Patung Emas Kaki Tunggal Jilid 06

 
Jilid 06

LAU SAM THAY kebingungan terlongong kebingungan, entah apa yang harus dilakukan.

Thio Ceng Ceng tampil ke depan: “Kalian mencari ayahku untuk keperluan apa?”

“Jangan pura-pura pikun, perkara Thio Hun Cu si bangkotan tua ini, masa kau tidak tahu?” jengek perempuan itu.

Sekali buka mulut orang memaki ayahnya, sudah tentu Thio Ceng Ceng gusar, sebat sekali tiba-tiba ia merangsak ke depan, jari telunjuknya menutuk ke pundak kiri orang, tapi tidak kalah sebatnya perempuan itu memutar pedangnya balas menusuk ke ulu hatinya.

Selama setahun mendapat gemblengan Soat-lo Thay-thay, ilmu silat Thio Ceng Ceng bukan main lihaynya, cepat ia membalikkan pergelangan tangannya, dari tutukan jarinya ditekuk untuk menyenggol batang pedang lawan, Tang, pedang lawan disampok ke samping, sebat sekali tangannya sudah menyelonong maju pula mengarah jalan darah di tubuh musuh. Agaknya kepandaian perempuan itupun cukup tinggi, dalam keadaan terdesak sigap sekali ia menurunkan pundak, lalu dengan suara gusar ia menyemprot : “Perempuan laknat kalau kau punya kepandaian, mari ikut aku!” berbareng kedua kakinya menutul tanah, badannya melejit terbang lewat jendela.

Tidak kalah gesitnya Thio Ceng Ceng mengejar keluar. Koan Sang-gwat, Peng-toanio cepat memburu keluar.

Lau Sam-thay tidak mau ketinggalan, gerak geriknya jauh lebih lambat.

Waktu tiba di sebuah lapangan, tampak Thio Ceng Ceng bertiga sudah dikelilingi beberapa perempuan yang mengenakan seragam hitam, menyoren pedang, empat perempuan di antaranya yang berusia agak lanjut berdiri paling depan berhadapan langsung dengan mereka. 

Melihat urusan menjadi besar, cepat Lau Sam-thay memburu datang sambil menggoyang-goyangkan kedua tangannya, teriaknya: “Jangan! Kalian salah paham, ada perkara apa lebih baik dibicarakan dulu ”

Pihak Koan San-gwat diam-diam, salah satu dari perempuan seragam hitam yang berusia agak lanjut berseru : “Tiang-hoa! Siapakah orang ini ?”

Perempuan yang sudah bergebrak dengan Thio Ceng Ceng tadi adalah gadis yang dipanggil Tiang-hoa oleh Lau Sam-thay tadi, segera ia melirik dengan perasaan hina ke arah Lau Sam- thay, sahutnya tertawa : “Dia bernama Cit-singto Lau Sam- thay, ular tanah yang berkuasa di dalam kota Liang-ciu!”

Merah muka Lau Sam-thay, dengan gusar ia berkata : “Nona Im…….. Meski aku orang she Lau bukan tokoh yang kenamaan, tapi aku bukan macam orang yang kau sebutkan tadi……” Im Tiang-hoa memalingkan kepala tidak pedulikan dia lagi, adalah perempuan pertengahan umur itu segera menjengek dengan hina: “Minggir! Keparat kau, di sini tidak ada hak kau bicara.”

Bukan saja menghina nada ucapannyapun sangat takabur, betapa pun Lau Sam-thay berlaku sabar akhirnya naik pitam, “sreng!” segera ia melolos Cit Sing-to dari punggungnya, sambil membolang-balingkan senjata, ia berteriak : “Apa kedudukanmu di dalam Bu-khek-kiam-pau kalian?”

Perempuan pertengahan umur itu angkat kepala tidak perduli lagi padanya, Im Tiang-hoa segera menanggapi: “Lau Sam-thay, sungguh memalukan, kau mengagulkan diri sebagai pentolan tikus di jalan raya besar, masa kau tidak kenal ibuku!”

Mimpipun tidak Lau Sam-thay menduga bahwa perempuan tua ini adalah Ciangbunjin Bu-khek-pay Im Siok-kun, meski pengalaman sangat luas, soalnya ia sendiri belum pernah melihat Im Siok-kun, maka sekian saat ia menjublek di tempatnya, sedapat mungkin ia menahan perasaan gusarnya dengan tertawa dibuat-buat segera ia bersoja dan berkata : ‘Ternyata Im-ciangbunjin adanya, meski Cayhe seorang Siaucit yang tidak ternama, tapi aku tidak punya kesalahan apa-apa dengan kalian, putrimu nona Tiang-hoa dua kali pernah mampir ke rumahku, dengan hormat kulayani dia. Apakah pantas Ciangbunjin sekarang bersikap kasar kepadaku?”

“Cara bagaimana aku harus bersikap terhadap kau?’ jengek Im Siok-kun menegak alis. Suaranya nyaring tajam, tanpa terasa Lau Sam-thay bergidik tanpa kedinginan.

Katanya tergagap: “Paling tidak Ciangbunjin harus bersikap rendah ……”

“Aku belum pernah kelana di Bulim, segala aturan Kangouw aku tidak tahu. Jika aku berlaku salah terhadap Lau-toa- enghiong, entah bagaimana aku mohon maafku..” Nadanya lebih congkak dan pongah, umpama Lau Sam- thay dibuat dari lempung juga tidak tahan dihina begitu rupa, maka sambil mengajukan Cit-sing-to ia berteriak: ” Bu-khek- kiam-pay kalian bukan aliran yang ternama, aku orang she Lau memanggilmu Ciangbunjin sudah termasuk menghormatimu, kau tidak tahu kebaikan, terpaksa aku orang she-Lau minta pengajaran!”

“Lau-heng”. tiba-tiba Koan San-gwat menyela sambil tertawa enteng, “Tadi kau membujuk aku supaya jangan mengumbar adat kenapa sekarang kau marah-marah?”

Agaknya marah Lau Sam-thay sudah memuncak, dengan bengis ia berteriak: “Meski ilmu silatku tidak becus, jelek jelek aku seorang laki-laki, masa harus dihina kaum kaum lemah?”

Im Siok-kun menarik muka, katanya dengan suara tertekan: “Jimoy? keparat ini berani mengagulkan diri sebagai laki-laki sejati, coba kau iris sedikit badannya!”

Seorang perempuan yang berdiri di sampingnya segera mengiakan dan tampil ke depan, gerak-geriknya secerat angin, begitu melejlt pedang lantas terayun memapas kaki Lau Sam-thay.

Cit-sing-to di tangan Lau-Sam-thay agaknya memang kepandaian tulen, golok tunggal itu menyampok ke bawah “Trang!” berhasil menangkis tebasan pedang lawan, tapi tidak urung tergentak mundur dua tindak.

Karena serangan pertamanya gagal, ia mendengus hidung, badannya mendesak maju mendekat. Tapi Lau Sam-thay tidak tinggal diam, Cit-sing-to di tangannya berputar laksana kitiran menghalau seriap serangan lawan.

Beruntun perempuan itu menyerang empat lima jurus dengan pedangnya, semua tertangkis atau kesampok miring oleh golok Lau Sam-thay, maka terdengar Im Siok-kun berseru lantang: “Jimoy, kalau keparat ini bisa bertahan sepuluh jurus selanjutnya, jangan kau jadi orang she Im.” Mendengar peringatan tersebut, perempuan itu pergencar serangannya, ia berlaku nekat, dengan kekerasan ia berusaha menjebol pertahanan sinar golok yang rapat, sekali tempo pedangnya menahan rangsakan golok lawan, sementara kedua jari tangannya laksana pisau menusuk ke lutut Lau Sam-thay.

Kontan Lau Sam-thay rasakan lututnya lemas, tanpa kuasa ia jatuh bertekuk lutut, perempuan itu menjengek dingin lalu melejit mundur kembali ke samping Im Siok-kun. Terdengar gelak tawa Im Siok-kun yang bangga. “Lau-lo-enghiong, kau adalah laki-laki sejati, kenapa kau bertekuk lutut?”

Malu dan gusar gejolak darah di dada Lau Sam-thay, cepat ia ayunkan golok sendiri hendak menggorok leher, namun baru goloknya terangkat, tiba-tiba tangannya kesemutan disambar gelombang tenaga, tahu-tahu goloknya sudah terampas orang, disusul baju punggungnya ditarik orang didengarnya dua kali suara tepukan keras, kontan ia dapat bergerak lagi seperti semula. Waktu ia berpaling, orang yang menolong dirinya adalah perempuan tua yang selalu mengiringi perjalanan Koan San-gwat.

Dia hanya tahu orang dipanggil Peng-toanio, tapi tidak tahu bahwa orangpun pandai silat. Setelah mengembalikan Cit- sing-to kepadanya, dengan muka sungguh-sungguh berkatalah Peng-toanio: “Kalau kepandaian sendiri memang tidak becus kenapa harus mati, orang yang gampang menggorok leher karena malu apakah boleh disebut laki-laki sejati?!”

Lau Sam-thay menjadi malu sekali, setelah terima goloknya ia menunduk kepala tanpa bersuara.

Sementara Peng-toanio membalik tubuh dan menjengek ke arah perempuan pertengahan umur ini: “Kaum persilatan boleh dibunuh tidak boleh dihina, kalau kau membuntungi kedua kakinya, nenek tua seperti aku ini tidak akan banyak cingcong, tapi kau menghina dan mempermainkan dia, aku nenek tua ikut merasa terhina! Siau we! sebutkan namamu!!”

Melihat Peng-toanio dapat membebaskan ilmu tutukan tunggal perguruannya dengan itu dan perempuan itu merasa kaget, ia berdiri menenggang penuh kecurigaan, hingga lupa menjawab, lekas Im Siok-kun menjengek dengan suara berat: “Jimoy! orang sedang bertanya kepada kau! Apa kau tidak dengar?”

Perempuan itu tersentak sadar sahutnya lantang: “Musid Bu-khek-bun Im Tiat-kun!”

Peng Kiok-jin terloroh-loroh, ujarnya : “Sudah sekian tahun nenek tua ini tidak berkecimpung di Kangouw, badut dan panca longok berani malang melintang, maka kaupun harus berlutut seperti dia!”

Mendengar ancaman yang lantang ini seketika Im Tiat-kun melongo, tapi Peng Kiok-jin tidak memberi kesempatan ia berpikir, se enteng asap tiba-tiba tubuhnya meluruk ke depan, jari tangannya tertekuk terus menjentik meluncurkan sejalur angin keras. Belum lagi Im Tiat-kun sempat bersiap dan melawan, tiba—tiba terasa lututnya lantas tak bertenaga, badannya sudah bergoyang hampir berlutut, berobah air muka Im Siok-kun, lekas sebelah tangannya mendorong ke samping.

Pukulan telapak tangannya bukan menyerang Pek Kiok-jin yang menyergap tiba, tapi mendorong Im Tiat-kun sambil berteriak: “Murid Bu-khek-pay adalah perempuan perkasa yang rela mati menjadi mayat daripada dihina!”

Melihat Im Tiat-kun mampus dengan tujuh lobang inderanya mengalirkan darah, Peng kiok-jin menjadi gusar: “Terhadap saudara Sepupu sedemikian kejam ….”

“Memang ini sudah menjadi perundang-undangan keluarga kita!” kata Im Siok-kun ketus. “Tak perlu kau bersedih bagi kita, meski dia mampus di tanganku, tapi kami harus mencari perhitungan kepada kau…..” “Kau sendiri yang bunuh kerabatmu, tapi orang lain yang harus bertanggung jawab hidup semua ini, baru sekarang aku nenek tahu ada peraturannya si kentut busuk ini, tapi cara bagaimana kau hendak mencari perhitungan denganku?”

“Gampang saja! Hutang darah bayar darah, hutang jiwa harus bayar jiwa!”

Im Siok-kun mengulapkan tangan, dua perempuan lain yang berada di samping Im Siok-kun segera melolos pedang hendak turun tangan, cepat Thio Ceng Ceng tampil ke depan, serunya: “Tunggu sebentar, mari kita bicara dulu.”

“Mengobrol apa lagi?” teriak Peng Kiok-jin gusar, “Kalau mereka mampu, silahkan bawa nenek tua ini untuk menebus jiwanya. Ka lau tidak aku akan bikin mereka berlutut minta ampun kepadaku, ingin kulihat apakah Bu khek-pay kalian ada orang yang suka berlutut dan mandah dihina.”

“Toanio” bujuk Thio Ceng Ceng, “kuharap kau bersabar sebentar, mereka mengatakan ayahku berbuat apa, aku harus tanya duduk persoalannya.”

Terpaksa Peng Kiok-jin mengalah mundur ke samping. Baru sekarang Thio Ceng Ceng berkesempatan bicara kepada dua perempuan itu. “Kuharap kalian suka menunggu sebentar, setelah aku bicara dengan Ciang-bunjin kalian, belum terlambat kita teruskan pertarungan ini.”

Kedua perempuan itu berpaling ke arah Im Siok-kun, agaknya menanti perintah lanjut, maka Im siok-kun berseru gusar: “Tiada yang perlu dijelaskan lagi! Kalau kau adalah putri Thio hun-cu, maka kaulah orang kita cari, perbuatan bapakmu yang bangkotan itu terpaksa kau yang menerima hukumannya!”

Gusar dan gugup Thio Ceng Ceng dibuatnya, teriaknya: “Sebetulnya apa yang dilakukan ayahku?”

“Kau kan putrinya masa tidak tahu?” “Setahun yang lalu aku sudah berpisah dengan ayahku, sampai sekarang belum pernah berjumpa kembali. ….”

“Apa benar ucapanmu? tanya Im Siok-kun tidak percaya. “Buat apa aku membual? Waktu Koan-toako terkena racun,

akulah yang membawanya mencari obat, selama ini belum pernah berpisah sedikit pun, kau tidak percaya, silahkan kau tanya dia!”

Im Siok-kun berpaling ke arah Koan San-gwat, katanya: “Kau adalah Bing-to Ling-cu, ucapanmu boleh dipercaya, kau berani tanggung bahwa ucapannya benar?”

“Aku yang rendah berani mempertaruhkan batok kepalaku ini, bahwa ucapan tetua Thio memang benar, selama setahun ini dia selalu ikut aku, belum pernah jumpa dengan paman Thio.”

“Aneh!” seru Im Siok-kun tertegun, “dua hari yang lalu ada orang melihat Thio-Hun-cu berada di Ciu-cwan bersama seorang gadis, maka kami menyusul kemari.”

Koan San-gwat melengak, katanya: “Dua hari yang lalu kami masih ada di Ciu-cwan, kami juga mencari paman Thio, kenapa kami tidak melihatnya? Apakah orangmu itu tidak salah lihat?”

“Tidak mungkin salah, Thio Hun-cu sekarang menjadi incaran orang banyak, orang tidak dapat dikelabui olehnya.”

“Ya, memang kemungkinan, tapi gadis itu sudah pasti bukan nona Thio!”

Im Siok-kun merenung sebentar lalu berkata pula dengan gusar: “Seumpama benar mereka sudah lama tidak hidup bersama, tapi hari ini kami sudah menemukan putrinya, kita harus menuntut pertanggungan jawab ayahnya kepada anaknya, kau adalah putri Thio Hun-cu maka kau harus berani menanggung akibat ini.” “Sebenarnya apakah yang telah dilakukan ayahku? Begitu benci kalian terhadap beliau!”

Kata Im Siok-kun gemas: “Kalau diceritakan, kau sebagai putrinya mungkin bangga akan perbuatan ayahmu, sejak Thio Hun-cu lolos dari Loh hun-kok setahun yang lalu, karena dia paham cara memunahkan racun Ui-ho-ciu-oe-sa itu semua hadirin menaruh hormat dan segan kepadanya… ?

“Sebagai tabib yang memperdalam ilmu pengobatan, adalah tanggung jawab beliau menolong sesama manusia!” ujar Thio Ceng Ceng tertawa.

Im Siok-kun menyeringai dingin, sambungnya: “Kau dengarkan saja nanti kan tahu betapa bagus perbuatannya. Sejak peristiwa di Loh-hun-kok itu mendadak dia menghilang. Kira-kira sebulan yang lalu, mendadak muncul. Dia bertandang ke markas berbagai golongan dan aliran besar kecil. Karena perbuatan suhunya dulu sudah tentu semua pihak suka bersahabat dengan dia. Siapa tahu manusia berhati binatang itu, ternyata melakukan perbuatan hina dina yang memalukan.”

“Kau bohong!” maki Thio Ceng Ceng, “Ayahku bukan macam itu!”

“Apa yang dilakukan ayahmu, kini seluruh manusia di kolong langit pasti ingin merajangnya untuk melampiaskan kedongkolan hatinya. Di Siau-Lim-sie ia mencuri buku rahasia Ih-kin-keng karya Tatmo Cousu, dengan keji meracun Ciangbunjin Siau-lim-pay Thong Sian Taysu hingga bisu dan tuli, badannya lumpuh lagi. Di Bu-tong ia melarikan buku pelajaran pedang dan meracuni Bu-tong Ciangbun Thian-ki Totiang hingga mati. Soalnya partai dan golongan lain, aku sendiri belum mendapat kabar yang pasti, entah perbuatan laknat apa lagi yang sudah dilakukan, tapi mereka mengejar Thio Hun-cu begitu ketat, tentu terjadi perkara besar… ” Thio Ceng Ceng terpukul hatinya, sambil menutupi mukanya ia berteriak: “Kau bohong! Mana mungkin ayah melakukan perbuatan semacam itu…..”

“Kenapa kau tak mau meluruk ke Siau-lim-si untuk mencari bukti?”

“Sudah tentu aku akan ke sana!”

“Nanti dulu!” Koan San-gwat menimbrung pembicaraan dengan sungguh-sungguh, “Aku bergaul cukup lama dengan paman Thio. Aku tahu watak dan perangainya, ia tidak mungkin melakukan perbuatan yang hina dan memalukan itu, apalagi persoalan ini banyak lobang kelemahannya. Seperti apa yang kau katakan, kukira golongan atau aliran yang mengalami nasib jelek tidak mungkin sebanyak itu, cukup dua golongan saja pasti akan menyiarkan berita jelek itu, golongan yang lain cepat akan berlaku waspada, mana mungkin bisa satu persatu kena ditipunya mentah-mentah?”

“Justru di sinilah kelihaiannya Thio Hun-cu,” Im Siok-kun menyeringai, “Dia bekerja dari timur ke barat, secara beruntun dan teratur, berita yang tersebar di luar kalah cepat dengan gerak-geriknya. Di kala golongan di sebelah barat memperoleh berita, dia sudah datang dan bekerja beberapa lamanya ….. ”

Koan San-gwat geleng -geleng kepala: “Kenapa sepanjang jalan kita kemari, sedikit pun tak tahu menahu persoalan ini?”

“Perbuatan jahat yang dilakukan Thio Hun-cu kebanyakan menyangkut rahasia berbagai golongan besar kecil atau beberapa tokoh atau orang-orang penting itu, tiada yang berani membeber borok yang memalukan ini, sudah tentu kalian tidak bisa mendengar berita penting ini.”

Dengan tenang dan dingin bertanyalah Koan san-gwat: “Lalu pihak Bu khek-kiam-pay kalian mengalami musibah apa?” Sesaat Im Siok-kun bimbang, akhirnya Ia berkata sambil kertak giginya: “Apa yang menimpa golongan kita jauh lebih memalukan dari golongan lain!”

“Apakah buku pelajaran Bu khek-kiam-pay kalian dicurinya?” Koan San-gwat menegas.

“Bu khek-kiam-hoat terbagi dua jilid, jilid kedua adalah pelajaran umum bagi seluruh anggota Bu-khek-kiam-pay kami, jilid pertama berisi delapan gerak pelajaran ilmu pedang, khusus diajarkan untuk Ciangbunjin, siapapun tidak mungkin bisa mempelajarinya, sudah tentu jilid pertama ini dia tidak berhasil membawanya lari.”

“Lalu apa kerugian kalian?”

Wajah Im Siok-kun beringas, serunya berapia-api: “Tujuannya yang terakhir adalah Im-san kami, aku belum pernah ketemu dengan dia, cuma kudengar namanya cukup tenar sebagai pendekar kelana, maka dengan tangan terbuka kusambut kedatangannya. Siapa tahu….” bicara sampai di sini ia tidak kuasa meneruskan saking gusarnya.

“Bagaimana ayahku?” Thio Ceng Ceng bertanya.

Im Siok-kun kertak gigi serunya bengis: “Dia…. memperkosa putriku yang terkecil Im Le-hoa dan meracunnya hingga pikun.”

Koan San-gwat tersentak kaget, sesaat ia melongo, lalu katanya: “Ini…. agaknya tidak mungkin! Mana mungkin paman Thio melakukan……”

“Anggota Bu khek-kiam-pay kita terdiri dari kaum hawa. Kalau bukan dia siapa yang berbuat… ….?” semula Aku tidak Percaya, tapi setelah aku bertemu murid Siau-lim-pay dan Bu- tong-pay maka dapatlah dipastikan tentu perbuatannya.”

Thio Ceng Ceng seperti kehilangan akal pikirannya yang jernih, tiba-tiba ia berteriak sambil menangis : “Kau bohong…. katu bohong…….” Di bawah sinar bulan tampak air muka Im Siok-kun pucat, dengan suara berat ia berkata “Tiang-hoa! Bawa adikmu kemari!”

Dengan muka sedih itu Tiang-hoa menuntun keluar seorang gadis berpakaian hitam, wajahnya cantik molek, usianya tujuh belasan, kedua matanya mendelong terus tidak bergerak, gerak-geriknya serba linglung.

Im Siok-kun mendelik kepada Thio Ceng Ceng, serunya gusar: “Tentu kau pun mahir ilmu pengobatannya, silahkan kau periksa buah karya bapakmu.”

Thio Ceng Ceng mengusap air mata maju ke depan si gadis, dia membalik kelopak matanya serta memeriksa dengan cermat, meraba urat nadinya pula, terakhir ia berikan kepada Peng Kiok-jin: “Toanio! Harap beri sebutir Peng-sip-coat-peng- san!”

Dengan serius Peng kiok-jin membuka buntalan menuang sebutir pil dan diberikan kepada Thio Ceng Ceng, Ceng Ceng jejalkan pil itu ke mulut si gadis. Cepat Im Siok-kun membentak: “Obat apa yang kau berikan kepadanya?”

Peng Kiok-jin segera menjawab: “Kau tidak usah kuatir, kami tidak akan memberinya racun!”

Dengan perasaan tegang dan was-was Thio Ceng Ceng memeriksa denyut nadi si gadis lalu mengurut-urut, setelah itu ia mundur dua tindak menanti reaksinya, kulit mukanya berkerut-kerut gemetar. Koan San-gwat maju mendekat serta bertanya: “Nona Thio! Kenapa kau?”

Sahut Thio Ceng Ceng prihatin : “Kalau obatku itu dapat menolongnya sadar………. ?” tidak berani dia meneruskan ucapannya, beberapa saat Koan San-gwat seolah-olah ikut tenggelam, ia berdiri diam tak bergerak di sampingnya.

Entah berapa lama kemudian, biji mata itu mulai bergerak- gerak, bibirnya bergerak menggumam beberapa patah kata. Thio Ceng Ceng menjerit terus menangis keras menutup muka dengan kedua telapak tangannya, teriaknya: “Koan- toako tiada muka aku hidup…..

Jantung Koan San-gwat berdebar keras, hampir ia tidak percaya dengan kenyataan di depan matanya. Urusan menjadi jelas dan terbukti akan perbuatan Thio Hun-cu, apakah mungkin?

Setelah menangis sekian saat, tiba-tiba Thio Ceng Ceng angkat kepala, katanya: “Tidak! Betapapun aku tidak percaya akan perbuatan ayahku!”

Koan San-gwat juga tidak putus asa, bujuknya: “Benar! Akupun tidak percaya …… oh ya, kalau gadis ini sudah pulih kesadarannya, marilah kita tanya kepadanya!”

Segera Thio Ceng Ceng memburu ke depan gadis itu: “Adik cilik! Seseorang telah mengganggu kau, siapakah dia?”

Im Lee-hoa membuka lebar kedua biji matanya, dia tetap mendelong, sesaat baru menggumam: “Tidak! Dia bukan orang jahat, dia suka kepadaku, akupun suka kepadanya, dia hendak menikah dengan aku, akupun menjadi istrinya….”

Im siok-kun merasa di luar dugaan, ia pun memburu maju, teriaknya: “Lee-hoa kau sudah gila………”

Thio Ceng-Ceng makin panik, serunya: “Adik cilik, siapakah dia ?”

“Aku tidak tahu, dia tidak memberi tahu kepadaku?” sahut Im Lee-hoa hampa.

Segera Koan San-gwat berkata pada Im Siok-kun: “kalau paman Thio mendapat pelayanan istimewa kalian, kenapa putrimu tidak kenal dia?”

“Selamanya dia tidak pernah kenal dengan orang luar, sudah terus tidak tahu!” Kemba Thio Ceng Ceng menarik tangan Im Lee-hoa, tanyanya lagi: “Bagaimana bentuk wajah orang itu?”

Im Lee-hoa diam sekian lamanya akhirnya menjawab dengan rasa sedih. “Entahlah, aku sudah lupa! Mungkin kalau ketemu sama dia aku bisa mengenalnya, waktu dia datang menemukanku, keadaan sangat gelap aku hanya mengenal suaranya.”

Mungkin bukan ayahnya, Thio Ceng Ceng agak lega. Mendadak kedua mata Im Lee hoe bercahaya terang,

suaranya lembut mesra: “Aku masih ingat jenggotnya, jenggotnya itu sangat bagus, lemas lembut seperti rambutku, waktu mengusap wajahku rasanya begitu hangat dan mengasikkan……”

Tiba-tiba Thio Ceng Ceng menjerit sekeras-kerasnya melepas tangan Im Lee-hoa terus putar tubuh dan lari.

cepat Im Siok-kun melintangkan pedang mencegatnya, bentaknya: “Duduk perkaranya sudah jelas, mau kemana kau?”

Hati Thio Ceng Ceng seperti disayar-sayat sembilu, teriaknya sambil menangis gerung-gerung; “Jangan rintangi aku, aku hendak mencari ayah……”

Cepat Koan San-gwat menarik tangannya, bujuknya: “Nona Thio, kalau ayahmu benar seorang yang hina dina, kau tidak perlu mencari lagi!”

“Tidak!” sahut Thio Ceng Ceng keras, “aku harus menemukan dia. Aku akan bunuh dia lalu akupun bunuh diri. Aku tidak mau membiarkan dia hidup, akupun tidak mau hidup lagi ……”

“Apa-apaan ucapanmu? Paman Thio, meski Thio Hun-cu layak dibunuh, bukan kewajibanmu untuk membunuhnya……” “Tidak, aku sendiri yang harus bunuh dia! Dia bukan lagi ayahku, aku bukan putrinya……”

“Sudah, kalian main sandiwara di hadapanku, kau kira aku bisa melepas kau pergi?” tukas Im Siok-kun menyeringai sadis.

Mandadak Thio Ceng Ceng beringas, hardiknya murka: “Minggir! Sekarang siapa pun aku tidak perduli lagi, jangan kau merintangi jalanku.”

Im Siok-kun semakin berang, teriaknya: “Kalau kita tidak menemukan Thio Hun-cu, maka kau dulu yang harus menebus dosanya.”

Thio Ceng Ceng menjerit panjang, dengan gusar ia melolos pedang panjang dari punggungnya, hardiknya : “Berani kau merintangi aku, kubunuh kau, sekarang hasratku cuma membunuh orang…,”

Sebelum orang habis bicara, pedang Im Siok-kun sudah menukik laksana ular menyambar dari samping, lekas Thio Ceng Ceng angkat pedang menangkis dan balas menyerang, maka terjadilah pertempuran seru.

Karena bertangan kosong, Koan San-gwat kerepotan untuk melerainya, terpaksa ia minta bantuan Peng Kiok-jin: “Toanio! Lekas kau cari akal untuk menghentikan amukannya !”

“Kepadamu dia tidak tunduk aku punya akal apa?” sahut Peng Kiok-jin menyengir, “Aku maklum peristiwa ini menjadi pukulan berat bagi bathinnya hingga pikirannya kacau balau…..”

Koan San-gwat semakin gopoh dan gelisah, sementara Thio Ceng Ceng sudah melabrak Im Siok-kun puluhan jurus.

Permainan Be-khek-kiam-hoat Im Siok-kun aneh menakjubkan, jurus-jurusnya serba berlawanan dari permainan pedang umumnya, setiap tipu serangannyapun sangat ganas dan keji. Dalam keadaan marah, inti sari ilmu pedangnya sukar dikembangkan.

Setelah mendapat petunjuk dan gemblengan Soat-lo Thay thay, kepandaian Thio Ceng Ceng sudah berlipat ganda, permainan pedangnya sangat hebat dan gerak perubahannya laksana setan kelelap malaikat muncul, setiap jurus serangannya menempatkan dirinya dalam posisi yang lebih menguntungkam sehingga Im Siok-kun terdesak mencak- mencak, saking gugupnya ia berkaok-kaok: “Hayo! maju semua, cacah hancur tubuh perempuan laknat ini!”

Anak murid Bu-khek-kiam-pay serempak melolos pedang terus menyerbu dari berbagai penjuru, hawa pedang berkilauan memberondong ke arah Tnio Ceng Ceng dengan rapi. Koan San-gwat hendak maju membantu, lekas Peng kiok-jin menariknya, katanya: “Tidak perlu kau harus turun tangan! Nona Ceng sudah cukup berkelebihan!”

Memang tindak tanduk Thio Ceng Ceng lebih kejam dan nekat, meski ia hanya menggunakan sebilah pedang, tapi permainannya sedemikian cepat, umpama hujan badai juga tidak akan menembus pertahanannya yang rapat, para pengepungnya saling terdesak mundur dan terpental pontang- panting oleh perbawa ilmu pedangnya. Keruan Im Siok-kun semakin murka bentaknya beringas : “Hayo maju semua, adu jiwa dengan dia. Meski seluruh warga Im habis tertumpas, jangan kita lepaskan perempuan laknat ini!”

Thio Ceng Ceng juga semakin murka, teriaknya; “Terpaksa aku harus membunuh, kalian yang memaksa aku berbuat demikian… ”

“Bunuhlah! Kau sama dengan bapakmu. keparat yang patut dihancur leburkan.”

Caci maki urang lebih menggelorakan darah Thio Ceng Ceng, dimana pedangnya berkelebat bagai kilat menyambar beruntun terdengarlah suara jerit dan pekik kesakitan, kecuali Im Siok-kun dan beberapa orang yang berkepandaian tinggi, banyak diantara mereka roboh terluka.

Banyak senjata putus, lengan tergores atau pergelangan tangan kutung dan ada pula yang tubuhnya cacat. Mata Im Siok-kun merah padam dan membara, teriaknya beringas: “Keparat, biar aku adu jiwa dengan kau!”

Cepat sekali ujung pedang menusuk ulu hati, serangan ini cukup ganas dan lihai, pedang Thio Ceng Ceng, yang menyambar kuping kirinya pun tidak dihiraukan, ia agaknya bertekad gugur bersama. Sebat sekali Thio Ceng Ceng miringkan tubuh meluputkan diri, sementara gaya serangan pedangnya masih meluncur tanpa berubah.

Sekarang Koan San-gwat tidak bisa berpeluk tangan, sigap sekali ia jemput sebilah pedang di tanah terus melejit : “Trang” pada waktunya ia berhasil menangkis pedang Ceng Ceng, menolong jiwa Im Siok-kun.

Sejenak Thio Ceng Ceng tertegun, serunya keren, “Koan San-gwat, kau pun hendak membunuhku?”

“Tidak” sahut Koan San-gwat dengan keren. “Aku tidak membunuh kau, tapi kau pun jangan membunuh orang!”

Deras air mata Thio Ceng Ceng, tanpa banyak kata, Ia menerjang keluar kepungan.

Im Siok-kun terus lari sekencang-kencangnya. Koan San- gwat bergerak hendak mengejar, cepat Peng Kiok-jin menahan dari belakang, katanya: “Biarkan dia pergi. Sekarang perlu memberi ketenangan padanya. Untuk sementara waktu kau jangan temui dia, aku akan mengawasi dirinya.”

Koan San-gwat hendak menolak, cepat Peng Kiok-jin menggoyangkan tangan, katanya: “Urusan ayahnya, akupun belum percaya. Lebih baik carilah Thio Hun-cu, gunakan waktu luangmu untuk membuat penyelidikan dalam persoalan ini.” Selesai berkata lantas memburu ke arah Thio Ceng Ceng menghilang.

Sesaat Koan San-gwat menjublek di tempatnya dengan muka merah padam, Im Siok-kun meluruk kehadapannya, jengeknya: “Orang she Koan, sejak hari ini Bu khek-kiam-pay kami tidak akan berjajar dengan kau……”

Koan San-gwat melengak, ujarnya: “Aku tidak bermusuhan dengan kalian, barusan jiwamu sudah kutolong, kenapa air susu kau balas dengan air tuba?”

“Memang! Tapi kaupun menolong jiwanya pula, aku masih ada jurus pedang lihai yang belum kulancarKan, aku berani pastikan, ilmu pedangku itu akan menembus tenggorokannya. Kau menolong jiwanya, sekarang aku tidak bisa membalas dendam kepada kau, biarlah pertarungan ini kita bereskan lain kesempatan.”

Dengan bingung Koan San-gwat membujuk : “Seumpama kau tadi gugur, Yang berbuat kejahatan adalah ayahnya, ada sangkut paut apa dengan dia? Untuk membalas dendam kau harus mencari sasaran yang tepat!”

“Orang she Thio itu sudah merusak putriku, maka akupun harus merusak putrinya, itu baru setimpal. Bicara terus terang, aku lebih suka membebaskan Thio Hun-cu, tapi putrinya itu harus menerima ganjaran yang setimpal.”

“Kecuali kau sudah gila,” seru Koan San-gwat naik pitam, “Orang gila baru punya angan-angan yang gila pula!”

Im Siok-kun tidak menghiraukan dia lagi, ia pimpin seluruh anak buahnya tinggal pergi tanpa banyak omong lagi.

Koan San-gwat termenung-menung sekian lamanya, setelah Lau Sam-thav menarik bajunyas baru ia sadar. Dengan lesu ia meninggalkan tempat itu.

Tatkala itu cuaca sudah terang berderang. Ufuk timur sudah dihiasi cahaya kuning emas. Hawa pagi nan sejuk dan nyaman, semangat Koan San-gwat pulih kembali, ia menarik napas panjang. Malam ini masa amat panjang.

—-ooo000ooo—–

Seorang diri Koan san-gwat menelusuri pinggir sungai kuning, sementara Lau Sam-thay mencari perahu untuk menyeberang. Seorang diri ia menengadah mengamati bintang kerlap kerlip yang masih bercokol di cakrawala, pelan- pelan kudanya naik ke atas tanggul.

Keadaan yang sunyi dan pemandangan gelap sebelum fajar ini membuat perasaannya hambar dan haru, sejak ia mengembara empat tahun yang lalu, lebih banyak waktu dihabiskan dengan merawat luka-luka yang dideritanya. Tapi begitu ia terjun ke dunia persilatan, tentu menimbulkan kegemparan yang teramat besar …….sehingga ia lebih dapat meresapi betapa besar arti kehidupan ini.

Lambat laun bangkit jiwa kesatrianya, menghadapi bulan sabit, desah air sungai, serta hembusan angin pagi nan sepoi- sepoi ini ingin rasanya melampiaskan kekesalan hati dengan menggembor sekeras-kerasnya. Begitu mengerahkan hawa murni ke pusarnya, sekali mulut terpentang, suara keras menjulang tinggi menembus angkasa laksana jeritan naga, berkumandang di alam semesta di pagi hari dan cerah itu. Tanggul di bawah kakinya terasa bergetar oleh kedahsyatan gemborannya. Demikian juga kuda tunggangannya berjingkrak berdiri, hampir saja ia terlempar dari punggung kudanya, syukur ia cukup cekatan, tali kekang ditarik, sehingga badannya terkendali. Tepat pada saat itu juga, kupingnya yang tajam mendengar jerit kesakitan Lau Sam-thay di kejauhan sana, disusul derap langkah kuda yang mendatangi dengan kencang.

Koan San-gwat kaget, ia mengira Lau Sam-thay mengalami sesuatu. Sejak dibikin malu pihak Bu-khek-kiam-pay malam itu, dia mengintil dirinya, alasannya cukup tepat, takut para kerabat Im-san mencari perkara padanya, ia tahu dirinya bukan tandingan mereka, apalagi perkara terjadi gara-gara dirinya dengan Thio Ceng Ceng, Koan San-gwat langsung menolak permintaan orang.

Apalagi sepanjang jalan ia selalu memberi pelayanan yang baik pada dirinya, sehingga ia terhindar dari banyak kesulitan, lambat laun Koan San-gwat merasa tidak bisa kehilangan pembantu yang sangat diperlukan ini, maka begitu mendengar jeritannya, segera ia keprak kudanya menyusul ke sana.

Belum berapa jauh, dilihatnya seekor kuda tanpa penunggang sedang mencongklang pesat ke arah sini, kuda itu adalah tunggangan Lau Sam-thay, melihat binatang itu tidak ditunggangi majikannya, Koan San-gwat semakin kuatir, lekas ia cegat dan tarik kuda itu lalu dibawa lari pula ke depan.

Beberapa kejap kemudian, jauh di depan sana dilihatnya Lau Sam-thay sedang memukul dan menubruk serabutan melawan seorang gadis yang bercokol di atas kuda. Gadis itu menggunakan pakaian serba merah, tangannya memegang pecut panjang, berulang-ulang ia melecutkan pecutannya ke arah Lau Sam-thay.

Berkali-kali Lau Sam-thay urut tangannya mencengkeram ujung pecut lawan, tapi selalu gagal, malah kepala dan mukanya dipecut beberapa kali, badan babak belur, bajunya sudah sobek-sobek berdarah.

Sudah tentu Koan San-gwat tidak berpeluk tangan, cepat ia keprak kudanya memburu kesana, bentaknya, “Berhenti!”

Bentakannya keras menggeledek menggelegar, gadis itu segera menghentikan aksinya! Lau Sam-thay lantas berteriak: “Liang-cu! Jangan kau turut campur, biar aku adu jiwa dengan budak busuk ini…….”

Belum habis bicara tahu-tahu mukanya kepecut lagi, terdengar gadis itu membentak: “Coba kau maki sekali lagi, kubikin hancur mulutmu.” Agaknya pecutan terakhir ini jauh lebih berat, muka Lau Sam-thay bertambah jalur berdarah, sudah tentu marahnya bukan kepalang, hardiknya kalap: “Tuan besarmu justru ingin maki kau, kalau berani coba kau bunuh aku saja, perempuan busuk !

Berubah air muka gadis itu, teriaknya melengking : “Kau memang harus dihajar !”

Pecut sudah terayun dan hendak menghajar lagi, sementara Koan San-gwat sudah tiba mencegat di antara mereka, begitu melihat kedatangan Koan San-gwat, gadis itu batalkan serangannya, teriaknya: “Kau minggir, akan kuhajar dia supaya tidak memaki orang lagi!”

Kata Koan San-gwat dengan kalem : “Memaki orang memang salah, tapi kau sudah menghajarnya begitu rupa, apa tidak terlalu?”

Gadis itu mendelik serunya : “Kusuruh kau minggir dengar tidak? Kalau kau tidak mau minggir, kau pun akan kuhajar sekalian.”

Lau Sam-thay berjngkrak gusar, teriaknya sambil bertolak pinggang : “Perempuan busuk, kalau kau mampu memecut Ling-cu, baru aku tunduk kepadamu!”

Gadis itu menjengek hidung, tiba-tiba pecutnya terayun melingkar-lingkar terus menukik hendak membelit leher Koan San-gwat.

Koan San-gwat bersikap tenang sambil mengulum senyum, tanpa berkelit ia mengulur tangannya mencengkeram ujung pecut si gadis ini, yang dia gunakan adalah hun-kong poh-in, membagi silat menerkam bayangan. Ia menyangka dengan gerak tangan yang amat lihay itu, pecut lawan dapat dipegang. Tak kira baru saja jarinya menggenggam ujung pecut orang, gadis itu menggentak pergelangan tangannya, ujung pecutnya itu seperti ular sakti yang licin memberesot lolos dari telapak tangannya. Hanya satu gebrak, kedua pihak menjadi tercengang, rasa heran dan kaget gadis itu jauh lebih besar dari Koan San- gwat, terdengar hidungnya mendengus lirih, lalu katanya: “Hai, siapa namamu ?”

Belum sempat Koan San-gwat membuka mulut, Lau Sam- thay sudah menjawab: “Perempuan busuk, Bing-to-ling-cu yang namanya menggetarkan seluruh kolong langit masa tidak pernah dengar? buat apa kau kenali kangouw.”

“Siapa bilang aku orang Kangouw?” sentak gadis itu sambil melotot.

Agaknya luka-luka Lau Sam-thay masih sakit, dengan marah ia memaki pula: “Perempuan busuk, dandananmu menunjukkan kau adalan anggota rombongan akrobatik, berani kau tidak mengaku!?”

Lau Sam-thay hendak memaki dan menghinanya, tak kira gadis itu melotot heran, tanyanya: “Apa yang dinamakan akrobatik!?”

Lau Sam-thay menelan air liur, sungguh hatinya gemas, entah pura-pura atau tidak tahu atau memang bodoh, sesaat baru ia menjawab: “Kalau kau sudah tahu istilah Kangouw, masa tidak tahu artinya?”

“Aku memang tidak tahu,” sahut gadis itu tertawa, “Orang Kangouw, nama ini kudengar dari ibuku, menurut kata ibu orang kangouw tiada yang baik. Apakah kalian pun orang Kangouw?”

Lau Sam-thay uring-uringan, makinya: “Justru ibumu yang bukan orang baik, berdasarkan apa dia berani mengatakan orang Kangouw tiada yang baik!”

Gadis itu menarik muka, pecut terayun lalu menghajar pula ke arah Lau Sam-thay, teriaknya gusar, “Berani kau memaki ibuku? Sudah bosan hidup ya!?” Sambil menghardik Koan San-gwat mengayun telapak tangannya memotong pecut lawan di samping menolong Lau Sam-thay, tujuannya merampas pecut orang. Akan tetapi permainan pecut gadis itu sangat lincah dan licin sekali, badannya meliuk dan bergoyang di punggung kuda. Di samping menghindari pukulan Koan San-gwat, geraKan tangannya tetap tidak berubah, pecutnya masih melingkar ke atas Lau Sam-thay. “Plak” tanpa diberi kesempatan, pinggang Lau Sam-thay kena sabet, serangan ini melecut sambil menutuk jalan darah, kontan ia tergulung serta terseret ke tanah tidak bergerak lagi, jalan darah di bawah ketiaknya tertutuk.

Koan San-gwat marah dibuatnya, segera ia melompat turun, “Kau turun, akan kuberi hajaran kepadamu.”

Sambil mendelik gadis itu berkata lantang: “Bukan aku takut kepadamu tapi aku ingat pesan ibu, tanpa sebab dilarang bentrok dengan orang lain. Kalau kau berani memakiku segera akan kulabrak kau.”

Koan San-gwat melengak, ia rasa gadis ini aneh, katanya tertawa : “Jadi kawanku ini memakimu terlebih dulu baru kau hajar?”

“Sudah tentu! Aku tidak pernah turun tangan lebih dulu tanpa sebab.”

Sambil tersenyum Koan San-gwat menghampiri Lau Sam- thay lalu menjinjing bangun, beruntun ia gunakan lima enam cara ilmu tutuk tidak berhasil membebaskan Hiat-to Lau Sam- thay.

“Aku menggunakan tutukan tunggal ciptaan ibuku, kau tidak mampu membebaskan tutukanku, kalau dia tidak memaki aku akan kubebaskan tutukan jalan darahnya. Kalau tidak bisa lumpuh selamanya.” Saking kewalahan Koan San-gwat manggut-manggut, ujarnya : “Baiklah, kutanggung dia tidak akan memaki kau lagi!”

-oo0dw0oo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar