Naga Kemala Putih Bab 05. Teka-Teki di Balik Lukisan Wajah

Bab 05. Teka-Teki di Balik Lukisan Wajah

Sewaktu Bu-ki melihat Tong Koat dan Cu Cu-tan masuk ke dalam ruangan menghampirinya, ia melihat paras muka Tong Koat sangat jelek dan tak enak dipandang, seolah-olah ada orang yang baru saja merampas pengantin perempuannya.

Hal ini bisa dimaklumi karena ketika bangun pagi tadi, Tong Koat mengira Lo-cocong pasti akan mengundangnya untuk sarapan bersama sekalian mendengarkan penuturan kakaknya tentang hasil yang diperoleh sepanjang perjalanan, paling tidak saat itu dia pun bisa memberikan sedikit saran dan tanggapan.

Siapa tahu Lo-cocong sama sekali tidak mengundangnya, memanggil pun tidak.

Sepagian Tong Koat sudah dibuat sangat marah bercampur dongkol hingga sarapan pun segan dimakan, yang lebih bikin jengkel hatinya adalah ketika menjelang tengah hari, dia melihat koki kembali sibuk menyiapkan hidangan dan ia tak tahan untuk bertanya buat siapa hidangan itu disiapkan. Ketika tahu orang yang dijamu adalah Siau Tang-lo dan hidangan cuma disiapkan untuk dua orang, ini membuktikan bahwa kakaknya, Tong Ou, sama sekali tak berniat mengundangnya untuk turut serta dalam perjamuan ini, ia jadi makin jengkel dan marah hingga paras mukanya berubah jadi merah padam seperti hati babi. Rasa dongkolnya semakin menjadi-jadi ketika Lo-cocong memerintahkan ia bersama Cu Cu-tan untuk pergi membuat lukisan wajah Li Giok-tong, apa artinya ini? Ini membuktikan bahwa kakaknya, Tong Ou, telah berhasil membuktikan Li Giok-tong bukan Tio Bu-ki, karena dengan terlukisnya wajah orang itu, berarti secara resmi orang itu telah diterima menjadi anggota Keluarga Tong.

Mengapa Tong Ou tidak mengajaknya berunding dulu sebelum menerima Li Giok-tong menjadi anggota Keluarga Tong?

Oleh sebab itu ketika Bu-ki dengan perasaan ingin tahu bertanya kepada Tong Koat, mengapa ia harus dibuat lukisan wajahnya, Tong Koat sama sekali tidak mempedulikan pertanyaan itu, dia hanya berteriak dengan penuh kejengkelan, “Pokoknya biar dia lukis wajahmu, titik. Orang Keluarga Tong paling benci kalau ditanya ke sana kemari.

Melihat sikap dan nada suaranya, Bu-ki tahu kalau orang itu sedang dongkol dan marah karena sesuatu, tapi jawaban tersebut tidak membuat Bu-ki jadi marah, pikirnya, “Mau dilukis atau diapakan, terserah, cepat atau lambat toh jawab¬nya segera akan kuketahui.”

Selesai dilukis, ia segera pergi mencari Sangkoan Jin dan menceritakan kejadian itu kepadanya. Mendengar penuturan tersebut, Sangkoan Jin sangat gembira, ia berseru sambil menepuk- nepuk bahu pemuda itu, “Selamat! Selamat! Kionghi, kionghi!”

“Kenapa mesti kionghi kepadaku? Memangnya Benteng Keluarga Tong hendak menggunakan lukisan wajahku untuk mencarikan jodoh bagiku?”

“Tentu saja bukan begitu!”

“Lantas, apa yang mesti dibikin gembira?”

“Dalam Keluarga Tong ada satu kebiasaan, mereka akan membuat lukisan wajah bagi setiap orang yang dianggap penting dalam kelompoknya, lukisan itu akan digantung dalam sebuah ruangan agar setiap orang bisa melihat serta mengenali wajahnya.”

“Oh, jadi paman Siangkoan juga telah dilukis wajahnya?” “Betul, ini menandakan mereka telah mempercayai identitas

palsumu, bahkan sangat menghargai kemampuanmu!”

Bu-ki betul-betul sangat gembira, dari penuturan Sangkoan Jin tadi, dia menjadi tahu bahwa pihak Keluarga Tong sangat menghargai kemampuannya dan akan memandang penting peranannya, bahkan dia semakin gembira lagi ketika Tong Ou ternyata mengundangnya untuk bertemu.

Sekalipun dalam hati kecilnya ia merasa amat gembira, namun perasaan tersebut tidak sampai kelewat ditampilkan ke wajahnya, sebab selama berapa waktu belakangan ini ia sudah belajar bagaimana mengendalikan emosi serta tidak menampilkan setiap perubahan perasaan hatinya, apalagi ketika sedang berhadapan dengan musuh, ia harus bisa mempertahankan ketenangan serta kesigapannya untuk menghadapi setiap perubahan.

Maka sewaktu dia berjalan masuk ke ruangan tempat Tong Ou ingin berjumpa dengannya, pemuda itu telah berhasil menenangkan perasaan hatinya, dia telah mengubah dirinya bagai anak panah yang sudah dipentang di busurnya, setiap waktu dan setiap saat dia bisa menggunakan seluruh tenaga dan kemampuannya untuk melindungi diri.

Ketika melangkah masuk ke dalam ruangan, ia segera dapat melihat wajah Tong Ou, diam-diam ia bersorak memuji dalam hatinya. Ditilik dari penampilannya, Tong Ou berusia sekitar tigapuluh tahunan, wajahnya nampak gagah dan tampan, sorot mata yang terpancar keluar seakan-akan mengandung rasa percaya diri yang sangat kuat.

Begitu melihat kehadiran Bu-ki, Tong Ou segera menegur, “LiGiok-tong?”

“Betul!” sahut Bu-ki sambil bersojah, “aku adalah Li Giok- tong dariCisi!”

“Selamat datang di Benteng Keluarga Tong!”

“Aku merasa amat bangga dan gembira atas sambutan ini.” “Mari, kita bicara di dalam saja,” ajak Tong Ou kemudian. “Di dalam?”

“Benar, di kamar sebelah sana.”

Tong Ou menggerakkan tangannya memberi tanda mempersi-lahkan, Tio Bu-ki pun tanpa berpikir panjang segera melangkah masuk ke dalam ruangan. Tong Ou menunggu sampai Bu-ki sudah melangkah dua tindak, baru bertepuk tangan memberi isyarat, seseorang segera muncul di tengah ruangan.

Kepada orang itu Tong Ou berkata, “Segera undang Cu- sianseng untuk masuk!” Bu-ki berhenti di depan pintu, menanti Tong Ou sudah membukakan pintu, baru dia melangkah masuk. Ternyata ruangan itu penuh dengan lukisan wajah yang tergantung di seluruh dinding.

Sambil menuding ke atas lukisan lukisan wajah itu, Tong Ou berkata, “Semua wajah yang terlukis dalam ruangan ini adalah jago- jago pilihan dari Benteng Keluarga Tong kami.”

Bu-ki melihat wajah Sangkoan Jin ikut terpampang di situ, lukisan wajahnya tergantung pada dinding sebelah kiri.

“Lukisan wajahmu ada di meja!” kembali Tong Ou berkata.

Bu-ki sudah melihat lukisan itu ketika Cu Cu-tan selesai melukis tadi, karena itu walaupun ia melihat di atas meja ada sebuah lukisan, namun ia tidak berniat untuk menghampiri dan melihatnya lagi.

“Silahkan duduk!” kembali Tong Ou berkata sambil menunjuk bangku di sisi meja.

Bu-ki pun duduk, karena berada di tepi meja, maka tanpa sadar ia pun melirik sekejap ke lukisan wajah yang berada di sisinya. Wajah dalam lukisan itu nampak sangat kurus dan penuh cambang, ketam¬panan wajahnya di masa lampau sudah sama sekali tak terlihat.

“Bagaimana hasil lukisan Cu-sianseng, hebat bukan?” ucap Tong Ou kemudian setelah ikut duduk di hadapannya.

“Betul, hebat dan kelas satu!”

“Sesuai dengan peraturan Keluarga Tong kami, asalkan dia orang yang pandai, hebat dan bisa diandalkan, kami pasti akan buatkan lukisan wajahnya dan digantungkan dalam ruangan ini.”

Bu-ki hanya memandang lukisan wajahnya tanpa menjawab. “Hanya saja,” kembali Tong Ou berkata, “tujuan kami untuk

membuat lukisan wajahmu kali ini, belum tentu dimaksudkan untuk digantung di sini.”

“Oh ya?” dalam hati kecilnya Bu-ki mulai merasa kecewa bercampur curiga. Kenapa belum tentu digantung dalam ruangan ini? Sekalipun begitu, dia sama sekali tidak menampilkan perasaan heran bercampur curiganya di wajahnya.

“Inilah untuk pertama kalinya kami Benteng Keluarga Tong membuatkan lukisan wajah orang luar.”

“Berarti merupakan satu kehormatan dan kebanggaan tersendiri bagiku?”

“Mungkin, kau ingin tahu kenapa?” “Kau bersedia memberitahukan kepadaku?” “Tentu saja bersedia.”

Sementara itu, Cu Cu-tan sudah berjalan ke dalam ruangan, di tangannya ia masih membawa beberapa gulung lukisan wajah.

“Mari kita ke sana sambil melihat-lihat dan beromong- omong,” ajak Tong Ou sambil menuding ke arah sebuah meja besar dekat dinding ruangan.

Tiba di depan meja besar itu, Cu Cu-tan mulai membentangkan semua lukisan yang dibawanya, selembar demi selembar dipaparkan di atas meja, semuanya berjumlah lima lembar lukisan. Lembaran lukisan yang paling ujung adalah seseorang berwajah kurus, semakin ke kanan wajah itu kelihatan semakin bertambah gemuk.

Bu-ki segera kenali dua lembar lukisan yang paling kanan adalah lukisan wajah dari Tong Koat, orang paling gemuk di dalam Benteng Keluarga Tong, sedang tiga lembar lukisan di sisi kirinya memiliki raut muka yang mirip dengan Tong Koat, namun Bu-ki tak berani memastikan kalau lukisan tersebut adalah lukisan wajahnya.

“Kelima lembar lukisan ini semuanya adalah lukisan wajah adikku, Tong Koat, yang berada di paling kiri adalah lukisan wajahnya kira-kira sepuluh tahun yang lalu waktu dia masih sangat kurus, sedang luk isan yang berada di paling kanan adalah lukisan wajahnya pada setahun silam, dia sudah berubah jadi begitu gemuk!”

Bu-ki tidak tahu apa sebab serta tujuan Tong Ou memperlihatkan lukisan-lukisan itu padanya, tapi dia yakin, pada akhirnya Tong Ou pasti akan memberikan penjelasan atas semua teka teki tersebut, oleh sebab itu dia sama sekali tidak gelisah bahkan mulutnya tetap membungkam seribu bahasa.

Menanti Cu Cu-tan selesai menggulung kembali kelima lembar lukisan itu, Tong Ou baru berjalan balik ke meja pertama dan mengambil lukisan wajah Bu-ki yang lalu dibentangkannya di atas meja besar, sementara Cu Cu-tan sudah mempersiapkan alat tulis serta selembar kertas baru.

Setelah meletakkan peralatan gambarnya di atas meja, Cu Cu-tan mulai mengambil selembar kertas kosong dari tumpukan kertas yang dibawanya, kemudian membentangkan kertas baru itu tepat di atas lukisan wajah Tio Bu-ki. “Kertas ini sangat tipis,” Tong Ou menjelaskan, “sedemikian tipisnya sehingga lukisan yang berada di bawahnya dapat terlihat dengan jelas.”

Kembali Cu Cu-tan mengambil dua lembar kertas kosong dan diletakkan di atas serta di bawah kertas kosong pertama, lalu setelah mengambil alat gambarnya, ia memandang ke arah Tong Ou menunggu perintah.

Terdengar Tong Ou berkata lagi kepada Bu-ki, “Cu-sianseng sangat mahir dalam melukis wajah manusia, maka pengamatannya terhadap raut wajah seseorang sangat teliti dan cermat, dan sekarang, berdasarkan pengalaman yang dimilikinya selama ini, dia akan melukis raut wajahmu ketika kau bertambah gemuk nanti.”

Bu-ki sangat kaget, pikirnya, “Mau melukis wajahku ketika gemuk? Jika lukisannya tepat, bukankah Tong Ou segera akan tahu kalau aku adalah Tio Bu-ki? Tapi... mungkinkah dia dapat melukis wajahku yang sebenarnya dengan tepat?”

Tampak Cu Cu-tan mulai menggerakkan alat tulisnya membuat coretan-coretan pada kertas baru itu, tak selang berapa saat kemudian, raut wajah seorang pemuda yang tampan dan gagah segera tampil di atas lembaran kertas lukisan itu. Kali ini Bu-ki betul- betul sangat terperanjat, sebab raut wajah yang tertera pada lukisan itu mirip sekali dengan wajahnya setahun lalu, sekalipun tidak tepat secara keseluruhan, paling tidak kemiripannya mencapai tujuh- delapan bagian.

“Mirip bukan?” tegur Tong Ou kemudian, sambil memandang wajah Bu-ki.

“Dari mana aku bisa tahu?” jawab Bu-ki. “Kenapa kau tidak tahu?”

“Sejak kecil aku sudah sekurus ini, dari mana aku bisa tahu bagaimana raut wajahku bila menjadi gemuk?”

“Sungguh?”

“Menurut kau, setampan itukah wajahku?” “Ehmm, aku rasa mirip sekali.”

“Oh ya?”

“Coba ikut aku.”

Tong Ou mengambil kertas tambahan itu dan membawa lukisan yang baru selesai dilukis itu ke ruang tamu. Mereka tiba di sisi kiri ruang tamu, di situ ia mendorong sebuah pintu dan masuk ke dalam sebuah ruangan yang di dalamnya penuh dengan rak yang dipenuhi lukisan wajah manusia.

Sambil melangkah masuk, kembali Tong Ou menjelaskan, “Isi rak yang ada di dalam ruangan ini juga lukisan wajah manusia, hanya bedanya lukisan yang berada di sini adalah lukisan wajah- wajah musuh besar Benteng Keluarga Tong.”

Bu-ki tidak berbicara lagi, dalam hatinya ia sudah paham apa yang bakal terjadi, lukisan wajah Tio Bu-ki dari Perkumpulan Tayhong-tong pasti berada di situ juga. Ketika melangkah ke dalam ruangan, ia segera dapat melihat tulisan-tulisan yang ditempelkan pada rak-rak lukisan itu, ada lukisan dari Hui-hong-pang, Sin-liong- pang... dan tentu saja dari Tayhong-tong.

Benar juga, Tong Ou langsung menuju ke rak lukisan yang dicantumi label Tayhong-tong, ia membuka laci keempat dari rak tersebut dan mengeluarkan segulung lukisan wajah, kemudian katanya kepada Bu-ki, “Inilah lukisan wajah Tio Bu-ki dari perkumpulan Tayhong-tong.”

Bu-ki masih tetap menjaga ketenangan hati dan penampilannya, padahal di hati kecilnya ia sudah merasakan ketegangan yang luar biasa hingga tanpa sadar peluh dingin membasahi telapak tangannya. Sementara itu Tong Ou sudah melepaskan tali merah yang mengikat gulungan lukisan itu, kemudian dengan tangan kiri memegang lukisan tersebut, tangan kanannya memegang lukisan hasil karya Cu Cu-tan. Dia mengamati kedua lukisan itu bergantian, lalu memandang juga ke wajah Bu-ki, seakan-akan dia ingin melihat bagaimana perubahan wajah pemuda itu.

Paras muka Bu-ki sama sekali tidak berubah, dia bersikap seakan-akan sedang ikut menikmati dua lukisan wajah yang sama sekali tak ada hubungan dan sangkut pautnya dengan dirinya.

Tiba-tiba terdengar Cu Cu-tan yang berdiri di belakang Bu-ki menjerit kaget, “Aaah, mirip, mirip sekali, kau adalah Tio Bu-ki!”

Tio Bu-ki segera tertawa keras.

“Kau masih bisa tertawa?” seru Tong Ou.

“Apa kau tidak merasa kejadian ini sungguh menggelikan? Kau tidak menganggap peristiwa ini sebagai sesuatu yang konyol dan ngawur?” “Tidak, aku sama sekali tidak merasakan.” Sambil menuding ke arah Cu Cu-tan, kembali Bu-ki berkata, “Bukankah lukisan wajah Tio Bu-ki dari Tayhong-tong dilukis juga olehnya?”

“Benar!”

“Itulah dia,” kata Bu-ki, “selama ini kalian menaruh curiga bahwa aku adalah Tio Bu-ki, maka sewaktu dia menambah lukisan tadi, pikirannya sudah terpengaruh oleh bayangan wajah Tio Bu-ki, tidak aneh jika hasil lukisannya mirip sekali dengan Tio Bu-ki. Coba kalau kalian mencurigai aku sebagi Oh Tun dari Hui-hong-pang, aku yakin hasil lukisan yang dibuatnya pasti sangat mirip dengan Oh Tun, percaya tidak?”

“Aku percaya, cuma dalam satu hal kau keliru.” “Dalam hal apa?”

“Cu-sianseng sama sekali tidak tahu urusan tentang Tio Bu- ki, kami hanya beritahu kepadanya bahwa kau adalah Li Giok-tong, kemudian menyuruhnya berdasarkan pengalaman yang dimilikinya, untuk melukiskan wajah Li Giok-tong seandainya menjadi gemuk nanti.”

Bu-ki tidak bicara lagi, kalau urusan telah berkembang jadi begini, apa lagi yang bisa dia katakan?

“Sekarang kau sudah mengaku bukan bahwa dirimu adalah Tio Bu-Ki?” tegas Tong Ou.

Bu-ki tidak menjawab pertanyaannya itu, ia balik bertanya, “Kalau toh sedari awal kau sudah menduga seperti itu mengapa tidak kau bunuh saja diriku sekarang?”

“Ada dua alasan aku tidak membunuhmu, pertama karena sejak kau masuk kemari, aku sudah merasakan hawa pembunuhan yang sangat tebal memancar dari tubuhmu, aku tak yakin bisa mengalahkan dirimu dalam satu kali serangan, sekalipun pada akhirnya aku berhasil mengalahkan kau, jika kau merasa tak mungkin bisa mundur dari sini dengan selamat, aku yakin kau akan mengajakku untuk mengadu jiwa, jelas aku Tong Ou tak sudi berbuat demikian.”

“Oh? Lantas apa alasanmu yang kedua?”

“Alasan kedua inilah yang merupakan alasan yang sesungguhnya.”

Setelah berhenti sejenak, ia kembali meneruskan, “Aku paling tak suka melakukan serangan bokongan, bila ingin membunuh seseorang, aku akan menantangnya bertempur secara jantan.” “Kalau begitu kau ingin menantangku untuk berduel?” “Benar!”

“Kau sudah sangat yakin kalau aku adalah Tio Bu-ki?” “Aku tak ambil peduli kau Tio Bu-ki atau bukan, aku tetap

akan menantangmu untuk bertarung!” “Kenapa?”

“Kesenanganku yang paling utama adalah mengadu pedang dengan semua jago yang ada di kolong langit.”

“Apakah aku pantas untuk menerima tantanganmu itu?” “Tentu saja sangat pantas, cukup melihat keberanianmu,

aku rasa sudah lebih dari pantas.”

“Kau terlalu memandang tinggi kemampuanku,” seru Bu-ki. “Jadi kau sudah menerima tantanganku untuk berduel?” “Masih mungkin bagiku untuk menolak?”

“Baiklah, kalau begitu kita putuskan begini saja. Tengah hari tanggal tujuh bulan tujuh di puncak gunung Thay-san!”

“Baik, aku akan menepati janji!”

“Jika kau sudah berjanji akan menepati janji kita, lebih baik jagalah dirimu baik-baik!”

“Aku tak mengerti dengan perkataanmu itu!” “Kenapa tidak mengerti?”

“Kenapa kau suruh aku baik-baik menjaga diri? Kalau tak terjadi suatu peristiwa yang mendadak, siapa pun pasti akan berusaha untuk menjaga diri.”

“Tepat sekali perkataanmu itu,” Tong Ou manggut-manggut, “Justru karena aku tahu kalau kau bakal menghadapi suatu peristiwa yang hebat, maka sengaja kuingatkan agar kau bisa menjaga diri baik-baik.”

“Peristiwa hebat apa?” tanya Bu-ki tak habis mengerti. “Ada beberapa kejadian yang akan kau alami secara

beruntun, kejadian pertama adalah malam nanti. Aku akan mengajakmu men¬jumpai seseorang.”

“Menjumpai seseorang? Haruskah aku menjumpai orang

itu?”

“Aku telah berjanji kepada orang itu agar kau pergi

menjumpainya.”

“Bila aku menolak untuk bertemu?” “Menolak juga tak apa apa, paling-paling aku akan membuat kecewa orang itu dan tidak menepati janjinya. Tapi aku percaya kau pasti ingin sekali bertemu dengan orang itu.”

Bu-ki tidak bertanya siapakah orang itu, sebab dia tahu bertanya pun tak ada gunanya, Tong Ou pasti akan jual mahal dengan tidak menyebut siapa orang itu, maka katanya kemudian, “Baik, aku akan menjumpai orang itu!”

“Terima kasih banyak. Kejadian kedua adalah setelah bertemu orang itu, maka kau harus segera meninggalkan Benteng Keluarga Tong, pergi seorang diri.”

“Maksudmu Benteng Keluarga Tong sudah tak suka menerima kehadiranku di tempat ini?”

“Tidak, kami sangat gembira bisa menerima kau sebagai tamu kami, justru aku yang kuatir kau tak ingin tinggal lebih lama lagi di sini.”

“Kenapa?”

“Sebab aku masih akan memberitahukan satu kejadian lagi kepadamu dan aku yakin, setelah kau mendengar kata-kataku nanti, kau pasti akan gelisah seperti semut di atas kuali panas!”

“Gelisah juga tak ada gunanya, toh aku telah berjanji kepadamu akan menjumpai orang itu nanti malam dan aku akan pergi setelah bertemu dengannya, pergi dari sini seorang diri.”

Tong Ou tertawa tergelak.

“Kau memang sangat cerdas, satu kejadian yang sangat menyenangkan bila aku dapat berduel melawan orang semacam kau.”

“Kini, segala sesuatunya sudah berada dalam cengkeramanmu, aku tidak gembira.”

“Maka dari itu aku harus membuat segala sesuatunya nampak sangat adil, dengan begitu pertarungan kita baru sah di mata orang banyak.”

Bu-ki tidak berkata apa-apa lagi, dalam hatinya ia mulai berpikir, “Selama ini Benteng Keluarga Tong tersohor dalam dunia persilatan karena kemahirannya menggunakan senjata rahasia, obat racun serta rencana licik, mana mungkin bisa muncul seorang yang gagah dan sangat adil seperti Tong Ou? Jangan-jangan di balik semua ini masih tersimpan rencana busuk lainnya?”

Sementara dia masih memikirkan persoalan ini, kata-kata yang diucapkan Tong Ou berikutnya membuatnya selain lebih terkejut, juga penuh rasa curiga, sebenarnya Tong Ou ini tokoh utama Benteng Keluarga Tong atau bukan?

“Dalam berapa hari ini, kemungkinan besar kami akan menyerang markas besar Tayhong-tong secara besar-besaran, apakah kau tak ingin buru-buru pulang ke rumah untuk membuat persiapan?” kata Tong Ou sambil tertawa.

Mengapa Tong Ou harus membeberkan rahasia besar ini kepadanya, bahkan rahasia itu baru disampaikan setelah dia yakin kalau dirinya adalah Tio Bu-ki? Mungkinkah dia memang menginginkan suatu pertarungan yang adil? Bu-ki tidak tahu, untuk membuktikan hal ini memang dibutuhkan waktu yang cukup lama.

Setelah keadaan berkembang menjadi begini, Bu-ki sadar sudah tak ada gunanya lagi merahasiakan identitas dirinya sebab seperti yang dikatakan Tong Au, setelah mengetahui Benteng Keluarga Tong akan menyerang Tayhong-tong secara besar-besaran, dia memang harus segera berangkat pulang, dia harus pulang untuk mendampingi saudara-saudara seperguruannya untuk bersama- sama menyambut serangan musuh dan bertarung hingga titik darah penghabisan.

Bila hal ini sampai terjadi, siapa pun tentu akan tahu kalau dia adalah Tio Bu-ki. Lagipula benar atau tidaknya dia sebagai Tio Bu-ki sudah menjadi urusan yang tak penting bagi Tong Ou, karena

Tong Ou sudah menyuruhnya pergi dari Benteng Keluarga Tong. Jika seseorang sudah tidak tinggal di dalam Benteng Keluarga Tong, maka tidak peduli siapa pun orang itu, dia tak akan mendatangkan ancaman lagi bagi Keluarga Tong.

Itulah sebabnya Bu-ki telah bersiap-siap untuk pergi dari

situ.

“Nanti dulu, nanti dulu, jangan terburu-buru,” cegah Tong

Ou sambil merentangkan tangannya menghalangi kepergian pemuda itu, “agar adil, setelah aku memberitahukan banyak persoalan kepadamu, sudah sepantasnya bila kau pun menjawab satu pertanyaanku.”

“Tanya saja!”

“Kenapa kau belum juga turun tangan membunuh Sangkoan

Jin?”

“Tampaknya kau sudah tahu tentang semua kejadian di sini

walaupun kau tidak ada di Benteng Keluarga Tong!” “Kau kira nama besar Benteng Keluarga Tong yang selama ini tersohor dalam dunia persilatan sekedar nama kosong belaka?”

“Baik, kalau begitu akan kujawab pertanyaanmu itu. Aku belum menemukan kesempatan yang baik untuk turun tangan, percaya tidak?”

“Tentu saja aku percaya, Sangkoan Jin bukan manusia sembarangan, tentu saja dia tak akan semudah itu membuka peluang padamu untuk turun tangan.”

“Karena itu aku pun perlu memberitahumu bahwa aku masih akan terus mencari kesempatan untuk datang kemari dan membalas dendam.”

“Aku harap kau bisa menyatukan dulu seluruh pikiran dan perhatianmu untuk menghadapi pertarungan besar yang akan segera berlangsung. Aku tidak berharap seranganku untuk menghancurkan markas besar Tayhong-tong bisa berlangsung dengan gampang dan empuk seperti memotong tahu.”

“Kenapa?”

“Bila sesuatu bisa diperoleh dengan mudah, permainan jadi tidak menarik, urusan yang terlalu gampang hanya menandakan ketidakmampuan mu untuk mengolah pasukan yang kau miliki. Bila aku mesti membunuh ayam menggunakan golok penjagal sapi, bukankah perbuatanku jadi terlalu bodoh dan tak bermutu?”

“Karena itu kau sengaja melepaskan aku pulang ke markas besar Tayhong-tong?”

“Benar!”

“Tampaknya kau sangat yakin bisa memenangkan pertarungan ini!”

“Bertindak setelah membuat perencanaan matang, meraih pahala setelah melakukan tindakan, itulah prinsip kerjaku, orang she Tong!”

“Bagus sekali! Aku suka sekali manusia macam dirimu!” “Yaa, sayang sekali kita tak bisa jadi teman.”

“Banyak sekali urusan di dunia ini berjalan jauh dari keinginan orang. Bisa berhadapan denganmu sebagai musuh sudah merupakan kejadian yang luar biasa!”

“Betul, seringkah ingin menjadi musuh seseorang pun bukan pekerjaan yang mudah!”

“Tapi aku pasti akan selalu mengingat dan merindukan musuh semacam kau!” “Apa maksudmu berkata begitu?” tanya Tong Ou cepat. “Itu menandakan bahwa aku pun sama seperti kau,

mempunyai keyakinan yang besar untuk memenangkan pertempuran ini. Bila aku berhasil mengalahkan mu, yang tersisa hanyalah kenangan serta rinduku kepadamu.”

Tong Ou segera mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.

“Ha ha ha... bagus, bagus sekali!” serunya, “sekarang, bersediakah kau ikut aku pergi ke suatu tempat?”

“Ke mana?”

“Sebenarnya aku berencana akan mengajakmu menjumpai dia pada malam nanti, tapi sekarang tiba-tiba aku berubah pikiran, kuharap kau bisa berangkat sekarang juga.”

“Kau ingin aku pergi menjumpai orang yang kau maksudkan itu sekarang juga?”

“Tidak, lebih baik bertemu malam nanti saja.” “Lalu, kenapa harus berangkat sekarang juga?” “Sebab aku ingin kau menunggunya di sana.”

“Ooh, jadi kau ingin menahan dan mengurungku lebih dulu?” “Kau tidak berani?”

“Kenapa tak berani? Aku hanya menduga, rupanya kau takut aku akan melakukan suatu perbuatan selama waktu penantian ini?”

“Benar, aku kuatir kau secara tiba-tiba mendapatkan kesempatan yang baik untuk membunuh Sangkoan Jin dan bila peristiwa seperti itu sampai terjadi, bukankah hal ini akan menjadi kerugian yang teramat besar bagi Benteng Keluarga Tong?”

“Kalau begitu mari kita berangkat sekarang juga!”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar