Naga Mata Satu (It Gan Liong)

Pengarang : Tjoe Bing Siang
SURAT tantangan yang singkat dan tandas ini dibaca dan dibaca lagi oleh Liok Samkong sambil otaknya bekerja keras    untuk    mengingat-ingat    nama    dan    juluknn

pengirimnya. Sebagai seorang piauwsu [pengawal barang] yang telah berhasil memiliki nama besar karena selama limabelas tahun memegang pekerjaan ekspedisi belum pernah mengecewakan para langganannya, tentu saja Liok Samkong tak dapat segera ingat akan orang yang mengirim surat tantangan itu sebab sudah tak dapat dihitung lagi berapa banyaknya kepala perampok yang pernah hendak mengganggu barang kawalannya dan ia robohkan. Berkat ilmu kepandaiannya yang tinggi terutama dalam hal memainkan senjata istimewanya yang berupa seutas pecut panjang. Apabila ia bertempur menghadapi lawan pecut ditangannya bergerak gerak sedemikian rupa bagaikan gerakan seekor naga mengamuk. Karena kehebatan ilmu pecutnya inilah serta sangat besarnya perasaan tanggungjawab atas kewajiban selaku seorang piauwsu maka Liok Samkong, tanpa maunya sendiri, dijuluki Si Pecut Nagasakti atau Sin'iiongpian. Akan tetapi sejak mata sebelah kanan piauwsu ini cacat akibat sebuah peristiwa pada lima tahun yang lalu sehingga mata kanan ini menjadi buta, ia lalu mendengar bahwa ada orang iseng yang merubah nama julukannya menjadi Si Naga Mata satu atau It-gan-liong alias Si Nagabuta! Mula mula nama julukan baru yang sebenarnya berupa poyokan ini sangat menyakiti hatinya, namun baiknya piauwsu yang berusia empatpuluh tahun ini memiliki watak bijaksana sehingga ia anggap bahwa segala sesuatu yang terjadi dan perubahan dialam dunia ini adalah semata mata atas kehendak Tuhan Jang Maha Kuasa! Julukan Si Pecut Nagasakti atas dirinya, bukan kemauannya. Julukan Si Naga Matasatu, juga bukan atas kemauannya! Persetan dengan nama julukan kosong, biarlah orang hendak menjulukinya Si Naga buta atau Kadal buduk, ia tak mau ambil pusing. Pokok yang penting, sekali Liok Samkong tetap Liok Samkong selamanya, piauwsu yang besar tanggungjawabnya dan yang dapat menjamin keselamatan barang- barang yang diantarnya sampai ditempat tujuan dan darimana ia mendapat upah membiayai nafkah keluarganya. Habis perkara! Mau apa lagi?! Buat apa mesti memperdulikan segala macam namajulukan yang samasekali tiada gunanya? Demikianlah pendirian Liok Samkong yang akhirnya menjadi biasa juga kalau ia mendengar orang menyebutkan nama poyokan itu terhadap dirinya!

Pagi itu, ketika ia membuka pintu depan rumahnya ia melihat bahwa didaun pintu terdapat sepucuk suracang ditancap sebatang senjata piauw. Bagi Liok Samkong, hal ini sama sekali tidak membuatnya merasa kaget oleh karena sebagai seorang ahli silat, ia sudah terlalu biasa menghadapi segala keanehan yang menjadi kebiasaan dilakukan oleh orang-orang kangouw, termasuk juga surat yang ditancapi sebatang piauw itu. Dia segera dapat menduganya meski sebelum dibaca bahwa isi surat itu, kalau tidak berupa ancaman, tentu berupa tantangan dari salah seorang lawan yang pernah dikalahkannya. Atau adakalanya juga berupa surat ajakan pibu [adu kepandaian] sebagai pembuka jalan perkenalan. Inilah salah satu keanehan yang menjadi kebiasaan orang-orang kang-ouw [dunia persilatan], perkenalan melalui pibu! Padahal pada umumnya setelah pibu itu jarang sekali perkenalan berlangsung baik, apalagi mempererat tali persaudaraan, bahkan justeru sebaliknya sering terjadi timbulnya permusuhan oleh karena bagi yang mengalami kekalahan dalam pibu, mau tak mau hatinya jadi merasa penasaran hingga timbullah perasaan dendam kesumat dan kemudian setelah menambah ilmu kepandaiannya lagi lalu menantang pibu kembali terhadap orang yang pernah mengalahkannya yang pada hakekatnya tak lain hanya untuk melampiaskan perasaan dendam sehingga selanjutnya terjadilah saling membalas dendam antara kedua pihak dan kebiasaan buruk ini ada kalanya berlangsung sampai turun-temurun!

Setelah Liok Samkong mengingat-ingat sampai seketika lamanya dan surat tantangan yang ditandatangani Toat-beng Tanto Go Jikiu masih tetap terpentang lebar dalam pegangan kedua tangannya, akhirnya ia menepuk kening sendiri sambil menggumam :

“Yah! Aku ingatlah sekarang. Go Jikiu Si Golok Tunggal Pencabut Nyawa adalah kepala perampok yang pernah bentrok denganku gara-gara soal pertaruhan dikota Lokcun pada lima tahun yang lalu.” Dan sambil mengenangkan kembali dalam ingatannya peristiwa yang terjadi pada lima tahun yang telah lewat itu, Samkong berjalan memasuki rumahnya kembali dan melemparkan surat berikut piauwnya itu keatas meja diruangan depan.

“Surat apakah itu?” tanya isterinya yang ketika itu tiba-tiba keluar dari kamar dan menghampirinya.

Sambil meletakkan pantatnya disebuah kursi, Liok Samkong menyahut dengan suara datar: “Biasa saja. Surat dari seorang yang merasa penasaran.”

Nyonya Liok menghela napas. “Bolehkah aku membacanya?” “Bacalah…..!” Kembali Liok hujin [nyonya Liok] menghela napas ketika surat itu telah dibacanya. Matanya memandang wajah suaminya, ia lalu bertanya lirih: “Kau akan penuhi tantangan ini?”

“Tiada alasan apapun untuk menolak. Apalagi sikepala perampok she Go itu berani mengatakan bahwa aku seorang pengecut apabila aku tidak memenuhi tantangannya! Benar-benar suatu penghinaan yang tak dapat kubiarkan begitu saja!” Bijimata yang tinggal sebutir itu nampak berapi-api pertanda bahwa hati piauwsu ini sangat marah.

Tentu saja Liok hujin sudah mengenal watak suaminya. Biarpun suami itu sudah tidak mau ambil pusing akan segala nama julukan maupun nama poyokan, namun dia akan murka sekali apabila disebut pengecut! Kemudian wajahnya membayangkan kemuraman ketika berkata: “Suamiku, kalau menurut pendapatku, sebaiknya kau jangan penuhi tantangan itu. Hatiku seperti mendapat firasat buruk dengan adanya tantangan dari sikepala perampok ini, sehingga aku takkan rela melepasmu kalau kau memaksa juga pergi kehutan Siong-tiok-lim.”

Samkong balas memandang wajah isterinya, mengerutkan kening. “Mengapa pagi ini hatimu tiba-tiba jadi demikian perasa? Mungkinkah firasat buruk yang kau katakan itu hendak kau artikan bahwa aku akan bertemu maut kalau kupenuhi tantangan sikepala perampok itu?”

Bibir isteri itu nampak bergerak-gerak, agaknya ia merasa berat sekali untuk menyatakan kegelisahan hatinya yang dikatakannya sebagai firasat buruk itu tadi.

Agaknya percakapan suami isteri ini selanjutnya akan menjadi panjang dan soal firasat buruk itu agaknya akan menjadi bahan perbantahan mereka kalau saja pada ketika itu, mereka tidak melihat kedatangan dua orang tamu yang sudah berdiri diambang pintu sehingga Samkong cepat meninggalkan tempat duduknya dan berjalan menghampiri kedua tamu itu. Sementara isterinya, setelah memandang sekilas kearah kedua orang itu dengan sinar mata penuh selidik, lalu masuk kedalam.

Seingat Samkong, belum pernah ia mengenal kedua tamu itu. Maka sebagai seorang ahli silat yang sudah berpengalaman ia sangat waspada ketika berjalan menghampirinya dan dalam sepintas lalu saja ia sudah dapat meneliti keadaan mereka. Ternyata yang seorang usianya kira-kira limapuluh tahun, tubuhnya jangkung-kurus dan pakaiannya terbuat dari kain mahal yang biasa menjadi sandang orang hartawan atau saudagar-besar. Sungguhpun usianya sudah setua itu, tetapi ia tidak memelihara jenggot maupun kumis sehingga kulit wajahnya sangat bersih dan membayangkan keramahan. Adapun yang seorang lagi ialah pemuda remaja berwajah tampan, bentuk tubuhnya tegap dan pakaiannya yang berwarnaserba biru juga terbuat dari bahan yang sama seperti sandang orangtua tadi. Dan mereka ini ketika melihat Lio k Samkong menghampiri, cepat bersoja memberi hormat dan terdengar orangtua itu bertanya :

“Sicu [tuan yang gagah], benarkah kami ini berhadapan dengan piauwsu [pendekar pengawal barang] It-gan-liong Liok Samkong yang terhormat?”

“Benar, Siauwte yang rendah ini memang piauwsu yang sianseng [tuan] maksudkan”, sahut Samkong sambil balas menghormat. Melihat sikap yang wajar ketika kedua orang itu memberi hormat, tidak seperti sementara para ahli silat yang licik apabila dalam menghormat sering disertai mengirimkan serangan gelap berupa hawa pukulan dari jarak jauh untuk menjajal tenaga dalam orang yang dihadapinya, lagipula tutur sapa orang tua itu demikian sopan dan bibir bersenyum ramah, maka legalah hati Samkong sekalipun ia tak dapat melepaskan kewaspadaannya. Ketika selanjutnya ia mengajukan pertanyaan: “Bolehkah siauwte [aku yang muda] bertanya, siapakah jiwi [tuan berdua] yang terhormat ini dan dari mana ? Serta maksud apakah yang jiwi bawa sehingga dalam saat masih sepagi ini siauwte mendapat kehormatan menerima kunjungan kalian ?”

Senyum orangtua itu tampak makin melebar. “Kami berdua berasal dari Santung dan aku situa bangka ini bernama So Kimlin. Adapun ini..”, ia menunjuk anak muda berbaju biru tadi yang berdiri disisinya, “adalah puteraku yang kuberi nama kepadanya So Sanbeng. Kami berdua menuntut penghidupan sebagai pedagang keliling dan kami berada dikota Sunlay ini sudah tiga hari. Kebetulan sekali kami dengar bahwa Liok sicu adalah piauwsu yang sudah mendapat kepercayaan penuh dari para langganan, maka demikianlah kedatangan kami kemari menemui sicu ini maksudnya bukan lain ialah kami hendak minta bantuan sicu untuk mengangkut sedikit barang dagangan kami kekota Lokyang. Dan kami perlu berangkat pagi-pagi ini juga. Bagaimanakah, bersediakah sicu kiranya?”

Rada terkesiap juga hati Samkorg ketika mendengar orangtua itu menyebut kota Lokyang! Ia sudah maklum bahwa perjalanan menuju Lokyang harus ditempuh melalui jalan pegunungan yang melingkar-lingkar dan banyak naik turun dibawah kaki gunung Hengsan sebelah selatan! Mau tak mau hati piauwsu yang selalu waspada ini menjadi bercuriga dan menurut prasangkanya, bahwa kedua orang yang baru dijumpainya itu sangat mungkin mempunyai hubungan erat dengan surat tantangan dari Toatbeng Tanto Go Jikiu tadi! Betapa tidak? Surat dari sikepala perampok itu baru saja diterimanya, dan kini kedua orang yang mengaku pedagang keliling ini menyatakan perlu bantuannya dan perjalanan yang harus ditempuhnya justeru melewati kaki gunung Hengsan dimana terdapat sebuah hutan yang banyak ditumbuhi pohon siong dan bambu sehingga hutan ini dinamakan Siong-tiok-lim dan dihutan inilah Go Jikiu menunggu kedatangannya untuk membalas dendam sebagaimana dinyatakan dalam suratnya tadi! Tak salah lagi, pikir Samkong, bahwa kedua orung ini pasti adalah kaki tangan dari sikepala perampok Go Jikiu yang sengaja datang hendak memancing dengan jalan pura-pura minta bantuan mengangkut barang, supaya ia dapat segera mendatangi hutan Siong-tiok-lim! Hal ini tak mungkin terjadi secara kebetulan, melainkan pasti sudah diatur menurut siasat mereka, demikian pendapat Samkong lebih jauh. Dan dari sebab adanya prasangka inilah, maka untuk sejenak Samkong merasa ragu akan segera menyatakan kesediaannya, bukan karena merasa takut, akan tetapi perkataan isterinya tadi seketika itu tiba-tiba terasa sangat mempengaruhi hatinya sehingga menimbulkan kesimpulan bahwa firasat buruk yang dikatakan isterinya tadi merupakan pertanda yang tak dapat ia remehkan! Akan tetapi segera ia menekan perasaan hatinya setelah diperolehnya alasan yang sangat tepat dan sikap serta suaranya sangat wajar ketika ia menyahut:

“Selaku seorang piauwsu yang menggantungkan nasib hidupnya hanya mengandalkan dari kebaikan para langganan yang sudah menaruh kepercayaan terhadap siauwte yang rendah ini, tentu saja maksud jiwi yang terhormat ini siauwte terima dengan gembira dan berterimakasih sekali. Hanya menyesal sekali maksud jiwi ini tak dapat siauwte penuhi hari ini oleh karena selain siauwte sendiri masih merasa lelah lantaran baru saja kembali malam tadi dari kota Hunleng, juga keempat orang pembantuku sedang pergi mengantarkan barang keluar daerah dan mereka mungkin besok baru kembali, maka bngaimanakah kiranya kalau maksud jiwi ditangguhkan saja barang sehari atau dua, sampai mereka pulang kembali atau keletihanku ini sudah hilang !”

Mendengar jawaban ini, maka orangtua jangkung kurus itu nampak kecewa. “Ah, sungguh tidak kebetulan    ! Sedangkan kami

justeru merasa sangat perlu berangkat dalam saat ini juga!, Akan tetapi, Liok sicu, kami percaya bahwa sicu dapat memaklumi betapa pentingnya bagi seorang pedagang untuk mengejar hari pasaran sehingga kami percaya pula bahwa sicu akan sudi menolong kami yang benar-benar sangat perlu berangkat pagi ini juga. Tentang ongkos, berapa yang sicu minta, pasti kubayar penuh sekarang juga dan kami akan sangat berterimakasih serta pasti takkan melupakan budimu kalau pagi ini sicu dapat memenuhi kebutuhan kami yang sangat mendesak ini.”

Orangtua itu demikian mendesak dan lebih tepat kalau disebut memaksa, sehingga tambah memperkuat prasangka Liok Samkong bahwa kedua orang ini tak salah lagi adalah kawanan perampok yang telah dijadikan sebagai alat pancingan oleh dedengkot mereka Go Jikiu! Malah sangat mungkin surat tantangan yang dibacanya tadi adalah mereka yang menyampaikannya! Untuk sejenak Samkong tak dapat segera mengambil putusan. Hati dan pikirannya seakan-akan sedang bertempur hebat, bagaimana ia harus berbuat terhadap desakan orangtua itu, ditolak ataukah diterima? Kalau diterima, ia seakan-akan merasa dihalangi oleh firasat buruk yang dikatakan isterinya dan yang justeru kini makin menghebat mempengaruhi hatinya! Dan kalau ia menolaknya, ia sudah dapat menduga bahwa kedua oknum bicokok yang mengaku pedagang keliling ini pasti akan segera menganggap bahwa ia adalah seorang pengecut sebagaimana yang ditulis oleh Go Jikiu dalam suratnya tadi! Dan akhirnya, setelah dipikirnya bolak-balik tiba-tiba bangkitlah semangat gagah dan sifat jantannya yang selama ini ia miliki. Demi menjaga nama dan kehormatan selaku pengusaha ekspedisi yang indah berhasil memperoleh nama besar, dan berkat keyakinan pribadinya yang selalu menyerahkan segala sesuatu yang masih belum terjadi terhadap kekuasaan Tuhan, maka Liok Sam kong akhirnya lalu menyatakan kesediaannya.

Orangtua itu makin berseri wajahnya, juga pemuda berbaju biru yang sejak tadi tinggal membisu terlihat menunjukkan kegembiraan hatinya sehingga membuat wajahnya tampak makin tampan ketika ia berseri setelah mendengar pernyataan Liok Samkong yang ternyata dapat mengabulkan maksud mereka. Dan demikianlah secara singkat dapat diceritakan bahwa setelah soal ongkos mereka rundingkan dan ternyata orangtua itu segera membayarnya dengan kontan tanpa ditawar lagi, maka orangtua dan anakmuda itu kemudian minta diri sambil berpesan bahwa mereka minta dijemput dirumah penginapan Cialing.

***

“Suamiku, kemarin sore, sebelum kau kembali dari Hunleng, kedua orang tadi pernah datang kemari. Kini mereka datang pula dan kudengar bahwa mereka minta kau antar kekota Lokyang! Akan tetapi mengapa kau meluluskan juga permintaannya, padahal tadi sudah kukatakan bahwa hatiku takkan rela kalau kau pergi kehutan Siong-tiok-lim?”, demikian ujar nyonya Liok ketika suaminya masuk kedalam rumah.

Samkong melengak dan mata kirinya ditatapkan terhadap isterinya sambil balas menanya: “Agaknya kau menyesali aku yang telah meluluskan permintaan mereka? Menurut anggapanmu ada sangkut paut apakah antara mereka dengan hutan Siong-tiok-lim ?”

“Aku menaruh curiga terhadap mereka. Terutama orangtua itu, dibalik tutur sapanya yang enak bagi pendengaran, dibalik wajahnya yang selalu berseri-seri, aku merasa seperti ada apa-apa yang kurang wajar! Juga dalam hal ongkos yang dibayarnya sekaligus dan tanpa ditawar, sedangkan biasanya orang baru membayar ongkos kalau barangnya sudah sampai ditempat tujuan dengan selamat atau setidak-tidaknya membayar sebagian dulu sebelum berangkat, maka pada hematku orangtua itu pasti mengandung maksud yang kurang baik bagimu! Tidakkah kau berpendapat seperti pendapatku bahwa orangtua itu secara licin sekali lelah memancingmu kehutan Siong-tiok-lim? Mulutnya saja mengatakan hendak pergi ke Lokyang, padahal aku tahu bahwa perjalanan menuju kota Lokyang harus melalui hutan Siong-tiok- lim dibawah kaki gunung Hengsan sehingga dengan demikian tak usah disangsikan lagi bahwa mereka adalah komplotan-komplotan penjahat yang ditugaskan oleh Go Jikiu untuk memboyongmu kehutan Siong-tiok-lim?” Kembali Samkong melengak setelah mendengar tanggapan isterinya mengenai kedua orang tadi. Ia heran sekali mengapa pagi ini isterinya tiba-tiba jadi sangat teliti dan beranggapan persis seperti apa yang menjadi prasangknnya! Dan selagi ia masih melengak sambil diam-diam hatinya memuji kewaspadaan isierinya, terdengar isteri itu berkata lebih lanjut :

“Misalkan pendapatku ini tak masuk akal dan tak dapat diterima olehmu dan mungkin kau hanya menganggap bahwa hal ini semata- mata cuma timbul dari kelemahan hati seorang isteri bodoh yang mengehawatilkan suaminya ditimpa naas, namun kuminta dengan sangat bahwa hari ini kau jangan berangkat! Batalkan saja kesanggupanmu yang dikehendaki oleh kedua orang tadi! Kembalikan ongkos yang kau telah terima itu kepada mereka! Firasat buruk yang makin mengamuk disanubariku ini, tak mengijinkan kau pergi ! Terkecuali kalau memang kau sudah menghendaki aku ini hidup menjadi janda dan kelima orang anak- anakmu tidak berayah lagi.

Irama kata Liok hujin yang terakhir itu terdengar demikian sember dan memilukan sehingga lemahlah hati dan semangat Samkong seketika itu juga. Untuk sejenak ia tinggal menatap wajah isterinya dan mata isterinya itu jelas sudah dibasahi airmata. Tak habis-habis keheranan Samkong memikirkan mengapa hati isterinya itu pagi ini sedemikian perasa seakan-akan firasat buruknya benar-benar merupakan pertanda bahwa kalau ia pergi, ia akan binasa! Kalau tadi ia tak dapat segera mengambil putusan atas permintaan kedua orang yang mengaku pedagang keliling tadi, adapun sekarang ia tidak dapat segera mengambil putusan pula atas permintaan isterinya sehingga bingung juga pikiran Samkong karenanya. Betapa ia takkan merasa bingung, sebab kalau ia tidak memenuhi permintaan isterinya, ia merasa tidak tega dan lagi firasat buruk isterinya itu justeru sudah menular pula dihatinya. Dan kalau membatalkan janji yang ia berikan terhadap kedua orang tadi sebagaimana saran dan desakan isterinya, merasa lebih berat pula melakukannya! Janji adalah merupakan hutang yang jauh lebih berat tanggungjawabnya daripada hutang benda apapun. Setiap janji yang sudah dinyatakan, harus ditepati. Hanya orang-orang rendah budi dan berwatak pengecutlah yang suka mempermainkan soal janji! Dan Samkong justeru tak mau terima kalau ia disebut pengecut bukankah tadipun ia sudah dapat menduga bahwa kalau ia menolak permintaan kedua orang itu, pasti ia akan mereka dianggap seorang pengecut. Apalagi kalau membatalkan janji !

Oleh karena adanya pertimbangan inilah, akhirnya Samkong mengambil putusan yang pasti, bahwa ia merasa lebih penting menepati janji demi menjaga nama baik dan kehormatan dirinya daripada menurutkan cegahan isterinya yang terlalu dimomoki firasat buruk!

“Ah, isteriku. Lagi-lagi kau menjadi kurban dari perasaan hati sendiri”, katanya kemudian seakan-akan untuk membesarkan hati sendiri yang justeru serasa sudah mengecil. “Kau pagi ini benar- benar aneh sekali, Biasanya, setiap kali aku berpergian kau selalu merestuinya, dan kini mengapa tiba-tiba kau mencegahnya! Padahal kau sendiri sudah maklum bahwa mati hidup berada dalam tangan Tuhan! Meskipun setiap hari aku berdiam dirumah, kalau Tuhan sudah menghendaki aku mati, tak urung kau akan jadi janda juga! Mengapa kau mesti sedemikian berkecil hati mengkhawatirkan kematianku? Sudahlah, aku sekarang hendak berangkat! Sediakan santapan pagi.”

Liok hujin maklum akan kekerasan hati suaminya, sehingga ia tidak berani bersikeras terus-menerus, sekalipun hal itu sangat berlawanan dengan suara hatinya. Melihat suaminya segera meninggalkannya masuk kekamar untuk berkemas, maka iapun segera pergi kedapur untuk segera menyediakan santapan bagi suaminya, dengan hati risau tak keruan.

Demikianlah setelah bersantap sarapan-pagi, Liok Samkong lalu mengenakan pakaian serba ringkas dan menyiapkan perbekalan sebagaimana biasanya. Sesudah dua ekor kuda dipasang pada sebuah kereta beroda empacang menjadi alat angkutan ekspedisinya, maka piauwsu ini, tanpa menghiraukan kemurungan wajah isterinya, segera membedal tali-kendali kuda sehingga kedua ekor kuda yang kuat itu segera berlari maju, menarik kereta dibelakangnya dan empat roda yang berputar kencang itu membuat debu dijalan berhamburan mengotori kebersihan udara pagi yang cerah. Kepergian piauwsu ini diantar oleh isterinya sampai diambang pintu pekarangan dan mata yang bersinar sayu dari isteri ini terus mengawasi kepulan debu peninggalan kereta yang ditunggangi suaminya, yang makin lama makin meluncur laju dan makin jauh sehingga akhirnya menghilang disebuah tikungan. Liok hujin masih tetap berdiri diambang pintu pekarangan rumahnya itu, bibirnya bergerak-gerak memanjatkan doa supaya suaminya yang keras hati itu, yang keberangkatannya diluar dari kerelaan hatinya, senantiasa berada dalam lindungan Tuhan Jang Maha Kuasa! Liok hujin baru kembali kerumahnya sambil berlari-lari kecil setelah mendengar suara tangis anak bayinya.

***

Ternyata sikakek dan anakmuda yang mengaku pedagang keliling itu sudah siap sedia sehingga Liok Samkong yang datang menjemput mereka dihotel Cialing, tidak sampai membuang waktu untuk menunggu. Begitu mereka melihat Liok Samkong bersama keretanya datang, sikakek berseri-seri dan dengan gerakan sangat hati-hati ia lalu naik keatas kereta dan meletakkan pantatnya ditempat duduk yang dialasi sebuah bantal dekil. Sementara anakmuda berbaju biru dan dibantu oleh Liok Samkong, sibuk menaikkan barang-barang kedalam kereta dan Liok Samkong mendapat kenyataan bahwa barang-barang yang harus dimuatkan itu tidak berjumlah banyak, hanya terdiri dari empat buntalan agak besar dan sebuah peti persegi. Setelah beres barang-barang itu dimuatkan, anakmuda berbaju biru itu lalu mengambil tempat duduk disisi ayahnya, dan tatkala mana Liok Samkong juga sudah berduduk dibagian depan kereta, membelakangi kedua orang penumpangnya.

“Jiwi sianseng, tidakkah ada barang yang ketinggilan?” sambil menolehkan kepalanya kebelakang, Liok Samkong yang tangan kirinya sudah memegang tali kendali kuda dan sebatang cambuk panjang berada dalam cekalan tangan kanannya, bertanya.

“Tidak ada, Liok sicu. Mari kita mulai berangkat!”, sahut sikakek sambil tetap berseri.

“Baik!”, Liok Samkong menggerakkan cambuk di tangan kanannya tigakali ke udara dan terdengarlah suara nyaring seperti ledakan kecil beruntun tigakali. Biarpun cambuk itu tidak diarahkan ketubuh kuda, akan tetapi dua ekor kuda itu sudah mengerti sehingga begitu bunyi “tar, tar, tar!” terdengar, serempak delapan buah kaki dari dua ekor kuda itu mulai bergerak dan seterusnya berlari kencang membuat empat buah roda dari kereta yang dihelanya berputar gencar bagai kitiran dihembus angin santer, meninggalkan kota Sunlay.

“Iyaaah…! Kuda bagus, kuda hebat, lari terus, agar keretaku laju pesat!”, mendengar suara bernada riang dan kalimatnya seperti pantun ini, membuat Liok Samkong yang sedang mengendali kuda mau tak mau jadi menoleh kebelakang sebentar dan ia mendapat kenyataan bahwa sorak-riang itu adalah dari sianakmuda yang sejak tadi tinggal membisu. Dan ketika anakmuda ini melihat Liok Samkong menolehnya, sambil ketawa jenaka ia menegur: “Eh, jangan meleng. Pak kusir, baik-baik mengendali kuda, nanti kalau kuda lari nyeleweng, kereta bisa jungkir, repotlah kalau kita mendapat celaka!”

Liok Samkong tak dapat menahan ketawanya. Tak disangkanya anakmuda yang tadi kelihatan sangat pendiam itu, ternyata memiliki watak periang dan pandai pula menyusun perkataan yang diucapkannya menjadi seperti pantun. Tentu ia seorang sasterawan atau setidak-tidaknya seorang pelajar yang pernah mempelajari kesusasterann, demikian pikir Liok San kong yang diam-diam hatinya sangat tertarik yang menimbulkan rasa kagumnya terhadap anak muda berbaju biru itu.

“Liok sicu”, kini terdengar sikakek itu berkata “Kalau kedua kudamu dapat berlari secepat ini terus menerus, agaknya kita akan sampai dikota Lokyang sebelum tengah hari, betulkah?”

“Benar, kalau kuda terus dilarikan seperti ini” sahut Liok Samkong tanpa menoleh. “Akan tetapi, jalanan diluar kota sangat rusak, apalagi jalanan di sepanjang pegunungan Hengsan, sangat tidak mungkin kita membuat kuda berlari cepat seperti ini, maka kita baru bisa tiba dikota Lokyang kira-kira nanti sore, itupun kalau diperjalanan kita tidak menjumpai sesuatu rintangan”.

Sewaktu Liok Samkong mengatakan jalanan disepanjang pegunungan Hengsan, ia berusaha menekan debaran hatinya oleh karena sudah terbayang betapa angker dan rungkutnya hutan Siong-tiok-lim dimana sudah menunggu Si Golok tunggal Pencabut nyawa Go Jikiu yang akan menuntut balas terhadapnya. Dan dalam hal ini Liok Samkong tak dapat melepaskan perhatiannya terhadap kedua orang yang duduk dibelakangnya, sikakek dan anakmuda itu, yang sejak tadi sudah ia curigai bahwa kedua orang itu pasti mempunyai pertalian erat dengan peristiwa yang bakal dihadapinya dihutan Siong-tiok-lim nanti!

“Yah, Liok sicu. Mudah-mudahan saja dalam perjalanan kita tidak menjumpai sesuatu halangan”, kata sikakek seakan-akan mengulangi kata-kata Liok Samkong, dengan irama kata seperti orang sedang memanjatkan doa.

“Biar lambat, asal selamat. Biarpun sore tiba di Lokyang, hatiku kan tetap senang !”, terdengar sianak muda itu berpantun pula.

Akan tetapi ketika itu Liok Samkong seakan-akan tak mendengar ucapan-ucapan mereka ini oleh karena ia sedang sibuk menanggapi perdebatan seru yang terjadi antara hati dan pikirannya. Kalau menurut suara hatinya, maka hati itu seolah-olah mendakwa bahwa kedua orang yang duduk dibelakangnya itu sudah pasti merupakan alat-pancingan dari Go Jikiu. Betapa tidak, kedua orang ini mengaku dari Santung dan logat bicara mereka menunjukkan bahwa memang mereka ini berasal dari propinsi tersebut. Sedangkan Toatbeng Tanto Go Jikiu justeru adalah orang dari Santung pula, maka dalam hal ini saja bukankah sudah sangat mudah diduga bahwa mereka merupakan satu komplotan ? Tambahan lagi munculnya dua orang yang mengaku pedagang keliling ini sangat bertepatan dengan adanya surat tantangan dari Go Jikiu. Lagipula mereka justeru hendak menuju kota Lokyang sehingga baik secara langsung maupun tidak langsung, jelaslah mereka hendak memboyong dirinya ke hutan Siong-tiok-lim!

Namun pikiran Liok Samkong justeru membantah suara hatinya! Membantah prasangka dan kecurigaan yang muncul hanya berdasarkan pengaruh emosi! Bingung juga Liok Samkong mengikuti perdebatan antara suara hati dan jalan pikirannya ini yang satu terus menuduh dan yang lain tetap membantah! Akan tetapi, akhirnya ia mengakui bahwa ternyata suara hatinyalah yang menang, tetap menuduh kedua orang yang menyewa kereta dan tenaganya itu adalah kakitangan Go Jikiu! Dan inilah sebabnya ketika keretanya sudah melewati batas kota dan mau memasuki daerah pedesaan yang sepi, Liok Samkong mulai bersikap hati-hati. Diam-diam cambuk yang dipegang ditangan kanannya sudah dipersiapkan dan ia akal dapat segera balas menyerang apabila kedua orang yang duduk dibelakangnya itu mengirim serangan secara membokong! Pecut ini selain biasa dipergunakan untuk memukul kuda, juga pecut ini sekaligus justeru merupakan senjata istimewa dalam tangan Liok Samkong sehingga piauwsu ini mendapat nama julukan Sin-liong pan.

Matahari sudah mulai terik ketika mereka menghadapi jalan yang mulai menanjak dan berliku-liku, yaitu daerah pegunungan Hengsan. Tubuh kedua ekor kuda yang menarik kereta itu sudah basah berpeluh dan napas mereka terdengar ngos-ngosan. Namun sungguhpun demikian kedua ekor kuda ini benar-benar memiliki tenaga sangat kuat sehingga biarpun sudah berlari sejauh itu dan sekarang mulai menanjak, merek masih tetap dapat menarik kereta yang bermuatan lumayan juga beratnya, tanpa pernah mogok.

Kalau diumpamakan gelombang lautan, maka emosi yang merangsang batin Liok Samkong tak bedanya seperti gelombang lautan yang selalu mengalami pasang-surut. Kini, setelah gelombang emosinya sejak tadi selalu ribut kalangkabut, adalah sekarang dapat dikata mulai surut dan agak tenang atau dengan lain perkataan yang lebih tepat ialah, kecurigaan yang sejak mulai berangkat sangat menebal terhadap sikakek dan anakmuda itu, kini mulai menipis! Betapa tidak, sampai selama dan sejauh itu mereka dalam perjalanan, buktinya kedua orang itu samasekali tidak menunjukkan sesuatu gejala yang dapat dianggap mencurigakan. Bahkan sebegitu jauh kedua orang tersebut justeru selalu bersikap baik dan ramah, maka dengan demikian prasangka yang tadi yang begitu kuat bukankah tidak beralasan samasekali? Apalagi sekarang setelah mereka berada didaerah pegunungan Hengsan dan hutan Siong-tok-lim sudah berada didepan mata, Liok Samkong mendapat kenyataan bahwa sikakek nampak berlenggut-lenggut dalam keadaan ngantuk, tubuhnya bergoyang-goyang kekanan kekiri bersamaan dengan goncangnya kereta yang seperti oleng akibat jalanan renjul [tidak rata]. Sewaktu-waktu kalau kereta bergoncang agak hebat, maka sikakek tersentak kaget dan membuka matanya yang selalu mau meram saja itu, lalu kipas yang memang sejak cahaya matahari mulai terik tadi sudah ia keluarkan dari saku bajunya, digoyang-goyangkan mengipasi wajah dan tubuhnya yang kegerahan. Sedangkan sianakmuda berbaju biru itu, sejak tadi sangat asyik membaca sebuah buku tebal dan besar serta berjilid tebal dan kuat pula, yang diletakkan diatas pangkuannya! Buku atau kitab apa yang sedang dibaca oleh anakmuda yang kalau bicara seperti berpantun ini, Liok Samkong tidak tahu. Pantaskah kedua orang ini dicurigai? Liok Samkong bertanya kepada diri sendiri. Dan sebagai jawaban pertanyaannya ini ia seakan-akan mendengar suara dan pikirannya yang menbantah : Tidak, mereka ini adalah orang baik-baik, sehingga tidak seharusnya dicurigai. Mencurigai seseorang tanpa alasan yang kuat, adalah perbuatan yang kurang bijaksana. Curiga merupakan bibit fitnah dan orang yang suka berbuat fitnah adalah orang yang berwatak buruk! Samkong, kau terlalu menurutkan suara hatimu yang dipenuhi napsu. Menyangka jahat terhadap orang lain padahal orang itu belum tentu mempunyai sifat jahat, berarti kau sendirilah yang justeru jahat! Sudah lupakah olehmu, hai Samkong, tentang peristiwa yang menyebabkan kau sampai dipoyoki Si Naga-buta, tak lain adalah disebabkan kau terlalu menurutkan nafsu hatimu sehingga menimbulkan prasangka dan mencurigai seseorang secara serampangan!

Liok Samkong menarik napas panjang. Terasi legalah dadanya dari kepengapan pengaruh emos hatinya setelah ia dinasehati oleh daya kerja benaknya yang penuh pertimbangan ini. “Aku harus minta maaf kepada mereka atas anggapanku yang tidak selayaknya ini”, pikirnya.

Jalan makin nanjak dan bertambah renjul membuat keempat buah gelinding itu berderak-derak bunyinya dan keretanya bagaikan sebuah biduk dipermainkan amukan-ombak, oleng, berayun-ambing dan tersentak-sentak, membuat perut para penumpangnya serasa dikocok dan tulang-tulang dalam tubuh mereka serasa berlepasan!

“Aduh! Badanku sakit, dan perutku melilit, pinggang pegal, pantat kesal, kereta diambul-ambul sijalan renjul”, tiba-tiba sianakmuda yang tejak tadi diam membisu sambil asyik membaca buku, terdengar menyanyikan pantun keluhannya.

Gerutu anakmuda ini membuat sikakek terpernnjat dari kantuknya, dan menegur : “Sanbeng! Ocehanmu mengganggu aku yang sedang menikmati rasa kantuk! Jalan renjul saja mengapa mesti diributkan? Jangankan jalan dipegunungan, jalan dikotapun banyak yang sudah menjadi kubangan kerbau!”

Mendengar ini, Liok Samkong merasa geli dihatinya dan sambil ketawa ia menoleh kebelakang. “So sianseng, kata-katamu benar dan tepat. Jalan dikampung atau dipegunungan, rusak, masih mending. Sewaktu-waktu masih diperbaiki oleh penduduk secara gotong-royong, sehingga biarpun renjul, tapi tidak sampai menjad ikubangan kerbau! Tapi dikota! Apalagi dikota Lokyang yang menjadi tempat tujuan kita itu, nanti So sianseng dapat saksikan sendiri”.

“Bagaimana? Rusak?” tanya sikakek.

“Hmm! Bukan rusak lagi! Berlubang!, besar dan dalam-dalam pula. Dimusim hujan sering orang mengatakan bahwa jalanan dikota itu lebih tepat kalau disebut danau-kecil dan dapat dipergunakan memelihara ikan! Dan anehnya, biarpun kerusakan jalan sudah begitu parah dan keadaan seperti itu sebenarnya sudah lama sekali, tapi ketika setengah bulan yang lalu aku pergi kesana, masih belum kelihatan juga tanda-tanda hendak diperbaiki. Dan apa yang membuat hatiku mendongkol ialah, setiap kali aku kesana, selalu keretaku ini mengalami kerusakan berat, as roda patah!”

Terdengar sikakek tertawa terkekeh-kekeh. “Rupanya penduduk kota Lokyang tidak mempunyai kesadaran untuk memperbaiki jalan secara gotong royong.”

“Soalnya bukan begitu, So siangseng”, Liok Samkong menukas perkataan sikakek tanpa menoleh kebelakang, karena perhatiannya sedang dicurahkan ke depan untuk mengendali jalannya kuda dengan hati-hati agar keretanya tidak sampai dibawa nyasar kejurang. “Penduduk kota, baik pedagang maupun pengusaha angkutan seperti aku ini, karena merasa sudah memenuhi kewajiban membayar pajak atau sumbangan kepada penguasa pemerintah setempat, sehingga pada umumnya penduduk kota bersikap masabodoh karena dalam anggapan mereka, dalam hal perbaikan jalan sudah menjadi kewajiban pihak penguasa setempat! Dan anehnya lagi, mengapa kerusakan jalan yang sudah separah itu masih dibiarkan begitu saja….”

“Mungkin uang sumbangan yang terkumpul masih belum mencukupi....” sikakek memberi komentar seakan-akan untuk mengurangi rasa dongkol dihati Liok Samkong.

“Mungkin juga ! Tapi lebih mungkin lagi, kalau uang yang dikumpulkan dan disediakan guna biaya perbaikan jalan itu sudah. habis, seperti sering terjadi dikota-kota lain yang pernah

kudengar atau yang pernah juga kukunjungi!”

“Hah! Habis? Habis bagaimana kau maksudkan, Liok sicu?” Sambil mengangkat bahu, Liok Samkong menjawab : “Entahlah!

Hanya pihak yang menghabiskannya saja yang tahu!”

Sikakek tak terdengar bersuara lagi, sehingga Liok Samkong seterusnya juga membisu. Agaknya pembicaraan jalan renjul gara- gara keluhan sianakmuda tadi yang dijadikan bahan obrolan, sudah habis disitu. Sementara itu kereta tetap laju beroleng-oleng dan napas kedua ekor kuda terdengar makin ngos-ngosan karena dua ekor binatang penarik kereta ini benar-benar harus mengerahkan seluruh tenaga dalam menempuh jalan yang terus menanjak. Hutan Siong-tiok-lim kelihatan makin dekat, dan seiring merayapnya kereta yang ditarik dua ekor kuda yang ludah terengah-engah itu, tiba-tiba dada Liok Samkong yang barusan untuk beberapa saat mengalami ketenangan, berdebar-debar tegang! Tanpa disadarinya, emosi yang timbul dari mata hatinya tiba-tiba mengamuk, mengalahkan ketenangan pikiran yang baru sebentar saja ia nikmati hikmahnya.

Betapa ia takkan curiga terhadap kedua orang itu, malah rasa curiganya kini lebih hebat daripada sebelumnya, oleh karena sejak pembicaram mereka yang terakhir tadi habis, maka pada detik berikutnya Liok Samkong mendengar bahwa sikakek dan anakmuda itu berbicara secara bisik-bisik, seakan-akan omongan mereka takut didengar olehnya. Sudah lazimnya sifat manusia, kalau mendengar atau melihat dua orang didekatnya berbicara secara bisik-bisik, maka dengan sendirinya timbullah perasaan tidak enak dihati dan menyangka bahwa kedua orang itu sedang membicarakan dirinya, padahal mereka belum tentu berbuat seperti apa yang disangkanya! Demikianlah Liok Samkong, bukan saja dihatinya timbul rasa mengganjal, bahkan menimbulkan pula anggapan bahwa apabila sikakek dan anakmuda itu tidak mengandung sualu maksud yang sangat dirahasiakan baginya, mengapa mereka mesti berkasak-kusuk seperti itu?

Ia coba mengerahkan pendengarannya yang memang pernah terlatih, untuk mencuri dengar apa yang mereka bisik-bisikkan, namun sungguh lacur, samasekali tak dapat terdengar kecuali suara mendesis-desis dari mulut mereka saja! Dan ketika itu Liok Samkong seakan-akan mendengar suara hasutan dati hatinya: “Samkong, ingatlah akan peribahasa kuno yang mengatakan: Ti-jin, ti-bin, pui-ti-sin atau mengetahui orangnya, dan mengetahui wajahnya, akan tetapi tidak mengetahui isi hatinya! Kau memang sudah mengetahui bahwa kedua orang dibelakangmu itu adalah seorang kakek yang berwajah selalu berseri-seri dan halus tutur sapanya serta seorang anakmuda tampan yang pandai berpantun. Akan tetapi tahukah engkau, maksud apakah yang sebenarnya terkandung dihati mereka? Jangun terlalu penyayang akan sikap dari seseorang yang selalu memperlihatkan kebaikan, karena kebaikan yang terlihat pada lahirnya itu belum tentu sama dengan isihatinya! Bahkan sangat mungkin kebaikan yang diperlihatkan itu adalah sebagai kedok untuk menutupi niat buruk yang tersimpan didadanya! Nah, kedua orang yang duduk dibelakangmu itu kini bicara kasak kusuk! Mengapa mereka mesti berbisik-bisik seperti itu kalau tidak mengandung iktikad buruk terhadapmu? Tengoklah, betapa sikap mereka……”

Liok Samkong menoleh kebelakang dan berbareng dengan mana, kedua orang itu serempak menghentikan bisik-bisik mereka dan keduanya memandang terhadapnya sambil bersenyum-senyum, sehingga Liok Sari kong tidak tahu harus berbuat bagaimana, maka lalu ia berpaling lagi kedepan. Akan tetapi begitu ia membelakangi mereka, ia segera mendengar pula mereka berbisik-bisik, maka kembali ia menengok lagi kebelakang dan juga seperti tadi, begitu ditengok, otomatis bisik-bisik mereka terhenti pula dan mereka kembali bersenyum-senyum sambil memandang kepadenya! Hal seperti ini membuat hati Liok Samkong penasaran bukanmain! Jelas, bisik-bisik mereka itu sudah pasti mempunyai hubungan dengan diriku, senyum mereka tak lain hanya senyum palsu! Prasangkaku, juga prasangka isteriku tadi, jelas tidak meleset bahwa kedua orang yang mengaku pedagang keliling dari Shantung ini adalah kakitangan dari sikepala perampok Go Jikiu! Buktinya, setelah kini mulai memasuki hutan Siong-tiok-lim mereka berkasak-kusuk, pasti mereka sedang mengatur siasat untuk melaksanakan iktikad jahat! Demikianlah hati Liok Samkong melakukan tuduhan!

Untuk sementara ia masih dapat menekan ketegangan hatinya. Akan tetapi ketika untuk ketiga kalinya ia menoleh dan memandangi mereka, ia mendapat kenyataan bahwa sekarang bukan saja mereka itu setelah menghentikan bisik-bisik mereka dan bersenyum-senyum seperti tadi, bahkan kali ini begitu matanya yang hanya satu itu bertemu pandang dengan dua pasang mata mereka, justeru mereka jadi ketawa penuh kegelian dan terpingkal- pingkal sehingga sikakek sampai terbatuk dan anaktmuda itu untuk menahan suara ketawanya, menutupi wajahnya dengan buku tebal yang dipegangnya sejak tadi!

Liok Samkong benar-benar sudah tak dapat mengendalikan pengaruh hatinya sehingga sambil cambuk ditangannya siap diayunkan, terlontarlah dari mulutnya bentakan nyaring: “Apa yang kalian ketawakan, heh?! Kalau kalian benar laki-laki, bicaralah

terus terarig jangan berbuat seperti pengecut!” Bentakan marah dari Liok Samkong ini benar-benar membuat sikakek dan anakmuda itu sangat terkejut sehingga secara berbareng ketawa mereka lalu terhenti, sungguhpun sikakek masih terus terbatuk-batuk sambil kedua tangannya menekan perutnya! Hanya anakmuda itu segera menurunkan buku tebal yang tadi menutupi wajahnya, dan setelah bengong sesaat sambil balas memandang Liok Samkong yang marah itu, lalu ia berkata: “Kami ketawa, karena tak kuasa menahan rasa geli yang mengitik-itik hati. Aneh sekali karena kami ketawa, mengapa pak kusir ini jadi marah dan memaki kami? Kau memaki kami pengecut, dan agaknya kami hendak kau pecut. Sabar sedikit bung, jangan lekas marah, dan jangan mengobral makian seenaknya. Orang pemarah bukan saja bisa lekas tua dan membuktikan beriman lemah, bahkan kalau menurut nenek bilang sungguh besar bahayanya…..!”

“Bocah sinting! Kau bicaralah benar*! Jangan seperti penyair picisan….” Makian Liok Samkong ini tak sempat dilanjutkan lagi oleh karena tepat pada waktu itu, tiba-tiba terdengar suara berdesing nyaring dan “clap. !”, tahu-tahu sebatang anak panah

telah menancap dibatang pohon Siong yang tumbuh ditepi jalan dan persis disamping kereta itu! Liok Samkong maklum bahwa itu adalah isyarat dari kaum perampok yang hendak mengadangnya, maka ia segera menghentikan keretanya dan sambil terdiri tegak diatas kereta ia menunggu munculnya perampok pelepas anak panah itu dari dalam hutan. Dengan sikapnya yang gagah Liok Samkong sudah siap sedia menghadapi Toatbeng Tanto Go Jikiu yang hendak membalas dendam dihutan Siong-tiok-lim ini sebagaimana telah dinyatakan dalam surat tantangan dari Si Goloktunggal Pencabutnyawa yang ia terima pagi tadi!

Tiba-tiba terdengar sikakek berkata kepada sianakmuda: “Sanbeng. Isyarat sudah datang. Bersiap-siaplah. Jangan beri kesempatan ia lolos….!”

Mendengar ucapan dari sikakek ini, yakinlah Liok Samkong bahwa kedua orang yang justeru sejak ia curigai itu, jelas adalah komplotan perampok pembantu Go Jikiu. Dan karena kuatir akan kecurangan yang biasa diperbuat oleh manusia-manusia rendah, Liok Samkong segera meloncat turun dari atas kereta dan ditempat yang sejauh limatumbak dari keretanya, ia berdiri dalam sikap menantang dengan cambuk sudah siap ditangan! Sungguh cerdik piauwsu yang sudah banyak pengalaman ini, setelah dengan satu loncatan ia menjauhi diri dari sikakek dan anak muda itu, berarti ia sudah mengambil kedudukan yang sangat baik untuk menghindarknn serangan mendadak dalam jarak dekat dari kedua antek Go Jikiu itu yang tak akan memberi kesempatan lolos baginya. Namun anehnya Liok Samkong melihat bahwa, kedua orang itu masih tenang-tenang saja duduk diatas kereta, sama sekali tidak memperlihatkan sesuatu gerakan yang membahayakan. Sikakek masih tetap berduduk pada tempatnya sambil enak-enak mengipasi badannya. Begitu pula sianakmuda berbaju biru itu masih tetap duduk disamping sikakek, buku-tebal masih terpegang ditangannya dan matanya dengan sinar pandang yang tajm ditatapkan kearah dari mana datangnya anakpanah tadi! Betapapun juga tegangnya hati dan perasaan, namun Liok Samkong tak luput dari rasa heran dan aneh setelah melihat sikap kedua orang itu seakan-akan tidak menaruh perhatian kepadanya! Maka timbullah pertanyaan dikepalanya : “Kedua orang itu sebenarnya merupakan pihak lawan ataukah kawan?”

Kemudian dari semak-semak hutan nampak berlompatan lima orang laki-laki yang rata-rata bersikap garang dan menakutkan dan masing-masing bersenjata sebilah golok terhunus. Lima orang kawanan begal ini lalu tegai seperti pagar didepan kereta dan seorang dari antara mereka, sambil melintangkan goloknya didepan dada, membentak :

“Tuan-tuan yang berada didepan, kalau kalian hendak melangsungkan perjalanan dengan selamat, harap menyerahkan pajak jalan!” Ancaman semacam ini bagi Liok Samkong sudah membosankan, oleh karena sepanjang pengalamannya setiap kali dalam perjalanannya dicegat kawanan perampok, selalu ia mendengar lagu lama yang itu-itu juga! Liok Samkong hendak mempergunakan pecutnya untuk menggebah mereka, akan tetapi sebelum hal ini dilakukan, tiba2 terdegar sianakmuda berbaju biru itu memberi penyautan :

“Pajak jalan ? Sejak kapan daerah ini dibeli oleh kalian? Ataukah mungkin kalian ini pegawai-pegawai daei jawatan pajak yang bertugas dihutan?” Untuk sejenak Liok Samkong melengak dan bengong karena hatinya amat tercengang bahwa dugaan buruk yang sudah demikian meyakinkan terhadap kedua orang penyewa keretanya itu, ternyata meleset! Jawaban sianakmuda terhadap kawanan begal yang menjadi anakbuah Go Jikiu itu benar-benar merupakan pembuka tabir gelap baginya. Jelas kakek dan anakmuda itu bukan terdiri dari orang-orang sebagaimana yang begitu keras diprasangkainya. Dadanya terasa lega karena kenyataan membuktikan bahwa mereka itu jelas bukan merupakan pihak lawan baginya. Liok Samkong jadi merasa kagum akan ketenangan dan ketabahan yang dimiliki anak muda itu. Banyak para penyewa keretanya apabila dicegat kawanan perampok jadi ketakutan setengah-mati, tapi anakmuda itu ?! Bukan saja samasekali tidak memperlihatkan rasa gugup atau takut, malah terhadap kawanan perampok itu ia menyuguhkan pantun berupa sindiran tajam!

Rupanya sindiran anakmuda ini sangat kena dihati perampok yang mengancam tadi sehingga ia jadi sangat marah : “Kau tak usah berlaga pilon atau memang kau adalah pemuda tolol! Sudah menjadi peraturan dunia lioklim [rimba hijau] bahwa barangsiapa yang lewat didaerah kami, harus membayar pajak jalan! Mengerti?!”

“Tidak mengerti! Karena menurut pengetahuanku biasanya uang pajak harus dibayar langsung kekantor yang resmi, bukan kepada sembarang orang seperti kalian yang ketemu ditengah jalan begini, jangan-jangan uang pajak untuk negara kau kantongi sendiri”

Perampok itu makin marah sehingga suara yang dilontarkan dari mulutnya makin sengit: “Kami tak membutuhkan segala omongan tak penting! Pendeknya kau boleh pilih sendiri satu diantara dua, menyumbangkan uang atau menyerahkan nyawa!”

“Wah celaka! Aku ketemu penagih pajak paksa. Selain marah- marah malah mengancam segala '“Beng-ji [anak Beng]”, tiba-tiba sikakek sambil tetap mengipasi tubuhnya, tedengar menyelak, “mereka minta sumbangan, ayoh berilah, jangan banyak mem- buang-buang waktu.”

Kelima perampok itu jadi berseri setelah mendengar ucapan orangtua ini. Sementara anakmuda itu setelah berpaling sebentar kepada ayahnya sambil tersenyum geli, lalu menghadap pula kearah para penghadang itu sambil bertanya: “Betulkah kalian ini minta uang sumbangan, jadi artinya bukan pajak jalan? Kalian harus mengerti kawan, arti pajak dan sumbangan tak dapat disamakan! Jelasnya kalian ini minta sumbangan jalan dan bukan pajak jalan ?”

“Masa bodoh apa yang hendak kau katakan! Pendeknya kau mau memberikan uang atau tidak!” bentak liawlo [anggota perampok] tadi makin menggeledek karena agaknya ia mendongkol juga disindir-sindir terus-terusan oleh anak muda ini.

Seakan-akan tak menghiraukan bahwa perampok itu sudah naik darah, Sanbeng pemuda berbaju biru itu, irama katanya seperti biasa saja ketika ia berkata pula: “Kalau benar yang kau minta adalah uang sumbangan jalan, atau tepatnya uang sewa jalan, tentu saja mau kuberikan. Tapi jalan yang dipungut uang sewa, harus dipelihara. Jangan sudah rusak dan renjul sampai sedemikian rupa, masih dibiarkan saja, sedangkan uangnya dipakai foya-foya!”

“Anaksetan!”, perampok itu benar-benar sudah habis kesabarannya. Minta uang dengan baik-baik, malah diberi kuliah yang bertele-tele menjemukan. “Rupanya uang dan nyawamu benar-benar sudah menjadi hak kami! Mari, kawan-kawan, kita ganyang!”

“Ganyaaaaannnngg !”, sambil menyerukan teriakan ini, maka kelima liawlo itu serempak maju menyerbu.

Melihat betapa mereka datang menyerbu, Sanbeng cepat berseru: “Sabar dulu, sabar dulu! Jangan terburu-buru nyerbu! Aku hendak ambil uang dari buntalanku! Kalian tunggu dulu…” sambil berseru-seru seperti ini, sepasang tangannya diulurkan kedepan dan telapaknya digoyang-goyangkan merupakan isyarat supaya para liawlo itu membatalkan maksud mereka. Benar saja, kelima perampok itu dalam waktu berbareng langkah kaki mereka jadi tertegun, dan anehnya untuk sejenak mereka tinggal berdiri seperti patung. Mata mereka membalik seperti juling keatas dan senjata yang mereka pegang berjatuhan ketanah dan akhirnya, tubuh mereka bergulingan dalam keadaan semaput!

Bukan main terkejutnya Liok Samkong melibat kejadian ini. Ia maklum bahwa gerakan tangan pemuda itu adalah gerakan melancarkan pukulan dari jarak jauh sehingga membuat lima orang anggota perampok itu roboh sedemikian rupa! Ia terkejut bukan karena aneh melihat pukulan semacam ini, sebaga seorang piauwsu berpengalaman dan berkepandaian tinggi tentu ia sudah mengenal bermacam-macam ilmu pukulan dani jarak jauh yang mengandalkan pengerahan tenaga dalam [lwekang] yang sudah tinggi. Biasanya, pukulan semacam ini bila dilancarkan tubuh sikorban pasti akan terpental jauh dan mati seketika! Akan tetapi anakmuda itu ?! Bukan saja membuat tubuh lima liawlo itu tidak terpental sedikitpun, juga hanya membuat mereka jatuh pingsan belaka! Hal inilah yang mengejutkan Liok Samkong hanya orang yang memiliki tenaga dalam yang benar sudah sempurna baru dapat melakukan ilmu pukulan dari jarak jauh dengan hanya mempergunakan separuh tenaga sehingga akibatnya tanpa mengambil nyawa sikorban! Apalagi anakmuda itu ketika mengirim pukulan yang setengah di-”rem” tadi masih dapat berbicara sedangkan biasanya bicara adalah satu pantangan besar bagi orang yang sedang mengerahkan lwekang karena akibatnya akan bahaya sendiri, maka dari hal ini saja Liok Samkong sudah dapat menilai betapa tinggi ilmu kepandaian yang dimiliki sianakmuda yang bernama So Sanbeng itu. Sungguh ia tak pernah menyangkanya dan saking kagumnya hampir saja ia mengeluarkan suara pujian kalau tepat dikala mana tidak keburu terdengar suara ketawa yang gemanya seakan-akan menggetarkan seluruh hutan, sehingga kedua ekor kuda yang sedang beristirahat itu memperdengarkan ringkikan kaget!

“Hahaha ! Hahaha....! Kambingmuda darimanakah berani menjual ocehan didaerah harimau, ini ? Mentang-mentang kau datang bersama piauwsu she Liok! Apa yang kau andalkan dari si Naga-buta itu……?”

Suara ketawa yang disusul dengan ucapan marah bernada besar ini belum lenyap dari pendengaran, maka dari rungkutnya semak belukar tampak melayang sesosok tubuh dalam gerakan Naga sakti- keluar-dari gua [Sinliong Cutthong] itu melesat keudara, kemudian berjungkir balik tigakali untuk memamerkan kehebatan ginkangnya sehingga sebilah golok terhunus yang dipinggangnya kelihatan berputar seperti kincir dan berkilat-kilat terkena pantulan sinar matahari. Akhirnya tubuh itu turun dengan gerakan ringan sekali dan tegak dimuka kereta dengan sikap penuh tantangan. Ternyata ia adalah seorang lelaki yang bertubuh tinggi besar, sepasang lengan tangannya yang besar berotot penuh ditumbuhi bulu, berbeda sekali dengan wajah kerennya yang kelimis tanpa jenggot maupun kumis barang seutaspun sehingga menunjukkan bahwa wajah dari orang setengahtua ini memiliki kegantengan selagi mudanya. Sepasang matanya besar dan bergerak liar mencerminkan hati yang kejam dan tatkala mana, begitu kedua kakinya berpijak diatas bumi sehabis menjual aksi barusan, mata ini ditatapkan sedemikian tajam terhadap So Sanbeng yang ketika itu masih berdiri diatas kereta! Orang ini bukan lain ialah sikepala perampok Toatbeng Tanto Go Jikiu!

So Sanbeng benar-benar adalah seorang muda yang memiliki ketabahan dan keberanian yang luarbiasa. Melihat betapa Go Jikiu yang terkenal kejam itu memandang marah kepadanya, bukan saja ia tidak memperlihatkan rasa takut atau gugup, malah anak muda ini justeru bertepuk tangan sambil ketawa-ketawa dengan gaya penuh jenaka, lalu katanya : “Hebat! Hebat! Gerakan Sinliong Cutthong yang kau perlihatkan barusan benar-benar hebat tiada tara, sehingga saking kagumnya aku serasa melihat aksi dan gaya seorang badut diatas panggung sandiwara “

Karuan saja pujian yang dilanjutkan ejekan ini membuat Go Jikiu marah bukan main! Sepanjang pengalaman bertualang dikalangan rimba hijau, belum pernah ia dihina atau diejek orang, apalagi oleh seorang bocah yang masih semuda itu....! Maka sambil mengeluarkan suara gerengan seperti harimau, tubuhnya mencelat kearah Sanbeng dengan gerak tipu Mancan lapar menerkam kambing seraya goloknya langsung mengirim serangan yang mematikan! Anakmuda itu dalam keadaan tenang sudah siap untuk memapaki datangnya tubuh tinggi besar itu dengan ilmu pukulan dari jarak-jauhnya, akan tetapi sebelum hal ini dilakukannya, tiba- tiba tubuh Go Jikiu sudah terjirat seutas tambang kecil dan dengan sekali gentakan membuat tubuh dedengkot garong itu jatuh terjengkang sambil mengeluarkan suara berdebuk keras!

“Jikiu! Jangan berani mengganggu kedua penumpang keretaku, sebelum kau berhadapan dengan aku yang kau tantang ini!”, bentakan ini adalah suara dari Liok Samkong setelah pecutnya yang panjang berhasil membelit tubuh Go Jikiu dan sekaligus digenaknya sangat hebat sehingga tak ampun lagi tubuh yang sedang menerjang maju itu seperti layangan digentak talinya, mundur secara tiba-tiba dan terguling dalam keadaan terbanting.

“Pengecut busuk! Mengirim serangan secara curang bukan perbuatan seorang gagah!” Go Jikiu memaki marah setelah ia cepat bangkit kembali sambil memandangi Liok Samkong dengan kedua matanya yang besar itu seakan-akan mengeluarkan api!

“Hnh! Apa? Aku pengecut kau bilang?!”, balas sipiauwsu yang paling tak suka dimaki pengecut itu. “Kalau aku memang pengecut, pasti aku takkan sudi datang kemari untuk memenuhi tantanganmu! Dan kalau aku memang seorang pengecut, dalam sekejap mata saja pecutku barusan pasti sudah dapat merenggut nyawa anjingmu! Sedangkan kau sendiri yang memiliki ilmu silat tinggi tapi kerjanya hanya merampok dan malah justeru jadi dedengkot rampok, sebenarnya lebih rendah, lebih hina daripada seorang yang kau anggap pengecut, tahu!”

“Piauwsu sombong! Bagus, kau datang sendiri mengantarkan nyawa sebagai pelunas perhitungan kita lima tahun yang lalu! Nah, terimalah pembalasanku!” Gerakan Go Jikiu cepat luar biasa tatkala ia menubruk sambil goloknya disambarkan kearah leher Liok Samkong.

Liok Samkong memang sudah siap sedia dan ketika melihat datangnya serangan yang demikian cepat dari pihak lawan, sambil berseru nyaring ia cepat mengelak kesamping untuk menghindarkan lehemya dari sabetan golok kepala perampok itu dan pecutnya dilecutkan sehingga terdengar tuara “tar….!” Yang dapat memecahkan anak-telinga tatkala ia balas menyerang dan demikianlah selanjutnya, kedua orang ini bertempur seru sekali.

Sanbeng yang menyaksikan pertempuran sudah dimulai, lalu bersorak-sorak gembira. “Iyaaahh! Bagus, mereka sudah saling serang, bagaikan dua ekor anjing memperebutkan tulang…..”

“Beng-ji, kau jangan lengah. Waspadalah, sebentar lagi pasti mereka muncul!” Sikakek yang masih duduk serta masih mengipasi tubuhnya secara enak-enak itu memberi peringatan kepada anaknya sehingga sorak Sanbeng jadi terhenti dan selanjutnya ayah dan anak ini benar-benar memperlihatkan sikap hati-hati, sungguhpun nampaknya mereka tengah asyik menonton pertempuran antara sikepala perampok dan piauwsu itu yang makin lama berlangsung makin sengit.

Sementara itu Liok Samkong mendapat kenyataan bahwa ilmugolok Go Jikiu kini harus diakui ketangguhannya dan jauh lebih kuat apabila dibandingkan dengan keadaan Go Jikiu pada lima tahun yang lalu. Agaknya selama lima tahun kepala perampok itu telah memperdalam pula ilmugoloknya sengaja dimaksudkan untuk membalas dendam ini, sehingga Liok Samkong yang menghadnpinya, setelah lima tahun yang lalu berhasil mengalahkannya, kini harus berlaku lebih hati-hati karena kenyataan membuktikan bahwa Go Jikiu yang sekarang bukan merupakan lawan seringan Go Jikiu pada lima tahun berselang.

Memang ilmugolok yang dimainkan Go Jikiu benar-benar hebat luarbiasa, selain cepat dan ganas, juga memiliki gerak tipu yang sukar diduga oleh pihak lawan dan karena kehebatan ilmugoloknya inilah, maka dalam kalangan lioklim ia lebih terkenal dengan nama julukan Si Goloktunggal Pencabutnyawa! Apalagi sekarang setelah ia menambah dan memperdalam lagi ilmugoloknya untuk menebus kekalahannya, maka tentu saja bagi Liok Samkong, kepala perampok ini sangat terasa ketangguhannya. Golok ditangan Go Ji kiu itu benar-benar sulit untuk diikuti setiap gerakan yang dilakukannya, karena setiap gerakan seakan-akan melebihi kilat cepatnya, sehingga yang terlihat hanya berupa sinar berkelebatan menyambar-nyambar kian kemari secara dahsyat sekali membuat golok itu berubah menjadi segulung sinar putih bagaikan amukan ombak samudera mengejar mangsa!

Dilain pihak, Liok Samkong juga bukan seorang yang lemah dan piauwsu ini tak mungkin akan pernah mendapat namajulukan Si Pecut nagasakti kalau ia tidak memiliki kelihayan ilmu pecut yang istimewa, sehingga biarpun kini ia menghadapi Go Jikiu yang sudah memperkuat ilmu golok tunggalnya dan dalam setiap serangan yang dilancarkannya benar-benar merupakan sambaran maut pencabut nyawa, namun piauwsu ini masih dapat mengimbanginya dengan baik! Berkat ilmu meringankan tubuhnya ginkang yang sudah sempurna, meskipun setiap serangan golok lawan itu datangnya begitu gencar dan cepat, selalu ia dapat mengelakannya dengan mudah dan setiap ia melihat kesempatan baik dimana tubuh lawan dalam keadaan tidak terlindung, secara cepat sekali ia mengayun pecut menghajar tubuh lawan! Pecut ditangan Liok Samkong kalau kegunaannya hanya dapat memecut tubuh lawan seperti ia memecut tubuh kuda, tentu ilmu pecut semacam ini saja tak dapat disebut luarbiasa, dan tentu saja tak mungkin ia sampai dijuluki Si Pecut-nagasakti kalau tidak mpmpunyai kelihayan yang istimewa dalam hal mempergunakan pecut ditangannya! Dengan pengerahan tenaga dalam yang disalurkan melalui lengan kanan yang memegang pecut itu, pecut tersebut apabila disabetkan selain hanya dapat dipergunakan membuat kulit tubuh lawan menjadi pecah-pecah berupa luka memanjang, juga Liok Samkong dapat membuat senjata istimewanya ini bergerak-gerak sedemikian rupa bagaikan tubuh seekor ular berlenggang-lenggok atau menyambar- nyambar seakan-akan nagasakti mengamuk untuk kemudian ujung pecut ini menotok jalan darah yang mematikan pada tubuh lawan!

Pertempuran sudah berlangsung kurang lebih enampuluh jurus, sementara dua orang yang bertempur itu masih belum dapat dipastikan mana yang akan menang atau kalah. Keduanya sama kuat dan sama memiliki kepandaian masing-masing. Sebentar yang satu kelihatan mendesak dan pada lain saat pihak yang lain balas merangsek sehingga debu jalan yang terinjak-injak dan tersapu oleh kaki mereka jadi berhamburan merupakan kepulan asap yang mengabuti gelanggang pertempuran. Dan ketika jalannya perempuran sudah melebihi jurus yang ke seratus, maka tampaklah Go Jikiu merubah permainan goloknya sehingga seketika itu juga Liok Samkong jadi terdesak amat hebat dan samasekali tidak mempunyai kesempatan mengadakan serangan balasan! So Sanbeng amat kaget melihat perubahan ini sehingga ia cepat bertanya kepada ayahnya: “Ayah, perlukah aku membantu piauwsu itu, sebelum napasnya keburu buntu?”

Sikakek menggelengkan kepala, suaranya ayem sekali ketika menyahut: “Tak perlu, Beng ji. Ini hanya akan berlangsung untuk sementara. Piauwsu itu samasekali tak perlu dikuatirkan!”

Dan benar saja, apa yang dikatakan kakek ini ternyata sangat tepat dan sesuai dengan kenyataan yang terjadi pada detik-detik berikutnya. Setelah bertempur melebihi seratus jurus, Go Jikiu merasa penasaran sekali karena selain ia belum mampu merobohkan lawannya yang ternyata sangat ulet itu, malah selama itu justeru dia sendiri lebih lima kali harus merasakan lecutan cambuk lawannya sehingga bajunya robek-robek, serta kulit tubuhnya ia rasakan bukan main sakit pedihnya! Itulah sebabnya, maka ia segera mengeluarkan ilmu goloknya yang paling dianlalkan yang memang selama lima tahun belakangan ini ia pelajari secara sungguh-sungguh dengan keyakinan ia dapat merobohkan Liok Samkong sebagai pembalasan sakit hatinya. Go Jikiu bukan main girang dihatinya setelah ia mengeluarkan kepandaian simpanannya betapa Liok Samkong jadi terdesak mundur dibuatnya, maka ia terus mendesak dengan goloknya yang menyambar-nyambar gencar dan ia sudah merasa pasti bahwa dendam kesumatnya dalam beberapa detik lagi akan segera punah!

Memang mula-mula Liok Samkong merasa kaget juga melihat perobahan taktik tempur lawannya, sehingga untuk sementara ia sengaja main mundur sambil melihat perkembangan selanjutnya tentang posisi lawan. Dan setelah mendapat kenyataan bahwa Go Jikiu dalam rangsekannya dilakukan dengan napsu yang meluap- luap seakan-akan ingin cepat mengakhiri pertempuran ini dengan mencapai kemenangan, maka piauwsu yang sejak tadi selalu berlaku hati-hati ini segera mengambil siasat untuk mengimbangi perubahan taktik lawannya itu. Bertempur disertai napsu amarah yang meluap-luap adalah suatu perbuatan ceroboh yang akibatnya akan merugikan diri sendiri dan hal ini justeru sama sekali tidak disadari oleh Go Jikiu yang memang berwatak kasar. Dan pada suatu saat, ketika dilihatnya Liok Samkong dalam kedudukan yang sangat sulit untuk meloloskan diri dari gulungan sinar goloknya yang merangsek hebat itu, maka dengan mempergunakan gerak tipu Penebang pohon membelah kayu, goloknya menyabet bagaikan sambaran kilat dari atas kebawah secara menyerong dengan maksud hendak membelah tubuh lawannya menjadi dua keping, sambil membentak: “Terimalah pembalasanku……!”

Akan tetapi alangkah herannya hati Go Jikiu setelah ternyata sambaran goloknya yang disertai pengerahan seluruh tenaga itu hanya membacok angin danLiok Samkong tahu-tahu sudah lenyap dari depan hidungnya. Sambil mengeluarkan dengusan marah, Jikiu cepat memutarkan tubuh untuk mencari lawan disekitar dirinya dan tiba-tiba terdengar suara lecutan bertubi-tubi dari udara dan biarpun ia sudah berusaha memutarkan golok diatas kepalanya untuk melindungi diri dari serangan lawan, namun dirinya tak luput dari sabetan pecut sampai tigakali secara beruntun sehingga ia berteriak kesakitan dan untuk menghindarkan diri dari hajaran pecut lebih banyak lagi, terpaksa ia menjatuhkan tubnhnya dan berguling-guling sampai sejauh dua tombak!

Kalau dalam anggapan Go Jikiu bahwa Liok Samkong tadi sukar untuk meloloskan diri dari sabetan goloknya, akan tetapi kenyataannya bagi Liok Samkong justeru adalah hal yang sangat mudah. Ketika melihat betapa kepala perampok itu benar-benar sedemikian nekat dan goloknya merupakan sambaran maut hendak membelah tubuhnya, untuk mengelakkannya piauwsu ini hanya mendoyongkan sedikit tubuhnya kebelakang dan berbareng dengan itu, kedua kakinya segera menghenyak tanah sehingga sebelum lawannya sempat memperhatikan, dalam sekilat saja tubuhnya sudah mencelat keatas dalam gerakan Burung-bangau melesat keangkasa dengan gaya yang indah sekali. Dan selagi tubuhnya mumbul diudara, Liok Samkong membuat gerakan menukik, yaitu kepala dibawah sedangkan bagian kakinya dengan lutut ditekuk berada diatas dan pada saat itulah ia mengerjakan pecutnya secara bertubi-tubi menghajar lawan yang berada dibawahnya, sehingga membuat Go Jikiu bergulingan untuk menjauhi serangan dari udara ini.

Tepat pada saat tubuh Liok Samkong meluncur turun dan kedua kakinya kembali berdiri diatas bumi tanpa menerbitkan suara seakan-akan tubuh itu ringan sekali bagaikan selembar bulu, dan pada saat itu pula Go Jikiu, setelah mengguling-gulingkan tubuhnya segera bangkit kembali dan saking penasaran dan marah sikepala perampok ini membuat kedua matanya sangat beringas bagaikan mata harimau yang haus darah! Dasar Go Jikiu adalah manusia kasar ia tidak mau menyadari bahwa piauwsu yang menjadi lawannya itu terlalu lihay baginya sehingga jangankan ia akan dapat membalas dendam, malah besar kemungkinan ia bakal dikalahkan umuk kedua kalinya!

“Manusia she Go! Bagaimana pikiranmu apakah pertempuran ini hendak diteruskan atau kau menyerah kalah? Kenyataan membuktikan bahwa kau harus kembali menambah ilmugolokmu sedikitnya sepuluh tahun lagi!”

Mendengar pertanyaan yang berarti penghinaan dari Liok Samkong ini Go Jikiu menjadi kalap sehingga langkahnya benar- benar seperti kerbau gila mengamuk ketika tubuhnya maju menyeruduk umuk menerjang lawannya sambil mulutnya memaki: “Setan sombong! Kau jangan takbur sebelum terjadi siapa yang mampus dalam pertempuran yang menentukan ini!”

Sesungguhnya Liok Samkong bermaksud baik dan samasekali ia tidak berniat hendak membunuh kepala perampok itu, kecuali hanya untuk memenuhi surat tantangan dan membuktikan bahwa ia bukanlah seorang pengecut yang merasa jerih hanya oleh seorang kepala perampok macam Go Jikiu! Liok Samkong memang pada dasarnya mempunyai watak gagah, pantang sekali mengirim serangan selagi lawan dalam keadaan tak berdaya seperti ketika Go Jikiu bergulingan tadi sebenarnya mudah sekali baginya untuk mengirim serangan yang mematikan bagi lawannya. Ia mengira bahwa Go Jikiu akan menginsyafi kemurahan hatinya ini, sehingga ia bertanya dan memberi kesempatan seperti tadi supaya sikepala perampok itu dapat menyadari keadaan dengan sejujurnya dan pertempuran ini dapat segera diakhiri tanpa Malaikat el Maut campurtangan! Akan tetapi Go Jikiu ternyata salah tampa, daripada menjadi sadar malah justeru membuatnya semakin kalap sehingga Liok Samkong ketika melihat kenekadan lawan ini, jadi merasa gemas juga hatinya.

“Agaknya kau sendiri yang menghendaki kematian! Kau jangan menganggap aku berlaku kejam kalau arwahmu menjadi setan gentayangan!” Liok Samknng menyatakan kegemasan hatinya sambil ia menyabetkan pecutnya memapaki datangnya terjangan lawan. Piauwsu ini sudah mengambil putusan pasti bahwa lebih baik ia sekarang juga mesti membinasakan gembong penjahat ini, karena kalau diberi ampun lagi dan dibiarkan tinggal hidup, selain keamanan umum akan terus terganggu, juga baginya sangat berbahaya sekali sebab siapa tahu manusia jahat itu sewaktu-waktu akan mengadakan balas dendam lagi dengan jalan curang!

Go Jikiu menahan terjangannya ketika melihat ia dipapaki cambuk lawan. Ia maklum betapa berbahayanya sabetan pecut itu. Ia menggerakkan goloknya, selain untuk menangkis, juga ia bermaksud hendak membabat putus cambuk itu! Akan tetapi seutas pecut yan g panjang itu benar-benar seperti seekor naga hidup yang dapat membuat kelitan cepat menghindari sabetan golok. Dan tahu- tahu ujungnya berkelebat diatas kepala sambil mengeluarkan bunyi nyaring yang memekakkan anak telinga Jikiu, membuat kepala perampok ini terkejut sekali sehingga cepat ia membungkukkan tubuhnya sambil menggerakkan goloknya keatas untuk menghalau serangan cambuk. Akan tetapi ia kalah cepat karena ujung cambuk itu tiba-tiba melengkung kebawah dan biarpun Jikiu berusaha mengelakkan diri namun terlambat dan detik berikutnya kepala perampok ini sudah tak dapat berdaya lagi dan napasnya terhenti, karena ujung pecut itu secara cepat dan tepat sekali telah menotok jalan darah yang mematikan dibagian uluhatinya!

Inilah salah satu kelihayan Liok Samkong Si Pecut-nagasakti kalau ia mengirim serangan maut dengan pecutnya! Kalau ia mau, sebenarnya dalam beberapa gebrakan saja ia sudah bisa membinasakan lawannya tanpa bertempur sampai melampaui seratus jurus. Seperti sudah diterangkan bahwa piauwsu ini berwatak gagah dan sesungguhnya ia tidak mempunyai maksud untuk membunuh lawannya, akan tetapi setelah kenyataan membuktikan bahwa Go Jikiu demikian nekad yang mana berarti tidak boleh diberi-hati lagi, maka begitulah secara mudah sekali akhirnya ia mempercepat berakhirnya pertempuran, ujung cambuk yang sudah disaluri lwekang tinggi segera ditotokkan kearah jalan darah utama didada lawan sehingga membuat Go Jikiu melepaskan nyawa pada detik itu juga tanpa mengalami sekarat lebih dulu karena jantung didalam dadanya telah pecah!

Liok Samkong maklum bahwa biarpun tubuh Go Jikiu masih belum roboh, padahal sudah mati! Tapi karena saking gemas hatinya, ia tidak membiarkan tubuh lawan yang sudah menjadi mayat masih hangat itu terkulai roboh dengan sendiririya, melainkan ia lalu menggerakkan pecutnya lagi sehingga mayat yang masih berdiri itu telah dibetotnya dan sambil berseru nyaring, ia membuat gerakan menggertak pecutnya keatas. Akibat dari perbuatannya ini, suatu perbuatan yang agaknya ia sengaja untuk mempamerkan kelihaiyannya didepan mata sikakek dan anak muda yang sejak tadi ia maklum selalu memperhatikannya, ternyata hebat sekali! Mayat Go Jikiu yang tinggi besar itu jadi mencelat keudara sedemikian rupa bagaikan dilontarkan tenaga raksasa, kemudian seiring Samkong melepaskan belitan cambuknya dari mayat yang diterbangkan itu, ternyata mayat sikepala perampok untuk sesaat benar-benar sepeiti terbang diudara, alu menukik turun cepat sekali dan agaknya kepalanya akan pecah membentur sebatang pohon siong kalau saja ketika itu tidak terdengar seruan: “Telengas sekali! Orang sudah mati masih diperbuatnya demikian keji!” dan bersamaan dengan mana dari balik semak-semak tampak melesat keluar sesosok bayangan merah, yang cepat menyambar mayat Jikiu yang kepalanya hendak membentur batang pohon siong itu! Ketika bayangan merah ini turun dan meletakkan mayat Jikiu yang barusan disanggapnya itu diatas tanah, maka Liok Samkong yang melihatnya bukan main kagetnya!

Yang kelihatan berupa bayangan merah karena saking cepat gerakannya ketika melesat dari balik semak-semak itu, sekarang setelah orangnya berdiri maka dapat dilihat dengan tegas, ternyata bahwa orang itu adalah seorang nenek-nenek buruk rupa yang mengenakan pakaian serba merah dan merah pula warnanya sarung pedang yang tergantung dipinggangnya! Punggungnya membungkuk kedepan, rambut kepalanya yang sudah putih semua riap-riapan menutupi punggung dan sebagian wajahnya. Dan wajah ini sulit sekali dapat diterangkan betapa keburukannya, karena sama sekali tidak menyerupai wajah manusia, melainkan lebih mirip wajah dari seekor orang hutan yang sudah tua sekali, demikian mengerikan!

Tiba-tiba Liok Samkong ingat akan nama salah seorang tokoh jahat yang suka malang-melintang didunia kangouw, yang biarpun belum sempat melihat orangnya, namun namanya sudah ia sering dengar sehingga saking terkesiap hati piauwsu ini, tanpa disadarinya mulutnya lalu terlontar ucapan menyebut sinenek buruk rupa itu:

“Tokiam Moli [Iblis wanita Berpedang racun]. Mendengar disebutnya nama ini, nenek buruk rupa itu menoleh kearah Liok Samkong, dan segera terdengar dari mulutnya suara yang melengking nyaring bernada marah: “Tikus-buta kurangajar! Kau sudah lancang membunuh keponakanku, malah kau berani menghinaku pula? Hahh…..!” Seiring ucapannya habis, tiba-tiba tubuhnya yang buruk bergerak luar biasa cepatnya sehingga merupakan berkelebatnya bayangan merah dikala ia melompat menghampiri Liok Samkong, dan tahu-tahu pedangnya berkelebat pula menyambar tubuh piauwsu itu!

Biarpun biasanya dalam menghadapi segala kemungkinan Liok Samkong dapat berlaku tabah, namun kini ketika melihat datangnya serangan dari sinenek yang luar biasa cepatnya itu benar-benar menjadi terkejut dan gugup! Namun biarpun gugup, berkat ginkangnya yang tinggi, secara otomatis ia dapat menyelamatkan diri dengan mengandalkan kelincahan tubuhnya, berbareng cambuk ditangannya digerakkan untuk memberi perlawanan! Pertempuran segera terjadi dan biarpun baru saja dimulai, ternyata sudah berlangsung luar biasa hebat dan sengitnya, tak salah lagi nenek ini tentu Tokkiam Moli, pikir Samkong. Ia sudah mendengar bahwa nenek buruk rupa berbaju merah ini adalah seorang iblis wanita jahat yang mrmpunyai watak kejam tiada taranya, tiada ampun bagi siapa saja apabila ia sudah marah! Dan nenek iblis itupun kini sudah marah, berarti baginya sudah tiada ampun lagi dan tiada kompromi untuk mengemukakan alasan bahwa antara ia dan nenek itu belum saling bermusuhan, bahkan perjumpaanpun baru sekali ini secara kebetulan! Melihat gejala yang demikian buas dan ganas dari sinenek, maklumlah Samkong bahwa nenek itu pasti akan membunuhnya.

Dan sebagai seorang satria yang berwatak gagah, meskipun maklum bahwa nenek itu lawan yang terlalu tangguh baginya dan ia merasa ragu dapat mengalahkannya, Samkong bertekad takkan menyerahkan nyawanya secara mentah-mentah. Ia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian yang ada padanya melakukan perlawanan gigih! Kalau ia berhasil dapat membinasakan nenek itu, hatinya akan merasa bangga karena ia dapat melenyapkan salah seorang tokoh jahat yang kerjanya hanya mengacau dan mengotori dunia, dan sebaliknya kalau ia sendiri yang mati, ia takkan merasa kecewa karena sebelum mati ia sudah melawan mati-matian sehingga kematiannya takkan disebut mati konyol! Oleh karena adanya tekad inilah, maka Liok Samkong sejak gebrakan yang pertama saja ia sudah mainkan jurus* yang terlihay dan karena inilah, mengapa tadi disebutkan bahwa biarpun pertempuran baru saja dimulai, ternyata sudah berlangsung luar biasa hebat dan sengitnya!

Liok Samkong memegang cambuknya yang telah ditekuk menjadi pendek dan ia mainkan ilmu pecut yang telah membuat namanya cukup tersohor, yaitu yang dinamakan ilmu pecut Nagasakti-mengamuk dengan cermat. Ujung pecutnya menyambar- nyambar kaku bagaikan sebatang tongkat, akan tetapi setiap kali pedang sinenek itu menangkisnya, maka pecut ini berubah menjadi lemas dan ujungnya melingkar-lingkar melanjutkan serangan mengarah jalan-jalan darah lawan untuk ditotoknya! Atau adakalanya juga ia berusaha membuat cambuknya untuk membelit tubuh lawan seperti yang ia lakukan pada tubuh Go Jikiu tadi. Namun, betapapun Samkong mengadakan perlawanan gigih, ternyata nenek buruk rupa itu terlalu tangguh baginyn sehingga setiap serangan yang dilancarkan selalu dipatahkan dan setiap kali pecutnya beradu dengan pedang lawan, sungguhpun pedang itu tidak berhasil membabat putus pecutnya yang terbuat daripada urat sapi yang sangat alot dan kuat itu, akan tetapi tangan kanannya yang memegang pecut selalu terasa tergetar hebat akibat beradunya tenaga dalam yang justeru disalurkan kepada senjata masing!!

Baru saja pertempuran berlangsung tigapuluh jurus dan dalam waktu yang sedemikian singkatnya ini Liok Samkong sudah merasa kewalahan karena kelihayanan ilmu pecutnya yang dibuat andalan ternyata tidak berarti apa-apa bagi sinenek ganas itu sehingga pada saat-saat selanjutnya piauwsu ini terus terdesak dan berkat kelincahan tubuhnya saja membuatnya untuk sementara masih dapat berkelit kian kemari menghindarkan diri dari sambaran pedang sinenek! Yang paling dirasakan payah oleh Liok Samkorg adalah pedang itu mengeluarkan hawa yang sangat bau-anyir memuakkan dan membuat kepala pening sehingga kalau tenaga khikangnya tidak tinggi, pasti ia sudah muntah-muntah! Dan agaknya pada kesempatan inilah sinenek akan memutuskan nyawanya! Dalam detik-detik yang sangat berbahaya bagi Liok Samkong, tiba-tiba piauwsu ini dalam kepayahannya melihat suatu kesempatan baik sehingga ia segera menggerakkan pecutnya sedemikian rupa! Cambuk yang dalam detik-detik terakhir ini sama sekali sudah tidak berdaya tiba-tiba kini memperdengarkan suara nyaring bagaikan bunyi mercon dan ujungnya berkelebat menyambar dari atas kebawah! Benar-benar Liok Samkong pantang menyerah sebelum ajal tiba, meskipun keadaannya sudah sulit sekali untuk menyelamatkan diri namun ia masih sempat mainkan cambuknya dengan gerak tipu Nagasakti-mengejar- mustika, sehingga untuk seketika desakan dari sinenek jadi tertahan karena pedang yang barusan secara langsung mengarah tubuhnya, kini harus dipergunakan menangkis cambuk dan agaknya wanita tua itu harus mengakui juga betapa akibatnya kalau ilmu pecut Naga sakti-mengejar-mustika itu dibiarkan saja tanpa menggerakkan pedangnya untuk mematahkan serangan itu!

Pecut ditangan Samkong dalam gerak tipu yang dipergunakan sebagai serangan terakhir dan untung-untungan ini benar-benar hebat sekali daya-serangnya. Seakan-akan melebihi gerakan kilat cepatnya ujung cambuk itu berlenggang-lenggok mengitari tubuh sinenek mencari jalan darah yang mematikan sehingga ujung cambuk ini bagaikan kepala seekor naga hidup sedang mengejar mustika. Sedangkan bagian tangan cambuk yang berupa seutas tali panjang merupakan tubuh naga yang melingkar-lingkar dan setiap lekuk dari lingkaran ini melakukan serangan tersendiri sehingga dalam gerakan Nagasakti-mengejar-mustika ini, cambuk ditangan Samkong sekaligus melancarkan serangan yang tak boleh dipandang ringan! Dan akhirnya Liok Samkong terdengar berseru girang seraya mengerahkan tenaga dan menggentak pecutnya ketika pecut itu telah berhasil membelit pergelangan tangan kanan lawannya yang mencekal pedang! Akan tetapi tidak tahunya hal ini justeru adalah pancingan dari sinenek yang dalam waktu bersamaan dengan Samkong menarik pecutnya, nenek itu sambil tertawa masam secepat kilat tangan kirinya menangkap cambuk dan lalu melompat kebelakang sambil membedol cambuk itu! Bagaikan seekor ular yang ditarik kepalanya oleh satu pihak dan pihak lain menarik ekornya, sekaligus semua lekuk yang menyerang itu menjadi gagal karena kini cambuk menjadi terpentang lurus! Untuk sesaat mereka saling tarik-menarik bagaikan lakunya dua orang sedang adu tenaga bertarik tambang dan tiba-tiba diluar dugaan Samkong, nenek itu menggerakkan pedangnya dan putuslah cambuk itu pada tengah- tengahnya! Pedang nenek buruk rupa yang sesungguhnya sebilah pedang mustika itu memang tidak mampu membabat putus cambuk ketika mereka sedang bertempur karena cambuk itu bersifat lemas dan malah ada kemungkinan pedangnya dibelit, akan tetapi kini, setelah dipegang oleh kedua pihak dan ditarik kencang, maka dengan sekali sabet saja, biar bagaimanapun alot dan kuatnya cambuk, pedang mustika yang disertai pengerahan lwekang ketika disabetkan telah berhasil memutuskannya!

Liok Samkong merasa terkejut sekali dan karena ia tidak menduga bahwa nenek itu akan memutuskan cambuknya yang justeru sedang dibetotnya dengan sepenuh tenaga, maka begitu cambuknya dibabat putus; tak ampun lagi tubuhnya jadi jatuh terjengkang! Saat mana digunakan oleh sinenek untuk melompat maju dan mengirim tusukan maut. Samkong tak mendapat kesempatan berkelit dan agaknya ia sudah menerima nasib keakhiran hidupnya dengan tiada ditembus pedang dan dalam saat menjelang kematiannya ini, ia masih sempat ingat akan firasat buruk yang ia sudah peroleh sejak dari rumahnya pagi tadi! “Oh isteriku firasatmu dan yang juga menjadi firasatku, benar- benar tak salah! Hari ini ternyata hari naas yang menjadi hari terakhir daripada hidupku…”,demikian, sambil meramkan mata, pada detik-detik pedang sinenek menghujam dadanya, Liok Samkong masih sempat pula mengeluh didalam hatinya sambil dalam ingatannya terbayanglah kelembutan wajah isterinya yang segera akan menjadi janda serta kelima orang anaknya yang masih kecil-kecil dan yang segera akan menjadi anak-anak yatim.

Akan tetapi firasat buruk yang kenyataannya sudah tak dapat dibantah lagi oleh Liok Samkong dalam detik menanti kematiannya ini, tapi pada saat berikutnya ternyata, bahwa firasat buruk itu justeru samasekali tidak berarti pertanda datangnya kematian sehingga firasat mana dapat dikata pada hakekatnya sangat jauh meleset! Hal ini terjadi tatkala kemudian tiba-tiba Liok Samkong mendengar suara bentakan nyaring :

“Monyet-betina-tua! Keganasanmu makin menggila! Kini saat ajalmu telah tiba! Dosa-dosamu kau tebus dengan nyawa!”

Samkong maklum bahwa yang membentakkan pantun makian ini adalah Sanbeng dan ia yakin bahwa pedang sinenek belum juga menembus dadanya adalah dikarenakan pertolongan anakmuda ini, sehingga hatinya sangat girang. Cepat ia bangkit dan memandang, ternyata Sanbeng sudah menghadang sinenek dan pedang wanita burukrupa itu terjepit diantara sejilid buku yang terpegang ditangan kirinya! Samkong melongo saking girang dan kagum dan samasekali ia tidak tahu bahwa ketika ia sedang menyerahkan nyawa dibawah tusukan pedang sinenek tadi, betapa anak muda baju biru itu dengan kecepatan luarbiasa telah melompat dari atas kereta dan dengan mempergunakan bukunya yang berjilid tebal itu lalu menjepit pedang sinenek yang justeru hanya berjarak tinggal beberapa dim saja ujungnya yang runcing dan tajam itu hampir menancap di dada piauwsu!

Kalau Liok Samkong jadi melongo saking girang hatinya dan kagum akan kepandaian Sanbeng yang telah menolong nyawanya dalam waktu yang sangat tepat, adalah wanita tua ganas itu menjadi marah sekali. Marah, bukan saja maksudnya dihalangi, bahkan terutama sekali ia mendengar makian anakmuda itu. Segera ia mengeluarkan jeritan yang nyaring dan menyeramkan ketika ia menarik pedangnya dari jepitan buku anakmuda itu, akan tetapi karena Sanbeng mempergunakan tenaga lwekangnya maka pedang itu tak segera dapat dicabutnya, seakan-akan berada dalam jepitan sebuah catok baja yang sangat kuat!

“Anaksetan! Siapakah engkau maka berani berbuat kurang ajar terhadap Tokkiam Sianli?!”, nenek itu bertanya marah sambil lengan kirinya diulurkan kedepan, mengirim sebuah pukulan kilat kearah kepala Sanbeng.

Sanbeng maklum betapa bahayanya pukulan itu, karena meski tinju sinenek itu belum sampai mengenai sasaran akan tetapi hawa dari daya pukulannya sudah terasa panas menyambar sehingga anakmuda ini cepat berkelit dengan sebuah lompatan kesamping dan karena gerakannya inilah, sinenek jadi mempunyai kesempatan mencabut pedang dari jepitan bukunya.

”Biang-iblis keji! Sudah terang kau adalah Tokkiam Moli, masih mau memperindah nama sendiri, dengan mengaku Tokkiam Sianli [Bidadari berpedang-racun], sungguh kau tak tahu diri dan menggelikan sekali! Kau ingin tahu siapa adanya aku? Nah, dengarlah baik-baik oleh telingamu! Kami ayah dan anak sengaja jauh-jauh dari Santung mencarimu, dan hari ini setelah bertemu, berarti tibalah hari kematianmu!”

Kembali nenek ini menjerit. “Kutu buku sombong! Rupanya kau sudah bosan hidup! Hah…..?!” sambil menyerukan ucapan “Hah” ini, nenek itu yang memang Tokkiam Moli adanya sebagaimana dugaan Liok Samkong tadi, tiba-tiba menubruk dan mengirim serangan kilat dengan pedangnya! Maka Sanbeng cepat mengebutkan buku ditangan kirinya dan dari kebutan buku ini, keluarlah hawa pukulan yarg sangat kuat menyambut terjangan Tokkiam Moli. Sedangkan tangan kanan anakmuda ini tahu-tahu kini sudah memegang sebatang poan-koan-pit [semacam alat menulis], lalu mengirim sebuah serangan berupa totokan yang diarahkan kelambung sinenek sehingga Tokkiara Moli cepat mengelak sambil memutarkan pedangnya menangkis dan demikianlah pada saat selanjutnya, So Sanbeng dan Tokkiam Moli telah bertempur seru bukan main.

Adapun Liok Samkong yang berdiri agak jauh diluar kalangan pertempuran, makin melongo saja dan matanya yang tinggal satu itu sampai tidak berkedip ketika menyaksikan betapa hebatnya pertempuran antara Sanbeng dan Tokkiam Moli. Saking cepatnya pergerakan mereka, membuat Samkong tak dapat melihat betapa cara-caranya mereka bertempur. Ia hanya melihat dua sosok bayangan berwarna biru dan merah berputar-putar menjadi satu diantara gulungan sinar pedang sinenek yang berkilat-kilat ditimpa cahaya matahari!

Diam-diam piauwsu ini memuji akan ilmu kepandaian yang dimiliki Sanbeng. Dengan hanya sejilid buku di tangan kiri dan sebatang pit ditangan kanan, sungguh pun senjata ini kelihatannya sangat sederhana namun karena justeru kesederhanaannya inilah kalau beradu ditangan seorang yang ahli, merupakan senjata istimewa yang sangat ampuh! Dari hal ini saja secara mudah Liok Samkong sudah dapat menduga bahwa So Sanbeng pasti memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi, bahkan jauh lebih tinggi daripada ilmu kepandaian yang dimilikinya sendiri sebagai seorang ahli cambuk yang sudah ternama itu, karena kalau tidak, betapa mungkin berani dan dapat menghadapi Tokkiam Moli yang karena kelihayannya, keganasan dan kekejamannya sudah menggempar- kan dunia kangouw!

Bukan main besarnya rasa sesal di hati Samkong kalau ia ingat betapa tadi ia sudah mempunyai sangkaan yang bukan-bukan terhadap Sanbeng dan ayahnya, bahkan ia pernah memaki dan mengancam pula! Namun kenyataannya sekarang membuktikan, bahwa anakmuda itu justeru merupakan bintang penolong sehingga ia terhindar dari kematian dan karenanya, piauwsu ini jadi merasa hutang budi atas pertolongan Sanbeng sehingga diam-diam di hatinya lalu berdoa agar anakmuda itu tidak sampai dikalahkan oleh Tok kiam Moli.

Suara jeritan yang dikeluarkan oleh Si Iblis wanita Berpedang- racun sampai duakali tadi, selain pertanda kemarahan hatinya namun agaknya berarti juga sebagai tanda rahasia bahwa ia menghadapi bahaya. Karena begitu nenek buruk rupa ini mulai bertempur menghadapi Sanbeng, maka beberapa detik kemudian Liok Samkong melihat bahwa dari dalam hutan, dari mana Go Jikiu dan Tokkiam Moli tadi berdatangan, muncullah seorang kakek bertubuh pendek kerdil sehingga kalau tidak melihat kumis dan jenggot yang sudah putih dan tumbuh jarang diantara wajahnya yang berkulit penuh keriputan itu, maka Liok Samkong yang melihatnya pasti akan menyangka bahwa orang yang baru muncul itu adalah seorang anak kecil yang umurnya belum sampai sepuluh tahun! Dan kepala kakek itu bentuknya lucu sekali, demikian lonjong dan besar sehingga tak pantas berada diatas tubuh yang sedemikian kecil dan kerdil. Tangannya memegang sebatang tongkat paiijang berwana hitam dan ketika Snmkong memperhatikan, ternyata bahwa tongkat itu terbuat daripada seekor ular besar yang telah dikeringkan dengan kepalanya mengeluk serta mulut terbukti sehingga gigi dan taringnya terlihat, merupakan bagian kepala tongkat itu. Sementara tubuh ular kering itu yang bentuknya bereluk-eluk menjadi batang tongkat dan kakek itu memegang tongk yang mengerikan ini dibagian ekornya. Juga ketika Samkong memperhatikan pakaian yang membungkus tubuh kerdil dari kakek itu, kalau justeru ia tidak sedang menghadapi situasi yang penuh ketegangan, maka niscaya piauwsu ini akan ketawa penuh kegelian! Betapa tidak, pakaian itu, baik baju maupun celananya, bentuk dan potongannya persis seperti pakaian yang biasa dikenakan bocah perempuan. Demikian pula warna kainnya, dasar merahmuda berkembang-kembang warna kuning sehingga kakek itu kelihatannya persis seperti pelawak! Betapa Samkong takkan merasa geli hati kalau melihat bentuk tubuh dan kepala serta potongan pakaian seperti itu ?

Karena Liok Samkong tidak tahu siapa adanya kakek lucu seperti potongan pelawak itu, maka tentu saja ia tidak mengenalnya. Akan tetapi hati piauwsu ini bukanmain terkejutnya ketika ia melihat, setelah kakek kerdil itu berdiri sebentar dan sepasang matanya yang kecil bersinar tajam memandang penuh selidik kepada sikakek yang menjadi ayah dari Sanbeng yang ketika itu masih duduk diatas kereta sambil enak-enak mengipasi tubuhnya, kemudian dengan gerakan segesit kijang melompat tahu-tahu kakek kerdil itu telah berada ditengah pertempuran dan sekali ia menggerakan tongkat ularnya sambil membentak : “Tikus kecil, kau berani kurang ajar terhadap isteriku? Enyahlah.....!”, dan tahu-tahu tubuh Sanbeng tampak terpental hingga beberapa tombak jauhnya!

“Celaka ....!”, tanpa terasa Samkong berteriak saking kagetnya dan ia cepat melompat hendak menolong Sanbeng yang masih bergulingan ditanah. Akan tetapi ketika ia hendak meraih tubuh anakmuda itu, ternyata Sanbeng telah dapat berdiri pula dan sikapnya tetap gagah, sama sekali tidak memperlihatkan gejala bahwa anakmuda ini mendapat cendera. Bahkan ketika melihat Samkong berlari mendekatinya, ia memberi nasehat :

“Liok Sianseng, minggirlah dan kuminta kau jangan campur tangan dalam peristiwa ini. Pengganyangan sepasang siluman jahat ini menjadi kewajibanku bersama ayah!”

“Jadi.... jadi, kau tak mendapat luka apa-apa, So sicu ?” tanya Samkong tergagap-gagap karena saking tak percaya bahwa anakmuda itu masih tetap segar bugar. Piauwsu ini sama sekali tidak tahu, bahwa Sanbeng terpental tadi bukan karena akibat serangan tongkat ular dari sikakek kerdil, melainkan ia sengaja melompat kebelakang dengan gerakan cepat lalu menggulingkan tubuhnya ditanah untuk menghindarkan diri dari serangan jarum- jarum kecil beracun yarg dilepaskan oleh kakek kerdil itu melalui mulut ular yang berupa tongkatnya. Pertanyaan Samkong tak mendapat jawaban dari anakmuda yaug sangat waspada itu karena ketika mana Sanbeng sudah harus bersiap dan mengambil ancang-ancang untuk menyambut datangnya Tokkiam Moli dan kakek kerdil itu yang melakukan terjangan secara berbareng! 

Melihat ancaman bahaya, Liok Samkong cepat melompat kepinggir bagaikan seekor tikus melihat kucing. Sesungguhnya ia tidak merasa takut sedikitpun dan kalau menurut keinginan hatinya serta jiwanya yang gagah, sebenarnya ia ingin sekali membantu anakmuda itu tanpa memperdulikan betapa rendah tingkat kepandaian sendiri bila dibandingkan dengan kelihayan yang dimiliki pihak lawan! Apalagi ia mendengar permintaan Sanbeng tadi mau tak mau ia harus menghargainya, maka inilah sebabnya mengapa piauwsu ini segera melompat jauh kepinggir, kembali ketempat asalnya tadi, dimana selanjutnya ia berdiri, menonton! Sementara pecutnya tetap terpegang erat-erat dalam tangannya, sungguhpun ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dengan pecut yang sudah buntung ini!

Kemudian ternyata bahwa yang dapat menyerang langsung hanya Tokkiam Moli saja dan dihadapi oleh Sanbeng yang segera menggerakkan buku dan pitnya sehingga kedua orang ini tanpa banyak cakap mulai bertarung pula! Sementara kakek kerdil tadi, yang semula bermaksud hendak mengeroyok Sanbeng, tak sempat mendekati anakmuda itu oleh karena keburu dihadang oleh orangtua yang menjadi ayah Sanbeng! Liok Samkong tak sempat melihat betapa orangtua berwajah selalu berseri ramah itu meloncat dari atas kereta, tahu-tahu sudah berdiri menghadang sambil mengebutkan kipasnya dihadapan kakek kerdil yang secara gesit sekali segera melompat kesamping, mengelakkan hawa pukulan dari kipas itu yang memapaki tubuhnya!

“Berkelahi main keroyok bukan perbuatan orang-orang gagah! Biarlah siluman-betina itu menerima pelajaran membaca dan menulis dari anakku. Sedangkan kau, siluman cebol ini, menjadi bagianku untuk mengipasi kepala-raksasa yang tumbuh diatas tubuh bocah-bayi itu! Satu lawan satu, baru adil. Betulkah, Coa-tung Tok-ong?!”

Sambil tongkat ularnya dilintangkan didepan dada, kakek kerdil itu menengadahkan kepala memandang terhadap orang yang memegang kipas itu dengan mata beringas. “Orang bermulut busuk! Kau sudah mengenal nama besarku, tapi kau yang berani menantang maut ini siapakah? Katakanlah, agar aku tak usah membuang tenaga percuma kalau hanya untuk membunuh seekor cecunguk!”

“Hehehe !” Orangtua berkipas itu memperdengarkan suara ketawa ejekan tatkala kemudian berkata: “Coa-tung Tok-ong, makin tua kau makin sombong. Akan tetapi ternyata kau sudah pikun sehingga agaknya kau sudah tak ingat lagi akan kebiadaban yang kau bersama siluman-betina itu perbuat didaerah Santung, dan juga betapa kau berdua telah berani berbuat kurangajar terhadap Santung Sam-eng dikota Cilam ”

(Bersambung Jilid ke 2) 0 NAGA MATA SATft

Oleh : Tjoe Beng Siang

Jilid ke 2

IBA-TIBA Coa-tung Tok-ong atau Si Raja Racun bertongkat ular itu menukas: “Cukup! Penjelasanmu sudah cukup! Dan sekarang aku ingat bahwa kau ini

adalah salah seorang sisa dari Santung Sam-eng [Tiga pendekar dari Santung] setelah dua orang saudaramu dan keluargamu kami pindahkan nyawa mereka ke neraka! Bagus, waktu dulu aku telah mengasihani jiwamu, tapi sekarang kau sengaja datang menghadap padaku, tentu maksudnya kau hendak minta pertolonganku supaya nyawamu menyusul dan bita berkumpul dengan nyawa kedua saudaramu dan keluargamu yang sudah menjadi penghuni tetap di neraka! Bukan ?!”

“Justeru nyawamu dan nyawa siluman-betina itulah yang kini harus menghadap Giam-lo-ong [Malaikat elmaut] sebagai hukuman dosa kalian yang bertumpuk-tumpuk! Nah, bersiaplah dan terlebih dahulu terimalah salamku terakhir berupa ucapan selamat berangkat menuju akhirat!” seiring ucapan terakhir yang terdengar amat lunak ini, maka orangtua yang memang bukan lain adalah salah seorang yang masih hidup dari Santung Sam-eng, yang bernama So Kim lin itu, lalu mengebutkan kipas ditangan kanannya, dibarengi tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka membuat gerakan seperti mendorong kedepan. Sekaligus orangtua ini telah mengirim dua macam pukulan yang mematikan terhadap Coa-tung Tok-ong!

Sambil berteriak marah, kakek kerdil itu cepat mengelak dan pergerakan yang diperbuat oleh tubuhnya yang kecil itu ternyata luar biasa gesit sehingga dalam sekilas saja, ia sudah dapat menghindarkan dua macam hawa pukulan dari lawannya yang sudah dimakluminya sangat berbahaya sekali! Dan pada lain saat ia segera balas menyerang dengan tongkat ularnya yang sangat mengerikan itu!

Kembali Liok Samkong yang menonton ditempat agak jauh jadi melongo saking bengongnya. Kini ia melihat empat orang yang bertempur itu menjadi dua gundukan bayangan yang bergulung- gulung kian kemari. Berlangsungnya pertempuran yang seru dan sengit itu tak dapat diikuti oleh penglihatan mata Liok Samkong yang hanya satu itu sehingga sulit sekali baginya untuk dapat membedakan mana yang menjadi pihak sepasang manusia siluman, dan mana yang menjadi pihak Santung Sam-eng! Tambahan lagi hawa pukulan hawa pukulan dari mereka yang bertempur menyebabkan debu berhamburan mengabuti tempat disekitarnya, sehingga makin kaburlah penglihatan Liok Samkong karenanya!

Tahulah sekarang Liok Samkong bahwa kakek kerdil yang dianggapnya seperti pelawak itu adalah Coa-tung Tok-ong! Kalau tadi ia tidak mendengar So Kimlin menyebut nama kakek kerdil, itu, tentu ia akan menganggap bahwa kakek kerdil itu hanya seorang makhluk yang menggelikan hatinya. Akan tetapi kini setelah ia tahu, selain hatinya terkejut bukan kepalang ketika didengarnya So Kimlin menyebut nama kakek kerdil itu, bahkan dihatinya timbul pula rasa ngeri yang meremangkan buluromanya! Betapa tidak, memang ia sudah mendengar bahwa di dunia kang-ouw ini terdapat seorang tokoh jahat, yang berjuluk Si Rajaracun bertongkat ular, menyamai kejahatan Si Iblis betina berpednang-racun yang juga hanya pernah didengarnya. Kini sepasang siluman itu benar-benar dapat dijumpainya secara kebetulan dan Liok Samkong sama sekali tidak menyangka bahwa sepasang tokoh jahat itu sudah berada dihutan Siong-tiok-lim ini! Ia bergidik kalau ingat akan tantangan yang diajukan Go Jikiu yang mayatnya kini masih membujur dan kadang-kadang terinjak-injak oleh keempat orang yang sedang bertempur dahsyat itu, andaikata ia memenuhi tantangan Go Jikiu dan mendatangi hutan ini hanya seorang diri, agaknya firasat buruknya akan menjadi kenyataan karena jelas ia akan menemukan ajalnya secara konyol disebabkan kepandaian sendiri tak mungkin dapat dipergunakan untuk menghadapi kelihayan sepasang siluman beracun yang sudah menggemparkan dunia kangouw itu. Maka bagaimana hati Liok Samkong takkan merasa ngeri kalau mengingat hal ini! Dan ia maklumlah pula kini, bahwa yang membuat Go Jikiu sikepala perampok itu berani mengirim surat tantangan, agaknya mengandalkan bantuan sepasang siluman jahat tersebut yang ilmu-kepandaiannya jelas bukan mmjadi tandingannya!

Baiknya ia datang bersama salah seorang Pendekar Santung dengan puteranya yang kini jelas bahwa ayah dan anak itu mempunyai perhitungan dendam terhadap sepasang siluman itu, sehingga dengan demikian ayah dan anak yang gagah itu merupakan bintang penolong sehingga ia hari ini terhindar daripada kematian! Kalau tidak ? Pasti ia sudah mampus dibawah pedang siluman-betina itu dan nyawanya agaknya sudah sedang menyusul nyawa Go Jikiu Si Golok tunggal Pencabut nyawa yang benar-benar nyawanya sudah dicabut oleh totokan ujung pecutnya tadi!

Kembali Liok Samkong jadi teringat betapa ia tadi menaruh prasangka yang sedemikian buruk terhadap kedua penyewa keretanya yang kemudian baru diketahui bahwa mereka adalah salah seorang dari Santung Sam-eng bersama anaknya dan kepada mereka justeru kini ia merasa berhutang budi, bahkan merasa berhutang nyawa, sehingga bertambah besarlah rasa menyesal yang menyesaki dadanya dan ia sudah mengambil keputusan, bahwa ia harus menyatakan maaf yang sebesar-besarnya terhadap mereka!

Sementara itu pertempuran berlangsung makin seru dan debu makin hebat mengabuti gelanggang empat orang yang sedang saling serang mengadu nyaw.a. Dan kalau menurut taksiran Liok Samkong, pertempuran itu sudah berlangtung melebihi tigaratus jurus, namun sampai sejauh itu masih belum kelihatan pihak yang menang atau kalah, tanda bahwa mereka sama kuat, sama lihay, sehingga Samkong harus mengakui bahwa sepanjang pengalamannya sebagai piauwsu, belum pernah ia menyaksikan pertempuran yang demikian hebat, seru dan berlangsung sampai selama itu seperti apa yang sedang ditontonnya sekarang!

Saking asyiknya ia menonton sungguhpun perasaan hatinya amat tegang dan diam-diam hatinya terus berdoa guna kemenangan pihak ayah dan anak dari Santung itu, Samkong sampai tak dapat melihat betapa disekitar tempat itu kini sudah terkurung oleh kurang lebih seratus orang anggota perampok dan sebagian dari mereka, sudah menggerayangi barang-barang diatas kereta! Ia baru sadar ketika mendengar suara ribut-ribut dari para perampok yang sibuk dan berebutan hendak mengangkati barang- barang dari atas kereta itu. Ingat akan hutang budi, maka sudah menjadi kewajiban mutlak baginya untuk menyelamatkan barang barang milik Pendekar dari Santung itu sehingga karenanya, ia segera melompat menghampiri kereta sambil membentak marah dan pecutnya langsung dihajarkan terhadap perampok secara bertubi-tubi sehingga para prrampok itu sambil memekik kesakitan jatuh bergulingan dari atas kereta! Akan tetapi para perampok yang belum kebagian hajaran pecutnya menjadi marah dan lalu menyerbu dan mengeroyok piauwsu itu.

Selaku piauwsu yang banyak pengalaman, Liok Samkong maklum bagaimana ia harus menghadapi keroyokan dari cacing- cacing pecomberan ini. Ia segera meloncat keatas kereta dan sambil berdiri tegak, ia memutarkan cambuknya sedemikian rupa sehingga para perampok yang tak tahu gelagat dan berani coba-coba menaiki kereta, tak ampun lagi wajah mereka disabet pecut buntung sehingga mereka segera mundur kembali sambil berteriak-teriak karena kulit wajah mereka pecah yang mendatangkan rasa sakit dan perih bukan main! Akan tetapi dasar kawanan becokok itu terdiri dari manusia-manusia kasar dan berotak kerbau, keberanian mereka hanya karena mengandalkan kawan mereka banyak, kemudian secara beramai-ramai mereka hendak menggulingkan kereta itu. Namun Liok Samkong sudah siap menghadapi maksud mereka, segera targan kirinya menyambar tali-kendali kuda dan secara mahir sekali ia membuat kedua ekor kuda itu berjalan berputar-putar sehingga kuda dan kereta itu jadi berputar seperti baling-baling sehingga sangat sukar sekali untuk digulingkan oleh para perampok, bahkan mereka ini harus menerima risiko yang lebih besar karena bukan saja wajah, kepala dan tubuh mereka mendapat hajaran pecut ditangan kanan Somkong, malah mereka lebih celaka lagi dalam paniknya karena kesakitan akibat sabetan pecut, tubuh mereka jadi terguling ketabrak kuda, lalu terinjak- injak oleh empat pasang kaki dari dua ekor kuda itu dan malah ada juga yang lebih sial, tubuhnya digiles roda kereta itu! Dalam beberapa saat saja entah sudah berapa beas orang anggota perampok yng meringkuk dan terkapar diatas tanah sambil mengerang-erang serta mengaduh-aduh kesakitan! Ternyata pecut buntung itu ada juga gunanya, sungguhpun Samkong mengerjakannya repot juga oleh karena para perampok itu seakan- akan sekawanan binatang nyamuk yang tidak tahu bahayanya api dan demikian bandel. Meskipun sudah tahu mendekati kereta berarti bahaya, namun mereka jatuh satu, datang dua dan yang dua ini dijatuhkan pula, lalu muncul empat dan demikian seterusnya sehingga Samkong jadi merasa gemas bukan main, sampai-sampai akhirnya ia terpaksa harus menjatuhkan tangan maut terhadap mereka! Betapa Samkong takkan merasa gemas dihatinya, oleh karena adanya gangguan para nyamuk bandel itu membuat ia tidak mempunyai kesempatan menyaksikan pertarungan yang sangat menarik hatinya, yang dikala mana masih terus berlangsung teramat serunya.

Orang yang tak memiliki ilmu menangkap harimau pasti ia takkan berani mendekati sarang harimau, demikian sebuah peribahasa kuno mengatakan. Begitu pula halnya So Kimlin dan Sanbeng, jauh-jauh dari Santung mencari Coa-tung Tok-ong dan Tokkiam Moli, berarti mereka menyerahkan nyawa secara percuma kalau mereka tidak memiliki ilmu kepandaian yang dapat mengatasi kelihayan sepasang siluman yang tak asing lagi itu! Selama tigaratus jurus mereka bertempur, mereka harus mengakui kelihayan serta ketangguhan pihak lawan masing-masing. Tokkiam Moli kadang- kadang terdengar menjerit marah apabila pedangnya terbentur dengan jilid buku ditangan sianakmuda, karena dari tenaga benturan itu mendatangkan akibat tangannya tergetar hebat tanda bahwa tenaga lwekang lawannya yang masih semuda itu tidak berada dibawah tingkatnya. Angin kebutan dari buku itu berupa hawa pukulan yang sangat kuat, mendorong dan agaknya dapat melontarkan sebuah batu gunung yang cukup besar. Terutama sekali yang amat membingungkan Tokkiam Moli adalah sebatang pit yang terpegang ditangan kanan anakmuda itu. Senjata yang kecil dan pendek itu dapat menangkis dan menindih serangan pedangnya yang panjang dan gerakan pit tersebut sangat sukar diduga arah mana sebenarnya yang hendak ditotok, karena gerak tipunya demikian banyak membuat orang melayaninya kebingungan dan mudah dapat terpancing, sehingga kalau saja bukan Tokkiam Moli yang menghadapinya, agaknya dalam beberapa puluh jurus saja sudah jadi pecundarg! Sebaliknya pihak Sanbeng juga tak dapat memandang rendah kepada lawannya, pedang nenek itu setiap gerakannya berupa jangkauan maut, demikian ganas dan cepat luarbiasa! Baiknya pemuda irii memiliki kepandaian, ketabahan serta keberanian hati yang sudah matang dalam gemblengan sehingga selain ia dapat mengirim serangan-serangan yang berbahaya. juga amat berhati-hati, segala gerakan yang dilakukannya selalu berdasarkan perhitungan yang cermat. Ia maklum bahwa pedang itu mengandung racun, sehingga ia sangat waspada supaya pedang itu jangan sampai mengenai tubuhnya. Jangankan sampai tertusuk dan terbunuh mati, sedangkan bila tergores sedikit saja tetap akan mendatangkan maut karena racun dari pedang itu akan masuk melalui luka dan menjalar keseluruh peredaran darah, sehingga akhirnya mendatangkan kematian! Bau anyir yang tersebar dari pedang sinenek yang biasanya sangat mempengaruhi pernapasan lawan sehingga lawan itu sangat mudah dijatuhkan, ternyata bagi Sanbeng tidak berarti apa-apa, oleh karena sebelum ia bertempur menghadapi Tokkiam Moli, secara diam-diam ia telah menelan sebutir pil kimtan yang khasiatnya dapat mencegah segala pengaruh racun. Inilah yang paling membuat Tokkiam Moli merasa heran dan penasaran, disamping ia mengakui ketangguhan lawannya yang masih muda itu, juga ia sangat tidak mengerti mengapa anakmuda itu tak sampai terpengaruh oleh hawa racun dari pedangnya, maka membuatnya makin gemas dan makin hebatlah ia menyerang.

Adapun So Kimlin yang bertempur dengan Coa-tung Tok-ong, juga orangtua dari Santung ini harus mengakui kehebatan ilmu kepandaian Si Raja racun Bertongkat ular itu! Pantas kedua orang sute [adik seperguruannya] telah dapat ditewaskan oleh kakek kerdil yang dalam segala penyerangannya lebih banyak mempergunakan akal licik dan curang. Salah satu kecurangannya ialah berupa pelepasan jarum-jarum kecil berbisa dari mulut ular yang menjadi tongkatnya itu sehingga banyak lawan menjadi kurban dari kecurangannya ini! Tetapi So Kimlin, salah seorang pendekar dari Santung yang sudah mempunyai nama besar ini sudah mempunyai siasat untuk menghadapi kecurangan Coa-tung Tok-ong. Ia maklum bahwa sikakek kerdil itu tak dapat melepaskan jarum-jarum kecil beracun dari mulut tongkat ularnya secara terus menerus kalau tanpa mempunyai kesempatan mengisi jarum- jarum baru kedalam tongkatnya, maka ia selalu mendesak dan bertempur dalam jarak yang dekat sekali sehingga Coa-tung Tok- ong samasekali tidak mempunyai kesempatan untuk mengisi “peluru” kedalam senjatanya. Watak licik dan curang dari Si Rajaracun itulah yang paling dikuatirkan oleh So Kimlin, sedangkan ilmu silat tongkat ularnya yang biarpun harus diakui kehebatannya dan ditambah lagi bau busuk yang keluar dari tongkat-ularnya yang bisa membuat orang merasa sebal dan menjadi mabuk, bagi pendekar dari Santung ini tidak terlalu membahayakan oleh karena dengan kebutan kipasnya yang bisa menimbulkan angin berupa hawa pukulan yang sangat kuat dan dibantu pukulan Ceng-kin- ciang [pukulan seribu kati] yang dilakukan oleh tangan kirinya, sudah dapat mengusir hawa beracun mematahkan segala gerak tipu serangan yang dilancarkan dari lawannya.

So Kimlin memang bermaksud hendak membunuh Coa-tung Tok-ong, maka dalam segala serangan yang ia lancarkan selalu disertai pengerahan tenaga lweekang sepenuhnya yang dapat mematikan lawan tanpa menderita sekarat dulu. Akan tetapi, setelah bertempur selama tigaratus jurus, masih belum juga ia dapat menjatuhkan lawannya karena tubuh sikakek kerdil itu ternyata mempunyai kelincahan luar biasa, melompat kian kemari segesit binatang tupai bermain diantara ranting-ranting pohon sehingga Kimlin harus mengerahkan seluruh ginkangnya untuk mengimbangi kegesitan lawan dan terus mendesak sambil mengirim pukulan-pukulan maut, namun sampai sejauh itu semua pukulannya hanya menghantam tempat kosong membuat debu berhamburan dan daun-daun diatas pohon bergoyang-goyang bagaikan ditiup angin santer. Dapatlah dibayangkan, betapa tinggi ilmu kepandaian terutama ilmu meringankan tubuh yang dimiliki oleh Coa-tung Tok-ong sehingga semua pukulan dari Kimlin yang serba dahsyat dan dapat mematikannya itu, selalu dapat dihindarkannya secara begitu mudah. Memang Coa-tung Tok-ong tak mungkin akan dapat menggemparkan dunia kangouw kalau ia dapat dibunuh oleh seorang lawan begitu gampang!

Betapapun tingginya ilmu kepandaian seseorang, namun kalau bertempur terlalu lama sampai ratusan jurus. akhirnya akan kehabisan tenaga dan napas. Demikianlah halnya dengan keadaan sepasang siluman jahat itu, disebabkan usia mereka sudah tua dan ditambah lagi didalam tubuh mereka dipenuhi darah dan hawa kotor akibat pengaruh racun yang seakan-akan menjadi barang permainan mereka sehari-hari, maka setelah mereka bertempur menghadapi lawan masing-masing sampai melampaui tigaratus jurus, akhirnya mereka merasa kewalahan!

Napas Tokkiam Moli sudah terengah-engah, gerakan pedangnya sudah mulai ngawur sungguhpun serangannya masih cukup berbahaya. Baju merah nenek iblis itu sudah basah kuyup oleh keringat yang keluar dari tubuhnya dan ternyata keringat siluman betina ini baunya memuakkan sekali sehingga kalau So Sanbeng tidak menelan pil kimtan yang sangat mujarab itu, pasti anakmuda ini sudah jatuh pingsan! Dan justeru karena pengaruh pil mujarab itu pula, membuat keadaan anakmuda ini masih tetap segar, hanya wajahnya saja berwarna merah serta peluh berbintik-bintik di kening dan lehernya tanda bahwa ia terlalu banyak mengeluarkan tenaga dalam pertempuran yang memang sangat lama itu. Ketika dilihatnya betapa keadaan sinenek lawannya itu sudah mulai kepayahan, maka Sanbeng dengan semangat yang tetap tinggi terus melakukan desakan semakin hebat. Bukunya dikebut-kebut makin dahsyat sehingga hawa pukulan dari buku ini menyerang tubuh Tokkiam Moli bertubi-tubi, sedangkan senjata poan-koan-pit ditangan kanannya berputar-putar sedemikian rupa seakan-akan sedang membuat lukisan benang-kusut, mencari sasaran kearah jalan darah yang mematikan! Namun, walaupun Tokkiam Moli dalam keadaan terus terdesak dan kewalahan, pada suatu ketika ia masih sempat mengirim sebuah tusukan dengan pedangnya yang dilakukan secara nekad. Biarpun tenaganya sudah hampir habis, tapi datangnya tusukan itu masih merupakan kilat cepatnya kearah tenggorokan Sanbeng sehingga anakmuda ini cepat mengelak dengan sedikit merendahkan tubuhnya dan justeru pada saat itulah Sanbeng melihat kesempatan baik untuk mengirim serangan sebagai penentuan berakhirnya pertempuran! Sambil merendahkan tubuhnya sehingga pedang sinenek meluncur lewat diatas kepalanya, poan-koan-pit ditangan kanannya cepat digerakkan keatas dan secara tepat sekali menotok urat nadi dipergelangan tangan Tokkiam Moli yang memegang pedang, dan buku ditangan kirinya dikebutkan dengan tenaga sepenuhnya kearah tubuh sinenek yang berjarak sangat dekat itu! Segera terdengar Tokkiam Moli menjerit, pedangnya terlepas dari pegangan dan tangan kanannya seketika itu pula menjadi lumpuh. Tapi nenek ini masih sempat mendoyongkan tubuhnya kesamping untuk mengelakkan hawa pukulan dari buku lawannya, sementara tangan kirinya tiba- tiba, dengan kecepatan luarbiasa, mengirim serangan berupa sebuah cengkereman kearah pundak kanan Sanbeng! Tapi nyatanya ia kalah cepat olen gerakan yang diperbuat oleh anakmuda yang selalu mempunyai perhitungan tepat, sehingga Tokkiam Moli tak sempat mengelak lagi tatkala sebuah tendangan kilat dari kaki kanan Sanbeng yang disertai pengerahan tenaga lwekang sepenuhnya, telah melayang dan menghantam dadanya! Tubuh iblis betina itu terlempar keudara dan melambung tinggi sekali. Sanbeng tak mau berhenti sampai disitu saja, karena kuatir nenek itu mempunyai kekebalan dan belum sampai mampus kalau hanya sekali tendang saja, lagipula ia ingat akan pesan ayahnya bahwa ia harus membuat nenek itu benar-benar mampus, maka ketika dilihatnya betapa tubuh iblis betina itu mulai meluncur kebawah, ia segera memapaki dengan hawa pukulan dalam gerakan bukunya dikebutkan keatas dan akibatnya hebat sekali, tubuh Tokkiam Moli kembali melambung keudara dan ternyata jauh lebih tinggi daripada yang sebelumnya, dan beberapa detik kemudian tubuh itu kembali meluncur kebawah dan kali ini Sanbeng tinggal diam sambil melihat, sehingga akhirnya tubuh yang sebenarnya sejak tadi sudah tak bernyawa itu lalu terbanting jatuh diatas tanah dalam keadaan tidak berkutik dan dari mulut serta hidungnya tampak mengeluarkan darah!

“Bagus, Beng-ji! Kau sudah menunaikan kewajibanmu dengan baik!”, tiba-tiba terdengar So Kimlin memuji anaknya. Ternyata orangtua gagah itu meskipun masih terus mendesak sikakek kerdil, sempat juga ia melihat betapa anaknya membuat riwayat hidup Tokkiam Moli yang penuh kekotoran itu menjadi tamat. Tentu saja orangtua ini merasa sangat gembira dan bangga mempunyai anak yang begitu gagah perkasa, sehingga otomatis semangatnya jadi bertambah berlipat ganda yang membuat desakan serta rangsekan terhadap Coa-tung Tok-ong bertambah hebat seakan-akan orangtua ini merasa malu karena ketinggalan oleh anaknya yang sudah mengakhiri pertempuran lebih dahulu!

Sebagaimana sudah dituturkan tadi bahwa Coa-tung Tok-ong samasekali tidak diberi kesempatan oleh lawannya untuk mengisi jarum-jarum kedalam tongkat ularnya, padahal itu justeru adalah kelihayannya yang paling diandalkan! Rajaracun ini hatinya gemas sekali melihat bahwa lawannya sudah mengetahui kelemahannya, dan ia mengakui pula bahwa sepanjang pengalamannya belum pernah menjumpai lawan yang demikian tangguh dan cerdik! Akan tetapi Coa-tung Tok-ong meskipun ilmu silatnya tidak begitu tinggi sebagaimana menurut anggapan So Kimlin, tentu takkan banyak pendekar-pendekar gagah yang dirobohkannya dan tentu pula ia takkan dapat mempertahankan nyawanya sampai hari ini, kalau ia tidak banyak mempunyai akal muslihat licik dan curang. Dan kini, meskipun ia terus terdesak hebat dan sama sekali tidak ada kesempatan untuk melawan, namun sampai sejauh itu lawannya sukar sekali untuk menjatuhkannya, lebih-lebih ginkang dari Si Rajaracun ini benar-benar harui dipuji kehebatannya!

Kalau Coa-tung Tok-ong menghendaki melarikan diri, memang hal ini sangat mudah sekali baginya. Akan tetapi ia samasekali tidak mempunyai niatan untuk itu sebelum ia mengeluarkan tipu- muslihat yang masih banyak disimpannya. Ia pantang menyerah mentah-mentah sebelum ia memberi sedikit hajaran terhadap lawannya. Demikianlah, ketika Coa-tung Tok-ong ini melihat betapa Tokkiam Moli yang menurut pengakuannya adalah isterinya, sudah dikalahkan oleh anakmuda lawannya sampai sebegitu rupa, tiba- tiba Si Raja racun ini menjerit marah dan secara tiba-tiba pula, sambil mengelakkan hawa pukulan dari lawannya yang seakan- akan hendak menggencet dari kanan dan kiri, secepat kilat tubuhnya yang kerdil itu meloncat keatas dan justeru dalam gerakan membuat loncatan inilah, tangan kanannya sempat merogoh saku bajunya, dari mana ia mengeluarkan sebuah benda bulat sebesar kepalan yang segera dilemparkannya kearah lawannya sambil membentak:

“Binatang! Nyawa isteriku harus kalian tebus !”

So Kimlin ketawa mengejek sambil menggerakkan kipasnya menangkis datangnya benda bulat itu dan ketika benda tersebut beradu dengan kipas, tiba-tiba “Daarrr !” Benda bulat tadi yang agaknya mengandung obat peledak, meletus dan dari letusan ini mengeluarkan segumpal asap berwarna hijau! So Kimlin kaget bukan main, cepat ia menjatuhkan diri dan bergulingan karena maklum bahwa asap hijau dari letusan itu mengandung racun yang sangat ber bahaya. Kipas ditangan kirinya kini sudah hancur dan tak dapat dipergunakan lagi. Baiknya asap beracun itu masih tertahan oleh tenaga kipas yang dipergunakan menangkis tadi, oleh karena kalau tidak, maka pasti akan langsung menyembur kewajah So Kimlin dan terhisap dan kalau asap itu sampai memasuki paru- paru, berarti renggutan maut. Itulah sebabnya So Kimlin cepat menjatuhkan diri dan bergulingan untuk menjauhi gumpalan asap hijau yang sangat berbahaya itu!

Justeru dikala tubuh So Kimlin tengah bergulingan itulah, tiba- tiba tubuh Coa-tung Tok-ong meluncur turun dalam gerak tipu Burung Garuda Menyambar mangsa. Tubuhnya menukik dengan kepala dibawah dan kaki diatas, tongkat ularnya meluncur terlebih dulu, mengirim totokan langsung kearah tubuh lawan yang tengah bergulingan! Kalau saja datangnya serangan yang cepat bagaikan kilat ini tiba pada sasarannya dikala tubuh So Kimlin yang sedang bergulingan itu dalam keadaan telungkup, agaknya sulit untuk dielakkan! Akan tetapi kebetulan sekali dikala mana tubuh So Kimlin justeru baru saja membuat gerakan membalik dari telungkup jadi celentang sehingga mata pendekar dari Santung yang memang selalu waspada ini dapat melihat betapa serangan kilat mengarah dirinya! Coa-tung Tok-ong ketawa terkekeh-kekeh tatkala dilihatnya betapa lawannya tak mempunyai kesempatan untuk berkelit lagi oleh karena datangnya kepala tongkat yang didorong oleh tubuhnya yang meluncur dari atas begitu cepat. Kepala tongkat yang berupa kepala-ular dengan mulut membuka itu secara langsung ditotokkan kearah Leng-tut-hiat, yaitu jalan darah yang mematikan di dada lawan.

“Hehehe !” Demikian ketawanya penuh kemenangan tatkala ia mengerahkan segenap tenaga lwekangnya kearah tongkat. Dan tiba-tiba terdengar suara”Kraakk !!” dan seiring dengan mana suara ke-tawa Coa-tung Tok-ong berubah menjadi suara jeritan yang mengerikan berbareng tubuhnya yang masih dalam keadaan menukik itu mencelat kembali keatas dan tongkat itu terlepas dari pegangannya! Apa yang terjadi ?

Ternyata So Kimlin meskipun tubuhnya masih rebah terlentang dan memang kelihatannya sulit sekali untuk menghindarkan totokan maut yang datangnya demikian cepat sehingga membuat Coa-tung Tok-ong ketawa kegirangan, akan tetapi pendekar dari Santung ini tidak mungkin berani mencari Coa-tung Tok-ong kalau ia hanya untuk mengantar nyawa begitu saja. Maka demikianlah, biarpun tubuhnya sambil rebah terlentang, ternyata ia masih mampu mengadakan perlawanan berbareng mengirim serangan yang sangat jitu. Tatkala kepala-ular dari tongkat lawannya tinggal beberapa senti lagi hampir menghantam dadanya, So Kimlin segera mengangkat kaki kirinya keatas dan menendang tongkat itu sehingga terdengar “Kraaakk !” Tongkat ular itu patah menjadi dua potong dan berbareng tangan kanannya mengirim pukulan Ceng- kin-ciang kearah dada Coa-tung Tok-ong yang masih dalam kedudukan menukik diatas tubuhnya sehingga kini benar-benarlah Si Raja racun itu sendiri yang tidak mempunyai kesempatan berkelit, maka setelah ia terkejut sebentar disebabkan tidak menduga bahwa tendangan lawannya menyebabkan tongkat ularnya patah, lalu ia menjerit ngeri ketika dadanya dihantam oleh hawa-pukulan yang mengandung tenaga beribu kati itu dan dari sebab adanya tenaga dorongan hawa pukulan inilah sehingga akibatnya membuat tubuh yang kerdil itu mencelat kembali keatas bagai dilontarkan tenaga raksasa! Kalau tadi tubuh Tokkiam Moli dibuat oleh pukulan Sanbeng melambung tinggi keangkasa, adapun tubuh Coa-tung Tok-ong ini terpental jauh sekali dan akhirnya, tatkala tubuh ini jatuh persis menimpa punggung kuda kereta dimana Liok Samkong masih sibuk memberi hajaran terhadap kawanan perampok yarg masih juga terus nekad hendak merampas barang-barang diatas kereta yang menjadi milik pendekar dari Santungitu!

“Buukkk!”, bantingan tubuh kerdil itu menimpa punggung kedua ekor kuda keras sekali, membuat kuda-kuda itu mengeluarkan ringkikan kaget sambil mengangkat sepasang kaki depan mereka sehingga Sam kong bukan main kagetnya karena tubuhnya nyaris jatuh terguling. Sedangkan kawanan anggota perampok itu juga bukan main kagetnya hati mereka ketika mendapat kenyataan bahwa Si Raja racun yang mereka paling andalkan kelihayannya ternyata kini telah mengalami nasib yang sama seperti Go Jikiu dan Tokkiam Moli. Maklum bahwa ketiga pemimpin mereka sudah tewas semua, otomatis mereka melempar senjata dan mengangkat tangan dan salah seorang diantara mereka yang agaknya menjadi “komandan regu” cepat menghadap dan berlutut dihadapan So Kimlin dan So Sanbeng yang tengah berpelukan menyatakan kepuasan hati setelah pembalasan dendam mereka dapat dilaksanakan dengan baik!

“Jiwi Tayjin [dua orang tuan besar] yang mulia, ampunkanlah nyawa kami yang tidak berharga dan hina ini. Kami terpaksa menjadi anggauta perampok karena kebebasan kami dikekang oleh Go Jikiu yang jahat dan kejam itu dan sekarang setelah Jiwi membunuhnya, kami tentu akan kembali lagi ke masyarakat dan kami bersumpah bahwa kami akan menuntut penghidupan secara jujur” kata “kepala regu” perampok itu dengan suara meratap. “Huuhhhhh ....!” So Kimlin memperdengarkan suara yang berdengus dari hidung. “Biasa. Lagu lama! Memang demikianlah sifatnya manusia yang berjiwa rendah. Kalau gembongnya sudah mampus, meratap-ratap minta diampuni dan bersumpah segala! Tapi kalau gembongnya masih hidup, sikapmu tentu garang dan galak seperti binatang srigila! Enyahlah kau jauh-jauh serta sekalian bawalah semua tubuh-tubuh yang sudah menjadi bangkai itu! Aku jemu melihatnya !”

“Terimakasih! Terimakasih atas kemurahan hati tuan besar”, Si “kepala regu” perampok itu membenturkan jidatnya ke tanah sampai berkali-kali tanda penghormatan yang sangat mendalam, kemudian ia bangkit dan mengundurkan diri sambil berjalan setengah merangkak seperti binatang kura-kura dan selanjutnya atas adanya aba-aba dari dia inilah, para anggota perampok yang masih mampu menggerakkan anggota tubuhnya segera bekerja keras, menggotong, memondong dan memanggul kawan-kawan mereka yang terkapar diatas tanah! Juga mayat-mayat Go Jikiu,Tookkiam Moli dan Coa-tung Tok-ong mereka ungkiti kedalam hutan dengan tergesa-gesa sehingga sebentar kemudian keadaan ditempat itu menjadi sepi, seperti tidak pernah terjadi suatu peristiwa yang mengakibatkan beberapa nyawa manusia melayang! Kini yang tinggal ditempat itu hanya tiga orang, yaitu Liok Samkong bersama kedua orang penyewa keretanya.

Tatkala itu Liok Samkong telah turun dari keretanya dan cepat menghampiri kedua orang itu yang menyambutnya dengan wajah berseri-seri.

“Tuan berdua yang terhormat, aku yang rendah menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan yang telah kuterima sehingga aku ini benar-benar merasa hutang nyawa kepada kalian,” sambil bersoja Liok Samkong berkata berdasarkan hati-nurani yang sejujurnya dan pernyataan ini memang sudah sejak tadi terkandung dalam maksudnya. “Ucapanmu sungguh aneh, Liok hiapsu! Kapan aku menghutangkan nyawa kepadamu?” tanya So Kimlin sambil ketawa dan sikapnya menolak penghormatan dari piauwsu itu.

“Tuan, kau jangan bergurau,” kata Samkong pula dengan suara dan sikap sungguh-sungguh. “Aku benar-benar merasa berhutang nyawa kepada kalian, oleh karena kalau tidak ada kalian yang menolongku ketika aku menghadapi serangan dari sinenek berbaju merah tadi, niscaya ragaku ini sudah tak bernyawa pula!”

“Ah, Liok hiapsu. Hal itu tak lebih hanya suatu kebetulan. Mati dan hidup menjadi kekuasaan Thian, demikian pula nyawamu maupun nyawa kita sekalian, melayang atau tidaknya, hanya Thian yang berhak menentukan. Mengapa kau harus berterima kasih kepada kami? Sudahlah Liok hiapsu, kau jangan bersikap terlalu sheji [sungkan] dan main hormat-hormatan segala! Sekarang perutku sudah lapar, maka marilah kita beristirahat sambil mengisi perut! Hayo, Beng-ji, pergi ambil bekal kita”

Sanbeng mentaati perintah ayahnya dan lari kearah kereta dari mana diambilnya sebuah bungkusan kecil. Sementara Liok Samkong tinggal mandah ketika tangannya dituntun oleh So Kimlin menuju ke bawah teduhnya sebatang pohon siong yang berdaun rindang ditepi jalan. Dan disitulah kemudian ketiga orang itu duduk meriung dan mulai bersantap.

“Hayo, Liok hiapsu. Ganyang saja seadanya. Mengapa kau begitu sungkan-sungkan seperti pengantin perempuan?”, ujar So Kimlin tatkala melihat piauwsu itu bersikap malu-malu, mengambil makanan hanya serba sedikit saja.

Dan lalu terdengar Sanbeng menambahi perkataan ayahnya: “Liok sianseng, jangan sungkan-sungkan. Sungkan-sungkan berarti rugi. Perut lapar jangan dibiarkan. Tapi perlu segera diisi. Mari, silahkan, jangan nampik rejeki!”

Mau tak mau Liok Samkong tersenyum mendengar pantun desakan dari anak muda berbaju biru itu. Kemudian ia menghela napas. “Sungguhpun perutku lapar, namun santapan ini tak mungkin dapat memasuki kerongkonganku, sebelum kalian memberi maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan yang telah kulakukan…”, Ayah dan anak itu memandang heran sehingga makanan yang hendak mereka masukkan kemulut mereka, jadi tertunda. “Liok hiapsu, benar-benar kau aneh. Tadi mengatakan merasa berhutang nyawa, sekarang ada lagi kau minta maaf. Agaknya kau seorang yang terlalu perasa…”

“Memang aku terlalu perasa, malah terlalu dipengaruhi oleh suara hatiku dan justeru karena inilah maka aku harus menyatakan maaf terhadap kalian”, kata Liok Samkong yang lalu secara singkat ia mengadakan pengakuan, betapa sejak berangkat dari rumah tadi pagi ia telah menaruh prasangka bahwa ayah dan anak itu mempunyai hubungan erat dengan adanya surat tantangan dari Si Goloktunggal Pencabutnyawa Go Jikiu, sehingga sepanjang perjalanan ia selalu waspada dan akhirnya betapa ia memaki serta menantang bertempur terhadap mereka karena disebabkan ia mendengar kedua orang itu bicara berbisik-bisik seraya tertawa- tawa. “Akan tetapi kenyataannya kecurigaanku itu benar-benar harus dikutuk, karena kalian bukan lain adalah seorang tokoh pendekar Santung bersama puteranya yang gagah perkasa dan merupakan bintang penolong nyawaku dari keganasan sinenek berbaju merah yaug baru hari ini kutahu adalah Tokkiam Moli! Inilah kesalahan yang telah kuperbuat! Aku telah menganggap kalian manusia-manusia rendah dan bahkan berani memaki kalian sebagai pengecut! Dan kini, kesalahanku yang benar-benar sangat memalukan itu justeru meninggalkan perasaan menyesal yang bukan kepalang besarnya dihatiku, dan aku percaya bahwa jiwi yang mulia dan bijaksana ini akan sudi memaafkan atas kekurangajaranku yang telah kuanggap merupakan suatu kesalahan”, demikian Liok Samkong mengakhiri pengakuannya.

Ayah dan anak itu jadi tertawa geli ketika melihat sikap Liok Samkong sedemikian rupa, bagaikan seorang narapidana mohon dikasihani supaya hukumamnya dibebaskan! Pengakuan Liok Samkong ini membuat So Kim lin segera mendapat kesan bahwa piauwsu itu benar-benar adalah seorang yang berwatak gagah dan berhati jujur, berani mengakui kesalahan sendiri yang diperbuatnya secara diam-diam, padahal tiada seorang yang mendakwanya.

“Liok hiapsu, pantas saja selama dalam perjalanan tadi kulihat sikapmu sedemikian tak wajar, sebentar-sebentar kau menoleh kearah kami dengan pandangan penuh selidik, kiranya kau menaruh prasangka buruk terhadap kami”, ujar So Kimlin sambil mengangguk-anggukkan kepalanya dan matanya memandang tajam kewajah Liok Samkong sehingga piauwsu ini lalu menundukkan kepala karena merasa malu sendiri. Dan kemudian kakek dari Santung ini nampak berseri tatkala melanjutkan perkataannya: “Liok hiapsu, kalau benar halnya hal itu kau anggap sebagai suatu kesalahan dan kau menghendaki kami memaafkan, baiklah kami mrmaafkannya! Asal kau sendiri bersedia pula memaafkan kami yang juga telah membuat kesalahan”.

Liok Samkong mengangkat kepalanya dan sikakek itu ditatapnya dengan pikiran bingung. “Apa yang kau maksudkan, So sianseng?”, tanyanya heran.

Sebelum orangtua she So itu menjawab tiba-tiba Sanbeng ketawa tertahan. “Hal ini benar-benar lucu dan menggelikan, kedua pihak sama mengaku kesalahan dan minta saling memaafkan. Inilah sifat dari orang-orang jujur dan bijaksana, sehingga kedudukan jadi seimbang: satu sama!”

Mendengar ucapan anakmuda itu, makin bingung saja pikiran Samkong karena masih belum mengerti akan maksud mereka.

“Begini, Liok hiapsu”, So Kimlin memberi pen-, jelasan. “Kau tentu masih ingat, bahwa tadi, ketika kita baru saja tiba ditempat ini dan sebelum lima orang anggota perampok yang mula-mula muncul dan menghadang kita, kau mendengar bahwa aku dan Sanbeng bicara berbisik-bisik, bukan?” “Yah, benar. Malah kalian ketawa begitu saja seakan-akan ada sesuatu yang sangat menggelikan perasaan hati kalian”.

“Dan kau menoleh terhadap kami sampai beberapa kali sehingga akhirnya kau marah dan memaki kami, bukan?”

“Memang demikian “

“Nah, disitulah letaknya kesalahan yang telah kami perbuat sehingga kini kami sangat mengharapkan kau sendiri memaafkannya! Dengan terus terang kuakui bahwa kami bicara berbisik-bisik, justeru membicarakan dirimu atau tepatnya membicarakan nama julukanmu Si Naga Mata-satu yang benar- benar sangat sesuai dengan aslinya, yaitu matamu yang buta eh, maaf, matamu yang satu itu”, tiba-tiba So Kimlin menghentikan ucapannya karena hati orang tua ini merasa kaget sendiri disebabkan kelepasan omong tanpa disadarinya, yaitu mengatakan cedera seseorang secara langsung sehingga ia menguatirkan piauwsu itu akan merasa tersinggung hatinya. Ia menanti reaksi Liok Samkong, tapi piauwsu ini ternyata sedikitpun tidak memperlihatkan airmuka yang mencerminkan bahwa hatinya tersinggung, malah ketika mendengar suara ketawa tertahan dari Sanbeng yang agaknya mentertawakan ayahnya yang telah “keseleo” lidah, piauwsu ini ikut ketawa juga.

Maka So Kimlin lalu melanjutkan pengakuannya : “Adapun yang membuat kami ketawa kegelian, ialah gerakan kepalamu itulah! Apabila setiapkali kau menoleh kebelakang, kepalamu pasti selalu berputar kesebelah kiri. Sesungguhnya hal ini tak dapat disebut suatu kelucuan, akan tetapi mungkin disebabkan kami terlalu iseng sehingga ketika melihat caranya kau berpalirg kebelakang sampai berulang-ulang sedemikian rupa, entah kenapa, hati kami jadi dirangsang rasa geli dan inilah sebabnya, kami jadi ketawa sampai terpingkal-pingkal     ” Sehabis menyatakan pengakuan ini, lalu So

Kimlin ketawa kecil seakan-akan perasaan geli yang tadi, masih tertinggal dihatinya. Ketika itu Sanbeng juga ketawa lagi. Hanya Samkong untuk sejenak menunduk jengah, hatinya menyesali nasib dirinya yang sial. Gara-gara mata satu, bukan saja ia mendapatkan nama poyokan yang sesuai dengan aslinya seperti kata So Kimlin tadi. Tapi juga gerakan kepalanya yang selalu harus berputar kesebelah kiri apabila ia berpaling kebelakang, oleh karena kalau berputar kesebelah kanan membuatnya agak sulit untuk melihat sesuatu yang berada dibelakangnya disebabkan matanya yang buta justeru adalah mata sebelah kanannya, ternyata dijadikan pula bahan tertawaan orang!

Kalau saja orang yang mentertawakannya secara terang- terangan dihadapannya itu bukan So Kimlin dan So Sanbeng yang sudah diketahuinya berkepandaian tinggi, kalau saja ia tidak pernah merasa berhutang budi dengan adanya pertolongan mereka dari bahaya maut, agaknya Samkong pasti akan memarahi mereka atau sedikitnya ia akan menyatakan perasaan hatinya yang kurang senang!

“Liok hiapsu…”, kemudian terdengar So Kimlin berkata setelah menghentikan ketawanya. “Aku merasa bahwa perbuatan kami tadi memang sangat keterlaluan, dan agaknya pengakuanku ini membuat hatimu merasa mengkal. Oleh karena itu, maka kini aku merasa perlu menekankan lagi harapanku bahwa kau sudi memaafkan kekurangajaran kami ini yang kami anggap berupa suatu kesalahan yang sangat besar, Maaf, seribu kali maaf !”

Akhirnya Liok Samkong dapat juga tersenyum. “Tepat seperti So sicu bilang tadi, bahwa kedudukan kita satu sama! Persoalan remeh yang sebenarnya tidak perlu dicekcoki ini, beres sudah…”

“Nah,…..bagus…” terdengar Sanbeng menyela sambil bertepuk tangan. “Marilah, makanan yang sudah terlalu lama dibiarkan ini mulai kita sikat.. Anggaplah sebagai perjamuan untuk merayakan perkenalan kita menjadi persaudaraan erat. Aku percaya Liok sianseng kini takkan sungkan-sungkan, karena kudengar perutnya sudah keroncorgan! Hayo, mulai..” “Mari, Liok hiapsu”, So Kimlin mengajak. “Hari sudah terlalu siang. Setelah makan kita berangkat!”

“Iyaah ’dah!”, sahut Samkong menyambut dan benar saja piauwsu ini sekarang tidak sheji-sheji lagi, karena pada dasarnya memang ia bukan seorang pemalu, ditambah lagi memang perutnya sudah amat lapar. Demikianlah tiga orang itu selanjutnya bersantap sangat lahap, sambil bercakap dan kadangkadang disertai ketawa gembira. Namun demikian mereka tak pernah lepas daripada sikap waspada membuka mata dan telinga penuh seksama, karena siapa tahu kalau-kalau dari dalam hutan muncul pula gembong bicokok lainnya yang hendak menuntut balas terhadap mereka, sungguhpun mereka samasekali tidak merasa takut. Karena kalau mereka takut, maka tak mungkin mereka akan memilih tempat bersantap disitu.

Sambil bersantap, percakapan mereka antara lain terdengar So Sanbeng berkata pada ayahnya: “Ayah, setelah kita berhasil menuntut balas terhadap Coa-tung Tok-ong dan Tokkiam Moli hari ini, maka kelak kalau kita kembali ke Santung kita harus mengadakan kaulan sebagaimana kita pernah berjanji.”

So Kimlin mengangguk-anggukkan kepala sambil menjawab: “Tentu! Dan salah satu kaul yang pasti kita lakukan, ialah kita bersembahyang dimakam mereka yang menjadi korban akibat kebiadaban sepasang siluman tadi.”

Percakapan ini sangat menarik perhatian Liok Samkong, sehingga ia lalu menukas: “Rupanya kalian pernah terlibat sengketa dengan sepasang iblis bcracun tadi. Bolehkah aku mengetahui sedikit riwayatnya. ?”

“Boleh!”, sahut So Kimlin menyanggupi, “Setelah kita selesai makan nanti akan kuceritakan! Tapi, untuk dijadikan imbalannya supaya kedudukan kita menjadi dua sama, maka kaupun harus bersedia menceritakan sedikit riwayat mengapa nama julukanmu yang dahulu pernah kudengar Si Pecut Nagasakti, tapi belakangan berubah menjadi Si Naga Mata bu eh Matasatu? Tentu takkan kalah menariknya dari pada kisah yang akan kuceritakan. Bagaimana, setuju. ?”

“Dasar jiwa dagang! Segala sesuatu harus diperhitungkan untung-ruginya. Harus ada imbangannya! Baiklah, kuterima saranmu!”

Lalu ketiga orang itu sama ketawa. Dan selanjutnya dengan singkat dapat diceritakan bahwa sehabis mereka bersantap, mereka tidak segera berangkat melanjutkan perjalanan, melainkan beristirahat sebentar sambil duduk-duduk dibawah teduhnya pohon siong itu. Dan dalam saat-saat istirahat inilah dipergunakan oleh So Kimlin untuk menuturkan sebab musabab mengapa ia sampai bermusuhan dengan Coa-tung Tok-ong dan Tokkiam Moli, yang didengarkan oleh Liok Samkong dengan penuh perhatian.

***

SIAPAKAH orangnya yang tidak pernah mendengar nama Coa- tung Tok-ong dan Tokkiam Moli? Siapakah yang tak pernah mendengar kejahatan dan kebiadaban yang dilakukan oleh sepasang manusia yang sama sekali tidak mengenal perikemanusiaan ini ? Dunia Persilatan menjadi gempar dengan adanya sepasang manusia berhati iblis yang mengaku sebagai suami isteri ini, yang menjadi raja dari segala kejahatan dan kebiadaban!. Banyak sudah orang-orang gagah berkepandaian tinggi dan pendekar-pendekar yang mengamalkan darma-baktinya selaku penegak kebenaran dan memberantas kejahatan, coba-coba mengikis atau sedikitnya membatasi keganasan sepasang siluman itu, akan tetapi maksud dan iktikad baik dari mereka itu bukan saja menemui kegagalan, malah berbalik nasib mereka ditimpa sial, menjadi korban dibawah pedang dan tongkat-ular berbisa dari sinenek buruk rupa berbaju merah dan suaminya, sikakek kerdil berkepala besar itu! Oleh karena itulah, maka untuk beberapa tahun lamanya Coa-tung Tok-ong dan Tokkiam Moli dapat leluasa bertualang tanpa ada yang mampu mengatasi kelihayan mereka, dan tempat dimana saja yang mereka tualangi maka disitu pasti terjadi kegemparan, membuat penduduk setempat diliputi perasaan gelisah dan ketakutan luarbiasa!

Betapa kejahatan yang diperbuat oleh sepasang iblis ini kiranya tak perlu dikemukakan, pendeknya setiap orang yang coba-coba berani mengganggu dan menghalangi perbuatan mereka sehingga membuat mereka marah, maka nyawa orang itu pasti akan mereka cabut tanpa ampun lagi! Adapun yang hendak ditonjolkan disini ialah tentang kebiadaban dan kekejian yang mereka perbuat dan agaknya sepasang siluman itu tak mampu bertahan hidup kalau tanpa melakukan perbuatan keji dan mengerikan yang Sesungguhnya tak dapat disebutkan sebagai perbuatan manusa!

Seperti sudah diketahui bahwa sepasang manusia iblis itu masing-masing bersenjatakan yang sama beracun, dan dari nama julukan mereka saja, terutama Coa-tung Tok0ong yang terkenal Si Rajaracun, maka dapat diduga dengan mudah bahwa mereka adalah orang-orang ahli pembuat dan pengolah racun yang inti racunnya mereka ambil dari bisa ular yang mereka tangkap ditambah beberapa jenis tetumbuhan yang hanya mereka saja mengetahuinya. Sayang sekali keahlian mereka ini tidak dipergunakan untuk maksud-maksud baik, misalnya dalam hal pengobatan, melainkan khusus hanya untuk memenuhi selera jahat mereka dan racun hasil karya mereka itu melulu dipergunakan untuk keperluan senjata mereka dan untuk mengetahui hasil dan keampuhannya, maka nyawa manusialah yang menjadi kelinci- percobaan! Kalau hanya sebegitu saja perbuatan sepasang siluman ini belum dapat disebut biadab dan keji, hanya cukup terbatas sebutan jahat dan kejam saja. Habis, perbuatan maksiat macam apakah lagi yang melebihi itu? Benar-benar mengerikan !

Bahwasanya untuk kebutuhan mereka dalam hal mengolah ramuan racun serta untuk memenuhi selera perut mereka, sepasang iblis ini memerlukan bahan cair berupa darah yang masih murni dan segar dan darah ini bukan sembarangan darah, akan tetapi justeru harus darah yang diambil dari tubuh bayi manusia yang berumur satu tahun kebawah! Larutan racun ini untuk keperluan senjata mereka dan disamping ini, sepasang siluman tersebut mempunyai selera amat terkutuk yang melebihi sifat binatang buas, ialah tubuh mereka terasa lemas dan lemah tak bersemangat kalau sehari saja mereka tidak makan dan menghirup jantung dan darah anak bayi yang masih hangat dan segar! Mana untuk memenuhi kebutuhan dan selera mereka yang benar-benar sangat terkutuk dan gila ini, setiap hari mereka sedikitnya harus mendapatkan seorang anak bayi yang sehat dan untuk memperolehnya tentu saja mereka melakukan penculikan!

Pada suatu masa, dikota Cilam dalam propinsi Santung, terjadilah peristiwa ngeri akibat perbuatan Coa-tung Tok-ong dan Tokkiam Moli, sehingga seluruh penduduk kota tersebut menjadi gempar dan geger! Dalam seminggu saja sudah tujuh orang bayi yang terculik secara berturut-turut dan setiap bayi yang terculik pada suatu malam, maka pada malam berikutnya bayi tersebut dikembalikan pula kepada keluarganya dalam keadaan sudah menjadi mayat yang amat mengerikan, yaitu bagian dada dan perutnya terbelah, berbareng seorang bayi dari keluarga lain lenyap pula terculik! Ternyata Coa-tung Tok-ong dan Tokkiam Moli memiliki juga sifat-sifat “baik” dan “bijaksana”, tubuh bayi yang sudah menjadi korban seleranya selalu dikembalikan kepada keluarganya, yang pada hakekatnya menambah penderitaan dan ke sengsaraan hati bagi pihak keluarga yang bersangkutan!

Padahal meski baru dua malam dan bayi yang terculik barn dua orang saja, kota Cilam sudah dijaga keras baik siang maupun malam oleh paraorang gagah dari sebuah persatuan orang1 gagah yang terdapat dikota tersebut, dan dibantu pula oleh semua penduduk laki-laki yang ikut siap sedia menjaga keamanan dengan senjata seadanya yang mereka miliki. Orang-orang perempuan, terutama para ibu yang mempunyai bayi masih kecil tidak berani keluar dari pinturumah, bersembunyi didalam kamar sambil memeluk bayi mereka dengan hati berdebar dipenuhi perasaan gelisah dan takut. Setiapkali mendengar suara gaduh diluar rumah, maka seluruh tubuh mereka menggigil dan peluh dingin keluar membasahi baju mereka, disangkanya bahwa suara gaduh itu timbul disebabkan kedatangan sepasang siluman yang hendak menculik bayi mereka!

Dikota Cilam terdapat sebuah kesatuan yang bernama Pauw-an toan yang mempunyai anggota sebanyak limapuluh orang, terdiri dari orang-orang gagah atau sedikitnya orang-orang yang memiliki kepandaian silat dan kewajiban mereka ialah menjaga keamanan dan ketertiban umum dalam wilayah setempat sehingga nama Pauw-an-toan [Kesatuan penjaga keamanan] itu benar-benar tepat dan sesuai dengan fungsi kewajiban mereka. Pauw-an-toan dipimpin oleh tiga orang saudara seperguruan dan tritunggal ini diakui secara resmi baik oleh pembesar negeri maupun oleh masyarakat sebagai tiga pendekar Santung [Santung Sameng] setelah diadakan pibu [seleksi kepandaian] yang diikuti oleh seluruh ahli silat dalam propinsi Santung, dan juara pertama, kedua dan ketiga telah berhasil dimenangkan oleh tiga saudara seperguruan ini. Saudara yang tertua, ialah So Kimlin berjuluk Si Kipas Dewa, karena ketua kesatuan Pauw-an-toan ini adalah seorang ahli lwekang dan senjata yang menjadi prgangannya adalah sebuah kipas, selain senjata kipas ini yang tak kalah hebat dan berbahayanya dari pada senjata-senjata lain apabila sudah dimainkan oleh tangan kirinya menghadapi lawan, juga toancu [kepala kesatuan] ini memiliki pula ilmu pukulan yang disebut Ceng-kin-ciang yang sangat ampuh!

Saudara kedua bernama Lo Kiatbi, umurnya kurang lebih tigapuluh lima tahun dan ia mahir sekali memainkan sepasang pedang pendek sehingga in mendapat nama julukan si Pedang kembar. Dan saudara yang termuda dari tritunggal pemimpin Pauwan-toan ini ialah seorang pemuda yang baru berumur duapuluh tujuh tahun bernama Kwe Sunpin, meskipun masih muda namun kepandaiannya hebat sekali, terutama kalau sebatang tombak sudah berada ditangannya dan justeru karena kelihayan ilmu tombaknya inilah, maka ia sudah berhasil merebut juara ketiga ketika diadakan seleksi sebagaimana sudah diterangkan tadi.

Dikota Cilam, nama So Kimlin cukup terkenal karena selain ia seorang hartawan dan mempunyai sebuah toko besar dipusat kota, juga selaku ketua kesatuan yang dibentuknya beberapa tahun yang lalu ia sangat disegani oleh segenap anggotanya. Wataknya keras sekali sehingga semua orang selalu mematuhi segila perintahnya akan tetapi disamping wataknya yang keras ini So Kimlin mempunyai juga sifat-sifat bijaksana dan adil. Bahkan yang membuat namanya makin terkenal dan harum ia memiliki pula jiwa dermawan, tangannya selalu terbuka memberi pertolongan atau bantuan terhadap orang orang yang mendapatkan kesusahan, yang dilakukannya tanpa pamrih dan tanpa pilih bulu! Berbeda sekali dengan orang-orang hartawan lainnya yang umumnya sangat serakah dan kikir, jangankan mempunyai jiwa sosial seperti So Kimlin, sedangkan kekayaan milik orarg lain ingin dikangkangi, baik dengan jalan halal, maupun dengan cara keji, sebagaimana umumnya watak para hartawan dan tuan tanah-tuan tanah yang hidup pada masa itu!

Sejak Pauw-an-toan dibentuk, suasana kota Cilam sangat aman dan tenteram. Tidak pernah teradi perampokan atau kejahatan apapun yang sifatnya menimbulkan kekacauan bagi kesejahteraan umum, sehingga nama tritunggal Santung Sam-eng, terutama nama So Kimlin pribadi selaku ketua utama dan pendiri dari kesatuan penjaga keamanan itu, jadi makin terkenal dan tambah mengharum, dihormati kawan dan ditakuti lawan.

Akan tetapi sekarang, tiba-tiba saja dikota Cilam ini terjadi peristiwa yang sebagaimana sudah di tuturkan diatas, penculikan bayi yang mengerikan! So Kimlin Si Kipas dewa pernah mendengar bahwa peristiwa semacam itu pernah terjadi dilain daerah dan menurut kabar, peristiwa macam itu adalah perbuatan Coa-tung Tok-ong dan Tokkiam Moli, sepasang siluman yang tahu-tahu muncul dan mengacau serta mengotori dunia kang-ouw, tanpa seorangpun yang mengetahui dari mana asal-usul mereka. Sudah lama So Kimlin mendengar tentang kehadiran sepasang tokoh jahat didunia kang-ouw ini dan terutama sekali tentang perbuatan biadab dan keji yang mereka lakukan, yang justeru sangat menarik perhatian Si Kipasdewa ini. Dan tanpa diduganya sama sekali, kini ternyata sepasang tokoh biadab itu mendatangi kota Cilam, dimana justeru dalam keamanan yang menjadi daerah pengawasan dan penjagaan dari kesatuan yang dipimpinnya, maka karuan saja So Kimlin sangat marah dan penasaran sekali karena menurut anggapannya sepasang siluman itu kurangajar sekali berani membuat kekacauan didaerah kekuasaannya, yang berarti suatu penghinaan sangat besar bagi nama dan kehormatan Shantung Sam-eng! Maka demikianlah, setelah dua bayi terculik dalam waktu dua malam itu, So Kimlin segera mengerahan segenap anakbuahnya mengadakan penjagaan dan dia sendiri berikut dua orang saudara seperguruannya memimpin barisan penjaga yang dipecah menjadi beberapa kelompok!

Akan tetapi, betapa panas dan besar rasa malu So Kimlin selaku ketua Pauw-an-toan dan penanggung jawab keamanan kota Cilam setelah lima malam berturut-turut mengadakan penjagaan, bukan saja ia dan kawan-kawannya belum dapat membekuk dua siluman penculik bayi itu, malah berbalik pihaknya yang menderita kerugian, yailu beberapa orang anggota Pauw-an-toan tewas diserang jarum-jarum beracun tatkala mereka berhasil memergoki dua siluman itu! Sementara lima malam mereka mengadakan penjagaan, justeru lima bayi telah terculik pula sehingga dapat dikatakan bahwa jerih payah merek aitu samasekali tiada gunanya! Sepasang siluman itu terlalu gesit bagi mereka! Datangnya bagaikan setan, tanpa mereka ketahui datangnya dari arah mana, tahu-tahu sepasang siluman telah berhasil menculik seorang anak bayi dari sebuah rumah penduduk dan pasukan penjaga hanya mendengar suara gaduh dan jerit tangis dari ibu sibayi itu, maka tatkala mereka memburu dan mengadakan pengepungan, mereka hanya melihat berkelebatnya dua bayangan keluar dari rumah itu dan hanya sekejap mata saja, lalu menghilang di kegelapan malam dan dari jauh lalu terdengar suara ketawa terkekeh dan terkikih dari sepasang siluman itu, seakan-akan mengejek para penjaga yang ditinggalkannya! Pengalaman dan peristiwa semacam ini selalu terjadi setiap malam berikutnya dan barisan penjaga tetap tak berdaya. Bahkan pada malam yang kelima sejak Pauw-an-toan mengadakan penjagaan, sungguhpun penjagaan sudah diatur sedemikian sempurna dan cermat, sehingga dapat melihat datangnya penculik itu dan mereka dapat segera menyerang dengan menghujani anakpanah dan agaknya kali ini pasti sepasang siluman itu akan dapat dibekuk batang lehernya! Akan tetapi Coa-tung Tok- ong dan Tokkiam Moli yang memarg malam itu belum sempat melakukan penculikan dan masih berlompat-lompatan diatas bubungan rumah-rumah penduduk dengan gerakan yang ringan dan gesit sekali, tatkala dihujani anak panah oleh para penjaga dari bawah, mereka hanya memperdengarkan suara ketawa ejekan dan berbareng tidak kurang dari enam orang penjaga menjerit dan tubuh mereka roboh berkelojotan karena diserang jarum-jarum halus yang mendatangkan kematian! Dan malam itu, seorang bayi telah hilang pula!

“Iblis keparat !” So Kimlin, saking gemas dan marah, hanya dapat mengeluarkan makian seperti itu! Memang, betapa hati Si Kipas dewa ini takkan merasa panas dan besar rasa malunya. karena sepasang siluman itu seakaan-akan sudah mengetahui dimana kelompok penjaga yang justeru lemah, disitulah mereka beroperasi! Sedangkan kelompok-kelompok yang lain, yang dikepalai oleh Santung Sam-eng, belum pernah memergoki dua iblis durjana itu! Padahal Santung Sam-eng setiap malamnya sudah bersiasat cukup baik, mereka memimpin penjagaan selalu berpindah-pindah dari satu kelain kelompok, tapi nyatanya dikelompok yang tanpa adanya mereka itulah yang justeru selalu menghadapi peristiwa! Kota Cilam yang agak luas ilu memang sangat menyulitkan bagi Santung Sam-eng untuk dapat bertemu dengan si dua iblis itu, sungguhpun mereka dapat segera mendengar suara isyarat yang berupa teriakan beranting dari kelompok penjaga yang kebetulan melihat dan mengepung sepasang siluman itu, dan sungguhpun mereka dapat berlari cepat memburu ketempat dimana peristiwa terjadi, tapi sepasang siluman yang memiliki gerakan cepat dan gesit itu, sudah menghilang!

Inilah yang membuat hati Santung Sam-eng, terutama So- Kimlin, panas bukanmain! Mereka merasa kalah siasat dan dalam hal ini memang mereka mengakui bahwa mereka tak berdaya sama sekali! Jangankan dapat membekuk sepasang manusia iblis itn, menjumpai atau tepatnya memergokinyapun belum! Ditambah lagi setiap harinya mereka selalu menerima pengaduan dari keluarga yang ditimpa malapetaka itu. Bayangkan saja, dalam satu minggu tujuh anak bayi terculik maka berarti tujuh keluarga dari anak bayi itu datang mengadakan pengaduan terhadap pemimpin Pauw-an- toan ini. Belum terhitung datangnya laporan dari mereka yang menerima “pengembalian” mayat dari bayi yang pernah terculik itu! Sungguhpun sifatnya hanya berupa pengaduan dan laporan, akan tetapi bagi Santung Sum-eng mengandung arti bahwa para pengadu dan pelapor itu secara langsung atau tidak, sama halnya mengadakan penyerangan terhadap mereka bahwa percuma saja di kota Cilam ini terdapat sebuah kesatuan penjaga keamanan yang dipimpin oleh Tiga pendekar Santung yang tersohor itu, karena untuk menanggulangi keamanan yang diganggu hanya oleh dua orang penjahat saja, tidak becus! Malahan beberapa penjaga mati konyol pula! Benar-benar bukan kepalang besarnya rasa malu Santung Sam-eng, terutama So Kimlin sendiri yang terkenal jago Santung nomor wahid, serasa wajah dipopoki najis!

Adapun pada malam yang keenam, penjagaan diatur dengan siasat baru sehingga agaknya tak mungkin sepasang iblis penculik bayi itu dapat “bersiasat' pula sebagaimana pada malam-malam yang sudah! Akan tetapi, setelah menjaga semalam suntuk dan akhirnya tibalah fajar, ternyata sepasang siluman itu tiada muncul! Maka para penjaga lalu bubar dengan hati lega, mereka menganggap bahwa sepasang siluman itu agaknya “menaruh kasihan” terhadap mereka, atau agaknya sudah bosan beroperasi dikota Cilam dan udah pergi kedaerah lain! Mudah-mudahan demikian hendaknya, begitulah mereka berdoa didalam hati.

Betulkah malam itu Coa-tung Tok-ong dan isteriya tidak muucul, ataukah memang tidak diketahui saja oleh para penjaga? Sulit untuk mengadakan penafsiran! Akan tetapi, ketika So Kimlin bersama kedua saudara seperguruannya tiba dirumah, bukan main kagetnya hati Santung Sam eng ini! Pada daun pintu rumah yang masih tertutup terdapat tulisan kapur yang berbunyi:

Malam tadi memang kami tidak mengambiI obat kuat. Tapi malam nanti, kami akan mendatangi rumah ini. maksudnya. tak lain, ialah kami hendak ambil obat kuat kembar yang tersedia dirumah ini, juga kami hendak menjajal kelihayan Santung Sam-eng! Bersiaplah!

Coa-tung Tok-ong dan Isteri.

“Celaka !”, seru Kwe Sunpin, Si Jago Santung nomor tiga, sehabis membaca tulisan itu.

“Apa yang harus, kita perbuat, Toa suheng [saudara-tua seperguruan] ?”, tanya Si Jago Santung nomor dua Lo Kiatbi kepada So Kimlin dengan wajah pucat.

Sikap So Kimlin tampak tenang-tenang saja sungguhpun hatinya berdebar keras. Hati berdebar bukan karena takut, melainkan karena kaget dan tidak mengerti, mengapa kedatangan sepasang siluman sehingga sempat menulis di daun pintu rumahnya itu tidak sampai diketahui oleh para penjaga yang sengaja ia tempatkan diseberang jalan dimuka rumahnya? Lagipula, bagaimana sepasang siluman itu bisa mengetahui bahwa dirumahnya terdapat “obat- kuat kembar” yang maksudnya ialah bayi kembar dan justeru itu adalah anaknya sendiri yang baru saja berumur tujuh bulan? Betapapun terkutuknya perbuatan sepasang manusia-iblis itu, diam-diam So Kimlin memuji kegagahan watak mereka karena kalau mereka mau, pasti malam itu mereka sudah dapat menculik anak kembarnya selagi ia bersama kawan-kawannya pergi memimpin penjagaan, tanpa menulis “pemberitahuan” itu!

“Rupanya mereka marah terhadap kita dan tulisan ini berupa tantangan dan ancaman”, akhirnya, setelah termenung sesaat, So Kimlin berkata. “Watak mereka yang gagah itu justeru ada baiknya bagi kita, sehingga kita dapat memusatkan perhatian dan penjagaan dirumah kita ini. Nah, betapa untuk menghadapi mereka, kita nanti atur siasat !”

“Toa suheng, perlukah kita minta bantuan susiok [paman seperguruan] dan Sanbeng?”, Lo Kiatbi bertanya setengah memberi usul.

“Kalau dapat, memang hal itu lebih baik,” sahut yang ditanya. “Tapi kurasa tidak demikian perlu, oleh karena selain gunung Yihsan sangat jauh dan perjalanan pulang pergi harus memakan waktu paling cepat dua hari, tiada waktu lagi untuk mengharapkan bantuan mereka, juga masakah kita bertiga ditambah sekian banynknya kawan-kawan tidak mampu kalau hanya untuk menghadapi dan membekuk siluman tang cuma dua gelintir itu yang sudah terang-terangan hendak mendatangi rumah kita?”

Begitulah, malam yang sangat menegangkan itu telah tiba!

So Kimlin menunggu kedatangan Coa-tung Tokong dan Tokkiam Moli sambil duduk diruangan depan. Senjata kipasnya sudah siap terpegang ditangan kirinya, dan telapak tangan kanannya selalu digosok-gosokkan kepahanya, seakan-akan sudah merasa gatal hendak segera melancarkan pukulan Ceng-kin-ciangnya. Betapapun juga, hati dan perasaan Si Jago Santung nomor satu ini sangat khawatir. Seakan-akan ia meragukan akan kekuatan pihak sendiri dalam menghadapi sepasang manusia iblis yang terkenal sangat lihay itu, sungguhpun segala siasat sudah diatur dan dipersiapkan dengan sempurna. So Kimlin sengaja duduk seorang diri diruangan itu, tak jauh dikanan kirinya, teraling kain korden, bersembunyi dua orang sutenya. Diatas genting sudah dipersiapkan beberapa orang anggota Pauw-an-toan ahli panah dan ahli senjata-rahasia, juga didepan pintu rumah sudah dipersiapkan penjagaan rahasia [bayhok] yang terdiri dari beberapa orang anggota penjaga pilihan yang kepandaian silatnya dapat diandalkan. Rumah itu benar-benar sudah dijaga kuat sehingga rasanya mustahil sekali mereka tak dapat mengalahkan Coa-tung Tok-ong dan Tokkiam Moli, bahkan besar sekali kemungkinan sepasang siluman itu sudah mampus sebelum dapat memasuki rumah, diserang oleh penjaga rahasia!

Memang persiapan yang dilakukan oleh So Kimlin dan kawan- kawannya harus dipuji, maklum akan kelibayan lawan yang akan mereka hadapi dan lagipula mereka berjumlah banyak, kalau maju secara keroyokan tentu bisa menang, maka siasat inilah yang mereka pergunakan untuk menanti kedatangan Coa-tung Tok-ong dan Tokkiam Moli!

Juga So Kimlin berlaku cerdik, bahwa anak kembarnya yang justeru menjadi matasasaran dari sepasang siluman itn, diam-diam sudah ia ungsikan bersama isterinya pada seorang kenalan yang rumuhnya jauh diluar kota, sehingga dengan demikian, kalau mereka menghadapi sepasang siluman tersebut, dapat mereka pusatkan tenaga dan perhatian mereka scpenuhnya untuk bertempur, tanpa terpecah oleh lain kekuatiran.

Keadaan sunyi sekali, karena malam makin melarut. Semua orang berdiam diri ditempat masing-masing sambil memasang telinga dan membuka mata dengan penuh perhatian menanti datangnya sepasang siluman biadab itu. Dan beberapa saat kemudian setelah malam melewati pertengahannya, tiba-tiba terdengar didepan rumah sedikit suara gaduh, akan tetapi secara tiba-tiba pula suara itu lenyap dari pendengaran sehingga suasana kembali menjadi sunyi. So Kimlin bangkit dari tempat duduknya, maksudnya akan pergi mengintai dari celah-celah daun pintu apa yang terjadi didepan rumah sehingga menimbulkan suara gaduh yang hanya sebentar itu. Akan tetapi sebelum ketua Pauw-an-toan ini sempat melangkahkan kakinya, tiba-tiba daun pintu depan itu didobrak orang dari luar dan seiring daun pintu tersebut pecah dengan menimbulkan suara gedobrakan, muncullah seorang kakek bertubuh kerdil dan berkepala besar sambil ketawa terkekeh-kekeh bertindak masuk dan langsung menghampiri So Kimlin.

“Hehehe ! Sudah tahu tamu akan datang, pintu malah ditutup, tak kusangka keluarga Santung Sam-eng ini demikian tidak mengenal aturan!” Terdengar kakek kerdil itu mengomel dan setelah jarak antara ia dan So Kimlin kira-kira sejauh lima langkah lagi, kakek ini menghentikan tindakan kakinya dan memandang tajam kewajah si tuan rumah yang diterangi cahaya dari sebuah lampu gantung yang menerangi ruangan itu, lalu katanya pula: “Eh, mengapa yang menyambut kedatanganku hanya kau seorang, mana yang lain-lainnya ? Kau sembunyikan?

“Hehehe ! Dan mana hidangan untuk menjamu kedatanganku ini, terutama sekali obat kuat kembar yang masih segar itu ?”

“Locianpwe [Orangtua yang gagah], benarkah kau ini adalah Coa-tungTok-ong ?”, dengan sikapnya yang tenang sungguhpun dada berdebar tegang, So Kimlin bertanya untuk meyakinkan, oleh karena memang ia belum bertemu dengan si Rajaracun itu sehingga ia kuatir salah tangan, padahal tongkat-ular yang terpegang ditangan kakek kerdil itu sudah merupakan petunjuk jelas sehingga sebetulnya tak perlu ia bertanya lagi.

“Hehehe ! Memang akulah orang yang kaumaksudkan! Dan sekarang sudah tahu bahwa aku ini adalah Si Rajaracun, mengapa kau tidak cepat berlutut memberi hormat dan cepat mempersembahkan dua obat kuat yang kubutuhkan itu?”

Biarpun jelas kakek siluman itu menghinanya, namun So Kimlin masih dapat menahan marahna, lalu katanya: “Coa-tung Tok-ong Locianpwe, antara kau dan pihak kami belum pernah tertanam bibit permusuhan, tapi mengapa kau bersama isterimu mendatangkan malapetaka bagi penduduk kota ini yang justeru dalam hal keamanan dan ketertibannya menjadi tanggungjawabku? Kuharapkan sudi sedikit memandang muka Santung Sam-eng sebagaimana kami selalu menghormati nama Coa-tung Tok-ong dan Tokkiam Moli sebagai sepasang tokoh kang-ouw yang besar! Dan dengan rasa penuh penghormatan pula, kami atas nama Santung Sam-eng, minta supaya kau dan isterimu segera menghentikan perbuatan yang melanggar perikemanusiaan itu!” 

Terdengar Coa-tung Tok-ong ketawa pula. “Baiklah. untuk membalas kebaikan dari Santung Sam-eng yang selama ini memberi kebebasan bagiku sehingga aku dapat leluasa mencari obatkuat dikota ini tanpa mendapat gangguan dari Santung Sam- eng, maka kehadirinku dikota Cilam malam ini adalah yang terakhir! Asal saja, terlebih dahulu kau menyerahkan kepadaku dua buah obat kuat yang ada padamu itu sebagai oleh-oleh….”

“Iblis jahanam! Inilah oleh-oleh untukmu !”, bentak So Kimlin yang sudah tak dapat menahan kesabaran hatinya lagi. Sambil membentak, kedua tangannya bergerak mengirim serangan maut. Dan bersamaan dengan itu Lo Kiatbi dan Kwee Sunpin tiba-tiba keluar dari tempat persembunyian mereka dan ternyata mereka langsung menyambar Coa-tung Tok-ong dari kanan dan kiri. Benar- benar berbahaya serangan dari tiga jurusan yang dilakukan secara serempak dan dalam detik yang sama itu bagi Coa-tung Tok-ong dan kakek ini kelihatannya sama sekali tidak mompunyai kesempatan untuk berkelit!

Akan tetapi kenyataannya, melihat datangnya serangan dari tiga orang pengeroyoknya yang secara tiba-tiba itu Coa-tung Tok-ong hanya memperdengarkan suara ketawa ejekan, dan tubuhnya yang kerdil itu benar-benar mengagumkan sekali ketika membuat gerakan yang amat tenang dan cepat! Sepasang pedang pendek kepunyaan Lo Kiatbi jadi beradu keras serta mengeluarkan bunga- api berpijar tatkala saling hantam dengan tombak yang diserampangkan oleh Kwe Sunpin, oleh karena tubuh Coa-tung Tok-ong yang menjadi mata sasaran mereka tiba-tiba lenyap sehingga tanpa dapat dicegah lagi senjata mereka jadi saling beradu. Bahkan kalau kedua orang ini tidak cepat berkelit, nyaris saja mereka menjadi korban hawa pukulan kipas serta Ceng-kin-ciang dari So Kimlin yang ditujukan kearah sasaran yang sama, sehingga tiga saudara seperguruan ini terperanjat bukan main!

Lalu terdengar suara ketawa ejekan dari atas kepala mereka dan bersama dengan mengepulnya segumpal asap hitam membuat penerangan di ruangan itu menjadi suram! Ternyata tadi Coa-tung Tok-ong telah membuat gerakan yang luar biasa cepatnya, dalam sekilat saja tubuhnya yang kerdil telah melesat keatas sehingga serangan senjata dari ketiga orang lawannya hanya saling berhantam antara kawan sendiri! Dan disaat tubuhnya yang naik itu, punggung Coa-tung Tok-ong seakan-akan menempel di langit- langit rumah dan disitulah ia ketawa mengejek ketiga orang lawannya sambil tangannya menaburkan segenggam bubuk hitam kearah mereka yang berada dibawahnya!

So Kimlin terkejut melihat bubuk hitam yang berupa segumpal asap itu, maklum bahwa itu adalah racun, maka sambil mengebutkan kipas untuk mengusir asap ia cepat menjauhkan diri denrgan jalan menjumpalitkan tubuhnya dua kali kebelakang! Akan tetapi sementara itu kedua orang sutenya belum sempat berkelit dan asap itu telah terhisap oleh mereka sehingga tubuh mereka lemas dan limbung, lalu terkulai jatuh dengan napas berhenti!

Alangkah kaget dan marahnya hati So Kimlin melihat dua orang saudara seperguruannya menjadi korban racun. Dan ketika ia melihat tubuh Coa-tung Tok-ong sedang melayang turun kebawah, maka ia cepat berteriak: “Hujan….! Inilah aba-aba rahasia bagi kawan-kawannya yang bersembunyi diatas genting supaya menyerang kakek kerdil itu dengan panah! Maka segera terdengarlah bunyi berdesing susul menyusul dari atas genting dan harus dipuji kelihayan para pelepas anak panah yang memang sudah ahli itu, biarpun mereka memanah dari atas genting dan teraling oleh langit-langit ruangan, akan tetapi anak panah-anak panah yang mereka lepaskan itu setelah menembusi langit-langit ruangan, semuanya persis terarah kepada tubuh Coa-tung Tok-ong.

Kembali Coa-tung Tok-ong memperdengarkan suara ketawa ejekannya dan tongkat ularnya diputarkan sedemikian rupa sehingga merupakan segulung sinar hitam melindungi tubuhnya.

So Kimlin melihat dengan mata terbelalak betapa semua anak panah itu runtuh keatas lantai ketika terkena sambaran gulungan sinar hitam itu. Kembali terdengar Coa-tung Tok-ong ketawa.

“Terus hujani anakpanah!”, teriak So Kimlin keatas, akan tetapi aba-aba yang keduakalinya ini tidak ada anakpanah yang meluncur meski sebatangpun, malah sebaliknya ia mendengar suara ribut- ribat dialas genting dan seiring dengan mana terdengar pula suara- suara dari genting pecah, berderaknya kayu kaso-kaso patah dan langit-langit ruangan jebol, dan tiba-tiba dari lubang langit-langit yang jebol itu nampak tubuh-tubuh orang berjatuhan kebawah dan ketika tubuh orang-orang ini berdebukan menimpa lantai, maka brrtambah kagetlah hati So Kimlin setelah mendapat kenyataan bahwa mereka ini bukan lain adalah para penjaga yang tadi telah ia tugaskan menjaga diatas genting yang semuanya berjumlah tujuh orang! Ketujuh orang itu kini sudah tak bernyawa pula dalam keadaan mandi darah, dan mayat mereka bertumpuk-tumpuk menindihi mayat Lo Kiatbi dan Kwe Sunpin sehingga So Kimlin benar-benar menjadi terkesima melihat ini dan ia tinggal melongo saja sampai beberapa saat, tanpa mampu berbuat sesuatu Apapun!

“Hehehe —! So Kimlin, lihatlah, kawan-kawanmu sudah mati konyol semua! Dan kalau kau menghendaki nasibmu tidak seperti mereka, maka segera kau serahkan bayi kembarmu! Liurku sudah membasah ingin segera menikmatinya!”

“Siluman biadab! Aku hendak mengadu nyawa denganmu! Keparat...!”, saking marahnya So Kimiin menjadi nekad dan seiring makiannya yang terakhir, ia segera melompat kedepan, menubruk Coa-tung Tok-ong sambil kipas dan tangan kanannya melancarkan serangan menggeledek! Lagi-lagi terdengar Coa-tung Tok-ong ketawa mengejek dan tubuhnya yang kecil kerdil itu melakukan gerakan selincah binatang tupai meloncat dan tahu-tahu ia telah menghilang dari arah serangan So Kimiin sehingga hawa kebutan kipas dan tenaga pukulan Ceng-kin-ciang yang luar biasa dahsyatnya itu telah menghantam dinding tembok yang segera menjadi pecah dan ambrol! Dapat dibayangkan betapa hebatnya tenaga pukulan ini, dan betapa berbahayanya kalau yang dihantam itu adalah tubuh manusia!

Si Jago Santung nomor satu ini segera membalikkan tubuh, akan tetapi lampu penerangan diruangan itu tiba-tiba padam, karena sengaja dipadamkan oleh Coa-tung Tok-ong, sehingga keadaan menjadi gelap-gulita membuat So Kimlin kehilangan lawan karena apa yang dilihatnya hanya warna hitam pekat belaka!

Ketika itu tiba-tiba dari atas genting terdengar suara ketawa seorang wanita dalam nada yang amat mcnyeramkan, bagaikan suara ketawa kuntilanak, disusul suara ucapan : “Suamiku, mari kita pergi! Bayi kembar anak orang she So itu sudah kuambil. Buat apa lama-lama kita tinggal disini ?!”

“Bagus!”, terdengar suara Si Rajaracun menyahut di kegelapan. “Nah, So Kimlin, aku sengaja mengampuni nyawamu, sebagai penggantinya yaitu anak kembarmu yang kuanggap sebagai oleh- oleh pemberianmu!

“Selamat tinggal !” Tiba-tiba terdengar angin berkesiur kearah pintu. Hati So Kimlin bukan kepalang jengkel dan marahnya karena dalam keadaan segelap itu menyebabkan ilmu silatnya yang tinggi ternyata tiada gunanya samasekali. Mengetahui bahwa berkesiurnya angin itu ditimbulkan dari tubuh manusia iblis yang berlari kearah pintu, maka ia cepat mengejar dan karena diluar pintu nampak cahaya remang-remang maka ia tidak sampai kehilangan tujuan. Dasar nasib So Kimlin sedang ditimpa sial, ketika ia berlari melewati ambung pintu tiba-tiba tubuhnya jatuh terpelanting dan kalau tidak cepat membuat gerakan membalik, pasti hidungnya akan tersungkur mencium batu kerikilL Tanpa memperhatikan apa yang membuatnya ia terjatuh yang sebenarnya disebabkan kakinya tersandung tumpukan mayat para penjaga yang telah menjadi korban jarum-arum beracun Coa-tung Tok-ong ketika Si Rajaracun itu datang tadi, So Kimlin segera bangkit pula dan melihat keempat penjuru, mencari kalau-kalau musuhnya itu masih terlihat. Namun yang nampak kegelapan malam belaka yang hanya diterangi cahaya bintang-bintang kemerlipan dilangit. Kemudian ia berlari cepat kearah timur!

So Kimlin berlari cepat bukan mengejar Si Rajaracun, melainkan bermaksud hendak pergi melihat keluarganya yang disembunyikan diluar kota itu. Benarkah anak kembarnya telah berhasil diketemukandan telah diculik sebagaimana ia mendengar ucapan si iblis-betina dari atas genting tadi ? Dan ketika ia telah sampai ditempat tujuan, benar saja bahwa anak kembarnya telah diculik, bahkan ia dapatkan pula isterinya dan seluruh keluarga yang menjadi tempat perlindungan isteri dan anak kembarnya itu, semuanya sudah menjadi mayat dalam keadaan yangamat mengerikan ! Dapat dibayangkan betapa marah, bingung dan sedihnya perasaan hati So Kimlin sehingga membuat tubuh pendekar Santung ini segera terkulai dan roboh, terkapar pingsan diatas tanah! Ia sadarkan diri tatkala hari sudah menjadi siang dan tahu-tahu ia sudah berada dirumah sendiri. Ya melihat banyak orang sibuk merawat dan mengurus mayat-mayat yang sekian banyaknya itu!

Pada hari itu seluruh kota Cilam dalam keadaan berkabung, segenap penduduk berbelasungkawa atas peristiwa hebat yang dihadapi oleh So Kimlin, Si Pendekar Santung atau Santung Thayhiap yang sangat mereka hormati itu! Dan begitulah, setelah semua jenazah yang sekian banyaknya itu semua dikubur oleh para handai-taulan secara gotongroyong, maka So Kimlin secara diam- diam lalu berangkat kegunung Yihsan dengan membawa hati yang dipenuhi perasaan duka dan yang membuat pikirannya hampir menjadi gila!

Bagaimana hebatnya penderitaan batin pendekar Santung ini, dapatlah dibayangkan! Ia tidak habis-habisnya berpikir, mengapa segala siasatnya yang pernah ia lakukan untuk menghadapi sepasang manusia iblis itu sampai-sampai tempat pengungsian isteri dan anak kembarnya yang sebennrnya sangat ia rahasiakan, selalu diketahui oleh kedua manusia durjana itu. Dan ia merasa penasaran sekali karena ketika menghadapi Si Rujnacun samasekali ia tidak mempunyai kesempatan bertempur secara jantan, kekalahan yarg dialami bagi pihaknya yang berupa datangnya kematian orang sebanyak itu secara sekaligus, tak lain hanya sebagai akibat sifat licik dan curang dari simanusia iblis yang kini jelas sekali sudah menjadi musuh besarnya! Rasa penasarannya ini menimbulkan rasa sakit dihatinya sehingga ia bertekad hendak membalas dendam dan justeru karena adanya tekad inilah, ia pergi ke gunung Yihsan, hendak memberitahukan kepada susioknya dan jika dapat hendak minta bantuan orangtua sakti itu atau setidak- tidaknya mendapat bantuan So Sanbeng, seorang puteranya yang telah ia serahkan kepada orangtua sakti itu, untuk menerima gemblengan.

Segera setelah tiba di gunung Yihsan, So Kimlin lalu menuturkan peristiwa yang dialaminya serta meyampaikan pula maksud hatinya. Cengsin Tianglo, orangtua sakti yang menjadi susiok dari So Kimlin, hanya mengerutkan kening setelah mendengar peristiwa yang benar-benar merupakan bencana hebat itu! Sebaliknya So Sanbeng jadi menangis sambil membanting-banting kaki, terutama sekali anakmuda itu sangat menyedihkan kematian ibunya.

“So Kimlin, memang sepasang manusia iblis itu tiadab dan betul- betul keji, maka sudah sewajarnya kalau kau bermaksud membalas- dendam terhadap mereka. Bahkan justeru manusia-manusia semacam Coa-tung Tok-ong dan Tokkiam Moli yang perbuatannya hanya mengotori dunia yang memang sudah terlalu kotor ini, maka perlu segera dilenyapkan!”, demikian Cengsin Tianglo berkata. “Sayang sekali, aku telah bersumpah bahwa aku tidak mau lagi ikut campur dalam segala keruwetan duniawi dan oleh karena hal ini pula, menyesal sekali aku tak dapat memenuhi permintaanmu, kecuali aku hanya hendak memberi beberapa petunjuk kepadamu untuk kepentingan menghadapi sepasang manusia iblis itu. Dan disamping itu, anakmu Sanbeng ini boleh kau bawa turun gunung, kurasa kepandaiannya sudah cukup matang untuk dijadikan pembantumu.”

So Kimlin sangat berterimakasih sekali terhadap paman gurunya yang seakan-akan sudah dapat membaca isi hatinya dan demikianlah beberapa hari kemudian, setelah ia menerima beberapa petunjuk berupa taktik bertempur guna menghadapi musuh besarnya dan menerima pula petuah-petuah dari Cengsin Tianglo, sehingga pikirannya jadi tenang, imannya jadi teguh dan sangat membesarkan hatinya, maka akhirnya ia minta diri dan turun gunung bersama puteranya Sanbeng.

So Sanbeng adalah putera sulung dari So Kimlin. Usianya baru delapanbelas tahun. Tiga orang adiknya telah mati akibat wabah penyakit yang pernah menyerang kota Cilam beberapa tahun yang lalu. Kemudian ia mempunyai adik baru pula, adik kembar, tapi kini telah diculik oleh sepasang siluman jahat musuh besar ayahnya dan sekaligus menjadi musuh-besarnya pula, sehingga kini keluarga dan keturunan dari So Kimlin hanya Sanbeng sajalah yang masih tinggal.

Sejak kecil Sanbeng memiliki otak cerdas sehingga dalam sekolahannya ia selalu menjadi bintang-pelajar dan ia gemar sekali membaca sajak-sajak kuno, terutama sekali hasil karya Su Tungpo, Tsing Tsang dan Lo Shialun. Akan tetapi sayang sekali, ketika ia berumur tigabelas tahun, ia menderita semacam penyakit yang membuat daya pikir serta tubuhnya menjadi lemah sehingga ia tidak dapat melanjutkan sekolahnya. Kebetulan sekali pada suatu waktu Cengsin Tianglo yang pada masa itu masih suka merantau, mengunjungi rumah So Kimiin yang menjadi murid dari kakak seperguruannya dan orang tua berkepandaian tinggi ini melihat Sanbeng yang berpenyakitan, pada dasarnya memiliki bakat yang baik untuk dijadikan muridnya, maka setelah mendapat persetujunn dari So Kimiin lalu anakmuda kurus itu dibawa oleh Cengsin Tianglo kegunung Yihsan! Dan kemudian ternyata baru saja satu tahun Sanbeng mendapat latihan silat, tubuhnya menjadi sehat dan penyakitnya seakan-akan hilang dengan sendirinya! Demikianlah pada tahun-tahun berikutnya, selain tubuhnya makin sehat dan kuat, juga dalam hal pelajaran silat yang ia terima dari gurunya telah mendapat kemajuan pesat. Bahkan senjata yang menjadi genggamannyapun istimewa sekali, yaitu sejilid buku tebal dan sebatang pit, disesuaikan dengan apa yang menjadi teman karibnya setiap hari dalam waktu-waktu selebihnya ia belajar silat. Ternyata Sanbeng tidak bisa melupakan kegemarannya membaca sajak-sajak kuno dan ditambah lagi sajak-sajak ciptaan para penyair angkatan baru sehingga beberapa jilid buku himpunan sajak kiriman ayahnya, dapat dikata seluruh isinya ia sudah hafal diluar kepala! Bahkan kini ia sudah pandai pula membuat sajak dan mungkin disebabkan pengaruh “candu” sajak-sajak itu membuat annkmuda ini jadi mempunyai kebiasaan bahwa apabila berkata, muka setiap kalimat pada perkataannya yang terakhir selalu bersuku kata yang sama nadanya atau bernada hampir sama, sehingga kedengarannya mirip bait-bait pantun. Saking sungguh- sungguhnya ia belajar silat, maka meskipun baru lima tahun saja ia telah dianggap gurunya cukup matang sehingga ia telah dipercaya untuk membantu ayahnya untuk membalas sakit hati, juga untuk memenuhi kewajiban sebagai pendekar.

Seturunnya dari Yohsan, So Kimlin bersama puteranya singgah dulu kerumah mereka karena orargtua itu kini baru ingat bahwa ketika ia pergi, disebabkan pikirannya tidak keruan, rumah dan tokonya telah ditinggalkan begitu saja. Ia singgah dulu kerumahnya, sengaja untuk berpesan kepada pembantu-pembantunya supaya menjaga rumahnya itu baik-baik. Juga tokonya, ia kuasakan kepada salah seorang pembantu yang sudah dipercaya penuh dan setelah segala urusan ini beres, maka dengan perasaan hati lega dan semangat besar So Kimlin bersama So Sanbeng pergi merantau, mencari jejak Coa-tung Tok-ong dan Tokkiam Moli.

Dasar jiwa pedagang, selalu menganggap bahwa waktu adalah uang, maka So Kimlin dalam perantauannya tidak mau membuang- buang waktu dan ongkos secara percuma, karena menurut perhitungannya kalau dalam perantauan yang sama sekali belum dapat diketahui akan menghabiskan waktu berapa lamanya ini, pasti akan menyebabkan uang bekalnya lama-lama bisa jadi ludes, kalau tanpa sambil berdagang! Oleh karena adanya perhitungan ini, maka ia sengaja dari tokonya telah membawa beberapa puluh geblok kain bahan sandang sehingga dengan demikian pendekar Santung bersama puteranya yang sedang prihatin ini melakukan perantauan sambil berdagang, atau tepatnya untuk mencari jejak musuh besar mereka, mereka menyamar sebagai pedagang keliling. Seakan-akan ada petunjuk, mereka menuju kearah barat, mereka “berdagang” dari satu kota, bahkan akhirnya sampai melewati dua buah propinsi disebelah barat Santung! Di setiap kota yang mereka singgahi, disetiap pasar yang mereka datangi dan setiap dusun yang mereka lalui, sambil memperdagangkan barang bahan sandang itu mereka tak putus-putusnya mengadakan penyelidikan. Bahkan kepada setiap piauwsu yang keretanya mereka sewa, juga secara tak langsung mereka selalu “memancing*” kalau piauwsu-piauwsu itu mengetahui atau sedikitnya mendengar dimana adanya sepasang siluman itu. Begitu pula terhadap para pendekar perantau yang banyak dijumpainya dalam perjalanan, maupun kepada para perampok yang-sering menghadang mereka, selalu mereka bertanya-tanya dan menyelidik. Akan tetapi setelah hampir setengah tahun ayah dan anak ini mencari dan menyelidik, berita tertang sepasang manusia iblis itu belum juga mereka peroleh, kecuali hanya memperoleh keuntungan lumayan dari hasil perdagangan mereka! Sungguh tepat perhitungan So Kim-lin bahwa dalam perantauan yang tidak menentu arah tujuannya ini kalau tidak sambil berdagang agaknya pendekar Santung yang dikota Cilam terkenal sebagai seorang hartawan ini sudah menjadi perantau rudin seperti kebanyakan pendekar-pendekar perantau lainnya, karena kehabisan bekal!

Akhirnya mereka tiba dikota Sunlay dan karena waktu itu hari sudah terlalu sore, maka mereka bermalam dirumah-penginapan Cialing. Tiga hari dikota kecil dalam propinsi Sansi ini mereka “berdagang” dan lagi-lagi hati mereka merasa kecewa karena jangankan musuh besar itu dapat dijumpai, sedangkan tercium baunyapun belum! Sungguhpun hati kecewa, namun tidak pernah putus-asa, bahkan mereka bertekad terus mencari sebelum dendam-kesumat punah! Dari kota ini mereka hendak meneruskan perjalanan kekota Lokyang, akan tetapi setelah mereka menghubungi tiga piauwkiok [pengusaha ekspedisi] untuk menyewa kereta, ternyata semua pengusaha tersebut tidak bersedia mengadakan perjalanan kekota yang dimaksud, sungguhpun So Kimlin sanggup membayar ongkos berapa saja yang mereka minta.

“Jiwi sianseng, kami bukan tidak butuh uang. Tapi untuk melakukan perjalanan kekota Lokyang, dalam waktu-waktu ini benar-benar kami tidak sanggup. Maaf saja dan kami silahkan jiwi menghubungi piauwkiok lain”, demikian jawaban yang So Kimlin dapatkan dari ketiga pengusaha angkutan ekspedisi itu.

So Kimlin sudah cukup maklum seluk beluk rahasia dunia kangouw dan ia sudah dapat menduga akan alasan para piauwkiok itu bahwa dalam perjalanan antara Sunlay dan Lokyang tentu ada sesuatu yang mereka takuti. Sebagaimana biasa, untuk mengadakan penyelidikan lebih jauh So Kimlin bertanya memancing terhadap scorarg piauwkiok yang didatarginya paling ecliir: “Sicu, sudah empat piauwkiok termasuk sicu ini kudatangi dan semuanya ternyata tidak sanggup. Habis kepada piauwkiok mana lagi dapat kuhubungi?” “Sudahkah sianieng bertanya kepada piauwkiok It-gan-liong Liok Samkong yang rumahnya dipinggir kota ini?”, piauwsu itu balik bertanya.

“Belum..”

“Nah, cobalah sianseng [tuan] pergi kesana menghubunginya. Mudah-mudahan saja Si Naga Matabuta itu dapat memenuhi maksud tuan!”

“Terima kasih atas petunjukmu. Akan tetapi, sicu, bolehkah aku minta keterangan darimu, bahwa apa alasannya sehingga menyebabkan para piauwkiok disini tidak sanggup melakukan perjalanan kekota Lokyang? Rupa-rupanya terdapat sesuatu yang sangat berbahaya dan kalau benar demikian, ah, sebaiknya kubatalkan saja maksudku ini, daripada mendapat celaka dipeijalanan.”

“Yah, memang lebih baik begitulah!”, sahut sipauwsu sambil mengangguk-anggukkan kepala. “Dan dugaanmu memang tepat. Maka agar jelasnya baiklah kuceritakan bahwa perjalanan dari sini menuju ke Lokyang harus melalui kaki gunung Hengsan, dimana terdapat sebuah hutan Siong-tiok-lim yang pada waktu belakangan ini dijadikan sarang gerombolan perampok yang dikepalai oleh Go Jikiu Si Golok-tunggal Pencabutnyawa. Biarpun jahat, tapi kepala perampok she Go ini masih dapat disogok sehingga kita masih dapat melanjutkan perjalanan dengan selamat. Adapun kemarin, salah seorang kawanku yang baru kembali dari Lokyang mengabarkan bahwa selain dihutan Siong-tiok-lim itu terdapat sipenghuni tetap, yaitu sikepala perampok she Go tadi, malah disitu, diantara mereka yang menghadang, terdapat pula dua orang penjahat baru yang namanya sudah terkenal dan menggemparkan dunia kang-ouw”

“Siapakah mereka ?!” tanya So Kimlin mendesak tatkala piauwsu itu menghentikan penuturannya sebentar.

“Kabarnya, mereka adalah Coa-tung Tok-ong dan Tokkiam Moli.

Sudahkah jiwi mendengar nama dua tokoh siluman jahat ini ?” So Kimlin dan So Sanbeng saling pandang. Kemudian, tanpa permisi lagi terhadap piauwsu itu, ayah dan anak ini tiba-tiba meninggalkan sipiauwsu sambil berlari sehingga membuat piauwsu itu jadi bengong dan akhirnya ia ketawa karena menganggap bahwa kedua orang tersebut, baru mendengar disebutnya nama dua tokoh siluman tadi saja sudah berlari ketakutan.

“Tabir gelap terbuka sudah, bagaimana kita harus berbuat, ayah?” tanya Sanbeng sambil berbisik ketika mereka sudah berada dikamar dalam penginapan.

Ayahnya tak segera menjawab karena orangtua ini sedang berpikir keras sambil menahan perasaan hatinya yang menggelora hebat.

“Kita harus bertindak cepat”, sahutnya kemudian, juga dengan suara berbisik. Dan setelah termenung lagi sesaat sambil menggigit bibir dan kenirg berkerut, ia berbisik pula: “Sekarang mari kita pergi menemui piauwkiok Si Naga Bermata-buta yang disebutkan oleh sipiauwsu tadi!”

Tanpa menjawab Sanbeng segera mengikuti ayahnya yang sudah berjalan keluar kamar. Terlebih dahulu mereka menemui sipengusaha penginapun yang duduk bercokol dikantor dan menanyakan tentang letak rumah piauwkiok si Naga Bermata-buta.

“Jiwi hendak menyewa keretanya? Bagus! memang lebih baik jiwi mempergunakan angkutan dari perusahaan ekspedisi itu, akan lebih baik lagi kalau yang mengawalnya adalah Si Naga Bermata- satu Liok Samkong sendiri yang sangat lihay ilmu pecutnya. Piauwkiok ini paling laris sehingga merupakan saingan berat bagi beberapa pengusaha angkutan yang terdapat dikota ini. Rumahnya terletak disebelah barat kota, dan rumahnya bercat biru, menghadap keselatan dan dipekarangan depan terdapat sebuah kolam kecil yang banyak ditumbuhi bunga teratai. ”

“Terimakasih atas keteranganmu”, kata So Kimlin yang diam- diam hatinya merasa kesal juga mendengar komentar panjang- lebar dari pengusaha hotel itu, padahal yang dibutuhkannya hanya sedikit saja.

Ketika itu hari sudah sore dan berkat petunjuk sipengusaha hotel tadi maka So Kimlin dan So Sanbeng telah dapat mencari tempat tinggal piauwkiok yang dimaksud dengan mudah. Akan tetapi alangkah kecewanya hati ayah dan anak ini ketika mendapat keterangan dari isteri sipiauwkiok itu yang menyambut kedatangannya, bahwa suaminya, Liok Samkong, tidak dirumah. Sudah lima hari dia pergi kekota Hunleng mengantar barang, demikian kata nyonya rumah itu selanjutnya, dan diharapkan nanti malam atau paling lambat besok pagi dia akan kembali.

“Kalau demikian, lebih baik besok pagi saja kami datang lagi kemari”, sahut So Kimlin, lalu minta diri.

Akan tetapi orangtua ini tak dapat bersabar menunggu sampai besok pagi, maka biarpun hari sudah malam ia lalu mengajak anaknya untuk kembali mendatangi rumah Liok Samkong, kalau- kalau piauwsu itu sudah datang. Maklum bahwa mendatangi rumah orang diwaktu malam memang merupakan suatu perbuatan yang kurang baik, tapi mengingat iktikad yang dibawanya tidak bermaksud jahat, hanya hendak mengetahui bahwa piauwsu itu sudah kembali atau belum. Kalau sudah, ia hanya sekedar menyampaikan pesan hendak menyewa kereta besok pagi, karena kalau sampai menunggu keesokan harinya ia kuatir piauwkiok yang laris ini akan keburu menerima pesanan dari orang lain. Alasan inilah yang menjadi pegangan So Kimlin sehingga malam itu juga ia kembali mendatangi tempat tinggal Liok Samkong! Ketika baru saja memasuki halaman depan dari rumah itu, So Kimlin dan anaknya yang masing-masing mempunyai pendengaran tajam, telinga mereka sudah dapat menangkap suara seorang perempuan yang sedang bercakap-cakap dengan laki-laki dari dalam rumah yang dikunjunginya, dan ditambah lagi terdengarnya suara ringkik kuda dari belakang rumah itu! Yakinlah bahwa Liok Samkong sudah datang. Dan tatkala So Kimlin hendak mengetuk pintu rumah, ia melihat bahwa didaun pintu yang tertutup itu terdapat secarik kertas yang ditancapi sebatang piauw, sehingga ia tidak jadi mengetuk melainkan ia lalu membaca huruf-huruf yang tertulis diatas kertas itu. Kebetulan sekali didekat pintu tersebut terdapat sebuah lampu minyak, nyala apinya berkelap-kelip ditiup angin, sehingga dengan bantuan cahaya dari lampu ini ia dapat membaca surat tersebut dan bunyinya ternyata adalah suatu tantangan dari Toatbeng Tonto Go Jikiu terhadap Liok Samkong! Tentu saja oleh karena adanya surat itu membuat So Kimlin yang semula hendak menjumpai situan rumah, segera membatalkan niatnya sebab kuatir akan menimbulkan salah sangka dan Liok Samkong tentu akan menuduh bahwa mereka mempunyai hubungan erat dengan sipenantang itu dan Liok Samkong pasti pula akan menganggap bahwa sipembawa surat itu adalah mereka sendiri!

“Demikianlah, Liok Hiapsu, tadi pagi kami baru berani berkunjung kerumahmu dan setelah kulihat kau bersikap ragu- ragu, akhirnya kau meluluskan juga permintaanku sehingga hari ini kami telah dapat membunuh Coa-tung Tok-ong dan Tokkiam Moli sebagai pembalasan sakit-hati! Liok hiapsu, benar-benar kami sangat berterimakasih kepadamu oleh karena kalau tanpa bantuanmu, rasanya sangat sulit bagi kami untuk melakukan pembalasan dendam ini”, demikianlah So Kimlin menutup penuturannya Liok Samkong yang sejak tadi sangat asyik mendengarkannya dan kini meskipun pendekar santun itu sudah menutup penuturannya, namun ia masih tetap bengong! Betapa takkan bengong piauwsu bermata satu ini, karena selain penuturan orangtua iti sangat berkesan baginya, juga menimbulkan perasaan ngeri dihatinya. Ngeri, karena ia dapat membayangkan betapa biadab dan kejinya perbuatan sepasang siluman itu dan rupanya sibedebah Go Jikiu berani mengirim surat tantangan itu karena mengandalkan bantuan dari sepasang manusia iblis tersebut! Dan ia pasti sudah mati konyol kalau saja kedua orang penyewa keretanya bukan pendekar dari Samung bersama puteranya yang berkepandaian tinggi dan maksud mereka juteru hendak melenyapkan sepasang siluman itu dari muka bumi! Ngeri pula rasa hati Liok Samkong karena pikirnya kalau saja Coa-tung Tok-ong dan Tokkiam Moli tidak keburu dibikin mampus oleh ayah dan anak yang menuntut balas ini, pasti sepasang siluman itu akan sempat beroperasi dikota Sunlay, banyak anak bayi pasti akan menjadi korban mungkin termasuk anaknya sendiri yang paling kecil yang justeru masih merupakan “obat kuat” bag Coa-tung Tok-ong dan Tokkiam Moli! Benar-benar ngeri....

(Bersambung Jilid ke 3) 0 NAGA MATA SATft

Oleh : Tjoe Beng Siang

Jilid ke 3

EMUDIAN Liok Samkong tersadar dari kebengongannya karena terperanjat ketika So Sanbeng menggertaknya: “Hai, Liok sianseng! Sudah lama ayah menutup cerita, tapi

mengapa kau tinggal bengong saja bagaikan patung? Hayo, kini giliranmu, kami sudah tak sabar menunggu!”

Piauwsu itu menghela napas seraya tersenyum. “Jasa kalian sungguh besar. Mampusnya sepasang manusia iblis itu selain memunahkan dendam kesumat kalian, mengandung arti yang sangat besar pula, yakni kalian telah menyelamatkan puluhan bahkan ratusan nyawa bayi.”

“Sudahlah, Liok hiapsu! Kau jangan terlalu memuji”, So Kimlin menukas. “Seperti sudah kukatakan tadi, bahwa dalam hal ini kalau tanpa bantuanmu, rasanya sangat sulit bagi kami untuk melakukan pembalasan dendam ini dan karenanya, maka tidak semestinya memuji dan menganggap jasa kami demikian besar, padahal bantuanmu yang telah membawa kami sampai dihutan Siong-tiok- lim ini, kami anggap merupakan jasa yang sangat besar pula!”

“Huh !”, tiba-tiba So Sanbeng menyela, “Kedua orangtua ini masih saja meributkan soal jasa, aku bosan mendengarnya! Padahal apalah artinya jasa yang diperbuat manusia, kalau tanpa mendapat berkah dari Thian ? Manusia hanya berhak berusaha, ketentuannya berada ditangan Thian. Kalau hari ini sepasang manusia iblis sampai binasa, sudah tentu adalah atas kehendak Thian! Maka apa gunanya meributkan soal jasa, membuang-buang waktu saja. Lebih baik Liok sianseng mulai berceritera, supaya kita dapat melanjutkan perjalanan dengan segera!” “Kau benar, Bengji!”, seru So Kimlin sambil ketawa terkekeh. “Mulailah Liok hiapsu!”

Liok Samkong kembali menghela napas, lalu katanya : “Kalau saja aku tadi tidak berjanji dan kalau saja kisah yang menyebabkan mataku buta sebelah ini bukan jiwi yang ingin mendengarnya, sesungguhnya aku tidak mau menceritakan! Sebab, kisah ini sebenarnya berupa suatu rahasia dan aku hanya pernah menceritakan kepada isteriku seorang saja sehingga yang mengetahuinya hanya kami suami isteri berdua. Kepada orang lain tak pernah kami bocorkan !”

Tiba-tiba Sanbeng bertepuk tangan sambil menukas:

“Waduh ! Suatu rahasia yang amat besar rupanya, pantas saja kau tidak mau segera menceritakannya”.

“Benar, So sicu. Memang suatu rahasia yang amat besar, oleh karena dalam peristiwa yang menyebabkan nama julukanku menjadi Si Naga Mata satu ini menyangkut pula nama dan kehormatanku dan sangat memalukan sekali kalau sampai diceritakan kepada lain orang! Namun kini terpaksa juga aku harus menceritakan kepada kalian, hanya saja sangat kuharapkan jiwi takkan menyebar luaskan cerita pengalamanku ini, dan pula kalau nanti jiwi sudah mendengarkan, kuminta kalian jangan mentertawakannya! Nah, beginilah kisahnya…..”

***

Pada lima tahun yang lalu, Liok Samkong mengantar dan mengawal barang kepunyaan seorang hartawan untuk disampaikan kepada Tio wan-gwe [hartawan Tio] dikota Lokcun. Kebetulan sekali ketika Samkong tiba ditempat tujuannya, didepan gedung hartawan Tio sedang dibangun sebuah luithay [panggung pertandingan silat] dan ia mendengar bahwa luithay tersebut disediakan atas keinginan Tio siocia [nona Tio] puteri tunggal dari hartawan tersebut yang bernama Sian-hoa yang hendak memilih calon-suami dengan mengadakan sayembara pibu [seleksi ilmu silat]. Pibu sangat menarik hati untuk ditonton, apalagi oleh orang yang mengerti ilmusilat seperti Liok Samkong, maka piauwsu ini meskipun kewajibannya sudah selesai, ia sengaja berdiam dikota itu sampai beberapa hari lamanya untuk menyaksikan pertandingan tersebut.

Begitulah pada hari yang sudah ditentukan, pibu mulai dibuka! Didepan gedung Tio wan-gwe para penonton penuh sesak dan berjejal mengitari luithay yang sudah dihias indah. Ternyata banyak juga jago-jago muda, baik dari kota itu sendiri maupun yang datang dari luarkota, telah mendaftarkan diri untuk ikut serta dalam sayembara tersebut dan mereka ini rata-rata mengharapkan akan bernasib baik sehingga dapat memperisteri Tio siocia yang kecantikannya maupun keperkasaannya, sudah merupakan bintangnya kota Lokcun!

Sebelum sayembara dimulai, tuan rumah, yaitu Tio wan-gwe dengan pakaian yang serba mewah, nampak naik panggung dan menyampaikan pengumuman singkat. Bahwa pibu ini diselenggarakan atas keinginan puterinya yang hendak mencari calon suami diatas panggung luithay. Para peserta sayembara harus memenuhi syarat yaitu selain berkepandaian silat tinggi, juga harus masih muda, setinggi-tingginya berumur dua puluh lima tahun dan belum kawin! Setiap hari diberikan kesempatan kepada enam orang peserta menurut urutan nomor yang telah terdaftar. Pibu diadakan dalam lima babak penyisihan, yakni dalam tiga babak enam peserta itu seorang lawan seorang sehingga yang keluar sebagai pemenang menjadi tiga orang dan yang tiga orang ini kemudian memasuki babak final sehingga akhirnya salah seorang dari tiga peserta ini dinyatakan sebagai pemenang terakhir. Dan sipemenang terakhir inilah kemudian baru berhadapan dengan sinona!

Setelah menyampaikan pengumuman ini Tio Wangwe turun panggung diiringi suara tepuk tangan dan sorak gembira dari para penonton. Kemudian tepuk tangan dan sorak-sorai makin gemuruh tatkala Tio siocia menaiki panggung untuk memperkenalkan diri atau lebih tepat jika dikatakan memamerkan diri kepada para penonton terutama kepada para peserta sayembara! Memang Tio siocia harus diakui memiliki kecantikan yang dapat menggiurkan hati seorang kakek-kakek yang hampir mampus, sehingga tak dilebih-lebihkan kalau nona ini dijuluki bintangnya kota Lokcun! Pakaiannya yang ketat berwarna hijau muda sungguh serasi dengan potongan tubuhnya yang ramping padat. Ia menjura Keempat penjuru, dan bibir yang mungil itu tak lepas dengan senyum dan kerling matanya yang dapat menggetarkan jantung sehingga Liok Samkong yang berdesak-desakan diantara orang banyak melihat ini, tanpa dirasainya ia jadi meneguk air liur bagaikan seorang wanita sedang hamil muda melihat buah mangga muda! Sayang aku sudah punya anak-isteri, kalau aku masih bujangan dan umurku belum lebih dari dua puluh lima tahun, hmmm, aku mau turut serta dalam sayembara dan merebut bintang kota Lokcun! Demikian piauwsu ini diam-diam mengeluh didalam hatinya.

Begitulah, sesudah sinona mengundurkan diri, pibu segera dimulai! Tepuk tangan dan sorak-sorak dari para penonton tak henti-hentinya selama babak-babak penyisihan dan babak penentuan, sehingga akhirnya seorang pemuda tampan anak murid dari Hoasanpay keluar sebagai pemenang terakhir dan dinyatakan sebagai penantang sinona! Akan tetapi setelah pemuda tampan dari Hoasanpay ini berhadapan dengan Tio siocia, baru bergebrak limabelas jurus saja tubuhnya telah terlempar kebawah panggung karena dadanya dihantam tendangan sinona sehingga berakhirlah acara pibu untuk hari pertama itu dan keesokan harinya dilanjutkan lagi.

Hari-hari berikutnya hasil sayembara seperti itu-itu juga, semua peserta gugur! Sampai seminggu Liok Samkong menonton dan ia sudah merasa bosan dan hampir saja ia segera berangkat pulang kalau tidak secara kebetulan sekali bertemu dengan salah seorang kawan lamanya yang bernama Be Congkun dan setelah saling bertegur-sapa dilanjutkan bercakap-cakap dengan penuh rasa senang karena lama tidak bertemu, kemudian Liok Samkong jadi tahu bahwa salah seorang putera dari kawannya itu turut serta pula dalam sayembara tersebut dan mendapat giliran pada hari kedelapan dan disebabkan ingin menyaksikan kawan ini mengadu untung kalau kelau bisa menjadi besan dari Tio wan-gwe, maka maksud Liok Samkong hendak pulang, ditangguhkan.

“Mana puteramu sekarang ?”, Liok Samkong bertanya tatkala ia tidak melihat anak kawannya itu.

“Dia masih dirumah penginapan. Beristirahat!”, sahut yang ditanya dengan singkat.

Liok Samkong sudah maklum bahwa Be Kibun, putera kawannya yang dimaksudkan itu adalah seorang pemuda yang berkepandaian tinggi dan didaerah tempat tinggalnya mendapat nama julukan Hekbin Siauw Busiong atau Busiong-muda-bermuka hitam disebabkan ia pernah bergulat dengan seekor macan besar disebuah hutan dan raja hutan itu dipukulnya sampai mati karena kepalanya pecah, padahal ia sama sekali tak bersenjata dan hanya mengandalkan sepasang tinjunya yang sangat ampuh! Samkong sudah maklum pula bahwa anakmuda itu adalah murid tunggal dari Tekbi Hosiang seorang pendeta ketua kuil Ban-an-si dari cabang persilatan Siauwlimpay yang sudah terkenal kegagahannya ketika ia turut berjuang mengusir penjajah asing dari daratan Tiongkok! Akan tetapi, Be Kibun, simurid tunggal dari pendeta pahlawan bangsa itu dapatkah mengalahkan nona Tio yang sudah jelas sangat gagah perkasa ? Pertanyaan ini timbul dihati Liok Samkong dan justeru karena ingin mendapat jawabannya, maka ia sengaja menangguhkan maksudnya untuk pulang.

Dengan singkat dapat diceritakan bahwa Be Kibun ketika gilirannya tiba, ternyata telah memperlihatkan kepandaiannya yang sangat hebat sehingga akhirnya ia berhadapan dengan nona Tio!

Para penonton bersorak-sorak sehingga gegap gempita ketika melihat pemuda hitam itu mulai bertempur dengan sinona. Malah diantara mereka terdapat pula yang berteriak mengejek: “Huh! Silutung ingin memetik bulan! Mana mungkin? Paling banter ia cuma bisa bertahan sampai sepuluh jurus. !”

Yang mengeluarkan teriakan ejekan ini adalah seorang yang justeru berdiri membelakangi Samkong sehingga piauwsu ini yang diam-diam sudah merasa yakin bahwa Be Kibun pasti bakal jadi anakmantu Tio wan-gwe karena mengingat bahwa anakmuda itu mewarisi ilmu kepandaian dari Tekbi Hosiang, tatkala mendengar ejekan dari orang yang berdiri didepannya, menjadi panas hati. Maka ia membantah keras; “Didunia ini segala kemungkinan selalu bisa terjadi! Siapa tahu bintang kota Lokcun itu bisa dimiliki oleh silutung hitam?!”

Orang itu menoleh, lalu ketawa menyeringai sambil bertanya: “Eh kawan, silutung itu menjadi jagomu? Mari kita bertaruh!”

“Hayo! Apa yang kau pertaruhkan?” balas Liok Samkong dengan hati makin panas.

“Seribu tail uang-mas! Aku pegang sinona. Berani?” Samkong terkejut mendengar jumlah yang disebutkan oleh orang itu. Tak disangkanya sama sekali bahwa orang itu berani bertaruh sampai sebanyak iiu. Tentu dia seorang hartawan, pikirnya. Sedangkan ia yang pekerjaannya hanya sebagai piauwsu, mana bisa mempunyai uang sampai begitu banyak. Biarpun rumah dan seluruh isinya berikut isteri dan anaknya kalau dijual, mana bisa mencapai harga sampai sej u irilah itu!

“Heheh! Rupanya kau tidak berani?” Orang itu mengejek ketika melihat Samkong terkejut dan tinggal diam saja. “Memang seribu tail uang-mas takkan mungkin terbayar olehmu kalau taruhanmu kalah. Nah, sekarang kita bertaruh kecil-kecilan saja. Bukan berupa uang. Tapi potong kupingl Aku bersedia sebelah daun telingaku dikerat olehmu kalau sinona sampai dikalahkan oleh sihitam itu! Akur. ?!” Ketika itu Samkong yang hatinya benar-benar sudah serasa dibakar karena dianggapnya orang itu amat sombong dan berani menghinanya, sempat juga lihat keatas panggung dan ia mendapat kenyataan betapa sinona sedang didesak hebat oleh Be Kibun, dan tampaknya sinona benar-benar sudah kewalahan, maka tanpa banyak pikir lagi ia segera menyahut: “Akur ....! Kalau kau hanya mempertaruhkan sebelah daun telinga, maka aku mempertaruhkan sebelah bijimataku! Bijimataku yang sebelah kanan ini boleh kau cukil apabila taruhanku kalah!”

“Bagus!” seru orang itu sambil mengulurkan tangan dan setelah berjabatan tangan dengan Samkong sebagai tanda pertaruhan mereka sudah “syah”, ia lalu membalikkan tubuh membelakangi Samkong dan melihat keatas panggung seperti tadi. Juga perhatian Samkong ditujukan kearah yang sama, dengan hati berdebar tegang! Biasanya, pada hari yang sudah-sudah, sinona selalu dapat menjatuhkan para “pelamarnya” tanpa melebihi duapuluh jurus. Akan tetapi sekarang menghadapi Kibun sipemuda hitam itu ternyata kelihatannya ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya dan setelah bertempur tigapuluh jurus, tampak ia mulai terdesak! Tepuk sorak makin gemuruh. Samkong makin gembira terutama sekali ketika melihat betapa Kibun telah berhasil memetik sekuntum bunga yang menghiasi rambut sinona!

“Nah, apa kataku tadi ? Aku sungguh menyesal tidak mau terima taruhan seribu tail uang-mas yang kau tawarknn tadi, kawan!”, kata Samkong keras-keras ke dekat telinga orang yang menjadi lawan bertaruh itu.

“Tahan dulu rasa gembiramu, kawan! Sinona belum tentu kalah!”, sahut orang itu tanpa berpaling dan sesaat kemudian terdengar ia berkata pula: “Nah! Lihatlah, sinona kini mulai memperlihatkan ilmu silat simpanannya Sediakan saja sebelah bijimatamu yang akan segera kucukil itu. Hahaha !”

Benar saja, setelah sekuntum bunga penghias rambutnya dicomot oleh pemuda hitam itu tadi,  sinona yang kelihatannya sudah terdesak hebat itu tiba-tiba merubah taktik silatnya. Tubuhnya membuat gerakan berputar-putar mengelilingi Kibun, gerak-geriknya seperti orang yang sedang menari dan jelaslah nona itu mulai memainkan jurus-jurus silat yang dinamakan Bidadari menari untuk-mempermainkan-seekor-kera! Mula-mula Kibun dapat mengikuti perubahan sinona itu sambil mengirimkan serangan-serangannya yang menentukan, akan tetapi pada detik- detik berikutnya gerakan tubuh sinona yang bagaikan menari-nari sambil berputar dan berkeliling itu makin cepat sehingga Be Kibun seakan-akan dikurung oleh segulung sinar hijau yang sangat gesit dan sulit sekali baginya untuk melancarkan semangan kearah sasaran yang tepat!

Ternyata gerak tipu Bidadari-menari yang dilakuyan oleh Tio siocia mendatangkan pengaruh hebat bagi Kibun yang menghadapinya. Kalau tadi pemuda ni sudah berhasil mendesak sinona dengan hebat dan agaknya dalam beberapa gebrakan lagi ia akan dapat mengalahkannya, akan tetapi sekarang, setelah Tio siocia merubah taktik silatnya, benar-benar membuat pemuda itu tidak berdaya! Gerakan-gerakan sinona yang seperti menari-nari dan mengelilingi tubuhnya demikian lincah dan cepat sehingga membuat Kibun yang menghadapinya jadi kebingungan dan kepalanya mulai terasa pening! Dan pada suatu saat, entah siapa melakukan gerakan yang bagaimana, tahu-tahu tubuh Kibun menjadi limbung seperti orang mabuk arak dan setelah sempoyongan diatas panggung sebentar, akhirnya pemuda hitam ini, dengan diantar senyum manis dari sinona yang ketika itu sudah menghentikan gerakannya, lalu jatuh terpelanting kebawah panggung, diiringi gemuruhnya tepuk-sorak para penonton!

“Nah! Kini kucukil bijimatamu!”, seru orang yang bertaruh dengan Samkong itu sambil cepat membalikkan tubuh kebelakang. Akan tetapi lawan bertaruh yang hendak dicukil bijimatanya itu ternyata sudah menghilang entah kemana, membuat hati orang ini menjadi mendongkol dan ribut sendiri menghamburkan makian tidak keruan!

Biarpun Samkong bukan seorang pengecut, tapi mana hatinya akan rela kehilangan sebuah bijimatanya gara-gara kalah bertaruh karena keisengannya tadi, maka setelah melihat gejala bahwa Be Kibun bakal jadi pecundang dan selagi orang dengan siap-siap ia bertaruh itu sedang mencurahkan perhatiannya ke atas panggung, diam-diam ia segera meninggalkan tempat itu dan bersembunyi dikamar penginapan!

Dasar nasib Liok Samlong agaknya sedang sial orang yang ia takuti menagih janji pertaruhannya itu kebetulan sekali mendatangi penginapan dimana justeru ia menyembunyikun diri, dan secara kebetulan pula bahwa orang itu bermaksud hendak menginap dipenginapan tersebut dan mendapat kamar persis disebelah kamar yang disewa Samkong, hanya teraling sebuah dinding papan! Keruan saja Samkong hatinya jadi sangat gelisah dan selama hidupnya belum pernah ia segelisah seperti ini, takut kalau-kalau orang itu benar-benar menagih janji, maka ia tidak berani keluar dari kamarnya! Samkong memang memiliki watak keras dan ia bisa bertahan terus sembunyi didalam kamar, akan tetapi bagaimana ia bisa tahan menguasai perutnya yang perih karena lapar, sejak pagi hari itu memang belum diisi nasi, kecuali hanya segelas air hangat berikut dua butir telur ayam rebus yang ditelannya ketika pagi-pagi tadi!

Ketika itu sudah lewat tengah hari dan perut Samkong makin terasa melilit-lilit bagaikan usus diperutnya dipuntir-puntir! Ia lalu mengintip melalui celah-celah dinding papan untuk melihat penghuni dikamar sebelahnya itu! Kalau saja orang itu sedang tidur, ia bermaksud hendak keluar kamar untuk pergi makan dan minggat pulang! Dan benar saja, melalui celah dinding papan itu ia dapat melihat, bahwa orang itu sedang tidur sambil mendengkur diatas pembaringan dan ternyata pula bahwa dia membawa senjata berupa sebilah golok besar yang diletakkan disisi pembaringannya. “Bagus! Mumpung dia sedang tidur aku harus menggunakan kesempatan ini”, bisik Samkong didalam hati dan ia segera mengemasi pakaiannya kedalam buntalan. Dan sebelum ia keluar kamar, sekali lagi ya mengintip untuk mengetahui keadaan orang itu supaya ia tidak sampai terpergok! Ternyata orang itu masih tidur, akan tetapi tiba-tiba Liok Samkong yang sedang menempelkan kening dan mata kanannya diantara celah papan itu, menjerit nyaring dan tangannya menutupi mata kanan yang dipergunakan mengintip itu!

Apa yang terjadi? Ternyata mata Liok Samkong telah disengat kalajengking yang secara kebetulan sekali terdapat diantara sela- sela celah dinding yang tadi dipergunakannya sebagai lubang pengintipan itu! Sengatan dari ekor binatang kecil yang mengandung bisa itu tepat sekali kena biji mata kanannya dan hal ini baru diketahui oleh Samkong ketika ia menutup matanya dengan tangannya dan binatang itu masih menempel, maka segera diremasnya sehingga hancur! Inilah sebabnya mengapa Samkong tiba-tiba menjerit nyaring!

Dapat dibayangkan, betapa sakitnya biji mata Samkong yang disengat kalajengking yang bisanya terkenal sangat berbahaya itu! Samkong lupa akan ditagih janji, dan lupa untuk segera berlari keluar kamar sebagaimana yang menjadi rencananya tadi. Karena sakit yang ia rasakan pada biji matanya itu, setelah menjerit nyaring tadi, lalu membantingkan tubuhnya keatas pembaringan dan disitu ia terus mengerang-erang serta mengaduh-aduh sehingga orang- orang yang mendengarnya cepat menghampiri kamarnya dan menggedor-gedor pintu kamarnya dari luar!

Agaknya orang yang diintip oleh Samkong tadi kini sudah terbangun pula dari tidumya disebabkan suara ribut-ribut itu dan ia ikut pula menggedor-gedot pintu kamar Samkong! Orang-orang itu menyangka bahwa didalam kamar itu telah terjadi peristiwa penganiayaan, maka mereka lalu mendobrak pintu itu sehingga pecah dan terbuka dan orang yang paling dulu memasuki serta menghampiri Samkong yang sedang mengguling-gulingkan tubuhnya diatas pembaringan sambil mengaduh-ngaduh itu, justeru adalah orang penghuni kamar disebelah kamar Samkong tadi!

“Mengapa? Mengapa ?!”, tanyanya sambil mengguncang- guncangkan tubuh Samkong.

Samkong ketika itu sedang menderita kesakitan setengah mati, sehingga baik orang mendobrak pintu kamarnya maupun pertanyaan orang itu, tak ia hiraukan. Ia merintih dengan suara menggerung-gerung! Tiba-tiba orang yang bertanya itu ketawa bergelak-gelak, membuat orang yang mendengarnya merasa heran, juga Samkong tak terkecuali!

“Hahaha ! Hahahaaa ! Inilah orangnya yang kalah bertaruh dan telah lari sebelum membayar janji! Benar-benar bocengli [tak tahu aturan]! Tapi Thian benar-benar sangat Adil dan memberi hukuman kontan kepada makhluknya yang bersalah! orang ini sudah terkena kualat sendiri, mata kanannya sudah rusak dan agaknya ada orang membantu aku mencukil matanya! Tapi mana hatiku bisa merasa puas sebelum ia membayar hutang langsung terhadapku?” Tangan kiri orang itu menjambak rambut dikepala Samkong dengan gerakan kasar sekali, dan tangan kanannya, dengan jari-telunjuk dan jari-tengah membentuk seperti kaitan, hendak mencukil mata Samkong yang sebelah kiri!

Meskipun sedang menderita setengah mati, namun Samkong ketika dirinya diperlakukan orang sekurangajar itu dan ketika mata sebelah kirinya melihat betapa orang itu hendak mencukilnya, tentu saja membuat ia marah sekali! Dan justeru kemarahan hatinya ini mengatasi perasaan sakit dimatanya, tiba-tiba kakinya melayang dan “Bukk!”, persis lambung orang itu kena tendangannya sehingga tubuhnya jatuh terjengkang dan meringkuk disudut kamar! Kesempatan ini dipergunakan oleh Samkong yang segera bangkit dari tempat pembaringannya dan secepat kilat ia berlari keluar kamar dan meninggalkan rumah penginapan itu! Matanya yang disengat kalajcngking itu mengeluarkan banyak darah sehingga memenuhi pipi kanannya dan mengalir kebawah sampai membasahi bajunya. Aneh sekali, setelah darah banyak keluar, dirasakan Samkong sakit pada matanya itu agak berkurang!

“Manusia pengecut! Kau hendak lari kemana?!”, suara bentakan murah ini segera disusul munculnya orang tadi yang datang mengejar dan kini ditangannya telah memegang sebilah golok terhunus!

“Siapa yang hendak lari ? Aku sengaja menantimu ditempat yang luas ini agar kita bisa leluasa bertempur mengadu nyawal”, balas Samkong sambil merenggut pecut yang dibelitkan dipinggangnya dan pecut itu lalu disabetkan keudara, maka terdengarlah bunyi seperti ledakan kecil tigakali!

Orang itu tidak segera mengirim serangan, nampaknya ia seperti ragu-ragn. “Siapakah kau maka berani menantang bertempur dengan aku Si Goloktunggal Pencabutnyawa Go Jikiu? Kau harus tahu sendiri akibatnya kalau kau berani mempermainkan Toatbeng Tanto ini. Mengerti!”

Diam-diam Samkong merasa agak terkejut mendengar nama orang itu. Ia sudah pernah mendengar bahwa Toatbeng Tanto Go Jikiu adalah seorang gembong perampok yang sangat ditakuti oleh para piauwsu! Lalu ia menjawab tak mau kalah gertak: “Aku tidak perduli sama kau Si Goloktunggal Pencabutnyawa maupun Si Golokbuntung Penyembelihbabi. Barang siapa saja yang berani berbuat keterlaluan terhadap aku Si Pecut Naga-sakti ini, pasti pecutku ini akan menghajarnya!”

Orang yang bernama Go Jikiu alias Si Goloktunggal Pencabut nyawa itu tiba-tiba ketawa bergelak. “Ha-ha-ha.   ! Tak kusangka Si

Pecut-naga-sakti yang kudengar namanya sangat tersohor itu, ternyata orangnya sangat pengecut, tidak berani menanggung risiko kalah taruhan! Kini matamu sudah buta sebelah sehingga lebih tepat kalau kau dijuluki si Naga-buta dan sungguhpun demikian, aku tetap hendak menagih janji! Aku hendak mencukil matamu yang tinggal sebiji lagi itu sebagai pelunas hutangmu, supaya kau mendapat nama julukan si Naga buta!”

Liok Samkong makin marah karena sudah duakali ia dimaki pcngecut dan. terus dihina oleh orang itu, maka tanpa banyak cingcong lagi ia segera meng ayunkan pecutnya melakukan terangan. Sambil ketawa bergelak dengan nada mengejek Go Jikiu menangkis dengan goloknya dan demikianlah dua orang disebabkan gara-gara taruhan ini segera terlibat dalam suatu pertempuran sengit! Dan kini mereka benar-benar mempertaruhkan nyawa!

Selanjutnya dengan singkat dapat diceritakan bahwa setelah bertempur sampai limapuluh jurus, ternyata Go Jikiu kalah tangguh sehingga akhirnya tubuh si Goloktunggal Pencabut nyawa ini tinggal terkapar kepayahan diatas tanah setelah hampir seluruh kulit tubuhnya pecah-pecah dihantam pecut Samkong! Liok Samkong memang tidak mengandung maksud untuk membunuh, maka setelah melihat orang itu tak berdaya ia lalu menghentikan serangannya, dan berkata:

“Hei, manusia she Go! Aka mengampuni nyawa tikusmu, kalau saja kau mau mengakhiri soal taruhan tadi sampai disini saja! Ataukah kau tetap masih nenghendaki bijimataku ini?”

Sambil merintih dan muka meringis menahan sakit, Go Jikiu bangkit dengan susah payah. Setelah dapat berdiri ia memandang dengan tajam kepada Liok Samkong, suaranya terdengar parau tatkala berata; “Pengecut she Liok! Untuk sementara aku menangguhkan mencukil biji matamu yang sebenarnya menjadi janjimu sendiri. Tapi pada lain kesempatan bersiap-siaplah engkau untuk menjadi si Naga-buta!” Setelah berkata demikian, Go Jikiu lalu mengambil goloknya yang menggeletak diatas tanah karena dirampas oleh pecut Samkong tadi, kemudian dengan tindakan, kaki terpincang-pincang dan muka terus meringis-ringis, ia berjalan pergi... ”Dan setelah lima tahun lamanya tidak bertemu,, ternyata pagi tadi kuterima surat tantangan dari Go Jikiu dan agaknya si Goloktunggal Pencabut nyawa, itu mengandalkan bantuan dari Coa- tung Tok-ong dan Tokkiam Moli! Tapi syukurlah, tiga orang musuh besar kita itu kini sudah mampus semua!” Demi kian kata Liok Samkong mengakhiri ceritanya.

“Jadi yang membuat matamu buta itu disebabkan sengatan kalajengking?”, tanya So Kimlin sambil menahan ketawanya.

Untuk menjawabnya Samkong hanya menganggukkan kepala membenarkan, sambil menghela napas.

Lalu terdengar Sanbeng berkata: “Liok sianseng. Lucu sekali pengalamanmu ini. Gara-gara taruhan kau mengingkari janji sendiri, sehingga kau lebih suka disebut pengecut daripada mesti memenuhi janji. Tapi ternyata hukum karma tidak dapat dingkari, maka kau telah kena kualat atau ketulah oleh janjimu sendiri!”

Mendengar perkataan anaknya yang sangat tepat ini, So Kimlin jadi ketawa terkekeh-kekeh. Juga Sanbeng tak dapat menahan perasaan geli dihatinya.

“Nah! Nah ! Apa yang pernah kuminta terhadap dirimu tadi? Kuminta jiwi jangan mentertawakan kisahku ini! Tapi buktinya jiwi kini mentertawakannya! Ternyata bahwa jiwipun mengingkari janji pula!” Samkong memprotesdengan ucapan meniru-niru Sanbeng. Akan tetapi ketika kedua ayah dan anak itu nasih juga terus ketawa atau lebih tepat menterawakan pengalamannya yang mungkin bagi anggapan Mereka sangat lucu dan menggelikan, Samkong tiba-Tiba berdiri sambil berkata berupa ajakan: “So sianeng! Mari kita berangkat. Kita sudah terlalu lama disini. Jangan-jangan kita sampai di kota Lokyang hari sudah malam!”

“Oh, yah....!”, So Kimlin seakan-akan baru agak ketempat tujuannya yang masih jauh itu. Orangtua inipun segera bangkit dan sambil menahan ketawanya yang belum juga habis itu ia mengajak Sanbeng: “Beng-ji, cepat kemasi tetek bengek bekas kita bersantap ini. Dan kita perlu segera berangkat!”

Anakmuda itu yang juga masih ketawa-ketawa tertahan, mentaati perintah ayahnya. Begitulah mereka bertiga segera menghampiri kereta dan ketika itu kedua ekor kuda penarik kereta tadi sedang asyik makan rumput yang tumbuh subur ditepi jalan.

Sebelum menaiki kereta, So Kimlin memungut pedang dan tongkat ular yang sudah menjadi dua potong dan tergeletak diatas tanah sebagai barang peninggalan Tokkiam Moli dan Coa-tung Tok- ong.

“Buat apa So sianseng mengambil benda kotor dan menjijikkan itu ?”, tanya Liok Samkong heran.

“Akan kubawa ke Santung, buat dijadikan bukti bahwa kita sudah berhasil menuntut balas!’’, jawab yang ditanya.

Dan ketika mereka sudah duduk diatas kereta, terdengar So Kimlin berkata kepada Samkong yang sudah siap untuk mengendalikan kuda:

“Liok hiapsu, kita tak perlu lagi pergi kekota Lokyang! Lebih baik kita kembali saja kota Sunlay dan tolong antarkan kami kembali kerumah penginapan Cialing”.

Untuk sesaat Samkong tinggal melongo heran. Kemudian katanya: “Jadi maksud kalian hendak pergi keLokyang dibatalkan? Mengapa harus dibatalkan, padahal pagi tadi kalian begitu memaksa menyewa keretaku untuk pergi kesana?”

“Buat apa mesti meneruskan perjalanan lebih jauh lagi kalau sakit hati kami sudah terbalas? Bukankah tadipun aku sudah menjelaskan bahwa perantauan yang kami laksanakan ini adalah semata-mata untuk mencari sepasang siluman itu? Sekarang maksud kami sudah tercapai, maka apa gunanya melanjutkan perantauan ?” Samkong lalu mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. Dan kemudian piauwsu ini mendengar pula So Kimlin berkata kepada Sanbeng: “Bengji, lebih baik kau buang saja buntalan- buntalan yang sekarang tiada gunanya lagi ini! Buat apa kita terus membawanya, hanya tambah memberatkan beban kedua kuda Liok hiapsu saja!”

Perkataan orangtua itu kembali membuat Samkong keheranan, dan sebelum ia sempat bertanya, Sanbeng sudah melempar- lemparkan semua buntalan-buatalan itu kepinggir hutan.

“Mengapa buntalan-buntalan itu dibuang? Bukankah itu adalah barang-barang dagangan?”, tanya Samkong kemudian.

“Liok hiapsu, agaknya kau masih belum mengerti akan siasat kami, maka baiklah kujelaskan. Bahwa untuk mendatangi hutan Siong-tiok-lim ini, kami akan dapat mendatanginya lebih mudah dan lebih cepat kalau kami mempergunakan ilmu lari cepat, daripada menunggangi keretamu yang jauh lebih berabe dan lebih lambat. Tapi kalau kami mendatangi tempat ini hanya dengan begitu saja, sungguhpun memang sangat praktis, namun untuk mencari sepasang siluman itu diantara hutan yang selebat ini, selain merupakan pekerjaan sukar, juga besar sekali bahayanya! Oleh karena adanya perhitungan ini, maka kami harus melakukan siasat dan untuk keperluan siasat inilah mengapa tadi pagi aku sangat memaksa menyewa keretamu serta sekalian minta dikawal olehmu sehingga kami ini menimbulkan prasangka buruk dihatimu! Kami menyewa dan menunggangi keretamu, sekalian membawa beberapa buah buntalan untuk menarik perhatian komplotan tikus hutan dihutan ini dan betapa hasilnya siasatku ini, kau tadi sudah saksikan sendiri! Mula-mula kawanan tikus hutan yang kecil-kecil muncul karena terpancing oleh beberapa buah buntalan yang kita bawa ini, kemudian Go Jikiu musuh besarmu itu muncul pula dan akhirnya sepasang manusia iblis musuh besar kami, tanpa kami susah payah mencarinya kedalam hutan, juga muncul! Nah, bukankah siasatku itu sangat baik dan hasilnya sangat baik pula? Inilah sebabnya mengapa tadi kukatakan bahwa berhasilnya kami menemukan dan membunuh sepasang siluman itu adalah dikarenakan berkat bantuanmu juga”.

Kepala Samkong kembali mengangguk-angguk tanda mengerti setelah mendengar penjelasan So Kimlin. Dan hatinya diam-diam memuji akan kecerdikan pendekar Santung itu dalam hal membuat siasatnya. Benar-benar siasat yang jitu, pikirnya. “Tapi, mengapa buntalan-buntalan itu harus dibuang?”, akhirnya ia bertanya pula.

So Kimlin ketawa terkekeh mendengar pertanyaan ini. “Liok hiapsu, agaknya kau merasa sayang akan buntalan-buntalan yang kau sangka berisi bahan-bahan sandang itu, bukan? Ketahuilah, buntalan-buntalan yang kujadikan benda pancingan untuk menarik perhatian para kawanan tikus hutan itu isinya tak lebih hanya kertas-kertas sampah belaka!”

Kembali Samkong jadi melongo heran. Hatinya merasa kecewa bukan main. “Jadi buntalan-buntalan itu, yang kupertahankan mati- matian ketika bara kawanan cecunguk hendak merampasnya tadi, kiranya hanya berisikan sampah-sampah belaka!”

“Tak salah. ” jawab So Kimlin sambil ketawa geli, diiringi suara

ketawa Sanbeng. Hingga Samkong yang mendengar suara ketawa mereka lalu menundukkan kepala, seakan-akan dirasanya mereka mentertawakan kebodohannya.

“Liok hiapsu, mengapa kau tinggal diam saja? Apakah kau masih belum puas menikmati tamasya alam dihutan Sisng-tiok-lim ini sehingga membuatmu tidak mau lekas-lekas melarikan kuda dan keretamu ini untuk segera pulang kembali ke Sunlay? Ataukah kau ingin terus menetap disini, jadi pengganti Toatbeng Tanto Go Jikiu. ?”

“Huss! So sianseng! Sangkaanmu sungguh keterlaluan!”, bentak Samkong sambil tersenyum kecut dan tangannya menarik tali kendali kuda sehingga kereta yang tadinya menghadap kearah kota Lokyang jadi berputar seratus-delapan puluh derajat. Kereta itu meluncur laju menuruni pundunan meninggalkan hutan Siong- tiok-lim.

Dalam perjalanan kembali ini mereka tidak banyak bicara, oleh karena So Kimlin dan anaknya yang duduk dibelakang Samkong, terus saja mengantuk sehingga kepala mereka melenggut-lenggut. Agaknya mereka terlalu lelah sehabis bertempur mengganyang musuh besar mereka tadi dan agaknya hati mereka di penuhi rasa puas, setelah dendam-kesumat yang selama ini mereka pendam didalam dada, kini sudah dilampiaskan sesuai dengan tekad dan cita-cita mereka! Demikian pula dada Samkong dipenuhi perasaan bangga oleh karena selain perhitungan dengan Go Jikiu sudah dibikin beres, juga dalam hal menumpas sepasang siluman ia merasa telah memberikan bantuan yang bukan kecil artinya bagi So Kimlin dan So Sanbeng. Peristiwa hari ini bagi Samkong benar- benar merupakan pengalaman baru yang sangat berkesan dihatinya!

Ketika mereka tiba dikota Sunlay, hari sudah petang. So Kimlin dan Sanbeng baru tersadar dari kantuknya ketika diberitahu oleh Samkong bahwa mereka sudah tiba didepan rumah penginapan Cialing, sehingga ayah dan anak itu segera meloncat turun dari kereta dan terdengar sipendekar Santung berkata kepada Samkong:

“Liok hiapsu, mari masuk dulu kedalam hotel! Sebagai salam perpisahan, karena kami pada petang ini juga hendak segera berangkat pulang ke Santung dan sebagai tanda terimakasih kami atas bantuanmu, aku hendak memberikan sekedar oleh-oleh untukmu”.

Samkong segera mengikuti ayah dan anak itu memasuki rumah penginapan dan setelah berada didalam kamar yang disewa So Kimlin, orangtua ini bekata: “Liok hiapsu, tadi sudah kujelaskan bahwa buntalan-buntalan yang kami buang dihutan Siong-tiok-lim itu semuanya berisikan kertas-kertas sampah yang tidak berharga. Dan buntalan-buntalan ini”, ia menuding kearah tumpukan buntalan disudut kamar, “baru berisikan bahan-bahan sandang yang kuperdagangkan. Maukah engkau membantu kami untuk muatkan buntalan-buntalan ini keatas keretamu?”

Yang ditanya tidak segera menjawab. Untuk sejenak hanya membisu sambil mengerutkan kening karena belum mengerti apa yang dimasudkan oleh So Kimlin dalam pertanyaannya yang terakhir itu. Maka kemudian Samkong balas menanya: “muatkan barang-barangmu ini dimuatkan keatas keretaku? Apakah So Sianseng bermaksud hendak terus menyewa keretaku pulang ke Santung?”

Orangtua itu tersenyum. “Jawaban atas pertanyaanmu akan kuberikan setelah barang-barangku semua dimuatkan keatas keretamu. Nah, Beng-ji, hayo segera angkut!”

Sanbeng segera bekerja. Buntalan-buntalan itu diangkutnya keluar kamar dan dimuatkan keatas kereta sehingga Samkong sungguhpun masih belum mengerti, ia lalu membantunya pula. Dan manakala buntalan-buntalan itu sudah dimuatkan sehingga kereta menjadi penuh, So Kimlin dan Sanbeng sambil teryenyum-senyum menghampiri Sankong yang ketika itu berdiri disisi keretanya.

“Liok Hiapsu, seperti tadi sudah kukatakan bahwa kami pada petang ini juga hendak berangkat pulang ke Santung dan sejak saat ini kami takkan menjadi pedagang keliling lagi. Dan kalau barang- barang itu kami bawa kembali ke Santung sungguh berabe, maka semuanya kuserahkan kepadamu. Bawalah ke rumahmu sebagai oleh-oleh untuk isteri dan anak-anakmu dirumah. ! Nah, selamat

berpisah!”

Samkong hanya tinggal melongo ketika melihat betapa ayah dan anak itu tiba-tiba menghilang dari penglihatannya, yang tampak hanya dua bayangan berkelebat pergi dan lenyap diantara cahaya petang yang hampir gelap!

“Hebat! Hebat ! Pendekar Santung rama-putera itu selain gagah perkasa, juga ternyata sangat terkenal sebagai seorang hartawan yang berhati dermawan dan berjiwa sosiawan.....”, demikian Samkong, setelah sadar dari bengongnya, berkata seorang diri. Kebetulan didepan rumah penginapan itu tiada orang lain dan kalau misalkan ada dan melihat betapa Samkong berkata seorang diri seperti itu, pasti akan menyangka bahwa piauwsu yang berjuluk Si Naga-buta ini, berotak miring!

Akhirnya Samkong menaiki keretanya dan merenggut tali kendali kudanya, sehingga sekejap kemudian ia telah meninggalkan rumah penginapan Cialing dan langsung pulang kerumahnya.

Ia sangat berterima kasih sekali terhadap So Kimlin dan Sanbeng, yang telah memberi oleh-oleh berupa bahan sandang sampai sekereta penuh! Ia sudah dapat membayangkan betapa isterinya dirumah nanti akan menyambut kedatangannya ini dengan penuh gembira. Dan ia akan berkata kepada isterinya itu, bahwa firasat buruk yang dibekalnya ketika ia berangkat pagi tadi, firasat buruk sebagai pertanda bahwa ia akan bertemu dengan kesialan, ternyata tidak dapat dipercaya samasekali! Buktinya, kini ia kembali dalam keadaan segar-bugar dan selain pengalaman hari ini membuat rongga dadanya penuh sesak dengan perasaan bangga, juga ia pulang membawa rejeki nomplok!

Liok Samkong duduk diatas kereta sambil mengendali kuda dan membusungkan dada. Perasaan hatinya bagaikan seorang pahlawan yang baru pulang dari medan-perang dengan membawa kemenangan, serta menggondol pula hadiah besar sebagai pahala atas jasa-jasanya dari kewajiban yang telah ia tunaikan!

T A M A T
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar