Patung Emas Kaki Tunggal Jilid 07

 
Jilid 07

Tukang perahu cengar-cengir, ujarnya : “Wah, malam ini agaknya aku ketiban rejeki nomplok, tulang-tulangku ini agaknya menjadi berharga, ada gadis ayu ingin mengelus-elus dan membayar kepadaku……”

“Sudah jangan cerewet,” sentak Lok Siau-hong marah, “berapa yang kau minta?”

Tukang perahu bergelak tertawa, serunya: “Jari-jarimu yang manis halus itu, andainya harus mampus juga tidak menyesal. maka aku tidak menuntut bayaran, silahkan saja, kau boleh gratis!”

Rasa gusar Lok Siau-hong mendadak sirna, cepat ia tersenyum manis, katanya : “Kalau begitu banyak terima kasih!”

Nadanya lemah lembut, tapi ia turun tangan tidak kasihan: “wut!” cambuk panjang bergulung-gulung ke tengah udara membawa kisaran angin yang menderu, melesat ke pergelangan tangan orang dengan kecepatan yang susah diukur.

Berubah air muka tukang perahu, tersipu-sipu ia menarik tangannya, tapi sudah terlambat, ujung cambuk laksana ular hidup sudah membelit pergelangan tangannya, lekas tangannya digen rak dan tan k kesam ping mak sudnya hendak membebaskan tangannya dari lilitan cambuk itu. Agaknya Lok Siau-hong sudah memperhitungkan reaksi lawan, memperingatkan dan tarikan orang, sekali lagi cambuknya disendal untuk memunahkan tenaga gentakan orang yang besar, sehingga ujung cambuknya tetap membelit pergelangan tangan orang.

Terdengar tukang perahu menjerit sekeras-kerasnya, tiba- tiba ia dorong telapak tangannya ke depan.

Selama ini Koan San-gwat mengawasi kejadian ini dengan waspada, cepat-cepat iapun dorong telapak tangannya menyambut hantaman lawan.

Koan San-gwat kira lwekang tukang perahu ini luar biasa, umpama Ia kerahkan seluruh tenaga juga belum tentu kuat menahan pukulan orang, maka begitu melancarkan pukulan tukang perahu rendah dan biasa saja, keruan badannya kepukul terbang ke udara meluncur ke tengah sungai yang airnya sedang bergolak itu.

Cambuk Lok Siau-hong yang membelit, tangan orang belum terlepas keruan terseret beberapa langkah hampir tersuruk masuk ke air. Cepat Koan San-gwat memburu maju dan menarik pinggangnya serta lompat mundur.

Sementara itu, tukang perahu sudah lenyap, ditelan ombak yang bergolak. Untunglah Koan San-gwat bertindak sehingga Lok Siau-hong tidak terseret jatuh ke dalam sungai.

Karena tanpa kendali perahu oleng dan berputar di tengah sungai, kuda yang tidak terikat berjingkrak kaget jatuh ke dalam sungai, kuda milikc Koan San-gwat dan Lau Sam-thay sementara kuda merah Lok Siau-hong masih tenang-tenang berdiri di sana.

Koan San-gwat tertawa tawar, “Usiaku toh lebih tua.”

Setelah perahu tenang, Koan San-gwat melepas pelukannya, Lok Siau-hong jadi malu jengah, katanya tersekat

: “Terima kasih Koan…..”

Koan San-gwat tertawa tawar, katanya : “Usiaku lebih tua, kau boleh panggil aku Koan-toako saja.” Lok Siau-hong kikuk, suaranya lirih: “Terima kasih Koan- toako!”

Koan San-gwat manggut-manggut, belum ia buka suara, mendadak dilihatnya air bergolak lalu muncullah kepala tukang perahu. Ia naik salah seekor kuda, teriaknya: “Hai! Nona cilik, pernah apa kau dengan Lok Heng kun ?”

“Beliau ibuku, untuk apa kau tanya dia?”

“Bagus!” teriak tukang perahu bengis, “akhirnya aku berhasil menemukan dia. Kalian tinggal dimana?”

Tanpa pikir Lok Siau-hong berseru lantang: “Kami tinggal di Si-yang-ceng, lima li di depan seberang sana.”

Tukang perahu itu berteriak beringas : “Lekas pulang beritahu kepadanya, besok siang setelah lohor aku akan datang mencarinya!”

“Ouw-hay-ik-siu!” Lok Siau-hong berteriak lantang, “lebih baik lusa kau datang, bukan saja ibu, bibiku juga menunggu kedatanganmu, datanglah pada waktunya, kedua belah pihak bisa menyelesaikan persoalan lama sekaligus.”

Tukang perahu tertegun sejenak, lalu sahutnya: “Baiklah lusa tengah hari aku pasti datang, suruh mereka siap! ” habis berkata ia biarkan kuda itu hanyut terbawa air.

Koan San-gwat bingung, tanyanya: “Nona! Kau kenal orang ini?”

“Tidak!” tapi setelah dia menyebut nama ibuku lantas aku tahu siapa dia. Menurut ibu, orang itu sangat jahat, musuh besar keluargaku, ibu, bibi, dan paman menanti kedatangannya!”

Koan San-gwat ketarik tanyanya: “Ada permusuhan apa dengan keluarga kalian?”

“Aku tidak tahu, ibu mengajar ilmu cambuk yang khusus mengalahkan dia.” “Jurus yang nona lancarkan tadi?”

Lok Siau-hong manggut-manggut dengan bangga.

“Ilmu silat orang tua itu sangat aneh dan agak sesat, urat nadinya sudah kugencet dengan seluruh tenagaku, tapi sedikitpun tidak terluka tapi kena pukulannya bisa saja…… ”

Lok Siau-hong tertawa: “Kalau sebelumnya dia tidak kena cambukku, tentu kau tidak akan merasa pukulannya biasa saja.”

Koan San-gwat melengak heran, tanyanya: “Apakah maksud ucapan nona?”

Lok Siau-hong acungkan cambuk di tangannya, sedikit ia mengerahkan tenaga, ujung cambuk mendadak tegang berdiri seperti kepala ular muncullah dua jarum kecil warna hitam. Sekali muncul, lantas masuk kembali, kalau tidak diperhalikan kau tidak akan menyadari kalau kau tertusuk jarum.

Beruntun Lok Siau-hong mendemontrasikan beberapa kali, setelah Koan san-gwat dan Lau Sam-thay melihat jelas baru dia tertawa dengan bangga, ujarnya. “Menurut ibu, tua bangka itu punya ilmu sian-than-gun goan-hun-sip kang, tubuhnya dapat dirobah menjadi empuk dan lemas seperti benang kapuk, tenaga besar juga tidak akan bisa melukai dia. Kuatir suatu ketika aku kepergok dia dan kecundang, maka ibu menciptakan ilmu cambuk ini kepadaku. Dua puluh tahun yang lalu dia pernah kecundang oleh tusukan jarum ini, hari ini sekali lagi roboh di tanganku, sejauh ini dia belum tau duduk perkara yang sebenarnya.”

“Apakah jarum di dalam cambuk nona mengandung racun?”

“Liag coa-pian-hoatku tidak mengandung racun. Kalau beracun menjadi Tok-coa-pian-hoat dong.”

“Kalau mengandung racun, kenapa orang tidak mampu mengerahkan tenaga setelah kena tusukan jarummu?” “Jarum dalam cambuk ini panjangnya sato inci, begitu menusuk urat nadi menembus ke khi-hiat, sudah tentu seluruh pertahanannya bobol dan tenaga tak mampu dikerahkan lagi.”

“Khi-hiat masa berada di urat nadi pergelangan tangan ?” “Justru disitulah tempat keanebannya, kalau orang lain….” “Terhadap orang lain tusukan itu tak berguna,” demikian

Lau Sam-thay menyela.

Lok Siau-hong melirik sekejap, katanya, “kalau orang lain jiwanya sudah melayang, dan jalan darah penting siapa yang kuat ditusuk jarum, dalam keadaan yang tidak siap siaga lagi. Maka ibu berpesan supaya menggunakan terhadap dia saja!”

“Menilai pesan ibumu itu, jelas bahwa ibumu yang baik hati dan bijaksana,” ujar Koan San-gwat tersenyum.

“Ya, aku sendiri tidak tahu kenapa ibu menggunakan julukan Hiat-lo-sat (kuntilanak berdarah), demikian pula bibiku julukannya Pek-kut sin-mo.”

Koan San-gwat melengak, seorang aneh pula, dengan pikirannya nama-nama Hiat-lo-sat, Pek-kut-sin-mo dan Ouw- hay-ih-siu belum pernah dengar selama ini, bagaimana sepak terjang dan asal usul mereka? Ilmu silat mereka tinggi, kenapa menyembunyikan diri melarang putrinya terjun ke percaturan Kangouw…

“Aku harus menyelidiki seluk beluk mereka hingga terang, siapa tahu di belakang ini ada tersembunyi suatu rahasia besar yang biasa menggemparkan Kangouw,” hati berpikir tapi akhirnya ia bersikap tawar, tanyanya: “Kalau ibumu tidak pernah Kelana di Kangouw, untuk apa pula dia memiliki gelar?”

“Entahlah! ibu, bibi, dan paman memanggil julukan masing- masing tidak pernah memanggil nama aslinya .. oh, ya, pamanku bergelar Coh-san-sin (malaikat gunung yang buruk) sebetulnya ia tidak kelihatan buruk malah cakap dan ganteng!”

Koan San-gwat berpikir dalam hati, setelah termenung sekian saat mendadak teringat olehnya sebuah persoalan, tanyanya: “Aku masih belum tahu nama kebesaran ayah nona, tentu beliau seorang tokoh kosen yang menyembunyikan diri!”

Seketika berubah air muka Lok Siau-hong, sahutnya. “Aku tidak punya ayah!”

“Setiap orang tentu punya ayah dan ibu ..”

“Justru aku tidak punya, begitulah kata ibu, aku pun harus percaya saja, setiap kali kutanya hal ini, selalu aku dihajar dan dimakinya, maka kalau ketemu ibuku jangan kau singgung soal ini.”

Dalam pada itu perahu mereka sudah laju ke depan dan terhanyut semakin jauh, untung Lau Sam-thay bisa mengendalikan perahu. Setelah sekian lama bekerja keras perahu akhirnya bisa mendarat. Waktu itu hari sudah terang tanah.

Setelah berada di atas darat, kelihatan Lau Sam-thay lebih gelisah dari Koan San-gwat tanyanya: “Nona Lok, dimanakah rumahmu ?”

Lok Siau-hong celingukan mencari arah lalu berkata : “Tempat ini sudah jauh dari rumahku, kuda kalian hilang lagi, bagaimana melanjutkan perjalanan?”

“Tidak jadi soal, kau naik kuda saja, kami berlari menguntit di belakangmu.”

Lok Siau-hong menepuk kudanya, katanya : “Kukira kau salah perhitungan bila hendak lomba lari dengan tungganganku ini, bila dia sudah lari, anginpun dapat dikejar olehnya. Kata ibu kuda ini kelahiran Tay-hoan yang pilihan dalam dunia cuma ada beberapa ekor saja….” Sebagai orang yang dibesarkan di padang pasir sudah tentu Koan San-gwat kenal kwalitet kuda. Kalau bukan kuda jempolan masa berlaku tenang dan tidak bergeming di kala perahu oleng dan hampir terbalik.

Lau Sam-thay angkat pundak, katanya “Bagaimana baiknya, apa tiga orang menunggang satu kuda ?”

“Ya, terpaksa, begitulah, asal bisa duduk sepuluh orang pun dia kuat …”

Karena tiada pilihan lain terpaksa Koan San-gwat setuju, Koan San-gwat pegang kendali, Lau Sam-thay duduk di tengah sementara Lok Siau-hong duduk di pantat kuda, kuda merah besar itu bisa berlari bagaikan angin, tidak lama kemudian mereka sudah jauh meninggalkan orang-orang yang berdiri keheranan di pinggir jalan, setelah membelok ke sebuah jalan datar berdebu kuning, hutan menghijau rimbun di depan sana sudah kelihatan, di depan pohon itulah tampak beberapa petak bangunan.

Sambil menuding ke depan Lok Siau-hong berteriak girang

: “Lihatlah ! Itulah rumah Si-yang-ceng !”

Begitu sampai di luar perkampungan, si merah segera menghentikan larinya. Seorang perempuan pertengahan umur tampak berdiri di ambang pintu dengan muka dingin dan masam. Begitu turun Lok Siau-hong lari ke hadapan perempuan tua itu seraya berseru: “Bu! Aku membawa seorang teman, dia bernama Koan San-gwat!”

Bergegas Koan San-gwat melompat turun, sapanya sambil bersoja: “Apakah aku berhadapan dengan Hiat-lo-sat Lok Heng-kun Locianpwe ?”

Perempuan tua itu mengipat tangan Lok Siau-hong serta berkata dengan bengis: “Siau-hong masuk, kenapa kau membawa pulang mereka, orang-orang Kangouw lagi…..” Lok Siau-hong tertegun melihat sikap ibunya, segera ia merengek : “Ma, Koan-toako bukan orang biasa, kepandaiannya hebat, dia… dia mampu menandingi Ling-coa- pianku.”

Berubah air muka perempuan itu, mulutnya bersuara lirih, dengan pandangan tajam mengawasi Koan San-gwat sesaat baru berkata dengan dingin: “Bagus sekali! Kau mampu melawan Ling-coa-pian Siau-hong, mungkin kau ingin menjajal kepandaianku juga, bukan!”

Cepat Koan San-gwat berkata: “Aku yang rendah tidak punya maksud demikian, cuma dari cerita puterimu, kudapat tahu adanya seorang Bulim Cianpwe yang semayam di tempat ini, maka sengaja kami kemari, sebagai Wanpwe kami mohon petunjuk belaka!”

“Mana kami berani terima, kami menetap disini dengan tenang dan aman, selamanya tidak pernah berhubungan dengan orang Kang-ouw, kalau saudara tidak punya urusan lain, harap maaf, aku tidak bisa melayani lebih lanjut!”

Sikap dingin dan keras ini membuat Koan San-gwat serba runyam dan kikuk, habis berkata perempuan tua itu putar tubuh masuk kampung, segera Lok Siau-hong berteriak: “Ma! Mana boleh kau bersikap begitu pada mereka, akulah yang mengundang mereka!”

“Siau-hong!” damprat perempuan tua itu. “Kau memang semberono, sudah wanti-wanti aku berpesan padamu, jangan bergaul dengan orang Kang-ouw, kau justru mengundang mereka kemari, agaknya kau harus diberi sedikit hajaran!”

“Ma! Koan-toako bukan orang Kang-ouw sembarangan, namanya besar kepandaiannya tinggi, dia adalah Bing-tho Ling-cu!”

Bahwasanya Lok Siau-hung tidak tahu sampai dimana pengaruh dan kebesaran nama Bing-tho- ling-cu, karena gugup ia berteriak mencari-cari alasan, tak kira ibunya tertegun oleh keempat nama yang disebut itu, tiba-tiba ia membalik serta bertanya: “Bukankah Bing-tho-ling-cu adalah Tokko Bing? Bagaimana bisa ganti bocah muda seperti dia…?”

Tergerak hati Koan San-gwat, diam-diam ia membatin: “Suhu tidak pernah menyebut nama orang ini, tapi dia kenal nama guru,” sejenak berpikir ia lantas menjawab: “Insu (guru berbudi) sudah wafat, wanpwe mendapat pesan untuk meneruskan jabatan Bing-tho-ling.”

“Tokko Bing sudah mati?”tukas perempuan itu sambil tertawa dingin, “Anak muda, jangan membual terhadapku.”

Mencelos hati Koan San-gwat, pikirnya: “Perihal kematian guru, Peng Kiok-jin juga menyatakan tidak percaya, Hiat-lo-sat juga berpendapat demikian, besar kemungkinan mereka dulu kenal dengan Unsu….. Sesaat bimbang lalu jawabnye dengan sungguh-sungguh: “Darimana Cianpwe tahu bila Unsu belum wafat?”

Perempuan ini tertawa dingin, ujarnya: “Tahu yang tahu, kenapa harus kujelaskan? Kalau dia benar-benar sudah ajal, pasti aku sudah memperoleh berita dukanya itu, kalau tokh dia sudah menyerahkan Bing-tho-ling-cu pada kau, tentu dia sudah berangkat ke tempat itu!”

Mendengar keterangannya sama dan persis dengan apa yang dikatakan Peng Kiok-jin seolah-olah sangat jelas segala seluk-beluk Tokko Bing, cepat Koan San-gwat bertanya: “Ke tempat mana?”

“Dia tidak beritahu kepada kau?” “Sebenarnya wanpwe tidak tahu menahu….”

Perempuan tua itu manggut-manggut, ujarnya: “Ya… kau tidak tahu, Tokko bing tidak akan berani memberitahukan kepada kau…. Apa boleh buat, kalau kau memang ahli waris Tokko Bing, aku harus melanggar kebiasaan menerima kedatanganmu, silahkan masuk!” Lok Siau-hong tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi melihat ibunya sudah mau menerima Koan San-gwat, ia jadi senang, katanya tertawa: “Ma! Kali ini sungguh menyenangkan, bukan saja bertemu dengan Koan-toako, tadi akupun bentrok dengan orang yang paling kau kuatirkan itu. Di atas sungai kuning tadi dia kupersen sekali pecutan, Koan- toako menambahkan sebuah pukulan pula, kontan ia terjungkaL ke dalam air!”

Berubah hebat air muka perempuan tua itu, tanyanya: “Apa, semalam kau ketemu Ouw hay -ih-siu, bagaimana dia…..”

“Ibu dan bibi biasanya mengagulkan dia tapi menurut pandanganku tidak lebih dia itu sebuah gentong nasi belaka,” demikian ujar Lok Siau-hong tertawa geli.

“Jangan membual, cepat ceritakan pengalamanmu, tak mungkin ia mati kelelep karena serangan kalian itu.”

“Ya, dia muncul di permukaan air, ketika dia menyebut namamu, baru aku tahu siapa dia. Maka sesuai dengan pesanmu kutantang dia. Semula dia berkata hari ini sebelum lohor….”

Perempuan itu makin gugup, katanya : “Wah celaka. Pek- kut kebetulan tiada, aku seorang diri mana kuat menandingi dia…..”

“Aku tahu, maka kutantang dia besok lohor, waktu masih keburu untuk mengundang bibi an paman kemari. Sebetulnya ini pun sudah berkelebihan, ada aku dan Koan-toako kukira sudah lebih cukup….”

“Kau tahu apa?” semprot perempuan itu, “Lekas berangkat naik si merah, undang Pek-kut dan Coh-san-sin kemari!”

“Baru saja aku pulang sudah disuruh pergi, bukankah banyak tenaga dalam rumah, kenapa tidak suruh orang lain saja?” demikian omel Siau-hong. Belum perempuan itu menjawab, tiba-tiba didengarnya di tengah angkasa suara kelintingan burung dara, puluhan burung dara sedang terbang berputar di atas angkasa.

Kontan Lok Siau-hong berjingkrak girang, serunya sambil bertepuk tangan. “Tidak usah pergi, paman dan bibi sudah datang sendiri…..”

Setelah berputar-putar sekian lamanya di tengah udara, salah satu di antara burung dara itu menukik turun dengan cepat. Lok Siau-hong ulur cambuknya yang panjang, seraya berteriak: “Pek-ih! Mari kemari!”

Agaknya burung dara itu pandai mendengar ucapan manusia, dengan patuh ia meluncur dan hinggap di atas gagang cambuk Lok Siau-hong, dari kakinya Lok Siau-hong mengambil sebuah bumbung kecil dan mengeluarkan secarik kertas, lalu dibacanya keras: “Jejak musuh sudah muncul, adik berdua segera tiba…” Setelah membaca ia ulurkan secarik kertas itu kepada ibunya, katanya : “Bibi berdua ternyata sudah tahu.”

Lok Heng-kun menerima kertas itu serta memeriksanya sekian lamanya, lalu berkata kepada Koan San-gwat: “Hubungan kami dengan gurumu dulu sangat intim, seharusnya kami menjamu sekedarnya, tapi musuh tangguh kebetulan meluruk tiba, terpaksa berlaku kurang hormat kepada kau……”

Koan San-gwat tahu watak dan perangai tokoh Bulim memang aneh dan berbeda, biasanya mereka tidak mengijinkan orang lain turutcampur tangan dalam pertikaian mereka sendiri. Jejak gurunya sangat mencurigakan. kebetulan sumber yang dapat memberi penjelasan nyata, kesempatan tak disia-siakan, maka ia berkata tegas: “Kiranya Cianpwe adalah sababat lama Unsu, kalau Cianpwe kena perkara, adalah menjadi kewajiban Wanpwe untuk ikut menyumbangkan tenaga kami!” “Agaknya sikapmu sama dengan Tokko Bing di waktu mudanya, suka turut campur tangan urusan orang lain, tapi untuk urusan ini kau tidak akan dapat membantu!”

“Bukankah Cianpwe hendak menghadapi Ouw-hay–ih-siu si kakek tua itu?”

“Tidak salah!” kata Lok Heng-kun memberi keterangan, “Maka Kukatakan kau tidak akan bisa membantu, Kakek bangkotan itu sulit dilayani, kepandaian silatnya aneh sekali, jauh berlainan dengan ilmu silat umumnya…?”

Agaknya Lok Siau-hong merasa berat bila ditinggal Koan San-gwat, cepat ia bicara : “Mama, kepandaian Koan San- gwat hebat sekali, tua bangka itu tadi dipukul terjungkal ke dalam sungai.”

Lok Heng-kun tersenyum : “Hal itu terjadi setelah dia tertusuk jarum di ujung cambukmu itu bukan?”

Merah muka Koan San-gwat, dia gunakan cara menangkap dan menggenjot urat nadi hendak membekuk kakek tua itu, tapi sedikit pun tidak membawa hasil, akhirnya meski berhasil memukulnya masuk air sebabnya memang lawan sudah tertusuk jarum di ujung cambuk Lok Siau-hong itu, maka ia berkata dengan sebetulnya: “Ilmu silat Wanpwe masih terlalu cetek. Memang tidak akan banyak membantu mengatasi kesulitan Cianpwe, tapi kesempatan untuk melihat pertarungan tingkat tinggi seperti Cianpwe sulit didapat. Harap Cianpwe suka memberi ijin supaya Wanpwe ikut menambah pengalaman!”

“Begitupun baiklah,” ujar Lok Heng-kun sekian lamanya setelah mempertimbangkan masak -masak. “Kupandang muka gurumu, tiada alasan aku melarang kehadiranmu disini, tapi perlu kuperingatkan jangan kau membuat kesulitan bagi dirimu sendiri!” Koan San-gwat manggut-manggut dengan girang, sahutnya: “Wanpwe hanya menonton saja dari luar gelanggang!”

Sebaliknya Lok Heng-kun menambahkan dengan sikap serius; : “Jangan kau bicara seenakmu, soal ini harus kau patuhi benar-benar, kau harus dapat menahan sabar yang luar biasa. Soalnya tua bangka itu orang gila, melihat orang lantas menggigit, maka kau harus bisa mengendalikan diri supaya tidak memperdulikan dia yang hendak mencari kesulitan kepada kami! ”

Koan San-gwat tertegun : “Jangan-jangan dia selalu mencari perkara kepada orang lain?” tanyanya heran.

“Kalau dia tahu kau ahli wails Tokko Bing, kutanggung dia akan mencari gara-gara kepada kau, pertikaiaanya dengan gurumu justru lebih dalam dan besar dibanding persoalan kami!”

“Kenapa guru tidak pernah menyinggung soal itu…       ”

“Sudah tentu Tokko Bing tidak bilang, kalau tidak…        ”

bicara sampai disini seolah-olah Lok Heng-kun menyadari sesuatu,segera ia tutup mulut dan mengalihkan ke pembicaran lain: “Apapun yang terjadi, jangan kau hiraukan tingkah polanya. Tua bangka itu punya suatu penyakit, asal kau tidak mencari gara-gara kepadanya maka tiada alasan dia turun tangan terhadapmu!”

Koan San-gwat jadi uring-uringan, jengeknya takabur: “Kalau Wanpwe tidak kuasa menerima ejekan dan tantangannya bagaimana?”

“Maka dia akan menjadi bayanganmu, setiap hari setiap saat melihat dirimu, begitu hebat gangguan yang dia lakukan sehingga kau merasa tiada satu hari kau dapat hidup tentram, kecuali kau dapat membunuh dia……. tapi itu tidak mungkin terjadi!” “Kenapa?” tanya Koan San-gwat tidak habis mengerti, “apakah dia manusia yang tidak bisa dibunuh?”

“Benar! ilmu yang dia pelajari jauh berlainan dengan kepandaian yang kita pelajari, dengan kepandaian silat yang kita pelajari tidak akan mampu membunuhnya !”

“Benar! Wanpwe pernah menggunakan tenaga dalam untuk menggetar putus urat nadinya, tapi kelihatannya tidak ada pengaruhnya sedikit pun.

“Kau tidak perlu kuatir, karena kepandaian yang dipelajari itupun tidak bisa untuk membunuh kau, ilmunya ini hanya bisa dirimu sampai kau kewalahan dan menyerah kepadanya. Maka waktu mencantumkan nama di atas Hong-sin-pang dulu, kita cokolkan dia di urutan paling atas sebagai tokoh aneh yang sering memusingkan kepala…..”

“Apakah Hong-sin-pang itu? Koan San-gwat bertanya.

Rada berobah rona wajah Lok-Heng-kun cepat ia menambahkan: “Jangan tanya hal ini, aku tidak bisa menerangkan, kini aku sudah bicara terlalu banyak, sejujurnya siapa pun jangan menyinggung soal Hong sin-pang lagi?

Timbul berbagai pertanyaan dalam benak Koan San-gwat, terutama mengenai Hong-sin pang, yang menyangkut sebuah rahasia besar kaum persilatan terhadap gurunya, Peng-Kiok- jin dan Hiat-lo-sat atau perempuan yang dihadapinya ini, demikian juga Pek-kut-sin-mo dan Coh san-sin yang belum muncul ini serta Ouw-hay-ih-siu pun sangkut paut yang teramat erat sekali.

Mendadak hatinya seperti memperoleh sesuatu ilham, tanpa merasa mulutnya bersenandung :”Bangau kuning terbang di atas sungai, di pinggir telaga para dewa (San-sin) berkumpul.” Berubah air muka Lok Heng-kun, serunya: “Apa? Jadi Tokko Bing sudah bicara padamu bahwa dia adalah Ui-ho san- sian?”

Dengan haru penuh semangat, Koan San-gwat menegaskan: “Jadi Ui-ho-san-sian adalah Insu?”

Lok Heng-kun melengak, baru sekarang dia sadar telah kelepasan omong, padahal Koan San-gwat tidak tahu soal ini, maka ia berdiri menjublek, tanyanya kemudian, “Beberapa kata tadi kau dengar dari mana?”

“Itulah sepasang syair yang digantung dalam kamar tidur guru, selama ini wanpwe tidak tahu makna sebenarnya, setelah Cianpwe menyinggung soal Hong sin-pang baru wanpwe paham sedikit…”

Kontan Lok Heng-kun menukas dengan gusar, “Sudah kukatakan jangan menyinggung Hong sin-pang lagi !”

“Oh, ya, selanjutnya wanpwe tidak akan menyinngung lagi,” sahut Koan San-gwat menunduk.

Sambil menghela napas Lok Heng-kun menambahkan, ketiga huruf itu punya sangkut paut yang teramat besar, karena kelalaianku tadi sehingga aku menyinggung rahasia ini, kalau sampai diketahui orang lain, kita akan ketimpa bencana besar, maka wanti-wanti aku berpesan sama kau…..”

Koan San-gwat memang keheranan tapi melihat orang serius ia mempertangguhkan janjinya, “Selanjutnya Wanpwe anggap saja tidak dengar ketiga huruf tadi.”

Lambat laun perasaan Lok Heng-kun tenang kembali, katanya: “Dari ketiga hurup itu bagaimana lantas terpikir olehmu tentang julukan gurumu?”

“Dari julukan aneh tersimpul sesuatu pikiran dalam benakku, padahal kalian adalah sahabat kental Suhu sejak lama, namun guruku tidak pernah menyinggung hal ini.” “Kurasa hal itu tidak punya sangkut pautnya dengan aku.” “Akan tetapi dari julukan kalian sangkut pautnya amat

besar. Cianpwe bernama Hiat lo-sat, dan Cianpwe yang

bernama Pek-kut-sin-mo dan Coh-san-sin, Wanpwe juga kenal seorang Cianpwe yang bernama Hwi-thin-ya-ce, Peng Kiok- jin.”

“O, Peng Kiok-jin belum mati ?”

“Belum, semula Peng-cianpwe bersama Wanpwe, karena sesuatu keperluan beberapa hari yang lalu dia berpisah.”

“Jangan urus dia, lanjutkan saja penjelasanmu.”

“Bahwa para Cianpwe tidak percaya bahwa guru sudah mati, maka aku ragu dalam persoalan ini pasti ada hubungan yang amat rahasia satu sama lain. Dinilai dari julukan kalian ada Dewa, malaikat, iblis dan setan, ditambah yang dinamakan Hong sin-pang, agaknya…… Maaf Cianpwe, Wanpwe kelupaan? tapi terpaksa harus menyebut ketiga hurup itu.”

“Tidak menjadi soal, selanjutnya harus kau ingat betul- betul saja. Sejauhmana kau tahu tentang ketiga huruf itu….”

“Menurut pikiran Wanpwe, mungkin itu merupakan sebuah pertemuan besar, atau suatu organisasi rahasia, mungkin pula suatu perserikatan, Suhu dan kalian tercantum dalamdaftar anggota.”

Berubah air muka Lok Heng-kun, sekuatnya ia menahan gelora hatinya, katanya :”Darimana kau bisa berpikir bila gurumu juga ada ikatan dalam ketiga huruf itu?”

“Wanpwe teringat sepasang syair di dalam kamar beliau, Ui-ho-san-sian empat huruf itu yang serasi, maka besar dugaan Wanpwe bila gurupun ada tercantum di dalam daftar itu!” “Engkau memang cermat dan teliti, maka yang kau ketahui cukup banyak. Dengan setulus hati kuperingatkan kepada kau, persoalan ini cukup sampai di sini saja, jangan kau main selidik lebih lanjut.”

“Kenapa? Apakah…..” tanya Koan San-gwat, heran dan tidak mengerti.

Tapi Lok Heng-kun segera menjawab dengan bengis : “Sekali lagi kau menyinggung hal itu, aku tidak akan memberi ampun padamu.”

Terpaksa Koan San-gwat tidak banyak bicara lagi. Sayup- sayup di kejauhan terdengar derap kaki kuda dan menggelindingnya roda sedang mendatangi, Lok Heng-kun menahan sabar, karanya ; “Adikku dan adik iparku sudah tiba, ingat jangan kau menyinggung persoalan itu lagi.”

Koan San-gwat mengiakan. Tak lama kemudian dari kejauhan debu mengepul tinggi, dua ekor kuda kekar menarik sebuah kereta bercat indah berlari bagai terbang, yang pegang kendali adalah seorang Laki-Laki berwajah cakap, parasnya halus pakaiannya perlente. Begitu kereta berhenti, kerai tersingkap dan muncullah wajah perempuan pertengahan umur seraya berteriak : “Cici! Kau sudah terima surat ?”

“Sudah! Malah aku sudah tahu. Sebelumnya Siau-hong sudah bentrok dengan tua bangka itu di atas sungai kuning.”

Terkejut perempuan pertengahan umur itu, sekilas matanya melirik ke arah Koan San-gwat dan Lau Sam-thay. Lok Heng-kun lantas men jelaskan sambil tertawa; “Dia adalah ahli waris Tokko Bing, seorang yang lain adalah kenalannya!”

“Ui ho ….” seru perempuan pertengahan umur itu dengan tertegun.

“Ui- ho sudah berangkat ke Liong-han, tinggal Bing-tho ada di alam fana,” demikian Lok Heng-kun melanjutkan. Perempuan pertengahan umur kelihatan ragu-ragu, Koan San-gwat juga kikuk ingin menyapa tidak tahu bagaimana ia harus mengundang orang. Adalah Lok Siau-hong yang melihat keadaan runyam ini dapat memperkenalkan: “Inilah pamanku Liu ju-yang, itu bibi bernama Lok Siang-kun.”

Lekas Koan San-gwat merangkap tangan seraya menjura, katanya: “Wanpwe Koan San-gwat harap ji-wi cianpwe terima hormatku!”

Tersipu-sipu Lau Sam-thay ikut menjura hormat tanpa berani memperkenalkan namanya.

Lok Siang-kun manggut-manggut, Liu Ju-yang memuji: “Si- heng gagah dan perkasa sungguh orang she Liu bersyukur bahwa sahabat lamaku mempunyai murid yang hebat macam kau!”

Belum sempat Koan San-gwat merendah, keburu Lok Heng- kun berkata: “Hayolah, jangan bicara di luar pintu, mari silahkan masuk.”

Liu Ju-yang manggut-manggut sambil menghampiri kereta, katanya: “Siang-kun, mari kugendong masuk!”

Sambil mengabitkan kerai, Lok Siang-kun berseru: “Hus di hadapan wanpwe, apa-apaan kelakuan kami?”

“Kenapa sungkan, murid Tokko Bing bukankah sebagai keponakan kita?”

“Kau kira kulit mukaku setebal kulit kerbau?” jengek Lok Siang-kun, begitu kerai tersingkap, badannya melesat laksana kupu-kupu kembang tanpa menyentuh tanah badannya melesat ke depan hanya sekejap hilang masuk ke dalam rumah.

Koan San-gwat melihat jelas kedua kakinya sebatas dengkul ternyata sudah buntung, baru sekarang ia paham kenapa Liu Ju-yang yang hendak menggendong istrinya, tapi tak urung ia merasa takjub dan kagum akan ginkangnya yang betul-betul telah sempurna, katanya, “Ginkang Lok cianpwe benar-benar hebat dan mencapai tarap tinggi yang tiada lawannya lagi!”

“Ilmu lain aku tidak berani bicara, soal ginkang mau percaya orang yang memiliki ginkang tanpa tandingan di seluruh jagat adalah seorang yang cacat kedua kakinya.”

“Setan buruk,” Lok Heng-kun menimbrung, “Di belakang memakinya sebagai orang cacat lagi, kalau terdengar olehnya kan bakal dapat persen yang lumayan nanti. Nama julukan yang jelek itu, sebab dia sendiri sudah membuktikan bahwa mesti cacat masih berguna.”

Lok Heng-kun tertawa, ujarnya: “Tekad dan keyakinan kalian suami istri memang harus dipuji, siapa mau percaya bila dulu kau bermuka bopeng julukan Coh-san-sin kurasa sudah harus diganti….”

“Jangan! Jangan diganti. Seorang Kuncu tidak melupakan asalnya, Ayah ibu menganugerahi aku muka demikian, kalau sembarangan ganti berarti aku tidak berbakti pada orang tua, biarlah aku tetap menggunakan julukan lama untuk selalu peringatan bagi diriku!” sembari bicara ia bergelak tertawa.

Koan San-gwat keheranan. Sambil menunjuk punggung orang Lok Heng-kun menjelaskan tertawa: “Kau tidak akan percaya waktu mudamukanya buruk sekali bekas penyakit kudis.”

“Memang sulit untuk Wanpwe percaya, apakah Liu-cianpwe sudah memperoleh obat mujarab untuk mengubah kulit mukanya?” tanya Koan San-gwat, sambil geleng kepala.

Lok Heng-kun menggeleng, sahutnya: “Menggunakan khasiat obat bukan terhitung aneh, secara kekerasan ia melatih semacam Hian-kan-gu sehingga kulit-kulit mukanya yang rusak bisa pulih dan berubah keadaannya seperti sekarang, dulu waktu mereka menikah, yang satu cacat yang lain buruk sejelek setan hingga menimbulkan bahan tertawaan orang banyak. Ada orang menyumbang pigura perak dimana ada tertulis Cu-lian-pi-hap (perjodohan mutiara), kata-kata ini menusuk perasaan namun dengan harapan supaya mereka berlomba untuk meyakini hidup ini sambil menambal kekurangan dirinya masing-masing.” 

Haru dan kagum Koan San-gwat dibuatnya, katanya: “Hasil yang dicapai kedua Cianpwe memang harus dipuji dan membuat orang kagum! tapi orang yang memberikan Pigura Perak tu agak terlalu …….”

“Tulisan di atas pigura itu adalah hasil karya Ui-ho-san- sian!”

“Guruku! jadi…   ” Koan San-gwat berjingkrak kaget.

“Tak usah kuatir! Sedikitpun mereka tidak merasa sirik terhadap gurumu, sebaliknya merasa sangat berterima kasih. maka mereka pasang pigura itu di atas tempat tidur.”

“Kejadian ini tentu sudah lama berselang.”

“Benar! sudah tiga puluh tahun yang lalu, kala itu kami masih muda belia dan gagah bersemangat, entah bila Liong- hoa-hwe dibuka kembali, apakah masih seramah dulu. Mungkin beberapa orang diantaranya sudah tidak bisa hadir dalam pembukaan besar itu. Begitu pula ayah Siau-hong sudah… ”

Bergerak hati Koan San-gwat, meski mulut tidak bersuara, namun dalam hati membatin “Liong-hoa-hwe… Hong Sin- pang… ”

Melihat bibirnya bergerak, Lok Heng-kun seperti tersadar, cepat ia berseru : “Anak jadah! Jangan kau menyinggung urusan lama pula dengan aku!” – lalu ia mendahului masuk ke dalam rumah. Koan San-gwat, Lau Sam-thay dan Lok Siau- hong mengintil di belakangnya. Tak lama kemudian mereka sudah di ruangan tamu. Begitu menyingkap kerai, tampak Lok Siang-kun dan Liu Ju- yang sudah duduk di sana, dengan kikuk Lok Siau-hong lalu menceritakan pengalamannya semalam. Tanpa sungkan- sungkan Koan San-gwat mencari tempat duduk di pinggir dengan perasaan kurang tentram, Lau Sam-thay duduk di sebelahnya.

Agaknya cerita Lok Heng-kun sangat menarik perhatian ketiga orang itu, setelah Lok Siau-hong selesai, baru Lok Heng-kun bertanya: “Dik ! cara bagaimana pula kalian mengetahui jejak tua bangka itu?”

Liu Ju-yang tersenyum, ia mewakili menjawab.”Kemaren hari ulang tahunku, setelah mengantar tamu pulang kutemukan dalam kamar sebuah kado yang lain dari pada yang lain.”

“Kado apakah itu?” tanya Lok Siau-hong.

“Sebuah lukisan persembahan panjang umur!” jawab Liu Ju-yang tertawa.

“Wah, tentu gambar genduk burikan mempersembahkan buah tho!” habis berkata baru sadar sudah kelepasan omong, cepat-cepat ialeletkan lidah sambil bermuka setan.

“Bukan genduk burikan tapi adalah kakek burik persembahkan buah tho!”

Lok Heng-kun tertarik, tanyanya: “Apa-apaan maksudnya itu?”

“Mungkin dia masih dendam pada peristiwa lama dulu, orang yang digambar dalam lukisan adalah muka burukku yang lalu, sepasang tangan memapah sebuah gundukan kotoran kerbau di atasnya tertancap sebuah bunga mekar!”

Lok Heng-kan tertawa geli, Lok Siau-hong belum mengerti, tanyanya: “Apakah maksud gambar itu ?” Baru saja Liu Ju-yang mau membuka mulut, Lok Siang-kun sudah menyentak dari samping : “Berani Kau katakan!”

Liu Ju-yang mengkeret, katanya berkelakar :”Perintah junjungan hamba tak berani membangkang. Keponakanku yang baik, terpaksa pamanmu tidak bisa memberi penjelesan kepadamu.”

Dengan uring-uringan Lok Siang-kun memaki: “Selama tua bangka itu belum mampus, makan tidur kita tidak akan tentram, besok bila ketemu dia aku harus membuat perhitungan padanya, sudah sekian lama kita menyembunyikan diri, mungkin dia anggap jeri kepadanya.”

“Jangan terlalu keburu napsu adikku, tua bangka itu memang sulit dilayani, mungkin sekarang juga sulit diatasi……”

“Takut apa?” jengek Lok siang-kun marah-marah, “Masa beberapa tahun ini kita hidup nganggur belaka, besok bila tidak mampu mengganyangnya paling tidak membetot urat atau mematahkan beberapa tulangnya.”

“Tua bangka itu sih tidak perlu ditakuti yang dikuatirkan orang kepercayaannya itu ikut muncul. Cit-tok-jiu-hoat orang itu lihay dan sulit dijaga-jaga…”

Mendengar Cit-tok-jiu-hoat tergerak hati Koan San-gwat, Lau-Sam-thay segera menimbrung teriaknya : “Cit-tok-jiu- hoat! Bukankah itu kepandaian yang dilancarkan oleh Hwi-lo- tho (Unta terbang)?”

Liu Ju-yang; bertiga tersentak kaget, tanyanya: “Dari mana kau tahu Cit-tok-jiu-hoat, siapa pula itu Hwi-lo-tho ?”

Segera Koan San-gwat mengisahkan pengalamannya, setelah itu ia menambahkan Cit-tok-jiu-hoat itu Peng Kiok-jin sendiri bisa memunahkannya, agaknya bukan merupakan kepandaian yang terlalu menakutkan!” Namun dengan nada berat Lok Heng-kun menjelaskan: “Cit-tok-jiu-hoat mempunyai ratusan perubahan yang sulit diraba. Hwi-thian-ya-ce hanya mempu membebaskan salah satu tutukan yang paling gampang, tapi kalau toh ilmu macam ini sudah secara terang-terangan muncul di kalangan kangouw, malah orang itu menggunakan lencana unta terbang kurasa urusan ini tidak gampang diselesaikan.”

“Lok-cianpwe,” Koan San-gwat bicara lagi, “Dari Cit-tok-jiu- hoat kau menyinggung soal unta terbang, kini ada hubungan apa pula dengan peristiwa Ouw-hay-ih-siu dengan pertikaian kalian?”

Lok Heng-kun menggeleng katanya: “Urusan ini tiada sangkut paut dengan kau.”

“Tidak! Justru wanpwe merasa berhubungan erat, unta terbang secara terang-terangan hendak mengungguli unta saktiku itu. Menurut dugaan wanpwe urusan jelas punya hubungan erat dengan guruku !”

“Berdasar apa kau menganalisa sedemikian rupa?” tanya Lok Heng-kun.

“Soalnya setelah Unta terbang muncul dia menantang Wanpwe, untuk mengadakan pertemuan di Tay-san-koan. Tatkala itu, Peng-cianpwemasih bersama Wanpwe, sedikit banyak bellau ada memberi kisikan kepadaku, bila ingin bertemu dengan guru, lebih baik jangan sampai mengalahkan orang itu…….”

“Tidak mudah! Hwi-thian-ya-ce berani memberitahu sedemikian banyak kepada kau,” demikian ujar Lok-Heng-kun sambil manggut-manggut.

“Apakah cianpwe tidak sudi memberi petunjuk lebih lanjut?” pinta Koan San-gwat, dengan rasa tegang.

Lok Heng-kun tertawa genit, sahutnya sambil menggeleng : “Tidak bisa! kita mempunyai kesukaran kita sendiri!” Koan San-gwat uring-uringan, dengusnya :”Hwi Siau-su- thian, Liong-ho-hwe, Hong-sin-pang, ada segelap apa, akan datang suatu ketika aku akan bikin jelas semua urusan yang penuh misterius ini, akan kubeberkan ke seluruh Bulim.

Seketika berubah air muka Liu Ju-yang bertiga, sebat sekali Lok Heng kun dan Liu Ju-yang melejit maju ke kanan kirinya, sementara kedua tangan Lok-Siang-kun sudah menekan kursi siap menubruk maju pula.

Keruan tercekat Koan San-gwat, serunya: “Apa yang para cianpwe hendak lakukan kepada saya?”

Sesaat lamanya baru Lok Heng-kun menghela napas, katanya, “Koan-hiantit! aku memberanikan diri memanggilmu demikian, sebagai sahabat kental dari gurumu, pula memberi peringatan kepada kau, kuharapkan kau dapat menerima….”

Koan San-gwat menghela napas, katanya: “Apakah Cianpwe juga ingin supaya aku sengaja mengalah kepada

Unta terbang?”

“Tidak! Meski demikian mungkin membawa manfaat bagi Tokko Bing, tapi seluk-beluk Tokko Bing kami jelaskan sekali, kalau toh dia sudah menyerahkan lencana sakti kepada kau, tentu menaruh harapan besar kepadamu, betapapun dia tidak akan senang bila kau bertindak lemah …….”

“Bila hal itu membawa manfaat bagi Suhu, menang atau kalah bagi aku seorang tidak menjadi soal!”

“Tidak perlu!” tiba tiba sikap Lok Heng-kun menjadi kasar dan beringas, “Peng Kiok-jin berkata demikian karena pengertiannya terhadap Tokko Bing masih kurang mendalam, pertemuan di Tay-san-koan, engkau harus menang, sekarang cuma ada satu jalan untuk kau membalas budi kebaikan gurumu!”

“Cara bagaimana?” tanya Koan San-gwat. “Yaitu semua persoalan yang kau kemukakan tadi, lebih baik kau lupakan sama sekali!”

Baru saja bibir Koan San-gwat bergerak, Liu-Ju-yang pun sudah angkat bicara: “Karena hubungan kita dengan gurumu luar biasa, maka Kami mau menasehati kau. Kalau tidak sesuai dengan apa yang pernah kau katakan tadi, seharusnya kita sudah …….”

Koan San-gwat melengak, tanyanya : “Seharusnya sudah apa?”

Dari tempat duduknya Lok Siang-kun menjengek : “Seharusnya kau dibunuh, supaya soal ini tidak bocor!”

Berubah kelam air muka Koan San-gwat. Liu Ju-yang masih tertawa, ujarnya: “Sudahlah! Siang-kun, dia terhitung angkatan muda, jangan kau gertak dia!”

Lok Siang-kun masih marah-marah, serunya: “Bocah keparat macam dia masih suka ugal-ugalan, cepat atau lambat akan menimbulkan bencana……”

“Adikku! cepat Lok Heng-kun menukas sambil tertawa. “Kata-katamu terlalu berat, menurut pandanganku, dibanding Tokko Bing di waktu masih muda dia jauh lebih pintar dan cerdik, mungkin situasi yang akan datang bakal tergenggam di tangan generasi yang akan datang, siapa tahu bakal terjadi perubahan besar-besaran….?”

“Maka dia harus tahu diri dan menjaga keselamatannya…” ujar Lok Siang-kun dengan nada yang sudah sabar.

“Hong-ji, kalian sudah setengah malaman tidak tidur, sudah tiba saatnya istirahat, lekas kau ke belakang, suruh mereka menyiapkan makanan sekedarnya lalu pergilah tidur, aku masih ada urusan dengan paman dan bibimu, tak bisa melayani tamu,” kata-katanya ditujukan kepada putrinya, namun secara tidak langsung juga menyuruh Koan San-gwat dan Lau Sam-thay mengundurkan diri juga. Sebagai seorang cerdik sudah tentu Koan San-gwat maklum kemana juntrungan kata-kata itu, tanpa diminta segera ia berdiri, ujarnya berkata tertawa : “Kalau Cianpwe tak memberi ingat, wanpwe sampai lupa makan tidak merasa lelah!”

Lok Siau-hong percaya, lekas ia berkata :”Koan-toako. Karena sejak tadi tidak kau katakan? Biar segera kusuruh Ong- toama menyiapkan pangsit mie untuk kalian!” tersipu-sipu ia bawa Koan San-gwat berdua mengundurkan diri.

Setelah Koan San-gwat bertiga tidak kelihatan, Liu Ju-yang bertiga berkumpul dan bicara bisik-bisik, entah apa yang mereka rundingkan.

Tengah hari dalam pendopo Si-yang-san ceng diadakan perjamuan, tampak dua laki-laki dan tiga perempuan. Mereka menduga pertemuan nanti bakal terjadi sesuatu perkelahian yang cukup sengit, Lan Sam-thay yang tahu kepandaiannya sendiri teramat rendah, mungkin melindungi jiwa sendiri pun tidak akan mampu, terpaksa harus menyembunyikan diri di tempat yang agak jauh.

Kelima orang yang hadir dalam perjamuan itu, hanya Lok Siau-hong yang merasa tenang, tapi bukan takut atau jeri, dalam kehidupannya yang serba cukup dan tentrem. belum pernah mengalami pertikaian yang menegangkan urat syarafnya. Apalagi dia seorang gadis remaja yang mulai tumbuh gaireh hidupnya. Maka dialah yang paling ribut, tanya ini tanya itu, mulutnya mengomel panjang pendek, kenapa tua bangka itu tidak lekas datang.

Sikap Liu Ju-yang justru sangat tenang dan dingin, cangkir demi cangkir, beberapa cangkir arak telah dihabiskan, mukanya sudah merah.

Lok Siau-hong lantas membujuk : “Kau jangan terlalu banyak minum, kalau sampa mabuk, urusan bakal terbengkalai karenanya.” Sambil memicingkan mata Liu Ju-yang berkata tertawa : “Meminum arak aku melampiaskan rasa sebalku! Sekali mabuk segala suka duka bakal amblas tak terasa!”

“Cianpwe juga kesal hati?” tanya Koan San-gwat.

“Ya,” sahut Liu Ju-yang pura-pura bersedih, “Aku sedang kangen akan mukaku yang buruk dulu!”

Baru sekarang Koan San-gwat tahu orang sengaja bersenda gurau dengan riang gembira itulah, sayup sayup didengarnya beberapa kali suara tang ting, jelas dan nyata itu suara keleningan.

Mereka berhenti tertawa, dengan lirih Liu Ju-yang berkata : “In-pa-liok-ting! Naga-naganya Mo-kun ketiga yang datang, bagaimana?”

Dengan suara tegang Lok Heng-kun berkata : “Pasti tua bangka itulah yang mengundangnya kemari. Peduli apa, yang jelas keadaan sekarang berbeda dengan kebiasaan dan tata tertib, kalau perlu kita layani saja menurut aturan yang ada.”

Belum lenyap suaranya, dari luar pendopo berjalan masuk dua orang, yang berjalan di depan adalah pemuda berperawakan tinggi kekar, raut mukanya cakap terselubung hawa dingin, sikapnya gagah dan wajar. Ia mengenakan jubah panjang warna abu-abu. Yang mengintil di belakangnya bukan lain adalah tukang perahu yang dinamakan Ouw-hay-ih-siu.

Begitu melihat pemuda itu, Lok Siang-kun bertiga tertegun, agaknya mereka tidak kenal pemuda ini, pemuda ini dengan pongahnya bersoja lalu menarik kursi dan duduk tanpa berbicara sekecap pun.

Ouw-hay-ih-siu juga memilih tetapi tempat duduknya di sebelah bawah pemuda itu.

Karuan Liu Ju-yang yang murka, serunya: “Pok Thian-cun, apa-apaan maksudmu ini? Perjanjian pribadi di antara kita, kenapa kau bawa orang luar kemari, berani kau membunyikan kelinting…..”

Pemuda itu segera menyeringai dingin, jengeknya sombong: “Masa aku terhitung pihak luar? Lo-Pok mengundangku kemari sebagai saksi, kalian sudah berkelahi selama puluhan tahun tanpa berkesudahan, soalnya karena tidak memilih seorang wasit. Kukira pertikaian hari ini bakal bisa dibereskan, soal suara kelinting tadi, akulah yang suruh dia membunyikannya.”

Lok Heng-kun terkejut, tanyanya: “Saudara ini adalah…

…….?”

“Bukankah asal-usulku sudah kujelaskan dalam suara kelinting tadi?”

Mereka bertiga melengak lagi, tanya Liu Ju-yang ragu-ragu: “Suara kelinting enam kali adalah pertanda dari Thian-ki-ko- kun…”

Pemuda itu tertawa ringan, ujarnya: “Ayah sudah wafat beberapa lamanya, kedudukan inikuperoleh secara tradisi…..”

“Apa?” teriak Liu Ju-yang berubah pucat, “Mo-kun sudah ajal…?”

“Benar!” sahut pemuda itu manggut-manggut, hal itu terjadi enam tahun yang lalu, menurut perintah ayah, akulah yang diwarisi jabatan, soalnya kejadian terlalu mendadak, maka belum sempat memberitakan kepada sahabat di seluruh kolong langit. Kalau kalian percaya…..”

“Tidak! sikap dan wajah saudara memang mirip dengan Mo-kun, hal ini tidak perlu disangsikan lagi, cuma ingin kami tahu gelaran saudara?”

“Aku Ki Hou adanya!” sahut pemuda itu dengan angkat dada. Liu Ju-yang batuk-batuk kecil lalu berkata: “Ka…. si-heng, harap maaf akan kekurangajaran orang she Liu, saat ini terpaksa harus demikianlah kusebut namamu.”

“Benar! Dalam keadaan sekarang di tempat ini pula, kenapa harus terikat akan segala peraturan lama. Hei Lo-Pok, sekarang tibalah saatnya kalian membuat perhitungan, ada urusan yang perlu kau selesaikan?”

Ouw-hay-ih-siu Pok Thian-cun melirik ke arah Koan San- gwat, lalu katanya : “Kalian sendiri yang tidak menepati janji, menyeret seorang luar ikut hadir dalam pertemuan ini!”

Belum lagi pihak Liu Ju-yang menjawab. Ki-Hou sudah tertawa keras, ujarnya: “Lo-Pok, kiranya matamu sudah kurang awas, orang yang kau anggap orang luar ini adalah murid Tokko Bing, Bing-tho-ling-cu II yang menggetarkan Kang-ouw!”

Tak terasa tercekat hati Koan San-gwat, katanya heran, “Cara bagaimana saudara bisa mengenal diriku?”

“Itulah urusan jabatan, sudah seharusnya aku mengenal kau.”

Dengan pandangan berapi-api Ouw-hay-ih-siu mendesis geram : “Kalau sebelumnya kutahu siapa kau adanya, waktu berada di sungai kuning tempo hari seharusnya kuberi hajaran setimpal kepadamu.”

Koan San-gwat tidak mau kalah garang.

Liu Ju-yang terbakar amarahnya, serunya gusar: “Bangsat anjing jangan ngelantur terlalu panjang.”

Pok Thian-cun angkat pundak, ujarnya: “Baiklah lohu tutupi saja borok ini, tapi Lohu tidak akan mundur menghadapi nona manis itu, inilah peraturan orang she Pok, perhitungan baru diselesaikan lebih dulu…. Haha….” agaknya hatinya semakin kesenangan, nada tawanya makin tinggi dan mengeras. Lok Heng-kun dan Liu Ju-yang mengunjuk rasa gusar dan putus asa, apa boleh buat akhirnya Lok Heng-kun berkata kepada Ki Hou dengan nada memohon: “Sebagai putra Mo- kun dan kini memperoleh warisan jabatannya, tentu kongcu dengan pertikaian kami terhadap tua bangka ini….”

“Ya pernah kudengar kulitnya saja!” sahut Ki Hou manggut- manggut.

Merah muka Lok Heng-kun, ujarnya: “Harap Kongcu memberi muka karena kami sesama kerabat sesama anggota bicara secara adil, harap suka batalkan tantangan kepada putriku yang masih kecil ini, urusan yang belum pernah dipahami olehnya.”

Ki Hou tertawa dingin, sahutnya: “Untuk hal ini aku yang rendah tidak akan turut campur, soalnya aku hadir sebagai saksi, kecuali memberi keputusan kalah dan menang, aku tidak bisa mencampuri urusan lain, memang kita sejajar dalam satu pang, Lo Pok setingkat lebih tinggi, masa aku pilih kasih kepada sesama kerabat satu tingkat ?”

Lok Heng-kun menjadi murka, sindirnya: “Sungguh kita harus bangga punya pentolan kerabat dalam satu tingkat.”

“Hiat-lo-sat?” tiba-tiba suara Ki Hou berubah dingin kaku, “Tiga kali kau datang, laporan setiap sepuluh tahun sekali, kalau aku menggunakan kekuasaanku sebagai pentolan sesama kerabat, bila kejatuhan hukuman karena kesalahanmu ini, kalian pasti bertobat kepadaku, sekarang kau berani bertingkah kepadaku, apakah dalam pandangan kalian masih ada mendiang ayahku sebagai pentolan dalam satu kerabat?”

Lok Heng-kun tertegun mematung, nyalinya muncul, karena ditekan dan diancam dengan lemas ia duduk kembali ke tempatnya.

Saat mana Ouw-hay-ih-siu menantang kepadaLok Siau- hong seumpama domba yang tidak takut menghadapi harimau, sambil menenteng cambuknya Lok Siau-hong hendak menerjang keluar, lekas Lok Heng-kun menarik serta berkata dengan tertekan: “Nak, salahmu sendiri kau banyak urusan, semoga kau nanti dapat pengajaran.”

Lok Siau-hong keheranan katanya: “Ma, jangan kuatir, akan kuhajar habis-habisan tua bangka keparat ini …”

Kiranya secara diam-diam Koan San-gwat dan Lok Siau- hong sudah berjanji, begitu bertemu dengan Ouw-hay-ih-siu mereka akan turun tangan lebih dulu untuk melabraknya, soalnya Ouw-hay-ih-siu tak pernah membunuh orang, tentu tiada ancaman bahaya terhadap jiwa sendiri. Kalau urusan lama dibikin geger semakin besar, mungkin dalam peristiwa besar ini ia dapat mengorek sedikit rahasia yang diharap- harapkan.

“Gampang kau memutar lidahmu yang tidak bertulang itu!”

Berubah air muka Pok Thian-cun. Cepat Liu Ju-yang menimbrung : “Pok Thian-cun, jangan kau mencari keributan lain, lebih baik selesaikan dulu perhitungan kita, soal siapa benar mana yang salah tidak perlu diperdebatkan lagi.”

“Sudah tentu!” senggak Ki Houw, “para kerabat Mo-pang selamanya tidak meributkan soal tetek bengek!”

Liu Ju-yang melirik ke arahnya serta berkata: “Ki-siheng, ahli waris Unta sakti tidak termasuk dalam pertikaian ini!”

“Aku tahu !” sahut Ki How, tertawa besar, “Kalian jangan kuatir, sampai dimana aku harus berbicara aku bisa membatasi diriku sendiri.”

Bergegas Pok Thian-cun berdiri, serunya “Caranya bagaimana kita harus menyelesaikan perhitungan ini. Lok Heng-kun, kau jangan bertingkah lagi dengan cambuk panjangmu, meski malam kemaren putri mestikamu, membuat aku rugi, tapi permainannya betapapun masih terpaut lauh dari kepandaianmu, sekarang aku sudah dapat menyelami seluk beluk dari permainanmu yang serba rahasia itu.” Sebelum Lok Heng-kun membuka suara, lekas Koan San- gwat mengedipkan mata kepada Lok Siau-hong, kontan ia berteriak: “Bangkotan tua yang harus mampus! Kau membual apa? Kalau berani, silakan rasakan lagi cambuk nonamu yang lihay ini!”

Lok Heng-kun terkejut, cepat ia membentak : “Tutup mulut! Budak setan, tiada bagian kau bicara di sini!”

“Bagus! Hiat-lo-sat!” seru Pok Thian-cun menyeringai dingin, “Agaknya Lohu memang berjodoh dengan keluarga Lok kalian, urusan angkatan tua belum lagi selesai, urusan angkatan muda bakal dimulai lagi…..”

“Tua bangka keparat yang tidak tahu malu. Dia masih bocah ingusan.”

“Sudah berusia tujuh belas masa terhitung bocah ingusan. Menurut kebiasaan Lohu pertama kali bertemu di atas perahu kemarin, seharusnya tidak kulepas mangsa yang empuk ini,apalagi dia berani bertingkah kepada lohu tapi tidak tahu berdosa, maka Lohu tiada alasan mencari perkara kepadanya. Hari ini dia sudah tahu tapi sengaja berani main-

main dengan aku, maka jangan salahkan aku berbuat…   ”

“Kau berani!” teriak Lok Heng-kun dengan beringas gusar. “Berani kau menyentuh seujung rambutnya saja ”

Pok Thian-cun tertawa besar, serunya : “Selama hidup Lohu tiada kenal rasa takut dalam menunaikan hasratku sendiri…. Terutama terhadap kalian kakak beradik, sungguh aku menyesal rasanya belum mendapat rejeki… Kepada Koan- Siheng, maksudnya kelak pun akan mendapat warisan kedudukannya, bicara soal kedudukan dan jabatan, boleh dikata dia sejajar dengan kau, malah mungkin setingkat lebih tinggi, meski dia bersikap kasar terhadap Ki-siheng, kurasa tidak termasuk bersikap kurang ajar!” Saking marah muka Ki Houw sampai pucat, jengeknya: “Agaknya kau tahu banyak mengenai segala peraturan itu.”

-oo0dw0oo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar