Patung Emas Kaki Tunggal Jilid 03

 
Jilid 03

SELAMA itu Khong Bun-ki terus mengawasinya dengan perasaan tegang dan was-was, melihat engkohnya menyedot sari buahnya tidak kurang suatu apa, ia jadi berlega hati.

Sementara Khong Bun-thong sudah berkata pula, “Menerima tidak balas memberi rasanya kurang hormat, Jie- te! Silahkan ambil dulu cangkir Loh-hun-lok buatanku itu untuk menyambut kedatangan Thio-heng dan nona Thio ini.”

Khong Bun-ki mengiyakan, bergegas dia lari ke belakang. Tak lama kemudian berlari keluar sambil menenteng sebuah botol dengan dua buah cangkir terus diletakkan di atas papan warna merah, Khong Bun-thong menuangkan sampai penuh ke dalam cangkir itu, lalu katanya sambil memegangi kedua cangkir arak, “Sebenarnya Loh-hun-lok tidak ternama karena racunnya, tapi Loh-hun-lok ini hasil ramuanku, sahabat Thio ini merupakan seorang kosen dalam kalangan kedokteran, tentu kau paham berbagai ramuan yang ada dalam arak ini.”

“Ha ha ha, istilah menerima harus balas memberi memang tepat, kenapa Khong Kokcu begini sungkan, ramuan apayang terdapat dalam arak ini tidak perlu kuselidiki lagi, hakikatnya setetes dapat menghancurkan usus, satu cangkir bisa menghilangkan sukma, seumpama harus menyeralikan jiwa pun aku suka menerima penghargaan Kokcu.”

Habis berkata ia sambuti secangkir diantaranya terus ditenggak sampai habis. Khong Bun-thong lalu angsurkan cangkir yang lain kepada si gadis, katanya, “Apakah nona Thio suka memberi muka padaku?”

Si gadis melengak dan ragu-ragu, sesaat ia bimbang dan tak berani menyambuti cangkir arak itu, Thio Hun-cu ikut keripuhan, selanya, “Apakah tidak cukup aku saja yang mengiringi kehendak Kokcu?” “Di bawah pimpinan seorang jendral ternama tentu tiada tentara yang lemah, nona Thio ini kan anak gadismu, secangkir arak beracun ini pasti tidak ambil dalam hati bukan?”

Thio Hun-cu menggeleng kepada si gadis katanya rawan, “Ah-ceng! Kau minum saja. Mungkin memang ayahmu terlalu banyak urusan, sudah sekian tahun aku menyembunyikan diri, ternyata hanya karena ingin menang sendiri, akhirnya mendapat kesukaran begini.”

Si gadis menerima cangkir arak itu, tangannya gemetar keras. Tak tertahan Koan San-gwat berkata, “Thio-lopek! Bagaimana perasaanmu setelah kau minum arak itu?”

“Loh-hun-lok ternyata memang lihai. Setiap hari aku berkecimpung dalam ratusan jenis racun, lidahku inipun sudah saling mencicipi ribuan rasa, tetapi ramuan obat dalam arak beracun ini masih belum dapat kuselami kadar racun sudah mulai bekerja, aku sedang mengadakan percobaan dengan hawa murniku paling tidak harus makan waktu satu jam leibh, aku kuatir pada saat mana meski aku berhasil menyelami sifat racun ini, temponya sudah tidak keburu lagi….”

Khong Bun-thong bergelak tawa kesenangan, ujarnya, “Tidak malu sandara Thio sebagai ahli pengobatan, buatanku ini memang kucampur beberapa jenis racuo yang paling jahat dan sulit didapat dalam dunia ini. Pengalaman dan pengetahuan Thio-heng agaknya cukup luas, mungkin dalam setengah jam cukup mengetahui secara pasti, tapi aku berani tanggung setelah lewat setengah jam, tenaga untuk bicara lagipun Thio-heng tidak akan mampu lagi….”

Mendadak tergerak hati Koan San-gwat serunya, “Waktu setengah jam jauh berkelebihan bagi kami menyelesaikan urusan dinas.”

“Apa maksud ucapanmu?” tanya Khong Bun-thong. Koan San-gwat tidak hiraukan pertanyaan orang, sekali raih ia rebut cangkir di tangan si gadis terus ditenggak kering, langsung ia banting bancur cangkir itu ke lantai, lalu katanya sambil membusungkan dada kepada Khong Bun-thong, “Arak bagian nona sudah kuwakili, apakah urusan sudah beres?”

“Isi arak dalam botol memang cuma dua cangkir, cangkir kedua ini memang sebenarnya kusediakan untuk kau, tapi pura-pura kupersembahkan kepada nona Thio, kalau tidak masa kau sudi minum arak ini sedemikian gampang. Bocah keparat! Gunakanlah waktu setengah jam ini untuk menyambung nyawamu….”

Dengan tenang tanpa berubah sedikitpun air mukanya Koan San-gwat bertanya, “Bagaimana kau bisa tahu bila aku akan mewakili nona Thio minum arakmu itu?”

“Di saat aku tahu bahwa kau masih hidup dalam dunia ini, diam-diam aku lantas memikirkan daya upaya untuk menghadapi kau, pikir punya pikir cuma Loh-hun lok ini yang cocok. Kebetulan saudara Thio itu ingin mencoba aku, secara demonstrasi ia paksa aku memakan Kiu coan-tho itu, racun yang terkandung di dalam buah itu dapat membikin kaki tangan orang membeku, tapi toh belum tentu dapat menundukkan aku, maka seagaja aku pura-pura sungkan dan akhirnya menghabiskan buah itu. Tapi kugunakan pula alasan ini untuk mendesak mereka minum Loh-hun-lok buatanku ini, sejak tadi sudah aku perhitungkan bahwa kau pasti akan unjuk gigi mewakili Ilona ini, karena mereka datang demi kepentinganmu, kalau kau tidak berbuat demikian apakah ada harganya kau mengagulkan diri sebagai akhli waris Bing-tho- ling-cu….”

“Bagus. Perhitungan sangat tepat! Tapi kau melupakan satu hal, tadi sudah aku katakan, kau pernah memukul aku satu kali, kuberitahukan bahwa secara terang-terangan akan kubalas pukulanmu itu meskipun kini waktunya tinggal setengah jam lagi, namun sebelum ajal aku masih punya banyak waktu untuk menyelesaikan urusan ini.”

“Bedebah!” maki Khong Bun-thong terloroh. “Sungguh muluk jalan pikiranmu, seumpama Tokko Bing belum mati, diapun tidak akan mampu dalam jangka setengah jam mengalahkan aku, apalegi kau paling lama cuma kuat bertahan setengah jam, sebentar saja kadar racun dalam tubuhmu akan kumat, terpaksa kau harus rebah di tanah menanti aja1 saja. Tatkala itu mungkin kau bakal mengerang dan bertobat minta kematianmu supaya dipercepat agar tidak menderita lebih lanjut.”

Sikap Koan San-gwat sangat tenang, perlahan-lahan ia angkat tangan serta katanya, “Urusan tidak akan terjadi begitu gampang seperti jalan pikiranmu, kau bersabarlah! Aku hendak turun tangan!”

Dengan sikap acuh tak acuh Khong Bun-thong berdiri di tempatnya seperti tidak terjadi sesuatu apa-apa, di kala telapak tangan Koan San-gwat sudah terdorong di depan dan hampir mengenai kulitnya baru dia angkat telapak tangannya memotong pergelangan tangan lawan.

Tapi sedikitpun Koan San-gwat tak gentar dan menjadi gugup karenanya, dorongan telapak tangannya diteruskan, dan kontan telapak tangan Khong Bun-thong dengan telak mengenai tangannya. tetapi ia merasa seperti membentur tongkat besi, sehingga telapak tangan sendiri terpental ke samping, maka dadanya kena pukulan telapak tangan musuh dengan telak sekali.

Pukulan yang mengandung tenaga penuh ini seketika mengeluarkan suara keras seperti tambur pecah, seiring dengan itu terlihat badan Khong Bun-thong seperti sepotong batu dilemparkan terbang melesat ke belakang sampai beberapa tombak dan jatuh di atas singgasana upacara, karuan meja sembahyang di sana ditumbuk hancur dan ambruk. Dengan terkesiap banyak orang memburu ke sana untuk membangunkan Khong Bun-thong, tampak dadanya melekuk dalam bertapak tangan berwarna merah semu biru, dalamnya sampai satu setengah centi, jantung dan paru-parunya hancur lebur.

Pelan-pelan Koan San-gwat menurunkan telapak tangannya yang berlepotan darah, katanya kepada Khong Bun-thong yang bernapas empas-empis, “Kau tidak menyangka begini akhirnya bukan?”

Darah tersembur deras dari mulut Khong Bun-thong. kedua biji matanya mendelik keluar seperti jengko1, tapi tenaga untuk bicara sudah tidak mampu lagi, napasnya memburu tersengal-sengal.

Dari samping Thio Hun-cu ikut memberi komentar, “Khong Bun-thong. Sungguh hebat kau, ternyata kau kenal asal-usul Kiu coan-tho itu, tapi kau tak akan menduga bahwa di dalam sari buahnya sebelumnya sudah kumasuki getah An-si-lan, getah An-si-lan merupakan obat untuk menguatkan badan sedikitpun tidak mengandung racun, rasanya mirip dengan sari buah Tho, maka kau tidak akan dapat membedakannya, tapi An-si-lan itu sendiri dapat menyebabkan ilmu silatmu sementara punah, sehingga kau tidak akan mampu menangkis serangan Koan-hiantit. Dalam permainan Loh-hun-lok, memang kau lebih unggul, tapi dalam perang kecerdikan kau asor, di tengab jalan menuju ke akhirat, masih ada kesempatan kita nanti melanjutkan pertandingan ini!”

Khong Bun-thong menggembor keras, darah menyembur makin keras dari mulutnya, setelah berkelejetan beberapa kali, kakinya jadi tersendal-sendal, napas terus berhenti. Melayanglah jiwanya.

Mata Khong Bun-ki memancarkan bunga api, pelan-pelan ia letakkan jenazah engkohnya. hendak adu jiwa dengan Koan San-gwat, tapi segera Koan San-gwat mengacungkan kepalannya serta mengancam, “Berani  kau bergerak, akan kubuat kau seperti kakakmu. Kadar racun Loh-hun-lok sebentar lagi baru akan kumat, dalam tempo yang pendek aku mampu mengambil jiwamu seperti membalikkan telapak tangan mudahnya!”

Terbayang pada gebrak pertama tadi, sejurus saja lengan kanannya sudah terluka, hatinya jadi jeri dan tidak berani banyak bergerak lagi.

Cepat Thio Hun-cu berkata kepada Koan San-gwat, “Koan- hiantit, lekas kau selesaikan urusanmu, temponya sudah tidak keburu lagi.”

Koan San-gwat manggut-manggut, cepat ia membalik menghadapi Lu Bu-wi lalu katanya, “Lu-cianpwee! Sebetulnya ada sedikit omongan hendak kusampaikan kepada para sahabat yang hadir disini, tapi mungkin sekarang tidak keburu lagi, untunglah sebelumnya sudah kusiapkan apa yang hendak kuucapkan sudah kutulis dalam sampul surat ini, di samping itu ada pula kucantumkan cara memunahkan kadar racun Ui- ho ciu-ce-sa. Terima kasih akan bantuan yang kusampaikan di dalam buntalan ini!”

Setelah Lu Bu-wi menerima sampul surat itu, cepat Koan San-gwat bersama Thio Hun-cu dan putrinya menerobos lewat dari kerumunan orang banyak terus tinggal pergi dengan langkah lebar.

Loh-hun-kok (Lembah jatuh sukma) menjadi sesuai dangan nama dan keadaannya, hari ulang tahun Khong Bun-thong yang keenam puluh jadi pula hari kematiannya, hari lahir sama dengan hari kematian, kejadian ini mimpipun ia tidak akan menduga sebelumnya.

Dalam pada itu Lu Bu-wi sudah membuka sampul surat yang ditinggalkan Koan San-gwat, di hadapan sekian banyak orang ia membaca dengan lantang, “Disampaikan oleh Bing- tho-ling-cu II Koan San-gwat kepada seluruh tokoh Bulim di kolong langit. Tempo guruku almarhum meluruk ke tempat kalian, merebut Ling-hu atau tanda kebesaran setelah mengasingkan diri di tengah gurun pasir, beliau amat menyesal akan sepak terjangnya itu, maka seterusnya memperdalam ilmu membina diri dalam jalan ke Tuhan-an sesuai dengan ajaran agama. Beliau melihat semangat kalian terbangkit untuk memperdalam ilmu dan mempertinggi mutu pelajaran silat masing-masing, menutup diri giat belajar, sebetulnyalah memang demikian tujuan guruku semula, untuk kesalahan itu harap para sahabat suka memaafkan beliau di alam baka.”

“Pertemuan tiga tahun yang lalu, sesuai pesan peninggalan guru almarhum. San-gwat ditugaskan menguji sampai di mana tingkat kepandaian para sahabat setelah memperdalam ilmu selama tahun lamanya, menang atau kalah sama saja akan kami kembalikan barang-barang kalian.”

“Namun apa daya urusan berkembang tidak sesuai dengan rencana semula, San-gwat hampir melayang jiwanya karena ditipu dan dijebak oleh perbuatan rendah, sehingga tidak sempat menyampaikan pesan guruku almarhum kepada kalian sungguh harus disesalkan.”

“Semula San-gwat sudah pasrah nasib dan yakin pasti mampus, untunglah di tengah jalan bertemu dengan Thio Hun-cu Cianpwee yang pandai pengobatan, akhirnya jiwaku dapat diselamatkan beliau, sebetulnya sudah lama kami hendak datang untuk menjelaskan maksud semula. Tapi akhirnya kuketahui bahwa keluarga Khong di Loh-hun-kok adalah tokoh yang pandai mempergunakan racun, punya cita- cita merajai jagat, terpaksa kami bertindak secara diam-diam sambil menunggu perubahan yang bakal terjadi.”

“Ui- ho-ciu-ce-sa adalah racun yang paling jahat di dunia ini, demi keselamatan jiwa sekian banyak tokoh-tokoh Bulim, maka kami mohon Thio Cianpwe menyertakan resep obat pemunahnya, supaya obat racun itu tidak meninggalkan bencana lebih besar. San-gwat tahu selain ahli racun keluarga Khong pun lihay dalam berbagai kepandaian silat tinggi, maka dengan tulisan ini kami ingin memperlihatkan semua siap waspada dan berjaga-jaga. Perlu juga diketahui bahwasanya Khong Bun-thong mempunyai seorang putri yang kini sedang belajar ilmu di bawah bimbingan seorang aneh yang lihay sekali, kepandaian silat orang aneh ini mungkin jauh lebih tinggi dari kemampuan guruku almarhum, tapi karena terhalang oleh sumpahnya sendiri ia tak akan mengunjukkan diri dalam percaturan dunia persilatan. Hal ini kami tahu jelas. Tapi gadis itu kalau pelajaran ilmunya sudah tamat kelak, pasti akan mengobarkan kelaliman Loh-hun-kok, dunia persilatan kelak bakal tak aman dan tidak tentram lagi, melalui sepucuk surat ini kami harap para saudara sekalian unjuk beritahu supaya siap waspada dan hati-hati….”

Setelah Lu Bu-wi selesai membaca surat itu, keadaan seluruh barak itu sunyi senyap.

Dalam pada itu Khong Bun-ki sudah mengusung jenazah Khong Bun-thong ke belakang, demikian juga kaki tangan dan kambrat-kambratnya juga ikut ke sana. Maka persoalan yang ditulis dalam surat Koan San-gwat ini jadi sulit untuk membuktikannya, tapi semua hadirin percaya bahwa surat itu tentu tidak akan salah.

Maka beramai-ramai mereka bubar meninggalkan Loh-hun- kok (lembah jatuh sukma) sanubari masing-masing dibekali rasa was-was dan ketakutan yang akan selalu menghantui benaknya sepanjang masa ….

Di tengah kegelapan itu tampak tiga bayangan orang sedang melangkah cepat tergesa-gesa, sebetulnya cuma boleh dihitung dua bayangan saja, karena saat mana Koan San-gwat telah jatuh pingsan dan tengkurap di atas punggung Thio Hun-cu. Sambil berjalan Thio Ceng Ceng menggerutu., “Ayah! Kau memang suka cari gara-gara, sekarang Koan-toako yang menerima aklbatnya. Kalau dia sampai meninggal, kau suruh aku bagaimana bersikap terhadapnya….” “Mana aku tahu dia bakal bertindak begitu nekad! Salahnya sendiri terburu nafsu, kalau aku tidak bekerja secara sempurna, masa begitu bodoh mau menghabisi arak beracun itu, siapa tahu dia ….”

Kata Thio Ceng Ceng dengan suara hampir menangis, “Maksud Koan-toako kan baik dia takut aku kena celaka. Ayah, apakah racun dalam arak ini tiada obat pemunahnya….?”

Thio Hun-cu menggeleng kepala, sahutnya, “Aku sendiri belum jelas. Nanti setelah sampai di rumah, harus kuselidiki dulu baru bisa kuobati.”

Thio Ceng Ceng membanting kaki, omelnya, “Apakah dia kuat bertahan sampai sekian lamanya?”

“Aduh bingung,” keluh Thio Hun-Cu tertawa getir. ”Agaknya kau semakin tidak percaya akan kemampuanku, bagaimana khasiat obat Pin-sip-coan-bing-san ku itu kan kau tahu, jangan kata baru sekeras pohon, seumpama hampir mati asal dia masih empas-empis, kutanggung dia masih akan kuat bertahan selama empat puluh hari!”

Tidak tertahan lagi air mata Thio Ceng Ceng mengucur deras, katanya sesenggukan, “Lalu selanjutnya? Bila kau tidak berhasil menyembuhkannya, sama saja dia bakal mati.”

“Kalau demikian kejadiannya apa boleh buat, toh jiwanya semula kita yang menolong, jikalau dia tidak ketemu kita, tiga tahun yang lalu dia sudah mati tanpa kubur di gurun pasir!”

“Persoalan tidak bisa disama-ratakan!” sela Thio Ceng Ceng uring-uringan. “Mati hidupnya waktu itu tiada sangkut paut dengan kita, tapi sekarang dia mati karena kita…. Kaulah yang harus disalahkan, kalau tidak main umpak-umpakan mau adu kepandaian segala, mana bisa terjadi peristiwa ini, kalau sebelumnya kaupun berikan segala persiapanmu kepadanya bukankah tidak terjadi seperti ini.” “Bicaramu sendiri melantur dan tak pakai aturan, ketahuilah aku seorag tabib yang suka memperdalam ilmu pengobatan. Begitu mendengar ada seorang semacam Khong Bun-thong itu kalau tidak coba-coba jajal rasanya gatal dan sayang sekali, apalagi sebelumnya sudah kuperhitungkan bahwa dia pasti akan bertanding cara menggunakan racun, maka sebelumnya sudah kutelan beberapa macam obat-obatan sehingga perutku kebal terhadap racun, siapa tahu bocah goblok ini bisa maju menalangi juga.”

“Aku tak peduli,” omel Thio Ceng Ceng sambil sesenggukkan. “Meski aku harus mengorbankan jiwa sendiri, betapapun harus menolong jiwa Koan-toako ….”

Thio Hun-cu jadi melengak, kakinya pun berhenti melangkah, pelan ia turunkan Koan San-gwat lalu direbahkannya katanya, “Ceng-ji. Kau tidak punya pikiran hendak mencari dan minta tolong kepada orang itu bukan

….?”

Terpaksa Thio Ceng Ceng ikut berhenti, katanya, “Kalau kau sendiri sudah tidak mampu menolongnya, terpaksa aku harus mencari dia. ….”

Berubah air muka Thio Hun-cu, katanyanya tegas, “Ceng-ji! Kau dengar, aku akan berdaya upaya sekuat tenagaku untuk menolong jiwanya, tapi kalau kau sendiri tak punya keyakinan terhadap pengobatanku, ingin mencari orang ini, lebih baik aku rela kau membenciku seumur hidup, bocah ini akan kubikin mampus saja!”

“Ayah! kenapa kau begitu benci dan dendam terhadap orang itu? Bukankah kau sendiri mengaku bahwa di kolong langit ini, hanya dia seorang paling lihay tiada tandingannya ilmu pengobatannya?”

“Benar! Aku boleh mengakui bahwa ilmu pengobatanku masih kalah dibanding dengan dia, tapi aku bersumpah seumur hidup ini aku tak mau takluk padanya. Ceng-ji, kita harus bicara lebih dulu. Sekali-kali jangan kau punya pikiran seperti maksudmu ini!”

Thio Ceng Ceng merandek, katanya sambil berlinang air mata, “Baiklah ayah. Kudengar nasehatmu, tapi kau harus tolong jiwa Koan-toako.”

Thio Hun-cu manggut-manggut, pelan-pelan ia meraba dahi Koan San-gwat, mendadak ia berseru, “Celaka! Suhu badannya semakin panas, dalam arak itu memang dicampur nyali kelabang merah dan jambul merah burung bangau dua macam obat-obatan yang berlawanan.”

Thio Ceng Ceng semakin gugup, serunya, “Ayah tak usah banyak omong lagi, lekaslah sediakan obat pemunahnya!”

“Obat pemunahnya sih aku tahu, cuma sulit mendapatkannya, karena dia memerlukan darah panas ular hijau!”

“Malam hari kebetulan adalah saatnya binatang ular keluar sarang, lekaslah kau pergi mencarinya!”

Thio Hun-cu berpikir sebentar, latu dari dalam kantongnya mengeluarkan botol kecil lalu menuang dua butir terus menjejalkan ke mulut Koan San-gwat, pesannya kepada Thio Ceng Ceng, “Sudah kucekoki Ping-sip-coan-bing-san untuk mengekang menjalarnya kadar racun, sementara racun tidak akan bekerja, kau tunggu dia disini, aku pergi mencari ular hijau, segera aku akan kembali!”

Thio Ceng Ceng manggut-manggut, bergegas Thio Hun-cu berlari pergi.

Dalam hutan belantara sedemikian luasnya memang banyak terdapat ular, tapi macam dan jenis ular terlalu banyak, di dalam waktu yang begitu kritis untuk menangkap ular hijau hidup-hidup bukanlah pekerjaan yang mudah!

Mengandal sinar bintang-bintang di langit ia berjalan munduk-munduk, membongkar baru membetot akar pohon, bekerja berat setengah malaman dengan susah payah akhirnya berhasil ditangkapnya seekor, tersipu -sipu ia jalan kembali ke tempat semula, tapi bayangan Thio Ceng Ceng berdua sudah tiada lagi.

Di samping dimana tadi Koan San- gwat berbaring dilihatnya ada secarik kain sutera. Itulah kain sobekan dari baju dalam Thio Ceng Ceng, di atas sobekan kain sutera ini ada beberapa baris tulisan yang masih basah, itulah huruf- huruf yang ditulis dengan tinta darah!

“Ayah! setelah kau pergi, karena keadaannya semakin memburuk, terpaksa aku mengeluarkan banyak darah untuk mengurangi kadar racun dalam tubuhnya, tapi keadaannya yang payah tak dapat lagi aku menunggu kau, jiwa Koan- toako jauh lebih penting dari aku, bukan karena dia menalangi aku minum arak beracun ini! Di dalam hidup berdampingan selama tiga tahun berselang sudah menyerahkan perasaan dan hati nuraniku kepadanya.”

“Bukan aku tidak punya keyakinan terhadap ilmu pengobatanmu, tapi aku tahu betapapan kau tak akan mampu mengobatinya! Demi jiwanya terpaksa aku harus mencari seseorang yang dapat menolong jiwanya, meski orang itu sejak semula sudah kau larang dan kau tentang keinginanku untuk mencarinya, tapi dalam keadaan yang terpaksa ini aku tidak punya pilihan lain.”

“Aku gunakan darah Koan-toako untuk meninggalkan suratku ini, darahnya mengalir begini banyak, hatiku sungguh sangat menderita seperti diiris-iris maka kumohon kepada kau dalam sisa-sisa kesadaran angkara murkamu, cobalah kau berpikir lebih lanjut secara tenang dengan kepala dingin, jikalau bukan karena sikapmu yang mau menang sendiri, darah Koan-toako rasanya tidak perlu dikorbankan!”

“Aku tahu orang itu berada di Kun-lun-san, jarak Kun Lun ribuan Li jauhnya semoga Tuhan melindungi hambanya, sampai aku dapat menemukan orang itu, semoga pula Koan- toako kuat bertahan sampai waktu itu!”

“Kalau kau masih sudi mengingat hubungan ayah beranak, kuharap kau jangan mengejer jejakku. Kalau tidak kau hanya menemukan putrimu yang sudah ajal. Jiwa Koan-toako telah bersatu padu dengan jiwa ragaku!”

“Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada kau, cuma mengharapkan pengampunanmu, bila Koan-toako tidak mati, setelah aku memberitahukan perasaan hatiku, segera aku akan kembali ke haribaanmu, untuk selanjutnya aku ingin menjadi seorang putri yang berbakti terhadap orang tuanya, atau sebaliknyalah aku mendahului kau menunggu di alam baka. Sebab sampai detik ini aku belum ada kesempatan untuk menyuarakan isi hatiku, ingin kusampaikan bahwa aku cinta kepadanya….”

Dengan kesima Thio Hun-cu membaca habis surat itu, sekonyong-konyong ia buang jauh-jauh ular di tangannya dengan menghela napas ia menjublek sekian lamanya tanpa suara.

oooo)0(oooo

PUNGGUNG Thio Ceng Ceng memanggul badan Koan San- gwat yang jauh lebih tinggi dan besar, perbandingan badan mereka menjadikan tubuhnya kecil mungil, tetapi badan yang kecil mungil itu tersembunyi sesuatu kekuatan dan keteguhan hati yang luar biasa dan mengejutkan.

Kekuatan dan keyakinan inilah yang menyanggah badannya sehingga sampai di puncak Kun lun-san dengan memanggul Koan San-gwat. Puncak Kun lun san yang dilapisi salju dan sunyi serta berhawa dingin tidak menjadikan semangatnya luluh, meski cuma setitik harapan namun harapan itulah yang membuat ia kuasa bertahan sekian lama dan jauh, akhirnya ia berhasil menanjak ke puncak yang tertinggi seolah-olah menembus langit, setibanya di-Ciat-tian-hong, baru dia mulai patah semangat.

Sebab dia tahu Peng-sip-coan-bing-san buatan ayahnya itu paling lama cuma kuar bertahan selama lima puluh hari, sepanjang jalansudah menggunakan waktu empat puluh hari, keadaan badan Koan San-gwat sudah semakin buruk, meskipun begitu, di atas pegunungan yang diliputi salju yang berhawa dingin tapi suhu badannya masih memuncak tinggi seperti dibakar, badannya yang kekar dan kuat itu kini tinggal kulit pembungkus tulang dan lemas tidak bertenaga sedikitpun, jangankan berdiri, berpeganganpun sudah tidak kuasa lagi, untung Thio Ceng Ceng mengikat erat di belakang punggungnya sehingga tidak terjatuh!

Akan tetapi orang yang ingin dicarinya itu tak karuan arah dan tidak diketahui di mana jejaknya.

Di puncak gunung yang berhawa dingin itu, dirangsang perut lapar dan letih lagi, yang paling sukar dan ia tanggulangi adalah rasa ke putus-asaan sanubarinya. Waktu ia meraba dahi Koan San-gwat yang digendong di belakangnya terasa masih panas dan tinggi suhu badannya tanpa terasa ia jadi menangis dengan rawan, keluhnya, “Koan-toako! Meski kau kena racun karena aku, tapi kugendong kau sampai di tempat ini, berarti aku sudah berdaya upaya sekuat tenagaku, seandainya aka tidak berhasil menemukan orang itu, biarlah kutemani kau terkubur di puncak gunung yang sepi dan dingin ini. Hanya sayang kepandaian silatmu yang begitu tinggi dan lihay harus ikut lenyap ditelan masa, sungguh aku merasa penasaran bagi kau ….”

Terdengar suara “Tak” tiba-tiba di bawah kakinya, itulah air matanya yang menetes membeku jadi butiran es, terjatuh mengeluarkan suara membentur tanah bersalju yang keras.

“Koan-toako,” ujar Thio Ceng Ceng seorang diri dengan perasaan pilu, “Agaknya kau tidak punya harapan lagi, mumpung masih ada waktu beberapa hari lagi, akan kugunakan beberapa waktu mendatang ini, kutangisi kau sepuas hatiku, biarlah kukubur jenazahmudengan air mataku yang membeku. Tapi beberapa kejap kemudian baru dia menyadari bahwa air matanya sudah kering, butiran air matanya yang membeku berwarna merah, tanda bahwa air mata yang dia kucurkan adalah air darah.

Akhirnya ia mengeluh sendiri, “Oh, ternyata air mataku sudah kering diganti darah mengucur keluar, untuk mengubur jenazah Koan-toako yang sedemikian besar. Aku memelihara badan dengan mengisi perut supaya badan kuat dan air matapun bisa kuperas keluar. Tapi di atas pegunungan yang gundul pelontos ini kemana harus kucari makanan, kecuali binatang…. aih binatang….”

Teringat akan binatang mendadak hidungnya mengendus semacam bau amis yang biasanya tersebar dari badan binatang buas, karuan ia berjingkrak girang, cepat ia menunduk mencium dahi Koan San-gwat terus menanggalkan baju luarnya merebahkan badan Koan San-gwat di atas baju luarnya yang dibeber di tanah bersalju.

Waktu dia berdiri dan memutar badan, ia merasa bau amis binatang itu keluar dari sebelah belakang, seketika ia berdiri kesima tak bergerak.

Seekor binatang sebesar kerbau sedang bercokol di atas batu di belakangnya sana, kepalanya bundar, kupingnya kecil, matanya besar bentuknya persis seperti kucing. Sekilas saja otaknya sudah dapat menyimpulkan, “Itulah seekor macan kumbang, macan salju berbulu putih, binatang buas macam ini cuma terdapat di atas pegunungan yang tinggi. “

Mau tak mau ia jadi was-was dan mulai takut, macan sallu merupakan salah satu binatang buas yang paling ganas, tenaganya besar cakarnya tajam dan runcing, demikian juga gigi dan taringnya teramat berbahaya, macan salju merupakan binatang, yang merajai pegunungan bersalju. Tapi rasa cintanya yang murni dan agung dan tekadnya yang teguh menambah nyalinya menjadi besar, hilanglah rasa takutnya. “Demi Koan-toako, aku harus bunuh dia, makan daging dan minum darahnya, supaya aku punya air mata untuk mengubur Koan-toako! Mengubur nyawaku, cintaku….”

Dia tidak membekal senjata tajam, cuma selendang sutera sutera buat menggendong Koan San-gwat, itulah satu-satunya barang yang dia bawa. Untung waktu hidup di gurun pasir ia sudah belajar menggunakan tali laso dari para gembala, seutas tali dapat meringkus seekor kuda binal.

Cepat-cepat ia bikin bundelan selendangnya, lalu meraup segenggam salju dan diremas -remas jadi bola bundar. Soalnya selendang suteranya masih terasa nada pendek maka terlebih dulu ia harus goda binatang buas itu menjadi gusar supaya menubruk maju, kalau tidak ia tak kuasa mengembangkan kepandaian permainan tali lassonya dengan selendang suteranya itu.

Macan salju itu diam saja mendekam di atas salju, kedua kaki depannya mencakar-cakar salju di depannya, perut dan ekornya menempel tanah, inilah gaya hendak menerkam mangsanya.

Sewaktu masih berada di gurun pasir dia pernah berburu serigala dan harimau, terhadap kebiasaan dan sifat bermacam binatang dia sudah rada paham, maka sebelum lawan bergerak bola salju di tangannya sudah terbang melesat mengarah batok kepala macan salju.

Dengan membawa larinya sinar putih bola salju itu melesat laksana anak panah, tapi reaksi macan salju itu sungguh- sungguh di luar dugaan!

Bukan saja tidak menghindar diapun tidak menerkam maju, sebelah kaki depannya diangkat menyampok jatuh bola salju itu menjadi berkeping-keping, mendadak ia mengaum keras sekali, berbareng di atas keempat kakinya, badannya meliuk meninggi bagian perutnya.

Thio Ceng Ceng jadi gentar, tapi juga aseran, bentaknya, “Binatang masih berani bertingkah!” segera ia membungkuk tubuh meraup segenggam salju pula, begitu tangan terangkat ia sambitkan lagi salju itu dengan cara melempar senjata rahasia. Bola salju itu terbang melengkung terus menukik ke bawah menyerang ke hidung macan salju.

Tak nyana macan itu angkat kepala sambil pentang mulut menggigit bola salju, tapi kali ini ia terjebak oleh tipu Thio Ceng Ceng.

Ternyata cara sambitan senjata rahasianya mempunyai variasi yang luar biasa, jelas sekali bola salju itu sudah hampir kena tergigit, tetapi mendadak secara reflek menikung ke samping dan melesat lewat tepat sekali mengenai mata kirinya. Bentuk bola salju itu cukup besar jadi tidak bisa membikin buta matanya, tapi tenaga sambitannya cukup keras, sudah tentu rasanya sakit bukan main. karuan si macan salju menggerung marah, bagai anak panah lepas dari busurnya, tubuh yang melengkung itu tiba- tiba melesat lempeng menerkam dengan ganasnya.

Memang begitulah tujuan Thio Ceng Ceng, cepat pergelangan tangannya di ujung menggentak, selendang suteranya kontan terbang menyabet ke depan, bundelan di ujung selendang itu tepat sekali berhasil mengalung ke leher si macan salju, gayanya indah tenaganya besar daya luncurannya cepat sekali.

Itulah salah satu kepandaian suku bangsa di padang pasir waktu menangkap kuda liar, begitu tali lasso berhasil menjirat leher, betapapun kau berontak, asal kau menarik kencang dan tidak sampai terlepas jiratan tali itu semakin ditarik semakin kencang, sampai sang kuda kelelahan dan takluk. Sejak Thio Ceng Ceng dibesarkan di ladang gembala, ditambah dasar kepandaian silatnya cukup tinggi, maka serangan selanjutnya itu seratus persen pasti tidak akan gagal, tetapi menghadapi macan salju ini ternyata kepandaiannya itu tidak berguna sama sekali.

Harimau dengan badan yang besar dan gesit gerak- geriknya itu mendadak jumpalitan di tengah udara, dengan cukup lincah berhasil meluputkan diri dari libatan selendang sutera itu, dan langsung menubruk ke arah Koan San-gwat. Karuan Thio Ceng Ceng kaget dan gusar, apalagi ia paling menguatirkan keselamatan Koan San-gwat, ia rela dirinya yang mati dari pada harimau salju itu melukai seujung rambut Koan San-gwat, maka sambil menghardik keras, selendangnya terayun dan melecut menggeletar, ia gunakan selendangnya sebagai pecut.

Biasanya orang bila gusar tenaganya berlipat ganda, demikianlah pecutannya yang keras itu tepat mengenai pantat macan salju itu, malah ujung selendangnyapun berhasil membelit salah sebuah kaki belakangnya, lalu dengan mengerahkan seluruh kekuatannya ia gentakkan ke atas.

Secara mentah-mentah macan salju yang menubruk ke depan itu kena tarik balik serta terpental bergelinding di atas tanah, tapi begitu bangkit dia menubruk pula ke arah Koan San-gwat.

Agaknya macan itu cukup cerdik, ia tahu Koan San-gwat yang tidak sadar itu jauh lebih sukar dilayani, maka ia selalu merangsak ke sasaran yang lemah ini. Sudah tentu tindakan ini membuat Thio Ceng Ceng menjadi keripuhan dan gelisah, mati-matian ia memburu maju terus angkat kaki menendang ke pinggang si harimau.

Saat mana kaki depan macan salju itu sudah menginjak dada Koan San-gwat. Tapi karena tendangan yang keras itu seketika ia mengaung kesakitan, kontan badannya terguling- guling beberapa kaki, di kala ia berdiri lagi sepasang matanya memancarkan sorotan buas, lidahnya yang merah darah menjulur keluar sambil memperlihatkan taring-taringnya yang besar dan tajam, kini sasaran yang pertama ia alihkan kepada Thio Ceng Ceng.

Dua pihak sama berhadapan tanpa bergerak, tiba-tiba ekor macan salju itu membelit bundar berbareng kaki depannya terangkat ke atas berdiri dengan kaki belakang terus melejit maju menubruk dengan kekuatan yang dahsyat, kesempatan datang pula, cepat Thio Ceng Ceng menyabetkan selendang suteranya pula.

Agaknya macan salju ini sudah rada lengah, telak sekali ujung selendangnya berhasil membelit lehernya, ia menyendal dan menarik dengan kekuatan yang besar sekali, tapi macan ini cukup cerdik, tarnyata kaki belakangnya tidak tinggal diam, menutul keras juga luncuran tubuhnya bertambah kencang, karena jaraknya terlalu dekat berat badan macan inipun ada ratusan kati, tarikan Thio Ceng Ceng jadi meleset dengan perhitungan, si macan yang menubruk tiba repot sekali kedua kakinya menginjak kedua pundaknya, dalam keadaan yang panik, mengendur hawa pernapasannya yang amis memualkan. Lagi, saking gugupnya kontan ia dorongkan kepalan tangannya masuk ke dalam mulut si macan salju.

Betapa berbahaya tangannya yang putih halus itu diangsurkan masuk ke dalam mulut binatang itu, tapi karena sudah tiada jalan lain ia jejalkan kepalannya semakin keras. Sudah tentu si macan sendiri jadi gelagapan juga, kepalanya digoyang-goyangkan berusaha melepaskan barang yang menyumpal mulut menyesakkan napasnya, di samping itu cakar kaki belakangnya dengan sendirinya melorot turun dan tepat sekali berhasil mencakar tubuh Thio Ceng Ceng dari batas dada ke perutnya sehingga kain bajunya dedel dowe1, dengan sendirinya kulit dagingnya pun tergores luka panjang yang mengeluarkan darah segar. Darahnyapun berceceran di tanah salju, tapi sedikitpun ia tidak merasa sakit, demikian juga lengannya sudah terluka oleh gigitan taring si macan salju itu, tapi dengan mati-matian ia merintangi di depan Koan San-gwat.

Sungguh aneh macan salju itu sebetulnya dapat menggigit putus pergelangan tangannya tapi tidak berbuat demikian, kini malah mundur rada jauh sambil mendengus-denguskan rendah.

Thio Ceng Ceng berdiri mematung, matanya mendelong mengawasi macan salju itu, berbagai pikiran bergejolak di dalam benaknya. Sementara itu darah yang mengalir dari luka-luka di dadanya sudah membeku, tapi rasa pening mulai merangsang kepalanya.

Betapa pun dia seorang perempuan, setelah perjalanan demikian jauh dengan kondisi badan yang semakin buruk lagi, kini harus kehilangan darah bukan mustahil akhirnya dia bakal roboh kehabisan tenaga.

Dalam pada itu, macan itu sudah mendekam pula, pelan- pelan tubuhnya menggeremet maju munduk-munduk siap untuk melancarkan serangannya lagi, sasarannya kepada Koan San-gwat pula.

Thio Ceng Ceng siap waspada sambil menahan napas, dengan gelisah ia menunggu perkembangan selanjutnya, diam-diam ia menerawang jarak dan cara mengatasi nanti. “Dalam jarak lima enam-kaki aku bisa mulai menggasaknya. Bagaimana pun juga kali ini aku pantang dikalahkan!”

Demikian ia bertekad dalam hati. Dalam pada itu macan salju sudah menggeram maju pula tiga empat kaki, tiba-tiba laksana angin badai badannya menerkam sambil menggerung laksana geledek mengguntur melampaui atas kepalanya dan tepat sekali cakar kaki depannya jatuh di dada Koan San-gwat.

Gerak-gerik si macan ini sungguh teramat cepat dan mendadak   lagi,   hingga   Thio   Ceng   Ceng   tidak   sempat merintangi dengan berbagai akalpun, begitu ia membalik tubuh macan salju itu sudah menggigit kain baju di depan Koan San-gwat terus diseret dengan cepat berlari ke dalam hutan.

Karuan gugup Thio Ceng Ceng bukan kepalang. Di dalam gugupnya entah dari mana datang tenaganya yang luar biasa, mendadak ia menjejakkan kakinya maju mengejar, sekali tepat ia berhasil menangkap ekor si macan terus dibetot ke belakang sekuat tenaganya.

Macan salju itu mengeluarkan suara auman yang menggetarkan alam pegunungan, mulutnya melepas Koan San-gwat terus membalik badan hendak menggigit Thio Ceng Ceng.

Tapi mati-matian Thio Ceng Ceng memegangi ekornya dan tak mau dilepas sehingga cakar kakinya itu tidak bisa sampai melukainya, begitulah binatang lawan manusia ini jadi saling berputar-putar di tanah bersalju.

Memang badan sudah lemas kini harus diajak berputar, karuan kepala Ceng Ceng terasa pening, luka-luka di dadanya jadi pecah dan mengeluarkan darah pula, sakitnya sampai menusuk tulang, namun sedikitpun ia tidak mau mengendorkan pegangannya, karena ia insyaf sekali kalau ia lepas tangan maka Koan-toakonya pasti akan celaka.

Setelah berputar sekian kali dilihat di dirinya tidak mampu membebaskan diri atau menyerang lawan, macan salju itu jadi buas dan marah, tiba-tiba ia mengerang panjang seraya melejit tinggi menerjang ke depan, karuan Thio Ceng Ceng jadi terseret setombak tingginya dan di lain saat meluncur turun dan “Blang!” ia terbanting kesakitan di atas tanah bersalju, sementara macan itu sudah siap melompat pula untuk kedua kalinya.

Thio Ceng Ceng insyaf dirinya tak akan kuat bertahan dari sekali bantingan lagi, untuk mengadu jiwa sekaranglah kesempatan yang terakhir. Setelah bertekad tapi belum lagi ia sempat melaksanakan niatnya, tiba-tiba didengarnya dari kejauhan sana ada bentakan suara manusia lalu disusul meluncurlah sebatang tombak bercabang langsung mengarah punggung si macan salju secepat anak panah.

Agaknya macan salju ini tahu akan kelihaian tombak bercabang ini, sebat sekali ia menggelundungkan badannya ke samping, maka terlihatlah sesosok tubuh orang berkelebat mengejar datang serta mengeluarkan hardikan keras, “Binatang! Kau berani mengganas sekali lagi!”

Setelah mendengar suara manusia pertahanan Thio Ceng Ceng menjadi kendor seolah-olah ia sudah mendapat bantuan yang diandalkan, maka luluhlah semua pertahanan dan keberaniannya, serta merta kedua tangannya terlepas, macan salju itu laksana sebatang panah terus berlari seperti kucing.

Thio Ceng Ceng hanya melihat orang yang menolongnya itu adalah seorang perempuan pertengahan umur, lalu ia tak tahu apa-apa lagi selanjutnya.

Di kala ia siuman kembali, dirasakan rasa sakit dan letih tubuhnya sudah lenyap sama sekali, demikian juga semangatnya sudah banyak pulih, bergegas ia bangkit duduk. Sambil mengamati sekelilingnya, didapati ia terbaring di dalam sebuah gua, dinding sekelilingnya adalah batu cadas pegunungan yang keras, di atas dinding banyak tergantung binatang yang sudah dikeringkan.

Tapi ia tidak perduli akan keadaan sekelilingnya, yang paling diperhatikan adalah Koan San-gwat. “Dimanakah Koan- toako? Bagaimanakah keadaannya sekarang?”

Luas gua ini cuma beberapa tombak, kecuali perabotan yang sederhana tak kelihatan bayangan seorang manusia pun, segera ia melorot turun dari balai-balai batu, pikirnya hendak mencari keluar gua. Tapi begitu telapak kakinya menyentuh lantai, seketika rasa dingin menembus ke ulu hati, di samping itu hawa pegunungan yang menghembus masuk seketika membuat seluruh badannya bergidik kedinginan. Waktu menunduk baru ia sadar bahwa seluruh tubuhnya ternyata telanjang bulat tanpa mengenakan secuil pakaian pun, meski dalam ruang goa ini tiada orang lain, tak urung ia jadi malu dan merah jengah selebar mukanya, cepat ia menarik selimut dari atas dipan terus membungkus tubuh sendiri seenaknya.

“Tempat apakah ini? Siapakah yang melucuti pakaianku?” inilah pertanyaan berlarut yang berkecamuk dalam benaknya. Tetapi semua pikiran itu tidak lebih besar dari rasa perhatiannya kepada Koan San-gwat, maka cepat-cepat ia berlari ke arah luar.

Bagian luar ini juga merupakan sebuah ruangan baru, cuma jauh lebih luas, disini ada bertumpuk bermacam barang danbenda, di pojok sana terlihatlah pakaiannya yang sudah dedel dowel tak karuan, baru sekarang teringat akan kejadian yang lalu, lapat-lapat ia masih ingat seorang perempuan pertengahan umur keburu tiba menolong jiwanya, jadi kamar batu ini pasti tempat tinggal orang. Cuma dimanakah Koan- toako? Demikian ia bertanya-tanya.

Di saat ia berdiri menjublek itulah di luar terlihat sebuah bayangan berkelebat masuk, ternyata perempuan pertengahan umur itu sudah kembali sambil memanggul seekor kijang. Begitu melihat Ceng-Ceng sudah bisa turun dan berjalan serta berdiri, raut wajahnya lantas mengunjukkan seri tawa yang penuh perasaan welas asih, katanya, “Nona cilik! Kau sudah bisa bangun! Sungguh hebat kau, selama sepuluh hari ini aku selalu berkuatir bagi keselamatanmu, tenagamu habis terkuras, darahpun mengalir terlalu banyak, sungguh aku tidak habis mengerti cara b\agaimana kau kuat bertahan.!” Sudah tentu Thio Ceng Ceng berjingkrak kaget, teriaknya, “Apa? jadi aku jatuh pingsan setelah sepuluh hari?”

Perempuan itu mengunjuk senyum, sahutnya, “Masa aku menggoda kau! Selama sepuluh hari ini tidurmu seperti orang yang sudah mati, menurut perhitunganku, paling tidak kau harus beristirahat dua tiga bulan baru bisa pulih seperti sedia kala. Tak nyana kondisi badanmu jauh lebih kuat dan sebat dari orang lain….”

Dengan gelisah Thio Ceng Ceng bertanya, “Lalu dimanakah Koan-toako?”

“Maksudmu bocah laki-laki itu? Keadaannya memang rada aneh, seluruh tubuhnya tidak kelihatan kena luka tapi dia tidak dapat bergerak, aku sendiri tidak tahu terserang penyakit apa, terpaksa kuantar ke tempat Soat-lo Thay-thay!”

Thio Ceng Ceng tercengang, tanyanya, “Siapakah Soat-lo Thay-thay. Kenapa Koan-toako harus diantar ke tempatnya?”

“Ilmu pengobatan Soat-lo Thay-thay sangat tinggi, bocah itu amat aneh lagi, kini cuma beliau yang mampu mengobati, luka-luka di tubuhmu juga kuobati dari rumah obat pemberiannya! Lihatlah betapa manjur obatnya itu, sedikitpun tidak meninggalkan bekas-bekas di kulit badanmu ….”

Kejut dan heran pula rasa Thio Ceng-Ceng, dari penuturan orang ia dapat menyimpulkan bahwa Soat-lo Thay-thay yang dimaksud itu tentu adalah orang yang ditentang ayahnya itu, orang ini pula yang hendak dicarinya. Cuma tidak habis terpikir olehnya kenapa ayah merasa sirik dan benci terhadap seorang perempuan tua, maka setelah merenung ia berkata kepada perempuan pertengahan umur itu. “Dimana tempat tinggal Soat-lo Thay-thay, aku ingin menengok keadaanKoan- toako ….”

Cepat perempuan itu menggoyangkan tangan, katanya, “Jangan kau kesana! Soat-lo Thay-thay pernah kemari melihat keadaanmu, ia ada pesan wanti-wanti. Bagaimana juga melarang kau pergi kesana. Kalau tidak, masa aku menahan kau di sini merawat lukamu. Tempatku ini memang kecil cuma tinggal seorang lagi, jadi kekurangan tenaga untuk merawat keadaanmu, tapi Soat-lo Thay-thay sendiri sudah berpesan sebelumnya, aku pun tidak dapat berbuat apa-apa.”

Thio Ceng Ceng jadi melengak, timbul berbagai pertanyaan dalam benaknya, tanyanya, “Kenapa Soat-lo Thay-thay tidak mengijinkan aku ke sana?”

“Akupun tidak tahu, macan salju itu adalah binatang peliharaan Soat-lo Thay-thay. Sebenarnya dia tidak bisa melukai orang, entah kenapa bisa bertengkar dengan kau. Aku lebih tidak mengerti kenapa Soat-lo Thay-thay bisa merasa sirik terhadap kau. Saat aku tidak meminta-minta kepada beliau, luka-lukamu ini beliau pun tidak mau mengobati! Nona apakah kau punya permusuhan dengan Soat-lo Thay-thay?”

“Tidak! selamanya aku belum pernah melihat dia!” “Memang. Soat-lo Thay-thay sudah menetap dua puluh

tahun disini, selamanya beliau belum pernah keluar, usiamu

paling banyak baru dua puluh tahun, bagaimana pun tidak mungkin mengikat permusuhan dengan maka aku heran kenapa beliau tidak suka kepada kau.”

Namun dalam benak Thio Ceng Ceng sudah menyimpulkan sesuatu, wajahnya mirip dengan bentuk wajah ayahnya tentu. Cuma ia tidak habis mengerti antara ayahnya dengan Soat-lo Thay-thay ini ada ganjalan sakit hati apa….?”

Melihat orang termangu-mangu, perempuan pertengahan umur itu bertanya, “Nona cilik! Untuk apa kau bawa bocah itu jauh-jauh ke Kun-Lun-san sini….? Oh, ya! Tentu kau kenal Soat-lo Thay-thay, maka kau bawa bocah itu kemari minta pengobatannya?”

“Selama hidupku belum pernah aku melihat Soat-lo Thay- thay, soalnya Koan-toako terkena racun jahat, kudengar di puncak Kun-lun-san ada seorang kosen yang mengasingkan diri, pandai ilmu pengobatan, maka kubawa dia kemari mohon diobati. Apakah Soat-lo Thay-thay orang kosen yang hendak kucari itu aku sendiri tidak tahu.”

“Ya, tidak salah lagi, orang yang menetap di puncak Kun- lun-san sini cuma beberapa orang saja, apalagi yang pandai ilmu pengobatan cuma Soat-lo Thay-thay seorang, jauh-jauh kau datang justru membawa seorang pasien, tidak heran beliau tidak senang terhadap kau!”

“Kenapa?” tanya Thio Ceng Ceng heran.

“Watak Soat-lo Thay-thay sangat aneh, dia pernah beritahu kepadaku, kecuali musuh dalam dunia ini dia sudah tidak punya sanak kadang lagi. Sudah tentu kau bukan musuh yang dimaksud itu, tapi kenalan beliaupun tak banyak, orang yang memberi petunjuk supaya kau kemari itu tentu punya permusuhan dengan beliau maka ia jadi salah paham pula kepada kau!”

Thio Ceng Ceng jadi rada tenang akan duduk perkaranya, cuma dia tidak menjelaskan persoalan antara ayahnya dengan Soat-lo Thay-thay sebab seluk-beluk peristiwa itu ia sendiri tidak jelas, setelah berpikir sejenak, sengaja ia alihkan pokok pembicaraan, tanyanya, “Toanio! Kau she apa, bagaimana bisa hidup sebatangkara di atas pegunungan yang sunyi ini?”

“Menyinggung namaku, dahulu memang pernah tenar dan

…. aih, kenapa aku ngelantur. Aku she Peng, kau boleh panggil aku Peng Toanio saja! Dua puluh lima tahun yang lalu, aku pernah terluka parah dan dikejar-kejar musuh sampai ke puncak Kun-lun-san ini, untung Soat-lo Thay-thay keburu datang dan menggebah lari musuhku itu, aku terus tinggal disini, berkat pertolongan beliau luka-lukaku sembuh seluruhnya. Maka sejak saat itu, aku terus tinggal disini, meskipun hawanya dingin, tapi keadaan yang sepi ini cukup nyaman dan tentram, maka aku tidak berniat berkecimpung lagi di dunia Kangouw.” Thio Ceng Crag termenung sebentar lalu berkata dengan tekad yang besar, “Meskipun Soat-to Thay-thay tidak suka akan kedatanganku, akupun akan meluruk ke tempatnya, apa pun yang terjadi nanti aku harus tahu keadaan Koan-toako. Racun yang mengeram di dalam badannya sukar disembuhkan, apakah Soat-lo Thay-thay mampu menyembuhkannya?”

“Untuk itu akupun kurang jelas, setelah kuantar bocah itu masuk ke dalam Sincoat-kok, Soat-lo Thay-thay cuma datang menjenguk kau sekali saja, selanjutnya bila aku kesana selalu dirintangi oleh Khong Ling-ling.”

“Siapa pula itu?”

“Ling-ling adalah murid Soat-lo thay-thay,” Peng-toanio menjelaskan sambil menjengek. “Budak kecil itu jauh lebih galak dari Soat-lo Thay-thay, kalau bicara dengan aku selalu bersikap acuh tak acuh dan menyebalkan. Bapaknya saja tidak berani bersikap demikian terhadapku. Di kala Kui-thian-ya-se (kuntilanak terbang ke langit) malang melintang di Kang-ouw, Loh-hun kok sama sekali belum apa-apa pada masa itu.”

“Apa?” teriak Thio Ceng Ceng. “Jadi putri Khong Bun-thong berada disini?”

Peng- toanio melirik, jengeknya, “Apa kau juga kenal Khong Bun-thong si keparat itu?”

Nada perkataannya penuh rasa gusar dan tidak senang, seolah-olah merasa disepelekan, dan nama Khong Bun-thong malah banyak mempengaruhi hatinya.

Thio Ceng Ceng makin gelisah, cepat ia berseru, “Toanio! Bagaimana juga aku harus segera menemui Koan-toako, kalau tidak pasti celaka!”

“Kenapa?” tanya Peng-toanio tercengang. “Kenapa kau begini gugup?” “Sudah, jangan terlalu banyak tanya, pendek kata bila Kong Ling-ling tahu asal-usul Koan-toako pasti urusan lebih payah….”

“Kenapa bisa begitu? Masa kau tahu Khong Ling-ling si budak busuk itu bakal melalap kekasihmu itu. Meski budak liar itu telah mendapat didikan Soat-lo Thay-thay tapi aku tidak gentar terhadapnya, soalnya kupandang muka beliau. Kalau tidak, sejak dulu aku sudah labrak dia habis-habisan. Kau tak usah takut, jelaskan dulu perkaranya, mungkin aku dapat memberikan bantuan, kalau tidak seorang diri kau menerjang kesana, seumur hidupmu ini jangan harap dapat keluar dari Sin-Soat-kok!”

Thio Ceng Ceng tahu orang tidak menggertak atau hendak menakut-nakuti dirinya, untung orang benci terhadap Khong Ling-ling maka tidak berhalangan dia menjelaskan kejadian yang sebenarnya, maka tuturnya, “Nama Koan-toako adalah Koan San-gwat. dia adalah murid tunggal atau pewaris dari Bing-tho-ling-cu Tokko Bing….”

“Apa? Bocah itu adalah pewaris Tokko Bing? Bagaimana keadaan Tokko Bing, selamanya ia tidak pernah menerima murid….”

“Toanio jangan ribut, Tokko-cianpwe sudah meninggal, seluruh kepandaian silatnya sudah diturunkan kepada Koan- toako….”

Berubah pucat air muka Peng-toanio, ujarnya lirih, “Sudah meninggal? Orang seperti dia bisa mati begitu cepat? Cara bagaimana dia mati?”

“Aku tidak tahu, kelak silahkan kau tanya Koan-toako sendiri. Dia….”

“Ya! Aku harus tanya kepadanya, bagaimana dengan dia!” “Koan-toako terkena racun jahat Loh-hun-lok Khong Bun-

thong, tapi diapun berhasil mengganyang Khong Bun-thong itu. Kalau peristiwa ini sampai diketahui Khong Ling-ling, kejadian bakal….”

Peng-toanio ikut terkejut, serunya, “Sungguh sangat kebetulan, tapi tidak usah gelisah, sejak kecil Khong Ling- lingbelajar silat kepada Soat-lo Thay-thay, ayah kandungnyapun tidak tahu dia berada disini, maka berita itu tidak akan dapat didengarnya!”

“Tapi kalau Koan-toako sendiri yang mengatakan, bagaimana?”

“Aku justru tidak berpikir ke arah situ, agaknya kita memang harus menyusulnya ke sana, kau tunggu sebentar, kucarikan pakaian untuk kau, segera kita ke sana….”

Thio Ceng Ceng mengenakan pakaian dari kulit menjangan, ia mengintil di belakang Peng-toanio, berjalan cepat. Hawa sangat dingin tapi perasaan hatinya justru panas membara. Dia tidak tahu bagaimana keadaan Koan San-gwat sekarang. Apakah racunnya sudah punah? sudah sembuh? Atau sudah mati? Kalau sudah sembuh, apakah dia bercerita tentang asal- usul sendiri? Pikiran dan kekuatiran ini berkecamuk dalam benaknya, sehingga kedua alisnya bertaut ke dalam.

Sepanjang jalan Peng-toanio mengoceh sendiri, “Sudah mati…. bagaimana kau bisa mati….?”

Thio Ceng Ceng tahu orang terkenang kepada Tokko Bing, entah ada hubungan apa antara orang tua ini dengan Tokko Bing, soalnya hatinya sendiri sedang kalut, segan ia bertanya.

Begitulah sekian lama mereka berputar-putar di puncak gunung bersalju akhirnya tiba di sebuah lembah yang sangat tersembunyi. Salju sudah mengeras dan merintangi jalan, cuma sebuah jalan sempit yang menembus ke dalam sana, macan salju itu tampak mendekam di tengah jalan, agaknya berjaga di mulut lembah, begitu melihat Thio Ceng Ceng, mulutnya lantas mengeluarkan suara gerungan marah. Peng-toanio lantas menghardiknya, “Binatang! Hayo minggir, berani kau menghalangi aku masuk!?”

Macan salju itu melirik sekilas ke arahnya, sinar matanya menatap ke arah Thio Ceng Ceng maksudnya tidak diijinkan masuk ke dalam.

Kontan Peng-toanio menggablok pantatnya serta membentak gusar, “Kurang ajar. Akulah yang membawanya kemari dan akulah yang bertanggung jawab!”

Setelah dipukul, apa boleh buat! Macan salju itu menyingkir ke pinggir. Lekas Peng-toanio menarik Thio Ceng Ceng masuk ke dalam lembah. Setelah menyusuri sebuah jalan sempit yang diapit batu pegunungan, keadaan mata tiba-tiba terbuka luas, hawa disini pun terasa segar, pohon hidup ditaburi bunga salju, dimana-mana tampak kembang mekar, pohon Siong menghijau, bunga Bwe berkembang pohon bambu pun tumbuh subur di mana-mana.

Meski hati Thio Ceng Ceng dirundung kerisauan, setelah melihat keadaan yang luar biasa ini, serta merta ia menghela napas, ujarnya, “Tak nyana di tempat ini ada dunia luar yang mempesonakan.”

Peng-toanio tersenyum, ujarnya, “Maju lebih lanjut kau akan melihat banyak pandangan yang tidak atau belum pernah kau lihat. Bukan saja ilmu silat Soat-lo Thay-thay teramat hebat, ilmu pengetahuan lainnya pun sama tinggi dan luas sekali….”

Perhatian Thio Ceng Ceng tertarik pada sebuah penglihatan yang ada di bawah sebuah pohon Siong tua dan besar, jadi ia tak perhatikan ucapan Peng-toanio. Rada jauh di depan sana dilihatnya seorang gadis remaja mengenakan pakaian serba merah sedang menuntun seorang berjubah hijau berjalan lambat-lambat, laki-laki itu bukan lain adalah Koan San-gwat yang selalu dirindukan itu.

-oo0dw0oo- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar