Jilid 10
Muka lelaki i tu jadi berobah hebat, dia telah membuka daun pintu lebar-lebar. “Silahkan! Silahkan masuk!!” katanya ke mudian dengan tergopoh-gopoh. “ Mari kau kuajak menemui Tan Keng Can Kongcu!!”
Giok Ie Lang jadi girang bukan main, sambil mengucapkan terima kasih, dia telah melangkah memasuki gedung tersebut.
Lelaki berpakaian perlente i tu telah menu tup daun pintu, lalu mengajak Giok Ie Lang untuk memasuki pekarangan yang l uas dari bangunan gedung i tu. membelok ke kanan pa da jalan yang lurus, yang kiri kanannya pe nuh oleh pohon-pohon bunga yang indah dan berwarna- warni.
Giok Ie Lang melihat keindahan gedung ini dan cara mengaturnya yang begitu rapih, diam -diam dihatinya jadi memuji tak hentinya.
Setelah melalui beberapa tikungan lagi, sampailah mereka dimuka sebuah kamar. “Tan Kong cu menantikanmu di dalam ru angan ini!” kata lelaki perlente itu. “ Silahkan masuk!”
Giok Ie Lang mengangguk sambil mengucapkan terima kasihn ya. Didorong pintu i tu terbuka, kemudian dia telah memasuki sebuah ruangan, ruangan buku, karena terdapat banyak sekali lemari-lemari buku dan rak- rak buku, di tengah ruangan itu tampak sebuah meja bulat yang terbuat dari marmer, dan pada kursi yang ada diseberang sananya duduk seorang pemuda, yang tak lain dari Tan Keng Can, pemuda yang sedang dicari oleh Giok Ie Lang.
Waktu melihat Giok Ie Lang, Tan Keng Can tidak tersenyum atau tertawa, wajahnya dingin.
“ Ada keperluan apakah kau mencari diriku?” teg ur pemuda i tu dengan suara yang tawar.
Giok Ie Lang telah merangkapkan tangannya memberi hormat. “ Chayhe Giok Ie Lang ingin menyampaikan pesan dari Thang Locianpwe, mengenai urusan Peng Po Siang Sie See Un!” jelas Giok Ie Lang. “ Inilah surat dari Thang Lan Hoa Locianpwe!” sambil berkata begini, Giok Ie Lang telah mengangsurkan surat Thang Lan Hoa kepada pemuda she Tan tersebut.
Tan Keng Can telah menerima uluran surat tersebut, dia membacanya dengan wajah tidak berobah. “Tadi aku telah membacanya, , dan telah memaklumi maksud dari Thang Locianpwe, memang antara diriku dengan Thang Locianpwe terdapat ikatan karena guruku adalah sahabat Thang Locianpwe! Tetapi mengenai persoalan Peng Po Siang Sie See Un, antara kami t idak ada persoalan, ma ka boleh saja Thang Locianpwe mengambil langkah dan t indakan menurut pemikirannya! Kami dari pihak Kaypang, akan bekerja sendiri! Memang telah kami duga sebelumnya bahwa akan banyak jago yang turun tangan untuk mengurusi persoalan Peng Po Siang Sie See Un ini! Sampaikan saja salamku kepada Thang Locianpwe, Maaf!” mem barengi dengan perkataan maafnya itu, pemuda she Tan tersebut telah mengulurkan surat i tu, mengembalikan kepada Giok Ie Lang, sedangkan sikapnya memperlihatkan bahwa dia seperti sedang memper silahkan sang tamu untuk berlalu.
Melihat sikap Tan Keng Can yang begitu tawar dan penyambutannya kurang simpatik, Giok Ie Lang jadi men dongkol bercampur penasaran.
“ Baiklah!” katanya kemudian dengan suara yang tawar juga. “Kami telah mencoba mengulurkan tangan untuk mengadakan ikatan dalam memperjuangkan pembebasan diri Peng Po Siang Sie See Un. Tetapi kalau pihak kalian dari Kaypang t ida k mau mempunyai sangkutan dengan kami, tidak mau bekerja sama, kami juga tidak bisa berkata apa - apa! Baiklah!” setelah berkata begitu Giok Ie Lang merangkapkan sepasang tangannya dia telah memberi hormat kepada pemuda she Tan i tu. Giok Ie Lang telah membal ikkah tubuhnya untuk berlalu.
“ Tunggu dulu!” panggil Tan Keng Can ketika Giok Ie Lang mau
membuka pintu i tu.
Orang she Giok tersebut telah menahan langkah kakinya sepasang alisnya tampak mengerut agak dalam, wajahnya tetap dingin, dia telah memutar tubuhn ya perlahan- lahan.
“ Masih ada yang ingin kau katakan?” tanya Giok Ie Lang sambil mengawasi pemuda she Tan tersebut , yang berpakaian begitu me wah dan mentereng sekali.
“ Ya! Ada sesuatu yang ingin kutanyakan ke padamu!” sahut Tan Keng Can sambil menganggukkan kepalanya. “Aku ingin menanyakan kepadamu perihal peristiwa semalam!”
“ Tanyakanlah!” kata Giok Ie Lang dengan suara yang tawar, hatinya seketika it i juga telah dapat menerkanya, bahwa yang akan ditanyakan oleh Tan Keng Can niscaya persoal an menyelusupnya Giok Ie Lang ke gedung ini dikala para anggota Kaypang tersebut mengadakan pertemuan semalam.
Tan Keng Can tidak segera menanyakannya apa yang ingin ditanyakannya, dia mengawasi Giok Ie Lang dengan sorot mata yang tajam, tetapi setelah tertawa dingin, b arulah dia bertanya : “Apakah engkau yang semalam menyelusup kemari dengan menyamar sebagai salah seorang anggota Kaypang yang telah kau totol i tu?” tegurnya.
Giok Ie Lang mengangguk. “Benar!” sahutnya sambil tersenyum
tawar, tenang sekali.
Melihat Giok Ie Lang menyahutinya seperti juga t idak berpikir lagi, Tan Ke Tian jadi tertawa dingin, rupanya dia mendongkol. “T ahukah kau, bahwa dengan berbuat seperti itu telah memurkakan seluruh anggota Kaypang?” tegurnya lagi dengan suara yang tawar.
“ Aku mengerti, tentu saja perbuatanku i tu bisa membuat Pangcu Kaypang jadi muntah darah kalau mengetahui peristiwa seperti itu!” sahut Giok Ie Lang dengan suara yang tawar. “ Dan terutama sekali, aku kasihan kepada beberapa orang yang pasti akan menerima makian dan cacian dari Pangcu! Bukankah begitu, Tan Kongcu?”
Tan Keng Can telah mendengus, wajahnya telah berobah jadi merah saking gusarnya, tetapi dia tidak bisa mengumbar kegusarannya i tu, sebab Giok Ie Lang datang secara jantan, dengan maksud baik, t idak dapat dia meng umbar kemarahannya seperti itu.
“ Baiklah sekarang kau telah memberikan pengakuanmu, nanti suatu saat kita akan bertemu lagi jelasnya untuk mengurus persoalan i tu, karena Pangcu kami menginginkan agar orang yang telah melakukan perbuatan kurang ajar seperti itu harus ditangkap dan dihadapkan padanya! Pergilah!”
“ Terima kasih atas keteranganmu!” kata Giok Ie Lang sambi l tersenyum mengejek. “Tetapi setiap saat akupun bersedia menanti kan kedatangan kalian, baik dengan maksud apa sekalipun!! Hmmm, cuma saja di sini aku ingin menjelaskan sedikit, di dalam persoalan Peng Po Siang Sie See Un dimana kita sedang mengurusnya, lebih baik kita mempergunakan otak dingin, janganlah terlalu di kuasai oleh emosi, sehingga urusan besar itu jadi berantakan disebabkan persoa lan yang t idak berarti! Kalau memang kalian ingin mempersoalkan urusan ini, lebih baik nanti saja kalau memang per soalan Peng Po Siang Sie See Un telah selesai, barulah kita mengu rus persoalan kita ini! Perkataanku ini hanya merupakan saran belaka, terserah pada pihak kalian, tetapi kalau memang dari pihak kali an t idak ada pengertian dan berkeras mau mendahului menyelesaikan persoalan kalian, mendahului dari persoalan Peng Po Siang Sie See Un, kukira dari pihakku juga t idak akan mundur, pasti akan menerima dan memberikan penyambutan yang sebaik - baiknya!”
Mendengar perkataan Giok Ie Lang yang seperti menyindir itu. muka Tan Keng Can jadi berobah merah padam, karena dia gusar bukan main.
TETAPI biar bagaimana Tan Keng Can tidak bisa mengambil t indakan sembarangan, dia mau tak mau harus dapat menindih perasaan gusarnya i tu. Kalau sampai dia berkeras dan terjadi bentrok an, niscaya dia akan merasa tidak enak hati pada Thang Lan Hoa, karena Thang Lan Hoa adalah sahabat gurunya, dan Giok Ie Lang ini diutus datan g menemui dirinya atas perintah Thang Lan Hoa.
Setelah berdiam diri sejenak akhirnya Tan Keng Can telah mengangguk. “Baik, akan kami pelajari saran -saranmu itu!” katanya
agar t idak hilang muka. “Tetapi kau harus ingat, bahwa perbuatan yang pernah kau lakukan semalam bukanlah suatu perbuatan yang terhormat, maka dari itu biarpun sampai dimana, pasti akan ada penyelesai annya! Nah, pergilah!!”
Giok Ie Lang t idak berkata-kata lagi, dia hanya mengawasi sejenak kepada orang she Tan itu, lalu dia telah membuka pin tu dan keluar dari ruangan tersebut.
Lelaki berpakaian perlente yang tadi telah mengajaknya masuk, telah menanti di luar pintu ruangan i tu. Dia pula yang telah mengantarkan Giok Ie Lang keluar dari rumah tersebut.
“ Terima kasih atas bantuanmu!!” kata Giok Ie Lang waktu dia melangkah keluar dari nintu gedung tersebut.
“ Hmmm!” lelaki berpakaian perlente itu hanya mendengus begitu tanpa mengatakan apa- apa, wajahnya juga membeku tidak memperlihatkan perasaan apa-apa, selain perasaan tidak simpatik. Rupanya lelaki pakaian perlente ini telah mengetahui duduknya persoalan, bahwa Giok Ie Lang adalah orang yang semalam me nyelusup di dalam rapat mereka.
Setelah keluar dari rumah itu, Giok Ie Lang telah cepat -cepat kembali ke rumah penginapannya untuk menemui Thang Lan Hoa, dan kawan- kawannya yang lain.
Tanpa membuang -buang waktu lagi, Giok Ie Lang telah berlari -lari menuju ke rumah penginapannya. hanya sekejap mata dia telah sampai.
Diceritakannya kejadian yang dialaminya itu kepada kawan - kawannya.
Mendengar cerita Gi ok Ie Lang, sepasang alis Thang Lan Hoa dan si kakek berkaki buntung itu telah mengkerut dalam -dalam.
“ Aneh!” kata Thaug Lan Hoa setelah Giok Ie Lang selesai menceritakan segalanya. “Biasanya pihak Kaypang paling mengutamakan hubungan dengan para pendekar dari kalangan Bulim, dan terkenal sebagai perkumpulan yang mengutamakan kesatriaan. Tetapi mengapa jadinya demikian? Siapakah pemuda i tu? Menurut apa yang diceritakan olehmu, maka pemuda yang baru berusia dua puluh tahun i tu, seperti juga mempunyai peng aruh yang t idak kecil di dalam kalangan Kaypang, dan juga memiliki kepandaian yang cukup t inggi! Aneh!! Mengapa dia demikian angkuh?”
“ Ya, mengapa pemuda i tu yang memegang peranan?” gumam si
Buntung juga.
Wu Cie Siang hanya berdiam diri saja, dia jadi men dongkol bukan
main.
“ Benar Jiewie Locianpwe, inilah suatu kejadian yang tidak terduga! Seharusnya, begitu dia melihat surat Thang Locianpwe, dia harus mengetahui sedang dihubungi oleh orang sendiri dan kawan - kawannya, mengapa dia mengambil sikap begitu ke ras?'“ gumam Giok Ie Lang juga, yang jadi diliputi keheranan yang bukan main.
“ Pasti di belakang peristiwa ini terdapat se suatu yang di luar
dugaan!!” kata Thang Lan Hoa dengan muka yang murung.
“ Ya!” si Buntung membenarkan. “ Akupun mempunyai pendapat
seperti i tu!”
“ Lalu t indakan apa yang akan kita ambil?” tanya Giok Ie Lang.
“ Kalau pihak kita mengambil jalan sendiri juga t idak ada halangan, tanpa bekerja sama dengan pihak Kaypang, juga hal ini tidak membawa kerugian apa- apa bagi diri kita! Namun, apa hendak dikata, di belakang urusan ini seperti terdapat sesuatu yang tidak beres, mau tak mau memang kita harus menyelidiki juga, tidak bisa kita membiarkannya begitu saja!” kata Thang Lan Hoa, tampaknya dia sengit dan mendongkol bukan main menghadapi persoalan ini.
“ Benar! Memang Boanpwe juga berpikir begitu, mau tak mau memang kita harus menyelidikinya!!” kata Giok Ie Lang.
“ Benar Suhu! Kita harus menyelidikinya!” Wu Cie Siang juga ikut
bicara.
“ Tunggu dulu sabar!” sela si kakek berkaki buntung.
“ Apakah kau ada saran?' tanya Thang Lan Hoa sambil menoleh kepada si Buntung.
“ SABAR, yang terpenting kita harus menyelidiki, siapa sebenarnya pemuda i tu! Inilah yang harus kita ketahui! Mengapa dia yang keluar muka untuk mewakili Pangcu Kaypang memberikan apa -apa?! Bukankah kejadian seperti ini belum pernah terjadi di dalam puluhan tahun yang lalu?”
“ Ya! Benar juga perkataanmu i tu!” ber seru Thang Lan Hoa dengan bersemangat. Tetapi kemudian sepasang alisnya mengkerut. “Tetapi, bagaimana kita harus menyelidiki keada an pemudi i tu! Sedangkan kalau kita menyatroni gedungnya, niscaya hal ini akan membawa bentrokan yang tidak menggembirakan! Apalagi kalau sampai kita diendus oleh pihak mereka, niscaya akan terjadi bentrok!”
“ Jadi kau jeri berurusan dengan mereka?” tanya si Buntung.
“ Bukannya jeri!” sahut Thang Lan Hoa mendongkol. 'Tetapi kita harus menghindari jangan sampai terjadi bentrokan yang tidak kita inginkan! Harus kita maklumi, biarpun pihak Kaypang merupakan
perkumpulan yang besar dan kuat, tetapi me mang kita t idak perlu takut! Namun kita telah mengenalnya sejak dulu pihak Kaypang selalu berdiri dipihak keadilan! Bagaimana bisa kejadian seperti ini terdapat di dalamorang -orangnya Kaypang?! Bukankah hal seperti ini mendatangkan kecurigaan yang bukan main pada diri kita?! Nah, inilah yang menjadi persoalan, bagaimana caranya kita menyelidiki pemuda i tu?”
Mendengar perkataan Thang Lan Hoa, si Buntung telah mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali, tampaknya dia menyetujuinya pendapat kawannya ini. “Baiklah! S ekarang yang penting kita membicarakan bagaimana caranya kita menyelidiki pemuda i tu!!” kata kakek berkaki buntung tersebut. “ Dia bernama Tan Keng Can, dan aku belum pernah mendengar nama i tu di dalam rimba persilatan!! Entah dia murid siapa dan apa hubu ngannya dengan Pangcu dari Kaypang, sehingga dia bisa mewakilinya? Juga menurut keteranganmu bahwa kepandaiannya sangat tinggi serta iwekang pemuda i tu sempurna, sehingga dia bisa melubangi kaki meja dengan hanya mempergunakan satu jari telunjuknya saja! H mmm, kalau dilihat demikian, tentunya Tan Keng Can bukan lah murid dari orang yang tidak bernama, sedikitny a niscaya dia murid dari salah seorang tokoh di dalam r imba persilatan! Karena usianya yang begitu muda dan telah memiliki kepandaian yang tinggi, bukankah berarti gurunya juga memiliki kepandaian yang hebat?”
Yang lainnya mengangguk-anggukkan kepalanya, mereka menganggap perkataan si Buntung benar. Inilah yang mengherankan mereka. Biar bagaimana rasa penasaran telah meliputi hati orang - orang tersebut.
Maka dari i tu, mereka segera merundingkan bagaimana caranya untuk menyelidiki pemuda itu. Tetapi biarpun begitu, mereka ingin melakukan penyelidikan tanpa menemui kesukaran, karena kalau sampai bentrok dengan pihak Kaypang, hal i tu bukanlah suatu kejad ian yang baik, pasti akan membawa ekor yang lain pula di dalam peristiwa ini.
Malam itu juga mereka telah menyebar diri di kota tersebut untuk melakukan penyelidikan. Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang telah berjalan bersama- sama, mereka telah menyamar dengan memakai kumis dan jenggot palsu. Sedangkan Thang Lan Hoa juga telah keluar dar i rumah penginapan i tu untuk m elakukan penyelidikan pula. Hanya kakek buntung bersama kacung ciliknya, yaitu Ming - jie, yang berdiam diri saja di kamar mereka un tuk menantikan ha sil penyelidikan kawan- kawan me- reka itu.
Malam telah semakin larut, dan Thang Lan Hoa bertiga dengan
Giok Ie Lang serta Wu Cie Siang masih belum juga kembali.
Kakek berkaki buntung itu bersama kacungnya menantikan dengan gelisah, karena mereka takut kalau- kalau kawan mereka itu memperoleh halangan dan kesulitan.
Apa lagi setelah menjelang kentongan ke tiga, disaat mana Giok Ie Lang bertiga belum kembali ke kamar penginapan mereka, jelas hal ini membuat hati si Buntung dan kacung ci liknya jadi t idak tenang.
Namun, biar bagaimana si Buntung tidak bisa berkeliaran di kota raja ini, karena keadaan tubuhnya yang t idak normal, kedua kakinya yang buntung i tu bisa menarik perhatian orang banyak dan akan menimbulkan kecurigaan bagi pihak lawan, terutama orang -orangnya Ban Hong Liu, karena mereka pasti akan segera menyelidikinya, dan hal ini akan membawa kerugian bagi pihaknya, sebab untuk selanjutnya niscaya gerak gerik mereka akan diawasi terus. Maka dari i tu keduanya t idak keluar dari kamar di penginapan merek a.
Waktu berjalan terus seperti merangkak, menjelang iajar, tetap saja Giok Ie Lang bertiga masih b elum kembali. Hal ini kian merambah kegelisahan hati si Buntung, dia sebetulnya beberapa kali ingin memerintahkan kacungnya untuk pergi menyelidiki dan menca r i tahu, tetapi selalu dibatal kannya.
Si Buntung tidak mau memerintahkan kacungnya untuk pergi mencari kabar mengenai ketiga kawan mereka i tu karena dia takut kacungnya ini pergi untuk tidak kembali lagi, sama halnya seperti yang dialami oleh Giok Ie Lang bertiga. Kalau memang kacung kecilnya ini bisa cepat- cepat kembali, tetapi kalau begitu dia perg i telah menghilang tanpa kabar beritanya lagi, bukankah i tu akan menambah kejengkelan dan kegelisahan hati si Buntung ini?! Untuk dia pergi menyelidikinya sendiri, jelas hal i tu tidak mungkin, karena memang keadaannya yang cacad i tu.
Maka dari i tu, si Buntung jadi diliputi oleh rasa bimbang yang bukan main. Tetapi, t idak selang lama dikala kegelisa han semakin memuncak pada diri si Buntung, dia telah mendengar suara langkah kaki yang agak berat di atas genting.
Pendengaran si Buntung sangat tajam, maka dari itu, dengan cepat dia telah dapat mendengar suara langkah kaki tersebut, apa lagi langkah kaki tersebut cukup berat, dengan sendirinya menunjukkan balwa orang yang tengah datang dan berjalan di atas genting i tu bukanlah seorang yang berkepandaian t inggi. Cepat-cepat si Buntung memberikan isyarat kepada kacung kecilnya, yang juga telah mendengar suara langkah kaki tersebut.
Cepat-cepat Ming - jie telah melompat ke dekat jendela, sedangkan si Buntung juga telah bersiap -siap untuk melancarkan serangan begitu jendela dibuka orang. Terdengar suara bukkkk! yang agak keras menunjukkan orang di atas genting itu telah melompat turun ke tanah.
Terdengar jendela kamar itu telah diketuk orang dari luar. Si Buntung jadi mengerutkan sepasang alisnya, dia jadi menduga -duga, entah siapa orang di luar kamarnya i tu?!
Setahunya, kepandaian Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang cukup t inggi, tidak muagkin langkah kakinya akan seberat itu. Juga kepandaian Thang Lan Hoa, malah lebih hebat dari kepandaian yang dimiliki oleh Giok Ie Lang atau Wu Cie Siang.
Maka dari itu, entah siapa orang yang ber ada di luar i tu, yang telah mengetuk jendela kamarnya tersebut?! Sedang Si Buntung ragu - ragu , orang yang berada di luar kamarnya i tu telah mengetuk beberapa kali pula jendela kamarnya tersebut.
“ Siapa?” tegur Si Buntung.
“ Aku aku Thang Thang!” dan orang di luar kamar i tu tidak bisa meneruskan perkataannya lagi, hanya terdengar suara bukkkk! suara orang jatuh ke tanah.
Si Buntung jadi terkejut bukan main, ka rena dia mengenalinya bahwa suara i tu adalah suara Thang Lan Hoa. Cepat -cepat Si Buntung telah melompat keluar dari kamarnya.
Ming- jie juga mengikuti dari belakang, melompat melalui jendela. Tampak sesosok tubuh menggeletak di atas tanah, napasnya terengah - engah. Si Buntung mengenalinya bahwa sosok tubuh itu tidak lain dari Thang Lan Hoa.
“ Thang Lojie, kenapa kau?” teriak Si Bun tung yang jadi kaget bukan main. Cepat- cepat dihampirinya, dia memeriksa keadaan Thang Lan Hoa.
Saat itu napas Thang Lan Hoa membu ru keras, mukanya pucat pasi. “Bawa, bawa aku ke dalam kamar!” kata orang she Thang i tu dengan suara yang tergugu.
Mendengar suara Thang Lan Hoa yang t idak lampias ini si Buntung menyadari kawannya ini tengah terluka parah, tetapi anehnya Si Buntung tidak melihat tanda - anda luka pada diri orang she Thang tersebut.
Tetapi biarpun begitu, si Buntung tidak be rani berlaku ayal. Dia telah mengangkat dan mengempit tubuh Thang Lan Hoa.
Tangannya yang lainnya telah dipakai untuk memukul b umi,
sehingga tubuhnya mencelat melalui jendela. Tanpa membuang -buang waktu lagi, diletakkannya tubuh Thang Lan Hoa di pembaringan.
Saat i tu keadaan Tuan, Lan Hoa payah se kali, mukanya pucat, napasnya memburu, dan matanya terpejamkan rapat - rapat.
Dilihat keadaannya ini, menunjukkan bah wa orang she Thang tersebut tengah mende rita bukan main. “Thang Lojie, sebenarnya apakah yang telah menimpali dirimu?” tegur si Buntung dengan gelisah, bingung sekali.
Thang Lan Hoa masih t idak bisa menyahuti dengan segera, dia telah mengatur pernapasannya, matanya masih dipejamkan. Ming - jie telah cepat- cepat menutup daun jendela kamar i tu.
Selang sesaat, barulah Thang Lan Hoa da pat membuka kelopak matanya napasnya juga sudah tidak sekeras tadi memburu begitu hebat.
Si Buntung baru menyadarinya, tadi langkah kaki di atas genting yang begitu berat ternyata memang langkah kaki Thang Lan Hoa. Namun disebabkan Thang Lan Hoa tengah terluka berat, dengan sendiriny a t indakan kakinya jadi berat tidak seringan biasanya.
“ Aku aku telah terluka di dalam, Loheng!” kata Thang Lan Hoa dengan suara yang perlahan dan lemah sekali. “Tolong tolong aku membuka baju atasku!!”
Si Buntung tidak berani berlaku ayal, kare na dia menyadari keadaan kawannya ini tengah sekarat dan tidak boleh terla mbat untuk ditolong. Cepat-cepat si Buntung telah membuka baju atas dari Thang Lan Hoa.
Tetapi begitu baju tersebut telah dibuka, si Buntung jadi terkejut bukan main. Karena tampak dada Thang Lan Hoa yang sebelah kanan telah hangus, bertapak lima jari tang an! Warna hangus i tu ungu kehi - tam-hitaman.
“ Aku aku telah dihantam oleh Ngotok Cie - mo Bun Lan Leng!” kata
Thang Lan Hoa dengan suara yang tetap tidak lampias.
Si Buntung jadi terkejut bukan main, mukanya juga pucat sekali, dia seperti mendengar suara pet ir di telinganya!
NGO TOK CIE MO Bun Lan Leng merupakan iblis yang paling ditakuti oleh orang -orang di dalam r imba persilatan. Iblis i tu memiliki semacam racun pada kelima jari tangan kanannya. Setiap lawannya yang terkena serangan ta ngan kanannya i tu, pasti hangus bagian yang terserang dan jangan harap bisa lolos dari kematian.
Apa lagi racun yang melekat pada iblis Ngo Tok Tiie Mo (Jari Lima Racun) i tu merupakan racun yang luar biasa. Jar ang sekali ada orang yang memiliki obat penawarnya.
Maka dari i tu, jarang sekali ada orang yang mau bentrok dan berurusan dengan iblis Ngo Tok Cie Mo Bun Lan Leng ini. Si Buntung sendiri sudah sering mendengar ketelengasan dan kehebatan iblis i tu. Juga disamping i tu, memang si Buntuig juga sering melihat korban - korban dari ketelengasan ib li s she Bun tersebut.
Itulah sebabnya, biarpun belum pernah ber temu, si Buntung sudah mengetahui siapa sebenarnya ib li s Ngo Tok Cie Mo itu. Sekarang yang menjadi korban ketelengasan iblis i tu justru kawannya sendiri.
Baru saja si Bun tung ingin menanyakan kejadian yang dialami oleh Thang Lan Hoa, nampak orang she Thang tersebut telah jatuh pingsan.
Si Buntung jadi tambah bingung, sebab biar bagaimana Thang Lan Hoa harus segera ditolong, terlambat sedikit saja, niscaya akan membawa kematian bagi diri orang she Thang tersebut.
Tetapi, yang membuat si Buntung jadi ke bingungan bukan main dia tidak mengerti mengenai i lmu pengobatan, apa lagi ilmu racun.
Dengan sendirinya, dia jadi kelabakan. Jalan satu- satunya yang bisa dilakukan, ialah menotok beberapa jalan darah disekitar luka di dada Thang Lan Hoa, agar racun yang mengendap di dada orang she Thang tersebut t idak menjalar ke jantung.
Ming- jie sendiri jadi kelabakan dan kebingungan juga. Dia tidak mengetahui dengan apa bisa membantu majikannya untuk menolong Thang Lan Hoa,
Saat itu napas Thang Lan Hoa sudah satu- satu tampaknya keadaan orang she Thang tersebut semakin parah saja dan menguatirkan. Sedangkan Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang masih belum juga kembali.
Dengan sendirinya menambah kekuatiran pada diri si Buntung. Saking kebingungan melihat keadaan Thang Lan Hoa yang kian parah i tu, mau tak mau akhirnya si Buntung mengambil keputusan yang nekad.
Diperintahkan kacung ciliknya itu untuk mengambil pisau kecil, kemudian dibakarnya, lalu membelek dada Thang Lan Hoa dibagian yang terluka.
Dengan nekad si Buntung telah menyedot darah hitam dari luka i tu dengan mulutnya!
Pekerjaan seperti itu diulanginya beberapa kali, sampai da rah yang disedotnya i tu mulai berwarna agak merah, walaupun masi h kehi- tam-hitaman. Diteruskannya menyedot luka pada dada Thang Lan Hoa
berulang kali. Wajah Thang Lan Hoa berangsur -angsur agak kemerah- merahan.
Tadinya racun sudah menjalar pada tubuhnya, se hingga agak kehijauan dan pucat sekali. Namun setelah dihisap da rah beracunnya i tu, berangsur-angsur wajahnya terpancar sinar hidup pula.
Tetapi kasihan si Buntung! Begitu dia selesai menyedot darah beracun i tu, dia cepat -cepat mencuci mulutnya, tetapi sudah terlambat, racun terlalu ganas. Mulut si Buntung seketika it u juga telah jontor membengkak besar.
Tetapi biarpun begitu, keadaan si Buntung tidak berbahaya, karena racun telah bercampur dengan darah, sehingga tidak begitu keras daya kerja racun itu.
Thans Lan Hoa rebah tidak bergerak, teta pi keadaannya telah t idak seberbahaya seperti seperti tadi, walaupun sekarang masih tidak bisa dibilang bahwa jiwa Thang Lan Hoa telah lo los dari kematian.
Si Buntung telah duduk agak jauh dari orang she Thang itu. Kacungnya menemaninya. Mereka tidak mau mengganggu orang she Thang i tu, yang tampaknya masih berada da lam keadaan pingsan.
Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang masih juga belum kembali. Kegelisahan yang meliputi jiwa si Buntung dan kacungnya jadi semakin hebat. Namun, kedua orang yang benar-benar mereka harapkan kedatangannya belum juga pulang.
Hari sudah pagi, matahari telah memancarkan sinarnya yang cerah. Tetapi Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang be lum tampak bayangannya.
Sampai menjelang siang hari, sore hari, te tap saja Giok Ie Lang dan W u Cie Siang belum juga kembali, sehingga menambah rasa bingung si Buntung
Menjelang malam hari lagi, terpaksa Buntung telah memerintahkan kacungnya un tuk pergi menyelidiki keadaan Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang, menyerap -nyerapi keadaan kedua kawan mereka itu.
Kacung ciliknya itu telah mematuhi perin tah majikannya, dia telah pergi untuk menyerap-nyerapi di rumah rumah makan. Sedangkan Thang Lan Hoa masih juga dalam keadaan pingsan.
Malah telah beberapa kali dia mengigau, tubuhn ya juga panas bukan main, panas bagaikan terbakar api. Rasa bingung si Buntung semakin hebat sa ja, dia t idak mengetahui harus bagaimana.
Racun yang dipergunakan s i iblis untuk melukai Thang Lan Hoa
bukanlah sembarang racun saja, karena racun- racun i tu merupakan ra- cun pilihan. Maka dari i tu, biarpun memanggil tabib, hal itu hanya sia- sia belaka.
Lama juga kacung ci lik si Buntung telah pergi, belum kembali juga. Si Buntung jadi tambah bingung saja. Menjelang tengah malam, kembali si Buntung mendengar suara langkah kaki di atas genting.
Tentu saja si Rantung jad i girang, dia menduga salah seorang kawannya telah kembali. “ Giok Kongcu atau kau Wu Kong cu?” tegurnya dengan girang.
Tetapi tidak terdengar sahutan. Hanya terdengar suara 'brakkk!’ yang keras bu kan main.
Belum lagi si Buntung tahu apa-apa, maka telah meluncur masuk menabrak jendela, sehingga jendela itu bobol. Semacam benda yang cukup besar telah me nerobos masuk jatuh kelantai.
Si Buntung terkejut bukan main, dia memperhatikrnnya, ternyata benda i tu t idak lain dari sesosok tubuh seorang manu sia.
Dan rasa kagetnya jadi semakin hebat la gi, karena sosok tubuh i tu tidak lain dari mayat kacungnya, yang mati dengan mata men delik! Tentu saja, tanpa membuang-buang waktu lagi, kedua tangan si Buntung telah menekan lantai, tubuhnya mence lat cepat sekali, mene- robos keluar dan jendela yang lebih rusak itu. Tetapi keadaan di luar sunyi sekali, tidak terlihat seorang manusiapun juga.
Orang yang telah melemparkan mayat kacungnya i tu telah pergi dengan cepat, entah kemana. Tidak terlihat siapapun yang berada di tempat itu hanya angin malam belaka yang berhembus kencang.
Si Buntung tidak berani untuk pergi mencari orang yang telah melemparkan mayat kacung i tu, karena dia menyadari umpama kata dia pergi meninggalkan kamarnya, niscaya bisa membawa bahaya bagi keselamatan Thang Lan Hoa.
Tidak mustahil bahwa ini hanyalah t ipu musuh gelapnya i tu, yang ingin memancing harimau meninggalkan kandangnya.
Kalau sampai si Buntung menuruti bisikan hati dan kemarahannya, niscaya dia akan melakukan pengejaran terhadap orang yang te lah melemparkan mayat kacungnya itu, niscaya orang yang telah menja di pembunuhnya, untuk melakukan perhitungan.
Tetapi si Buntung juga telah berpikir dua kali, kalau dia meninggalkannya tempat ini, kamarnya, niscaya Thang Lan Hoa bisa dicelakai orang, karena Thang Lan Hoa sedang dalam keadaan tidak berdaya, sedang dalam keadaan pingsan, sehingga kalau ada yang mau
membunuhnya, niscaya Thang Lan Hoa t idak tahu apa- apa.
Itulah sebabnya mengapa si Bun tung akhirnya tidak melakukan pengejaran. Dengan lesu dia telah masuk ke dalam kamarnya lagi. Diperiksanya keadaan Ming jie, ternyata boca h i tu benar-benar telah menjadi mayat.
Tanpa terasa menitik butir- butir air mata si Buntung ini. Setidak- t idaknya si B untung sangat menyayangi kacung ci liknya ini, yang dianggapnya juga sebagai muridnya.
Maka hari i tu, kematian Ming - jie ini, telah membuat berduka hati si kakek tua berkaki buntung tersebut.
Setelah merapihkan letak mayat dari kacung ci liknya ini dengan air mata masih mengembang dipelupuk matanya si kakek tua tersebut telah memeriksa keadaan mayat muridnya ini, mencari-cari sebab kematian muridnya tersebut .
Tetapi, si Buntung t idak bisa menemui be kas-bekas luka pada mayat kacungnya ini. Tubuh dari mayat Ming- jie tetap utuh, tidak terlihat ada tanda goresan a; au juga ti kaman dari senjata tajam.
Juga waktu diperiksa seluruh tubuhnya, ti dak ada tanda-tanda kacungnya ini telah dibinasakan dengan cara ditotok atau dihantam oleh pukulan yang keras. Hal ini membingungkan bukan main hati si kakek tua berkaki buntung tersebut. Dia jadi heran sekali dan tetap penasaran mencari-cari sebab musabab dari kematian kacung ciliknya tersebut.
Saking penasaran dia telah memeriksa kea daan kacungnya i tu beberapa kali. Tetapi tetap saja dia tidak bisa menemukan sebab- sebab dari kematian kacungny i tu.
Benar-benar keadaan demikian membuat si Buntung jadi penasaran dan bingung bukan main. Dia tetap t idak bisa memperoleh tanda-tanda kematian dari kacungnya i tu.
Tetapi yang membuat dia penasaran se kali, kacungnya ini mati dengan mata yang mendelik dan warna kulit diseluruh tubuhnya agak kehitam-hitaman. Tanda- seperti itu menun jukkan bahwa kacungnya ini seperti mati keracunan.
Juga dugaan bahwa kacungnya ini sudah memakan atau meminum sesuatu yang mengandung racun, i tupun t idak mungkin.
Si Buntung mengenal benar jiwa kacung ciliknya ini , kalau memang suatu perintah be lum dilaksanakunnya, kacungnya ini selalu lupa makan dan minum. Apalagi dia sedang men yerapi keadaan di luaran mengenai Giok Ie Lang berdua lagi, tentu dia tidak akan meminum sesuatu atau memakan barang makanan lainnya, ini memang sudah
menjadi sifat kacungnya i tu.
Tetapi mengapa kacungnya ini bisa terbina sa dengan keadaan seperti i tu, yaitu seperti juga kacungnya ini keracunan?
Sedang si Buntung memeriksa terus menerus mayat kacungnya i tu dengan penuh keheranan dihatinya, tiba - tiba dia mendengar suara Thang Lan Hoa yang mengerang perlahan.
Si Buntung jadi terkejut, cepat-cepat dia meninggalkan mayat kacungnya dan menghampiri Thang Lan Hoa yang tengah rebah t idak berdaya di atas pembaringan. Tampak sepasang mata dari Thang Lan Hoa telah terbuka lebar. Dia sedang mengawasi langit- langit ruangan kamar i tu dengan sorot mata yang redup.
“ Thang Lojie, apakah kau merasa baikan?” tegur si Buntung.
Thang Lan Hoa telah menggelengkan kepalanya berulang kali. “ Aku aku rasa bahwa aku sudah t idak kuat untuk bertahan lagi!” kata Thang Lan Hoa dengan suara gemetar dan perlahan sekali, lemah dan seperti t idak mempunyai semangat lagi.
Si Buntung jadi terkejut bukan main, cepat -cepat dia meraba kening Thang Lan Hoa. Dirasakan kening orang she Thang ini sa ngat panas bukan main. Tentu saja hati si Buntung jadi tergoncang keras bukan main.
“ Tubuhmu tubuhmu sangat panas, Thang Lojie?” teriak si Buntung penuh bingung dan gugup bukan main. “ Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?!”
Thang Lan Hoa yang sedang dalam keadaan lemah hanya memandang kearah si Buntung dengan sorot mata yang ku yup dan tidak bersinar.
Kejadian demikian sebenarnya sangatlah gawat, sebab kalau sampai Thang Lan Hoa menemui ajalnya, selain dia belum menceritakan segala-galanya peristiwa yang dialaminya, juga merupakan sua tu kerugian yang sangat besar di dalam rimba persilatan, karena Thang Lan Hoa merupakan seorang tokoh r imba persilatan yang terkenal memiliki kepandaian yang t inggi, dengan sendirinya dengan meninggalnya dia, berarti akan kehi langan seorang tokoh r imba persilatan yang memiliki kepandaian sangat tinggi.
“ Mana muridku?” tanya Thang Lan Hoa dengan suara yang lemah
“ Wu- jie?” tanya si Buntung. “ Benar! Wu- jie!”
“ Dia belum kembali! ”
lagi. “ Aku aku ingin bicara dengan muridku i tu !” kata Thang Lan Hoa
“ Tetapi sampai detik ini d ia masih belum kembali bersama Giok Kongcu!”
“ Hai!” Thang Lan Hoa menarik napas dalam-dalam, tubuhnya tampak gemetaran keras. Tampaknya dia sangat ke cewa sekali.
“ Mana Ming- jie, kacungmu?” tanya Thang Lan Hoa kemudian Si Buntung tidak segera menyahuti.
“ Mana Ming- jie?!” Thang Lan Hoa mengu langi pertanyaannya.
“ Dia dia telah dibunuh seseorang!” sahut si Buntung dengan suara
yang berat.
“ Hah!” terpekik juga suara seperti i tu dari mulut Thang Lan Hoa, rupanya perasaannya tergempur sekali, sebab dia jatuh pingsan lantas t idak sadarkan diri lagi.
Si Buntung jadi terkejut bukan main, karena biar bagaimana dia merasa menyesal setelah terlanjur menjelaskan kematia n kacungnya.
Cepat-cepat si Buntung telah menguruti beberapa jalan darah Thang Lan Hoa. Selang sesaat, barulah Thang Lan Hoa tersadar kembali.
Tetapi sorot matanya semakin kuyup saja, tidak bersinar.
“ Hai! Hai!” orang she Thang tersebut menghela napas berulang kali. “ Mengapa kejadian bisa berbalik demikian rupa?!”
“ Tenanglah Thang Lojie, semuanya pasti akan dapat kita selesaikan!!” hibur si Buntung, karena dia me ngetahui bahwa Thang Lan Hoa tengah diliputi kekecewaan sangat.
“ Dapat diselesaikan?!” tanya Thang Lan Hoa seperti ke pada dirinya sendiri.
“ Ya, pasti akan dapat kita selesaikan!” sahut si Buntung. “Pasti kita dapat menyelesaikannya!”
“ Tetapi sekarang telah muncul orang- orang dari kalangan hitam, yang membantu pihak musuh !” kata Thang Lan Hoa dengan su ara yang perlahan. “ Mereka merupakan iblis-iblis nomor wahid!!”
“ Hmmm tetapi kau t idak boleh putus asa , kebenaran selalu akan menang!”
“ Tetapi kalau kita saat- saat sekarang ini mau menentang mereka, jumlah kita t idak memadai, niscaya kita akan hancur semuanya!” kata Thang Lan Hoa dengan lesu. “Terutama sekarang kita lihat, Ming- jie saja yang tidak berdosa, telah meninggal.”
“Ya memang kasihan anak i tu!!” kata si Buntung.
“ Maka dari itu dengan jumlah kita yang sekarang ini, dan keadaan diriku yang sedang keracunan seperti ini, jangan harap kita bisa menentang pihak mereka i tu!? ”
“ Hmmm tetapi percayalah Thang Lojie, b iar bagaimana keadilan dan kebenaran selalu akan muncul sebagai pemen ang!” hibur si Buntung. “ Yang terpenting danmerupakan soal pokok adalah bagaimana kita mengatur siasat, tergantung pengaturan dari kita sendiri agar t idak bisa dihancurkan oleh pihak lawan!!”
Mendengar perkataan si Buntung yang terakhir ini, Thang Lan Hoa menghela napas, mukanya agak kehijau -hijauan, rupanya dia tengah diliputi oleh berbagai tanda tanya dan pemikiran yang keras karena dia tengah merasakan juga perasaan sakit pada luk anya i tu, tetapi biarpun begitu, harapannya sudah kandas, dia tampaknya sudah berputus asa. Dengan sendirinya, dia jadi berdiam diri dengan napas agak memburu.
Si Buntung telah mengawasi kawannya tersebut dengan penuh kebimbangan. “Thang Lojie!” panggilnya.
Tetapi Thang Lan Hoa berdiam diri saja
“Thang Lojie, kau sedang t erluka, kau harus menenangkan pikiranmu, tidak perlu terlalu dirisaukan oleh segala macam keja dian ini.”
“ Tetapi, pihak kita akan hancur dengan penasaran !” lemah dan perlahan sekali suara dari Thang Lan Hoa.
Melihat orang she Thang i tu yang berputus asa, si Bun tung menghela napas. “Kau harus melapangkan hatimu, besarkanlah perasaanmu, pasti kita akan memperoleh kemenangan!!” kata si Buntung menghiburnya.
“ Tetapi menyesal sekali, kita biar bagaimana tidak bisa menghadapi pihak mereka yang berjumlah. banyak!” kata Thang Lan Hoa.
“ Yakinlah, biar bagaimana kita harus me nebus penasaran ini!!” “ Tetapi kita berjumlah kecil sekali, tidak berarti apa -apa!”
“ Aku telah menaruh dendam pada pihak lawan, te ntu semua ini atas perbuatan orang- orangnya Ban Thaykam, dengan sendirinya, kematian kacungku ini juga harus dibalas dan penasaran Peng Po Siang Sie See Un juga harus ditebus, dengan sendirinya, walaupun harus mengorbankan jiwa , tetap saja aku akan mempertaruhkan jiwa tuaku ini, asal dapat mencuci bersih rasa penasaran ini!”
“Hmmm, kalau saja kita bisa menghimpun orang gagah di dalam r imba persilatan tentu Ban Thaykam t idak dapat berbuat banyak!” keluh Thang Lan Hoa, dan berkata sampai di sini, napasnya telah memburu keras sekali, tubulnya tampak gemetaran keras, dia telah memejamkan matanya rapat-rapat, rupanya dia tengah berusaha mengendalikan emosinya, golakan di dalam hatinya.
Si Buntung menghela napas melihat keadaan kawannya i tu. Biar bagaimana si Buntung menyadari bahwa keadaan kawannya pada saat i tu gawat sekali.
Maka dari i tu. diam-diam dia mengharapkan se kali kembalinya Wu Cie Siang dan Giok Ie Lang, sebab kalau sampai terjadi sesuatu yang t idak diinginkan didiri Thang Lan Hoa, niscaya akan membuat Wu Cie Siang jadi menyesal seumur hidupnya.
Disaat i tulah, Thang Lan Hoa telah menghela napas lagi dan berkata perlahan : “Lukaku semakin parah saja, belum tentu aku dapat bertahan lebih lama lagi!”
“ Tenangkan hatimu. Thang Lojie!” kata si Buntung menghiburnya.
“ Itu hanya perasaanmu saja!”
Mendengar hiburan si Bu ntung, Thang Lan Hoa tersenyum getir
'“ Aku bisa merasakan nya, akupun seorang yang memiliki kepandaian t idak rendah, dengan sendirinya aku mengetahui normal atau tidak peredaran jalan darahku ini!!” katanya.
“ Tetapi percayalah Thang Lojie, ini hanya perasaanmu saja !”
Thang Lan Hoa tetap menggelengkan kepalanya dengan sikap yang lesu. 'T idak!” katanya perlahan. “ Aku menge tahui benar racun yang dipergunakan iblis Ngo Tok Cie Mo Bun Lan Leng merupakan racun - racun pilihan, dengan sendirinya sulit untuk memperoleh obat penawarnya!”
“ Tetapi ada racun, niscaya ada penawarnya?” kata si Buntung. “Biarlah nanti setelah muridmu kembali, aku akan mencari iblis itu, untuk mendesaknya agar dia mau rnemberikan obat penawarnya!”
Tetapi Thang Lan Hoa menggelengkan kepalanya dengan sikap yang lesu.
“ Percuma, bukannya aku t idak mempercayai kemampaunmu, Loheng, tetapi jumlah mereka sangat banyak sekali, sed angkan kepandaian si iblis juga terlampau t inggi, dengan sendirinya hal i tu tak bisa diharapkan!”
Si Buntung jadi terpukul hatinya, dia meng anggap benar juga perkataan Thang Lan Hoa, maka dari itu dia jadi berdiam diri.
Sedangkan Thang Lan Hoa juga telah berdiam diri dengan napas yang memburu keras dan sepasang mata yang terpejamkan rapat-rapat! Tampaknya di hati Thang Lan Hoa tengah terjadi suatu pergolakan.
Keadaan di kamar itu jadi hening bukan main, mayat Ming- jie juga masih menggeletak t idak bergerak, suasana di kamar tersebut seperti juga telah menjadi sebuah ruangan yang cukup mengerikan.
SEBETULNYA kemanakah perginya Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang?! Ternyata kedua orang ini telah pergi pada malam i tu da ri rumah penginapan mereka untuk menyelidiki dan menyerapi keadaan di dalam kota raja ini.
Tetapi waktu mereka menyelidiki di sekitar jalan - jalan yang terdapat tidak berjauhan dari rumah penginapan dimana mereka t inggal, tampak kejadian yang membuat hati mer eka jadi tertarik.
Peristiwa i tu seperti berikut, yaitu dikala Wu Cie Siang dan Giok Ie Lang tengah berjalan sambil memandangi sekitar tempat yang mereka lalui, maka mereka melihat seorang laki- laki dengan memakai topi tudung lebar tengah berjalan terseok- seok.
Tampaknya orang ini seperti pengemis, sebab pakaiannya yang compang-camping. Sebetulnya keadaan orang ini tidak menarik perhatian Giok Ie Lang atau Wu Cie Siang, kalau saja Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang t idak melihat bahwa pada sinar mata orang i tu yang memancarkan sorotnya yang tajam, menunjukkan bahwa orang yang bertopi tudung lebar itu, bukanlah seorang biasa, me lainkan seorang yang memiliki kepandaian yang tinggi. Maka dari i tu, timbullah kecurigaan dihati Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang.
Dengan mempergunakan matanya Wu Cie Siang memberi isyarat kepada Giok Ie Lang. Dan Giok Ie Lang mengerti isyarat yang diberikan oleh Wu Cie Siang, yang menginginkan mereka meng ikuti orang bertopi tudung lebar itu.
Dengan mengambil jarak agak jauh, mereka terus juga mengikuti orang yang memakai topi tudung lebar tersebut.
Memang kalau dilihat sepintas lalu , gerakan tubuh orang bertopi tudung lebar i tu lamban dan ter seok- seok. Tetapi setelah Giok Ie Lang dan Wu Cie S iang mengikuti sejenak dan memperhatikan cara berjalan orang bertopi tudung lebar itu, keduanya jadi terkejut bukan main, hati mereka jadi tercekat. Mengapa?
Sebab tampak ja lan yang baru dilalui oleh orang i tu, yang
tampaknya terinjak b iasa saja, tetapi nyatanya jalan yang bekas dilangkahi oleh orang bertopi tudun g itu, telah melesak d alam sekali.
Hal ini tidak menarik bagi orang- orang yang t idak mengerti ilmu si lat. Namun berbeda ba gi Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang, kare na mereka jadi terke jut bukan main, dengan melesak jalan-jalan yang bekas dilangkahi kaki dari orang bertopi tudung i tu, menunjukkan bahwa orang yang bertopi tudung tersebut memiliki kepandaian dan iwekang yang tinggi sekali, sehingga langkah kakinya begi tu mantap dan berat bukan main.
Dengan sendirinya Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang lebih hati -hati mengikuti orang bertopi tudung lebar tersebut, tidak berani terlalu dekat.
Sebagai orang yang memiliki kepandaian yang t inggi dan juga kejelian mata yang heba t.
Kalau memang Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang mengikuti jejak orang itu terlalu dekat, niscaya bisa menimbulkan kecurigaan belaka.
Dengan sendirinya, Giok Ie Lang dan Wu Cie yang masih bisa mengikuti terus dari jarak yang terpisah agak jauh. Tetapi ketika sampai di sebuah tikungan, Giok Ie Lang dan W u Cie Sang tidak menemui jejak orang bertopi tudung itu lagi.
Mereka memandang sekeliling tempat tersebut, tetap saja orang bertopi tudung itu tidak tampak. Jalanan itu merupakan jalan yang lurus dan panjang, dengan sendirinya tidak mungkin orang bertopi tudung lebar itu dapat lenyap begitu cepat menghilangkan jejaknya.
Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang penasaran sekali, mereka telah memeriksa ke sekitar tempat itu lagi, sampai ke atas genting rumah penduduk. Namun tetap saja tidak bisa mereka menemui jejak dari orang bertudung lebar itu.
Dengan sendirinya, hal ini membuat Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang jadi terheran-heran berbareng penasaran.
Walaupun orang bertopi tudung itu memiliki sepasang sayap, tidak nanti orang bertopi tudung itu dapat terbang menghilang tanpa dilihat oleh Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang.
Sedang Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang mencari-cari dengan penasaran sekali, telah terdengar orang tertawa dingin disusul oleh kata-kata bersuara tawar : “Apa yang sedang kau cari, bocah?!”
Betapa terkejutnya Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang, mereka telah cepat - cepat menoleh ke arah sudut sebuah rumah, ternyata orang bertopi tudung itu berada di atas wuwungan rumah itu, melekat menjadi satu datar, menyerupai seeko cicak!
Itulah suatu kejadian yang bukan main, yang dapat menempel begitu rupa pada wuwungan rumah tanpa memegang sesuatu bendapun juga tanpa bergelantung.
Dengan sendirinya, hal tersebut telah membuat Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang jadi kagum sendirinya.
Sedangkan orang bertopi tudung itu telah melompat turun. “Hmmm sekarang aku mau menanyai kepada kalian, siapa kalian berdua?!” tegur
orang bertopi lebar itu.
“Hmmm kami tidak bermaksud mengikuti kau!” kata Giok Ie Lang yang telahmendahului Wu Cie Siang.
“Tidak usah kalian berdusta, aku mengetahui sejak tadi kalian telah menguntit diriku, maka dari itu bagaimanapun seka rang aku ingin mengetahui apa maksudmu mengikuti diriku terus menerus, heh?”
Waktu bertanya begitu, wajah orang bertudung lebar tersebut telah berobah merah, tampaknya dia gusar sekali. Juga mukanya yang berbentuk segi empat itu, dengan hidungnya yang dongak, tidak sedap dilihat. Matanya memancarkan sinar yang tajam bukan main.
Giok Ie Lang mengerutkan sepasang alisnya waktu mendengar perkataan orang bertopi tudung ini.
“Antara kami dengan kau tidak mempunyai hubungan apapun juga.” kata Giok Ie Lang yang jadi sengit bukan main. “Maka dari itu, untuk apa kami menguntit dirimu?!”
“Hmmm!” mendengus orang bertopi tudung tersebut dengan sikapnyayang angkuh.
“Memang kau mau membantah apapun juga kau dapat mengatakannya, tetapi tahukah engkau, bahwa aku Kay Sie Touw (Pengemis Berkepala Empat) paling tidak gembira kalau sampai ada yang mengikuti dari belakang! Biarpun kau mau membantah bahwa kalian tidak menguntit, namun aku mempunyai cara tersendiri untuk memaksa kalian membuka mulut mengakui apa yang telah kalian perbuat!”
Dan setelah berkata begitu, dengm cepat orang bertopi tudung lebar ini tertawa bergelak-gelak. Tetapi diapun bukan hanya tertawa. Berbarengan dengan suara tertawanya dia juga telah menggerakkan tangan kirinya.
Maka meluncur dengan kecepatan bukan main empat titik terang, yang telah menyambar kearah Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang, masing -masing dua titik terang itu.
Hal ini mengejutkan Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang, sebab mereka mengetahui bahwa orang bertopi tudung itu telah menyerang mereka dengan senjata rahasia.
Cepat-cepat Giok Ie Lang dan Wu C;e Siang telah melompat kesamping, mengelakkan diri dari samberan keempat titik terang itu.
Namun rupanya tenaga iwekang dari orang bertopi tudung tersebut benar-benar kuat dan sempurna sekali, terbukti dari terkendalinya keempat senjata rahasianya.
Walaupun Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang berhasil melompat kesa mping mengelakkan diri dari samberan keempat senjata rahasia itu dan keempat senjata rahasia tersebut telah lewat, namun kenyataannya mendadak sekali keempat senjata rahasia yang ditimpukkan orang bertopi tudung itu telah membelok dan membagi diri dua-dua, yaitu yang dua menyambar balik kearah Giok Ie Lang dan yang duanya lagi telah menyambar kearah Wu Cie Siang.
Kejadian seperti ini benar-benar tidak pernah diduga oleh Giok Ie Lang maupun Wu Cie Siang, sebab biasanya kalau orang mengelakkan diri dari senjata rahasia, niscaya senjata rahasia itu akan jatuh di atas lantai dan tidak dapat berbalik seperti itu.
Namun kenyataannya sekarang ini, keempat senjata rahasia itu malah seperti memiliki mata dan dapat menyambar balik kearah Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang. Dengan sendirinya mengejutkan sekali.
Bukankah hal ini meuunjukkan iwekang orang itu telah sempurna?!
Tetapi disamping itu Giok Ie Lang dan Wu C-e Siang tidak berani berlaku ayal. Cepat-cepat mereka telah mempergunakan tangan mereka yang disampokkan kearah menyambarnya dua pasang senjata rahasia tersebut.
Mereka bukan menyampok langsung, hanya mempergunakan tenaga sampokan tangan mereka itu yang kuat bukan main, ingin menyampok jatuh keempat senjata rahasia itu. Tetapi kenyataannya tidak dapat mereka turuti bisikan hati mereka.
Karena keempat senjata rahasia itu terus juga menyambar, dengan kecepatan bukan main dan hanya mencong sedikit saja.
Hal ini membuat semangat Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang seperti terbang meninggalkan raga mereka, sampai keduanya mengeluarkan seruan tertahan.
Cepat luar biasa, mereka telah menggerakkan tangan mereka, yang menekan dinding rumah di dekat mereka, tubuh mereka telah melejit kesamping dengan meminjam tenaga tekanan itu.
Namun biarpun mereka berhasil meloloskan diri lagi dari samberam keempat senjata rahasia itu, yang ternyata berbentuk seperti bunga Lian-hoa, namun kenyataannya membuat Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang jadi mengucurkan keringat dingin. Biar bagaimana hal ini membuat mereka lebih berhati-hati.
Hampir saja mereka jadi celaka disebabkan keteledoran dari diri mereka sendiri. Maka dari itu, keduanya juga menyadari bahwa orang bertopi tudung lebar itu bukanlah merupakan orang yang sembarangan bisa dibuat main.
Orang bertopi tudung lebar itu telah tertawa bergelak -gelak.
Dengan sikap yang tenang dia telah menghampiri kearah keempat senjata rahasianya yang semuanya telah menancap di dinding batu itu. Dicabutnya perlahan-lahan keempat senjata rahasia itu.
Sambil memasukkan keempat senjata rahasia tersebut, dia telah berkata : “Bagaimana? Kulihat kalian memiliki kepandaian yang tidak rendah, maka dari itu katakanlah siapa guru kalian?” tegur si orang bertopi tudung lebar itu dengan suara yang tawar.
Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang mengawasi orang bertopi tudung itu, Kay Sie Touw, dengan sorot mata yang tajam, kemudian katanya : “Baiklah, kami juga tertarik untuk main-main sebentar!” kata Giok Ie Lang, yang jadi penasaran sekali, juga dia melihat keadaan di jalan itu sunyi sekali, dengan sendirinya leluasa dia untuk menguji sampai dimana kehebatan kepandaian pengemis tersebut.
Kay Sie Touw telah tertawa bergelak-gelak dengan suara tidak sedap. “Apakah kau tidak akan menyesal?” tegurnya dingin sekali.
“Tidak! Kami ingin mencoba-coba dan meminta petunjuk!” “Baiklah!” kata Kay Sie Touw. “Kalian mencari penyakit sendiri!”
Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang tidak mau membuang-buang waktu lagi. Mereka cepat-cepat berpencar membagi diri di kanan dan kiri. Keduanya juga telah bersiap-siap untuk melancarkan serangan.
Melihat sikap Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang, Kay Sie Touw tertawa dingin, sikapnya memandang enteng kepada Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang.
Dengan tenang Kay Sie Touw tetap berdiri di tempatnya, dia telah memandang dengan sorot mata yang tajam bukan main.
Sambil mengeluarkan suara bentakan, Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang berdua telah melompat berbareng melancarkan serangan. Pukulan yang mereka lancarkan tersebut merupakan pukulan yang hati-hati dan penuh perhitungan, sebab mereka menyadari lawan mereka ini memiliki kepandaian yang tinggi sekali.
Tetapi pengemis Kay Sie Touw itu tetap berdiri tegak di tempatnya, berdiam diri dengan penuh ketenangan.
Waktu kedua serangan Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang hampir mengenai dirinya, dengan cepat dia telah mengeluarkan seruan yang nyaring memekakkan anak telinga, dia telah mementangkan kedua tangannya.
Dan kejadian yang hebat bukan main telah terjadi. Karena dari kedua telapak tangan pengemis Kay Sie Touw itu telah meluncur keluar tenaga serangan yang
bukan main tingginya.
Luar biasa sekali tenaga gempur dari tangan Kay Sie Touw, sehingga Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang merasakan diri mereka seperti juga tergempur oleh kekuatan tenaga yang mendorong keras sekali. Dengan sendirinya, mereka jadi terhuyung- huyung ke belakang.
Biarpun Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang telah berusaha untuk membendung dan memberatkan tubuh mereka dengan mengerahkan tenaga dalam mereka kepada kedua kaki mereka, tetap saja telah terjungkal rubuh.
Pengemis itu tertawa bergelak-gelak. “Hmmm, sudah kukatakan, kalian hanya mencari penyakit!” katanya mengejek.
Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang jadi penasaran bukan main. Dengan gerakan yang cepat, mereka telah melompat bangun.
Tanpa membuang-buang waktu, dan penasaran sekali, keduanya telah melompat dan menerjang lagi untuk melancarkan serangan kearah pengemis Kay Sie Touw, pengemis bertopi tudung ini.
“Benar-benar kalian terlalu bandel!” teriak si pengemis sambil tertawa.
Tampaknya dia tidak memandang sebelah mata dengan sikap yang tenang dia menyambuti serangan Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang dengan kepretan tangan kiri dan kanannya secara berbareng.
Maka dari itu, tanpa ampun lagi Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang merasakan tubuh mereka kembali tergempur oleh desakan tenaga dalam yang bukan main. Malah tubuh mereka telah terjungkal, rubuh kejengkang.
Belum lagi Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang tahu apa-apa tampak pengemis Kay Sie Touw ini telah melompat dan mengulurkan kedua tangannya sekaligus untuk melancarkan totokan. Hebat sekali cara menotok dari pengemis Kay Sie Touw tersebut.
Tampak Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang yang baru saja terguling, tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengelakkan diri. Tubuhnya jadi mengejang, karena tubuh mereka masing-masing telah tertotok jalan darahnya. Pengemis itu tertawa bergelak-gelak.
Tanpa membuang-buang waktu, dia telah mengempit Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang di kanan dan kiri tangannya dia telah berlari dengan cepat meninggalkan tempat itu, gerakannya ringan sekali, biarpun dia menggotong kedua orang lainnya.
Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang jadi mengeluh, mereka mau tidak mau jadi kaget, karena kepandaian si pengemis Kay Sie Touw ini benar-benar terlalu hebat, hanya dua kali gebrakan, mereka telah dirubuhkan, malah telah kena ditotok dan ditawan!
KAY SIE TOW, telah berlari-lari cepat sekali melalui beberapa lorong jalanan itu dengan kecepatan luar biasa sambil mengempit Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang. Gerakannya begitu cepat dan gesit, sehingga terkadang dia hanya sekali lompat saja, sudah dapat melalui empat tombak lebih.
Juga, kalau sampai terbentur pada jalanan yang masih ramai oleh orang-orang yang berlalu lalang, maka Kay Sie Touw telah mengambil jalan di atas genting rumah penduduk, gerakannya begitu ringan, sehingga tidak menarik perhatian orang-orang, sebab tubuhnya itu bagaikan berkelebatnya bayangan belaka.
Hal ini menunjukkan, betapa hebatnya dan tingginya ginkang dari pengemis tersebut. Sebab mengempit kedua orang tawanannya, yaitu Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, memakan banyak tenaga. Tetapi bagi si pengemis Kay Sie Touw ini, hal ini seperti tidak membawa pengaruh apa-apa, malahan gerakannya tetap saja gesit, melebihi kegesitan seekor burung walet.
Hanya dalam sekejap mata, pengemis ini telah tiba di muka sebuah gedung.
Rumah gedung ini merupakan bangunan yang mewah.
Walaupun berada dalam keadaan tertotok, dalam alam pikir dari Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang masih berada dalam alam sadar.
Dengan sendirinya, waktu mereka melihat diri mereka ini dibawa ke gedung yang mewah itu, bukan main herannya mereka. Mau apa pengemis Kay Sie Touw tersebut membawa mereka ke gedung mewah ini?
Tetapi teka-teki yang meliputi hati Giok Ie Lang dan Waa Cie Siang tidak berlangsung lama. Pengemis itu telah mempergunakan kakinya untuk menendang pintu beberapa kali.
Terdengar orang yang repot berlari -lari dan membukakan pintu. Beberapa orang yang berpakaian seperti pelayan dari rumah tangga ini telah muncul.
Melihat si pengemis, jongos-jongos itu telah memberi hormat dengan sikap yang takut dan menghormat sekai kepada si pengemis.
Tentu saja hal ini membuat Giok Ie Lang dan Wu Cie Ci e Siang jadi tambah her an dan rnenduga-duga, entah siapa pengemis tersebut
Dengan sikap yang angkuh tanpa memperdulikan pelayan-pelayan itu, dia telah melangkah masuk, dan telah melangkah dengan tindakan kaki yang lebar.
Dengan cepat dia telak sampai di ruangan tengah, dilemparkannya Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang ke atas lantai. Tubuh Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang terbanting keras di atas lantai lantai dalam keadaan tertotok dan tidak bisa bergerak.
Tentu saja mereka menderita kesakitan yang bukan main karena waktu terbanting begitu, kepala mereka yang telah membentur lantai. Betapa
mendongkolnya hati Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang. Tetapi keduanya mendongkol dan penasaran tanpa berdaya sama sekali.
Diam-diam Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang berusaha mengerahkan tenaga dalam mereka, guna membuka totokan pada tubuh mereka. Tetapi totokan yang dilakukan oleh si pengemis Kay Sie Touw ini terlalu hebat, sulit untuk dibuka hanya mempergunakan tenaga dalam mereka.
Berulang kali Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang telah berusaha untuk dapat membuka totokan itu, tetapi apa daya mereka, bukannya totokan itu terbuka, malah telah membuat jalan darah mereka seperti bergolak hebat, mata mereka jadi berkunang-kunang.
Kay Sie Touw telah menjatuhkan dirinya dikursi duduk terlentang dengan sikap yang angkuh. “Paling tidak kalian akan mampus!” katanya dengan suara rnengejek. “Dan juga, kalian akan mengetahui siapa sebenarnya diriku?”
Dan setelah berkata begitu, Kay Sie Touw tertawa tergelak -gelak. Bukan main mendongkolnya Giok Ie lang dan Wu Cie Siang. Namun mereka benar- benar dibuat tidak berdaya dalam keadaan tertotok itu. Coba kalau mereka dalam keadaan bebas, niscaya mereka telah menerjang pengemis itu untuk mengadu jiwa.
Sedangkan Kay Sie Touw telah menoleh kearah pintu menepuk tangannya. Segera masuk seorang lelaki setengah umur dengan sikap menghormat.
“Ada perintah apa, Tayjin?” tanyanya dengan suara takut-takut.
“Panggil Sie-gie dan Ngo gie!” seru si pengemis tersebut dengan suara
yang angkuh dan mengandung nada memerintah.
“ Baik Tayjin, perintah segera dijalankan!” kata orang setengah
umur i tu, segera dia telah membalikkan tubuhnya dan berlalu.
Sedangkan hati Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang semakin heran saja, sebab kejadian ini benar-benar penuh diliputi tanda tanya.
Bayangkan saja, betapa pengemis yang kumal dan pakaiannya begitu dekil, telah dipanggil dengan sebutan Tayjin (sebutan menghormat untuk seorang pembesar negeri), maka siapakah sebenarnya pengemis ini?!
Sedang dihati Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang diliputi tanda tanya begitu, tampak bergegas telah memasuki ruangan tersebut dua orang lelaki bertubuh tinggi besar. Muka mereka garang sekali.
“Ada perintah apakah Tayjin?' tanya kedua orang itu sambil menekuk lutut mereka dihadapan si pengemis. “Sie-gie dan Ngo gie telah menghadap!”
“Patahkan kaki kedua orang itu!” perintah si pengemis.
“Baik tayjin!”
Tampak Sie-gie dan Ngo-gie telah bangkit berdiri dan menghampiri Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang. Tentu saja hati Giok Ie Lang dan Wiu Cie Siang jadi mencelos.
Mereka kaget bukan main mendengar sepa sa ng ka k i me re k a i ng in d ip a ta hk an . S ie - g i e da n Ng o - g i e t anp a b er ka t a ap ap un ju ga telah memegang kaki Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang. Tanpa ampun lagi mereka telah menekuk kaki Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang.
“Takkkk!” tulang kaki Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang telah dipatahkan.
Terdengar jeritan Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang yang menyayatkan hati.
“Kau mau bicara atau tidak, heh?” bentak si pengemis dengan suara
yang tawar, disertai oleh suara tertawa mengejeknya
Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang menderita kesakitan yang bukan main. Tetapi tidak sepatah perkataan juga yang mereka ucapkan. Hanya mata mereka yang memandang kearah si pengemis dengan sorot mengandung den- dam.
Cepat sekali si pengemis mengangkat tangannya. “Patahkan kaki mereka yang sebelahnya lagi!!”' perintahnya tanpa mengenal kasihan sedikitpun juga.
Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang jadi kebingungan juga, kalau sampai kedua kaki mereka telah dipatahkan, niscaya mereka merupakan orang cacad yang tidak akan berdaya apa-apa.
Tetapi Sie-gie dan Ngo-gie telah mengiyakan perintah pengemis itu, tanpa sungkan-sungkan mereka telah mematahkan kaki kanan dan kiri dari Wu Cie Siang dan Giok Ie Lang. Kembali Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang menjerit dengan suara menyayat hati.
Juga keringat telah mengalir keluar dari kening dan tubuh mereka.
Tampaknya mereka menderita kesakitan yang bukan main.
“Kalian masih tida mau bicara siapa kalian sebenarnya dan murid siapa?” hentak si pengemis dengan suara yang tawar.
Dengan mengerang menahan rasa sakitnya Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang mengawasi kearah si pengemis. Tetapi Giok Ie Lang sudah tidak bisa menahan kemarahan dihatinya.
“Kau pengemis busuk, jernbel jahat! teriaknya. “Kalau memamg Thian menghendaki aku bisa meloloskan diri dari tanganmu, maka biarpun kau berada di ujung lautan, tetap akan kukejar!!”
“Jadi kau berharap bisa membalas dendam?” ejek si pengemis Kay Sie Touw.“Hahahahaha, jangan harap!!”
Dan setelah berkata begitu, Kay Sic Touw telah mengangkat tangannya
lagi. “Putuskan kesepuluh jari kaki mereka masing-masing!” Perintahnya.
“Baik!” sahut Ngo-gie dan Sie-gie. Keduanya juga telah mencabut keluar pedang mereka masing-masing.
Tentu saja Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang merasakan jantung mereka tergoncang keras, karena kekejaman yang tengah dilakukan oleh si pengemis Kay Sie Touw ini keterlaluan sekali.
Tetapi Sie gie dan Ngo-gie tanpa sungkan-sungkan dan tanpa berkata juga, dengan muka yang memancarkan sikap yang kejam telah menarik kaki Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang. Bergantian mereka telah menabas putus ke- sepuluh jari Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang. Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang jadi meraung dengan suara yang keras. Mereka menderita kesakitan yang bukan main.
“Masih kalian tidak mau menjelaskan berasal dari mana, siapa guru
kalian, dan mau apa mengumit diriku?” tanya si pengemis lagi.
Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang tetap saja tidak menyahuti, mereka mengerang-erang menderita kesakitan yang bukan main. Darah juga telah mengucur deras sekali dari kesepuluh jari kaki mereka yang telah tertabas putus dan kutung itu.
“Baiklah!” kata Kay Sie Touw dengan suara yang jengkel, karena dia tidak bisa menundukkan kedua orang tawanannya ini. “ Tabas kesepuluh jari tangannya masing-masing!” perintah si pengemis.
Sie-gie dan Ngo-gie telah mengiyakan lagi.
Segera juga kesepuluh jari tangan dari Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang telah ditabas putus. Keadaan Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang benar -benar menyedihkan sekali. Tetapi mereka tetap tabah dan juga berkeras hati tidak mau membuka mulut.
Kay Sie Touw jadi tambah mangkel, dengan cepat dia memerintahkan mengutungkan kedua kaki Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang. Malah sampai kedua tangan Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang telah ditabas putus sebatas lengan. Inilah suatu penyiksaan yang keterlaluan sekali, yang terlampau kejam.
Dengan sendirinya, Giok Ie Lang juga tidak bisa menahan rasa sakit yang dideritanya dia pingsan tidak sadarkan diri. Begitu juga Wu Cie Siang , dia telah pingsan belakangan.
Kay Sie Touw bukannya merasa kasihan malah telah tertawa tergelak-
gelak.
“Ambil air dan siram muka mereka!” perintahnya.
Sie-gie mengiyakan dan cepat-cepat membawa air satu ember. Disiramkannya kemuka Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang. Kedua orang ini yang telah menjadi cacad dan menderita kesakitan yang hebat telah tersadar.
“Apakah kalian tetap akan keras kepala tidak mau membuka mulut?”
tegur si pengemis Kay Sie Touw dengan suara yang mengejek.
“Tidak!” sahut Giok Ie Lang dengan sikap penuh kemurkaan yang sangat. “Kalau memang kau mau membunuhku, bunuhlah! Janganlah kau harap bisa mengorek keterangan dari mulutku!”
Dan setelah berkata begitu, Giok Ie Lang malah membuang ludah. Rupanya Giok Ie Lang mengambil sikap begitu, karena dia berpikir bahwa dirinya sekarang telah menjadi cacad. Maka dari itu kepalang tanggung, biarpun dia hidup semuanya sia-sia belaka. Itulah sebabnya telah membuat Giok Ie Lang tidak takut mati dan nekad.
Wu Cie Siang juga mempunyai pendirian yang sama dengm Giok Ie Lang. Cepat sekali dia telah mengempos semangat dan tenaga dalamnya untuk mengurangi rasa sakit yang dideritanya itu.
Kay Sie Touw rupanya jadi murka bukan main, sebab dia telah mengeluarkan suara bentakan yang keras sekali mengandung kemarahan. Cepat bukan main tangannya telah mengisyaratkan untuk membunuh kedua orang tawanannya.
Ngo-gie dan Sie-gie telah mengerti isiarat yang diberikan pengemis itu. Pedang mereka tahu-tahu telah melayang, dan telah menumbles punggung Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang, sampai menembus keulu hati dan kedada mereka masing-masing, darah juga muncrat bagaikan air mancur belaka!
Jiwa Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang telah melayang dengan penasaran tanpa mereka bisa memberikan perlawanan sedikitpun, penasaran sekali.
Pengemis Kay Sie Touw telah tertawa tergelak-gelak dengan suara yang tawar. “Hmm!” dua orang ini telah dapat dilenyapkan lagi!” gumam pengemis itu sambil mengulurkan tangannya membuka topi tudungnya. Melemparkan ke atas lantai. Juga tangannya telah meraba mukanya maka segera kulit mukanya itu telah terlepas! Ternyata pengemis ini telah memakai topeng pada mukanya, menyamar dengan cara yang sempurna sekali.
Begitu kulit topeng tersebut terbuka, terlihatlah wajah seorang pemuda yang cakap bukan main, yang tidak lain dari Tan Keng Can!
Sambil mengantongi kulit topengnya itu kesaku bajunya, Tan Keng Can telah tertawa tergelak-gelak, dia hanya berkata seperti menggumam kepada dirinya sendiri :
“Hmm orang ini dua-duanya telah mampus, sekarang yang tinggal hanya Thang Lan Hoa dan si Buntung, kakek berkaki buntung itu! Kalau
memang Thang Lan Hoa bisa sembuh dari lukanya, niscaya dia akan mempunyai kesempatan mengacaukan rencanaku! Lebih baik, besok malam Thang Lan Hoa dan si Buntung juga kuselesaikan jiwa mereka, Hahahaha!” setelah tertawa tergelak-gelak itu, Tan Keng Can telah mengibaskan tangannya memerintahkan Sie-gie dan Ngo-gie untuk membereskan mayat Giok IeLang dan Wu Cie Siang.
KEADAAN Thang Lang Hoa semakin parah saja, racun yang mengendap di dalam tubuhnya telah bekerja pula. Tadinya memang si Buntung telah menghisap racun itu, sehingga untuk sementara waktu racun itu tidak bekerja pula, namun setelah berselang sesaat, seluruh tubuh dari orang she Thang itu mulai ke-hitam-hitaman lagi, sebab racun mulai bekerja lagi.
Dengan sendirinya si Buntung waktu melihat keadaan demikian, membuatnya jadi gelisah bukan main, dia sampai mengawasi dengan penuh kebimbangan.
Apalagi orang yang ditunggu-tunggu kedatangannya, yaitu Wu Cie Siang dan Giok Ie Lang masih juga belum datang. Tentu saja hal ini membuat si Buntung yang kelabakan seorang diri. Apalagi kalau diingatnya, dia harus cepat-cepat dapat mengubur mayat dari kacungnya, juga mengurusi Thang Lojie ini yang tengah menderita luka yang begitu berat.
Waktu berjalan terus, sang fajar telah tiba dan tetap saja Giok Ie Lang masih belum datang kembali ke kamar ini. Begitu pula Wu Cie Siang tetap tidak terdengar kabar beritanya. Sampai akhirnya menjelang malam hari l agi, tetap saja kedua orang itu belum juga kembali.
Si Buntung telah memutuskan, kalau sampai besok pagi Giok Ie Lang dan Wu Cie Siang belum juga kembali, maka mayat kacungnya i tu harus segera dikuburnya, karena dia melihat mayat kacungnya itu tidak lama lagi akan segera membusuk.
Waktu Thang Lan Hoa tengah pingsan tidak ingat orang lagi, si Buntung kembali memeriksa mayat kacungnya itu dengan penasaran. Waktu dia melihat kacungnya ini tetap tidak terdapat luka yang menyebabkan kematiannya itu, dia teringat sesuatu. Cepat-cepat diperiksa wajah kacung ciliknya itu, yang agak kehitam-hitaman.
Dia memeriksa seluruh bagian muka dari mayat kacungnya itu. Dan betul saja, apa yang dipikirkannya itu telah terbukti. Ternyata yang membawa kematian kacungnya itu disebabkan oleh luka yang kecil sekali, setitik hitam didekat keningnya di atas alis sebelah kanan.
Mungkin juga kacungnya ini telah dibokong oleh serangan semacam senjata rahasia yang terdiri dari jarum yang halus dan beracun. Betapa
murkanya si Buntung, dia sampai menggeprak lantai kamarnya. Batu lantai itu gempur oleh tepakan tangannya tersebut
Cepat sekali dia mengambil pisau untuk mengorek luka pada kening kacungnya itu. Benar saja, dia bisa melihat ujung dari sebatang jarum yang halus sekali. Dengan hati-hati, dia telah mengeluarkan ja rum kecil itu dari kening Ming- jie.
Dengan mempergunakan secarik kain, ia telah menarik keluar jarum tersebut, dan diperhatikannya baik-baik, ternyata jarum itu terbuat dan emas murni, tetapi biarpun sudah mengendap lama di dalam luka dikening Ming-jie. tetap saja emas itu bersinar terang.