Patung Emas Kaki Tunggal Jilid 05

 
Jilid 05

GADIS PINGITAN yang sejak kecil biasa hidup di alam pegunungan bersalju, tak kuasa menahan gejolak asmara lalu mengejar kekasih yang didambakannya setiap hari, lupa akan ajaran leluhur, tanpa menghiraukan kesedihan ibunya, jauh ribuan li ia menyusul ke Thian-san utara, mereka melangsungkan pernikahan dan selanjutnya hidup sebagai suami istri dan sering berkelana di padang rumput.

Semula Lim Keng-hong sangat murka, secara diam-diam iapun menyusul ke padang rumput, menurut rencana semula ia hendak bunuh kedua muda mudi yang dianggapnya terlalu kurang ajar ini. Tapi begitu ia melihat wajah Soat Gi-sin yang bercahaya dan penuh diliputi rasa bahagia yang berlimpah- limpah, niatnya jadi luluh. Maklum adanya ikatan cinta kasih seorang ibunda terhadap putrinya, terpaksa ia memaafkan mereka, secara diam-diam pula ia kembali ke Kun-lun-san.

Sang waktu berjalan cepat bagai aliran air takkan kembali lagi, tanpa terasa dua tahun sudah berselang, hawa padang rumput yang panas memang banyak memberikan perubahan terhadap penyakit Gi-sin, selama itu ia tetap hidup dengan sehat walafiat, malah sudah mengandung.

Lahirnya kelihatan Lim Keng-hong itu telah melupakan mereka, namun secara diam-diam sering datang menjenguk mereka, terutama di saat Gi-sin hendak melahirkan oroknya hampir tiba, setiap hari beberapa kali dengan sembunyi- sembunyi ia tengok keadaan putrinya. Karena ilmu silatnya lihay, pergi datang tidak meninggalkan bekas, sepasang suami istri yang dilingkupi rasa bahagia itu sedikit pun tidak tahu menahu.

Gi-sin melahirkan seorang putri, kehidupan sehari-hari bertambah bahagia semanis gula, penuh diliputi kasih mesra. Semua kehidupan manusia dalam dunia ini memang tiada yang abadi, tiada sesuatu yang tidak pernah berubah, di kala putrinya itu Ceng Ceng menanjak satu tahun, bibit penyakit dalam tubuh Soat Gi-sin mulai kambuh, memang itulah penyakit khusus dari turunan keluarga Soat, suhu badannya berubah sedemikian tinggi, setiap hari mulutnya mengigau, seolah-olah jiwa raganya sedang digembleng dalam keadaan kepanasan yang luar biasa.

Thio Hun-cu menggunakan kepandaian ilmu pengobatannya berusaha menyembuhkan istri tercinta, segala obat mujarab sudah dia gunakan, betapapun sulit usahanya ia tetap tidak putus asa, akhirnya jerih payahnya ternyata berhasil dengan menggembirakan.

Jiwa Soat Gi-sin dapat direnggut kembali dari elmaut. tapi suhu badannya terlalu tinggi hingga ingatannya menjadi kabur, dan celakanya selebar mukanya yang semula cantik molek itu timbul bisul-bisul yang membusuk dan berubah sangat menakutkan.

Suatu ketika ingatannya agak jernih, teringat kepada putrinya, Ceng Ceng yang sudah berusia setahun, bocah cilik itu ternyata punya perasaan tajam, melihat wajah ibunya yang semenakutkan itu ia menjerit keras terus jatuh pingsan, jeritan keras ini memukul batin Gi-sin, kesadarannya menjadi semakin kabur, Gi-sin akhirnya sinting ia mendadak maju hendak mencekik putrinya yang pingsan, untung Thio Hun-cu keburu mencegah perbuatan gilanya tapi Gi-sin sudah gila betul-betul suami sendiri pun tidak kenal lagi. Mereka berkelahi kekuatannya luar biasa sampai Thio Hun-cu terdesak tidak kuat lagi melawan, suatu ketika pinggangnya dipeluk kencang- kencang hingga susah bernapas, dalam seribu kerepotannya cepat ia tutuk jalan darah penting di bawah tenggorokan Soat Gi-sin, syukur peristiwa yang menegangkan urat syaraf ini dapat dihentikan. Thio Hun cu tahu bahwa penyakit gila tidak dapat disembuhkan, demi keselamatan putrinya, terpaksa dia harus dibunuh, supaya bebas dari penderitaan hidup yang tidak wajar ini.

Di saat ia hendak turun tangan itulah, Lim Keng-hong yang sembunyi itu menerobos ke luar merintangi tindakannya. Timbul perdebatan dan adu mulut yang seru, akhirnya ia semaput oleh pukulan Lim Keng-hong, selanjutnya Gi-sin dibawa pulang ke puncak Kun-lun-san.

Tutukan Thio Hun-cu sangat berat, meskipun Soat Gi-gin tidak mati tapi sekarat, kecuali berteriak-teriak sekejappun tidak mampu bicara lagi.

Karena perobahan hebat ini, perangai Lim Keng-hong menjali nyentrik, timbul perasaan dendam yang tidak terlampias selama hidupnya terhadap Thio Hun-cu. Kehidupan di atas pegunungan memang sunyi sepi, akhirnya dia menerima seorang murid perempuan kecil, dia bukan lain adalah Khong Ling-ling.

Di bawah perawatannya yang tekun dan hati-hati, penyakit gila Gi-sin kadang-kadang kumat kadang-kadang baik, dengan segala daya upaya Lim Keng-hong tetap tidak berhasil menyembuhkan penyakit gila itu, tidak mampu pula membuatnya bicara.

Waktu berjalan cepat, tahu-tahu dua puluh tahun sudah berlalu. Lim Keng-hong berubah jadi nenek tua, ilmu pengobatan dan kepandaian silatnya jauh lebih maju, tabiatnya juga semakin jelek, kecuali Hwi-thian-ya-ce, siapapun dilarang memasuki Soat-sin-kok.

Di saat Thio Ceng Ceng membawa Koan San-gwat datang, pemuda yang terkena racun aneh itu menarik perhatian, ia mau mengobatinya tapi setelah melihat wajah Thio Ceng Ceng yang mirip ayahnya itu, membuat dia ingat akan dendam lama, maka dia melarang Ceng Ceng ikut masuk ke dalam lembah kediamannya.

Siapa tahu Thio Ceog Ceng diselundupkan ke dalam Soat- sin-kok oleh Peng-toanio, maka jadilah bentrokan dengan Khong Ling-ling, dalam saat-saat berbahaya itu, mungkin karena ada hubungan batin serta cinta ibu ter hadap anak, keributan itu menarik perhatian Gi-sin yang disekap dalam sebuah kamar tersendiri.

Saking kejut dan kegirangan karena Gi-sin yang terluka dan dapat bicara, Soat-lo Thay-thay lupa diri, dia hajar Khong Ling-ling yang sebelumnya ini tidak pernah terjadi.

Maka terjadilah peristiwa yang telah dituturkan di atas. ooooo00000000oooooo

Thio Ceng Ceng mendengar cerita ini dengan terlongong dan kesima, tanpa merasa air mata meleleh di kedua pipinya, katanya sambil sesenggukan, “Lolo! Kalau begini apakah tindakanmu tidak terlalu kejam terhadap ayah….?”

Bertaut alis Soat-lo Thay-thay, agaknya hampir marah lagi, tapi ia urung mengumbar adat. Katanya sambil menghela napas, “Untuk urusan lain aku boleh memaafkan dia, cuma tidak pantas ia berlaku kejam terhadap Gi-sin, semalam menjadi suami istri seratus tahun akan selalu terkenang, ikatan batin suami istri laksana lautan dalamnya, mana boleh berlaku culas terhadap isteri sendiri.”

Thio Ceng Ceng terbungkam seribu bahasa, selang agak lama baru dia berkata pula, “Kejadian sudah berselang demikian lama, kau orang sudah tua, tiba saatnya memaafkan kesalahannya, mungkin karena terpaksa sehingga ayah bertindak begitu, kalau ular beracun mengigit pergelangan tangan, seluruh lengan harus cepat dipotong, kau sebagai orang yang memperdalam ilmu pengobatan, seharusnya lebih paham akan rasa penderitaan dan harus bertindak tegas meski terpaksa.” “Sudah tentu aku paham, kalau aku tidak mengerti hal ini, hari itu sudah kupukul mampus dia, masa dia bisa hidup sampai sekarang. Ai, sudahlah tiba saatnya kutanya kepada bocah itu ada sangkut paut apa dengan kau! Apa yang telah kalian alami?”

Thio Ceng Ceng menunduk jengah. Melihat kelakuan Thio Ceng Ceng yang malu-malu ini terbayang oleh Soat-lo Thay- thay pada waktu Thio Hun-cu menggandeng tangan Gi-sin menghadapnya dulu, waktu itu pun bersikap demikian. Kenangan lama kembali terbayang dalam kelopak matanya, hanya generasi mendatang yang akan mengulang kejadian pahit yang sudah berselang itu.

ooooo0000ooooo

Kembang mekar untuk rontok pula, setahun sudah berselang.

Satu-satunya jalan pegunungan untuk keluar dari Soat-sin- kok sudah tertutup salju, Soat-lo Thay-thay Lim Keng-hong menyatakan akan menemani putrinya yang sudah sembuh yaitu Soat Gi-sin menetap selamanya di dalam Soat-sin kok, selama hidup ini mereka tidak akan berkecimpung di dunia ramai.

Ilmu silat dan ilmu pengobatan yang dia miliki dengan tekun dan teliti ia ajarkan kepada Thio Ceng Ceng, tapi dengan satu syarat, yaitu harus membawa pulang batok kepala Khong Ling-ling.

Kepandaian Khong Ling-ling adalah buah didiknya, perbuatan Khong Ling-ling yang berani membokong guru sendiri secara durhaka ini, sudah gamblang, bahwa gadis itu berhawa culas dan kejam. Kalau manusia jahat seperti dia tetap hidup di dunia ini tentu akan membawa bencana bagi kehidupan manusia.

Tiada alasan bagi Hwi-thian-ya-ce Peng Kiok-jin untuk tetap tinggal di atas gunung, terpaksa ia ikut turun gunung berkecimpung pula di kalangan Kangouw. Sungguh haru dan rawan pula hatinya, dalam sanubarinya masih menyimpan rahasia, rahasia hubungan dirinya dengan Bing-tho-ling-cu Tokko Bing, sudah berulang kali ia menyirap asal usul kematian Tokko Bing kepada Koan San-gwat, tapi jawaban Koan San-gwat sukar dipercaya.

Agaknya mengemban perasaan berat juga. Dua kali ia muncul kedua-duanya menggetarkan dunia persilatan, padahal ia hanya muncul seperti bintang di langit yang kelap kelip.

Di kala menatap mata Thio Ceng-Ceng yang cemerlang dan lembut itulah baru rona wajahnya mengunjuk tawa yang lebar, itulah tawa persahabatan, tawa yang mengandung rasa terima kasih, haru dan mesra.

Sudah dua kali ia hampir menemui ajal tapi dua kali ditolong oleh Thio Ceng-Ceng, adalah jamak kalau dia sangat berterima kasih dan merasa berhutang budi pula.

Hidupnya memang sebatangkara, tiada kakak tiada adik, hanya Thio Ceng Ceng saja sahabat terdekat, maka timbullah dua perasaan bertentangan di dalam sanubarinya. Pemuda ini bersikap dingin, tiada perasaan mesra terhadap hubungan muda-mudi, kalau hanya hubungan kental antar persaudaraan, dapatkah memuaskan nurani Thio Ceng Ceng?

Persoalan ini sulit dijawab. Sikap Thio Ceng Ceng terhadap Koan San-gwat tetap mesra, lincah, jenaka, penuh gairah dan cinta kasih pula, senang sama diresapi, duka sama dirasakan. Cuma dalam batin ia mencurahkan perasaan hatinya, belum pernah secara lahiriah memohon sesuatu kepadanya! Mungkin dia bersikap menunggu, menunggu rona wajah yang kaku dan dingin itu suatu ketika akan cerah dan penuh semangat.

Begitulah, dari barat mereka menuju ke timur langsung memasuki Tionggoan, selama perjalanan itu sedikitpun tidak menarik perhatian kaum persilatan. Maklum Hwi-thian-ya-ce sudah lama menyembunyikan diri, kaum persilatan sudah lama melupakan dia. Thio Ceng Ceng hanya seorang gadis yang kelihatan hijau, hanya Koan San- gwat pernah menggemparkan Bulim setahun yang lalu, apakah kaum persilatan sudah lama melupakan dia juga? Kiranya tidak mungkin atau mungkin kaum persilatan mengira dia sudah mati.

Dalam rumah makan pada sebuah perkampungan, agar mendengar percakapan kaum perdagangan atau para Busu dari perusahaan Piawkiok, sungguh tidak nyana bahwa setahun ini kehidupan di kalangan Kangouw ternyata tenteram sentosa.

Sejak Khong Bun thong mati, Khong Bun-ki pun mati menghilangkan, mengundurkan diri percaturan dunia persilatan, agaknya Khong Ling Ling pun belum pernah pulang ke kampung halamannya, kalau tidak masa sedikitpun tidak terdengar kabar beritanya.

Hari ini mereka tiba di luar kota Ciu-coan. Sebagai kota penting yang menjadi pusat perdagangan antar kota utara dan selatan, kota ini lebih ramai, tempat singgah bagi para pedagang dan kelana Kangouw.

Koan San-gwat bertiga duduk di barak ujung utara, mereka makan gulai dan sate kambing, gegares hidangan mereka pasang kuping dan diam-diam memperhatikan gerak-gerik para tamu yang hilir mudik di sekitarnya, jelas tentang situasi kalangan Kangouw selama setahun belakangan ini.

Tapi mereka agak kecewa, karena orang-orang yang singgah di sini dari kaum persilatan tingkat rendah melul. Kata-katanya kasar, suka jual lagak lagi.

Syukur sejak kecil Thio Ceng Ceng sudah biasa bercampur baur dengan para gembala di padang pasir, sehingga ia tidak merasa rikuh akan kelakuan kasar dan perkataan kotor itu. Demikian juga usia Peng-toanio sudah cukup lanjut, tidak jadi soal mendengar ucapan yang menusuk perasaan orang lain.

Koan San-gwat risi dan kikuk merasa dongkol pula, tapi orang bebas bersenda gurau atau mengumpat caci orang lain tanpa menyinggung dirinya.

Di saat ia merasa sebal dan tidak sabar lagi, dari arah timur didengarnya derap langkah kuda ramai, puluhan laki-laki yang datang itu berlumuran darah, ternyata kuping kiri mereka terpotong hilang diiris orang.

Kedatangan puluhan laki-laki yang ini membuat orang- orang barak itu kesima, hening sesaat lamanya. Mereka mengawasi para laki-laki yang kehilangan sebelah kupingnya itu.

Seorang laki-laki yang kelihatannya pemimpin mereka berteriak, “Tiam-keh! lekas bawa air panas kemari, suruh pelayanmu memanggil tabib kemari!”

Tersipu-sipu pemilik warung makan membawakan beberapa baskom air panas serta berkata tersendat-sendat, “ Tuan-tuan apakah yang terjadi, di daerah sini tiada tabib yang pintar, terpaksa harus panggil dari kota!”

Laki-laki itu uring-uringan, bentaknya, “Sewa kereta dan panggil dia kemari, kalau kita bisa masuk kota memangnya kita sudi berhenti di sini, keadaan kita seperti ini masuk kota hanya menjatuhkan pamor Siang-ing Piaukiok saja.”

Keadaan menjadi ramai oleh suara heran dan bisik-bisik, agaknya nama Siang-ing Piaukiok cukup tenar, bahwa kuping mereka teriris semua adalah jamak kalau membuat orang lain heran. Namun siapa yang berani bertanya kepada mereka?

Tergerak hati Koan San-gwat, segera ulurkan tangannya ke arah Peng-toanio, maksudnya minta buntalan obat luka-luka yang mereka bawa dari Kun-lun-san, jumlahnya tidak banyak, sebetulnya mereka membekal obat untuk keperluan sendiri, maka Peng-toanio ragu-ragu untuk memberinya.

Tapi tanpa pikir segera Thii Ceng Ceng membuka buntalan itu dan mengangsurkan obat yang diminta, terpaksa Peng- toanio diam saja.

Begitu menerima obat itu, bergegas Koan San-gwat berdiri terus mendekati laki-laki itu serta bersoja, katanya, “Saudara ini, aku yang rendah kebetulan membawa obat luka mujarab dari peninggalan leluhurku, kalau saudara sudi mari silahkan pakai saja obat ini….”

Melihat orang berpakaian pelajar, sudah tentu laki-laki itu tidak mengenal bahwa yang dihadapi adalah Bing-tho-ling-cu yang kenamaan itu, maka sikapnya rada dingin dan menyangsikan kasiar obatnya itu, namun orang membantu dengan tulus tidak enak menampik kebaikan orang, maka ia berkata, “Terima kasih, Siangkong!”

Segera Koan San-gwat membuka buntalan obatnya lalu mengobati luka-luka di kupingnya, kasiat obatnya ternyata luar biasa, kontan laki-laki itu merasa luka-lukanya tidak sakit dan terasa nyaman, malah darahpun berhenti mengalir, tanpa terasa mulutnya menyeringai lebar mengalir dan memuji, “Obat Siangkong sunggub mujarab, masih ada beberapa saudaraku yang terluka, harap Siangkong suka memberi pertolongan juga pada mereka, nanti akan kami beri imbalan yang cukup berarti.”

Koan San-gwat tersenyum lebar, katanya, empat penjuru lautan adalah saudara, kenapa saudara berlaku sungkan!!” satu persatu ia bubuhi obat pada luka-luka mereka. Melihat tindak tanduk Koan San-gwat yang gagah dan berwajah cakap lagi keruan pemimpin itu segera mengunjuk hormat serta berkata, “Harap tanya nama besar Singkong yang mulia, Supaya kelak kita bisa membalas kebaikan ini. Aku She Sun bernama Cit, gelaranku Hek-ing (elang hitam), sebagai pimpinan Siang-ing piaukiok. Jalan-jalan raya antara Kam-siok menuju ke Siamsay bila Siangkong punya keperluan silahkan sebut namaku, tentu para kawan Bulim banyak yang suka memberi bantuan.”

Koan San-gwat tersenyum, sahutnya, “Saudara Sun Cit kenamaan di daerah Siam-say dan Kam-siok, sungguh beruntung aku yang rendah bisa berkenalan ….”

Sun Cit tertawa getir, katanya, “Ah, Siang kong menggoda saja, karena kehilangan kuping kiri ini, kebesaran Hek-ing boleh dikata sudah runtuh sama sekali ….”

“Apakah yang telah terjadi?”

“Kalau dibicarakan memang memalukan, sudah dua puluh tahun Siang-ing piaukiok mondar mandir di jalan raya ini, belum pernah gagal, namun hari ini kita terjungkal secara total. Kereta barang dirampas, dua orang piau-thau tertabas kutung kepalanya, empat orang kami dibuntungi sebelah kupingnya, kalau diceritakan sulit dipercaya, pihak lawan hanya seorang saja, dia menunggang unta, tapi dengan mudah ia gondol kereta yang memuat dua laksa tail perak.”

Berubah air   muka   Koan   San-gwat,   serunya,   “Apa?

Perampok itu menunggang unta? Unta macam apa?”

Sun Cit mendengus, sahutnya, “Binatang seperti itu memang jarang terlihat, seluruh tubuhnya berbulu mulus tanpa terlibat rambutnya yang berwarna lain, tapi berat uang perak sebanyak dua laksa tail itu, namun ia dapat membawanya lari bagai terbang.”

“Jadi unta sakti itu….” teriak Koan San-gwat tak tertahan.

Sun Cit melirik sekali, tanyanya, “Unta sakti yang mana maksud Siangkong?”

“Aku pernah dengar unta yang ditunggangi Bing-tho-ling-cu adalah seekor unta sakti dan pintar sekali….” “Salah!” tukas Sun Cit, “Unta Bing-tho-ling-cu berbulu putih, tapi tunggangan Hwi-lo-tho (Unta terbang) itu adalah seekor unta hitam, tapi kekuatan larinya agaknya masih kalah dibanding dengan Bing-tho!”

“O, sungguh tidak nyana di atas dunia ini, masih ada unta lain yang dapat menandingi unta sakti berbulu putih itu.”

Sun Cit mengunjuk rasa curiga, ia merasa ucapan Koan San-gwat seperti kelepasan omong, tapi Koan San-gwat segera memperbaiki sikapnya, ujarnya, “Aku pernah dengar, katanya unta sakti milik Bing-tho-ling-cu itu adalah seekor binatang cerdik pandai berbulu putih mulus, sungguh tidak kita masih ada unta hitam yang setanding dengan dia…. Sun- heng tadi mengatakan orang itu bergelar Hwi-lo-tho?”

“Begitulah! Kecuali ketiga huruf itu, keparat itu tidak pernah mengeluarkan sepatah kata juga.”

“Orang macam apakah dia.?”

Tidak tahu. Seluruh badan orang itu di kerudung pakaian hitam, gerak geriknya laksana angin, ilmu silatnya tinggi, sekali turun tangan ia bunuh dua pembantuku, tahu-tahu kita merasa angin berkesiur ternyata kuping kirinya sudah putus dari tempatnya dengan mendelong terpaksa kami awasi saja dia menggondol pergi barang kawalan kita ke atas untanya terus menghilang, dia laki atau perempuan kitapun tidak tahu!”

“Bagaimana perawakannya? Tinggi, rendah, gemuk atau kurus tentunya bisa diketahui bukan?”

“Tidak tinggi juga tidak rendah, sedang, saja, tidak gemuk dau tidak kurus tiada sesuatu yang menarik perhatian kita!”

Berubah air muka Koan San-gwat katanya, “Dua laksa tail perak bukan jumlah kecil, bagaimana saudara memberi pertanggungan jawab?” Sun Cit menghela napas, katanya, “Kehilangan harta masih mampu diganti, jiwa beberapa kawan itu yang mati penasaran, bukan saja nama baik perusahaan kami jatuh, nama besar Ciong-lam-pay pun ikut tersapu bersih!”

“Ada hubungan apa antara Siang-ing Piaukiok dengan Ciong-lam-pay?”

“Majikan kami Doh-he-siang-ing adalah murid Ciong-lam- pay.”

Koan San-gwat manggut-manggut, katanya, “Orang yang menamakan dirinya unta terbang itu mungkin bukan sembarangan begal atau rampok picisan di kalangan Kangouw. Atau mungkin memang sengaja hendak mencari perkara terhadap Ciangbunjin.”

“Akupun berpikir demikian. Eh, Siangkong seperti orang sekolah, tapi agaknya cukup tahu seluk beluk dunia persilatan!”

Koan San-gwat hanya tertawa tanpa menjawab pertanyaan ini tanyanya mengalihkan pembicaraan. “Kejadian ini kedengarannya sangat ganjil dan sulit dipercaya, setelah Saudara Sun bertemu dengan majikan, mungkin kaupun sulit memberi penjelasan kepadanya!”

Sun Cit cemberut, ujarnya, “Ya, unta terbang itu memang meninggalkan tanda mata tapi dengan bukti-bukti yang ringan ini, sulit memberi uraian, tetapi betapa pun dua jiwa dan empat belas kuping menjadi kenyataan, tidak percayapun majikan harus menerima kenyataan ini.”

Koan San-gwat yang tertarik, tanyanya, “Jadi orang itu masih meninggalkan bukti lain, apakah saudara Sun bisa memperlihatkan kepadaku?”

Sun Cit rada sangsi sebentar, tapi karena rikuh akhirnya ia mengeluarkan sekeping tembaga sebesar telapak tangan. Di atas tembaga tipis itu terukir seekor unta hitam yang bersayap, di bawah ada tertulis “Hwi-tho-ling” (lencana unta terbang). Dan di baliknya ada tertulis pula hurup yang berbunyi, “Unta terbang tiba orangnya datang, Lencana terbang jiwapun melayang.”

Tanpa merasa ragu wajah Koan San-gwat menunjukkan amarah hatinya, jari-jarinya lantas meremas, sontak tembaga itu diremas hancur menjadi bubuk dan berhamburan dari sela- sela jarinya.

Mencelos hati Sun Cit, sesaat ia kesima dan mematung tidak tahu apa yang harus dia perbuat.

Pertama ia tidak menduga pemuda pelajar yang lemah lembut ini memiliki tenaga besar, kedua tembaga itu diremas hancur lalu bagaimana ia harus memberi pertanggungan jawab bila kembali nanti.

Dengan suara berat berkatalah Koan San-gwat, “Dalam tiga hari, kutanggung barang-barangmu yang hilang akan kuminta kembali!”

“Siangkong. kau….” Sun Cit tergagap tak kuasa mencetuskan kata-katanya.

“Sehari aku masih hidup, tidak kubiarkan orang lain berani menggunakan unta sebagai lambang kebesarannya!”

Sun Cit adalah kawakan Kangouw, melihat tindak tanduk orang, dalam hati ia sudah meraba-raba cuma ia tidak berani mengutarakan.

Terangkat alis Koan San-gwat, katanya dengan bengis, “Jadi kau tidak percaya aku dapat merampas kembali barang- barangmu itu?”

“Cayhe tidak punya pikiran begini, cuma dapatkah kami tahu nama Siangkong yang mulia….supaya Cayhe dapat memberi pertanggungan jawab!” Dengan sikap tawar Koan San-gwat merogoh keluar sekeping tembaga diserahkan, katanya, “Cukup kau serahkan milikku ini kepadanya!”

Begitu Sun Cit menerima tembaga dan melihat gambarnya, seketika tangannya gemetar. Karena dia kenal bahwa lencana tembaga itu adalah Bing-Tho-ling-cu yang sangat tenar di seluruh kolong langit, tanpa ditanya ia sudah tahu bahwa pemuda di hadapannya ini adalah Bing-Tho-ling-cu.

Melihat orang takut dan keheranan, Koan San-gwat tertawa geli, katanya, “Boleh kau beritahu majikanmu, bahwa Koan San-gwat masih belum mati.”

Kini Sun cit sangat hormat dan merendah sahutnya sambil berdiri tegak meluruskan ke dua tangan, “Baiklah, Ling-cu!”

Suasana dalam dan luar warung makan itu menjadi hening, semua orang memandang heran kagum kepada pemuda yang lemah lembut ini.

Memang mereka belum pernah melihat atau berjumpa dengan tokoh yang hebat ini, tapi nama kebesaran Bing tho ling-cu laksana geledek berkumandang di kuping mereka.

Mereka sudah sering mendengar berbagai kisah kepahlawanan pemuda ini.

Siapa akan nyana tokoh yang diagungkan seperti dalam dongeng itu kini berdiri di hadapan mereka.

Sikap Koan San-gwat tetap lemah lembut katanya, “Di tempat mana terjadinya peristiwa itu?’

“Dua puluh li di depan sana daerah tandus yang dinamakan Eng-ciu-kang!”

“Gelarmu Hek-ing, setiba di Eng-ciu-kang (bukit elang murung), seolah-olah memang sudah ditakdirkan kau bakal terjungkal di sana!” “Ling-cu menggoda saja, harap tanya malam ini Ling-cu menetap dimana? Sebentar Siau-jin akan mengutus orang untuk memberi laporan, sementara Siau-jin akan memberi penjelasan kepada Ling-cu.”

“Tidak usahlah! Aku belum mendapat tempat tetap!” “Silahkan Ling-cu singgah di penginapan Kip-ing di dalam

kota, pemilik penginapan yang bernama Lau sam-thay juga seorang persilatan, berhubungan sangat akrab dengan majikan kami, tentu beliaupun sangat senang kedatangan Ling-cu.”

“Begitupun baik,” ujar Koan San-gwat sesudah berpikir sebentar, “Sebetulnya tiada keinginanku untuk mendapat pelayanan, justru diapun seorang persilatan, seandainya di dalam penginapannya nanti terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, tidak nanti menimbulkan keributan yang berarti. Menurut dugaanku unta terbang itu pasti akan mencari perkara kepadaku nanti.”

Mendapat persetujuan Koan San-gwat, kelihatannya Sun Cit sangat gembira, tersipu-sipu ia mengutus bawahannya memberitahukan kepada Lau Sam-thay lalu menyiapkan tiga ekor kuda untuk Koan San-gwat. Di waktu naik ke atas kuda sambil tersenyum lebar Peng-toanio berkata kepada Koan San-gwat, “Sepak terjangmu jauh berlainan dengan gurumu. Gurumu selalu secara mendadak dan tidak terduga-duga laksana ular naga yang kelihatan buntutnya tidak kelihatan kepalanya, jarang bergaul dengan khalayak ramai. Orang— orang rendah macam kita ini jangan harap berkenalan dengan beliau!”

“Pandangan guruku memang teramat tinggi sepak terjangnya, juga misterius, sehingga menimbulkan salah paham para sahabat Kang-ouw. Beliaupun merasa sangat menyesal akan kejadian ini, berulang-ulang beliau berpesan kepadaku untuk merubah tindak tanduknya dulu, lebih banyak bergaul dengan para sahabat Kangouw.” Peng-toanio tertawa, katanya, “Mencari sahabat harus cari orang-orang yang bernilai. Orang macam apa elang hitam Sun Cit, Cit-sing-to Lau Sam-thay itu? Bila kau keluarkan maklumat, para Ciangbunjin berbagai aliran pasti datang ingin berkenalan dengan kau….”

Koan San-gwat geleng kepala, “Aku lebih suka bergaul dengan orang-orang rendah macam mereka ini, hanya orangorang seper-ti seperti mereka mau bersahabat secara tulus dan bakti, mereka tidak akan berani main tipu daya atau mengatur jebakan mencelakai diriku, paling dalam saat-saat yang diperlukan, mereka tentu dapat dikerahkan untuk melaksanakan tugas-tugas tanpa pamrih, sekarang yang belum kumiliki adalah para sahabat seperti mereka ini!”

Peng-toanio melongo dan tertegun, agak lama kemudian baru ia berkata, “Belum pernah aku berpikir begitu, agaknya kau lebih bajik dari gurumu.”

Tergerak hati Koan San-gwat, tanyanya, “Toanio, hubungan dengan guruku apakah anda sangat intim?”

“Intim sih tidak, cuma pernah bertemu beberapa kali!”

Melihat air muka orang waktu bicara seperti tertekan perasaannya, diam-diam tergerak sanubarinya Koan San-gwat, tapi segera ia menyangkal pula akan rabaan hatinya, karena gurunya adalah seorang sebatangkara, hidupnya selalu dalam suasana hening dan sepi, tidak mungkin ia terikat dalam persoalan asmara.

Waktu mereka tiba di ambang pintu kota, Lau Sam-thay sudah menunggu jauh-jauh sudah menjura, serunya, “Cayhe tidak tahu kedatangan Ling-cu, harap dimaafkan sambutan yang terlambat ini. Hari ini, betapa besar hati kami mendapat kunjungan Ling-cu ke penginapan kami, sehingga menambah ramai dan semarak….”

“Lau-heng!” ujar Koan San-gwat tertawa sambil membalas hormat, “meski kita baru pertama kali ini bertemu tapi Lau- heng berderma bakti kepada sesamanya sudah lama aku dengar, sebagai orang persilatan, tidak perlu banyak adat istiadat, apalagi kedatangan kami ini bakal membikin repot kau saja.”

Melihat sikap Koan San-gwat terbuka dan supel lagi, Lau Sam-thay menjadi getol, ingin rasanya ia mengorek jantung sendiri untuk membalas kebaikan orang, dengan seri tawa cepat-cepat ia berkata, “Ling-cu terlalu menjunjung kami! Jangan kata nama besar Ling-cu sudah menggetarkan empat lautan, aku yang rendah masa ada harganya berkenalan, pula persoalan sahabatku ini, seumpama harus mengorbankan harta benda juga tidak jadi soal. Ling-cu mari silahkan!”.

Begitulah Lau Sam-thay menjadi petunjuk jalan, tak lama kemudian mereka sudah tiba di depan penginapan Kip-ing, Karena Cit-sing-to Lau Sam-thay merupakan tokoh yang mempunyai nama dan kedudukan di daerah Liang-cu, maka banyak orang-orang yang datang berkerumun di sepanjang jalan menyambut kedatangan mereka.

Koan San-gwat bertiga turun dari atas kuda terus dipersilahkan masuk, dilihatnya banyak tamu sedang berbenah barang-barangnya siap meninggalkan penginapan itu. Koan San-gwat melengak, tanyanya, “Lau-Leng! Kenapakah mereka itu?”

“Ling-cu adalah tamu agung yang sulit datang kemari, asal Ling-cu sudi menginap semalam saja di penginapan kami ini, maka penginapan kami tidak akan memberi pelayanan kepada tamu-tamu yang lain! Sebagai tanda hormat kami kepada Ling-cu!”

Koan San-gwat rikuh, katanya, “Kedatanganku ini sudah cukup merepotkan, mana boleh mengganggu orang lain dan merugikan usaha Lau-heng?”

“Hidup kami tidak tergantung oleh penginapan ini saja, tempat ini hanya untuk mencari persahahatan dengan kaum persilatan, banyak di antara mereka tidak kutarik ongkos. Bukankah Ling-cu malam ini hendak menghadapi unta terbang itu disini, dari pada konyol lebih baik mereka disingkirkan saja. Soalnya si unta terbang ini baru pertama kali terjun ke dunia persilatan, tapi sepak terjangnya terhadap Siang-ing piaukiok dapatlah dibuktikan bahwa adalah seorang yang culas dan kejam, kalau mereka tinggal disini bukankah menambah kesulitan saja!?”

Karena alasan yang cukup, Koan San-gwat tidak enak banyak bicara lagi.

Di samping menyiapkan hidangan, Lau Sam-thay menyediakan tiga kamar mewah untuk mereka istirahat. Untuk perjamuan Lau Sam-thay menyiapkan tiga meja. Lau Sam- thay sendiri yang melayani dan menyiapkan semua perjamuan itu. Tidak ketingggalan Peng-toanio dan Thio Ceng Ceng hadir makan minum itu.

Selama itu Lau Sam-thay belum tahu asal usul dan kedudukan Peng-toanio dan Thio Ceng Ceng, belum lagi ia sempat bertanya, tiba-tiba Koan San-gwat menjengek dingin, dengan muka masam, serunya lantang ke arah jendela, “Kawan di luar itu, silahkan masuk untuk bicara, kenapa berdiri di luar mencuri dengar pembicaraan orang?”

Terdengar tawa dingin di luar jendela, ke depan daun jendela tiba-tiba menjeplak, sesosok bayangan orang hitam berkerudung melompat masuk, kontan Sun Cit menjerit keras, “Unta terbang….”

Mendengar pendatang ini adalah unta terbang, sikap Koan San-gwat berubah tenang dan dingin, katanya tawar, “Sudah kuduga kau pasti datang, cuma tidak kusangka datangmu sedemikian cepat.”

Suara orang berkedok sangat menghina, katanya, “Koan San-gwat! Sebetulnya beberapa hari lagi baru aku akan mencari kau tapi dari kau berani menghancurkan Unta terbang….”

Koan San-gwat menukasnya dengan suara bengis, “Selama Bing Tho Ling Cu masih hidup, siapapun kularang menggunakan lambang unta sebagai lambang kebesarannya.”

Orang berkedok tertawa dingin, katanya, “Kentut! Justru aku tidak senang melihat Bing tho-ling cu yang sok menang di Kang-ouw maka sengaja kupilih unta sebagai lembang kebesaranku, apakah kau masih ingat peringatan yang kuukir di atas lencanaku? Unta tiba orangnya datang, lencana terbang jiwapun melayang.”

Koan San-gwat berteriak menambah gusarnya, “Baik! ingin aku melihat buktinya, berani kau bicara besar dan pongah!”

“Nanti dulu! Aku ingin berunding dengan kau, tapi lambang kebesaran Bing-tho-ling-cu, yaitu Tok-kak-cinjin (patung emas kaki-tunggal) serta unta putihmu sekarang tidak kau bawa, kalau aku dapat mengalahkan kau rasanya kurang dapat dibanggakan!”

Koan San-gwat berpikir sejenak lalu berkata, “Patung emas dan unta putih ditinggalkan di suatu tempat, untuk membawanya kemari pulang pergi memerlukan dua tiga hari lamanya….”

“Tidak perlu!” tukas si orang berkedok sambil menggoyangkan tangan, “Aku tahu, kedua pusakamu berada di puncak Thian-san utara, maka sudah kuutus orangku untuk membawanya kemari. Satu bulan kemudian, kami bertemu di Thay-san-koan, unta lawan unta, manusia lawan manusia! Marilah kita berduel untuk memegang kebesaran nama masing-masing.”

Disamping melengak berkobar semangat Koan San-gwat, serunya, “Baiklah. Tapi persoalan dengan Siang-ing Piaukiok, aku berjanji dalam waktu tiga hari merampas balik barang- barang mereka sekarang kau memberi pertanggungan jawabmu.”

Orang berkedok bergelak tawa, ujarnya, “Sebetulnya aku punya sedikit perselisihan dengan anak murid Ciong-lam-pay, baiklah kupandang mukamu, sementara aku kesampingkan urusan ini, uang perak ini tetap dalam bentuk semula belum tersentuh, kini kutinggalkan di luar pekarangan. Anggaplah aku memberi muka dan kemurahan atas nama Bing-tho-ling.”

Setelah bicara badannya barkelebat menghilang, waktu Koan San-gwat memburu ke depan jendela, bayangannya sudah tidak kelihatan. Tampak di pekarangan sana menggeletak dua susun peti besar, di sebelahnya berdiri seorang pelayan membawa nampan sayur mayur yang masih mengepulkan asap, ternyata Hiat-tonya tertutuk hingga berdiri kaku.

Segera Koan San-gwat melompat keluar, sekali tepuk ia hendak bebaskan tutukan pelayan itu, kontan pelayan itu menjerit keras, bukan saja tidak bebas tutukannya malah orangnya roboh terkapar.

Peng-toanio ikut memburu keluar, melihat keadaan ini berubah air mukanya saat mana Koan San-gwat sudah berjongkok dan hendak meneruskan pertolongannya. Maka cepat ia mencegah, “Jangan! Itulah Cit-tok-jiu-hoat!”

Koan San-gwat melengak, tanyanya tidak mengerti, “Apakah Cit-tok-jiu-hoat ini?’

Peng-toanio tidak sempat memberi penjelasan, cepat ia menoleh ke arah Thio Ceng Ceng, katanya, “Nona! Peng-sip- coan-san buatan ayahmu masih ada?”

Dari dalam bajunya Thio Ceng Ceng mengeluarkan sebuah botol kecil menuang sebutir pil diserahkan kepadanya. Begitu menerima pil langsung Peng-toanio jejalkan ke mulut si pelayan, lalu ia ulur tangan mengurut dan menepuk ke arah yang berlawanan, tidak lama kemudian pelayan itu sudah mulai bergerak.

Baru sekarang Peng-toanio sempat menarik napas lega. Katanya kepada Lau Sam-thay, “Dia harus istirahat setengah bulan baru bisa sehat seperti sedia kala, dalam setengah bulan jangan ia diberi makan udang atau ikan laut dan makanan yang amis….”

Lau Sam-thay mengiakan sambil mengucapkan terima kasih, segera ia menyuruh pembantunya menggotong masuk pelayan itu. Lalu ia persilahkan Koan San-gwat bertiga meneruskan makan minum. Sementara Sun Cit sedang repot menghitung dan memeriksa barang-barangnya.

Setelah duduk Koan San-gwat bertanya, “Cit-tok-jiu-hoat itu sungguh amat lihay!”

“Kejadian ini merobah terkaanku semula,” ujar Peng-toanio tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan.

“Terkaan apa maksudmu?” tanya Koan San-gwat.

“Terkaan mengenai Unta terbang itu, semula kukira Unta terbang ini adalah ….”

“Khong Ling-ling maksudmu?” tanya Koan San-gwat. “Jadi kaupun memikir kesitu?”

“Tokoh-tokoh kosen dalam Bulim sekarang tidak terlalu banyak jumlahnya apalagi keji dan telengas, kecuali perempuan laknat itu kiranya tidak ada orang lain, tapi setelah melihat Unta terbang tadi dugaanku kuhapus sendiri. Unta terbang tentu orang lain, jelas-jelas ilmu silat orang ini teramat tinggi, mungkin jauh di atas kepandaian Khong Ling- ling sendiri.”

Peng-toanio manggut-manggut, katanya, “Benar! Orang ini bisa menggunakan Cit-tok- jiu-hoat, kalau dia benar anak murid orang itu, mungkin dia bakal menjadi musuhmu yang paling tangguh!”

“Toanio!” ujar Koan San-gwat dengan penuh curiga, “sebetulnya apakah yang kau maksud?”

Berubah air muka Peng-toanio, tanyanya dengan suara berubah, “Sekarang jawab pertanyaanku secara terus terang, sebetulnya Tokko Bing benar sudah meninggal?”

“Guru memang sudah ajal, kenapa Toanio ajukan pertanyaan ini?”

“Koancu! Terhadapmu boleh dikata aku membantu sekuat tenaga dengan seluruh jiwa ragaku, usiaku sudah lanjut, harus berkecimpung dengan kau di Bulim, kenapa kau tidak suka bicara terus terang kepadaku?”

“Toanio,” ujar Koan San-gwat dengan gelisah dan hampa, “Ucapanmu tidak berani aku menerimanya.”

Peng-toanio kelihatan gusar, “kalau Tokko Bing benar benar sudah ajal, Cit-tok-jiu hoat itu tidak mungkin muncul di kalangan Kangouw!”

Koan San-gwat rada sangsi sebentar lalu berkata perlahan- lahan, “Guruku memang belum meninggal, tapi keadaannya hampir sama dengan orang mati!”

“Apakah jadi ilmu silatnya sudah punah semua?” bergegas Peng-toanio bertanya.

“Bukan begitu! Tapi guruku tidak akan terjun kembali di dunia ramai. Di waktu beliau menyerahkan Bing-tho-ling-cu kepada aku, beliau ada berpesan, katanya beliau hendak menghadiri sebuah pertemuan, selanjutnya hendak mengasingkan diri, maka beliau baru memaklumkan berita kematiannya, malah beliau juga memperingatkan kepadaku supaya tidak membocorkan rahasia ini, jikalau tidak terdesak oleh ucapan Toanio tadi, aku….” “Kemana dia hendak menghadiri pertemuan itu?” tanya Peng-toanio lebih lanjut.

“Hal itu aku sendiri tidak tahu,” sahut Koan San-gwat sambil angkat pundak, “Segala apapun biasanya guru tidak pernah mengelabui aku, cuma soal pertemuan itulah sedikitpun aku tidak pernah mendengar kabar sebelumnya, pernah berulang kali aku mengajukan pertanyaan sedikitpun beliau tidak mau memberi keterangan kepadaku.”

Terunjuk mimik aneh yang selama ini belum pernah terlihat pada wajah Peng-toanio, tanyanya, “Kalau begitu tentu benar adanya! Anehnya Tokko Bing akan mendapatkan tempatnya menetap, aku harus memuji dan mengumpaknya, akhirnya dia dapat mengambil keputusan setelah mengalami gelombang badai dan tekanan batin selama sekian tahun lamanya….”

“Toanio,” ujar Koan San-gwat ketarik, tanyanya, “Apakah kau tahu kemana tujuan guruku itu?”

“Ya!” sahut Peng-toanio manggut-manggut. “Dalam dunia ini mungkin cuma aku seorang yang tahu di mana tempat tinggalnya.”

“Dimana?” kini giliran Koan San-gwat yang terharu dan gelisah.

Perasaan hampa terbayang pada sorot mata Peng-toanio, katanya. “Tidak bisa kukatakan, aku cuma tahu dia menghadiri pertemuan dengan siapa, dan salah sebuah tempat yang disebut Siau-se-thian. Tapi sudah sekian tahun aku kelana di Kang-ouw selamanya belum pernah kudengar dan tidak tahu dimana letak Siau-se-thian itu….”

Koan San-gwat rada kecewa, tapi dengan sabar ia bertanya, “Lalu dengan siapakah guruku mengadakan pertemuan? Dalam kejadian ini tentu ada latar belakang yang tersembunyi!” “Kalau Tokko Bing sendiri tak mau memberitahukan kepada kau, maka akupun tidak bisa menjelaskan kepadamu.”

Melihat air muka Koan San-gwat mengunjuk rasa kurang senang, sementara Thio Ceng Ceng juga hendak bicara, terpaksa ia menyambung sambil menghela napas, “Bukan aku sengaja jual mahal, soalnya dulu kita pernah melakukan sumpah yang sangat berat, seandainya aku mengorbankan jiwaku untuk menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya, tapi tidak berani aku pertanggungjawabkan akan akibatnya. Padahal Tokko Bing tidak kenal takut pada langit dan dumi, kenapa sampai sekian lamanya baru berani menghadiri pertemuan itu.”

Mendengar uraian ini Koan San-gwat semakin bingung, ucapan Peng-toanio tidak mengenai juntrungan yang diharapkan, malah satu sama lain kata-katanya rada kontras.

“Kongcu!” Peng-toanio menambahkan, “Baiklah kuberi bisikan kepada kau tentang jejak Tokko Bing ada hubungan erat dengan Unta terbang itu. Kalau dalam pertemuan yang akan datang kau dapat mengalahkan dia, urusan selanjutnya akan beres, tapi bila kau ingin menjumpai gurumu, lebih baik kau jangan sampai mengalahkan dia….”

“Kenapa bisa begitu?”

“Aku hanya bisa bicara demikian saja, kau boleh main terka sendiri.”

Koan San-gwat tahu bahwa Peng Kiok-jin tidak akan banyak bicara lagi, maka dari unta terbang itu. “Tapi aku harus mengalahkan dia atau harus kalah olehnya?” Sementara sorot mata Peng-toanio masih menatap dirinya, akhirnya berketetapan, katanya tegas, “Kalau benar ilmu silatku tidak becus, apa pula yang harus kukatakan, kalau tidak betapapun aku harus berdaya upaya dengan segala kemampuan dan kekuatanku demi menjaga kebesaran tradisi Bing-tho-ling-cu yang sangat disegani. Bing-tho-ling-cu memang pernah kalah oleh tipu daya yang licik tapi tidak boleh terkalahkan dalam pertandingan silat.”

Peng-toanio menarik napas katanya, “Begini keputusan Kongcu, apakah kau hendak menemui gurumu pula?”

“Tidak salah! Guru pandang Bing-tho-ling-cu lebih berharga dari jiwanya sendiri, beliau orang tua mengajarkan ilmu silat kepadaku, bukan karena aku harus menjadi muridnya adalah ingin supaya aku dapat meneruskan kebesaran Bing-tho-Ling- cu yang diagungkan. Maka aku harus meletakkan dasar persoalan ini di tempat yang utama, baru bolehlah aku mempertimbangkan persoalan yang lain!”

“Begitupun baik,” ujar Peng-toanio manggut-manggut, “Keputusanmu ini memang benar!”

Keputusan sudah diambil mereka jadi kehabisan bahan untuk meneruskan percakapan ini, maka Thio Ceng Ceng membuka suara sesaat kemudian, “Koan-toako, berapa jauh letak Tay-san-koan itu dari sini?”

“Tidak jauh, menunggang kuda cepat, kira-kira sepuluh hari bisa sampai.”

“Unta terbang menjanjikan satu bulan yang akan datang, jangka waktu masih panjang,apa yang harus kita lakukan?”

Berkerut alis Koan San-gwat, sahutnya, “Ya, benar-benar serba runyam, sebetulnya aku hendak menyelidiki keadaan Loh-hun-kok, tapi waktu tidak keburu….”

“Ling-cu tidak usah kesana,” segera Lau Sam-thay bicara, “Loh-hun-kok sudah kosong melompong tanpa dihuni seorangpun juga. Sejak Khong Bun-thong mampus, Khong Bun-ki pun menghilang, berita itu kudengar dari para sahabat Kangouw yang memberi tahu kepadaku, kuduga hal ini tidak usah disangsikan!” Koan San-gwat manggut-manggut. Thio Ceng Ceng bertanya lagi, “Lau-toako, apa kau pernah dengar berita tentang ayahku, dia bernama Thio Hun-cu….”

Lau Sam-thay segera mengunjuk rasa kejut dan gugup, katanya, “Kiranya ayah nona adalah Thio tayhiap, sungguh aku berlaku kurang hormat…. sejak muncul sekali di Loh-hun- kok, sampai sekarang belum pernah muncul lagi, banyak orang sedang mencari beliau.”

“Siapa saja yang mencari beliau? Untuk apa mereka mencari ayahku?”

Lau Sam-thay garuk-garuk kepala, sahutnya, “Mereka adalah murid-murid dari berbagai aliran dan golongan besar, sedemikian besar tenaga yang mereka kerahkan untuk menemukan naga-naganya ada sesuatu urusan penting untuk segera diselesaikan, cuma duduk perkaranya aku tidak jelas, apakah nona sendiri tidak berada bersama ayahmu?”

Thio Ceng Ceng geleng-geleng kepala, katanya sambil mengerut kening, “Rasanya mereka belum pernah ada hubungan dengan ayahku, kecuali mereka terkena racun berbisa, mau minta tolong hasilican ayahku.”

Lau Sam-thay manggut-manggut, ujarnya, “Ya, mungkin demikian, apakah nona dapat memperkirakan dimana sekarang ayahmu berada?”

“Tidak tahu! Rumah tinggal kita di puncak utara Thian-san, beliau mungkin menetap disana, kalau tidak senjata Koan- toako berada disana kalau tidak mana bisa suruhan Unta terbang mengambilnya….”

Mendadak Koan San-gwat menimbrung, “Lau-heng, apakah kau tahu beberapa kelompok orang yang sedang mencari paman Thio apakah rombongan yang berada paling dekat dengan tempat ini?” Lau Sam-thay berpikir sejenak lalu menjawab, “Yang terakhir adalah Bu-khek-kiam-pay dari Im-san, putri Ciangbunjin Im Siok kun yang bernama Im Tiang-hoa bulan yang lewat di tempat ini dan menetap di penginapan ini, dia pernah mencari tahu jejak Thio-tayhiap, lima hari yang lalu dia datang pula, mungkin tidak membawa hasil apa-apa.”

Koan San-gwat tertawa senang, katanya, “Kalau begitu kita tidak usah nganggur, kebetulan kita bisa menyelidiki persoalan ini!”

Thio Ceng Ceng pun ingin tahu untuk keperluan apa beberapa rombongan orang itu hendak mencari ayahnya, segera ia mendukung niatnya, apa boleh buat terpaksa Peng- toanio menurut saja. Lau Sam-thay bersemangat dan kegirangan, perjamuan segera dilanjutkan lebih meriah sampai tengah malam baru mereka masuk kamar untuk istirahat.

Hari kedua pagi-pagi benar Lau Sam-thay sudah menyiapkan empat ekor kuda, segera ia persilahkan mereka berangkat, melihat kuda yang dipersiapkan itu segera Koan San-gwat berkata sambil tertawa lebar, “Agaknya Lau-heng ingin ikut mencari keributan juga?”

Lau Sam-thay rikuh sahutnya menyengir, “Hobbyku memang suka menyelidiki urusan Bulim, aku buka penginapan dengan mengorbankan ongkos makan minum dan memberi gratis, tujuannya adalah mengorek keterangan orang-orang Kangouw itu, kapan dapat kesempatan sebaik ini, untuk meluaskan pengalaman harap Ling-cu sudi mengijinkan aku ikut serta.”

“Lau-heng sangat apal segala kejadian di Kangouw, tidak enak aku menolak maksud baikmu ini, kelak bila aku ingin mendirikan partai atau perguruan, orang-orang macam Lau- heng justru tenaga yang kubutuhkan!”

“Kalau Ling-cu punya cita-cita seluhur ini, meski badan hancurpun aku akan mengabdi dengan suka rela.” Begitulah sambil bercakap-cakap mereka berangkat, sebagai orang setempat yang apal jalanan Lau Sam-thay menjadi penunjuk jalan. Dari Lian-cu ke Im-san dengan kecepatan lari kuda membutuhkan tempo dua hari, mereka sudah menempuh perjalanan satu hari, Lau Sam-thay mencari penginapan untuk bermalam, nama Cit-sing-to memang cukup tenar di bilangan situ maka mereka memdapat pelayanan yang luar biasa.

Belum lama mereka istirahat, tampak Lau Sam-thay menggandeng Sun-cit masuk, mukanya pucat badan lemah lunglai, begitu melihat Koan San-gwat, Sun Cit lantas berlutut menangis gerung-gerung, katanya, “Ling-cu, harap kau suka membalas dendam kedua majikanku.”

Kata-kata yang tiada juntrungan ini benar-benar membuat Koan San -gwat melengak heran, tanyanya, “Sun Cit apa yang telah terjadi? Bagaimana dengan majikan kalian?”

Sambil menangis Sun cit mengangsurkan sebuah bungkusan, waktu Koan San-gwat membukanya, isinya ternyata dua keping lencana tembaga Unta terbang, lencana unta terbang itu berlepotan darah. Dengan heran, ia bertanya, “Apakah Loh-he-siang ing mengalami bencana?”

“Benar, kedua majikan dibunuh oleh Unta Terbang di Bu- wi-kun, mereka dibunuh dengan kedua lencana tembaga ini….”

“Di Bu-wi-kun!” ujar Koan San-gwat mengerut alis, “mana mungkin, mereka kan berada di Lokyang. orang yang kau urus memberi kabar meski tumbuh sayap belum tentu dapat terbang sejauh itu, cara bagaimana mereka bisa berada di Bu- wi-kun?”

Sambil sesenggukan Sun Cit menjelaskan, “Dua hari kemudian setelah rombongan kami berangkat. majikan lantas mendapat kiriman surat yang dilepas dengan golok terbang, surat itu memberitahukan bahwa mereka hendak merampas barang kawalan kami karena kuatir kedua majikan cepat-cepat menyusul datang, tak duga sampai di Bu-wi-kun mereka terbunuh orang, utusanku kebetulan dapat mengurusi jenasah beliau. Ling-cu harap kau bantu membalas dendam majikan!”

“Urusan balas dendam semestinya aku tidak bisa menolak, tapi mereka adalah murid Ciong-lam-pay, menurut aturan Bulim, jamak kalau Ciangbunjin kalian Lu Bu-wi yang membereskan kejadian ini.”

Sun Cit meratap katanya, “Sebelum mati majikan ada berkata…. ilmu silat pembunuh itu sangat tinggi, belum tentu Lu-ciangbun kuat melawannya, hanya Ling-cu saja yang ada harapan….apalagi secara tidak langsung majikan menjadi korban karena kau juga….”

“Apa maksudmu?” tanya Koan San-gwat mengerut alis. “Pembunuh itu…. waktu Unta terbang membunuh majikan,

dia pernah berkata, bahwa lencana Unta terbang tidak boleh pulang dengan tangan hampa, kau menuntut kembali barang rampasan itu, karena dia sudah memberi muka kepada kau, maka dia harus menebusnya pula dengan jiwa majikan kami.”

“Jahanam, orang keparat macam apa sebenarnya Unta terbang itu, tidak berani mencari perkara dengan aku, tapi melakukan kejahatan yang hina dan memalukan….”

Peng-toanio tersenyum, katanya, “Bukan lagi di Tay-san- koan nanti, aku bersumpah untuk menghancur-leburkan orang laknat ini.”

“Kukira tidak semudah seperti ucapanmu,” olok Peng-toanio tertawa.

Koan San-gwat meliriknya cepat Peng-toanio menambahkan, “Ucapanku mendorong kau untuk berlaku lebih waspada kalau Unta Terbang sudah berani menantang kau secara terang-terangan, tentu dia punya persiapan yang dapat diandalkan, tidak berani aku mengatakan Kongcu bakal kalah, tapi untuk menang, kukira bukan soal yang sepele!”

Koan San-gwat termenung sejenak lalu berkata kepada Sun Cit, “Kau boleh istirahat! Sebulan lagi aku akan bekerja sekuat kemampuanku, supaya Loh-he-siang-ing meram di alam baka!”

Berulang-ulang Sun Cit menyembah mengucapkan terima kasih, lalu mengundurkan diri dengan hati lega.

Adalah Lau Sam-thay jadi kebingungan, katanya, “Ling-cu, apakah kita melanjutkan ke Im-san?”

Koan San-gwat melotot sahutnya, “Sudah tentu ke sana. ini kan dua persoalan yang berlainan.”

Maka dengan tergagap Lau Sam-thay memberi tahu, “Tidak aku mendapat sebuah berita, katanya Im Siok-kun sudah mengumpulkan seluruh jago-jago kelas tinggi, seperti menghadapi musuh besar berbondong-bondong mereka turun gunung, malah kelihatannya menyongsong kedatangan kita….”

“Apa tujuan mereka?” jengek Koan San-gwat.

“Duduk perkara yang jelas aku tidak tahu, yang terang mereka meluruk kemari karena adanya nona Thio di sini!”

Segera Thio Ceng Ceng menimbrung, “Yang mereka cari adalah ayahku, ada sangkut paut apa dengan diriku?”

“Tidak tahu! Tapi mereka mengerahkan seluruh kekuatannya, jelas tujuannya tentu tidak mengandung maksud baik….”

“Hm!” dengus Koan san-gwat, “banyak benar kejadian- kejadian aneh, sekarang mereka sudah sampai dimana?”

Lau Sam-thay menghitung-hitung lalu menjawab, “Mereka terdiri dari kaum perempuan, menunggang joli jalannya rada lambat, mungkin besok malam baru bisa sampai di sini.” “Apa? Anggota Im-san-pay terdiri dari kaum perempuan?” seru Koan San-gwat heran, “belum pernah kudengar adanya golongan mereka ini, dulu guru mengembara ke seluruh jagat bertanding (bertandang) pada semua aliran besar kecil kok tidak pernah menyinggung adanya mereka…. ” .

“Im San-pay kira-kira sepuluh tahun yang lalu baru dihimpun dan didirikan, waktu itu Tokko-cianpwe keburu mengasingkan diri, sebetulnya golongan mereka tidak termasuk se Pay atau pang. seluruh anak murid Im San-pay, tapi belum pernah mengadakan kontak dengan kaum persilatan umumnya, maka jarang orang tahu seluk beluk mereka. Soalnya pos yang kubangun di kota itu merupakan pemberhentian para kelana yang sering membawa pergi berita, maka sering kudengar hal-hal yang jarang dikatakan orang lain. Im Siok-kun ada kalanya datang minta beberapa petunjuk kepadaku….”

“Sudahlah, kitapun tidak perlu tidur, lebih baik malam ini melanjutkan perjalanan, mari kita papak mereka di tengah jalan, ingin aku tahu apa urusan mereka meluruk kemari.”

Lau Sam-thay kelihatannya rada rikuh dan serba salah, katanya, “Apakah Ling-cu boleh tidak bentrok dengan mereka, umpama ada salah, mengingat perkenalanku dengan Im- Tiang-hau mungkin aku bisa melerainya, kalau terjadi keributan, sulit aku melawan mereka….”

“Lau-heng tidak usah kuatir,aku bukan orang yang suka mencari perkara, asal mereka tidak mencari urusan dengan aku. tidak akan membuat keributan, apalagi apa sih artinya melawan kaum hawa….”

Belum habis kata-katanya, tiba-tiba daun pintunya ditendang terbuka, seorang gadis berdiri di ambang pintu tangannya menyekal gagang pedang, dengan muka bersungut ia membentak, “Laki-laki busuk! berani memandang rendah kaum wanita. Keluar, biar nonamu yang menghajar mulut kurang ajarmu itu!” Lau Sam-thay tersipu-sipu maju seraya berkata, “Nona ini sungguh tepat kedatanganmu, kita baru saja….”

“Lau Sam-thay!” perempuan itu mengayunkan pedangnya, “Jangan bersilat lidah dengan aku, tempo hari pernah kutanya orang she Thio itu, katamu kau tidak tahu tapi sekarang membawa puteri orang she Thio hendak mencari perkara ke Im-san. Ketahuilah, memang sengaja aku menyuruh orang memberi kabar bohong, sebetulnya sejak tadi kami sudah tiba….”

-oo0dw0oo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar