Pedang Bengis Sutera Merah Jilid 5

Jilid 5

Apakah dia sudah meninggal dunia?

Hanya karena cinta sepihak, bayaran yang dia keluarkan terlalu mahal.

Mata Pui Cie mulai basah, mukanya buram sepasang kakinya menekuk, dia duduk berlutut dan memanggil dengan suara sedih, "Nona Liu.. kau tidak boleh mati begitu saja., kau tidak..."

0-0-0

Dapat besar balas kecil

Pui Cie segera mengangkat tangan Yipha Yauci dan memeriksa, terasa nadinya sangat lemah dan terputus-putus. Apakah bisa hidup masih belum pasti. Karena lukanya bukan dari luar, tapi karena melawan musuh sampai kehabisan tenaga.

Tangannya begitu halus mulus, empuk seperti tidak bertulang, untuk pertama kali Pui Cie menyentuh kulitnya. Tapi keadaan itu sedikitpun tidak menimbulkan pikiran yang bukan-bukan.

Kalau dipikir-pikir terasa aneh sekali, Yipha Yauci pernah melawan dirinya bersama Phei Cen dan kawan-kawannya, sampai berniat membunuhnya. Tapi sekarang dia malah bertarung mempertaruhkan nyawanya untuk membela dirinya. Dulu Pui Cie berniat membunuhnya, tapi sekarang malah berniat menolongnya. Urusan di kolong langit selalu berubah-ubah dan tidak abadi!

Kalau sampai tidak bisa menolongnya Pui Cie akan menyesal seumur hidup, sebab dia telah menolong Pui Cie keluar dari cengkeraman Phei Cen sekarang demi Pui Cie juga dia berada diantara hidup dan mati.

Apa yang harus di perbuat?

Luka semacam ini Pui Cie belum sanggup mengobatinya, kalau bertindak sembarangan malah akan mempercepat kematiannya, sebab nafasnya sudah teramat lemah, setiap saat bisa putus. Dan yang pasti Phei Cen segera akan mengumpulkan lagi jagoan-jagoan dari Shin Kiam Pang. Pui Cie merupakan duri ditubuhnya, bila tidak bisa membunuhnya hidupnya tidak akan tenang.

Kalau bukan Yipha Yauci terluka parah dan terancam jiwanya, Pui Cie ingin sekali menunggu mereka kembali. Tapi karena sekarang dia harus menolongnya dia tak ingin terganggu. Pui Cie bersikap sangat tegas. Pedangnya disimpan. Alat musik phipa dia pungut dan disandang miring diatas pundak. Lalu dia menggendong badan Yipha Yauci yang mungil keluar kelenteng menysuri sungai terus pergi.

Bulan begitu indah, tapi hati Pui Cie begitu kelam, dia tidak tahu harus bagaimana menolong perempuan yang sedang mabuk cinta ini. Badannya yang lemah berada dalam pelukan. Dia tidak bereaksi apa- apa, seperti sudah mati saja rasanya.

Berlarian kira-kira satu jam Yipha Yauci tetap tidak hidup tidak mati. Sama sekali tidak ada perubahan.

Kemudian sampailah dia di sebuah cekungan sungai. Air yang mengalir menjadi satu kubangan besar, disisi cekungan itu ada satu rumah gubuk, dengan tiang-tiangnya setengah terendam dalam air, kelihatan seperti barak ikan, tubuh Pui Cie mulai terasa lelah, jika berlari terus juga tidak baik, dengan adanya gubuk ini, sangat baik untuk tempat istirahat.

Pui Cie menggendong Yipha Yauci mendekat ke dalam gubuk itu, gubuk itu tidak ada pintu di dalamnya kosong, hanya ada sebuah dipan yang terhampar, rumput kering yang terhampar diatas dipan itu sudah hancur, tapi kondisinya cukup memuaskan, segera Pui Cie membaringkan Yipha Yauci di atas dipan itu.

Apa yang harus diperbuat sekarang ?Orangnya tidak bisa tidak harus ditolong...

Dalam kerisauan ini membuat keningnya berkeringat, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam keadaan sama sekali tidak berdaya terpaksa dia mencoba-coba dengan cara yang umum, badan mungil itu dia putarkan kesamping supaya miring, kemudian dia duduk dipinggir dipan itu, namanya juga dipan hanya ada sekadar 2 batang kayu sebagai palang diatasnya, tingginya kira-kira setengah meteran, setelah duduk terasa pas sekali. Pui Cie menjulurkan tangannya ditempelkan di urat nadi mati hidup, bersiap-siap menyalurkan tenaga dalamnya supaya Yipha Yauci mendapatkan kembali kesadarannya, kalau dia sudah bisa siuman, yang lain akan menjadi lebih mudah.

Sewaktu dia mau menyalurkan tenaga dalamnya saat itulah muncul sebuah suara yang berkata, "Jangan mengusiknya dulu!"

Pui Cie terkejut, segera menarik tangannya dan membalikkan badan, tangannya juga sudah memegang tangkai pedang.

Seorang sastrawan berbaju biru berdiri di pintu tempat masuk rumah gubuk, ternyata dia adalah Sastrawan Pengecut.

Pui Cie mendapatkan kebahagiaan dari langit. Tidak tahan berkata, "Adik Hu! Bagus sekali kau datang!"

Bo Ta Su Seng lihat ke dalam ruangan, memandang Yipha Yauci dan berkata, "Siaute mendengar Shin Kiam Pang sedang mengumpulkan jagoan-jagoannya untuk mengepung twako kemari, semua kejadian itu siaute tahu!"

"Oh!"

"Twako tahukah siapa orang tua berambut putih yang melukai dia?"

"Siapa?" "Penasihat Utama Shin Kiam Pang namanya Mei Ang San, bergelar Thong Tih Chiu (Tangan mencapai langit)."

"Dewa Ling Nan ini kungfunya tidak kalah dari almarhum gurumu, paling lebih rendah sedikit saja." "Darimana dia?"

"Em! Aku nanti akan membikin perhitungan dengannya. Barusan adik Hu mencegah..."

"Ya! Jangan apa-apakan dia!" "Kenapa?"

"Dia melawan Mei Ang San dengan suara phipanya, karena tenaga dalamnya kalah setingkat, jadi melukai dirinya sendiri, aku mencuri dengar si tua itu berkata, darahnya sudah mengalir berbalik arah sehingga menggempur jantungnya. Dewapun tak akan sanggup menolongnya..."

Pui Cie membelalakkan matanya, berkata dengan gemetar, "Kalau begitu kita harus bagaimana?"

Kata Bo Ta Su Seng, " Keadaan darurat begini mau mencari tabib sakti sangat susah. Hanya satu cara..."

"Cara apa?"

"Mohon pertolongan suhunya!" "Suhunya?"

"Ya. Yipha Yauci yang tulen." "suhunya tinggal dimana?" "Thi Ceng Tong!"

"berapa jauh jaraknya dari sini?"

"Siang malam tanpa berhenti, dua hari dua malam sampai!"

Pui Cie menarik nafas dalam-dalam, dengan menggeleng- gelengkan kepalanya berkata, "Dia tak bisa menunggu begitu lama!"

Kata Bo Ta Su Seng, "Tapi tidak ada jalan lain!" Pui Cie dengan susah berkata, "Kuatkah dia menahan goncangan selama dua hari dua malam?"

Bo Ta Su Seng mengerutkan alisnya berpikir keras, "Begini saja, aku pergi menemui suhunya, twako tetap disini menunggu, dalam empat hari aku pasti kembali. Selain ini tidak ada jalan lain, aku punya beberapa butir pil untuk menjaga jantung dan nadi supaya jangan melemah. Sehari satu butir, semoga dia tahan sampai aku kembali."

Dengan gugup Pui Cie berkata, "Apakah suhunya pasti bisa menolongnya?"

Bo Ta Su Seng menjawab, "Sepertinya dia sanggup, aku pernah mendengar orang tua itu berkata, "Yipha Yauci yang asli adalah kakak seperguruannya Kong Sun Bo Wei, seorang yang ahli dalam ilmu pengobatan yang mempunyai gelar Tangan Suci, jadi dia pun pasti paham ilmu pengobatan."

Pui Cie menggigit mulutnya berkat, "Kalau begitu jalankan saja rencana kita!"

Bo Ta Su Seng mengeluarkan empat butir pil kepada Pui Cie, sesudah itu dia berkata lagi, "Aku bawa phipanya sebagai bukti!"

Pui Cie mengangguk, "Baik, kalau... dia sampai tidak bisa disembuhkan, phipa ini sama dengan kembali ketangan pemiliknya."

Bo Ta Su Seng mengambil phipa itu dan berangkat.

Pui Cie mengantar Bo Ta Su Seng, setelah itu dia segera balik ke sisi dipan, memberi satu butir pil ke dalam mulut Yipha Yauci, diusapnya urat nadi leher supaya pil itu lancar turun ke perut.

Empat hari betul-betul waktu yang cukup lama, apa boleh buat, dia harus menunggu, yang sangat dikuatirkan adalah apakah dia bisa bertahan selama empat hari?

Bulan dan bintang mulai menghilang. Langit sudah memutih. Angin yang bertiup membuat badan terasa dingin. Pui Cie tiba-tiba terpikir masalah makanan selama empat hari ke depan, dia sama sekali tidak boleh meninggalkan.tempat ini. Dan gubuk ini bukan tempat yang tidak bertuan, hari sudah terang si pemilik gubuk pasti datang, rahasia tempat dia bersembunyi apabila sampai diketahui oleh kaki tangan Shin Kiam Pang akan banyak mendapat kerepotan, disekitar ini adalah hutan belantara yang belum dibuka, kalau dia berganti tempat terlalu jauh, Bagaimana bila Bo Ta Su Seng kembali?

Hari sudah terang, Pui Cie mencelupkan sapu tangannya dengan air sungai, kemudian membersihkan bercak darah di mulut Yipha Yauci agar bersih.

Matahari sudah terbit, dipermukaan sungai tampak seperti sisik emas berkilauan.

Dalam suara riak air sungai terdengar suara mengayuh perahu, dengan perlahan-lahan mendekat ke gubuk yang ditempati Pui Cie.

Pui Cie menjulurkan kepala memandang kepada sebuah perahu yang sudah sampai di tiang gubuk tersebut, seorang tua berbaju hitam dengan topi hijau sedang mengikatkan perahunya. Pikiran Pui Cie secepat kilat berputar, "Bagaimana mengatur cerita kepada nelayan ini?"

Nelayan tua setelah menambatkan perahunya dia meloncat ke atas tiang, menutar badan lalu masuk kedalam. Begitu dia melihat apa yang berada didalam dia memekik, "Siapa kalian...kenapa begini...?"

Pui Cie mau berkata...

Nelayan tua itu memutar kepalanya memandang Pui Cie, mukanya tiba-tiba berubah, mulut dan jenggotnya terus bergetar.

Pui Cie membungkukan badannya dan memberi hormat, dengan tidak perasaan tidak enak bertanya, "Apakah gubuk ikan milik bapak?"

Nelayan tua itu mengangguk dan berkata, "Ya, gubuk ini punyalu." Pandangannya seketika berubah ketika memandang Yipha Yauci yang berada diatas dipan.

Pui Cie dengan malu-malu dan tertawa berkata, "Maaf, aku tadi liwat didaerah sini karena kemalaman jadi..." Nelayan tua dengan wajah dingin memotong perkataan Pui Cie, "Wanita ini siapamu?"

"Sahabat!"

"Ada apa dengannya?" "Dia... sedang sakit!"

"Sakit?... bukan, di badannya ada noda darah..." "Oh! Ini... dia terluka."

"Baiklah kalian istirahatlah, tidak apa-apa, aku harus pergi memasang jala."

"Terimakasih pak!"

Nelayan tua itu memutar badannya, lalu membuka tali dan pergi.

Pui Cie menghela nafas, lalu memandangi Yipha Yauci terlihat kaki dan tangannya bergetar berapa kali, mulutnya buka tutup seperti mau berkata-kata. Pui Cie cepat-cepat mendekat dan memanggil, "Nona Liu, nona liu..."

Yipha Yauci mengeluarkan suara seperti mimpi, "Aku... apakah aku sudah mati?" suaranya lemah dan kecil seperti suara nyamuk.

Pui Cie terduduk dilantai dan berkata, "Nona Liu, kau belum mati, aku., sudah menyuruh orang pergi mencari tabib."

Kulit mata Yipha Yauci bergerak-gerak, lalu membuka, sepasang mata yang lesu berhenti di muka Pui Cie, lama sekali baru mengeluarkan suara, "Kau... kau Pui Cie?"

"Iya!"

"Phi.. phipa..." "Phipa kenapa?" "dalam... ada obat.."

hati pui cie tergetar. Dengan suara cemas berkata, "Didalam phipha ada obat?" Dengan suara lemah sekali Yipha Yauci berkata, "Ya, ada obat., pil ajaib... perguruanku... yang membuat."

Tercenganglah Pui Cie, bagaimanapun juga dia tdak berpikir di dalam phipa ada obat yang tersembunyi, sekarang barangnya sudah dibawa Bo Ta Su Seng sebagai barang bukti. Orangnya juga sudah berada beberapa puluh mil jauhnya. Tak mungkin dikejar kembali, bagaimana? Kalau sampai dia tidak tertolong, siapa yang berdosa?

Yipha Yauci seperti merasakan ada yang kurang beres, dengan susah berkata,"Phipanya... hilang?"

Pui Cie dengan muka susah berkata.'aku melihat luka nona sangat parah sudah tidak ada jalan, kebetulan sahabatku datang, maka... aku minta tolong membawa phipa sebagai bukti untuk mencari gurumu menolongmu. Ini..."

Bibir Yipha Yauci yang pucat terus bergetar, matanya membuka dan menutup berkata, "Celaka! Guruku... sudah meninggal..."

Seperti petir di siang hari bolong seluruh badan Pui Cie gemetaran, suaranya juga bergetar, "Gurumu telah meninggal?"

"Ya!"

"Ini... bagaimana bagusnya? sahabatku dalam empat hari baru bisa kembali..."

"Empat... hari?"

Ya! Sekarang nona merasa bagaimana?"

"Saya... tak bisa bertahan empat hari. Lukanya terlalu parah, aku., sudahlah, ini mungkin sudah nasib... aku tidak menyalahkanmu, tempat apa ini?"

"Sebuah gubuk ikan di pinggir sungai Tang."

Sekian lama Yipha Yauci terdiam, dengan tersendat-sendat dia berkata, "Kamu... mau menemaniku... sampai detik-detik terakhir?"

Pikiran Pui Cie kalut, dia tidak bisa begitu saja membiarkan Yipha Yauci mati, tapi dia tidak punya cara yang lain untuk menolongnya, setengah berteriak berkata, "Nona Liu, aku., bagaimana juga ingin kau tetap hidup!" mukanya tampak berkerut dengan sedih melanjutkan, "Kau bisa, kau pasti bisa tunggu sampai sahabatku pulang."

Tidak... aku tahu, aku... tidak bisa bertahan satu hari lagi!" "Aku bisa menolongmu dengan tenaga dalam..."

"Tidak mungkin, aku... tidak bisa menerima tenaga dari luar, jantungku bisa terguncang... bisa putus."

"Begini... nona Liu, aku akan menyesal seumur hidup." "Jangan menyalahkan diri sendiri, ini... nasib!"

"Kalau bukan demi menolongku, kau takkan menjadi begini."

"Sudah nasib, waktu itu aku... tidak boleh menotok urat nadimu, kejadiannya terlalu cepat, aku... tidak sempat membuka totokanmu, aku kira kau sudah terkena musibah. Yang salah... seharusnya aku."

"Nona..."

"Kau... bisakah kau merubah... panggilan padaku!"

Mata Ku Cie memerah, digenggamlah sepasang tangan halus itu, dengan amat terharu berkata, "Siang E, adik E., aku.."

Dalam mata yang buram muncul secercah cahaya kegembiraan, juga tersungging senyum kebahagiaan. Di waktu biasa senyum ini sangat menawan, tapi sekarang terlihat amatlah menyedihkan. Yipha Yauci berusaha bersemangat berkata, "Kakak Cie, aku., harap... bisa meninggal dalam pelukanmu., aku., tidak penasaran lagi aku marasa puas. Aku... tidak pernah mencintai orang lain, juga tidak pernah benar-benar dicintai seseorang. Sebab., aku Yipha Yauci. Katakanlah bahwa kau juga mencintaiku, agar aku bisa membawa kata-kata ini... masuk ke liang kubur!"

Pui Cie ingin sekali nangis sekeras-kerasnya.

Tiba-tiba muncul sebuah bayangan mungil di depan mata. Begitu Pui Cie mengangkat kepalanya, hati Pui Cie terhenyak, yang datang ternyata adalah istrinya, Hie Ki Hong. Terlihat mukanya serius, sorotan matanya penuh dengan rasa cemburu.

Kenapa dia bisa datang kemari?

Dengan gereget Hie Ki Hong berkata, "Pui Cie, tidak disangka kau adalah seorang yang hina dan tidak tahu malu. Kau..."

Pui Cie melepaskan tangan Yipha Yauci, dia berdiri. Pelan-pelan angkat bicara dengan sangat terpaksa, "Ki Hong, kalau bicara jangan keterlaluan!"

Hie Ki Hong geram sampai geregetan, dengan keras berkata,"Mau bagaimana? Apa aku harus menyanjungmu? menyebutmu jagoan yang romantis? Sebut kau..."

"Ki Hong..."

"Aku benci dirimu, benci dirimu!" "Teruskan kebenciannya!"

"Aku akan membunuhmu dulu bani perempuan murahan..." "Ki Hong, kau tidak boleh..."

"Sakit hatimu? Kau tidak rela dia mati?" seraya mengangkat tangan halusnya.

Pui Cie cemas dan marah, dengan memekik keras dia berkata, "kau tidak boleh mengusiknya!"

Hie Ki Hong terengah-engah berkata, "Bunuhlah aku dulu kalau mau mencegah!"

Karena terganggu keributan, Yipha Yauci pingsan lagi.

Pui Cie menggigit mulut berkata, "Dia terluka begini berat adalah demi diriku, dia sudah menolong nyawaku, tentu saja aku harus mengurusnya."

"Memalas budi dengan dirimu?" "Terserah!" "Kau mau mengaku aku sebagai istrimu?" "Aku tidak pernah menyangkal!"

"Dimana tanggung jawabmu?"

"Itu adalah urusan belakangan, sekarang aku mau menolong orang dulu."

"Aku mau kau jelaskan dulu!" "Tidak bisa!"

"Baik!" tangan yang halus melayang kepada Yipha Yauci yang tidak sadarkan diri.

Buat Yipha Yauci, sekarang jangankan terkena pukulan tangan, terkena jari telunjuk saja nyawanya bisa melayang. Tidak sempat untuk berpikir, Pui Cie menghalangi dengan badan.

"Plak!" tamparan tangan Hie Ki Hong mengenai dada Pui Cie, dia terjungkal hampir menindih badan Yipha Yauci. Dengan sekuat tenaga Pui Cie menahan dirinya, tapi mulutnya sudah mengeluarkan darah.

Hie Ki Hong menjerit, "Kau tidak menyayangi nyawamu untuk melindungi perempuan yang tak tahu malu ini?"

Pui Cie menghapus bercak darah di mulutnya dengan mata terbelalak berkata, "Jangan terlalu mendesakku!"

"Bagaimana, apa., kau mau membunuhku?" "Aku tidak mengijinkan kau melukainya." "Kau mencintai dia begitu dalam?"

"Ini adalah moril, manusia memiliki prikemanusiaan. aku tidak akan membiarkan dia mati karenaku."

Tiba-tiba muncul tiga bayangan manusia secara berbarengan, yang satu adalah nelayan tua, yang dua lagi adalah pelayan Hie Ki Hong, hati Pui Cie masih curiga. Siapakah nelayan tua ini? Nelayan tua itu berkata, "Majikan muda jangan keliwat emosi.

Berkatalah pelan-pelan."

Mata Hie Ki Hong memerah, berkata, "Tetua Han, anda jadi saksi, aku mau orang yang tidak berbudi ini memberi penjelasan."

Pui Cie terkejut, tidak disangka nelayan tua ini adalah Han Shi Wei. Satu di antara 8 tetua San Chai Mui. Dia pernah mendengar 8 tetua itu tapi belum pernah melihat orangnya. Ternyata gerakan San Chai Mui cukup rahasia.

Han Shi Wei memandangi Pui Cie dengan sorotan mata yang aneh berkata, "Tuan, Tuan berbuat begini., apakah pantas?"

Pui Cie mendesah lalu berkata, "Tetua Han, seorang lelaki harus bisa membedakan budi dan dendam dengan jelas. Jangan terlalu terdesakku."

Hie Ki Hong marah sekali, berkata, "Pui Cie jelaskan padaku, sepatah kata saja sudah cukup." Terpancing juga rasa marah dihatinya, Pui Cie dengan suara kecut berkata, "Bagaimana jika kau jelaskan masalah Li Se Kian?"

Hie Ki Hong terhenyak, dengan keras berkata, "Kau masih belum bisa melupakan masalah Lie Se Kian?"

"Tentu tak bisa dilupakan begitu saja, bukankah aku sudah kawin pula dengannya."

"Kau..."

"Kamu pulang tanyakan kepada ayahmu, bagaimana meninggalnya ibumu?"

Hie Ki Hong kaget sekali, dia sampai mundur tiga langkah kebelakang, dengan memekik berkata, "Pui Cie, apa artinya perkataanmu ini?"

Pui Cie dengan wajah dingin berkata, "Tanyakan saja kepada ayahmu, beliau pasti akan memberimu jawaban yang memuaskan."

Hie Ki Hong merasa marah sampai berobah mukanya. Dia menghentakkan kaki memutar badannya langsung pergi. Dua pelayannya mengikuti. Nelayan tua yang bermarga Han tetap diam di tempat, mukanya cemberut. Pui Cie menggeleng kepala kemudian melihat kepada Yipha Yauci yang tertutup sepasang matanya. Di sudut matanya mengambang dua butir air mata. Entah masih pingsan entah sudah siuman. Pui Cie menarik napas panjang, memanggil dengan suara halus, "Siang E!"

Yipha Yauci pelan-pelan membuka mata, lalu menutup lagi, dengan suara bergumam berkata, "Aku... rasannya sudah tidak kuat ber...napas... sudah tidak kuat."

Hati Pui Cie merasa sedih dan berkata, "Siang E, kau harus bertahan, kau jangan.." Dia tidak sanggup meneruskan. Saat ini yang ingin dia pikirkan adalah hidup matinya Yipha Yauci yang lain tidak perduli.

Han Shi Wei pelan-pelan bertanya, "Tuan anda sudah tidak mau Majikan muda?"

Pui Cie angkat kepala, "Tetua Han, pertanyaanmu harus ditanya oleh tetua perguruan." Habis bicara pandangannya balik lagi ke Yipha Yauci, hatinya kacau betul.

Han Shi Wei berkata lagi, "Tuan muda, aturan suami istri termasuk ke lima hukum, harap anda ingat."

Pui Cie bukan tidak tahu, dia bukan orang tidak berbudi, kebahagiaannya dengan Li Se Kian menjadi hilang karena ketua San Chai Mui telah memakai cara keji menjodohkan perkawinannya. Kemarahannya belum bisa hilang sampai sekarang dan tidak bisa dilupakan, dia mengambil sikap begini kalau diurut dari asalnya, Hie Ki Hong tidak salah, dia juga perempuan yang jadi korban. Dengan sikap dingin dia berkata, "Tetua tahu asal mula masalah ini?"

Han Shi Wei pelan-pelan berkata, "ini., aku..."

Pui Cie manghembuskan napas dari hidungnya, "Kalau begitu aku tidak usah bicara lagi."

Tiba-tiba Han Shi Wei menunjuk kekejauhan berkata, "Ada yang datang, sepertinya orang dunia persilatan!" Hati Pui Cie kaget, Cepat dia melihat kearah yang di tunjuk, Terlihatlah beberapa orang sedang menyusur jalan setapak menuju ketempatnya. Ada yang dipundaknya memikul barang, ada pula yang punggungnya memanggul barang. Seperti tukang jual beli mau ke pasar, dengan sendirinya Pui Cie bertanya, "Bagaimana tetua tahu mereka orang persilatan?"

Han Shi Wei dengan tangan mengusap jenggot putihnya, berkata, "Tidak akan salah, dalam radius lima lie semua orang-orang itu berkumpul, mungkin ada maksudnya."

Hati Pui Cie mengerti, tetua San Chai Mui, Han Shi Wei disini menyamar sebagai nelayan, sudah tentu mereka disini mempunyai cabang perkumpulan yang rahasia. Dia pasti sudah dapat berita dari anak buahnya, melihat penanpilan orang yang datang, kemungkinan besar mata-mata Shin kiam Pang yang sedang mencari dirinya dan Yipha Yauci. Dia tidak mau terganggu juga tak mau didekati. Setelah dia berpikir dan memutuskan, dia memandangi Han Shi Wei bertanya, "Apakah tetua bisa tolong menjagakan nona ini?" '

Han Shi Wei mengangguk, "Boleh, bagaimana tuan muda?"

Pui Cie berkata, "Kalau pihak lawan datang mencariku pasti banyak jago-jagonya, aku harus melawannya." Dia membalik wajahnya melihat Yipha Yauci, berkata, "Siang E, kau istirahatlah. Aku pergi sebentar!"

Menyesal Seumur Hidup

Yipha Yauci hanya berputar bola matanya, tapi tidak berkata apa- apa.

Orang yang datang jaraknya bertambah dekat.

Pui Cie tidak berani lengah, segera pergi dari sisi gubuk menyusuri sungai yang beralang-alang lebat, berjalan membuat setengah lingkaran, memutar menuju ke ujung jalan kecil dibagian sana, dengan sengaja memekik dengan keras, "Pa Kiam ( Pedang Bengis

)tidak ada ampun." Pekikan keras ini bisa terdengar sampai setengah lie jauhnya, rombongan yang penampilannya seperti pedagang menjadi kalang kabut, beramai-ramai berlari kembali secara terpencar, selanjutnya tanda api roket yang mengudara, terbukti mereka betul mata-mata.

Pui Cie matanya memeriksa sekelilingnya, dia menemukan sebuah bukit kecil di kejauhan yang menyolok sekali. Dia merasa disana jauh dan lebih baik dari gubuk ikan. Maka tanpa ragu-ragu lagi dia lari menuju bukit itu. Berdiri di ketinggian bukit dengan baju putih yang disorot sinar matahari, sehingga dari jauhpun bisa terlihat.

Terdengar suara keluar dari balik bukit tempat dimana Pui Cie berdiri, "Pui Cie, kau masih mau melawan?"

Diam-diam Pui Cie kaget sekali, pelan-pelan dia memutar badannya. Begitu memandang, hati bergetar keras, di dalam semak- semak pohon dibalik bukit, berdirilah seorang terpelajar setengah baya, ternyata dia adalah Pengurus Utama Shin Kaim Pang Kui Si Chai Ti Kuang Beng. Dalam hatinya timbul nafsu membunuh, tapi berhasil ditekan kembali, terpikir olehnya, tadi malam di dalam hutan, di luar kelenteng, Ti Kuang Beng telah membunuh seorang kepala cabang, dan melepas dirinya kabur, teka teki ini masih belum terpecahkan, spontan dia bertanya, "Pengurus Utama, aku mau bertanya satu masalah.."

"Masalah apa?"

"Semalam di dalam hutan, sewaktu aku terikat..." "Jangan menyinggung urusan itu lagi." "Kenapa?"

"Kau tentu bisa berpikir posisiku."

Perkataan tidak jelas membuat Pui Cie bingung, ketika di pegunungan pinus dia ikut memukul jatuh Pui Cie ke dalam jurang, tapi tadi malam menolong dirinya dengan mengkhianati perkumpulannya musuh atau bukan susah dibedakan.

Kenapa? Apakan dia yang diam-diam melemparkan batu ke dalam jurang untuk menolong dirinya juga? Ti Kuang Beng berkata lagi, "Jago-jago yang mau mengepungmu segera tiba, kau sebaiknya bersiap-siap. Aku tak bisa banyak bicara, oya, bagaimana nasib Yipha Yauci?"

Pui Cie spontan menjawab, "Dia masih hidup." "Dimana orangnya?"

"Maaf, aku tak bisa beritahu."

"Dengar, kalau kau bisa membunuh penasihat utama si Tangan Mencapai Langit' Mei Ang San, dari badannya kau mendapatkan sebuah pusaka ajaib yang merupakan hadiah pangcu sebagai imbalan dia membantu pekerjaan perkumpulan, setelah berkata begitu dia segera menghilang.

Pui Cie terharu sekali, pusaka apa yang berada di badan si tua itu? Tapi dia tidak bisa berpikir lama, karena dalam waktu sekejap saja telah ada seseorang mendekat, yang pertama naik ke bukit itu adalah Thong Tih Ciu, si Tangan Mencapai Langit.

Pui Cie berdiri kokoh seperti gunung, dengan mata melotot melihat pihak lawannya.

"Ha.. Ha.. Ha...! Pui Cie, akhirnya kutemukan juga dirimu!" Thong Tih Ciu ketawa sinis.

Pui Cie dengan sikap dingin berkata, "Orang yang bermarga Mei, kau membantu orang berbuat kejahatan, apa benar-benar tidak takut hukumannya!"

Seketika pihak lawan yang lain berangsur-angsur tiba, mereka mengurung bukit. Ti Kuang Beng juga datang kembali.

Pui Cie memandang semua orang yang mengepung, terutama lama sekali memandangi Ti Kuang beng.

Thong Tih Ciu dengan mata berbinar berkata, "Pui Cie, perempuan hina yang main phipa itu sudah dikubur?"

Pui Cie tertawa dengan sikap dingin berkata, "Dia baik-baik saja sedang mencari waktu untuk membalasmu! Sayang dia sudah tak ada kesempatan lagi, sebab Pa Kiam ku sudah tidak tahan ingin meminum darahmu, tua bangkai"

Thong Tih Ciu dengan murka berkata, "Jangan terlalu sombong!

Hari ini aku akan membawa kepalamu pulang." <

Pui Cie menyungging bibirnya sambil mencibir, "apakah cukup tajam pedangmu?"

Thong Tih Ciu melotot, "Silahkan coba, nanti kau bisa tahu pedangku tajam atau tidak."

"Chiang!" dengan suara keras kedua belah pihak telah mencabut pedang. "Pa Kiam tidak ada ampun!" itulah kebiasaan Pui Cie memekik.

Kedua belah pihak mengambil posisi, memasang kuda-kuda. Juga mengeluarkan pedang menunggu kesempatan bagus. Pui Cie berpikir cepat, "Orang Tua ini menjabat sebagai Penasihat Utama pasti kungfunya hebat sekali, sudah terbukti sewaktu dia melawan Yipha Yauci di kelenteng. Pertarungan kali ini adalah melawan jago-jago, jangan berlama-lama lebih cepat lebih baik." Sesudah berpikir begitu dia memekik. Pa Kiamnya dengan segala kecepatan dan keganasannya telah disabetkan.

Saat Pui Cie mau mennyabetkan pedang, keadaan di lapangan sudah amat menegangkan.

Dalam suara beradunya besi dengan besi ke dua belah pihak yang sudah menjauh, mendekat lagi.

Kepandaian pedang Thong Tih Chiu amatlah tinggi, seimbang dengan kemampuan Pui Cie, sudah tiga jurus belum jelas siapa menang atau kalah, Pui Cie melakukan pertarungan kilat supaya cepat selesai. Dia memekik lagi dikeluarkanlah jurus-jurus istimewa Pedang bengisnya. Dalam suara besi beradu yang begitu kerap, Thong Tih Chiu, sudah mundur tiga langkah besar. Pui Cie seperti bayangan mendesak terus, sebuah jurus mematikan dilancarkan. Terdengar suara ,"Sssett!" lengan baju Thong Thih Chiu sudah robek besar darah pun bercucuran. Bisa menghadapi dua jurus maut Pedang Bengis tanpa cedera pertanda ilmunya cukup hebat.

Thong Tih Chiu yang menjabat sebagai Penasihat Utama di jurus kelima dia mulai merasa terdesak, karena merasa malu, dengan memekik kuat, dia menyerang dengan sebuah jurus aneh yang amat keras. Pui Cie dengan sekuat tenaga melawan serangannya dengan pukulan, dalam hembusan angin yang menderu dan kilauan pedang, dua belah pihak terdorong mundur lagi.

Ada dua buah pedang panjang mengunakan kesempatan ketika Pui Cie mundur, menyerang dari samping.

Pui Cie segera membalikan pedangnya kembali menyapu, terdengar suara mengaduh. Seorang korban yang membokong roboh. Yang satunya lagi pedangnya putus menjadi dua. Secepat kilat dia mundur.

Dengan ada bantuan anak buahnya meskipun hanya sekejap saja. Thong Thih Chiu kembali dapat menyerang secara cepat dari depan.

Dalam suara yang hiruk pikuk jagoan-jagoan yang lain semua terjun kedalam kancah petarungan dengan mengeroyok. Pui Cie dengan pedangnya melancarkan kepada Thong Tih Chiu, dia tidak berani lengah sedikitpun. Badannya berputar mengikuti arah Pa Kiamnya kembali, ada seorang tua tepat terkena tajamnya pedang, dengan mengeluarkan suara menjerit kepalanya telah melayang.

Thong Tih Chiu menggunakan kesempatan itu menyerang lagi dengan lebih dahsyat.

Pui Cie merobah siasat cara lain, badannya cepat berputar tidak pedulikan Thong Tih Chiu, dia menyerang orang yang mengeroyok, mengerikan sekali seorang lagi terjungkal sudah tiga orang pengawal yang mati konyol.

Karena ada perbedaan tenaga dalam yang besar, kerja sama yang tidak teratur. Yang membantu mengeroyok malah menggangu serangan Thong Tih Chiu. Pui Cie sengaja mengubah-ubah posisinya. Dia bermaksud menghilangkan dulu tekanan-tekanan yang membantu menyerangnya, ini adalah siasat yang paling pintar.

Darah mengalir lagi.orang yang mengeroyok menjadi gentar.

Ti Kuang Beng ikut menyerang dari sisi, meskipun ilmunya di bawah Thong Tih Chiu tapi tidak bisa dipandang remeh. Pui Cie cepat-cepat menggunakan kesempatan sebelum Thong Tih Chiu tiba, sekuat tenaga dia menyerang Ti Kuang Beng, Pui Cie sebenarnya tidak bermaksud membunuhnya, tapi tetap harus menghadapinya.

Dalam suara besi yang beradu keras, Ti Kuang Beng mengaduh, dirinya cepat-cepat mundur, dada kanannya telah berdarah.

Terlihat serangan pedang Thong Tih Chiu menggulung. Pui Cie menghadapi dengan sekuat tenaga.

Sekarang yang bantu mengeroyok tersisa tiga orang, tidak ada kesempatan bagi mereka menyerang karena ilmu mereka yang terbatas.

Siapapun tidak ada yang tahu bahwa Ti Kuang Beng berpura-pura, tapi dia memang mendapat cedera yang tidak ringan, dia terduduk disitu.

Pa Kiamnya Pui Cie dahsyat sekali, serangannya yang bertubi-tubi membuat Thong Tih Chiu kalang kabut, maut terus mengintainya. <

Tiba-tiba Thong Thih Chiu mengundurkan diri keluar dari lingkaran pedang. Pedangnya dimasukkan dalam sarung, sepasang telapak tangan mengibas, rambutnya putih beterbangan mendadak menghempas, timbul angin yang sangat keras bergulung-gulung.

Pui Cie segera menghindar kesamping.

Terdengar suara jeritan yang memecahkan keheningan, dua orang pengawal yang berada di belakang Pui Cie, menjadi korban tergulung angin, terbang meninggalkan tanah, terhempas belasan meter jauhnya, mengikuti lereng gunung menggelinding jatuh ke bawah. Thong Tih Chiu telah salah membunuh orangnya sendiri. Dia menjadi marah besar.

Pui Cie setelah menjauh sekarang membawa pedangnya masuk lagi ke gelangang. Thong Tih Chiu setelah menarik lagi sepasang telapak tangannya, kembali menyerang diri Pui Cie,ternyata ilmu telapak tangannya lebih hebat dari permainan pedangnya.

Ini adalah bukan pertarungan silat atau mengadu tenaga, tentu saja Pui Cie tidak mau melayani keras lawan keras, badan menepi dan menghindar lagi dari serangan lawan, tapi karena menghindar terus badannya menjadi tidak mantap, terdorong oleh pukulan yang terus-menerus, sampai kepalanya terasa pusing.

Tenaga telapak tangan Thong Tih Chiu memang dahsyat, tapi tenaga dalam yang terkuras juga tidak sedikit, dia akhirnya berhenti dengan terengah-engah, waktu yang sesaat ini bagi orang ahli seperti Pui Cie merupakan kesempatan untuk menyerang.

Pedang berkilau di bawah sorotan matahari seperti satu rambang kilau mengurung Thong Thih Chiu.

Thong Tih Chiu mencoba melayangkan tangannya, sayang tenaganya belum sempat keluar dengan sempurna kilauan pedang sudah tiba, satu suara jeritan terdengar dia sudah terdorong mundur tujuh delapan langkah, baju bagian dadanya sudah sobek, darahpun bercucuran.

Pui Cie mengayunkan pedang, menyerang lagi...

Thong Tih Chiu meluncurkan badannya cepat-cepat melarikan diri, lari menuruni bukit.

Ti Kuang Beng diam-diam juga sudah kabur.

Pui Cie memekik,"Mau lari kemana?" dia menggerakankan badannya cepat-cepat mengejar Thong Thih Chiu, hanya dua kali loncatan dia sudah menghadang di depannya. Pedangnya segera digerakkan lagi. Pui Cie memang punya keinginan memusnahkan semua tenaga yang membantu Phei Cen. Untung Thong Tih Chiu tersandung batu sehingga terguling sepuluh meteran jauhnya, begitu bangun lagi dan dia cepat-cepat melesat kabur.

Tiba-tiba Pui Cie melihat di tanah ada sebuah bungkusan barang, dia teringat Ti Kuang Beng pernah berkata di badan Thong Thih Chiu ada sebuah pusaka, cepat-cepat dipungut bungkusan itu, ketika mengangkat kepala lagi, Thong

Tih Chi sudah kabur entah kemana. Dia menghela nafas, begitu barang itu dia buka, matanya menjadi terbelalak, isinya ternyata adalah sebilah Giok Ju Yi.

Pui Cie terharu sampai bergetar, Giok Ju Yi tidak salah lagi terjatuh dari badan Thong Tih Chiu. Phei Cen tidak sayang memberikan Giok Ju Yi demi mendapatkan bantuannya. Ayah Bo Ta Su Seng gara-gara Giok Ju Yi sampai diusir dari perguruannya, pada akhirnya mati di depan lembah pertapaan Bo Yu Sien Ce.

Dengan hasil yang diluar dugaan ini, telah meringankan banyak pekerjaan, janji pada Bo Yu Sien Ce sudah terlaksana.

Dimainkannya Giok Ju Yi itu, hatinya riang bukan main.

Di kejauhan asap hitam mengepul, Pui Cie angkat kepalanya melihat, tempat asap mengepul itu tepat di gubuk tempat Yipha Yauci bersembunyi, dia tersentak, hatinya berdebar-debar, Giok Ju Yi segera disimpannya dia langsung memburu ke gubuk itu.

Betul saja gubuk ikan itu sudah terbakar. Saat ini sudah memjadi gumpalan api yang besar, mata Pui Cie berkunang-kunang, dia mempercepat langkah mendekat.

Gubuk itu setengahnya sudah roboh ke dalam air. Api masih menyala, gubuk terbakar hampir habis sama sekali tidak bisa ditolong, apalagi ini sudah terlambat.

Pui Cie berdiri terpaku dan gemetaran.

Tumpukan kayu sudah terbakar habis, sisa kepulan asap tertiup angin sungai. Pui Cie seperti bangunan tinggi kehilangan topangan., rohnya terasa melayang-layang. Siapa yang membuat kebakaran ini? Bagaimana hidup dan matinya Yipha Yauci dan tetua Han? Tiba-tiba tercium bau tutung daging terbakar, menyengat hidung, badan Pui Cie menjadi seperti yang kedinginan. Apakah... dia tidak berani memikir lagi.

Memandangi puing-puing yang tersisa ternyata ada dua bangkai tutung manusia, rambut dan baju tidak tersisa, mukapun sudah tidak bisa dibedakan, entah wanita entah ^laki-laki.

Saat ini pikiran Pui Cie menjadi kosong, perasaan apapun tidak ada. Langit dan bumi seperti berputar, badannya menjadi bergoyang- goyang, dia seperti mau terjungkal. Siapa yang berbuat sekeji ini?

Han Shi Wei adalah tetua San Chai Mui, apakah tidak bisa menjaga satu orang saja? Yipha Yauci dalam kondisi sekarat tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi kenapa tetua Han kenapa bisa ikut terbakar? Gubuk hanya sebesar begitu, diluar adalah air sungai, apa tetua Han tidak mampu kabur? Sehingga mereka berdua mati bertumpuk. Benar-benar tidak habis pikir.

Kecuali bertemu musuh yang tangguh dan terluka atau terbunuh lalu dibakar pemikiran ini lebih wajar.

Siapa musuh yang begitu hebat? Pui Cie terpikir lagi Phei Cen, selain dia siapa lagi yang bisa sekeji itu bunuh orang lalu membakar jasadnya. Betul! Phei Cen tidak muncul di bukit, pasti dia disini membuat pekerjaan yang tidak berperikemanusiaan. Yipha Yauci telah mengkhinati perkumpulan pasti dia membencinya sampai masuk ke sumsum.

Dua jasad kering yang bertumpuk bisa saja adalah tetua Han yang tidak mau mengecewakan dirinya atas titipannya jadi mati terbunuh, kalau begitu dirinya menanggung dosa yang besar, tambah dipikir teori ini terasa sangat betul.

Perahu yang tadinya diikat di tiang gubuk mungkin tali nya putus terbakar, perahunya pergi mengikuti arus.

Kesal, merasa bersalah, menyesal, Pui Cie hampir menjadi gila, bayangan mungil yang memakai selendang merah bergoyang-goyang di depan matanya, semua yang terjadi hanya dalam waktu setengah jam saja, kejadian yang menyedihkan ini telah terjadi, dia sudah terbebas sekarang, tidak perlu mencari tabib lagi, gubuk ikan itu bertutup alang-alang, rangkanya semua dari kayu, setengahnya terendam air, untuk keperluan menambatan perahu dibuat tiang yang amat kokoh, begitu terbakar pasti apinya sangat besar, bau hangus tercium sampai jauh. Pui Cie mengepalan tanganna sambil memekik sekuatnya, "Bunuh! Bunuh! Bunuh!"

BASMI HABIS

Memandangi sisa kebakaran dan jasad kering dalam hati Pui Cie ada semacam keinginan membunuh dan cucuran darah. Yipha Yauci dan Tetua Han berduanya terpanggang api sama sekali luar dugaan.

Akan munculkah Phei Cen? Dia sedang berpikir, utang darah harus dibayar dengan darah, darah orang tidak berdosa harus dibayar darah orang jahat, perguruannya merasa amat sial karena mempunyai seorang pengkhianat seperti Phei Cen. Ini juga malapetaka bagi dunia persilatan, berdiri di pihak manapun demi pribadi atau umum Shin Kiam Pang harus dimusnahkan.

"Bunuh!" dia memekik lagi dengan suara keras.

Dia memikir kembali, Yipha Yauci demi cinta rela mengkhianati perkumpulan hingga mempersembahkan nyawanya, begitu pendek, begitu tiba-tiba seperti kembang api yang muncul sesaat saja, termasuk kategori cinta apa ini? Dia tahu laki-laki itu beristri tapi tetap tidak perduli, dan secara secara sepihak mencintainya. Imbalan apa yang dia dapatkan?

0-0-0

Cabut kuku putuskan gigi

Berdiri lama tanpa perasaan, Pui Cie akhirnya sadar harus beres- beres, dari gulungan gelombang air sungai, muncul sebuah perahu mengayun melawan arus, yang mendayung ternyata adalah Han Shi Wei, tetua San Chai Mui. Pui Cie girang bukan kepalang, ternyata  yang terpanggang api bukan tetua Han, dia langsung bertanya, "Mana Yipha Yauci?"

Han Shi Wei tidak menjawab malah memanggil dari atas perahu, "Tuan muda, cepatlah naik perahu!"

Pui Cie segera melompat, tubuhnya enteng seperti kapas, melayang turun di atas perahu, dia langsung melihat Yipha Yauci sedang terbaring di dalam, hatinya yang penuh rasa cemas mulai mereda, perahu kecil itu dibawa Han Shi Wei masuk ke dalam alang- alang. "Tuan muda, dia... sudah sangat kritis!"

Hati Pui Cie menjadi dingin, dia duduk termenung, butir-butir keringat bermunculan di dahinya.

Dia tidak mati terpanggang, tapi tetap susah mempertahankan hidupnya. Bo Ta Su Seng dalam dua hari lagi baru kembali, tapi sekarang nyawanya sudah sangat kritis, bagaimana harus bertindak? Dengan pelan dia mencoba memanggil, "Siang E!...Siang E!.."

Tidak ada reaksi, ketika dipegang nadinya seperti ada seperti tidak, dia betul-betul sudah gawat.

Han Shi Wei menghela nafas dan berkata, "Api dekat tidak bisa dipadamkan dengan air jauh, mana bisa tertolong? Kalau Mui Cu ada disini, mungkin bisa diminta bantuannya.."

Tiba-tiba Pui Cie teringat Giok Ju Yi yang didapat dari Thong Tih Chiu, menurut cerita Bo Yu Sien Ce, Giok Ju Yi ini dibuat dari giok yang berumur puluhan ribu tahun, khasiatnya bisa menyembuhkan yang orang yang dalam keadaan kritis. Apakah betul begitu? Harus dicoba juga, segera dia mengeluarkan Giok Ju Yi, di tempelkan di dada Yipha Yauci. Han Shi Wei merasa aneh bertanya, "Untuk apa itu?"

Pui Cie menceritakan tentang keajaiban giok itu dan kegunaannya. Han Sih Wei mengangguk sambil mengusap jenggot berkata, "Mungkin sudah takdir, belum sampai harus mati, mau bagaimana juga tak akan mati!" Pui Cie memandang Yipha Yauci lalu bertanya, "Tetua Han, waktu gubuk terbakar ada dua jasad terpanggang, bagaimana ceritanya?"

Han Shi Wei menghela nafas berkata, "Ada dua orang pengawal Shin Kiam Pang menemukan nona ini, langsung mau dibawa pergi, aku tak berbuat bisa apa-apa terpaksa menghajarnya, tak disangka dia bawa petasan yang mau dilempar untuk minta bantuan tidak tahu bagaimana, malah menyala didalam, berita tidak terkirim, gubuknya yang terbakar, aku mau tak mau membawanya ke perahu untuk menghindar sementara."

Pui Cie menghela nafas, "O, begitu, aku kira kalian berdua yang terkena musibah."

Han Si Wei bertanya dengan muka serius, "Tuan muda, apakah kau benar menyukai wanita yang bermarga Liu ini?"

Pui Cie ketawa kecut, "Tetua, di dunia persilatan budi dan dendam harus jelas dan harus diutamakan. Ada dendam boleh tidak dibalas tapi kalau ada budi harus dibalas. Nona Liu telah menolong jiwaku, budi ini harus dibayar!"

Han Shi Wei tak mau mengendur terus bertanya, "Kalau begitu maksud tuan muda hanya membalas budi saja? Yang lain tidak?"

Pui Cie berkata lagi,"Maksudku memang begitu." "Kalau dia?"

"Dia punya pandangan sendiri, aku tidak bisa campur tangan." "Menurut pengamatanku, dia sangat mencintai Tuan Muda." "Itu., itu urusan dia."

"Kalau begitu tuan muda tidak akan meninggalkan San Mui Cu?"

Terkorek lagi luka hati Pui Cie, dengan sikap dingin berkata, "Sekarang aku tidak mau membicarakan soal ini!"

Han Shi Wei dengan rasa sayang berkata, "Tuan muda, perkawinan itu amat sakral, aku harap bisa abadi selamanya." Sikap Pui Cie hatinya menjadi dingin, berkata, "kalau yang jadi korban adalah dirimu , apa kau bisa berkata begitu?"

Han Shi Wei mengerutkan dahi, "siapa yang jadi korban?"

Pui Cie berkata, "Mui Cu hatinya tentu mengerti, .kalau sampai terjadi apa-apa yang salah bukan dipihakku."

Han Shi Wei seperti tahu urusan ini, maka selesai Pui Cie berkata begitu, dia bungkam terus.

Pui Cie dengan penuh perhatian memandangi Yipha Yauci, terlihat mukanya mulai memerah, nafasnya terdengar mulai teratur, bahan dari langit, pusaka dari bumi benar-benar barang ajaib, hasil penyembuhan luka oleh giok Ju Yi sudah terlihat.

Tidak disangsikan lagi nyawa Yipha Yauci sudah terselamatkan. Pui Cie tiba-tiba terpikir, kalau Yipha Yauci betul-betul sembuh,

rasa cintanya tentu tidak berkurang, dia sendiri sudah berkeluarga, bagaimana menyelesaikannya? Sesudah dipikir berulang-ulang hatinya menjadi tetap, dia berkata, "Tetua , bolehkah aku menitipkan sesuatu padamu?"

"Masalah apa?"

"Aku masih ada urusan yang harus diselesaikan, tidak bisa berlama-lama disini, kalau nona Liu sudah sembuh, tolong simpankan Giok Ju Yi nya. Dua hari kemudian bila ada seorang yang pakai baju biru bernama Bo Ta Su Seng datang, dia sahabatku, harap giok Ju Yi ini diserahkan kepadanya."

"Boleh, tapi..." "Tapi apa?"

"Kalau nona Liu bertanya mengenai dirimu, bagaimana aku menjawabnya?"

"Ini... katakan saja aku pergi ada urusan penting, tetua tolong sampaikan ucapan terima kasihku padanya."

"Baik!" "Kalau begitu, merepotkan tetua!"

"Tidak apa-apa, sudah selayaknya aku membantu, terakhir maafkan aku berkata sekali lagi, harap tuan muda mengingat hubungan suami istri, bisa bersatu itu jodoh dari sana."

Pui Cie mengangguk dengan berat, bersoja dengan kedua belah tangan, lalu melayang ke darat.tujuannya adalah kota Cau Yang, dia tidak percaya Phei Cen tidak mau muncul untuk menghadapi dirinya, kali ini Thong Tih Chiu kembali gagal, pasti dia sakit hati.

Cara dia meninggalkan Yipha Yauci dalam hati Pui Cie merasa penuh penyesalan tapi sudah tidak ada jalan lain lagi. Sesudah sembuh bagaimana dia? Pui Cie tidak berani pikir lebih jauh lagi.

Siapa bilang dicintai itu paling bahagia? Pui Cie sekarang sedang pusing karena dicintai banyak wanita.

Sinar bulan seperti perak, Pui Cie mondar mandir di jalan raya, dia tidak berani menyatakan dirinya menyayangi Yipha Yauci, tapi Yipha Yauci malah menyukai orang yang sudah beristri, hal itu sama dengan bikin jaring mengikat diri sendiri, demi cintanya sampai mempertaruhkan nyawa sebagai imbalan, itu adalah cinta buta. Pui Cie sebagai orang yang menanggung, merasa dipotong tak mau putus, diurus malah tambah kusut.

Sebuah bayangan dengan sangat cepat melintas di depan sana, di bawah sinar bulan seperti seekor burung abu-abu terbang.

Hati Pui Cie tersentak, tapi dia tidak mau mencampuri urusan orang lain, dia tetap saja berjalan, berjalan tidak begitu jauh dari hutan dipinggir jalan muncul suara tertawa mengejek, didepan dan dibelakang tak ada orang, tujuannya pasti pada dirinya, mau tak mau harus dilayani, dia menghentikan langkah dengan sikap dingin bertanya, "Siapa yang di dalam hutan?"

Suara tertawa mengejek itu muncul lagi.

Pui Cie sudah tidak tahan dia melayang masuk ke dalam hutan, dikejauhan terlihat sebuah bayangan masuk ke dalam hutan, Pui Cie tambah cepat mengejar, bayangan itu sebentar tampak sebentar menghilang, selalu tidak jauh jaraknya di depan karena hutan lebat pohonnya padat, jadi sulit mengejarnya, tidak lama kemudian dia sudah keluar hutan, di depannya tampak hamparan ladang terlantar, ditengah ladang ada sebuah rumah tani yang tidak beratap. Dindingnya sudah compang camping terkena angin dan hujan, ada berdiri seseorang di lapangan depan dinding, melihat potongan badannya bukan orang yang kejar-kejar tadi.

Jelas sekali ini adalah sebuah jebakan, pasti ada kawanan lainnya bersembunyi, Pui Cie berdiri di pinggir hutan, sedang menganalisa keadaan bagaimana yang akan muncul.

Bayangan orang tadi berkata, "Pui Cie, aku menunggumu sudah lama." Suaranya terasa tidak asing, sinar bulan terang sekali, dengan teliti dia mencoba mengenali. Ternyata dia adalah Penasihat Umum Shin Kiam Pang, Thong Tih Chiu Mei Ang San, pembuluh darah Pui Cie seperti mau pecah bagaikan air mengalir, awan melayang dia mengejar sampai beberapa meter lagi, setelah dekat dengan mata melotot dengan sikap dingin sekali dia berkata, "Kau masih penasaran?"

Dengan geram, Thong Tih Chiu berucap, "Sebelum membunuhmu hatiku belum puas!" "Sama sama!"

"Apakah barangku dibawa?" '

"Ow, Giok Ju Yi! Maaf, sudah dikembalikan pada pemiliknya." "Kau., apa? Kembali kepada pemiliknya?"

"Tidak usah aku katakan, pokoknya begitu kenyataannya." "Kau berani menelan barangku?"

"Ha..ha., ha..! tidak lucu! Itu mana boleh dihitung barang milikmu! Kau jangan menganggap semua barang yang bisa dirampok bisa menjadi milikmu?"

Thong Tih Chiu mencabut pedangnya, memekik dengan keras, "aku akan membunuhmu!" Pui Cie dengan tenang mengeluarkan Pa Kiamnya, pikirnya dalam hati, "Kalau sekarang Phei Cen mengintai didalam kegelapan, nanti dia pasti muncul. Inilah yang kutunggu.."

Sesudah berpikir begitu, dengan sengaja dia berkata keras-keras, "Pangcu kalian pintar bersembunyi, seperti kura-kura tidak berani keluar, hanya bisa menjual nyawa kalian, sungguh memalukan."

Thong Tih Chiu melayangkan pedangnya dengan suara keji berkata, "Pangcu sedang menunggu kepalamu!"

Pui Cie mengangkat pedangnya berkata, "Ayo, majulah! masih tunggu apa lagi?"

Thong Tih Chiu marah, maju sambil memekik. Pedang panjangnya langsung menyerang, tenaganya dikeluarkan seluruhnya.

Terjadi pertempuran yang sengit, seru dan menakutkan, Pui Cie tahu banyak pesilat tangguh mengintai di kegelapan, mereka tidak mau mengulang mengeroyok, mereka memancingnya kesitu pasti sudah siap sedia, bersikap lemah pada musuh akan merugikan dirinya sendiri, sesudah tujuh jurus berlalu, dia mulai mengeluarkan jurus-jurus yang ampuh, Thong Tih Chiu didesak, mundur dan mundur terus, mundur sampai ke dinding.

Thong Tih Chiu yang merasa terdesak terus menjadi marah sambil memekik dia berseru, "Berdebah! Matilah!"

Bersamaan pekikannya dia mengeluarkan satu jurus ajaib dengan sekuat tenaga, gayanya hebat membuat orang merasa ngeri melihat pertarungan yang mengadu nyawa.

Pui Cie terdesak mundur satu langkah, Thong Tih Chiu tidak melanjutkan serangannya lagi. Tiba-tiba Pui Cie mengempos semua tenaga yang ada membalasnya, sebuah jurus maut Pa kiam seperti gelombang dahsyat menggulung dan memecah.

Dalam suara gemuruh terdengar suara mengaduh, Thong Tih Chiu sempoyongan tiga empat langkah, dadanya sudah bercucuran darah.

Pui Cie membawa pedangnya maju lagi... Thong Tih Chiu memekik sekuat tenaga, "Kenapa masih belum turun tangan?"

Pui Cie terperanjat, si tua ini menyuruh siapa segera turun tangan? Apa ada orang mencoba membokong? Pikirannya seperti kilat berputar, dia tak boleh menunggu lawan menggunakan siasat. Cabut kuku putuskan gigi, ini sebuah resep mujarab, memusnahkan macan atau serigala, "Yeah!" dengan suara yang bergetar Pa Kiamnya sudah menyerang lagi dengan jurus yang lebih ganas dan tak pernah dikeluarkan sebelumnya. Terdengar lagi suara mengaduh, Thong Tih Chiu segera tersungkur, tapi cepat-cepat berdiri lagi. Bahu dan tangan baju sobek dagingnya terbelah, darah segera membuat merah setengah badannya, dia lebih keras lagi memekik, "Kau mau pinjam pisau membunuh orang?"

Hati Pui Cie tergetar lagi, pinjam pisau bunuh orang? Apa maksudnya?

Binatang bisa diadu, apalagi ini seorang pesilat tangguh.

Dalam suara yang memilukan, Thong Tih Chiu menyerang secara bertubi-tubi sama sekali tidak menyisakan jalan mundur untuk diri sendiri rupanya dia sudah nekad, terjadi pergumulan yang mematikan.

Manusia mempertaruhkan nyawa, keadaannya sangat menakutkan.

Dengan sendirinya hati Pui Cie juga sedikit ngeri, tapi pedang di tangannya sama sekali tidak mengendur, setelah memecahkan beberapa jurus, tiba-tiba dia mengerahkan semua tenaga yang ada, Pa Kiam seperti geledek menyerang.

"Wa..!" terdengar jeritan memecah langit. Thong Tih Chiu sudah terjungkal, tapi dia mencoba berdiri dengan kondisi bergoyang- goyang, mukanya berubah rupa seperti hantu yang menyeringai, jubahnya sudah basah semua terkena darah, digerakkan lagi pedang di tangannya, tapi semua sudah tidak berupa jurus lagi. Terlihat ini adalah tenaga terakhir yang masih tersisa. "Trang!" suara terdengar, pedang panjang Thng Tih Chiu sudah terlepas jatuh, dia mundur terus beberapa langkah akhirnya jatuh tersungkur.

Pui Cie pelan-pelan mendekat.

Thong Tih Chiu mulutnya sudah berbusa darah. Setengah hati dia menjerit. "Ti Kuang Beng kau ini... benar-benar., kurang ajar..." badannya berkelojotan, lalu terdiam selamanya.

Hati Pui Cie bergetar keras, dia bingung lihat keadaan Thong Tih Chiu yang bekerja sama dengan Ti Kuang Beng membuat siasat mau menghabisi dirinya, Tapi Ti Kuang Beng ternyata tidak bertindak apa- apa. Kenapa? Pertama, Ti Kuang

Beng tidak segan-segan membunuh teman sendiri agar dirinya selamat. Kedua, dia diam-diam menunjukkan bahwa di badan Thong Tih Chiu ada Giok Ju Yi. Sekarang ketiga kalinya. Dia membiarkan Thong Tih Chiu terbunuh, sebenarnya ada maksud apa?

Satu bayangan seperti roh melayang keluar dari balik dinding yang roboh, tidak salah lagi dialah cendekiawan hantu Ti Kuang Beng, sebagai ketua umum Shin Kiam Pang, mengapa dia berbuat begini?

Pui Cie tidak kedip-kedip memandangnya.

Ti Kuang Beng sepatah katapun tidak bicara. Dia memutar badan kesamping, melambaikan tangannya, tampak sebuah barang lonjong model seperti Pui Piau (senjata lempar seperti mata tombak) dilemparkan ke dinding sebanyak tiga buah yang dilemparkan belakangan malah sampai duluan 'phiang! Phiang! Phiang!' terdengar tiga bunyi berturut-turut, batu, tanah dinding berhamburan, munculah tiga lubang besar di dinding akibat ledakan tadi.

Kecutlah hati Pui Cie, inilah angi yang bisa meledak? Kalau terkena senjata rahasia ini mengenai tubuh manusia pasti orangnya akan hancur berantakan, Ti Kuang Beng tertawa dengan suara serem secepat kilat sudah pergi menghilang. Pui Cie terpana di tempatnya berdiri kalau tadi ketika dirinya sedang bertarung dengan Thong Tih Chiu, Ti Kuang Beng menggunakan Angi yang sangat berbahaya ini pasti dirinya sulit untuk lolos. Tapi kenapa dia tidak menggunakannya?

Teka-teki! Benar-benar teka-teki yang sulit dipecahkan.

Dengan matinya Thong Tih Chiu sama dengan dicabutnya sebuah kuku tajam Phei Cen.

Mengapa Phei Cen tidak menampakan diri? Kalau Phei Cen mengetahui Ti Kuang Beng sudah memberontak bagaimana dia akan menghadapinya?

Gumpalan awan menutupi terangnya bulan, bumi ini nampak lebih gelap.

Thong Tih Chiu memang membantu orang berbuat jahat, tapi dia juga pesilat yang tangguh di dunia persilatan. Orang sudah mati jangan lagi diingat kejahatannya. Pui Cie dengan aturan persilatan menggali lubang mengubur mayatnya Thong Tih Chiu supaya tidak dilahap srigala, setelah itu dia meninggalkan lokasi itu melalui hutan menuju jalan raya.

Sesudah berjalan ke depan terlihatlah ada lampu-lampu yang sedang bersinar, jumlahnya banyak tapi agak jarang, sepertinya itu adalah sebuah dusun, Pui Cie berpikir agak lama masuk keperkampungan untuk menginap dan beristirahat."

Di pinggir jalan berhentilah sebuah pedati yang bertutup, kusirnya duduk di depan sambil hisap pipa rokok yang berkelip kilau.

Ketika Pui Cie melewati pedati itu, si kusir mendadak meloncat ke tanah, dengan suara mantap berkata, "maukah tuan berhenti sebentar!"

Pui Cie berhenti, dilihatnya si kusir adalah seorang tua yang masih sehat, berbaju kulit terbalik, kepalanya memakai topi rumput, rumputnya tidak teratur terlihat agak aneh. Dengan sikap acuh tak acuh Pui Cie berkata, "Anda memanggil aku ada persoalan apa?"

Orang tua itu ketawa sambil berkata, "Tuan muda, sudah tidak kenal hamba lagi?" Pui Cie terkejut, dia melihat lagi dengan teliti, ternyata dia pernah ketemu waktu dia berada di San Chai Mui, dia adalah pengurus umum yang namanya Chin Chen, dia merasa di luar dugaan dan berkata, "Ooo... ternyata pengurus umum Chin, senang sekali bisa bertemu!"

Pengurus umum Chin dengan mata berbinar berkata, " Silakan Tuan ke hutan belakang pedati, Mui Cu ingin bertemu dengan Tuan!"

Pui Cie kaget tidak kepalang, tidak terduga San Chai Men Cu sekarang mau bertemu dengan dirinya disini. Tentu ini adalah urusan Hie Ki Hong, bagus juga, dua belah pihak bisa berhadapan membicarakan masalahnya supaya jelas. Sesudah berpikir sebentar dia berjalan ke belakang pedati. Di bawah bayangan pohon berdiri ketua San Chai Mui, Hie Bun Cun, sesuai aturan yang harus dijalankan, Pui Cie maju lagi beberapa langkah, dia bersoja memberi hormat, dengan sopan berkata, "Mantu memberi hormat pada bapak mertua!" 

San Chai Men Cu mengangkat tangan, dengan suara dan sikap yang dingin berkata, "Pui Cie, apa dimatamu masih ada aku sebagai bapak mertua?

Pui cie merasa sesak dadanya, dengan pelan-pelan dia berkata, "Bapak mertua silahkan memberi petunjuk?"

"Apakah kau sudah bersiap-siap mau memceraikan Hie Ki Hong?" "Tidak."

"Tapi mengapa kau tidak mau meladeni dia."

"Ini., sebab aku sedang membereskan urusan pribadi."

"Katanya kau sudah mendapat lagi pacar baru yang bernama Yipha Yauci, Liu Siang E?"

Pui Cie bernapas dalam-dalam, lalu berkata, 'Nona itu telah menolong jiwaku, jadi aku harus membalas budinya.' Dengan sorot mata seperti aliran listrik San Chai Men Cu langsung memandang muka Pui Cie, kemudian dengan suara rendah bertanya, "Sebatas itukah?"

Pui Cie tidak berpikir lagi langsung menjawab, "Ya!"

San Chai Men Cu mendehem pelan lalu berkata, "Itu sudah melebihi batas-batas antara laki-laki dan perempuan."

Pui Cie terpikir masalah Kim Hong Ni dan Li Se Kian, sepasang ibu dan putrinya, kekesalan yang sudah terpendam menjadi timbul lagi, mukanya berubah lalu berkata, "Bapak mertua apakah tidak lelah jauh-jauh kemari hanya untuk menegurku?"

0-0-0

San Chai Men Cu berobah mukanya dengan marah sekali berkata, "Kurang ajar!"

Pui Cie juga bersikap dingin dan mengangkat kepala tidak bicara.

San Chai Men Cu dengan suara rendah berkata, "apa aku tidak boleh bertanya?"

"Silahkan."

"Kalau begitu jawablah, bagaimana kau mengatur Ki Hong?" "Tidak ada yang perlu diatur!"

"Aku hanya punya anak perempuan satu-satunya. Aku mau dia hidup bahagia. Aku tidak mengizinkan siapapun merusak kebahagiannya."

Pui Cie tertawa dalam hatinya, dengan sikap dingin berkata, "Hm, bapak mertua, maafkan kalau aku bicara kurang mengenakkan. Kim Hong Ni karena merasa kesal sampai meninggal. Meninggalkan seorang anak piatu Li Se Kian, kebahagiaan ibu dan putri ini direnggut oleh siapa?"

Mata San Chai Men Cu membelalak, dia mundur selangkah besar dengan suara gemetar berkata, "Apa maksudmu berkata begitu?"

Pui Cie dengan sikap dingin berkata, "Bapak mertua tentu mengerti, apa mantu harus menceritakan kembali?"

San Chai Men Cu dengan gentar berkata, "Maksudmu kau mau membatalkan perkawinan ini?"

Agak sewot Pui Cie berkata, "Aku tidak bilang begitu. Ki Hong dan Se Kian adalah saudara kandung seibu. Tapi perkawinanku dengan Se Kian terjadi lebih dulu..." dengan emosinya yang bergelora, dia berkata lagi, "Karena diatur oleh orang, saudara sedarah menjadi berpencar, mantu mau numpang tanya, bagaimana mengaturnya?"

San Chai Men Cu mundur lagi matanya bersinar, sepertinya mau bertindak...

Pui cie pura-pura tidak melihat dia berkata lagi, "Bapak mertua apa tidak perduli terhadap kesengsaraan Se Kian ibu dan putrinya?"

San Chai Men Cu menyentak keras, "Tutup mulutmu!"

Pui Cie malah meneruskan, "Buktinya sudah nyata, aku tidak bisa berdiam begitu saja."

Sa Chai Mui Cu berkata, "kau mau berbuat bagaimana?"

Pui Cie tidak mau mengalah, malah balik bertanya, "Menurut pendapat bapak mertua harus bagaimana?"

Pandangan San Chai Men Cu tidak garang lagi, seperti ayam jago yang kalah beradu, tampak lemas.

Pui Cie mencecar terus sedikitpun tak mau mengalah, "Kalau Ki Hong tahu masalah dirinya, apa yang akan diperbuat? Bapak mertua bagaimana menjelaskannya?" San Chai Men Cu menjadi tidak tahan, berkata, "Sudah! Jangan bicara lagi!"Dengan bermuram durja berkata lagi, "Pui cie, kau sudah tahu semua kejadiannya?"

Pui Cie berkata, "Sangat jelas!"

San Chai Men Cu bergumam sendiri, "Mimpi selalu harus terjaga, kalau itu memang sebuah mimpi yang tidak nyata, begitu terjaga harus tidak berbekas. Bagus juga begitu... sayang, ini bukan mimpi. aku., apa sebenarnya telah kudapatkan?"

Dia begitu merasa bersalah, terharu atau menyesal. Tidak ada orang yang tahu. Pui Cie juga tidak tahu. Dia mendadak seperti menjadi tua, pikirannya sudah tahan menanggung beban lagi, yang dikorbankan sudah menjadi korban, yang mati sudah terjadi, yang hidup masih harus menanggung segala kesusahan.

Pui Cie tidak mau menyela, bagaimana pun juga lawan bicaranya adalah orang tua, sakit hatinya memang tidak bisa dihindari. Bagi Hie Ki Hong perkawinannya tak bisa dibatalkan. Bagi Li Se Kian juga tidak bisa diatur dengan sempurna. Kalau diurut dirinya juga korban secara tidak langsung.

Suasana membisu seperti tak ada napas kehidupan. Saat ini Pengurus umum Chin yang menyamar sebagai tukang kusir mendekat tergopoh-gopoh berkata, "Lapor, Mui Cu, San Min Cu telah pergi."

Pui Cie menjadi kaget, tak disangka Hie Ki Hong juga berada disini.

San Chai Men Cu dengan suara gemetar berkata, "Apa? San Min Cu.."

"Ya! Dia baru saja pergi!" "Kapan dia datang?"

"Sudah agak lama, dia tidak mengizinkan hamba melapor."

"Dia... tentu sudah mendengarkan pembicaraan aku dengan Tuan muda?" "Ya. San Min Cu juga sedih dan menangis." "Begitu., kemana dia bakal pergi?"

"Dia tidak bilang."

Pui Cie baru mengerti. Hie Ki Hong telah datang sendiri, secara kebetulan mendengar pembicaraan dirinya dengan ayahnya, sepertinya dia sekarang baru tahu rahasia asal usulnya. Apa yang bakal dia lakukan?

San Chai Men Cu dengan kesal berkata, "Pengurus Chin, seharusnya kau beritahu kehadiran San Min Cu, sekarang.."

Pengurus umum membungkukan badannya berkata, "Ya, bawahan., ceroboh. Harap Mui Cu maafkan."

Pui Cie dengan dingin memotong, "Ayah mertua seharusnya sedari dulu memberitahu dia rahasia ini. Biarpun bersalah, harus menghadapi kenyataan dan menyelesaikannya. Kertas itu tak bisa membungkus api.."

San Chai Men Cu menghela nafas keras-keras berkata, "tidak usah bicara lagi. Pengurus Chin, beritakan ke seluruh cabang awasi gerak gerik San Min Cu, begitu tahu dimana keberadaanya segera lapor!"

Pengurus umum Chin Chen menyahut, "Turut perintah!" segera dia memutar badannya pergi tergesa-gesa.

San Chai Men Cu sudah kehilangan ketenangan dan kewibawaan biasanya, kedua alisnya berkerut berkata, "Ki Hong pergi begitu tergesa-gesa, aku takut dia bertindak yang bukan-bukan! AiiL.dua puluh tahun berlalu hanya sekejap. Waktu itu... permainan ini sudah berjalan salah. Aku bisa bilang apa?" dengan menggelengkan kepala, dan membelalakkan biji matanya dia berkata lagi, "Pui Cie, kalau kau merasa kau adalah suami istri dengan Ki Hong, kau pergilah cari dia."

Pui Cie pelan-pelan berkata, "Ya, memang aku mau memcari dia, tapi.."

"Tapi apa?"

"Sesudah menemukannya, terus bagaimana?" "Kau mau melepaskannya?" "Tidak!"

"Kalau begitu carilah dia. Lalu katakan... aku menyayanginya selamanya. Tidak perlu memaafkanku, hanya.. mohon., dia jangan dendam padaku. Aku., merasa bersalah padanya. Juga bersalah padamu., terutama bersalah pada., ibu kandungnya." Kata-katanya penuh dengan penyesalan dan menyalahkan dirinya.

Pui Cie menghela napas dalam-dalam, berkata, "Aku tahu kemana mencarinya. Aku pasti menemukannya."

Kota Siang Yang! Go Li Kio (jembatan lima lie) rumah Li!

Pui Cie tiba di depan pintu, ada sedikit rasa takut. Dia secara bernafsu mengejar kesini. Sekarang baru merasa ada kesulitan. Hie Ki Hong benar kesini atau tidak masih dalam dugaan saja. Tapi begitu masuk ke dalam sini dan bertemu dengan Li Se Kian dia harus berkata apa? Dulu dia mengira Hie Ki Hong adalah Li Se Kian, dengan diatur oleh Hie Bun Cun dia akhirnya menikahi Hie Ki Hong. Sampai Kim Hong Ni memutuskan membunuh diri, semuanya baru menjadi jelas. Hie Ki Hong dan Li Se Kian adalah kakak beradik kembar. San Chai Men Cu karena cintanya ditolak oleh kakak sepupunya Kim Hong Ni jadi merasa kesal. Dengan mengambil kesempatan sewaktu dia melahirkan di perjalanan dan tidak sadarkan diri, Hie Bun Cun berhasil membawa kabur salah satu bayinya, dan memelihara dan memberi nama Ki Hong.

semua tragedi ini, orang yang paling besar dosanya adalah San Chai Men Cu.

Mereka berdua adalah saudara sekandung tapi dua-duanya mempunyai hubungan perkawinan dengan dirinya, harus bagaimana dia menyelesaikan masalah besar dan pelik ini? Menantu sejelek apa juga harus menemui ayah< ibu mertua. Setelah memberanikan diri dia maju mengetuk pintu.

Begitu pintu depan dibuka oleh seorang pelayan kecil. Pui Cie pelan-pelan memanggil, "Ing Chun." Ing Chun begitu melihat Pui Cie, mukanya menjadi cemberut, dia tidak memberi salam, seperti melihat orang asing saja.

Pui Cie langsung merasakan suasana yang tidak mendukung. Dia bertanya lagi, "Ing Chun, apakah nona ada?"

Mata Ing Chun memerah, dengan memonyongkan bibirnya berkata, "Nasib nona kami kurang beruntung, masih beruntung Tuan muda masih ingat dia, dan masih mau pulang melihatnya."

Pui Cie berusaha menahan emosinya, berkata, "Sebenarnya keadaan nona bagaimana?"

"Sedikit lagi akan menyusul ibunya kesana." "Apa? Dia.."

"Bunuh diri tidak berhasil, masih hidup."

"Ada yang pernah datang?" "Ada. Bayangan diri nona."

"Teng!" hati Pui Cie tersentak. Benar-benar Hie Ki Hong pernah kesini, dengan tergesa-gesa dia bertanya, "Sekarang mereka dimana?"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar