Bab 12. Tayhong-tong yang Tenggelam
Tio Bu-ki telah mengambil keputusan. Dia akan mencari Sugong Siau-hong untuk merundingkan persiapan serangan balik dengan tujuan merebut kembali markas besar mereka yang sudah jatuh ke tangan lawan.
Dia pun mengambil keputusan, tiap hari harus menempuh perjalanan berbekal tenaga yang paling segar dan pikiran yang paling jernih. Perjalanan kali ini harus melewati banyak sekali wilayah di bawah pengaruh Benteng Keluarga Tong, wilayah yang sebelumnya milik Tayhong-tong.
Ia tidak tahu perubahan yang telah terjadi di bekas wilayah kekuasaannya itu, ia tidak ingin terjebak karena kurang waspada. Semua pergerakannya harus dilakukan dengan sangat berhati-hati.
Untung saja perjalanan yang ditempuhnya dengan susah payah beberapa hari terakhir ini membuat janggutnya tumbuh lebat dan liar. Tampangnya menjadi agak berubah, tidak gampang bagi orang lain untuk mengenalinya lagi sebagai Tio Bu-ki.
Kota kecil itu mempunyai nama yang enak didengar, Gin-sin, karena dulu di tengah-tengah kota itu tumbuh sebatang pohon yang amat besar.
Ketika masuk kota itu Tio Bu-ki mulai berpikir, kota ini hanya berjarak dua puluh li dari markas besar Tayhong-po, dulu termasuk wilayah kekuasaannya. Tapi sekarang? Bu-ki tidak tahu, tapi bila dilihat suasananya yang begitu tenang, sepertinya tak pernah terjadi perubahan apa pun di situ.
Sinar matahari tengah hari terasa begitu terik, sedikit sekali orang yang berlalu lalang, mungkin kebanyakan sedang bersantap siang di rumah masing-masing. Seumumnya suasana kota terasa tenang dan damai.
Tio Bu-ki menuju sebuah warung penjual mie dan seorang pelayan segera menyambut kedatangannya sambil menyapa, “Silahkan masuk tuan!”
Setelah duduk, pelayan menghidangkan sepoci air teh sambil bertanya lagi, “Tuan ingin memesan hidangan apa?”
“Terserah,” jawab Bu-ki sambil menghirup air teh. “Terserah yang besar, atau terserah yang kecil?”
Bu-ki tertegun sambil duduk seperti orang tolol. Sepanjang hidup baru pertama kali ini ia mendengar orang bertanya seperti itu. Ditatapnya pelayan itu sebentar, kemudian bertanya, “Apa maksudmu dengan terserah besar dan terserah kecil?”
“Terserah besar berarti akan kusediakan satu mangkuk mie babi kecap, kalau terserah kecil akan kusediakan semangkuk bubur sambal tahu...”
“Sejak kapan kalian menjual bubur sambal tahu?” “Baru kemarin mulai menjualnya.”
“Kemarin?” “Benar, biasanya kami tidak sedia hidangan semacam itu, tapi sejak kemarin banyak tamu yang datang minta bubur sambal tahu, jadi mau tak mau kami harus menyediakan hidangan istimewa itu.”
“Dengan mendadakan begitu, apa kalian bisa membuatnya?” “Tidak bisa. Tapi ada orang yang datang membantu kami.” “Orang-orang Benteng Keluarga Tong?”
“Tuan, dari mana kau bisa tahu? Benar, orang-orang Benteng Keluarga Tong memang pandai sekali mencari duit!”
Mendengar jawaban itu, diam-diam si anak muda mengeluh. Dia tahu rumah makan ini dulu di bawah kekuasaan Tayhong-tong, tapi sekarang? Tampaknya dengan ringan saja mereka rela bekerja untuk pihak musuh.
Dia ingin sekali menggunakan kesempatan ini untuk mengumpulkan berita, namun untuk sesaat dia tidak tahu harus mulai dari mana. Melihat tamunya bungkam, kembali pelayan itu menegur, “Tuan, bagaimana kalau kau coba semangkuk dulu?”
“Baiklah!”
Tak lama kemudian pelayan itu muncul lagi dengan membawa semangkuk bubur, lalu ia menyingkir ke samping menyaksikan tamunya dahar.
Baru dua tiga suapan, kembali pelayan itu bertanya, “Bagaimana? Enak bukan?”
“Ehm!”
“Tuan suka?” kembali pelayan itu bertanya.
Untuk sesaat Bu-ki tidak menjawab, sebab dari balik pertanyaan itu ia menangkap sesuatu yang tidak beres. Setelah berpikir sejenak ia balik tanyanya, “Bagaimana menurutmu?”
“Aku amat suka, dan kau?”
“Kurasa hidangan ini memang enak, tapi aku tidak suka.” “Kenapa?”
“Sebab aku tidak terbiasa makan hidangan yang pedas.” “Tidak biasa?” mendadak pelayan itu menarik wajahnya,
“Tidak biasa pun harus dibiasakan!”
Selesai bicara, tiba-tiba dia menggerakkan tangannya mencengkeram dada lawan.
Untung Tio Bu-ki sudah membuat persiapan sejak tadi, dari perubahan matanya yang aneh dia sudah tahu kalau gelagat tidak beres. Oleh karena itu sejak awal sudak mempersiapkan diri sebaik- baiknya.
Begitu melihat wajahnya berubah menjadi gelap, dia segera menghimpun tenaga dalamnya sambil bersedia menghadapi segala kemungkinan.
Melihat serangan lawan datang menyambar, Bu-ki segera menjejakkan sepasang kakinya untuk melompat mundur dua langkah, kemudian sambil menyilangkan tangan kanannya dia siap melancarkan serangan balasan.
“Kenapa kau membokongku?” tegurnya.
“Karena kau bukan anggota Benteng Keluarga Tong!” “Dari mana kau bisa tahu?”
“Dari mana bisa tahu? Hm, siapa pun tahu, tak ada anggota Benteng Keluarga Tong yang makan bubur pedas selambat caramu bersantap!”
“Sekalipun aku bukan anggota Benteng Keluarga Tong, tidak seharusnya kau membunuhku!”
“Tetap harus dibunuh!” “Kenapa?”
“Penguasa kota berpesan agar kami membasmi semua sisa kekuatan lama yang masih ada. Dulu tempat ini termasuk wilayah kekuasaan Tayhong-tong.”
Kembali Tio Bu-ki merasakan hatinya amat sakit, menurut penuturan pelayan itu, nampaknya sebagian besar anggota Tayhong-tong telah mati dibantai bahkan kemungkinan besar seluruh penghuni kota sudah habis dimusnahkan. Sungguh sebuah tindakan yang amat keji!
“Jadi kalian telah membunuh seluruh penghuni kota?” tak tahan lagi dia bertanya.
“Asal bersedia takluk tentu saja tidak, tapi kalau berani membangkang, bantai!”
“Hm, sungguh keji perbuatan Benteng Keluarga Tong, apakah Tong Ou yang suruh kalian melakukannya?”
“Tong Ou? Tak nanti Tong Ou menitahkan kami untuk melakukan perbuatan ini, dia kelewat baik hatinya!”
“Lalu atas perintah siapa?”
“Tentu saja orang yang jauh lebih berkuasa daripada Tong Ou! Kalau tidak, mana mungkin kami berani menyebut nama Tong Ou secara terbuka?” Bayangan seorang nenek yang angkuh segera terlintas dalam benak Tio Bu-ki, serunya tanpa terasa, “Berarti Lo-cocong yang suruh?”
“Kau juga tahu tentang nenek moyang?” tanya pelayan itu kaget. “Bukan cuma tahu, bahkan pernah bertemu!”
“Oh... jadi kau anggota Benteng Keluarga Tong?” “Bukan, aku anggota Tayhong-tong!”
Begitu perkataan itu berkumandang, Tio Bu-ki telah mengayunkan telapak tangannya melancarkan sebuah pukulan kuat ke depan, berbarengan dengan itu tubuhnya melejit ke udara dan menerjang maju.
“Plak!” hantaman itu bersarang telak di dada si pelayan.
Tak ampun orang itu memuntahkan darah segar, dengan mata terbelalak lebar dia mengawasi pemuda itu dengan ketakutan.
Setelah mendengus dingin, kembali Tio Bu-ki berkata, “Kau bisa membokong aku, tentu saja aku pun bisa melakukan hal yang sama, bahkan baru pertama kali ini kubokong orang lain. Aku benar- benar tidak tahan melihat ulah kalian, kau anggap nama Tong Ou boleh disebut seenaknya?”
Pelayan itu hanya bisa terbelalak dengan mulut melongo, tak sepatah suara pun yang bisa diucapkan, sebentar kemudian tubuhnya roboh terjungkal ke lantai.
Bersamaan dengan robohnya tubuh pelayan itu, Tio Bu-ki segera membungkukkan badannya untuk menyusup ke bawah kolong meja.
Saat itu terdengar suara desingan angin tajam bergema dari arah delapan penjuru, berpuluh-puluh batang senjata rahasia berhamburan tiba. Begitu cepat serangan itu menyambar tiba, sehingga sebagian dari senjata rahasia itu menghajar tubuh pelayan tadi.
Tio Bu-ki yang bersembunyi di kolong meja tidak tinggal diam, dia mengangkat sepasang kaki meja itu, kemudian diobat- abitkan ke kiri dan kanan. Rupanya serangan senjata rahasia gelombang kedua kembali mengarah tubuhnya.
“Tring, trang, tring, trang!” seluruh senjata rahasia itu menghajar permukaan meja.
Di saat memutar meja untuk melindungi dirinya, sekilas Tio Bu-ki dapat melihat kalau ada sekitar delapan orang berdiri di sekitar dirinya. Dengan sekuat tenaga dia melemparkan meja itu ke arah salah satu di antara kawanan jago itu, kemudian dia menerjang ke arah yang berlawanan. Sementara tubuhnya masih melayang di udara, pedangnya sudah diloloskan dari sarung.
Tanpa membuang waktu lagi, pedangnya diayun berulang- ulang, “Sreet, sreeet!” dua bacokan kilat membuat pakaian dua orang pengepungnya robek panjang.
Menyusul kemudian ia menerjang ke sisi kalangan, lagi-lagi dua bacokan yang dilontarkannya memaksa dua orang pengepungnya yang lain mundur ketakutan. Sungguh cepat semua gerak serangan yang dia jalankan. Ketika dia selesai membereskan keempat orang lawannya, meja yang dilempar ke depan tadi baru saja menghantam tubuh lawannya!
Dengan gerakan secepat kilat pemuda ini berbalik menerjang ke arah meja itu meluncur. Sekali lagi pedangnya bergerak cepat menusuk dada orang yang berada di samping meja. Sisanya yang dua orang jadi ketakutan setengah mati setelah melihat kejadian ini. Sadar kalau gelagat tidak menguntungkan, buru-buru mereka balik badan lari terbirit-birit.
Saat itu hawa amarah dan rasa dendam yang menyelimuti hati Tio Bu-ki sudah mencapai puncaknya. Tentu saja dia tak ingin membiarkan musuhnya kabur dengan begitu saja.
Sambil menjejakkan kaki kanannya ke tanah, bagaikan seekor burung rajawali raksasa dia menyambar ke depan, pedangnya menusuk berulang kali, tahu-tahu punggung kedua orang musuhnya yang sedang kabur itu sudah tersambar telak.
“Blaaam, blaaam!” diiringi dua kali benturan keras, kedua orang itu roboh terkapar bermandikan darah.
Robohnya kedua orang musuh tidak membuat amarah pemuda ini mereda, justru sebaliknya rasa benci dan dendamnya semakin memuncak.
Ia menilai tindakan dan perbuatan orang-orang Benteng Keluarga Tong sudak melewati batas, dia merasa sangat tersinggung dan tidak bisa menerima perlakuan mereka. Khususnya tindakan keji yang mereka lakukan terhadap para pengikut setia Tayhong-tong.
Semakin diingat semakin makan kati, tiba-tiba pemuda itu berjalan menuju ke samping sebuah tiang penyangga rumah. Sambil menghimpun tenaga dalam dihajarnya tiang penyangga itu, sesudah itu ia menghampiri lagi ketiga tiang penyangga lainnya masing- masing dihajarnya sepenuh tenaga. Ketika tiang terakhir sudah dihajar hingga patah, ia baru beranjak keluar dari rumah makan itu.
Baru saja tiba di tepi jalan, rumah makan itu sudah ambruk ke tanah, suara gemuruh yang ditimbulkan memancing kedatangan orang banyak ke sana.
Tio Bu-ki menunggu sampai suara gemuruh itu mereda baru kemudian berseru di hadapan mereka, “Apakah kalian anggota Benteng Keluarga Tong?”
Tak seorang pun menyahut, banyak di antaranya bahkan buru-buru mundur dengan wajah ketakutan, tampaknya bersiap untuk melarikan diri.
Menyaksikan hal ini, Bu-ki segera melintangkan pedangnya sambil menghardik, “Siapa berani kabur dari sini?”
Seketika semua orang menghentikan langkahnya dan tak berani berkutik.
“Aku Tio Bu-ki dari Tayhong-tong! Aku tidak senang ada yang berani menghina dan memandang rendah Tayhong-tong! Huh, suatu ketika nanti, nasib Benteng Keluarga Tong akan sama dengan nasib bangunan itu!”
Ia menuding rumah makan yang sudah roboh berantakan itu. Suasana di sekeliling tempat itu sekali lagi dicekam keheningan yang luar biasa, tak ada seorang manusia pun berani berbicara apalagi bercakap keras-keras.
Malahan ada di antaranya yang menundukkan kepala rendah-rendah, ada pula yang menunjukkan harapan agar Tio Bu-ki melanjutkan perbuatannya lebih jauh. Tapi ada juga yang menampilkan wajah sinis dan menghina, seolah sedang berkata, “Tayhong-tong dengan anggota yang begitu banyak pun sudah dibikin keok oleh Benteng Keluarga Tong, hanya mengandalkan kau Tio Bu-ki seorang, apa yang bisa kau perbuat?”
Ketika amarah mulai mereda, Tio Bu-ki juga mulai berpikir dengan kepala dingin. Menyaksikan berbagai wajah yang diperlihatkan orang-orang itu, mendadak perasaan sedih dan kecewa muncul dari dasar hatinya.
Bicara sejujurnya, kawanan manusia itu hanya kaum saudagar, orang yang mencari duit dengan mengandalkan terjaminnya keamanan. Kalau mereka lalu lebih condong pada kekuatan yang berkuasa, ini kejadian yang lumrah, sebab jika keamanan tidak terjamin, siapa yang berani berdagang? Selain itu saat ini dia hanya seorang diri, dengan kekuatan begini kecil, apa yang bisa dia perbuat? Bisa saja dia mengusir
orang-orang Benteng Keluarga Tong yang ada saat ini, tapi apa yang akan terjadi setelah ia meninggalkan kota itu? Lalu apa yang bisa dia perbuat jika pihak Benteng Keluarga Tong mengirim bala bantuan?
Untuk mewujudkan cita-cita dibutuhkan kekuatan nyata, tidak ada kecuali untuk itu. Dalam keadaan seperti ini satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah secepatnya bertemu Sugong Siau- hong, menyusun strategi, menghimpun kembali kekuatan baru kemudian merebut kembali satu per satu wilayah itu dari tangan Benteng Keluarga Tong.
Begitu sadar akan kecerobohannya, sambil tertawa getir pemuda itu berkata lagi, “Kalian tak usah kuatir, Tayhong-tong pasti akan bangkit kembali dan membebaskan wilayah ini dari penjajahan, aku berharap kalian bisa menjaga diri baik-baik!”
Selesai bicara dia menyimpan kembali pedangnya dan perlahan-lahan beranjak pergi dari situ.
Berjalan hingga menjelang senja, tibalah anak muda itu di sebuah kota kecil lain, dia tak taku nama kota itu karena tiada ciri khas di kota tersebut, juga tak ditemukan papan petunjuk. Dia hanya mengetahui satu hal, satu persoalan yang tak ingin dia selidiki bagaimana akibatnya.
Kota ini terlihat cukup besar, mungkin lebih dari duaratus orang penduduknya, namun sekilas pandang suasana terasa lengang dan sepi. Biasanya senja merupakan saat yang pakng ramai orang berlalu lalang. Tapi kini? Kota itu sepi dicekam ketakutan.
Ia mencoba menyusuri jalan di tengah kota, semua pintu tertutup rapat. Ia mencoba menelusuri lebih jauh sampai akhirnya menemukan satu bangunan rumah yang retak hampir roboh.
Padahal bangunan yang tampak hampir roboh itu masih kelihatan baru, kayu-kayunya kuat dan kokoh, tidak seharusnya dengan bahan yang begitu kokoh bisa roboh.
Tapi apa yang terjadi? Kenapa bangunan rumah itu seakan hendak roboh?
Ia menghampiri bangunan itu dan segera menemukan bahwa retaknya bangunan itu akibat ulah manusia. Ada seseorang yang sengaja merobohkan rumah itu.
Dalam bangunan tak ada lentera dan tentu saja tidak ada penghuninya. Dia tak ingin mengamati lebih jauh, maka kembali ia mengikuti jalan yang berbelok ke kanan lalu belok lagi ke kiri sampai di depan sebuah warung di tepi jalan.
Warung itu menjual bakmi, sebuah lentera kecil tergantung di sisi warung, seorang kakek duduk di belakang tungku, tak nampak ada tamu yang bersantap.
Ketika melihat kemunculan Tio Bu-ki, dengan ramah kakek itu segera menyapa. Tio Bu-ki mengambil tempat duduk dan memesan semangkuk bakmi daging sapi. Bakmi itu sangat pedas namun sedap rasanya, sangat berbeda dengan bubur tahu pedas yang ia makan siang tadi.
“Bakmi daging sapi yang kau jual ini dulu tentu tidak pedas bukan?” tak tahan tanya anak muda itu.
“Tuan pernah makan di sini?” tanya kakek itu sambil duduk di sisi pemuda itu.
“Tidak pernah, baru pertama kali ini aku datang kemari.” “Oh, hebat sekali, baru dicicipi segera sudah tahu!” “Warungmu nampak sudah lama, tandanya kau sudah lama
sekali berjualan di sini, tapi rasa pedasmu tidak harum, jika kau tetap masak dengan bumbu seperti ini, aku yakin tak sampai tiga bulan kau harus menutup usahamu!”
“Ucapan tuan memang tepat sekali, tapi, haaai...” kakek itu menghela napas panjang dan tidak melanjutkan kata-katanya.
“Apa kesulitanmu, kenapa tak kau teruskan?”
“Sebetulnya bukan suatu rahasia yang tak boleh diungkap, kalau memang kau datang dari luar daerah, biarlah kuceritakan padamu.”
Bu-ki segera meletakkan sumpitnya dan mendengarkan cerita kakek itu dengan seksama.
“Begini ceritanya,” kata kakek itu kemudian, “Dulu kota ini adalah wilayah kekuasaan Tayhong-tong, selama itu semuanya aman dan tenteram, dagangan ramai dan gampang cari duit. Tapi sejak beberapa hari yang lalu, Tayhong-tong dikalahkan Benteng Keluarga Tong sehingga daerah ini jatuh ke tangan mereka. Sejak itulah usahaku menjadi sepi, susah cari duit dan hidup pun jadi tidak tenteram.”
Setelah berhenti sejenak untuk menarik napas, kakek itu melanjutkan, “Kau lihat bangunan rumah di ujung jalan sana?” Tio Bu-ki mengangguk. “Dengan terang-terangan mereka menentang dan melawan Benteng Keluarga Tong, akibatnya rumah mereka dijebol orang, sementara penghuninya ditangkap semua. Akibat peristiwa ini, banyak orang yang pura-pura tunduk pada Benteng Keluarga Tong, tapi ada juga sebagian yang lain melarikan diri dari sini.”
Selesai mendengar penuturan itu, Tio Bu-ki semakin yakin kalau dugaannya tidak salah, segala sesuatu terjadi karena kekuatan Tay-kong-tong semakin mundur sementara pengaruh Benteng Keluarga Tong semakin berjaya.
“Masa orang-orang Benteng Keluarga Tong begitu galak?” tanya pemudaku.
“Malah ada yang lebih galak lagi!” “Ook, apa yang terjadi?”
“Di ujung jalan sana ada seorang kakek penjual kelontong, dia she Thio dan mempunyai seorang anak gadis, tahun ini baru berusia tujuh belas tahun, wajahnya cantik dan menawan. Sudah banyak anak muda yang berminat dan mengajukan lamaran, tapi semuanya ditolak bapaknya.”
“Kenapa?”
“Menurut kakek Thio, putrinya sejak kecil sudah dijodohkan dengan putra seorang Tongcu Tayhong-tong, namanya...”
Kakek itu berpikir sejenak sambil menggaruk-garuk kepalanya, sesaat kemudian baru berseru, “Ah, betul, dia bernama Li Hong-hui!”
“Li Hong-hui?”
“Tuan kenal dengannya?”
“Tidak, tapi pernah mendengar nama itu!”
Padahal Bu-ki kenal Li Hong-hui, hanya saja dia tak ingin mengungkap dirinya. Kembali tanyanya, “Bagaimana selanjutnya?”
“Kemudian semua orang mengurungkan niatnya untuk meminang. Tapi belakangan, setelah orang-orang Benteng Keluarga Tong muncul di sini, satu di antara mereka, konon seorang Tancu yang bernama Si Po-yong tertarik pada gadis itu, dia memaksa hendak meminangnya.”
“Lalu apa yang dilakukan kakek Thio?”
“Apa lagi? Dia bisa berbuat apa? Aaai...” dia menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya berulang-ulang.
Tio Bu-ki tidak bertanya lebih lanjut, sebab dia tahu di kala seseorang sedang bersedih, lebih baik jangan mengusik atau mengganggunya, beri kesempatan lebik dulu kepadanya untuk melampiaskan kesedihannya.
Setelah menghela napas panjang, kakek penjual mie itu meneruskan, “Besok pagi, Si Po-yong akan datang memboyong pergi gadis itu!”
“Kenapa keluarga Thio tidak berusaha untuk melarikan diri?” “Melarikan diri? Bagaimana mungkin?”
“Kaki toh tumbuh di badan mereka, apa susahnya kabur dari
sini?”
“Kalau ada delapan orang lelaki bengis yang siang malam
menjaga di depan dan belakang pintu rumah mereka, bagaimana caranya untuk kabur?”
Tio Bu-ki tidak bicara lagi sebab dia cukup paham dengan keadaan di lingkungan itu.
“Padahal pengaruh Tayhong-tong sudah runtuh dan lenyap, apa salahnya kakek Thio menjodohkan putrinya dengan penguasa baru? Bukankah kejadian ini malah menguntungkannya?”
“Ucapan tuan benar, tapi tiap orang punya pendapat yang berbeda-beda, ada sementara orang berjiwa tempe dan berpikiran bunglon, tapi ada pula yang berjiwa ksatria, setia dengan Tayhong- tong dan tidak mau takluk pada orang lain!”
Mendengar sampai di situ, diam-diam Tio Bu-ki mengambil keputusan akan membantu keluarga Tkio. Dia lalu bertanya letak rumah keluargaku.
Selesai membayar, dia berangkat menuju ke arah yang ditunjuk.
Waktu itu kegelapan malam sudah menyelimuti seluruh kota kecil itu. Lentera yang menerangi warung itu sangat redup, membuat Bu-ki susah untuk melihat perubahan wajah kakek penjual mie itu.
Seraut wajah yang menyeramkan, wajah pembunuh yang membuat bulu kuduk berdiri!
Ooo)))(((ooo
Tio Bu-ki berjalan lambat-lambat, dandanannya tetap sama seperti penampilannya tadi, menggantungkan pedangnya di belakang baku. Kini cahaya lampu telah menyinari seluruh jalan, walaupun tidak terlalu ramai namun sudah menyerupai keramaian di sebuah kota kecil. Tengah berjalan, mendadak ia berubah pikiran, ia memutuskan untuk menunda dulu kunjungannya ke kakek Thio. Ia ingin mencari tempat untuk beristirahat dulu.
Keputusan ini menjadi keputusan yang mematikan.
Keputusan yang jauh lebih menakutkan ketimbang senyuman si kakek penjual mie yang menakutkan tadi. Keputusan ini telah memberi waktu yang cukup bagi kakek penjual mie itu untuk menjalankan rencana busuknya yang mengerikan dan mematikan.
Ooo)))(((ooo
Pembaringan kayu keras dan dingin, sama sekali tidak nyaman untuk ditiduri. Tapi Tio Bu-ki justru suka tidur di pembaringan semacam ini, karena pembaringan kayu membuat pinggangnya lebih lurus, keadaan yang dibutuhkan seorang pesilat.
Berbaring di pembaringan kayu itu, pikirannya melayang kembali ke suasana dalam gedung keluarga Tio di Tayhong-tong. Terbayang kembali pembaringan kayu yang biasa ditidurinya hampir belasan tahun.
Membayangkan pembaringan kayu, tentu saja dia lalu teringat pembaringan yang lain, sebuah pembaringan baru, pembaringan yang nyaman dan merangsang.
Ranjang pengantin!
Ranjang pengantinnya bersama Wi Hong-nio. Karena terdorong rasa ingin tahu, dia pernah pergi menengoknya. Sayang tak ada kesempatan untuk menggunakannya, walau hanya semalam!
Bila dalam dunia persilatan tak ada perkumpulan yang bernama Benteng Keluarga Tong, ayaknya tak akan mengorbankan jiwa dengan percuma. Upacara perkawinannya pasti akan berlangsung meriah dan malam harinya dia pasti akan menikmati empuknya ranjang pengantin!
Ya, andaikata dalam dunia persilatan tak ada perkumpulan yang bernama Benteng Keluarga Tong!
Ia tak menghela napas, karena tiba-tiba ia berpikir, mungkin saja orang-orang dari Benteng Keluarga Tong juga ada yang sedang berpikir, andaikata dalam dunia persilatan tidak ada perkumpulan yang bernama Tayhong-tong...
Jadi pada dasarnya masalah bukanlak ada atau tidaknya Benteng Keluarga Tong. Mungkin saja Keluarga Tong tidak ada, namun tidak menutup kemungkinan akan muncul Benteng Keluarga Tan atau Benteng Keluarga Li.
Jadi pokok persoalan adalah kekuatan dan daya pengaruh. Dia harus memperbesar pengaruh dan kekuatan yang dimilikinya, dengan begitu semua persoalan baru bisa diatasi.
Itu sebabnya ia memutuskan untuk pergi menolong kakek Thio dan putrinya, ia ingin tetap menanamkan pengaruh Tayhong- tong di tempat itu, bahkan ingin semua orang taku bahwa Tayhong- tong tidak selemah seperti yang dibayangkan orang!
Ia berencana pada kentongan pertama nanti, dengan pura- pura sebagai keluarga kakek Thio, ia akan menyusup masuk ke dalam rumah. Kemudian bersama kakek Thio menghabisi para penjaga dan membawanya kabur, dia ingin mengajak keluarga itu untuk mengungsi ke tempat Sugong Siau-hong, baru kemudian mencari Li Hong-hui agar bisa menikahi kekasihnya.
Bagaimanapun juga dia harus berusaha sekuat mungkin, sebab tidak gampang menemukan orang yang begitu setia terkadap Tayhong-tong!
Kentongan pertama.
Setelah mempersiapkan diri, dengan penuh semangat Tio Bu-ki berangkat menuju ke rumah kakek Thio. Dari jauk ia sudah melihat dua lentera gantung di depan pintu rumah, lentera berwarna merah yang memancarkan cahaya terang.
Betul juga, di depan rumah tampak ada dua orang lelaki kekar bersenjata golok sedang melakukan penjagaan.
Ketika ia berjalan mendekat, salak seorang dari dua lelaki itu segera menghadang jalannya seraya menegur dengan suara garang, “Mau cari siapa?”
“Tuan rumah,” sahut pemuda itu sambil menuding ke dalam gedung. “Mau apa mencarinya?”
“Memberi ucapan selamat, katanya besok putrinya akan menikah. Aku keluarga jauhnya yang datang untuk memberi selamat.” Dengan sorot mata tajam lelaki itu mengamati Tio Bu-ki beberapa saat, baru katanya, “Masuk!”
Pintu dalam keadaan terbuka. Tio Bu-ki segera mengetuk pintu gerbang kuat-kuat, tiga kali ketukan keras ditambak dua kali ketukan perlahan.
Itulak ketukan rahasia Tayhong-tong, tanda bahwa yang datang satu aliran dengan mereka. Pintu segera dibuka. Seorang lelaki setengah umur yang berperawakan tinggi besar melongokkan kepalanya memperhatikan pemuda itu sekejap.
Lelaki itu mengenakan topi dari kulit yang dipasang amat rendah sampai menutup hampir seluruh telinganya, menutupi juga keningnya yang menonjol tinggi.
Setelah mengamati Bu-ki beberapa saat, lelaki setengah umur itu baru bertanya, “Kau...”
“Aku datang mencari kakek Thio!” “Kakek Thio?”
“Benar!”
“Aku she Thio, tapi bukan kakek Thio.”
“Apakah kau punya anak perempuan yang akan dinikahkan besok?” “Benar!”
“Kalau begitu kaulah yang sedang kucari, sebab ada orang memanggilmu kakek Thio maka aku...”
“Tahun ini aku berusia limapulub tahun, mungkin lantaran belajar silat maka tampangku nampak jauh lebih muda!” orang itu berkata sambil tertawa, “Ayoh silahkan masuk!”
Dia mengajak Bu-ki melewati kalaman depan yang luas dan masuk ke ruang tengah. Suasana di situ amat sepi, tak nampak sesosok bayangan manusia pun.
“Kenapa tak nampak satu orang pun?” tanya Bu-ki kemudian.
“Sudah pada kabur!” “Kenapa?”
“Pada takut mati!”
Bu-ki tidak bicara lagi. Siapa sih yang tidak takut mati?
Takut mati memang kelemahan orang, apalagi menghadapi keadaan seperti ini, kabur karena takut adalah sebuah urusan yang biasa. Mendadak satu ingatan melintas dalam benaknya, dengan keheranan kembali ia bertanya, “Apakah penjaga di luar mengijinkan mereka untuk pergi?”
Kakek Thio sedikit melengak, tapi cepat-cepat sahutnya, “Tentu saja!”
“Kenapa kau tidak menyamar jadi pelayan untuk kabur juga dari sini?”
“Mungkinkah bagiku?” kakek Thio tertawa getir, sambil menuding perawakan tubuhnya, “Aku tinggi besar, siapa saja bisa mengenalku dalam sekilas pandang, apa mungkin aku bisa kabur?”
“Berarti kau membiarkan putrimu dikawin orang?” “Mau apa lagi? Mau melawan juga tak mungkin bisa
mengalahkan mereka!”
“Bertarung saja belum, bagaimana kau bisa tahu kalau tidak sanggup mengalahkan mereka?”
Sekali lagi kakek Thio melengak, “Apa perlu kita melakukan perlawanan?”
“Tentu saja!” “Kenapa?”
“Sewaktu masuk, aku sempat memperhatikan dua penjaga di luar itu, kelihatannya kungfu mereka tak seberapa tinggi.”
“Sungguk?” tak nampak rasa girang di wajah orang itu.
Sayang Bu-ki tidak memperhatikan perubahan itu, kembali ia bertanya, “Mana putrimu?”
“Di dalam kamar.”
“Suruh dia kemari, akan kuajak kalian pergi meninggalkan tempat ini.”
“Kau? Siapa kau?” “Aku Tio Bu-ki.” “Kau Tio Bu-ki?”
“Kenapa? Tidak mirip?”
“Oh tidak, tidak, aku terlalu gembira,” sahut kakek Thio itu lagi. Meskipun dia mengatakan gembira namun paras mukanya sama sekali tidak memperlihatkan perasaan gembira.
Berbicara sampai di situ, kakek Thio lalu masuk ke ruangan dalam. Sambil berjalan, katanya lagi, “Aku akan segera memanggil putriku!”
“Tunggu dulu!” cegah Bu-ki.
Kakek Thio menghentikan langkahnya dan berpaling. “Lebik baik sekalian berbenah, kita segera pergi meninggalkan tempat ini.”
Kakek Thio manggut dan berjalan masuk.
Tak lama kemudian kakek Thio sudah muncul bersama seorang gadis, di tangan mereka tampak bungkusan kain. Sepertinya itulak bekal yang akan mereka bawa. Bu-ki tampak agak kaget, dia tak menyangka secepat itu mereka berdua telah muncul kembak.
Seolah-olah buntalan itu sudah mereka persiapkan dari tadi.
Gadis itu berusia kira-kira tujuk atau delapanbelas takun, wajahnya cantik tapi kelihatan jauk lebih matang dan dewasa dari usianya. Ini sekali lagi membuat anak muda itu keren.
“Cepat panggil Tio kongcu!” kata kakek Thio sambil menepuk bahu gadis.
“Tio kongcu!” seru si nona dengan suara yang merdu, sementara sepasang matanya yang besar menatap wajak anak muda itu tanpa berkedip, membuat Bu-ki menjadi risih sendiri.
“Mari kita segera berangkat!” ajaknya kemudian.
“Baik,” sahut kakek Tkio sambil menarik putrinya mengikut di belakang pemuda itu.
Baru saja Bu-ki membuka pintu, dua orang lelaki bergolok itu sudah menghadang jalan perginya. Tanpa bicara lagi pemuda itu melolos pedangnya dan beruntun melancarkan tiga buah serangan.
Belum sempat kedua orang lelaki itu menggerakkan goloknya untuk menangkis, tahu-tahu dada mereka sudah terbabat hingga robek tiga buah garis panjang. Kedua lelaki itu menunduk, memeriksa dada mereka. Melihat pakaian mereka terbabat robek, mereka berdua lalu saling bertukar pandang. Sekejap kemudian keduanya lari terbirit-birit.
Suara tepuk tangan bergema dari belakang tubuhnya, ternyata gadis itu bertepuk tangan sambil bersorak memuji.
“Tenang amat gadis ini,” pikir Bu-ki. Dia tidak curiga mengapa gadis yang lemah lembut bisa bersikap begitu tenang menyaksikan suatu pertarungan.
Setelah menyarungkan kembali pedangnya, ia berpaling kepada kakek Thio berdua seraya serunya, “Ayo segera berangkat!”
Gadis itu tersenyum manis, sambil menyusul ke samping Bu- ki, pujinya, “Hebat betul ilmu silatmu, aku ingin jalan bersamamu!” Sambil bicara ia sudah menggenggam tangan pemuda itu erat-erat. Jari tangannya terasa lembut dan halus, Bu-ki dapat merasakan kehangatan yang terpancar keluar dari tangan itu. Ini membuatnya sangat tak leluasa dan ingin melepaskannya. Sayang apa yang dipikirkannya sudah terlambat.
Jari-jari tangan yang semula halus dan lembut itu tiba-tiba berubah menjadi kaku dan keras bagaikan baja. Bukan hanya itu, kelima jari tangannya segera mencengkeram tangan pemuda itu dan menekan jalan darah di pergelangannya.
Tanpa ampun separuh badan Bu-ki sebelah kanan lemas seketika, seluruh kekuatannya hilang lenyap tak berbekas.
Dengan kaget bercampur heran ia berpaling. Sambil tertawa gadis itu berseru, “Kau sudah masuk perangkap!”
Buru-buru anak muda itu mengebaskan tangannya berusaha melepaskan diri dari cengkeraman, sayang langkah ini pun sudah terlambat.
Ketika ia menggerakkan badannya hendak meronta, kakek Thio yang ada di sampingnya turun tangan. Tangan kanannya secepat kilat menangkap bahu Bu-ki dan mencengkeramnya kuat- kuat.
Sungguh dahsyat cengkeraman itu. Bagai dijepit sebuah cakar baja, bahunya sama sekali tak mampu bergerak lagi, membuat separuh badan Bu-ki yang sebelah kiri ikut lemas tak bertenaga.
Senyum si nona yang semula lembut tiba-tiba saja berubah jadi senyuman licik dan jahat.
“Siapa kalian berdua?” tegurnya tanpa terasa.
“Kami?” senyum gadis itu semakin jalang, “Tentu saja kami adalah orang yang khusus kemari untuk menangkap dirimu!”
“Jadi anggota Benteng Keluarga Tong selalu hanya mampu menangkap orang dengan cara yang licik dan tak tahu malu?”
“Belum tentu!” kembali gadis itu tertawa jalang, “Untuk menghadapi kau, kami masih punya cara lain yang jauh lebih hebat!”
Tio Bu-ki tidak bersuara lagi. Tiba-tiba ia sadar kalau perbuatannya selama ini kurang hati-hati. Sejak pintu gerbang keluarga Thio hingga masuk ke dalam gedung, ia sudah menjumpai banyak kejadian yang mencurigakan, tapi ia mengabaikan semua itu, yang dipikirkan hanya bagaimana secepatnya menolong mereka berdua.
Ia memang kelewat bodoh, sedemikian bodoh hingga tidak membayangkan bagaimana mungkin Benteng Keluarga Tong hanya mengirim dua orang untuk menjaga pintu gerbang rumah seorang pengikut setia Tayhong-tong.
Selain itu, jika mereka memang berasal dari keluarga baik- baik, mengapa si gadis bisa menampilkan senyuman cabul? Di samping itu, malam sudah demikian gelap, mengapa kakek Thio masih mengenakan topinya, bahkan sengaja merendahkan topinya hingga menutupi kedua tay-yang-hiatnya? Bukankah tujuannya jelas untuk mengelabui penampilannya, agar dia tak melihat kalau kungfunya sangat hebat.
Kini segalanya sudah menjadi jelas. Tapi apa gunanya?
Semuanya sudah terlambat!
Bu-ki amat sakit hati, benci kepada diri sendiri, benci pula kepada Tong Ou. Mengapa dia sengaja membebaskan dirinya untuk kemudian mengirim orang untuk menangkapnya kembali?
“Apakah Tong Ou yang memerintah kau untuk membekukku?”
“Aku tidak tahu,” jawab gadis itu sambil tersenyum, “tanyakan saja kepada suamiku.”
“Suamimu?”
“Benar, akulah suaminya!” sahut kakek Thio.
“Kau?” dengan terperangah Bu-ki berpaling dan mengawasi wajah kakek Thio.
Kakek Thio membuka mulutnya lebar-lebar, tertawa dan manggut-manggut.
Mendadak Bu-ki seperti teringat sesuatu, segera serunya, “Aku tahu sekarang, kau adalah Thio Toa-cui, Si Mulut Besar!”
Sekali lagi Thio Toa-cui Si Mulut Besar tertawa terkekeh- kekeh, mulutnya dipentang semakin lebar, sahutnya, “Tepat sekali! Akulah Si Mulut Besar Thio Toa-cui, dia adalah biniku, Li Bu-yan!”
Sambil berkata, ia menunjuk gadis di depannya. “Berarti kakek penjual mie di sana adalah Oh Pan?” “Tepat sekali! Sayang baru sekarang kau menyadarinya,
semuanya sudah terlambat!”
Cerita yang tersiar di dunia persilatan, Oh Pan, Thio Toa-cui dan Li Bu-yan adalah tiga orang tokoh perkumpulan pembunuh gelap. Asal kau bersedia mengeluarkan uang, mereka bersedia melakukan pekerjaan apa pun bagimu. Mereka hanya kenal uang, tidak kenal sanak saudara. Konon istri Oh Pan dan Thio Toa-cui adalah orang yang sama, yaitu Li Bu-yan.
“Tak kusangka Benteng Keluarga Tong telah menyewa kalian untuk menghadapiku!” kata Bu-ki kemudian.
“Ha ha ha... kau keliru besar!” Tkio Toa-cui kembali membuka mulutnya lebar-lebar dan tertawa tergelak. “Yang mengeluarkan uang untuk menghadapi dirimu bukanlah Benteng Keluarga Tong!”
“Benar!” sambung Li Bu-yan, “Kami sedang mencari jalan rejeki buat diri sendiri. Bila berhasil membekukmu berarti kami akan mendapat banyak uang dari Benteng Keluarga Tong.”
“Kenapa?”
“Kenapa?” kembak Li Bu-yan tertawa cekikikan. “Saat ini Benteng Keluarga Tong sedang menabuh genderang peperangan pada Tayhong-tong. Sedang kau adalah tokoh penting dari perkumpulan itu, dengan membekukmu berarti kami telah membuat jasa besar. Coba kau bayangkan sendiri, berapa banyak uang yang bakal kami terima dari Benteng Keluarga Tong?”
Setiap kali menyinggung soal duit, Li Bu-yan dan Thio Toa- ciu saling berpandangan sambil tertawa tergelak, seakan-akan sudah ada setumpuk uang yang disodorkan ke hadapan mereka.
“Kalau mau menyalahkan, salahkan dirimu sendiri!” ujar Thio Toa-cui lagi. “Siapa suruh kau berlagak sok jagoan dengan meng- undurkan dirimu di depan umum? Kalau tidak, kami pun tak bakal mengatur siasat untuk menjebakmu!”
“Hanya saja,” sambung Li Bu-yan cepat, “hanya orang segoblok kau yang bisa tertipu oleh siasat kami!”
Bu-ki tidak bicara lagi, dia hanya mengawasi mereka berdua dengan pandangan dingin, sikapnya menghina dan sama sekali tidak menghargai orang-orang itu.
“Bagaimana?” kembali Li Bu-yan bertanya, “Kau pandang hina cara kerja kami?”
“Bukan begitu, siapa pun yang berhasil membekuk lawannya, dia pasti akan menggunakan cara yang paling hebat, hanya saja...”
“Hanya saja kenapa?” tanya Si Mulut Besar Thio Toa-cui. “Kalian bakal bekerja sia-sia!”
“Kerja sia-sia? Kenapa?”
“Sebab kalian tak bakal mendapat uang sekeping pun!” “Oh ya?” seseorang berseru dari kejauhan. Menyusul seruan itu Oh Pan si tukang bakmi sudah muncul.
Dia langsung berjalan menuju ke depan Bu-ki, lalu katanya lebih jauh, “Tentu saja kami tak akan perolek sekeping uang, sebab uang yang akan kami terima banyak sekali jumlahnya!”
“Tak mungkin, kalian tak bakal memperolek apa-apa!” “Kenapa?” Li Bu-yan bertanya agak penasaran, “Memangnya
sekarang kau masih bisa kabur dari cengkeraman kami?”
“Aku tak perlu kabur, bawa saja aku ke Benteng Keluarga Tong. Kujamin kalian hanya akan membuang tenaga percuma, membuang pikiran percuma, membuang waktu percuma, membuang ransum percuma. Kecuak menelan angin kosong, kalian tak bakal mendapat apa-apa!”
“Kau kira kami akan percaya kata-katamu?”
“Mau percaya atau tidak terserah, sampai waktunya jangan bilang aku tidak memberitahumu!”
“Apa alasanmu sehingga dapat membuat kami percaya?” tanya Li Bu-yan kemudian.
“Aku baru saja keluar dari Benteng Keluarga Tong!” “Sungguh?” teriak Li Bu-yan, “Bagaimana kau bisa keluar
dari sana.!”
Sebelum Bu-ki sempat menjawab pertanyaan itu, Ok Pan sudak berebut untuk bicara duluan, “Tidak, kau seharusnya menjelaskan dulu bagaimana bisa memasuki Benteng Keluarga Tong!”
“Bagaimana caraku bisa masuk ke sana sesungguhnya tidak penting bagi kalian,” sakut Bu-ki tenang, “Yang penting buat kalian justru bagaimana aku bisa keluar dari sana!”
“Baik, coba katakan, dengan cara apa kau bisa keluar dari sana?” potong Thio Toa-cui cepat.
“Tong Ou yang membebaskan diriku!”
Ketiga orang itu saling bertukar pandang dengan mata terbelalak lebar. Dengan wajah tak percaya mereka mengawasi wajah anak muda itu.
“Kini kalian menangkap aku dan mengkantar balik ke situ, bukankah perbuatan kalian percuma saja?” ujar Bu-ki lebik jauh.
Lama sekali tiga pasang mata itu terbelalak lebar, akhirnya Thio Toa-cui tertawa terbahak-bahak, katanya, “Ha ha ha... kau anggap ceritamu dapat membohongi kami semua? Ha ha ha... sungguh bikin orang mati geli!”
“Bikin orang mati geli? Kenapa kau tidak segera mati saja?”
Thio Toa-cui kontan menghentikan tawanya setelah mendengar perkataan itu. Amarah mulai menyelimuti wajaknya, cengkeraman tangan kanannya di tulang bahu Bu-ki segera diperkuat.
“Justru kau yang bakal mampus!” teriaknya.
Paras muka Bu-ki sama sekali tak berubah, penampilannya saat ini sangat wajar, seakan cengkeraman dari Thio Toa-cui itu sama sekali tidak membuatnya kesakitan.
“Bila kalian tidak percaya pada perkataanku,” kembali Bu-ki berkata, “Yang bakal mampus bukan aku, sebab kalian masih butuh aku dalam keadaan hidup.”
“Sudahlah,” tukas Ok Pan kemudian, “kita tak usah membuang banyak waktu hanya beradu mulut dengan bocah ini. Hei, bocah monyet, kami tak bakal percaya omonganmu, jadi tak usah banyak bicara lagi!”
Habis berkata ia menghampri anak muda itu dan menotok beberapa jalan darahnya, kemudian katanya lagi, “Sekarang, kecuali sepasang kakimu yang bisa dipakai untuk berjalan, tenagamu tak akan bisa kau gunakan lagi. Ayoh jalan, ikuti kami!”
Li Bu-yan dan Thio Toa-cui melepaskan genggamannya, mereka segera pergi meninggalkan tempat itu.
Diam-diam Bu-ki mencoba untuk menghimpun tenaga dalamnya. Betul juga, tenaga murninya hilang lenyap sama sekali.
Dalam keadaan begini, terpaksa dia harus mengikut di belakang tiga orang itu untuk berjalan. Dia tahu, jika tidak menuruti kemauan mereka, dia bakal menderita siksaan hidup-hidup!