Mustika Gaib Bab 20 Tamat

 
Bab 20

Daun-daun pohon siong yang terbakar di depan lubang goa masih menyala. Di bawah mulut goa tampak asap mengepul, api di sana belum padam, begitu pula api yang membakar pohon-pohon yang tumbuh di- pinggiran lubang goa masih menyala, tapi rombongan tikus yang jumlahnya ribuan itu, mereka seperti tidak takut akan adanya api, terus menerobos naik masuk ke dalam goa, dan api yang diterobos oleh ribuan tikus tadi mendadak menjadi padam, Gerakan ribuan tikus yang lari kembali naik masuk ke dalam lubang goa, membuat satu pemandangan sangat aneh, karena gerakan tikus- tikus itu seperti air bah yang keruh tersedot dari bawah lembah memasuki lubang goa yang berada di atas tebing. Api yang membakar daun-daun pohon siong waktu itu, mulai padam. Karena batang-batang ranting pohon sudah hangus menjadi arang. Suasana di bawah lembah kembali menjadi sunyi, suara cicit tikuspun tak terdengar lagi, di sana hanya tinggal cairan biru yang kian lama kian mengering terhisap ke dalam bumi.

Dari atas permukaan goa yang baru saja padam terbakar oleh api, tampak berdiri dua sosok tubuh manusia memandang ke bawah lembah, karena tingginya goa dari dasar lembah hanya setinggi pohon siong yang tumbuh d depan goa, maka keadaan di bawah dapat dilihat dengan jelas, di sana tampak sunyi tak terdapat bayangan benda hidup apapun, hanya sisa- sisa cairan biru masih tergenang di atas menghijaunya rumput. Siapakah kedua sosok manusia yang berdiri di mulut lubang goa? Yang seorang bukan lain adalah si pemuda buta Hong Pin, pada tangan kirinya tongkat Tiok ciat-piannya, ditunjang di depan, ia memandang ke bawah, terdengar ia berkata, “Kalau saja tubuh-tubuh mereka tidak mati mencair, pastilah daging mereka sudah pindah ke dalam perut ribuan tikus ini. ”

”Hmm. Tikus-tikus ini sebenarnya sudah kelaparan,” terdengar kata-kata sosok tubuh di samping kiri Hong Pin. ”Mereka belum beruntung mendapat makanan lezat. Mari kita bicara di dalam. ”

Setelah berkata demikian orang itu membalik badan mengajak Hong Pin ke dalam goa. Dengan bantuan tongkat bajanya Hong Pin menyusuri lubang goa mengikuti langkah kaki orang di depannya, kemudian terdengar orang itu berkata, “Duduklah. ”

Mendengar perintah duduk, Hong Pin meraba-raba ke bawah, kemudian ia duduk di atas sebuah batu, lalu katanya, ”Kau sebenarnya siapa? Bagaimana dengan irama seruling itu bisa mengendalikan ribuan tikus-tikus liar?”

Mendengar pertanyaan Hong Pin, orang itu menundukkan kepala ke bawah, lalu menghela napas, katanya, “Aku Kang Hoo, she Lie ”

“Aku Hong Pin, terima kasih atas bantuanmu,” jawab Hong Pin. “Bantuan apa?” tanya Kang Hoo menatap wajah Hong Pin yang buta duduk di depannya. Hong Pin yang tak bisa melihat bagaimana bentuk perawakan Kang Hoo, ia menduga tentulah tuan penolongnya itu adalah seorang jago lihay rimba persilatan, dan dari pendengaran telinganya yang tajam luar biasa, Hong Pin bisa menduga kalau jago rimba persilatan di depannya ini adalah seorang muda yang tidak lebih usianya dari tiga puluhan tahun Ternyata meskipun sepasang matanya buta tapi pendengaran dan perasaan Hong Pin memang luar biasa, ia telah bisa menduga, kalau Kang Hoo di depannya ini seorang belum berusia tiga puluhan tahun karena sebenarnyalah orang di depannya itu adalah seorang pemuda, yang berambut awut-awutan tidak keruan, sedang badannya yang kekar itu tak mengenakan sekeping bajupun hanya bagian bawahnya mengenakan celana, tapi celana itu juga sudah robek tidak keruan macam, meskipun tampak bersih.

Kang Hoo memiliki sepasang mata yang bisa terang tapi hari ini di dalam goa ia telah kena tipu oleh dandannya Hong Pin yang mengenakan pakaian laki- laki, disangkanya Hong Pin itu adalah seorang pemuda. Maka tanpa sungkan-sungkan ia sudah mengeluarkan pertanyaan, “Saudara Hong Pin, bagaimana kau bisa tiba di tempat ini dan dengan tidak mempunyai alasan apapun kau telah mengamuk membunuh orang-orang berseragam hitam berselubung muka itu?”

Mendapat pertanyaan itu, Hong Pin terjengkit kaget, keningnya berkerut, lalu katanya, “Saudara, kau ini aneh,” kata Hong Pin memandang dengan mata butanya. “Bukankah orang-orang seragam bertopeng hitam itu hendak membunuhmu, begitu aku turun ke bawah lembah ini, mereka sudah menyatakan apa maksud mereka, maka melihat kelakuan mereka aku tidak suka, dan dengan menggunakan tongkatku ini aku mengamuk membabi buta. ”

Kang Hoo tersenyum mendengar ucapan Hong Pin, kemudian ia bertanya, ”Saudara Hong, apa alasanmu membunuh mereka?”

”Eh,” Hong Pin mengangkat kepala, ia kaget lagi pertanyaan serupa.

“Menolong dirimu,”

“Kukira?” kata Kang Hoo. “Untuk menolong orang tak perlu harus membunuh. ”

“Orang yang bisa menolong orang adalah orang yang bisa membunuh. ” Jawab Hong Pin.

Kembali Kang Hoo tersenyum, katanya, “Tapi bukankah aku sudah menolongmu membebaskan totokan si tua itu tanpa membunuh?”

Mendengar jawaban itu Hong Pin kembali terjengkit kaget, wajahnya bersemu merah, ia yang datang ingin menolong orang tidak tahunya dirinyalah yang harus mendapat pertolongan orang, maka ia membungkam seribu bahasa.

Mengetahui kalau pemuda Hong Pin bungkam terpukul oleh kata-kata Kang Hoo, kembali ia bertanya, ”Saudara Hong Pin, sebenarnya bagaimana ?”

Tapi ucapan itu tak dapat diteruskan Kang Hoo, ia menghentikan kata-katanya sambil menatap sepasang mata Hong Pin yang buta.

Sekali lagi Hong Pin menunjukkan ketajaman panca inderanya, meskipun sepasang matanya buta, tapi indera perasanya sangat tajam, ia seperti bisa menebak hati orang di depannya, maka sambil tersenyum berkata, “Mataku ini buta sejak umur lima tahun, dan aku diperintah suhu untuk mencari rahasia Angsa Emas Berkepala Naga, di dalam rahasia Angsa Emas itu merupakan kunci dari sebuah istana terpendam, dimana terdapat banyak benda mustika. Dan apakah saudara pernah dengar tentang rahasia Angsa Emas Berkepala Naga?”

Mendapat pertanyaan tentang rahasia Angsa Emas Berkepala Naga, Kong Hoo melompongkan mulut, karena baru kali inilah ia bisa mendengar tentang adanya itu rahasia Angsa Emas Berkepala Naga yang merupakan kunci dari satu Istana terpendam. Dan keadaan Kang Hoo waktu itu sebenarnya, ia baru saja jatuh dari atas lamping gunung yang tinggi, itulah perintah suhunya di mana ia disuruh terjun dari atas puncak gunung untuk menguji apakah ia telah berhasil meyakinkan ilmu Karakter (Mustika Gaib jilid enam). Bagaimana ia bisa tahu tentang adanya itu rahasia Angsa Emas Berkepala Naga sedang gurunya sendiri Kong sun But-Ok tidak pernah menceritakan hal itu. Maka sebagai jawaban Kang Hoo menggeleng kepala. Tapi begitu Kang Hoo teringat kalau pemuda di depannya adalah pemuda buta, tentunya jawaban goyang kepala itu tak dapat dilihat, maka cepat ia berkata, “Sebenarnya, aku baru pertama kali ini mendengar rahasia Angsa Emas Berkepala Naga. Kalau di dalam istana itu terdapat obat dan benda-benda mustika tentunya sudah seharusnya kau mendapatkan benda tadi guna mendapatkan benda-benda mustika dari dalam istana terpendam itu. ”

Hong Pin dengan masih duduk di atas batu di depan Kang Hoo, ia berkata, ”Benar, begitulah menurut pesan guruku. ”

Kang Hoo mengangguk kepala, lalu katanya, “Boleh aku tahu siapa nama besar serta gelar suhumu?”

Mendapat pertanyaan demikian Hong Pin menundukkan kepalanya ke lantai goa, setelah menghela napas ia mengangkat kepala memandang Kang Hoo lalu katanya, ”Soal siapa nama dan gelaran suhuku, untuk sementara ini maaf aku tak bisa memberi jawaban. Tapi kalau kau ingin tahu juga, kau boleh datang sendiri ke pulau Cin hong-to di laut Pokhay!”

Mengetahui kalau Hong Pin tidak mau menyebutkan nama gurunya, maka Kang Hoo tidak mau mendesak, dengan tersenyum ia berkata, “Mengapa tidak suhumu saja yang turun tangan mencari itu rahasia Angsa Emas Berkepala Naga?”

“Suhu sedang melatih ilmunya yang terbaru, maka menyuruh aku keluar mencari rahasia itu. Katanya kalau rejekiku besar tentunya aku mendapat benda tadi, atau aku bisa menemukan obat mujizat lainnya guna memulihkan kebutaan mataku. Dan kalau aku mendengar dari nada suaramu, kau tentunya seorang jago muda rimba persilatan, siapakah suhumu?”

“Jago muda!” gumam Kang Hoo. “Dari mana aku berani menyebut diri sebagai jago muda, aku bisa sampai di dalam goa ini hidup bersama tikus-tikus karena selama hidup mengalami penderitaan dikejar-kejar orang. Kalau tidak ada itu nona baju merah, tentulah sejak dua tahun yang lalu aku sudah binasa. Sedang usiaku, hari ini baru dua puluh tahun, suhuku menyebut dirinya haji Kong-sun But-ok. ”

Mendengar jawaban Kang Hoo demikian rupa, Hong Pin yang duduk di atas batu di depannya mengkerutkan kening, kemudian bertanya, “Apa yang kau maksud dengan nona baju merah yang berada di bawah lembah?”

“Ya. ” Jawab Kang Hoo. “Apa saudara kenal dengannya?”

“Hmmm. ” Hong Pin menggerendeng. “Namanya Siong In, aku berkenalan di atas loteng Gak yang-louw. Sungguh aneh, ayahnya memimpin rombongan orang- orang seragam bertopeng hitam hendak membunuhmu, sedang putrinya pernah menolong dirimu. Di atas dunia sungguh aneh-aneh kejadiannya. Dan nama gurumu, seingatku aku belum pernah mendengar nama itu, lebih- lebih tentang sebutan Haji. Apa yang diartikan HAJI? Seumur hidup, aku baru hari ini mendengar sebutan demikian. ”

Mendengar bertanyaan demikian, Kang Hoo juga jadi kelabakan, dengan senyum ia menjawab, “Kau tidak akan mengerti. Dulu sebelum guruku mendapat gelar haji, ia sudah memiliki nama julukan di rimba persilatan. ”

“Julukan apa?” Tanya Hong Pin,

“Pek-kut Ie-su,” jawab Kang Hoo. Mendengar disebutnya nama Pek-kut Ie-su, Hong Pin mendadak lompat bangun, ia mundur beberapa langkah, tongkat Tiok-ciat piannya disilang di depan dada. Wajahnya menatap Kang Hoo, dengan penuh perhatian. Karena di dalam goa itu masih terdapat ribuan ekor tikus yang seruntulan di lantai goa, maka ketika Hong Pin lompat mundur, beberapa ekor tikus telah terkena injak, maka di sana terdengar suara berisik mencicit, tikus-tikus tadi serabutan tampak mereka marah, segera akan menyerang Hong Pin, tapi Kang Hoo yang melihat kejadian itu segera meniup serulingnya, maka tikus-tikus itupun lari serabutan ke belakang lorong goa.

Kang Hoo tidak mengerti akan perobahan sikap Hong Pin, dengan masih duduk di atas batu ia memperhatikan dengan seksama cara berdiri pemuda buta itu, itulah satu jurus siap tempur. Dengan rupa bingung, Kang Hoo bertanya, “Ada apa? Di sini kau tidak perlu menunjukkan sikap demikian. ”

Hong Pin yang masih berdiri dengan tongkat disilang di depan dada berkata, “Pek-kut Ie-su, apakah ia benar- benar suhumu. ”

”Benar!” Jawab Kang Hoo singkat.

“Hmmm. Kalau begitu kita berada dipihak yang berlainan. ” Seru Hong Pin.

Mendengar kata-kata Hong Pin. Dengan wajah penuh pertanyaan Kang Hoo bertanya lagi, tapi ia masih tetap duduk di atas batu, “Seumur hidup aku belum pernah menanam permusuhan. Bagaimana kau bilang kita berada dipihak yang berlainan, bukankah dengan ucapan saudara ini berarti antara kita pernah terjadi permusuhan.”

Ucapan suara Kang Hoo terdengar jelas memasuki telinga Hong Pin, meskipun angin lembah berhembus santer memasuki lubang goa dan mengibar-ngibarkan baju si pemuda buta, tapi pendengaran Hong Pin cukup awas, begitu ia mendengar akhir ucapan kata-kata Kang Hoo terbawa angin, mendadak saja Hong Pin tertawa cekikikan, lalu katanya, “Apa gurumu Pek kut Ie-su atau si haji Kong-sun But-ok tidak pernah menceritakan tentang kemenangannya yang gilang gemilang atas suhuku. Apakah ia tidak pernah menceritakan bagaimana ia pernah melakukan pembunuhan besar-besaran di pulau Cin-hong to di laut Pok-hay pada beberapa belas tahun yang lewat, hingga semua penghuni Cin-hong-to dibunuh mampus  seluruhnya, kecuali suhuku Cui Ngo Kho, ia berhasil menyelamatkan diri dengan membawa seorang bocah yang baru berusia lima tahun, dalam pertempuran menyelamatkan diri itu suhuku telah terkena serangan pukulan beracun dari Pek kut Ie-su karena suhu waktu itu sedang menggendong anak kecil, gerakannya sedikit lamban, maka ia telah jadi korban pukulan. Dan anak dalam gendongannya, telah terkena asap beracun pada sepasang matanya hingga menjadi buta. Tapi dengan gigih suhuku terus melakukan perlawanan dan akhirnya berhasil lari kabur, dalam keadaan terluka dalam. Dan karena luka dalamnya itu hingga hari ini suhu mesti melatih  ilmu barunya guna menghadapi Pek-kut Ie-su. Nah hari ini anak buta yang berhasil diselamatkan suhuku berada di depanmu. Kau lihat wajahku baik-baik. Kita murid dan murid musuh- musuh bebuyutan, apa salahnya mencoba sampai dimana kepandaian kita masing-masing, dan kau siaplah, tentunya siapa yang kalah, ia mesti binasa di dalam goa ini. Jika tidak darahmu tentulah darahku yang akan membanjiri isi goa. Pembalasan dendam ini merupakan sumpah suhuku turun temurun yang harus dibalaskan pada setiap generasi dan keturunan anak-anak muridnya. Salah satu pihak harus lenyap dari muka bumi.”

Kang Hoo pada saat itu masih duduk di atas batu, sinar matanya memandang tajam wajah Hong Pin yang berdiri dengan siap tempur di depannya, dalam jarak hanya dua tombak. Mendengar ucpan Hong Pin itu, hati Kang Hoo jadi bingung, ia melompongkan mulut mendengar ucapan-ucapan pemuda buta di depannya yang mengajak dirinya untuk segera melakukan pertempuran hidup dan mati. Dalam otak Kang Hoo berkelebat berbagai macam pikiran, entah bagaimana selama hidupnya ia tidak pernah habis-habis selalu menghadapi persoalan-persoalan aneh yang tidak berujung, bukankah pada dua tahun yang lewat, ia dibawa lari terbang oleh gadis liar bangsa Biauw, di perkampungan Biauw ia dipaksa kawin, karena menolak hampir saja jiwanya melayang di tangan seekor orang hutan. Kemudian muncul itu orang tua berseruling perak membawanya ke atas puncak gunung Hong tong-san, dan di dalam goa Hoa-ie tong di atas puncak gunung itu ia diberi pelajaran ilmu Karakhter sampai dua tahun lebih, yang akhirnya ia disuruh lompat turun dari atas lamping gunung. Ia sendiri belum tahu sampai dimana hasil latihan dari ilmu Karakater yang diciptakan suhunya Pek kut Ie-su alias haji Kong sun But Ok, tiba-tiba hari ini di dalam goa, begitu ia berkenalan dengan seorang pemuda buta, orang ini telah menunjukkan sikap permusuhan dan ingin membunuh dirinya karena sang guru pernah membunuh seluruh isi dari pulau Cin hong to di laut Pok hay, kejadian itu sama sekali sebenarnya tidak ada sangkut-paut dengan dirinya. Dan sang guru juga selama melatih, ia tidak pernah menceritakan siapa musuh-musuhnya, memang Kong sun But Ok pernah menceritakan padanya bahwa sebelum ia mengembara ke negeri Arabia ia pernah malang melintang di dunia Kang-ouw dan orang rimba persilatan memberi julukan padanya Pek kut Ie-su, tapi setahunya sang guru tidak pernah menceritakan siapa-apa musuh-musuhnya. Dan di depannya hari ini di dalam goa tikus, ia berhadapan dengan seorang pemuda buta yang menjadi murid dari musuh suhunya. Saking bingungnya Kang Hoo hanya duduk diam melompongkan mulut. Sementara itu, Hong Pin yang berdiri di depan Kang Hoo dengan pandangan mata butanya, dan sepasang telinga yang dipasang tajam mendengarkan gerak gerik lawan di depannya, tapi selama itu, Kang Hoo tidak menunjukkan gerakan apa- apa, ia masih duduk di atas batu.

Mengetahui kalau lawan di depannya ini masih diam duduk, maka Hong Pin menggerang, bentaknya, “Anak babi! Apa kau tidak dengar! Ayo bangun, kau hadapi aku, kalau tidak jangan sesalkan tongkat Tiok ciat pian ini akan segera menghancurkan batok kepalamu. ”

Mendengar caci maki Hong Pin demikian rupa, Kang Hoo bukan jadi marah, sebaliknya ia tersenyum kemudian katanya, “Sabar dulu, jangan turun tangan! Aku ini sebenarnya merasa bingung sendiri jadinya, mengapa begitu usiaku meningkat tujuh belas tahun mendadak mesti menghadapi kejadian-kejadian aneh, dan kejadian-kejadian itu menimbulkan perkara darah. Kalau kau memang hendak menuntut balas atas sakit hati suhumu terhadap Pek-kut le-su kau boleh lakukan nanti, kini sebelumnya aku minta kau turut memikirkan sesuatu hal. ”

Mendengar sampai di situ, Hong Pin mengkerutkan kening, kemudian bentaknya, “Kau jangan bikin siasat banyak bicara membuat lawan lengah! Ayo bangun. ”

Kang Hoo tidak memperdulikan bentakan Hong Pin yang sudah siap untuk melakukan serangan, setelah ia memutuskan ceritanya yang dipotong oleh Hong Pin, kembali ia tersenyum dan berkata lagi, “Hei, bukankah kau juga mengenal itu gadis berbaju merah Siong In?”

Mendengar pertanyaan Kang Hoo, si pemuda buta yang berdiri di depannya dengan tubuh gemetaran menahan marah ia membentak, “Soal balas dendam ini tidak ada urusan dengan perempuan itu!”

“Tenanglah”, seru Kang Hoo. Ia masih duduk di atas batu. “Gadis itu pada dua tahun yang lewat pernah menolong jiwaku, tapi hari ini, aku mendapatkan dan melihat dengan kepala sendiri, kalau ayahnya berusaha membunuh diriku. Apakah ini bukannya kejadian aneh. Aku sendiri tidak kenal dengan mereka, aku juga tidak pernah minta bantuan putrinya untuk menolong diriku pada dua tahun yang lewat itu dan akupun tidak punya permusuhan apa-apa dengan ayahnya bahkan mengenalpun tidak. Seperti keadaanmu ini, begitu kau tiba di bawah lembah bukankah kau niat untuk menolong diriku dari cengkraman mereka, tapi mengapa kau mendadak sekarang ingin menempur aku dan mengadu jiwa. Bukankah kejadian di atas dunia yang menimpa diriku ini sangat aneh?”

Mendengar sampai di situ, Hong Pin yang sudah meluap hawa amarahnya, sampai berdirinya bergemetaran menahan marah, jadi melengak, dalam hati kecilnya juga merasa heran mendengar cerita Kang Hoo, tapi mengingat sumpah gurunya maka ia segera membentak, “Soal urusan pribadimu aku tidak mau tahu! Urusan guru kita, kita selesaikan di tempat ini. ”

Begitu mengakhiri ucapannya, Hong Pin sudah tidak bisa menahan emosinya, ia segera mengayun tongkat Tiok-ciat pian mengemplang kepala Kang Hoo yang masih duduk di atas batu. Kang Hoo kaget dan rasa kaget itu membuat perut bagian pusarnya seperti ada hawa hangat yang bergerak. Ia melihat tangan kiri pemuda buta di depannya itu bergerak mengangkat tongkat besi. Tapi kekagetan Kang Hoo mendadak berubah jadi rasa heran karena Hong Pin yang melakukan serangan kemplangan tongkatnya tertahan di tengah udara, ia seperti sedang berkutet sendiri. Tongkatnya yang masih berada di tengah udara bergetar, ia seperti sedang mengerahkan tenaganya untuk melakukan serangan kemplangan, tapi aneh sang tongkat seperti tak mau digerakkan, tampak jelas raut wajah Hong Pin begitu beringas. Sedang kakinya tergetar ingin digerakkannya maju tapi ia seperti mengalami kesulitan, keadaannya seperti seorang yang sudah terkena totokan jalan darah beku. Tapi masih tampak gerak-gerakan yang menandakan kalau Hong Pin terus niat untuk melakukan serangan kemplangan.

Melihat kejadian itu, saking herannya Kang Hoo, jadi berdiri, serunya, “Kau. . . . . . ” Baru saja ucapan 'kau' keluar, mendadak Kang Hoo tambah heran, karena begitu ia bangkit berdiri, dan melangkah maju, Hong Pin yang masih mengangkat tongkat besi, mendadak sempoyongan mundur ke belakang. Dan beberapa tindak lagi pastilah, si pemuda buta itu akan mental nyeplos keluar lubang goa. Melihat kejadian itu Kang Hoo lari mengejar ke depan, maksudnya untuk menangkap Hong Pin jangan sampai jatuh ke luar lubang goa, meskipun goa itu letaknya tidak tinggi dari bawah lembah, tapi, kalau sampai terjatuh dari atas sana, tentulah ia sedikitnya akan mendapat luka. Tapi gerakan Kang Hoo yang lompat maju sudah dapat didengar di telinga Hong Pin, maka dengan mengerahkan tenaganya sambil terus terhuyung mundur, Hong Pin niat melakukan serangan dengan tongkat besinya itu, tapi entah bagaimana, begitu ia melakukan serangan tongkat, mendadak seperti ada kekuatan yang mendorong dirinya, terpental keluar. Sementara itu, kalau Kang Hoo yang dibingungkan dengan kejadian aneh yang menimpa diri Hong Pin yang seperti seorang pemuda ayan, maka Hong Pin yang semula niat melakukan serangan kemplangan pada batok kepala Kang Hoo, ia jadi kaget bukan kepalang. Karena ketika ia mengangkat tongkatnya dengan tangan kiri melakukan serangan kemplangan ke arah kepala Kang Hoo yang masih duduk di atas batu, mendadak saja seperti ada satu kekuatan tenaga dalam yang menahan serangannya, tongkat tadi seperti tertahan oleh satu dorongan tenaga yang tak tampak hingga tak dapat digerakkan maju tapi Hong Pin mana mau habis sampai di situ, ia segera mengempos tenaganya mengerahkan kekuatan murninya guna maju menyerang Kang Hoo, tapi tambah ia bernapsu untuk melakukan serangan, tenaga kekuatan yang mendorong dirinya kian hebat, lebih-lebih ketika Kang Hoo bangkit berdiri dan melangkah maju, maka badan Hong Pin tambah keras terpental ke belakang.

Waktu melihat kejadian itu, Kang Hoo jadi kaget, ia lompat maju untuk menangkap badan Hong Pin yang terpental agar jangan sampai si pemuda jatuh keluar dari lubang goa, meskipun letak goa tingginya dari dasar lembah tidak begitu tinggi kalau saja Hong Pin sampai terpental dan jatuh di bawah lembah, paling tidak ia akan mendapat luka. Tapi niat baik Kang Hoo itu berkesudahan lain, begitu ia lompat maju menerjang, telinga Hong Pin mendengar suara angin terjangan itu, meskipun waktu itu keadaan dirinya sudah terpental, tapi dengan sepenuh tenaga ia melakukan serangan balasan, kalau perlu ia akan adu jiwa dengan Kang Hoo. Tapi usaha Hong Pin ternyata sia-sia karena tubuhnya sudah tak dapat berbuat apapun, melayang terus nyeplos keluar lubang goa. Badan Hong Pin yang mental keluar lubang goa membentur batang pohon siong yang sudah hangus di depan goa, batang pohon siong itu, roboh mengkeretek, dan badan Hong Pin terpental ke udara. Sementara itu Kang Hoo yang lompat menubruk keluar untuk menangkap badan Hong Pin juga sudah berada di tengah udara, ia tidak menduga kalau tubuh Hong Pin bisa melayang begitu cepat, dan ketika batang pohon siong ditumbuk badan Hong Pin, dengan masih berada di tengah udara mendadak saja pikiran Kang Hoo berubah, kalau ia meneruskan gerakan menubruk ada kemungkinan akan terjadi salah paham, tentunya Hong Pin akan menyangka ia berniat untuk melakukan serangan, maka setelah menyaksikan bagaimana Hong Pin melayang setelah menubruk batang pohon siong, gerakan badan Kang Hoo dirobah, ia melakukan gerakan,jumpalitan di tengah udara dan kemudian turun di bawah lembah. Waktu itu keadaan Hong Pin, masih melayang di tengah udara, hatinya jadi panik, tapi ia juga bukan sembarang si buta, begitu badannya akan terbanting jatuh ke atas tanah, maka tongkat Tiok-ciat piannya mendahului ditotolkan ke atas permukaan bumi, dan dengan meminjam tenaga totolan tongkat itu, badan Hong Pin kembali mencelat ke atas, begitu kembali berada di tengah udara ia segera mengatur posisi badannya dan menenangkan pikirannya, agar jatuhnya bisa selamat. Dan gerakan Hong Pin memang luar biasa, karena dengan mudah ia sudah bisa mengatur posisi badannya di udara, hingga tubuhnya yang sedang meluncur turun kembali tampak begitu indah dan ringan, bagaikan selembar daun jatuh ke bumi, begitu ia tiba di atas tanah, ia langsung berdiri dengan menunjang tongkat di depan dirinya.

Manakala Hong Pin telah berdiri tetap di dasar lembah, sepasang mata butanya mencari-cari kian kemari, sedang hidungnya kembang kempis mencium- cium, telinganya dipasang lebar, untuk mendengar suara- suara yang mencurigakan.

Kang Hoo lebih dulu telah berdiri di atas tanah, dan ketika ia melihat Hong Pin yang baru turun berdiri sedang memeriksa keadaan sekitar tempat itu, ia berkata, “Saudara Hong Pin, aku ada di sini. Apa yang terjadi denganmu?”

Mendengar pertanyaan itu, Hong Pin menggerendeng ia mengarahkan pandangan wajahnya ke arah datangnya suara, kemudian membentak, ”Anak babi. Hebat ilmu tenaga dalammu, tapi hari ini di bawah lembah, aku akan adu jiwa denganmu. ”

“Eh! Tenaga dalam apa?” Tanya Kang Hoo membelalakkan mata memandang si buta.

“Murid seorang iblis tentunya menurunkan sifat-sifat iblis,” bentak Hong Pin “Kau begitu memandang hina diriku, kau masih bertanya tentang tenaga dalam apa? Bukankah ketika aku menyerangmu dengan tongkat ini, di dalam goa, kau telah mengerahkan ilmu kekuatan tenaga dalammu, kalau tidak, bagaimana aku bisa terpental keluar goa?” ********0dwkz0lynx0mukhdan0********

MENDENGAR KATA-KATA ITU, Kang Hoo

melangkah mundur ke belakang, ia masih tidak mengerti akan ucapan Hong Pin, bukankah ketika Hong Pin melakukan gerakkan kemplangan dengan tongkat bajanya, ia sama sekali tak mengerahkan tenaga dalam, ia hanya sedikit merasa terkejut, hingga pada bagian perut pusarnya ada suatu hawa yang bergerak akibat kekagetan itu. Dan kemudian melihat bagaimana Hong Pin begitu sulit tampaknya untuk melakukan gerakan serangannya.

Kejadian itu diluar dugaan Kang Hoo, dan ia saat itu masih belum mengerti apa yang terjadi atas diri Hong Pin, maka buru-buru ia berkata lagi, “Kau salah paham! Aku sama sekali tidak mengerahkan tenaga dalam. Bagaimana bisa kau katakan aku mengerahkan tenaga dalam?” Si pendekar goblok belum mengerti tenaga dalam.

Suara kata-kata Kang Hco itu, jelas terdengar di telinga Hong Hoo, kemudian lenyap ditelan angin lembah. Hembusan angin lembah mengibar-ngibarkan baju Hong Pin, sepasang mata butanya di arahkan ke depan dimana suara Kang Hoo didengar keluar, sedang tongkat Tiok ciat piannya kini disilang di depan dada, ia berdiri menghadapi Kang Hoo, wajah Hong Pin berkerut keras, ia menahan hawa amarahnya yang sudah hampir tak bisa dikendalikan lagi, dengan suara gemetar karena marahnya Hong Pin berkata, “Kau sangka karena sepasang mataku buta tidak dapat mengetahui bagaimana kau mengerahkan ilmu tenaga dalam itu, dan bagaimana kau tadi menerjang aku. Bukanknh maksudmu hendak membunuh?”

“Salah!” Potong Kang Hoo. ”Kau salah paham. Aku memang lompat menerjang maju, tapi maksudku bukan hendak membunuh dirimu tapi sebaliknya untuk menangkap dirimu yang sempoyongan keluar goa, agar kau jangan sampai jatuh, tapi kenyataannya kau sudah melayang nyeplos keluar. ”

Mendengar itu, Hong Pin tertawa berkakakan suara tawa itu menggema ke seluruh isi lembah, lama ia tertawa demikian rupa. Hingga dari sepasang matanya yang buta mengeluarkan air mata. Setelah ia menyusuti air matanya dengan ujung baju lengan kiri, baru Hong Pin berkata lagi, “Kau bilang tidak akan membunuh aku. Kau kata hendak menolong aku agar jangan sampai aku jatuh, tapi kenyataannya kau menambah kekuatan tenaga dalammu mendorong aku keluar lembah. Manusia busuk. Ucapanmu tidak beda dengan ucapan licik gurumu Pek-kut Ie-su. ”

Mendengar ucapan Hong Pin demikian rupa, Kang Hoo jadi bingung, sementara ia tak dapat menjawab perkataan Hong Pin, dan dengan seruling peraknya ia menggaruk-garuk belakang punggungnya, entah bagaimana punggung itu mendadak jadi terasa gatal, karena badan Kang Hoo tidak mengenakan pakaian, tampak bagaimana kepolosan perutnya dan urat-urat lengannya yang begitu kekar. Garukan batang seruling pada punggung Kang Hoo, terdengar di telinga Hong Pin yang tajam, begitu ia mendengar suara garukkan tadi, Hong Pin membayangkan kalau lawan di depannya sedang menyiapkan ilmu pukulan guna menyerang dirinya, ia jadi tersentak kaget, tongkat baja Tiok ciat pian, yang disilang di depan dada, mendadak saja, diputar demikian kerasnya di depan dirinya, suara desingan dari putaran tongkat itu menggema isi lembah. Kalau keadaan Hong Pin dikagetkan oleh suara garukan seruling Kang Hoo, yang di anggapnya lawan telah menyiapkan serangan pukulan, maka Kang Hoo bisa melihat, kawan buta di depannya telah memutar tongkat baja Tiok-ciat pannya untuk melakukan serangan, mendadak saja dia berteriak, “Tunggu, kau jangan serang dulu. ”

Dengan masih memutar tongkat Tiok ciat. pian, Hong Pin tertawa dingin lalu berkata, “Kau hendak menipuku. Hmmm. Apa aku tak tahu kau sudah menyiapkan pukulan serangan beracunmu. Aku bersedia adu jiwa. ”

“Eh, mana ada pukulan beracun!” Sela Kang Hoo tambah bingung. “Apa kau ini gila? Aku baru saja menggaruk punggungku dengan seruling, bagaimana kau katakan aku menyiapkan pukulan beracun. ”

Mendengar ucapan itu, dengan masih memutar tongkat Tiok ciat pian, Hong Pin melangkah mundur, keningnya berkerut, telinganya terus dipasang untuk mendengar gerakan Kang Hoo, tapi sampai saat itu Kang Hco masih berdiri tidak bergerak, maka tahulah Hong Pil kalau suara yang tadi didengarnya memang adalah suara garukan seruling, dan karena ia telah salah sangka, maka selembar wajahnya menjadi panas. Karena rasa malu. Beruntung waktu itu mukanya telah dipupuri oleh obat perubah wajah, hingga dari seorang gadis, ia menjelma menjadi seorang pemuda, kalau saja wajah itu tidak tertutup oleh pupur obat pengubah muka, maka akan tertampak bagaimana mukanya yang menjadi merah mateng karena malunya. Dan gerakan tongkat Tiok ciat piannya juga tambah mengendur.

Kemudian katanya, “Baik. Karena mataku buta, aku telah salah sangka dengan gerakanmu, tapi gurumu adalah musuh suhuku. Maka perhitungan ini harus diselesaikan. Nah kau bersiaplah. Aku akan segera melakukan serangan Tongkat Maut!” Setelah berkata demikian, Hong Pin berdiri tenang, ia menenangkan pikirannya, kemudian tongkat Tiak-ciat-piannya dipegang dengan dua tangan di depan dada, tongkat itu diarahkan lurus ke depan, tepat ke arah jantung Kang Hoo, seakan ia hendak melakukan gerakan tusukan ke depan. Kang Hoo menyaksikan Hong Pin sudah siap akan melakukan gerakan tusukan dengan tongkat wajahnya, ia jadi kebingungan. Memandang mendelong ke arah sahabat buta itu. Sementara itu, Hong Pin yang berdiri dengan meluruskan tongkatnya ke depan, dengan langkah tenang ia melangkah maju, setindak demi setindak mendekati Kang Hoo. Kang Hoo masih berdiri di tempatnya, begitu ia melihat gerakan langkah kaki Hong Pin yang demikian tenangnya mendatangi, kian lama kian dekat, Kang Hoo melangkah mundur setindak demi setindak ke belakang, sedang Hong Pin terus melangkah maju, tapi karena gerakan mundur Kang Hoo menuju ke lamping lembah, ketika badannya membentur lamping batu, ia tak dapat melangkah mundur lagi. Hong Pin maju dengan tongkat diluruskan ke depan, ia mengkerutkan keningnya, selalu mengikuti suara gerakan badan Kang Hoo, tongkatnya terus diarahkan ke bagian dada lawan. Dan ketika ia mendengar Kang Hoo terus melangkah mundur ia tersenyum adem, dan begitu Kang Hoo mepet di lamping batu, Hong Pin masih terus maju. Tapi begitu tiba sejarak lima kaki di depan Kang Hoo, ia menghentikan langkahnya. Kang Hoo berdiri mepet pada lamping batu lembah, ia bisa melihat bagaimana ujung tongkat baja lawan sudah diarahkan di depan dadanya. Kini ia juga sudah siap untuk melakukan gerakan pembelaan diri, ia akan melakukan gerakan jurus menggunting dan merampas tongkat lawan. Itulah jurus ilmu silat yang pernah ia latih dari guru pertamanya Beng Cie Sianseng. Tapi mendadak saja pikiran itu berubah manakala ia teringat akan pesan suhunya yang kedua, Pek kut Ie-su alias Kong sun But Ok, bukankah ia dilarang untuk melakukan gerakan sembarangan dan kalau nanti dalam menghadapi Hong Pin ia melakukan gerak jurus guntingan, bukankah akan mengakibatkan bahaya, meskipun ia belum yakin akan hasil latihannya selama dua tahun di bawah asuhan Kong sun But Ok, tapi hati nurani Kang Hoo yang mulia itu tidak mau mencelakai orang tanpa sebab musabab lebih-lebih tentang permusuhan antara guru Hong Pin yang bernama Cui Ngo Ko dan Pek-kut Ie-su, ia sama sekali tidak tahu menahu, dan setelah berpikir bolak-balik, maka buru-buru berkata, “Hong Pin, kau tunda dulu seranganmu, dengarlah!”

Mendengar itu Hong Pin menggereng, ujung tongkat masih diarahkan pada dada lawan, terdengar ia berkata, “Kau mau menggunakan akal licik apa?”

“Dengar dulu!” sahut Kang Hoo. ”Setelah itu kau boleh menyerang sesuka hatimu. Tapi dengan syarat. ”

“Kentutmu!” Bentak Hong Pin. ”Perhitungan balas dendam ini, tanpa syarat. ”

”Baik!” Potong Kang Hoo. ”Tapi dengar, guruku pernah berkata, aku dilarang untuk membuat gerakan sembarangan, kalau tidak akan mencelakai diri lawan. Maka kau boleh serang aku dengan tangan kosong, aku tak akan melakukan serangan balasan atau mengelak. ”

“Kau takut kalau kau mampus di ujung senjataku,” bentak Hong Pin. “Manusia licik, kau suruh aku menyerang dengan tangan kosong, tentunya di balik itu kau akan melakukan serangan dengan senjata serulingmu. ”

“Tidak!” Jawab Kang Hoo.

”Mau atau tidak!” Seru Hong Pin. “Kau terimalah serangan tongkatku. Inilah jurus Tongkat Maut!” Setelah berkata begitu Hong Pin melangkah maju lagi satu tindak, dan ujung tongkat tinggal beberapa dim saja di depan dada Kang Hoo. Kang Hoo menghadapi sikap keras lawan di depannya, ia tak bisa berbuat lain pikirnya, “Apa boleh buat, semua orang selalu memusuhi diriku. ”

Setelah berpikir begitu, ia mulai mengatur langkah, akan melakukan gerak jurus menggunting, ia sudah tidak mau perduli apa akibat dari gerakan itu. Tapi mendadak saja, ia teringat kembali akan ucapan suhunya, tentang gerak jurus kunci dari ilmu Karakhter. Bukankah gerak jurus kunci itu, dilakukan dengan menyilang kedua tangan di depan dada, dan saat ini di depan dadanya sudah mengancam ujung tombak, maka dengan gerak jurus mengunci itu lebih baik dari pada gerak jurus menggunting. Kalau saja tenaga Karakhter yang diciptakan suhunya Kong-sun But Ok itu suatu hal yang omong kosong dan tidak dapat mengunci tubuh lawan di depannya seperti orang terkena totokan jalan darah. Maka dengan gerak mengunci menyilang kedua tangan di depan dada, ia dapat mengelakkan serangan tusukan pada dadanya, dan kemudian ia bisa menjatuhkan diri ke tanah, bukankah dengan demikian serangan lawan bisa dielakkan juga. Dan kalau kekuatan ilmu Karakhter itu terbukti ada, maka itu juga tidak membahayakan diri Hong Pin, karena Hong Pin hanya akan mengalami seperti orang yang terkena totokan jalan darah. Dan setelah berpikir bolak balik memutar otak, akhirnya Kang Hoo mengambil kepatusan yang mantap. Lalu katanya, “Nah, kau sudah boleh menyerang!” Setelah berkata begitu, kedua tangan Kang Hoo diuruskan ke bawah di depan kedua pahanya, ia siap menunggu serangan Hong Pin.

Mendengar tantangan Kang Hoo, kemarahan Hong Pin memuncak. Dengan mengeluarkan suara teriakan keras ia melakukan serangan. Tongkat Tiok-ciat-pian yang sudah berada di depan dada Hong Pin mendadak saja diangkat naik ke atas, kedua tangannya yang memegang gagang tongkat turut naik lurus sampai ke atas kepala, berbarengan dengan gerakan itu Hong Pin melambung ke atas dan kaki kanannya meluncur ke depan menyerang dada Kang Hoo. Kang Hoo tidak menyangka akan perobahan gerakan Hong Pin, ia jadi kaget, karena semula disangkanya tentu Hong Pin akan melakukan gerakan tusukan ke arah dadanya, ternyata, gerakan itu hanya tipuan belaka, karena yang melakukan serangan ke arah dada Kang Hoo bukanlah ujung tongkat Tiok ciat pian, tapi tendangan kaki Hong Pin, sedang serangan tongkat dilakukan dari atas udara dengan menggunakan ujung gagang tongkat menghajar batok kepalanya. Ketika tadi Kang Hoo mendengar suara teriakan dan perobahan gerakan Hong Pin, dengan buru- buru ia lalu melakukan gerakan mengunci, kedua tangannya disilang dan diangkat ke atas dada, dan waktu itu serangan tendangan kaki Hong Pin sudah meluncur datang, tapi begitu gerakan silangan tangan Kang Hoo bergerak ke atas menyambut tendangan kaki, Hong Pin, mendadak saja badan Hong Pin yang melakukan serangan melambung itu mental ke atas, hingga tendangannya juga mengenai tempat kosong, dan serangan totokan gagang tongkat pada batok kepala lawan juga tak dapat dilaksanakan. Hong Pin gagal melakukan serangan Tongkat Mautnya, bahkan kini badannya mental tinggi ke udara, terdorong oleh tenaga kekuatan yang tak terlihat dan tak mengeluarkan suara, ia jadi kaget dan belum lagi rasa kagetnya hilang, mendadak saja seperti ada kekuatan aneh yang membuat kedua tangan dan kaki seperti bergerak saling silang seakan kedua tangan itu menempel satu dengan lain dan keadaan sepasang kakinyapun demikian pula, kemudian tubuhnya jatuh ambruk di atas tanah. Sedang Tongkat Tiok-ciat piannya terpental dan membentur lamping lembah. Kejadian itu berlangsung sangat cepat, Kang Hoo sama sekali tidak menduga bagaimana akibat dari gerak mengunci ilmu Karakhter, ia tidak tahu apa yang sudah dialami Hong Pin, ia hanya bisa melihat kalau di tengah udara mendadak tongkat Tiok-ciat-pian Hong Pin terpental, dan tubuhnya jatuh ambruk di tanah. Setelah melakukan gerak jurus mengunci tadi, ia masih berdiri di tempatnya memandang bengong pada Hong Pin yang sudah ambruk tak berkutik, tidak jauh di depan dirinya sejarak delapan tombak. Lama Kang Hoo memandang bengong pada Hong Pin yang menggeletak di atas tanah, sepasang tangan Hong Pin seperti melekat menjadi satu, lurus di atas kepalanya dan sepasang kakinyapun demikian juga, napasnya tersengal-sengal, tampak tubuh Hong Pin yang demikian rupa berkutet bergerak, guna melepaskan kedua tangannya yang saling tempel, melilit, tapi begitu ia bergerak, seakan ada satu kekuatan yang membuat kedua tangan dan kaki itu tambah tak dapat bergerak, dan badannyapun seperti seekor ikan yang kehabisan air, hanya bisa menggelepar-gelepar di tempatnya. Kang Hoo melihat kejadian itu, ia melangkah maju ke depan untuk melihat lebih teliti apa yang terjadi, dan ketika ia bisa menegasi bagaimana Hong Pin sedang menggelepar-gelepar berusaha melepaskan diri dari pengaruh kunci Ilmu Karakhter, mendadak saja Kang Hoo tertawa berkakakan. Mendengar suara tertawa Kang Hoo menggema ke seluruh isi lembah, Hong Pin jadi lebih beringas, hatinya marah dan mengamuk berusaha untuk bangkit berdiri, tapi, tambah ia mengerahkan tenaganya, badannya seperti tambah lengket pada bumi hingga akhirnya ia tak bisa bergerak sedikitpun. Kang Hoo menonton kelakuan Hong Pin demikian rupa, ia terus tertawa berkakakan, ia tidak dapat menahan rasa gelinya.

Hong Pin merasa terus-terusan ditertawakan lawan, dengan napas tersengal-sengal ia membentak, “Anak babi! Kalau mau bunuh, cepat bunuh! Kau jangan tertawakan. Aku lebih suka mampus dari pada kau hina demikian rupa. Ilmu iblismu ini memang sangat luar biasa. Untuk apa mempermainkan orang?”

Sebenarnya Kang Hoo tertawa berkakan bukanlah mentertawakan Hong Pin, tapi mendadak ia teringat akan dirinya sendiri, bagaimana ketika pertama kali ia mendapat latihan ilmu Karakhter di dalam goa Hoa-ie tong, waktu itu ia diperintahkan untuk menciptakan hawa amarahnya memukul tiga simpul kain di atas langit-langit goa, bukankah keadaan waktu itu, sama dengan keadaan Hong Pin, begitu ia bernapsu untuk melakukan serangan, maka seperti ada kekuatan tenaga yang membuat dirinya berat dan tak dapat berkutik? mengingat peristiwa itu, yang kini dialami Hong Pin, maka ia jadi tak dapat menahan rasa gelinya. Maka sudah tertawa berkakan.

Tapi Hong Pin sudah jadi salah paham atas suara tawa itu, disangkanya Kang Hoo sedang menghina. Maka ia terus memaki dengan menuduh Kang Hoo menggunakan ilmu siluman. “Hai! Anak babi!” Bentak Hong Pin, berkutet di atas tanah. “Kau bunuh aku. Jangan terus-terusan tertawa seperti babi gila. ”

Mendengar makian itu, Kang Hoo dengan tersengal- sengal karena tertawa, ia berkata, ”Sabarlah, Kalau kau ingin mampus! Aku tidak melarang. Tapi urusan permusuhan antara gurumu itu dan Pek-kut Ie su, aku tidak punya sangkut paut apa-apa, dan kau jangan memaksa aku untuk turun tangan, karena meskipun kau gunakan cara apa, aku tak akan melawanmu. Ini kali kau sudah terkunci oleh jurus kunci dari ilmuku, Huaaa. . . .

tapi itu juga aku tidak menduga sebelumnya, karena ilmuku ini aku dapatkan dari guruku Pek kut Ie su alias Kong sun But Ok. Hari ini dalam keadaan dirimu terkunci demikian rupa kalau aku ingin membunuhmu itulah urusan gampang, dengan melempar tombakmu itu ke atas dadamu pastilah kau akan binasa. ”

Mendengar sampai di sini Hong Pin tidak sabar lagi, ia berteriak keras, “Anak babi! Bunuhlah!”

Kang Hoo mendengar disebutnya berulang-ulang ucapan anak babi, ia tidak menjadi marah, dengan menggeleng kepala ia melangkah menuju dimana tongkat Tiok ciat pian menggeletak, dipungutnya tongkat tersebut, kemudian ia menghampiri Hong Pin sejarak dua kaki ia menghentikan langkahnya dan berdiri, sambil menunjuk dengan tongkat baja, Kang Hoo berkata, ”Inilah tongkatmu. Memang sungguh aneh, senjata luar biasa. Nah, kau sebagai biangnya babi, menghadapi seekor anak babi ”

Mendadak Hong Pin menggereng, ia berusaha menggulingkan dirinya ke arah Kang Hoo, tapi kekuatan aneh yang mengekang dirinya tak pernah lepas, membuat ia tak dapat bergerak. Sementara ita Kang Hoo sudah berkata lagi, ”Saudara Hong Pin, tenangkanlah jiwamu, di dalam lembah ini aku berjanji akan membantumu mencari Angsa Emas Berkepala Naga, dan nanti setelah kupunahkan pengaruh kunci ini, kau boleh pulang ke pulau Cin hong to, tunggu aku di sana, setelah aku mendapatkan Angsa Emas, segera aku akan berkunjung ke pulaumu. Dan beritahu gurumu bahwa permusuhan yang terjadi antara ia dengan guruku Pek- kut Ie su diluar tanggung jawabku. ”

Mendengar sampai di situ Hong Pin mendadak menggereng, katanya, ”Dasar anak babi, kau mau lepas tangan atas tanggung jawab perbuatan gurumu! Murid tidak tahu diri. ”

Dengan masih berdiri memegangi tongkat Tiok ciat pian, Kang Hoo berkata lagi, “Bukannya aku tidak mau tanggung jawab atas perbuatan guruku, tapi kurasa

apakah gurumu sanggup merobohkan diriku. Dan juga, kejadian beberapa tahun itu sungguh mengherankan, kalau suhuku mempunyai seorang musuh, atau ia pernah melakukan pembunuhan, mengapa ia tidak pernah menceritakan padaku, dan mengapa ia seperti seorang yang baik hati. Kalau seumpama kejadian itu benar, kemungkinan gurumu pernah membuat sakit hati pada guruku, dan dendam itu tidak akan habis saling balas membalas tapi aku di sini terus terang saja, aku tak akan melakukan pembalasan dendam apapun, dan aku tak takut menghadapi ancaman balas dendam dari gurumu. Nah. Sekali lagi mengertilah. Dan dengar baik-baik untuk terakhir kalinya. Aku bersumpah untuk membantumu mencari Angsa Emas Berkepala Naga, guna memulihkan kebutaan matamu, dengan demikian bukankah aku sudah bisa mengurangi dosa guruku. ” Hong Pin yang menggeletak di tanah, mendengar ucapan itu, tiba-tiba tertawa dingin, kemudian katanya, “Akal busuk! Kau jangan banyak kampanye di depan hidungku. Nah, terangkan di mana gurumu itu sembunyi setelah aku kembali ke pulau akan kuberitahu suhu. ”

“Guruku!” Ulang Kang Hoo. Wajahnya menengadah ke atas, ia memandang kehijauannya langit siang itu, pemandangan di sekitar lembah merupakan lamping- lamping batu. Otak Kang Hoo teringat bagaimana ketika suhunya memerintahkan ia terjun ke bawah jurang dari atas puncak gunung Hong tong san. Dan akhirnya ia terguling-guling jatuh, kecemplung ke dalam sungai.

Selagi Kang Hoo mengingat kembali bagaimana ia bisa sampai di tempat ini, mendadak saja Hong Pin sudah membentak lagi, “Hai, dimana gurumu?”

”Guruku. Di dalam goa Hoa-ie tong, di puncak gunung Hong tong san. ”

”Bagus,” seru Hong Pin.

“Sekarang kau buka totokan iblis ini. Aku akan segera kembali ke pulau melaporkan pada suhu. ”

Kang Hoo mengangguk kepala, katanya, ”Baik. Tapi kau ingat, jangan cari suhuku, tunggulah aku di pulaumu. Aku akan segera ke sana. ”

“Sampai kapan kau akan datang?”

”Paling lama dalam waktu tiga bulan, dapat atau tidak aku menemukan Angsa Emas Berkepala Naga, aku akan melapor padamu. Juga kuharap kau lupakanlah permusuhan ini. Nasibku memang buruk, selalu menemukan musuh jahat, meskipun aku sendiri tidak tahu bagaimana mulanya timbul permusuhan- permusuhan itu. ” Houg Pin juga merasa aneh menghadapi pemuda di depannya, pemuda itu tidak mengenakan baju atas, ia hanya memakai celana yang sudah rombeng, tapi masih tampak bersih, dan kalau benar sang guru itu bermusuhan dengan Pek kut Ie-su alias Kong-sun But Ok, mengapa murid dari musuh itu tak segera turun tangan membunuh. Bukankah kesempatan itu sudah berada di depan mata, bahkan ia mendengar bagaimana Kang Hoo akan membantu mencarikan Angsa Emas Berkepala Naga dan akan diantarnya sendiri ke pulau. Kalau Hong Pin mengingat sumpah dan pesan gurunya untuk membunuh setiap generasi dan anak murid Pek- kut Ie su, ia harus segera dapat membunuh Kang Hoo, meskipun ia sudah dalam keadaan tdak berdaya. Tapi mengingat sikap Kang Hoo demikian rupa, hatinya menjadi lemah, lebih-lebih wajah si pemuda itu cukup ganteng, dalam hatinya timbul perasaan aneh. Itulah perasaan naluriah ke wanitaannya. Hingga sejenak wajahnya menjadi berubah-ubah. Beruntung ia dalam penyamaran sebagai laki-laki dan pupur obat perubah wajah itu telah menutupi perubahan wajahnya. Kalau tidak tentunya Kang Hoo bisa melihat bagaimana wajah lawan yang menggeletak itu mengalami perubahan beberapa kali, Kang Hoo juga tidak mengetahui kalau pemuda yang menggeletak di atas tanah itu adalah seorang gadis buta.

Sejenak di dalam keadaan hawa lembah yang sejuk itu, terjadi pergulatan dialog pada rongga otak mereka masing-masing. Hingga suasana di dalam lembah menjadi sunyi, Kesiuran anginlah yang terdengar. Kesunyian itu rupanya tak berlangsung lama karena Hong Pin yang menggeletak di tanah sudah berkata lagi, ”Lekas buka totokan setanmu! Aku akan penuhi semua kehendakmu. ” Mendengar itu, Kang Hoo yang masih berdialog dalam rongga otaknya, jadi kaget, kemudian katanya, “Nah begitulah hendaknya, aku menghendaki dua hal, pertama permusuhan antara guru guru kita ditunda. Kedua kau boleh pulang ke pulaumu. Setelah aku mendapatkan Angsa Emas Berkepala Naga aku akan segera menyerahkan benda itu padamu. ” Setelah berkata demikian, Kang Hoo meletakkan tongkat Tiok- ciat-pian di atas tanah, kemudian ia melangkah maju dan membongkokkan badan, tangan kanannya menepuk beberapa kali pada tangan dan kaki Hong Pin, itulah cara ia membuka kunci dari ilmu Karakhter. Hong Pin menggeletak di atas tanah, ia melihat bagaimana tangan Kang Hoo bekerja menepuk-nepuk, mendadak saja ia jadi cemberut, bagaimana seorang gadis bisa ditepuk- tepuk demikian oleh pemuda yang baru ia kenal, tapi karena ia dalam penyamaran, ia tak bisa menyalahkan Kang Hoo.

Kang Hoo melakukan gerakan tepukan pada tubuh Hong Pin, sekian lama tapi kedua tangan Hong Pin belum juga mau terlepas masih tetap berpilin melengket jadi satu, maka buru-buru ia berkata, “Kau masih marah?” Hong Pin menggereng, katanya, ”Bagaimana kau tahu, aku masih mendongkol terhadapmu?”

Kang Hoo jadi tersenyum, katanya, ”Ilmu yang kuperlajari sangat aneh, kalau kau belum bisa melenyapkan hawa amarahmu, maka aku tak dapat membuka kunci ini. ”

“Ilmu apa?” Tanya Hong Pin mendelikkan mata. “Kau menggunakan ilmu siluman apa?”

“Hai. ” keluh Kang Hoo. Kini ia duduk di samping Hong Pin memperhatikan si buta yang masih mengomel terus, katanya, “Kalau kau terus-terusan mengomel begini, aku tak sanggup membuka totokanku. ” “Jadi aku harus bagaimana?” Tanya Hong Pin.

“Lenyapkan hawa amarahmu. ” jawab Kang Hoo.

“Ilmu gila!” Gerutu Hong Pin. “Dadaku masih panas. Bagaimana aku harus melenyapkan hawa marah seketika?”

“Kalau begitu,” seru Kang Hoo bangun berdiri kemudian jalan ke arah kaki Hong Pin yang masih melekat jadi satu, kemudian membungkukkan badan, lain tangannya menepuk-nepuk. Hong Pin yang mengetahui kalau Kang Hoo menepuk sepasang kakinya, ia jadi kaget, lebih-lebih ketika tepukan itu naik ke arah pahanya, segera ia membentak, “Hai! Apa perlunya mesti menepuk ke seluruh?”

“Tenanglah!” Seru Kang Hoo memandang Hong Pin. “Kau tokh bukan seorang perempuan, mengapa harus takut ditepuk olehku?”

Mendengar ucapan itu, hati Hong Pin merasa geli. Pikirnya, kalau saja Kang Hoo mengetahui ia adalah seorang gadis, pastilah si pemuda tak akan melakukan hal yang demikian. Tapi karena saat ini Hong Pin dalam penyamaran, dan Kang Hoo belum mengetahui tentang penyamaran itu, ia terus saja menepuk kaki sampai ke paha Hong Pin, setelah selesai melakukan gerakan itu, lalu ia jalan ke arah kepala Hong Pin, dan katanya, “Aku sudah membuka kunci yang mengekang kebebasanmu. Tapi kau harus melenyapkan hawa amarahmu lebih dulu, baru kau bisa bergerak bebas. ” Setelah berkata begitu, Kang Hoo meninggalkan Hong Pin, ia jalan mengelilingi lembah, memperhatikan keindahan alam di bawah lembah itu. Sementara itu Hong Pin masih menggeletak di tanah, ia bisa mendengarkan bagaimana langkah kaki Kang Hoo kian lama kian menjauhinya, dan dari pendengarannya ia mengetahui kalau lawan sedang melakukan perjalanan mengelilingi lembah. Waktu itu, otak Hong Pin berpikir, ilmu yang membuat tubuhnya tak bisa bergerak ini sebenarnya ilmu apa? Kalau dikata itu merupakan ilmu totokan jalan darah jarak jauh, tapi bagaimana cara membuka totokan itu harus lebih dulu keadaan orang yang tertotok melenyapkan hawa amarahnya. Dan bukankah tadi Kang Hoo telah menepuk-nepuk tangan dan kakinya, dan kalau merasakan dari tepukan-tepukan itu, ia sama sekali tidak merasakan keanehan apa-apa, hanya terasa beberapa kali getaran memasuki urat-urat halus. Tapi keadaan dirinya belum juga bisa lepas dari kekangan ilmu totokan aneh ini. Maka setelah berpikir bolak-balik segera ia mengosongkan pikirannya, menentramkan hatinya guna melenyapkan hawa amarah yang masih mengamuk dalam dada. Begitu Hong Pin berhasil menenangkan pikiran, maka lenyaplah sang hawa amarah dan waktu itu tanpa disadari, mendadak saja, ia meletik bangun. Dan ilmu kunci dari Kang Hoo sudah terbuka, hingga kini ia bisa membebaskan diri.

Saking heran, Hong Pin jadi berdiri melongo, kemudian baru ia berteriak memanggil, “Hai. Kang Hoo!” Kang Hoo mendengar suara  panggilan itu, ia sengaja jalan menghampiri, kemudian katanya, “Nah, kau sudah bebas. ”

Setelah berkata begitu, Kang Hoo mengambil tongkat Tiok ciat pian yang menggeletak di tanah, kemudian diserahkan pada Hong Pin, sambil berkata, “Ini tongkatmu!” Mendengar Kang Hoo menyerahkan tongkatnya, Hong Pin segera menyambuti, kemudian tongkat itu ditunjang di depan dirinya lalu ia berkata, “Ilmu yang kau gunakan itu apa namanya?”

“Itulah ilmu Karakhter. ” Jawab Kang Hoo. Mendengar keterangan itu, Hong Pin mengkerutkan kening, serunya!

“Ilmu Karakhter? Bukankah itu berarti ilmu jiwa?” “Benar!” Sahut Kang Hoo. ”Itulah ilmu yang

bersumber dari intisari kemurnian jiwa,”

”Hmmm. Apa bukan kekuatan rokh?” Tanya Hong Pin.

“Kekuatan rokh. ?” Kang Hoo bingung

“Ya, ilmu kekuatan rokh,” kata Hong Pin. ”Tapi tak mungkin, mana bisa seorang iblis seperti Pek-kut Ie su menciptakan ilmu itu, karena ilmu yang bersumber dari kekuatan rokh itu, haruslah seseorang yang memiliki jiwa bersih. Tidak seperti gurumu yang bertangan berdarah. ”

Mendengar sampai di situ, mendadak Kang Hoo tertawa kecil katanya, “Kau mulai ngaco!” Berbarengan dengan akhir ucapan Kang Hoo, mendadak saja tanpa diduga semula, Hong Pin sudah mengayun tongkatnya, tongkat Tiok ciat-pian, yang digunakan sebagai tongkat mendadak bergerak ke atas, kemudian mengemplang batok kepala Kang Hoo. Kang Hoo belum sadar akan adanya bahaya, ia masih berdiri dengan tenang, ketika tongkat lawan sudah berada di atas kepalanya, ia baru kaget, kekagetan mana membuat pusar perutnya terasa panas, dan berbarengan saat itu, tongkat yang meluncur datang tadi, tertahan di tengah ulara, sedang Hong Pin terhuyung-huyung mundur ke belakang, kemudian terpelanting roboh. Melihat kejadian itu, Kang Hoo hanya melompongkan mulut, ternyata kekuatan Karakhter bisa bekerja tanpa ia sendiri menghendaki. Begitu serangan lawan datang, maka lawan itu akan segera terpelanting roboh dengan otomatis. Sementara itu Hong Pin yang roboh terguling, cepat ia meletik bangun, kini ia siap sedia dengan tongkatnya menjaga serangan balasan Kang Hoo, tapi lama ia berdiri tak terdengar lawan melakukan serangan, bahkan dengan suara datar ia mendengar kata-kata Kang Hoo, “Hong Pin, kau masih penasaran?”

”Hmmm. Ilmumu memang luar basa,” jawab Hong Pin. “Hari ini aku benar-benar tunduk! Tapi ingat, dendam itu belum bisa dilenyapkan. Nah kalau kau mau balas menyerang, silahkan. ”

“Sudah kukatakan. ” jawab Kang Hoo. “Aku tidak punya permusuhan. Untuk apa balas menyerang? Nah kau boleh pergi. ” Setelah berkata begitu, Kang Hoo lalu membalikkan badan, ia meninggalkan Hong Pin, kemudian lompat naik ke lubang goa. Hong Pin mendengar langkah kaki Kang Hoo meninggalkan dirinya, dan dengan rasa penuh kemendongkolan karena tak dapat membalas dendam suhunya kepada murid Pek-kut Ie-su yang juga merupakan musuhnya, juga karena akibat asap beracun, pukulan Pek-kut Ie-su, maka sepasang matanya menjadi buta. Kini ia hanya bisa menghela napas panjang, jalan meninggalkan lembah.

Dl DALAM GOA, Kang Hoo duduk di atas batu, seruling peraknya diselipkan di pinggang, kepalanya menunduk ke bawah, ia memikirkan nasibnya. “Aneh! Apakah ucapan si buta itu benar?” Kang Hoo berkata sendiri. ”Kalau Pek kut Ie su yang dimaksud Hong Pin adalah guruku, pastilah urusan akan lebih runyam lagi. Tapi mana mungkin suhu memiliki sifat kejam demikian rupa, hingga ia membunuh seluruh isi pulau Cin-hong to, meskipun suhu memiliki sifat-sifat aneh. Ia memang aneh, setelah dua tahun melatih diriku di atas puncak gunung Hong Tong san dalam goa Hoa ie tong, ia menyuruh aku terjun ke dalam jurang, hingga sampai satu hari penuh tubuhku melayang-layang di udara terbuka menembusi awan, kemudian menggelinding di lamping-lamping gunung, lalu jatuh masuk ke dalam sungai. ” Kang Hoo bicara sendirian di dalam goa itu, pikirannya jadi dipenuhi serbu satu macam pertanyaan. Apakah benar suhunya Pek kut Ie-su adalah seorang iblis kejam? Ia terus duduk terpekur di dalam goa hingga matahari tenggelam. Hari berganti malam. Bagaimana Kang Hoo bisa berada di dalam goa itu. Maka mari kita kembali mengikuti kejadian ketika ia lompat terjun dari puncak Hong-tong-san.

oooOOooo

MEMUTAR balik kisah sebelumnya. Setelah Kang Hoo lompat keluar dari dalam goa Hoa ie-tong, tubuhnya melayang-layang turun ke bawah, waktu itu, hati kecilnya menunggu-nunggu sang guru yang akan segera turun tangan memberi bantuan agar dirinya jangan sampai jatuh terbanting pada batu-batu cadas yang banyak terdapat di lereng gunung. Tapi setelah ia melewati kepulan awan, sang guru belum juga tampak melayang turun. Karena memang saat itu gurunya di dalam goa Hoa-ie-tong sudah menghembuskan napasnya yang penghabisan. Setelah satu hari ia jatuh melayang ke bawah, ia baru bisa melihat bagaimana keadaan di bawah, diantara menghijaunya bumi, kian lama tampak tonjolan-tonjolan batu di lereng gunung. Hatinya jadi kaget bukan kepalang, kalau saja tubuhnya jatuh membentur batu pastilah akan jadi hancur lebur. Beruntung ketika ia hampir jatuh di kaki gunung, berada di atas sebuah pohon, maka cepat ia menjambret ranting pohon, tapi karena ia baru saja jatuh dari tempat yang sangat tinggi, begitu ranting pohon itu dijambret, maka ranting tadi sudah terbawa bobot berat badannya kemudian patah. Dan badan Kang Hoo jatuh ke bawah, lalu bergelundungan ke bawah lamping gunung. Beruntung Kang Hoo pernah mendapat latihan ilmu silat dari guru pertamanya Beng Cie Sianseng, ketika badannya jatuh menggelundung ke bawah lamping gunung, ia dapat menghindari benturan-benturan batu gunung pada kepalanya, kemudian tubuhnya yang terus bergelundungan terus masuk kecemplung ke dalam sungai. Kang Hoo tak pandai berenang, begitu kecemplung ke dalam sungai, kontan tubuhnya kelelap ke dalam air. Hingga tiba di dalam sungai. Di dasar sungai, ia merayap berusaha menuju ke tepian. Meskipun ia tahu, kalau waktu itu ia tidak bisa membedakan mana bagian tepi dan mana bagian tengah sungai tapi terus saja ia merayap di dasar sungai. Dan bila setelah ia menemukan tepi sungai, ia akan segera merambat naik ke atas. Dan tak lama, benar saja, kepalanya membentur tanah tepi sungai. Hatinya jadi girang, ia lalu berdiri, dan merambat naik ke atas. “Bruuuuh. . . . ” Kang Hoo menyemburkan air dalam mulutnya. Kemudian ia lompat naik ke darat. Tangannya segera meraba pada pinggangnya. Ia kuatir seruling pemberian suhunya jatuh ke dasar sungai. Tapi seruling itu masih berada di tempatnya. Di tepi sungai Kang Hoo bisa melihat keadaan sekitarnya, ternyata sungai itu terletak diantara dua lamping gunung yang sempit. Kang Hoo mencari goa untuk ia istirahat, dan setelah ia mendapatkan lubang goa, ia duduk bersandar di depan pintu goa. Dimana ia duduk melamun hingga hari menjadi gelap dan sinar rembulan perlahan-lahan memancarkan sinarnya. Selagi Kang Hoo memandangi sang rembulan yang baru muncul di atas langit, mendadak saja telinganya mendengar suara berisik dari dalam goa, suara berisik tadi membuat lantai goa jadi bergetar keras. Saking herannya ia lompat bangun memandang ke dalam goa. Waktu itu sinarnya rembulan bisa menerangi lubang goa, tapi sinar bulan itu tak bisa terus menerangi goa bagian dalam di sana tampak gelap, dan suara berisik itu keluar dari dalam goa, menimbulkan getaran pada lantai goa. Dengan mempelototkan mata lebar-lebar, Kang Hoo terus menatap ke dalam. Sedang suara berisik makin santer. Dan tak lama kemudian ia jadi lompat mundur ke belakang, karena dari dalam goa itu seperti menggulung air bah menerjang dirinya. Belum lagi Kang Hoo bisa berbuat apa-apa, gulungan yang tampaknya seperti air bah itu sudah berada di depan mata, kemudian berpencaran dan menggulung. Kini sepasang mata Kang Hoo bisa melihat kalau benda yang merupakan air bah itu ribuan ekor tikus yang mengeluarkan suara mencicit sangat berisik. Tampak tikus-tikus tadi seperti akan menyerang dirinya, tapi aneh, tak seekor tikuspun dapat mendekatinya, begitu mereka maju beberapa kaki di depan Kang Hoo, mendadak mereka berkelilingan memutari diri si pemuda yang berdiri mematung terlongong-longong. Tambah lama ribuan ekor tikus yang berlarian mengelilingi dirinya tambah banyak, bertumpukan dan kemudian saling gigit sendiri diantara kawan mereka. Membuat peristiwa itu tambah membingungkan. Waktu itu Kang Hoo masih belum sadar, kalau ia sedang menghadapi rombongan tikus kelaparan yang berusaha menggerogoti dirinya, tapi ribuan tikus itu tak dapat mendekati si pemuda, disebabkan bekerjanya ilmu aneh Karakhter. Meskipun tikus-tikus yang berlarian mengelilingi dirinya tak bisa mendekati ia, tapi suara mencicit dari tikus itu membuat telinganya jadi berdengung, dan tiba-tiba saja tanpa disadari, ia meraba seruling perak. Lalu meniup seruling itu dengan menirukan suara cicit tikus. Maka di empat penjuru lubang goa itu memancar sinar terang yang keluar batang seruling. Ribuan tikus yang sedang saling gigit diantara kawan-kawan mereka sendiri begitu mendengar suara seruling, dan mendadak di dalam goa jadi terang benderang, ribuan tikus menghentikan gerakannya, suara berisik dari cicitannya juga sirap seketika, dan tampak tikus-tikus itu mengangkat sepasang kaki depannya, memandang Kang Hoo, tentunya keadaan tikus-tikus yang tertindih di bawah kawan mereka berusaha keluar untuk melihat datangnya suara tadi. Kang Hoo bisa melihat bagaimana mendadak tikus-tikus itu menghentikan gerakannya, mereka pada berdiri dengan mengangkat kaki depan dan mulut yang berkumis bergerak-gerak memandang pada Kang Hoo. Kang Hoo masih terus meniup seruling, dengan nada suara mencicitnya tikus, kemudian kakinya melangkah maju selangkah ke dalam goa, ia ingin melihat bagaimana sikap tikus-tikus ini. Begitu kaki Kang Hoo melangkah maju, tumpukan tikus yang berada di depannya segera lari serabutan, mereka seperti membuka jalan, lari serabutan ke pinggir goa, lalu berdiri mengangkat kaki depannya memandang Kang Hoo. Karena selama di dalam goa Hoa-ie-tong, Pek kut Ie-su alias Kong sun But-Ok juga melatih ia bagaimana cara meniup seruling, maka Kang Hoo kini merobah nada suara tiupan seruling itu menjadi lebih tinggi, tapi suaranya masih tetap bagaikan suara tikus, tapi seperti tikus yang sedang marah dan sedang bertempur. Mendengar suara seruling berubah, tikus-tikus yang sedang mengangkat kaki depannya berdiri memandang Kang Hoo menjadi buyar, mereka serabutan lari kabur, masuk kembali ke dalam goa, hingga yang tinggal di sana hanya tikus-tikus yang binasa karena digigit kawan- kawan mereka sendiri ketika tadi berebut ingin menggerogoti Kang Hoo Melihat kejadian itu, hati Kang Hoo jadi gembira, ia menghentikan suara tiupan serulingnya, kemudian duduk bersandar di dalam lubang goa. Menunggu gerakan tikus-tikus itu selanjutnya. Lama ia duduk, ternyata tikus-tikus tadi masih belum berani balik kembali, suara cicitnyapun tak terdengar. “Mereka kabur,” gerutu Kang Hoo. “Seruling ini memang ajaib. ” Setelah menggerutu demikian. Kang Hoo memejamkan matanya, karena sangat lelah, ia ingin segera tidur. Tapi baru saja matanya terpejam, ia mendengar kembali suara larinya beberapa ekor tikus, maka cepat ia membuka mata, dan benar saja di depannya sudah berdiri lima ekor tikus yang mengangkat kedua kaki, memandang Kang Hoo Melihat itu Kang Hoo jadi tersenyum ia membiarkan tikus-tikus itu memandangi dirinya, dan karena lelah hampir sehari penuh jatuh dari atas puncak gunung, ia tertidur pulas. Begitu sinar matahari menerpa wajahnya Kang Hoo kaget, buru-buru membuka matanya dan begitu sang mata terbuka, yang pertama dilihatnya, di sana mendekam lima ekor tikus. Lima ekor tikus itu begitu melihat Kang Hoo bergerak, mereka serentak lari ke dalam goa. Kang Hoo tidak mau memperdulikah tikus-tikus tadi, ia menuruni tebing, lalu mandi di sungai dan mencuci celana. Setelah selesai mencuci celana dan mandi ia lalu masuk lagi ke dalam goa. Karena kuatir kalau-kalau tikus-tikus yang jumlahnya ribuan itu akan menyerang lagi, ia meniup seruling. Tapi suara tiupan itu sangat lemah. Lalu ia jalan masuk menyusuri lubang goa. Di dalam lubang goa itu rupanya menjadi sarangnya ribuan tikus, begitu Kang Hoo memasuki lubang goa dimana tikus-tikus itu serabutan memberi jalan lalu seruntulan jalan di belakang Kang Hoo. Keadaan di dalam goa kian lama kian gelap juga, tapi sinar terang yang keluar dari batang seruling membuat keadaan dalam lorong goa menjadi terang, hingga ia bisa melihat bagaimana lubang goa yang panjang berliku-liku. Setelah setengah harian ia jalan, maka tibalah ia di mulut goa bagian belakang. Begitu Kang Hoo sampai di mulut goa belakang, ia bisa melihat pemandangan di luar goa merupakan sebuah lembah. Dan letak lubang goa berada di atas sebuah lamping gunung, di depan goa terdapat beberapa batang pohon Siong. Kang Hoo segara lompat turun ke bawah, ia mencari buah-buahan untuk tangsal perut. Ketika matahari terbenam, entah bagaimana, tanpa disadari, Kang Hoo mengeluarkan beberapa kalimat, menyebut nama Tuhannya, dan ketika itu salah seorang dari anggota golongan Kalong berseragam dan berselubung muka hitam yang sedang mengadakan penyelidikan guna mencari rahasia Angsa Emas telah mendengar suara itu. Ia memberi laporan pada sang pemimpin, maka di pagi buta terjadilah peristiwa dimana puluhan orang-orang seragam hitam menerjang masuk ke dalam goa untuk membunuh Kang Hoo. Tapi mereka telah pada terpental kembali. Selanjutnya kejadian tersebut telah kita lihat di bagian depan. Yang berakhir Kang Hoo berkenalan dengan pemuda samaran Hong Pin. Sesudah Hong Pin mengetahui kalau Kang Hoo adalah murid Pek-kut Ie-su yang merupakan musuh besar dari suhunya dan dirinya maka ia telah berusaha untuk membunuh Kang Hoo, tapi kekuatan ilmu Karakhter yang ada pada diri Kang Hoo menunjukkan keajaibannya hingga membuat Hong Pin mati kutu dan pergi meninggalkan lembah.

oooOOooo

DI DALAM GOA, Kang Hoo terus duduk terpekur memikirkan nasibnya yang buruk. Karena gara-gara agama baru yang dianut ayahnya, ia mesti menjadi seorang pemuda yang yatim piatu. Mengingat ia telah melepas janji pada Hong Pin untuk mencari Angsa Emas Berkepala Naga, maka hari itu juga ia meninggalkan goa menuju ke Kun-san, ia mesti menyelidiki lebih dulu sumber tersiarnya berita tentang adanya itu patung Angsa Emas Berkepala Naga. Guna tidak merasa kesepian dalam perjalanan, ia meniup serulingnya mengeluarkan irama tikus, maka ribuan tikus mendengar suara itu, mereka seperti diperintah, sudah pada jalan berbondong-bondong di belakang Kang Hoo, berjalan di jalan-jalan pegunungan. Dan ketika hari gelap ia baru tiba di daerah Kun san. Malam hari, Kang Hoo tidur di atas dahan pohon. Haripun berganti pagi. Matahari kembali menyinari bumi, totolan embun di daun pohon terbang terhisap panasnya sang surya. Daun-daun pohon bergoyang ditiup angin pagi, diantara sekian banyak rimbunnya daun-daun pohon yang tumbuh di atas Kun san, tampak melingkar di satu cagak dahan, seorang pemuda yang masih menggeros tidur. Pemuda itu bukan lain adalah Kang Hoo, si jago Karakhter, dengan badan atas telanjang, ia menggeletak melingkar ditutupi rimbunnya daun pohon di atas cagak dahan. Celananya robek di sana sini, di pinggangnya terselip sebuah seruling perak. Waktu itu sebenarnya Kang Hoo sudah mengetahui perobahan malam berganti pagi tapi ia masih bermalas-malasan, melingkar terus. Teringat akan janjinya pada Hong Pin, buru-buru Kang Hoo lompat turun dari atas cabang pohon dimana ia melingkar, gerakan pemuda sangat aneh, karena dalam lompat turun ke tanah, ia tidak bangun lagi, langsung sambil merngkar ia menggulingkan dirinya, tampaknya seperti seorang yang jatuh dari atas pohon, tapi begitu sampai di tanah, mendadak tubuhnya meletik dan berdiri. Ribuan tikus yang berada di bawah pohon, begitu mereka melihat tubuh Kang Hoo jatuh, mereka serabutan lari menyingkir dengan mengeluarkan suara cicit yang ramai. Hingga begitu Kang Hoo berdiri tegak di atas tanah, ia sudah berada dalam kurungan tikus-tikus. Sejenak ia memperhatikan keadaan tikus-tikus yang sudah tertarik dsngan suara serulingnya. Hatinya berkata, “Tikus-tikus ini mana mungkin selamanya mengikuti aku terus. Sebaiknya kutinggalkan di tempat ini, kalau kubawa terus-terusan bisa-bisa akan menimbulkan perkara aneh yang baru, ada kemungkinan mereka akan menjadi ganas dan, menggerogoti daging manusia. Betul terhadap aku mereka tak melakukan serangan, karena mereka tertarik dengan suara seruling ini. Tapi terhadap lain orang aku tak dapat membayangkan bagaimana akibatnya apabila ribuan tikus ini berkeliaran dalam pergaulan manusia. Setelah berkata begitu dalam hatinya, lalu ia meniup seruling peraknya, untuk mengusir pergi ribuan ekor tikus itu. Ribuan tikus mendengar suara itu, mereka jadi kaget, serabutan mundur menjauhi Kang Hoo, dan saat itu dengan kecepatan luar biasa tubuh Kang Hoo melesat kabur meninggalkan tempat itu. Sebentar saja Kang Hoo telah melewati beberapa puluh lie, jauh di depannya sudah tampak membayang bangunan-bangunan kelenteng yang banyak bertebaran di atas Kun san tapi, dari sekian banyak kelenteng itu, di sana sudah kosong tak ada seorang padri atau tosu maupun lhama yang mendiami. Keadaan di sekitar halaman kelenteng merupakan hutan, rumput alang-alang sudah tumbuh tinggi di sana. Menemukan pemandangan itu, Kang Hoo dibuat bingung, kemana ia harus mencari itu Angsa Emas Berkepala Naga, menurut keterangan Hong Pin, sumber berita dari itu benda emas muncul dari atas Kun san, tapi kelenteng-kelenteng di tempat ini semua sudah kosong tak berpenghuni, ia juga lupa menanyakan di sebelah mana ia harus mencari itu Angsa Emas Berkepala Naga. Meskipun Kang Hoo tidak tahu, kalau di antara kelenteng-kelenteng yang sudah ditinggalkan oleh para tosu atau Lhama itu masih terdapat dua kelenteng yang ditinggali oleh tosu-tosu jahat, itulah kelenteng Tiok- san-koan dan kelenteng Ceng hie koan yang menjadi pusat dari golongan tosu-tosu jahat. Kang Hoo juga tidak tahu kalau benda yang dicarinya itu sebenarnya sudah tak ada di tempat itu, tapi karena ia tidak menanyakan lebih jauh pada Hong Pin dan ia hanya mendengar dari keterangan Hong Pin, kalau si pemuda buta itu datang ke daerah Kun san untuk mencari Angsa Emas Berkepala Naga. Suara angin yang menggoyangkan daun pohon membuat keadaan di atas Kun san menjadi berisik. Kang Hoo terus berlompatan diantara bukit-bukit pegunungan, dan jauh di bawah Kun san tampak itu telaga Tong teng, dari kejauhan warna telaga mengkilat ditimpa sinar matahari pagi. Dari balik rumput alang-alang yang meninggi, Kang Hoo memperhatikan keadaan tempat sekitarnya, dan ketika baru saja ia lompat ke depan untuk meneruskan perjalanannya, begitu kakinya menginjak rumput yang tumbuh di bawah bukit mendadak saja ia kejeblos masuk ke dalam lubang. Kang Hoo kaget, ia ingin meletik ke atas, tapi sudah terlambat, karena badannya dengan cepat sudah  jatuh di dasar  lubang. Suasana di dasar lubang gelap. Begitu ia berdiri di dalam dasar lubang, ia memandang ke atas untuk melihat, ternyata lubang dimana tadi ia terperosok masuk sudah tertutup, itulah merupakan satu pintu rahasia. Karena di atas penutup lubang yang merupakan pintu rahasia itu ditanami rumput-rumput, maka tak bisa diketahui orang kalau di dalam rumput itu terdapat sebuah lubang. Keadaan lubang yang tertutup bagian atasnya tentu saja gelap karena sinar matahari tak dapat masuk ke dalam. Tapi pada diri Kang Hoo terdapat seruling perak yang sangat aneh, bilamana di dalam keadaan gelap, maka trotolan yang terdapat pada seruling itu mengeluarkan cahaya meskipun cahaya yang keluar dari seruling perak itu tidak dapat menyamai terangnya sinar matahari, tapi sudah cukup untuk ia melihat keadaan di sekitar lubang itu. Lubang dimana ia jatuh terperosok tidak seberapa lebar, itulah merupakan sebuah lubang seperti lubang sumur, tapi di bagian lain terdapat satu lubang terowongan, yang merupakan lorong panjang. Dengan mengangkat seruling perak di depan sebagai obor, Kang Hoo terus jalan maju, ia bisa melihat bagaimana lubang itu hanya merupakan galian tanah, dan dibeberapa bagian terdapat tiang-tiang kayu yang menunjang di atas agar lorong tanah itu tidak ambruk. Setelah ia melewati jalan lorong berliku dua likuan jalan, ia tiba di sebuah jalan buntu. Lorong itu buntu tak ada terusannya. Di sana terdapat undakan batu menaik ke atas. Sampai di sini Kang Hoo jadi berdiri melengak, ia bingung, lubang apakah ini sebenarnya. Kalau lubang ini dibuat oleh manusia, untuk apakah manusia membuat lubang buntu? Sampai di sini ia niat balik kembali, ke tempat dimana ia jatuh terperosok, tapi baru ia jalan dua langkah, mendadak saja ia melihat di atas langit-langit lorong di bagian atas dari undakan batu terdapat batu persegi empat, Kang Hoo jadi heran, lama ia memandang ke atas, baru mendaki undakan-akan batu itu Di atas undakan batu Kang Hoo menjulurkan tangan ke arah batu segi empat di atas langit-langit, ia mendorong batu itu ke samping dan begitu ia berhasil menggeser batu tadi, di sana terdapat sebuah lubang empat persegi. Kang Hoo memasuki lubang tadi, dan ketika ia keluar dari lubang goa itu, ia sudah berada di dalam sebuah kamar batu. Luas kamar batu itu hanya enam kali tujuh kaki, di sekitar kamar merupakan dinding-dinding batu, tepi keadaan dinding batu itu sudah banyak yang pecah, dan di salah satu pojok dari lantai dinding batu terdapat segundukan tanah, di balik gundukan tanah itu terdapat sebuah lubang. Kalau melihat bentuk lubang itu bisa dipastikan itulah sebuah lubang tikus. Ketika Kang Hoo memandang ke arah pojok lain, di sana tampak sebuah peti kecil dari kayu, keadaan peti itu sudah rusak penuh debu, di sana sini bekas digerogoti tikus, sedang tutup peti juga sudah hancur. Kang Hoo segera menghampiri, diangkatnya peti itu dan diperiksanya, kecuali debu yang tebal ia tak menemukan apa-apa. Kang Hoo melempar kembali peti itu ke lantai, dan debu-debu yang menempel pada peti berhamburan, saat itu mendadak saja Kang Hoo melihat dari salah satu tepi peti terdapat satu huruf terbuat dari emas. Saking herannya. Kang Hoo mengambil kembali peti rusak tadi. Lalu dibersihkannya. Dan di sana tampak beberapa huruf yang terputus-putus, sudah tak dapat dibaca, karena bagian-bagian lainnya sudah lenyap digerogoti tikus. Hanya masih ada satu huruf yang bisa terbaca, itulah tulisan yang berbunyi 'Angsa'. Setelah membaca tulisan kuning emas pada sisi peti itu, Kang Hoo jadi berpikir, “Apakah peti ini tempat disimpannya itu Angsa Emas Berkepala Naga?” Meskipun keadaan Kang Hoo waktu ini seperti seorang pemuda gembel, tapi dia adalah keturunan seorang Peng pouw sie-long, dan ia sendiri telah lulus dalam ujian siu- cai, tentulah ia memiliki otak cerdik. Mendapatkan keadaan peti dan kamar rahasia ini. Kini ia bisa menduga, kalau lubang lorong di bawah tanah itu tentunya adalah ciptaannya seseorang yang ingin mencuri peti tersimpannya Angsa Emas Berkepala Naga. Apakah dengan demikian Angsa Emas Berkepala Naga itu sudah dicuri orang dan kamar ini sebenarnya kamar dari bangunan apa? Apa yang dipikirkan Kang Hoo tidak jauh dari kenyataan yang sebenarnya, karena jalan lorong di bawah tanah itu memang adalah hasil kerjanya Cui tojin, yang dengan diam-diam telah membuat jalan rahasia di bawah tanah. Tapi Cui tojin sendiri ketika masuk ke dalam kamar, ia sudah mendapatkan keadaan peti menjadi rusak, digerogoti tikus dan Angsa Emas sudah tak ada di tempatnya. Karena Kang Hoo masih belum tahu kamar itu sebenarnya adalah kamar apa dan dari bangunan apa, setelah menyelipkan kotak pada pinggangnya, ia memeriksa sekitarnya dinding batu. Meraba sana meraba sini, akhirnya secara kebetulan ia menekan sebuah tombol, begitu tombol tertekan maka terdengar suara kresekan dari bergesernya sebuah dinding batu. Itulah pintu rahasia kamar tersebut. Setelan pintu rahasia kamar itu terbuka, Kang Hoo segera lompat keluar. Tapi baru saja ia lompat keluar, mendadak saja terdengar suara orang terkejut, disusul dengan berkelebatnya satu serangan kemplangan sebuah toya dari belakang ke atas kepalanya. Karena kagetnya, Kang Hoo memutar badan, tanpa disadari, seruling peraknya ia sodorkan ke atas untuk menangkis datangnya serangan toya tadi. Kalau saja kemplangan toya itu sempat membentur seruling peraknya, pastilah seruling Kang Hoo akan jadi remuk, karena toya yang datang menyerang dirinya itu adalah sebuah toya besi. Tapi keadaan di atas dunia ini memang banyak hal-hal yang terjadi diluar dugaan orang, belum lagi kedua senjata itu beradu, mendadak saja toya besi yang datang menyerang batok kepalanya, sudah terpental lepas dari genggaman si penyerang, dan badan si penyerang sendiri mental membentur dinding ruangan. Maka di dalam kamar itu terdengar suara berisik. Kang Hoa yang tadi karena merasa kaget, ia melakukan gerakkan tangkisan dengan seruling perak, dan belum lagi seruling itu menyentuh senjata lawan, toya tadi sudah mental dari tuannya. Dan pemiliknya sudah mental membentur dinding kamar. Kini Kang Hoo bisa melihat bagaimana perawakan si penyerang. Orang itu bertubuh gemuk berkepala botak, mengenakan jubah pertapaan, ia duduk numprah bersandar di pojok dinding, sepasang matanya mendelik. Kang Hoo yang dipandang demikian rupa dalam hati berkata, ”Tosu ini memiliki sepasang mata seperti mata setan. ” Setelah berpikir begitu, ia lalu melangkah maju dan mengajukan pertanyaan, ”Suhu, maaf. Bukan maksudku berlaku kurang ajar di kamar orang. Tapi aku kebetulan masuk ke dalam kamar ini melalui jalan lorong di bawah tanah. Dan ini tempat sebenarnya tempat apa?” Tapi si tosu yang duduk bersandar pada dinding batu tak mendjawab, sepasang matanya mendelik terus memandang Kang Hoo. Mendapat pandangan mata demikian, Kang Hoo menyangka kalau si tosu sedang memandang kesima padanya, lalu ia jalan lagi lebih mendekati katanya, “Suhu. . . . . . . ” Tapi belum lagi Kang Hoo meneruskan ucapannya, mendadak saja ia tersentak kaget. kini ia melihat punggung jubah si tosu sudah jadi merah. Dalam kekagetannya, ia mendekati tosu tadi dan memeriksa, ternyata kepala si tosu sudah hancur akibat benturan pada dinding batu dalam kamar itu, dan napas tosu itupun sudah terhenti, hanya sepasang matanya saja yang terus mendelik. Setelah ia mengetahui kalau tosu itu sudah tidak ada napas, Kang Hoo melangkah mundur, mulutnya menggerendeng, ”Dosa . . aku berdosa membunuh orang. . ” Berbarengan dengan akhir kata-kata Kang Hoo, dari luar kamar terdengar pinto diketuk orang berulang kali. Kemudian terdengar orang berteriak-teriak memanggil, “Auwyang tojin        Auwyang

tojin ada apa? Di dalam ada kejadian apa?” Mendengar

suara teriakan itu, Kang Hoo mengkerutkan kening. Pikirnya, tosu yang mampus ini bernama Auwyang tojin. Dan suara jatuhnya toya besi di atas lantai dan benturan kepala si tosu pada tembok rupanya sudah terdengar oleh beberapa orang tosu lainnya, mereka lari ke depan kamar Auwyang tojin, dan mengetuk pintu. tapi setelah mereka gedor beberapa kali. Tak terdengar jawaban. Mereka berteriak-teriak memanggil. Kang Hoo merasa dirinya telah membunuh orang, ia jadi kebingungan, dengan para tosu ini ia juga tidak punya permusuhan apa-apa, maka cepat ia lompat ke arah pintu rahasia. Tapi pintu rahasia sudah tertutup kembali hingga Kang Hoo harus mencari tombol yang merupakan kunci untuk membuka pintu itu. Selagi ia sibuk kebingungan mencari tombol rahasia, para tosu yang berada diluar pintu, sudah mendobrak pintu dengan paksa, dari mana menerobos masuk tiga orang tosu berjubah pertapaan. Di tangan mereka membawa senjata toya besi. Begitu mereka menampak di dalam kamar terdapat seorang gembel yang sedang meraba raba dinding tembok, dan Auwyang tojin sudah menggeletak di bawah lantai bersandar pada dinding. Dua orang sudah maju menerjang Kang Hoo, dan salah seorang segera lari ke arah Auwyang tojin yang pecah kepala. Waktu itu Kang Hoo masih menghadap dinding tembok, serangan toya dua tosu sudah datang menyerang dirinya. Ia mendengar bagaimana langkah-langkah kaki mereka lari serabutan masuk ke dalam. Dan ia juga merasakan kesiuran kemplangan toya di atas kepalanya. Tapi karena Kang Hoo yakin, kalau dalam dirinya memang sudah tertanam itu kekuatan Karakhter, dan ia juga tidak niat untuk mencelakai orang lain, mendapat serangan itu, ia berdiri tenang membelakangi. Kedua tosu yang melakukan serangan bokongan dari belakangan, mereka sudah begitu geregetan, bagaimana di dalam kelenteng mereka bisa sampai kemasukan seorang gembel dan ketka serangan toya mengarah batok kepala Kang Hoo, dan menyaksikan bagaimana Kang Hoo masih tetap berdiri menghadap tembok membelakangi mereka, mereka jadi tersenyum asam. Tapi senyum itu tak berlangsung lama karena disusul dengan satu kekuatan yang mereka alami bersama, karena toya besi yang sudah hampir membentur kepala si gembel mendadak mental balik ke atas, dan kedua tubuh tosu tadi terhuyung ke belakang, mereka seperti terdorong oleh satu kekuatan halus tak terlihat dan tak mengeluarkan suara. Badan kedua tosu tadi terhuyung mundur sampai membentur dinding kamar. Tapi karena Kang Hoo dalam menerima serangan itu, ia tidak menggerakkan anggota badannya untuk mengelak, maka kedua orang tosu itu hanya terdorong mundur saja dan setelah memepet pada dinding batu mereka segera lompat kembali menerjang dengan penuh hawa pembunuhan. Saat itu Kang Hoo masih berdiri menghadap tembok, sepasang matanya terus mencari- cari itu tombol pembuka pintu rahasia ia tidak mau memperdulikan kedua tosu yang melakukan serangan dari belakang. Sementara itu, si tosu yang lari memeriksa mayat Auwyang tojin, setelah mengetahui kalau Auwyang tojin sudah binasa karena pecah kepala, tahulah ia sudah kalau sang kawan itu binasa akibat benturan kepala pada dinding kamar. Ia juga segera lompat bangun. Berbarengan dengan lompat bangunnya tosu tadi, dua tosu yang baru saja terhuyung ke belakang sudah menyerang maju lagi, tapi aneh gerakan mereka tak dapat melangkah lebih dari dua langkah karena kembali mereka terhuyung mundur lagi. Tosu yang baru saja lompat bangun, ia masih berdiri di samping mayat Auwyang tojin, ia bisa melihat bagaimana dua kawannya terhuyung mundur, melihat kejadian itu, ia menduga kamu si gembel yang menyelusup masuk ke dalam kamar kelenteng adalah seorang gembel yang memiliki kekuatan tenaga dalam sempurna. Hingga hanya dengan berdiri diam, ia bisa membuat lawan mundur, tapi hati si tosu ini juga dibuat heran, karena kalau gembel busuk di depannya ini mengerahkan tenaga dalam, bagaimana ia tidak melihat si gembel melakukan gerakan badan. Dan juga tidak terdengar suara angin pukulan. Karena rasa ingin tahunya, maka ia sudah lompat maju menerjang, kepalan tangannya meluncur mengarah lubang telinga dari Kang Hoo. Sambaran angin pukulan tadi membentur lubang telinga kiri Kang Hoo, tapi belum lagi kepalan tangannya tiba pada sasaran, mendadak saja tubuh tosu itu mental ke belakang, membentur dinding tembok dan jatuh di atas mayat Auwyang tojin. Kang Hoo mendapat serangan, dan ia belum juga menemukan tombol rahasia untuk membuka pintu, akhirnya ia membalik badan. Seruling peraknya masih digenggamnya di tangan kanan, tanpa memperdulikan ketiga tosu itu, ia melangkah keluar pintu kamar. Tapi ketika ia berada di luar pintu kamar, di sana sudah menghadang dua orang tosu berwajah bengis, kedua tosu itu dengan berbareng membentak, “Siapa?”' ”Maaf, aku salah masuk “ jawab Kang Hoo. ”Ini di dalam bangunan apa?”

Mendengar kata-kata Kang Hoo, kedua tosu yang menghadang di depannya mendelikkan mata, kemudian salah seorang membentak lagi, “Gembel kurang ajar, kau kira kelenteng Tiok san-koan saat ini bisa dibikin sembarangan. Nah kalau kau hendak keluar aku juga tidak akan melarang. Tapi sebelumnya kau harus meninggalkan lebih dahulu batok kepalamu di lantai!”

Baru saja tosu itu mengakhiri kata-katanya, mendadak dari dalam kamar ketiga tosu yang tadi menyerang Kang Hoo berlari keluar mereka berteriak, ”Bekuk pembunuh! Gembel pembunuh!”

Mendengar teriakan itu, Kang Hoo menoleh ke belakang, serunya, “Siapa pembunuh?”

“Eh. Gembel melarat, kau masih berani memungkiri perbuatanmu. Auwyang tojin di dalam kamar, siapa lagi yang membunuhnya kalau bukan perbuatan jahatmu?”

Sementara tosu tadi bicara, salah seorang tosu yang berdiri menghadang di depan Kang Hoo sudah lari meninggalkan tempat itu. Dan tak lama terdengar suara tanda bahaya dipukul, menandakan kalau di dalam kelenteng kemasukan musuh kuat. Begitu suara tanda bahaya terdengar, maka puluhan tosu kepala gundul sudah mengurung tempat itu, bahkan langit-langit ruangan tampak beberapa orang tosu yang menongolkan kepalanya dari lubang-lubang rahasia, mereka siap akan melakukan serangan senjata rahasia ke arah Kang Hoo. 

Kang Hoo melihat kalau di sekitar tempat itu sudah dikurung oleh puluhan tosu, ia membuka pembicaraan, “Aku Kang Hoo. Kedatanganku ke tempat ini secara kebetulan saja. Tidak ada niatan untuk membunuh orang. Maka harap para tosu jangan salah paham. ”

Baru saja Kang Hoo berkata sampai di situ mendadak dari rombongan para tosu yang mengurung dirinya berjalan keluar seorang tua berusia kira-kira lima puluh tahunan, alisnya putih, hidung merah, sepasang mata memancarkan sinar tajam, wajah tosu itu sangat dingin beku. Begitu ia berada empat kaki di depan Kang Hoo si tosu tua berkata, “Kau murid siapa?”

“Teecu, murid        Beng Cie Sianseng,” Jawab Kang

Hoo.

Bab 22 (Tamat)

“Beng Cie Sianseng. . . . . . . . ?” Ulang tosu tua hidung merah sambil mengkerutkan kening. “Aku pernah mendengar nama itu pada beberapa belas tahun yang lalu. Bukankah ia si pendekar pedang kitiran?”

Mendengar pertanyaan tosu tua itu, Kang Hoo jadi melengak, karena selama Beng Cie Sianseng melatih dirinya, sang guru tidak pernah menyebut-nyebut tentang pendekar pedang kitiran, bahkan senjata gurunya dalam melatih ia, menggunakan tongkat bambu tujuh ruas, meskipun tongkat bambu itu selalu diputar bagaikan kitiran dalam melakukan serangan atau mengelak dalam latihan. Tapi sang guru belum pernah menggunakan pedang. Kang Hoo baru melihat sang guru menggunakan pedang, ketika mereka melarikan diri dari kejaran gadis liar bangsa Bauw. Dan sebelum itu sama sekali ia tidak pernah melihat sang guru menggunakan pedang. Tapi di hadapan tosu tua hidung merah ini, ia harus segera memberi jawaban yang tepat, agar urusan jangan sampai jadi runyam.

Karena ia mencegah timbulnya salah paham yang lebih dalam maka tadi ia tidak menyebut Pek kut Ie-su sebagai gurunya, ia kuatir kalau guru aneh itu semasa mudanya dulu pernah membuat dendam terhadap para tosu dalam kelenteng ini. Seperti halnya apa yang ia alami terhadap Hong Pin. Waktu ini Kang Hoo juga masih belum tahu kalau para tosu yang mendiami kelenteng Tiok san koan adalah tosu-tosu jahat dari Pek-houw son. Merekalah sebangsa tosu kejam tiada berperi kemanusiaan. Karena Kang Hoo masih belum mengetahui sedang menghadapi tosu jenis macam apa, maka ia terus menjaga agar jangan gampai timbul bentrok dengan mereka.

Selagi Kang Hoo masih berdiri terheran-heran mendengar sebutan pendekar pedang kitiran itu, si tosu tua beralis putih berhidung merah sudah membentak, ”Eh, kerbau! Apa kau tuli. Apa bukannya Beng Cie Sianseng pendekar pedang kitiran?”

“Boleh jadi. ” Jawab Kang Hoo. Mendengar jawaban itu, para tosu yang mengurung di empat penjuru menjadi tertawa geli. Maka ruangan kelenteng itu menggema mengeluarkan suara tawa mereka. Terkecuali tosu tua hidung merah yang berada di depannya, ia hanya menunjukkan cengiran buasnya.

Kemudian katanya, “Kau bicara jangan kurang ajar! Sebelum rokhmu kubetot, sebaiknya beri keterangan yang jelas, agar setelah aku membunuhmu aku bisa memberi laporan pada gurumu untuk ia segera datang membawa mayatmu. ''

”Tidak perlu!” Tiba-tiba Kang Hoo berkata. Suara yang keluar dari mulut si pemuda sangat tenang, meskipun terdengarnya nyaring. “Koan cu, bunuh saja. Gembel busuk itu, ia telah membunuh Auw-yang tojin. ”

“Ya! Jangan diberi kesempatan ia lari kabur,” terdengar lain suara dari rombongan para tosu itu. Kang Hoo mendengar suara-suara itu ia tertawa kecil, lalu katanya, “Aku datang tak ada orang yang bisa melarang. Aku pergi tak ada satu manusia yang bisa mencegah,”

Setelah berkata begitu, Kang Hoo melangkah maju ke depan. Tosu beralis putih berhidung merah melihat Kang Hoo melangkah maju, entah bagaimana seperti kena sihir tosu tua itu menyingkir ke samping, memberikan Kang Hoo jalan terus. Para tosu lainnya, yang mengurung rapat tempat itu, begitu mereka melihat si tosu rambut putih memberi jalan, mereka serentak membuka jalan. Dan Kang Hoo dengan langkah tenang lewat diantara gang manusia itu. Dan tak lama ia sudah keluar dari kurungan para tosu, kini ia berada di dalam ruangan besar kelenteng.

Sementara itu tosu alis putih, hanya berdiri memandangi Kang Hoo, begitu pula puluhan tosu lainnya, mereka membuka jalan dan memandangi si pemuda. Dan ketika Kang Hoo memasuki ruangan besar, mendadak saja si tosu berhidung merah dan alis putih terjangkit kaget, ia seperti baru sadar. Teriaknya! ”Kejar! Bunuh gembel kerbau itu, jangan kasih ia lari kabur,”

Kang Hoo waktu itu sudah jalan di tengah-tengah? ruangan besar dalam kelenteng, ia mendengar suara teriakan tosu tua tadi, dan sebentar saja keadaan dalam ruang besar sudah dipenuhi oleh puluhan tosu, jalan maju sudah tertutup rapat, jalan mundur sudah terkurung. “Hmmm. Kalau aku melayani mereka,” pikir Kang Hoo. “Pastilah akan timbul kematian. Dan di sini tentunya aku berdosa membunuh orang lagi, diluar kehendakku. Tapi kalau aku lari kabur berarti aku seorang pengecut. Maka biarlah kuberi sedikit ajaran pada tosu keparat ini. Setelah itu dengan diam-diam aku bisa keluar dari kurungan mereka. ”

Setelah berpikir demikian, di tengah-tengah kurungan para tosu Kang Hoo berkata, ”Kepala gundul buruk! Kalau mau membunuh tuanmu, kalian cepat turun tangan. Mau tunggu apa lagi?”

Mendengar kata-kata Kang Hoo, semua tosu kepala gundul jadi merah wajah mereka dan serentak mereka memandang pada tosu hidung merah beralis putih menunggu perintah. Tosu hidung merah tahu kalau anak- anak muridnya menunggu perintah untuk segera turun tangan, maka ia segera mengebutkan ujung jubah bajunya. Suatu tanda agar murid-muridnya segera melakukan serangan.

Para kepala gundul yang melihat sang Koan cu sudah memberi tanda, mereka berebutan maju menyerang Kang Hoo, hingga Kang Hoo terkurung rapat di tengah-tengah. Maka sebentar saja di tempat itu terdengar suara berisik dari beradunya senjata toya besi, golok yang saling bentur sendiri. Kemudian mereka terdorong mundur ke belakang.

Para tosu yang belum melakukan serangan, mereka masih pada berdiri, mereka bisa melihat bagaimana beberapa belas kawan mereka merangsek maju menyerang Kang Hoo, hingga tubuh Kang Hoo tak tampak terkurung oleh rapatnya serangan, mereka menyangka pastilah tubuh Kang Hoo akan segera hancur lebur ribuan keping. Begitu pula jalan pikiran tosu hidung merah beralis putih. Ia yakin kalau Kang Hoo segera akan menjadi perkedel. Tapi ketika mendengar suara toya dan golok saling bentur sendiri di tengah udara, tosu hidung merah alis putih jadi membelalakkan mata, ia jadi kaget bukan kepalang dan belum lagi kekagetannya lenyap, para tosu yang melakukan serangan, mendadak berpentalan mundur kembali. Hingga mereka pada membentur kawan-kawan mereka yang masih berdiri di pinggir menunggu giliran untuk menyerang.

Karena adanya benturan-benturan dari kawan-kawan mereka yang terpental mundur, maka suasana di dalam ruang besar kelenteng itu jadi kalut tidak keruan, mereka menjadi dongkol dan marah.

Tosu hidung merah yang berdiri diantara rombongan para tosu yang pada terhuyung-huyung mundur itu, ia juga jadi terdorong mundur, kemudian dengan mengeluarkan suara bentakan keras, ia mengibaskan lengan bajunya, “Semua minggir, jangan panik tidak keruan. ”

Berbarengan dengan suara teriakan tosu hidung merah beralis putih tadi para tosu yang sedang kalut terhuyung-huyung diantaranya sudah ada yang rebah terguling terinjak-injak kawan-kawan mereka sendiri, mereka mendadak jadi berpencaran menjadi dua kelompok ke pinggir ruangan besar, itulah diakibatkan terkena serangan kibasan lengan jubahnya si tosu hidung merah alis putih. Begitu para tosu itu pada terpelanting ke pinggir dinding ruangan besar, di tengah- tengah ruangan sudah jadi kosong, yang tinggal hanyalah para tosu yang jatuh terinjak-injak, mereka juga sudah cepat merayap bangun dan lari ke pinggir ruangan.

Begitu rombongan tosu-tosu itu sudah pada berdiri berbaris merapat pada empat sudut di dinding ruangan besar. Mendadak saja mata si tosu tua hidung merah beralis putih terbelalak keluar. Memandang ke tengah- tengah ruangan, karena di sana sudah tak tampak bayangan Kang Hoo. Ternyata Kang Hoo, ketika para tosu berpentalan akibat terdorong oleh kekuatan Karakhter yang melindungi dirinya. Kesempatan itu digunakan olehnya untuk segera meninggalkan mereka. Dan tanpa banyak kesulitan Kang Hoo sudah berhasil menerobos ke luar kelenteng, ia terus lari kabur ke belakang gunung.

Sementara si tosu hidung merah beralis putih, sudah berteriak, “Gentong nasi! Ayo, tangkap gembel keparat itu!” Mendengar suara teriakan si tosu hidung merah beralis putih, rombongan tosu-tosu itu serabutan keluar. Mereka mengejar Kang Hoo, tapi di luar kelenteng yang tampak hanyalah pohon-pohon dan burung-burung yang berterbangan di udara. Bayangan Kang Hoo sudah tak tampak lagi. Para tosu saling pandang dan beberapa orang melakukan pemeriksaan sekitar kelenteng. Tapi mereka juga tak menemukan bayangan Kang Hoo.

KANG HOO kembali di bawah pohon dimana ia meninggalkan rombongan ribuan tikus. Ia duduk bersandar, memperhatikan kotak kecil yang rusak bekas digerogoti tikus. Ia yakin kalau kotak itu adalah tempat dari Angsa Emas Berkepala Naga, dan kalau melihat dari bentuk kotak itu, maka ia sudah bisa menduga besarnya Angsa Emas Berkepala Naga itu. Tentulah benda yang dicari si pemuda buta Hong Pin, hanya sebesar kepalan tangan. Setelah diperiksanya kotak tadi, diletakkan di atas tanah. Kemudian pandangan wajahnya memandang kebiruannya langit di angkasa, ia seperti sedang berpikir keras. Dan tak lama terdengarlah ia berkata sendiri, “Angsa emas. . . . . . Angsa emas. Kotaknya digerogoti tikus. Dan dimana terdapat kotak ini, di bawah lantai terdapat sebuah lubang, itulah bukan lain dari pada lubang tikus, apakah Angsa emas itu sudah digondol lari tikus . . . . . ” Berkata sampai di situ, mendadak saja ia memeriksa kembali kotak rusak itu. Kotak tadi diletakkan di atas pahanya, kini ia meniup seruling! ya berirama mencicitnya tikus-tikus.

SUARA SERULING ITU panjang terdengarnya, membawakan irama suara tikus. Belum lama Kang Hoo meniup seruling, mendadak saja sudah terdengar suara cicit tikus yang sangat berisik mendatangi, beberapa eror tikus sudah berada di depan dirinya, mereka mengangkat kedua kaki depannya memandang Kang Hoo dan ribuan tikus lainnya terus berdatangan juga, mengurung diri Kang Hoo, suaranya sangat berisik sekali. Mengetahui kalau ribuan tikus mendengar serulingnya kembali datang, dan kini di depannya terdapat beberapa ekor yang berdiri dengan mengangkat kaki depannya ke atas memperhatikan muka Kang Hoo, ia menghentikan tiupan serulingnya, kemudian menghitung tikus-tikus yang berdiri di depannya. Ternyata ada delapan ekor. Setelah mengetahui jumlah tikus yang berdiri di depannya, Kang Hoo mengangkat kotak rusak dari atas pahanya lalu diletakkan di depan kedelapan tikus-tikus itu, kemudian katanya, “Inilah kotak Angsa Emas Berkepala Naga, tapi aku dapatkan hanya kotaknya saja. Isinya entah kemana, melihat kalau dalam kamar rahasia di mana terdapat kotak ini terdapat lubang-lubang bekas jalan tikus. Apakah kalian bisa mencari benda itu. Itu juga bukan untuk kepentinganku. Aku mencarinya untuk menolong salah satu sahabat. Nanti bila kalian bisa mencari benda itu. Aku bersumpah selama hidup tidak akan membunuh bangsa kalian. ”

Setelah berkata demikian, Kang Hoo memperhatikan delapan tikus yang berdiri di depannya, kedelapan tikus itu, setelah mendengar ucapan Kang Hoo, lagak mereka seperti manusia, mereka saling pandang diantara kawan mereka, lalu seruntulan mengelilingi kotak kecil tadi. Dan empat ekor diantaranya telah mengangkat kotak itu, kotak tadi diangkat ke atas. Kang Hoo yang memperhatikan tikus-tikus itu ia jadi heran. Pikirnya, “Hari ini aku sudah jadi seperti seorang gila bicara dengan binatang. Apakah binatang-binatang ini mengerti maksud pembicaraanku. Sekarang apa maksud mereka mengangkat peti kecil itu ke atas? Hai. ”

Sementara itu empat ekor tikus dengan kaki depannya masih mengangkat itu peti kecil, mereka berjalan berputaran, sedang empat akor lainnya mengelilingi keempat tikus tadi. Beberapa kali terdengar suara cicit mereka. Setelah sekian saat, empat ekor tikus yang menggotong peti kecil tadi, jalan ke rombongan ribuan tikus. Begitu tikus penggotong peti memasuki rombongan ribuan tikus, mereka memberi jalan, kini mereka semua pada berdiri berjejalan dengan kaki depan ke atas, mereka rupanya ingin melihat benda apa yang dibawa sang kawan. Dengan masih duduk di bawah pohon, Kang Hoo bisa melihat bagaimana kelakuan tikus-tikus itu. Semasa kecilnya, di dalam rumah ia memang sering melihat tikus, yang membongkar mangkok di atas meja, cara kerja tikus itu memang memiliki sifat gotong royong dengan bertiga atau berempat mereka membuka tutup makanan di atas meja, kemudian masing-masing berebutan mencuri makanan yang ada di dalamnya. Hari ini di depannya ia melihat bagaimana kelakuan empat ekor tikus tadi menggotong kotak kayu itu dipertontonkan kepada ribuan kawan- kawan mereka. Inilah suatu kejadian yang seumur hidupnya belum pernah ia lihat. Suasana sunyi di belakang gunung itu, dipecahkan dengan beberapa kali suara mencicit dari tikus-tikus yang melihat peti kayu digotong empat ekor tikus kawan mereka. Setelah hamper mengelilingi ribuan tikus, mendadak saja dari belakang rombongan tikus, terdengar suara mencicit yang keras dan seekor tikus lompat lari melewati kepala kawan-kawannya, hingga kejadian itu membuat tikus- tikus yang terinjak jadi panik mereka seruntulan lari menyingkir. Empat ekor yang menggotong peti, mendengar dan melihat ada seekor tikus lain mendatangi, mereka menghentikan langkahnya, menunggu datangnya tikus tadi. Dan setelah itu mereka bersama-sama lari ke depan Kang Hoo. Tikus yang baru ikut rombongan empat ekor penggotong peti sudah berdiri dengan mengangkat kaki depannya, memandang Kang Hoo. Dan empat ekor yang menggotong peti sudah meletakkan peti tadi, mereka turut berdiri dengan mengangkat kaki depannya ke atas memandang Kang Hoo. Menyaksikan kelakuan tikus-tikus itu, Kang Hoo jadi menggerendeng sendiri, katanya, “Cita-cita ayah ingin menjadikan aku orang yang berguna setelah lulus ujian siu-cai, ia menyuruh aku mengikuti ujian luar biasa di kota raja. Itulah karena harapan agar aku kelak bisa mendapat kedudukan pangkat. Tapi perjalanan nasib ternyata ada berlainan, ayah binasa, dan kini tak pernah aku mimpi sebelumnya kalau aku bisa bergaul dengan ribuan tikus ini. Aneh, ini tikus-tikus aneh. ”

Kang Hoo berkata, menggerendeng sendirian, dan tikus-tikus yang berdiri di depannya, mendengar suara Kang Hoo, mereka saling pandang. Tidak mengerti apa maksud kata-kata si pemuda di depannya. Kalau tikus- tikus itu tidak mengerti apa yang diucapkan Kang Hoo, sebaliknya Kang Hoo sendiri tidak mengerti sifat tikus- tikus, ia mengatakan itulah tikus-tikus aneh, sebenarnya tikus-tikus tidak aneh, tapi dirinya sendirilah yang aneh. Ia membawa-bawa seruling perak, dan meniup suara bunyi mencicit bagaikan suara tikus. Maka tikus-tikus itu menganggap kalau Kang Hoo adalah satu jelmaan dari tikus juga. Hingga mereka tunduk terhadapnya. Kalau saja Kang Hoo tidak membawa seruling itu, pastilah hari ini yang masih tinggal di atas dunia hanyalah tulang- tulangnya saja, daging-dagingnya sudah lama berpindah ke dalam perut ribuan tikus itu. Sementara itu, setelah melihat bagaimana kelakuan tikus-tikus yang berdiri di depannya, ia menunjuk dengan serulingnya ke arah kotak kayu yang menggeletak di tanah, katanya, “Siapa di antara kalian yang telah menggondol benda emas dari dalam kotak itu?”

Mendengar suara Kang Hoo empat ekor tikus yang berdiri di depannya berbarengan memutar badan melihat ke arah kotak, tapi mereka tidak mengerti apa maksud ucapan Kang Hoo, setelah mereka membalik badan melihat kotak itu, kembali mereka berdiri di depan Kang Hoo. Tentu saja Kang Hoo jadi bingung, tikus-tikus ini tidak mengerti apa maksud perkataannya. Tapi mendadak saja ia jadi girang katanya, “Nah, kalian ajaklah rombongan kawan-kawan kalian. Ikut aku. ” Setelah berkata begitu, ia mengangkat kotak kayu di tangannya, kemudian bangun berdiri dan meniup serulingnya. Berjalan ke depan. Tikus-tikus tadi segera lari ke rombongan kawan-kawan mereka, lalu membuka jalan memberi Kang Hoo jalan di depan, dan ribuan tikus berlerotan jalan di belakang Kang Hoo, mengikuti suara mencicit dari irama seruling peraknya. Tak lama Kang Hoo sudah berada tidak jauh dimana tadi ia masuk kejeblos ke dalam lubang rahasia. Tapi begitu ia sampai di tempat itu, ia jadi kaget, karena lima orang tosu tampak sedang memeriksa lubang tersebut, rupanya mereka telah menemukan jalan rahasia di bawah tanah itu. Ketika lima orang  tosu mendengar suara mencicit tikus, mereka segera membalik badan melihat ke arah berdirinya Kang Hoo, waktu itu Kang Hoo sudah menghentikan suara serulingnya. Sementara itu para tosu yang berdiri di pinggir lubang rahasia, mereka jadi kaget bukan kepalang, kekagetan mereka bukanlah karena munculnya Kang Hoo di depan mereka, tapi melihat banyaknya tikus-tikus yang seruntulan di belakang si pemuda. Dan belum lagi mereka bisa berbuat sesuatu, ribuan tikus yang melihat ada lima sosok tubuh manusia di pinggir lubang mereka segera serabutan menerang. Dan sebentar saja tikus-tikus itu sudah merayap naik ke kaki dan ke badan tosu-tosu tadi. Lima tosu yang belum lagi bisa berbuat sesuatu, mereka mendadak mendapat serangan ribuan tikus, mereka mengeluarkan suara jeritan, kemudian berbareng lompat masuk ke dalam lubang. Tapi gerakan ribuan tikus lebih cepat dari mereka, sebentar saja lubang rahasia ttu sudah penuh dijejali oleh tikus-tikus yang lari masuk. Maka di dalam lorong jalan rahasia itu terdengar suara jeritan menyayatkan, tapi suara itu tidak terdengar lama karena sebentar kemudian sudah tak terdengar lagi. Sementara itu Kang Hoo yang melihat kejadian itu ia melompongkan mulutnya, memelototkan sepasang matanya, ia tidak menduga sebelumnya kalau rombongan tikus-tikus ini adalah tikus-tikus liar yang sangat ganas. Menyaksikan kalau tikus-tikus itu menyerang manusia, bulu kuduknya jadi merinding. Sekian saat ia berdiri mematung, kemudian baru ia mengangkat serulingnya di depan matanya, diperhatikannya benar-benar seruling aneh itu. Berkat seruling perak tadi maka ia selamat dari serangan ribuan tikus bahkan tikus-tikus itu kini menjadi takluk terhadap dirinya. “Seruling pusaka. ” Gumam Kang Hoo, lalu ia memperhatikan rombongan tikus-tikus yang terus memasuki lubang rahasia di bawah tanah itu, setelah mereka masuk semua barulah Kang Hoo paling belakang jalan dan mendekati lubang rahasia tadi, dan ketika ia akan lompat turun, hatinya jadi bergidik, karena di bawah jalan rahasia itu berserakan tulang belulang dari lima sosok tengkorak manusia. Itulah tulang-tulang lima orang tósu yang baru saja digerogoti ribuan tikus. Menyaksikan itu, hati Kang Hoo tambah bergidik, ia mempererat genggaman serulingnya, kuatir kalau seruling itu nanti lenyap atau bisa terbang sendiri, bukankah tanpa seruling itu dagingnya bisa berpisah masuk ke dalam perut ribuan tikus. Setelah mempererat genggaman pada serulingnya dengan hati-hati ia lompat turun, dan melangkahi serakan tulang belulang para tosu yang menggeletak di bawah lubang. Kemudian ia jalan maju menuju ujung jalan lorong. Saat itu ribuan tikus sudah tak tampak di jalan bawah tanah itu. Rupanya mereka telah mendahului Kang Hoo, dan ketika si pemuda berada di ujung lubang, ia melihat ke atas, dimana terdapat lubang yang terbuka maka ia pun segera menyusul masuk ke kamar rahasia. Begita tiba di dalam kamar rahasia Kang Hoo jadi kaget lagi, karena di sana sudah terdapat tiga tengkorak manusia lagi. Kang Hoo tahu kalau itulah tentunya tiga tengkorak tosu. Memperhatikan kamar itu, di sini hanya tinggal delapan ekor tikus, kedelapan ekor tikus itu begitu melihat Kang Hoo, mereka berdiri dengan mengangkat kaki depannya ke atas. Melihat kalau di dalam kamar rahasia itu terdapat tengkorak manusia. Kang Hoo jadi ragu-ragu, karena salah-salah ia juga bisa mengalami nasib seperti tengkorak yang menggeletak di lantai. Selagi ia berdiri ragu-ragu, mendadak salah seekor tikus dari delapan ekor yang berdiri di depannya mengeluarkan suara mencicit dengan menunjukkan giginya di depan Kang Hoo. Melihat gigi tikus itu, Kang Hoo jadi mundur ke belakang, ia siap meniup serulingnya. Tapi ketika ia mengetahui kalau tikus tadi tidak melakukan serangan, ia menenangkan hatinya, kemudian sambil tersenyum kecut, ia melihat ke bawah dinding kamar rahasia di mana terdapat timbunan tanah dan lubang. Itulah tentunya lubang tikus. Baru dengan rasa sedikit tergetar ia berkata, “Itu lubang kalian

carilah isi benda dalam kotak ini. ” Delapan ekor tikus mengikuti pandangan mereka ke arah lubang tadi. . lalu mereka seruntulan ke depan lubang, tapi mereka tidak mau masuk, hanya mengangkat kedua kaki depannya di depan lubang. Melihat itu Kang Hoo jadi heran, dan baru saja ia mau membuka mulut, mendadak saja mata Kang Hoo jadi terbelalak lebar, karena dari dalam lubang tikus itu muncul keluar sebuah benda, benda itu terbuat dari emas berbentuk kepala singa. Delapan ekor tikus yang menyaksikan benda tadi keluar dari lubang itu, mereka mengeluarkan suara mencicit. Meskipun bentuk kepala naga mas yang baru nongol di depan lubang kotor karena tertimbun tanah, tapi sepasang mata Kang Hoo bisa membedakan itulah benda yang terbuat dari Emas, tentunya patung Angsa Emas Berkepala Naga, besarnya tidak lebih besar dari pada tikus-tikus yang berada di depannya. Saking girang ia menjulurkan tangannya untuk mengambil, tapi mendadak tangan tadi ditarik kembali, ia kuatir, kedelapan tikus tadi menyambar tangannya. Bukankah keadaan itu akan membuat dirinya lebih runyam lagi. Tak lama terdengar dari salah seekor dari kedelapan tikus yang berdiri di depan lubang goa mencicit lagi, kemudian tempat Angsa Emas Berkepala Naga tergeser keluar lubang. Sebenarnya kalau melihat gerakan dari patung Angsa Emas Berkepala Naga itu sangat aneh, karena nampaknya benda yang terbuat dan emas tadi seperti berjalan sendiri, tapi otak Kang Hoo cukup cerdas, ia telah mengetahui kalau di belakang benda tadi terdapat seekor tikus yang mendorong benda itu keluar. Dan dugaan Kang Hoo benar, karena tidak lama setelah Angsa Emas tadi keluar seluruhnya dari permukaan lubang, menyeruntul keluar seekor tikus. Setelah Angsa Emas tadi berada di luar lubang, empat dari delapan ekor tikus yang berdiri menunggu di luar lubang segera lari, dan mereka mengangkat dengan kaki depan mereka Angsa Emas itu, lalu dibawa ke depan Kang Hoo, dengan sikap seakan-akan mereka menyerahkan benda tadi. Kang Hoo segera membungkukkan badan meskipun ia siap dengan serulingnya, kalau perlu ia akan segera bertindak. Tapi sebenarnya kewaspadaan Kang Hoo tidak perlu, karena tikus-tikus itu mengetahui kalau Kang Hoo tidak dapat digerogoti, entah bagaimana mereka tak sanggup ménghadapi Kang Hoo, bukankah ketika mereka pertama kali bertemu dengan Kang Hoo di dalam goa mereka juga sudah menyerang, tapi mereka tak bisa mendekati si pemuda, seperti ada saja tembok yàng tak tampak melindungi Kang Hoo. Dan ketika mereka mendengar suara seruling yang mengeluarkan suara tikus maka tikus-tikus itu sudah jadi takluk. Karena Kang Hoo dalam keadaan bingung dan terheran-heran hingga ia telah melupakan kejadian di dalam goa. Ia terus waspada dan hati-hati, lebih-lebih setelah melihat sendiri dengan mata kepala kalau tikus-tikus ini senang dengan daging manusia. Dengan penuh kewaspadaan dan sepasang mata memperhatikan tikus-tikus itu, tangan kiri Kang Hoo mengambil Angsa Emas yang digotong oleh empat ekor tikus. Manakala ia telah mengangkat Angsa Emas dari usungan keempat ekor tikus tadi, Kang Hoo jadi girang, karena tikus-tikus itu tidak melakukan serangan bahkan mereka  seperti sengaja memberikan benda tadi kepada Kang Hoo. Sejenak Kang Hoo memperhatikan benda tersebut, Angsa Emas itu kotor penuh tanah, ìa menggosokkan pada celananya ingin memeriksa apakah benar seluruh benda ini terbuat dari emas, dan setelah ia mendapatkan kalau benda itu memang terbuat dari emas, ia menghela napas, katanya, “Hong Pin, dengan benda ini sepasang matamu akan melek kembali. Dan dosa guruku terhadap suhumu tentunya sedikit bisa ditebus. ” Ucapan Kang Hoo tentunya tak bisa dimengerti oleh tikus-tikus itu, setelah mereka melihat Kang Hoo membersihkan Angsa Emas tadi dan mengeluarkan suara, kedelapan tikus itu beserta seekor yang keluar dari dalam lubang sudah pada menyerundul, gerakan mereka sangat cepat, sebentar saja sudah lari keluar kamar. Kang Hoo ingin segerà mengantar benda itu ke Cin-hong-to, ia juga keluar melalui pintu kamar, di luar kamar rahasia ia kembali jadi kaget, karena di sana menggeletak membujur satu tengkorak manusia. Tapi Kang Hoo tidak mau perduli dengan tengkorak manusia itu, bukankah belum lama di kamar ini juga tanpa disengaja ia telah membunuh Auw yang tojin. Dan kini tikus-tikus telah menggerogoti daging kawan si tosu. Berjalan keluar kamar, pemandangan yang ia dapatkan serupa di sana sini terdapat tengkorak- tengkorak manusia. “Gila! Tikus-tikus ini mengapa begitu ganas sampai para tosu ini tak sempat mengeluarkan suara jeritan, mereka sudah menjadi tulang, daging dan berikut jubah-ubahnya pindah ke dalam perut ribuan tikus. ” Kang Hoo memeriksa seluruh ruang kelenteng, kecuali tulang-tulang manusia yang bergeletakan di atas lantai, ia tak melihat lagi seekor tikuspun. Hatinya jadi heran, kemana larinya tikus-tikus ini. Apakah mereka sedang berpesta pora menggerogoti daging-daging tosu di luar kelenteng? Setelah berpikir begitu, Kang Hoo jalan keluar, tapi mendadak saja ia teringat sesuatu, bukankah untuk melakukan perjalanan ke laut Pok hay ia harus mengambil jalan air, mengikuti arus sungai Hong- hoo baru menuju ke laut bebas. Teringat akan itu, ia memeriksa laci-laci meja dan lemari dalam kelenteng itu mencari kalau-kalau di sana terdapat uang. Dan benar saja, dari salah situ lemari dalam kamar, ia menemukan peti uang dari sana ia mengambil beberapa tail uang perak untuk bekal perjalanannya. Baru ia lari keluar kelenteng. Begitu tiba di halaman kelenteng, di sana terdapat beberapa tengkorak manusia lain dan ribuan tikus sudah pada bertebaran di atas pekarangan kelenteng. Kang Hoo kuatir kalau tikus-tikus ini nanti akan mengganas di perkampungan, maka ia segera meniup serulingnya. Dan menggiring tikus-tikus itu kembali ke tempat asalnya. Setelah membawa kembali ribuan tikus tadi ke dalam goa. Ditutupnya gua itu, baru Kang Hoo melanjutkan perjalanan. Kini ia harus menuju tepi sungai Hong hoo, kemudian dengan jalan air ia akan berlayar menuju Cin-hong to di laut Pok-hay. Sang surya tenggelam kembali di barat, hari berganti malam. Entah sudah berapa kali siang berganti malam, Kang Hoo melakukan perjalanannya menuju tepi sungai Hong hoo dengan membawa Angsa Emas Berkepala Naga.

Langit gelap gulita, sinar kilat memecahkan kegelapan awan. Hujan rintik-rintik mulai turun ke bumi. Pada musim buah Bwee matang, seperti biasa waktu itulah Tiongkok mengalami musim hujan. Keadaan hujan yang turun terus menerus, bagi penduduk kota bukanlah jadi persoalan, tapi bagi para petani yang tinggal di kedua tepi sungai Hong-hoo dari daerah Cíe-yang terus sampai kalau laut Pok hay yang panjangnya lebih dari tiga ratus lie, keadaan itu sangat merugikan kaum tani.

Karena waktu itu, kaum tani baru akan panen dan ketan kuning baru saja tumbuh, kalau hujan turun terlalu lama dan air terlalu banyak, keadaan itu bisa merusak tanaman padi kering, begitu juga keadaannya pohon kacang, akan jadi rusak akarnya sedang pohon-pohon ketan kuning karena terlalu banyak air daunnya akan layu bahkan lain-lain tumbuhan juga jadi membusuk. Tidak heran kalau hujan turun terus menerus beberapa hari, panen akan berkurang. Keadaan hujan yang terus menerus bukan saja akan merusak tanaman bahkan air sungai akan meluap, dan gili-gili bisa jadi bobol, akibat dari semua itu maka akan timbullah bahaya banjir.

Sudah tigabelas hari hujan masih juga belum berhenti, penduduk siap-siap menjaga gili-gili agar jangan sampai bobol. Dan sampai pada hari yang ketiga belas hujan masih juga belum mau berhenti, dan penduduk tani jadi semakin ketakutan. Mereka beramai- ramai lalu menggotong keluar patung Malaikat Api Hwee- tek-seng-kun dari dalam kelenteng. Menurut kepercayaan penduduk, patung Hwee-tek-seng-kun dapat menghentikan turunnya hujan, maka di hari itu ketika hujan belum juga berhenti, mereka telah mengambil keputusan untuk menggotong keluar itu patung dan ditaruh di lapangan terbuka agar patung Dewa Api Hwee-tek-seng-kun segera menaklukkan dewa hujan Su-hai Liong ong. Agar sang hujan bisa segera berhenti. Enam hari dilewati lagi, tapi sang hujan masih belum mau berhenti, meskipun patung Dewa Api sudah diletakkan di lapangan terbuka. Para penduduk yang melihat kalau patung Dewa Api belum bisa menghentikan hujan, sudah tak sabar.

Hari itu beberapa orang telah lari masuk ke dalam kelenteng mengambil toya yang dibuat dari kayu Co, setelah mereka mengambil toya kayu Co, mereka lari keluar, di bawah hujan besar lalu beramai-ramai mereka memukuli kedua tangan Dewa Api sampai jadi rusak tidak keruan macam.

Setelah beberapa orang itu memukuli kedua tangan patung Dewa Api di bawah hujan besar, mereka memandang patung tadi dengan penuh kegusaran, karena sang patung yang dipuja sangat sakti itu, hari ini tidak menunjukkan kesaktiannya. Dan mereka memberi hukuman dengan memukul kedua tangan patung tadi. Agar sang patung tahu kalau penduduk jadi marah, supaya dia segera berurusan dengan dewa hujan Su hay Liong-ong.

Salah seorang dari pemukul tangan patung dengan muka sengit ia memandang wajah patung itu, kemudian katanya, “Hwee tek-seng kun, karena kau tidak mau berurusan sama raja Su-hay Liong-ong, maka hari ini di bawah hujan besar disaksikan orang banyak, kami telah mewakili menghajar kau. Dan besok bila kau masih juga belum bisa menghentikan hujan, maka jangan harap orang-orang di tempat ini mau memujamu lagi. Kau akan segera dibuat jadi hancur lebur. ” Setelah berkata begitu, orang tadi memerintahkan penduduk yang menonton upacara penggebukan tangan patung membubarkan diri dan menjaga gili-gili.

Malampun tiba, hujan belum juga reda, nasib dari patung Hwee-tek-seng kun sudah di pintu kehancuran. Tapi dipagi harinya, mendadak saja hujan yang semalam belum berhenti sudah menunjukkan keredaannya, kira- kira pada jam sepuluh pagi hujan tinggal gerimisnya saja, dan sinar matahari sudah mulai memancar. Para penduduk yang melihat sinarnya matahari pagi dan berhentinya hujan, mereka jadi girang bukan kepalang. Ternyata patung Dewa Api Hwee-tek seng kun sudah menunjukkan kesaktiannya. Kalau pada kemarinnya mereka sangat benci dan gemas terhadap Hwee-tek seng kun, di pagi ini mereka berbalik sangat memuja patung yang dianggap sangat manjur. Tanda kegirangan terlukis di wajah setiap orang, mereka lalu mengundang beberapa tukang pahat untuk memperbaiki tangan patung Hwee tek-seng-kun yang sudah rusak akibat gebukan toya pada kemarinnya. Dan beberapa orang sudah pada pasang hio dan ingin melakukan sembahyang dengan membawa sam seng kepala babi, sebagai tanda terima kasih atas budi kebaikannya malaikat api.

Diantara kesibukan-bukan para penduduk yang percaya akan patung Hwee-tek-seng-kun yang waktu itu memang merupakan satu kepercayaan yang sulit dihilangkan itu. Dari antara ribuan penduduk yang berjejal sembahyang dan memberi Sam seng di depan Dewa Api, di sana turut berjejalan seorang pemuda. Pemuda itu mengenakan celana robek-robek, dan ia tak memakai baju, di pinggangnya terselip seruling perak, dan sebuah bungkusan kain menggembol di sana.

Penduduk yang sibuk dengan urusan mereka tidak mau banyak perhatian terhadap pemuda itu yang bukan lain adalah Kang Hoo, dan si pemuda sendiri yang tidak mau ambil pusing atas kepercayaan penduduk di pinggir sungai Hong-hoo, ia hanya menonton keramaian itu, bercampur aduk bersama penduduk. Sementara itu, dari kegirangannya kaum tani karena hujan telah berhenti, kini timbul satu kekuatiran, karena menurut laporan penjaga gili, air sungai yang mengalir kian lama kian tinggi. Kejadian itu bisa membahayakan bobolnya gili-gili dan terjadinya bahaya banjir. Para penduduk jadi sibuk kembali. Beberapa orang penduduk sudah pada pergi ke tepi sungai untuk sembahyang, dan ketika mereka menampak di tengah sungai ada ular atau kodok air, mereka lalu pada berkemak kemik membaca doa. Dan terdengar mereka berkata, “Kim liong tay ongya punya kunjungan ke tempat kita dalam keadaan mendadak, hingga kita tidak bisa kasih barang sembahyang yang berharga hanya sedikit hio, lilin dan sam seng kepala babi, harap suka terima. ” Kang Hoo bisa menyaksikan semua kelakuan penduduk di tepi sungai Hong hoo. Kejadian itu adalah merupakan kepercayaan dari penduduk yang tinggal di sebelah bawah sungai Hong hoo, mereka sangat percaya akan adanya dewa-dewa yang menjaga setiap kejadian perubahan alam, Hujan adalah urusan patung dewa Hwee-tek seng-kun yang akan menghentikannya. Tapi air sungai banjir disebabkan dewa sungai yang suka menjelma menjadi ular atau kodok air. Sebenarnya setelah hujan berhenti, tentulah aliran air sungai belum bisa surut karena air yang mengalir dari atas pegunungan menuju semua ke sungai dan dibawa ke laut. Dan dikala air sungai pasang, memang banyak ular dan kodok dari sawah yang terbawa hanyut. Tapi bagi penduduk di sekitar tepi sungai Hong-hoo, mereka telah percaya bahwa diantara ular dan kodok itu terdapat jelmaannya malaikat yang diberi nama Kim liong Tay-ong dan Ngo-ciang kun. Kim liong Tay ong adalah sejenis ular yang panjangnya dua kaki dan mempunyai sisik bersinar emas, kepalanya persegi dan matanya besar dan memiliki jenggot di bawah mulut. Dan yang aneh dikala ular itu melihat ada orang sembahyang padanya, ular tadi berenang melawan aliran air menuju tepi sungai kemudian mengangkat kepalanya, seakan sang ular menerima pemberian sembahyang dan sam seng dari orang-orang. Kemudian ular itu perlahan-lahan masuk selulup ke dalam air. Bilamana setelah terjadi hujan besar, air sungai naik, di sana tampak muncul Kim liong Tay ong dan Ngo ciang kun unjukkan rupanya, maka rakyat bisa bertenang hati karena dimusim hujan itu tidak akan terjadi banjir besar, dan bilamana malaikat ular Kim-liong Tay-ong dan Ngo ciang-kun tidak muncul, maka bisa diramalkan pada tahun itu akan terjadi banjir yang mengakibatkan kerugian Kepercayaan terhadap takhyul demikian rupa telah tertanam dari generasi ke generasi di sekitar sungai Hong-hoo, lebih-lebih pada dua tahun yang lewat telah datang seorang tosu Hoan Sek Totiang, telah datang ke kelenteng Su tay-ong bio, dan menurut pengakuan tosu tadi ia berasal dari Bong san, maksud kedatangannya untuk memberi pertolongan pada rakyat yang ditimpa kemalangan. Dua tahun yang lalu Hoan Sek totiang telah menunjukkan kesaktiannya, dikala sedang diadakan sembahyang terhadap malaikat Kim liong Tay ong dan Ngo ciang-kun, entah bagaimana, di atas sebuah piring porselen yang diletakkan di atas meja sembahyang, dengan mendadak orang bisa melihat munculnya ular enas dan beberapa macam kodok, diantaranya kodok kuning, kodok buduk dan lain-lain. Kemudian, setelah Hoan Sek tojin berkemak-kemik sebentar, maka ular emas yang merupakan Kim liong Tay ong dan kodok kuning serta kodok buduk jelmaan dari malaikat Ngo ciang-kun, mendadak lenyap. Bahkan pada tahun itu di sekitar tepi sungai Hong-hoo tidak mengalami banjir. Penduduk dari perkampungan Cie yang melihat kejadian itu, mereka telah percaya betul atas kesaktiannya Hoan Sek Tojin dari gunung Bong-san. Dan tahun ini setelah terjadi hujan terus-terusan, dan malaikat api yang diminta menahan hujan ternyata telah menunjukkan kesaktiannya, pagi ini sang surya sudah memancar kembali. Tapi air hujan yang turun di empat penjuru, tentunya semuanya mengalir ke dalam sungai, dan karena lamanya hujan itu sampai berhari-hari sehingga air yang mengalir ke dalam sungai Hong hoo, semakin lama jadi semakin tinggi, serta alirannya sangat deras, kalau hal itu tidak segera diatasi maka akan terjadi kebobolan gili-gili dan mengakibatkan banjir besar. Penduduk Cie-yang yang sudah dibuat percaya akan adanya malaikat Kim-liong Tay ong dan Ngo-ciang-kun, mereka semua lari masuk ke dalam kelenteng Su tay ong bio, untuk minta bantuan Hoan sek tojin guna mengatasi bahaya banjir. Sementara itu, Kang Hoo tiba di daerah Cie-yang, ia bisa melihat bagaimana orang-orang kampung sejak kemarin telah melakukan upacara menghujankan malaikat api, dan ia juga melihat bagaimana penduduk Cie yang jadi marah ketika sang malaikat belum bisa menahan datangnya hujan, dan ini pagi hujan mereda, mereka sibuk memperbaiki malaikat api yang rusak akibat gebukan. Dan kesibukan baru timbul kembali, itulah disebabkan air sungai yang segera akan membobolkan gili-gili sungai Hong-hoo, Kang Hoo bisa menyaksikan bagaimana para penduduk itu berbondong-bondong masuk ke dalam kelenteng Su tay- ong bio, dan ia yang menyelusup di antara orang banyak juga turut masuk ke dalam kelenteng. Akhirnya siang itu juga akan segera dilangsungkan upacara sembahyang menahan datangnya bahaya banjir.

Matahari semakin siang, semakin memancarkan sinarnya. Di dalam ruangan besar kelenteng Su tay-ong bio mengepul asap hio, diringi dengan suara tetabuhan suci. Dari bagian cim cee kelenteng Su-tay ong-bio, berbaris beberapa orang bangsawan tangan mereka masing-masing memegang sebatang hio, mereka mulai sembahyang di depan meja sembahyang. Di belakang meja sembahyang tampak tujuh orang tosu memakai pakaian pertapaan, di tangan mereka memegang perabot untuk melakukan upacara sembahyang, mereka mulai membaca doa untuk mengundang malaikat. Di bagian bawah cim cee, terdapat tidak kurang tiga puluh ribu orang penduduk kampung yang juga turut sembahyang. Suasana di dalam kelenteng Su tay ong bio jadi hening, kecuali suara membaca doa dan alat-alat tetabuhan suci. Tidak lama, dari dalam kamar di sebelah kiri meja sembahyang keluar seorang tosu mengenakan jubah kuning berkembang Pat-kwa, itulah Hoan Sek totiang dari gunung Bong-san yang pada dua tahun yang lalu datang ke kelenteng Su-tay ong bio. Kang Hoo yang turut berjejalan di antara ribuan penduduk Cie-yang, memperhatikan semua upacara sembahyang itu. Dengan rupa yang dibikin-bikin dan rambut riap-riapan, Hoan Sek totiang jalan mondar-mandir di depan meja sembahyang, tangannya memegang pedang. Setelah Hoan Sek totiang jalan mondar-mandir di depan meja sembahyang, mendadak saja ia seperti kemasukan rokh halus, ia melompat lompat setinggi lima sampai enam kaki, kemudian duduk di atas kursi berukiran naga. Penduduk Cie-yang yang datang bersembahyang bisa melihat Hoan Sek totiang sudah mulai kemasukan setan, dan mereka tampak tak berani mengeluarkan suara, tidak terkecuali kaum bangsawan yang berada di atas cim cee dekat meja sembahyang, mereka juga tak berani bicara apa- apa memandang wajah si tosu yang sudah kemasukan rokh halus. Sementara itu Hoan Sek totiang yang sudah duduk di atas kursi kebesarannya dengan suara rokhnya berseru, “Aku adalah malaikat Kim liong su-tay ong yang mengepalai tiga ribu empat ratus lie sepanjang sungai Hong hoo karena penduduk dari bagian bawah sungai Hong hoo memiliki sifat-sifat jahat, maka telah membuat aku jadi gusar, dan akan menurunkan banjir, tapi mengingat kalian penduduk Cie-yang yang taat dan telah melakukan sam-seng, maka aku membatalkan niatku untuk membuat di sekitar tepi sungai jadi banjir. Tapi ingat, kalian harus segera mengumpulkan sebanyak seratus dua puluh ribu uang emas guna bikin betul kelenteng Siok-kok koan yang berada di atas gunung Bong-san, semua derma kalian tentu akan diketahui Thian!” Setelah mengucapkan perkataan itu, Hoan Sek totiang mendadak lompat dari atas kursinya, lalu roboh di bawah. Sesaat kemudian, baru Hoan Sek totiang bangkit bangun, ia menghela napas lalu duduk lagi di atas kursinya dan berkata seorang diri, “Aku kenapa mesti dapatkan ini siksaan. Setelah kemasukan rokh suci aku seperti orang mati, tidak bisa bernapas, aib, aku mesti minta malaikat buat pilih lain orang saja. ” Penduduk kampung yang hadir dalam ruangan itu mendengar ucapan Hoan Sek totiang yang minta lain orang mewakilinya, mereka jadi kaget, lalu ramai-ramai membujuk si orang agar ia saja yang meneruskan pemimpin upacara sembahyang itu. Akhirnya upacara diteruskan. Selesai mengadakan upacara sembahyang, maka orang-orang kampung kembali ke rumah masing- masing.

Menyaksikan ketololannya penduduk Cie-yang. Kang Hoo hanya bisa tertawa di dalam hati, meskipun ia tahu semua itu adalah tipu muslihatnya si tosu Hoan Sek untuk mengelabui orang bodoh guna mencari uang, tapi karena ia menjaga dalam perjalanan agar jangan sampai timbul bentrokan dari pihak manapun, lebih-lebih di badannya membawa Angsa Emas Berkepala Naga maka tindak tanduknya ia batasi.

Setelah berkeliling kampung, maka ia menginap di satu losmen. Malampun tiba. Kang Hoo rebah di atas pembaringan, seruling perak dan bungkusan Angsa Emas Berkepala Naga diletakkan di bawah bantal. Api lilin menerangi ruangan kamar. Besok pagi aku harus melanjutkan perjalanan ke laut Pok hay, melihat keadaan sungai demikian rupa, maka terpaksa aku jalan darat. Lebih cepat lebih baik. Semoga dengan kuserahkannya Angsa Emas maka permusuhan antara suhuku dan suhu Hong Pin, bisa didamaikan hingga tidak akan merembet- rembet kepada muridnya, kalau dendam ini tidak akan dihabiskan sampai di sini, sampai kapan manusia harus saling bunuh untuk melampiaskan dendam masing- masing ?”

Ketika Kang Hoo rebah, dengan pikiran menerawang tidak keruan, mendadak saja telinganya mendengar suara angin yang santer di atas genteng. Kang Hoo kaget, ia cepat lompat bangun dari tempat tidurnya, tangannya segera mengambil bungkusan Angsa Emas dan seruling perak di bawah bantal. Kemudian ia mendongakkan kepala ke atas memperhatikan suara kesiuran angin. Ia tahu kesiuran angin yang lewat di atas genteng itu bukanlah angin biasa, itulah angin dari gerakan seseorang yang memiliki kepandaian berlari di atas genteng, dan setelah sekian saat ia tidak mendengar ada tanda-tanda yang mencurigakan, maka cepat Kang Hoo membuka jendela, ia ingin melihat suara lari di atas genteng itu suara siapa, tapi setelah jendela dibuka keadaan di luar gelap, maka dengan membawa bungkusan Angsa Emasnya ia lompat ke atas genteng.

Suasana gelap, langit hitam, bintang tak tampak, hanya sinar seruling menerangi di sekitarnya. Sepasang mata Kang Hoo memperhatikan ke arah mana bayangan tadi lewat, dan tidak lama ia bisa melihat berkelebatnya bayangan hitam di atas wuwungan kelenteng. Kang Hoo ingin tahu apa yang akan dikerjakan bayangan hitam itu, ia sudah lari mengejar, tapi baru saja tiba di tempat bayangan hitam tadi. Di sana ia tidak melihat bayangan apapun. Kembali Kang Hoo dibuat jadi heran, gerakan bayangan hitam tadi sangat gesit luar biasa. Sebentar saja sudah lenyap dari pandangan matanya. Selagi ia mencari-cari kemana lenyapnya bayangan hitam tadi, mendadak saja dari sebelah kirinya terdengar suara teriakan. Kemudian suara teriakan tadi lenyap ditelan angin malam. Mendengar suara teriakan itu, Kang Hoo segara lompat ke arah kiri, jelas kalau suara teriakan tadi keluar dari bawah wuwungan kelenteng. Maka ia segera lompat turun.

Begitu Kang Hoo sampai di tanah, ia melihat di depannya sebuah jendela terbuka dan api penerangan keluar dari sana. Buru-buru Kang Hoo menghampiri jendela dan melongok ke dalam, “Aaaa. . . . . . . ” Begitu Kang Hoo melihat apa yang ada di dalam ruangan kamar tadi, ia jadi kaget, karena di dalam kamar di atas ranjang menggeletak sesosok tubuh yang sudah terpisah kepala dan badannya, darah berceceran di sana. Melihat dari wajah kepala orang yang sudah berpisah dari lehernya Kang Hoo mengenali itulah kepala Hoan Sek totiang. Selagi Kang Hoo bengong melihat kepala Hoan Sek totiang dari dalam kamar lain terdengar suara langkah orang mendatangi, Kang Hoo kaget cepat ia lompat ke atas genteng, lalu lari kabur.

Dalam perjalanan menuju kamarnya. Kang Hoo kembali melihat bayangan hitam di sebelah selatan. Ia berniat mengejar, tapi mendadak saja entah bagaimana timbul sifat masa bodohnya, ia lalu lari ke losmen. Dan setelah masuk ke dalam kamar, cepat ia menutup jendela. Setelah mematikan api lilin, lalu merebahkan dirinya di atas ranjang. “Siapa bayangan hitam itu!” Pikir Kang Hoo. “Apa anggota golongan Kalong? Dan siapa pula yang membunuh Hoan Sek totiang keterlaluan. Memang benar Hoan Sek totiang telah menipu penduduk Cie-yang dengan segala macam akal busuknya, tapi itu juga tidak perlu harus membunuh dirinya. ”

Seribu satu macam pertanyaan berkelebat dalam otak Kang Hoo tanpa jawab, akhirnya ia memejamkan sepasang matanya. Kang Hoo yang sudah tidur pulas di dalam kamar, tidak mengetahui kalau sejak ia masuk ke dalam kamarnya, gerak geriknya telah diintip oleh orang. Si pengintip bukan lain adalah bayangan hitam yang pernah dilihatnya di atas wuwungan kelenteng.

Bayangan hitam tadi mengenakan pakaian ringkas untuk jalan malam, mukanya menggunakan topeng hitam. Di pinggangnya terselip sebatang pedang. Begitu ia mendengar suara napas Kang Hoo yang sudah tidur pulas, bayangan hitam tadi dengan mengaitkan kakinya di atas genteng, dan kepala ke bawah, ke arah jendela, sesaat ia mendengarkan suara dengkurnya Kang Hoo.

Setelah yakin kalau Kang Hoo sudah tidur pulas, dengan masih menggelayut bagaikan binatang kalong, tangan bayangan hitam itu bekerja, mencongkel jendela, dan sebentar kemudian daun jendela sudah terpentang lebar. Berbarengan dengan terpentangnya daun jendela, bayangan hitam tadi lalu lompat masuk ke dalam kamar. Gerakannya sangat enteng dan ringan.

Suasana di dalam kamar sangat gelap, di sana hanya terdengar suara dengkur Kang Hoo yang tidur pulas. Diiringi suara hembusan angin malam yang masuk menerobos lubang jendela. Belum lama bayangan hitam itu masuk ke dalam kamar, mendadak saja terdengar suara benda jatuh, kemudian terdengar suara keluhan tertahan yang keluar dari mulut bayangan hitam tadi. Kemudian kamarpun menjadi terang. Apa yang terjadi?

Rupanya bayangan hitam tadi begitu masuk ke dalam kamar, ia lalu melakukan serangan pukulan ke arah Kang Hoo yang masih tidur terlentang. Sedang tangan kirinya, menyambar bawah bantal Kang Hoo dimana disimpan Angsa Emas. Tapi begitu serangan kepalan tangan bayangan hitam itu meluncur ke dada Kang Hoo, belum lagi mengenai sasaran, mendadak saja bayangan hitam tadi terpental dan jatuh bersandar di bawah dinding.

Kang Hoo yang tidak mengetahui kalau sudah ada musuh gelap melakukan serangan dan hendak mencuri Angsa Emas, sebenarnya ia tidak sadar kalau dirinya sudah diserang lawan. Dan ia baru terjengkit kaget ketika di dalam kamarnya terdengar suara gedebrukan dari benda yang jatuh. Ia buru-buru meraba bawah bantalnya. Dan Angsa Emas masih berada di sana. Lalu ia lompat bangun dan menyalakan api lilin.

Begitu kamar menjadi terang. Tampaklah sesosok bayangan hitam yang sedang duduk bersandar di bawah dinding di pojok ruangan. Dengan penerangan sinar lilin Kang Hoo bisa melihat bagaimana bentuk perawakan bayangan hitam itu, itulah seorang berseragam hitam dan berselubung muka hitam, di dada kiri orang itu terlukis sebuah lukisan Kalong Merah. “Kalong merah,” bentak Kang Hoo. “Apa kehendakmu masuk ke dalam kamar ini?'

Topeng hitam tidak menjawab, dengan lemah ia bangun berdiri, kemudian sepasang matanya tampak berputaran memperhatikan seluruh ruangan. Kemudian mendadak saja tubuhnya lompat ke arah jendela. Gerakan lompatan si topeng hitam sangat gesit, tapi gerakan Kang Hoo lebih cepat lagi, begitu topeng hitam lompat ke jendela hendak kabur, ia sudah bergerak dan menarik sebelah kaki kanan dari orang itu, lalu dilemparkan ke atas pembaringan. Kalong merah mati kutu.

Ia meringkuk di atas pembaringan, Hanya sinar matanya yang menatap wajah Kang Hoo. Gerakan Kang Hoo tidak  sampai di situ saja, begitu  si topeng hitam sudah terbanting di atas tempat tidurnya, ia menubruk datang, dan dengan ujung serulingnya ia mencongkel tutup kerudung muka orang itu, maka kain hitam penutup wajah itu jatuh di lantai. Dan ketika wajah topeng hitam tadi sudah tak berselubung muka lagi, mendadak saja Kang Hoo lompat mundur dua tindak, kemudian berseru, “Kau. . . kau. . . . Nona Siong In. . . ?”

Topeng hitam yang sudah dibikin tak berdaya bahkan tutup topeng mukanya telah dicongkel oleh seruling Kang Hoo, bukan lain adalah Siong In dengan lesu ia bangun dan duduk di atas pembaringan, menatap wajah Kang Hoo, kemudian katanya, “Kau hebat. Tak kusangka setelah beberapa tahun tidak bertemu, kau sudah memiliki ilmu kepandaian luar biasa. ”

“Beberapa tahun,” seru Kang Hoo. “Di bawah lembah, aku pernah melihatmu. Dan eh bagaimana malam ini kau menggunakan pakaian seragam hitam itu. Dan apa maksudmu masuk ke dalam kamar ini?”

Dengan masih duduk di atas pembaringan Siong In menghela napas, kemudian katanya, “Aku membutuhkan Angsa Emas itu!”

Kang Hoo melengak, serunya, “Untuk apa? Benda ini sudah kujanjikan untuk kuserahkan pada Hong Pin. ”

“Aaaaah . . . . Aku butuh untuk menolong ayahku,” jawab Siong In. “Ayahku menjadi tawanan dari kauwcu perkumpulan Kalong. ”

“Eh,” Kang Hoo kaget. “Tapi ayahmu di dalam lembah, bukankah memimpin rombongan orang-orang Kalong hitam, mengapa ia bisa menjadi tawanan kauwcu? Apa maksudmu?”

Siong In menghela napas, kemudian katanya, “Ayahku hanyalah seorang pemimpin salah satu cabang. Di atas dia masih ada seorang yang lebih berkuasa dan memiliki kepandaian tinggi. Karena ayah mendapat fitnah gara-gara aku mengenal dan pernah menolong dirimu, maka ia telah ditahan, dan sebagai tebusan aku harus mencari Angsa Emas itu. Nah sekarang pinjamkan aku benda yang ada pada dirimu itu. ”

Kang Hoo dibuat bingung dengan permintaan si nona yang hendak meminjam Angsa Emasnya, benda itu sudah dijanjikan untuk Hong Pin, tapi mengingat kalau si nona di depannya ini pernah melepas budi menolong dirinya pada beberapa tahun yang lewat, maka dengan lesu ia berkata, “Mengingat budi nona, maka aku bersedia menyerahkan benda ini. Tapi ingat, setelah kau serahkan pada kauw-cu perkumpulan Kalong, sebaiknya nona jangan turut campur urusan itu lagi. Aku akan datang untuk merebut kembali benda ini. ”

Siong In mengangguk, katanya, “Setelah aku membebaskan ayah, maka aku segera pulang ke Hong- san. Tidak mau tahu lagi urusan rimba persilatan. ”

Kang Hoo mengangguk-anggukkan kepala, lalu menyerahkan Angsa Emas Berkepala Naga pada Siong In. Siong In menyambuti benda tadi, ia masih tetap duduk di atas pembaringan, lalu katanya, “Budimu ini tak akan kulupakan. ”

“Sudahlah,” seru Kang Hoo, “Malam ini kau datang mengenakan seragam hitam di dadamu terdapat lukisan Kalong Merah. Bisakah kau memberi tahu sedikit tentang golongan ini?”

Siong In tidak segera menjawab, ia bangkit dari pembaringan, menuju jendela, daun jendela ditutupinya, kemudian balik lagi dan duduk di atas pembaringan kemudian baru berkata dengan suara perlahan, “Golongan ini berpusat d gunung Bong san. Di istana Kalong setiap anggota diwajibkan mengenakan seragam hitam, dan lukisan kalong yang berlainan warna pada dada setiap orang, menunjukkan tinggi rendahnya tingkat kepandaian mereka. Kalong Putih berkepandaian paling rendah, kemudian Kalong Kuning memiliki kepandaian lebih tinggi dari Kalong Putih. Dan Kalong Merah memiliki kepandaian lebih tinggi dari Kalong Kuning. ”

“Ngg. Jadi nona orang yang berkepandaian tertinggi dari golongan Kalong. ” Potong Kang Hoo.

“Tidak, masih ada Kalong warna Hitam. ” jawab Siong

In.

Mendengar jawaban itu Kang Hoo manggut-manggut,

kemudian tanyanya, “Apa nona tahu, apa sebabnya setiap orang dari golongan Kalong, bila mati selalu mencair jadi cairan biru?”

“Hmmm. Kauw-cu selalu ingin menutup rahasia perkumpulannya, Dan setiap anggota yang terluka ia harus tutup rahasia. Maka sebelum orang menjalankan tugas, ia harus mandi dulu dalam air mengandung racun hingga tubuh orang itu dilapisi racun yang sangat jahat, bilamana bagian tubuh itu terluka, maka luka itu dengan segera menjadi keracunan, dan dengan cepat berubah mencair hingga mereka dengan seketika tak dapat buka mulut membuka rahasia perkumpulan Kalong. ”

“Apa nona tahu siapa kauw-cu mereka?” Tanya Kang Hoo. Siong In ragu-ragu, ia jalan ke arah jendela. Membuka jendela memperhatikan keluar, tapi keadaan di luar gelap, tak tampak bayangan sesosok manusiapun, maka ia cepat menutup daun jendela, lalu jalan menghadap Kang Hoo, ia membisiki di telinga si pemuda, katanya, “Pek-kut Ie su!”

Mendengar nama itu, Kang Hoo terjengkit kaget. Ia melompongkan mulut memandang Siong In, mulutnya menggerutu, “Pek-kut Ie su Apa orang tua berambut

putih?”

“Aku belum penuh lihat bagaimana rupanya. ” jawab Siong In.

“Dari mana nona tahu?” Tanya Kang Hoo.

“Ayahku yang memberi tahu,” jawab Siong In. “Eh, apakah kau kenal dia?”

Kang Hoo bungkam. Ia tidak bisa menjawab. Bukankah manusia misterius yang melakukan teror pembunuhan terhadap ayahnya adalah orang-orang seragam hitam dari golongan Kalong, ternyata ketua golongan ini adalah Pek kut Ie su. Dan Pek kut Ie-su itu pernah melatih ia ilmu Karakhter. Kalau di pikir-pikir, kepalanya bisa jadi pusing. Seorang musuh besar telah menjadi gurunya tanpa ia ketahui sebelumnya. Dan karena urusan Pek-kut Ie-su ini ia juga sampai bentrokan dengan pemuda buta Hong Pin murid dari Cui Ngo Kho.

Sementara Kang Hoo bengong terlongong-longong, Siong In bertanya lagi, "Apa kau mengenal kauw-cu?”

Kang Hoo bingung, bagaimana ia harus membari jawaban, tapi akhirnya ia berkata, “Nona, sebaiknya kau cepat pergi ke Istana Kalong, serahkan Angsa Emas pada kauw-cumu, aku akan segera menyusul ke sana!”

“Baguslah,” seru   Siong   In.   Setelah   Siong   In menunjukkan di mana letak Istana Kalong dari gunung Bong san, maka ia lalu melangkah ke arah jendela, tapi mendadak saja ia membalikkan badan dan berkata, “Orang yang membunuh Hoan Sek totiang adalah aku. Ia adalah salah seorang mata-mata dari istana Kalong di gunung Bong San setelah mengetahui kau berada di sini dan tosu keparat itu mengeruk keuntungan dari menipu rakyat, maka aku turun tangan membunuh dirinya.

“Mengapa harus dibunuh?” Tanya Kang Hoo. “Dan bagaimana mayatnya tidak mencair?”

“Ia seorang mata-mata yang mendapat kepercayaan penuh dari kauw-cu, maka bebas dari mandi air beracun. ”

“Nggg. Penduduk kampung ini memang terlalu bodoh,” gumam Kang Hoo.

Berbarengan dengan gumaman si pemuda, Siong In sudah melesat lompat keluar jendela, bayangannya lenyap ditelan kegelapan malam. Kang Hoo cepat lari ke lubang jendela, ia melongok keluar, suasana di luar sana gelap. Bayangan Siong In sudah tak tampak. Dengan lesu Kang Hoo kembali membaringkan dirinya di atas pembaringan, ia tidak memadamkan api lilin. Otaknya berpikir, “Aku harus pergi ke Cin hong-to memberi tahu Hong Pin dan gurunya tentang Pek-kut Ie su, memang aku menjadi murid dari orang tua aneh itu, tapi itu karena aku dalam keadaan terpaksa. Hai, bagaimanapun, aku telah berhasil menerima gemblengan ilmu Karakhter. Tapi aku tidak mengerti bagaimana Sahu mendidikku ia melarang aku bergerak sembarangan agar tidak mencelakai orang, tapi ia sendiri telah memerintahkan anak buahnya melakukan teror. Bahkan salah seorang mata-matanya telah menipu penduduk kampung tentang kepercayaan kepada takhyul. Soal air sungai banjir setelah musim hujan, tentu saja sering terjadi, karena air yang mengalir dari pegunungan semua terjun ke sungai dan terbawa hanyut ke laut. Tapi penduduk yang bodoh sudah begitu percaya akan segala ucapan si tosu palsu itu. ”

Lama Kang Hoo berpikir sendiri dalam otaknya, akhirnya ia tertidur. Keesokan paginya, ia sudah bangun dan begitu ia keluar halaman losmen, di tanah sudah terjadi kegemparan, karena tosu yang memiliki kesaktian bisa mengundang rokh itu sudah binasa dibunuh orang di dalam kamarnya kepala dan badannya terpisah. Kang Hoo tidak mau perduli tentang keributan di pagi hari itu. Ia jalan menyusuri tepi sungai. Tapi mendadak saja, ia jadi memandang melongo ke arah belokan sungai, karena di sana tampak dua sosok bayangan sedang meluncur melawan arus air menuju dirinya.

Penduduk kampung yang kebetulan sedang memeriksa keadaan membanjirnya air sungai Hong hoo, mereka juga pada membelalakkan mata memandang dua sosok manusia yang jalan meluncur di tengah sungai melawan arus air. Dan tepi sungai sebentar saja sudah jadi ramai. Kedua orang yang meluncur di atas permukaan air melawan arus air itu sudah tiba di tempat orang-orang ramai di tepi sungai. Kemudian kedua orang tadi lompat ke tepi. Kang Hoo berjejalan diantara rombongan orang-orang yang menonton, ia bisa melihat ketika kedua sosok badan orang itu lompat naik ke darat, dari bekas injakan kaki kedua orang tadi terdapat empat potong papan, papan itu setelah lepas dari injakan kaki kedua orang tadi lalu hanyut dibawa arus sungai.

Rupanya kedua orang tadi berlayar dengan menggunakan ilmu ringan tubuh di atas arus sungai dengan bantuan empat bilah keping papan. Tapi penduduk kampung yang menonton tidak melihat akan adanya kepingan-kepingan papan itu, mereka telah dibuat heran, dan ketika kedua orang itu lompat ke darat, mereka pada lompat mundur lalu berbareng pada berlutut. Orang yang datang adalah seorang nenek dan seorang pemuda.

Kang Hoo mengenali si pemuda adalah pemuda buta Hong Pin, dan si nenek tentunya adalah guru dari si pemuda, itulah Cui Ngo Kho. Cui Ngo Kho yang melihat orang-orang berlutut, mereka jadi melengak dan terdengar suara Cui Ngo Kho membentak, “Bangun, jangan ganggu perjalananku!”

Tapi orang-orang yang benutut tidak mau berdiri, kemudian terdengar salah seorang berkata, “Dua malaikat, harap maafkan, kami tidak tahu kedatangan malaikat hingga tidak keburu menghaturkan sam-seng!”

“Gila!” seru Cui Ngo Kho. “Aku bukan malaikat. Nah kalian bangun. ”

“Tuan malaikat tolonglah. Tolonglah!” Terdengar salah seorang lain. “Kami terancam bahaya banjir, sedang tosu yang bisa mengundang malaikat Kim-liong su tay-ong dan Ngo-ciang kun telah binasa dibunuh orang malam tadi. Hingga bahaya banjir sulit untuk di atasi. ”

“Manusia tolol!” bentak Cui Ngo Kho, “Urusan kalian tidak ada sangkut paut dengan diriku, kalian sendirilah yang harus mencegah banjir ini. Nah bangunlah, aku akan memberi jalan bagaimana harus mengatasi banjir ini!”

Mendengar itu, serentak orang-orang yang berlulut bangun berdiri, kemudian mereka menunggu ucapan Cui Ngo Kho. Sementara itu, Cui Ngo Kho lantas berkata, “Kalian dengar, air banjir ini disebabkan jalannya air terganggu, karena belokan-belokan sungai Hong hoo terlalu patah, hingga air tertunda mengalirnya ke laut, kalau kalian hendak mencegah banjir, kumpulkan tenaga yang ada, galilah belokan-belokan patah pada tepi sungai yang berliku itu, buatlah belokan sungai menjadi lebar. Maka aliran air sungai Hong hoo tak akan tertahan. Nah, sekarang kalian bubar!”

Setelah berkata begitu Cui Ngo Kho mengajak Hong Pin berlalu. Kang Hoo yang melihat Hong Pin dan gurunya sudah berada di depannya, segera ia berteriak, “Hong Pin!”

Hong Pin kaget, tadi ia tak tahu kalau Kang Hoo berada di sana, karena sepasang matanya buta, tapi mendengar suara panggilan itu, ia segera lari ke arah Kang Hoo lalu katanya, “Apa kau sudah dapatkan Angsa Emas?”

“Sudah!” jawab Kang Hoo. “Tapi dipinjam orang!” “Tolol!” bentak Hong Pin. Tongkatnya diangkat akan

mengemplang kepala Kang Hoo, tapi mendadak saja ia

menarik serangannya memandang sang guru.

Cui Ngo Kho juga sudah berada di depan Kang Hoo, tanyanya, “Apa kau yang bernama Kang Hoo?”

“Benar!” “Bagus. Sekarang jangan banyak bicara, kau bawa aku ke Hong tong san menemui gurumu!”

“Guruku tidak di Hong tong san,” jawab Kang Hoo, “Ia berada di istana Kalong di gunung Bong san. ”

“Ayo berangkat!” seru Cui Ngo Kho, “Aku akan hancur leburkan istana setan itu!”

“Cian-pwee. ” seru Kang Hoo. “Jangan banyak mulut!” bentak Cui Ngo Kho, “Beruntung muridku pernah bertemu dengan Beng Cie Sianseng, kau juga murid si Pedang Kitiran. Kalau tidak memandang muka si Pendekar Pedang Kitiran, eh…hari ini kau sudah kubikin mampus!”

Mendengar itu Kang Hoo memandang Hong Pin, katanya, “Dimana kau bertemu dengan guruku?”

“Dalam perjalanan pulang ke Cin Hong to!” jawab Hong Pin. “Ia mencari dirimu. Aku ceritakan semuanya, dan setelah mendengar keteranganku, ia pergi ke Hong tong san untuk membuat perhitungan dengan Pek kut Ie- su. ”

“Ah, jadi suhu Beng Cie Sianseng juga menaruh dendam terhadap Pek-kut Ie-su,” gumam Kang Hoo. “Tapi Pek-kut Ie-su tidak berada di Hong tong san lagi. ”

“Ayo jalan!” Bentak Cui Ngo Kho. Maka tiga orang itupun lari melesat bagaikan bayangan setan. Penduduk tepi sungai Hong hoo yang melihat gerakan bayangan itu, mereka melompongkan mulut, karena ketiga bayangan tadi bergerak bagaikan tiga bayangan setan.

GUNUNG BONG-SAN. Tiga sosok bayangan berkelebat, menuju Istana Kalong di puncak gunung. Sebentar saja mereka sudah tiba di depan pintu gerbang istana. Kehadiran mereka disambut oleh serangan berpuluh-puluh orang seragam hitam. Tapi serangan puluhan seragam hitam itu, tidak sanggup menahan terjangannya tiga orang yang menerobos masuk. Sebentar saja mereka sudah roboh bergelimpangan mampus dan mencair jadi biru. Kang Hoo melihat bagaimana sepak terjang Hong Pin dan gurunya, tidak memberi kesempatan pada lawan untuk bernapas, ia jadi tergidik, karena dalam hati si pemuda tak ada niat untuk membunuh orang, maka ia hanya lompat sana lompat sini mengelakkan datangnya serangan orang-orang dari istana Kalong, meskipun begitu, mereka tak sanggup melukai Kang Hoo, karena mereka bermentalan mundur dengan sendirinya terkena pukulan dari ilmu Karakhter.

“Cianpwe,” teriak Kang Hoo pada Cui Ngo Kho yang terus mengamuk. “Aku ambil jalan belakang. ”

“Persetan!” seru Cui Ngo Kho yang terus menggerakkan kaki dan tangannya merobohkan puluhan orang-orang seragam hitam yang terus berdatangan menyerang. Gerakan Cui Ngo Kho disusul dengan gerakan tongkat Hong Pin yang luar biasa dimana tongkat berkelebat, maka di situlah manusia berbaju hitam roboh terjengkang dan binasa.

Kang Hoo mengambil jalan belakang, maksudnya ia tidak mau turut campur membunuh, maka dengan berlarian di atas batu-batu gunung akhirnya si pemuda tiba di pintu belakang dari istana Kalong.

Penjagaan di pintu belakang kurang kuat, meskipun ada beberapa orang yang datang menghadang Kang Hoo, tepi mereka dengan mudah terpukul mundur tanpa mendapat luka. Melihat gerakan Kang Hoo, para penjaga pintu belakang yang terpelanting jatuh mereka jadi terlongong-longong dan tidak berani bergerak.

Kang Hoo berhasil masuk ke dalam Istana melalui pintu belakang. Tanpa ia sadari, akhirnya ia tiba di sebuah ruangan, itulah ruangan penjara dari Istana Kalong. Beberapa kamar berjeruji besi berderet di sana. Para penjaga penjara begitu melihat munculnya seorang gembel, mereka segera melakukan serangan, tapi serangan mereka cuma-cuma saja karena mendadak tubuh mereka berpentalan ke dinding penjara. Ketika Kang Hoo hendak lari menuju ke dalam ruangan besar, mendadak dari salah satu kamar penjara terdengar suara teriakan, “Hai! Kang Hoo. ”

Kang Hoo kaget ia menoleh ke arah datangnya suara panggilan, dan di salah satu kamar penjara berjerji besi tampak seraut wajah yang ia kenal, itulah wajah Siong In.

“Nona Siong In,” seru Kang Hoo lari menghampiri. “Kau ambil kunci dari orang itu,” seru Siong In,

menunjuk salah seorang penjaga, yang duduk numprah

di lantai akibat roboh terbentur dinding. Kang Hoo tepat menghampiri orang tadi, ia meminta kunci penjara. Orang tadi sudah begitu ketakutan pada Kang Hoo, tanpa banyak bicara ia menyerahkan kunci penjara. Dan setelah mengeluarkan Siong In dari dalam penjara, kemudian Kang Hoo membebaskan ayah Siong In yang dikurung di kamar sebelah kirinya.

“Bagaimana kau bisa ditahan?” tanya Kang Hoo. “Sialan!” jerit Siong In. “Kauw-cu bangsat itu manusia

liar, setelah menerima Angsa Emas ia menjebloskan aku

ke dalam penjara, katanya aku adalah komplotannya golongan agama baru yang mesti dibasmi. ”

“Ayo cepat antar aku ke kamar kauw-cumu. ” Seru Kang Hoo, “Aku akan mengambil pulang itu Angsa Emas.”

“Mari,” seru Siong In.

“Tunggu dulu,” kata Lo Siauw Houw, “Kita harus mandi dulu di telaga penawar. ” Ayah Siong In lebih tahu soal-soal yang terjadi di dalam golongan Kalong.

“Ah, ya. ” seru Siong In. “Tubuh kami sudah dilumuri racun pelumer, harus mandi dulu di telaga penawar. Kau jalan dulu, di sebelah kanan dari jalan ini kau akan menemukan ruangan besar di mana Kauw-cu bersama para penasehatnya sedang berusaha memecahkan rahasia Angsa Emas. ”

Mendengar itu, Kang Hoo segera lari ke dalam ruangan besar, dan begitu ia tiba di sana, di dalam ruangan besar sudah terjadi pertempuran hebat. Rupanya Cui Ngo Kho yang menerobos dari pintu depan sudah berhasil masuk ke dalam ruangan besar, ia sedang bertempur dengan seorang tua berambut putih, itulah Pek-kut Ie-su alias Kong sun But Ok, dan Hong Pin sedang dikeroyok oleh tiga orang tua seragam hitam. Melihat dari jalan pertempuran dapat diduga sempal dimana kekuatan meraka. Cui Ngo Kho yang menghadapi Pek-kut Ie-su seringkali mundur ke belakang. Itu membuktikan kalau kekuatan Cui Ngo Kho masih kurang setingkat di bawah Pek-kut Ie-su, sedang pukulan-pukulan Pek-kut Ie-su selalu mengeluarkan uap beracun.

Kang Hoo kini tahu, uap yang keluar dari pukulan Pek-kut Ie-su itulah yang telah membuat sepasang mata Hong Pin pada beberapa belas tahun yang lewat menjadi buta. Setelah memperhatikan jalannya pertemparan, dan melihat bagaimana Hong Pin juga terdesak mundur menghadapi serangan keroyokan tiga orang. Kang Hoo memperhatikan sekitar ruangan. Begitu ia melihat di atas meja sembahyang terdapat sebuah benda emas berbentuk Angsa Berkepala Naga yang berada di atas sebuah piring porselen, cepat ia lompat ke sana. Dan mencomot Angsa Emas Berkepala Naga dari atas meja.

Pek kut Ie-su, Cui Ngo Kho dan Hong Pin, serta tiga orang tua yang mengeroyok si buta, melihat gerakan Kang Hoo. Tapi mereka tidak sempat berbuat apa-apa, karena harus menghadapi serangan-serangan maut dari lawan masing-masing. Hingga dengan mudah Kang Hoo berhasil mengambil Angsa Emas Berkepala Naga dari atas piring porselen yang berada di atas meja sembahyang.

Setelah ia mengambil Angsa Emas, Kang Hoo berteriak, “Hentikan pertempuran!” Suara teriakan Kang Hoo menggema di sekitar ruangan besar. Dan saat itu mereka yang sedang bertempur sudah melompat mundur, mereka serentak mengurung Kang Hoo.

“Bocah gila,” seru Pek-kut Ie su. “Kau serahkan Angsa Emas itu, kalau tidak jangan sesalkan aku. ”

Kang Hoo yang berada di dalam kurungan orang- orang itu, ia jadi bingung, didepannya kini ia sedang menghadapi gurunya sendiri itulah Pek-kut Ie-su, dan orang itu adalah pimpinan dari manusia-manusia yang menteror ayahnya. Mendadak saja hatinya jadi panas. Ia mencabut seruling perak pemberian gurunya, kemudian dilemparnya ke depan Pek kut Ie-su, lalu katanya, “Terimalah kembali serulingmu. Angsa Emas takkan kuserahkan kepadamu. Kau telah banyak membuat dosa. Membunuh ayahku dan juga membutakan seorang pemuda yang tak berdosa, maka Angsa Emas ini akan kuserahkan pada Hong Pin. Apa kau mengerti?”

“Eh kau berani mati?” seru Pak-kut Ie-su.

“Kematian bukan apa-apa bagiku,”' jawab Kang Hoo “Nah kau ambillah serulingmu. ''

“Apa?” Tanya Pek kut Ie-su. “Seruling apa? Kau memang anak gila, mana aku punya seruling, seumur hidup aku belum pernah memiliki seruling. ”

Mendengar    jawaban     itu     Kang     Hoo     jadi melompongkan mulut memandang sang guru. Bukankah seruling itu pemberian gurunya ketika ia melatih ilmu karakhter di dalam goa Hoa-ie tong, bagaimana kini engkau sudah melupakannya, saking bingungnya Kang Hoo bergumam. “Bukan serulingmu? Kau siapa?”

“Aku, haaa. Haaaa…. ” Tertawa Pek kut Ie-su, “Bocah bau sambel, mana kau kenal, aku adalah Pek kut Ie-su. Haaaa. ”

“Kau kenal aku siapa?” Tanya Kang Hoo.

“Kau, kau . . . . Siapa kau         ?” Seru Pek kut Ie-su.

Mendengar itu Kang Hoo jadi bingung lagi, apakah gurunya ini sudah gila hingga tak mengenalnya sebagai muridnya. Maka jawabnya, “Aku muridmu. Kang Hoo. Penerima ilmu Karakhter, apa suhu masih ingat?”

“Eh, apa hari ini aku bertemu anak gila, aku belum pernah mengangkat murid. Dan ilmu Karakhter itu ilmu apa? Ayo serahkan patung Angsa Emas itu!!”

Kang Hoo jadi kelabakan. Bagaimana seorang guru yang memilik ilmu kepandaian tinggi, dan memahami dua aliran agama itu bisa melupakan muridnya. Dan ketika mendengar Pek kut Ie-su meminta Angsa Emas, tanpa disadari Kang Hoo berkata, “Aku akan serahkan benda ini, asalkan kau bisa membunuh diriku. ”

Ucapan Kang Hoo demikian rupa membuat semua orang yang ada di dalam ruangan itu jadi kaget, lebih- lebih Cui Ngo Kho, ia tahu sendiri sampai dimana tingginya ilmu kepandaian Pek-kut Ie-su, hampir saja ia berteriak mencegah tapi sebagai jago tua rimba persilatan cepat ia sadar, bocah ini berani mengeluarkan ucapan begitu pastilah ada yang diandalkan, dan bukankah orang yang dihadapi juga merupakan gurunya sendiri. Maka dengan wajah heran Cui Ngo Kho menantikan perkembangan selanjutnya. Sedang Hong Pin segera mendekati gurunya membisikkan sesuatu di telingan sang suhu.

Mendengar bisikan Hong Pin, Cui Ngo Kbo hanya mengangguk-angguk saja. Sementara itu Pek-kut Ie-su yang mendengar suara tantangan Kang Hoo, ia tersenyum masam. Katanya, “Baik! Inilah kehendakmu sendiri, kau akan mampus dengan mata mendelik. ” Berbarengan dengan akhir ucapannya, Pek-kut Ie-su segera mengangkat tangan tinggi-tinggi ke atas, kepalan tangannya diarahkan ke atas batok kepala Kang Hoo. Kang Hoo memperhatikan gerakan tangan Pak kut Ie-su di depannya. Ia juga sudah siap dengan jurus kunci dari ilmu Karakhter yang diturunkan oleh gurunya, maka ilmu ini akan segera memakan penciptanya sendiri. Selagi Kang Hoo siap, dengan ilmu Karakhternya, mendadak terdengar suara teriakan Psk-kut I su yang lompat melambung ke atas, kepalan tangan kanannya mangeluarkan uap patih mengarah ke atas batok kepala Kang Hoo. Berbarengan mana, dengan masih memegang Angsa Emas Berkepala Naga di tangan kanan. Kang Hoo segera menyilangkan kedua tangannya ke atas, kemudian ia berteriak dan menggebrak bumi dengan kaki kanannya.

Suara teriakan Pek-kut Ie-su disusul dengan suara teriakan Kang Hoo yang melakukan gerak kunci ilmu Karakhter dan saat itu badan Pek-kut Ie-su masih berada di tengah udara, tangannya hampir saja membentur batok kepala Kang Hoo. Cui Ngo Kho yang menyaksikan kejadian itu, ia menghela napas. Tidak berani menduga nasib apa yang akan dialami Kang Hoo. Sepasang mata Hong Pin tidak bisa digunakan, tidak bisa melihat jalannya pertempuran, tapi sepasang telinganya mendengar bagaimana suara teriakan saling susul.

Kejadian ternyata di luar dugaan semua orang. Karena badan Pek kut Ie-su yang melambung melakukan serangan ke arah batok kepala Kang Hoo, mendadak terpental ke atas hingga membentur langit-langit ruangan besar, genteng dan kayu berlompatan ditubruk tubuh Pek kut Ie-su yang mental ke atas. Semua mata memandang ke arah nyeplosnya Pek kut Ie-su keluar genteng, dan ia langit-langit ruangan tadi mendadak menjadi bolong. Sedang waktu itu Kang Hoo menggebrakkan kakinya ke bumi sudah menyilang tangan di depan dadanya. Itulah gerak dari kunci ilmu Karakhter.

Mekipun Pek kut Ie-su sudah terpental ke atas menubruk langit-langit ruangan dan baberapa pecahan genteng menimpa badan Kang Hoo. Tapi Kang Hoo belum berani bergerak, ia terus melakukan gerak kunci dengan menyilang tangan di depan dada, berdiri seperti seorang yang sedang melakukan gerak jurus pembukaan dari salah satu aliran ilmu silat.

Cui Ngo Kho yang menyaksikan kejadian itu, ia melompongkan mulutnya. Seorang murid merobohkan gurunya sendiri. Dan tak lama badan Pek-kut Ie-su yang mental ke atas jatuh kembali, lalu ambruk di lantai. Kedua tangan dan kaku Pek-kut Ie-su seperti melekat satu sama lain di lantai, ia berkutet guna melepaskan dirinya, tapi bagaimanapun mengamuknya Pek kut Ie-su, ia tak berhasil melepaskan kekangan tadi, tubuhnya terus berkutet di lantai.

Sementara itu Kang Hoo yang melihat kalau Pek-kut Ie-su sudah roboh. Ia baru bergerak maju, memperhatikan wajah sang guru yang terkunci oleh ilmu Karekhternya, kemudian terdengar ia berkata, “Suhu, apa ingat itu jurus apa?” Pek kut Ie-su yang menggeletak tak berdaya di bawah lantai mendelikkan matanya, membentak, “Anak setan! Siapa suhumu. Ilmu apa yang kau gunakan terhadap diriku? Huh tentunya ilmu setan. ”

“Ah. ” Kang Hoo mundur lagi selangkah. “Apakah kau bukan guruku?” Berbarengan dengan kata-kata Kang Hoo, mendadak saja Hong Pin yang berdiri di samping Cui Ngo Kho jalan menghampiri Kang Hoo, katanya, “Kau minggirlah! Aku akan membuka tabir rahasia ini. ” 

Kang Hoo bingung, ia mundur ke belakang membiarkan Hong Pin maju mendekati Pek-kut Ie su. Dengan ujung tongkat Tiok-ciat-pian, Hong Pin menggores wajah Pek-kut Ie-su. Maka kulit wajah itu jadi terbelah, sedang sepasang mata Pek-kut Ie-su terbelalak keluar. Tapi dari kulit wajah yang terbelah dua itu tak mengeluarkan darah. Hong Pin terus bekerja merusak wajah Pek kut Ie-su. Hingga wajah itu menjadi potongan- potongan daging. Kang Hoo yang melihat kejadian itu, ia melototkan matanya, wajah itu mengapa tak mengeluarkan darah. Dan ketika kulit muka tadi sudah hancur, maka kini tampaklah satu wajah yang sangat menyeramkan. Itulah seraut wajah yang sudah rusak. Sampai di situ Hong Pin melangkah mundur, ia menoleh ke arah gurunya, serunya, “Suhu, bagaimana?”

Cui Ngo Kho juga membelalakkan mata, karena wajah Pek-kut Ie-su yang ia kenal itu adalah wajah palsu. Dan di balik wajah itu, terdapat wajah lain, itulah wajah manusia yang menyeramkan. Pada bagian mulut wajah tadi tak terdapat daging. Itulah wajahnya Tengkorak hidup. Melihat itu Cui Ngo Kho bergumam, “Setan lembah. Kau setan lembah. Kau memalsu wajah Pek kut Ie-su!”

Setelah berkata demikian Cui Ngo Kho menoleh ke arah Hong Pin, katanya, “Bunuh setan tua itu!” Dengan tongkat Tiok ciat-pian Hong Pin melaksanakan perintah gurunya, ia menekan ujung tongkat di atas dada Setan lembah dengan perlahan-lahan, maka darah menyembur keluar Setan Lembah yang mendapat tikaman di dadanya, ia berkelejetan tapi tak terdengar suara teriakannya.

Kang Hoo yang menyaksikan kejadian itu hatinya jadi lega, ternyata manusia yang jadi pemimpin pembunuhan terhadap ayahnya bukanlah Pek-kut Ie-su asli, itulah pemalsuan Setan Lembah, orang yang menjalani kematiannya di ujung tongkat Tiok-cita-pian Hong Pin,

Baru saja Kang Hoo bernapas lega dari pintu ruangan besar berlari masuk seseorang, orang itu berteriak memanggil, “Kang Hoo ”

“Suhu . . suhu       “ Teriak Kang Hoo.

Cui Ngo Kho menoleh ke arah pintu, lalu ia berteriak, “Aaaaa . . . . Pendekar Pedang Kitiran Beng Cie sianseng. Apa kau sudah bertemu dengan Pek-kut Ie- su?”

Sambil jalan menghampiri Kang Hoo, Beng Cie sianseng menghela napas, ia berkata, “Pek kut Ie-su sudah binasa, ia sudah mati di dalam goa Hoa-ie-tong di atas gunung Hong tong san. Aku tak sempat membalas dendam. ”

“Hmmm. Kau ingin balas dendam?” Kata Cui Ngo Kho tersenyum. “Nah kau cincanglah orang yang menggeletak di sana. Muridmu Kang Hoo yang berhasil merobohkannya. ”

Beng Cie sianseng memandang ke arah orang yang sedang ditusuk perlahan-lahan oleh tongkat Tiok ciat pian Hong Pin ia mengkerutkan kening. Katanya, “Dia Setan Lembah?”

“Ya. Dialah Pek kut Ie-su tetiron!” jawab Cui Ngo Kho. “Lihatlah wajahnya itu rusak akibat pukulan tulang putih Pek kut Ie-su asli pada tiga puluh tahun berselang dan untuk melampiaskan dendamnya ia telah mengganti rupa menyaru Pek kut Ie-su dan membuat teror, hingga orang- orang menyangka kalau Pek kut Ie-su asli yang melakukan kejahatan. ”

Berbarengan dengan akhir ucapan Cui Ngo Kho kembali datang ke dalam ruangan itu dua orang, itulah Siong In dan Lo Siauw Houw. Tapi waktu itu si ketua golongan Kalong sudah menghembuskan napasnya yang penghabisan di ujung tongkat Hong Pin. Dan tiga orang anggota golongan Kalong, sudah tak tampak di sana, mereka sudah lari kabur entah kemana.

Hong Pin setelah menbunuh Setan Lembah, ia jalan menghampiri Kang Hoo yang berdiri di samping Beng Cie sianseng, di depan jago tua pedang kitiran Hong Pin merangkapkan kedua tangan memberi hormat, katanya, “Terimalah hormat siauwte. ”

Beng Cie Sianseng tersenyum. “Bagaimana tentang janjimu?” Tanya Hong Pin pada Kang Hoo.

Kang Hoo tersenyum, ia menyerahkan Angsa Emas pada Hong Pin. Dengan girang Hong Pin segera menerima Angsa Emas tadi, diletakkannya di atas telapak tangannya, dicium-ciumnya. Semua orang yang hadir dalam ruangan itu berkerumun ingin melihat benda mustika yang berada di atas telapak tangan Hong Pin hingga tubuh Hong Pin dikurung oleh empat orang jago rimba persilatan yang melihat dengan kagum benda mustika di tangan pendekar buta. Tapi mendadak saja timbul satu keanehan, karena Angsa Emas yang sedang dicium di atas telapak tangan Hong Pin mendadak mencelat ke atas. Angsa Emas itu bagaikan terbang melesat menuju langit-langit ruangan yang bobol kemudian lenyap. Semua orang yang menyaksikan kejadian itu jadi melompongkan mulut, mata mereka memandang ke arah lenyapnya Angsa Emas, sedang Hong Pin yang sepasang matanya buta ia tidak melihat gerakan terbang mustika itu, tapi dari kesiuran anginnya ia bisa tahu kalau benda tadi terbang ke arah lubang di langit-langit ruangan. Ia membalikkan badan menubruk tapi terlambat karena gerakan terbang si benda mustika terlalu cepat. Setelah benda tadi lenyap, maka di sana terdengar Cui Ngo Kho berteriak, “Mustika Gaib!”

“Ah ya. . . . Mustika Gaib,” teriak Beng Cie sianseng. Cui Ngo Kho setelah mengeluarkan teriakan Mustika Gaib, ia segera membentak Hong Pin, “Kau apakah?”

“Suhu! Aku lupa. Hari ini mendadak aku datang bulan,” Seru Hong pin.

Mendengar itu, Beng Cie sianseng, Siong In, Kang Hoo dan Lo Siauw Houw jadi melengak kaget mendengar pengakuan Hong Pin yang sedang datang bulan, bagaimana seorang pemuda bisa datang bulan? Dan Beng Cie sianseng menoleh ke arah Cui Ngo Kho, katanya, “Eh, Cui Ngo Kho, bagaimana murid laki-lakimu ini bisa datang bulan?”

Cui Ngo Kho tersenyum lalu berkata kepada Hong Pin, “Hong Pin, bersihkan wajahmu. ” Dengan malu-malu Hong Pin membersihkan wajahnya dengan obat pelumer, maka wajah itu berubah menjadi wajah seorang gadis manis bermata buta. Kang Hoo yang melihat perobahan wajah Hong Pin, ia jadi mundur selangkah. Ia tidak menyangka kalau Hong Pin itu adalah seorang gadis. Tidak terkecuali Siong In, ia juga jadi melompongkan mulut.

Sementara itu, Cui Ngo Kho sudah berkata lagi, “Angsa Emas Berkepala Naga itu sebenarnya barang suci, ia tak boleh dipegang oleh seorang perempuan yang sedang datang bulan, tadi muridku lupa hingga dengan girang ia telah menyentuh benda itu, kini benda itu sudah lenyap. Apa mau dikata. Mata muridku akan tetap buta. ”

“Mustika Gaib!” Terdengar suara ramai menggema di dalam ruangan itu. Dan dengan terdengarnya suara Mustika Gaib menggema di dalam ruangan itu maka para jago rimba persilatan itu kembali ke gunung masing- masing. Tahun berganti tahun, sepuluh tahun dilewatkan. Di rimba persilatan tersiar berita tentang munculnya Tiga Gabungan Pendekar Pembela Keadilan dan Kebenaran, mereka adalah Kang Hoo si jago Karakhter, Hong Pin si gadis buta dan Siong In jago betina dari Hong-san.

Di samping mengembara menyumbangkan tenaga dan kepandaiannya untuk menolong si lemah dan menghancurkan si jahat. Tiga Gabungan Pendekar, terus berusaha mencari kembali Angsa Emas Berkepala Naga yang telah lenyap secara mendadak.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

1 komentar

  1. Lanjutan Kisah Mustika Gaib Silahkan Baca Perburuan Mustika Gaib...