Pedang Keadilan II Bab 18 : Bertemu kembali

 
Bab 18. Bertemu kembali

Lim Han-kim merasa muak sekali menghadapi rayuan gombal yang dirasakan sangat menusuk pendengarannya, ia mendengus dingin dan menjengek: "Betulkah begitu?"

sebenarnya dia ingin sekali melajukan perahunya untuk ditumbukkan ke atas batu karang agar seebun Giok-hiong tercebur ke dalam telaga dan mati, tapi melihat ketenangan yang menyelimuti permukaan telaga itu, entah mengapa ia ragu untuk melakukannya saat itulah mendadak terdengar seebun Giok-hiong berpekik gembira: "Horee... mereka sudah datang... Kekasih Lim, cepat lihat Mereka sudah datang..." Mengikuti arah yang ditunjuk Lim Han-kim berpaling.

Betul juga, dari depan sana teriihat sebaris perahu sedang bergerak mendekat dengan kecepatan tinggi, tak lama kemudian perahu-perahu itu sudah semakin mendekat hingga bisa teriihat kawanan jago yang berdiri di tengah geladak.

Seebun Glok-hiong segera memberi tanda agar perahu itu mendekat, tak lama kemudian mereka berdua sudah berpindah ke atas perahu tersebut Seebun Glok-hiong pun segera turunkan perintah agar armada yang amat besar itu berlayar menuju ke daratan-

Pelan-pelan Seebun Glok-hiong berjalan menghampiri Lim Han-kim, dengan suara rendah katanya kemudian: "Kekasih Lim, gara-gara aku, kau turut panik, bingung dan kuatir Aku merasa berhutang budi padamu, mulai saat ini aku berjanji akan melayanimu dengan lebih baik lagi."

"Maksud baik nona biar kuterima di dalam hati saja," jawab Lim Han-kim cepat. "Kini kau sudah disambut oleh anak buahmu, situasi gawat pun sudah berubah jadi aman, aku rasa sudah waktuku untuk mohon diri."

"Kau hendak ke mana?" tanya Seebun Glok-hiong tertegun

"Entahlah, dunia sangat lebar, ke mana aku berjalan ke sanalah aku pergi"

"Tapi obat untuk menghilangkan samaran pada wajahmu tidak berada di sakuku sekarang". "Tidak apa-apa," sela Lim Han-kim. "Selama beberapa hari ini aku sudah terbiasa dengan wajah buruk. Nah, sampai jumpa kembali."

selesai memberi hormat, ia membalikkan badan dan beranjak pergi dari situ, seebun Giok-hiong menggetarkan bibirnya seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi niat tersebut kemudian diurungkannya.

Baru berjalan berapa langkah, mendadak Lim Han-kim berbalik kembali, katanya: "Ada satu urusan aku ingin minta tolong kepada nona, apakah ..."

seebun Giok-hiong menghela napas selanya: "Jangankan baru sebuah, sepuluh buah pun pasti akan kusanggupi"

"Lebih baik nona jangan terlalu cepat menyanggupi urusan ini besar sekali hubungannya dengan dirimu."

"soal apa itu? Masa begitu serius?"

"Aku minta kau berjanii kepadaku untuk tidak mendatangi pesanggrahan pengubur bunga dan mengusik ketenangan nona Pek lagi"

seebun Giok-hiong termenung sambil berpikir sejenak. kemudian sahutnya: " Kalau dilihat dari penyakitnya yang begitu parah, aku pikir sembilan puluh persen ia sudah tak punya harapan untuk hidup lagi."

"Mati atau hidupnya sama sekali tiada hubungan dengan dirimu, aku hanya minta kau jangan pergi mengusik ketenangannya lagi, sanggup tidak?"

Kembali seebun Giok-hiong berpikir, tapi akhirnya dia mengangguk "Baik, aku berjanji kepadamu" "Terima kasih banyak nona karena kau sudi memberi muka kepadaku, Lim Han-kim merasa sangat terharu." Buru- buru pemuda itu memberi hormat, kemudian ia membalikkan badan dan beranjak pergi dengan langkah lebar.

Dari belakang tubuhnya bergema suara helaan napas panjang seebun Giok-hiong yang rendah dan berat: "Kekasih Lim, tidakkah kau menyadari bahwa jarak di antara kita rasanya semakin lama semakin jauh."

Meskipun Lim Han-kim mendengar setiap ucapan itu dengan jelas, namun ia berlagak seolah-olah tidak mendengar Dengan langkah lebar ia meneruskan perjalanannya ke depan.

Mengawasi bayangan punggung Lim Han-kim yang pergi jauh, seebun Giok-hiong tak dapat melukiskan bagaimana perasaan hatinya sekarang, setelah bayangan punggung pemuda itu sudah lenyap dari pandangan, baru ia membalikkan tubuh dan beranjak pergi.

Pada saat itu Lim Han-kim melakukan perjalanan cepat tanpa berpaling lagi, la baru memperlambat langkahnya sesudah berada puluhan li dari tempat semula. sambil mendongakkan kepalanya memandang rembulan yang mulai muncul di langit sebelah barat, ia bergumam:" "Aku harus ke mana?"

Ketika melalui sebuah hutan yang lebat, mendadak ia saksikan sesosok bayangan manusia berkelebat lewat dan kemudian lenyap dari pandangan.

Lim Han-kim bukan anak kemarin sore, dengan ketajaman mata yang dimilikinya ia dapat menyaksikan bayangan manusia itu menyusup masuk ke dalam hutan, Dengan seksama dia pun melakukan pemeriksaan di sekeliling tempat itu, namun suasana amat hening, sepi, tak nampak sesosok manusia pun.

Sementara ia masih tercengang bercampur heran, mendadak matanya tertuju ke arah semak yang kusut bekas injakan kaki manusia.

Meminjam cahaya rembulan yang berwarna keperakan, dengan seksama ia telusuri bekas kaki pada semak tersebut Belum jauh dia berjalan, mendadak kakinya menyentuh suatu benda keras yang terlentang di tengah jalan, Buru-buru ia menundukkan kepalanya melakukan pemeriksaan ternyata ada sesosok tubuh manusia yang terluka tergolek di sana.

Tergopoh-gopoh pemuda itu membalikkan tubuh sang korban, tapi hatinya semakin terperanjat Kiranya orang yang terluka itu tak lain tak bukan adalah sahabat karibnya, Hongpo Lan. Dalam kaget dan tercengangnya, buru-buru dia mengerahkan tenaga dalamnya untuk menyadarkan kembali rekannya itu.

sambil melompat bangun buru-buru Hongpo Lan memberi hormat seraya berkata: "Ternyata saudara Lim yang telah selamatkan aku, terima kasih banyak atas pertolonganmu ini..."

"Kita adalah sesama saudara, kenal pun sudah begitu akrab, buat apa kau masih sungkan-sungkan? Bagaimana keadaan luka saudara Hongpo? Apa perlu beristirahat dulu sebentar?"

"Luka yang kuderita tidak terlampau parah, hanya beberapa buah jalan darah pada nadi pentingku yang tertotok oleh ilmu memotong nadi. Coba kalau saudara Lim tidak selamatkan aku dengan membebaskan totokan pada nadi pentingku, lama kelamaan totokan tersebut bisa mengakibatkan terjadinya luka yang sukar diobati."

"llmu menotok nadi? Rasa-rasanya belum pernah kudengar orang berbicara tentang kepandaian tersebut?"

"Mari kita berangkat," ajak Hongpo Lan sambil bangkit berdiri "Kita harus secepatnya berangkat"

"Ke mana?"

" Kebun bunga keluarga Thio di gedung Lam-chong- hu."

"Mau apa mengunjungi kebun bunga keluarga Thio?" tanya Lim Han-kim ter- cengang, ia tidak habis mengerti

"semua jago lihai dari seluruh kolong langit serta tokoh-tokoh dari sembilan partai besar telah berkumpul semua di kebun bunga keluarga Thio untuk mengangkat seorang bengcu dalam perjuangan menentang kelaliman seebun Giok-hiong, pertemuan puncak semacam ini boleh dibilang teramat langka, kita tak boleh lewatkan kesempatan baik ini."

Lim Han-kim termenung dan berpikir sejenak. kemudian ia berkata: "Huuuuh, lagi-lagi soal perebutan nama dan kedudukan Maaf, sejak kecil aku dibesarkan dalam lembah di tengah bukit yang sepi dan terpencil. Aku sudah kelewat muak menyaksikan peristiwa perebutan nama dan kedudukan semacam ini, jadi maafkan kalau aku tak bisa menemanimu."

selesai bicara, dia membalikkan badan dan beranjak pergi dengan langkah lebar. "saudara Lim" teriak Hongpo Lan buru-buru. seraya membalikkan badannya Lim Han-kim menjura, katanya: "Setiap orang mempunyai pendirian yang tak sama. Aku betul-betul sudah muak menyaksikan peristiwa tersebut, saudara Hongpo, Aku minta pengertianmu, maafkan diriku ini. Pokoknya aku tahu bahwa hubungan persaudaraan di antara kita tetap kekal dan abadi, moga-moga saja kita dapat bersua lagi lain waktu."

"Saudara Lim, dengarkan dulu perkataanku" kata Hongpo Lan sambil menghela napas panjang.

" Kecuali mengajak aku berkunjung ke kebun bunga keluarga Thio untuk menghadiri pertemuan puncak para jago itu, soal yang lain boleh saudara Hongpo bicarakan denganku."

"Pertemuan puncak ini terselenggara bukan semata memperebutkan nama serta kedudukan, tapi juga berbicara tentang keselamatan umat persilatan pada umumnya."

"Aaaah, bagiku, siapa pun yang berhasil merebut kedudukan bengcu tersebut adalah sama saja."

"Apabila seebun Giok-hiong sengaja mengirim orang untuk ikut memperebutkan kedudukan tersebut, keadaannya tentu berbeda sekali."

Lim Han-kim tidak langsung menjawab, pikirnya: "Bila Pek si-hiang sudah mati, siapa sih manusia di dunia saat ini yang mampu menaklukkan seebun Giok-hiong? sebaliknya bila Pek si-hiang masih hidup, berarti ia berhasil mempelajari ilmu sesat, watak maupun tingkah lakunya pasti berubah, menjadi baik atau jahat masih merupakan tanda tanya besar... Aaaaai, semestinya Li Tiong-hui adalah orang pilihan terbaik, tapi demi mengincar kedudukan bengcu, nyatanya ia rela melepaskan seebun Giok-hiong dengan begitu saja..."

"Sementara itu, umat persilatan di seluruh dunia menganggap seebun Giok-hiong kejam, jahat dan berhati ular, tapi kenyataannya ia bersikap begitu baik kepada aku, Lim Han-kim".

Makin dipikir pemuda itu merasa semakin kaiut dan kusut pikirannya, untuk sesaat ia tak dapat mengambil suatu kesimpulan yang terbaik.

Hongpo Lan tidak tahu apa yang sedang dipikirkan rekannya. Melihat Lim Han-kim masih termenung terus tanpa bicara, tak tahan lagi segera tegurnya: "Saudara Lim, apa yang sedang kaupikirkan?"

Lim Han-kim menghela napas panjang dan berkata: "Aaaaai... pengalaman serta peristiwa yang kualami selama beberapa bulan terakhir ini membuat aku berpendapat bahwa orang yang punya nama serta reputasi terbaik belum tentu ia benar-benar baik, sebaliknya orang yang bernama dan reputasi jelek. belum tentu orangnya benar- benar jelek."

"Apa maksud perkataanku itu?" sela Hongpo Lan dengan wajah termangu karena tak mengerti.

"Sekalipun Li Tiong-hui berhasil menduduki kursi bengcu, belum tentu ia dapat menciptakan kebahagiaan serta ketenteraman dalam dunia persilatan. Belum tentu ia bisa selamatkan umat persilatan dari bencana pembunuhan berdarah, sebaliknya, misalnya seebun Giok-hiong yang berhasil merebut kursi bengcu, belum tentu dia akan membuat suasana dunia persilatan menjadi kacau balau.

Kalau toh perbedaan di antara mereka tidak terlalu jauh, buat apa pula kita mesti bersusah payah untuk melibatkan diri dalam persoalan ini?"

Dengan wajah termangu- mangu Hongpo Lan awasi Lim Han-kim tanpa berkedip. sampai lama kemudian ia baru bergumam "saudara Lim, kau telah berubah... bahkan perubahanmu teramat banyak..."

"Mungkin saja aku memang telah berubah, tapi aku bisa berbicara demikian karena aku sudah mempunyai pengertian yang lebih mendalam terhadap manusia serta kejadian yang ada dalam dunia persilatan. Bila kita betul- betul ingin menciptakan kebahagiaan bagi dunia persilatan, maka kita harus menempuh jalan yang lain.

Hanya menggantungkan diri pada beberapa gelintir manusia saja tak akan bermanfaat banyak terhadap perubahan yang sama-sama kita dambakan".

"Ya a, sudahlah" akhirnya Hongpo Lan berseru. "Kalau memang niatmu untuk tidak mencampuri urusan ini begitu kuat, aku juga tak akan membujuk lebih jauh."

"Kau salah paham saudara Hongpo, aku tidak punya pikiran untuk mengasingkan diri atau tidak mencampuri urusan dunia persilatan lagi. Aku hanya berpendapat perebutan nama serta kedudukan bengcu bukan saja tidak akan menyelesaikan masalah bahkan akan menambah ruwetnya suasana, jadi aku berniat..." Belum selesai ucapan itu diutarakan, mendadak dia membungkam Hongpo Lan juga tidak mendesak lebih jauh, sambil memberi hormat katanya: "Kalau memang begitu aku harus mohon diri lebih dulu, sebab aku sedang melaksanakan tugas dari ayahku."

"Maaf kalau aku tidak bisa mengantar."

sambil melompat naik ke punggung kudanya Hongpo Lan berpaling sambil berseru: "saudara Lim, kapan kita dapat berjumpa kembali?"

Lim Han-kim berpikir sejenak, lalu sahutnya: "Hari Tiong-ciu tahun depan aku akan menunggumu di rumah makan ou-hok-lo di kota Bu-chong."

"Baik, sampai waktunya nanti aku pasti akan datang memenuhi janji" selesai bicara dia mengeplak kudanya berlalu dari sana.

Lim Han-kim menunggu sampai bayangan tubuh Hongpo Lan lenyap dari pandangan baru berangkat menuju ke tepi telaga, Kepada seorang nelayan yang kebetulan perahunya sedang berlabuh ia berjalan mendekat sambil menggapai

Melihat ada orang menggapai, nelayan itu segera menjalankan perahunya mendekat Tapi setelah berada di tepi pantai dari begitu melihat wajah Lim Han-kim yang sangat aneh, ia menjerit kaget kemudian memutar perahunya dan buru-buru kabur dari situ,

Lim Han-kim segera menghimpun hawa murninya, tiba-tiba ia melejit ke udara dan melompat naik ke atas perahu nelayan itu.

si nelayan adalah seorang kakek berusia lima puluh tahunan, ia semakin ketakutan setelah melihat Lim Han- kim mampu melayang di udara untuk hinggap di geladak perahunya, Dengan perasaan cemas bercampur ngeri, serunya berulang kali: "Tuan, aku hanya nelayan yang hidup miskin dan sengsara..."

Lim Han-kim merogoh sakunya mengeluarkan sekeping emas yang beratnya paling tidak di atas lima tahil ia berseru sambil menyodorkan emas tersebut ke hadapan nelayan itu: "Kakek. kau tak usah takut, aku bukan penyamun"

Terbelalak sepasang mata nelayan itu melihat emas seberat itu, tapi dia tak berani menerima pemberian itu, hanya katanya berulang kali: "Tuan, kalau ada urusan katakan saja, sedang uangmu itu... aku tak berani terima..."

Geli juga Lim Han-kim melihat sikap nelayan yang jelas menginginkan uang emas tersebut, tapi tak berani menerimanya sambil meletakkan emas tersebut ke tangannya ia pun berkata: "Antar aku ke bukit Tong-ting sebelah barat, sedang emas itu anggap saja sebagai ongkos penyeberangan Aku akan beristirahat sejenak. setelah tiba di bukit Tong-ting, panggillah aku." selesai berkata dia masuk ke dalam ruang perahu, duduk bersila dan mulai mengatur pernapasan

Entah berapa saat sudah lewat, tiba-tiba dari luar ruang perahu kedengaran kakek itu berseru: "Kita sudah sampai di bukit Tong-ting"

Buru-buru Lim Han-kim berjalan keluar dan berdiri di ujung geladak sambil memberi petunjuk kepada nelayan itu untuk melewati jalur masuk air menuju ke pesanggrahan pengubur bunga. Begitu tiba di tempat tujuan, pemuda itu segera menghimpun tenaga dalamnya sambil berseru: "Ada orangkah di sini?"

suara teriakan itu kedengarannya tidak terlampau keras, tapi suaranya dapat bergema sampai ke tempat yang cukup jauh.

Tak selang beberapa saat kemudian dari balik bebatuan muncullah Hiang-kiok yang berbaju hijau, tampak wajahnya murung dan diliputi perasaan sedih yang mendalam, Begitu mengetahui orang yang datang adalah Lim Han-kim, dengan wajah girang ia segera menegur: "Apakah Lim siangkong yang datang?"

"Yaa, aku memang Lim Han-kim"

"sungguh kebetulan kedatangan Lim siang-kong, ayoh cepat naik kemari..." seru Hiang-kiok cepat

Lim Han-kim berpaling dan memandang nelayan itu sekejap. kemudian pesannya: "setelah meninggalkan tempat ini, jangan sekali-kali kau singgung tentang tempat ini, mengerti?" seraya berkata, dia melompat naik ke daratan.

Nelayan itu berjanji berulang kali, kemudian memutar perahunya dan bergerak meninggalkan tempat itu.

sambil maju menyongsong Hiang-kiok kembali pemuda itu berseru: "Baru saja nona memanggil namamu, sungguh beruntung kau datang tepat pada waktunya."

"Apakah penyakit nona Pek semakin parah?" "Bukan cuma parah, jiwanya sudah kritis, setiap saat ia dapat menghembuskan napasnya yang terakhir Tak lama setelah siangkong pergi, nona berjalan keluar dari ruang rahasia, tapi ia segera pingsan kembali setelah mengetahui bahwa siangkong ditangkap seebun Giok- hiong, akibatnya aku dan enci siok-bwee jadi panik dan ketakutan setengah mati. setelah berusaha sedapat mungkin, akhirnya nona berhasil disadarkan kembali"

"Lantas berada di mana nonamu sekarang?" tanya Lim Han-kim dengan perasaan sedih.

"Kini dia berada di kamar tidurnya di loteng." "Seraya berkata dia menarik ujung baju pemuda itu

dan mengajaknya berlarian menuju ke bangunan loteng.

Ketika tiba di kamar tidur Pek si-hiang, mereka menjumpai siok-bwee sedang berlutut di depan pembaringan sambil memegangi lengan Pek si-hiang dan menangis tersedu-sedu. Dengan agak tertegun Hiang- kiok segera berseru: "Cici siok- bwee, nona dia..."

siok-bwee mengangkat kepalanya memandang Hiang- kiok dan Lim Han-kim sekejap. kemudian serunya sesenggukan: "Nona ... dia ... dia ... dia ..." sesaat ia tak sanggup melanjutkan kata-katanya karena sudah meledak isak tangis dayang tersebut

"Apakah nona sudah putus nyawa?" bisik Hiang-kiok dengan mata terbelalak lebar dan air mata bercucuran membasahi pipinya.

"Aku rasa nona sudah tak punya harapan-" "Sungguh?" jerit Hiang-kiok sambil melompat dan

menubruk ke arah pembaringan^ Buru-buru Lim Han-kim merentangkan tangan kanannya menghadang jalan maju Hiang-kiok sambil berkata mencegah: "Jangan sembarangan bertindak, kini kondisi tubuhnya sangat lemah. jangankan sedang sakit parah, berada dalam keadaan bugar pun dia tak bakal tahan menerima tubrukanmu itu, apalagi kondisi-nya sekarang sudah teramat kritis..."

Berada dalam keadaan seperti ini, sesungguhnya tak ada perbedaan antara lelaki maupun wanita. Lim Han- kim sendiri pun merasa teramat sedih dan pilu hatinya, cuma ia masih sanggup menjaga ketenangan.

setelah agak tertegun sejenak, Hiang-kiok manggut- manggut: "Betul juga perkataan Lim siangkong."

Pelan-pelan Lim Han-kim berjalan menghampiri pembaringan dan memeriksa keadaan gadis itu, tampak para muka Pek si-hiang pucat pias seperti mayat, matanya terpejam rapat sedang hembusan napasnya sudah tak nampak.

Terdengar siok-bwee berkata dengan sedih: "Lim siangkong, dengus napas nona sudah berhenti kurang lebih separuh hio lamanya ..."

Dengan sangat berhati-hati Lim Han-kim menyingkap selimut yang menutupi tubuh Pek si-hiang, lalu dia tempelkan telapak tangannya di atas dada gadis itu dan mencoba memeriksa detak jan-tungnya,

setelah diperiksa dengan seksama, ternyata dirasakannya jantung si nona masih berdetak, meski sudah teramat lemah sesudah termenung sejenak Lim Han- kim pun berpaling ke arah siok-bwee serta Hiang-kiok dan berkata: "Kondisi penyakit yang diderita nona Pek sudah mencapai taraf yang berbahaya sekali, aku rasa hanya ada satu jaLan pintas yang dapat kita lakukan sekarang."

"Jalan pintas bagaimana?" tanya siok-bwee. "Aku hendak menggunakan tenaga dalam untuk

membantu peredaran darah di dalam tubuhnya, Dengan

bertambah cepatnya aliran darah dalam tubuhnya, otomatis jantung yang memompa darah akan ikut bergerak lebih cepat, dengan begitu dia akan segera tersadar kembali..."

"Cara ini sangat baik," sela Hiang-kiok dengan perasaan cemas.

"Tapi ada satu hal yang perlu kujelaskan lebih dulu, Kondisi nona Pek saat ini sudah terhitung setengah mati, setiap saat ada kemungkinan napasnya berhenti sama sekali, tapi ada kemungkinan juga dia akan hidup terus, sebaliknya bila menggunakan caraku ini mungkin saja dia akan segera tersadar kembali, tapi kemungkinan besar jantungnya segera akan berhenti berdetak dan mati."

"Bagaimana dengan perbandingan kesempatan untuk mati dan hidup?"

"Seharusnya lima puluh banding lima puluh, antara mati dan hidup masing-masing menempati setengahnya."

Siok-bwee termenung berpikir sejenak, kemudian katanya seraya mengangguk: "Baiklah, Lim siangkong boleh segera turun tangan, Kini aku sudah bertekad akan mengorbankan diri untuk menemani majikanku untuk selamanya, Bilamana nona putus napas nanti, tolong Lim siangkong ajak adik Hiang-kiok untuk segera tinggaikan tempat ini. Aku akan gerakkan semua peralatan rahasia untuk mengunci pesanggrahan pengubur bunga ini dari dalam, kemudian akan kukirim tubuh nona ke ruang bawah tanah dan di situ aku akan menemani jasadnya untuk selamanya ..."

"Tidak, aku tak mau pergi- tukas Hiang-kiok sambil melelehkan air mata, "Aku akan tetap tinggal di sini menemani arwah nona."

"Aku rasa lebih baik kalian berdua tak usah bersikeras lantaran persoalan ini," ujar Lim Han-kim pelan, "orang baik selalu dilindungi Thian, siapa tahu nona Pek segera akan tersadar kembali."

Sembari berkata dia bangunkan tubuh Pek Si-hiang dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya langsung dihantamkan ke atas jalan darah Mia-bun-hiat keras-keras.

Tampak tubuh Pek Si-hiang yang kurus kecil itu tiba- tiba saja bergetar keras, dari mulutnya menyembur keluar segumpal riak kental.

Kebetulan sekali pada waktu itu Lim Han-kim sedang memutar wajahnya untuk memeriksa dengus napasnya apakah sudah berfungsi atau belum, tak ampun lagi semburan riak kental itu persis menyembur di atas wajah anak muda itu. padahal saat itu dia sedang mengerahkan segenap tenaga dalamnya untuk mendesak peredaran darah di tubuh Pek Si-hiang agar lancar kembali, dengan sendirinya dia pun tak dapat menyeka riak kental yang menempel di wabahnya itu. sepasang mata Pek si-hiang yang semula terpejam rapat, pelan-pelan membuka kembali Ketika menyaksikan wajah- Lim Han-kim dinodai oleh riak kentalnya tanpa disadari pemuda itu, tak kuasa lagi ia tersenyum.

Tak terlukiskan rasa gembira siok-bwee serta Hiang- kiok setelah menyaksikan sekulum senyuman mulai menghiasi wajah majikannya, tak tahan mereka menjerit keras: "Nona telah mendusin"

Lim Han-kim menghembuskan napas panjang, pelan- pelan ia menarik kembali telapak tangannya dari atas jalan darah Mia-bun-hiat, gumamnya: "Sungguh beruntung usahaku berhasil"

Dengan lembut dan penuh kasih sayang Pek si- hiang menyeka riak kental dari wajah Lim Han-kim, lalu bisiknya: "Kau sudah kembali?"

"Yaa, aku sudah kembali."

Dari bawah bantalnya Pek si-hiang mengeluarkan sebatang jarum emas yang segera ditusukkan ke atas jalan darahnya, semangat dan tenaganya seketika menjadi bugar kembali, wajahnya yang semula pucat pias kini pun mulai dihiasi warna semu merah, embali ia bertanya: "seebun Giok-hiong membebaskan kau?"

Lim Han-kim tidak menjawab, sebaliknya segera menegur: " Kondisi badanmu sudah demikian lemah dan rapuh, kekuatanmu juga belum pulih kembali, kenapa kau gunakan lagi jarum emas itu untuk merangsang daya tahan tubuhmu? Apakah tindakanmu ini tidak keliru besar?" Sambil tersenyum Pek Si-hiang menggeleng, kembali desaknya: "Cepat beritahu aku, apakah seebun Giok- hiong yang membebaskan kau?"

"Aaaai.. panjang untuk diceritakan ..."

"Tidak mengapa, aku bisa mendengarkan dengan penuh kesabaran." Terpaksa Lim Han-kim mengisahkan kembali pengalaman yang dialaminya secara ringka

Betul juga, Pek si-hiang mendengarkan dengan penuh perhatian, begitu selesai kisah tersebut ia baru berkata sambil ter-senyum: "Li Tiong-hui gagal dalam urusan bercinta, lumrah bila dia alihkan pikiran serta perhatiannya ke masalah nama serta kedudukan."

"Apakah dia memang berniat membebaskan seebun Giok-hiong?"

"seandainya seebun Giok-hiong tewas, maka Li Tiong- hui akan kehilangan lawan tangguh. Bila begitu keadaannya, maka tidak gampang jika dia pingin menduduki tahta sebagai Bu-lim Bengcu."

"Kalau begitu apa yang diucapkan seebun Giok-hiong ada benarnya juga, berarti..." Mendadak ia batal meneruskan kembali kata-katanya.

"Berarti tiada seorang manusia pun di dunia ini yang dapat dipercaya bukan?" sambung Pek si-hiang sambil ter-senyum.

Lim Han-kim menghela napas panjang, "Aaaaai... tampaknya memang tidak mudah bagi manusia untuk melepaskan diri dari masalah nama, kedudukan serta ambisi, berarti tidak gampang juga menjadi manusia seperti Ciu Huang, pendekar Ciu yang disegani dan dihormati seluruh umat persilatan. "

"Benar," sahut Pek si-hiang sambil tertawa, "Memang sulit bagi seseorang untuk melepaskan ambisi serta cita- citanya, Li Tiong-hui sengaja melepaskan seebun Giok- hiong karena dia hendak memanfaatkan kehadiran serta keberadaannya untuk menduduki bangku sebagai Bu-lim Bengcu, kemudian dengan posisinya tersebut ia bisa memerintah seluruh umat persilatan untuk beradu kekuatan dengan seebun Giok-hiong, atau dengan perkataan lain dia hendak mengorbankan entah berapa banyak nyawa serta darah umat persilatan untuk memuaskan ambisinya itu."

"Aaaai... dasar pemikiran perempuan," umpat Lim Han-kim, mendadak ia teringat Pek si- hiang juga seorang wanita, buru-buru ia tutup mulutnya kembali.

Pek si-hiang tertawa lalu berujar:" jangan terlalu menyalahkan Li Tiong-hui. seandainya aku menjadi dia, akupun pasti akan lepaskan seebun Giok-hiong, ia gagal dalam bercinta, bila semua pikiran dan perhatiannya tidak ditujukan untuk mencari nama serta kedudukan, bagaimana mungkin ia dapat melanjutkan hidup ini?"

Lim Han-kim menghela napas panjang, "Aaaai... nyata sekali manusia memang egois, dalam suasana dunia persilatan yang begini kalut, kau memang tidak harus mati dalam usia muda."

Pek si-hiang tertawa cekikikan "Bila aku mati sekarang, dalam bayanganmu tentulah aku seorang gadis yang begitu cantik, begitu baik dan sempurna, sebaliknya bila aku hidup lebih lama lagi, mungkin saja aku akan berubah sejahat seebun Giok-hiong atau Li Tiong-hui."

"Kalau harus berubah, biarlah kau berubah" pikir Lim Han-kim di dalam hati, "Dunia persilatan memang dipenuhi intrik dan tipu muslihat, tak seorang manusia pun yang begitu sempurna, Mungkin saja orang yang betul-betul baik tak mau menerjunkan diri ke dalam dunia persilatan Aaai... kalau toh di dunia ini sudah terdapat begitu banyak orang jahat, sekalipun kau berubah menjadi jahatpun tak menjadi masalah, setitik atau sebaskom air adalah sama saja..."

sementara dia masih termenung, tiba-tiba terdengar Pek si hiang berkata dengan lembut: "saudara Lim, aku tidak tahu sedari kapan kau tinggalkan ruang rahasia, padahal sudah cukup lama aku mendusin Dulu, aku suka menyendiri dalam suasana yang amat hening dan tenang aku dapat melupakan segala masalah yang membelenggu diriku, aku dapat melupakan kondisiku yang setiap saat dapat mati, tapi... tapi sekarang... aku tak dapat berperasaan seperti itu..."

Air mata jatuh berlinang membasahi wajahnya yang cantik, lanjutnya: "sekarang aku takut hidup sendiri, aku pun takut menghadapi kematian."

"Bukankah ilmu sesat sembilan iblis dapat membantumu untuk menyembuhkan penyakit yang kau derita?"

"Aaaai... setelah kulatih ilmu sesat sembilan iblis tersebut, aku akan menghancurkan kenangan yang indah dan sempurna tentang diriku, Aku akan berubah, berubah menjadi seorang gadis yang jahat... jahat sekali..."

"Kalau harus berubah, biarlah berubah"

Pek si-hiang tertegun serunya: "Kalau aku berubah menjadi begitu jahat, apakah kau tetap akan mengawini aku?"

"Tentu saja" jawab Lim Han-kim setelah termenung sejenak.

Dengan penuh rasa sedih Pek Si-hiang menggenggam tangan kanan Lim Han-kim erat-erat, katanya lirih: "Aku tak ingin mempelajari ilmu sesat sembilan iblis, namun aku pun lebih-lebih tak pingin mati, Aaaai... Ternyata hidup dan mati merupakan dua sudut yang saling berlawanan oooh saudara Lim, kenapa kau tidak diberi kesempatan untuk memilih yang terbaik di antara kedua hal itu?"

Lim Han-kim tertawa lepas, katanya: " Latihlah ilmu sesat sembilan iblis dengan perasaan lega, jangan cemas, apa yang telah kujanjikan sampai mati pun aku tak akan menyesal."

"Aku percaya kepadamu." Pek si-hiang manggut- manggut. "seandainya waktu itu aku betul-betul berubah menjadi amat jahat, ingatlah baik-baik akan segala kebaikan yang kumiliki sekarang. perubahan tersebut bukan menjadi kehendakku yang sebenarnya..."

Agaknya dalam waktu yang amat singkat ini dia telah membuat satu keputusan, dengan wajah penuh kebulatan tekad sambungnya: "Akan kuingat selalu sumpah dan janjimu hari ini, moga- moga saja aku dapat mengendalikan perubahan sifat dan sikapku setelah berlatih ilmu sesat itu..."

"Dengan kecerdasan serta kemampuanmu sekarang, siapa tahu sebelum terperosok lebih dalam, kau sudah berhasil menemukan jalan keluarnya," kata Lim Han-kim sambil menggenggam tangannya dan tertawa.

senyuman yang amat cerah dan memabukkan segera menghiasi wajah Pek si-hiang, mendadak pintanya: "Rangkul dan peluklah aku erat-erat" Lim Han-kim ragu- ragu, ia tak berani melakukan permintaan itu.

Sambil tertawa kembali Pek Si-hiang berkata: "Bukankah aku sudah menerima pinanganmu? Kini aku sudah menjadi istrimu, kenapa harus malu-malu?"

"Ehmm, betul juga perkataanmu" seru Lim Han-kim, dengan cepat dia merangkul gadis itu dan memeluknya erat-erat.

siok-bwee dan Hiang-kiok saling bertukar pandangan, sambil tertawa diam-diam mereka mengundurkan diri dari situ.

saat yang paling menggembirakan sering kali berlalu begitu cepat, tanpa terasa sudah dua jam lebih Pek si- hiang bersandar dalam pelukan Lim Han-kim sambil menikmati hangatnya rangkulan pemuda itu. Akhirnya ia membuka matanya memandang cahaya matahari di luar jendela, lalu berbisik, "Saudara Lim, sudah saatnya kau pergi."

Pelan-pelan Lim Han-kim bangkit berdiri, tanyanya sambil menatap gadis itu dengan penuh kemesraan: "sampai kapan aku baru boleh menjengukmu lagi?" "Tidak usah kemari menjengukku lagi, Bila latihan ilmu sesatku telah berhasil, dalam setahun saja dasarku sudah kuat, Aku pasti datang mencarimu sendiri Bila aku gagal menguasai diri hingga tersesat, paling banter tiga hari kemudian aku sudah mati, Kalau sudah begitu, meski kau datang menjengukku juga tak ada gunanya."

"Baik, aku akan menantimu, tapi... jejakku tak menentu, ke mana kau hendak mencari- ku?"

"Asal aku berhasil lolos dari cengkeraman elmaut, aku pasti punya cara untuk menemukan dirimu," sahut Pek si-hiang sambil tertawa.

Dengan penuh kasih sayang Lim Han-kim menggenggam tangan Pek si-hiang erat-erat, bisiknya: "Kau harus baik-baik menjaga diri"

Pek si-hiang tertawa, lalu menukas: "Bila aku dapat lolos dari kematian, kehidupanku selanjutnya merupakan pemberianmu "

Mendadak Lim Han-kim teringat kembali janjinya dengan Hongpo Lan, segera ujarnya lagi: "Hari Tiong-ciu tahun depan aku punya janji dengan seorang teman untuk bertemu di rumah makan Ui-hok-lo. Bila kau berhasil melatih ilmu sesat sembilan iblis, tak ada salahnya datang menjumpaiku di situ."

"Mogg-moga saja aku bisa teringat dengan tanggal tersebut serta dagang memenuhi janji..." setelah menghela napas panjang, Pek si-hiang melanjutkan "seandainya aku gagal melewati pintu kematian, sampai waktunya aku pasti akan berusaha menyampaikan warta kematianku itu kepadamu." "Moga-moga Thian selalu melindungi orang banyak," bisik Lim Han-kim sedih.

Dengan wajah dibasahi air mata Pek si-hiang berkata lagi sembari tertawa: " Cinta kasih saudara Lim yang lebih dalam daripada samudra telah membantu aku terlepas dari pintu kematian ..."

Ia berhenti sejenak. matanya yang besar berkedip beberapa kali hingga air matanya bercucuran makin deras, terusnya: "Semoga saudara Lim bisa jaga diri

baik-baik, dalam menghadapi segala persoalan usahakan untuk bersabar, kau harus menanti kedatanganku."

"Baik, aku berjanji akan tetap setia menantimu, Kini waktu amat berharga bagimu, biar aku mohon diri lebih dulu."

"siok-bwee, di mana kau?" Pek si-hiang segera berteriak keras.

siok-bwee menyahut sambil munculkan diri, "Ada perintah apa, nona?" tanya-nya.

"Antar Lim siangkong, waktu pulang nanti gerakkan semua alat rahasia dan tutup rapat pesanggrahan pengubur bunga."

siok-bwee mengiakan dan berjalan duluan, setelah mengantar Lim Han-kim sampai ke daratan seberang, ia baru berbisik "Lim siangkong, perasaan cintamu telah mengharukan hati nona hingga muncul kembali niatnya untuk hidup, ini sama artinya dengan kau telah selamatkan jiwaku serta adik Hiang-kiok, Untuk itu budak merasa sangat berterima kasih." "Kau kelewat serius, cukup asal kalian baik-baik melayani nona kalian," sela sang pemuda cepat

siok-bwee manggut berulang kali, kemudian ia baru memutar sampannya dan berlayar balik ke pesanggrahannya.

Perasaan dan pikiran Lim Han-kim saat ini sangat ringan, lega dan gembira, kendatipun perjalanannya ke pesanggrahan pengubur bunga kali ini dilakukan tergesa- gesa tanpa rencana, namun ia justru telah menyelesaikan suatu masalah yang amat besar

Ketika mengayunkan langkahnya dtngan santai menelusurijalan setapak, mendadak ia mengendus bau harum arak dan hidangan yang melelehkan liur, saat itulah ia baru teringat bahwa sudah hampir sehari ia belum mengisi perut

Ketika mendongakkan kepalanya, terlihat olehnya sebuah rumah makan dengan merek "Pek-hun-thian" berada di hadapannya.

Dengan langkah lebar ia segera memasuki rumah makan itu dan langsung naik ke tingkat kedua.

Tempat itu merupakan sebuah kota yang terletak persis di tepi telaga Tay-ou, meski kotanya tidak terlalu besar namun ramainya bukan kepalang.

Ketika Lim Han-kim tiba di depan rumah makan itu, seorang bocah berbaju serba putih segera maju menyongsong kedatangannya seraya menyapa: "Tuan, hendak pesan apa?"

Bocah ini berwajah bersih dan halus, pakaiannya rapi, sama sekali tak punya tampang sebagai seorang pelayan. "Coba sediakan sepoci arak wangi serta empat macam sayur."

Bocah itu mengiakan dan segera berlalu dari situ. selang beberapa saat ke-mudian, bocah itu sudah muncul dengan membawa arak dan hidangan yang dipesan.

Diam-diam Lim Han-kim berpikir Jika dilihat dari gerak-geriknya, jelas orang ini tidak mirip seorang pelayan, lalu siapa dia?" Berpikir begitu, tak tahan ujarnya:

"saudara cilik, bagaimana kalau kuundang kau untuk menemani aku bersantap?"

"Hamba tidak berani," tampik bocah itu cepat-cepat. "Empat samudra adalah sahabat, setiap orang adalah

tetangga, apalagi usaha rumah makan ini tidak

terlampau sibuk, kenapa tidak kau temani aku makan ber-sama?"

"Hamba tak pandai minum arak, biarlah maksud baik tuan kuterima dalam hati." selesai memberi hormat buru- buru dia membalikkan badan dan berlalu dari situ.

"saudara cilik, harap tunggu sebentar," bisik Lim Han- kim sambil bangkit berdiri dan menghadang jalan perginya.

Bocah itu pura-pura tidak mendengar begitu membalikkan badan ia segera kabur dari situ, tindakannya ini justru menimbulkan rasa curiga Lim Han- kim. Tanpa banyak bicara ia ayunkan tangannya mencengkeram urat nadi pada pergelangan tangan kanan bocah itu, lalu tegurnya dingin: " Kenapa sih kau kabur?"

Bocah itu nampak sangat gelisah bercampur panik, ia berusaha meronta dengan sepenuh tenaga, sayang sekali cengkeraman yang dilakukan Lim Han-kim ini sangat kuat dan kokoh, bagaimana pun bocah itu mencoba untuk meronta namun usaha itu tetap gagal, sampai akhirnya ia mulai menangis.

Lim Han-kim bertambah curiga, tanpa banyak bicara ia totok jalan darah bisu bocah itu hingga tak mampu bersuara lagi, pengalamannya selama berapa waktu terakhir membuat anak muda ini semakin memahami segala macam intrik dan tipu muslihat dalam dunia persilatan, juga meningkatkan kewaspadaannya terhadap keadaan di sekeliling tempat tersebut ia punya pengalaman buruk dengan Cau-hua lojin yang menyebabkan ia salah makan dan keracunan, pengalaman pahit ini membuat dia selalu waspada.

Tingkah laku si bocah yang gugup bercampur panik, semakin membangkitkan perasaan curiganya, Dengan sikap ia melongok keluar tirai, Melihat di situ tak ada orang lain, dengan cepat dibopongnya bocah itu masuk ke dalam ruangan, kemudian bisiknya: "saudara cilik, aku tidak bermaksud mencelakaimu, jangan takut, bila ada sesuatu masalah yang menyusahkan dirimu katakan saja kepadaku terus terang."

Dengan tertotoknya jalan darah bisu di tubuh bocah itu, biar ingin berbicara pun sulit buat bocah itu untuk bicara, hanya air matanya bercucuran dengan deras membasahi wajahnya Dengan kening berkerut kembali Lim Han-kim berkata: "Bisa saja kubebaskan totokan pada jalan darah bisumu sekarang, cuma kalau kau mencoba kabur, berarti kau hendak mencari penyakit buat diri sendiri"

selesai bicara, ia menotok bebas jalan darah pada tubuh bocah itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar