Pedang Keadilan II Bab 50. Menjumpai seebun Giok hiong (Tamat)

 
Bab 50. Menjumpai seebun Giok hiong  (Tamat)

"Jangan kelewat percaya diri." Li hujin mengingatkan, "Kemampuan seebun Giok- hiong luar biasa, sebelum kejadian hari ini, aku pun mempunyai keyakinan seperti dirimu, Tapi sekarang, keyakinanku sudah mulai goyah, jangan lagi ia berhasil menjaring begitu banyak jago lihay untuk membantu kubunya, hanya seebun Giok-hiong seorang pun sudah cukup memusingkan kepala kita."

"Kenapa keyakinan hujin bisa goyah?"

"Kalau cuma berbicara masalah ilmu silat, biarpun seebun Giok-hiong berlatih berapa tahun lagi belum tentu mampu mengalahkan aku, tapi pengetahuannya yang begitu luas dan pikirannya yang begitu cemerlang, rasanya kita tak boleh menghadapi secara sembarangan"

"Maksudmu dia berhasil menguasai ilmu Yoga dan beberapa macam ilmu sesat lain-nya?"

"Bukan cuma begitu, aku curiga dia telah menguasai beberapa macam ilmu sesat yang luar biasa."

"Tidak apa-apa, sehebat-hebatnya kepandaian silat yang dipelajari inti sarinya toh tetap sama. Dengan kemampuan yang hujin miliki sekarang masih lebih dari cukup untuk menghadapinya . "

"Moga-moga saja begitu." Selesai berkata, dia pun beranjak pergi meninggalkan tempat itu.

Menanti bayangan punggung Li hujin sudah lenyap dari pandangan, Lim Han-kim baru berkata:

"Apakah nona baru hari ini tahu kalau ibumu berada di perkampungan keluarga Hong-san?"

"Tidak, rahasia ini sudah lama kuketahui, hanya tidak tahu berada dimana sekarang. Suatu ketika aku pernah curiga Li hujin adalah ibu kandungku, tapi dengan cepat aku sadar bahwa dugaanku itu salah besar."

"Nona tidak pernah menanyakan masa lampaumu?" "Tidak. aku tahu saatnya belum tiba, ditanyakan juga

percuma."

Lim Han- kim menggerakkan bibirnya seperti akan mengucapkan sesuatu, tapi niat tersebut segera diurungkan.

"Apa yang ingin kau katakan?" tegur Pek si-hiang. "Menurut penuturan ibuku, mereka pernah

mempunyai tiga bersaudara yang sangat akrab, Li hujin

menempati posisi pertama, ibuku kedua, dan mungkin sekali ibumu menempati urutan ketiga."

"Ehmm, bisa jadi ibuku nomor tiga."

Lim Han- kim menghela napas panjang: "Aaaai... kalau menuruti kemauan Li hujin, dia baru akan bercerita bila badai pembunuhan ini sudah lewat, padahal andaikata dalam pertarungan ini ada di antara mereka yang tewas..."

"Maksudmu Li hujin?" "Entah Li hujin atau diriku, asal salah seorang di antara kami tewas, bukankah teka teki asal usulku akan menjadi rahasia untuk selamanya..." Pek si-hiang turut menghela napas panjang, selanya:

"Bila dugaanku tak salah, kemungkinan besar ayahmu akan turut menghadiri pertemuan puncak ini."

"Ayahku masih hidup?"

"Apa yang diceritakan ibumu kepadamu? Apa dia menyatakan ayahmu sudah meninggal."

Lim Han- kim coba berpikir sebentar, benar juga, ibunya memang tak pernah menyatakan kalau ayahnya telah meninggal karena itu ujarnya:

"Nona bisa mengatakan kemungkinan tersebut berarti kau sudah tahu bukan siapa ayahku?"

"Aku tak tahu, tapi banyak orang mengetahui hal ini." "Siapa?"

"Ciu Huang, Thian-hok sangjin, gurumu Tan ceng-po... aku rasa mereka semua pasti tahu..."

"Anehnya kenapa mereka segan memberitahukan hal ini kepadaku?"

"Aku rasa tentu ada sebab-sebab tertentu, mungkin mereka enggan menyinggung kembali peristiwa lama hingga melukai perasaan ibumu, mungkin juga karena masalah ini menyangkut keadaan yang gawat sehingga tak berani bicara sembarangan..." setelah berhenti sejenak, kembali terus-nya:

"Sabarlah sedikit, paling lama toh setengah bulan lagi semuanya akan terungkap. Bukankah kau sudah menunggu hampir dua puluh tahun lamanya, kenapa tak mau menunggu setengah bulan lagi? Di samping itu, masih ada satu urusan lagi aku butuh bantuanmu."

"Butuh bantuanku?"

"Benar, hanya aku tak tahu punya nyalikah kau untuk melaksanakan hal ini?"

"Asal bisa kulaksanakan, tentu akan kulakukan" "Bagaimana kalau kuminta kau pergi nyerempet

bahaya?"

"Mau suruh terjun ke air atau api, pasti akan kulakukan"

"Maksudmu kau bersedia hidup untukku, begitu juga bersedia mati untukku?"

"Betul, silakan nona sampaikan permintaanmu." "Temani aku pergi menjumpai seebun Giok-hiong." "Mau apa bertemu dengannya?"

"Aku berharap bisa mencegah terjadinya pertumpahan darah kali ini, jadi aku berniat membujuknya agar menghapus niatnya untuk membalas dendam, apalagi kalau bisa mengubah suasana yang mengerikan dan penuh ancaman bahaya maut dalam perkampungan keluarga Hong-san ini menjadi suasana yang tenang dan penuh kedamaian-"

"Aku takut keinginanmu itu sukar terkabul." "Sekalipun gagal, paling tidak aku telah berusaha

sebatas kemampuanku, asal kau mau menuruti perkataanku, kemungkinan untuk berhasil sudah lima puluh persen berada di tangan kita."

"Mana mungkin." Lim Han- kim menggeleng, "Kecuali kau mampu membunuhnya, kalau tidak, kemungkinan untuk berhasil minim sekali harapannya."

"Kau berpendapat begitu apa karena dia enggan menuruti bujukan dan nasehatmu?"

"Sudah kubeberkan untung ruginya bila pertarungan ini dilanjutkan, bukan saja semua kemampuanku telah dicurahkan, bahkan mulut serasa sudah kecut semua lantaran banyak bicara, tapi nyatanya dia tetap nekat dengan rencananya, ia tolak mentah-mentah semua bujuk rayuku, apalagi tadi dia sudah mengadakan perjanjian dengan Li hujin untuk berduel, situasi sekarang ibarat anak panah sudah siap dilepaskan, mana mungkin bisa dihalangi lagi..." Pek si-hiang tertawa hambar.

"Masa kau tidak merasa kalau di antara kita berdua terdapat perbedaan, apa yang tak sanggup kau lakukan, mungkin saja bisa kulaksanakan dengan baik?"

Lim Han- kim cukup mengerti akan kemampuan dari gadis tersebut, bahkan kehebatannya berapa ratus kali lebih hebat darinya, karena itu untuk sesaat dia hanya termangu. Pek si-hiang menghela napas panjang, katanya lagi dengan lembut:

"Bila ia mengerti kalau harapannya untuk meraih kemenangan dalam pertarungan ini amat tipis, bayangkan sendiri, apakah dia masih akan berkeras kepala..." "Tindak tanduk seebun Giok- hiong selama ini hanya menuruti suara hati sendiri, belum tentu ia percaya dengan perkataanmu itu, kecuali seketika itu juga kau berhasil menaklukkannya . "

Tiba-tiba Pek si-hiang bangkit berdiri, katanya sambil menggenggam tangan Lim Han- kim erat-erat:

"Temani aku, masa kau tega biarkan aku pergi seorang diri?"

"Baiklah" ucap Lim Han- kim akhirnya, "Bila kau bersikeras hendak pergi, tentu akan kutemani kepergianmu ini, cuma seebun Giok- hiong sudah dibuat lupa daratan oleh kobaran dendam kesumatnya, siapa tahu ia malah berniat membunuhmu"

"Masalah ini tak boleh ditunda lagi, bagaimana kalau kita berangkat sekarang?"

"Budak bersedia menemani nona" seru siok-bwee dan Hiang-kiok bersama-sama.

"Tidak usah," tampik Pek si-hiang sambil menggeleng, "Asal Lim siangkong bersedia menemani aku, itu sudah cukup, lebih baik kalian berjaga di sini sambil menunggu kepulanganku. "

"Kapan nona baru kembali?" tanya Siok-bwee.

Pek Si-hiang periksa sebentar keadaan cuaca di luar, lalu sahutnya: "Paling lambat sebelum tengah hari."

"Kini fajar pun belum menyingsing kemana nona hendak mencari Seebun Giok-hiong?" tanya Lim Han-kim. "Ayoh berangkat saja pokoknya aku punya cara untuk menemukan jejaknya" seru Pek si-hiang sambil turun dari loteng.

Dengan mengikuti di belakang Pek Si-hiang, berangkatlah Lim Han-kim berdua meninggalkan bangunan loteng Teng-siong-lo.

Keadaan Pek Si-hiang masih nampak lemah sekali, waktu berjalan tubuhnya gontai kesana kemari, seolah- olah untuk berdiri tegak pun masih belum sanggup.

Menyaksikan hal ini Lim Han-kim berpikir.

"Sudah sekian lama kau melatih diri tapi nyatanya untuk berjalan sendiri pun masih amat lemah dan tak bertenaga, mana mungkin bisa mengalahkan Seebun Giok-hiong dalam suatu pertarungan nyata? Nampaknya perjalanan malam ini lebih banyak bahayanya ketimba selamat..."

Berpikir sampai di situ, tak kuasa lagi dia merangkul tubuh Pek Si-hiang dan membantunya meneruskan perjalanan

Saat itu penjagaan di seputar perkampungan keluarga Hong-san ekstra ketat, sekeliling gedung Tay-sang-kek maupun gedung Teng-siong-lo dijaga oleh segerombol dayang dari keluarga Hong-san- Hanya saja mereka semua bersembunyi di balik semak belukar dan pepohonan hingga orang yang tak tahu latar belakangnya, sulit untuk menemukan jejak mereka.

Untung juga kawanan dayang itu sudah pada mengenal siapa Lim Han- kim serta Pek si-hiang, karena itu tatkala melihat sepasang muda mudi ini berjalan sambil berangkulan, tak seorang pun di antara mereka yang menegur atau menghalangi.

Semenjak kehadiran para jago dari siau-lim-pay dan Bu-tong-pay, ong popo yang bertugas menjaga keamanan lembah Ban-siong-kok telah menarik semua kekuatannya untuk berjaga di gedung bagian dalam, sedang keamanan di luar gedung menjadi tanggung jawab para jago.

Saat itu, tanggung jawab keamanan seluruh lembah oleh Li Tiong-hui sebagai Bu- lim Bengcu telah diserahkan ke tangan ketua Bu-tong-pay, Thian-hok sangjin-

Meskipun kawanan jago yang bertugas menjaga keamanan lembah tidak mengenal Lim Han- kim serta Pek si-hiang, namun berhubung kedua orang ini muncul dari gedung bagian belakang, otomatis tak seorang pun yang mencoba menegur atau menghalangi.

Setibanya di mulut lembah, kepergian mereka baru dihadang oleh seorang pendeta setengah umur yang bersenjata sebuah toya. "Apa maksud kalian berdua datang kemari?" tegurnya.

"Kami sedang melaksanakan tugas dari Li hujin untuk memeriksa posisi musuh di luar lembah," jawab Pek si- hiang cepat.

Dengan seksama pendeta setengah umur itu meneliti wajah Lim Han- kim serta Pek si-hiang, kemudian pelan- pelan mengundurkan diri dari situ.

Jelas dalam hati kecilnya sudah timbul perasaan curiga, hanya dia segan banyak bertanya, Pek si-hiang segera berjalan meninggalkan lembah, beberapa kaki kemudian dia baru menghembuskan napas panjang seraya berkata:

"Seharusnya Li Tiong-hui menggunakan kata-kata sandi sebagai kode rahasia, dengan menggunakan kata sandi, seseorang baru boleh masuk kelaur lembah dengan leluasa, cara seceroboh ini berbahaya sekali untuk keamanan mereka, Tapi untung bagi kita, coba kalau kata sandi telah dipergunakan mungkin sulit bagi kita untuk keluar lembah malam ini." Lim Han- kim berpikir dalam hati:

"Meninjau dari sikapnya yang begitu santai, agaknya ia mempunyai keyakinan penuh untuk mensukseskan langkahnya malam ini..." Berpikir begitu, dia pun bertanya:

"Kegelapan malam masih menyelimuti seluruh jagad, kemana kita harus mencari seebun Giok- hiong?"

"Gampang sekalL cepat bimbing aku ke sana"

Lim Han- kim berkerut kening tapi tidak membantah, ia pun membimbing Pek si-hiang melanjutkan perjalanan.

Dua-tiga li kemudian Pek si-hiang berhenti secara mendadak. la mendongakkan kepalanya memeriksa posisi bintang sebentar, kemudian katanya: "Cepat bimbing aku menuju ke puncak bukit itu"

"Mau apa mendaki puncak bukit itu?" "Mencari seebun Giok- hiong" "Tak mungkin See bun Giok-hiong berada di puncak bukit itu," kata Lim Han-kim setelah memandang bukit itu sekejap.

"Aku tahu, asal kita sudah tiba di puncak bukit itu, tentu dia akan munculkan diri untuk bertemu dengan kita,"

Lim Han-kim tahu gadis ini mempunyai perhitungan yang masak dan perkiraan yang jitu, karenanya tanpa banyak bertanya lagi ia bimbing Pek si-hiang menuju ke puncak bukit itu.

Derap langkah Pek si-hiang sangat lemah dan seolah- olah tak bertenaga, meski nampaknya Lim Han-kim hanya membimbingnya untuk menempuh perjalanan, padahal kenyataannya pemuda tersebut sedang membopongnya untuk meneruskan perjalanan ke puncak bukit.

Ketika tiba di puncak bukit itu, Pek si-hiang sudah amat kelelahan, bukan cuma keringatnya bercucuran napas pun ikut ngos-ngosan.

Dalam keadaan begini Lim Han-kim tak sanggup menahan diri lagi, tegurnya setelah mendeham pelan:

"Nona, sebenarnya ilmu silat yang kau latih selama lima hari ini telah berhasil kau pelajari belum?"

"Tentu saja sudah selesai kupelajari kalau tidak. buat apa kita kemari? Mau mengantar nyawa dengan percuma?"

"Tapi ilmu silat apa yang nona pelajari? Kenapa tak nampak sedikit pun tanda kalau kau telah menguasainya?" "Tak usah kuatir, seebun Giok-hiong pasti dapat mengetahuinya,"

Dalam hati Lim Han- kim berpikir.

"Aku telah berjanji akan menemanimu, berarti aku tak boleh memikirkan soal mati hidupku lagi..."

Berpikir begitu, dia pun berkata:

"Sekarang, dengan cara apa kita akan mengundang kehadiran seebun Giok- hiong?" Dari sakunya Pek si- hiang ambil keluar sebuah tabung bulat berwarna merah, katanya:

"Coba kau letakkan benda ini di atas batu besar lalu bakarlah, seebun Giok-hiong segera akan muncul di sini."

"Tapi aku tidak membawa korek api?"

"Aku punya." Dari sakunya kembali gadis itu mengeluarkan bahan pembuat api dan diserahkan kepada anak muda tersebut

Lim Han- kim segera menerimanya dan menyulut tabung berwarna merah yang sudah diletakkan di atas batu.

"Setelah kau sulut sumbunya, cepat mundur kemari." Kembali Pek si-hiang berseru.

Lim Han- kim menurut dan begitu sumbu telah disulut, ia cepat-cepat mundur ke sisi Pek si-hiang. "Blaaammmm... "

Suatu ledakan keras berkumandang memecahkan kesunyian, menyusul suara dentuman itu, semburan bunga api meluncur ke tengah udara dan memercikkan kembang api yang berwarna warni di angkasa. Pek si-hiang melirik Lim Han- kim sekejap, lalu bisiknya sambil tertawa:

"Sayang kesehatan badanku dalam kondisi jelek. tak sempat kurancang pesta kembang api yang lebih indah."

Lim Han-kim tidak langsung menjawab, pikirnya: "Heran, dalam situasi dan keadaan seperti ini, kau

masih punya ingatan untuk membuat permainan kanak-

kanak macam begini..." Dengan mengalihkan pembicaraan ke masalah lain, ucapnya:

"Berapa lama lagi seebun Giok-hiong baru tiba di sini?

Bagaimana jika yang datang ternyata bukan seebun Giok-hiong?"

"Sekarang waktu masih pagi, kita harus menunggu beberapa saat lagi, mari kita manfaatkan kesempatan ini untuk berbincang-bincang."

"Apa lagi yang perlu diperbincangkan?" "Berbicara masalah perkawinanmu, aku rasa kau

sudah tak boleh menunda waktu lagi dalam mencari

jodoh sebagai istrimu, di antara Li Tiong-hui dan seebun Giok-hiong, kau harus pilih salah satu di antaranya menjadi istrimu."

Lim Han-kim mendongakkan kepalanya sambil tarik napas panjang, celanya:

"Kini, badai pertumpahan darah sudah di ambang pintu, dapatkah aku lolos dari pembantaian ini dalam keadaan selamat masih menjadi tanda tanya besar, apa gunanya kita singgung urusan macam begitu?" " Kalau begitu perlu kuberitahu kepadamu, selama aku Pek si- hiang yang kendalikan pertemuan puncak di bukit Hong-san ini, akhir dari pertemuan ini tak bakal setragis dan sengeri apa yang kau bayangkan, Masalahnya sekarang adalah bagaimana kelanjutan dan situasi ini bila aku sudah mati."

"Apa? Kau bakal mati?"

"Sudah cukup lama aku hidup di dunia ini, apa salahnya bila aku mati" Pek si-hiang balik bertanya sambil tertawa. Lim Han- kim menghela napas panjang:

"Apakah kau sudah lupa dengan peristiwa yang kita alami dalam kuburan pesanggrahan pengubur bunga? Bila aku, Lim Han- kim harus menikah, maka orang yang paling berhak menjadi istriku hanya nona seorang."

"Aaaai... aku mengerti, sejak dulu pun kau sudah kuanggap sebagai suamiku, sayang semua usahaku untuk mempertahankan hidup telah mengalami kegagalan total, kecuali mempelajari kembali ilmu sesat sembilan iblis, dalam dunia ini tak ada ilmu silat lain yang bisa mempertahankan hidupku lebih lama, padahal sebagaimana kau ketahui, sifatku akan berubah kejam dan sadis bila mempelajari kembali ilmu sesat tersebut, karenanya aku telah bertekad untuk meninggalkannya, ini berarti saat kematianku telah ditentukan.

Belakangan ini telah kugunakan seluruh kemampuan dan pengetahuan yang kumiliki untuk berjuang hidup, namun akhirnya tetap gagal untuk lolos dari cengkeraman elmaut, karena itulah sebelum kuhembuskan napas yang penghabisan harus kucarikan seorang pengganti yang sesuai untuk meneruskan puisiku."

Mendadak Lim Han-kim teringat kembali dengan perkataan Hiang-kiok, buru-buru serunya:

"Seandainya kau tidak beriatih ilmu silat, apakah kau tetap akan mati juga?"

"Hmmm, pasti Hiang-kiok sudah ngaco belo..." "Cepat katakan sesungguhnya..." tukas Lim Han-kim

gelisah, "Kenapa sih kau tak pernah mau bicara jujur kepadaku?"

Pelan-pelan Pek Si-hiang sandarkan kepalanya di atas pelukan Lim Han-kim, lalu katanya lembut:

"Jangan galak-galak padaku, toh aku sudah hampir mati, kenapa kau tidak bersikap lebih baik dan mesra padaku."

Rasa cinta dan sayang yang tak terhingga menyusup keluar dari lubuk hati Lim Han-kim, ia tak dapat kendalikan emosinya lagi, sambil memeluk erat-erat gadis tersebut bisiknya penuh kelembutan:

"Semenjak perbincangan kita yang panjang lebar dalam kuburan pesanggrahan pengubur bunga, aku sudah..."

Tiba-tiba teriihat sesosok bayangan manusia berkelebat lewat menuju ke puncak bukit.

Dengan cekatan Lim Han-kim melompat bangun seraya persiapkan pedang Jin-slang-kiam untuk menghadapi segala kemungkinan, tegurnya:

"Siapa di situ?" "Aku, Li Tiong-hui" jawab bayangan tadi dengan nada yang merdu. sambil tertawa Pek si-hiang berkata:

"Sudah kutebak kau pasti datang, cepat kemari, kita harus bicarakan masalah ini dengan serius."

"Apa yang perlu kita bicarakan?" sambil padamkan obornya Li Tiong-hui berjalan mendekat.

"Kesalahan besar yang pernah dilakukan generasi tua kita tak boleh diulang kembali oleh generasi kita, oleh sebab itu aku harus berupaya sekuat tenaga untuk mencegah terjadinya badai pertumpahan darah ini, kalau bisa hawa jahat diubah jadi hawa perdamaian. oleh karena itu kita harus perbincangkan dulu masalah ini dengan sebaik-baiknya."

"Apa gunanya kita bicarakan masalah tersebut?" Li Tiong-hui ambil tempat duduk di hadapan gadis tersebut, "Toh yang menjadi pemeran utama dalam drama ini adalah seehun Giok-hiong."

"Dia pasti akan muncul..." Pek si-hiang menegaskan. Kemudian sesudah berhenti sejenak kembali terusnya:

"Walaupun awal terjadinya pertemuan puncak di bukit Hong-san ini adalah hasil pertikaianmu dengan seebun Giok-hiong, tapi kini telah berubah menjadi pertemuan puncak untuk menyelesaikan kemelut yang dilakukan generasi tua kita. ibu dari Lim siangkong, ibumu serta ibuku dulunya adalah saudara angkat yang seia sekata, tapi kemudian gara-gara suatu masalah berubah jadi musuh bebuyutan, ibuku paling tragis nasibnya, hingga kini beliau masih disekap oleh ibumu dalam perkampungan keluarga Hong-san, sedang ibunya Lim siangkong juga harus memusnahkan ilmu silatnya gara- gara ulah ibumu."

"Betulkah ada kejadian seperti ini?" tukas Li Tiong-hui sambil membelalakkan matanya.

"Seratus persen merupakan kejadian nyata. oleh karena itulah bukan saja kita wajib menghindarkan pertumpahan darah yang tragis dalam pertemuan nanti, kalau bisa kita rukunkan kembali mereka bertiga, agar hubungan persaudaraan yang pernah terjalin di masa lampau dapat berlangsung kembali seperti sedia kala."

"Apa yang menyebabkan hubungan mereka jadi retak?"

"Aku rasa masalahnya bukan hanya satu, tapi yang terpenting adalah disebabkan sifat egois dari perkampungan keluarga Hong-san di samping hubungan cinta segi tiga yang tak terpecahkan"

Dia angkat wajahnya sambil menghembuskan napas panjang, lanjutnya:

"Sekarang keadaan kita sama, ada tiga orang gadis yang bersamaan waktu mencintai seorang pria..."

"Kalau masalah ini sih nona Pek tak usah kuatir," sela Li Tiong-hui setelah melirik Lim Han-kim sekejap. "Paling tidak aku, Li Tiong-hui sudah menyatakan untuk mengundurkan diri dari persaingan ini, sebab aku sudah memiliki pilihan hati sendiri, bahkan selesai pertemuan puncak ini aku akan mengundurkan diri dari keramaian dunia kangouw dan mulai menempuh perjalanan hidup baru." "Cobalah kau pikirkan kembali masalah ini dengan cermat dan seksama, benarkah keputusan tersebut sudah tepat? janganlah disebabkan rasa ingin mengalah yang timbul saat ini menjadikan penyesalan yang tak terhingga di kemudian hari. Menurut penilaianku ada kemungkinan generasi kita yang lampau pun mengalami keadaan persis seperti kita sekarang, mungkin mereka berniat saling mengalah namun di hati kecil masing- masing sesungguhnya sudah muncul benih kebencian yang berakibat hubungan persaudaraan mereka jadi retak dan akhirnya dari persaudaraan berubah menjadi permusuhan-"

"Tampaknya kau seperti mengetahui betul tentang kejadian masa lampau...?"

"Aku hanya menduga menurut penilaian pribadiku sendiri, Dari tiga bersaudara itu, ilmu silat ibumu paling hebat, kecerdasan maupun kehebatannya juga melampaui yang lain, tak dapat dibantah dialah pemimpin dari tiga bersaudara tersebut, tapi juga lantaran itu penderitaan yang dialaminya paling tragis dan menyedihkan..."

"Ibuku hidup mengasingkan diri dalam lembah Hong- yap- kok, tentu dialah yang paling tragis pengalamannya" seru Lim Han-kim cepat.

"Sepintas lalu nampaknya memang begitu," kata Pek si-hiang coba menerangkan, "Tapi paling tidak ibumu masih mempunyai seseorang yang bisa dibuat kenangan, dia pun masih mempunyai seorang putra yang bisa didambakan dan diharapkan. Dibandingkan dengan ibuku yang selama banyak tahun disekap Li hujin dalam kehidupan yang terkekang dan tersiksa, pengalaman ibuku jelas lebih tragis dan mengenaskan.

Tapi jika mereka berdua dibandingkan Li hujin, nasib ibu kita berdua masih terhitung lebih mujur dan beruntung, sepintas lalu ia memang kelihatan bebas merdeka, mau ke mana pun tiada orang yang berani melarang, saban orang menaruh hormat padanya, tapi kenyataannya hampir tiap detik ia mesti hidup dalam siksaan batin yang luar biasa, dia mesti memikul tanggung jawab moril yang teramat berat, apakah ibumu dan ibuku mengalami keadaan seperti Li hujin...?"

"Oooh, jadi disebabkan siksaan batin itulah maka dia berubah jadi dingin kaku dan tak berperasaan?" seru Lim Han-kim setelah termangu- mangu sesaat.

"Kecuali Li hujin yang memiliki kondisi iman begitu kuat, coba kalau orang lain yang mengalami kejadian macam ini, mungkin sejak dulu sudah tak sanggup melanjutkan hidupnya, Bila setiap saat terbayang kembali peristiwa tragis yang pernah dialaminya di masa lampau, mana mungkin ia bisa tampilkan cinta kasih dan rasa sayangnya saat ini? sikapnya bisa tetap mendingan tanpa melakukan hal yang di luar garis pun sudah merupakan suatu tindakan yang patut diacungi jempol" Tiba-tiba Li Tiong-hui menghela napas panjang, katanya:

"Aku jadi teringat satu kejadian setelah mendengar penuturan nona barusan, memang seingatku, sepanjang hidupku belum pernah kulihat ibuku tersenyum apalagi tertawa riang."

Dengan sorot mata yang tajam Pek si-hiang menatap wajah Li Tiong-hui lekat-lekat, kemudian katanya: "Ibumu seorang tokoh silat yang prima, tapi harus memendam rasa benci dan penyesalan yang amat mendalam. selama belasan tahun ia hidup dalam sanjungan dan rasa hormat orang lain kepadanya, tapi ia tetap melewati hidupnya dalam kesepian dan kesendirian. semisalnya ia hidup dalam lingkungan yang terkekang dan tak bebas, mungkin kita bisa memaklumi posisinya, tapi kenyataannya ia bebas merdeka mau pergi ke manapun, dia pun tidak terikat oleh sesuatu peraturan tertentu, selama ini ia bisa mengekang rasa benci, marah dan dendamnya, tak lain karena kekuatan iman yang dimilikinya. Apakah kelebihannya ini tidak sangat mengagumkan?"

"Nona Pek. setelah kau tahu kalau ibuku telah mengurung ibumu dalam perkampungan keluarga Hong- san, masa kau sama sekali tidak membenci atau mendendamnya?" tanya Li Tiong-hui.

Pek si-hiang menggeleng.

"Sama sekali tidak-" sahutnya, "Sebab aku tahu di balik semua peristiwa ini tentu ada sebab-sebab tertentu, mungkin juga maksud ibumu mengurung ibuku bukan berniat mengurungnya beneran, tapi berniat melindungi keselamatan jiwanya..."

Tiba-tiba terdengar Li Tiong-hui menghardik: "siapa di situ?"

"Kemarilah cici seebun" seru Pek si-hiang keras, "sudah lama kami menantikan kedatanganmu. "

Terdengar seebun Giok-hiong mendengus dingin. "Hmmm, semenjak kalian tinggalkan lembah Ban- siong-kok. aku sudah peroleh laporan lengkap. semua tindak tanduk kalian telah berada dalam pengawasanku."

"Maksud kedatangan kami kemari memang ingin berjumpa dengan kau." Pek si-hiang menerangkan.

"Tidak kuatir kubunuh dirimu?"

"Kau tak akan mampu membunuhku, sudahlah, tak usah banyak bicara yang tak berguna, kemarilah"

Pelan-pelan Seebun Giok-hiong berjalan mendekat, ditatapnya sekejap ketiga orang itu dengan sinar mata setajam sembilu, kemudian katanya sinis: "Mau apa Pek si-hiang? Lagi-lagi ingin membujukku dengan lidahmu yang tajam?"

"Tidak." Pek si-hiang menggeleng, "Aku cuma pingin berbincang-bincang denganmu, ilmu silat yang kau miliki diperoleh dengan tak mudah, asal kau tidak melenceng jalannya, aku percaya dalam tiga puluh tahun mendatang cici bakal menjadi tokoh nomor wahid di kolong langit."

"Hanya ingin menyampaikan beberapa kata itu?"

Pek si-hiang tidak menggubris sindirannya, ia tepuk batu di samping Lim Han-kim seraya serunya:

"Duduklah di sini, mari kita berbicara secara baik- baik,"

Seebun Giok-hiong seperti mau mengucapkan sesuatu tapi kemudian diurungkan, ia duduk di tempat yang ditunjuk dan bertanya: "Apa yang mau dibicarakan? sekarang boleh kau sampaikan." "Bila kudengar dari nada pembicaraanmu, seolah-olah kau sudah amat yakin dapat menangkan pertarungan kali ini?"

"Menang kalah masing-masing pihak hanya menempati posisi setengahnya"

"Tak mungkin." Pek si-hiang menggeleng, "Menurutku, kau hanya mempunyai kesempatan sebanyak dua puluh persen."

"Dari mana kau bisa menyebutkan angka tersebut?" "Kau pernah bertarung melawan Li hujin bukan?

Bagaimana dibandingkan dengan kemampuanmu? "

"Dalam lima ratus gebrakan pertama sulit ditentukan siapa yang lebih unggul, tapi selain Li hujin, aku tak bisa temukan orang kedua yang sanggup menandingi kemampuanku."

"Keliru, masih ada aku" tegas Pek si-hiang sambil tersenyum.

"Kau?" seebun Giok-hiong tertawa dingin. Pek si-hiang manggut-manggut, katanya dengan wajah serius: "Jadi kau kurang percaya?" Kembali seebun Giok-hiong tertawa dingin.

"Bila aku tak salah, mendengar mungkin kau sendiri pun kurang begitu percaya."

"Berpisan hanya tiga hari pun bisa terjadi perubahan besar, apalagi kita sudah berpisah hampir tujuh hari."

"Biarpun berpisah tujuh hari, aku tak percaya seseorang yang sama sekali tak mengerti silat dapat melatih dirinya menjadi seorang jagoan yang sanggup menghadapi seebun Giok-hiong." Pek si-hiang menghela napas panjang:

"Padahal masalah ini tidak sulit, kita bisa buktikan sekarang juga. Cuma, sebelum pertarungan di antara kita berlangsung, aku pingin berbincang-bincang dulu dengan kau."

"Mau bicarakan apa?"

"Berbicara masalah kita berempat"

"Kau maksudkan Lim Han-kim dan kau..." seebun Giok-hiong melirik anak muda itu sekejap.

"Yaa, ditambah kau dan Li Tiong-hui," sambung Pek si-hiang. Cepat-cepat seebun Giok-hiong menggeleng.

"Jangan melibatkan aku dalam persoalan ini, bila kau dan Lim Han-kim bersedia melepaskan diri dari pertikaian ini, aku pun bersedia membantu kalian untuk pergi meninggalkan tempat ini."

Pelan-pelan Pek si-hiang bangkit berdiri, ia berpaling memandang Li Tiong-hui dan Lim Han-kim sekejap. kemudian pesannya:

"Bila pertarunganku melawan seebun Giok-hiong mulai berlangsung, kalian berdua harus sebera mengundurkan diri dari sini..."

Kemudian sambil menatap wajah seebun Giok-hiong, lanjutnya:

"Selama ini kuanggap kau adalah seorang gadis yang cerdik, bisa menilai keadaan, tak tahunya kau hanya seorang manusia tekebur yang tak tahu kekuatan sendiri, Ucapan Lim Han-kim memang tepat sekali, pikiranmu sudah ternoda oleh ingatan jahat untuk balas dendam dan aku percaya kondisimu sekarang ibarat: Tidak akan melelehkan air mata sebelum melihat peti mati, Baiklah, biar malam ini kubuktikan bahwa selain Li hujin masih ada seseorang lagi yang sanggup menghadapi diri-mu."

Menghadapi Pek si-hiang, tanpa sadar dalam hati kecil seebun Giok-hiong muncul perasaan jeri dan ngeri yang luar biasa, ia nampak tertegun setelah melihat gadis itu bangkit berdiri sambil menyumpahinya, pikirnya segera:

"Jangan-jangan budak yang pintar dan punya pengetahuan luas ini benar-benar bisa ciptakan kemukjijatan dengan menguasai ilmu silat tangguh dalam waktu singkat? Tapi... rasanya hal semacam ini mustahil bisa terjadi." Berpikir sampai di situ, tak kuasa lagi ia bergumam:

"Mustahil ada mukjijat semacam ini di dunia, aku tak percaya, aku betul-betul tak percaya ..."

"Bila pada mulanya aku sudah memiliki dasar yang kuat, dan kini hanya latihan ulang, masa kau masih belum mau percaya?" Pek si-hiang mencoba meyakinkan.

"Aku tak percaya, kecuali kau dapat membuktikan di hadapanku."

"Tidak. tak bisa dibuktikan," tolak Pek si-hiang sambil berkerut kening.

"Kenapa?"

"Sebab bila gempuranku dilepaskan maka kekuatan yang muncul tak terbendung lagi." "Ooh maksudmu, kau cuma mampu melepaskan sekali gempuran saja?"

"Kau ingin bertaruh dengan menjajal kehandalanku ini?" Agak berubah paras muka Pek si- hiang.

Seebun Giok-hiong tersenyum.

"Lebih baik utarakan saja keinginanmu Terlepas bagaimana akhir dari pertemuan puncak ini, selama seebun Giok-hiong masih hidup, pasti akan kulaksanakan keinginanmu itu." Pek si-hiang melirik Lim Han-kim sekejap. kemudian katanya:

"Lim siangkong menyimpan masalah pelik yang sangat mengganjal hatinya, begitu pula dengan ibuku yang tersekap dalam perkampungan keluarga Hong-san selama ini..."

"Bagus sekali," tukas seebun Giok-hiong, "Asal nona Pek bersedia menjalin kerja sama dengan ku, dunia persilatan pasti dapat kita kuasai secara mudah..."

"Aku hanya pingin beritahu kepadamu, bukan cuma kau seorang yang punya dendam kesumat, aku, Lim siangkong semuanya punya dendam kesumat dan sakit hati, tapi nyatanya kami tidak pernah punya ingatan untuk membalas dendam secara babi buta macam kau."

"Waaah... kalau begitu jiwa kalian tentu lebih besar ketimbang jiwaku..."

"Itu pun tidak. Aku hanya ingin memberitahu kepadamu, akhir dari kita berempat sebenarnya tergantung pada keputusanmu seorang." "Akhir dari kita berempat? Kedengarannya seolah-olah nasib dari kita berempat itu sama senasib sependeritaan?"

"Benar, dengan perkampungan keluarga Hong-san sebagai sentralnya, semua pertikaian dalam dunia persilatan terjadi dan terbentuk, sedang Lim siangkong serta kita bertiga menjadi pemeran utama yang tergilas oleh pertikaian ini. Jika kau rela menahan diri dan bersabar bukan saja kita bisa menciptakan ketenangan selama puluhan tahun dalam dunia persilatan bahkan dengan kesabaran kita, pertikaian yang terjadi di antara generasi tua kita pun bisa diluluhkan menjadi perdamaian yang abadi."

"Pandai amat kau bersilat lidah," sindir seebun Giok- hiong, "Cuma sayang aku tak bisa kelewat percaya padamu. . . " setelah berhenti sejenak, lanjutnya:

"Meski begitu, aku tetap ingin dengar bagaimana rencanamu untuk mengatur akhir dari kita semua."

"Aku tahu, kau pasti tak sabaran.."

Ditatapnya wajah seebun Giok-hiong dengan mata melotot, lalu katanya lebih jauh dengan nada dingin:

"Seebun Giok-hiong, semua yang kusampaikan padamu adalah suatu kenyataan, mau percaya atau tidak terserah padamu."

"Baiklah." seebun Giok-hiong tersenyum, "Katakan saja apa yang ingin kau sampaikan, akan kudengarkan semuanya dengan seksama." "Bila kau bersedia menuruti bujukanku, maka di antara kita beberapa orang, kaulah yang bakal peroleh akhir paling indah dan bahagia..."

"Bicara soal akal muslihat, aku masih bukan tandinganmu," tukas seebun Giok-hiong.

"Dengarkan dulu kelanjutan kata-kataku, jangan memotong seenaknya" tegur Pek si-hiang agak gusar.

Seebun Giok-hiong nampak tertegun dan tak berani banyak bicara lagi. Pek si-hiang kembali berkata:

"Pertama-tama akan kusampaikan dulu sebuah kabar yang menggembirakan bagimu, aku sudah tak bisa hidup lebih dari sebulan.."

"Benarkah itu?" seru Lim Han-kim gelisah, "Yaa, semua perkataan kuucapkan sejujurnya."

Mendengar itu, seebun Giok-hiong tertawa terkekeh- kekeh:

"Hahahaha... bila nona Pek benar-benar mati, siksaan batin yang berat pasti akan kau alami untuk selamanya..."

"Jangan menyindir terus" Kembali Pek si-hiang memotong, "Meski hidupku tinggal sebulan, paling tidak aku masih bisa bertahan selama dua puluh hari lagi, berarti aku masih sempat menghadiri pertemuan puncak yang kau gelar di tempat ini."

"Bagaimana kelanjutannya setelah kau mati?" "Oleh karena Li Tiong-hui sudah punya pilihan hati

sendiri, terpaksa kuserahkan Lim Han- kim padamu" "Serahkan padaku?" seebun Giok-hiong terkejut "kau rela? Begitu juga Li Tiong-hui, apa dia pun rela?"

"Kini aku sudah bersuami" seru Li Tiong-hui dengan ketus, "Bila aku bisa lolos dari badai pertumpahan darah ini, pasti akan kuundang kalian semua untuk menghadiri pesta perkawinanku, ... "

"Aku pikir kesempatanmu ke sana amat tipis"

Tiba-tiba Lim Han-kim melompat bangun sambil berteriak:

"Hey, aku Lim Han-kim adalah seorang lelaki, masa kalian ..."

"Bagaimana kalau kau tidak menimbrung dulu?" pinta Pek si-hiang sambil memberi tanda.

"Kenapa? Aku Lim Han-kim toh bukan sebuah barang persembahan, masa kau hendak sumbangkan kepada orang lain?"

"Aaaai... justru inilah masalah utama dari kita berempat, bila kita terdiri dari dua pria dan dua wanita, tentu urusan tak usah repot seperti ini, sayang di sini hanya ada kau seorang..."

"Justru barang langka mahal harganya" sindir seebun Giok-hiong sambil tertawa terkekeh-kekeh.

"Jangan mencemooh dia" pinta Pek si-hiang sambil menggeleng, "Dengarkan dulu perkataanku. Kini Li Tiong-hui sudah punya pilihan sendiri, sedang nyawaku tinggal sebulan lagi, jadi setelah kupertimbangkan berulang kali, rasanya kecuali kutitipkan dia pada cici, siapa lagi yang bisa kuserahi?" "Seandainya kau bicara sejujurnya, urusan ini pun merupakan masalah setelah selesainya pertemuan puncak ini..."

"Cici keliru besar, setelah berlangsungnya pertemuan puncak itu, situasi dalam dunia persilatan tentu porak poranda tak karuan, dengan mempertaruhkan sisa hidupku, aku pasti akan berusaha menyumbangkan sedikit baktiku untuk membenahi keadaan dunia persilatan, syukur pabila aku bisa mengubah ancaman yang berbau darah ini menjadi situasi yang tenang dan penuh kedamaian, bila aku bisa melihat kau serta Li Tiong-hui memiliki keluarga yang bahagia, meski harus mati pun aku bisa mati dengan mata terpejam..."

Mendadak seebun Giok-hiong bangkit berdiri, katanya: "Terima kasih banyak atas maksud baikmu itu, aku

merasa berterima kasih sekali dengan perhatian ini, betul, aku memang menyukai Lim Han-kim, namun seebun Giok-hiong berbeda sekali dengan wanita lain, aku tak bisa melupakan dendam sakit hati orang tuaku gara-gara seorang pria, bila tak ada jalan yang sempurna, terpaksa aku harus jatuhkan pilihan pada salah satu di antaranya. Aku pun setuju dengan permintaanmu tadi, setelah kematianmu aku akan berusaha dengan sekuat tenagaku untuk melindungi dan menjaga kekasihmu itu, agar dia mempunyai posisi yang terhormat dalam dunia persilatan, saat itu aku akan berada di belakang layar dan mengaturkan strategi baginya, Aku rasa pembicaraan kita hari ini cukup sampai di sini saja, pagi sudah hampir menjelang tiba, lagipula kondisi badanmu kurang bagus, segeralah pulang untuk beristirahat Nah, sampai ketemu lagi." Selesai berkata, ia memberi hormat dan segera berlalu meninggaikan tempat tersebut

Memandang bayangan punggung seebun Giok-hiong yang menjauh, Pek si-hiang menghela napas panjang, gumamnya: "Tak nyana ia begitu keras kepala"

"Mari kita pulang," ajak Li Tiong-hui sambil berdiri, " Kalau memang ia nekat ingin bertarung, apa boleh buat lagi?"

(51. ibarat Menunggang Di Punggung Harimau)

Sambil berpaling ke arah Lim Han-kim, bisik Pek si- hiang: "Aku telah menyinggung perasaanmu, tidak marah bukan?"

Sebenarnya Lim Han-kim bermaksud menegur gadis itu dengan beberapa patah kata yang tak sedap. namun melihat rasa menyesal dari Pek si-hiang, kata-kata yang sudah di bibir sukar diutarakan, akhirnya ia pun berkata sambil tersenyum:

"Sekarang kau sudah mengerti bukan, seebun Giok- hiong tak pernah menaruh rasa cinta padaku."

Pek si-hiang tidak memberi tanggapan, memandang kegelapan malam yang masih menyelimuti jagad, gumamnya:

"Budi dendam yang diwariskan tiga orang gadis cantik di masa lampau belum mencapai akhir cerita, mungkinkah kisah sejenis itu akan terulang kembali...?" "Aku rasa ceritanya sangat berbeda," ucap Li Tiong- hui setelah menghela napas panjang, "Kita tak bisa disalahkan dalam peristiwa ini, kau sudah menunjukkan kebesaran jiwa yang paling hebat"

Pek si-hiang menggeleng berulang kali.

"Aku tak habis mengerti, apa sih yang diandalkan seebun Giok-hiong hingga dia berani bersikeras untuk melanjutkan pertarungan ini?"

"Untuk mencapai peristiwa ini, sudah banyak tahun ia membuat persiapan dan perancangan yang seksama, aku yakin ia sudah mempunyai persiapan yang sangat matang."

"Mari kita pulang" ajak Lim Han-kim kemudian "Aaaai... sewaktu datang, aku membawa pengharapan

yang besar, sungguh tak nyana harus diakhiri dalam keadaan begini, betul-betul mengenaskan"

Sambil menghela napas berulang kali, pelan-pelan Pek si-hiang meninggalkan tempat itu.

"Cepat kau gandeng tangannya," bisik Li Tiong-hui pada pemuda itu, "Kau harus menahannya dengan penuh cinta kasih."

"Menahannya?" Untuk sesaat Lim Han-kim tak bisa menangkap arti perkataannya hingga tertegun.

"Yaa, bila ia benar-benar tak ingin mati, berarti dia akan peroleh cara lain untuk mempertahankan hidupnya."

"Lalu kenapa dia harus mati?" "Sebab hidupnya penuh penderitaan, kemampuannya sangat bertolak belakang dengan kondisi tubuhnya yang lemah, bayangkan sendiri semisalnya kau yang mesti hidup menderita selama belasan tahun, apakah kau masih bergairah untuk melanjutkan hidupmu..." Tiba-tiba terlihat Pek si-hiang terhuyung-huyung lalu roboh ke samping bukit.

Rupanya jalan setapak itu curam lagi sempit, dalam kondisi tubuh yang tak seimbang, badannya yang lemah pun segera roboh terjungkal ke sisi jalan. Cepat-cepat Lim Han-kim melompat ke depan dan memondong tubuh gadis tersebut

"Semenjak kecil, aku sudah terbiasa roboh tak sadarkan diri sampai lama sekali," kata Pek si-hiang sambil tersenyum, "Ketika sadar kembali dari pingsanku, kulihat tubuhku sudah berbaring di atas ranjang, itulah sebabnya selama ini Hiang-kiok dan siok-bwee selalu mendampingiku ke mana pun aku pergi, tapi belakangan ini aku jarang roboh mencium tanah"

"Masa sudah begini besar masih sering roboh mencium tanah?" Pek si-hiang menghela napas sedih.

"Aaaai... walaupun memiliki kekayaan yang melimpah, sandang pangan berlimpah ruah, tapi apa artinya hidup tersiksa macam diriku ini?"

Sebenarnya Lim Han-kim ingin sekali mengucapkan beberapa kata untuk menghibur hatinya, tapi ketika dilihatnya Li Tiong-hui mengikuti persis di belakang mereka, niat tersebut terpaksa ditahan kembali

Dalam waktu singkat mereka bertiga sudah balik ke dalam lembah Ban-siong-kok. tampak cahaya lentera menerangi seluruh ruangan, bayangan manusia pun bergerak kesana kemari, Melihat itu Li Tiong-hui berbisik, "Kita kedatangan bala bantuan lagi, harap saudara Lim antar dulu nona Pek pulang ke loteng Teng-siong-lo, aku mesti melayani tamu-tamu yang baru datang."

"Kau adalah seorang Bengcu, sudah sepantasnya kau menyambut kedatangan mereka," sahut Lim Han-kim.

Ia pun melanjutkan perjalanan menuju loteng Teng- siong-lo.

Tiba dalam kamar tidur, dari bawah ranjangnya Pek si- hiang ambil keluar sejilid kitab yane bersampul kulit kambing, lalu bisiknya: "Kau tak usah pergi."

"Kenapa?" tanya Lim Han-kim terkejut.

"Baca dulu isi buku ini di bawah loteng sana, besok aku akan mulai mewariskan ilmu silat padamu, selama ini kau harus pusatkan pikiran, jangan melamunkan yang bukan-bukan, manfaatkan waktu selama tujuh hari ini dengan sebaik-baiknya." Lim Han-kim menggeleng.

"Aku tidak memiliki bakat dan kecerdasan seperti nona, tak mungkin aku berhasil menguasai ilmu tersebut dalam waktu tujuh hari."

"Akan kugunakan sejenis ilmu tusuk jarum untuk membantu merangsang hawa murnimu."

Lim Han-kim sebera teringat pula bahwa gadis itu memang sering merangsang timbulnya hawa terpendam dengan bantuan tusuk jarum, untuk sesaat ia jadi tertegun dan tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. "Bagaimana? Kau merasa sangat takut?" tanya Pek si- hiang.

"Aku hanya tak habis mengerti, bagaimana mungkin hawa murni yang dimiliki seseorang dapat bertambah hanya dengan bantuan tusuk jarum?"

"Mengenai ilmu tusuk jarum, pengetahuannya amat mendalam dan mendetail, susah bagiku untuk menerangkan dalam waktu singkat Lebih baik kau buang jauh-jauh semua pikiran yang tak berguna sekarang, pusatkan perhatianmu hanya untuk berlatih ilmu silat tersebut."

"Aku takut gagal."

"Kau tak boleh gagal dalam latihan ini, sebab bila ilmu tersebut gagal kau kuasai, bukan saja kau tak bisa menempatkan diri dalam pertemuan puncak nanti, bahkan tak akan berhasil selamatkan ibumu dari musibah yang mengancam."

"Tapi... apa sangkut pautnya dengan ibuku?" "Apabia seebun Giok-hiong yang menangkan

pertarungan ini, akhir yang tragis tak usah dibayangkan lagi, sebaliknya bila Li hujin yang berhasil mengungguli seebun Giok-hiong, sudah pasti dia tak ingin masa lalunya tersebar luas dalam dunia persilatan, berarti dia tak akan membiarkan ibumu tinggalkan perkampungan keluarga Hong-san, seperti juga nasib ibuku, sepanjang hidup akan tersekap di sini."

"Benarkah itu?" seru Lim Han-kim tertegun-

"Tentu saja sungguh, Bila kita bisa mengubah tragedi yang akan menimpa pertemuan puncak ini menjadi suatu pertemuan penuh kedamaian, bukan saja kita dapat selamatkan umat persilatan dari kematian yang tak berarti, semua pertikaian dari generasi tua kita pun bisa dileraikan menjadi kebahagiaan sebaliknya jika senjata yang berbicara, sudah pasti pertemuan ini akan berakhir sangat mengerikan terlepas siapa menang siapa kalah, yang ada hanyalah perebutan superior di antara sesama umat persilatan."

Lim Han-kim berpikir sejenak, akhirnya dia mengangguk "Benar juga perkataan nona."

"Mula-mula aku berhasrat membujuk Seebun Giok- hiong agar berubah pikiran, tak nyana tekadnya sudah mengeras bagai baja, berarti kita harus tergantung pada diri sendiri bila ingin mengubah situasi tersebut."

"Hanya mengandalkan kekuatan nona dan aku berdua?"

"Mungkin saja kita masih mempunyai rekan yang satu haluan, tapi apa bila kita tak mampu mengendalikan situasi, sekalipun mereka punya haluan yang sejalan dengan kita, toh tak akan kita peroleh bantuan nyata dari orang-orang itu"

"Kalau begitu biar kucoba dengan sepenuh tenaga." "Bayangkan selalu bahwa persoalan ini menyangkut

keselamatan ibumu, menyangkut pula keselamatanku

maka kau pasti bisa mempelajari ilmu tersebut dengan sungguh hati."

"Tapi apa sangkut pautnya persoalan ini dengan keselamatan nona?" "Siapa bilang tak ada sangkut pautnya? Bila kau bisa memperlihatkan kehebatanmu dalam pertemuan puncak nanti hingga situasi terkendali, berarti aku tak perlu keluar tenaga, bila tenagaku tak tercecer artinya aku bisa hidup dua tahun lebih lama."

"Sungguh?"

"Kapan sih aku pernah membohongimu? Cuma... aku hanya bisa hidup dua tahun lebih lama..."

"Hahahaha... dua tahun pun sudah lebih dari cukup." Lim Han-kim tertawa tergelak.

"Kau benar-benar serius ingin mengawini seorang perempuan penyakitan macam aku sebagai istrimu?"

"Tentu Akan kumanfaatkan dua tahun ini dengan baik, akan kucurahkan semua cinta kasihku padamu, biar cuma dua tahun, aku sudah merasa puas sekali."

"Dua tahun akan lewat dengan begitu saja, bagaimana selanjutnya?"

"Selanjutnya? Aku tetap akan mendampingimu..." "Tapi aku kan sudah mati" Lim Han-kim tersenyum.

"Aku tahu, kau tak bakal mati, demi aku, kau pasti akan berusaha untuk hidup terus, sekalipun kau benar- benar mati, itu pun hanya ragamu yang pergi tinggalkan aku, sedang suaramu, senyummu dan hatimu akan selalu dan selamanya hidup dalam hatiku."

Senyum manis menghiasi wajah Pek si-hiang mengiringi cucuran air mata kegirangan yang membasahi pipinya, berbisik lirih: "Aku gembira... gembira sekali, tapi kegembiraan ini mengingatkan aku pada penderitaan yang dialami Li hujin, oleh karena itu aku harus mengatakan sesuatu padamu."

"Soal apa?"

"Di kemudian hari, pabila kita berhasil menguasai keadaan, terlepas penderitaan macam apa yang pernah dialami ibumu, kita tak boleh bersikap kelewat keras terhadap Li hujin"

Lim Han-kim menghela napas panjang.

"Baiklah, sampai waktunya aku tentu akan menuruti semua permintaanmu."

"Bagus." Pek si-hiang tersenyum, "sekarang kau boleh membuka kitab tersebut dan mulai membaca isinya."

Dengan wajah penuh keriangan Lim Han-kim membuka kitab itu dan membaca isinya dengan seksama.

Pek si-hiang duduk mendampingi di sisi-nya, ia begitu lembut dan tenang menemani kekasihnya membaca.

Kitab itu sangat tipis, tak sampai sepenanak nasi kemudian Lim Han-kim telah selesai membacanya.

"Minumlah dulu," bisik Pek si-hiang sambil menyodorkan cawan teh, "istirahat sejenak sebelum kau beritahu padaku bagaimana pandanganmu tentang ilmu ini." Lim Han-kim menyambut cawan itu dan meneguk isinya, kemudian baru berkata:

"Tulisan dalam kitab ini mempunyai makna yang sangat mendalam, banyak bagian tidak kupahami." "Sekarang kau baru membaca sekali, tentu saja artinya belum bisa kau tangkap dengan jelas, Coba ulangi dua-tiga kali, pelan-pelan aku akan membantumu untuk memberi penjelasan"

Sekali lagi Lim Han-kim membaca isi kitab tersebut dari awal.

Begitulah, di bawah bujuk rayu Pek si-hiang, Lim Han- kim telah membaca ulang isi kitab itu sampai puluhan kali.

Lambat laun dia mulai dapat menangkap maksud dari tulisan tersebut dan menambah khazanah pengetahuannya.

Mendadak Pek si-hiang menutup rapat kitab itu, lalu katanya sambil tersenyum: "sekarang kau harus menderita."

"Menderita apa?"

"Sekarang kau harus berada dalam kamar ini seorang diri, semua pintu dan jendela akan kututup rapat, sedang kau harus pusatkan pikiran untuk menelaah isi kitab tersebut, bila menjumpai bagian yang tidak kau pahami ulangi lagi mulai dari awal."

"Kalau tetap tidak mengerti?"

"Kau pasti bisa memahami banyak sekali." "Baiklah, akan kucoba." Digenggamnya tangan Lim

Han-kim erat-erat, lalu bisik Pek si-hiang:

"Mulai sekarang kau harus berada dalam ruangan ini seorang diri, selama dua belas jam tak boleh makan tak boleh minum, segenap pikiran dan perhatianmu harus dicurahkan pada pelajaran silat."

"Dua belas jam akan lewat sekejap mata, apa artinya untuk mempelajari suatu ilmu?"

"Dua belas jam kemudian aku akan datang lagi untuk menjengukmu waktu itu kau tentu sudah hapal di luar kepala seluruh isi kitab ini, meski ada bagian-bagian yang mungkin tidak kau pahami, paling tidak kau sudah mempunyai kesan yang mendalam terhadap kepandaian itu. Nah, sampai waktunya kita bisa diskusikan bersama, kau berlatih sambil mendengarkan penjelasanku Aku yakin tujuh hari sudah lebih dari cukup bagimu untuk menguasai kepandaian itu."

"Aku akan berlatih dengan sepenuh hati" "Kalau begitu manfaatkan baik-baik waktu yang

tersedia."

Selesai bicara, gadis itu beranjak keluar sembari merapatkan pintu ruangan.

Sesuai dengan petunjuk Pek si-hiang, dengan seksama Lim Han-kim mulai mempelajari isi kitab itu.

Tujuh hari berlalu amat cepat, sesuai dengan janjinya, hari itu Pek si-hiang muncul dalam ruangan dan memberi dorongan semangat kepada anak muda itu untuk berlatih lebih tekun.

Pada hari kedelapan, Lim Han-kim benar-benar sudah hapal dengan ketiga jurus ilmu pukulan geledek serta pedang sakti dunia jagat itu. Pek si-hiang ikut bergembira melihat keberhasilan anak muda itu, katanya sambil tertawa:

"Walaupun tiga jurus pukulan geledek Thian-lui-sam- ciang serta ilmu pedang dunia jagat Cian-kun-it-kiam merupakan ilmu maha tinggi yang luar biasa, namun kepandaian tersebut termasuk juga ilmu yang paling jahat dan ganas, untuk memiliki ilmu pemusnah sedahsyat ini dibutuhkan seseorang dengan hati yang bajik dan baik, kini walaupun kau berhasil menguasai sebagian kecil kepandaian itu, namun tenaga dalam yang kurang sempurna membuat daya pamungkas dari kedua ilmu tersebut hanya mencapai delapan puluh persen, oleh karena itu kau mesti manfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk berlatih diri"

Karena kelewat banyak bicara, gadis itu mulai tersengal-sengal napasnya sambil bermandi keringat.

"Semuanya sudah kuingat," hibur Lim Han-kim cepat, "Berapa hari belakangan ini kau turut tersiksa gara-gara aku, sekarang tidurlah dan beristirahat sepuasnya."

"Dalam tujuh hari belakangan ini, beberapa kali Li Tiong-hui mengutus anak buahnya mengundangmu ikut menghadiri rapat umum dipendopo utama, tapi semuanya telah kutolak, pagi tadi ia datang sendiri kemari, katanya siang ini kau diminta hadir dipendopo utama, dan aku telah mewakilimu menyanggupi undangan tersebut sekarang tengah hari sudah tiba, cepatlah kau bergabung dengan mereka"

"Ada rapat apa sih dipendopo utama?" "Paling banter membicarakan siasat untuk menghadapi seebun Giok-hiong..." setelah berhenti sejenak, kembali terusnya:

"Konon dalam berapa hari belakangan ini, perkampungan keluarga Hong-san telah kedatangan banyak jago, ditinjau dari hal ini, tampaknya pertumpahan darah tak dapat dihindari lagi... Lim siangkong, lebih baik rahasiakan sementara waktu kalau kau telah mempelajari tiga jurus pukulan geledek dan jurus pedang maut tersebut."

"Aku mengerti."

"Baiklah, sekarang kau boleh pergi, sedang aku pun perlu beristirahat." selesai bicara, gadis itu beranjak pergi.

Lim Han-kim segera tinggalkan gedung Teng-siong-lo dan buru-buru menuju kependopo utama.

Waktu itu banyak orang sudah hadir dalam pendopo, Li Tiong-hui dengan menempati kursi utama sedang memperhatikan seluruh ruangan

Lim Han-kim dapat melihat di situ hadir pula Ciu Huang, Hongpo Tiang-hong, ketua Cing-im-koan yaitu Ci Mia-cu, Li Bun-yang, Hansi-kong dan jago-jago lainnya Begitu melihat kehadiran pemuda itu, sambil manggut- manggut seru Li Tiong-hui:

"Silakan duduk di sini saudara Lim"

Dengan langkah lebar Lim Han-kim menghampiri gadis itu, betul juga lebih kurang tiga depa di sisi kiri Li Tiong- hui terdapat sebuah bangku kosong, dia pun menempati kursi tersebut. Beberapa saat kemudian Li Tiong-hui baru bangkit berdiri, ditatapnya para jago sekejap kemudian baru berkata:

"Apa pendapat kalian tentang usaha kita menghadapi agresi seebun Giok-hiong?"

"Posisi kita sekarang ibarat menunggang di punggung harimau, jadi pertarungan tak dapat dihindari lagi," kata Ciu Huang setelah mendeham pelan, "Dari kawanan jago pelbagai perguruan yang telah berkumpul di sini, kalau bukan dipimpin oleh ketuanya sendiri, pasti mengutus jagoan paling tangguhnya untuk membantu kita. Pertama hal ini menunjukkan kesetiaan semua jago terhadap ketuanya, kedua membuktikan juga bahwa semua umat persilatan telah mengetahui situasi sebenarnya yang berlangsung dalam dunia persilatan saat ini, seebun

Giok-hiong adalah sumber dari semua bencana dan tragedi ini, demi keselamatan jiwa kita semua hanya ada satujalan untuk kita tempuh yakni bertarung hingga tetes darah penghabisan-"

"Betul," sambung Hongpo Tiang-hong pula, "Semua yang kuundang untuk ikut menghadiri pertemuan puncak ini telah menyanggupi untuk hadir tepat waktunya, ini semua membuktikan bahwa persatuan masih ada dalam hati kecil setiap umat persilatan, biar bagaimana pun hebatnya ilmu silat seebun Giok-hiong, mustahil dia sanggup melawan segenap kekuatan umat persilatan."

Mendadak terdengar dayang yang bertugas menjaga pintu berseru lantang:

"Ketua siau-lim-pay dan ketua Bu-tong-pay tiba" Reputasi kedua partai besar ini cukup hebat dalam dunia persilatan selama berapa ratus tahun terakhir, sudah barang tentu pamornya juga luar biasa. serentak para jago yang hadir bangkit berdiri untuk menyambut kedatangan mereka.

Lim Han-kim coba memperhatikan keluar pendopo, terlihat seorang padri dan seorang tosu muncul bersama dari balik pintu.

Si padri mengenakanjubah lhasa berwarna kuning, alisnya panjang tergantung di sisi mata, wajahnya angker dan berwibawa.

Sebaliknya si tosu mengenakan jubah pendeta berwarna hijau, jenggotnya panjang terurai sedada, mukanya lonjong dan berwibawa.

Tampak pendeta berjubah kuning itu membalas hormat para jago seraya berseru: "silakan duduk, silakan duduk..."

Sedangkan si tosu memberi hormat kepada Li Tiong- hui sambil katanya: "Maaf bila Bengcu harus menunggu lama karena keterlambatan kami berdua."

"Silakan duduk Taysu, totiang" kata Li Tiong-hui.

Tosu itu manggut-manggut, ia menyapu sekejap wajah para jago dan akhirnya menjura kepada Ciu Huang sambil katanya: "Selamat berjumpa kembali pendekar ciu"

"Selamat bertemu,"jawab Ciu Huang, "Tak kusangka sebagai seorang ketua ternyata lotiang bersedia pimpin sendiri anak buahmu untuk menghadiri pertemuan ini, kehadiranmu sangat membantu moril kami semua." Hian- hok sangjin, ketua dari Bu-tong-pay itu segera mengalihkan pandangannya ke wajah hwesio berjubah kuning itu, sahutnya:

"Kalau aku sih memang khusus kemari untuk menyelesaikan sedikit perselisihan di masa lampau, justru kita harus bersyukur karena ketua siau-lim-pay Bu- hong taysu yang jarang melakukan perjalanan dalam dunia persilatan mau hadir sendiri di sini untuk memimpin anak buahnya." Bu-hong taysu tersenyum.

"Pinceng memang wajib hadir dalam pertemuan ini untuk memenuhi undangan dari Bengcu."

"Ucapan taysu kelewat serius," seru Li Tiong-hui. sementara itu Lim Han-kim berpikir dalam hati:

"Tak kuduga sebagai seorang ketua siau-lim-pay yang begitu tersohor, pendeta ini begitu rendah hati dan bersahaja, betul-betul mengagumkan. Dari pintu gerbang pendopo kembali terdengar suara dayang tadi berseru lantang:

"Ketua Gobi-pay dan cing-shia-pay hadir"

Tampak dua orang pendeta setengah umur muncul dari balik pintu gerbang langsung menuju ke tengah pendopo.

Tak terlukis rasa girang Li Tiong-hui setelah melihat partai-partai besar hadir dengan dipimpin langsung oleh ketuanya, sambil memberi hormat serunya: "Silakan duduk taysu berdua."

Dua orang hwesio itu berusia sekitar 50-an tahun, seorang memakai jubah warna abu-abu, sedang lainnya berjubah hijau, setelah membalas hormat Li Tiong-hui, masing-masing menempati tempat duduknya.

Ketika melihat semua tokoh penting telah hadir dalam pendopo, Li Tiong-hui segera bangkit sambil berkata:

"Pengaruh besar yang ditimbulkan oleh bencana besar kali ini sangat mempengaruhi situasi dunia persilatan selama puluhan tahun berikut, aku berharap saudara sekalian sudi mengemukakan pendapat masing-masing, mari kita mencari cara yang paling tepat untuk membendung serbuan musuh"

"Kami semua siap mengamankan dan melaksanakan perintah Bengcu" seru Bu-hong taysu, ketua Siau-lim-pay sambil bangkit berdiri.

"Taysu, Li Tiong-hui tak lebih hanya seorang wanita lemah, berkat dukungan dari para jagolah aku terpilih menjadi ketua Bu-lim, untuk dukungan ini aku merasa berterima kasih sekali. Cuma, bencana besar yang kita hadapi sekarang berpengaruh amat besar bagi keselamatan seluruh umat Bu-lim, itulah sebabnya aku amat butuh pendapat dan usul dari para tokoh senior."

"Bengcu tak perlu berendah hati lagi," ujar Thian Ceng-cu, ketua Bu-tong-pay. "Tapi aku memang berniat mengusulkan beberapa hal, harap Bengcu mau memaklumi."

"Katakan saja pendapat totiang"

"Seebun Giok-hiong memiliki ilmu silat yang luar bisa, ia datang dengan membawa seluruh inti kekuatan yang dimiliki dengan satu tujuan yakni mencapai cita-citanya, bisa dibayangkan pertarungan yang bakal berlangsung pasti amat sengit dan brutal. oleh sebab itu menurut pendapatku, pada awal pertarungan nanti kita jangan terlalu memforsir kekuatan kita dengan melakukan pertarungan-pertarungan adu jiwa..."

Disapunya sekejap para jago dalam pendopo itu, ketika melihat banyak di antara mereka manggut- manggut tanda setuju, dia pun melanjutkan kembali kata-katanya:

"ltulah sebabnya kuusulkan agar kekuatan kita dibagi menjadi tiga sektor dengan masing-masing sektor didukung oleh kekuatan inti kita untuk menghadapi seebun Giok-hiong maupun beberapa orang jago lainnya, bila salah satu sektor merasa tak kuasa membendung serangan musuh, maka kekuatan mereka harus ditarik mundur ke sektor kedua, demikian seterusnya, mulut lembah Ban-siong-kok kita jadikan sektor pertama sedang depan pendopo ini menjadi basis kekuatan terakhir kita..."

"Bila sektor ketiga kita gelar di muka pendopo, apakah hal ini tidak kelewat riskan, kelewat ke dalam?" tanya Ciu Huang sambil bangkit berdiri.

"Aku telah pelajari situasi di seputar pendopo ini, selain terdapat lapangan yang amat luas, jarak dengan pepohonan pun cukup panjang, sehingga di antara pohon-pohon bisa kita pakai untuk menyembunyikan kekuatan kita, bisa pula digunakan untuk melangsun pertempuran menurut pendapatku, bagaimana kalau Bu- hong taysu dengan memimpin anak buahnya menggelar sebuah barisan Lo-han-tin di muka pendopo tersebut dengan menunggu kehadiran lawan yang menerobos ke sana, bila kawanan musuh itu terperangkap dalam barisan maka jago-jago kita lainnya bisa melancarkan serangan balasan, siapa tahu kita bisa menumpas habis mereka di situ..."

"Sebuah ide yang cemerlang" puji Ciu Huang sambil menggebrak meja. Thian Ceng-cu tersenyum, lanjutnya:

"Bila kekuatan musuh berhasil kita potong, maka konsentrasi kita tinggal dicurahkan pada seorang saja, yakni musuh utama kita." Li Tiong-hui berpaling ke wajah Bu-hong taysu. "Bagaimana pendapat taysu?" tanyanya.

"Meskipun lolap telah membincangkan siasat ini dengan Thian Cengcu totiang, tapi yang terutama adalah bagaimana tanggapan dari ibumu tentang hal ini?"

"Benar," sambung Ciu Huang, "Maksud hati ibumu sukar diduga, lebih baik Bengcu bicarakan dulu masalah ini dengan ibumu." Kembali Lim Han-kim berpikir.

"Sejak kawin dengan Li Tong- yang, Li hujin tak pernah tinggalkan bukit Hong-san barang selangkah pun, tapi nyatanya kebesaran nama perempuan itu sudah menyebar luas ke seantero jagad, nampaknya dia memang sebutir mutiara terpendam." sementara itu Thian ceng-cu telah berkata lagi:

"Bila Bengcu dapat menghadirkan ibu Anda kemari, maka rencana tersebut dapat kita putuskan segera."

"lbu sudah berjanji akan turun tangan membantu, tentu saja dia tak akan berpangku tangan belaka, tentang kemunculannya, ia akan muncul pada saat yang tepat hingga rasanya tak perlu mesti menghadiri rapat ini, menurut pendapatku lebih baik kita membagi tugas seperti yang direncanakan biar ibuku yang menyesuaikan diri kemudian."

"Bengcu," ujar Hongpo Tiang-hong tiba-tiba sambil bangkit berdiri, "Ada beberapa masalah entah bolehkah kusampaikan keluar?"

"Katakan saja Hongpo lo-enghiong" seru Li Tiong-hui tersenyum.

"Menurut pendapatku, sebelum pertarungan paling akbar ini digelar, lebih baik kalau kita beri kesempatan lagi buat seebun Giok-hiong mengundurkan diri secara terhormat, kita wajib tunjukkan kekuatan sesungguhnya yang telah terhimpun sekarang agar dia tahu diri dan membatalkan pertarungan tersebut."

"Bagaimana usulmu itu?"

"Menurut pandanganku, dari pada menghadangnya di tengah jalan, lebih baik undang mereka semua datang kemari, siapkan meja perjamuan kemudian sambil pamerkan kekuatan kita berusaha membujuknya lagi secara baik-baik agar ia sadar bahwa posisinya sudah terjepit dan sangat berbahaya, seandainya tujuan seebun Giok-hiong cuma pingin membalaskan dendam kematian orang tuanya, beri kesempatan kepada orang-orang yang terlibat langsung dalam peristiwa dulu untuk menyelesaikan pertikaian mereka secara adil dan terbuka, misalnya dalam penyelesaian tersebut ada di antara mereka yang terluka di tangan seebun Giok-hiong, hal ini pun sudah lumrah tapi urusannya bisa segera dituntaskan, sebaliknya bila kita yang berhasil melukai seebun Giok-hiong, aku yakin para pembantunya tak akan berani bertindak gegabah apalagi dalam posisi tanpa seorang pimpinan, hanya tidak kuketahui bagaimana pandangan Bengcu atas usulku ini?" Li Tiong- hui tersenyum.

"Pendapat Hongpo lo-enghiong memang bagus sekali, masih ada pendapat atau usul lain?"

Dari luar gerbang pendopo kedengaran suara teriakan lantang berkumandang: "Dewa cebol Cu Gi tiba"

Lim Han-kim segera menyaksikan seorang lelaki cebol yang mengenakan topi caping lebar berjalan masuk ke ruang pendopo dengan langkah cepat.

Hampir semua jago yang hadir dalam ruangan saat itu menaruh hormat kepada tokoh silat yang selama ini nampak kepala tak nampak ekornya ini, serentak mereka berdiri menyambut seraya memberi hormat.

Dengan langkah lebar Dewa cebol Cu Gi langsung menuju ke tengah pendopo, lalu serunya kepada Li Tiong-hui: "Eeei keponakanku dimana ibumu sekarang?"

"Mungkin saja masih dipendopo Tay-Yang-kek." "Bagaimana kalau diundang kemari? Ada beberapa

urusan penting harus kubicarakan sendiri dengan ibumu."

"Dapatkah locianpwee beritahukan padaku dulu?"

Menggunakan kesempatan di saat Li Tiong-hui sedang bicara, si dewa cebol Cu Gi mengawasi sekejap seluruh jago yang hadir dilain ruangan, setelah itu dia baru berkata: "Tahu, siapakah Nyonya pedang patah hati?"

"Nyonya pedang patah hati? Rasanya pernah kudengar ibu berbicara soal dia." "Selain nyonya pedang patah hati, seebun Giok-hiong telah mengundang beberapa orang gembong iblis yang sangat lihay untuk membantunya menyerang kita ..."

Belum selesai perkataan itu diucapkan, dari luar pendopo telah kedengaran seseorang sedang berseru dengan nada berat: "Selama hidup aku tak pernah menyebut namaku."

Cu Gi segera menghentikan pembicaraannya seraya berpaling, tampak seorang kakek bermata satu yang rambutnya telah memutih semua, dengan disertai seorang gadis berbaju putih berkabung sedang menyerbu masuk ke dalam ruangan dengan langkah lebar.

Di antara sekian banyak jago yang hadir dalam ruangan, hanya Lim Han-kim, Li Tiong-hui, Han si-kong serta Li Bun-yang beberapa orang yang kenal dengan orang ini, serentak mereka bangkit untuk memberi hormat.

"Sang locianpwee..." sapa Li Tiong-hui sambil memberi hormat

"Sang Lam-ciau?" gumam dewa cebol Cu Gi seraya melirik kakek itu sekejap.

"Sang Lam-ciau sudah lama mati, aku adalah aku," tukas Sang Lam-ciau ketus.

"Kau bukan sang Lam-ciau?"

"Tak usah perduli siapa aku, kedatanganku kali ini adalah untuk membantu kalian..." Sorot matanya dialihkan ke wajah Li Tiong-hui, terusnya:

"Apa pun perintah Li Bengcu, akan kulaksanakan semuanya tanpa menolak."

Keangkuhan dan sifat tinggi hati yang diperlihatkan orang ini seketika membuat kawanan jago dalam pendopo tertegun.

Li Tiong-hui cukup memahami perasaan hati kakek ini, dia tahu kakek tersebut menyimpan rasa benci dan dendam yang amat mendalam, karena itu katanya lagi sambil memberi hormat: "silakan duduk locianpwee."

Setajam sembilu sorot mata sang Lam-ciau mengawasi sekejap kawanan jago dalam ruangan, kemudian tanpa banyak bicara ia melangkah maju ke tempat duduk yang tersedia.

"Tunggu sebentar" hardik Dewa cebol Cu Gi mendadak sambil melepaskan sebuah pukulan dengan tangan kanannya.

Sang Lam-ciau memutar tangan kanannya menyongsong datangnya serangan tersebut dengan keras lawan keras. "Blaaaammm. . "

Menyusul terjadinya benturan keras itu, menggelegarlah suara ledakan yang memekikkan telinga, baik si Dewa cebol Cu Gi maupun kakek berjenggot putih itu masing-masing tergetar mundur satu langkah. sambil tertawa tergelak seru Dewa cebol Cu Gi:

"Hahahaha... ternyata memang saudara Sang, selamat berjumpa" sembari bicara ia memberi hormat Sang Lam-ciau mendengus dingin "Hmmm, cebol Cu, aku paling benci diajak bergurau, lebih baik hati-hati sedikit tingkah lakumu."

Dewa cebol Cu Gi tersenyum dan tidak menggubris sang Lam-ciau lagi, kepada Li Tiong-hui ujarnya lebih jauh:

"Peristiwa ini tak boleh dianggap main-main, lebih baik undang keluar ibumu."

"Soal ini... soal ini..."

"Semua orang gagah dari kolong langit telah berkumpul di sini, masa ibumu masih jual lagak dengan menampik untuk hadir di pertemuan im?" tegur Cu Gi jengkel.

"Aku tak pernah mencampuri urusan ibuku" "Cebol Cu" umpat sang Lam-ciau marah, "Kau

memang paling suka cari penyakit, Li Tiong-hui adalah ketua Bengcu kita, segala sesuatunya kita wajib mentaati perintahnya, apa sangkut pautnya masalah ini dengan Li hujin?" Dewa cebol Cu Gi tertawa tergelak.

"Hahahaha... kau tahu, siapa saja yang telah diundang, seebun Giok-hiong untuk menunjang kubunya?"

"Siapa?"

"Thia sik-kong..."

"Berapa jurus toya angin puyuh milik Thia sik-kong bukan suatu kepandaian yang terlalu hebat, kenapa mesti ditakuti?" "Jangan keburu napsu, toh kata-kataku belum selesai disampaikan selain Thia sik-kong masih ada lagi Nyonya pedang patah hati."

"Nyonya pedang patah hati belum mampus?"

"Bukan saja belum mampus, malahan sudah menerima undangan dari seebun Giok-hiong untuk memperkuat kubunya."

"Sekalipun nyonya pedang patah hati ikut hadir, mau apa dia?"

"Mungkin saja saudara sang mampu untuk membendung keampuhan nyonya pedang patah hati.."

Belum sempat sang Lam-ciau menanggapi perkataan itu, mendadak terlihat seorang dayang berlari masuk dengan langkah tergesa-gesa sambil berteriak: "Nona..."

"Ada apa?" Li Tiong-hui berkerut kening. "Di luar lembah Ban-siong-kok kedatangan

serombongan manusia yang menyebut diri sebagai

pangeran pedang, sebelum budak sempat memberi laporan, rombongan tersebut sudah menyerbu masuk..."

"Mengapa tidak kalian halangi?"

"llmu silatnya amat tangguh, banyak sudah rekan hamba yang terluka di tangannya, padahal hamba sekalian mendapat perintah untuk tidak membalas, karena itu terpaksa hamba menerjang masuk kemari untuk memberi laporan."

"Dimana ia sekarang?"

"Sudah menyerbu masuk ke dalam lembah, sesaat lagi mungkin sudah akan tiba di luar pendopo." "Ehmm, aku sudah tahu, kau boleh pergi sekarang." Dayang itu segera mengundurkan diri dari ruangan. sepeninggal dayang tadi, Dewa cebol Cu Gi berteriak dengan marah:

"Kurang ajar, manusia macam apa yang begitu bernyali, berani mengaku diri sebagai pangeran pedang? "

"Putranya raja pedang tentu menyebut diri sebagai pangeran pedang." Ciu Huang menjelaskan

Lim Han- kim yang mengikuti-jalannya pembicaraan itu segera berpikir:

"Pangeran pedang pernah dikalahkan seebun Giok- hiong hingga menimbulkan rasa tidak puas dalam hatinya, waktu itu ia sempat mengancam akan pulang ke Lam-hay untuk melaporkan peristiwa tersebut kepada orang tuanya dan mengundang mereka untuk ikut menghadiri pertemuan puncak ini, tapi... masa secepat itu ia pulang ke Lam-hay dan muncul kembali di daratan...?"

Sementara anak muda tersebut masih berpikir, suara langkah manusia telah bergema memecahkan keheningan, empat orang Busu berbaju perang lapis baja telah muncul di ambang pintu pendopo.

Di belakang keempat Busu berbaju perang itu mengikuti seorang pemuda tinggi besar yang berbaju sangat perlente dan mewah.

Dalam sekilas pandangan saja Lim Han- kim dapat mengenali kembali pemuda tinggi besar itu sebagai pangeran pedang yang pernah dijumpainya tempo hari. Dengan angkuhnya pangeran pedang melangkah masuk ke tengah ruang pertemuan, ditatapnya sekejap seluruh hadirin, tapi ia segera tertegun setelah menyaksikan beratus pasang mata sedang mengawasinya dengan pandangan tajam, dalam sekilas pandang saja ia sudah tahu bahwa kebanyakan jago yang hadir dalam ruangan ini memiliki tenaga dalam yang amat sempurna.

Tanpa sadar timbul rasa keder di hati kecilnya, dengan sendirinya sikap angkuh dan jumawanya pun ikut luntur sebagian.

Sambil tertawa dingin seru Li Tiong-hui: "Pangeran pedang, kenapa tidak memberi hormat setelah berjumpa denganku?"

Pangeran pedang mengawasi Li Tiong-hui sekejap ketika dilihatnya gadis muda belia itu ternyata duduk di bangku utama, tanpa terasa tegurnya balik: "Apa sih kedudukan nona Li di sini?"

"Tentu saja Bu-lim Bengcu saat ini" bentak Han Si- kong penuh amarah. Sekali lagi pangeran pedang dibuat tertegun tatkala menjumpai beratus pasang mata yang mengawasinya memancarkan hawa amarah yang meluap, buru-buru ia memberi hormat:

"Pangeran pedang menjumpai Bengcu." Biarpun perawakan badannya tinggi besar, namun caranya berbicara masih kekanak-kanakan.

"Cepat benar kehadiranmu di sini," tegur Li Tiong-hui lagi, "Apa ayah ibumu turut datang?" "Yaa, di tengah jalan pulang ke rumah aku telah bertemu dengan perahu yang ditumpangi orang tuaku, maka aku pun balik kemari secepatnya."

"Ayahmu turut datang?"

"Aku disuruh berangkat duluan tapi orang tuaku segera menyusul, paling cepat besok paling lambat tiga hari lagi, mereka semua pasti sudah tiba di sini."

"Sebutan ayahmu adalah . . ." sela Dewa cebol Cu Gi. "Aku menyebut diriku sebagai pangeran pedang, tentu

saja ayahku adalah raja pedang,"

"Yang kutanyakan siapa namanya, masa dia bermarga Kiam dan bernama Ong?"

"Seorang anak tak boleh menyebut nama orang tuanya secara sembarangan, sekalipun kutahu siapa nama ayahku, namun tak akan kuucapkan sembarangan "

"Kalau kupaksa untuk berbicara juga?" ancam Dewa cebol Cu Gi gusar.

"Siapa sih kamu ini? Berani amat bersikap kurang ajar padaku?"

"Sialan, bapakmu pun belum tentu berani bicara kasar padaku, kau si bocah ingusan kemarin sore berani berkoar-koar seenaknya, sudah bosan hidup nampaknya?"

"Cebol jelek. monyet bertubuh kerdil, kau sendiri yang sudah bosan hidup,.." balas pangeran pedang tak kalah gusarnya. Selesai bicara ia segera memberi tanda, dua orang Busu berbaju perang itu serentak menerjang Dewa cebol Cu Gi dengan sebuah serangan yang dahsyat.

Dewa cebol Cu Gi tertawa dingin, dia rentangkan sepasang tangannya melepaskan pukulan gencar.

Tidak kelihatan bagaimana caranya mengerahkan tenaga, tahu-tahu dua orang Busu itu sudah mendengus tertahan, mundur tiga langkah sambil mendekap dadanya lalu terbongkok- bongkok menahan sakit.

(52. Saling Mengatur formasi)

Cukup lama sudah Dewa cebol Cu Gi malang melintang dalam dunia persilatan, selama ini dia ibaratnya seekor naga sakti yang nampak hidungnya tak kelihatan ekornya, setiap orang tahu bahwa ilmu silatnya amat tangguh, namun amat jarang orang melihat bagaimana cara dia merobohkan musuhnya.

Maka setelah melihat cara pendekar cebol ini merobohkan kedua orang musuhnya yang mengenakan pakaian lapis baja hanya dengan sekali sodokan, bahkan mengakibatkan lawannya luka parah, serentak para jago tertegun dibuatnya.

Dalam hati pangeran pedang sangat terkejut bercampur ngeri setelah melihat kedua orang Busunya roboh hanya dalam satu gebrakan saja, meski begitu namun demi gengsi dan harga dirinya ia pantang mengaku kalah dengan begitu saja. seraya meloloskan pedangnya ia balas membentak: "Sebutkan dulu siapa namamu, aku tak sudi melukai seseorang yang tak punya nama."

"Bagus," jengek Dewa cebol Cu Gi sambil tertawa dingin, "Biar kuberi pelajaran dulu padamu sebelum membuat tuntutan kepada bapaknya."

Sang Lam-ciau yang selama ini hanya mem-bungkam, tiba-tiba melompat ke depan menghadang di muka kedua orang itu sambil tegurnya dingini

"Hey, kehadiran kamu semua di sini demi menyokong, Li Bengcu atau ingin pamer kekuatan saja?"

"Bocah sialan ini kelewat tengik lagaknya, kalau tak diberi pelajaran tak enak rasanya hatiku," omel Dewa cebok.

"Kalau urusan sepele tak bisa ditahan, masalah besar akan berantakan jadinya, kau si cebol toh sudah cukup lama berkelana dalam dunia persilatan, masa prinsip macam ini pun tidak kau pahami?"

Terhadap orang lain sikap Dewa cebol Cu Gi selalu angkuh, tinggi hati dan enggan memberi muka kepada siapa pun, hanya terhadap sang Lam-ciau dia sanggup bersabar dan menahan diri

Teguran itu ternyata tidak membuatnya marah atau berbalik mengajak sang Lam-ciau ribut, setelah mendeham beberapa kali sahutnya:

"Betul juga ucapan saudara sang" Kepada pangeran pedang segera serunya sambil tertawa dingini

"Sebagai seorang tua aku tak sudi ribut dengan kurcaci macam kau, baiklah, saat ini aku tak akan ribut dulu, biar kubuat perhitungan ini dengan bapakmu nanti."

"Bagaimana menurut mendapatmu?" sang Lam-ciau mengalihkan mata tunggalnya kepada pangeran pedang.

Pelan-pelan pangeran pedang sarungkan kembali pedangnya:

"Aku memang bukan orang yang suka mencari gara- gara," katanya.

Begitulah, pertarungan yang nyaris meledak dapat dilerai dan diredakan hanya dengan sepatah dua patah kata Sang Lam-ciau.

Setelah suasana mereda dan menjadi tenang kembali, Li Tiong-hui baru menatap tajam pangeran pedang itu sambil menegur. "Pangeran pedang, apa maksudmu datang kemari?"

"Aku berniat turut menghadiri pertemuan para jago ini sambil menambah pengetahuanku tentang orang-orang daratan-"

"Berarti kau ingin memusuhi kami?" "Tidak, sama sekali tidak."

"Sebagai musuh atau teman memang sukar dipastikan sebelum kehadiran ayahmu di sini." Lim Han-kim yang duduk di sisi gadis tersebut segera berbisik:

"Sebagai seorang Bu-lim Bengcu yang memimpin dunia persilatan, kau harus tunjukkan sikap dewasa seorang pemimpin, terlepas apa pun tujuan utama kedatangannya, kau wajib menyediakan tempat duduk baginya." Li Tiong-hui termenung berpikir sebentar setelah mendengar ucapan itu, katanya kemudian-

"Pangeran pedang, aku tak mau tahu apa maksud kedatanganmu yang sebenarnya, tapi setelah muncul dalam perkampungan Hong-san ini, selayaknya kulayani kau sebagai seorang tamu, silakan duduk."

Pangeran pedang menoleh memandang seputar ruangan sekejap. kemudian baru ambil tempat duduk.

Sesaat kemudian Li Tiong-hui baru berkata lebih jauh: "Gara-gara yang terjadi barusan telah memotong

pembicaraan Cu locianpwee yang belum selesai, silakan

kau lanjutkan pembicaraanmu tadi."

"Bila ibumu enggan menampakkan diri di sini, percuma kuutarakan kata-kataku itu." Li Tiong-hui melengak dan tak tahu bagaimana harus menanggapi perkataan itu,

Sementara ia dibuat serba salah, mendadak terlihat olehnya ibunya dengan mengenakan baju serba putih dan berwajah dingin membeku muncul di pintu pendopo. Melihat itu buru-buru serunya:

"lbuku sudah datang, bila locianpwee ingin menyampaikan sesuatu, katakan sekarang."

Dewa cebol Cu Gi berpaling memandang Li hujin sekejap. lalu sapanya: "selamat berjumpa"

"Ada urusan apa kau bersikeras ingin bertemu denganku?" tegur Li hujin dingin. "Entah dari mana seebun Giok-hiong mendapat tahu tentang nyonya pedang patah hati, ia berhasil mengundangnya untuk mendukung kubunya."

"Berita ini sudah kuketahui sejak kemarin." "Siapa yang beritahu padamu?"

"Siapa pun orangnya toh sama saja"

Dewa cebol Cu Gi berkerut kening, kembali katanya: "Semenjak kematian Li Tong- yang, belum pernah

nyonya tampilkan senyuman barang sekejap pun, hal ini membuat kawan-kawan lama perkampungan Hong-san tak berani mengunjungi tempat ini lagi."

"Hanya beberapa patah kata itu saja?" sela Nyonya Li ketus.

"Dengan susah payah kutempuh perjalanan sejauh ribuan li hanya untuk menyampaikan berita tersebut, tak nyana nyonya telah mengetahuinya lebih dulu."

Setajam sembilu Li hujin menatap wajah Cu Gi lalu beralih ke wajah Ciu Huang, kemudian ujarnya menahan geram:

"Seandainya dia tidak kenal dengan teman-teman macam kalian, mungkin hingga kini masih hidup segar di dunia ini."

Selesai berbicara dia balik badan dan berlalu dengan langkah lambat.

"Tunggu sebentar ibu" seru Li Tiong-hui cemas. "Ada apa?" Li hujin berhenti seraya berpaling. "Semua jago dari pelbagai partai yang hadir di sini menaruh rasa hormat kepada ibu, harap ibu mau tetap tinggal di sini sambil membicarakan strategi berikut."

"Hmmm, sudah kelewat banyak masalah yang kau berikan padaku, apakah itu belum cukup?"

Ketika menjumpai pangeran pedang duduk di situ, ia segera menegur: "siapa orang ini?"

"Pangeran pedang . "

Agak berubah paras muka Li hujin, tapi hanya sebentar dan segera pulih kembali dalam ketenangan, katanya dingin:

"Kau menyebut diri sebagai pangeran pedang, bapakmu tentu orang yang menyebut diri sebagai raja pedang?"

"Benar, ayahku memang raja pedang "pangeran pedang mengangguk.

Sekilas hawa napsu membunuh melintas di wajah Li hujin yang serius, katanya lagi:

"Ayahmu juga berniat turut hadir dalam pertemuan puncak ini?"

"Benar, ayah dan ibuku akan segera menyusul kemari."

"Bagus sekali" Tanpa memperdulikan pangeran pedang lagi, ia meneruskan langkahnya meninggalkan ruangan.

Sepeninggal Li hujin, Sang Lam-ciau baru berseru kepada Dewa cebol Cu Gi dengan suara dingin: "Hei cebol, Li hujin sudah muncul, kesimpulan apa yang telah kau peroleh?"

"Aaaai... sepeninggal Li Tong-yang, sifat Li hujin makin berubah aneh dan nyentrik."

"Menurut pendapatku, apabila semua jago yang hadir dalam pendopo ini mau berjuang dengan keberanian penuh, aku yakin kekuatan kita masih sanggup membendung serbuan dari seebun Giok-hiong ..."

Sorot matanya dialihkan ke wajah Li Tiong-hui, kemudian terusnya:

"Li Bengcu, ada beberapa patah kata perlu kukemukakan sebelumnya daripada kalau sudah tiba saatnya."

"Katakan saja locianpwee."

"Maksudku datang kemari membantumu hari ini bukan dikarenakan kau adalah seorang Bengcu maka aku bersedia menolongmu, perduli siapa kau dan apa kedudukanmu, semuanya tak ada sangkut pautnya dengan aku. sesungguhnya sudah lama aku pensiun, kehadiranku sekarang tak lain karena ingin mewujudkan pesan terakhir majikanku.

Dalam anggapanku, kau masih tetap seorang ketua dari perkumpulan Hian-hong-kau, oleh karena itulah aku hadir dengan membawa semua inti kekuatan dari perkumpulan tersebut..."

"Soal ini aku mengerti." Li Tiong-hui manggut- manggut, "Lebih baik tahu sejak dini, jadi dalam mengatur kekuatan nanti, kau bisa bertindak sebagai seorang ketua perkumpulan Hian-hong-kau yang memerintah anak buahnya."

"Aku amat bersyukur dengan kesediaan locianpwee untuk menyumbangkan kekuatannya bagi kami."

Berkilat mata tunggal Sang Lam-ciau, setelah tarik napas sejenak. terusnya lagi:

"Kini kau sudah menjadi ketua dari dunia persilatan artinya sudah tak ada waktu lagi untuk mengurusi masalah perkumpulan Hian-hong-kau, sedang aku pun sudah putus asa dan tak bersemangat semenjak kematian majikanku dulu, karenanya bila bencana besar ini sudah lewat, perduli tinggal berapa jago Hian-hong- kau yang masih hidup, kau mesti umumkan pembubaran perkumpulan ini kepada khalayak ramai, sebab sebagai seorang ketua partai, hanya kau yang berhak untuk melakukan hal ini."

"Baik, akan kulaksanakan keinginan locianpwee itu."

Sang Lam-ciau tidak banyak bicara lagi, ia pun mengundurkan diri dan duduk membisu.

Pelan-pelan Li Tiong-hui menyapu sekejap wajah para jago dengan pandangan lembut, lalu ujarnya:

"Masih adakah di antara saudara sekalian yang ingin mengemukakan pendapat? silakan dikemukakan"

Ketika pertanyaan yang diulang beberapa kali tidak peroleh tanggapan, ia pun berkata lebih lanjut dengan lantang: "Adakah di antara saudara sekalian yang enggan menuruti perkataanku karena menganggap aku Li Tiong- hui terlalu muda dan tak pantas menghadapi masalah besar? Bila ada di antara kalian yang mempunyai pendapat begitu, silakan kemukakan sekarang juga." Para jago saling bertukar pandangan, sampai lama sekali tak ada yang menanggapi

"Baiklah," kata Li Tiong-hui kemudian, " Kalau memang saudara sekalian begitu menganggap tinggi diriku, biar kututup rapat hari ini hingga di sini dulu, Beri waktu kepadaku untuk menganalisa pendapat dan usul dari Anda sekalian tadi, bila sudah kuatur suatu perencanaan matang, rapat pasti akan kuadakan lagi."

Suasana dalam sidang tetap hening, semua perhatian hadirin tercurah ke wajah Li Tiong-hui, sampai lama sekali belum ada yang buka suara. sambil tersenyum Li Tiong-hui berkata lagi.

"Kini musuh tangguh telah di depan mata, aku berharap kita bisa menggalang persatuan dan kerja sama yang erat untuk bersama-sama menanggulangi serbuan musuh, untuk pelayanan yang kurang sempurna dari perkampungan kami, aku mohon maaf yang sebesar-nya, maklum kekuatan kami amat minim."

Kemudian sambil berpaling ke arah Li Bun-yang, tambahnya:

"Jika saudara sekalian membutuhkan sesuatu, hubungi saudaraku"

Selesai bicara ia beranjak dari tempat duduknya dan keluar dari ruang pendopo. Sebelum berangkat menghadiri rapat tadi, Lim Han- kim telah menerima pesan dari Pek si-hiang yang minta kepadanya agar tidak menjumpai ibunya sementara waktu sampai see-bun Giok-hiong datang menyerbu, meski ia sangat gelisah dan tak tenang, namun anak muda tersebut enggan melanggar pantangan tersebut karenanya sambil menahan gejolak hatinya ia tinggalkan ruang pendopo dan langsung menuju bangunan Teng- siong-lo.

Pek si- hiang sudah menanti di mulut tangga, ketika melihat pemuda tersebut muncul di sana, segera sapanya sambil tertawa: "Apa yang diputuskan Li Tiong- hui?"

"Hingga kini belum ada orang yang mengetahui rencananya, tapi bila dilihat dari sikap-nya, rupanya ia sudah mempunyai perencanaan yang matang."

"Minumlah teh dulu," kata Pek si-hiang sambil menyodorkan secawan teh dan duduk di sisinya, " istirahat sejenak sebelum menceritakan semuanya kepadaku."

Lim Han- kim meneguk air teh itu setegukan kemudian secara ringkas menceritakan kembali apa yang dilihat dan didengarnya dalam ruang pendopo tadi.

Dengan sabar Pek si-hiang mendengarkan penuturan itu hingga selesai, kemudian baru katanya sambil tersenyum:

"Rupanya Li Tiong-hui mempunyai pendirian dan pandangan sendiri, ia ingin menegakkan wibawanya sebagai seorang Bengcu" setelah berhenti sejenak. kembali lanjutnya: "Sekilas pandang, situasi saat ini begitu tenang dan damai, padahal kekalutan yang terjadi luar biasa sekali, kekacauan yang membuat pertemuan puncak ini berubah menjadi sebuah ajang pertarungan phisik maupun akal."

Setelah menarik napas panjang, katanya lagi sambil tertawa:

"Kekasih Lim, manfaatkan baik-baik sisa waktu yang ada untuk mendalami ketiga jurus ilmu pukulan geledek dan pedang sakti jagad dunia itu, aku ingin penampilanmu dalam pertemuan puncak nanti mengejutkan semua orang, agar kekuatan sejati yang memimpin dunia persilatan bergeser kembali dari tangan seorang wanita ke tangan seorang pria."

Lim Han- kim menggerakkan bibirnya seperti ingin mengucapkan sesuatu, tapi segera dicegah Pek si-hiang dengan goyangan tangannya.

"Tidak usah banyak tanya," tukasnya, "Lebih baik pusatkan semua pikiranmu untuk melatih diri, tak usah cabangkan pikiran untuk memikirkan urusan lain"

"Aku bersedia mengikuti petunjukmu," kata Lim Han- kim tersenyum.

"Tentu saja harus menuruti kata-kataku, aku toh sudah menjadi istrimu, masa ada seorang istri ingin mencelakai suaminya?"

Waktu berlalu amat cepat, selama beberapa hari ini Lim Han- kim mengurung diri dalam ruangan dan pusatkan segenap perhatiannya untuk melatih ilmu sakti tersebut. Hari ini, ketika fajar baru menyingsing Pek si-hiang sudah muncul sambil menyapa: "Bagaimana hasil latihanmu kekasih Lim?"

"Rasanya sih ada kemajuan yang cukup pesat" "Sangat bagus, hari ini mungkin kau harus pamerkan

kebolehanmu itu di depan umum."

"Jadi pertemuan puncak akan dibuka hari ini?" "Benar, dan tampaknya rasa percaya diri Li Tiong-hui

tumbuh semakin kuat selama beberapa hari ini." "Kenapa?"

"Sebab ia tidak mengunjungi diriku lagi."

Dengan pandangan yang tajam Lim Han- kim mencoba mengamati wajah Pek si-hiang, terlihat olehnya cahaya semu merah memancar dari balik wajahnya yang pucat, kelihatannya kesegaran gadis itu lebih prima, karenanya sambil tertawa serunya: "Kelihatannya kesehatanmu bertambah baik belakangan ini..."

"Yaa, memang jauh lebih sehat..."

Gadis itu berhenti sejenak. kemudian melanjutkan: "Walaupun kepandaian silatmu mengalami kemajuan

pesat, tidak banyak orang yang mengetahui hal ini, Li

Tiong-hui juga tak akan terlalu menghargai kemampuanmu, tak nanti ia serahkan tugas penting untukmu."

"Lalu apa yang harus kulakukan?"

"lkuti saja ke mana pun dia pergi, bila keadaan tidak memaksa, jangan sembarangan turun tangan" "Baik, pesan nona akan selalu kuingat." Lim Han- kim manggut-manggut. Keluar dari pintu kamar, tiba-tiba pemuda itu berpaling lagi sambil bertanya: "Bagaimana dengan nona sendiri?"

"Aku pasti akan muncul pada saat yang paling tepat," sahut Pek si-hiang tertawa, "Pergilah, tak usah urusi aku"

"Kau mesti baik-baik jaga diri," pesan Lim Han- kim serius.

"Aku pasti akan merawat diriku baik-baik,"

Lim Han- kim manggut-manggut dan menuruni anak tangga dengan langkah lebar.

Keluar dari Teng-siong-lo, ia langsung berangkat menuju ke ruang pendopo.

Sepanjang perjalanan suasana amat hening dan tak nampak seorang manusia pun, bahkan para dayang yang selama ini dipersiapkan untuk menjaga di sekitar tempat itu pun telah ditarik mundur semua.

Tiba di ruang pendopo ia baru saksikan hampir semua orang telah berkumpul di sana, ruangan yang begitu lebar kini terasa penuh sesak hingga nyaris tak ada ruang kosong.

Secara berurut dari sebelah kiri duduk Ciu Huang, menyusul kemudian Tan Ceng-poo, ketua Kun-lun-pay Kim-hud totiang, si naga botak siang Kiam dan Nenek naga berambut putih dan dua manusia aneh Thian- lam, Hong-po Tiang- hong, Kim Nio-nio, Phang Thian-hua, Ci Mia-cu dan lain-lain. Sedang berada di deretan sebelah kanan dikepalai Li Bun-yang, menyusul kemudian Han kong, Hongpo Lan dan puluhan lagi jago dari generasi yang lebih muda.

Meski Lim Han- kim tidak kenal dengan para jago itu satu persatu, namun dia tahu mereka pastilah kawanan jago yang menonjol atau punya nama di masing-masing daerahnya.

Yang tak nampak dalam ruangan tersebut adalah jago-jago dari siau-lim-pay, Bu-tong-pay, jago-jago di bawah pimpinan sang Lam-ciau serta rombongan dari pangeran pedang.

Tampaknya semua orang sedang menantikan sesuatu, paras muka mereka nampak serius dan tegang, suasana hening dan tak kedengaran sedikit suara pun.

Lim Han- kim mengawasi sekejap suasana dalam ruang pendopo, kemudian pelan-pelan berjalan menuju ke deretan sebelah kanan-Hongpo Lan segera menggeser duduknya sambil berbisik "Cepat kemari saudara Lim, sebentar Bengcu akan tiba"

Lim Han- kim berpikir sejenak, lalu berjalan mendekat dan mengambil urutan di antara Han si- kong serta Hongpo Lan.

Tak lama Lim Han-kim menempatkan diri-nya, dengan langkah berwibawa Li Tiong-hui sudah muncul di dalam ruangan.

Ia muncul dikawal Yu Siau-liong di sebelah kiri dan Tui-im, dayang pribadi Li hujin yang membawa sepasang pedang di sebelah kanan. Sementara empat manusia buas dari sin-ciu yaitu si Dewa buas, iblis jahat, setan gusar dan sukma murung dengan menggembel senjata masing-masing mengiringi dari belakang. Melihat formasi tersebut, diam-diam Lim Han- kim memuji: "sungguh berwibawa... benar-benar hebat."

Li Tiong-hui sudah tukar pakaiannya waktu itu, dia mengenakan baju ringkas berwarna hijau dikombinasi dengan sebuah mantel luar berwarna hitam, gagang pedangnya yang menongol keluar dari balik mantel dihias pula dengan pita kuning yang berkibar ketika tertiup angin.

Dengan pandangan berwibawa dia menyapu sekejap seluruh hadirin dalam ruangan, lalu serunya:

"Maaf Anda semua harus lama menunggu." "Menjumpai Bengcu" seru para jago serentak sambil

memberi hormat. Li Tiong-hui balas memberi hormat.

"Saudara-saudara sekalian," ujarnya kemudian, "Apakah dunia persilatan kita bakal dikuasai kaum sesat atau tidak di kemudian hari, semuanya tergantung bagaimana kita mengantisipasi pertempuran yang bakal berlangsung hari ini, aku berharap saudara sekalian mau menjalin kerja sama yang baik dan bahu membahu menghadapi musuh kita nanti."

"Kami semua pasti akan taat pada perintah Bengcu," sahut para jago serentak. Li Tiong-hui memandang cuaca di luar, lalu katanya lagi:

"Sebentar Seebun Giok-hiong akan muncul di sini, mumpung masih ada waktu, bila ada di antara kalian yang enggan terlibat dalam pertikaian ini dan berniat menarik diri, manfaatkan kesempatan baik ini sekarang juga." Kembali Lim Han- kim berpikir

"Kelihatannya Li Tiong-hui sudah mempersiapkan segala sesuatunya secara matang."

Belum habis ingatan tersebut melintas, dari luar pendopo sudah berkumandang suara teriakan seseorang: "seebun Giok-hiong tiba"

"Aku tahu," sahut Li Tiong-hui sambil ulapkan tangannya, kepada para jago ia berseru:

"Kita tak boleh bersikap kurang hormat terhadap tamu kita, mari kita sambut bersama kedatangannya . "

Sambil berkata, ia berjalan meninggalkan ruangan.

Tui-im dan Yu siau-liong menempel ketat di sisi kiri kanan gadis itu, sedangkan para jago menyusul di belakangnya.

Ketika tiba di lembah Ban-siong-kok, tampak seebun Giok-hiong telah menanti di mulut lembah.

Hari ini, seebun Giok-hiong muncul dengan mengenakan pakaian ringkas pula, sepasang pedangnya digembol di punggung, sementara ikat pinggang terbuat dari kulit ular hijau melilit di pinggangnya, di sana tersoren pula sebaris pedang pendek. Li Tiong-hui segera memberi hormat seraya berseru: "Bila kedatangan kami agak terlambat, harap cici sudi memaafkan."

Menggunakan kesempatan ketika berbicara ia awasi seputar tempat itu, terlihat di belakang seebun Giok- hiong mengikuti empat orang dayang, keempat orang itu semuanya membopong sepasang pedang di punggungnya, sementara di kejauhan terlibat puluhan bayangan manusia sedang menunggu.

Terdengar seebun Giok-hiong menjengek sambil tertawa dingini

"Li Bengcu, kau tak usah berbicara manis lagi, kita datang sebagai musuh yang saling berhadapan aku rasa bujuk rayu atau kata-kata manis singkirkan saja jauh- jauh."

"Bagaimana pun juga aku tetap tuan rumah di sini, tidak baik aku bersikap kurang sopan terhadap tamuku, silakan cici, mari kita masuk ke dalam lembah untuk minum teh."

"Oya?Jadi kau sudah siapkan perjamuan yang beracun?"

"Cici tak perlu menyindir, aku hanya siapkan sedikit arak dan beberapa cawan air teh untuk menyambut tamu-tamuku."

"Kau hanya mengundangku seorang atau mengundang seluruh orang yang kuajak kemari hari ini?" ejek seebun Giok-hiong lagi sambil melirik ke belakang sekejap.

"Biarpun perkampungan keluarga Hong-san letaknya terpencil di atas bukit, namun kami cukup persediaan untuk menjamu tamu yang datang, berapa banyak pun pengikut yang cici bawa, kuundang semuanya untuk minum arak."

"Hmmm, kelihatannya Li Bengcu cukup supel." "Memang sewajarnya begitu, silakan masuk nona seebun"

Dengan pandangan dingin seebun Giok-hiong menyapu sekejap para jago di belakang Li Tiong-hui, kemudian katanya:

"Dari mulut lembah sampai ruang pendopo perkampungan kalian berjarak cukup jauh, lagipula harus melewati banyak tempat yang strategis, kau tidak merasa bahwa tindakanmu mengundang kami masuk ke tengah lembah adalah suatu tindakan yang teramat bodoh?"

"ltu mah tak perlu cici risaukan."

"Jadi kau nekat ingin mengundang kami semua?" "Benar"

seebun Giok-hiong sebera tertawa dingin:

"Hmmm, ingin kulihat siasat busuk apa yang telah direncanakan Pek si-hiang untuk menjebakku..."

Kepada dayang di sebelah kirinya ia berseru:

"Undang mereka semua untuk masuk lembah, katakan Li Bengcu sudah siapkan perjamuan untuk mereka."

Dayang itu menyahut dan segera berlalu.

Pelan-pelan Seebun Giok-hiong berjalan menghampiri Li Tiong-hui.

Dengan gerakan cepat ciu Huang menghadang di depan Li Tiong-hui sambil bentak-nya: "Dengan maksud baik Li Bengcu mengundang kalian minum arak, aku harap nona Seebun bersikap lebih sopan."

"Minggir kamu" hardik Seebun Giok-hiong sesudah mengamati Ciu Huang sekejap.

"Semasa masih berkelana dalam dunia persilatan dulu, ayahmu tersohor karena kelicikan, kebuasan dan kekejaman hatinya, jadi kami harus selalu bersikap waspada terhadap nona."

Tiba-tiba Seebun Giok-hiong mencabut keluar sebilah pedang pendek dari ikat pinggangnya, kemudian katanya:

"Misalnya aku ingin membunuh Li Tiong-hui sekarang, aku yakin kau tak bakal mampu melindungi keselamatan jiwanya."

Diam-diam Ciu Huang menghimpun tenaga dalamnya bersiap sedia, sambil mengawasi pedang pendek di tangan perempuan itu ia mendengus:

"Aku tak tahu nona memiliki kepandaian tangguh seperti apa itu, meski diriku tak becus, aku bersedia menjajal kehebatanmu."

"Akan kusuruh kau saksikan sampai dimana kehebatan yang kumiliki..." kata seebun Giok-hiong sambil mempersiapkan pedang pendeknya.

Sementara itu semua jago yang hadir dalam lembah tidak mengetahui permainan busuk apa yang sedang dipersiapkan seebun Giok-hiong, setiap orang meningkatkan kewaspadaan masing-masing dan bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan. Mendadak seebun Giok-hiong menggetarkan lengan kanannya, dengan cepat pedang pendek itu melesat ke tengah udara setinggi tiga kaki lebih, kemudian seakan- akan kehabisan tenaga, pedang tadi segera meluncur balik ke bawah.

Berkerut kening para jago yang hadir setelah menyaksikan pertunjukan itu, pikir mereka:

"Permainan apaan ini, meski orang awam yang tak berkepandaian pun sanggup untuk melakukan permainan macam itu."

Terlihat cahaya tajam berkelebat kembali di udara, kali ini ada dua bilah pedang pendek yang meluncur ke depan dan tepat menghantam di atas pedang pendek yang jatuh hampir mencapai tanah tadi.

Benturan yang terjadi kali ini seketika mewujudkan suatu perubahan yang sangat aneh.

Di kala pedang pendek yang pertama sudah rontok hampir dua kaki ke arah tanah, begitu terhajar pedang pendek kedua seketika melejit kembali ke udara dan secepat kilat meluncur ke arah samping.

Menyusui kemudian pedang ketiga kembali meluncur ke udara dan menghantam pada pedang pendek kedua.

Sesudah terbentur oleh pedang yang ketiga tadi, tiba- tiba senjata itu berputar arah dan menyambar ke tubuh Li Tiong-hui dengan kecepatan luar biasa.

Tui-im tidak ambil diam, secepat petir dia lancarkan sebuah gempuran kilat ke arah senjata tadi. "Traaang..." Diiringi bunyi keras akibat benturan tersebut, pedang pendek itu meluncur kembali ke sisi lain.

Pada saat itulah pedang kedua sudah terbentur sambitan pedang ketiga hingga berputar arah dan ujung senjata tersebut menyambar ke badan Li Tiong-hui. Tui- im berkerut kening, sekali lagi ia lancarkan gempuran ke arah senjata tersebut.

Serangannya selain cepat juga amat tepat, persis menghajar di ujung pedang pendek itu.

Tampak pedang pendek tersebut berputar beberapa kali di udara kemudian secara mendadak mengancam tubuh Li Tiong-hui lagi.

Rupanya semua pedang pendek yang dilepaskan seebun Giok-hiong tadi menggunakan sejenis kekuatan berpusing yang istimewa, pada mulanya gerak serangan itu nampak lemah dan tak bertenaga, padahal di balik kelemahan itulah tersimpan sejenis kekuatan yang sangat aneh.

Bagi orang yang tidak mengetahui rahasia tersebut dan membendungnya secara sembarangan maka bentrokan yang terjadi justru memancing semakin aktifnya kekuatan berpusing yang tersembunyi dan mewujudkan kehebatannya.

Tak terlukiskan rasa terkejut Tui-im setelah melihat pedang pendek yang ditangkisnya itu bukan saja tidak terpental sebaliknya setelah berputar dua kali kembali mengancam tubuh Li Tiong-hui, ketika bersiap akan melancarkan serangan lagi, keadaan sudah terlambat. Li Tiong-hui bukan orang bodoh ia sadar pasti ada keistimewaan tertentu di balik gerakan pedang ini, ia tak berani menangkis dengan kekerasan, dengan suatu gerakan cepat nona ini berkelit ke samping untuk menghindarkan diri

Kebetulan sekali saat inilah pedang ketiga menyambar datang dan meluncur ke arah mana Li Tiong-hui berada.

Li Tiong-hui sudah tahu bahwa pedang tersebut mengandung suatu kekuatan yang aneh, apabila diserang dengan kekerasan maka pedang tersebut justru akan terpental dan menyerang ke arahnya dari posisi yang tak terduga, oleh sebab itu dia tak mau menanggapi dengan kekerasan.

Lagi-lagi badannya bergeser dua langkah ke samping meloloskan diri dari ancaman tersebut

Tampak kedua batang pedang pendek itu membentur di atas batu di tanah untuk kemudian terpental lagi ke udara dan lagi-lagi mengancam tubuh Li Tiong-hui.

Decak kagum bergema memenuhi arena pertarungan, kawanan jago di sisi arena benar-benar dibuat terperanjat oleh kehebatan musuhnya.

Setelah mengetahui kalau benturan prdangnya tadi mengakibatkan terjadinya peristiwa tak terduga ini, Tui- im tak berani bertindak secara gegabah, terpaksa teriaknya: "Hati-hati nona, serangan senjata rahasia dari belakang."

Li Tiong-hui mendusin dari lamunannya setelah mendengar teriakan itu, buru-buru dia himpun tenaga dalamnya dan melejit ke udara. "sreeeet..." Diiringi desingan angin tajam, sebatang pedang pendek melintas lewat persis dari bawah kaki Li Tiong- hui.

Selesai melepaskan tiga batang pedang pendek tadi, seebun Giok-hiong telah merogoh ke pinggangnya mempersiapkan dua batang pedang lagi, cuma ia tidak lepaskan serangannya kali ini.

Baru saja Li Tiong-hui berhasil menghindari sergapan pedang kedua, pedang ketiga telah meluncur balik mengancam dadanya, hal ini memaksanya harus berkelit lagi ke samping.

Hanya dua batang pedang pendek ternyata mampu membuat Li Tiong-hui kalang kabut sendiri, kejadian tersebut bukan saja membuat ketua dunia persilatan ini amat sedih dan kehilangan muka, para jago yang ikut menyaksikan jalannya peristiwa itu pun ikut bersedih hati.

Tak terbayang bagaimana malunya mereka seandainya Li Tiong-hui sebagai seorang Bu-lim Bengcu harus terluka oleh senjata rahasia seebun Giok-hiong sebelum pertarungan resmi berlangsung. Mereka ingin sekali turun tangan membantu, namun tak tahu dari mana mereka harus membantunya.

Yang lebih menakutkan lagi seebun Giok-hiong masih menggenggam dua bilah pedang yang siap dilancarkan padahal dua bilah pedang pertama pun sudah amat sulit dihadapi, apa jadinya bila kedua bilah pedang berikut turut dilepaskanjuga? Terdengar seebun Giok-hiong tertawa terkekeh-kekeh sambil mengejek: "Li Bengcu, asal kau lebih waspada dan bertindak lebih cermat, sebetulnya tak sulit untuk merontokkan kedua pedangku itu." sembari bicara kembali tangannya digetarkan ke muka.

Dua bilah pedang yang telah digenggamnya tadi segera meluncur ke muka dan... "Traaang, traaang, traaang . .." Keempat batang pedang itu saling bertumbukan di udara dan semuanya rontok ke tanah. Li Tiong-hui tertawa hambar, sahutnya:

"Enci seebun tak perlu pamer kepandaian lagi, padahal aku sudah tahu akan kehebatan ilmu silatmu, berilah kesempatan kepadaku untuk bertindak sebagai tuan rumah yang ramah sebelum cici memamerkan kembali kebolehanmu nanti."

Lama sekali seebun Giok-hiong menatap wajah Li Tiong-hui, kemudian sambil berdecak katanya:

"Cctt... ccct... ccct... mau tak mau aku meski kagumi kesabaranmu, coba kalau aku bukan ingin balaskan dendam orang tuaku hingga terpaksa mesti bentrok denganmu, sekarang juga cici pasti akan pergi tinggalkan tempat ini."

Ia pungut kembali keempat batang pedangnya lalu disisipkan kembali di pinggangnya.

"Kejadian telah berkembang jadi begini, aku rasa cici tak perlu bersungkan-sungkan lagi, mari silakan masuk ke dalam lembah"

Seebun Giok-hiong segera memberi tanda kepada anak buahnya, kemudian berangkatlah mereka berbondong-bondong memasuki lembah. Li Tiong-hui coba melirik kawanan jago itu, selain kakek berbaju kuning yang membawa burung abu-abu itu, terlihat pula puluhan orang Busu berpakaian warna warni yang menggembel aneka senjata, dua belas orang dayang bersenjata pedang dan puluhan orang manusia aneh berambut panjang yang membungkus kepalanya dengan kain hitam.

Tapi dari sekian banyak jago, yang paling menonjol adalah isi tandu kecil berwarna putih yang digotong dua orang perempuan setengah umur yang bertubuh kuat, tirai pada jendela tandu itu tertutup rapat hingga tak nampak jelas siapa penghuninya.

Mengikuti di belakang tandu putih itu adalah seorang kakek yang mengenakan cadar muka warna kuning serta seorang nenek setengah umur yang memakai pakaian aneh.

Pada kain cadar muka yang dikenakan kakek itu tertempel sehelai kertas dengan tulisan yang berbunyi begini:

"Tak perlu tahu siapa namaku, yang penting tentukan mati hidup lewat pertarungan"

Mengikuti di belakang sepasang kakek nenek itu adalah Thia sik-kong beserta murid-muridnya yang kaku bagaikan mayat hidup.

Berkerut juga jidat Li Tiong-hui menyaksikan manusia- manusia tersebut, pikirnya: "Entah dari mana saja ia dapatkan aneka ragam manusia aneh tersebut?"

Sementara ia masih berpikir, seebun Giok-hiong telah berkata lagi sambil tertawa terkekeh-kekeh: "Heheheheh . . . bagaimana Li Bengcu? Pingin tahu kekuatan cici yang sesungguhnya?"

"Cici terlalu serius," jawab Li Tiong-hui sambil balik badan dan beranjak pergi meninggalkan tempat itu.

(53. Kemunculan kembali Raja pedang)

Seebun Giok-hiong percepat langkahnya untuk jalan beriring dengan Li Tiong-hui, sambil berjalan tanyanya:

"Apa Pek si-hiang belum mati?"

Belum sempat Li Tiong-hui menjawab, Lim Han-kim telah menyela duluan:

"Dia masih hidup segar bugar, mengapa kau malah sumpahi dia agar cepat mati?"

Seebun Giok-hiong berpaling memandang Lim Han- kim sekejap. lalu sindirnya sambil tertawa:

"Kau toh tahu, aku sedang berbicara dengan Bengcu kalian..."

Lalu sambil menatap Li Tiong-hui, tegurnya: "Apa sih pangkatnya orang ini?"

"Ada apa? Dia kan Lim Han-kim, masa tidak kenal?"

"Sekarang kita sudah berhadapan sebagai musuh, makin sedikit orang yang dikenal semakin baik."

Lim Han-kim mendengus dingini "Nona seebun jangan sombong dan tekebur dulu, menurut pengamatanku, belum tentu kau bisa menangkan pertarungan di perkampungan Hong-san kali ini."

Seebun Giok-hiong tertawa terkekeh-kekeh. "Hahahaha... pasti Pek si-hiang yang ajari kau berkata

begitu," ejeknya.

"Tak perlu diajari nona Pek. aku sama saja sanggup menghadapi nona untuk bermain beberapa jurus."

Beberapa kali seebun Giok-hiong mengawasi wajah Lim Han-kim, namun dia enggan berbicara dengan pemuda itu, kepada Li Tiong-hui kembali katanya:

"Li Bengcu, walaupun kita saling berhadapan sebagai musuh, namun selama ini kau selalu memanggil cici padaku, sebutan mana membuat perasaanku tak pernah tenang, oleh sebab itu aku perlu memberitahukan satu hal padamu."

"Soal apa?"

"Kuakui Pek si-hiang memang seorang gadis berbakat alam yang luar biasa hebatnya, sayang dia kelewat banyak membaca buku hingga akhirnya keracunan buku."

"Yang kuketahui selama ini, semakin banyak seseorang membaca buku, pengetahuannya juga makin luas, belum pernah kudengar orang berkata bahwa seseorang bisa keracunan buku karena kebanyakan membaca." "Buktinya sekarang, dengan mengabaikan tempat- tempat strategis untuk mempertahankan diri, kau malah mengundang musuhmu memasuki daerah pentingmu, apakah tindakan semacam ini tidak melanggar ajaran strategi perang? Kecuali Pek si-hiang, aku yakin meski ibumu sendiri juga tak akan berani mengambil tindakan sedemikian drastis."

"Tebakan cici kali ini keliru besar, justru aku yang merancang strategi kali ini."

"Apa? Kau yang merancang strategi ini?"

Seebun Giok-hiong membelalakkan matanya, "Betul, aku mesti peras otak selama tiga hari tiga malam sebelum memutuskan untuk menggunakan rancangan strategi ini."

Seebun Giok-hiong segera tertawa terkekeh-kekeh, "Hahahaha... apakah kau masih berharap aku bisa

berubah pikiran pada saat terakhir dan mau

mengabaikan niatku untuk membalas dendam kesumat ini?"

"Alangkah bahagianya diriku bila kau bersedia melakukan hal itu, bila cici mau bertobat aku pun bersedia meninggalkan bangku Beng-cu agar para jago di kolong langit hidup dengan bebas."

Seebun Giok-hiong menghela napas panjang.

"Tak aneh jika kau merancang strategi ini," katanya.

"Sebaliknya bila cici bersikeras ingin menyelesaikan masalah ini dengan banjir darah, apa mau dikata aku pun terpaksa akan memimpin seluruh orang gagah yang terhimpun di sini untuk melakukan pertarungan hingga titik darah penghabisan."

"Selain ibumu, belum kutemukan orang lain yang mampu bertarung sebanyak seratus gebrakan melawanku .,."

"Seandainya kau sudah ditahan oleh ibuku, mampukah orang-orang yang cici bawa bertarung melawan para jago lihay dari pelbagai partai dan perguruan besar?"

"Justru yang tak kau sangka adalah dua orang musuh besar ibumu dulu yang sengaja kuajak kemari untuk menjegal kehadiran ibu-mu, perasaan benci mereka terhadap ibumu sudah merasuk ke tulang sumsum, dengan terhadangnya ibumu, maka aku bisa leluasa melakukan pembantaian secara besar-besaran."

Setelah berhenti sejenak kembali lanjutnya: "Cuma ... bisa jadi aku akan mengampuni jiwamu."

Li Tiong-hui tertawa hambar.

"Bila pertarungan mulai berkobar dalam pertemuan puncak kali ini, bukan saja nasib dunia persilatan untuk seratus tahun berikut menjadi bahan pertarungan nama baik serta kehadiran perkampungan keluarga Hong- sanpun turut dipertaruhkan Apabila aku sampai kalah, buat apa kuteruskan hidupku di dunia ini?"

"Hebat... luar biasa, sayang predikat Beng-cu yang kau panggul di bahumu telah mencelakai kehidupanmu."

Li Tiong-hui angkat wajahnya menghembuskan napas panjang, setelah termenung sejenak katanya: "Bila kau yang menangkan pertarungan kali ini, dalam tiga puluh tahun mendatang tak akan ada seorang manusia pun dalam dunia persilatan yang sanggup menentangmu, saat tersebut cici pasti akan menguasai seluruh jagad raya dan tak tertandingkan lagi."

Begitulah, sambil berbincang-bincang mereka melanjutkan perjalanan, tanpa terasa tibalah rombongan itu di tepi hutan, di luar pendopo utama. sambil berhenti, kata Li Tiong-hui seraya berpaling:

"Sudah sampai di tempat tujuan, silakan cici masuk ke ruang pendopo dan minum teh."

Seebun Giok-hiong tidak melanjutkan langkahnya, ia perhatikan dulu sekeliling tempat tersebut kemudian baru berkata:

"Pepohonan yang tumbuh mengelilingi bangunan ini nampaknya dibangun menurut posisi pat-kwa, apakah ibumu yang merancang?" Li Tiong-hui tertawa hambar, tukasnya:

"Pepohonan yang tumbuh di tempat ini merupakan cemara naga yang berusia di atas dua ratus tahun, mana mungkin ibuku yang menanam?"

Seebun Giok-hiong tidak banyak bertanya lagi, dia melanjutkan langkahnya memasuki ruang pendopo.

Li Tiong-hui menyusul di sisinya danjalan bersanding.

Dalam ruang pendopo yang luas telah disiapkan puluhan buah meja perjamuan, sayur dan arak telah dihidangkan. "Cici, aku mempersilakan semua jago yang kau undang untuk memasuki ruangan, dalam setiap meja perjamuan yang disediakan pasti ada orang dari pihak kami yang menemani."

"Mula-mula duduk dan pesta bersama, selesai bersantap pembantaian mulai digelar, waaah... waaah... cici terhitung tamu jahat yang tak tahu diri"

"Tidak mengapa." Li Tiong-hui tersenyum, "Hidangan sayur dan arak yang tersedia hanya merupakan tanda hormatku sebagai tuan rumah terhadap tamu-tamunya."

"Lalu aku mesti duduk pada meja yang mana?" "Tentu saja cici harus duduk di meja utama, biar aku

menemani cici duduk di sana," sahut Li Tiong-hui sambil menuding ke arah meja perjamuan di paling belakang.

"Aku rasa tidak usah," tampik seebun Giok-hiong sambil menggeleng, "Menurut pendapatku lebih baik kita selesaikan masalah ini dengan pertarungan saja, sedang soal perjamuan ini... aku pikir kelewat merepotkan..."

"Cici, kau kelewat sungkan masa untuk menghadiri perjamuan saja enggan..."

Seebun Giok-hiong mendengus dingin sambil melanjutkan langkahnya memasuki ruang pendopo, sambil berjalan kembali tanyanya:

"Li Bengcu, selain kau dan aku, siapa lagi yang ikut duduk satu meja dengan kita?"

"Lebih baik cici duduk duluan di meja perjamuan utama sebelum kutemukan siapa saja yang cocok untuk mendampingimu." "lbumu tidak ikut hadir?"

"Selesai perjamuan, ibu pasti akan muncul dengan sendirinya."

Seebun Giok-hiong segera berpaling dan membisikkan sesuatu kepada dayang yang berada di belakangnya, salah seorang di antaranya segera meninggalkan ruangan menuju keluar pendopo.

Tanya Li Tiong-hui kemudian:

"Bagaimana cici? siapa saja yang kau undang untuk duduk semeja dengan dirimu?"

"Selain aku, masih ada nyonya pedang patah hati, Thia sik-kong serta kiongcu dari istana Panca racun."

"Ngo-tok Kiongcu juga ikut datang?" Li Tiong-hui berkerut kening.

"Nama besar istana panca racun memang tersohor sampai di mana-mana, tapi berapa banyak orang sih yang pernah berjumpa dengan ketua istananya secara pribadi?"

"Apakah ketua istana panca racun bernama Dewi selaksa Racun?"

"Bukan" seebun Giok-hiong menggeleng "Dewi selaksa Racun hanya salah satu di antara ketiga orang murid utamanya."

Mendengar penjelasan tersebut, dalam hati Li Tiong- hui berpikir.

"Seebun Giok-hiong benar-benar luar biasa, tidak kusangka sampai ketua istana panca Racun pun sanggup dia undang kemari." Walaupun berpikir demikian, ia berkata juga:

"Mendompleng ketenaran cici, hari ini aku tentu bisa berkenalan dengan banyak sekali orang-orang kenamaan."

Seebun Giok-hiong tersenyum, selanya: "Li Bengcu, siapa saja yang akan kau undang untuk duduk semeja dengan kami...?" setelah berhenti sejenak. tambahnya: "Ada sepatah dua patah kata perlu kusampaikan lebih dulu, agar jangan sampai setelah terjadi sesuatu yang tak diinginkan, cici baru disalahkan"

Li Tiong-hui tersenyum, meski di hati kecilnya ia berpikir

"Apa-apaan dia ini? permainan busuk apa lagi yang sedang ia persiapkan terhadapku...?" kendatipun berpikir begitu, tanyanya juga: "soal apa sih?"

"Nyonya pedang Patah Hati, Ketua istana Panca Racun serta Thia sik-kong bukan termasuk anak buahku, hubungan mereka denganku juga tak lebih hanya sebagai tamu undangan, selain ikatannya denganku tidak terlalu kuat, sifat mereka pun teramat jelek, oleh karena itu di dalam memilih teman duduk yang akan mendampingi mereka nanti, lebih baik kau bersikap ekstra hati-hati,sebab kalau sampai salah bicara hingga terjadi insiden yang tidak diharapkan jangan salahkan cici yang tidak memberi peringatan lebih awal."

"Terima kasih banyak atas nasehat cici"

"Tak perlu sungkan-sungkan baik- baiklah memilih patnermu." Li Tiong-hui berpaling dan melirik Tui-im sekejap. lalu perintahnya: "Cepat kau undang Dewa Cebol Cu locian-pwee, sang locianpwee dan ..."

Karena masih kurang seorang sedang orang tersebut belum ditemukan, maka dia pun termenung sejenak sambil berputar otak.

Tui-im tahu kalau majikannya belum selesai bicara, maka dia hanya berdiri di sana sambil menanti.

Sementara Li Tiong-hui sedang mengalami kesulitan untuk menemukan orang terakhir yang cocok untuk mendampingi musuh-musuhnya, mendadak terdengar seseorang menyambung dengan suara merdu:

"Jelek-jelek begini aku masih termasuk juga seorang tamu agungmu, kenapa kau tidak mengundangku untuk duduk mendampingi tamu-tamu agung lainnya?"

Ketika seebun Giok-hiong berpaling, terlihat olehnya Pek si-hiang yang dituntun siok-bwee sedang berjalan mendekat dengan langkah perlahan.

Tanpa menanti persetujuan dari Li Tiong-hui lagi, dengan langkah lebar gadis tersebut langsung berjalan menuju ke meja utama dan duduk persis di samping Li Tiong-hui.

Secara diam-diam seebun Giok-hiong mengamati wajah Pek si-hiang, ia semakin keheranan setelah dilihatnya sinar wajah gadis itu amat cerah, bahkan kondisi tubuhnya nampak sehat sekali.

Kendatipun begitu, tegurnya juga sambil tertawa: "Pek si-hiang, akhirnya kau berhasil juga meloloskan

diri dari cengkeraman elmaut, bila kulihat dari kondisi tubuhmu sekarang, mungkin umurmu akan mencapai seratus tahun lebih."

"Terima kasih, terima kasih, semuanya ini tak lain berkat doa restu cici seebun Giok-hiong ..." jawab Pek si- hiang tertawa.

Tak terlukiskn rasa mendongkol seebun Giok-hiong ketika mendengar namanya langsung disebut oleh gadis tersebut, sambil tertawa dingin serunya:

"Biar kondisi tubuhmu cukup bagus, sayang jidatmu berwarna semu hitam, itu pertanda kemungkinan besar kau akan mengalami bencana kematian karena suatu kasus pembunuhan."

"Mati hidup manusia sudah ditentukan oleh takdir, aku tak pernah memikirkannya di dalam hati."

"Hmmmm ... besar amat jiwamu" "Kelihatannya percuma saja lidahku selama ini

berkicau, nyatanya usahaku tak ada guna-nya, orang

yang sudah terlanjur keblinger toh tetap keblinger juga. Yaa... itulah sebabnya kedatanganku kali ini cuma ingin menonton keramaian."

Melihat kedua orang itu sudah mulai perang mulut, dimana ucapan kedua belah pihak makin lama semakin meruncing, Li Tiong-hui sebera sadar, bila keadaan tersebut dibiarkan berlanjut maka perselisihan tak bisa dihindari lagi. oleh sebab itu buru-buru serunya:

"Bila ingin membicarakan sesuatu bagaimana kalau kita lanjutkan seusai perjamuan nanti?" Pek si-hiang tersenyum, kepada dua orang dayang yang berdiri di belakangnya, ia memberi tanda seraya perintahnya:

"Di sini sudah tak ada urusan kalian mundurlah dulu"

Kedua orang dayang itu menyahut dan bersama-sama mengundurkan diri dari sana.

Dalam pada itu Tui-im masih berdiri menanti di belakang Li Tiong-hui, ketika menyaksikan Pek si-hiang telah menempati kursinya,terpaksa ia bertanya lirih: "Hanya mengundang Cu locianpwee serta Sang locianpwee?"

"Yaa, cepat suruh mereka kemari"

Tiba-tiba terdengar seebun Giok-hiong berkata setelah melirik Li Tiong-hui sekejap: "Li bengcu, apa tidak berbahaya membiarkan nona Pek itu duduk di tempat ini..."

Walaupun mengerti apa yang dimaksudkan Li Tiong- hui pura-pura bertanya lagi: "Bahaya apa?"

"Nona Pek tidak memiliki kemampuan untuk membela diri, mendingan kalau orang lain yang dihadapi, kau tahu Ngo-tok Kiongcu sangat berbisa, sekujur badannya boleh dibilang membawa racun yang amat jahat, kalau sampai dla ajak nona pek bergurau dan akibatnya nona Pek sampai terluka... waaah, waaah, waaah, apakah peristiwa ini tidak akan menyesalkan banyak orang?"

Pek si-hiang tersenyum.

"Kalau soal itu mah... nona seebun tak perlu kuatir, misalnya aku benar-benar terluka oleh racun jahatnya Ngo-tok Kiongcu, anggap saja ilmu yang kumiliki memang belum becus sehingga meski harus mati juga tak perlu disesalkan."

"Mengenaskan benar ucapanmu barusan... kalau dilihat dari tubuhmu yang begitu lemah, memang rasanya kurang tega melukaimu coba bayangkan sendiri, apa cici tidak ikut menanggung penyesalan bila kau betul-betul keracunan nanti?"

Sementara itu Lim Han- kim sudah mendapat perintah dari Pek si-hiang, maka tidak menunggu undangan resmi dari Li Tiong-hui, dia langsung mengambil posisi dengan duduk di samping gadis tersebut

Ketika mendengar seebun Giok-hiong berulang kali menyindir dan mempermainkan Pek si-hiang, darah mudanya langsung bergelora dengan perasaan mendongkol pikirnya:

"Sialan benar orang ini... sudah tahu nona Pek bertubuh lemah, buat apa dia memanasi terus dengan kata-kata ejekan ...?"

Pek si-hiang sama sekali tidak termakan oleh ejekan musuh, malahan sambil membenahi rambutnya yang kusut dan tersenyum manis, ujarnya:

"Nona seebun, pernah tidak kau mendengar pepatah yang mengatakan- BERPISAH TIGA HARI, JANGANLAH MEMANDANG SESUATU DENGAN PANDANGAN SAMA?

Kalau memang ia melepaskan binatang peliharaannya nanti, akan kubuktikan kepadamu bagaimana aku pandai menangkapnya serta menghadiahkan kepadamu." Melihat gadis itu amat tenang, sama sekali tak gugup, bahkan seolah-olah sudah mempunyai perhitungan yang masak. dalam hati kecilnya seebun Giok-hiong berpikir.

"Begitu tenang gadis tersebut menghadapiku, jangan- jangan ia memang sudah mempunyai persiapan yang matang? Gila, aku mesti tingkatkan kewaspadaan-.."

Sementara dia masih termenung, Tui-im telah muncul kembali mengajak si Dewa Cebol Cu Gi dan sang Lam- ciau.

Sebagaimana diketahui kedua orang jagoan ini bersifat aneh sekali, yang seorang cebol berwajah lucu sedang yang lain tua bermuka buruk penuh codet, untuk duduk mendampingi gadis-gadis cantik tersebut, keadaan mereka memberikan pemandangan yang amat kontras.

Sejak menempati kursinya di meja perjamuan si Dewa Cebol Cu Gi selalu menunjukkan sikap yang dingin dan ketus, pandangannya selalu tertuju ke atap rumah, terhadap gadis-gadis cantik di hadapannya sama sekali tidak memandang barang sekejappun.

Sebaliknya sang Lam-ciau hanya pejamkan matanya duduk mematung, keadaannya tak berbeda dengan seorang pendeta yang sedang bersemedi

Li Tiong-hui yang tenang, seebun Giok-hiong yang genit serta Pek si-hiang yang cantik sudah cukup mendatangkan perasaan dag dig dug bagi semua jago yang hadir dalam pertemuan tersebut, kini ditambah lagi dengan sang Lam-ciau yang menyeramkan serta Dewa Cebol Cu Gi yang ketus, membuat suasana di situ berubah semakin tegang dan mengerikan hati. Dalam keheningan yang mencekam, tiba-tiba Li Tiong- hui menegur. " Kenapa tamu-tamunya cici belum juga datang?"

"Kenapa sih mesti terburu napsu?" seebun Giok-hiong tersenyum, "Toh sejak tadi sudah kujelaskan mereka bertiga bukan anak buahku, belum tentu mereka bersedia menuruti perkataan cici, bila sebentar sikap mereka menyinggung perasaan bengcu, harap kau sudi memaklumi."

Sementara pembicaraan masih berlangsung, terlihat seorang dayang berbaju hijau muncul dengan membawa tiga orang manusia berdandan aneh lagi nyentrik.

Orang pertama adalah seorang kakek berjenggot putih yang membawa tongkat baja, dia tak lain adalah Thia

sik-kong.

Orang kedua adalah seorang pendeta wanita yang rambutnya disanggul ke atas serta memakai jubah pendeta yang besar lagi longgar, wajahnya pucat pias seperti mayat, pedang panjang tergantung di punggungnya, Dandanan serta perawakannya yang aneh membuat orang susah membedakan apakah dia seorang pria atau wanita. sambil tersenyum seebun Giok-hiong segera memperkenalkan-

"Saudara-saudara sekalian, tentu kalian sudah pernah mendengar nama besar dari saudara ini bukan? Dialah ketua dari istana Panca Racun"

"Kiongcu, silakan duduk" Li Tiong-hui mempersilakan sambil bangkit berdiri Pendeta aneh yang tak mirip pria maupun wanita itu tertawa dingin, tanpa memberikan tanggapan dia langsung menempati bangku di sisi Thia sik-kong.

Orang terakhir adalah seorang nyonya setengah umur yang mengenakan gaun berwarna hijau, wajahnya cantik jelita hanya sayang sikapnya kaku dan sedingin es. sambil tertawa kembali seebun Giok-hiong memperkenalkan.

"Sedang nyonya ini tak lain adalah Nyonya pedang Patah Hati yang nama besarnya tersohor di kolong langit dan dikenal setiap umat persilatan"

"Selamat berjumpa, sudah lama kudengar nama besarmu" Kembali Li Tiong-hui bangkit berdiri sambil memberi hormat

Nyonya pedang Patah Hati mendengus dingin ditatapnya Li Tiong-hui sekejap, lalu tegurnya:

"Jadi kau adalah putrinya Li Tong-yang?" "Benar, aku bernama Li Tiong-hui"

"Hahaha. dia malah seorang Bu- lim Bengcu sekarang" Seebun Giok-hiong menimpali sambil tertawa terbahak- bahak.

"Hmmm" Nyonya Pedang Patah Hati mendengus dingin, "Sudah lama aku hidup mengasingkan diri dari keramaian dunia, aku tak perduli dia adalah seorang pemimpin dunia persilatan atau pemimpin perampok dunia, toh tak ada sangkut pautnya denganku."

Li Tiong-hui hanya tertawa saja, ia tak menemukan jawaban yang tepat untuk menanggapi ucapan tersebut Ketika tak mendengar jawaban dari gadis tersebut kembali Nyonya Pedang Patah Hati berkata sambil tertawa hambar "Sehat-sehat bukan keadaan ibumu?"

"Berkat doa restu dari locianpwee, kondisi ibuku sangat bagus."

"Bagus sekali, justru aku paling kuatir jika ia keburu mati mendadak, kalau sampai ia keduluan mampus, kedatanganku bukankah bakal sia-sia belaka?"

"Locianpwee, sebenarnya apa yang telah terjadi dengan ibuku?" tegur Li Tiong-hui dengan kening berkerut "Kalau didengar dari nada pembicaraanmu sepertinya kau ada perselisihan dengan beliau? Kenapa kau mesti menyakiti hatinya?"

"Kalau aku memang berniat menyakiti hati-nya, lantas kau mau apa?" jengek Nyonya Pedang Patah Hati sambil menempati bangkunya.

"Menyakiti hati orang dengan kata-kata yang kotor bukan perbuatan seorang pendekar, apakah locianpwee tidak kuatir menurunkan pamor serta nama baikmu?"

Berkilat sepasang mata Nyonya Pedang patah Hati sesudah mendengar ucapan tersebut ditatapnya wajah gadis itu tanpa berkedip, kemudian serunya dingin.

"Tunggu saja setelah kubunuh ibumu, pasti akan kuberi pelajaran yang setimpal kepadamu."

Seraya berkata, pelan-pelan ia menempati tempat duduknya.

Seebun Giok-hiong pun menuding ke arah Pek si-hiang sambil memperkenalkan "Sedang nona yang ini adalah nona Pek si-hiang, dia termasuk seorang gadis jenius yang memiliki kemampuan luar biasa, dialah perencana utama dari pertemuan puncak yang diselenggarakan Li Bengcu kali ini."

Pek si-hiang hanya tersenyum tanpa memberikan tanggapan-Ngo-tok Kiongcu melirik Pek si-hiang sekejap, lalu tegurnya:

"Tidak kusangka nona semuda itu ternyata memiliki pengetahuan yang hebat, nanti pasti akan kucari kesempatan untuk mohon petunjuk darimu..." Pek si- hiang tetap cuma tersenyum, mulutnya membungkam dalam seribu bahasa.

Melihat gadis itu tertawa, Thia sik-kong segera menggebrak meja keras-keras seraya berteriak penuh amarah:

"Apa yang lucu? Kenapa kau tertawa? Hmm.. jangan membuat hatiku mendongkol, jangan salahkan kalau kucabuti semua gigimu."

Seebun Giok-hiong yang mendengar teriakan itu, segera menimpali pula sambil menghela napas panjang:

"Aaaai... adik Pek. senyummu kelewat memikat hati, tak heran Thia locianpwee sampai naik darah."

"Terima kasih banyak atas pujian cici see-bun" Pek si- hiang tetap tersenyum.

Li Tiong-hui dapat membaca situasi yang bertambah genting, ia sadar manusia-manusia macam apa Ngo-tok Kiongcu, Nyonya pedang Patah Hati serta Thia sik-kong adalah manusia aneh yang berhati kejam, bila keadaan tersebut dibiarkan berlangsung maka setiap saat bentrokan phisik pasti tak dapat dihindari lagi.

Oleh karena itu perintahnya kepada dayang Tui-im yang berada di belakangnya: "Perintahkan semua jago untuk menempati kursi masing-masing" Tui-im menyahut dan teriaknya:

"Bengcu memerintahkan kepada semua jago agar menempati kursi masing-masing ..."

Mendengar seruan tersebut, serentak para jago yang hadir diperkampungan keluarga Hong-san mengambil tempat duduk masing-masing.

Sebaliknya anak buah pengikut seebun Giok-hiong masih tetap berdiri di posisi semula, nampaknya mereka enggan menuruti perintah tersebut. Melihat itu, Li Tiong- hui berpaling ke arah seebun Giok-hiong sambil ujarnya:

"Hidangan sudah mulai dingin, harap cici memerintahkan mereka untuk menempati meja perjamuan."

Seebun Giok-hiong berpaling dan katanya kepada seorang dayang di sisinya:

"Beritahu mereka, kita tak boleh menampik kebaikan Li Bengcu, suruh mereka semua mengambil tempat duduk"

Dayang itu menyahut, dari sakunya dia mengeluarkan sebuah panji kecil bersulamkan bunga bwee, lalu sambil dikibarkan serunya:

"Atas perintah dari nona seebun, diharapkan saudara semua mencari tempat duduk." Begitu perintah diberikan, para jago pengikut seebun Giok-hiong menyahut dan mencari tempat duduk.

Pelan-pelan seebun Giok-hiong berpaling ke arah Li Tiong-hui, lalu katanya sambil tertawa mengejek:

"Adik Li, bilamana kau sanggup memaksa para jagoku untuk menuruti semua perintahmu, maka kedudukanmu sebagai Bu-lim Beng-cu baru benar-benar sah dan diakui seluruh dunia persilatan"

"Aku yakin saat semacam itu sudah tak lama lagi" Pek si-hiang yang duduk di sisinya menimpali

"Tapi harus menunggu berapa tahun berapa bulan lagi?" sindir seebun Giok-hiong sambil tertawa hambar

"Aku percaya paling lama tengah hari besok. paling cepat setelah senja menjelang hari ini."

"Aku kuatir keinginanmu itu sukar terwujud."

"Moga-moga saja apa yang telah kuucapkan barusan segera akan menjadi kenyataan" Dalam pada itu Li Tiong-hui telah mengangkat cawan araknya sambil berseru:

"Aku percaya para jago yang hadir dalam pertemuan kali ini adalah jago-jago pilihan dari seluruh penjuru dunia, untuk itu terimalah secawan arakku sebagai tanda hormatku kepada saudara sekalian."

Selesai berkata, dia pun meneguk habis isi cawan nya.

Nyonya Pedang Patah Hati hanya mengangkat cawannya sambil ditempelkan di atas bibir, kemudian meletakkannya kembali ke meja, sedangkan seebun Giok-hiong dan Thia sik-kong masing-masing meneguk isi cawannya hingga habis.

Sedangkan Ngo-tok Kiongcu melirik sekejap cawan di hadapannya, lalu berkata: "Kalau arak macam begitu mah kurang sedap, biar diminum juga tak ada rasanya..."

Dari dalam sakunya ia merogoh keluar seekor kelabang beracun, lalu dicelupkan ke dalam cawan araknya.

Kelabang itu seluruh badannya berminyak. ketika dicelupkan ke dalam cawan arak tersebut warna seluruh arak tersebut segera berubah menjadi hitam pekat seperti tinta.

Dengan tenangnya Ngo-tok Kiongcu meneguk habis isi cawan tersebut, termasuk juga kelabang besar tadi, dilalapnya ke dalam mulut dengan penuh nikmat.

Mual rasanya perut Li Tiong-hui setelah menyaksikan bagaimana perempuan itu melahap habis seekor kelabang seperti menikmati semangkuk bakmi saja, dengan perasaan terkesiap pikirnya:

"Luar biasa kemampuan orang ini, tidak setiap orang dapat melakukan hal semacam dia ini, entah ilmu racun apa yang dikuasainya?"

Tiba-tiba Ngo-tok Kiongcu meroboh kantungnya, kembali mengambil keluar seekor kelabang yang segera disodorkan ke depan cawan Pek si-hiang, ujarnya sambil tertawa menyeringai:

"Aku dengar nona memiliki kepandaian yang luar biasa, aku percaya kau pasti menguasai semua bidang kemampuan yang ada di dunia ini, bagaimana kalau kuhormati Anda dengan secawan arak ini?"

Pek si hiang melirik sekejap isi cawan di hadapannya, ketika menjumpai warna araknya telah berubah jadi hitam pekat seperti tinta, segera sahutnya sambil tertawa hambar:

"Selama hidup belum pernah kupelajari ilmu melahap binatang beracun macam kepandaian yang kau miliki, jika mesti meneguk habis isi cawan tersebut, waaah... aku bisa mati duluan"

"Hmmm..." Ngo-tok Kiongcu mendengus dingin, "Jika seseorang telah ditakdirkan harus mati karena keracunan, biar tidak minum arak beracun pun, dia bisa mati lantaran digigit binatang beracun"

"Lantas kalau menurut pendapatmu, aku ini ditakdirkan mati lantaran apa...?" tanya Pek Si-hiang sambil tertawa.

"Aku rasa kau bakal mati keracunan"

Pek si-hiang tersenyum, dengan tenangnya ia membenahi rambutnya yang kusut, lalu diambilnya cawan arak yang berada di hadapannya itu.

Tapi sebelum jari tangannya sempat menyentuh cawan tersebut, mendadak sebuah tangan yang lain telah merebut cawan arak tersebut sambil berseru keras:

"Biar aku yang coba merasakan kehebatan racun kelabang ini, akan kulihat apa benar racunnya bisa mematikan orang." Ketika Lim Han-kim berpaling, ia saksikan orang yang merampas cawan arak tersebut tak lain adalah Sang Lam-ciau.

Dengan sekali tegukan ia habiskan isi cawan arak beracun itu berikut kelabangnya, kemudian seraya meletakkan kembali cawan kosong ke atas meja, katanya:

"Kukira kehebatan racun kelabang tersebut memang luar biasa hingga mampu mencabut nyawa orang dalam sekejap, huuh... ternyata kehebatannya cuma begitu saja..."

"Boleh kutahu siapa namamu?" seru Ngo-tok Kiongcu sambil tertawa dingin.

"Aku hanya seorang prajurit dari dunia persilatan seorang serdadu tua di bawah perintah Li Bengcu, kalau boleh, aku ingin mencoba pula beberapa jurus kepandaian silat Kiongcu"

"Dia adalah Sang Lam-ciau yang termashur di kolong langit," seru seebun Giok-hiong segera, "Tak disangka seorang pendekar hebat akhirnya harus hidup terlantar hanya gara-gara terjerat oleh jaring cinta, sungguh mengenaskan hidupnya..." Berubah hebat paras muka Sang Lam-ciau setelah mendengar ejekan itu, katanya gusar.

"Aku paling benci kalau ada orang mengajakku bergurau, hmmm, nona, aku harap kau sedikit tahu diri"

"Aku tak ambil perduli kau betul-betul Sang Lam-ciau atau bukan, sebab tidak penting bagiku, tapi dari kesanggupanmu minum habis arak beracun kelabang ini maka kau memang sepatutnya memandang tinggi kemampuanmu."

Dari sakunya dia merogoh keluar seekor ular kecil berwarna hijau lalu dengan sengaja mematukkan ibu jarinya ke ujung gigi ular tadi, sampai lama kemudian ia baru menarik kembali jari tangannya seraya berkata:

"Tadi, sudah kau buktikan bahkan arak beracun kelabang tidak mempan terhadapmu, bagaimana kalau kau coba lagi pagutan ular beracunku ini?"

"Sehebat- hebatnya seorang jago silat, mustahil ia mampu mempelajari pelbagai ilmu silat yang ada di kolong langit sekaligus, sebagai seorang ahli racun yang semenjak kecil belajar ilmu beracun, tentu saja gigitan seekor ular beracun tak akan melukaimu hmmm, apa sih anehnya dengan kehebatan tersebut?" jengek Sang Lam- ciau dingin.

"Ooh... jadi maksudmu, kecuali dalam ilmu beracun dalam ilmu silat lainnya kau masih jauh melebihi kemampuanku?"

"Maksudku, segala urusan sepatutnya diselesaikan menurut keadaan yang paling adil, jadi masalahnya bukan diajukan oleh kau sendirian..."

Ia pungut cawan arak yang berada di depannya, meletakkan ke atas meja lalu menekannya dengan telapak tangan kanan, setelah itu lanjutnya:

"Sekarang aku pun ingin mengajukan satu persoalan, bila kau sanggup mengambil cawan arak yang berada di tanganku tanpa membuat isi cawannya tertumpah, aku pasti akan membiarkan dari tanganku digigit oleh ular beracun- mu."

Selesai bicara, dia angkat kembali telapak tangannya yang semula menekan di atas cawan tersebut.

Sekilas pandang, cawan tersebut tidak nampakkan sesuatu yang aneh, cawan itu terietak secara normal di atas meja hanya saja permukaan cawan tadi ternyata sudah melesak masuk ke dalam kayu sehingga bibir cawannya kini rata dengan permukaan meja tersebut

Demonstrasi tenaga dalam yang sangat hebat ini kontan saja mengejutkan hati Li Tiong-hui di samping perasaan kagum yang luar biasa, tak ketinggalan pula si dewa cebol pun secara diam-diam mengagumi kehebatan rekannya itu.

Ketua istana panca racun kelihatan agak tertegun, sampai setengah harian dia tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.

Sementara ia sedang serba salah, mendadak terdengar Nyonya pedang patah hati mendengus dingin sambil mencibir:

"Huuh, hanya permainan sulap pun pingin dipamerkan"

Dengan ujung jari tangannya yang lembut dan putih, ia membuat sebuah lingkaran di sekeliling cawan tadi, lalu dengan jari telunjuk serta ibu jarinya ia jepit bibir cawan tadi kemudian pelan-pelan mencabutnya keluar dari dalam kayu tanpa setitik arak pun yang sempat muncrat keluar. "Hebat, hebat" puji sang Lam-ciau, "Tak disangka ilmu jari kim-kong-ci yang nyonya miliki telah kau latih hingga mencapai tingkat kesempurnaan, luar biasa"

Li Tiong-hui tahu, bila keadaan tersebut dibiarkan berlangsung terus maka semua rencananya akan berantakan, buru-buru dia menimpali:

"ilmu silat yang dimiliki cianpwee sekalian memang rata-rata sangat hebat dan masing-masing mempunyai kelebihan sendiri, aku rasa pertarungan tak usah dilanjutkan lagi, ayoh, terimalah dulu salam hormatku dengan secawan arak ini" selesai bicara, ia teguk habis isi cawannya. Nyonya pedang patah hati tertawa dingin.

"Hmm, kau tak usah kuatir, sebelum berjumpa dengan ibumu, tak nanti aku bertarung dengan siapa pun."

Sambil turut mengangkat cawannya diam-diam seebun Giok-hiong melirik Sang Lam-ciau sekejap. pikirnya:

"Hebat benar ilmu silat tua bangkotan itu, aku mesti memandangnya sebagai salah seorang musuh tangguhku... ehmmm, aku harus mencari akal untuk singkirkan dia terlebih dulu, daripada setelah terjadinya pertarungan nanti, aku harus pecah perhatian untuk mengawasi dia."

Sementara itu Pek si-hiang secara diam-diam juga sedang mengawasi perubahan wajah seebun Giok-hiong, melihat biji matanya yang berputar-putar dan alis matanya yang mengernyit, dia sadar bahwa hawa napsu membunuh gadis tersebut telah bangkit Kepada sang Lam-ciau segera bisiknya: "Locianpwee, kau tidak seharusnya memamerkan kebolehanmu" "Apa kelewat kasar sehingga kurang sedap ditonton?" "Bukan begitu, justru karena kelewat bagus maka

demonstrasimu tadi telah membangkitkan hawa napsu

membunuh orang lain, kau mesti berhati-hati terhadap serangan gelap seseorang."

Terkesiap seebun Giok-hiong sesudah mendengar sindiran itu, segera pikirnya:

"Tak nyana budak busuk tersebut begitu lihay, sehingga apa yang menjadi suara hatiku juga berhasil ditebaknya secara jitu, kelihatannya aku mesti menjagalnya terlebih dulu." setelah mengambil keputusan, sambil tersenyum ujarnya:

"Hey adik Pek. nampaknya kondisi tubuhmu belakangan ini bertambah sehat dan segar."

"Seebun Giok-hiong," ujar Pek si-hiang dengan wajah serius, "sekalipun aku mempunyai kesabaran yang luar biasa, bukan berarti tanpa batas, lebih baik kau jangan kelewat memojokkan posisiku. "

"Aaah, kau kelewat serius" seebun Giok-hiong tertawa terkekeh-kekeh.

Kecerdasan serta pengalaman yang dimiliki Li Tiong- hui memang kalah jauh bila dibandingkan seebun Giok- hiong serta Pek si-hiang, tapi dari tanya jawab yang dilakukan kedua orang itu, dia dapat menarik sedikit kesimpulan maka pikirnya segera:

"Bisa gawat bila seebun Giok-hiong berniat mencelakai Pek si-hiang, lagipula gadis itu tak pandai bersilat, mana mungkin dia sanggup menghadapi gempurannya? Ehmm, untuk menolong situasi, ada baiknya aku sedia payung sebelum hujan... tapi, semua orang yang hadir di sini rata-rata memiliki ilmu silat yang sangat tangguh, kalau tidak dicarikan sebuah akal yang sempurna, rasanya mustahil aku bisa selamatkan jiwanya..."

Sementara dia masih berputar otak mencari akal, mendadak terdengar seseorang membentak dengan suara yang lantang lagi nyaring:

"Sungguh tak kusangka setelah aku mengundurkan diri dari dunia persilatan di daratan Tinggoan, si katak pun pingin jadi pentolan."

Nada pembicaraan orang itu amat tekebur, bahkan diucapkan dengan kata-kata yang tegas dan nyaring, membuat para jago yang hadir dalam arena merasa tergetar hatinya.

Ketika semua orang berpaling, terlihatlah seorang lelaki setengah umur yang memakai jubah kuning, berjenggot putih dan menggembel sebuah pedang di punggungnya sedang berjalan masuk ke dalam ruangan dengan langkah lebar.

Tingkah laku orang itu amat congkak dan jumawa, seakan-akan dia anggap semua jago yang hadir dalam ruangan tersebut hanya patung-patung tak bernyawa. seebun Giok-hiong pun turut berpikir dalam hati kecilnya:

"Siapa pula orang ini? Tapi kalau dilihat lagaknya yang angkuh namun menawan hati, di masa mudanya dulu ia pasti merupakan idaman hati setiap gadis."

Terdengar Nyonya pedang patah hati mengejek sambil tertawa dingini "Bagus, bagus sekali, ternyata si raja pedang yang sudah banyak tahun menyembunyikan diri di luar daratan pun ikut hadir di sini."

"Raja pedang ...?" gumam seebun Giok-hiong. "Benar, dialah raja pedang yang pernah mengobrak

abrik dunia persilatan selama dua puluh tahun dengan segala cerita romantisnya, gara-gara kelewat banyak menghamili perempuan akhirnya dia kabur keluar dari daratan untuk menyembunyikan diri, tak nyana hari ini dia berani muncul kembali di sini..."

Sementara itu pangeran pedang telah muncul di dalam ruangan dengan langkah tergopoh-gopoh memberi hormat di hadapan lelaki setengah umur tadi sambil berseru: "Menyambut kehadiran ayahanda ..."

"Tidak usah banyak adat"

"Apakah ibunda juga turut datang?"

"Yaa, ibumu telah tiba di luar pendopo, pergi, sambutlah kedatangannya..."

Pangeran pedang menyahut dan buru-buru meninggalkan ruang pendopo itu.

Postur maupun perawakan kedua orang ini memang berbeda sekali, kalau raja pedang meski telah berusia setengah urnur namun masih memiliki daya tarik yang luar biasa terutama bagi kaum wanita, sebaliknya pangeran sedang memiliki perawakan badan yang tinggi besar dan sama sekali tidak menarik. sehingga boleh dibilang ia tak cocok menjadi keturunan seorang lelaki romantis. Sementara para jago masih sangsi, tampak pangeran pedang telah muncul kembali sambil menggandeng tangan seorang perempuan yang berperawakan tinggi besar, berpinggang lebar,wajah lebar dengan telinga besar serta rambut yang disanggul dengan sekuntum bunga merah menghiasi rambutnya.

Dengan perasaan tertegun pikir Lim Han- kim: "Beginikah tampang istri si raja pedang yang tersohor

itu? seandainya dia seorang pria, waah ... orang itu pasti

jauh lebih angker dan menakutkan ..."

Kedengaran perempuan tinggi besar itu segera berkoar begitu masuk ke dalam ruang pendopo:

"Hei suamiku, jauh-jauh kita datang kemari, masa sebuah bangku tempat duduk pun tidak tersedia buat kita?"

Biarpun perawakan tubuhnya tinggi besar dan kasar, ternyata perempuan itu mempunyai suara yang lembut dan halus, berbeda jauh bila dibandingkan dengan badannya. Raja pedang segera tertawa terbahak-bahak:

"Hahahaha... benar juga perkataan permaisuri, hey siapa ketua penyelenggara pertemuan ini?"

"Ada apa kau mencari aku?" sapa Li Tiong- hui sambil pelan-pelan bangkit berdiri Raja pedang tersenyum

"Jauh-jauh dari seberang lautan aku bersama permaisuri dan pangeranku datang menghadiri pertemuan puncak ini, masa tempat duduk pun tidak kau siapkan untuk kami?" Berdebar keras detak jantung Li Tiong-hui setelah mendengar gelak tertawanya yang begitu nyaring menusuk pendengaran, pikirnya segera:

"Tak heran orang ini disebut iblis cinta yang menggemparkan seluruh dunia persilatan, ternyata ia betul-betul memiliki daya pikat yang luar biasa, untung senyumannya terjadi saat ini, coba kalau hal ini berlangsung dua puluh tahun berselang, mungkin nyawaku sudah ikut terbetot hingga aku rela takluk dan menuruti semua perintahnya."

Walaupun berpikir demikian, sahutnya juga: "Bukankah di meja perjamuan sebelah sana masih ada

tempat kosong? Duduk saja sendiri"

"Tidak. aku ingin duduk pada meja perjamuan yang terpisah." Raja pedang menampik, Li Tiong-hui berpikir sejenak. akhirnya ia berpaling dan perintahnya kepada Tui-im:

"Tambahkan satu meja khusus untuk keluarga mereka"

Tui-im menyahut dan segera beranjak pergi dari situ.

Sementara itu wanita tinggi besar tadi telah menarik tangan putra pangerannya sembari bertanya:

"Apakah nona ini yang kau maksudkan?"

"Benar, memang nona ini yang kumaksud, cuma yang ananda harapkan adalah bisa mengawini ketiga orang nona yang duduk dalam perjamuan itu sekaligus."

Kini, semua jago yang hadir dalam ruang pendopo telah paham, apa sebabnya pangeran pedang memiliki postur badan yang jauh berbeda daripada ayahnya yang tersohor sebagai iblis cinta ini, rupanya dia dilahirkan oleh seorang ibu yang berperawakan menyeramkan.

Terdengar perempuan tinggi besar itu berseru:

"Baik, kita pinang ketiga-tiganya untukmu" Mendengar ucapan tersebut semua jago ya hadir dalam ruang pendopo sama-sama tertegun, pikirnya:

"Luar biasa, enak amat cara perempuan itu berbicara, dia tak menyangka kalau ketiga orang nona itu justru merupakan manusia-manusia yang paling susah dihadapi dalam dunia persilatan saat ini. Mungkin saja Li Tiong-hui dan Pek si-hiang yang berwatak lembut tidak memberikan reaksinya, tapi seebun Giok-hiong... iblis wanita ini bertabiat kasar dan berangasan, ucapan tersebut pasti akan membangkitkan hawa amarahnya..."

"Terima kasih ibu permaisuri" Terdengar pangeran pedang menyambut tanggapan dari ibunya dengan penuh antusias.

Ditinjau dari wajahnya yang berseri-seri penuh keriangan, seolah-olah dianggapnya apa yang telah disetujui ibunya pasti akan kesampaian.

Dalam pada itu, perempuan tinggi besar itu telah berkata lagi dengan suara lantang:

"Hey suamiku, tampaknya tidak sia-sia perjalanan jauh kita ke daratan Tionggoan kali ini, coba lihat kita berhasil mencarikan gundik muda untuk putra kesayangan kita."

Raja pedang mendehampelan, belum sempat memberikan sesuatu tanggapan, Tui-im dengan membawa dua orang lelaki berbaju hijau telah muncul dengan menggotong sebuah meja baru dan dengan cepat meja perjamuan baru telah disiapkan.

Setelah berada dalam ruang pendopo beberapa saat, raja pedang telah memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengamati situasi di seputarnya, ketika menyaksikan begitu banyak jago tangguh dari dunia persilatan hadir di situ, sikap angkuhnya yang semula menghiasi wajahnya seketika hilang lenyap.

Dengan cepat perempuan tinggi besar itu bersama putranya berjalan menuju ke meja perjamuan yang tersedia dan mengambil tempat duduk.

Begitu pula dengan si raja pedang, sambil mengambil tempat duduk. bisiknya:

"Tak nyana dalam pertemuan kali ini, begitu banyak jago tangguh dari seluruh penjuru dunia telah berkumpul di sini, sebelum mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya, lebih baik hindari semua pertikaian dan bentrokan phisik dengan orang lain, mengerti?"

Pangeran pedang melirik ibunya sekejap. kemudian mengangguk. menundukkan kepala dan tidak berbicara lagi,

Sebaliknya perempuan tinggi besar itu nampak sangat tak puas dengan nasehat suami-nya, tiba-tiba ia menggebrak meja keras-keras sambil berteriak:

"Apa yang perlu kita takuti? Hmmm, siapa berani macam-macam dengan kita, akan kujagal dirinya terlebih dulu"

Teriakan itu sifatnya bergumam, seolah-olah berbicara sendiri dan tidak tertuju kepada siapa pun, tapi ratusan pasang mata para jago yang hadir dalam ruang pendopo serentak ditujukan ke arahnya.

Begitu- juga seebun Giok-hiong yang sudah terbakar oleh emosi dan hawa amarah sejak tadi, meski suara hatinya ingin turun tangan, namun ia tetap berusaha mengendalikan diri, Bisiknya kepada Nyonya pedang patah hati: "siapa sih perempuan aneh yang kasar dan tinggi besar itu?"

"Raja wanita penakluk harimau"

"Rasanya belum pernah kudengar nama sebutan itu?" "Tak seorang manusia pun mengetahui asal usulnya,

ada orang mengatakan ia adalah penduduk daratan Tionggoan yang sejak kecil hidup di daerah Lam- hay, meskipun postur badannya kasar dan tinggi namun ilmu silat yang dimilikinya terhitung sangat tinggi dan tangguh."

"Nyonya pernah bertarung melawannya?"

(54. Pertempuran Babak Pertama)

"Biarpun belum pernah bertarung sendiri, tapi sudah banyak kudengar orang menceritakan tentang kehebatan ilmu silatnya..." sesudah berhenti sejenak, kembali tambahnya:

"Kalau ilmu silat yang dimilikinya tidak hebat dan luar biasa, bagaimana mungkin bisa menjadi istrinya si raja pedang yang gila perempuan?" "Hampir setengah abad lamanya raja pedang malang melintang di dalam dunia persilatan dengan meninggalkan banyak sekali kejadian-kejadian romantis, sekarang, justru perempuan jelek macam begitu yang menjadi istri sahnya, itu namanya kualat, memang dia mesti makan karma tersebut."

Nyonya pedang patah hati tertawa dingin "Semenjak meninggalkan daratan Tiong-goan dan

hidup mengasingkan diri di Lam-hay, belum pernah satu

kali pun ia balik kemari, tak nyana hari ini dia datang lagi ke daratan, tampaknya besar juga nyali orang ini."

"Kenapa? Apa si raja pedang punya banyak musuh di sini?"

"Dengan wajahnya yang ganteng, ilmu silatnya yang tinggi, ditambah lagi orangnya tak mau terikat dan hidup dalam suasana percintaan bebas, entah berapa banyak peristiwa menghebohkan pernah ia buat di sini, orang persilatan memandang dia sebagai duri dalam pelupuk mata, siapa saja berharap bisa mengenyahkan dirinya dari muka bumi."

"Jadi nyonya pun amat membencinya?" tanya seebun Giok-hiong sambil tertawa.

"Bukan cuma aku, saya yakin setiap manusia di dunia ini pasti membenci lelaki cabul semacam itu, bila ada kesempatan emas untuk membunuhnya, aku tak akan melepaskan peluang tersebut."

Meski tidak memberikan tanggapan apa pun, dalam hati kecilnya Seebun Giok-hiong berpikir: "Aku rasa, kejadiannya tak mungkin sesederhana itu... tentu ada udang di balik batu"

Dalam pada itu Li Tiong-hui telah bangkit berdiri, angkat cawan araknya dan berseru lantang:

"Aku merasa bersyukur dan berterima kasih sekali atas kesediaan saudara-saudara sekalian untuk menghadiri pertemuan puncak di gunung Hong-san kali ini, sebagai tanda rasa terima kasihku yang besar, terimalah sulangan secawan arakku ini..." selesai bicara, ia segera meneguk habis isi cawannya.

Kata-katanya yang halus, lembut, penuh sopan santun amat mengesankan para jago yang hadir dalam ruang pendopo saat itu, termasuk juga seebun Giok-hiong pribadi, tanpa terasa banyak orang ikut mengangkat cawan masing-masing dan meneguk habis isinya.

"Li Tiong- hui" seru Seebun Giok-hiong kemudian sambil tertawa dingin ,"Masih ada tidak bala bantuanmu yang belum tiba di sini?"

"Raja pedang beserta keluarganya bukan termasuk kelompok yang mendukung pihakku, cici, apa kau anggap aku sedang menggelar siasat dengan sengaja mengulur-ulur waktu?"

"Kalau memang sudah tiada bala bantuan yang diharapkan, lebih baik kita mulai bertarung"

"Enci seebun, apa kau tak tenang untuk makan di sini?" sindir Pek si-hiang tiba-tiba sembari tertawa hambar

"Hmmm Bila saat pertarungan sudah dimulai nanti, pertama-tama aku harus menjajal dulu ilmu silat kursus kilat yang adik Pek pelajari selama ini, pingin tahu seberapa hebat sih kepandaian yang kau pelajari itu."

Pek si-hiang menghela napas panjang:

"Haaai... enci seebun tak usah kelewat memojokkan posisiku, sampai waktunya aku pasti akan melayani keinginanmu itu ..."

Berubah hebat paras muka seebun Giok-hiong, namun ia tidak banyak bicara lagi.

Terhadap Pek si-hiang, seebun Giok-hiong memang menaruh perasaan ngeri yang tak terhingga, walaupun dalam pembicaraan dia selalu berusaha mengejek dan memojokkan posisi gadis tersebut, padahal dalam hati kecilnya ia benar-benar merasa amat takut Kembali Li Tiong- hui memenuhi cawannya dengan arak. lalu katanya:

"Enci seebun, ada beberapa persoalan ingin kutanyakan kepadamu, bersediakah kau memberi jawaban?"

"Katakan saja cepat Mumpung masih ada kesempatan untuk bertanya, gunakan sebaik-baiknya, sebab setelah pertarungan berkobar nanti, kau sudah tak punya waktu lagi untuk berbuat itu"

"Dengan membawa begitu banyak jagoan cici datang meluruk tempat tinggalku, sebenarnya tujuanmu hanya ingin membalaskan dendam atas kematian orang tuamu atau masih ada maksud lain, seperti misalnya ingin merebut kedudukan Bu-lim Bengcu?" "Selain membalaskan dendam sakit hati orang tuaku, kedudukan Bu-lim Bengcu pun aku berhasrat untuk merebut serta mendapatkannya"

"Cici, sebagian besar pembunuh orang tuamu telah hadir dan berkumpul semua di sini, memang inilah kesempatan terbaik buat cici untuk membalas dendam, sedang mengenai posisi seorang Bu-lim Bengcu, seandainya cici berhasrat dengan senang hati kedudukan tersebut akan kupersembahkan kepadamu."

Seebun Giokshiong tertawa dingin.

"Aku tak sudi menjabat sebuah kedudukan tinggi yang diperoleh dengan gampang, kedudukan tersebut harus kurebut dengan mengandalkan tenaga, pikiran serta kemampuanku sendiri, aku ingin seluruh umat persilatan betul-betul tunduk dan takluk seratus persen kepadaku, mau turuti semua perintahku dengan iklas dan takluk. aku tak ingin kedudukan Bu-lim Bengcu yang kupangku nanti diperoleh secara kebetulan seperti dirimu."

"Kalau begitu, kecuali terjadi suatu pertarungan habis- habisan aku sudah tidak mempunyai pilihan lain lagi?"

Seebun Giok-hiong tertawa hambar.

"Jadi kau anggapjauh-jauh aku membawa rombongan besarku datang kemari hanya bermaksud untuk mengajak kau bergurau?"

"Aaai... bila cici sudah berketetapan begitu, aku tak ada jalan lain kecuali melayani keinginanmu"

Sementara pembicaraan berlangsung, hidangan mengalir masuk ke ruangan tiada henti nya. "Cici." Kembali Li Tiong- hui berkata sambil menyumpit hidangan, "silakan mengisi perutmu dengan sedikit hidangan yang ada, daripada kau kehabisan tenaga bila harus bertempur nanti."

"Aku rasa, di lain waktu masih cukup banyak kesempatan untuk menikmati hidangan, kenapa aku mesti buang waktu dengan percuma?"

"Jadi cici sudah menemukan cara terbaik untuk melangsungkan pertarungan ini?" tanya Li Tiong- hui sambil meletakkan kembali sumpitnya ke meja.

"Aku rasa cara terbaik untuk melangsungkan pertarungan ini adalah langsung bertempur dengan mengandalkan kemampuan serta kekuatan masing- masing, kenapa harus dicari jalan lain yang merumitkan?"

"Maksudku, dengan cara bagaimana kita akan melangsungkan pertarungan ini?"

"Menurut pendapatmu? "

"Kita akan bertempur partai demi partai, babak demi bahak. atau bertarung secara massal ?"

"Kalau soal itu sih kau putuskan saja sendiri"

"Heran amat orang ini," pikir Li Tiong-hui dalam hati, "Padahal dia sudah mempunyai rencana, kenapa tidak dikemukakan secara blak-blakan?"

Ia mencoba memperhatikan situasi dalam perjamuan tampak Pek si-hiang sedang memandang ke empat penjuru dengan pandangan santai, seakan-akan ia sama sekali tidak mendengarkan pembicaraan mereka berdua. Seebun Giok-hiong mengangkat cawannya sambil meneguk habis isinya, kemudian baru ujarnya:

"Sebagai seorang tamu, kurang pantas bagiku untuk mendahului tuan rumah, jadi lebih baik kau saja yang memberikan usulan serta keputusannya kujamin usulanmu tak bakal kutampik, satu-satunya harapanku adalah pertarungan bisa segera diselenggarakan sehingga sebelum malam hari tiba nanti, siapa menang siapa kalah sudah ada keputusannya"

"Bagus sekali, kalau toh cici sudah memberi mandat kepadaku untuk mengambil keputusan akupun akan segera beberkan semua perencanaanku. Aku rasa, meskijumlah kedua belah pihak sangat besar dan banyak. bukan berarti semua orang harus turun tangan dalam kancah pertarungan ini..."

Belum habis perkataan itu diucapkan seebun Giok- hiong telah menukas sambit tertawa terkekeh-kekeh:

"Pihak siau-Iim-pay lelah menggetar formasi Lo-han- tin di muka pendopo sana, formasi semacam itu termasuk pertarungan satu lawan satu atau pertarungan keroyokan?"

"Tentu saja pertarungan seperti itu termasuk pertarungan keroyokan." jawab Li Tiong-hui eepat, sementara dalam hatinya berpikir.

"Seebun Giok-hiong benar-benar sangat hebat, ternyata ia tahu kalau pihak siau-Iim-pav telah menggelar formasi lo-han-tin di depan pendopo sana..."

Terdengar seebun Giok-hiong berkata lagi: "Aku harus kemukakan juga sebuah pandanganku yakni selama aku bertarung melawan seseorang, selama ini aku mempunyai suatu pandangan yang jauh berbeda dengan pandangan orang biasa, terlepas jalan licik atau cara keji macam apa pun yang hendak dilakukan asal bisa menaklukkan pihak lawan, hal ini sudah kuanggap sebagai suatu kemenangan."

"Ehmm, jalan pemikiranmu itu memang cukup adil," sindir Pek si-hiang.

"Tentu saja adil, apakah nona Pek tidak puas dengan pandanganku ini?"

Pek si-hiang angkat wajahnya melihat waktu, kemudian kepada Li Tiong-hui katanya:

"Kini semua jago yang ingin hadir dalam pertemuan puncak ini telah hadir, aku rasa kita pun tak usah menunggu lebih lama, kalau memang nona seebun sudah tak sabar menunggu, apa salahnya bila pertarungan akbar segera kita buka?"

Li Tiong-hui mengiakan, bangkit berdiri, memandang parajugo sekejap lalu tanyanya: "Apakah saudara sekalian sudah makan kenyang?"

"Sudah" sahut para jago serentak.

"Nona seebun sudah tak sabar menanti, karena itu bila ada di antara saudara sekalian belum puas minum arak. minumlah dulu sepuasnya, bila belum puas makan, isilah perut Anda sekenyangnya. Bila sudah cukup puas, mari kita keluar daripendopo, di sana sudah tersedia lapangan yang cukup luas untuk melangsungkan pertarungan kita dapat segera melangsungkan pertarungan yang telah kita nanti-nantikan selama ini."

Serentak para jago bangkit berdiri, keluar dari ruang pendopo menuju ke lapangan yang telah tersedia.

Biarpun sebagian besar jago sudah keluar dari ruangan, ternyata para tokoh yang duduk semeja dengan seebun Giok-hiong masih tetap duduk tak bergerak di tempat semula.

Karena perempuan itu tidak bangkit berdiri, nyonya pedang patah hati, Ngo-tok Kiong-cu serta Thia-sik-kong juga tidak turut bangkit dari tempat duduknya.

Sang Lam-ciau, Pek si-hiang serta si Dewa cebol Cu Gi ikut tidak bangkit juga dari tempat duduknya.

Menyaksikan hal ini, dengan perasaan keheranan Li Tiong- hui berpikir.

"Aneh betul perempuan ini, tadi ia mendesak terus untuk segera dilangsungkan pertarungan sekarang dia malah duduk tak bergerak dari posisinya, aneh apa- apaan dia ini?"

Berpikir sampai di sini, dia pun berseru:

"Mari enci seebun, semua orang sudah menanti"

Seebun Giok-hiong menyapu sekejap ke seluruh ruangan, benar juga, semua jago telah meninggalkan ruang perjamuan kecuali keluarga si raja pedang yang masih tetap duduk di tempat semula,

Melihat pangeran pedang mengawasi wajahnya terus dengan mata melotot, kontan saja amarah seebun Giok- hiong berkobar, sambil tertawa dingin serunya: "Apa yang kamu pelototkan terus? Hati-hati kucongkel keluar biji matamu" Pangeran pedang tidak marah, pun tidak memberi komentar, dia hanya tersenyum.

Agaknya Pek si-hiang sudah bisa menebak isi hati seebun Giok-hiong, tiba-tiba sindirnya sambil tertawa hambar:

"Cici seebun apakah kau enggan meninggalkan ruangan ini karena masih ada diriku di sini?"

"Benar, aku rasa persoalan di antara kita berdua harus segera diselesaikan daripada Li Tiong-hui turut campur di dalam masalah ini."

"Apanya yang perlu diselesaikan?" tanya Li Tiong-hui keheranan.

"Hanya urusan pribadi kami berdua, lebih baik kau tak usah turut campur" sambil tersenyum Pek si-hiang berkata pula:

"Enci seebun kuatir aku mengaturkan strategi bagimu dalam pertarungan nanti hingga merepotkan pihaknya, oleh karena itu dia bermaksud menghabisi nyawaku lebih dulu."

"Ternyata kau memang amat pandai" puji seebun Giok-hiong sambil tertawa dingin.

Mendadak dayang berbaju hijau yang berada di belakangnya mencabut keluar sebilah pedang yang berada di bahunya, kemudian dengan kecepatan luar biasa menerjang ke arah Pek si-hiang sambil melepaskan sebuah tusukan maut. Buru-buru Li Tiong-hui memberi tanda, si Sukma Murung yang berada di belakangnya segera menyahut, melepaskan sebuah pukulan dahsyat dan berdiri menghadang di muka Pek si-hiang.

"Minggir kamu" hardik dayang berbaju hijau itu sambil tertawa dingin.

"Hmmm, tidak semudah itu..." jengek Sukma Murung sinis.

Dayang berbaju hijau itu membentak nyaring, pedangnya diputar dua kali di tengah udara, mendadak sasarannya berubah, kali ini dia tusuk dada Sukma Murung dengan kecepatan bagaikan kilat

Sukma Murung sama sekali tidak meloloskan senjatanya dengan pukulan dahsyat yang dilepaskan tangan kirinya dia tahan serangan pedang yang tiba, dengan kelima jari tangan kanannya yang setengah ditekuk berbentuk cengkeraman ia balas mengancam pergelangan tangan kanan dayang tersebut.

Melihat dayangnya yang pertama sudah dihadang Sukma Murung, seebun Giok-hiong segera memberi tanda kepada tiga orang dayang lainnya sambil berseru:

"Kalian serentak maju bersama"

"Li Tiong-hui tak mau kalah, dia pun memberi tanda kepada si Dewa buas yang berbaju merah, iblis jahat yang berbaju hijau dan setan gusar yang berbaju kuning untuk serentak maju bersama menyongsong kedatangan ketiga orang dayang tadi. Dalam waktu singkat delapan orang terbagi dalam empat partai terlibat dalam suatu pertarungan yang amat seru dalam ruang pendopo itu.

Kepada Ngo-tok Kiongcu yang duduk di sisinya, seebun Giok-hiong kembali berseru:

"Kiongcu, sudah saatnya untuk pamerkan kebolehanmu"

Rupanya meski seebun Giok-hiong tidak percaya kalau Pek si- hiang bisa melatih sejenis ilmu silat yang maha sakti dalam waktu relatif singkat, namun di hati kecilnya tetap muncul suatu perasaan takut yang luar biasa, dia kuatir bila apa yang dikatakan Pek si-hiang merupakan suatu kenyataan maka kesulitan yang bakal dihadapi pasti akan bertambah besar.

Itulah sebabnya walau pertarungan sudah berlangsung ia masih segan untuk turun tangan sendiri. Di antara keempat orang jagoan dari kubu seebun Giok- hiong, ilmu silat yang dimiliki Ngo-tok Kiongcu terhitung yang terlemah, namun ilmu beracun serta binatang beracunnya susah dilawan dan dihadapi siapa pun.

Dalam keadaan demikian, ia berharap Pek si-hiang bisa diracuni oleh jagoannya itu entah dengan cara apa pun, asalkan korbannya bisa dilenyapkan dalam waktu singkat, dengan matinya Pek si-hiang maka situasi pasti bisa dikendalikan olehnya.

Tentu saja Ngo-tok Kiongcu tidak mengerti latar belakang tersebut, lagipula dia pun tak pernah memandang sebelah mata pun atas kemampuan yang dimiliki gadis tersebut, Rengeknya sambil tertawa dingini "Bocah perempuan, tadi kau enggan meneguk habis arak beracunku, bagaimana kalau sekarang kau saksikan kehebatan binatang beracunku yang lain?"

"Lebih baik jangan terburu napsu dulu" jawab Pek si- hiang sambil menggeleng.

"Pesan terakhir apa yang ingin kau sampaikan? Ayoh cepat diutarakan"

Pek si-hiang tertawa dingin.

"Seebun Giok-hiong" ejeknya dingin, " Kenapa kau tak berani turun tangan sendiri terhadapku? sudah tahu kalau serangan terhadapku bisa mengakibatkan kematian, kenapa kau suruh orang lain menyambung nyawa untukmu?" seebun Giok-hiong tersenyum.

"Tidak kusangka dengan tubuh yang lemah gemulai, nada bicaramu sombongnya luar biasa, kau tahu nama besar Kiongcu sudah tersohor sampai di mana-mana, dengan mengutarakan pembicaraan semacam itu, sama artinya kau tak pandang sebelah mata pun atas kemampuannya . "

"Nampaknya makin lama watakmu semakin rusak. kau anggap aku tak sanggup menghabisi nyawamu?" bentak Pek si-hiang marah.

Sementara itu Ngo-tok Kiongcu sudah mengeluarkan seekor ular berbisa yang siap diluncurkan ke arah gadis tersebut, hatinya tergerak begitu selesai mendengar tanya jawab kedua orang tadi, tanpa terasa pikirnya:

"Betul juga perkataan budak ini, kalau nona ini kelewat gampang untuk dihadapi, kenapa seebun Giok- hiong tidak turun tangan sendiri untuk menghadapinya, malahan aku yang disuruh menghadapi dia? Hmmm, aku tak boleh nyerempet bahaya demi kepentingan orang lain"

Berpikir sampai di sini, dia pun urungkan niatnya untuk turun tangan.

Pek si-hiang menyapu sekejap wajah Ngo-tok Kiongcu, lalu katanya lagi dengan suara dingin:

"Seebun Giok-hiong bisa meminta kepadamu untuk turun tangan menghadapiku, aku rasa kau pasti memiliki suatu kepandaian yang hebat, kenapa tidak kau cobakan sekarang untuk menghadapiku? "

Berubah hebat paras muka Ngo-tok Kiongcu setelah mendengar perkataan ini, alis matanya bekernyit, hawa napsu membunuh menyebar menyelimuti seluruh wajahnya, dalam hati ia berpikir.

"Sehebat- hebatnya ilmu silatmu, tak mungkin kau bisa menghabisi nyawaku hanya dalam satu kali gempuran, kelewat jumawa perkataannya ini... Hmm, sekarang kau telah memojokkan posisiku dengan perkataan tajam, bila aku tetap enggan turun tangan, orang lain pasti akan menertawakan ketidak becusanku."

Berpikir begitu ia pun berseru sambil tertawa dingini "Baiklah, bersiap-siaplah menerima seranganku"

Dengan pandangan tajam seebun Giok-hiong mengawasi gerak gerik kedua orang itu, dia ingin menyaksikan siapa yang keluar sebagai pemenang dalam pertarungan tersebut

Belum lagi Ngo-tok Kiongcu melepaskan makhluk beracunnya untuk melancarkan serangan, tiba-tiba ia saksikan Pek si-hiang malahan memejamkan matanya seolah-olah tidak perduli dengan dirinya, tindak tanduk gadis tersebut kontan memancing rasa keheranan dalam hati kecilnya.

"Aneh benar budak ini." Demikian ia berpikir "Bukannya bersiap-siap menerima se-rangan, kenapa ia malahan pejamkan matanya rapat-rapat? Apa-apaan dia?" Tampak Pek si-hiang masih dengan mata terpejam bergumam:

"Manusia hanya bisa mati satu kali, bila kau tak kuatir menghadapi kematian, silakan saja melepaskan serangan terhadapku"

Sepanjang hidup, belum pernah Ngo-tok Kiongcu menjumpai lawan seperti ini, bersikap begitu tenang dan mantap walaupun ancaman telah berada di depan mata, justru karena keanehan sikap lawannya, kembali dia mengurungkan niatnya untuk melepaskan serangan.

"Nona seebun," tanyanya tiba-tiba, "Permusuhan apa sih yang terjalin antara kau dengan dirinya?"

"Sebetulnya tak ada permusuhan khusus antara kami berdua, tapi sekarang, posisi kita kan sudah berhadapan sebagai musuh, ini berarti kalau bukan dia yang mati, kaulah yang mampus, oleh sebab itu Kiongcu boleh turun tangan sesuka hati, tak perlu sungkan-sungkan lagi..."

Ngo-tok Kiongcu tertawa hambar.

"Budak ini sesumbar dengan mengatakan sanggup merobohkan musuhnya hanya dalam satu kali pukulan, entah ancamannya ini benar atau tidak?" Tampaknya sikap Pek si- hiang yang begitu tenang justru mendatangkan perasaan sangsi dan curiga bagi Ngo-tok Kiongcu, oleh sebab itu ia tak ingin turun tangan secara gegabah.

Melihat suasana berubah jadi kaku dan nampaknya bila tak segera dilerai maka pertarungan tak bisa dihindari, Li Tiong-hui tersenyum sambil katanya:

"Enci seebun, oleh karena Anda sendiri segan menyerempet bahaya, aku lihat saudara ketua dari istana panca racun pun tak berniat adu nyawa dengan percuma, aku rasa lebih baik kita geser dulu ke halaman luar, di situ kita bisa menggunakan segenap kemampuan yang dimiliki untuk beradu kepandaian sekalian disaksikan segenap anggota dunia persilatan yang telah menunggu di sana."

"Perkataan Li Bengcu sangat tepat." Ketua istana panca racun segera menimpali, "Kalau toh pertarungan tak bisa dihindari, lebih baik kita tentukan menang kalah dalam suatu pertarungan resmi."

Sebenarnya seebun Giok-hiong berniat melukai Pek si- hiang lebih dulu sebelum meninggalkan ruang pendopo agar dalam pertarungan nanti ia bisa lebih berkonsentrasi untuk menghadapi kawanan jago lainnya, dalam perhitungannya, asal gadis tersebut dapat dirobohkan maka seluruh umat persilatan bisa dibuat gempar atau paling tidak timbul rasa ngeri mereka terhadap dirinya, maka dengan manfaatkan kesempatan tersebut dia bisa melukai mereka untuk selanjutnya menghabisi perkampungan keluarga Hong-san dan membalaskan dendam bagi kematian orang tuanya. Asalkan umat persilatan bisa dikalahkan akan terbukalah peluang baginya untuk merebut kedudukan sebagai ketua dunia persilatan

Siapa tahu apa yang kemudian terjadi sama sekali di luar perhitungan, sikap tenang Pek si-hiang justru membuat keder ketua istana panca racun hingga mengurungkan niatnya untuk turun tangan

Menyaksikan hal tersebut, dengan suara dingin seebun Giok-hiong pun berkata:

"Adik Pek. pengorbananmu kelewat besar, maka ada baiknya kau bersikap lebih berhati-hati di kemudian hari."

Warna semu merah mulai menghiasi wajah Pek si- hiang, nampaknya gadis ini agak naik darah, sahutnya:

"Tampaknya walaupun aku enggan membunuh orang tapi ada seseorang justru berusaha memojokkan terus posisiku, hmmm, nampaknya aku harus membunuh beberapa orang lebih dulu sebelum memuaskan hatimu."

Seorang gadis lemah lembut yang semula berwajah pucat pias seperti mayat, tiba-tiba berubah begitu kaku dan keras hati bahkan sinar matanya memancarkan cahaya yang menggidikkan hati, perubahan drastis ini segera mengejutkan banyak orang.

Seebun Giok-hiong adalah seorang tokoh silat yang cukup berpengalaman dari sikap serta mimik muka yang diperlihatkan Pek si-hiang saat ini, ia sadar bahwa gadis tersebut bukan lagi gertak sambal saja, tapi ia benar- benar mampu membunuh seseorang hanya dalam satu kali gempuran, bahkan dari sinar matanya yang begitu tajam, ia pun dapat menangkap bahwa gadis tersebut benar-benar telah mempelajari sejenis ilmu silat yang amat tangguh. Melihat gelagat yang sangat tidak menguntungkan ini, buru-buru ia berteriak keras: "Tahan"

Keempat orang dayangnya serentak menghentikan serangannya, begitu pula dengan ke-empat iblis yang siap bertarung, yaitu si Dewa buas, iblis Jahat, Setan Gusar serta Sukma Murung.

"Kita menuju ke lapangan pertarungan lebih dulu" Kembali perintahnya.

Sementara mengayunkan langkahnya menuju ke lapangan di luar pendopo, dalam hati kecilnya Seebun Giok-hiong memeras otak mencari akal bagaimana caranya menghadapi Pek Si-hiang, ia tahu situasi yang dihadapinya saat ini teramat kritis, itu berarti bila ia gagal menghabisi gadis tersebut secara terang-terangan, maka ia mesti membokong-nya secara gelap.

Yang dimaksudkan sebagai lapangan pertarungan tak lebih hanya sebuah lapangan rumput yang tak terlalu luas, di sekelilingnya terhadap bentangan tali yang membentuk arena dengan deretan bangku berjajar di luar garis arena tersebut.

Dalam pada itu, sekeliling arena telah dipadati kawanan jago yang siap mengikuti jalannya pertarungan tersebut, masing-masing golongan membentuk grupnya sendiri hingga mana golongan musuh dan mana golongan teman terlihat jelas sekali.

"Enci Seebun, silakan menempati kursi utama" kata Li Tiong- hui kemudian sembari memberi hormat. Seebun Giok-hiong memutar pandangan matanya memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, kemudian pelan-pelan berjalan menuju ke arah barat dan mengambil tempat duduk di sana.

Nyonya pedang patah hati, ketua istana panca racun serta Thia sik-kong sekalian masing-masing menempatkan diri pula di samping gadis tersebut.

Karena pihak lawan telah mengambil posisinya di sebelah barat, maka Li Tiong-hui dengan memimpin pasukannya menempatkan diri pada posisi sebelah timur Li Tiong-hui melirik Pek si-hiang sekejap. lalu bisiknya: "Nona Pek, apakah kau ingin duduk dipihakku?" Pek si- hiang manggut-manggut.

"Bila aku duduk kelewat jauh dari sisimu bagaimana caramu menghadapi seebun Giok-hiong?"

Biarpun dalam hati kecilnya Li Tiong-hui kurang senang atas perkataan tersebut, namun ia sadar bahwa apa yang dikatakan gadis tersebut memang suatu kenyataan, maka sahutnya kemudian sambil tersenyum:

"Baiklah, silakan nona Pek duduk di sisiku dan membantu aku menghadapi serbuan musuh."

Maka kedua orang gadis tersebut duduk bersanding pada kursi utama.

Dalam pada itu kawanan jago juga telah menempatkan diri masing-masing, suasana berubah jadi sangat hening kecuali suara angin yang berhembus sepoi-sepoi.

"Nona Pek. apa yang harus kita lakukan sekarang?" bisik Li Tiong- hui kemudian. "Serbuan tentara harus dibendung dengan panglima, lihat dulu siapa yang di terjunkan seebun Giok-hiong dalam babak pertama nanti, kemudian kita baru memilih orang yang tepat untuk menghadapinya."

Sementara kedua orang itu sedang berbincang- bincang, seebun Giok-hiong telah berseru lantang:

"Li Bengcu, kita boleh mulai bertarung bukan?" "Katakan saja apa kehendakmu aku pasti akan

menuruti keinginanmu"

"Tidak baik tamu mendahului tuan rumah silakan Li Bengcu utarakan keinginanmu"

"Akh, jangan Bagaimana pun juga cici adalah tamu undanganku, tidak baik tuan rumah berebut dengan tamunya, lebih baik cici saja yang mengutarakan kehendakmu." seebun Giok-hiong termenung dan berpikir sejenak, akhirnya dia berkata:

"Apa artinya usulan yang kuajukan nanti bakalnya juga ditolak mentah-mentah oleh Li Bengcu? Aku rasa, lebih baik kau yang mengajukan prasyaratnya."

Belum sempat Li Tiong- hui mengucapkan sesuatu, Pek si-hiang telah mendahului. "Jangan kau sanggupi keinginannya, kau bakal terjebak oleh siasat busuknya"

"Kenapa? Masa kita harus perlihatkan kelemahan sebelum pertarungan dilangsungkan?"

"Bila kau termakan oleh jebakan busuknya hingga mengucapkan janji, maka sesal kemudian tak ada gunanya, lebih baik tolak mentah-mentah usulannya itu."

"Jadi kau sudah tahu apa yang bakal dia katakan?" "Seandainya ia mengajukan alasan agar korban yang jatuh pada kedua belah pihak tidak terlalu parah maka lebih baik urusan diselesaikan oleh kedua belah pihak pimpinan tertingginya, apa kau akan menyetujui?"

Li Tiong-hui termangu, sampai lama kemudian baru sahutnya: "Terima kasih banyak atas nasehat dan petunjukmu"

"Bagi dirinya, kedua belah pihak telah saling berhadapan sebagai musuh, berarti kalau bukan dia mati tentu kau yang hidup, pihak mana pun tak rela melepaskan setiap peluang yang ada untuk meraih kemenangan, jadi hadapi saja perempuan itu dengan segenap kemampuan yang kau miliki, kita pasti punya cara untuk membendung serta menghadapi gempurannya . "

Selesai mendengar perkataan itu, Li Tiong-hui berpikir di dalam hati:

"Betul juga ucapan ini, bukan saja bisa menjaga kehormatanku, lagipula kita bisa hadapi mereka dengan lebih luwes dan lentur"

Ketika sampai lama sekali belum kedengaran suara jawaban dari Li Tiong-hui, sambil tertawa dingin Seebun Giok-hiong mengejek:

"Li Bengcu, kenapa tiba-tiba membungkam? ingin membatalkan pertarungan ini?"

"Perkataan enci Seebun kelewat serius, bila aku benar- benar keder dan ciut hati terhadapmu tak nanti aku berani memusuhimu hingga kini." Diam-diam Seebun Giok-hiong berpikir. "Sekali kau salah bicara, mampus kalian semua untuk selamanya..." Maka untuk mewujudkan keinginannya ini, kembali dia berkata:

"Apabila Li Bengcu sudah setuju, maka aku ingin sekali menantang dirimu untuk bertarung pada babak yang pertama ini, memandang sikapmu yang selama ini selalu menganggapku sebagai kakak, akan kuhadapi dirimu dengan tangan sebelah, asal dalam pertarungan nanti kau berhasil mengalahkan diriku, maka seketika itu juga akan kubawa semua anak buahku untuk pergi tinggalkan tempat ini dan mulai detik ini kuanggap kau sebagai

satu-satunya Bu-lim Bengcu serta tidak akan mencampuri urusan dunia persilatan lagi."

Seandainya tidak diperingatkan Pek Si-hiang lebih dulu, sudah bisa dipastikan Li Tiong-hui akan termakan oleh jebakan ini, tapi sekarang, sikapnya amat tenang dan sama sekali tak terpengaruh sindiran lawan, malah katanya sambil tersenyum:

"Keliru besar bila enci seebun berpendapat begini sekarang, kita harus bertarung mencari kemenangan dengan andalkan kemampuan masing-masing, ini berarti siapa memiliki kekuatan seberapa harus digunakan untuk menghadapi resiko sesuai dengan kadar kekuatan-nya, aku memang tahu enci seebun adalah pemimpin dari golonganmu, sedang aku pun pemimpin dari golonganku, jadi kelewat dini bila kita berdua mesti bertarung duluan, Nona see-bun, apa pun kemampuan yang Anda miliki boleh kau beberkan sekarang, asal kau sanggup mengalahkan kekuatanku, pada akhirnya toh mau tak mau aku harus turun tangan juga menghadapi Anda." Dengan perasaan jengkel seebun Giok-hiong melotot sekejap ke arah Pek si-hiang, ia tahu rencananya gagal total gara-gara ulah gadis tersebut, katanya kemudian:

"Nampaknya tamu memang tak boleh mendahului tuan rumah, lebih baik Li Bengcu yang menentukan langkah berikut"

Sebagaimana diketahui kedua belah pihak sama-sama memandang serius hasil pertarungan ini, bila dalam babak pertama sudah menderita kekalahan maka kekalahan tersebut akan sangat mempengaruhi semangat juang rekan-rekan lainnya meski belum tentu mempengaruhi seluruh situasi, oleh sebab itu orang pertama yang harus diterjunkan dalam pertarungan pembukaan ini merupakan kunci kesuksesan seluruh babak pertarungan ini.

Itulah sebabnya untuk memilih orang pertama yang akan diterjunkan dalam pertarungan ini, masing-masing pihak harus menganalisa secara teliti dan serius agar tidak menderita kerugian besar dalam pertarungan nanti, Li Tiong-hui melirik Pek si-hiang sekejap. lalu bisiknya:

"Nona Pek. seebun Giok-hiong bersikeras enggan mengutus orangnya lebih dulu, apa yang mesti kita lakukan sekarang?"

"Dia ingin mencari kemenangan dari pertarungan babak pertama ini, lebih baik nona utus orang yang bisa mendatangkan seribu pertanyaan baginya."

"Tapi siapa yang paling cocok?" "Pilihlah seseorang yang sama sekali di luar perhitungannya, tentang siapa orangnya, kau harus putuskan sendiri"

Li Tiong-hui jadi serba salah, sampai lama sekali ia putar otak namun belum juga ditemukan orang yang paling cocok.

Sementara ia sedang serba salah, tiba-tiba Sang Lam- ciau tampilkan diri seraya berseru: "Li Bengcu"

Begitu melihat kemunculan tokoh tersebut, Li Tiong- hui segera berpekik di dalam hati:

"Akh Kenapa aku lupa dengan orang ini, memang paling cocok bila dia yang tampil dalam pertarungan babak pertama ini" Berpikir begitu segera sahutnya: "Ada apa locianpwee?"

"Aku bersedia terjun dalam pertarungan babak pertama ini"

"Sesungguhnya boanpwee tak berani memohon kepada locianpwee untuk terjun dalam pertarungan babak awal ini bila locianpwee tidak menawarkan diri.."

"Bengcu kelewat serius."

"Kalau begitu aku berharap locianpwee bisa menangkan pertarungan pembukaan ini"

Sang Lam-ciau menggerakkan bibirnya seperti hendak mengucapkan sesuatu tapi niat tersebut segera diurungkan kembali. Pelan-pelan ia terjun ke tengah arena dan berkata: "Aku hanya seorang tua yang cacad, adakah seseorang jago yang bersedia memberi petunjuk kepadaku?"

Mimpi pun seebun Giok-hiong tidak menyangka kalau pihak lawan akan terjunkan seorang tokoh misterius dalam pertarungan babak pertama, untuk sesaat dia sendiri yang kelabakan dan tak tahu siapa yang mesti diterjunkan.

Dia mencoba memandang kawanan jago-jagonya, namun tak satu pun di antara mereka yang menyediakan diri untuk tampil secara sukarela, nampaknya orang- orang itu segan menjadi tumbal yang pertama.

Setelah memperhatikan sekian lama kawanan jago yang berjajar di belakangnya, see-bun Giok-hiong menghentikan pandangan matanya ke wajah ketua istana panca racun, katanya pelan:

"Bukankah Kiongcu punya ganjalan dan permasalahan dengan orang gagah itu? Bagaimana kalau Anda saja yang menghadapinya?"

Ketua istana panca racun tidak banyak komentar pelan-pelan la bangkit berdiri dan beranjak menuju ke tengah lapangan.

Dengan suara lantang kembali seebun Giok-hiong berseru: .

"Kiongcu, dalam pertarungan ini, kedudukan kita adalah saling bermusuhan sebagai musuh bebuyutan, ini berarti siapa lengah dia harus menggadaikan nyawanya, oleh sebab itu kau tak perlu sungkan untuk menggunakan seluruh kemampuan yang dimiliki untuk merobohkan lawan, yang penting musuh harus dirobohkan secepatnya."

Ia cukup sadar bahwa keahlian khusus orang itu terletak pada makhluk-makhluk beracunnya, oleh karena takut rekannya agak sungkan menggunakan keahliannya karena ditonton banyak jago, maka sebelum jadi kasep ia memberi peringatan terlebih dulu.

Dengan mata tunggalnya yang tajam sang Lam-ciau mengawasi wajah ketua istana panca racun lekat-lekat, kemudian katanya:

"Dilihat dari kemampuanmu yang berhasil mendirikan suatu partai dengan andalkan makhluk-makhluk beracun, aku percaya ilmu yang kau pelajari pasti cukup tangguh, tapi sayang sudah kelewat banyak kejahatan yang kau perbuat, jadi orang semacam kau lebih pantang untuk mati."

"Hmmm, jangan sombong dan mengomentari ulahku, menangkan dulu aku sebelum banyak bacot"

"Apa pun kelebihan yang kau miliki ada baiknya digunakan sejak awal pertarungan, sebab bila nasibku lebih mujur hingga sanggup mengalahkan dirimu, aku pasti akan cabut nyawamu untuk membasmi kejahatan dari muka bumi."

"Hmmm, kau tidak merasa terlalu awal untuk ngebacot seenaknya...?" potong ketua Istana panca racun mangkel.

Kemudian setelah berhenti sejenak. kembali lanjutnya: "Nah, hati-hatilah..." Sepasang tangannya diayunkan secara tiba-tiba, dua kilatan cahaya warna hijau segera meluncur ke depan langsung menyambar ke tubuh sang Lam-ciau.

Dengan cekatan Sang Lam-ciau mengibaskan tangan kanannya melepaskan sebuah pukulan dahsyat untuk merontokkan kilatan cahaya yang datang dari sebelah kanan, sementara tangan kirinya menyambar secepat kilat mencengkeram kilatan cahaya yang datang dari kiri

Termakan gempuran dahsyat Sang Lam-ciau yang dipancarkan dari pukulannya, cahaya di sebelah kanan itu segera tergetar dan rontok ke samping, sementara kilatan cahaya yang datang dari sebelah kiri berhasil dicengkeram tokoh bermata satu ini.

Tapi begitu semua orang tahu apa yang berhasil ditangkap tokoh tersebut, serentak para jago tertegun dan berseru kaget.

Rupanya kilatan cahaya hijau itu bukan sembarangan senjata rahasia, melainkan dua ekor ular kecil berwarna hijau pupus.

Ular di sebelah kanan yang tergempur telak oleh pukulan sang Lam-ciau tadi segera terguling ke tanah, menggeliat beberapa kali kemudian mati, sebaliknya ular di sebelah kiri yang kena cengkeram jago tua itu segera membalikkan ekornya dan balas menghantam lima jari lawannya.

Sambil tertawa dingin Ketua istana panca racun mengejek:

"Jangan kau lihat ular itu kecil, kekuatannya luar biasa sekali, sisik di seluruh badannya mengandung bisa yang paling jahat dan mematikan bila tergurat sedikit saja, Wahai Sang Lam-ciau, nama besar pun bakal musnah di tanganku hari ini... Hmmm, tak nyana kemampuanmu cuma begitu saja."

Sang Lam-ciau mendongakkan kepalanya berpekik panjang, sahutnya: "Kau anggap hanya seekor ular kecil sanggup menghancurkan namaku?"

Meminjam kesempatan di saat berpekik nyaring tadi, ia kerahkan segenap tenaga dalam yang dimilikinya dan menggencet ular yang dicengkeramnya itu keras-keras, tak ampun hancuran tubuh ular tadi menjadi berkeping- keping dan berserakan di tanah lapang.

Bagi kawanan jago yang menonton jalannya pertarungan itu, demonstrasi tenaga dalam semacam ini tidak menimbulkan decak kekaguman yang terlalu berlebihan, sebab bagi setiap orang yang memiliki tenaga dalam cukup sempurna, melakukan hal yang sama bukanlah suatu pekerjaan susah.

Berbeda sekali bagi pandangan ketua istana panca racun yang mengetahui jelas sejauh mana kemampuan bertahan dari ular- ularnya itu, dengan perasaan kaget bercampur terkesiap segera pikirnya:

"Tak nyana ilmu silat yang dimiliki tua bangka bermata satu ini luar biasa hebatnya, dari kemampuannya menghancurkan ularku dengan sekali gencetan saja, bisa diperkirakan kekuatannya mencapai lima ratus kati lebih... aku mesti waspada dan tak boleh kelewat gegabah..."

Rupanya ular kecil itu termasuk sejenis ular kecil yang punya kulit bersisik amat tebal, kulit yang tebal tersebut tidak gampang terpotong, jangan lagi menggunakan tangan, dengan senjata tajam pun belum tentu bisa mengirisnya.

Selesai menghancurkan ular kecil itu, kembali sang Lam-ciau berkata sambil tertawa dingin

"Ngo-tok Kiongcu, aku tahu hatimu tak akan puas bila aku tak memberi kesempatan kepadamu untuk mengeluarkan seluruh kepandaian simpananmu, nah bila masih ada kepandaian lain yang ingin kau gunakan, pergunakanlah segera mumpung masih ada kesempatan kalau tidak. akulah yang akan melakukan serangan balasan"

"Kau coba lagi kehebatanku ini" bentak Ketua istana panca racun tiba-tiba.

Terlihat beberapa sosok bayangan hitam meluncur ke arah tubuh sang Lam-ciau dengan kecepatan luar biasa.

Dengan cekatan Sang Lam-ciau mengayunkan tangannya berulang kali, beberapa sosok bayangan hitam yang meluncur dengan kecepatan tinggi itu serentak terbabat rontok ke atas tanah.

Tatkala semua jago mengalihkan perhatiannya ke tanah, maka tampaklah empat sosok kelabang sepanjang setengah depa tergeletak mati di situ, semua binatang beracun itu sudah mati hancur karena termakan getaran pukulan yang amat dahsyat

Kemampuan ketua istana panca racun menyerang musuh dengan makhluk beracun sebagai senjata rahasia segera menggidikkan hati kawanan jago yang hadir dalam arena saat itu, tanpa sadar pikir mereka: "Entah berapa banyak makhluk beracun yang disembunyikan di balik jubah kombornya yang pria tak mirip pria, perempuan tak mirip perempuan itu?"

Begitu berhasil memusnahkan kawanan kelabang yang menyergap dirinya tadi, Sang Lam-ciau segera mendesak maju sambil melancarkan serangan kilat ke tubuh perempuan nyentrik itu, pukulannya yang tajam bagaikan ayunan golok langsung membacok dari sisi kiri ke tengah badan

Buru-buru Ketua istana panca racun melangkah mundur untuk meloloskan diri, kemudian tangan kirinya dibalik melancarkan pula sebuah serangan balasan. sang Lam-ciau mendengus dingin.

"Hmmmm sudah cukup lama kau melakukan kejahatan dalam dunia persilatan dengan tameng istana panca racun, aku rasa inilah saat terakhir bagimu untuk menghirup udara segar Hari ini aku harus lenyapkan bibit bencana macam kau darl muka bumi."

Sementara pembicaraan masih berlangsung, secara beruntun dia lancarkan delapan buah serangan berantai yang datang susul menyusul.

Begitu gencar dan hebatnya serangan tersebut membuat Ketua istana panca racun ini mundur berulang kali sambil mengucurkan keringat dingin, nyaris ia termakan oleh kedelapan serangan maha dahsyat itu.

Sang Lam-ciau memang amat hebat, di balik pukulan- pukulan berantainya yang tajam dan hebat, ia sertakan pula ilmu Ki-na-jiu atau ilmu cengkeraman yang aneh tapi hebat. Di tengah pertarungan yang berlangsung sengit, tiba- tiba terdengar sang- Lam-ciau membentak keras: "Kena"

"Blaaammm..." suara benturan keras yang memekikkan telinga bergema memecahkan keheningan sebuah gempuran dahsyat bersarang telak di lengan kiri Ketua istana panca racun itu.

Pukulan ini bersarang cukup telak. buktinya lengan kiri Ketua istana panca racun patah seketika dan otomatis lumpuh total tak bisa digunakan lagi.

Ketua istana panca racun mendengus dingin, dengan tangan kanannya yang masih mampu bergerak ia balas melancarkan sebuah pukulan ke dada lawan.

Sang Lam-ciau tidak berusaha menghindar sebaliknya ia malah menyongsong datangnya gempuran itu dengan keras melawan keras,

"Blaaaammmm..." sekali lagi terjadi benturan keras yang memekikkan telinga, dalam benturan untuk kedua kalinya ini tubuh ketua istana panca racun tergetar mundur satu langkah dari posisi semula.

Kendatipun serangannya ini berhasil memukul mundur ketua istana panca racun, Sang Lam-ciau sendiri pun mendengus dingin sembari tergetar mundur dua langkah.

Ketika semua orang mengalihkan perhatiannya ke tubuh kakek bermata satu ini, maka tampaklah pada pergelangan tangan kirinya bergelantungan seekor ular kecil berwarna emas, di bawah cahaya matahari kelihatan jelas sisik ularnya yang berkilauan memantulkan cahaya. Perubahan yang terjadi sangat mendadak dan sama sekali di luar dugaan ini kontan mengejutkan para jago hingga untuk beberapa saat lamanya mereka tak tahu harus berbuat apa.

Sampai lama kemudian baru kedengaran seseorang berteriak keras:

"Ach . . . itu mah ular bergaris emas yang paling beracun di dunia ini"

(55. Pertarungan Terakhir)

Sang Lam-ciau tundukkan kepalanya perhatikan ular emas itu sekejap. tiba-tiba ia membentak keras dan langsung menerjang ke arah ketua istana panca racun.

Dengan tanpa perdulikan ular emas yang menggigit pergelangan tangannya Sang Lam-ciau justru merangsek musuhnya, semangat serta tindakan yang sama sekali di luar dugaan ini seketika mengejutkan kawanan jago yang hadir di seputar arena.

Terkesiap hati Ketua istana panca racun melihat datangnya serangan yang begitu dahsyat dan mengerikan disertai kilatan sinar mata yang setajam sembilu itu, buru-buru ia lontarkan dua pukulan berantai dengan niat membendung datangnya ancaman maut itu, "Braaaakkk .. ."

Serta merta serangan dahsyat itu berhasil dibendung serta dihalaunya ke sisi badan Siapa tahu justru pada saat itulah sang Lam-ciau melepaskan sebuah tendangan maut persis mengarah ulu hati perempuan nyentrik ini.

Tendangan yang disertai tenaga seribu kati ini betul- betul luar biasa dahsyatnya seketika itu juga badan Ketua istana panca racun ini mencelat ke udara dan terbanting keras-keras ke atas tanah, darah segar mengucur keluar dari panca inderanya dan tewaslah perempuan nyentrik tersebut seketika itu.

Selesai menghabisi nyawa ketua dari istana panca racun itu, sang Lam-ciau membalikkan badannya sembari mencabut keluar sebuah belati tajam dari sakunya, lalu tanpa banyak cin-cong dia babat lengan kiri sendiri hingga kutung menjadi dua bagian

Bisa dari ular bergaris emas itu benar-benar amat keji dan jahat, apalagi sejak dipagut ular berbisa itu Sang Lam-ciau belum sempat menutup peredaran darahnya ataupun mengerahkan tenaga dalam untuk membendung serangan bisa tersebut, apalagi kesempatan mana digunakan untuk menggempur dan menghabisi nyawa musuh, tak heran apa bila racun jahat tadi telah menyebar hingga ke atas ketiaknya.

Melihat darah yang mengucur keluar dari bekas luka di ketiaknya berwarna hitam pekat, Sang Lam-ciau sadar bahwa racun ular itu sangat hebat dan jahat, Buru-buru dia buang pisau belatinya ke atas tanah, lalu serunya dengan suara keras: "siapa di antara rekan-rekan yang bersedia pinjamkan senjata tajamnya kepadaku?" Lim Han- kim memberikan tanggapannya, sembari meloloskan pedang jin-siang-kiam dari sakunya, ia sodorkan senjata tersebut ke tangan pendekar tua ini.

"Pedang bagus" puji sang Lam-ciau sambil menerima sodoran pedang pendek itu. kemudian secepat kilat ia mengayunkan tangan kanannya dan memotong habis sisa lengannya yang tinggal separuh tadi hingga kini benar-benar kutung sebatas bahu.

Mengutungi lengan sendiri gara-gara dipagut ular berbisa bukan merupakan atraksi aneh bagi umat persilatan yang sudah terbiasa berkecimpungan dalam masalah gempur menggempur, tapi dalam satu saat yang sama dua kali mengutungi lengan sendiri benar- benar merupakan tindakan langka, hampir semua jago yang hadidi seputar arena dibuat terperangah, heran, kagum oleh tindakan tersebut

Selesai mengutungi lengan sendiri, sang Lam-ciau mengembalikan pedang tersebut ke tangan Lim Han- kim, lalu sambil mendekati Li Tiong-hui dengan langkah lebar, ujarnya:

"Beruntung sekali aku tak mengecewakan harapan Bengcu dengan berhasil melenyapkan seorang musuh tangguh dari muka bumi, dengan demikian aku pun telah mewujudkan sumpah janjiku di masa lampau dengan melaksanakan pesan terakhir kaucu. Kini aku sudah menjadi seorang kakek yang cacad total, aku tak mampu untuk melanjutkan pertarungan lagi, karena itu aku ingin mohon diri terlebih dulu..." Tanpa menunggu jawaban dari gadis tersebut, ia membalikkan badan dan segera beranjak pergi meninggalkan arena.

Memandang bayangan punggung Sang Lam-ciau yang semakin menjauh, ada keinginan dalam hati kecil Li Tiong-hui untuk memanggil serta menahannya, tapi niat tersebut segera dicegah Pek si-hiang: "Jangan.. Biarkan dia pergi..."

Dengan langkah lebar Sang Lam-ciau meninggalkan arena pertarungan, dimana ia lewat, kawanan jago buru- buru menyingkir dan memberi jalan lewat baginya.

Tak selang beberapa saat kemudian, bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata.

Baru saja pertarungan babak pertama berlangsung, korban jiwa telah terjadi bahkan berakhir secara amat tragis, kendatipun begitu kalau dihitung kembali, kemenangan masih berada di pihak Li Tiong-hui.

Memandang mayat Ketua istana panca racun yang terkapar bersimbah darah di atas tanah, seebun Giok- hiong mendengus dingin, katanya pelan:

"Lama kudengar Ketua istana panca racun berhasil mempelajari sejenis ilmu beracun yang sangat aneh, entah kematiannya kali ini. merupakan mati sungguhan atau pura-pura?" Pelan-pelan ia bangkit berdiri, kemudian perintahnya:

"Singkirkan dia dari sana"

Mendadak terdengar seseorang berteriak keras disusul berlarian mendekati arena pertarungan dengan langkah tergopoh-gopoh, ketika Li Tiong-hui berpaling, segera dikenalnya orang itu adalah Thian-hok tootiang. Dengan perasaan heran bercampur tak habis mengerti gadis itu berpikir "Mau apa dia kemari? Kenapa lari ter-gopoh- gopoh macam dikejar setan saja?"

Tampak Thian-hok tootiang berlarian menuju ke sisi jenasah Ketua istana panca racun, sambil berlari mendekat teriaknya: "Letakkan jenasahnya di sana"

Rupanya pada saat itu sudah muncul dua orang lelaki kekar berbaju hitam yang siap menggotong pergi mayat Ketua istana panca racun dari arena pertarungan.

Teriakan yang datang secara tiba-tiba ini segera membuat kedua orang lelaki itu tertegun dan untuk sesaat tak tahu apa yang mesti diperbuat

"Kembalikan padaku" Kembali Thian-hok tootiang berteriak sambil berusaha merebut balik jenasah perempuan nyentrik itu.

Dengan perasaan ragu kedua orang lelaki itu memandang sekejap ke arah seebun Giokshiong, agaknya menunggu reaksi dari perempuan tersebut, sementara tindak tanduk mereka nampak jelas gelagapan, bingung dan tak tahu apa yang mesti dilakukannya.

"Serahkan saja kepadanya" perintah seebun Giok- hiong kemudian sambil tertawa hambar.

Pelan-pelan kedua orang lelaki itu serahkan jenasah ketua istana panca racun ke tangan Thian-hok tootiang kemudian mengundurkan diri dari arena.

Setelah menerima penyerahan jenasah Ke-tua istana panca racun, mendadak tampak air mata jatuh bercucuran membasahi wajah Thian-hok tooting, titik- titik air mata yang mengucur deras sempat menetes membasahi jenasah ketua istana panca racun yang berada dalam bopongannya.

Sampai lama kemudian Thian-hok tootiang baru berjalan menuju ke hadapan Li Tiong-hui, lalu ujarnya:

"Semula aku berniat datang kemari untuk membantu Bengcu menghadapi serangan musuh, tapi kini ia telah tewas di tangan sang Lam-ciau, niatku pun ikut pupus dengan kepergiannya, kau tahu kehadiranku di sini sudah tak berguna lagi, aku tak lagi bisa membantu Bengcu untuk memerangi mereka."

"Jadi locianpwee ingin pergi dari sini?" tanya Li Tiong- hui pelan.

"Yaa, aku harus segera balik ke kuil Lian-im-bio dan mengubur jenasahnya di situ"

"Aneh benar sikap pendeta ini," pikir Li Tiong-hui dalam hati kecilnya, "Ada hubungan apa antara Thian- hok sangjin dengan perempuan nyentrik yang lelaki tak mirip lelaki, perempuan tak mirip perempuan ini?" Berpikir demikian, tanpa sadar ia bertanya:

"Locianpwee, sebenarnya apa sih hubunganmu dengan Ketua istana panca racun? Apakah dia adalah sahabat karibmu?"

Thian-hok sangjin termenung sambil berpikir sejenak. akhirnya setelah menghela napas sahutnya:

"Aaaai... Bagaimana pun juga dia toh sudah kehilangan nyawa, jadi akupun tak perlu menjaga nama serta reputasiku lagi, bicara sejujurnya dia adalah istriku ketika aku belum menjadi pendeta dulu"

Begitu pengakuan tersebut dibeberkan, jerit kaget, seruan tertahan segera bergema memecahkan keheningan, hampir semua jago yang hadir di seputar arena dibuat terkejut oleh pengakuan tersebut, sebab mereka semua tahu bahwa Thian-hok sangjin adalah seorang pendeta agama To yang sangat taat dan saleh, nama harumnya juga sudah tersohor sampai di mana- mana, siapa tahu justru pendeta saleh ini mempunyai istri yang tersohor pula namanya dalam dunia persilatan. setelah tertegun beberapa saat, Li Tiong-hui baru berkata:

"Kenapa tidak locianpwee kemukakan sejak tadi? Tahu kalau dia adalah istrimu, boan-pwee pasti akan memohon kepada sang locianpwee agar tidak mencelakai jiwanya."

Thian-hok sangjin menghela napas panjang. "Aaaai... salah dia sendiri kenapa terlalu banyak

melakukan kejahatan, kalau dihitung dari perbuatannya selama ini, dia memang pantas mendapat ganjaran hukuman mati, lebih baik tak usah disayangkan lagi."

Li Tiong-hui ikut menghela napas panjang, katanya: "Yaa, bila locianpwee bersikeras ingin pergi dari

sini,aku pun tak bisa menahanmu lebih lama lagi..."

"Sebenarnya dia termasuk seorang wanita yang baik hati dan mulia, hanya gara-gara sedikit salah paham akhirnya dia minggat meninggalkan aku, tak nyana akhirnya dia malah bergabung dengan istana panca racun bahkan menjadi ahli waris dari perguruan tersebut..."

Berbicara sampai di situ, ia membalikkan badan dan pergi dari situ dengan langkah lebar.

Memandang bayangan punggung Thian-hok sangjin yang menjauh entah kenapa tiba-tiba muncul perasaan sedih dalam hati kecil seebun Giok-hiong, bagaimana pun juga drama tragis yang baru berlangsung sempat menghujam perasaan dan hati sanubarinya yang paling dalam...

Tiba-tiba terdengar Thia sik-kong berseru dengan suara dalam:

"Jauh-jauh aku datang kemari, tujuanku tak lain ingin bertemu dan bertarung melawan nyonya Li, nona seebun, lebih baik kau jangan suruh budak itu untuk maju bertempur lagi, aku sudah tak sabar untuk bertemu dan bertempur habis-habisan melawan nyonya Li"

Seebun Giok-hiong mencoba untuk menyapu sekejap suasana di sekeliling tempat itu, ketika dilihatnya bayangan tubuh nyonya Li belum juga kelihatan, ia pun berseru: "Li Bengcu"

Biarpun seruan tersebut tidak terlampau keras, namun segera menyirnakan suasana duka dan tragis yang semula mencekam seluruh seluruh arena pertarungan menyadarkan semua jago yang hadir di situ dan mengembalikan pikiran mereka yang terpengaruh suasana dramatis tadi.

Pelan-pelan Li Tiong-hui bangkit berdiri, lalu bertanya: "Ada urusan apa nona seebun?" "Kawanan jago yang hadir di arena saat ini mencapai ratusan orang banyaknya, bila setiap orang ingin turun tangan melangsungkan pertarungan aku rasa bertempur selama tiga hari tiga malam pun acara ini tak akan selesai."

"Ucapan Anda tepat sekali, lalu apa pendapat nona seebun?"

"Aku ingin menunjuk orangnya dalam pertarungan berikut, apakah Li Bengcu bersedia mengabulkan?"

"Jangan kau kabulkan permintaan itu" Buru-buru Pek si-hiang berbisik, "Kita harus mengambil keputusan menurut jalan pemikiran sendiri"

Li Tiong-hui mengangguk. serunya kemudian kepada seebun Giok-hiong dengan suara keras:

"Silakan nona seebun tunjuk nama kalau memang kau ingin berbuat begitu, cuma... disetujui atau tidak. itu urusanku sendiri"

"Pertarungan babak pertama tadi berlangsung antara jago tangguh melawan jago tangguh, jadi dalam pertarungan babak yang kedua ini jagoan yang ditunjuk harus melebihi yang pertama bukan?"

"Katakan saja apa maksudmu"

"Sudah lama kudengar akan nama besar ibumu yang tersohor dan tenar di seantero jagad, bagaimana kalau aku ingin menantang ibumu untuk bertarung pada babak berikut?"

"Waah, kalau soal ini mah ..." Belum selesai Li Tiong- hui menjawab, mendadak terdengar seseorang menimpali dengan suara yang dingin, hambar dan kaku: "Kau tak usah bingung."

Nyonya Li dengan pakaian serba putih tahu-tahu sudah muncul di sisi arena dan berjalan menuju ke tengah gelanggang dengan langkah perlahan.

Biarpun usianya sudah melehihi setengah abad, namun bekas kecantikan wajahnya masih kentara sekali, hanya sayang di balik keayuan tersebut tersisip hawa dingin dan kaku yang sangat menggidikkan hati.

Setibanya di tengah arena pertarungan, perempuan itu menghentikan langkahnya dan bertanya ketus:

"Siapa yang ingin bertarung melawanku?"

Thia sik-kong maupun nyonya pedang patah hati serentak bangkit berdiri dan saling berebut menuju ke tengah arena pertarungan.

"Heei... tunggu dulu" seru seebun Giok-hiong berusaha mencegah.

"Thia sik-kong masih bukan tandingannya, biar aku yang menghadapi perempuan ini" sela Nyonya pedang patah hati cepat.

"Darimana kau tahu jika aku bukan tandingannya?" hardik Thia sik-kong marah.

"Kalau cuma andalkan berapa jurus ilmu toya angin ributmu, bagaimana mungkin bisa kau tandingi kehebatan nyonya Li?" . Thia sik-kong tertawa dingin.

"Kalau begitu kau boleh turun tangan sesudah aku keok di tangannya nanti" Tanpa membuang waktu lagi ia melompat ke tengah arena dan pasang kuda-kuda siap melancarkan serangan,

Nyonya pedang patah hati tak mau kalah, dia pun bersiap sedia terjun ke arena, tapi tindakan tersebut segera dicegah seebun Giok-hiong, bisiknya:

"Dia bukan tandingannya nyonya Li, dalam seratus gebrakan pertama pasti sudah keok di tangan nyonya Li, kenapa kau takut tak bisa membalas dendam?" Pelan- pelan nyonya pedang patah hati duduk kembali, hanya bantahnya:

"Jika dia sampai kalah, berarti kita sudah kalah dua babak secara beruntung apakah hal ini tak akan merosotkan mental serta semangat tempur kita?"

"Tak menjadi soal, aku datang dengan persiapan cukup matang, jadi biarpun kalah berapa babak lagi pun tak akan sampai mengendorkan semangat tempur kita."

Nyonya pedang patah hati tak banyak bicara lagi, ia duduk di tempatnya semula dan membungkam diri dalam seribu basa.

Ketika mengalihkan pandangannya kembali ke arena, tampak Thia sik-kong dengan membawa toya besinya sedang menghampiri Nyonya Li dengan langkah lebar, begitu tiba di hadapan perempuan tersebut tegurnya dengan suara dingini "Masih kenal aku?"

"Hmm,Thia Sik-kong" "Betul" Ditatapnya wajah nyonya Li dengan sinar mata setajam sembilu, "Dulu kita pernah bersengketa bahkan bermusuhan, tentu masih ingat bukan?"

"Ingat sekali"

"Kalau memang masih ingat, cabut senjata-mu"

"Aku selalu melayani musuhku dengan tangan kosong, apalagi terhadap ilmu toya angin ributmu itu, aku sudah siap sedia, ayoh silakan mulai menyerang."

"Kau sudah edan?" hardik Thia sik-kong marah.

"Edan atau bukan, itu urusanku, kau boleh menyerang segera, tak usah banyak ngebacot lagi." .

"Baik, akan kulihat sejauh mana kemajuan yang berhasil kau capai selama ini." Diiringi desingan angin tajam, toyanya melancarkan sebuah bacokan kilat ke depan.

Dengan sikap amat santai nyonya Li mengibaskan ujung bajunya, lalu dengan gesit dan cekatan ia menghindarkan diri dari serangan tersebut.

Gagal dengan serangan yang pertama buru-buru Thia sik-kong menarik kembali senjatanya sambil melepaskan sapuan kedua.

Serangannya kali ini amat dahsyat, bahkan diiringi deruan angin topan yang memekikkan telinga.

Nyonya Li mendengus dingin, bukan mundur ia justru maju memapaki datangnya serangan tersebut, hanya terlihat bahunya sedikit bergerak, tahu-tahu bagaikan sambaran petir ia, sudah berkelebat lewat persis dari sisi badan Thia Sik-kong. Gagal dengan serangan yang kedua Thia sik-kong membentak nyaring, toyanya diputar membentuk lapisan cahaya yang berlapis-lapis untuk mengurung sekujur badan lawan.

Sekali lagi Nyonya Li berkelit ke samping dengan gerakan yang lincah dan gesit, tahu-tahu ia sudah lolos dari kurungan lapisan cahaya tadi dan berdiri di posisi semula.

"Tahan" bentaknya tiba-tiba.

"Apa lagi yang ingin kau katakan?" tanya Thia sik-kong sambil menarik kembali toya baja nya.

"Kau belum berhasrat untuk menyerah kalah?" "Menang kalah belum ketahuan kenapa aku mesti

mengaku kalah?"

"Hmm, tidak tahu diberi hati, coba kau periksa lengan kirimu"

Hampir sebagian besar jago yang hadir di seputar arena tak mengerti apa yang telah terjadi buru-buru mereka alihkan perhatiannya ke lengan kiri kakek tersebut setelah mendengar ucapan tesebut.

Betul juga, pada ujung baju sebelah kiri Thia sik-kong telah bertambah dengan dua lubang sebesar mulut cawan, hanya tidak diketahui lubang itu dibuat dengan benda apa.

Menyaksikan robekan pada bajunya Thia sik-kong kelihatan termenung dan berdiri termangu-mangu, sampai lama sekali tak kedengaran ia mengucapkan sepatah kata pun. Kalau mengikuti aturan yang berlaku dalam dunia persilatan, Thia sik-kong harus mengaku kalah setelah menjumpai kejadian seperti ini, tapi situasi saat ini berbeda sekali dengan pertarungan di hari-hari biasa, biarpun bajunya robek bukan berarti ia sudah tak mampu melanjutkan pertarungan.

"Thia sik-kong," ejek Nyonya pedang patah hati segera sambil tertawa dingin, "sedari tadi aku toh sudah bilang, kau masih bukan tandingannya, tapi kau ngotot terus, nah coba lihat hasilnya sekarang, mengaku kalah bukan?"

Tak terlukiskan rasa gusar dan malu Thia sik-kong sehabis mendengar sindiran tersebut, tanpa mengucapkan pepatah kata pun mendadak ia membentak keras dan melancarkan kembali sebuah pukulan dahsyat.

Ilmu toya angin ributnya termasuk ilmu toya paling ampuh dan dahsyat dalam dunia persilatan, apalagi dibentangkan dalam suasana malu bercampur gusar, bisa dibayangkan betapa dahsyat dan luar biasanya tenaga serangan tersebut.

Dalam waktu singkat seluruh badan Nyonya Li sudah terkurung dalam kungkungan bayangan toya tersebut.

Dilihat dari betapa kuat dan dahsyatnya tenaga serangan yang terpancar dari toya tersebut, bisa dibayangkan apa jadinya bila tubuh Nyonya Li sampai tersapu senjata itu hal mana membuat para jago yang menyaksikan jalannya pertarungan ikut tercekam dalam ketegangan dan kekuatiran yang mendalam. Dalam waktu singkat puluhan gebrakan telah berlangsung, Thia sik-kong telah melancarkan hampir seratus kali sapuan dan pukulan, namun jangan lagi melukai musuhnya, menyentuh ujung baju Nyonya Lipun dia tak mampu.

Di tengah pertarungan, mendadak terlihat Nyonya Li melejit ke tengah udara dan melepaskan diri dari kepungan, lalu bentaknya dingin: "Tahan"

"Ada apa?"

"Kau masih enggan mengaku kalah?"

Thia sik-kong termenung sejenak, lalu sahutnya: "Hingga kini menang kalah belum ketahuan kalau

memang kau hebat, ayoh coba lukai aku" "Tidak, aku tak boleh melukaimu"

Thia sik-kong tertegun, pikirnya: "Masa dia masih ingat bagaimana aku mengejar dan tergila-gila kepadanya dulu, hingga tak tega melukaiku?"

Pikiran dan perasaannya jadi kalut untuk sesaat dia tak dapat ambil keputusan hingga cuma berdiri melongo.

Nyonya Li termasuk seorang wanita yang amat cerdik, dari perubahan mimik mukanya ia sudah dapat menebak apa yang sedang dibayangkan kakek tersebut, sambil tertawa dingin kembali tegurnya:

"Bila kubalikkan tanganku, nyawamu pasti akan segera melayang"

Dalam hati kecilnya Thia sik-kong sendiri pun tahu bahwa kepandaian silat yang dimilikinya masih bukan tandingan nyonya Li, tapi masalahnya sekarang ia sedang bertarung di hadapan ratusan orang jago, ia merasa bakal kehilangan muka jika harus mengaku kalah dan mundur dari arena pertarungan.

Membayangkan bagaimana reputasi serta nama baiknya bakal hancur dalam sekejap, Thia sik-kong merasa tak rela untuk mengakui dengan begitu saja, maka serunya ketus:

"Kau anggap dengan menggertakku maka aku segera keok, ciut hatinya dan mundur dari arena pertarungan?"

Nyonya Li mendengus dingin:

"Hmmm, tua bangka tak tahu diri, kau anggap aku benar-benar tak tega untuk membunuh mu? "

"Siapkan senjatamu" kata Thia sik-kong sambil mempersiapkan senjata toya bajanya.

"Tidak, tak usah pakai senjata, dalam tiga jurus aku sanggup membunuhmu, lagipula sampai detik ini sudah berulang kali aku membujukmu agar mengurungkan niatmu bertarung tapi kau keras kepala, enggan turuti nasehatku, yaa apa boleh buat lagi, jangan salahkan bila aku bertindak keji"

Agaknya Thia sik-kong sudah dibuat naik darah ia mendengus dingin:

"Hm Kau anggap hasil latihanku selama belasan tahun ini cuma sia-sia, tak ada guna-nya?"

"Kalau memang begitu, keluarkan semua kemampuanmu"

Thia sik-kong mengangkat toyanya tinggi-tinggi, paras mukanya yang semula pucat pias seperti mayat mendadak berubah jadi mengerikan seakan-akan ada selapis hawa putih macam mega yang menyelimuti seluruh tubuhnya.

Nyonya Li berdiri tenang, kaku, tak bergerak seperti sebuah patung batu, hanya sorot matanya yang setajam sembilu mengawasi toya baja Thia sik-kong tanpa berkedip.

Kabut putih yang menyelimuti wajah Thia sik-kong makin lama semakin tebal, sementara toya bajanya yang terangkat ke tengah udara pelan-pelan diayunkan ke bawah.

Menghadapi datangnya ancaman tersebut, nyonya Li tetap berdiri tanpa bergerak, sepasang matanya masih mengawasi terus toya baja lawan tanpa berkedip.

Ketika ujung toya kakek tersebut berada lebih kurang dua depa dari tubuh Nyonya Li, mendadak gerak serangannya bertambah cepat, kali ini secepat sambaran petir langsung menghantam batok kepala perempuan setengah umur itu.

Rupanya di balik ayunan senjata toyanya tadi terkandung pelbagai perubahan yang luar biasa sekali, asalkan Nyonya Li mencoba untuk berkelit ke samping maka senjata toya itu akan menyusul ke arah mana lawannya menghindarkan diri

Siapa tahu musuh yang dihadapinya kali ini adalah Nyonya Li yang memiliki tenaga dalam amat sempurna, bukan saja ia tak mencoba menghindar, bahkan masih tetap berdiri tak bergerak pada posisinya semula. Thia sik-kong perhitungkan jarak toyanya hampir mengenai tubuh lawannya ketika secara tiba-tiba menyerang lebih cepat lagi, kali ini dia hantam batok kepala lawan dengan kekuatan penuh .

Terkesiap juga perasaan semua jago yang hadir dalam arena setelah menyaksikan kejadian ini, dalam anggapan mereka sulit bagi Nyonya Li untuk meloloskan diri dari ancaman maut.

Siapa tahu bersamaan dengan meluncur datangnya toya tersebut, tiba-tiba Nyonya Li membuang tubuhnya ke samping untuk menghindarkan diri dari babatan maut tersebut, kemudian dengan suatu gerakan yang cepat ia sodok bahu kanan lawannya.

Perubahan ini dilakukan sangat cepat, sedemikian cepatnya hingga sukar diikuti dengan mata telanjang.

Tampak bayangan manusia berkelebat lewat, dengan kecepatan tak terlukis dengan kata nyonya Li menyelinap ke sisi badan Thia sik-kong dan meluncur ke belakang tubuhnya.

"Blaaaammmm ..." Ayunan toya yang maha dahsyat itu menghantam keras di atas tanah, selain menimbulkan suara benturan yang memekikkan telinga, muncullah sebuah liang sedalam dua depa pada bekas hantaman tersebut.

Li Tiong-hui sangat menguatirkan keselamatan ibunya, ia coba melihat ke tengah arena.

Tampak Nyonya Li masih berdiri tenang dengan sikap dingin dan kaku, hanya pipinya kelihatan semu merah dan badannya sedikit bergetar, jelas di dalam pertarungan terakhir ini dia telah mengerahkan sepenuh tenaganya.

Ketika semua orang memperhatikan keadaan Thia Sik- kong, kelihatan ia berdiri bodoh di tempat semula dengan pandangan kosong, tubuhnya agak gemetar, sikapnya bodoh, sampai lama kemudian ia baru berpaling ke arah Nyonya Li sambil ucapnya:

"Dua puluh tahun berselang, aku keok pada jurus ke- 99, tapi hari ini... satu jurus pun aku tak sanggup menghadapi aaai... percuma latihanku selama ini."

"Untuk menghadapimu barusan, seluruh kekuatanku telah kugunakan, mestinya biar kalah juga kalah dengan terhormat, tadi sengaja aku mengampuni jiwamu, asal setelah kejadian ini kau tidak berlatih ilmu silat lagi maka lukamu tak bakalan kambuh kembali Usiamu kini sudah lanjut, apa arti nama dan kedudukan bagimu? semestinya gunakan sisa waktumu ini untuk menikmati hidup ..."

Thia sik-kong tertawa getir.

"Selama belasan tahun terakhir ini aku selalu dipacu untuk berlatih karena dukungan semangat ingin menang, tak disangka semakin dilatih, ilmu silatku semakin tak berguna, nampaknya harapanku untuk mengunggulimu sudah pupus, hidup terus di dunia pun rasanya tak berarti lagi."

Dari sakunya ia mencabut keluar sebilah pisau belati, lalu terusnya: "Masih ingat dengan pisau belati ini?"

Nyonya Li hanya berdiri dengan sikap kaku dan dingin, mulutnya tetap membungkam dalam seribu basa. Setelah tertawa tergelak, kembali Thia sik-kong berkata:

"Pisau belati ini kau tinggalkan kepadaku bersama sepucuk surat yang isinya memperingatkan kepadaku agar tidak merecoki dirimu lagi, andai aku tetap menggodamu maka kau akan mencongkel keluar hatiku dengan menggunakan pisau belati ini. Meski benda tersebut bukan barang kesayanganmu paling tidak benda itu pernah menjadi milikmu, karenanya selama ini aku menyimpannya terus sebagai barang mestika. Kini akan kupenuhi harapanmu tersebut, akan kukorek keluar hatiku dengan pisau ini agar kau bisa menyaksikan hatiku sebenarnya hitam atau merah ..."

Begitu selesai bicara, ia tancapkan pisau belatinya ke dada sendiri dan mengorek keluar jantungnya .

Darah segar segera berhamburan membasahi seluruh tanah, jantung yang terkorek keluar itu rontok ke tanah dan nampak masih berdenyut keras.

Peristiwa semacam ini benar-benar di luar dugaan siapa pun, suatu peristiwa yang tragis dan mengerikan hati, membuat para jago tertegun dan berdiri melongo, suasana amat hening hingga tak kedengaran sedikit suara pun.

Sambil mencoba mempertahankan dirinya, Thia Sik- kong menuding ke arah jantungnya yang terkapar di tanah itu sambil berseru: "Ambillah jantungku itu"

Selesai berteriak, badannya menggeliat lalu terkapar ke atas tanah, menghembuskan napas yang penghabisan. Nyonya Li hanya berdiri di tempat tanpa berusaha berkelit, lontaran jantung tadi seketika mengenai bajunya yang berwarna putih dan menodai pakaiannya.

Begitu tragis kejadian ini membuat suasana di seputar arena hening seketika, para jago berdiri tertegun dan tak seorang pun mengeluarkan suara.

Sampai lama kemudian Nyonya Li baru menghembuskan napas panjang seraya menegur. "Seebun Giok-hiong, sudah kau saksikan semua?"

"Saksikan apa?"

"Semua jago dari angkatan tua pada patah semangat dan putus asa, tahukah kau apa sebabnya?"

"Ombak belakang sungai Tiang kang selalu mendorong ombak di depannya, memang sudah sewajarnya bila generasi baru menggantikan generasi lama..." Nyonya Li tertawa dingin, tukasnya:

"Nampaknya kau sudah kelewat kebiinger sehingga tak ada gunanya aku banyak bicara, kini dari empat jago yang kau andalkan sudah dua orang keok di tangan kami, apa lagi yang bisa kau andalan untuk meraih kemenangan dalam pertarungan kali ini?"

"Tak perlu nyonya kuatirkan keadaanku" sahut seebun Giok-hiong kalem.

Sementara itu Li Tiong-hui selalu mengamati perubahan mimik muka lawannya, ketika dilihatnya gadis itu tetap tenang, sedikitpun tak nampak kuatir dalam hati kecilnya segera berpikir. "Nampaknya masih ada kekuatan lain yang diandalkannya, ia kelihatan kalem dan begitu tenang..."

Di tengah keheningan yang mencekam seluruh arena, dengan wajah serius selangkah demi selangkah Nyonya pedang patah hati berjalan menuju ke tengah arena.

Nyonya Li sendiri tidak banyak komentar, dengan mulut tetap membungkam diawasinya gerak gerik nyonya pedang patah hati itu dengan sorot mata tajam.

Berada lebih kurang 5 depa di hadapan lawannya, Nyonya pedang patah hati menghentikan langkahnya dan berkata:

"Seandainya nasibku kurang mujur hari ini hingga mesti tewas di tanganmu, tolong bakar jenasahku hingga menjadi abu dan taburkan ke dalam laut, aku tak ingin membiarkan mayatku tetap utuh di dunia inu"

"Kau bersikeras ingin berduel habis-habisan?" "Ehmm, aku rasa kita berdua tak mungkin bisa hidup

bersama di dunia ini..."

Nyonya Li menggerakkan bibirnya seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi begitu lirih suaranya hingga tak kedengaran oleh siapa pun kecuali yang bersangkutan, kelihatan Nyonya pedang patah hati tertawa getir, menggeleng dan tetap membungkam dalam seribu basa.

Karena tak menangkap apa yang diucapkan ibunya, Li Tiong-hui berpaling ke arah Pek si-hiang sambil bertanya: "Adik Pek. sebagai orang pintar tahukah kau apa yang diucapkan ibuku barusan?"

"Tentu saja tahu, kami pernah membahas masalah tersebut bersama, pokoknya masalah ini ada kaitannya dengan si raja pedang dari Lam-hay."

Belum selesai ucapan tersebut, suasana di tengah arena telah terjadi perubahan, dari sakunya Nyonya pedang patah hati telah mencabut keluar sebilah pedang kutung yang segera disilangkan di depan dadanya siap melancarkan serangan, terdengar perempuan itu berkata:

"Sejak menderita kekalahan di tanganmu tempo hari, aku telah bersumpah akan mengalahkan dirimu dengan pedang kutung ini, hari ini akan kulaksanakan sumpahku itu"

Nyonya Li berkerut kening, dia seperti hendak mengatakan sesuatu tapi niat itu dibatalkan kemudian, pelan-pelan ia pun mencabut keluar sebilah badik dari sakunya seraya ber-kata: "Kau boleh turun tangan"

"Hati-hati" hardik Nyonya pedang patah hati.

Tangannya digetarkan, kutungan pedang yang berada di tangannya mendadak meluncur ke depan menusuk dada Nyonya Li.

Dalam menghadapi serangan dari Nyonya pedang patah hati, kelihatan sekali Nyonya Li bertindak sangat hati-hati dan cermat, tidak seperti menghadapi Thia sik- kong tadi dimana ia tak pandang sebelah mata pun.

Ketika melihat datangnya ancaman tersebut, buru-buru badiknya diayun ke muka menyongsong datangnya serangan tersebut.

Tidak menunggu kutungan pedang di tangan kanannya mengenai sasaran, kembali Nyonya pedang patah hati menggetarkan kutungan pedang di tangan kirinya untuk melancarkan serangan berikut.

Nyonya Li berkerut kening, badiknya didorong ke muka menyongsong datangnya kedua serangan tersebut.

Dua kutungan pedang menghadapi sepasang badik, tanpa menimbulkan sedikit suara pun saling beradu satu dengan lainnya diikuti kedua belah pihak sama-sama berdiri mematung tanpa berkutik,

Beginilah cara bertarung tokoh-tokoh silat kelas dunia, begitu bertemu mereka segera melangsungkan pertarungan adu tenaga dalam.

Kendatipun tidak menimbulkan suara berisik, namun semua jago yang hadir di seputar arena sadar, pertarungan semacam ini merupakan pertarungan yang paling berbahaya dan mematikan, di balik keheningan dan kesunyian justru tersimpan mara bahaya yang begitu besar, yang bisa mengancam jiwa seseorang dalam waktu singkat.

Beratus-ratus pasang mata serentak tertuju ke tubuh kedua orang tersebut, menantikan hasil pertarungan itu dengan hati berdebar.

Terlihat pakaian yang dikenakan nyonya Li maupun Nyonya pedang patah hati bergetar dan berkibar kencang kendatipun tak ada angin yang berhembus lewat, paras muka Nyonya Li kelihatan pucat seperti kertas, kabut putih mengepul dari ubun-ubunnya sementara peluh mulai mengucur keluar membasahi jidat dan tubuhnya.

Sebaliknya paras muka Nyonya pedang patah hati berubah jadi merah kehitam-hitaman, seluruh badannya juga basah kuyup oleh cucuran keringat.

Dari keadaan tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa kedua belah pihak telah mengerahkan segenap tenaga dalam yang dimilikinya untuk melangsungkan pertarungan mati hidup, ini berarti sebelum salah satu pihak roboh terkapar pertarungan mustahi bisa dihentikan di tengah jalan.

Li Tiong-hui segera menyadari kalau gelagat tidak menguntungkan, kepada Pek si-hiang buru-buru bisiknya:

"Nona Pek. nampaknya gelagat tak beres, ibuku sudah tak sanggup mempertahankan diri "

"Beritahu Lim Han-kim, suruh dia saja yang turun tangan, sebab orang lain tak bisa menolong."

"Lim Han-kim..?" Li Tiong-hui keheranan.

"Yaa, hanya dia yang mampu mencegah terjadinya banjir darah, cepat beritahu dia..."

Sementara pembicaraan sedang berlangsung mendadak terlihat sesosok bayangan manusia berkelebat lewat langsung menerjang ke tengah arena, ternyata orang itu adalah raja pedang dari Lam-hay.

Tampak ia mencabut keluar sebilah pedang dari punggungnya lalu ditebaskan ke tengah arena pertarungan dengan kecepatan luar biasa, di antara kilatan cahaya yang berkelebat tahu-tahu kutungan pedang di tangan nyonya pedang patah hati maupun badik di tangan Nyonya Li sudah terpapas kutung jadi berapa bagian dan tercecer di tanah.

Gerakan tubuh raja pedang sangat cepat, begitu berhasil mengutungi senjata yang berada di tangan kedua belah pihak kembali jari tangannya menari kian kemari, tahu-tahu jalan darah kedua orang wanita itu sudah tertotok telak.

Tampak Nyonya Li serta Nyonya pedang patah hati roboh terjungkal dan terkapar di tanah.

Pada saat yang bersamaan kembali jari tangan raja pedang berkelebat lewat menepuk bebas pengaruh tolokan pada tubuh kedua orang wanita itu, kemudian baru ujarnya:

"Bila pertarungan dilanjutkan, akhirnya kau berdua bakal sama-sama mampus, aku rasa pertarungan ini tak perlu dilanjutkan lagi."

"Dengan tangan yang mana kau totok jalan darahku?" tegur Nyonya Li sambil menatap raja pedang itu penuh amarah.

"Tangan kanan"

"Dengan tangan yang mana kau bebaskan totokan jalan darahku?"

"Dengan tangan kanan juga"

"Bagus, akan kukutungi tangan kananmu lebih dulu" "Tidak bisa" teriak seseorang secara mendadak dengan suara ketus, "Dia harus mengorek keluar jantungnya seperti Thia sik-kong tadi, kita harus periksa sampai sehitam apa hatinya."

Ketika semua orang berpaling, tampak seorang nyonya berpakaian sangat sederhana diikuti seorang tokau (pendeta wanita dari agama To) muncul di sisi arena dan langsung menuju ke lengah gelanggang.

Begitu melihat kehadiran perempuan berpakaian sederhana itu. Lim Han-kim merasakan hatinya bergetar keras hingga tanpa sadar ia melompat bangun dari tempat duduknya, sebab wanita itu tak lain adalah ibunya.

Untung Pek si-hiang kebetulan berpaling, melihat hal itu buru-buru cegahnya:

"Cepat duduk kembali musuh besar sedang di depan mata, kau tak boleh mengusik konsentrasi mereka."

Kalau di hari-hari biasa nona ini selalu bicara lembut dan halus. maka hardikannya yang kasar kali ini seketika membuat Lim Han-kim tertegun, akhirnya ia duduk kembali.

Dalam pada itu raja pedang telah memperhatikan beberapa orang wanita itu satu persatu, kemudian katanva sambil tersenyum: "Rupanya kalian tiga bersaudara masih berkumpul jadi satu."

"Dengan tangan kanan kau sentuh badanku, pantas tidak kalau kukutungi lengan kananmu?" bentak Nyonya Li dingin.

"Pantas, pantas" Raja pedang mengangguk. "Kau berhati keji, meninggalkan aku di saat hamil tua, pantas tidak kalau kucabut keluar jantung dan hatimu?"

"Yaa, memang pantas" Untuk kedua kalinya raja pedang mengangguk. Tokau di sisi perempuan berbaju sederhana itu berbicara pula:

"Gara-gara kehadiranmu kami tiga bersaudara harus gontok-gontokan dan bermusuhan sendiri hampir dua puluh tahun lamanya, kesemuanya ini tak lain berkat rayuan gombalmu yang manis bagai madu, keji bagaikan racun, bukan begitu saja bahkan kau membohongi aku, menotok jalan darahku, memperkosaku lalu meninggalkan aku seorang diri di tengah gunung yang sepi hingga akhirnya aku diperkosa untuk kedua kalinya oleh orang lain, untuk dosamu itu pantas tidak bila kuiris lidah jahatmu itu?"

"Pantas, memang pantas"

Nyonya pedang patah hati yang selama ini cuma membungkam tiba-tiba ikut menimbrung pula:

"Gara-gara mata keranjangmu yang jahat, aku sampai menghianati perguruan, membunuh guru sendiri, pantas tidak bila kucongkel keluar sepasang matamu?" sambil tertawa raja pedang manggut-manggut:

"Baiklah Tanganku, mataku, lidahku dan hatiku sudah diingini orang lain, rasanya aku memang tak bisa hidup lebih lama dari hari ini."

"Kau sudah kelewat banyak melakukan dosa dan kesalahan, perbuatanmu terkutuk dan pantas dicerca, sudah seharusnya kau mampus dari dulu." Tiba-tiba raja pedang mendongakkan kepalanya lalu tertawa terbahak-bahak: "Hahahaha... nampaknya sepanjang hidupku tak pernah kulakukan perbuatan baik."

"Perbuatan baik tak pernah dilakukan, perbuatan jahat bertumpuk-tumpuk, aku heran, kenapa Thian masih memberi kesempatan kepadamu untuk hidup hingga kini?"

Baru habis ucapan tersebut diutarakan mendadak terdengar seseorang meraung keras: "Perempuan busuk. jauhi suamiku ..."

Suara itu kasar, nyaring dan penuh tenaga, persis auman harimau, Disusul kemudian tampak permaisuri raja pedang melompat masuk ke tengah arena dengan langkah lebar dan wajah hijau membesi menahan marah.

Penutup

Raja pedang berpaling memandang istrinya sekejap. kemudian katanya:

"Kau tak perlu kuatir, rasa benci mereka terhadapku sudah merasuk hingga ke tulang sumsum, tak nanti mereka akan rebut suamimu." Kepada Nyonya Li katanya pula:

"Aku sadar, selama ini tingkah lakuku yang kelewat romantis telah mendatangkan banyak bencana dan penderitaan bagi orang lain, sadar akan kesalahanku inilah maka aku merantau jauh ke pulau Hay-nam untuk mencari seorang wanita yang aneh, jelek dan menyeramkan untuk kujadikan istri, sudah hampir dua puluh tahun kami hidup bersanding masih tak cukupkah hukuman yang telah kujalin selama ini?"

"Belum, belum cukup, aku belum puas sebelum menghancur lumatkan tubuhmu hingga remuk berkeping-keping "

"Aaaai..." Raja pedang menghela napas panjang, "Padahal di masa mudaku dulu, tak terlintas setitik pikiran pun untuk melakukan kejahatan apalagi membohongi kalian, bila kurenungkan kembali sepak terjangku di masa lalu, seratus tertusuk jarum selaksa batang perasaan hatiku, aku sudah tak betah melewati hari-hari tersiksa seperti itu. Maka apa pun yang kalian inginkan akan kupersembahkan semuanya hari ini juga. Namun, sebelum ajalku tiba, perbolehkan aku untuk melaksanakan suatu tugas mulia bagi kepentingan umat persilatan.."

Tiba-tiba ia pungut kembali pedangnya dari atas tanah, kemudian serunya:

"Seebun Giok-hiong, aku hendak mencabut bibit bencana bagi umat persilatan, kau ingin bunuh diri ataukah bertarung melawanku?"

"Siapa suruh mereka tergila-gila padamu di masa lampau hingga rela menyerahkan kehormatannya kepadamu? Kalau mesti berbicara sejujurnya, kau tak salah, kau tak pantas kelewat menyesali perbuatan sendiri, apalagi menghukum diri sendiri yang sebetulnya tak bersalah," bujuk seebun Giok-hiong. Sementara itu Lim Han-kim telah mengambil kesimpulan bahwa raja pedang yang berada di hadapannya sekarang, adalah ayahnya, tapi pikiran dan perasaannya yang ruwet membuat pemuda ini tak tahu apa yang mesti dilakukan. Ketika ia mencoba berpaling ke arah Pek si-hiang, dilihatnya gadis itu sedang memandangi Tokoh di tengah arena tersebut dengan air mata berlinang.

Kejadian ini tentu saja mencengangkan perasaan hatinya, tanpa terasa bisiknya:

"Nona Pek. apa yang harus kita lakukan sekarang?" "Cepat tampil ke depan, tantang seebun Giok-hiong

untuk berduel"

"Mana mungkin aku bisa menandinginya?"

"Tiga pukulan geledek dan satu jurus ilmu pedang langit merupakan ilmu silat maha dahsyat di kolong langit saat ini, kendatipun belum cukup tangguh untuk menghabisi nyawanya, paling tidak kau masih sanggup mengalahkannya, hadapi saja dengan tenang hati"

Lim Han-kim tertegun, setelah ragu sejenak akhirnya ia bangkit berdiri dan berjalan menuju ke tengah arena.

Begitu tiba di tengah arena, pemuda itu segera berteriak keras:

"Seebun Giok-hiong, dua babak pertama telah kita lewatkan, kedua belah pihak sama-sama telah menampilkan angkatan tua, maka dalam babak berikut ini aku ingin menantang nona untuk berduel. Berani tidak kau terima tantanganku ini?" Tantangan yang sama sekali di luar dugaan ini kontan mengejutkan semua jago yang hadir di seputar arena, tanpa terasa beratus pasang mata serentak tertuju ke arahnya.

Mula-mula seebun Giok-hiong kelihatan tertegun, menyusul kemudian sahutnya sambil tertawa hambar. "Kau ingin menantangku?"

"Benar, berani tidak kau terima tantanganku ini?"

Belum sempat jawaban diberikan raja pedang telah berpaling memandang wajah Lim Han-kim sekejap sambil menegur. "Anda adalah ..."

"Jangan bicara dengannya" hardik perempuan berbaju sederhana itu mendadak. Tampak raja pedang mengiakan dan benar-henar tidak banyak bicara lagi.

Dalam pada itu seebun Giok-hiong telah memberi tanda, seorang dayang muncul sambil bertanya:

"Apa perintahmu nona?"

"Coba kau wakili aku menghadapi Lim tay-hiap. cuma... kau boleh melukai tapi jangan membunuhnya, mengerti?"

Dayang itu menyahut, mencabut pedangnya berjalan ke hadapan Lim Han-kim dan katanya:

"Lim siangkong, silakan menyerang lebih dulu" Lim Han-kim menggeleng:

"Kau bukan tandinganku lebih baik suruh seebun Giok- hiong maju sendiri." "Lim siangkong, asal kau mampu mengalahkan budak. nona pasti akan melayani tantanganmu itu."

"Betul juga omongan dayang ini," pikir Li Han-kim kemudian, "Lagipula aku toh belum tahu sampai sejauh mana keampuhan ketiga jurus pukulan geledek serta ilmu pedang langit tersebut, kenapa tidak kupakai dayang ini sebagai kelinci percobaan?" Berpikir begitu, maka ia pun berseru: "Kalau begitu berhati-hatilah nona" sebuah pukulan segera dilontarkan lurus ke depan.

Menyaksikan datangnya serangan itu sangat aneh, lagipula susah diramalkan ke bagian mana serangan itu tertuju, terpaksa dayang itu melompat ke samping untuk menghindarkan diri.

Siapa tahu pada saat itulah Lim Han-kim memutar tangan kanannya sambil mengerahkan hawa murni, sebuah pukulan dahsyat tahu-tahu sudah meluncur ke muka.

Terdengar dayang itu menjerit kesakitan, tubuhnya terlempar lima langkah ke belakang, roboh terjungkal dan pedangnya terlempar hampir dua kaki dari sisi tubuhnya.

Mimpi pun Lim Han-kim tidak menyangka kalau pukulan geledek memiliki kedahsyatan yang begitu mengerikan untuk sesaat ia berdiri tertegun.

Ketika ia coba memperhatikan dayang tersebut, tampak gadis itu sudah tergeletak tewas dengan darah segar menyembur keluar dari ketujuh lubang inderanya.

Sambil gelengkan kepalanya berulang kali dan menghela napas panjang kata Lim Han-kim: "Seebun Giok-hiong, kenapa kau biarkan seorang anak buahmu dengan ilmu silat yang begitu bersahaja untuk menghantar nyawa dengan percuma? Apakah kau tidak merasa tindakanmu kelewat keji?"

Demonstrasi ilmu pukulan yang begitu dahsyat ini kontan mengejutkan seluruh jago yang hadir di sana, termasuk juga Nyonya Li sampai berdiri terbelalak dengan sinar mata tak percaya, ternyata tak seorang pun di antara yang hadir tahu ilmu silat macam apa yang telah digunakan anak muda itu barusan. Pelan-pelan Seebun Giok-hiong bangkit berdiri, katanya:

"Harus kuakui, Pek Si-hiang memang memiliki kemampuan yang luar biasa, tak nyana dalam beberapa waktu yang amat singkat kau mampu mengubah seseorang menjadi begitu dahsyat..."

Kemudian setelah berhenti sejenak. tambahnya: "Tapi sayang, kau telah mencelakainya, gara-gara

ulahmu itu, dia yang mestinya tak perlu mampus dalam pertemuan kali ini, terpaksa harus menghadapi saat akhirnya."

Lim Han-kim cukup sadar sampai dimana kehebatan ilmu silat yang dimiliki gadis tersebut seandainya ia benar-benar berniat membunuhnya, hal itu bisa dilakukannya semudah membalikkan telapak tangan, tapi ibaratnya sudah terlanjur menunggang di punggung harimau, mau mundur pun sudah tak mungkin, maka mau tak mau sambil membesarkan nyali ia menanggapi:

"Nona tak usah banyak bicara, siapa menang siapa kalah masih menjadi teka teki besar, kalau ingin bicara sesumbar, lakukan saja setelah berhasil mengungguli diriku nanti."

Mendengar ucapan tersebut raja pedang tertawa tergelak. timbrungnya dengan suara menggeledek

"Anak manis, hadapi perempuan itu dengan perasaan lega, cukup melihat semangatmu yang luar biasa, aku yakin kemenangan pasti berada di pihakmu." ,

Walaupun di bibir seebun Giok-hiong bicara besar, padahal hatinya sudah dibikin ciut oleh kematian dayangnya di tangan Lim Han-kim tadi, ia cukup sadar betapa dahsyatnya ilmu silat yang digunakan pemuda itu. Maka setelah menghimpun tenaga dalamnya ia menghardik. "Hati-hati"

Mendadak sebuah pukulan dilontarkan ke depan. Serangan ini dilancarkan dengan kecepatan luar biasa,

Lim Han-kim hanya merasakan pandangan matanya kabur, tahu-tahu selapis bayangan tangan sudah mengurung belasan buah jalan darah penting di seluruh badannya.

Menghadapi situasi seperti ini, tak terlukis rasa terkejut anak muda itu, buru-buru dia menghimpun seluruh kekuatan tubuh yang dimilikinya dan melepaskan sebuah pukulan meledek.

ilmu silat yang maha dahsyat ini bukan saja memiliki perubahan yang sukar diduga sebe-lumnya, lagipula secara otomatis akan mengeluarkan tenaga perlawanan bila membentur sesuatu kekuatan lain.

"Blaaammmm . . ." Terdengar suara ledakan yang memekikkan telinga bergema memecahkan keheningan, bayangan tangan yang semula menyelimuti seluruh udara tadi tahu-tahu hilang lenyap tak berbekas, seebun Giok-hiong dengan wajah hijau membesi terlempar mundur sejauh tiga langkah lebih.

Selesai melancarkan pukulan yang pertama, secara berantai Lim Han-kim melepaskan pula pukulan yang kedua diimbangi terjangannya ke muka.

Buru-buru seebun Giok-hiong menangkis datangnya ancaman itu, siapa tahu di saat terakhir sebelum terjadi bentrokan kekerasan, tiba-tiba Lim Han-kim memutar telapak tangannya sambil berganti sasaran.

"Duuuk . . . Kraaaakkk . . ." secara telak pukulan itu bersarang di lengan kiri seebun Giok-hiong menyebabkan lengan gadis itu terkulai lemas ke bawah.

Rupanya dalam hantaman kerasnya tadi Lim Han-kim berhasil mematahkan tulang tangan kiri gadis tersebut

Seebun Giok-hiong mendengus dingin, secepat petir ia mundur sejauh satu kaki lalu sambil meloloskan pedangnya ia membentak nyaring, diiringi kilauan cahaya putih, sebuah tusukan kilat dilepaskan. sedemikian cepat gadis itu melancarkan serangan pedangnya membuat Lim Han-kim tak sempat memutar otaknya, dalam keadaan gelagapan cepat-cepat ia cabut pedangnya sambil menyongsong kedatangan ancaman itu.

"Traaangg..." Dentingan nyaring bergema memecahkan keheningan, sekali lagi seebun Giok-hiong terdesak mundur sejauh tiga langkah, sekujur badannya bermandikan darah, ia berdiri sambil menenteng pedangnya dengan wajah serius dan kaku. Sebaliknya Lim Han-kim berdiri dengan napas terengah-engah dan keringat membasahi seluruh tubuhnya, jelas ia kelelahan dan kehabisan tenaga.

Bentrokan yang baru terjadi ini berlangsung amat cepat, sedemikian cepatnya hingga tak banyak jago yang sempat menyaksikan jalannya pertarungan itu secara jelas.

Kendati begitu, raja pedang dapat mengikuti semua pertarungan itu dengan jelas, tampak dia menghampiri Lim Han-kim dengan langkah pelan dan bertanya lembut: "Anak muda, apa sih nama ilmu pedang yang barusan kau gunakan?"

"Il... ilmu gedang laa... langit" sahut Lim Han-kim tersengal-sengal. Raja pedang segera tertawa terbahak- bahak:

"Hahahaha... cukup, cukup, seandainya kau memiliki kematangan seratus persen, aku yakin tiada seorang manusia pun di dunia ini yang mampu menandingimu."

Sementara itu seebun Giok-hiong masih berusaha menahan goncangan tubuhnya yang keras, lalu serunya diiringi suara tertawa yang tinggi melengking:

"Pek si- hiang, kendatipun kau berhasil menangkan pertarungan hari ini, sayang seluruh orang yang hadir dalam pertemuan hari ini bakal mampus dan tak akan terhindar dari petaka, peristiwa tragis tak lama lagi akan segera berlangsung."

Pek si-hiang bangkit berdiri, bisiknya kepada Li Tiong- hui: "Nona Li, ayoh kita bujuk cici seebun agar segera mengakhiri drama ini." Sementara itu suasana dalam arena telah terjadi perubahan, raja pedang dengan wajah serius telah mencabut pedangnya dan ditancapkan di hadapan Lim Han-kim sambil berkata:

"Percuma aku memiliki nama besar sebagai raja pedang nyatanya aku harus mengakui bahwa jurus seranganmu tadi tak mampu kuhadapi. Nah, terimalah pemberian pedang ini sebagai kenangan"

Setelah itu kepada seebun Giok-hiong tegurnya pula: "Jadi kau adalah putrinya seebun Hong dari perguruan

bunga bwee?" "Benar"

Meskipun darah yang bercucuran keluar dari mulut lukanya amat deras, hampir seluruh pakaian yang dikenakan telah bergelepotan darah, namun ia tetap bersikap tegar, tenang dan tak terlintas perasaan kesakitan, seakan-akan luka yang dideritanya itu tak pernah terpikir olehnya.

Setelah tertawa hambar kembali raja pedang bertanya:

"jadi sekarang kau ingin membalaskan dendam sakit hati orang tuamu?"

"Betul, dendam kesumat ini lebih dalam dari samudra, sebagai keturunannya aku wajib membalaskan dendam bagi kematian mereka berdua." Raja pedang segera tertawa terbahak-bahak:

"Hahahaha... membalaskan dendam kesumat bagi kematian orang tua memang menjadi kewajiban setiap putra putrinya, cuma sayang seebun Hong bukan ayah kandungmu." Mula-mula seebun Giok-hiong agak tertegun menyusul kemudian teriaknya marah:

"Ngaco belo, kau jangan mencoba memutar balikkan kenyataan semua peristiwa ini kudengar sendiri dari ibu asuhku..."

"Kau anggap Seebun Hong itu manusia super atau manusia hebat?"

Raja pedang tersenyum, "Mana mungkin dia bisa melahirkan seorang putri secerdik dan sehebat dirimu?"

"Lalu menurut pendapatmu, siapa ayahku?" "Tentu saja aku, si raja pedang"

Begitu ucapan tersebut dikemukakan, suasana di seluruh arena jadi gempar. seebun Giok-hiong nampak tertegun, tapi segera hardiknya: "Kau jangan ngoceh seenaknya..."

Sambil berteriak. tangan kanannya diayunkan berulang kali, sekilas cahaya pedang segera meluncur ke depan dengan kecepatan luar biasa.

Temyata si raja pedang sama sekali tak berusaha untuk menghindar tampak empat bilah pedang pendek menancap telak di tubuh raja pedang tersebut, darah segar menyembur keluar membasahi tubuhnya.

Dengan rasa tertegun bercampur keheranan tegur seebun Giok-hiong: "Mengapa kau tidak menghindar?"

"Mereka semua menuntut salah satu anggota tubuhku, jadi sudah selayaknya bila kau pun mewakili ibumu untuk menusuk tubuhku beberapa kali." "Jadi kau bicara serius?" seebun Giok-hiong mulai mengerutkan dahinya.

Pelan-pelan si raja pedang mengeluarkan separuh gelang kemala dari dalam sakunya, sambil diperlihatkan ke hadapan gadis itu katanya:

"Asal kau memiliki separuh gelang kemala yang lain, maka ceritaku tadi akan terbukti bukan isapan jempol saja."

Seebun Giok-hiong menerima pemberian gelang kemala itu, setelah diamati sekejap. dari dalam sakunya dia pun mengeluarkan separuh buah gelang kemala yang segera disatukan dengan gelang kemala pemberian raja pedang.

Benar juga, ternyata gelang itu memang asalnya satu, bahkan pada kedua belah gelang yang telah disatukan itu terbaca beberapa huruf yang berbunyi:

"PUTRI RAJA PEDANG."

"Sekarang kau sudah percaya bukan?" tanya raja pedang sambil menghela napas panjang.

Tiba-tiba seebun Giok-hiong menutup wajahnya dan menangis tersedu-sedu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia balikkan tubuh dan lari meninggalkan arena.

Sementara itu Nyonya Li mengikuti semua peristiwa tersebut dengan pandangan kaku dan dingin, selapis hawa putih menyelimuti wajah-nya, bentaknya mendadak: "Kau benar-benar biadab, dimana saja melakukan perbuatan tak senonoh" Pek si-hiang sendiri pun menggunakan kesempatan tersebut berbisik kepada Li Tiong-hui:

"Kini ancaman musibah telah berlalu, yang tertinggal hanya urusan pribadi beberapa orang itu, lebih baik kau bubarkan dulu para jago yang hadir di sini." Li Tiong-hui manggut-manggut, segera serunya lantang:

"Kini badai dan ancaman telah berlalu, aku rasa saudara sekalian juga tak ada gunanya tetap tinggal terus di sini, silakan kembali dulu ke ruang pertemuan untuk mencicipi hidangan."

Pada mulanya kawanan jago itu mengira pertempuran berdarah yang amat mengerikan pasti tak bisa dihindari, bahkan keselamatan jiwa mereka pun menjadi tanda tanya besar, siapa tahu akhir dari kesemuanya ini sama sekali di luar dugaan.

Maka begitu Li Tiong-hui turunkan perintahnya, para jago pun serentak membubarkan diri dari seputar arena menuju ke ruang pertemuan.

Nyonya pedang patah hati pun berpaling ke arah anak buah yang dibawa seebun Giok-hiong sambil memberi perintah: "Lebih baik kalian pun membubarkan diri"

Dengan kepergian seebun Giok-hiong, berarti rombongan ini telah kehilangan pemimpinnya, ucapan dari Nyonya pedang patah hati segera menyadarkan mereka dari lamunan, tanpa diperintah untuk kedua kalinya serentak mereka membubarkan diri dari arena tersebut. 

Dalam waktu singkat lembah Ban-siong-kok jadi hening dan sepi, dari berapa ratus orang yang semula memadati lapangan tersebut kini tersisa hanya belasan orang saja.

Setelah suasana jadi hening kembali, Pek si-hiang baru tampil ke depan, berjalan menuju ke hadapari Tokau itu dan memberi hormat sambil serunya: "Ooh ibu . . . apakah kau masih kenal dengan putrimu?"

Dengan air mata berlinang Tokau itu membangunkan Pek si-hiang, bisiknya:

"Sekarang berdiri dan menyingkirlah dulu ke sana, aku harus membantu bibi Li untuk membuat perhitungan dengan lelaki paling keji ini." Raja pedang menggeleng pelan, tukasnya:

"Kalian tak perlu turun tangan sendiri, apa yang telah kujanjikan pasti akan kupersembahkan satu persatu kepada kalian semua."

Tiba-tiba Nyonya Li menghela napas panjang katanya: "Kalau dipikir kembali, semua pertikaian, dendam

kesumat dan rasa benci yang berlangsung dalam tiga

puluh tahun terakhir ini hanya timbul gara-gara ulah kau seorang, semestinya kau patut merasa bangga serta menyesal atas semua perbuatanmu itu, karena kesemuanya ini tak terlepas dari ulah kau seorang." Raja pedang mendongakkan kepalanya dan tertawa keras:

"Hahahaha... mungkin kalian anggap hidupku selama ini kulewati dalam suasana penuh riang gembira dan kebahagiaan-.." setelah menghela napas sedih, lanjutnya: "Kalau kamu semua masih bisa membenci seseorang, sedang aku... tak ada seorang pun yang bisa kubenci, tak seorang pun bisa ku- kekang dan kucintai... hidupku selama dua puluh tahun terakhir ibarat duduk di atas jarum, mungkin sampai mimpi pun kalian tak akan bisa membayangkan betapa tersiksa dan menderitanya hidupku selama ini."

Mendadak Lim Han-kim berjalan menuju ke hadapan ibunya, lalu berseru: "Ooh ibu, apakah si raja pedang inilah ayah kandungku?"

"Sebelum kau lahir di dunia ini, ayahmu telah menyia- nyiakan kau, membuang dirimu dari sisinya, jadi ayahmu sudah mati sedari dulu."

"Ooh ibu . . ." Kembali Lim Han-kim menukas, "Bagi seorang anak, orang tua itu selalu benar dan tak bersalah, kendatipun di masa lalu mungkin ayah telah menyakiti hati ibu serta menyia-nyiakan kita berdua, tapi bagaimana pun juga ia tetap adalah ayah kandungku, ibu..."

"Tutup mulut" bentak perempuan itu penuh amarah, "Sekarang kau telah dewasa, kau boleh pilih mau ikut ibu atau ikut bapakmu, aku memang tak mampu mencegah keinginanmu tentukan sendiri pilihanmu sekarang juga."

Lim Han-kim tertegun dan tak berani banyak bicara lagi, dengan mulut terbungkam terpaksa ia mundur dari arena.

Pelan-pelan raja pedang menyapu Nyonya Li sekalian sekejap. ketika dilihatnya beberapa orang wanita itu memandang ke arahnya dengan sinar mata kebencian, sadarlah lelaki ini bahwa kebencian mereka terhadap dirinya telah merasuk sampai ke tulang sumsum, maka setelah tertawa hambar katanya: "Sebelum ajalku tiba, ada beberapa patah kata ingin kusampaikan terlebih dulu, sebab tidak enak rasanya kalau tidak kuutarakan kepada kalian"

"Cepat katakan"

"Sepeninggalku nanti berarti semua dendam kesumat yang terjalin antara kalian semua ikut berakhir pula, aku berharap kalian jangan saling bermusuhan lagi, hiduplah berdampingan dengan penuh kedamaian-"

"Kau tak usah mencampuri urusan kami bersaudara..." potong Nyonya Li ketus.

"Hahahaha... baiklah, beri sedikit kesempatan bagiku untuk berpamitan dengan anak istriku..."

Ia berjalan menghampiri istrinya yang jelek itu dan secara tiba-tiba menotok jalan darahnya hingga Pangeran maupun permaisuri pedang tak dapat berkutik lagi. Kemudian diambilnya kutungan pedang dari atas tanah dan katanya lebih jauh:

"Bila jalan darah mereka berdua tidak kutotok lebih dahulu, mereka pasti akan berusaha menghalangi niatku..."

Bicara sampai di situ, mendadak kutungan pedang itu diayunkan ke atas lengan kanan sendiri dan menebasnya hingga kutung menjadi dua bagian.

Darah segar pun segera menyembur keluar dari mulut lukanya dan membasahi tubuhnya.

Paras muka si raja pedang tetap tenang seolah-olah tak pernah terjadi suatu peristiwa pun, ia pungut lengan kanan sendiri yang telah tertebas kutung itu dan diserahkan ke tangan nyonya Li sambil katanya: "Nah, terimalah lengan kananku"

"Buang saja ke tanah" jawab Nyonya Li sambil melengos ke arah lain.

Raja pedang tersenyum, ia buang kutungan lengan kanannya ke tanah kemudian baru berpaling ke arah nyonya berpakaian Tokau itu sambil katanya lagi: "Kau inginkan lidahku, nah segera kupersembahkan lidahku untukmu..."

Kembali kutungan pedang itu bekerja menyayat lidah sendiri, kucuran darah segar kembali menyembur keluar dari mulutnya membasahi pakaian maupun permukaan tanah.

Raja pedang kembali memungut potongan lidahnya dan diberikan kepada pendeta wanita itu.

Dengan mata terpejam rapat dan air mata bercucuran deras membasahi pipinya, pendeta wanita itu menerima kutungan lidah tersebut dan memegangnya erat-erat.

Ketika ia mengalihkan kembali pandangan matanya ke tengah arena, tampak si raja pedang telah mencongkel keluar mata kanan sendiri dan menyerahkan ke tangan Nyonya pedang patah hati.

Sambil menerima bola mata yang masih bergelepotan darah segar itu Nyonya pedang patah hati mendongakkan kepalanya dan tertawa keras.

Selesai mengutungi lengan sendiri, memotong lidah sendiri dan mencongkel keluar biji mata sendiri, kembali raja pedang mengayunkan kutungan pedang itu ke arah ulu hati sendiri "Cukup," bentak Lim Han-kim sambil menerjang ke arah si raja pedang.

Mendadak raja pedang mengayunkan kakinya melancarkan sebuah tendangan kilat ke arah dada Lim Han-kim, tendangan tersebut meski dilancarkan sangat cepat dan luar biasa hebatnya, namun sama sekali tidak mengandung tenaga penghancur yang mengerikan, sebaliknya tenaga yang lembut justru menahan tubuh anak muda itu hingga tak mampu bergerak lebih jauh.

Bukan begitu saja, malahan bersamaan waktunya terlihat tubuh Lim Han-kim terhuyung mundur dan roboh terkapar ke tanah, rupanya dalam tendangan tersebut raja pedang telah menotok jalan darahnya.

Bersamaan waktunya tubuh Lim Han-kim roboh terkapar ke atas tanah, raja pedang telah mengayunkan kutungan pedangnya ke arah ulu hati sendiri, membelah dadanya dan mengorek keluar jantung sendiri yang nampak masih berdenyut

Di bawah sinar matahari yang cerah, wajah raja pedang kelihatan amat menyeramkan dengan wajah dan tubuh penuh gelepotan darah ia awasi perempuan berbaju sederhana itu sambil menyeringai

Menyaksikan adegan yang sangat mengerikan ini, perempuan berbaju sederhana itu tak sanggup menahan diri lagi, tiba-tiba teriaknya keras: "Kekasih Lim ..."

Sembari berteriak, ia menerjang ke muka dan memeluk tubuh raja pedang itu erat-erat.

Semenjak mengutungi lengan sendiri, mengorek keluar biji mata kanannya, memotong lidah sendiri dan mencongkel keluarjantung sendiri, posisi raja pedang masih tetap berdiri tegak, ini semua tak lain berkat pertahanan tubuh serta tenaga dalamnya yang kuat, tapi setelah ditubruk oleh tubuh perempuan berbaju sederhana itu, ia tak sanggup menahan diri lagi, tubuhnya langsung roboh terjungkal ke tanah.

Serentak Nyonya Li, pendeta wanita serta Nyonya pedang patah hati maju mengerumuni tubuh si raja pedang tersebut

Tampak raja pedang menggeliat dan berusaha bangkit berdiri, dengan menggunakan darah yang mengucur dari tubuhnya ia menulis beberapa huruf di atas pakaian Nyonya Li yang berwarna putih itu, tulisan tersebut berbunyi: "Biarkan mereka ibu dan anak pulang kembali ke Lam-hay" Dengan air mata bercucuran Nyonya Li mengangguk, bisiknya: "Tak usah kuatir saudara Lim, akan kupenuhi permintaanmu itu." Kembali raja pedang menulis di atas pakaian Nyonya Li dengan darahnya:

"Dengan darah telah kubayar semua hutangku, kini hutang piutang telah impas, perasaan hatiku juga ikut lega."

"Kekasih Lim, kenapa kau anggap semuanya ini terlalu serius..." pekik perempuan berbaju sederhana itu sambil berpekik sedih.

Raja pedang menggeleng, kepada pendeta wanita yang berdiri di hadapannya kembali dia menulis:

"Aku mewakili anakku meminang anak putrimu, harap putrimu bersedia menjadi istri Han kim." Dengan air mata bercucuran pendeta wanita itu mengangguk. katanya:

"Pada dasarnya mereka memang pasangan sejoli yang setimpal, aku pasti akan mengawinkan mereka berdua."

Sekujur badan raja pedang mulai gemetar keras, tapi ia memaksakan diri untuk menulis kembali:

"Kalau teringat kembali cinta kasih kita semua di masa lalu, aku menyesal kenapa Thian menimpakan nasib buruk untuk kita semua."

Dengan menahan sesenggukan karena sedih kata Nyonya pedang patah hati:

"Sebelum bertemu denganmu, memang timbul rasa benci dalam hatiku, tapi sekarang, melihat cucuran darahmu, aku merasa amat menyesal..."

Mendadak raja pedang menggeliat sambil melompat bangun, ia genggam tangan kanan perempuan berbaju sederhana itu erat-erat, lalu mata kirinya terpejam dan menghembuskan napas terakhir.

"Kekasih Lim... Kekasih Lim..." pekik perempuan berbaju sederhana itu sambil memeluk jenasah raja pedang erat-erat.

Isak tangis pun segera meledak memecahkan keheningan lembah Ban-siong-kok, suasana menjadi amat murung dan memedihkan hati.

Entah berapa saat sudah lewat, sampai lama kemudian Nyonya Li baru membesut air matanya, membangunkan perempuan berbaju sederhana itu dan berusaha membujuk: "Ji-moay (adik kedua), orang yang telah mati tak akan hidup kembali, menangis terus juga tak ada gunanya kau harus menjaga kesehatan badanmu." sambil menahan rasa sedih yang mendalam jawab perempuan itu:

"Semenjak kupunahkan seluruh kepandaian silatku, sebenarnya perasaan hatiku telah mengering, aku merasa banyak berhutang kepadanya maka akan kugunakan sisa hidupku untuk menemani kuburannya, lagipula anakku Han-kim sudah dewasa, aku berharap cici mau mewakili aku untuk mengawasinya."

Selesai berkata ia bopong jenasah raja pedang dan beranjak pergi dari situ dengan langkah lebar.

"Mari kuantar" bisik Nyonya pedang patah hati sambil mengintil di belakangnya.

Sepeninggal kedua orang wanita itu, Nyonya Li baru berpaling ke arah pendeta wanita itu sambil berkata:

"Sam-moay (adik ketiga), akhir dari drama ini kelewat tragis... aaai, yang harus kita pikirkan sekarang adalah bagaimana dengan keturunan kita, ayoh kita bereskan perkawinan dari Han-kim dengan putrimu..."

Kemudian setelah angkat wajahnya dan menghembuskan napas panjang, lanjutnya:

"Tugasku menjaga keadilan dan kebenaran dunia persilatan telah berakhir, tanggung jawabku terhadap perkampungan keluarga Hong-san juga telah usai, aku rasa semua tugas ini menjadi giliran Lim Han-kim untuk melanjutkan. Aku percaya dengan bantuan Pek si-hiang yang cerdik dan hebat, dalam tiga puluh tahun mendatang dunia persilatan tak akan terjadi masalah lagi, semoga saja mereka dapat memimpin dunia persilatan secara adil dan bijaksana, hingga kita sebagai angkatan tua bisa beristirahat dengan tenang ..."

Dan sampai di sini pula kisah "PEDANG KEADILAN", semoga kita dapat bersua kembali dalam cerita silat lain.

Terima kasih.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar