Jilid 02
Bab 4 Rasul Peronda Istana Harta
DIDALAM HATI Pek Thian Kie sendiripun paham bahwa tujuan Cu Tong Hoa membawa serta dirinya memasuki “Istana harta” bukanlah dikarenakan ingin mencarikan uang buat dirinya, sebaliknya ia sengaja mendatangkan suatu persoalan yang sukar bagi pihak “Istana Harta” agar bisa mengambil kesempatan tersebut tinggal lebih lama lagi di istana.
Bila dugaannya tidak meleset, lalu apa tujuan Cu Tong Hoa datang kemari ? Agaknya asal-usul dari pengemis inipun masih merupakan suatu tanda Tanya.
Sementara berpikir keras beberapa saat lamanya, tak terasa lagi pemuda ini sudah berseru :
“Cu-heng, kau boleh berangkat sendiri terlebih dulu.” “Apa maksud perkataanmu ?” teriak Cu Tong Hoa rada
tertegun lalu tertawa, paksa.
“Kau adalah seorang yang sedang menderita sakit, bagaimana mungkin aku boleh berangkat dulu seorang diri
? Apalagi kaupun bisa masuk kesini karena aku yang menyeret, bagaimanapun juga aku tak bisa melepaskan dirimu sedemikian saja !”
“Aaaakh … kalau begitu, aku harus mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Heng-thay!”
Sembari berkata, mereka berdua bersama-sama berangkat menuju kepintu luar.
Ketika Pek Thian Kie serta Cu Tong Hoa sudah berlalu dari sana, dari balik ruangan rahasia dibelakang ruangan besar itu mendadak terbukalah sebuah pinyu kecil dan muncullah seorang kakek tua berwajah merah.
“Tecu mengunjuk hormat buat Cong koan !” ketika melihat munculnya orang itu. Si kakek bermata tunggal buru-buru menjura memberi hormat. “Hmmmm! Bagaimana?” dengus kakek berwajah merah itu dingin, kaku.
“Tecu …… untuk beberapa waktu tecu masih belum berhasil mendapat tahu benarkah dia orang atau bukan!”
“Lalu siapakah Cu Tong Hoa itu? Apakah dia orang memang benar-benar menjabat sebagai Tongcu bagian urusan luar dari perkumpulan kay-pang ?”
“Kemungkinan sekali bukan, menurut surat keterangan yang dikirim dating melalui burung merpati. Katanya pada lima hari yang lalu Cu Tong Hoa masih berada didalam perkumpulan Kay-pang. Sekalipun ia bisa melakukan perjalanan cepat pun masih harus membutuhkan sepuluh hari sampai setengah bulan lamanya baru bisa tiba disini.”
“Lalu siapakah sebetulnya dia orang? Dan bagaimana dengan asal-usulnya yang sebetulnya?”
“Saat ini tecu sedang perintahkan orang kita untuk melakukan penyelidikan yang lebih teliti!”
“Ehmmm !” si kakek berwajah merah itu mendengus
berat. “Perhatikan orang yang diberitakan selama ini!” “Baik!”
“Hmm! Aku punya cara sendiri ”
Kita balik pada Pek Thian Kie serta Cu Tong Hoa sekeluarnya dari ruangan hijau”, sesampainya kembali didalam ruangan besar mendadak terdengar suara yang amat gaduh berkumandang memenuhi seluruh angkasa.
Ketika mendongakkan kepalanya memandang, maka taampaklah seorang nenenk tua berpakaian kembang sedang ribu dengan si lelaki berpakaian perlente yang berjaga didepan pintu, suara dari nenek tu itu merengek hampir mendekati setengah menangis. “Saudara, kau sukalah berbuat baik terhadap diriku. Aku
…..aku benar-benar tak dapat menyebutkan siapakah namaku ….. kalau tidak, maka musuh akan turun tangan membinasakan diriku ……”
“Tidak bisa jadi!”
“Saudara, tolonglah diriku sekali ini saja ….”
“Nenek celaka! Apa kau tuli haaaa? Aku sudah berkata tidak bisa tetap tidak bisa …..”
“ ……………?????”
Pek Thian Kie mendengar perkataan tersebut, air mukanya kontan berubah hebat. Ketika, ia melirik sekejap kearah Cu Tong Hoa, maka tampaklah air mukanya sudah berubah hijau membesi, selintas hawa nafsu membunuh mulai menghiasi wajahnya.
Melihat hal tersebut didalam anggapan Thian Kie, tentunya si pengemis muda ini sudah dibuat gusar oleh sikap lelaki berpakaian perlente tersebut.
“Hmmm istana harta tidak lebih hanyalah merupakan suatu perkumpulan kaum bajingan yang tahunya memeras dan menghina yang lemah dan miskin ….”
“Tua bangka! Kau hendak mencari mati ….” Teriak lelaki berpakaian perlente gusar.
“Aku si nenek tua sudah hidup tujuh puluh delapan tahunan, sekalipun mati, apa yang patut disayangkan lagi
?????? Kalau memang kalian ada maksud membagikan harta, kenapa orang-orang yang diberi harus ditentukan dulu …… kalian memang manusia terkutuk …..”
“Nenek sialan! Memangnya kau sudah bosan hidup ….”
Perkataan tersebut belum selesai diucapkan, lelaki berpakaian perlente itu sudah menggerakkan badannya meluncur kearah si nenek tua tersebut, telapak tangannya dengan disertai angina pukulan yang menderu-deru segera dibabatkan kearah depan.
Pek Thian Kie yang melihat kejadian ini air mukanya kontan saja berubah hebat.
“Heee…..heeeeee……heeee ….. Pek-heng! Mari kita kembali kekamar saja!” seru Cu Tong Hoa ketika itu sambil tertawa.
Pek Thian Kie yang mendengar ajakan tersebut segera merasakan peristiwa sedikit ada diluar duagaan, kebanyakan orang-orang yang menyebut dirinya pendekar, seorang lelaki sejati tentu akan turun tangan membantu mereka-mereka yang sedang menghadapi bahaya, apalagi jika ditinjau dari selintas hawa nafsu membunuh yang menghiasi wajahnya tadi. Tapi mengapa sekarang ia malah batalkan maksudnya ?
Berpikir akan hal tersebut Pek Thian Kie merasakan hatinya semakin keheranan.
“Cu-heng, daia ….”
“Lebih baik kita jangan terlalu banyak ikut campur dengan urusan orang lain, ayoh mari masuk!”
Selesai berkata tanpa mengubris dir Pek Thian Kie lagi, ia sudah berjalan terlebih dahulu menuju ke ruangan belakang.
Melihat sikap kawannya ini, Pek thian Kie jadi melengak, tetapi sebentar kemudian iapun mengikuti pula dari belakang Cu Tong Hoa berjalan masuk kedalam.
Didepan pintu besar, si lelaki berpakaian perlente itu masih bergebrak amat seru melawan si nenek tua berpakaian kembang tersebut. Siapun diantara mereka berdua tak ada yang suka mengalah.
“Berhenti!” mendadak serentetan suara bentakan dengan amat dingin bergema memenuhi angkasa.
Tampaklah si kakek tua berusia enam puluh tahun yang bertindak sebagai Ciang-Kwee sudah melayang keluar.
Ditengah suara bentakan yang amat keras dari si orang tua itu kedua orang tersebut segera berhenti bergebrak.
“Kau si nenek tua betul-betul tidak tahu diri …..” bentak kakek itu dengan gusar.
“Siapa kau?”
“Aku adalah Ciang-Kwee dari Istana Harta!”
Tangan kanan si nenek tua berpakaian kembang itu segera diulurkan kedepan, tetapi sebentar kemudian dengan terburu-buru ditariknya kembali kebelakang.
“Ciang-kwee, kau berbuatlah baik buat diriku untuk kali ini!” katanya setengah merengek.
Air muka Ciang-kwee tersebut berubah hebat, wajahnya berubah hijau membesi.
“Baik ….. baik ….. baik …” serunya gugup. “Memandang dari usiamu yang sudah amat tua, untuk
kali ini biarlah aku melanggar kebiasaan memberi izin
kepadamu untuk masuk.”
“Aakh…! Kau sungguh seorang yang sangat baik!”
Dengan berlangsungnya kejadian ini kedua orang lelaki berpakaian perlente itulah yang dibuat kebingungan setengah mati, dengan ketolol-tololan mereka berdua berdiri ditengah kalangan. “Popo, silakan masuk!” terdengar Ciang-kwee lojin mempersilakan perempuan tua itu masuk dengan sikap yang sangat hormat.
Dengan langkah yang semampai dan sempoyongan nenek tua berpakaian kembanan itu berjalan masuk kedalam ruangan, sesampainya disuatu tempat yang sunyi, mendadak Ciang-kwee lojin dengan nada gemetar berkata :
“Maaf, tecu ada mata tak berbiji, sehingga tidak mengetahui ……”
“Sudah, sudahlah …. Dimana Tong Tiong-koan?’ “dalam ruangan Merah!”
Sejak Ciang-kwee lojin menemui diri nenek tua tersebut, sikapnya jadi amat takut-takut seperti tikus menghadapi kucing saja, sikapnya amat menghormat bahkan sampai menghembuskan napas berat-beratpun tidak berani.
“Bawa aku menuju keruangan Merah!” “Baik!”
Dengan cepat tanpa banyak berpikir lagi Ciang-Kwee lojin tersebut segera membawa sang nenek tua menuju “Ruangan merah” kiranya didalam “Istana harta” semuanya dibagi menjadi lima buah ruangan, masing- masing ditandai dengan warna putih, hijau, hijau tua, biru dan merah.
Didalam setiap ruangan tersebut terdapat pula sebuah ruangan yang sangat besar. Dan keadaan dari ruangan merah ini mirip sekali dengan keadaan didalam “ruangan hijau tua”
Ketika mereka berdua telah memasuki ruangan merah, si Ang Bian Lojin, si penguasa ruangan tersebut sewaktu melihat munculnya mereka air mukanya kontan berubah hebat.
“Ada urusan apa?” Tanyanya sambil buru-buru meloncat bangun.
“Lapor congkoan. Sang Rasul peronda Istana dating berkunjung!”
“Apa?’ air muka si kakek tua berwajah merah ini berubah semakin hebat.
“Ach …. Maaf …..maaf, cayhe tak thu atas kunjungan kehormatan dari rasul Peronda Istana …..”
“Sudah, sudahlah ……”
“Cdayhe sudah menyambut kurang pantas, masih mengharapkan Sin-si memaafkan dosa-dosaku.”
Paras muka nenek tua itu berubah jadi semakin tawar dan sama sekali tidak menunjukan sedikit perubahanpun.
“Tong It San!” bentaknya dingin.
“Dari ruang Cong-tong sudah dikirim sepucuk surat perintah melalui burung merpati, bagaimana dengan pekerjaan yang sudah diperintahkan?”
“Maaf, tecu masih belum berhasil menemukan suatu titik terang apapun ….”
“Kurang ajar! Jadi kau anggap kami hanya membayari dirimu untuk makan tidur seenaknya ….”
“Benar ….. benar ….!”
“Hmmmm! Hanya sedikit urusan yang amat sepele saja, kau sudah tak becus. Kau …..”
“Harap Sin-si suka mengampuni dosaku.” “Kau tahu, apa maksudku dating kemari?” “Cayhe kurang jelas, harap Sin-si suka memberi sedikit penjelasan.”
“Terus terang aku beritahu kepadamu, dia sudah memasuki Istana kita, bahkan sumber berita ini boleh dipercaya, selama beberapa hari nini bukan saja dari kedua istana yang lain, bahkan jago-jago yang sudah lama tidak pernah munculkan diripun, kini sudah pada berdatangan kedalam istana kita. Bilamana pihak kita tak berhasil menghadapi mereka, bukan saja Istana kita bakal tutup pintu untuk selamanya mungkin badan serta kepala kitapun bakal terpisah dari tempat semula.”
“Baik ….. baik ….baik …. Tentu cayhe akan bekerja lebih hati-hati dan waspada lagi.”
“darimakah asal-usul dari kedua orang bocah barusan itu?” teriak si nenek tua itu lagi.
Dengan amat hormat sekali”Hiat kui So” atau si Setan Berdarah Tong It San segera memberi penjelasan asal-usul kedua orang itu.
“Hmmmm! Tidak salah.” Seru nenek tua tersebut kemudian dengan sinis setelah mendengar penjelasan itu. “Diantara mereka berdua, salah satu tentu terdapat orang itu ….”
Ia merendek sejenak, kemudian tanyanya lagi :
“Bocah she Cu itu apa sudah berhasil mendapatkan uang?”
“benar!’
“Ehmmmm ….” Dengan wajah murung dan mata yang dipicingkan nenek tua itu mulai kerutkan dahinya berpikir keras, mendadak ia mendekati Tong It san dan membisiki sesuatu kesamping telinganya. Tampaknya Tong It san mengangguk-angguk tidak hentinya.
“Pengawal!” bentaknya keras
Seorang lelaki berpakaian perlente, dengan cepat berkelebat masuk kedlam ruangan.
“Maknya.” Teriak Tong It san lagi dengan nada gusar. “Nenek tua ini memang benar-benar tidak tahu diri,
setelah diberi seratus tahil, ia masih tidak mau puas. Dia
orang sama sekali tidak berkepandaian, tapi ingin seribu tahil juga ….. Hmmmm? Seret dia kebelakang biar ia berpikir duklu hingga masak!”
“Baik!”
Ditengah suara jeritan-jeritan dan makian-makian si nenek itu, ia kena diseret lelaki berpakaian perlente tersebut keruangan belakang.
Ruangan belakang ini merupakan kamar-kamar yang digunakan untuk menampung para jago-jago Bu-lim yang khusus dating untuk minta uang, pada saat ini ditengah ruangan besar sedang berkumpul berpuluh-puluh orang jagoan yang sedang omomg-omong sambil buang waktu.
Ketika si nenek tua itu diseret masuk kedalam ruangan sambil berteriak-teriak dan menjerit-jerit, seketika itu juga telah memancing perhatian dari orangorang disekitar sana.
Ketika itu …..
Pek Thian Kie serta Cu Tong Hoa yang mendengar suara teriak-teriak itu tak urung mengalihkan sinar matanya juga.
“Hmm! Tindakan Istana Harta terhadap si nenek tua betul-betul rada keterlaluan.” Seru Pek Thian Kie dengan air muka berubah hebat. Mendengar kata-kata temannya, Cu Tong Hoa tertawa tawar.
Pada saat itulah terdengar si lelaki berpakaian perlente itu sudah berseru kembali kepada nenek tua itu :
“Bagaimana keputusan kita terhadap dirimu, tunggu saja sampai besok pagi”
Selesai berkata tanpa menanti jawaban dari si nenek tua itu lagi, ia lantas putar badan berlalu.
“Hei, bajingan yang tak berperasaan …. Kalian betul- betul tidak punya Liang-sim …. Teriak nenek tua itu kalang kabut.
“Sungguh kejam tindakan kalian terhadap diriku.
……….”
Bicara sampai disitu ia tak dapat membendung rasa sedih didalam hatinya lagi, mulailah nenek itu menangis tersdu- sedu.
Sekonyong-konyong ………
“Nenek tua, mengapa kau menangis??” suara seseorang berkumandang dating dari belakang tubuhnya.
Si Nenek tua itu segera mengalihkan sinar matanya menyapu sekejap kearah orang itu.
Tampaklah seorang kakek tua berbaju hitam yang usianya sudah hampir mendekati enampuluh tahunan berdiri dengan amat gagah disana.
“Heeeeei ….. sudah tentu lau tidak akan tahu kesusahanku ….” Seru perempuan tua itu sedih.
“Aku ada keperluan yang mendesak dan ingin meminjam seribu tahil perak dari Istana Harta ini ….. tetapi ternyata ……. Ternyata mereka sudah menyusahkan diriku
….. kau bilang sungguh mangkelkan tidak …..”
“Untuk pinjam uang pada permulaan tahun rasanya memang rada susah …. Eeei …… nenek tua, bagaimana kalau aku ramalkan dirimu? Ciba kita lihat apakah kau berhasil memperoleh seribu tahil perak itu atau tidak ?
“Haaaaaa …….. kau sedang melamun sampai dimana ? jika aku punya uang untuk meramal, buat apa susah payah datang kemari untuk minta pinjam uang?”
“Haaaaaa …….. Haaaaaa …….. Haaaaaa ……..soal ini kau boleh legakan hati,” sahut si kakek hitam itu sambil tertawa terbahak-bahan. “Aku tidak akab bersifat keras kepala dan tidak punya Liang-sim. Orang-orang menyebut diriku sebagai “Thiat Siepoa.” Bagaimana kalau aku ramalkan dirimu tnpa membayar?”
“bagus sekali!”
“Coba sekarang kau sebutkan tanggal kelahiranmu yang lengkap.”
“Tapi ….. cocok tidak ramalanmu itu?”
“Bagaimanapun aku tidak akan minta uang darimu, cocok atau tidak, mengapa tidak coba terlebih dahulu?”
“Baik …… baik …..”
Demikianlah si nenek tua tersebut lantas beritahukan tanggal kelahirannya kepada si kakek tua itu.
Selesai mendengar keterangan tadi, si kakek berbaju hitam itu lantas pejamkan matanya berpikir.
“Aaakh ….. salah, salah …..” tiba-tiba teriaknya sengan terperanjat.
“Apa yang tidak benar ?” “Menurut perhitunganku, bukan saja kau orang tiada kesulitan didalam soal keuangan, bahkan kaupun merupakan seorang yang popular dan mempunyai kedudukan yang sangat terhormat …..”
“Kentut bau anjingmu ! Sedikitpun tidak cocok. Omonganmu tidak hanya omongan anjing yang lagi berkentut” maki nenek tua itu kalang kabut.
Mendengar makian tadi, kontan saja air muka si kakek tua berbaju hitam itu berubah menjadi merah padam.
“Benar …… benar ……. Tidak cocok, tidak cocok.” Serunya gugup. “Cuma ada satu hal yang bagaimanapun juga aku hendak beritahukan dulu kepadamu, kemungkinan besar bencana sudah berada diambang pintu …….”
“Apa?” teriak nenek itu dengan mata terbelalak lebar- lebar.
“Heeee…….heeee….. kemungkinan juga ramalanku itu tidak cocok!
Selesai berkata, ia lantas putar badan berlalu, hal ini tentu saja membuat si nenek itu dengan perasan ketakutan berdiri termanggu-manggu ditengah kalangan.
Sebaliknya Cu Tong Hoa yang selama ini berdiri disisi kalangan, begitu melihat jalan peristiwa tersebut, segera tertawa dingin tiada hentinya.
“Hmmmmm! Tidak disangka didalam Istana Harta sudah berubah menjadi suatu tempat yang ditunggangi harimau dan ditempati naga ……”
“Apa maksudmu ?” Teriak Pek Thian Kie terperanjat. “Kau tidak bakal memahami soal ini, lebih baik tidak
usah banyak bertanya lagi …” Ketika itu, si kakek tua berbaju hitam itu sedang berjalan mendekati diri Pek Thian Kie. Ketika ia tiba dihadapan kedua orang bocah tersebut, langkahnya rada merendek, sedang sinar matanya perlahan-lahan disapu sekejap keatas wajah pemuda itu.
Eeeeeei ….. bocah kurus, penyakit yang kau derita sungguh parah sekali!” serunya.
“Apa?” saking terperanjatnya Pek Thian Kie sudah menjerit kaget.
“Aku mengatakan bila penyakitmu itu amat parah!” seru si Kakek tua berbaju hitam kembali.
“Bagaimana kau bisa tahu ?’
“Aku sudah terbiasa memperhatikan mimic wajah setiap orang dan pandai meramal …………… eeeeei tulang Bay- kut kurus siapa namamu?”
“Aku? Aku bernama Pek Thian Kie!” “Pek ….. Thian ….. Kie ……?”
“Sedikit tidak salah, aku memang bernama Pek Thian Kie.”
“Heeeeei tulang bay-kut kurus, bagaimana kalau aku ramalkan buat dirimu?”
“Ramalkan soal apa?”
“Sesukamu. Apa yang kau ingin tanyakan, apa yang kau ingin ketahui semuanya dapat aku jawab dengan tepat.”
“Haaaaaa …….. kau sedang melamun sampai dimana ? jika aku punya uang untuk meramal, buat apa susah payah datang kemari untuk minta pinjam uang?”
“Haaaaaa …….. Haaaaaa …….. Haaaaaa ……..soal ini kau boleh legakan hati,” sahut si kakek hitam itu sambil tertawa terbahak-bahan. “Aku tidak akab bersifat keras kepala dan tidak punya Liang-sim. Orang-orang menyebut diriku sebagai “Thiat Siepoa.” Bagaimana kalau aku ramalkan dirimu tnpa membayar?”
“bagus sekali!”
“Coba sekarang kau sebutkan tanggal kelahiranmu yang lengkap.”
“Tapi ….. cocok tidak ramalanmu itu?”
“Bagaimanapun aku tidak akan minta uang darimu, cocok atau tidak, mengapa tidak coba terlebih dahulu?”
“Baik …… baik …..”
Demikianlah si nenek tua tersebut lantas beritahukan tanggal kelahirannya kepada si kakek tua itu.
Selesai mendengar keterangan tadi, si kakek berbaju hitam itu lantas pejamkan matanya berpikir.
“Aaakh ….. salah, salah …..” tiba-tiba teriaknya sengan terperanjat.
“Apa yang tidak benar ?”
“Menurut perhitunganku, bukan saja kau orang tiada kesulitan didalam soal keuangan, bahkan kaupun merupakan seorang yang popular dan mempunyai kedudukan yang sangat terhormat …..”
“Kentut bau anjingmu ! Sedikitpun tidak cocok. Omonganmu tidak hanya omongan anjing yang lagi berkentut” maki nenek tua itu kalang kabut.
Mendengar makian tadi, kontan saja air muka si kakek tua berbaju hitam itu berubah menjadi merah padam.
“Benar …… benar ……. Tidak cocok, tidak cocok.” Serunya gugup. “Cuma ada satu hal yang bagaimanapun juga aku hendak beritahukan dulu kepadamu, kemungkinan besar bencana sudah berada diambang pintu …….”
“Apa?” teriak nenek itu dengan mata terbelalak lebar- lebar.
“Heeee…….heeee….. kemungkinan juga ramalanku itu tidak cocok!
Selesai berkata, ia lantas putar badan berlalu, hal ini tentu saja membuat si nenek itu dengan perasan ketakutan berdiri termanggu-manggu ditengah kalangan.
Sebaliknya Cu Tong Hoa yang selama ini berdiri disisi kalangan, begitu melihat jalan peristiwa tersebut, segera tertawa dingin tiada hentinya.
“Hmmmmm! Tidak disangka didalam Istana Harta sudah berubah menjadi suatu tempat yang ditunggangi harimau dan ditempati naga ……”
“Apa maksudmu ?” Teriak Pek Thian Kie terperanjat. “Kau tidak bakal memahami soal ini, lebih baik tidak
usah banyak bertanya lagi …”
Ketika itu, si kakek tua berbaju hitam itu sedang berjalan mendekati diri Pek Thian Kie. Ketika ia tiba dihadapan kedua orang bocah tersebut, langkahnya rada merendek, sedang sinar matanya perlahan-lahan disapu sekejap keatas wajah pemuda itu.
Eeeeeei ….. bocah kurus, penyakit yang kau derita sungguh parah sekali!” serunya.
“Apa?” saking terperanjatnya Pek Thian Kie sudah menjerit kaget.
“Aku mengatakan bila penyakitmu itu amat parah!” seru si Kakek tua berbaju hitam kembali. “Bagaimana kau bisa tahu ?’
“Aku sudah terbiasa memperhatikan mimic wajah setiap orang dan pandai meramal …………… eeeeei tulang Bay- kut kurus siapa namamu?”
“Aku? Aku bernama Pek Thian Kie!” “Pek ….. Thian ….. Kie ……?”
“Sedikit tidak salah, aku memang bernama Pek Thian Kie.”
“Heeeeei tulang bay-kut kurus, bagaimana kalau aku ramalkan buat dirimu?”
“Ramalkan soal apa?”
“Sesukamu. Apa yang kau ingin tanyakan, apa yang kau ingin ketahui semuanya dapat aku jawab dengan tepat.”
“Bagus sekali .”
“Kalau begitu kau boleh tuliskan nama serta tanggal kelahiranmu diatas kertas?”
“Kau tidak usah takut akan rahasiamu bocor dan terjatuh ketangan orang lain?” kata si kakek tua berbaju hitam itu sambil menyapu sekejap kearah Cu Tong Hoa.
Berapa patah perkataan ini seketika itu juga memaksa Pek Thian Kie bergidik. Apakah si kakek tua berbaju hitam ini memeang jelas akan asal-usulnya yang sebetulnya?
Berpikir hal itu, tak terasa lagi ia sudah menoleh Cu Tong Hoa si pengemis muda tersebut.
“Cu-heng, bagaimana kalau kau menyingkir sebentar?
Pintanya
Cu Tong Hoa tersenyum, sambil mengangguk ia lantas berjalan mendekati si nenek tua tersebut …… Menanti si pengemis muda kawannya sudah pergi jauh. Pek Thian Kie baru putar badan menghadap kearah si kakek tua berbaju hitam tadi.
“Aku ternama Pek Thian Kie,” sahutnya perlahan. “Tahun ini baru berusia delapan belas tahun lahir pada siang hari bulan tiga belas tanggal tiga belas!”
Si kakek tua berbaju hitam itu lantas berkemak-kemik dan bergumam beberapa sat lamanya, mendadak ……
“Tidak benar …….. tidak benar ……….!” Gumamnya seorang diri.
“Apa yang tidak benar?” jawab Pek Thian Kie benar- benar merasakan hatinya bergidik.
“Antara namamu serta tanggal kelahiranmu sama sekali tidak cocok!”
“Aaaaaakh ……. Apa yang sudah terjadi ?”
“Nama yang kau gunakan sekarang bukan namamu yang sesungguhnya!”
“Apa?” saking kagetnya hampir-hampir pemuda itu meloncat keatas.
“Kau memang betul-betul dilahirkan pada tanggal tiga belas bulan tiga, tetapi namamu bukan Pek Thian Kie!”
“Bagaimana kau bisa tahu?”
“Karena nama Pek Thian Kie tak dapat hidup hingga sekarang …… dia sudah mati!”
Kali ini Pek Thian Kie benar-benar dibuat terperanjat dan ketakutan sehingga jantungnya terasa berdebar-debar dengan sangat keras. Jika ditinjau dari sikap serta gerak-gerik si orang tua yang begitu serius, rasanya ia bukan lagi berbohong atau bicara sembarangan.
“Lalu …….. lalu ……. Orang yang bernama Pek Thian Kie seharusnya mati sejak kapan?” tanyanya rada gemetar.
“tahun yang lalu ….. tanggal tiga belas bulan tiga tahun yang lalu, bahkan kematiannya sangat mengerikan ”
“Heeeeee……..heeeeee…….heee …… tetapi aku bernama Pek Thian Kie ……. Sejak kecil aku sudah bernama demikian!” teriak pemuda tersebut sambil tertawa dingin tiada hentinya.
“Aaaakh …… kau sudah salah mengerti, namamu yang sudah disembunyikan oleh orang lain, Pokoknya yang jelas namamu yang asli bukan Pek Thian Kie ……”
“Persoalan ini dapat kau buktikan darimana?” “Menurut perhitunganku sebagai tug ramal!”
Pek Thian Kie bukan bernama Pek Thian Kie, peristiwa ini baru untuk pertama kali ini ia dengar, unuk sesaat dengan perasaan setengah percaya setengah tidak, ia berdiri termangu-mangu.
“Apakah suhumu yang beritahukan kepadamu bila kau bernama Pek Thian Kie?”
“Sedikitpun tidak salah, dia orang tualah yang beritahukan nama itu kepadaku …”
“Apakah suhumu memakai pedang?” “Sedikitpun tidak salah?”
“Pakainan yang dikenakan selalu berwarna hitam dan dandanannya mirip seorang sasterawan?” “Betul! Kau ….. bagaimna kau bisa tahu ?” tak kuasa lagi Pek Thian Kie berseru kaget.
“Heeeei ….. aku minta kau jangan berteriak-teriak seenaknya, bagaimana ?”
----------- ooo O ooo -----------
Bab 5 Rahasia Pek Thian Kie dan Cu Tong Hoa
DENGAN TERMANGU-MANGU Pek Thian Kie
berdiri ditengah kalangan, selama hidup belum pernah ia merasakan terkejut seperti ini hari, si kakek tua berbaju hitam itu benar-benar merupakan seorang yang amat lihay lagi misterius.
“Tahukah kau siapakah nama suhumu?” Tanya si kakek tua berbaju hitam itu lagi.
“Siapa namanya ?” “Pek Thian Kie!”
“Aaaaaakh …..!” sekali lagi Pek Thian Kie menjerit tertahan.
Beberapa patah kata yang diucapkan barusan benar- benar laksana halilintar yang membelah bumi disiang hari bolong …..
“Ia bernama “Sin Mo Kiam Khek” atau si jagoan pedang iblis sakti Pek Thian Kie!” ujar si kakek tua berbaju hitam itu lebih lanjut.
“Apa per ….. peeeeeeeeeee ……….. perkataanmu itu sungguh-sungguh ?”
“Sedikitpun tidak salah !” “Lalu ….. lalu apa ia kini sudah mati?” Tanya Pek Thian Kie dengan nada gemetar
“Benar, ia sudah mati!”
“Bagaimana matinya? Karena apa dia orang tua menemui ajalnya?”
“Waaaah …. Kalau soal ini aku kurang jelas !”
Mendadak didalam benak Pek Thian kie terlintas suatu bayangan, secara tiba-tiba ia teringat kembali dengan surat pengumuman berwarna merah itu surat
pengumaman berwarna merah itu …… surat pengumuman tentang disewakannya sebuah rumah ……..
Bukankah suhumu memerintahkan kau untuk mencari sesorang?” Tanya si kakek tua berbaju hitam itu kembali.
“Tidak salah.”
“Bukankah orang yang kau cari itu bernama Kiang To?” “Betul ….. tapi ….. tapi ….. bagaimana kau bisa tahu
tentang soal ini?”
“Kau tidak perlu menanyakan kepadaku, secara bagaimana aku bisa mengetahui persoalan ini, terus terang aku beritahukan kepadamu, tahukah kau siapakah yang bernama Kiang To itu ?”
“Siapa ? ……” seru Pek Thian Kie melengak, “Apakah kau yang bernama Kiang To?”
“Haaaaa …..haaaaaa…..haaaaa……. salah, salah! Bukan Aku ……. Orang yang bernama Kiang To, melainkan kau sendiri !”
“Apa?” sekali lagi Pek Thian Kie menjerit keras, saking kagetnya, hampir-hampir ia meloncat keatas. Perasaan terkejut yang diderita Pek Thian Kie kali ini hampir-hampir luar biasa, hampir boleh dikata ia jadi amat goblok dibuatnya. Hampir-hampir dia tidak mempercayai lagi telinganya sendiri.
Kiang To adalah dia sendiri ? suhunya suruh dia mencari dirinya sendiri ? Apa maksudnya ?
Dikolong langit apa betul terdapat peristiwa yang demikian anehnya ?
Apakah suhunya yang tidak ia ketahui namanya itu benar-benar bernama Pek Thian Kie ?”
Mengapa ia memberikan nama Pek Thian Kie kepada dirinya?” Tentu didalam persoalan ini masih ada hal-hal yang lebih dalam maksud serta tujuannya.
Pek Thian Kie yang dbuat terperanjat oleh peristiwa tersebut selama ini Cuma bisa melototi si kakek tua berbaju hitam itu dengan termanggu-manggu, beberapa patah perkataannya itu benar-benar membuat ia merasa sangat terperanjat.
“Heee…….heee……heee….. kau masih tidak percaya?” seru si kakek tua berbaju hitam itu sambil tertawa dingin.
“Aku ….. aku tidak tahu !” sahut Pek Thian Kie perlahan-lahan sambil menelan ludahnya.
“Mau percaya atau tidak, itu terserah kepada dirimu sendiri, tetapi ada sepatah kata mau tak mau aku harus beritahu kepadamu. Untuk sementara waktu lebih baik kau singkirkan dulu apa yang aku beritahukan kepadamu itu kesamping, dan aku harap kau jangan ungkap persoalan ini kepada siapapun!”
“Mengapa?” “Karena hal ini tidak akan mendatangkan keuntungan buat dirimu.”
Si Kakek tua berbaju hitam itu rada merendek sejenak, lalu tambahnya lagi :
“Tempat ini bukanlah suatu tempat yang baik, lebih baik cepat-cepatlah kau menyingkir dari sini …..”
Belum habis perkataannya diucapkan terdengarlah suara langkah manusia sudah berkumandang datang memecahkan kesunyian. Tampaklah Cu Tong Hoa dengan langkah lebar sudah berjalan mendekat.
Si kakek tua berbaju hitam itupun segera tertawa terbahak-bahak.
“Hey bocah kurus, mau percaya atau tidak, itu terserah kepada dirimu sendiri,” serunya.
Selesai berkata ia lantas putar badan berlalu melalui jalan semula.
Dengan kejadian ini maka Pek Thian Kie lama sekali dibuat berdiri termangu-mangu, ia tidak paham perkataan yang diucapkan oleh si lelaki berbaju hitam itu sebetulnya sungguh-sungguh atau bohong.
Jika peristiwa itu adalah nyata, maka hal ini boleh dikataa merupakan suatu hal yang sama sekala tak diduga.
Nama suhunya adalah Pek Thian Kie tetapi mengapa ia berikan namanya itu kepada dirinya? Apakah ia berbuat demikian agar orang-orang kangouw tidak tahukah nama dirinya yang sesungguhnya? Tentunya nama Kiang To sudah terkenal sekali didalam dunia Kangow dan diketahui oleh banyak orang, kalau tidak suhunya tidak mungkin bisa berbuat demikian. Apa yang dipikirkan memang cengli, tetapi apa sesungguhnya yang telah terjadi, ia masih belum sanggup untuk membuktikannya.
Sementara suara secara mendadak mengejutkan Pek Thian Kie sehingga tersadar dari lamunannya.
“Siauw-hiap!” ketika itu si nenek tua sedang merengek kepada diri Cu Tong Hoa. “Kau berbuatlah perbuatan yang mulia. Bagaimana kalau seribu tahil perakmu itu kau pinjamkan dulu kepadaku untuk digunakan keperluan yang mendesak?”
“Tidak bisa jadi!”
“Kau berbuatlah pekerjaan yang mulia.”
“Heeeeeee ……….heeeeee… heeeeeeee……kau
sungguh-sungguh hendak meminjam ?........” akhirnya teriak Cu Tong Hoa sambil tertawa dingin.
“Betul, tolong kau berbuat pekerjaan mulia ……” “Baiklah, mari ikut diriku untuk ambil uang tersebut
……!”
Agaknya di nenek itu dibuat rada melengak juga oleh tindakan si pengemis muda tersebut.
“Sungguh?” tanyannya kurang percaya.
“Aku melihat keadanmu patut dikasihani, karena itu terpaksa aku berikan dulu uang tersebut kepadamu!”
Sekali berkata, ia lantas berjalan langsung menuju kedalam kamar.
Mendadak Pek Thian Kie yang ada ditengah kalangan teringat akan sesuatu, maka dengan cepat iapun meloncat kedepan menghadang jalan perginya. “Eeeeeeei nenek tua, bagaimana kau bisa tahu kalau dia mempunyai seribu tahil perak?”
“Orang-orang Istana Harta yang beritahukan padaku.” “Oooooouw ….. begitu!”
Dengan cepat Pek Thian Kie pun ikut berjalan masuk kedalam kamar, ketika itulah si nenek tua yang berada didalam kamar sudah berseru dengan nada cemas.
“Cu-siauw-hiap, dimanakah uangmu itu?” Mendadak air muka Tong Hoa berubah berat.
“Pek-heng, tutup pintu kamar,” bentaknya dengan cepat sambil melirik sekejap kearah pemuda tersebut.
“Tidak usah ……. Tidak usah, aku segera akan berlalu,” buru-buru nenek tua itu mencegah.
“Hmmm! Kau tak bakal bisa lolos dari sini lagi!”
“Cu Siauaw-hiap! Apakah kau ingin menahan diriku?” seru si nenek tua itu dengan wajah rada berubah.
“Heeeee……….heeeee…………heeeee…….. Cu Tong Hoa tertawa dingin tiada hentinya. “Bukan saja aku ingin menahan dirimu, bahkan aku inginkan pula nyawamu.”
“Kau ……kau …….. siapa kau ?”
“Heeeee……….heeeee…………heeeee…….. Pak Hoa Coa atau si ular seratus bunga, kau kira aku sungguh- sungguh tidak kenali wajah aslimu?”
Si pengemis muda itu segera enjotkan badannya laksana sambaran kilat mencelat kehadapan tubuh si nenek tua itu.
“Siiiii ………siapa kau ?” Teriak nenek tua itu lagi dengan nada gemetar, wajahnyapun berubah menjadi pucat pasi bagaikan mayat. “Aku? Haaaaa………….haaaa……….haaa………kau boleh menduga sendiri!”
Dari dalam sakunya perlahan-lahan Cu Tong Hoa mengeluarkan sebuah kipas yang dibentangkan lebar-lebar.
Diatas kipas terlukiskan sekuntum bunga seruni yang memancarkan cahaya keemasan.
“Perkumpulan Pak Hoa Pang!” tak terasa lagi nenek tua itu berseru tertahan.
“Sedikitpun tidak salah, perkumpulan Pak Hoa pang!” Kau…..”Kau….. adalah ……?”
“Hmm! Pak Hoa Coa, terhadap peraturan tentunya kau masih mengetahui dengan sangat jelas bukan, kau sebagai seorang Tongcu bagian hukuman mengapa berani menghianati perguruan …….”
“Kau ….. kau adalah pangcu?” teriak nenek tua itu kembali dengan seluruh badan gemetar sangat keras.
“Peduli aku pangcu atau bukan, kau tidak perlu banyak menggubris, baik-baik berdiri disana dan terimalah sepuluh jurus “Hoa kay Hoa Lok” atau bunga Mekar Bunga rontok” ku tentu kau bakal menjadi jelas dengan sendirinya
…..”
“Pangcu!”
“Pak Hoa Coa. Yang kutunggu-tunggu selama ini adalah ini hari ……..” Bentak Cu Tong Hoa dingin. “Kau sudah menghianati perguruan, hal ini masih lumayan, bahkan berani pula mencuri sebotol “Pak Hoa Lok
…….Hmmmmm!. ”
“Pangcu !. ” “Sekarang aku mau bertanya kepadamu, apakah kau sudah bertemu dengan majikan Istana harta?”
“Belum …..!”
Cu Tong Hoa tertawa dingin semakin seram. “Heeeee……….heeeee…………heeeee…….. kalau
begitu, kau serahkan dulu nyawamu! Teriaknya.
Ditengah suara bentakan yang amat keras tubuh Cu Tong Hoa sudah mencelat kedepan, kipas ditangannya laksana anak panah yang terlepas dari busur meluncur kedepan mengirim sebuah babatan yang maha dasyat.
Buru-buru pak Hoa Coa menggeserkan badannya kesamping menghindarkan diri dari datangnya serangan gencar Cu Tong Hoa, diantara memisahnya bayangan manusia, iapun balas mengirim satu serangan kedepan.
“Hmmmmm! Kau cari mati …..”
Ditengah bentakan yang keras, kipas ditangan Cu Tong Hoa berturut-turut melancarkan serangan gencar kedepan, hanya didalam sekejap mata tiga jurus sudah berlalu. Begitu mereka berdua saling bergebrak, maka seketika itu juga Pek Thian Kie dibuat berdiri termangu-mangu ditengah kalangan.
Sekarang ia baru mulai memahami akan suatu urusan, kiranya Cu Tong Hoa ini adalah seorang gadis atau dengan perkataan lain Pangcu dari perkumpulan seratus bunga.
Hal ini benar-benar merupakan suatu kejadian yang tak pernah terpikirkan olehnya.
Dan tujuannya datang kemari, sudah tentu sedang mencari si penghianat perguruan “Pak Hoa Coa”
Mendadak …… Ditengah suara bentakan yang sangat dingin, tampaklah tubuh Cu Tong Hoa laksana sambaran kilat cepatnya sudah menubruk kearah pak Hoa Coa, kipas ditangannya laksana bayangan bunga dengan amat gencar mengirim empat buah serangan sekaligus mencecer musuhnya.
Sebentar kemudian suara dengusan berat bergema memenuhi angkasa, kiranya tubuh Pak Hoa Coa dengan amat dasyat kena terpukul pental, sehingga mencelat kearah belakang dan jatuh tepat diatas tanah tak berkutik.
“Ayoh cepat bangun, tidak perlu pura-pura mati!” bentak Cu Tong Hoa dingin. Perlahan-lahan pak Hoa Coa bangun, sambil mengusap darah segar yang muncrat keluar dari ujung bibirnya, ia memandang kearah Cu Tong Hoa dengan perasaan ketakutan.
“Aku …..!”
Belum habis perkataan tersebut diucapkan, tubuhnya mendadak mencelat ketengah udara kemudian dengan kecepatan laksana sambaran kilat meluncur kearah Pek Thian Kie sambil mengirim serangan mencengkeram tubuhnya.
Dalam anggapan pak Hoa Coa, pemuda yan bernama Pek Thian Kie ini adalah seorang pemuda yang sama sekali tidak mengerti akan ilmu silat, asalkan ia berhasil menguasai pemuda tersebut bukan saja ia berhasil meloloskan diri dari kematian bahkan asal-usulnya yang sesungguhnya tidak akan sampai terbongkar dihadapan jago-jago bulim lainnya.
Karena itu serangan yang baru saja ia lancarkan ini sudah menggunakan seluruh tenaga iweekang yang dimilikinya, sudah tentu kehebatannya sangat luar biasa sekali. Cu Tong Hoa yang sama sekali tidak menyangka bisa terjadi peristiwa semacam itu, ketika dilihatnya nenek tua tersebut menubruk kearah Pek Thian Kie hatinya terasa amat terperanjat.
Dimana bayangan manusia berkelebat tahu-tahu ia sudah berada dihadapan Pek Thian Kie.
Melihat dirinya diserang, pemuda ini segera menjerit keras sambil menjatuhkan diri kebelakang.
Pada saat-saat yang amat kritis itulah Cu Tong Hoa sudah membentak keras, tubuhnya dengan cepat meloncat kearah Pak Hoa Coa, sedangkan kipasnya digerakkan melanjutkan serangan-serangan gencar.
Serangan yang dilancarkan si pengemis muda barusan ini betul-betul sangat luar biasa, bahkan keanehan serta kelihayan dari jurus-jurus gerakannya patut dipuji.
“Tahan!” mendadak Pak Hoa Coa membentak keras.
Tetapi suara bentakan tersebut sama sekali tidak berhasil menahan serangan yang dilancarkan oleh Cu Tong Hoa, tahu-tahu kipas pihak lawan sudah berada diatas jalan “Ming Bun Hiat” diatas punggung nenek tua itu.
“Kau sudah tidak mau nyawamu lagi ….” Teriak si ular seratus bunga gusar.
Belum habis ia berkata, suara dengusan berat sudah bergema memenuhi angkasa, tubuhnya roboh keatas tanah tak berkutik lagi, sedang dari hidung maupun mulutnya Pek Thian Kie muntahkan darah segar.
Kiranya peristiwa ini telah terjadi dalam waktu yang sangat kebetulan sekali. Sewaktu Pak Hoa Coa melancarkan tubrukan tadi, kebeulan penyakit sakit hati dari Pek Thian Kie sedang kambuh, sehingga tak kuasa lagi ia kena ditawan oleh pihak musuh.
Dan sewaktu Cu Tong Hoa melancarkan serangannya tadi, mengambil kesempatan tersebut, Pak Hoa Coa lantas turun tangan menyerang pemuda tersebut, sehingga membuat dia jadi terluka parah.
Perlahan-lahan Cu Tong Hoa melirik sekejap kearah Pek Thian Kie, alisnya dikerutkan rapat-rapat. Tanpa banyak cakap lagi dari dalam sakunya ia mengambil keluar sebuah botol poselen dan meneteskan beberapa tetes cairan putih kedalam mulut Pek Thian Kie, lalu diurutnya pula seluruh tubuh pemuda tersebut dengan cermat.
Beberapa saat kemudian pemuda itu baru tersadar kembali dari pingsannya, dengan termangu-mangu ia memandang pengemis muda tersebut.
“Pek-heng!” ujar Cu Tong Hoa sambil tertawa perlahan. “Kesemuanya akulah yang tidak baik, tetapi aku tidak akan membinasakan dirinya.”
Selesai berkata ia lantas mencengkeram tubuh si ular seratus bunga itu, kemudian diangkatnya keatas dan pada beberapa bagian tubuhnya ditepuk pula berulang kali.
Berkat gebukan Cu Tong Hoa itulah, perlahan-lahan si nenek tersebut tersadar kembali dari pingsannya.
“Heeeee……….heeeee…………heeeee……..
Pak Hoa Coa. Kau benar-benar seorang manusia yang banyak akal dan licik.” Seru pengemis muda tersebut sambil tertawa dingin tiada hentinya.” Sekarang kau jawab, mengapa kau menghianati perguruan ?”
“Aku….!”
“Cepat katakana !” “Baik ….. baik ….. aku ….. Aduuuuuuuh…..”
Belum sempat Pak Hoa Coa mengucapkan sesuatu, mendadak diiringi suara jeritan ngeri tubuhnya roboh keatas tanah dengan kepala hancur berantakan dan darah berceceran diatas tanah. Tahu-tahu ia sudah menemui ajal dengan keadaan yang sangat mengerikan.
Menghadapi kejadian ini Cu Tong Hoa rada melengak, ia sama sekali tidak menyangka sewaktu dirinya berada dalam keadan tidak bersiap-siap, ternayta sudah ada orang yang turun tangan terlebih dahulu melenyapkan Pak Hoa Coa.
Tubuhnya dengan cepat dienjotkan melayang keluar kamar.
Tetapi dipintu depan tengah halaman luas, dua puluh orang jagoan lihay Bu-lim yang semula ada disana, kini sudah berubah menjadi empat, limapuluh orang banyaknya dan jago-jago tersebut rata-rata mempunyai raut muka yang terasa sangat asing buat mereka.
Kedua orang pemuda yang ada didalam kamar tadi ketika menghadapi orang yang sebegitu banyaknya tak dapat mengetahui dengan pasti siapakah diantara mereka yang telah turun tangan melenyapkan diri Pak Hoa Coa.
Dengan cepat Cu Tong Hoa putar badan berjalan balik, alisnya berkerut rapat-rapat, agaknya ia sedang memikirkan sesuatu, sebentar kemudian ia sudah tertawa dingin, lalu langsung berjalan mendekati diri Pek Thian Kie.
“Siapa yang sudah membinasakan dirinya?” Tanya pemuda tersebut buru-buru.
“Aku sendiri tak melihat jelas.” “Apakah orang-orang dari Istana harta?” “Sedikitpun tidak salah, kemungkinan sekali Majikan Istana harta pun termasuk diantara mereka-mereka itu!”
“Karena Apa?”
Dengan nada yang dingin dan sikap yang sombong Cu Tong Hoa tertawa tawar, dari senyuman tersebut semua orang dapat melihat bila sepintas hawa nafsu membunuh sudah melintas diatas wajahnya.
“Aku sendiripun tidak tahu!”
“Cu-heng, benarkah kau adalah pangcu dari perkumpulan seratus bunga?” tiba-tiba Tanya Pek Thian Kie.
“Bagaimana menurut pendapatmu?”
Pertanyaan yang berbalik ini seketika itu juga membuat Pek Thian Kie jadi melengak, ia merasakan bukan saja kepandaian silat yang dimiliki Cu Tong Hoa sangat lihay, sehingga sukar diraba bahkan kecerdikannyapun jauh lebih tinggi satu tingkat dari dirinya.
“Aku menginginkan jawabannya!” seru pemuda tersebut kembali.
Cu Tong Hoa tertawa tawar.
“Kemungkinan benar, kemungkinan pula bukan!” “Aku tidak mengerti maksudmu.”
“Sekalipun sudah dijelaskan, kaupun pasti tidak akan mengerti maksudku.”
Dalam hati diam-diam Pek Thian Kie mendengus dingin, sampai sekarang ia masih merasakan bila asal-usul dari Cu Tong Hoa merupakan suatu teka-teki dan tanda Tanya yang sangat membingungkan. Kedudukannya yang pertama adalah Tongcu Urusan bagian luar dari perkumpulan Kay-pang, kedudukan yang kedua adalah Pangcu dari Perkumpulan Seratus Bunga. Tetapi jika diteliti lebih mendalam agaknya kedua buah kedudukannya itu sama sekali bukan sungguh-sungguh.
“Pek-heng !” Tiba-tiba Cu Tong Hoa menegur dengan alis yang dikerutkan rapat-rapat. “Tolong merepotkan dirimu untuk melakukan sesuatu urusan, entah maukah kau untuk melakukannya ?
“Coba kau katakana !”
“Tolong panggil si Tiang Kwee untuk datang kemari sebentar.”
Pek Thian Kie tidak mengerti permainan setan apa lagi yang sedang ia susun, setelah termenung berpikir keras beberapa saat lamanya terakhir ia mengangguk juga.
“Baiklah!”
Selesai berkata ia lantas berjalan keluar dari dalam kamar.
Setibanya diluar, dimana sinar mata Pek Thian Kie menyapu sekejap kesekeliling tempat itu, ternyata apa yang diucapkan si pengemis muda tersebut sedikitpun tidaka salah.
Didalam halaman yang amat luas itu kini sudah bertambah lagi dengan berpuluh-puluh orang jagoan Bu- lim, ketika Pek Thian Kie lewat disisi mereka, para jago itu hanya melirik sekejap kearahnya. Diam-diam pemuda tersebut merasakan hatinya berdebar-debar sangat keras, bulu kuduk pada berdiri.
Orang-orang Bu-lim itu sama sekali tidak mengenali dirinya, tetapi selama ini selalu mengawasi terus gerak-gerik mereka berdua, peristiwa ini hanya ada satu kemungkinan saja yang bisa diterangkan, kedatangan mereka tentunya dikarenakan diri Cu Tong Hoa.
Dugaan ini memang sangat cengli, Cu Tong Hoa betul- betul seorang manusia yang sangat misterius, berasal dari manakah orang itu? Didalam soal ini ia harus mencari tahu, sehingga duduknya perkara menjadi lebih jelas.
Berpikir sampai disitu, dengan langkah lebar-lebar, ia lantas berjalan menuju keruangan sebelah depan.
Siapa sangka ketika itulah mendadak ssosok bayangan manusia dengan kerasnya menubruk diatas badannya.
“Bluuuuummmmm ……!” Didalam keadaan baru saja sembuh dari sakit hatinya, boleh dikata tenaga dalam yang dimiliki Pek Thian Kie pada saat ini sama sekali punah.
Tak kuasa lagi tubuhnya kena tergetar, sehingga mundurtujuh, delapan langkah kebelakang.
Pek Thian Kie yang kena tertubruk, diam-diam badannya terasa amat sakit, hatinya jadi mendongkol sedang sinar matanya mulai melototi orang yang berada dihadapannya.
Tetapi sebentar saja ia sudah menemukan bila orang yang berdiri dihadapannya pada saat ini bukan lain adalah seorang dara berbaju hijau yang sangat cantik dan baru berusia kurang lebih tujuh delapan belas tahun.
Bab 6 Teka-teki yang belum terjawab ……… ?
DIA adalah seorang gadis yang mempunyai wajah amat cantik, terutama sekali bibirnya yang kecil ungil berwarna merah serta sepasang matanya yang jeli bersinar cerah, hidungnya mancung benar-benar amat mempesona setiap orang.
Pada saat itu, diatas pipi gadis tersebut terlintaslah warna merah dadu yang dengan cepat membara menjalar keseluruh wajah. Agaknya ia sadang merasa jengah karena tertumbuk diatas badan seorang lelaki asing.
“Aaakh ….. maaf, maaf!” Buru-buru Pek Thian Kie menjura sambil mohon maaf berulang kali.
Selesai menjura, dengan mengitari dari samping tubuh dara cantik berbaju hijau itu ia melanjutkan kembali langkahnya kedepan.
Mendadak …….
“Saudara, tunggu sebentar!” dara berbaju hijau itu berseru menahan jalan pergi pemuda tersebut.
Pek Thian kie jadi melengak, tak kuasa lagi iapun menghentikan langkahnya.
“Nona, kau ada urusan apa?” tanyanya sambil menoleh dan memandang sekejap kearah dara berbaju hijau itu.
“Jangan minta maaf seharusnya aku,” kata dara tersebut sembari tersenyum. “Karena tubrukan tadi adalah sengaja aku lakukan.”
Sekalipun tidak diterangkan, dalam hati Pek Thian Kie pun sudah merasa sangat paham.
Dara berbaju hijau itu adalah seorang jagoan Bu-lim apalagi ditengah hari bolong, jika ia bisa bertubrukan dengan orang lain, maka hal ini jelas sekali menunjukkan bila ia sengaja melakukannya.
“Aaaakh ….. kau sedang bergurau !” seru Pek Thian Kie tertawa. Dijawabnya sangat tepat sekali dengan kedudukannya pada saat ini, hal ini jelas menunjukkan bila dia benar-benar seorang yang tidak mengerti akan ilmu silat.
“Kau bernama Pek Thian Kie?” tanyanya dara cantik berbaju hijau itu kemudian sambil tertawa.
Agak melengak juga Pek Thian Kie dibuat oleh kejadian ini.
“Tidak salah !”
“Lalu saudara yang satunya itu apakah juga kawanmu.” “Sedikitpun tidak salah, dia memang kawanku.” “Apakah kalian berkenalan sudah lama?”
“Entah apa amaksud nona untuk menanyakan persoalan ini ?”
Dara cantik berbaju hijau itu kembali tertawa.
“Tahukah kau orang macam apa kawanmu itu?” tanyanya
“Dia adalah manusia macam apa?” Buru-buru pemuda itu berseru, karena hatinya rada bergerak.
“Eeeeeei …… bukankah kalian berdua adalah pasangan sahabat karib, bagaimana kau bisa tahu macam apakah manusia itu?”
Pek Thian Kie yang dikatai begitu, sekali lagi berdiri tertegun dibuatnya.
“Per…..persahabatan kami tidak begitu mendalam …… apalagi perkenalanku belum cukup lama.”
“Sudah ada berapa hari?” desak dara berbaju hijau itu lebih lanjut
“Kami baru berkenalan selama dua hari saja!” “Oooooow ….. kiranya kalian baru berkenalan selama dua hari, tidak aneh kalau kau belum begitu paham terhadap dirinya. Walaupun asal-usulnya yang benar masih merupakan suatu teka-teki, tetapi orang-orang dunia kangouw pada mengetahui bila ia bukan bernama Cu Tong Hoa …..!”
“Lalu siapakah dia?” “Kiang To!”
“Apa? Apa kau bilang ? Kiang To ?”
Tak kuasa lagi Pek Thian Kie menjerit tertahan, beberapa patah perkataan tersebut benar-benar terasa bagaikan aliran strom yang membuat seluruh badannya tergetar dan gemetar keras.
Ia merasa terperanjat, kaget, bingung dan kelabakan sendiri !
Dia bernama Kiang To ? Cu Tong Hoa adalah sebenarnya Kiang To ?
Tetapi, bukankah si kakek tua berbaju hitam itu tadi mengatakan bahwa Kiang To adalah dirinya sendiri !
Kiang To ………Kiang To ……….! Kiang To !!
sebetulnya macam apakah Kiang To ini ?
Kejadian ini betul-betul merupakan suatu peristiwa yang tak dapat masuk akal, bahkan urusan ini terlalu membingungkan. Buat Pek Thian Kie, ia sama sekali tidak paham walau barang sedikitpun. Kiang To adalah satu orang, dan hanya seorang manusia saja yang bernama Kiang To. Orang itu kalau bukan dirinya tentu si manusia mesterius tersebut.
Sebenarnya siapakah orang itu ? Agaknya peristiwa ini ada sangkut paut yang amat besar dan erat sekali dengan dirinya, karena jika dia benar-benar bernama Kiang To, maka kejadian suhunya telah menyembunyikan nama aslinya tentu masih ada sebab- sebab tertentu.
Kabut mesterius, teka-teki serta tanda Tanya yang besar mengurung Pek Thian Kie kencang-kencang dan mulai menjerumuskan dirinya kedalam lembah lamunan.
Si dara cantik berbaju hijau yang melihat paras muka Pek Thian Kie menunjukkan perasaan terkejut segera menambahi lagi kata-katanaya :
“Eeeei …… sekarang tentunya kau sudah tahu bukan, manusia macam apakah kawanmu itu ?”
“Ehmmmm ……..! benar !”
Dalam hati Pek Thian Kie mengerti bahwa ia harus tetap berpura-pura menunjukkan rasa kagetnya dikarenakan “Kiang To” dua kata tersebut dan bukan sedang terkejut dikarenakan persoalan lain.
Padahal, yang ida ketahui hanya angina kentut belaka
……
“Eeeeei …..kalau kau sudah tahu lebih baik cepat-cepat pergi!” seru si dara berbaju hijau lagi. “Kalau tidak, mungkin sekali bibit bencana bakal terjatuh keatas badanmu juga!”
Selesai berkata dengan langkah yang menggiurkan ia berlalu dari tempat itu.
Pek Thian Kie masih tetap berdiri tertegun ditempat semula.
Sekarang, didalam hatinya ia sudah mengambil keputusan, ia harus menyelidiki urusan ini sampai jelas, siapakah sebenarnya Cu Tong Hoa ini ? Benarkah dia orang bernama Kiang To ? Dan macam apakah manusia yang disebut Kiang To itu ?
Mendadak, ia teringat akan suatu persoalan yang maha penting, persoalan ini adalah suhunya menyuruh dia pergi mencari Kiang To untuk menanyakan asal-usulnya. Dan orang yang disebut Kiang To ini tentu adalah seorang manusia terkenal yang sudah diketahui oleh siapapun, maksud suhunya tentu agar ia sekali mendapat tahu, maka mudah untuk memperoleh keterangan yang cukup. Berpikir akan hal ini, ia merasa semakin harus menjelaskan persoalan ini.
“Kawan Pek, kau lagi pikirkan apa?” sekonyong- konyong serentetan suara berkumandang masuk kedalam telinganya.
Mendengar suara tersebut diam-diam dalam hati pemuda tersebut merasa amat terperanjat, sewaktu ia mendongakkan kepala terlihatlah seorang lelaki berpakaian perlente sudah berdiri dihadapannya.
Pek Thian Kie rada tertegun sejenak.
“Oooouw ….. kawanku mengundang kau untuk pergi kesana sebentar ….!” Serunya kemudian.
“Ada urusan apa?” “Entahlah, mari ikuti diriku!”
Selesai berkata tanpa menungu jawaban dari seorang berbaju perlente itu lagi, ia lantas putar badan berjalan melalui jalanan semula.
Pada mulanya si lelaki berpakaian perlente itu dibuat agak ragu-ragu, tetapi akhirnya dengan wajah penuh rasa curiga ia mengikuti juga dari belakang tubuh Pek Thian Kie Sesampainya didepan kamar, pemuda itu langsung mendorong pintu berjalan masuk. Mendadak ……. Ia dibuat berdiri tertegun !
Kiranya didalam kamar itu kini sudah tak nampak bayangan Cu Tong Hoa lagi, saat ini kamar tersebut kosong melompong.
Bukan saja bayangan dari Cu Tong Hoa lenyap tak berbekas, sekalpun mayat “Pak Hoa Coa” yang menggeletak didepan pintunya pada saat ini sudah ikut lenyap. Hal ini benar-benar merupakan suatu peristiwa yang sama sekali tak ia duga.
Tak kuasa lagi Pek Thian Kie berdiri termangu-mangu disana, tak sepatah katapun berasil diucapkan keluar.
“Eeeei …….. kawan Pek, dimana kawan Cu-mu?” Tanya si lelaki berbaju perlente itu setelah melirik sekejap kedalam ruangan kamar.
Pek Thian Kie yang ditanyai demikian Cuma bisa meringis-ringis kuda dan bungkam seribu bahasa, karena hal ini jelas membuktikan bila Cu Tong Hoa ada maksud untuk menyingkirkan dirinya kesamping, agar ia dapat dengan leluasa melanjutkan tindakannya menyelesaikan suatu rencana busuk.
Tak terasa lagi hawa marahnya berkobar memenuhi seluruh rongga dada.
“Kemungkinan sekali dia baru saja keluar….” Sahutnya terpaksa
“Tapi, ada urusan apa dia memanggil aku kemari? “Mungkin tiada urusan apa dia memanggil aku kemari ? “Ooooouw ….” Tanpa banyak rewel lagi si lelaki berbaju
perlente itupun segera putar badan berlalu. Menanti bayangan orang itu sudah lenyap dari pandangan, dengan gerakan yang sangat cepat ia segera menerjang masuk kedalam kamar !
Seluruh isi ruangan kamar diperiksanya dengan sangat teliti, tetapi walaupun ia susah payah tak sedikit dijejakpun yang berhasil ditemukan.
Untuk beberapa saat pemuda ini dibuat berdiri termangu- mangu, karena peristiwa ini terjadi terlalu mendadak dan sama sekali berada diluar dugaan, maka untuk beberapa saat lamanya ia tak sanggup berpikir lebih panjang.
Dengan kaku ia jatuh terduduk diatas pembaringan, pikirnya melayang, entah memikirkan urusan apa …… Entah sudah beberapa lamanya, mendadak Pek Thian Kie mencium bau amis yang semakin lama semakin tebal menyerang hidungnya dari bawah pembaringan.
Hatinya terasa berdebar amat keras, buru-buru seprei tempat tidurnya disingkap, lalu berjongkok untuk diperiksa.
Tetapi sejenak kemudian saking terperanjatnya hampir- hampir saja ia menjerit keras.
Kiranya dibawah pembaringan itu berbaringlah mayat dari si ular seratus bunga, hanya saja pada saat ini pakaiannnya sudah dicopot orang lain, sehingga diatas mayat tersebut hanya tertinggal pakaian dalam saja yang sudah amat minim.
Tetapi Pek Thian Kie tidak habis mengerti akan kejadian yang sudah berlangsung ….. Sudah tentu, Cu Tong Hoa bisa berbuat demikian, tidak mungkin tak ada suatu tujuan tertentu, Cuma, saying pemuda ini tak mengerti apakah tujuannya berbuat demikian?
Mendadak …… Suatu ingatan sudah berkelebat didalam benaknya, dengan cepat ia menerjang keluar dari kamar. Ketika sinar matanya berputar, maka terlihatlah olehny ditengah luar kini sudah bertambah lagi dengan puluhan orang jagoan lihay Bu-lim. Sinar mata Pek Thian Kie kembali menyapu kearah orang-orang itu, akhirnya dibawah tumbuhan bunga ia menemukan seorang nenek tua berpakaian kembangan berjongkok disana. Bukankah dia orang adalah Pak Hoa Coa ?
Tetapi dalam hati Pek Thian Kie mengerti, kalau dia bukan Pak Hoa Coa yang asli, sebaliknya seorang pak Hoa Coa palsu, hasil penyaruhan dari si pemuda misterius Cu Tong Hoa.
Saat inilah Pek Thian Kie mulai merasakan bila Cu Tong Hoa rada menyeramkan, apakah tujuan sebenarnya datang kemari ?
Apa sebabnya berpuluh-puluh orang jagoan Bu-lim mendatangi tempat ini pula untuk mencari dirinya ?
Dalam hati Pek Thian Kie mulai mengambil keputusan untuk bikin jelas persoalan ini, sekalipun ia harus membocorkan rahasianya sendiri.
Diam-diam ia mulai berpikir.
“Sekarang tenaga dalamku sudah pulih enam bagian, rasanya sudah lebih dari cukup untuk menghadapi seorang jagoan, aku harus mulai bertindak …..”
Setelah mengambil keputusan ini, dengan langkah tergesa-gesa ia lantas berjalan mendekati diri Cu Tong Hoa. Sampainya disisi pengemis tersebut dengan nada mengejek ia tertawa tawar .
Cu Tong Hoa yang melihat munculnya Pek Thian Kie disana ia Cuma melirik sekejap kearahnya, tetapi air mukanya masih tetap tawar tak berubah sedang suaranyapun sangat mirip dengan suara dar Pak Hoa Coa.
“Eeeeei ….. bocah kurus, kau hendak berbuat apa disini?”
“Kawanku yang berada dibawah pembaringan mengundang kau untuk bertemu sejenak!” sahut Pek Thian Kie tertawa.
Seluruh Tubuh Cu Tong Hoa kontan saja gemeatr sangat keras.
“Aaaakh ….. ada urusan apa?” serunya sambil meloncat bangun.
“Aku sendiripun kurang jelas, lebih baik kita bicara didalam kamar saja.”
“Stttt….Pek-heng, kau tahu siapakah aku?” Tiba-tiba Cu Tong Hoa berbisik.
“Sudah tentu tahu!”
“Kalau begitu, mari kita kembali kedalam kamar!” “Sebetulnya siapakah kau? Ayoh cepat katakana!”
bentaknya.
Perubahan nada ucapan dari Pek Thian Kie ini agaknya sama sekali berada diluar dugaan Cu Tong Hoa, maka dengan perasaan terperanjat dan hati berdesir ia memperhatikan pemuda itu tajam-tajam, untuk beberapa saat lamanya pengemis muda tersebut tak sanggup untuk mengucapkan sepatah katapun.
Lama ……lama sekali ia baru bisa menjawab.
“Pek-heng, kau benar-benar berada diluar duagaanku. Kiranya kau bukannya tidak mengerti akan urusan ini
……!” “Sedikitpun tidak salah, aku memang pernah tidak mengerti akan urusan ini, tetapi sekarang aku sudah mulai memahami. Cu-heng, siapakah sebetulnya kau ini? Ayo cepat jawab!”
Walaupun keadaan didalam ruangan tersebut penuh diliputi oleh suasana tegang, tetapi nada pembicaraan mereka masih tetap ringan dan halus. Saking perlahannya, sehingga hanya mereka berdua sajalah yang bisa mendengarnya.
Cu Tong Hoa tertawa dingin tiada hentinya.
“Sekalipun aku katakana belum tentu, kau bisa paham.
Lebih baik tak usah aku bicarakan,” serunya Air muka Pek Thian Kie berubah hebat.
“Jika kau tidak suka berbicara lagi, hati-hati aku akan pecahkan rahasia penyamaranmu dihadapan para kawan- kawan Bu-lim yang hadir ditengah lapangan!” ancamnya
“Heeeee………heeeeee………..heeeeeeeee……. kalau kau berani berbuat demikian, maka hal ini akan mendatangkan kesialan saja buat dirimu sendiri!”
“Aku sudah merasa cukup untuk jadi orang goblok, Cu- heng! Mengapa kita tidak suka bicara baik-baik. Kalau tidak
……. Siauwte pun tidak ingin menimbulkan banyak kerepotan lagi !”
Mendengar perkataan tersebut, air muka Cu Tong Hoa segera berubah hebat, dari sepasang matanya memancarkan cahaya tajam yang membuat setiap orang terasa bergidik. Perlahan-lahan ia menyapu pula sekejap kearah diri Pek Thian Kie tajam-tajam.
“Siapakah sebtulnya dirimu? Tanyanya kemudian dengan suara seram’ Nada suaranya penuh diliputi oleh perasaan kaget dan bergidik, hal ini sebaliknya malah membuat Pek Thian Kie jadi tertegun.
“Aku adalah Pek Thian Kie!” serunya keheran-heranan. “Bohong! Kau bukan Pek Thian Kie.”
“Kenapa aku harus berbohong?”
“Aaaaaakh …… sekarang aku baru teringat, sesungguhnya Pek Thian Kie sudah mati, bagaimana mungkin sekarang bisa muncul kembali seorang yang bernama Pek Thian Kie ?”
“Apa kau kata? Pek Thian Kie sudah mati? Kapan dia matinya?”
“Setahun yang lalu, dan aku berani pastikan kalau Pek Thian Kie benar-benar sudah mati.”
Pek Thian Kie benar-benar merasakan hatinya tergetar keras, perkataan dari Cu Tong Hoa ini ternyata mirip sekali dengan apa yang dikatakan oleh si orang tua berbaju hitam itu !
Bagaimana kau bisa tahu ? Siapakah dia ? tanyanya terperanjat.
“Sin Mo Kiam Khek! Si jagoan pedang iblis sakti.” “Aaaakh …….!” Tak kuasa lagi saking terperanjatnya
Pek Thian Kie jadi menjerit tertahan.
“Ayo jawab, siapakah kau!” kembali Cu Tong Hoa membentak keras, suaranya amat dingin menyeramkan.
Perlahan-lahan air muka Pek Thian Kie berunah jadi ramah kembali, ia tertawa perlahan.
“Sekarang lebih baik kau sebutkan dulu siapakah kau?
Bukankah kau bernama Kiang To!’ serunya. “Apa?” Cu Tong Hoa menjerit kaget, “Apa kau kata
………?
“Aku bilang apakah kau orang bernama Kiang To
…….!”
Belum habis Pek Thian kie berbicara, Cu Tong Hoa sudah tertawa terbahak-bahak seperti orang gila.
Tetapi pada saat yang bersamaan mendadak terdengarlah suara langkah manusia berkumandang mendekat, disusul dengan munculnya si orang tua Tiang kwee dari Istana harta itu dan diikuti oleh si orang tua berwajah merah yang menjabat sebagai Cong-koan disana, si setan tangan darah.
Pek Thian kie serta Cu Tong Hoa tetap berdiri berdampingan dengan sikap yang tenang.
“Eeeeei …..nenek tua permisi!” sapa Tiang-kwee setelah tiba dihadapan Cu Tong Hoa.
“Ada urusan apa?”
“Mengenai uang pinjamanmu seribu tahil perak, kami sudah siapkan buat dirimu, mari silakan ikuti diriku untuk pergi mengambil.”
Perkataan ini sangat biasa sekali, tetapi bagi Cu Tong Hoa serta Pek Thian Kie kedalm hati sudah merasa sangat paham.
Agaknya pihak lawan sudah mengetahui, bila dia bukanlah si ular seratus bunga yang asli, karena kematian Pak Hoa Coa secara mendadak agaknya juga dilakukan oleh orang-orang istana harta sendiri.
“Heeeee……….heeeee…………heeeee……..dia tidak menginginkan seribu tahil perak kalian lagi,” teriak Pek Thian Kie sambil tertawa dingin tiada hentinya. “Kenapa?” seru sang Ciang-kwee tak tertahan lagi air mukanya berubah hebat.
“Kawanku sudah pinjamkan seribu tailnya buat dia orang, karena itu dia kini sudah tidak menginginkan uang seribu tail perak kalian lagi.”
“Siapa yang tidak suka uang?” tiba-tiba Cu Tong Hoa berteriak keras dengan air muka berubah hebat. “Lebih banyak uang lebih bagus, mari biar aku ikut kalian ambil uang itu.”
Selesai berkata, ia lantas putar badan siap meninggalkan ruangan tersebut.
“Berhenti!” mendadak Pek Thian Kie membentak keras.
Suara bentakan yang amat keras dari Pek Thian Kie ini seketika itu juga membuat ketiga orang itu membatalkan niatnya untuk berlalu dari sana.
Biji mata Cu Tong Hoa berputar-putar tiada hentinya, sedang air muka berubah amat sinis.
“Kau ingin berbuat apa?” tegurnya ketus
“Cu-heng, kau adalah seorang manusia yang cerdik, apakah kita harus saling cakar-mencakr muka masing- masing?”
“Heeeee……….heeeee…………heeeee…….. kau ingin berbuat apa?”
“Jawab dulu pertanyaan yang aku ajukan!” “Apa?”
“Kau tidak usah berlagak pilon lagi, tujuan kita masing- masing tidak sama. Kau lakukanlah perbuatanmu sedang aku akan melakukan pekerjaanku sendiri …..” Sekali lagi Pek Thian kie dibuat tertegun dan berdiri termangu-mangu disana.
Perkataan dari Cu Tong Hoa barusan ini jelas menunjukkan bila dia bernama Kiang To dan perkataan ini ternyata sama sekali cocok dengan apa yang diucapkan si kakek tua berbaju hitam itu kepadanya.
Hal ini sudah tentu cukup membuat hatinya merasa sangat terperanjat.
Ketika itulah ……
Cu Tong Hoa beserta kedua orang dari istana harta sudah putar badan dan melanjutkan kembali perjalanannya keluar dari ruangan tersebut.
“Berhenti! Kembali Pek Thian Kia membentak keras.
Mendengar suara bentakan tersebut, walau dengan hati mendongkol mereka terpaksa berhenti juga.
“Eeeeei …. Sebetulnya kau ingin berbuat apa?” teriak Cu Tong Hoa dengan amat gusar, hatinya benar-benar mendongkol
“Jelaskan dulu perkataanmu kemudian baru berlalu.” “Hei… bocah kurus, kau ingin mencari mati?” bentak
Hiat Koei So secara mendadak.
“Kenapa ?” balik Tanya Pek Thian Kie dingin
“Kalau kau memang ingin menjadi tamu dari istana kami, ada seharusnya jangan menyusahkan kami untuk berlalu, jika kau rebut-ribut lagi, hati-hatilah aku akan kasih sedikit hajaran buat dirimu!”
Diatas air muka Pek Thian Kie perlahan-lahan terlintaslah suatu perubahan yang sangat menyeramkan. “Hmmmmm! Sekalipun kau sudah berbicara demikian, tetapi aku tetap tidak akan mengizinkan dia berlalu.”
“Hmmm! Nenek tua ayoh ikut kami pergi, jika ada urusan biarlah aku yang tanggung.” Seru si Hiat Kui So dengan dingin.
“Bagus ….. bagus sekali,” Pek Thian Kiepun tidak mau mengalah dengan begitu saja.
“Hei nenek tua, ayoh, kau oleh coba-coba berlalu dari sini!”
“Makanya, badanmu yang kurus tinggal tulang bay-kut apa benar-benar kepingin diputus-putus untuk makanan anjing?”
“Haaaaaa……….haaaa…………haaaa…….. justru aku takut kalau kau orang tidak memiliki kepandaian semacam itu.”
“Kurang ajar, bagus sekali, aku harus kasih sedikit hajaran dulu kepadamu.”
Baru saja perkataan tersebut selesai diucapkan, tubuhnya laksana sambaran kilat sudah meluncur menerjang diri Pek Thian Kie, tangannya dipentangkan lebar-lebar kemudian dengan menggunakan kelima jari tangannnya yang runcing ia mencengkeram dada pemuda tersebut.
Serangan cengkeraman dari pihak lawan ini benar-benar sangat luar biasa dasyatnya, tampaklah bayangan putih berkelebat tahu-tahu Pek Thian Kie sudah menyingkir kesamping.
“Kau benar-benar ingin mencari mati?” bentaknya keras. “Sedikitpun tidak salah!”
Baru saja perkataan itu meluncur keluar cengkeraman kedua sudah menyambar tiba, kecepatan dari serangan ini jauh melebihi serangan pertama bahkan kedasyatannya amat mengerikan.
Pada saat itu Pek Thian kie sendiripun sudah dibuat gusar juga oleh sikap pihak lawan, menanti cengkeraman si Hiat Kui So hampir mencapai pada sasarannya, mendadak tangan kanannya diputar kencang lalu dibabatkan kearah depan.
Kecepatan geraknya jauh, melebihi kecepatan pihak lawan.
Dengan bergebraknya kedua orang ini maka cepat memancing perhatian dari berpuluh-puluh orang jagoan Bu- lim yang semula sedang berkumpul ditengah lapangan itu, dengan perasaan heran mereka pada memperhatikan jalananya pertempuran tersebut.
Cu Tong Hoa dengan bungkam tetap berdiri disisi kalangan.
Sekonyong-konyong …….
Si “Hiat Kui So” berturut-turut melancarkan tiga buah serangan gencar kearah depan, angin pukulannya menderu- deru, bayangan telapak berkelebat menyilaukan mata.
Hanya didalam sekejap mata saja ia sudah mengancam tiga buah jalan darah penting pada tubuh pemuda tersebut.
“Tong Cong-koan, buat apa kau mengganggu orang lain?” mendadak dari samping kalangan berkumandang datang suara seseorang yang amat merdu.
Mendengar suara teriakan tersebut, buru-buru si “Hiat Kui So” menarik serangannya dan segera mengundurkan diri kebelakang.
Kiranya orang yang baru saja berteriak bukan lain si dara cantik berbaju hijau. “Nona Suma, bagaimana kau bisa tahu urusan ini. Bangsat cilik ini benar-benar liar dan seperti maknya
……….” Teriak si Hiat Kui So dengan gemas.
“Tong Cong-koan! Bukankah yang pertama-tama turun tangan terlebih dahulu adalah kau ……!”
“Sedikitpun tidak salah! Yang turun tangan terlebih dahulu memang aku, tetapi bangsat cilik ini sendiri yang mencari mati.”
“Heeeee……….heeeee…………heeeee…….. Bangsat Tong Coa-koan. Jangan kau kira aku menaruh rasa jeri terhadap dirimu,” seru Pek Thian Kie sambil tertawa dingin tiada hentinya. “Terus terang saja aku beritahu padamu, jika aku benar-benar kepingin membinasakan dirimu, sebenarnya gampang sekali seperti membalikkan telapak tangan sendiri.”
“Cuh ….. kau monyet cilik apa punya kepintaran seperti itu.”
“Ooooouw …. Kau tak percaya ? Bagaimana kalau kita coba-coba dulu ?”
“Bagus sekali!” Aku ingin kasih sedikit hajaran biar kau merasa bila diatas langit masih ada langit.”
Selesai berbicara tubuhnya dengan cepat kembali berkelebat kedepan, kecepatannya laksana sambaran petir.
Diiringi dengan terjangan tersebut, sebuah pukulan yang maha dasyat menimbulkan deruan yang memekakkan telingga dihantmkan keatas tubuh pemuda tersebut.
Agaknya serangan ini sudah menggunakan hampir seluruh tenaga Iweekang yang dimiliki Tong It San, kehebatannya benar-benar bukan alang kepalang.