Bab 09. Wajah Asli Gi Pek-bin

Kabut tebal menyelimuti bumi di fajar yang baru menyingsing. Begitu tebal kabut yang melayang di atas permukaan itu, mem¬buat segala sesuatu yang berjarak lima kaki sudah tak terlihat jelas. Tidak mudah melakukan perjalanan dalam cuaca seperti ini dan pasti akan banyak makan tenaga serta sangat berbahaya. Apalagi berjalan di bukit yang curam.

Tapi Gi Pek-bin tak sependapat, dia justeru merasa jauh lebih ringan dan aman melakukan perjalanan dalam cuaca seperti ini. Ia memang berniat meninggalkan wilayah kekuasaan Benteng Keluarga Tong secara diam-diam dan penuh rahasia, semakin sedikit orang yang melihatnya semakin baik bagi dirinya. Apalagi dengan mengandalkan kungfu yang dimilikinya, berjalan dalam suasana begini merupakan perjalanan yang paling aman.

Dengan santai dia menelusuri jalanan bukit dan menuruni tebing perbukitan, sampai-sampai dia tak peduli langkah kakinya meninggalkan suara yang jelas. Dia malah sama sekali tak tahu kalau ada delapan buah mata sedang mengawasi gerak-geriknya lima kaki jauhnya dari tempat ia berada.

Delapan mata milik empat orang yang semuanya mengenakan pakaian ketat berwarna hitam dan siap melancarkan serangan maut. Hampir setiap malam hingga pagi, mereka berempat selalu berjaga-jaga di situ dengan penuh kewaspadaan. Selama lima tahun belum pernah mereka berempat mangkir satu hari pun. Mereka adalah pasukan inti Keluarga Tong, usianya rata-rata di atas Tong Ou. Mereka sudah banyak mendirikan jasa sejak masih menjadi bawahan ayah Tong Ou, oleh karena itu mereka tidak perlu mendengar perintah dari Tong Ou, semua perintah langsung diperoleh dari Lo-cocong.

Selama lima tahun terakhir, secara sukarela mereka mengajukan diri untuk berjaga di situ, karena pada saat itu, keempat penjaga yang bertugas di situ mati dibunuh orang dan tak ada seorang pun yang mau ditugaskan di tempat itu.

Tempat itu merupakan jalan gunung yang amat penting, tiap orang yang meninggalkan Benteng Keluarga Tong harus melalui jalan tersebut. Inilah jurus ampuh yang diusulkan ayah Tong Ou untuk menjaga keamanan bentengnya. Tempat ini tak perlu dijaga di siang hari, tapi perlu diwaspadai dari tengah malam hingga menjelang fajar, karena orang-orang yang meninggalkan Benteng Keluarga Tong di tengah malam, akan tiba di situ pagi harinya.

Kecuali petugas yang mengemban tugas penting atau tugas rahasia, biasanya hanya orang-orang yang ingin kabur secara diam- diam yang meninggalkan Benteng Keluarga Tong di tengah malam buta. Siapa saja yang ingin meninggalkan Benteng Keluarga Tong di tengah malam buta? Kalau bukan pengkhianat, tentulah para agen rahasia atau mata-mata yang menyamar sebagai pedagang untuk mencari berita di situ.

Dan orang semacam itu pantas dilenyapkan untuk selama- lamanya dari Benteng Keluarga Tong.

Oleh karena itulah harus ada jago tangguh yang bertugas menjaga di jalan ini. Bila ada orang meninggalkan Benteng Keluarga Tong secara diam-diam atau orang yang patut dicurigai, pihak benteng akan melepaskan mercon berwarna merah. Bila para penjaga melihat mercon merah dilepaskan, itulah tanda bahwa mereka harus meningkatkan kewas¬padaan. Semalam Tong Koat telah melepaskan sebuah mercon dengan cahaya merah.

Begitu melihat pancaran mercon merah itu, keempat jago tangguh itu segera meningkatkan kewaspadaannya dan bersiap-siap melakukan penghadangan. Keempat orang ini adalah anak yatim piatu yang dibawa ayah Tong Ou dari daerah Sucoan dan sejak kecil sudah belajar silat di bawah bimbingan ayah Tong Ou. Mereka diberi nama Tong Hong, Tong Bwee, Tong Bian dan Tong Sang. Usia Tong Hong paling tua, senjata yang digunakannya adalah sebilah pedang. Senjata rahasianya Hong-ko (Buah Waru), yaitu buah waru yang bentuknya bulat dan berduri, bila menghajar tubuh orang maka durinya akan menancap tembus hingga ke tulang. Sebaliknya bila ditangkis dengan senjata, buah itu akan meledak dan menyemburkan cairan beracun.

Senjata Tong Bwee adalah sebilah golok bweehoa-to, di atas golok ini terdapat lima buah gelang baja yang apabila ditekan kuat- kuat kelima gelang itu akan melesat ke empat penjuru. Dari balik tiap gelang akan menyembur keluar lima buah senjata rahasia beracun yang berbentuk bunga bwee, keampuhannya luar biasa.

Senjata andalan Tong Bian adalah sepasang telapak tangan kosong, tapi dia juga secara khusus membuat sepasang sarung tangan yang terbuat dari kapas. Jika berhadapan dengan orang biasa, dia bertarung dengan mengandalkan tangan kosong, tapi bila berhadapan dengan musuh tangguh, dia akan mengenakan sarung tangan kapasnya, di balik setiap jari sarungnya tersembunyi jarum beracun yang amat berbahaya. Dengan menggunakan tenaga dalamnya ia bisa memancarkan jarum itu untuk melukai lawannya.

Senjata yang digunakan Tong Sang adalah tongkat Longgee- pang (Tongkat Gigi Srigala) tapi di balik tiap giginya disisipkan jarum beracun. Orang yang tak berpengalaman, bukan saja akan terluka oleh gigi senjatanya, tetapi juga terhajar jarum beracun rahasia itu. Sudah lima tahun Tong Hong berempat bertugas di situ, entah sudah berapa banyak orang yang tewas di tangan mereka.

Pengeta¬huan mereka tentang daerah ini sudah amat dalam, mereka pun sudah terbiasa untuk mengamati sasarannya dari jarak sepuluh kaki jauhnya.

Tak heran kalau kemunculan Gi Pek-bin sudah sejak awal segera mereka ketahui. Dengan cepat mereka berempat serentak bersembunyi di kedua belah sisi jalan, Tong Hong dan Tong Bian bersembunyi di sebelah kiri sementara Tong Bwee dan Tong Sang bersembunyi di sebelah kanan.

Tong Hong dan Tong Bwee berada di depan sedang Tong Bian dan Tong Sang berada di belakangnya. Dalam pada itu Gi Pek- bin masih mengikuti jalan setapak dengan santai, sama sekali dia tak menyangka kalau dari balik belukar ada empat pasang mata sedang mengawasi gerak-geriknya. Menanti sampai Gi Pek-bin sudah berada satu kaki melewati tempat persembunyian Tong Hong berdua, saat itulah Tong Bian dan Tong Sang melompat keluar secara tiba-tiba.

Dengan sangat terkcjult Gi Pck-bin bcrbalik ke belakang dan terus maju, tapi dengan cepat dia menghentikan gerakan tubuhnya, karena ternyata Tong Hong berdua sudah muncul pula dari balik persem¬bunyian, menghadang jalan mundurnya. Tanpa banyak bicara dia mencabut keluar goloknya, lalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun melancarkan serangan kilat ke sisi kiri jalan.

Dia memang sengaja menyerang ke sebelah kiri karena dilihatnya Tong Sang hanya bersenjata sebuah tongkat Longgee- pang, sementara Tong Bian hanya bertangan kosong. Begitu tiba di sisi Tong Bian, golok lemasnya langsung diayunkan menyambar pinggang lawan. Tong Bian tidak melayani serangan itu, dia mengegos ke samping lalu mundur dua langkah.

Tepat di saat Tong Bian bergerak mundur, Tong Sang mendesak dua langkah ke depan, senjata Longgee-pangnya bergerak dari kiri menuju ke kanan menghadang jalan pergi Gi Pek- bin. Menghadapi ancaman tersebut, buru-buru Gi Pek-bin melompat mundur. Tong Hong masih belum bergerak, dia hanya berjaga-jaga tepat di tengah jalan.

Memang beginilah perjanjian mereka, bila keadaan tidak mendesak mereka tak akan main kerubut, bila musuh menggunakan golok maka yang memakai senjata golok yang bertugas menghadapi.

Ooo)))(((ooo

Setiap orang yang menguasai ilmu silat, hampir semuanya memiliki keyakinan yang besar atas kemampuan kungfu sendiri.

Tentu saja Tong Bwee tidak terkecuali, malah ia memberikan sebuah nama yang istimewa bagi ilmu golok andalannya.

Tong Bwee memang tidak suka alat musik, tapi ia memberi nama ilmu goloknya mirip dengan sebuah lagu kenamaan, hanya saja lantaran di balik golok bweehoa-to nya tersimpan senjata rahasia beracun maka ia sebut ilmunya adalah Bwee-hoa-sam-ping (Tiga Petikan Bunga Bwee).

Bacokan golok yang dilancarkan Tong Bwee tadi tak lain adalah jurus kedua dari Bwee-hoa-sam-ping yang disebut Bwee-kay- ji-tok (Bunga Bwee Mekar Kedua Kalinya), mata golok membabat pinggang Gi Pek-bin dengan sangat cepat. Jika musuh belum terpengaruh akan disusul dengan bacokan kedua yang jauh lebih cepat, sebelum sambaran pertama selesai.

Gi Pek-bin memiliki ilmu menyamarkan wajah nomor wahid di kolong langit, itu bukan berarti ilmu goloknya lemah. Ketika melihat datangnya ancaman itu, dengan cepat dia menggeser golok lemasnya ke bawah, lalu dengan kecepatan tinggi membendung datangnya serangan gelombang pertama. Tong Bwee mencabut mundur goloknya dengan segera, kembali dia membabat pinggang lawan.

Gi Pek-bin tertawa dingin, dengan gerakan yang sama-sekali tak berubah, sekali lagi ia membendung bacokan itu.

“Tranggg!” percikan bunga api memancar ke empat penjuru, kedua belah pihak sama-sama mundur satu langkah.

Biarpun baru bentrok satu gebrakan, siapa menang siapa kalah segera sudah ketahuan. Tong Bwee mengerti, dia masih kalah cepat dari musuhnya, maka untuk kedua kalinya kembali ia menyerang dengan jurus “Dat-soat-Sim-bwee” (Menginjak Salju Mencari Bunga Bwee).

Menginjak salju adalah satu perbuatan yang memerlukan perhitungan matang, bila menginjakkan kaki terlalu berat, bisa jadi kaki akan terperosok. Sebaliknya bila diinjak terlalu ringan, kita bisa tergelincir dan jatuh terpelanting, maka kapan harus memakai tenaga dan kapan tidak merupakan kunci keberhasilan melangkah.

Setengah jurus pertama dari Tong Bwee adalah Dat-soat atau Menginjak Salju, itu berarti gerak serangan goloknya harus digunakan dengan tenaga yang tepat dan ringan. Bukan saja setiap saat harus mengintai kelemahan musuh, begitu ada kesempatan bacokannya harus mematikan. Sedangkan setengah jurus terakhir adalah Mencari Bunga Bwee atau Sim-bwee, bunga bwee sama artinya dengan senjata rahasia, itu berarti begitu ada peluang maka dia akan merobohkan musuh dengan jarum beracunnya.

Jurus serangan dari Tong Bwee ini sangat hebat dan belum pernah gagal. Sayang kali ini dia tak berhasil mewujudkan impiannya. Walaupun ia telah berupaya mengurung musuhnya dengan ketat, namun golok lemas dari Gi Pek-bin seolah-olah telah menyelubungi sekujur badannya hingga tak setitik kelemahan pun yang tampak. Dalam keadaan begini, mau tak mau Tong Bwee harus menggunakan senjata rahasianya. Ia menyalurkan tenaga dalamnya dan dua buah gelang di atas goloknya segera terbang, disusul dengan semburan senjata rahasia beracun bweehoa-ciam ikut menyembur ke seluruh angkasa. Dalam perkiraannya, dengan serangan yang begitu dekat dan rapat, akan sulit bagi musuhnya untuk meloloskan diri.

Siapa tahu, entah sejak kapan, tahu-tahu dalam genggaman Gi Pek-bin telah bertambah dengan sebuah kain karung goni.

Dengan sekali ayunan tangan kirinya yang cepat, seluruh jarum beracun yang menyembur itu tiba-tiba telah tergulung ke dalam karungnya. Sadar keadaan tidak menguntungkan, Tong Hong segera memben¬tak nyaring sambil mengayunkan tangan kirinya. Sebutir senjata rahasia hong-ko (buah waru) melesat ke udara, langsung mengancam dada kanan Gi Pek-bin.

Dia memang sengaja menyerang dada kanan Gi Pek-bin, sebab dia tahu tangan kiri lawannya mencekal karung goni, sementara tangan kanannya memegang golok. Orang dalam keadaan seperti ini, tanpa sadar ia akan menggunakan goloknya untuk menghadang kedatangan serangan senjata rahasia itu. Inilah yang ditunggu-tunggu Tong Hong, sebab bila senjata rahasianya ditangkis, benda itu segera akan meledak dan menyemburkan cairan beracun.

Ternyata perhitungan Tong Hong sangat tepat, Gi Pek-bin menggunakan goloknya untuk menangkis datangnya serangan senjata rahasia itu. Melihat ujung golok musuh segera akan membentur senjata rahasianya, tanpa sadar Tong Hong berempat kegirangan, bahkan sekulum senyuman girang sempat terlintas di wajah Tong Bwee.

Begitu melihat senyuman itu, Gi Pek-bin segera sadar bahwa keadaan tidak menguntungkan baginya, buru-buru dia getarkan goloknya ke samping lalu ditariknya dengan mendadak. Setelah itu sambil mengerahkan hawa murninya ia membuat satu gerakan setengah busur, dia memaksa senjata rahasia itu memperlambat gerak luncurnya dan kemudian rontok ke tanah.

Pada saat itulah Gi Pek-bin mengayunkan karung goninya dan menyambar senjata rahasia hong-ko itu. Paras Tong Bwee dan Tong Hong berubah hebat, sementara Tong Bian dan Tong Siang yang berdiri di belakang Gi Pek-bin segera sadar kalau serangan saudaranya gagal total. Dengan segera mereka menerjang ke depan sambil mengancam. Tong Bian secara beruntun melepaskan empat buah pukulan berantai, angin serangan yang menderu-deru memekakkan telinga dan perbawanya benar-benar luar biasa. Sementara Tong Siang dengan senjata tongkat gigi srigalanya membacok tengkuk lawan.

Pedang Tong Hong dan golok Tong Bwee tidak tinggal diam, mereka ikut meluruk ke depan sambil menyerang tubuh Gi Pek-bin. Dalam keadaan begini mereka berempat sudah tidak peduli dengan aturan dunia persilatan, yang terpikir hanya bagaimana merobohkan musuh secepat mungkin. Bila satu orang tak sanggup maka dua orang akan maju, bila dua orang tak sanggup, mereka berempat akan maju bersama.

Bisa dibayangkan betapa dahsyat dan gencarnya serangan keempat orang itu. Dalam keadaan seperti ini, Gi Pek-bin hanya mampu menangkis sambil mempertahankan diri.

Lebih kurang seminuman teh kemudian, tiba-tiba Gi Pek-bin membentak nyaring, “Berhenti!”

Keempat orang jago itu segera menghentikan serangan, tapi mereka tetap mengawasi Gi Pek-bin dengan penuh kewaspadaan.

Gi Pek-bin sadar, kemampuannya belum sanggup untuk mengalahkan mereka berempat, maka sambil menurunkan goloknya dia menegur ke arah Tong Hong, “Sebenarnya apa maumu?”

“Kami minta kau segera balik ke Benteng Keluarga Tong!” “Kenapa?”

“Tidak ada apa-apa, kami hanya ditugaskan untuk menahan siapa saja yang meninggalkan Benteng Keluarga Tong di tengah malam buta dan membawanya balik ke markas.”

“Untuk diinterogasi?”

“Kalau soal itu sih tergantung tingkat kerjasamamu!” Tong Hong tertawa.

Gi Pek-bin tidak bicara lagi, dia selipkan kembali goloknya di pinggang lalu sambil memberi tanda dengan tangan kirinya dia bergegas meninggalkan tempat itu. Tong Hong berempat segera menyingkir ke samping memberi jalan, tapi begitu Gi Pek-bin berlalu, mereka berempat pun segera mengintil dari belakang.

Ooo)))(((ooo Ketika Gi Pek-bin digelandang balik ke Benteng Keluarga T(

>ng, waktu itu Cing-cing sedang membuka pintu sambil berjalan masuk ke dalam ruangan.

Begitu melihat kemunculan perempuan itu, Tong Koat segera menegur, “Kau berhasil menemukan sesuatu?”

“Tidak!” Cing-cing menggeleng.

“Apakah kemampuan Sangkoan Jin memang hebat?” sela Tong Hoa tiba-tiba.

“Yaa, dia kuat sekali, tak beda dengan anak muda...” Sekulum senyuman sesat segera tersungging di ujung bibir

Tong Hoa dan Tong Koat, sebaliknya paras muka Tong Ou sama sekali tak berubah.

“Kalau begitu pergilah beristirahat,” perintah Tong Koat sambil mengulapkan tangannya, “bila menemukan sesuatu segera lapor kemari.”

Cing-cing mengiakan sambil berlalu. Dia berjalan sangat lamban, ketika membuka pintu ia nampak agak sangsi sejenak tapi kemudian berlalu tanpa berpaling lagi. Dia memang tak tega mengkhianati Sangkoan Jin, sebab ia sadar bila apa yang ia temukan dilaporkan kepada Tong Koat, Sangkoan Jin bakal mengalami nasib yang mengerikan. Bagi ia sendiri, ini sama artinya dengan kehilangan kesempatan untuk bertemu, bergaul dan menikmati kegembiraan bersama Sangkoan Jin.

Bagaimanapun dia masih merasa berat untuk kehilangan kenikmatan hidup seperti ini, maka ia terpaksa harus membohongi Tong Koat. Tapi ada satu hal yang dia tak ketahui, ia tidak tahu kalau Gi Pek-bin telah tertangkap dan sedang digelandang ke markas. Seandainya Gi Pek-bin sampai buka suara dan mengakui semua tujuan kedatangannya ke Benteng Keluarga Tong, maka

Cing-cing pun akan terancam hukuman mati karena kebohongannya. Tentu saja semua itu baru akan terjadi bila Gi Pek-bin mengambil keputusan yang salah sewaktu bertemu dengan Tong Ou nanti.

Ooo)))(((ooo

Cing-cing memang tidak mengetahui rahasia ini, namun Tong Ou sekalian sedang merasa amat gembira karena orang yang berada di hadapan mereka sekarang tak lain adalah Gi Pek-bin yang berhasil digelandang balik. Paras muka Gi Pek-bin sangat hambar nyaris tanpa perasaan, sikap hambar semacam ini segera menimbulkan kecurigaan Tong Ou, jangan-jangan wajah yang berada di hadapannya kini juga wajah palsu? Tapi ia merasa persoalan itu tidak penting, yang paling penting saat ini adalah mencari tahu apa maksud dan tujuan kedatangannya ke Benteng Keluarga Tong.

Belum sempat Tong Ou buka suara, Gi Pek-bin sudah bicara lebih duluan, ujarnya, “Tentunya kalian ingin tahu kenapa aku datang ke Benteng Keluarga Tong bukan?”

“Pintar amat orang ini,” batin Tong Ou, “kelihatannya aku tak perlu membuang banyak waktu untuk menanyainya, hanya saja yang menjadi masalah sekarang adalah jujurkah setiap jawabannya?”

Melihat orang-orang itu mengangguk, Gi Pek-bin bicara lebih lanjut, “Bila kujawab kedatanganku hanya untuk berniaga, tentunya kalian tak bakal percaya bukan?”

Tentu saja! Semua orang kembali manggut-manggut. “Lantas apa yang kalian harapkan? Kalian berharap apa yang

sedang kulakukan di sini?” kembali Gi Pek-bin bertanya.

“Lihay amat orang ini,” pikir Tong Ou. Dia tidak menjawab, sinar matanya dialihkan ke wajah Tong Koat.

Begitu bertemu dengan sinar mata toakonya, Tong Koat segera mengerti maksud Tong Ou, maka ujarnya, “Tentu saja kami berharap kedatanganmu benar-benar untuk berniaga, tapi kau tidak bukan?”

“Tepat sekali!”

“Jadi kau datang mencari seseorang?” “Benar!”

“Siapa?” “Sangkoan Jin!”

Seketika suasana berubah jadi serius dan berat. Memang inilah jawaban yang diharapkan Tong Ou sekalian, tapi mereka tak menyangka diutarakan secepat itu dari mulut Gi Pek-bin, kenyataan ini mengagetkan mereka. Tong Koat mulai merangkum semua keterangan yang telah diperolehnya hingga kini. Kalau memang kedatangan Gi Pek-bin untuk mencari Sangkoan Jin, kenapa tidak berusaha untuk berbohong? Kenapa Cihg-cing bisa tak mengetahui persoalan ini? Apakah karena kelihayan Sangkoan Jin menyembunyikan semua jalan pikiran dan tingkah-lakunya? Atau justru Cing-cing yang telah mengelabuhi mereka? Kalau benar perempuan itu berbohong, kenapa ia mesti membohongi mereka?

Tong Koat tidak berpikir lebih lanjut, karena Tong Ou telah menegur lebih dulu, “Kenapa kau datang mencarinya?”

“Karena ada urusan.” “Urusan apa?” “Urusan pribadi.” “Urusan pribadi?” “Benar!”

“Aku rasa belum tentu begitu,” tukas Tong Koat tiba-tiba, “menurut hasil penyelidikanku, sejak datang kemari kau tak pernah berbicara sepatahkata pun dengan Sangkoan Jin.”

“Tanpa bicara pun kami dapat berhubungan.”

“Ooh, tentu saja bisa,” Tong Koat mengangguk, “tapi biasanya, hubungan itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi!”

“Benar, memang itulah rahasia kami. Masa kalian ingin tahu rahasia itu?

“Benar, kami ingin tahu,”kata Tong Ou. “Kalau aku tak ingin

bicara?”

“Terserah,” kata Tong Koat, “cuma aku perlu

memperingatkan lebih dulu, kami dari Keluarga Tong memiliki sejumlah obat beracun yang dapat membuat orang lemas, kegatalan dan kehilangan kekuatan.”

Gi Pek-bin hanya mengawasi Tong Koat tanpa bicara, tampaknya ia sedang memikirkan sesuatu, namun pada wajahnya sama sekali tak nampak ada perubahan. Kini Tong Ou sudah yakin, Gi Pek-bin pasti telah mengenakan selembar kulit manusia untuk menutupi wajah aslinya. Seperti apakah wajah aslinya? Tong Ou tidak ingin tahu, yang ingin diketahui olehnya saat ini hanya tujuan sebenarnya atas keda¬tangannya mencari Sangkoan Jin.

Lama sekali Gi Pek-bin mengawasi wajah Tong Koat tanpa berkedip, sepeminuman teh kemudian barulah ia membuka suara, katanya, “Padahal... bicara terus-terang pun tak masalah, aku hanya merasa bersalah kepada Sangkoan Jin.”

“Merasa bersalah kepada seseorang? Itu sih cuma perasaan!” jengek Tong Koat sambil tertawa dingin, “kalau sampai kena dicekoki racun hingga sekujur badan kesemutan dan gatal- gatal, itu baru siksaan yang sesungguhnya. Apalagi kalau sampai nyawa berada di ujung tanduk, salah kepada orang jadi masalah yang sama sekali tak berarti!”

Ancaman itu jelas disampaikan untuk menakut-nakutinya, tapi tak seorang pun dapat melihat apakah Gi Pek-bin berhasil dibikin ketakutan atau tidak. Wajahnya tetap dingin, hambar dan tidak menunjukkan perubahan sedikit pun.

“Manusia punya nama, pohon punya bayangan, aku memang tahu senjata rahasia beracun dari Benteng Keluarga Tong merupakan kepandaian nomor wahid di kolong langit,” kata Gi Pek- bin kemudian.

Tong Koat mendengus.

“Hmm, kalau sudah tahu, aku pun tak usah menjabarkan lebih jauh...”

“Ya, aku bukan hanya pernah mendengar, aku bahkan pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri.”

“Oh ya?”

Paras muka Gi Pek-bin berkerut kencang, mungkin dia sedang tertawa. Lalu dia mengulurkan tangannya ke belakang tengkuk, kemudian menariknya kuat-kuat, selembar kulit manusia segera terlepas dari wajahnya. Tong Ou, Tong Koat maupun Tong Hoa segera berseru tertahan, mereka kaget sekali, mereka menatap wajah asli Gi Pek-bin dengan mata melotot dan mulut melongo.

Wajah yang tampil di hadapan mereka sekarang adalah selembar wajah penuh bekas luka bakar, nyaris tak ada daging yang tersisa di situ. Semuanya bergumpal menjadi kulit yang penuh kerutan. Begitu buruk dan jeleknya muka itu, tak heran kalau membuat siapa saja yang melihatnya jadi terperanjat.

Tapi bukan wajah jelek itu yang membuat mereka terperanjat, walaupun muka itu penuh bekas luka bakar, penuh kerutan dan parutan yang memuakkan, namun dalam sekilas pandang saja mereka segera mengenali orang itu. Dia adalah Tong Sip-jit. Ya, dia adalah Tong Sip-jit dari Benteng Keluarga Tong yang dikabarkan telah tewas secara mengenaskan. Tewas dalam sebuah kebakaran hebat yang terjadi pada tujuh tahun berselang.

Dalam kebakaran dahsyat itu, entah pihak Tayhong po berhasil menyuap siapa, nyatanya mereka berhasil mendapat tahu bahwa orang-orang benteng Tayhong-po yang berhasil disuap Benteng Keluarga Tong sedang berpesta-pora malam itu. Arak yang dihidangkan mereka campuri obat pemabuk, kemudian melepaskan api untuk membakar semua yang ada di situ...

Walapun tujuh tahun telah berlalu, namun luka yang sangat mendalam ini masih membekas dalam hati setiap tokoh, setiap pentolan Benteng Keluarga Tong. Dalam peristiwa itu pihak Keluarga Tong telah kehilangan tigapuluh delapan orang. Bahkan hingga kini mereka masih belum tahu, dengan cara apa pihak Tayhong-po bisa tahu kalau mereka sedang berpesta-pora malam itu. Mereka juga tidak tahu siapa yang berhasil disuap benteng Tayhong-po dan membocorkan rahasia itu.

Dan sekarang, Tong Sip-jit yang dikira sudah tewas pada tujuh tahun berselang ternyata muncul kembali dalam keadaan hidup, bagaimana mungkin Tong Ou tidak terbelalak dibuatnya?

Lama sekali Tong Koat mengawasi wajah orang itu, kemudian dengan nada setengah percaya ia menegur, “Tong Sip- jit?”

Orang itu mengangguk.

“Kau belum mati?” kembali tegurnya.

Mana ada orang mati bisa berdiri di situ? Tentu saja mustahil. Tapi kemunculan Tong Sip-jit sama sekali di luar dugaan, sedemikian di luar dugaannya sehingga Tong Koat sekalian tak berani mempercayai dengan begitu saja. Akan tetapi, kenyataan tetap kenyataan.

Tong Ou tidak berkata apa-apa, dia menghampiri Tong Sip- jit lalu mulai meraba seluruh muka yang penuh keriput itu. Ternyata kerutan itu asli, kulit wajah asli, bukan topeng kulit manusia. Setiap guratan, setiap kerutan, semuanya asli.

Dari perubahan mimik muka Tong Ou, Tong Hoa segera tahu kalau orang yang berada di hadapannya memang Tong Sip-jit yang sesungguhnya, maka tak tahan ia bertanya, “Sebenarnya apa yang telah terjadi?”

Dengan pedih Tong Sip-jit tertawa dingin, “Panjang ceritanya...”

Dia mulai mengisahkan pengalaman hebat yang dialaminya tujuh tahun berselang itu. Karena minum arak yang telah dicampuri obat pemabuk, begitu kebakaran terjadi dia tersentak hingga jatuh tak sadarkan diri. Sebelum j atuh pingsan, ia sempat melihat keadaan rekan-rekannya yang hampir serupa, sama sekali tak mampu berkutik. Ia sadar bahwa rekan-rekan yang lain pun mengalami nasib yang sama.

Ketika ia sadar kembali dari pingsannya, ia mengira dirinya telah berada dalam neraka. Tapi begitu membuka mata, ia mendapatkan bahwa di sekelilingnya ada bangku yang terbuat dari bambu, jendela bambu dan pintu bambu. Baru ia sadar, dirinya masih hidup di alam nyata.

Kemudian dia pun mulai merasakan kulit wajahnya yang sakit sekali, sedemikian sakitnya sampai ia merintih kesakitan. Tiba- tiba dia mendengar pintu bambu didorong orang dan tampak seorang nenek berjalan menghampirinya.

Sebelum nenek itu berjalan mendekat, ia sudah jatuh tak sadarkan diri kembali saking kesakitannya. Seingatnya, ia kadang pingsan kadang sadar berkali-kali. Setiap sadar kembali dia akan merintih penuh penderitaan, tiap kali dia merintih pasti ada orang yang muncul di ruangan itu untuk menje¬nguknya. Anehnya, orang yang muncul ke dalam ruangan itu selalu orang yang berbeda, dari si bongkok sampai si bisulan, dari pemuda ganteng sampai nenek peyot, dari gadis cantik yang menawan bagai bidadari hingga kakek tua yang penuh keriput.

Ia tidak ingat jelas sudah berapa kali dirinya jatuh pingsan, dia pun tak tahu sudah berapa banyak orang yang dijumpainya.

Tatkala kesadarannya benar-benar telah pulih kembali, orang yang dijumpai adalah seorang lelaki setengah umur.

Ketika melihat ia sadar kembali, sambil tersenyum pria setengah umur itu berkata, “Jangan kuatir, kondisimu saat ini sudah tidak berbeda dengan orang waras lainnya!”

Ia tahu lelaki setengah umur inilah yang telah menolong dia, atau paling tidak, keluarga orang inilah yang telah menyelamatkan jiwanya. Ingin sekali ia bangkit berdiri untuk menyatakan rasa terima kasihnya, sayang tak sedikit pun tenaga dimilikinya. Biarpun mulutnya terbuka, namun tak sepotong suara yang keluar.

Lelaki setengah umur itu segera menahan bahunya agar dia tidak bangkit, kemudian meneruskan, “Kau perlu beristirahat tiga hari lagi sebelum punya tenaga untuk berbicara. Sekarang berbaringlah dulu untuk istirahat, dalam tiga hari ini kau tetap akan sadar sepenuhnya, namun badanmu belum dapat bergerak. Ya, memang akan terasa sedikit menyiksa!” Habis berkata, lelaki setengah umur itu pun berlalu dari situ. Tiga hari berikut, kecuali sedang tertidur, benar saja ia sadar seratus persen. Ia dapat melihat, mendengar dan merasakan segala sesuatu, namun tak sedikit pun tenaga bisa digunakan. Ia sempat menjumpai seorang gadis yang cantik jelita bak bidadari dari kahyangan datang merawatnya, menyuapi bubur untuknya.

Ia pun melihat ada seorang lelaki setengah umur yang berdandan pelayan datang menggantikan pakaiannya dan membersihkan seluruh tubuhnya dengan kain basah. Ia berjumpa dengan setiap orang yang pernah dijumpainya sewaktu masih setengah sadar tempo hari. Anehnya orang-orang itu selalu muncul seorang diri, tidak pernah mereka muncul berduaan. Bahkan munculnya juga selalu bergiliran.

Pada pagi hari ketiga, ketika ia membuka matanya kembali, sadarlah dia bahwa selembar nyawanya berhasil diselamatkan dari pintu neraka. Ia dapat merasakan seluruh kekuatan tubuhnya telah pulih kembali dan ia mencoba bangkit untuk memeriksa tangan dan kakinya. Seketika perasaan heran menyelimuti hatinya. Aneh, kenapa tak setitik luka pun yang dijumpai baik di lengan maupun di kakinya?

Ia mencoba untuk meraba wajahnya sendiri, sebab sesaat sebelum pingsan sewaktu terjadi kebakaran itu, yang sempat dirasakannya adalah wajah yang terbakar kobaran api. Begitu meraba, dia amat terperanjat, ternyata tangannya tidak menyentuh kulit yang tebal dan kasar, melainkan selembar kulit muka yang halus sekali. Ia duduk terkesima dan menjerit tertahan saking kaget dan ngeri¬nya.

Saat itulah pintu kembali terbuka, lelaki setengah umur yang dijumpai tiga hari berselang muncul kembali sambil menghibur, “Kau tak usah takut, biarpun wajahmu terluka bakar, namun setelah bertemu dengan aku, Jian-jiu-sin-ih (Tabib Sakti Bertangan Seribu), kulit wajahmu yang terbakar itu pasti akan sembuh seperti sedia kala. Tentu saja setelah kulit yang baru tumbuh kembali, akan ada bekas-bekas kerutan yang membuat permukaan kulitmu tidak rata. Memang sedikit jelek, tapi apa salahnya? Bukankah selembar nyawamu jauh lebih penting daripada tampang yang jelek?”

Tong Sip-jit segera melompat turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut serta menyembah berulangkali sambil berseru, “Terima kasih atas pertolongan ini...” “Bagus, bagus sekali.” Tabib Sakti Bertangan Seribu tersenyum sambil manggut-manggut, kemudian tak berbicara apa- apa lagi.

“Bolehkah aku tahu nama In-jin (tuan penolong)?” kembali Tong Sip-jit bertanya.

“Tabib Sakti Bertangan Seribu Yo Si-heng!”

“Ooh, rupanya Yo-injin!” seru Tong Sip-jit, sementara dalam hatinya ia berpikir, “Aneh benar, ilmu tabib yang dimiliki Tabib Sakti Bertangan Seribu ini sangat tinggi, kenapa aku tidak pernah mendengar nama besar-nya?

“Kenapa?” tegur tabib sakti tiba-tiba, “kau heran bukan? Mengapa sebelumnya tak pernah mendengar nama julukanku ini?”

“Tidak berani, tidak berani...”

“Bangun dan duduk kembali di ranjangmu,” kembali Yo Si- heng berkata sambil tertawa, “sekarang kondisi tubuhmu belum pulih kembali, masih butuh banyak istirahat!”

Setelah mengucapkan terima kasih, Tong Sip-jit kembali ke atas pembaringannya.

Setelah termenung sesaat dan menatap wajah Tong Sip-jit berapa saat, Yo Si-heng baru berkata lagi, “Selama ini aku hidup mengasingkan diri, jauh dari keramaian dunia, jauh dari nama dan keuntungan pribadi. Aku selalu berusaha menyelamatkan mereka yang nyaris terbunuh di tangan musuh besarnya. Tahukah kau kenapa aku berbuat begini?”

Tong Sip-jit tidak menjawab, dia hanya mengawasi tabib sakti itu sambil menggeleng.

“Karena ayahku telah memilihkan nama yang sangat baik untukku, yakni 'Si-heng'. Tinggalkan segala kebencian di dalam dunia. Ketika aku berhasil menyelamatkan orang dari kematian, tahukah kau apa yang tersisa dalam hati dan pikiran orang-orang itu? Dalam hati mereka pasti timbul 'si-heng', sisa-sisa kebencian. Mereka pasti ingin mencari musuh besarnya dan berusaha membalas dendam...”

Tong Sip-jit tidak berkata apa-apa, rasa heran makin mencekam hatinya.

“Aneh, mana ada orang yang bertujuan menyisakan rasa kebencian di saat selamatkan orang lain?” demikian ia berpikir.

Menyaksikan perubahan mimik muka Tong Sip-jit, sambil tertawa Yo Si -heng kembali berkata, “Kau jangan salah mengartikan maksudku, bukankah sudah kukatakan: Tinggalkan sisa kebencian di dunia ini?”

Tong Sip-jit manggut-manggut.

Kembali Yo Si-heng berkata, “Setelah kuselamatkan dirimu dari amukan api di gedung Tayhong-tong, tentu saja kau masih menaruh perasaan dendam terhadap orang-orang Tayhong-tong bukan?”

Sekali lagi Tong Sip-jit mengangguk.

“Kau tahu apa artinya tinggalkan segala kebencian di alam dunia?” desak Yo Si-heng lebih jauh sambil tertawa.

“Tidak terlalu jelas, karena aku memang tak banyak membaca buku.”

“Kalau begitu kujelaskan sekarang, aku meminta kau untuk meninggalkan semua kebencianmu di alam dunia ini saja. Lepaskan niatmu untuk membalas dendam.”

Kali ini Tong Sip-jit bukan tercengang, tetapi amat terperanjat, dia masih agak bingung oleh perkataan Yo Si-heng.

“Setiap kali berhasil menyelamatkan seseorang,” kembali Yo Si-heng berkata, “kecuali kuselamatkan nyawanya, aku pun akan berusaha menyelamatkan jiwanya. Aku ingin menghilangkan semua benci dan dendam yang berkecamuk dalam perasaannya.”

Kata-kata terakhir Yo Si-heng ini diucapkan amat lambat, sepatah demi sepatah. Kemudian dia menambahkan, “Termasuk juga dirimu!”

Sekarang Tong Sip-jit baru memahami maksud orang itu. Rupanya selain menyelamatkan nyawanya, Yo Si-heng juga ingin memusnahkan segala perasaan benci, sakit hati dan dendamnya terhadap pihak Tayhong-tong.

Tapi mungkinkah? Orang-orang Tayhong-tong telah membakarnya hingga begitu rupa, membuat tubuhnya menderita, membuat wajahnya jelek. Bisakah dia menghilangkan semua rasa benci dan dendamnya?

Dalam pada itu Yo Si-heng masih mengawasi terus wajahnya tanpa berkedip, agaknya ia dapat memahami apa yang sedang dipikirkannya. Belum sempat Tong Sip-jit mengucapkan sesuatu, si Tabib Sakti sudah melanjutkan, “Jika aku tidak menolongmu sekarang kau sudah mati, mungkinkah masih ada rasa benci dan dendam di hatimu? Sebab itu kau seharusnya menganggap dirimu sebagai seorang bayi yang baru lahir, mulai belajar segala sesuatunya dari awal. Apalagi jika kau hidup di tengah gunung yang berkawan pepohonan dan mega, tidak ada tempat bagi dendam atau benci di tempat ini. Maka cobalah belajar menjadi seorang manusia baru, manusia baru yang tak punya rasa benci, sakit hati serta dendam kesumat!”

Dengan mata terbelalak lebar Tong Sip-jit mengawasi orang aneh itu, untuk sesaat dia tak tahu apa yang mesti dikatakannya.

Selesai mengucapkan pesannya, Yo Si-heng segera bangkit berdiri dan tambahnya kepada Tong Sip-jit, “Coba kau pertimbangkan baik-baik kata-kataku itu.”

Lalu ia pergi meninggalkan tempat itu. Tong Sip-jit berdiri terbelalak sampai setengah harian lamanya sebelum pulih kembali kesadarannya. Sesudah sadar ia buru-buru lari ke pintu bambu, membukanya dan melongok ke luar. Namun di luar sana tak nampak sesosok bayangan manusia pun, yang terlihat hanya pohon bambu yang berjajar rapi. Di antara goyangan daun bambu yang gemulai tampak sebuah jalan kecil yang meliuk-liuk menembus kaki langit.

Tong Sip-jit ragu sesaat sebelum akhirnya dia menelusuri jalan kecil itu. Tapi baru dua langkah, seorang gadis telah muncul menyong¬song kedatangannya. Tong Sip-jit mengenali gadis itu sebagai nona cantik yang merawat dirinya.

Buru-buru dia maju menghampiri. Belum lagi kata terima kasih meluncur keluar, nona cantik itu dengan wajah cemberut telah menukas lebih dulu, “Kembalilah ke kamarmu dan pertimbangkan kembali nasehat tadi!”

Habis berkata dia membalikkan badan dan berlalu. Sekali lagi Tong Sip-jit berdiri terbelalak dengan wajah bingung, dia tak tahu apa yang harus diperbuat. Yo Si-heng memintanya untuk mempertimbangkan, jelas yang dia maksud adalah melupakan semua dendam dan sakit hati. Tapi apa pula yang diminta si nona ini sekarang? Apakah dia pun memintanya untuk mempertimbangkan agar melupakan semua dendam dan sakit hatinya?

Mengapa mereka semua mendesaknya agar mempertimbangkan kembali masalah tersebut? Padahal semuanya sudah jelas, apa lagi yang perlu dipertimbangkan? Masalah dendam dan sakit hati adalah masalah besar, mungkinkah dihapus dengan begitu saja? Setelah berdiri termangu berapa saat lamanya, kembali Tong Sip jit melanjutkan perjalanannya ke depan. Baru berapa langkah, lagi-lagi muncul seorang nenek berambut putih yang menghadang jalannya.

Kejadian aneh kembali berlangsung. Sementara dia menyongsong kedatangan si nenek dengan berbagai pertanyaan, seperti halnya dengan gadis cantik itu, si nenek pun berkata kepadanya dengan wajah tanpa perasaan, “Baliklah ke kamarmu dan pertimbangkan dulu masak-masak sebelum pergi dari sini.”

Kali ini Tong Sip-jit termangu lebih lama lagi. Dia betul-betul dibikin kebingungan, dia tak tahu permainan apa yang sebenarnya yang sedang dipersiapkan Tabib Sakti Bertangan Seribu ini. Ia memutuskan untuk tidak berjalan lebih jauh dan balik ke dalam kamarnya.

Sekembalinya ke ruangan, dia duduk termenung di jendela sambil mengawasi hembusan angin yang menggoyang ranting bambu. Pikirnya, “Bila kondisi badanku betul-betul sudah sehat, benarkah aku mesti melupakan semua dendam dan sakit hati?

Perlukah aku datang ke Tayhong-tong untuk membuat perhitungan?”

Hari makin larut malam, dia masih duduk mematung di depan jendela sambil masih memikirkan persoalan yang sama. Ketika seorang pembantu setengah umur datang menghantar hidangan malam, orang itu sama sekali tidak menyapanya. Setelah meletakkan hidangan di meja, ia berlalu begitu saja. Selesai bersantap, dia merasa sangat lelah maka tak lama kemudian sudah jatuh tidur sangat nyenyak.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, si Tabib Sakti Bertangan Seribu telah muncul di kamarnya dan menegurnya sambil tertawa, “Apakah kau sudah mulai memikirkan masalah balas dendam?”

Tong Sip-jit membenarkan.

“Bagus sekali,” kata si tabib, “daripada duduk melamun sementara lukamu butuh waktu berapa bulan lagi untuk sembuh sepenuhnya, lebih baik kau belajar sedikit kepandaian dariku.”

Tawaran ini tentu saja disambut Tong Sip-jit dengan suka cita. Dia mengira Yo Si-heng akan mengajarkan ilmu ketabiban kepadanya. Di luar dugaannya, ternyata yang diajarkan adalah ilmu merubah wajah.

“Kau tidak menyangka bukan?” kata Yo Si-heng kemudian setelah melihat Sip jit tercengang. “Selama ini kau pasti tak habis mengerti mengapa dengan ilmu ketabibanku yang begitu hebat, tak seorang pun di dunia persilatan yang mengenal aku? Ha ha ha... sebenarnya hal ini bukan hal yang aneh, aku tidak dikenal orang karena aku mengandalkan ilmu merubah wajah. Tiap kali menyelamatkan jiwa seseorang, aku selalu tampil berbeda, wajah dan penampilan yang berbeda. Selain itu semua harus menjanjikan satu hal padaku, yaitu tidak akan membuka rahasiaku dalam dunia persilatan. Tidak terkecuali kau! Tentunya kau tidak keberatan bukan?”

Tong Sip-jit tak punya alasan untuk menampik permintaan itu. Sejak itu dia mempelajari ilmu menyaru wajah dari Yo Si-heng. Kadang dia berjalan menelusuri jalan setapak untuk menghirup udara segar, tapi setiap kali tak pernah bisa melampaui tiga ratus langkah. Setiap kali mendekati tempat itu ia pasti akan bertemu seseorang, entah seorang gadis atau nenek dan pertanyaan yang diajukan tak pernah berbeda: 'Apakah pikiranmu sudah terbuka?'

Setiap kali mendapat pertanyaan itu, ia selalu kembali berbalik ke dalam rumah karena pikirannya memang belum terbuka. Tetap saja tidak ada alasan baginya untuk memaafkan perbuatan biadab orang-orang Tayhong-tong itu. Hari berlalu tanpa terasa, sudah seratus hari lebih ia berdiam di daerah perbukitan itu. Tiba- tiba saja, pada suatu hari, pikirannya benar-benar terbuka.

Yang membuat jalan pikirannya terbuka bukanlah urusan balas dendam atau sakit hati. Dia sadar bahwa andaikan dirinya masih berada di Tayhong-tong, mungkinkah baginya untuk lolos dari situ dengan selamat?

Maka ketika ia berjalan santai sepanjang jalan setapak dan bertemu dengan gadis yang bertanya kepadanya, “Apakah pikiranmu sudah terbuka?” dia pun segera menjawab, “Ya, pikiranku sudah terbuka!”

Untuk pertama kalinya ia menyaksikan sekulum senyuman manis menghiasi ujung bibir gadis itu, sebuah senyum yang sangat indah.

Ketika gadis itu memberi tanda padanya agar ia segera balik ke dalam rumah, dengan sangat penurut dia berjalan balik. Tidak seperti biasanya, kali ini si nona mengikuti di belakangnya. Sampai ke kamar, si nona kembali bertanya, “Pernahkah kau merasa heran atas semua kejadian di sini?”

“Tentu saja,” jawab Tong Sip-jit, “kenapa kau selalu menghalangi perjalananku setiap kali aku tiba di jalan setapak itu?” “Hanya masalah itu saja?” si nona balik bertanya sambil tertawa.

“Memangnya masih ada yang lain?” Tong Sip-jit balik bertanya. “Tentu saja masih ada.”

“Oh ya?” Tong Sip-jit mencoba untuk mengingat. Tapi kembali dia menggeleng, “Tak terpikir olehku masalah apa lagi yang aneh di tempat ini...”

“Benar-benar tak terpikir? Kau tidak merasa bahwa orang yang kau jumpai selama ini kecuali Yo sianseng, tidak ada orang lain yang pernah menjengukmu? Benarkah kau tidak merasa aneh?”

“Ah benar, benar, benar sekali!” seakan baru sadar Tong Sip-jit berseru. “Hal ini memang aneh sekali. Seperti si nenek, misalnya, dia hanya pernah mengunjungi aku satu kali yaitu ketika aku setengah sadar. Setelah itu dia tidak pernah menampilkan diri lagi, kenapa bisa begitu?”

“Tidak ada apa-apa. Tiap kali kami datang menjengukmu, kau tak pernah merasakan kehadiran kami.”

Jawaban ini langsung membuat sekujur badan Tong Sip-jit merinding. Ilmu silat yang dia miliki cukup tangguh, kenapa sewaktu tertidur dia sama sekali tidak sadar akan kehadiran orang lain?

Apalagi dari nada bicara gadis itu, tampaknya mereka sering datang menje¬nguk. Kejadian seperti ini jelas merupakan sesuatu yang sangat menakutkan!

“Kau merasa takut?” Pertanyaan si nona ini terdengar menyeramkan meski disampaikan dengan nada yang lembut dan halus.

Tak bisa ditahan, sekali lagi Tong Sip-jit merasakan bulu kuduknya pada tegak. Melihat wajahnya itu, si nona tak kuasa lagi menahan diri. Ia mendongakkan kepalanya dan tertawa tergelak, suaranya keras, nyaring dan penuh tenaga, sama sekali tidak mirip suara seorang nona, bahkan jauh lebih mirip suara kasar seorang lelaki.

“Sama sekali tidak ada yang aneh atau menakutkan,” kembali si nona berkata setelah tergelak berapa saat. “Semua memang tidak kau rasakan, tapi sebenarnya semua kau saksikan jelas-jelas!”

Tong Sip-jit menjadi tertegun. Apa maksud kata-kata nona

itu? Tapi tak lama kemudian ia segera menyadari yang dimaksudkan, ia sadar dan berteriak keras-keras, “Aku tahu, satu saat pikiranmu pasti akan terbuka,” kata si nona sambil menarik sesuatu dari belakang kepalanya. Selembar kulit manusia segera terlepas dari wajahnya. Kini yang muncul di hadapan Tong Sip-jit adalah seorang nenek tua.

Ketika si nenek kembali melakukan hal yang sama, melepas selembar kulit manusia dari wajahnya,ia berubah menjadi seorang pelayan setengah umur. Ketika selembar lagi kulit manusia dikelupas, barulah tampil wajah Yo Si-heng yang sebenarnya.

Dengan sendirinya timbul rasa hormat Tong Sip-jit terhadap Yo Si-heng, sebab ketika ia menyaru sebagai seorang nona, orang itu pernah merawat dan mengurus seluruh keperluan sehari-harinya, terlebih ketika ia sedang dalam keadaan tak sadar. Selain rasa hormat, dia pun merasa amat kagum, sebab tidak setiap orang bisa mengenakan tiga lembar topeng kulit manusia sekaligus tanpa ketahuan ada celanya.

Namun di luar semua itu, dia pun merasa amat bersyukur karena mendapat kesempatan untuk mempelajari ilmu maha sakti ini.

Setelah menatap Tong Sip-jit sejenak, ujar Yo Si-heng, “Aku sangat gembira karena kau bisa berpikir lebih terbuka, memahami bahwa balas dendam tak ada gunanya. Dengan saling membenci, kapan urusan baru bisa selesai? Andaikan kau bisa membalas sakit hatimu, apakah orang lain tidak bisa mencarimu untuk membalas? Saling balas bisa berlangsung turun temurun tak ada habisnya, daripada urusan berlarut-larut sampai entah berapa keturunan, kenapa tidak diputus saja mata rantainya sekarang?”

Tong Sip-jit tidak mengucap apa pun, dia hanya mendengarkan nasehat itu dengan seksama.

Kembali Yo Si-heng berkata, “Kini pikiranmu sudah terbuka, aku merasa bersyukur berbareng gembira!”

Ia meletakkan semua kulit manusia yang dilepas dari wajahnya tadi ke atas meja, lalu dari sakunya mengeluarkan lagi setumpuk kulit manusia yang jumlahnya puluhan. Kemudian sambil mendorong semua itu ke hadapan Tong Sip-jit, ia berkata lebih jauh, “Kuserahkan semua ini padamu, pelajarilah pelan-pelan, asal teliti dan rajin belajar, tak akan sulit bagimu untuk menguasai semua rahasianya. Aku menguasai duapuluh tujuh macam ilmu dan kau adalah orang ke tigapuluh tujuh yang kutolong, setelah ini aku tak bakal lagi turun gunung untuk menolong orang. Aku juga tak akan menurunkan ilmuku kepada siapa pun lagi.”

Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan, “Setelah keluar dari tempat ini, kuharap kau bisa membuang jauh-jauh ingatan untuk membenci umat manusia. Jauhkan dirimu dari segala pertikaian dunia. Bila semuanya aman dan damai, bukankah semuanya akan hidup tenteram?”

Setelah menghela napas panjang, ia bangkit berdiri dan keluar meninggalkan kamar itu. Tong Sip-jit segera mengejar keluar tapi bayangan tubuhnya saja sudah tidak dapat ditemukan lagi.

Karena penasaran, kembali Tong Sip-jit mencoba menelusuri keliling bukit itu. Bukan saja ia tak berhasil menemukan bayangan tubuh Yo Si-heng, bahkan bangunan rumah lain pun tak dijumpainya. Suasana di sekitar perbukitan itu hening dan sepi, kecuali hembusan angin semilir tidak ada apa-apa lagi. Tong Sip-jit merasa bahwa hidupnya selama berapa hari ini seperti mimpi saja.

Sekarang ia sudah terjaga dari alam mimpi, namun tuan penolong dalam impiannya itu tak diketahui lagi ke mana perginya. Ia seakan lenyap begitu saja bagai segumpal asap. Yang lebih mengharukan Tong Sip-jit adalah kenyataan bahwa ia sudah terlanjur merasa dekat sekali pada Yo Si-heng. Setelah mencari-cari sampai sepuluh hari lamanya tanpa hasil, akhirnya Tong Sip-jit memutuskan untuk turun gunung dan pergi ke tempat terjadinya kebakaran dahulu hari.

Setiba di situ dia hanya menjumpai reruntuhan bangunan yang telah hitam hangus dan berantakan tak karuan, di sinilah berpuluh orang saudaranya kehilangan nyawa. Lama sekali Tong Sip-jit berdiri termenung sambil mengingat kembali wajah dan suara rekan-rekannya. Walaupun ia sudah berusaha keras melupakan

kejadian itu, dendam masih tetap membekas di hatinya. Ia tidak bisa menghapus seluruh dendamnya.

Maka dia lalu menyamar sebagai seorang lelaki setengah umur yang mengaku bernama Gi Pek-bin untuk sekali lagi menyusup ke Tayhong-tong. Kali ini ia tidak melaporkan perbuatannya ke pihak Benteng Keluarga Tong karena dia menganggap dengan begitu akan jauh lebih aman baginya, di samping lebih mudah baginya untuk mempersiapkan tugas melancarkan pukulan telak nanti. Setelah berusaha hampir lima tahun, akhirnya dia berhasil mendekati tokoh utama Tayhong-tong, ia ditugasi mengikuti Sangkoan Jin. Kembali satu tahun lewat, akhirnya ia memperoleh kepercayaan dari Sangkoan Jin untuk ikut dalam banyak gerakan rahasia serta perencanaan besar. Dia sudah menjadi orang kepercayaan Sangkoan Jin.

Di suatu malam yang sepi dan gelap, Sangkoan Jin mengundangnya ke kamar rahasia untuk berunding. Sangkoan Jin dengan menggunakan berbagai cara masih berusaha menyelidiki kesetiaannya. Akhirnya Sangkoan Jin menyampaikan bahwa dia punya rencana untuk berkhianat dan bertanya kepadanya apakah bersedia ikut bersamanya.

Tentu saja Tong Sip-jit tidak menolak tawaran tersebut. Pertama karena dia memang sebenarnya bekerja untuk Keluarga Tong, dan kedua, bila tidak ikut, bukankah dia segera akan dibantai?

Bukan saja Sangkoan Jin membeberkan seluruh rencananya, bahkan ia pun memintanya untuk tetap tinggal di Tayhong-tong agar setelah ia menyeberang ke pihak Keluarga Tong, ia masih bisa mengi¬rim berita-berita tentang perkembangan di markas Tayhong- tong. Selain itu Sangkoan Jin juga berjanji, bila saatnya telah tiba, dia pasti akan mengajaknya untuk menyeberang ke Benteng Keluarga Tong.

Begitulah, selama ini dengan identitas sebagai Gi Pek-bin, ia bolak-balik antara Benteng Keluarga Tong dan Tayhong-tong. Sudah banyak berita dari Tayhong-tong yang dibawa masuk dan disampaikan kepada Sangkoan Jin.

Ooo)))(((ooo

Selesai mendengarkan pengalaman Tong Sip-jit, Tong Koat lalu mengajukan pertanyaan dengan nada curiga, “Kalau memang selama ini kau mengirim banyak berita kepada Sangkoan Jin, kenapa selama ini tak sepatah kata pun pernah kau sampaikan kepadaku?”

Ternyata jawaban dari Tong Sip-jit sangat diplomatis, “Seringkah tidak banyak bicara justru jauh lebih baik ketimbang banyak bicara.”

“Begitu hebatkah kesepakatan kalian berdua?” “Sebetulnya tidak juga, misalnya kedatanganku kali ini,

karena tak ada berita baru yang perlu kusampaikan maka aku hanya menyapa sekedarnya di kedai. Memang cara-cara seperti ini sudah kami sepakati sejak awal.”

“Apakah kedatanganmu kali ini adalah kali pertama?” tanya Tong Koat.

“Tidak! Sudah berulang kali. Hanya kali ini jejakku berhasil kalian kuntit dengan ketat.”

“Lalu kenapa kau melepaskan merpati pos untuk mengirim berita?” kembali Tong Koat bertanya.

“Tentu saja aku harus berbuat begitu! Jangan lupa bahwa aku adalah anggota Tayhong-tong yang sedang menyusup untuk mencari berita, tentu saja aku harus mengirim balik berita yang kuperoleh di sini.”

“Berapa ekor merpati pos yang kau lepas?” “Tiga ekor.”

“Semuanya diikat dengan kertas yang sama?” “Ya.”

“Apa maksud lipatan berbentuk hati yang ada dalam ikatan kaki merpati-merpati itu?”

“Masa kau tidak mengerti?” mendadak Tong Sip-jit balik bertanya.

Tong Koat melengak, ditatapnya orang itu seketika, kemudian baru menggeleng. “Kalau aku tahu artinya, buat apa mesti ditanyakan lagi kepadamu?” serunya.

“Itu berarti punya niat tapi tak ada tenaga, pasti selalu gagal menemukan apa pun.”

Jawaban Tong Sip-jit ini amat tepat karena kertas dengan lipatan hati memang tidak bisa diartikan apa-apa. Rupanya Tong Koat percaya dengan penjelasan itu, sekali lagi dia melirik ke arah kakaknya.

Tong Ou pelan-pelan berjalan menghampiri Tong Sip-jit, kemudian tanyanya, “Mengapa selama ini kau tidak langsung menghubungi kami? Bukankah akan jauh lebih leluasa?”

“Aku kuatir ada mata-mata yang menyusup di sini, jika penyamaranku sampai bocor, bukankah aku mesti mengalami sekali lagi peristiwa yang terjadi tujuh tahun berselang?”

Alasan ini pun sangat tepat dan akurat.

Kembali Tong Ou bertanya, “Kalau memang begitu, mengapa kau buka rahasia penyamaranmu sekarang?” “Kalau aku tidak buka kartu saat ini, mungkin kalian tak akan memberi kesempatan bicara lagi kepadaku!”

Waktu itu Tong Ou berdiri, sementara Tong Sip-jit duduk.

Sewaktu pembicaraan berlangsung, Tong Ou mengawasi terus sekitar tengkuk Tong Sip-jit, khususnya ketika orang itu sedang menjawab perta¬nyaannya.

Saat itulah mendadak ia tertawa mengejek, “Kau kira kami akan percaya begitu saja dengan semua perka¬taanmu?”

“Aku toh sudah bicara sejujurnya, kenapa kalian tidak percaya?”

Tong Ou tidak menanggapi ucapan tersebut, ia berpaling ke arah Tong Koat dan Tong Hoa, “Kalian percaya pada ucapannya?”

“Percaya!” sahut Tong Koat berdua serentak.

“Kalau begitu dugaan kalian keliru besar!” sambil berkata, tiba-tiba Tong Ou melancarkan serangan kilat ke tubuh Tong Sip-jit.

Begitu mendengar kata-kata Tong Ou, paras Tong Sip-jit berubah hebat. Baru saja ia akan melompat dari bangkunya, tangan Tong Ou secepat sambaran kilat telah disodokkan ke pinggangnya. Tong Sip-jit merasakan pinggangnya kesemutan dan kaku, seluruh kekuatan badannya lenyap tak berbekas. Sebenarnya Tong Sip-jit sedang bersiap melompat bangun untuk melarikan diri, sayang pinggangnya sudah tersodok serangan Tong Ou sehingga kaku tak mampu bergerak. Dia pun lalu menggunakan tangannya untuk menyerang.

Baru saja ia menggerakkan tangan kanannya, secepat kilat Tong Ou sudah melepaskan berapa serangan untuk menotok berapa jalan darahnya. Tanpa ampun lagi Tong Sip-jit diam tak mampu berkutik. Saat itu tangan kanan Tong Sip-jit yang sedang dipentang seperti cakar garuda terhenti di tengah jalan maka nampak lucu sekali. Sayang dalam keadaan seperti ini tak seorang pun ingin tertawa.

Biarpun badannya tidak bisa bergerak, jalan darah bisu Tong Sip-jit tidak tertotok, maka dengan penuh amarah ia berteriak, “Hei! Kalian ini mau apa?”

“Tidak apa-apa, kami hanya ingin tahu wajahmu yang sebenarnya,” jawab Tong Ou dengan tenang.

“Aku sudah bilang, akulah Tong Sip-jit, masa kalian tidak percaya?”

“Jangankan percaya penuh, sedikit pun tidak!” “Kenapa?”

“Sebab dalam ceritamu tadi, kau banyak melakukan kesalahan.”

“Oh ya?”

“Kau bilang, sewaktu Yo Si-heng menyamar menjadi nenek tua, gadis cantik maupun pelayan setengah umur, kau tidak mampu mengenalinya sama sekali. Ini membuktikan bahwa ilmu menyalin muka yang kau pelajari benar-benar hebat...”

Tong Sip-jit tidak berkata apa-apa, dia hanya mengawasi Tong Ou tanpa berkedip.

“Ketika datang kemari, wajahmu kaku tanpa perubahan ekspresi dan ternyata kau mengenakan topeng kulit manusia. Topeng semacam ini terlalu kasar dan jauh dari sempurna, sama sekali ti dak mirip ajaran seorang jago sehebat Yo Si-heng.”

“Lalu kenapa?”

“Artinya topeng yang kau kenakan sekarang bukanlah topeng kulit manusia yang sesungguhnya!” Begitu selesai berkata, Tong Ou menyambar ke tengkuk Tong Sip-jit lalu menariknya kuat- kuat.

Betul juga, selembar kulit manusia segera terlepas dari wajah Tong Sip-jit. Menyaksikan semua ini, Tong Koat dan Tong Hoa jadi terlongong-longong seperti orang tolol. Yang membuat mereka kaget bukan hanya tindakan Tong Ou yang luar biasa itu, mereka pun dibuat tercengang karena di balik topeng kulit manusia yang berwajah Tong Sip-jit ternyata terdapat lagi wajah Tong Sip-jit yang lain.

Hanya bedanya wajah Tong Sip-jit yang tampil sekarang ini halus, mulus dan sama sekali tidak terlihat bekas luka bakar yang menjijikkan. Kejadian ini membuat Tong Ou turut tertegun. Agak lama kemu¬dian baru sekali lagi ia memeriksa tengkuk Tong Sip-jit. Ia baru berhenti setelah yakin bahwa wajah yang tampil di hadapannya adalah wajah yang asli.

“Benar-benar kau sangat hebat!” puji Tong Sip-jit kemudian. “Tidak terlalu hebat. Aku cuma punya mata yang tajam dan

kemampuan perhitungan yang jauh melebihi orang lain...” “Bagaimana mungkin kau bisa mengetahui samaranku?

Bukankah kau sudah meraba wajahku tadi?”

“Sewaktu meraba wajahmu aku tidak terlalu menaruh perhatian, tapi setelah mendengarkan ceritamu aku mulai berpikir. Sebagai murid Yo Si-heng yang hebat, tak mungkin penyamaranmu begitu kasar dan penuh cacat. Maka aku mulai memperhatikan tengkukmu dan kutemukan bahwa ketika kau bicara, dagu dan tenggorokanmu sama sekali tidak bergerak, beda sekali dengan orang biasa, jadi aku menyimpulkan masih ada selembar topeng lagi yang kau kenakan!”

Setelah tertawa lebar dan berhenti sejenak, ia menambahkan, “Ternyata dugaanku tidak salah!”

“Tapi... bagaimanapun aku tetap Tong Sip-jit!” bisiknya lirih. “Jelas beda sekali! Tong Sip-jit yang wajahnya terbakar

hingga rusak tentu beda sekali dengan Tong Sip-jit yang wajahnya sama sekali tak pernah terbakar.”

“Seberapa besar?”

“Sedemikian besar hingga aku bisa memecahkan rahasia yang menyelimuti peristiwa tujuh tahun berselang!”

Berubah hebat paras Tong Sip-jit begitu mendengar kata-

kata ini.

Kembali Tong Ou berkata sambil tertawa, “Hingga kini kami

masih belum bisa mengungkap siapa yang membocorkan rahasia tujuh tahun yang lalu itu, tapi dengan kemunculanmu, ditambah lagi wajahmu yang sama sekali bersih tanpa bekas luka bakar, bukankah semua jawaban muncul dengan sendirinya, jelas dan gamblang?”

Wajah Tong Sip-jit berubah hebat, tapi ia tetap membungkam.

Sesudah tertawa bangga, kembali Tong Ou melanjutkan, “Sungguh tidak dinyana, dari tubuhmu seorang, aku berhasil membongkar dua kasus yang amat misterius. Yang pertama tidak begitu mengherankan, tapi kasus yang kedua inilah yang kuanggap peristiwa luar biasa!”

Dalam keadaan seperti ini Tong Sip-jit hanya bisa tertawa getir, dia memang sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi. Kembali Tong Ou melancarkan beberapa tepukan ke tubuh Tong Sip-jit, semua jalan darah yang semula tertotok telah dibebaskan kembali.

“Nah, apa maumu sekarang?” tanya Tong Ou kemudian, “akan kau selesaikan sendiri dirimu atau kami yang harus melakukannya untukmu?”

Tong Sip-jit memandang Tong Ou sekejap lalu tertawa pedih. Semua rahasianya sudah terbongkar, ia sadar bahwa ia tidak mungkin hidup lagi. Mendadak ia menggertak sesuatu di balik giginya dan tak lama kemudian terlihat darah segar meleleh keluar dari ujung bibirnya lalu mulutnya berubah jadi hitam pekat.

Perlahan-lahan tubuhnya roboh terjungkal ke tanah.

Tong Ou segera memerintah orang untuk menyeret keluar mayat Tong Sip-jit dan menguburkannya. Ia berpesan wanti-wanti agar semuanya dilakukan sangat hati-hati, jangan sampai Sangkoan Jin tahu.

Sesudah itu berkata kepada Tong Koat dan Tong Hoa, “Sungguh tak disangka kita memperoleh hasil yang luar biasa!”

“Ya, semuanya bagaikan orang bermain catur, setiap perubahan sukar diramalkan sebelumnya,” sahut Tong Koat.

“Aku kuatir bakal terjadi perubahan lain,” kata Tong Hoa. “Perubahan apa?”

“Seandainya Tong Sip-jit benar-benar orang kepercayaan Sangkoan Jin dan Sangkoan Jin belum tahu kalau dia menghadapi kejadian di luar dugaan, padahal dia sedang menggunakan kesempatan ini untuk membuat kita percaya bahwa dia dan Sangkoan Jin satu komplotan, bukankah kita malah termakan oleh siasat adu dombanya?”

“Ehm, masuk di akal juga kata-kata itu,” Tong Ou manggut- manggut, “lalu menurutmu apa yang harus kita lakukan?”

“Soal ini memang agak susah diputuskan,” kata Tong Koat pula, “aku rasa ada baiknya kita menunggu dulu sampai hasil penyerbuan kita ke markas Tayhong-tong ketahuan hasilnya, baru kita mengambil keputusan jika menemui hal-hal yang mencurigakan.”

“Aku usulkan lebih baik segera kita laksanakan rencana Naga Kemala Putih!” ucap Tong Hoa.

“Kenapa?”

“Sebab pertama, jika Sangkoan Jin benar-benar seorang pengkhianat, kita bisa menggunakan rencana Naga Kemala Putih untuk menyingkirkannya.”

“Kalau dia bukan pengkhianat?”

“Kalau bukan, kita gunakan rencana kedua. Kita bisa melenyapkan dia setelah habis memperalatnya, kita bunuh saja dia daripada meninggalkan bibit bencana di kemudian hari.”

“Jika kita benar-benar bertindak seperti itu, siapa lagi orang persilatan yang mau dan bersedia bekerja untuk kita Keluarga Tong? Orang akan menuduh kita tidak bisa dipercaya, habis manis sepah dibuang!”

“Tidak mungkin orang lain punya pandangan begitu terhadap kita. Sebab orang yang membunuh Sangkoan Jin bukan kita!”

“Eeh, masuk akal,” Tong Ou manggut-manggut, “Kalau begitu kita putuskan begitu saja, kau segera laksanakan rencana itu dan tak usah ikut memikirkan hal lain!”

“Baik,” Tong Hoa mengangguk.

Tong Ou segera berpaling ke arah Tong Koat dan bertanya, “Apakah kau punya usul atau pendapat lain?”

“Tidak ada.”

“Kalau begitu mari kita undang Sangkoan Jin untuk sarapan bersama, sekalian kita lihat bagaimana pandangannya terhadap keputusan yang kita ambil dalam perubahan rencana penyerbuan ke markas Tayhong-tong.”

“Aku percaya ini pasti akan menjadi menarik sekali.” “Kalau permainan yang begini asyik pun tidak menarik,

permainan apa lagi yang menarik hati?”

Kedua orang itu mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar