Bab 06
SEJAK HARI ITU kedai nasi tadi tak digunakan orang lagi, tak seorangpun berani masuk dan menggunakan kedai tersebut. Mereka takut terkena kutukan dewa, mati mendadak mencair membiru.
Siong In pun pernah mendapat didikan ilmu silat dari suhu anehnya di atas puncak gunung Hong-san ia juga diherankan atas kematian orang itu yang demikian rupa anehnya, sete!ah terjadinya peristiwa itu, si nona kembali dibuat jadi kebingungan karena mendadak saja penduduk kampung yang sejak pertama kali ia muncul di sana pada lari menjauh, kini mereka berubah memberi pujian-pujian dan mengucapkan perasaan kagum mereka atas kelihaiannya si nona baiu merah yang gagah berani telah membunuh dua orang seragam hitam yang selama belakangan ini menjadi momok bagi penduduk desa.
Siang itu Siong In hendak meneruskan perjalanannya, tapi seluruh penduduk kampung mengharapkan agar si nona bisa tetap tinggal dalam kampung halamannya. Agar dapat setiap waktu menjaga keamanan kampung dari gangguan orang misterius tadi.
Tapi Siong In mengelak, mana bisa mesti berdiam di sana terus menerus, tugasnya mencari sang ayah yang lenyap sejak sepuluh tahun tiada kabar berita juga belum didapatkan, ia juga menanyakan kepada para penduduk kampung itu apakah pernah bertemu dengan seorang tua she Lo nama Siauw Houw asal dari Hong-san. Tapi semua penduduk kampung mengatakan belum pernah mendengar nama itu.
“Liehiap,” seru salah seorang laki-laki pertengahan umur, ketika Siong In akan meninggalkan pintu perkampungan. “Turun tangan jangan kepalang tanggung. Kalau Liehiap bertindak kepalang tanggung, maka yang akan jadi korban adalah kami penduduk kampung yang lemah ini. Mereka akan mengganas membabi buta membunuh kami semua.”
“Hmmm.” Siong In mengerutkan kening pikirnya. “Jejak ayah memang belum diketahui,” pikirnya.
“Tapi, dalam perjalanan ini tidak salahnya aku membuang sedikit tempo untuk membasmi golongan seragam berselubung hitam yang ternyata bukan orang baik? Suhu pernah berkata, dalam hidup aku mesti menyumbangkan tenaga berbuat kebaikan, menghancurkan kejahatan. Apa salahnya kalau aku sekalian menyatroni sarang mereka.”
Setelah berpikir demikian Siong In bertanya pada si orang setengah umur di hadapan pintu perkampungan,
“Dimana sarang mereka?”
“Mereka selalu membawa gadis-gadis yang akan dijadikan korban perkosaan ke seberang sungai. Dan diwaktu malam hari dari gerombolan pohon di seberang sungai sana, sering tertampak sinar merah yang terang benderang, aku kira itulah sarang mereka, karena sejak mereka muncul di kampung ini. Sinar merah itu sering tampak di seberang sungai, dan tak seorangpun yang berani pergi ke sana, barang siapa yang coba-coba mendekati tempat itu pastilah, ia tidak akan pulang ke rumah.”
“Bagus, siapa sanggup menyeberangkan aku,” tanya Siong In.
“Hamba dulu tukang perahu.” Sela salah teorang di belakang si nona.
Siong In membalikkan badan, menengok pada orang di belakangnya.
Orang itu seorang muda, usianya baru ditaksir dua puluhan tahun. Begitu ia melihat wajah Siong In yang cantik. Ia jadi gugup.
“Kau tukang perahu?” Tanya si nona baju merah. “Ya, ya,” jawab si pemuda. “Tapi sejak munculnya
orang jahat itu, aku tak berani menyeberang ke sana.
Karena.....Karena . . ., . Di seberang sana sudah menjadi daerah terlarang.”
“Kau berani bawa aku ke seberang?”' Tanya Siong In.
“Berani!” Jawab si tukang perahu muda. “Tapi hanya
sampai di tepi sungai, selanjutnya. ”
Siong In tersenyum, katanya,
“Kau tak perlu mengantar sampai ke tepi, cukup dalam jarak lompatan, kau boleh balik kembali kemari.”
Si tukang perahu muda itu jadi kegirangan, tanyanya, “Kapan nona mau berangkat?”
“Sekarang. Mau tunggu apa?” Kata Siong In.
“Ah Bagusnya tunggu sampai petang dan akupun
harus mencari seorang kawan untuk membantu mendayung agar cepat sampai.”
Matahari sudah doyong ke barat, hari mulai sore, sebentar lagi senja mendatang.
Di dalam perahu yang diombang ambingkan ombak sungai Hoangho, sinar mata si nona baju merah memandang jauh ke seberang sana.
Dua orang tukang perahu muda, mendayung perahu itu dengan penuh semangat, menerjang gelombang- gelombang sungai!
Angin sore bertiup, menambah goyangnya perahu. Beberapa ekor ikan berlarian menjauhi perahu yang laksana membelah sungai.
Begitu terdengar deburan air rungai Hoang ho mcndampar pantai, Siong In, memerintahkan tukang perahu balik kembali ke kampung mereka.
Kedua tukang perahu itu saling pandang salah seorang berkata, “Lie hiap, jarak pantai dengan perahu ini masih jauh, bagaimana mesti kembali ke kampung?”
“Kalian balik saja ke kampung, beri aku satu dayung.” Jawab Siong In.
Tukang perahu tidak mengerti, salah seorang memberi satu dayung persediaan, dan si nona segera menerima dayung itu kemudian dayung tadi dilemparnya ke depan lalu jatuhkan ke atas gelombang sungai.
Berbarengan dengan jatuhnya dayung tali di atas air, tubuh Siong In melejit ke udara ia lompat ke arah dayung yang mengambang dimainkan ombak.
Begitu kaki si nona menotol dayung, dayung itu kembali meluncur ke muka dan badan si nona baju merah kembali melambung ke udara melompati gelombang air, lalu menotol lagi dayung itu yang timbul tenggelam di atas air.
Di atas perahunya kedua tukang psrahu itu melompongkan mulut memandang kepandaian Siong In yang luar biasa, mereka tak menyangka kalau si nona baju merah bisa berlompat-lompatan di atas air. Dan salah seorang berkata,
“Lihiap itu sungguh aneh, kalau ia bisa berbuat demikian di atas air mengapa mesti menggunakan perahu?”
Seorang lain menggeleng kepala, lalu katanya,
“Kini aku tahu, gerakan orang-orang seragam hitam itu berlompatan di atas air, bukan karena mereka memiliki ilmu setan, atau ilmu gaib, tapi mereka menggunakan bantuan sepotong papan, seperti apa yang dilakukan lie hiap baju merah tadi. Aih, selama ini kita orang-orang kampung, telah dibuat ketakutan demikian rupa oleh mereka, kita menyangka mereka memiliki ilmu gaib bisa berjalan di atas air, ternyata itu semua hasil dari latihan yang luar biasa!”
“Hmmm. Ayo kita balik ke kampung, beritahukan ini pada kawan-kawan,” kata salah seorang pendayung, setelah mereka tak tampak bayangan Siong In.