesakitan pelayan itu merangka k bangun, tangan meraba2 pantat serta mengha mpiri dengan ter-pincang2.

Hwesio tadi tergelak2, serunya: "Nah, tadi Hwesio kere sudah bilang, kau tidak mau panggil kakek Taysu. padaku, sang Buddha kini betul2 marah serta menghukummu." Tiba2 dia bersuara kaget dan tanya: "He, mana pesananku, kenapa tidak kau bawa ke mar i?"

Dia m2 tergerak hati Cu Jing, dia duduk di depan si Hwesio, hakikatnya dia tidak me lihat Hwesio itu menunjuk gerak apa2. Tapi sipelayan di-buatnya jatuh bangun.

Dengan mendongkol si pelayan tertawa dingin: "Masakan yang kau pesan se mua berharga dua tahil, bayar dulu."

Mendelik si Hwesio, teriaknya marah: "Me mangnya kau kira Hwesio kere makan tak me mbayar?"

"Sudah sering orang gegares gratis di sini, kau seorang diri, tapi pesan hidangan terlalu banyak. terang sengaja "

Si Hwesio berjingkrak marah, dia cengkeram dada baju sipelayan, teriaknya gusar: "Kau kira aku mau ma kan gratis? Hwesio kere me mang miskin, tapi kebetulan aku bertemu dengan seorang dermawan yang ada jodoh, tanpa tanya kau lantas pandang orang rendah dengan mata anjing, kalau aku masih muda seperti dulu, sudah kule mpar kau keluar jendela, tahu?" Sembar i bicara, seperti menjinjing seekor ayam dia angkat tubuh pelayan terus diulur keluar jendela sehingga kontal-kant il di udara.

Sudah tentu sipelayan menjer it ketakutan setengah mati, ratapnya: "Kakek Taysu, ampunilah jiwaku, hamba ada mata tidak me lihat gunung, kau. . . . .jangan kau lepaskan peganganmu.." Sudah tentu semua tamu yang ada di atas loteng sama kaget dan melo ngo heran melihat Hwesio ini me miliki tenaga begitu besar serta me mper mainkan sipelayan-.

Hwesio itu cekakakan, dia tarik tangannya dan turunkan sipelayan di lantai, katanya: "Sejak tadi kau panggil kakek Taysu kan beres?" Lalu dia tuding Cu Jing dan katanya pula: " Kau tanya Sicu ini, maukah dia me mbayar semua rekeningku nanti?" saking ketakutan, begitu diturunkan segera sipelayan mendepro k di lantai.

Lekas Cu Jing berkata: "Ucapan Taysu ini me mang tidak salah, apa yang dimintanya boleh kau sediakan, rekeningnya aku yang bayar."

Sudah tentu si pelayan jadi kapok betul2, lekas dia kerjakan apa yang dipesan. Agaknya memang t idak sabar lagi, begitu arak diantar, Hwesio itu lantas angkat poci terus tuang arak langsung ke mulut sa mpai habis, katanya sambil seka mulut dengan lengan bajunya yang kotor: "Sedap. Segar Hayolah Siausicu jangan sungkan, mari, mari" pakai sumpit atau sendok segala, kedua tangannya bekerja bergantian menco mot daging dan menggaruk ikan ke dalam mulut, begitu lahap dia makan sambil mulut kecap2 keras seperti induk babi.

Dia m2 Cu Jing me ngerut kening melihat cara ma kan seperti orang kelaparan itu, mulut Hwesio itu terus bekerja, belum lagi paha ayam dilalap habis, arak sudah dituang ke mulut lagi, lalu menyeruput semangkok kuah ikan pula, begitu sibuk dia sikat semua hidangan dihadapannya tanpa rikuh sedikitpun- .

Me mang saatnya orang makan mala m, maka restoran ini penuh sesak. keadaan menjadi ribut dan gaduh, Cu Jing tidak hiraukan si Hwesio yang sibuk makan seadiri, dia Celingukan kian ke mari, matanya sibuk me ncari si orang tua misterius yang ternyata tidak kunjung tiba.

Sementara hidangan si Hwesio sudak dilalapnya habis satu persatu, sambil tertawa dia me micing mata si Hwesio tepuk2 perutnya yang gendut, katanya sambil ngakak: "Hari ini kau sudah kenyang dan puas bukan? Semua ini berkat kebaikan Siau-sicu. ini yang berjodoh dengan sang Buddha, me mberi sedekah dan me mbayar rekening, tak terbalaslah luhur budinya, omitohud" Lalu dia rangkap kedua tangan sambil mundur tiga langkah, setelah me mber i salam terus tinggal pergi dengan langkah se mpoyongan..

Tapi, baru tiga langkah mendadak dia berpaling katanya, sambil pandang Cu Jing dengan sikap lucu seperti mabuk:." Siausicu tidak perlu menunggu pula, orang yang kau tunggu mala m ini tidak akan datang lagi." .

Cu Jing melenga k. tanyanya "Darimana Taysu tahu ?. ."

Hwesio je mbe l tertawa lebar, ujarnya: "Yang kau tahu sudah tentu Hwesio juga tahu, apa yang kau tidak tahu Hwesio tetap tahu, kalau Hwesio kere tidak tahu, me mangnya siapa yang tahu?" - Sembari bicara dengan sempoyongan dia melangkah ke arah tangga.

Melihat tingkah orang yang angin2an itu, tiba2 tergerak hati, Cu Jing, dia ingat apa yang pernah dikatakan Ban Jin-cun bahwa orang tua misterius itu mungkin adalah Hoan-jiu-ji-lay, walau dia tidak tahu siapa itu Hoan jiu ji-lay, tapi kalau dia berjuluk "Ji-lay" tentu dia seorang Hwesio mungkinkah Hwesio kere inilah Hoan-jiu-ji-lay?.

"Tak salah lagi, kalau tidak bagaimana dia tahu aku ada janji dengan orang, iapun tahu orang tua itu tidak akan datang lagi? Setelah datang dan pergi dengan kenyang dan mabuk, sudah tentu dia tidak akan datang pula, maka diriku disuruh jangan menunggu lagi." cepat Cu Jing berdiri, teriaknya: "Pelayan, berapa rekeningnya." Dia rogoh sekeping uang perak terus ditaruh di meja.

"Sisanya buat kau" habis berkata dengan setengah berlari dia terus turun loteng.

Hanya beberapa detik saja jarak antara si Hwesio pergi dan dia berlari menyusul ke bawah, tapi waktu dia tiba di bawah sana, bayangan si Hwesio sudah tidak kelihatan lagi? Pasar ma lam masih ra mai di luar, orang berlalu la lang berjejal, ke mana lagi dia akan mencari si Hwesio. Pula orang sengaja tidak mau bicara lebih lanjut, umpa ma dikejar juga orang t idak ma u mene muinya.

Sekian la ma Cu Jing berdiri melongo me ngawasi orang2 yang bersimpang siur dijalan raya, sesaat kemudian baru dia beranjak ke ujung jalan sana langsung kembali ke tempat penginapannya .

Malam sudah larut, para tamu yang lain sudah masuk ka mar dan tidur, maka Cu Jing langsung menuju ke ka marnya, waktu dia me mbuka pintu ka mar dan ha mpir me langkah masuk, tiba2 dia tertegun dan berdiri me matung.. Dilihatnya seseorang duduk dikursi didekat jendela sana. Lampu me mang tidak dinyalakan tapi sinar rembulan di luar jendela cukup menerangi keadaan kamar sehingga tertampak re mang2. .

Terlihat jelas oleh Cu Jing orang yang berada dika marnya ini berpakaian hita m, ber muka kuning, orang ini adalah orang yang dilihatnya berdiri di depan toko kain tadi, diam2 Cu Jing mengumpat dalam hati, batinnya: "Kiranya dia me mang hendak- cari perkara padaku."

Si baju hitam angkat kepala, katanya tersenuyum: "Kau hanya berdiri di luar pintu, me mang-nya tidak berani masuk?"

Dingin suara Cu Jing: "Rasanya aku kesasar, salah masuk ke kamar orang lain."

Pelan2 si baju hitam berbangkit, katanya: "Kau tidak kesasar."

Cu Jing beranjak masuk- katanya sambil menatap orang: "Jadi saudara yang kesasar ke ka marku?"

"Akupun tidak kesasar," ujar si baju hita m, "Sebab aku sedang menunggumu."

"Ada urusan apa kau menungguku" tanya Cu Jing.

Berkedip2 mata si baju hitam, katanya setelah menatap lekat2 sebentar: "Aku ingin bicara dengan kau." Mendadak si baju hitam tertawa lebar, katanya: "Agaknya kau curiga bahwa aku ber maksud tidak baik, terhadapmu?" Tawanya manis sehingga kelihatan baris giginya nan putih rata dan a mat kontras dengan kulit mukanya yang kuning. "Kalau dia seorang perempuan, mestinya dia pere mpuan cantik, mo lek. sayang giginya yang rajin dan putih itu tumbuh di mulut laki2 yang bermuka jelek dan me muakkan-

Tapi Cu Jing tidak perhatikan senyuman yang kaku, iapun tak pedulikan gigi orang yang putih indah, sikapnya tetap dingin, dengusnya: "Umpa ma betul kau ber maksud jahat, me mangnya kenapa?"

Agaknya si baju hitam me mang tidak ber maksud jahat, kemba li ia me mandang Cu Jing,

katanya:"ini ka mar mu, aku ke mari sebagai tamu, sikapmu begini kaku, apa begini layaknya kau melayani tamu?"

Cu Jing habis sabar, katanya sambil berkerut alis: "Ada omongan apa lekas katakan saja."

"Kukira kau tidak asing lagi dengan dandananku ini bukan2" ujar si baju hitam: "Kutahu ke dua, temanmu sudah berangkat ke Pak- siam san-"

Cu Jing mendengus sambil mengawasi muka orang yang kuning kaku itu: "Hm, agaknya kau serba tahu."

"Apa yang kutahu, belum tentu kaupun tahu," ujar si baju hita m. "Apa pula yang kau ketahui?" tanya Cu Jing.

Kata si Baju hitam sungguh2: "Kedua te manmu itu mungkin takkan ke mba li lagi."

"Apa katamu?" Cu Jing mende lik :"Ban Jin-cun. . . mereka menga la mi bahaya?"

Mendadak dia maju selangkah, berbareng ta-ngan kiri mencengkeram pergelangan tangan si baju hita m, sekenanya dia menggentak mundur ke belakang se mbari lepas kelima jarinya, dalam keadaan tidak siaga dan tak terduga2 si baju hitam kena disengkelitnya jatuh di lantai.

Karena, gugup, tanpa sadar Cu Jing melancar kan gerakan Jiau- kau-sek. dan hasilnya betul2 di luar dugaannya. Tapi dia tidak pedulikan keadaan si korban, "sret" dia melolos pedang serta menganca m tenggorokan orang, bentaknya: "Lekas katakan, kalian mengatur muslihat apa "

Tak tahunya bahwa kepandaian silat si baju hitam ternyata juga cukup lihay, walau pecundang dalam keadaan tidak siaga, waktu ujung pedang Cu Jing menganca m, cepat dia mengkeret mundur.

Selicin belut tiba2 badannya meluncur di lantai dan mundur beberapa kaki jauhnya. Dengan tangkas dia melo mpat berdiri, "s reng", iapun cabut sebatang pedang panjang, katanya dongkol: "Kau tidak tahu diri, kalau aku mau mencela kai kau, sejak tadi jiwa mu sudah melayang, tahu2 Seperti tidak mendengar apa yang dikatakan orang, Cu Jing malah tertawa dingin, jengeknya: "Aku tidak akan me mbunuhmu, katakan mus lihat apa yang kalian rencanakan untuk me ncelakai jiwa Ban Jin-cun berdua"

Si baju hitam acungkan pedangnya, katanya dingin: "Tidak sukar jika kau ingin tahu, pertama kau harus kalahkan dulu pedangku, hal kedua umpa ma aku yang menang, aku akan tetap menerangkan padamu,"

Agaknya, dia penasaran karena barusan kena disengkelit jatuh oleh Cu Jing, ma ka setelah menang baru dia mau menerangkan maks ud kedatangannya.

Tapi Cu Jing berwatak keras, Tak mau kalah, "kalau aku kalah, kaupun tidak perlu jelaskan-"

"Jadi kau tidak ingin tahu berita tentang temanmu itu?" Menyinggung Ban Jin cun, entah kenapa Cu Jing jadi naik pita m,

katanya dengan mata mendelik: "Kau kira aku tidak bisa menga lahkan kau?" tiba2 pedangnya bergetar terus, menusuk ke depan. Si baju hitam mir ingkan badan tidak mundur dia ma lah mendesak maju, sinar pedang berkelebat, menghindari tusukan se mbari balas menyerang. Sasarannya adalah pundak kiri Cu Jing.

Terkesiap hati Cu Jing me lihat gerakan lawan yang aneh dan cekatan, badan setengah berputar, gerakan dipercepat, dalam sekejap dia berturut menika m tiga kali. Ternyata permainan pedang si baju hitam juga lincah dan gesit, tiga kali tikaman Cu Jing meleset semua di samping tubuhnya, ujung bajupun tidak kena. Kini berbalik sinar pedang lawan berkelebat cepat dan ganas serangannya, Hiat- to me matikan di tubuh Cu Jing menjadi sasaran-

Namun setiap serangan ganas selalu ditarik lagi di tengah jalan, jelas lawan sengaja mengalah..

Cu Jing jadi marah, segera ia ke mbangkan ilmu pedangnya, gerakannya semakin gencar dan sengit, ingin rasanya sekali tikam dia bikin ma mpus lawannya, begitulah mereka serang menyerang, maju mundur silih berganti, belasan gebrak telah berlangsung di dalam ka mar yang se mpit itu.

Keringat sudah me mbasahi badan Cu Jing, dia sudah keluarkan seluruh ke mahiran ilmu pedang-nya, tapi si baju hitam tetap tak dapat dirobohkan, keruan ia gemas dan gelisah. Mendadak tergerak pikirannya, sengaja dia melakukan gerakan lambat dan menunjukkan lubang ... .

Perlu diketahui pedang yang digunakan si baju hitam lebih pendek daripada Cit-sing-kia m Cu Jing yang panjangnya tiga kaki lebih itu, oleh karena itu baik maju mundur, menyerang atau me mbe la drii, gerakannya selalu berpadu dengan gemulai tubuhnya yang lincah dan licin itu, setiap ada kese mpatau tentu diterobosnya.

Kini melihat Cu Jing ada lubang kele mahan, cepat ia menyelinap maju, pedangnya dari menabas berubah menjadi mengetuk. dengan batang pedang dia mengetuk Hiat-to pergelangan tangan Cu Jing yang me megang pedang.

Kalau serangannya berhasil mengenai sasaran, maka pedang cu- Jing pasti terketuk jatuh. Tak ter-duga2 tiba2 ia merasakan pergelangan tangan kanan sendiri kese mutan kaku, entah bagaimana Cu Jing telah menangkap urat nadinya, berbareng ujung pedang menganca m tenggorokannya. Terdengar Cu Jing berkata dengan nada ke menangan dan puas: "Tak kau lepaskan pedangmu?".

Kiranya   dalam   keadaan   terdesak.   serta   merta   Cu   Jing me lancarkan gerakan Jiau-kau-sek, betul juga dengan mudah dia berhasil me mbe kuk si baju hita m. ....

Berkedip mata si baju hitam yang besar dan jeli itu, pancaran sinarnya marah, tapi juga kagum dan me muji, na mun mulutnya menjenge k: "Hanya gerakan begini saja ke ma mpuanmu. ."

"cukup Asal bisa me mbekukmu" jawab Cu Jing "Lempar pedangmu dan bicaralah terus terang."

Si baju hitam sedikit meronta, katanya: "Lekas lepaskan, baiklah akan kukatakan, me mangnya Aku ke mari hendak me mberi kabar padamu, kalau tidak buat apa aku menunggumu di sini?"

"Kau hendak me mber i kabar padaku?" Cu Jing menegas. .-. . .

Terpancar rasa masgul pada sorot mata si baju hitam, katanya: "Kau mas ih tidak percaya?"

"Mengapa tingkah lakunya seperti anak perempuan,?" de mikian batin Cu Jing. Segera ia turunkan pedangnya, katanya: "Asal kau bicara terus terang, kulepas kau pergi."

"Baiklah, lepaskan dulu tanganmu."

Yakin orang takkan bisa melo loskan diri, Cu Jing lantas lepaskan peganannya. Si baju hitam lantas simpan juga pedangnya, lalu dia meraih kain hitam yang mengikat kepalanya, rambut panjang hitam kilap seketika terurai di pundaknya. . . Cu Jing berseru kaget: "Kau perempuan?"

Si baju hitam tertawa lebar, kembali ia menanggalkan kedok mukanya yang tipis. Wajahnya yang tadi kuning kaku mengkilap kini berubah seraut wajah molek seorang gadis, tampaknya ma lu2 dan ingin bicara tapi urung.

Heran Cu Jing mengawasi orang sekian la manya, tanyanya: "Siapakah kau sebetulnya?"

"Aku berna ma Hek-bi-kwi (ma war hita m)." "Kalian se muanya pere mpuan?

"Bukan, mereka adalah orang2 Hek-liong-hwe (sindikat naga hitam)."

"Kau sendiri bukan anggota Hek- liong- hwe?"

Hek-bi- kwi atau si mawar hitam mengge leng, katanya sungguh2: "Terus terang, aku sebetulnya, orang Pek- hoa-pang, tapi bertugas di dalam Hek-liong-hwe, kini tugasku sudah selesai, saatnya aku harus kembali." Tanpa   menunggu   Cu   Jing   bertanya,   dia mena mbahkan lagi: "Soalnya kedua temanmu yang pergi ke Pek- siam-san sudah diketahui oleh pihak mereka, Hek-lio ng-hwe sudah mengirim berita dengan merpati pos, sebelum kedua te manmu t iba di Pak sia m-san mereka sudah pasang jala hendak menjar ingnya, aku tak dapat membantu, terpaksa menyerempet bahaya mengabarkan hal ini kepadamu, syukur kalau engkau bisa menyusul mereka serta me mbujuknya agar me mbatalkan nitanya untuk menyelidiki senjata rahasia beracun itu, kalau t idak. orang2 Hek liong- hwe pasti t idak akan berpeluk tangan, demikian pula kau sendiri kuberitahu supaya jangan mencampur i urusan ini "

sembari bicara dengan cekatan ia sudah menggelung ra mbut serta me mbungkusnya dengan kain hita m, katanya pula: "Sudahlah, apa yang ingin kusa mpaikan sudah kusa mpaikan, sekarang aku moho n diri, harap engkau jaga dirimu baik2."

Habis berkata dengan cepat dia melangkah keluar. Tapi di ambang pintu dia berpaling serta pandang Cu Jing lekat2. Hanya sekejap ini mukanya sudah ke mbali menjadi kuning kaku dan mengkilap. tapi matanya yang bundar besar itu me mancar kan perasaan berat dan kasih mesra, lalu dengan cepat ia berkelebat keluar dan menghilang. Dia m2 Cu Jing tertawa geli, batinnya: "Agaknya bocah ayu ini menaruh hati kepadaku."

Si mawar hitam melo mpat ke atas genting terus keluar dari hotel, seringan kapas ia me lo mpat turun dijalan raya yang sepi terus ber- lari2 menpuju ke selatan- Setiba di daerah Sam-koan-tia m takjauh di depannya dilihatnya bayangan dua orang mengadang di kiri- kanan jalan.

Dalam kegelapan darijauh pasti tidak akan melihat dua orang di depannya ini, untung mala m ini ada sinar bulan, maka mawar hitam segera melihat bayangan kedua orang dari kejauhan..

Betapa cerdik si mawar hitam, me lihat dua orang berdiri di pinggir jalan, karena kawan atau lawan sukar diraba, sudah tentu dia tidak berani mendekat secara gegabah, segera dia berhenti beberapa jauh dari mereka. Begitu dia berhenti, ke dua bayangan orang itu mulai bergerak dan pelahan2 mende kati dirinya. . .

Mawar hitam tetap berdiri tak bergerak. tapi jari2, tangan kanannya sudah menggengga m gagang pedangnya. Cepat sekali seperti bayangan setan kedua orang itu sudah berada dihadapannya. Kini mawar hitam me lihat jelas kedua orang ini sa ma mengenakan seragam hita m, mukanya juga kuning seperti mala m, seorang lagi mukanya malah lebih legam sehingga tertampak menyeramkan-

Kini mawar hitam dapat me lihat je las kedua orang ini teman yang tadi bertugas bersama dirinya, yaitu dengan kode huruf kuning nomor 27. "Bukankah mereka bertugas menguntit Ban Jin-cun dan Kho Keh-hoa menuju ke Pak-sia m-san? Tapi kedua orang itu mendadak muncul di sini," keruan ia kaget, lekas dia me mber i hormat, katanya: "Hamba huruf kuning 29, menyampa ikan hor mat kepada Sincu"

Ternyata laki2 muka kuning kelabu berna ma Sin-cu "sincu adalah suatu jabatan tertentu di dalam Hek-liong-hwe.

"No mor28," desis laki2 muka kelabu, "Kau tahu apa dosamu?” Bergetar hati mawar hitam, tapi dia me makai kedok, sudah tentu perubahan air mukanya tidak -kelihatan, tapi sikapnya kelihatan gugup, sahutnya: "Entah ha mba melanggar kesalahan apa?"

"Budak bernyali besar," damperat laki2 muka kelabu, "dihadapanku masih berani mungkir."

"Harap Sincu periksa yang betul, ha mba betul2 tidak tahu berbuat kesalahan apa? Memangnya melanggar peraturan organisasi? "

si muka kelabu menjengek dingin: "Apa betul kau tidak tahu?

Baiklah, nornor 27 jelaskan padanya."

Laki2 muka legam mengia kan, dengan menyertingai dia berkata: "Sebelum berangkat menunalkan tugas kali ini ha mba menerima perintah rahasia Ji tongcu, beliau merasa nomer 28 agak mencur igakan, maka ha mba diperintahkan me mperhatikan gerak- geriknya "

"Aku toh bukan anak buah Ji-tongcu," debat mawar hita m, "dari mana dia tahu letak kele mahanku sehingga menaruh curiga padaku"

"Kau adalah anak buah cui tongcu," kata laki2 muka lega m, "sudah tentu perintah Ji tongcu ini juga setahu cui tongcu sendiri." Lalu dia mena mbahkan: "Setelah no mor sembilan mati mene lan racun, sengaja hamba bilang mau menguntit kedua bocah Ban dan Ko itu, sebetulnya di Kim-sim-tun pihak kita juga ada orang, hakikatnya tidak perlu me nguntit mereka segala, apa yang hamba lakukan hanya untuk mengelabui no mor 28 dan mengawas i tingkah lakunya apakah betul dia melanggar "

"Me mangnya aku melanggar aturan apa?" tanya mawar hita m. "Untuk apa ma lam ini kau pergi ke hotel Ko-seng-can?" tanya

laki2 muka lega m. .

"Karena bocah she cu itu tinggal di hotel itu maka ingin aku menyelidiki gerak-geriknya, me mangnya maksudku ini salah?" dengus mawar hitam. "Apa saja yang telah kau bicarakan dengan dia?" tajam pertanyaan laki2 muka lega m.

"Jadi kau menguntitku secara dia m2, apa yang kulakukan tentu sudah kau sakslkan, kenapa tanya lagi?"

"Akulah yang ingin tanya padamu," sa mbung laki2 muka kelabu. .

Mawar hitam me lir iknya, katanya dengan membungkuk hor mat: "Sin-cu boleh tanya nomor 27 saja, yang terang hamba yakin tidak me lakukan kesalahan-"

"Kau tidak usah berdebat lagi, serahkan senjatamu, pulang ikut aku menghadap Cui-tongcu"

Tanpa terasa mawar hitam menyurut mundur selangkah, semakin kencang jari2 nya me megang gagang pedang, katanya: "Jadi Sincu juga tidak percaya padaku, baiklah aku akan menghadap cui-tongcu sendiri"

Sorot matanya yang kelabu menatap mawar hitam, tegas suara si muka kelabu: "28, kau berani melawan perintah?" Dari dalam bajunya dia keluarkan seutas rantai lembut, di ujung rantai terikat sebuah gembo k kecil, "trang", dia le mpar gembok borgol itu ke tanah, bentaknya bengis: "Belenggu tanganmu sendiri."

Melihat orang keluarkan borgol, rasanya berdebat juga tak berguna, maka mawar hitam mundur ber-siap2, katanya tertawa dingin: "Sin-cu sendiri me ma ksa aku mela kukan pelanggaran- Baiklah, aku akan ke mbali ke markas saja," Segera dia putar tubuh dan lari.

"Bangsat bernyali besar" bentak si muka kelabu. "Kau mau lari?"

Tanpa diperintah laki2 muka legam melo los senjata terus me lo mpat ke depan menghadang si ma- war hita m, Urusan sudah kadung begini, terpaksa mawar hitam harus bertindak cepat, mendadak ia menghardik keras "Minggir"

Begitu pedang terlolos dan bergerak, dengan jurus jun-seng-hwi- hoa segera sinar pedang menggulung ke dada laki2 muka lega m. Agaknya orang itu tidak menduga di hadapan sincu orang berani bergerak senekat ini ehingga si mawar hitam se mpat merangsaknya lebih dulu, ma ka dia tidak berani menya mbut ecara keras, ia me lo mpat mundur beberapa kaki. Begitu kaki turun ke tanah, pedangnyapun udah terlolos, bentaknya.: "Perempuan keparat, berani kau melawan?" Tiba2 ujung pedangnya bergetar, dia menubruk ke arah mawar hita m.

Sebelum lawan menubruk tiba, mawar hitam me mbentak seraya putar pedang dengan kencang, beruntun dia menusuk dan menika m delapan kali, Delapan kali serangan ini dilancarkan secara ganas, beberapa kaki sekeliling dirinya bertaburan sinar pedangnya yang ke milau.

Karena di dahului, si muka legam tepaksa hanya me mbela diri sambil mundur, ia kaget danjeri, sembari bertahan mulutnya berkaok2. "Sincu, coba lihat ilmu pedang apakah yang dimainkan keparat ini?"

Tujuan mawar hitam hanya me loloskan diri, sudah tentu serangannya tak mengenal kasihan, beruntun beberapa kali serangan pedangnya hampir saja mena matkan jiwa si muka lega m, tapi begitu orang mundur, sebat sekali dia tutul kedua kaki terus me la mbung seto mbak lebih jauhnya. Namun waktu ia hendak mengenjot kalinya lagi, mendadak badannya bergetar, "bluk", tanpa kuasa ia jatuh terjere mbab.

Terdengar si muka kelabu terkekeh sa mbil mengha mpir i, suaranya sinis: "Perempuan hina, dengan sedikit ke ma mpuanmu ini, me mangnya mau lolos dari tangan aku orang she Tin? Lekas kata- kan, siapa yang mengutus mu menjadi mata2 di perkumpulan kita?" dia rebut pedang dari tangan laki2 muka lega m, sekali ujung pedang bergetar, beruntun dia tutuk tujuh kali Hiat-to di tubuh si mawar hitam.

Karena terjatuh ke tangan musuh, mawar hitam pejamkan mata saja tanpa bicara, dia pasrah nasib . . . "Dihadapan orang she Tin jangan kau pura2 mampus, kau akan mender ita tanpa bisa berkutik sedikitpun," desis laki2 muka kelabu, mendadak ia putar balik pedangnya, dengan gagang pedang dia mengetuk ke bawah dada mawar hita m. Ketukannya tidak berat, tapi sasarannya telak. gerakannya-pun berbeda dengan ilmu tutuk umumnya. Badan mawar hitam seketika mengejang, tanpa kuasa mulutnya mengerang kesakitan-

Dengan keheranan laki2 muka legam pandang laki2 muka kelabu, katanya: "Budak keparat ini teramat keras kepala, biar hamba menyiksanya lebih parah . . "

Laki2 muka kelabu menyeringai: "Tak usah kau turun tangan, dalam sepe minum teh, mustahil dia tidak mengaku."

Laki2 muka legam mundur dengan ragu2, tapi dia tidak berani banyak mulut lagi.

"Nah," ujar laki2 muka kelabu, "sekarang tanggalkan kedok mukanya, kini dia sudah bukan orang kita, tak boleh mengena kan kedok ini, nanti akan kukorek kedua biji matanya."

Laki2 muka legam mengiakan, segera dia mendekat dan menarik kedok si mawar hita m.

Dilihatnya wajah si mawar hitam yang mole k berubah pucat dan basah oleh keringat dingin. Dengan hati tak tenteram ia angsurkan kedok itu kepada atasannya.

Laki2 muka kelabu simpan kedok itu ke dalam bajunya, sikapnya tampak tenang2, ia berjalan ke sana lalu duduk di atas batu besar dipinggir ja lan sana.

Sementara itu wajah mawar hitam yang pucat berkerut2 itu sudah dibasahi keringat dingin, badan mengejang dan bergetar semakin keras, giginya berkerutuk menahan sakit. Jelas dengan segala daya dia bertahan akan siksaan yang luar biasa ini. Tidak mer intih juga tidak menjerit, hanya giginya yang berkeriut, dia terima siksaan ini dengan tabah dan berani. Dia tahu setelah rahasia dirinya ketahuan, dia terima segala akibat yang bakal menimpa dirinya.

Laki2 muka legam sa mpai mer inding menyaksikan perubahan air muka si mawar hita m, tapi laki2 muka kelabu justeru tetap ongkang2 duduk di sana dengan sabar, hatinya seperti terbuat dari besi tanpa perasaan, seakan2 dia a mat puas dan senang melihat

Keadaan si mawar hitam yang begitu mender ita. Dengan terkekeh dingin tiba2 dia berdiri mengha mpiri, tetap dengan gagang pedang, kembali dia mengetuk badan si mawar hita m. Kiranya, ketukan kali ini untuk me mbuka Hiat-to yang menyiksa mawar hitam tadi. Si mawar hitam yang sejak tadi duduk bertahan kini menjadi lunglai dan terkapar di tanah.

Dengan terkekeh dingin si muka kelabu mendelik bengis, katanya: "Nomor 28, kau sudah rasakan, kenikmatannya? Ketahuilah, ini baru per mulaan supaya kau tahu rasa, yang lebih enak masih bisa kau rasakan jika kau tetap me mbangkang, ketahuilah kesabaranku juga terbatas."

"Bunuhlah aku," teriak mawar hitam serak.

"Me mangnya begini mudah?" jengek muka kelabu. "Sebelum kau mengaku siapa yang mengutus mu ke mari? Aku tidak akan me mbikinmu ma mpus,"

Mawar hitam me mbuka pula matanya, mulutnya terkancing rapat2.

"Aku tak percaya, memangnya badanmu ini berotot kawat bertulang besi," demikian ejek si muka kelabu, "Tak mau bicara, jangan sesalkan aku berlaku keji. ......" ia angkat pedang pula dan pelan2 gagang pedang ke mbali hendak menutuk ke dada si mawar hitam.

Pada saat2 genting itulah, tiba2 dari belakang pohon sebelah kanan sana orang me mbentak nyaring: "Berhenti" - Suaranya merdu, terang itulah suara perempuan, malah pere mpuan yang masih muda belia. Gagang pedang di tangan si muka kelabu yang sudah teracung berhenti di tengah jalan, ia melirik ke arah datangnya suara, Pohon di pinggir ja lan itu berada beberapa pelukan orang besarnya, bentuknya menyerupai payung, Ta mpak dua bayangan orang me lo mpat keluar dari balik pohon besar itu.

Dua bayangan semampai dan ra mping, yang di depan berusia 19-an me makai gaun panjang warna hijau pupus dengan baju panjang putih mulus, wajahnya tampak jelita dan anggun, di bawah sinar rembulan yang remang2 kelihatannya dia seperti bidadari yang baru turun dari kahyangan. Agak di belakang adalah seorang gadis pula lebih muda berpakaian serba hijau, kuncir ra mbutnya yang hitam me njuntai turun menghias dada, dandanannya mirip pelayan, tapi wajahnya juga cantik mo lek.

Melihat yang muncul hanya dua gadis ayu, si muka kelabu tertawa lebar, katanya: "Agaknya kalian me mang seko mplotan, kebetulan kalian akan punya kawan dalam perjalanan ke alam baka, supaya aku tidak me mbuang waktu di sini"

Menjengkit alis gadis   bergaun   panjang,   bentaknya:   "Kau me mbua l apa? Kebetulan aku lewat di sini, tak senang kumelihat perbuatan kejammu ini terhadap seorang gadis lemah yang tak ma mpu melawan ini."

Si muka kelabu me micingkan matanya, desisnya tertawa: "Me mangnya kenapa kalian nona2 cantik ini tidak senang. Aku justru ingin perlihatkan pada mu." gagang pedang yang sudah teracung pelan2 bergerak turun pula.

Gadis baju hijau bertolak pinggang, bentaknya: "Kunyuk kurang ajar, di hadapan Siocia berani kau bertingkah"

"Me mangnya kenapa tuan besarmu ini tidak berani" jengek si muka kelabu.

"Berani kau menyentuhnya, segera kubuntungi lengan kananmu .

. . . " ancam si nona bergaun panjang dengan gusar.. Si muka kelabu tertawa, katanya: "Budak cilik, kalau tuan besarmu ga mpang digertak orang, aku takkan berjuluk Thian- kau (anjing langit). Nah lihatlah"

Gerak gagang pedangnya lambat2, tapi sudah hampir menyentuh dada si mawar hita m.

Pada saat itulah jari gadis gaun panjang tiba2 terangkat, bentaknya: "Betul kau berani ."

Gagang pedang si muka kelabu sudah ha mpir mengenai sasarannya, tapi mendadak dia merasa adanya sesuatu yang ganjil, lengan kanannya itu tahu2 kaku dan pati rasa, lemas tidak me nurut perintah lagi. Baru saja ia terkejut, segera pedang yang dipegangnya berkelontangan jatuh di tanah.

Sudah tentu laki2 muka legam kaget, tanyanya lirih sambil me mbur u maju: "Kenapa Sincu?"

Pucat dan ketakutan me mbayang pada wajah muka kelabu: "Lekas pergi" Dengusnya pelahan, cepat dia mendahului berlari pergi ..

Melihat pemimpinnya lari me mbawa luka, sudah tentu si muka legam tak berani tinggal la ma2, lekas iapun angkat langkah seribu.

Gadis baju hijau cekikikan, katanya:. "Tidak berguna, sekali gertak lantas lari mencawat ekor."

Gadis majikannya berkata sungguh2: "Jangan kau pandang ringan mereka, kepandaian mereka tinggi, kalau bertempur betul2 mungkin aku bukan tandingannya." lalu dia menambahkan- "Lekas kau periksa luka nona itu."

Dengan langkah ringan dia mengha mpiri lalu berjongkok di samping si mawar hita m, katanya, "Entah di mana luka nona, apa tertutuk Hiat-to mu. ."

Dengan telentang lemas pelan2 mawar hitam me mbuka mata, suaranya lemah tak bertenaga: "Terima kasih atas pertolongan nona, cuma. .... keadaanku sudah payah" matanya berkedip2, tak tertahan dua titik air mata berlinang dikelopak matanya.

"Di mana luka mu," tanya gadis gaun panjang, "lekas katakan biar kuperiksa?"

Mawar hitam menggeleng, katanya lemah: "Jangan nona menyentuhku, aku terkena senjata rahasia beracun keparat itu

........"

"Terkena senjata rahasia beracun?Jangan kuatir aku me mbawa obat mujarab, mungkin bisa menawarkan racun dalam tubuhmu."

"Tak berguna," ujar mawar hitam rawan, "racun dibadanku t iada obat pemunahnya di kolong langit ini, bahwa aku tidak segera mati, karena Thian-kau-s ing (anjing langit) tadi menutuk Hiat-toku sehingga kadar racun se mentara tidak me njalar ke jantung "

lalu dia pandang gadis penolongnya, "nona baik hati menolongku, ada pesan ingin kutitipkan pada mu, entah nona sudi me mbantuku lagi t idak?"

"Pesan apa katakan saja, asal bisa kulakukan pasti kubantu kau.". .

"Terima kasih, di dalam bajuku ada sebuah kantong kain bersulam, barang ini jangan sa mpai terjatuh ke tangan orang2 Hek liong hwe, oleh karena itu terpaksa kutitipkan pada nona "

"Kantong ini tentu penting artinya, entah kepada siapa harus kuserahkan?"

"Penting sih t idak. juga tidak perlu diserahkan kepada siapa2, cuma tolong kau me mbakarnya saja, di dalam kantong ada sekeping besi tipis, di tengahnya ada ukiran sekuntum bunga mawar, besok pagi tolong adik ini suka cantolkan di mana saja asal dipojok te mbo k di pinggir jalan, harus dicantolkan terbalik ke bawah, lalu dilingkari tinta hitam, cukup di dua-tiga tempat saja, kawan2ku tentu akan tahu bahwa aku sudah gugur."

"Baiklah, akan kulakukan pesanmu ini." "Soal ini a mat rahasia, waktu me mbuat lingkaran hitam jangan sekali2 dilihat orang."

"Aku dan Siau Yan jarang berkelana di Kangouw," kata gadis gaun panjang, "entah kau dari Pang atau Pay mana?"

"Aku tak berani mengelabui nona, aku orang Pek-hoa-pang, harap nona tidak ceritakan peristiwa ma lam ini kepada orang lain-"

"Aku tahu, setiap Pang atau Pay di kalangan Kangouw ada peraturan dan rahasianya sendiri, aku tidak akan beritahu kepada orang lain-"

"Baiklah, tolong keluarkan kantong kain dalam bajuku, waktuku tak banyak lagi " . .

"Biar kua mbil," kata gadis baju hijau, segera ia berjongkok serta merogoh keluar sebuah kantong kecil dari dalam baju si mawar hitam.

Sekilas me lihat cuaca, tak tertahan air mata mawar hitam lantas bercucuran, katanya sedih: "Masih ada satu hal hampir kulupakan, di dalam kantong ada sebuah botol kecil warna hitam, setelah aku mangkat, tolong enci siau Yan tuang sedikit bubuk obat dalam botol itu ke atas mukaku."

Gadis baju hijau me mbuka kantong kecil dan mengeluarkan sebuah botol tanyanya,

"Apakah ini?"

Mawar hitam mengangguk, katanya kepada nona bergaun panjang: "Apa yang ingin kupesan sudah kukatakan, tolong Siocia me mbuka Hiat-toku."

Berkerut alis si nona, katanya "Membuka Hiat-to, bukankah racun akan segera menyerang jantung? "

"Ya, enam Hiat-to didadaku me mang tertutup, tapi setengah jam lagi racun akan mere mbes pelan2, penderitaan waktu itu luar biasa, lebih baik kau buka Hiat-toku supaya racun lekas menyerang jantung, dengan demikian aku tidak akan menderita. Lekaslah, harap Siocia tolong diriku."

Si gadis gaun panjang ragu2, katanya:. "Aku belum pernah me mbunuh orang, cara bagaimana aku tega turun tangan? . . ."

"Yang me mbunuh aku adalah Thian- kau-sing. Siocia malah meno longku, kalau Siocia tidak me m-buka Hiat-toku, karena jalan darahku tersumbat, racun akan bekerja la mbat sehingga siksaan yang kualami akan jauh lebih me ngerikan- Siocia, aku orang yang hampir mati, kalau kau buka hiat-toku, aku tidak akan tersiksa, lebih la ma lagi."

Akhirnya gadis gaun panjang manggut2, katanya. "Baiklah, kutolong kau me mbuka Hiat-to" lambat2 dia ulur tangan, tapi hatinya tidak tega hingga tanganpun gemetar, tanyanya lagi dengan sedih: "Kau mas ih ada pesan apa?" Pilu senyuman mawar hitam, sahutnya: "Terima kasih, tiada lagi. ."

"Aku. .... .ai, aku.. .. ..sungguh tidak tega turun tangan," kata gadis gaun panjang sa mbil menyeka air mata.

Mendadak badan si mawar hitam bergetar terus mengejang dan berkelejetan, air mukanya berubah hebat, suaranynya gemetar: " Racun .....sudah mula i . bekerja Siocia le .. lekas . . ." Melihat penderitaan yang hebat ini, gadis gaun panjang tidak sampai hati, tanpa pikir ulur tangan ke dada mawar hitam, beberapa Hiat-to, yang tertutuk tadi dibuyarkannya .

Badan mawar hitam ta mpak berkelejetan, wajahnya yang semula pucat berkeringat seketika berubah hitam, darah kental hitampun me leleh dari mulut hidang dan mata kupingnya.

Bergidik seram si gadis gaun panjang, katanya menghe la napas: "Senjata rahasia yang ganas sekali. Ai, Siau Yan, dia minta kau menabur kan bubuk obat itu ke mukanya, lekas kau lakukan, kita harus segera berangkat."

Siau Yan mengiakan, dengan tabahkan hati ia taburkan bubuk obat di botol kecil itu kemuka si mawar hitam, katanya: "Siocia, marilah lekas pulang ke hotel." wajahnya tampak pucat dan tangannya gemetar, agaknya iapurt ketakutan- . .

Gadis gaun panjang mengge leng2, katanya: "Tadi. kita sudah menerima pesannya yang terakhir. setelah me mbakar kantong kain itu baru kita pulang. ."

"Dibakar di sini juga, Siocia?" tanya siau Yan. "apa jangan di tengah jalan, kalau dilihat orang bisa dicurigai, malah bakar di depan biara bobrok di depan sana"

Pada saat mereka bicara itulah jenazah mawar hitam se mentara itu sudah mulai lumer, kini tinggal cairan darah kuning menggenangi tanah sekitarnya..

"Siocia me mang lebih cer mat," ujar Siau Yang, tiba2 ia menjerit kaget me lihat cairan darah kuning itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar