Pedang Keadilan II Bab 38 : Melawan pengaruh iblis

 
Bab 38. Melawan pengaruh iblis

Lim Han-kim turut tak tega, sambil berusaha menahan air matanya jatuh berlinang, bisiknya pelan: "cepatlah berlatih ilmu sesat sembilan iblis untuk melawan penderitaanmu itu"

Mendengar anjuran tersebut, sambil gelengkan kepalanya Phang Thian-hua berkata: "Saudara Lim, kau toh benci bila dia berlatih ilmu sesat sembilan iblis, kenapa sekarang malah menganjurkan dia untuk berlatih?"

"Coba kau lihat penderitaannya. Kalau tidak menyuruhnya melatih ilmu sesat tersebut, bisa jadi dia akan mati lantaran tersiksa,"

"Kenapa kau tidak berusaha untuk membantunya, siapa tahu dengan kekuatanmu dia bisa lolos dari percobaan ini?"

"Meski aku berniat untuk melakukannya, sayang kemampuanku amat terbatas untuk berbuat begitu"

"Bagaimana kalau kubantu?"

"Silakan locianpwee memberi petunjuk. aku yang muda siap untuk mendengarkan" "Pertama-tama totok dulu jalan darah Yu-bun dan Ki- koan-hiat-nya"

Lim Han-kim agak tertegun, tapi ia menurut dan menotok juga jalan darah Yu-bun dan Ki-koan-hiat di tubuh Pek si-hiang.

Terdengar Pek si-hiang, menghembuskan napas panjang dan tiba-tiba menjadi tenang kembali, giginya yang semula menggigit kencang ujung selimut pun pelan-pelan dilepaskan. Agaknya dengan tertotoknya jalan darah itu, penderitaan serta siksaan yang dialaminya menjadi jauh lebih berkurang.

Lim Han-kim berpaling memandang Phang Thian-hua sekejap. kemudian tanyanya: "Locianpwee, apa tindakan kita berikutnya?"

Belum sempat Phang Thian-hua menjawab, mendadak pintu ruangan didorong orang.

Ketika semua orang berpaling, tampak seorang dayang berbaju hijau pelan-pelan masuk ke dalam, memberi hormat kepada Lim Han-kim dan katanya: "Lim siangkong, kau diundang nyonya kami."

"Nyonya Li mengundang aku?" seru Lim Han-kim tertegun.

"Benar"

Lim Han-kim berpaling ke arah Phang Thian-hua dan pesannya: "Tolong locianpwee jaga keadaan nona Pek. aku segera akan kembali ke sini"

"Kau tak usah khawatir saudara Lim" Tampaknya dayang berbaju hijau itu sudah tak sabar menunggu, kembali bisiknya:

"Nyonya kami sudah lama menunggu" "Ayoh kita berangkat"

Mengikuti di belakang dayang berbaju hijau itu, Lim Han-kim berjalan ke luar dari ruangan, sambil berjalan, ia mencoba memperhatikan pemandangan di seputar sana. Ternyata segala sesuatunya masih seperti sedia kala, tidak nampak bekas pertarungan, juga tak nampak ada kerusakan.

Menyaksikan semua ini, tak tahan pemuda itu bertanya: "Apakah musuh tangguh yang menyerang keluarga Hong-san telah berhasil dipukul mundur?"

"Hmmm Tak seorang pun dari pihak kami yang turun tangan, tapi nyatanya musuh harus mundur dengan membawa luka. siapa yang berani menyatroni keluarga Hong-san sama artinya dengan mencari penyakit buat diri sendiri"

"Kalau tak seorang pun yang turun tangan, bagaimana mungkin musuh bisa mundur dengan membawa luka?"

"Ong popo sangat pandai menjinakkan tawon, musuh sudah terluka oleh sengatan beracun tawon-tawon itu..."

Agaknya kemudian dayang itu sadar kalau ia sudah salah berbicara, buru-buru ia menutup mulutnya rapat- rapat.

Lim Han-kim juga tak banyak bicara lagi, ia percepat langkahnya menelusuri jalan setapak. Sesudah melewati beberapa buah halaman luas, sampailah mereka di depan sebuah pesanggrahan yang megah. Dayang berbaju hijau itu langsung masuk ke dalam ruangan pesanggrahan itu.

Ketika Lim Han-kim menyusul masuk ke dalam, tampak nyonya Li sedang duduk di sebuah bangku rotan sambil mengawasi bunga seruni putih di depan jendela dengan termangu.

"Nyonya" kata dayang berbaju hijau itu sambil memberi hormat, "Lim siangkong telah datang"

"Sudah tahu, kau boleh pergi" sahut nyonya Li sambil tetap menatap bunga seruni putih di luar jendela dengan termangu

Dayang berbaju hijau itu menyahut dan pelan-pelan mengundurkan diri dari situ.

Lim Han-kim mencoba melirik nyonya Li sekejap. Tampak perempuan itu berwajah cantik dan sangat anggun, ia memakai baju warna biru, mukanya berwibawa dan mendatangkan rasa hormat bagi yang memandang.

Tanpa terasa ia menjura dalam-dalam seraya menyapa: "Aku yang muda, Lim Han-kim, menjumpai locianpwee"

Nyonya Li berpaling memandang Lim Han-kim sekejap, lalu ditunjuknya bangku yang berada di sisinya sambil berkata: "Duduklah di sana"

"Entah ada urusan apa locianpwee memanggilku?" tanya Lim Han-klm setelah mengambil tempat duduk, "Baik-baikkah ibumu?"

Lim Han-kim tertegun lalu sahutnya: "lbunda sehat walaftat."

"Baikkah ayahmu?"

"Sudah lama ayahku meninggal, bahkan aku yang muda pun belum sempat melihat raut muka ayahku."

Nyonya Li menghela napas panjang.

"Ibumu pernah menyinggung tentang masa lalu ayahmu?"

"Belum pernah ibu menyinggung soal masa lalu ayahku."

"Sebagai seorang anak, masa tak ingin tahu asal-usul sendiri? Sekali pun Ibumu tak pernah menyinggung, masa kau tak dapat mendesaknya agar menjelaskan?"

Tergerak hati Lim Han-kim setelah mendengar ucapan itu, pikirnya: "Heran, kenapa tiba-tiba ia mengajukan pertanyaan yang menyangkut asal-usulku, bahkan pertanyaannya begitu menjurus?"

Kendatipun timbul perasaan curiga, tak urung dijawabnya juga dengan sejujurnya:

"Beberapa kali aku pernah ajukan pertanyaan yang menyangkut mendiang ayahku, tapi setiap kali ibu pasti mencaci maki diriku habis-habisan, kemudian ibu menangis tersedu-sedu. Karena aku tak ingin ibu menderita gara-gara persoalan ini, maka aku pun tak berani menyinggung masalah itu lagi."

"Benarkah di belakang telinga kiri ibumu terdapat sebuah tahi lalat berwarna merah?" Lim Han-kim termenung berpikir sejenak, lalu serunya: "Yaa betul, dari mana locianpwee bisa tahu?"

Perlahan-lahan nyonya Li membalikkan tubuhnya dan menatap wajah Lim Han-kim lekat-lekat, katanya: "Dulu, ibumu adalah saudaraku yang paling baik dan paling akrab."

Mendengar itu Lim Han-kim berpikir: "Wajahku sedikitpun tidak mirip ibu, sekalipun ia akrab sekali dengan ibu, tidak mungkin ia bisa temukan ciri- ciri khas ibuku dari pengamatan pada wajahku, bisa jadi ia menebaknya dari namaku..."

Berpikir sampai di sini dia pun berkata: "Ooh, rupanya begitu, boleh aku tahu, aku harus menyebut apa terhadap locianpwee?"

"Terserah apa maumu" sahut Nyonya Li sambil tertawa hambar.

Kembali Lim Han-kim berpikir: "Ia bilang, hubungannya dengan ibuku melebihi hubungan persaudaraan, jadi sepantasnya bila aku memanggilnya bibi." Maka dia pun berseru: "Kalau begitu aku harus menyebut bibi."

"Terserah apa maumu." pelan-pelan nyonya Li bangkit berdiri "Sekarang kau boleh kembali."

Ia memberi tanda kepada si dayang berbaju hijau yang berada di muka pintu dan tanpa menunggu Lim Han-kim berbicara, perintah-nya: "Ajak Lim siangkong balik ke kamarnya"

Seusai berkata, ia menoleh ke luar jendela dan tidak menengok lagi pemuda tersebut walau sekejappun. Kendati pelbagai pertanyaan memenuhi benak Lim Han-kim, namun sikap Nyonya Li yang begitu dingin, kaku dan hambar, memaksa pemuda tersebut mau tak mau harus menelan kembali semua pertanyaannya.

Dengan berjalan mengikuti di belakang dayang tadi, kembalilah dia ke kamarnya.

Sepanjang jalan suasana amat hening, agaknya dayang itu khawatir Lim Han-kim mengajukan berbagai pertanyaan kepadanya, ia berjalan cepat sekali, dalam waktu singkat mereka telah tiba dipesanggrahan di mana Pek si-hiang sedang dirawat

Setelah membukakan pintu ruangan, buru-buru dayang itu mohon pamit dan berlalu dari sana.

Mengawasi bayangan punggungnya yang menjauh, dalam hati kecil Lim Han-kim berpikir "Heran, kenapa ia datang dan pergi dengan begitu terburu-buru, seolah- olah khawatir aku mengajukan pertanyaan kepadanya? Ehmmm, ia pasti sudah tahu latar belakangnya."

Belum habis lamunannya, Hiang-kiok sudah membukakan pintu sambil berseru dengan gembira: "Lim siangkong, nona kami sudah sadar kembali"

"Bagus sekali" sahut Lim Han-kim sekenanya, masalah berat yang membebani benaknya membuat pemuda ini segan banyak bicara.

Di atas pembaringan tampak Pek si-hiang berbaring dengan wajah tenang, matanya terpejam dan napasnya teratur, semua penderitaan yang mencekam wajahnya kini sudah lenyap tak berbekas, Phang Thian-hua dengan tongkatnya berdiri serius di sisi pembaringan, ia kelihatan amat keren, sedang siok-bwee kelihatan agak murung dan risau, agaknya ia sudah mendapat firasat bahwa setelah suasana yang hening ini lewat, suatu badai yang lebih dahsyat pasti akan berlangsung.

Hanya Hiang-kiok yang belum hilang sifat kekanak- kanakannya, wajahnya kelihatan berseri, tampaknya ia belum menyadari betapa seriusnya suasana saat itu.

Dari situasi yang terbentang di depan mata, Lim Han- kim dapat merasakan betapa seriusnya keadaan saat itu, setelah berhasil menenangkan perasaan hatinya, ia berbisik "Locianpwee, apakah keadaan luka nona Pek sudah ada perubahan?"

"Bila dalam satu jam mendatang tidak terjadi perubahan atas dirinya, berarti situasi kritis sudah terlalui."

"Apakah locianpwee dapat merasakan sesuatu?" "Sepeninggal saudara Lim tadi, aku periksa denyut

nadinya, secara lamat-lamat kutemukan ada segumpal

hawa murni yang tak terkendali sedang mengalir dan menerjang dalam sekujur tubuhnya..."

Kemudian setelah menghela napas panjang, lanjutnya: "Gejala semacam ini mirip sekali dengan pertanda jalan Api Menuju Neraka yang sering dialami para pesilat. Aku tak dapat menduga apakah aliran hawa murni yang tak terkendali itu bakal menimbulkan sesuatu perubahan atau tidak."

"Kalau sudah tahu ada aliran hawa yang tak terkendali, kenapa locianpwee tidak mencoba untuk membimbing aliran tersebut agar mengalir pada jalurnya yang benar?" sela Lim Han-kim. "Bila ada yang menggiring dari luar dan dia pribadi meluruskannya dari dalam, mungkin cara tersebut bisa membuahkan hasil, Tapi kini, nona Pek sendiripun tak sanggup menguasai diri, bagaimana mungkin aku dapat menggiring aliran tersebut dari luar?"

"Jadi kalau begitu kita hanya bisa pasrah pada nasib dan biarkan ia berkembang sendiri?"

"Asalkan aliran sesat itu tidak sampai menyusup ke dalam urat nadi serta sendi-sendi utamanya, mungkin saja setelah mengalir beberapa waktu, aliran tersebut akan balik kembali pada jalur yang sebenarnya. Bila dilihat dari sikap tidurnya yang begini tenang sekarang, mungkin saja aliran sesat itu sudah kembali pada posisi yang sebenarnya."

Mendengar itu, Lim Han-kim menghela napas panjang. "Aaaai... aku rasa cara ini kelewat nyerempet bahaya..."

"Masalah apa sih?" Tiba-tiba terdengar seseorang menimbrung

Ketika Lim Han-kim berpaling, tampak Li Tiong-hui sedang melangkah masuk ke dalam ruangan.

"Ooh, kami sedang membicarakan keadaan nona Pek." ujar Phang Thian-hua menerang-kan.

"Bukankah dia sedang tertidur nyenyak?" kata Li Tiong-hui setelah menengok Pek si-hiang sekejap.

"Sepintas lalu ia memang kelihatan tidur amat tenang dan nyenyak, padahal aliran hawa sesat sedang bergolak dalam isi perutnya, apabila sampai tersesat ke dalam nadi dan sendi-sendi penting, keselamatan jiwanya terancam." Li Tiong-hui menengok Lim Han-kim sekejap lalu pelan-pelan berjalan ke hadapan pembaringan, tangannya ditempelkan ke dada Pek si-hiang,

Lebih kurang sepenanak nasi kemudian baru ia menarik kembali tangannya dan menghela napas.

"Yaa, betul, pergolakan hawa murni dalam isi perutnya sangat menghebat, ibarat kuda liar yang terlepas kendali, aku takut susah untuk dikendalikan lagi..."

Setelah menatap sekejap wajah Lim Han-kim, ia menoleh kearah Phang Thian-hua sambil meneruskan: "Phang cengcu, kau punya akal untuk mengembalikan aliran hawa murninya yang tersesat?"

Phang Thian-hua menggeleng.

"Bila ada cara yang jitu, tak nanti kutunggu sampai sekarang."

"Gejala ini mirip dengan gejala jalan api menuju neraka bagi kaum pesilat, makin lama kita mengulur waktu, semakin berbahaya keselamatan jiwanya, urusan ini tak bisa ditunda-tunda lagi Phang cengcu, bila kau memang menyerah, terpaksa kita harus menanyakan masalah ini kepada ibuku"

Phang Thian-hua menghela napas, ia seperti hendak mengucapkan sesuatu tapi niat tersebut dibatalkan kemudian.

"Barusan aku telah bertemu dengan Nyonya Li" kata Lim Han-kim.

"Apa yang ibu tanyakan kepadamu?" "Nyonya Li menanyakan soal asal-usulku." Seakan-akan dadanya dihantam orang keras-keras, sekujur badan Li Tiong-hui bergetar keras, serunya tertahan: "lbu menanyakan asal-usulmu?"

"Betul, malahan ibumu adalah sahabat lama ibuku." "Dari mana kau bisa tahu?" Li Tiong-hui tertegun.

"Sebetulnya aku sendiripun tak tahu, malah ibumu yang memberitahukan kepadaku, ibumu bahkan dapat menyebutkan ciri khas ibuku secara tepat, kenyataan ini membuat aku mau tak mau harus percaya juga."

"Oooh, rupanya begitu" Li Tiong-hui menghela napas pelan.

Tiba-tiba muncul seorang dayang berbaju hijau yang lari masuk dengan tergopoh-gopoh sambil melapor: "Di luar gedung kedatangan seorang lelaki dan dua wanita yang ingin bertemu dengan nona."

"Jangan-jangan para jago dari pelbagai partai yang mendapat kabar telah berdatangan? Tapi rasanya tak mungkin secepat itu..." pikir Li Tiong-hui. Segera tegurnya: "Apakah mereka menyebutkan namanya?"

"Yaa, lelaki itu mengaku dari keluarga Pek."

"Aaah, pasti loya kami yang telah menyusul kemari," seru Hiang-kiok cepat. "sekarang mereka berada di mana?"

"Semenjak ada penceroboh yang menyusup masuk ke dalam perkampungan Hong-san, ong popo telah memperketat penjagaan disetiap penjuru, kini mereka masih tertahan di mulut lembah." "Baiklah, undang mereka masuk, akan kutemui mereka di ruang tamu."

"Ong popo berpesan juga, berhubung keluarga Hong- san kita punya aturan yang mewajibkan setiap pendatang melepaskan senjata, maka Ong popo minta petunjuk apakah teman-teman nona juga wajib meninggalkan senjata mereka di luar lembah?"

Li Tiong-hui termenung sambil berpikir sejenak. kemudian menggeleng: "Tidak usah, karena mereka mohon menghadap secara baik-baik, berarti mereka tidak berniat memusuhi kita."

Tiba-tiba siok-bwee memberi hormat seraya berkata: "Nona Li, apa yang diucapkan adikku Hiang-kiok tepat sekali. Besar kemungkinan loya kami yang telah menyusul ke sini, Bagaimana kalau budak menyertai nona untuk pergi menjumpainya, Bila dia memang loya kami, budak akan tampilkan diri untuk bertemu, sebaliknya kalau bukan, budak akan mengundurkan diri secara diam-diam, hingga nona pun bisa melakukan persiapan secukupnya."

"Baiklah, Kalau begitu, ikutlah aku" "Terima kasih, nona"

Sambil berpaling kearah Phang Thian-hua, kembali gadis itu berpesan: "Phang cengcu, tolong rawatlah nona Pek baik-baik, setelah bertemu dengan pendatang, aku akan mencari ibuku untuk minta petunjuk"

"Aku akan berusaha dengan sepenuh tenaga"

Dengan disertai siok-bwee, berangkatlah Li Tiong-hui meninggalkan ruangan itu. Mendadak Phang Thian-hua teringat kembali sikap Nyonya Li ketika bertemu Lim Han-kim untuk pertama kalinya, satu ingatan melintas dalam benaknya, ia berpikir "Kesempurnaan ilmu silat yang dimiliki nyonya Li sudah mencapai taraf sikap yang begitu dingin dan hambar, suatu tingkatan yang luar biasa sempurnanya. Tapi aneh, kenapa ia tak mampu mengendalikan emosinya tatkala bertemu Lim Han-kim untuk pertama kalinya? Bahkan mengutus pula seorang dayang untuk mengundang Lim Han-kim dan menanyai asal-usul nya? Aku yakin ini bukan perbuatan iseng, di balik semua ini pasti terselip suatu rahasia besar..."

Sementara ia masih melamun, tiba-tiba Pek si-hiang membuka matanya dan menggerakkan tangan kanannya dengan lemah seraya berbisik "Cepat ambilkan jarum emasku"

"Tadi enci siok-bwee sudah bilang, jarum emas tidak dibawa," sahut Hiang- klok.

"Aku punya" sela Phang Thian-hua sambil merogoh ke luar sebatang jarum emas dan menyodorkannya ke depan.

Setelah menerima jarum emas itu, Pek si- hiang meronta untuk bangun dan menusuk dadanya dengan jarum itu.

Phang Thian-hua dapat melihat, arah yang dituju gadis tersebut ternyata adalah jalan darah penting Tiong- teng-hiat di atas dada, Begitu jalan darah tersebut tertusuk, semangat Pek si-hiang seketika berkobar kembali, raut wajahnya yang semula pucat pias pun kini terlintas selapis warna semu merah. Kendatipun phang Thian-hua lihay dalam ilmu pengobatan, ia sendiri pun tidak menyangka semangat Pek si-hiang dapat bangkit kembali setelah jalan darah penting itu ditusuk dengan jarum emas.

Dengan rasa heran bercampur penasaran ia menengok Lim Han-kim dan Hiang- kiok sekejap. kemudian tanyanya: "llmu silat apaan itu?"

Lim Han-kim hanya gelengkan kepalanya dengan mulut membungkam.

Beberapa saat kemudian, Pek si-hiang telah membuka matanya kembali, dipandangnya Lim Han-kim lekat-lekat, lalu bisiknya: "Berada di mana aku sekarang?"

"Keluarga Hong-san"

"Kalau begitu aku berada di rumahnya Li Tiong-hui." Pek si-hiang menghembuskan napas panjang.

"Untung nona Li membawa pulang nona ke rumahnya," sambung Hiang-kiok cepat, "Coba kalau tak ada perawatan yang seksama dari Nyonya Li, entah bagaimana jadinya?"

"Selain itu kita juga harus berterima kasih kepada Phang cengcu," kata Lim Han-kim pula, "Justru berkat perawatan dan pengobatannya yang seksama sepanjang perjalanan sampai kesini, kita masih tetap hidup dan peroleh pertolongan"

"Hebatkah ilmu pengobatan yang dimiliki nyonya Li?" tanya Pek si-hiang sambil tertawa hambar.

"Percuma aku peroleh nama besar selama ini," ujar Phang Thian-hua sambil menghela napas. "Bila dibandingkan kemampuan nyonya Li, ternyata aku masih ketinggalan jauh."

"Entah bagaimana pula dengan ilmu silatnya?" "lbarat bentangan air di lautan selatan, sukar diukur

luasnya dan berapa dalamnya." Pek si-hiang tertawa

getir.

"Sekalipun dia hebat, toh ia tak akan mampu menyembuhkan penyakit yang kuderita."

"Menurut pendapatku, nyonya Li pasti memiliki kemampuan untuk mengobati penyakitmu," sambung Phang Thian-hua. Pek si-hiang gelengkan kepalanya berulang kali.

"Mustahil di dunia saat ini, tak akan ada seorang manusia pun yang bisa temukan cara pengobatan yang tepat untuk menyembuhkan penyakitku ini"

"Kecuali dengan berlatih ilmu sesat sembilan iblis, bukan?" sela Lim Han-kim sambil menghela napas.

"Aku belum terlalu kecanduan, lagi pula sebelum berlatih ilmu tersebut, di dalam hati aku sudah membuat persiapan yang sungguh-sungguh, sehingga tidak dilatih pun sekarang sama saja."

Setelah menghela napas, lanjutnya: "Aaaai... terus terang saja, coba kalau seebun Giok-hiong tidak menghajarku hingga terluka parah, mungkin sulit bagiku untuk menghentikan ketergantunganku pada ilmu tersebut. Dengan ia melukaiku, justru telah menyelamatkan aku dari kecanduan, Yaaa... antara budi dan dendam memang sulit untuk dibicarakan" Tiba-tiba Phang Thian-hua menyela: "Tahukah.nona, Lim Han-kim telah terluka di tangan

siapa?"

"Ketika masih berlatih ilmu iblis, aku tidak kehilangan daya ingatanku. Aku tetap sadar, hanya perangaiku berubah seratus delapan puluh derajat, aku tak mampu mengendalikan diri, aku tahu, ia terluka oleh hantamanku"

Dengan tatapan penuh rasa sesal dan cinta ia alihkan sorot matanya ke atas wajah Lim Han-kim, pelan-pelan ujarnya lagi: "saudara Lim, kau harus memaklumi keadaanku. Pek si-hiang yang kau hadapi ketika itu bukan Pek si-hiang yang sebenarnya, ilmu sesat sembilan iblis telah mendorongku kealam dunia yang lain, aku lupa akan diriku, aku telah berubah jadi duplikatnya sembilan iblis."

"Jangan kau lanjutkan kata-katamu" sela Lim Han-kim cepat, "Aku tahu, kau tidak sengaja, kau tak berniat untuk berbuat begitu, Aaaai... justru dewasa ini ada satu masalah lain yang merisaukan hatiku."

"Soal apa?"

"Dengan tidak melatih ilmu sesat sembilan iblis lagi, kau memang dapat pulih kembali menjadi Pek si- hiang yang sebenarnya, tapi tubuhmu lemah, penyakitmu belum hilang, dengan cara apa kau hendak mempertahankan diri?" Pek si- hiang tertawa.

"Tidak apa-apa, meski badanku lemah dan setiap saat malaikat elmaut dapat merenggut nyawaku, tapi kehidupan yang bisa kuraih sekarang akan merupakan kehidupanku yang paling bahagia, sebaliknya dengan berlatih ilmu sesat sembilan iblis, betul badanku bisa sehat dan kokoh, penyakitku hilang lenyap. tapi aku telah menjadi duplikatnya sembilan iblis, meski dapat hidup seratus tahun, lalu apa artinya?"

"Saat ini dunia persilatan sedang memasuki era yang amat kritis, saat inilah mati hidupnya kaum sesat dan lurus ditentukan orang secerdas nona tidak sepantasnya mati dalam keadaan begini"

"Tidak apa-apa." Pek si-hiang tertawa.

"Aku dapat mengaturkan suatu tempat tujuan untukmu, asal kau bersedia tinggal selama tiga tahun di situ sebelum muncul lagi ke dalam dunia persilatan Aku jamin kau tak bakal ikut terseret dalam bencana dunia persilatan kali ini."

Tiba-tiba kedengaran suara pintu dibuka orang, nyonya Li dengan wajah sedingin es berjalan masuk ke dalam ruangan

Melihat itu, buru-buru Hiang- kiok berseru: "Nona, dialah nyonya Li yang telah selamatkan jiwamu" sembari berkata, ia sudah menjatuhkan diri berlutut.

"Tak usah banyak adat," sela nyonya Li dingin Hiang- kiok menyahut dan bangkit berdiri

Dari atas pembaringannya Pek si- hiang manggut- manggut sebagai tanda hormat, kata-nya: "Maaf bila aku tak bisa memberi hormat berhubung sedang terluka, harap locianpwee memaklum." Dengan sorot mata yang tajam, nyonya Li mengawasi sekejap jarum emas yang tertancap di dada Pek si-hiang, selang sesaat kemudian ia berkata:

"Tusukan jarum emas itu memang dapat membangkitkan semangat hidupmu, tapi tahukah kau bahwa cara seperti ini sama artinya dengan menghisap candu untuk menahan sakit?"

"Betul." Pek si- hiang tertawa, "Tapi selain berbuat demikian, terpaksa aku harus berbaring di atas ranjang tanpa bergerak maupun bicara."

"Tahukah kau bahwa kau sudah tak mampu hidup lebih dari setahun lagi?"

"Setahun kelewat lama." Pek si- hiang tertawa, "Aku cuma ingin hidup tiga bulan lagi."

Di atas wajah nyonya Li yang dingin membeku, tiba- tiba tersungging sekulum senyuman, ujarnya lembut: "Tahukah kau nak mengapa kau tak bisa hidup lebih lama?"

Dengan sedih Pek si-hiang menghela napas panjang, ia tundukkan kepalanya dan tidak berbicara.

Hiang-kiok yang ada di sisinya segera menimbrung: "Dari dulu, wanita cantik memang berumur pendek.

mungkin hal ini disebabkan wajah nona kami kelewat cantik."

"Husss, kau budak cilik jangan ngaco belo" hardik Pek si-hiang sambil angkat wajahnya. Sambil tersenyum nyonya Li berkata: "Meskipun apa yang dia katakan tak tepat, namun selisih pun tidak terlalu jauh."

Pek si-hiang angkat wajahnya dan lantas tertawa sedih, ia seperti ingin mengucapkan sesuatu tapi niat tersebut diurungkan kemudian. Kembali nyonya Li berkata:

"Nak. aku mengerti, sesungguhnya dalam hati kecilmupun sudah paham cuma tak ingin kau utarakan keluar, betul bukan? Baiklah, biar aku yang bicara mewakilimu"

Mendengar pembicaraan tersebut, dengan rasa heran Lim Han-kim berpikir: "Aneh, masa seseorang yang hampir mati juga bisa dilihat dari bentuk wajahnya?"

Dengan wajah serius nyonya Li berkata lebih lanjut: "Nak, kau kelewat pintar, tapi tiada manusia sempurna di dunia ini. Dan manusia sempurna tak akan dibiarkan hidup terus di dunia ini. Aaaai... mungkin orang lain tidak paham maksud ucapan ini, tapi aku percaya kau pasti mengerti"

"Justru karena itulah, sedikitpun aku tak takut mati..." Air mata berkembang di kelopak mata Pek si-hiang.

"Aku percaya perkataanmu itu, tapi apa sebabnya kau bersikeras hendak pelajari ilmu sesat sembilan iblis?"

Pelan-pelan Pek Si-hiang melirik Lim Han-kim sekejap. setelah itu jawab nya: "Lantaran dia, aku ingin hidup beberapa tahun lebih panjang, tapi sekarang aku mengerti, keputusanku itu salah." "Kau masih ada kesempatan untuk kembali dan kau mampu untuk melepaskan semua itu, Aku percaya, kau memiliki kemampuan yang lain daripada yang lain."

Sementara itu Lim Han-kim hanya melongo mendengarkan pembicaraan kedua orang itu. sekilas pandang, kata-kata yang mereka pergunakan dalam pembicaraan tersebut kedengaran amat sederhana dan seolah-olah mudah ditangkap. tapi setelah coba ditelaah, ternyata ia tak habis mengerti ia gagal menangkap maksud yang terkandung dalam ucapan tersebut, seolah- olah di balik pembicaraan tadi terselip makna yang sangat dalam.

Tiba-tiba nyonya Li menghela napas panjang, katanya: "Nak. sesungguhnya aku ingin sekali berbicara lebih mendalam denganmu"

"Dengan senang hati aku akan melayani kehendak nyonya."

Nyonya Li berpikir sejenak. lalu katanya lagi: "Aku hanya khawatir pembicaraan yang kelewat banyak akan mempengaruhi kondisi sakitmu."

"Tidak apa-apa, toh sulit bagiku untuk hidup lebih dari tiga bulan, lentera yang hampir kehabisan minyak justru mesti dimanfaatkan sebisanya..."

"Bila kau dapat membantuku untuk memecahkan beberapa persoalan pelik yang menyangkut ilmu pengobatan, mungkin aku bisa membantumu untuk mengobati penyakit yang kau derita," "Aku khawatir kemampuanku tak berhasil memecahkan persoalan tersebut," kata Pek si-hiang sambil membenahi rambutnya yang kusut

Lim Han-kim ikut mengawasi gerak-gerik gadis itu, mendadak ia menjerit tertahan: "Nona Pek, kau..."

"Oooh, sudah kau lihat rambutku yang mulai beruban?"

"Benar."

"Bila aku dapat hidup tiga tahun lagi, saat itu kau tak akan berhasil menjumpai seutas rambut pun yang hitam."

"Nak." sela nyonya Li tiba-tiba. "seharusnya kau mulai pasrah, jangan kelewat memikirkan masalah kecantikan diri"

Seolah-olah baru menyadari akan sesuatu, Pek si- hiang berseru tertahan, sepasang matanya terbelalak lebar sementara dua titik air mata jatuh berlinang.

Dengan senyuman hambar menghiasi bibirnya, kembali nyonya Li berkata:"Nak. malam ini aku telah sediakan suatu perjamuan makan malam yang amat megah bagimu,pada kentongan pertama malam nanti akan kuutus orang untuk mengundangmu. Kita bisa berbincang-bincang sambil bersantap malam."

"Aku siap menanti perintah." Nyonya Li manggut- manggut

"Nah, baik-baiklah beristirahat, aku pergi dulu." seusai berkata, ia membalikkan tubuh dan beranjak pergi dengan langkah lebar. Buru-buru Pek si-hiang meronta bangun sambil berseru: "Biar kuantar kepergian nyonya..."

"Tidak usah," tampik nyonya Li sambil berlalu.

Memandang bayangan punggung nyonya Li hingga lenyap dari pandangan, Pek Si-hiang menghela napas panjang.

"Aaaai... ia sedang menghadapi banyak kesulitan di depan mata..."

Mendadak terlihat pintu kamar bergerak. Li Tiong-hui muncul dengan langkah lebar sambil menegur: " Ibuku datang kemari?"

"Yaa, baru saja ia berlalu."

"Ayah dan ibumu datang menjengukmu" "Di mana mereka sekarang?"

"Di ruang tengah. Aku tahu sakitmu cukup parah, jadi aku tak berani memutuskan apakah kau ingin bertemu dengan mereka atau tidak" setelah berpikir sejenak, kata Pek si-hiang:

"Jauh-jauh orang tuaku datang kemari untuk menjengukku, masa aku tidak menemui mereka...?"

Ia meronta bangun kemudian pelan-pelan berjalan ke luar meninggalkan ruangan, Buru-buru Hiang-kiok menyusul dan menggandeng nonanya.

"Nona Pek," sela Li Tiong-hui tiba-tiba. "Aku lihat gerak-gerikmu sangat berat, kenapa tidak kau undang orang tuamu untuk bertemu di dalam kamar saja?"

"Apakah leluasa?" Pek si-hiang tarik napas panjang. "Kenapa tidak? Tunggulah di sini nona, biar aku pergi mengundang mereka untuk masuk kemari."

"Terima kasih atas bantuanmu"

Sambil berkata ia balik ke sisi pembaringan, membaringkan diri dan mencabut ke luar jarum emas dari atas dadanya, Begitu jarum dicabut, paras mukanya segera berubah hebat, Cepat-cepat Hiang-kiok menarik selimut dan diselimutkan ke atas dan Pek si-hiang.

"Saudara Lim." Tiba-tiba Phang Thian-hua berbisik. "Kurang leluasa bagi kita untuk tinggal di sini, ayoh kita juga pergi"

Lim Han-kim mengiakan dan beranjak meninggalkan ruangan, Melihat itu, cepat-cepat Hiang-kiok berteriak: "Lim siangkong, Phang cengcu, kalian berdua mau ke mana?"

"Kami merasa kurang leluasa untuk berada di sini..." "Apa salahnya siangkong tetap di sini agar bisa

bertemu dengan loya serta nyonya." "Aku rasa tak usah..."

Belum habis perkataan itu diucapkan, dari ruang luar sudah bergema datang suara langkah kaki manusia, Li Tiong-hui berjalan di muka diikuti seorang lelaki setengah umur berambut putih di belakangnya.

Di belakang lelaki berambut putih itu menyusul seorang nyonya setengah umur yang berwajah cantik dan mengenakan pakaian warna hitam. Lim Han-kim segera mengenali lelaki berambut putih itu sebagai si pedang racun Pek siang, sedangkan nyonya berbaju hitam itu adalah Gadis naga berbaju hitam.

Dalam keadaan begini, Lim Han-kim serta Phang Thian-hua jadi serba salah, mereka merasa kurang leluasa untuk keluar dari ruangan tersebut, terpaksa dengan termangu-mangu hanya berdiri mematung di sisi ruangan.

Dengan langkah lebar Pedang racun Pek Siang langsung menyerbu ke sisi pembaringan, serunya dengan suara dalam: "Anak Hiang, bukalah matamu, coba lihat siapa yang telah datang menjengukmu?"

Pelan-pelan Pek si-hiang membuka matanya memandang Pek siang sekejap, lalu bisiknya: "Ayah."

"Betul, ayah bersama ibumu dan Han-gwat sama- sama datang menjengukmu..."

"Ananda sedang sakit, maaf kalau tak bisa memberi hormat kepada kalian berdua," bisik Pek si-hiang lemah sambil pejamkan kembali matanya.

Pek siang menghela napas panjang, "Aaaai... nak. kondisi badanmu semakin lama semakin lemah, padahal satu-satunya keinginanku serta ibumu adalah ingin menyembuhkan penyakit yang kau derita itu, Biar harus menjelajahi seluruh pelosok langit pun kami rela... tapi... sudah sekian tahun kami mengembara, segala penjuru dunia sudah kami singgahi, hasilnya tetap sia-sia...

Untung di saat kami sedang putus asa, Thian maha adil dan mengabulkan permohonan kami. Akhir-nya kami berhasil temukan seorang tabib hebat, cuma dia ingin periksa dulu penyakitmu sebelum mengambil tindakan, Karenanya kami melacak jejakmu hingga tiba diperkampungan keluarga Hong-san. Nak, pernah kah kau bayangkan betapa sengsaranya kami selama ini?"

Dua titik air mata pelan-pelan meleleh ke luar membasahi pipi Pek si-hiang, katanya: "Gara-gara urusanku, ayah dan ibu harus lari pontang-panting, aku... aku amat menyesal."

"Nak. jangan bicara begitu, jangankan hanya kecapaian, demi kau, biar usia kami berdua harus dipotong puluhan tahun pun, kami rela, Cinta orang tua terhadap anaknya memang tak bisa ditandingi oleh apa pun, yang kami harapkan hanyalah kesediaanmu untuk ikut kami menjumpai tabib tersebut, agar ia dapat mengobati penyakitmu itu."

"Sejak dulu ananda toh sudah bilang, percuma usaha ayah dan ibu selama ini, sebab tiada tabib di dunia ini yang sanggup mengobati penyakitku ini..."

"Sekalipun begitu, ayah dan ibu harus berusaha semaksimal mungkin."

Tiba-tiba Phang Thian-hua menyela:

"Setahuku, kecuali nyonya Li dari perkampungan keluarga Hong-san, tiada tabib lain di dunia ini yang sanggup menandingi kemampuanku."

Pek siang segera menoleh begitu mendengar ucapan tersebut, tegurnya: "Anda adalah..."

"Phang Thian-hua dari perkampungan Pit-tim-san- ceng" "Sudah lama kudengar nama besar Dewa jinsom" Pek siang segera menjura memberi hormat.

Gadis naga berbaju hitam yang berdiri di sisinya buru- buru menyela: "Apakah Phang cengcu sudah periksa penyakit yang diderita putri kami itu?"

"Yaa, sudah Cuma kemampuanku tak sanggup untuk menanggulangi penyakit tersebut." Gadis naga berbaju hitam menghela napas panjang.

"Aaaai... kalau toh Phang cengcu juga berkata begitu, terpaksa kami harus mencoba untuk menemui orang tersebut"

"Saudara Pek, maaf bila aku banyak mulut," ucap Phang Thian-hua tiba-tiba. "Boleh aku tahu, siapa yang kau maksudkan mampu untuk mengobati penyakit putrimu itu?"

"Dia hanya seorang kakek yang tak dikenal dalam dunia persilatan, tapi ilmu pertabiban yang dimilikinya luar biasa sekali," kata Gadis naga berbaju hitam dengan penuh rasa kagum. Dengan mata kepala sendiri kusaksikan ia hidupkan kembali seorang wanita hamil yang sudah mati hanya dengan sebuah tusukan jarum, bahkan wanita tersebut berhasil melahirkan putranya dengan selamat"

Mendengar penuturan itu, Phang Thian-hua tertawa terbahak-bahak: "Ha ha ha... kalau hanya begitu saja sih tak aneh, aku yakin kemampuanku masih tak kalah dari kemampuannya."

"Tapi wanita hamil itu sudah putus nyawa" "Sudah berapa lama ia putus napas?" "Lebih kurang setengah jam"

"Ha ha ha... kalau baru setengah jam, denyut jantungnya belum berhenti sama sekali, tentu saja ia dapat disembuhkan Tapi penyakit yang diderita putri kalian ini... berbeda sekali... bahkan besar sekali perbedaannya..."

Bagaimana pun juga, Phang Thian-hua termasuk salah satu tokoh pertabiban yang disegani dalam dunia persilatan, tentu saja apa yang dia katakan sangat berbobot otomatis kata-katanya itu mendatangkan pengaruh yang cukup besar bagi Pek siang berdua.

Pelan-pelan si pedang racun Pek siang berpaling, kemudian berkata sambil memberi hormat

"Demi menyembuhkan penyakit putriku ini, kami berdua sudah peras pikiran dan tenaga habis-habisan, tapi selalu gagal menjumpai seorang tabib hebat yang mampu mengobati penyakit itu. Aaaai... terus terang saja kami katakan, asal ada orang yang mampu mengobati penyakit putri kami ini, biar orang tersebut berada di ujung langit pun, kami tetap akan mencarinya sampai dapat Phang cengcu, kau adalah seorang tabib kenamaan, aku percaya kau pasti lebih paham mengenai penyakit yang diderita putriku itu, dapatkah kau memberi petunjuk? "

"Menurut apa yang kuketahui, di dunia saat ini mungkin hanya ada dua orang yang mampu mengobati penyakit putrimu. "

"Siapakah mereka berdua?" "Yang satu adalah nyonya Li dari keluarga Hong-san, sedang orang kedua adalah putrimu sendiri"

"Bagaimana dengan Phang cengcu sendiri?" seru Gadis naga berbaju hitam cepat "Bila cengcu sanggup mengobati penyakit putriku itu, biar kami harus menjadi kuda atau anjing pun, kami rela melakukannya."

"Ucapan Anda terlalu serius, padahal aku pun tak berdaya, tapi kalian tak usah cemas sebab Nyonya Li sudah berjanji akan mengobati penyakit yang diderita putri kalian."

Gadis naga berbaju hitam segera berpaling ke arah pedang racun Pek siang, serunya: "Kita harus menjumpai nyonya Li..."

Belum sempat pedang racun Pek Siang menjawab, tiba-tiba dari kejauhan sana berkumandang datang tiga kali sudah genta yang dibunyikan bertalu-talu.

Sebagai orang yang sudah lama berkecimpungan dalam dunia persilatan, timbul kecurigaan Pek siang sesudah mendengar bunyi genta itu, bisiknya cepat: "Phang cengcu, apa arti bunyi genta itu?"

Belum sempat Phang Thian-hua menjawab, lagi-lagi tiga kali suara genta berkumandang datang.

Pek Siang segera melirik Gadis naga berbaju hitam sekejap sambil bisiknya: "Suara genta kembali berbunyi, kau lindungi anak Hiang, biar aku pergi memeriksanya"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar