Imam Tanpa Bayangan I Jilid 46

 
Jilid 46

SEORANG pria kekar berjalan menghampiri Tang-Ci Hong-Koh tersebut, lalu berbisik :

"Ini pedangmu!"

Dari tangan pria tersebut perlahan-lahan Tang-Ci Hong-Koh mengambil sebilah pedang, ketika senjata tersebut dicabut keluar dari sarungnya maka terpancarlah sekilas cahaya dingin yang menggidikkan hati.

Tang-Ci Hong-Koh tertawa dingin, ujarnya :

"Tahukah engkau siapakah ke-tiga orang ini? Mereka adalah pembantu-pembantuku yang paling setia, di dalam rimba persilatan mereka dikenal sebagai Jago-jago Tangan Setan, ketahuilah mengerubuti dirimu di dalam goa ini merupakan suatu pekerjaan yang paling digemari oleh mereka bertiga."

Pek In Hoei mendengus dingin.

"Hmm! Sebenarnya aku ada maksud untuk melepaskan dirimu dari tempat ini, akan tetapi setelah kutinjau da kusaksikan semua tingkah lakumu selama ini terutama perbuatanmu mengundang datang tiga buah lempengan besi rongsokan untuk mengerubuti diriku, maka aku telah merubah pikiran, bila malam ini kubiarkan engkau berhasil lolos dari tempat ini, aku akan jadi malu terhadap pedang mestikaku ini!"

"Hmmm... hmmm..." pria kekar yang berada di sebelah kiri tertawa seram, "sahabat, engkau tak usah pentang bacot anjingmu terus menerus, selamanya aku paling tidak percaya dengan segala macam permainan setan, kalau punya kepandaian silahkan perlihatkan keampuhanmu, agar kami tiga bersaudara dapat ikut mendapat petunjuk darimu."

Air muka Pek In Hoei berubah hebat, wajahnya yang tampan tersungging satu senyuman dingin yang menggidikkan hati, hawa membunuh terlintas di antara kerutan alisnya, perlahan-lahan ia memindahkan jenazah Kong Yo Siok Peng ke tangan kiri, sementara tangan kanannya mencabut keluar pedang mestika penghancur sang surya, katanya dingin :

"Kau benar-benar iblis bukan manusia, terhadap sesosok mayatpun bersikap kejam."

"Hmm! Nenek anjingmu, kalau aku ingin memaki, kau mau apa?

Kalau punya kepandaian ayo maju."

Jago Pedang Berdarah Dingin teramat gusar setelah mendengar perkataan itu, tiba-tiba pedangnya digetarkan keras-keras, pedang mestika penghancur sang surya dengan menciptakan diri jadi sekilas cahaya tajam membawa desingan angin yang tajam menyambar pria yang bermulut usil itu.

Serangan pedang itu dilancarkan dalam keadaan mendadak dan sama sekali tak terduga, pria kekar itu merasa pandangan matanya jadi kabur dan tahu-tahu selapis cahaya tajam telah mengurung tiba.

"Aduuh...!" pria kekar itu mimpi pun tak pernah menyangka kalau tenaga dalam yang dimiliki Jago Pedang Berdarah Dingin begitu sempurna dan hebatnya, menanti ia merasa bahwa gelagat tidak menguntungkan waktu sudah terlambat.

Ia menjerit kesakitan dengan suara yang menyayatkan hati, dada bagian depannya tertusuk hingga tembus di belakang punggungnya, darah segar memancar keluar dengan derasnya dari mulut luka itu, tubuhnya mundur sempoyongan ke belakang dan teriaknya dengan suara gemetar :

"Kau..." Belum habis perkataan itu diucapkan tubuhnya sudah roboh terjengkang ke atas tanah dan terkapar di atas genangan darah kental, wajahnya menyeringai seram dengan mata melotot besar, sesudah berkelejot sebentar akhirnya ia putus nyawa dan matilah seketika itu juga.

Tang-Ci Hong-Koh jadi teramat gusar menyaksikan pembantunya dibunuh dalam satu gebrakan saja, jeritnya dengan suara tinggi melengking :

"Engkau berani melukai orangku?" Pek In Hoei tertawa dingin.

"Inilah peringatan berdarah yang kuberikan kepadamu, juga memberi peringatan juga kepada kalian agar tahu diri, barang siapa berani pentang mulut besar tanpa menilai dahulu sampai di manakah kemampuan yang dimilikinya, inilah akibat yang harus diterima, jika engkau cerdik maka janganlah membawa anak buahmu datang kemari untuk mengantar kematian belaka."

Dua orang pria kekar lainnya ketika menyaksikan rekan mereka mati secara mengenaskan di ujung pedang lawan, diam-diam hatinya jadi bergidik, dengan penuh kemarahan mereka menerjang maju ke depan, pedang diloloskan dari sarung dan selangkah demi selangkah menghampiri tubuh Jago Pedang Berdarah Dingin itu.

Tampak seorang pria dengan muka yang bercodet bekas bacokan golok berkata sambil tertawa seram :

"Jika hari ini aku Lo-jit si Muka Bercodet, membiarkan engkau berhasil lolos dari tempat ini dalam keadaan selamat, maka aku bersumpah tak akan hidup sebagai manusia lagi, jangan menganggap karena engkau adalah Jago Pedang Berdarah Dingin maka aku tak berani mengganggu dirimu. Hmm1 Di hadapan aku Loo-jit si Muka Bercodet, engkau masih belum terhitung seberapa."

"Itukah pesan terakhirmu sebelum ajal merenggut nyawa?" ejek Pek In Hoei dengan nada sinis. Loo-jit si Muka Bercodet tertegun mendengar ucapan itu, hampir saja ia tak percaya kalau mulut Pek In Hoei begitu lihaynya, hawa amarah berkobar makin memuncak dalam benaknya tanpa mempedulikan keselamatan sendiri dia putar pedangnya dan segera menerjang ke depan.

Tang-ci Hong-Koh segera menggerakkan pergelangannya pula sambil berseru lantang :

"Ayoh serbu, malam ini kita harus beradu jiwa dengan bajingan keparat ini!"

Baru saja tubuhnya menerjang maju ke depan, pedang dalam genggamannya dengan menciptakan selapis cahaya tajam telah meluncur tiba.

Ke-tiga orang itu rata-rata merupakan jago Bu-lim kelas satu, serangan gabungan yang mereka lancarkan ini benar-benar luar biasa sekali hebatnya, tampak bayangan manusia berkelebat silih berganti, dalam waktu singkat mereka bertiga telah mengepung tubuh Jago Pedang Berdarah Dingin itu di tengah kepungan.

Pek In Hoei sendiri meskipun tidak jeri menghadapi kepungan dari tiga orang jago silat itu, tetapi berhubung dalam pelukannya bertambah dengan sesosok mayat, hal itu membuat gerak-geriknya terganggu dan sama sekali tidak leluasa.

"Hong-koh, jangan bertempur!" tiba-tiba satu bentakan nyaring berkumandang datang.

Tang-ci Hong-Koh memperlambat gerakannya dan segera loncat keluar dari gelanggang pertarungan, ketika ia berpaling tampaklah Wie Chin Siang telah berdiri di mulut gua.

Kemunculan dara itu seketika membuat air mukanya berubah hebat :

"Ooooh... jadi engkaulah yang mengkhianati kami... jadi kamulah yang membocorkan rahasiaku..."

"Hmmm!" Wie Chin Siang mendengus dingin, "inilah kesempatan yang sangat baik bagimu untuk meloloskan diri, sekarang tinggalkanlah tempat ini secepat-cepatnya. Diam-diam Hoa Pek Tuo sudah kabur dari sini, apa gunanya engkau jual nyawa buat dirinya?" "Apa?? Hoa Pek Tuo sudah kabur dari sini??" seru Tang-ci Hong-

Koh gemetar.

"Sedikit pun tidak salah, sebenarnya dia telah melimpahkan semua pengharapannya ke atas pundakmu, tetapi setelah mengetahui bahwa rahasiamu terbongkar maka ia merasa dirimu sudah tiada berharga lagi baginya, maka seorang diri secara diam-diam ia kabur dari tempat ini..."

Tang-ci Hong-Koh jadi mendongkol sekali hingga air mukanya berubah jadi hijau membesi, serunya dengan penuh kebencian :

"Bangsat tua, rupanya ia berhati pengecut seperti babi... aku telah salah menilai dirinya!"

Wie Chin Siang mendengus, ujarnya kembali :

"Engkau masih bisa membedakan dengan jelas mana yang jahat dan mana yang benar, hal itu menandakan bahwa engkau masih bisa ditolong dari lembah kenistaan, setelah keluar dari tempat ini aku berharap agar engkau bisa hidup kembali dengan wajah baru, bertobatlah dari segala dosa yang pernah kau lakukan dan baik- baiklah hidup sebagai manusia..."

Air muka Tang-ci Hong-Koh berubah jadi amat sedih, perlahan- lahan dia menghela napas panjang dan berkata :

"Apakah kalian berdua juga mau lepaskan mereka berdua??" Wie Chin Siang menggeleng.

"Selama ini tiga manusia bertangan setan selalu mengikuti dirimu, hal ini dikarenakan mereka sedang menjalankan tugas dari Hoa Pek Tuo untuk mengawasi dirimu, Hong-koh! Kematian dari orang-orang ini tak usah kau sesali, mereka sudah pantas untuk menerima kematian sebagai penebus dari dosa-dosanya. Nah! Pergilah!" Meskipun Tang-ci Hong-Koh dibesarkan dalam lingkungan yang jahat dan banyak kelicikan yang telah dijumpai, akan tetapi pada dasarnya ia mempunyai tabiat yang baik.

Sedari permulaan ia sudah tidak senang bergaul dengan manusia sebangsa Hoa Pek Tuo, ditambah pula sering kali ia mendapat petunjuk serta bimbingan dari Wie Chin Siang, hal ini membuat watak baiknya yang selama ini terpendam perlahan-lahan terbuka kembali. 

Begitulah selesai mendengar perkataan itu, dengan air mata bercucuran dia melirik sekejap ke arah Wie Chin Siang kemudian putar badan dan berlalu dari situ.

Sejak Tang-ci Hong-Koh mengundurkan diri dari gelanggang pertempuran, Jago Pedang Berdarah Dingin merasa daya tekanan jauh lebih berkurang, pada dasarnya ia memang punya kesan yang jelek terhadap dua orang jago berwajah bengis ini, melihat kehadiran Wie Chin Siang segera serunya :

"Chin Siang, bagaimana dengan kedua orang makhluk jelek ini?" Setelah melepaskan Tang-ci Hong-Koh, keadaan Wie Chin Siang nampak bertambah santai dan leluasa, seakan-akan dia telah menyelesaikan satu pekerjaan besar, sambil membereskan rambutnya

yang terurai, sahutnya dengan hambar :

"Ke-dua orang makhluk jelek itu tak boleh dibiarkan tetap hidup di kolong langit..."

"Nona Wie, engkau tidak seharusnya membantu orang luar..." teriak Loo-jit si Muka Bercodet dengan gusar.

"Hmmm1 Lo-jit, sudah terlalu banyak manusia di kolong langit ini jadi mati konyol di tanganmu," kata Wie Chin Siang dengan suara dingin, "berapa banyak orang yang kau celakai dan kau bunuh? Berapa banyak kejahatan yang telah kau lakukan? Malam ini mungkin saja aku dapat melepaskan semua orang yang ada, tetapi kau tak dapat kulepaskan dengan begitu saja... Ini hari juga kau harus mati!"

"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... perempuan lonte, sabar dulu aku sudah tahu kalau engkau bukan manusia baik..." Jago Pedang Berdarah Dingin menggetarkan ujung pedangnya dan membacok ke arah tubuh Lo-jit si Muka Bercodet, orang itu jadi terkesiap dan buru-buru mengundurkan diri ke belakang.

"Sudah kalian dengar semua perkataan itu?" jengek Pek In Hoei dengan suara dingin.

Setelah berhenti sebentar dia menambahkan :

"Siapa pun di antara kamu sekalian tak ada yang bisa lolos dari tempat ini dalam keadaan selamat..."

Pria kekar yang selama ini berdiri di sisi kalangan dengan mulut membungkam itu, mendadak melotot dengan sorot mata berkilat, tanpa mengucapkan sepatah kata pun tiba-tiba ia putar pedang dan melancarkan tubrukan ke depan, pedangnya berputar langsung menusuk ke depan.

"Hmmm! Rupanya engkau mencari mati..."

Pedang penghancur sang surya-nya laksana kilat disapu ke arah depan, ujung senjata yang tipis dan tajam menerobos masuk lewat tengah bayangan pedang lawannya kemudian laksana kilat membacok iga bagian bawah orang itu.

Craaaap...! Tidak sempat mengeluarkan sedikit suara pun pria itu terkapar ke atas tanah dan mati dengan dada berlubang.

Lo-jit si Muka Bercodet semakin naik pitam terutama sekali setelah menyaksikan rekan-rekannya mati semua, ia meraung keras : "Bangsat! Kau benar-benar amat keji, ke-dua orang saudaraku

telah mati semua di ujung pedangmu!"

"Dan sekarang akan tibalah giliranmu!" sambung Pek In Hoei dengan suara menyeramkan, "aku tidak bersedia melepaskan seorang iblis keji pun dari tempat ini..."

Lo-jit si Muka Bercodet tertawa dingin, serunya :

"Kau ingin menghabisi nyawaku?? Boleh saja tetapi engkau harus mengeluarkan pembayaran yang paling besar dan paling mahal, Pek In Hoei! Mungkin engkau belum mengenal akan tindakanku... Selamanya aku tak sudi melakukan perdagangan yang rugi..." Pek In Hoei menggerakkan tubuhnya maju satu langkah ke depan, jengeknya dingin :

"Berapa besar penghargaan yang harus kuberikan kepadamu? Sahabat, silahkan menawar dan sebelum itu engkau harus menilai dahulu siapakah yang sedang kau hadapi."

"Hmmm!" Lo-jit si Muka Bercodet mendengus dingin, "kau anggap dirimu adalah manusia yang luar biasa? Saudara, pandanganmu itu keliru besar, seandainya aku bermaksud untuk adu jiwa, Hmm... Hmm... aku percaya engkau akan tahu bagaimanakah akibatnya."

Sinar mata yang buas memancar ke depan, pedang panjangnya tiba-tiba disilangkan di depan dada, dengan pandangan penuh kebencian ia melotot sekejap ke arah Jago Pedang Berdarah Dingin sementara satu senyuman dingin tersungging di ujung bibirnya, wajah orang itu tampak menyeringai begitu menyeramkan hingga keadaannya ibarat setan iblis.

Pek In Hoei tertawa sinis, ia menggetarkan pedangnya dan menjawab :

"Kau tak usah banyak bacot, ingatlah baik-baik! Aku akan mencabut jiwa anjing dalam jurus Kiam-liok-ciu-yang."

"Hmmm...! Engkau terlalu percaya pada dirimu sendiri," teriak Lo-jit si Muka Bercodet sambil tertawa dingin.

Tiba-tiba ia menerjang maju ke depan, pedangnya dengan suatu gerakan yang cepat laksana sambaran kilat membacok ke tubuh Jago Pedang Berdarah Dingin, serangan itu begitu ganas dan sadis sehingga membuat hati si anak muda itu agak tergetar.

Pek In Hoei tertawa dingin, pergelangan tangannya digetarkan ke depan dan jurus serangan pun dilancarkan keluar, jurus yang dipergunakan adalah jurus 'Kiam-liok-ciu-yang' atau rontoknya pedang di musim gugur. "Aduuh..." di tengah kegelapan berkumandang suara jeritan yang keras diikuti tubuh Lo-jit si Muka Bercodet terkapar ke atas tanah dan selamanya tak berkutik lagi.

Perlahan-lahan Pek In Hoei cabut keluar pedang mestikanya, lalu menghela napas panjang.

"Chin Siang, mari kita pergi dari sini!"

Di tengah kegelapan dua sosok bayangan manusia perlahan-lahan berlalu dari situ dan lenyap di balik tikungan.

********

Impian adalah suatu kejadian yang dialami setiap manusia, dan impian tersebut adalah impian yang sedih dan memilukan hati. Impian itu bukan muncul dalam alam khayalan, tetapi merupakan suatu kenyataan yang berada di depan mata, bukankah begitu? Seorang gadis yang baik hati harus mati karena tercekik, kematian yang sama sekali di luar dugaan.

Sebuah gundukan tanah baru muncul di sebidang tanah, gundukan tanah itu bukan lain adalah kuburan, di mana seorang gadis yang cantik dan baik hati terkubur untuk selamanya dengan tanah liat sebagai teman dan bunga sebagai hiasan, tanah yang kuning menutup tubuhnya yang lembut dan wajahnya yang cantik, menutup semua kenangan yang pernah dialaminya selama hidup.

Di depan liang lahat tiada orang yang mengiringi, hanya sepasang mata muda mudi berdiri kaku di situ, walaupun tiada orang yang mengiringi upacara penguburannya, namun ia yang berada di alam baka sudah cukup merasa puas, karena orang yang dicintainya telah datang ke situ.

Dengan air mata mengembang di atas kelopak matanya Pek In Hoei menghela napas panjang, gumamnya seorang diri :

"Untuk selama-lamanya dia tidak akan kembali lagi!"

Wie Chin Siang yang berdiri di samping pemuda itu tanpa sadar ikut mengucurkan air mata karena terharu sekali, biji matanya yang bening berputar di antara genangan air mata, ia memandang ke arah pemuda she Pek itu lalu bertanya :

"Engkau cinta kepadanya?"

"Dia adalah gadis yang kucintai untuk pertama kalinya." "Aaaai...!" helaan napas panjang bergema di udara yang sunyi,

rasa pedih dan pilu terlintas di atas raut wajah pemuda itu, ia memandang awan di langit, merasa seolah-olah dirinya berada di antara awan, rasa pedih yang menyelinap dalam tubuhnya seakan- akan ular berbisa yang memagut hatinya membuat ia sedih dan murung sekali.

"Dia terlalu bahagia," kata Wie Chin Siang lagi dengan suara yang gemetar, ucapan itu terpancar keluar di tengah kesedihan yang menyelimuti pula benaknya.

"Dari mana kau bisa berkata begitu?" tegur Pek In Hoei setelah tertegun sejenak.

Wie Chin Siang gelengkan kepalanya berulang kali.

"Siapa yang menyangkal kalau kalian pernah saling memupuk cinta? Seorang gadis yang kematiannya bisa menerima isak tangis dari pria yang dicintainya, bukankah hal itu merupakan suatu kebahagiaan?"

Ia berhenti sebentar, lalu dengan wajah murung sambungnya : "Di kemudian hari, entah aku bisa mendapat kebahagiaan seperti

itu atau tidak."

Jago Pedang Berdarah Dingin merasakan jantungnya berdebar keras tatkala menyaksikan kesedihan yang terpancar di atas wajah gadis itu, dalam benaknya segera terlintas kembali kenangan di kala gadis itu menempuh bahaya, budi kebaikan serta cinta kasih yang pernah ia berikan kepadanya benar-benar amat tinggi.

"Jika bukan engkau yang memberi kebahagiaan tersebut kepadaku, aku percaya di kolong langit masih belum ada orang yang mampu memberikan kesemuanya itu kepadaku, engkau harus memahami perasaan hati seorang gadis." Pek In Hoei merasa terharu terhadap gadis yang sedang bersedih hati itu, ia melirik sekejap ke arah Wie Chin Siang, dilihatnya air mata sedang berlinang membasahi dirinya, diam-diam ia menghela napas panjang.

"Chin Siang, aku bisa memahami keadaanmu," bisiknya. Wie Chin Siang tertawa sedih.

"Asal engkau bisa memahami keadaanku hal itu sudah cukup membuat hatiku jadi puas."

Sinar mata Pek In Hoei perlahan-lahan bergerak kembali memandang ke atas gundukan tanah baru di depannya, setelah berdoa sebentar bisiknya dengan suara lirih :

"Siok Peng, beristirahatlah di sini dengan hati tenang! Suatu ketika aku pasti akan datang agi kemari untuk menengok dirimu."

Dengan perasaan hati berat diam-diam ia putar badan dan berlalu dari situ.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Wie Chin Siang mengikuti di belakangnya, satu ketika gadis itu menghela napas sedih dan menegur :

"Kau hendak pergi kemana?"

Pek In Hoei terkesiap, ia tahu bahwa saat perpisahan telah tiba, per-lahan ia berpaling dan memandang gadis itu, lalu balik bertanya :

"Dan kau sendiri? Engkau akan kemana?"

"Aku hendak pulang ke luar lautan, mungkin lama sekali baru kembali lagi kemari, jika engkau ingin menjumpai diriku pergilah kesana dan carilah aku di luar lautan, setiap hari aku akan menantikan kedatanganmu, akan kutunggu terus sampai kau datang."

"Apakah kau tidak bisa tinggal di sini saja?" tanya Pek In Hoei sambil tertawa getir.

Wie Chin Siang menggeleng.

"Kecuali engkau yang menahan diriku, aku tak bisa merubah keputusanku ini lagi, engkau harus tahu di kolong langit pada dewasa ini kecuali kau tak ada benda apa pun yang membuat aku berat hati, tetapi aku tahu jelas akan dirimu, engkau tak akan menahan aku."

Pada saat ini dia sangat berharap agar Jago Pedang Berdarah Dingin bisa menahan dirinya, tetapi sikap yang ditunjukkan kekasihnya membuat ia kecewa, sebab pemuda itu tidak memberikan tanggapan apa pun juga.

Terpaksa ia tertawa getir dan gelengkan kepalanya, dengan pedih katanya :

"Aku tahu bahwa engkau tak suka kepadaku."

"Eeeei... dari mana engkau bisa berkata begitu?" seru Pek In Hoei dengan cemas, "pendapatmu itu keliru besar, sekarang tanggung jawabku masih berat, aku harus membalas dendam, dalam keadaan begini aku tak berani memikirkan persoalan lain."

"Bila engkau dapat memahami perasaan hatiku, itu sudah lebih dari cukup, sekarang aku hendak pergi."

Gadis itu tahu jika ia tidak berusaha untuk berlalu dari situ, maka bila ia sudah tak dapat menahan pergolakan hatinya, kesemuanya akan gagal dan berantakan.

Maka sambil menggigit bibir dia putar badan dan segera berlalu dari situ secepat-cepatnya.

"Chin Siang... Chin Siang..." teriak Jago Pedang Berdarah Dingin dengan hati cemas.

Kepergiannya secara mendadak membuat pemuda itu merasakan hatinya kesepian, dengan termangu-mangu ia memandang bayangan punggung gadis itu hingga lenyap dari pandangan, helaan napas sedih berkumandang memecahkan kesunyian.

Dengan termangu-mangu ia berdiri di tempat semula, berapa lama ia berada di situ pemuda itu sendiri pun tak tahu, ia baru sadar kembali ketika telinganya sempat menangkap suara bentakan dan teriakan gusar berkumandang memecahkan kesunyian. Ia tersentak bangun dari lamunannya, dengan cepat ia berpaling ke arah berasalnya suara itu dan tampaklah beberapa sosok bayangan manusia sedang berlari mendekat dengan cepatnya.

Pek In Hoei tertawa ewa, pikirnya di dalam hati :

"Dari mana datangnya orang-orang itu? Kenapa di atas tubuh mereka mengenakan sekuntum bunga merah?"

Dalam waktu singkat tujuh delapan orang pria baju hitam itu telah menyebarkan diri dan mengepung Jago Pedang Berdarah Dingin rapat-rapat, mereka bersenjata lengkap dan masing-masing memandang ke arah pemuda tersebut dengan mata melotot. Tak seorang pun di antara mereka yang buka suara seakan-akan orang- orang itu sedang berpikir bagaimana caranya menghadapi pemuda di hadapannya itu.

Bagian 44

PEK IN HOEI tertawa, ujarnya :

"Sahabat, apakah kalian tidak salah melihat orang?"

"Saudara cilik," jawab seorang kakek tua yang kerempeng tapi berwajah cerah di antara rombongan orang itu, "boleh kami tanya, engkau adalah sahabat dari aliran mana?"

"Aku sebatang kara dan berdiri sendiri, tidak bergabung dalam perguruan atau partai mana pun."

"Oooh...! Kalau begitu silahkan saudara menyingkir ke samping, kami adalah sahabat-sahabat dari perkumpulan Hong-hoa-hwee atau Bunga Merah, berhubung hari ini kami sedang mengejar seorang buronan dari Kelompok Tangan Hitam maka tanpa sengaja telah bertemu dengan engkau, di sini tak ada urusanmu dan silahkan engkau jangan mencampuri urusan ini."

"Oooh... Perkumpulan Bunga Merah, belum pernah kudengar nama perkumpulan ini." Setelah ucapan itu diutarakan, pemuda itu baru merasa bahwa perkataannya kurang sopan, peduli perkumpulan mereka punya nama atau tidak, tidak pantas baginya untuk memandang rendah mereka.

Akan tetapi berhubung ucapan sudah diutarakan keluar dan tak mungkin bisa ditarik kembali, terpaksa ia hanya bisa tertawa belaka.

Sedikit pun tidak salah, orang-orang itu segera menunjukkan rasa gusar dan tidak senang hati setelah mendengar Jago Pedang Berdarah Dingin begitu pandang rendah perkumpulan mereka, serentak orang- orang itu maju selangkah ke depan dan siap turun tangan.

Kakek kerempeng tadi dengan cepat melotot sekejap ke arah anak buahnya sebagai peringatan agar mereka jangan turun tangan kemudian setelah memandang sekejap ke arah si anak muda itu ujarnya :

"Sahabat, kalau didengar dari nada ucapanmu agaknya engkau adalah seorang manusia yang tak bernama, aku si Pertapa Nelayan dari Lam beng mohon bertanya siapakah nama besarmu."

Menyaksikan rombongan orang-orang itu tidak mirip dengan jago kangouw biasa, bahkan semangat mereka nampak segar dan jelas memiliki serangkaian ilmu silat yang ampuh, ia segera memberi hormat dan tertawa.

"Namaku kecil dan tak ada artinya, harap lo sianseng jangan marah."

"Maksudmu aku tidak berhak untuk mengetahui nama besar saudara?"

Pek In Hoei menggeleng.

"Harap engkau jangan salah paham," katanya, "antara aku dengan perkumpulan kalian sama sekali tidak terikat oleh dendam atau permusuhan apa pun juga, kita melakukan suatu pekeraan masing- masing tanpa mengganggu pihak yang lain, siapa pun tidak mencampuri urusan siapa-siapa, apa sih gunanya untuk mengetahui asal usul orang." "Heeeeh... heeeeh... heeeeh... pandai amat engkau menghindari diri dari pertanyaanku," seru Pertapa Nelayan dari Lam-beng sambil tertawa dingin.

Air muka Jago Pedang Berdarah Dingin berubah hebat, ia tertawa dingin dan serunya :

"Menurut pendapat lo-sianseng apakah aku harus bertekuk lutut dan mengaku kalah?"

"Hmmm! Walaupun Perkumpulan Bunga Merah kami belum lama didirikan dalam dunia persilatan, akan tetapi kami semua bukanlah manusia-manusia yang takut urusan, dengan maksud baik aku ingin mengetahui nama besarmu, siapa tahu kau tak mau memberitahukannya. Sahabat! Meskipun kami tak ingi mencari urusan dan bikin keributan, akan tetapi kami pun tak sudi membiarkan orang lain menginjak-injak kepala kami. Engkau masih begitu muda sudah takabur dan jumawa apakah kau anggap ilmu silatmu yang paling tinggi? Haaaah... haaaah... haaaah... kau jangan terlalu percaya pada kekuatanmu sendiri."

"Kesalah-pahaman lo-sianseng sudah terlalu mendalam," ujar Pek In Hoei dengan alis berkerut, "hampir saja membuat aku tak punya kesempatan untuk memberi penjelasan terutama sekali perkataanmu yang terakhir membuat aku serba salah."

"Hey orang muda," seru Pertapa Nelayan dari Lam-beng sambil tertawa keras, "asal engkau unjukkan ilmu silatmu, maka aku punya kemampuan untuk mengetahui berasal dari perguruan atau aliran manakah dirimu itu, jika engkau menganggap bahwa ucapanku ini telah melukai hatimu, maka tiada halangan untuk segera turun tangan."

Pek In Hoei mengerutkan alisnya.

"Apakah lo-sianseng ada maksud untuk memaksa aku untuk turun tangan?"

"Kami orang dari Perkumpulan Bunga Merah selamanya tak sudi dihina dan dipandang rendah orang, pepatah kuno mengatakan : kepala boleh kutung, darah boleh mengalir namun kami tak sudi dihina, berada dalam keadaan seperti ini kendati engkau tak ingin turun tangan pun tak mungkin..."

Jago Pedang Berdarah Dingin tertawa ewa.

"Apakah lo-sianseng pernah memikirkan bagaimana akibatnya jika sampai terjadi pertarungan?" serunya.

Pertapa Nelayan dari Lam-beng berdiri tertegun. "Ooooh...! Engkau sedang menggertak diriku..." serunya.

Jelas jago lihay ini sudah tak tahan mendengar ucapan Jago Pedang Berdarah Dingin yang jumawa dan takabur itu, dengan wajah masam ia awasi seluruh tubuh pemuda itu dengan tajam.

"Apa yang kuucapkan adalah suatu kenyataan," kata Pek In Hoei sambil menggeleng, "lebih baik pertimbangkanlah persoalan ini masak-masak... janganlah menyesal setelah kejadian..."

"Heehhmmm... heeehmmm. kalau begitu akulah yang pertama- tama akan mohon petunjuk darimu..."

Ia merasa yakin dengan keampuhan tenaga dalamnya, sepasang telapak diayun dan sambil loncat ke depan ia pasang kuda-kuda, ditatapnya wajah Pek In Hoei dengan tajam dan siap menghadapi segala kemungkinan.

Melihat perbuatan orang itu, Pek In Hoei tertawa terbahak-bahak. "Haaaah... haaaah... haaaah... rupanya lo-sianseng sudah punya maksud untuk turun tangan, terpaksa aku harus minta beberapa jurus

petunjuk darimu dengan tangan kosong belaka!"

"Hmmm! Lebih baik jangan terlalu mempercayai kekuatanmu sendiri, cabutlah pedangmu itu dan baik-baiklah melayani aku..."

Dengan cepat Pek In Hoei menggeleng.

"Pedang merupakan pemimpin di antara ratusan macam senjata, kita toh cuma beradu silat belaka, apa gunanya mesti gerakkan senjata main pedang? Lo sianseng aku harap engkau jangan marah..."

Pertapa Nelayan dari Lam-beng tarik napas panjang-panjang. "Orang muda, engkau terlalu takabur dan jumawa..." katanya. Jago Pedang Berdarah Dingin tidak banyak bicara lagi, ia cibirkan bibirnya dan memperlihatkan satu senyuman yang amat rawan, sambil bongkokkan badan tiba-tiba telapak tangannya disodok ke depan mengirim satu pukulan ke tubuh Pertapa Nelayan dari Lam- beng.

Air muka kakek tua kerempeng itu berubah hebat.

"Tidak aneh kalau engkau begitu takabur dan jumawa sekali!" serunya keras, "ternyata ilmu silatmu lumayan juga, orang muda! Aku bisa berjumpa dengan engkau, hal ini merupakan suatu keberuntungan yang amat besar bagiku selama hidup..."

Bagaikan sukma gentayangan tubuhnya berkelit ke samping menghindarkan diri dari ancaman maut Pek In Hoei, telapak tanganya direntangkan membentuk gerakan busur di udara dan langsung diayun pula ke depan.

"Haaaah... haaaah... haaaah... engkau berani menerima pukulanku ini dengan keras lawan keras?" serunya sambil tertawa tergelak.

"Baik," jawab Pek In Hoei sambil tarik napas panjang, "akan kusambut serangan dari Lo sianseng ini dengan keras lawan keras..." Dalam waktu singkat dia himpun segenap kekuatan yang dimilikinya ke dalam telapak lalu sambil memandang datangnya ancaman yang sedang menggulung tiba perlahan-lahan dia dorong

telapak kanannya untuk menyambut.

"Blaaam...!" ledakan dahsyat berkumandang memecahkan kesunyian, udara di sekeliling tempat itu mendadak jadi dingin dan berputar bagaikan pusaran angin puyuh, ke-dua belah pihak sama- sama terkesiap dan kaget oleh kesempurnaan tenaga dalam yang dimiliki lawannya.

Pertapa Nelayan dari Lam-beng tarik napas panjang-panjang lalu serunya : "Waaah... hebat sekali! Engkau adalh orang ke-dua di antara generasi orang muda yang dapat membuat hatiku merasa kagum dan hanya engkau seorang yang mampu menyambut pukulanku ini..."

Pek In Hoei tertawa lantang.

"Haaaah... haaaah... haaaah... jadi kalau begitu lo-sianseng pernah bertemu dengan orang pertama yang jauh lebih tangguh daripada diriku..."

"Sedikit pun tidak salah," jawab Pertapa Nelayan dari Lam-beng dengan wajah serius, "orang itu bukan lain adalah ketua dari Perkumpulan Bunga Merah kami..."

"Apakah ketua kalian pernah datang kemari pada hari ini..." seru Pek In Hoei dengan jantung berdebar keras.

Pertapa Nelayan dari Lam-beng mengangguk.

"Aku adalah komandan rombongan pertama yang datang menguntit jejak Komplotan Tangan Hitam, setelah ketua menerima surat tanda minta bantuan dariku pasti akan segera berangkat kemari..."

"Ooooh... kiranya begitu, lalu termasuk manusia-manusia macam apakah Komplotan Tangan Hitam itu?"

"Komandan, keparat cilik ini terang-terangan merupakan satu komplotan dengan pihak Tangan Hitam, bahkan sengaja bertanya sana bertanya sini, tujuannya pasti sedang mengulur waktu agar para konco-konconya punya kesempatan yang banyak untuk melarikan diri dari pengejaran kita!"

"Siapakah engkau??" seru Jago Pedang Berdarah Dingin dengan wajah berubah hebat, "kenapa kalau bicara sama sekali tidak dipikirkan dahulu??" Hmmm! Jangan asal keluar saja."

Pria itu ayunkan pedang dalam genggamannya.

"Aku adalah Pek In Hoei, kenapa aku mesti bicara secara baik- baik dengan manusia macam engkau?" sahutnya.

"Hmmm! Berdasarkan perkataan yang kau ucapkan barusan sudah lebih dari cukup bagi diriku untuk memberi satu pelajaran yang setimpal kepada dirimu!" ujar Pek In Hoei dengan wajah berubah dingin dan ketus.

Mendengar perkataan itu Hee Pek Li jadi naik pitam, karena jengkelnya dia getarkan pedangnya lalu berputar membentuk gerakan satu lingkar busur di tengah udara, tubuhnya maju selangkah ke depan dan teriaknya dengan nada ketus :

"Ayoh turun tangan! Aku sedang menantikan dirimu..."

Pek In Hoei tidak menggubris tantangan orang, kepada Pertapa Nelayan dari Lam-beng ujarnya sambil tertawa :

"Lo sianseng, anak buahmu ini terlalu jumawa dan takabur, seandainya engkau merasa tidak keberatan, aku bersiap sedia untuk minta pelajaran beberapa jurus ilmu pedang dari saudara itu..."

"Anak buahku ini memang terlalu kurang ajar, apabila bisa memperoleh pelajaran dari saudara, tentu saja aku merasa amat berterima kasih sekali, cuma saj... aku harap engkau jangan turun tangan jahat terhadap dirinya..."

"Maaf!" seru Pek In Hoei ketus.

Perlahan-lahan dia cabut keluar pedangnya yang tersoren di atas punggung, serentetan cahaya tajam yang menyilaukan mata memancar ke empat penjuru, di tengah getaran tangannya terpancarlah beberapa buah gelombang bunga di udara.

Tercekat hati Hee Pek-li menyaksikan hal itu, pujinya :

"Pedang bagus, sepantasnya kalau pedang mestika seperti seperti itu dihadiahkan kepada ketua kami..."

Jago Pedang Berdarah Dingin tidak menyangka kalau Hee Pek li bisa begitu pandang rendah dirinya, diam-diam ia tertawa dingin, air mukanya menunjukkan rasa tidak senang hati sementara satu ingatan berkelebat dalam benaknya :

"Engkau jangan keburu bangga lebih dulu, setelah bergebrak nanti aku pasti akan suruh berteriak tiada hentinya."

Berpikir sampai di situ, dia pun berkata sambil tertawa ewa : "Asal engkau merasa punya kepandaian, silahkan untuk merampas senjata ini dari tanganku, bila engkau memang maka pedang ini kau hadiahkan buat ketua kalian..."

"Hehhmmm... aku rasa cara itu memang paling bagus..."

Tubuhnya menerjang maju ke depan, tangan kanannya bergetar keras dan pedang dalam genggamannya dengan menggunakan suatu gerakan yang aneh membacok ke arah samping.

Gerakan pedang semacam itu aneh sekali bentuknya dan baru pertama kali terlihat di daratan Tionggoan, hal ini membuat hati Pek In Hoei tercekat, pikirnya :

"Tidak aneh kalau dia jumawa sekali, rupanya ilmu pedang yang dia miliki lumayan juga..."

Ilmu kepandaiannya dalam hal permainan pedang sudah mencapai pada taraf yang paling tinggi, meskipun dalam keadaan tidak siap dibikin terperanjat oleh gerakan pedang lawannya yang aneh, akan tetapi permainan pedangnya sama sekali tidak kacau, pedangnya segera diputar ke depan dan menangkis datangnya serangan tersebut.

Hee Pek-li sendiri pun tertegun melihat kelihayan musuhnya, serangan yang dilancarkan olehnya boleh dibilang cepat dan ganas sekali, gerakan pun berlawanan sekali dengan gerakan pedang yang umum dijumpai, dalam anggapannya semula serangan tersebut paling sedikit pasti akan membingungkan atau membuat pihak lawan jadi gelagapan, siapa tahu pemuda yang berada di hadapannya ini bukan saja tidak menunjukkan tand-tand gelagapan, bahkan dengan gampang sekali berhasil memunahkan datangnya ancaman tersebut, dari kejadian itu bisalah ditarik kesimpulan bahwa kepandaian silat yang dimiliki pihak lawan jauh lebih lihay daripada dirinya sendiri. Ia meraung gusar, bentaknya kembali :

"Jangan keburu senang, terimalah lagi sebuah tusukan pedangku..." "Hmmm! Aku tak punya kegembiraan untuk melayani dirimu terlalu lama..." jawab Pek In Hoei ketus.

Jago Pedang Berdarah Dingin sama sekali tidak memberi kesempatan kepada musuhnya untuk melancarkan serangan balasan, bagaikan sukma gentayangan tubuhnya menerjang maju ke depan, setelah merebut kedudukan Yiong Kiong pedangnya segera digetarkan dan langsung mencukil keluar.

"Aduuuuh...!" Hee Pek-li menjerit kesakitan, tiba-tiba pedangnya terbabat hingga kutung jadi dua bagian, ia pegang pergelangan tangan kanannya dan mengundurkan diri ke belakang, bentaknya dengan suara gemetar :

"Ilmu pedang apakah yang engkau gunakan..."

Mendadak dari tempat kejauah berkumandang datang suara gelak tertawa yang amat nyaring...

"Haaaah... haaaah... haaaah... kalian benar-benar manusia yang punya mata tak berbiji, masa ilmu pedang penghancur sang surya dari partai Thiam cong pun tidak dikenali... andaikata orang lain tidak turun tangan ringan sekarang kau anggap jiwamu masih selamat..."

Suara tertawa yang nyaring itu berkumandang datang mengikuti hembusan angin, dari ucapan yang begitu tegas dan penuh bertenaga bisa diketahui bahwa tenaga dalam yang dimiliki orang itu amat sempurna.

Pek In Hoei tercengang,ia tak mengira kalau dalam tubuh Perkumpulan Bunga Merah terdapat seorang manusia yang begitu lihaynya, diam-diam ia pasang mata dan menengok ke arah seorang sastrawan berusia pertengahan yang sedang meluncur datang dengan kecepatan bagaikan kilat itu.

Raut wajah sastrawan menunjukkan sikap keren dan penuh kewibawaan, di belakangnya mengikuti beberapa orang pria yang menyoren pedang, dari dandanan beberapa orang itu Pek In Hoei segera mengetahui bahwa mereka adalah bala bantuan dari Perkumpulan Bunga Merah. Ia lantas melirik sekejap ke arah Pertapa Nelayan dari Lam-beng, kemudian tegurnya :

"Apakah dia adalah ketua kalian?"

Pertapa nelayan dari Lam-beng menggeleng.

"Bukan, dia adalah ketua ke-dua dari Perkumpulan Bunga Merah, ketua kami belum tiba..."

Dengan wajah tersungging senyuman ramah perlahan-lahan sastrawan berusia pertengahan itu maju mendekati, setelah memberi hormat kepada Pek In Hoei, ujarnya sambil tertawa :

"Sahabat aku adalah Gan In... tolong tanya apakah engkau berasal dari partai Thiam cong..."

"Sedikit pun tidak salah, aku adalah murid partai Thiam cong..." jawab Pek In Hoei sambil balas memberi hormat.

Gan In menengadah dan segera tertawa terbahak-bahak. "Haaaah... haaaah... haaaah... engkau memang seorang jago

pedang yang sangat lihay, bilamana saudaraku itu tak tahu diri dan telah membuat kesalahan terhadap diri saudara, aku harap engkau suka memaafkannnya..."

Dia berpaling sekejap ke arah Hee Pek li, kemudian menambahkan :

"Saudara li, harap engkau suka suka minta maaf kepadanya..." Hee Pek li melengak, pikirnya :

"Sejak Perkumpulan Bunga Merah didirikan hingga kini yang kujumpai adalah pria sejati yang membicarakan soal setia kawan serta keadilan, meskipun aku secara otomatis menantang orang itu sendiri, akan tetapi aku sama sekali tidak melakukan kesalahan apa pun juga, dan kini ternyata Gan Ji Tong-kee merusak sendiri nama Perkumpulan Bunga Merah, dan suruh aku tunduk kepala mengaku salah, keadaan ini jauh lebih baik dibunuh daripada suruh aku tunduk kepala... aku ingin lihat apa jawaban Gan Ji Tong-kee bila perintahnya kubangkang..."

Berpikir sampai di situ, dia segera menggeleng dan jawabnya : "Gan Ji Tong-kee, aku tak sudi minta maaf kepadanya..." Jawaban ini seketika membuat Gan In jadi tertegun, serunya : "Engkau berani membangkang perintahku??"

Dalam bati ia berpikir :

"Bagaimana pun juga kedudukanku adalah wakil ketua dari Perkumpulan Bunga Merah, di hari-hari biasa perintahku selalu dijalankan tanpa membantah, siapa tahu hari ini Hee Pek-li berani membangkang perintahku di hadapan orang banyak, kalau ia tidak ditindak niscaya pamorku akan merosot..."

Berpikir sampai di sini, air mukanya kontan berubah hebat dan hawa napsu membunuh terlintas di atas wajahnya.

Rupanya Pertapa Nelayan dari Lam-beng pun merasa bahwa Hee Pek-li sama sekali tidak memberi muka kepada wakil ketuanya, dengan suara tajam ia membentak :

"Hee-tua apa yang sedang kau lakukan??" Dengan sedih Hee Pek-li menggeleng ujarnya :

"Wakil ketua she Gan, aku Hee Pek-li menghormati dirimu melebihi rasa hormatku terhadap orang tuaku, harap engkau jangan marah, sejak Perkumpulan Bunga Merah didirikan hingga kini belum pernah satu kali pun tunduk kepada orang ini, siapa nyana pada hari ini engkau suruh aku... lebih baik bunuh saja diriku..."

"Haaaah... haaaah... haaaah... " Pek In Hoei yang mendengar sampai di situ segera tertawa terbahak-bahak, "urusan yang sudah lewat tak usah kita bicarakan lagi, kita semua tetap adalah sahabat..." Air muka Gan In pun perlahan-lahan berubah jadi lunak kembali,

ujarnya :

"Apakah engkau tidak puas karena pihak lawan jauh lebih muda daripada dirimu? Hee-tua, perhatikanlah orang lain lebih teliti dan lebih seksama lagi, demonstrasi kepandaian yang dia perlihatkan sudah cukup untuk memaksa engkau harus berlatih diri tiga tahun lagi..." "Gan-heng, engkau terlalu memuji!" kata Jago Pedang Berdarah Dingin sambil menggeleng.

Gan In tertawa hambar.

"Saudara, bolehkah aku mengetahui siapakah namamu..."ia bertanya dengan suara lirih.

Terhadap rombongan orang-orang itu rupanya Pek In Hoei punya kesan yang sangat baik, dia segera menjawab :

"Aku adalah Pek In Hoei..."

"Aaaah! yaaah ampun... jadi engkau adalah Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei..." teriak Hee Pek-li dengan suara amat terperanjat.

Rombongan orang-orang yang berkumpul di sana sebagian besar merupakan kekuatan dari Perkumpulan Bunga Merah, setelah mendengar bahwa pemuda yang berada di hadapannya adalah Jago Pedang Berdarah Dingin, mereka segera tunjukkan sikap yang sangat menghormat. 

Dengan wajah menyesal bercampur malu, Hee Pek-li maju mencengkeram tangan Pek In Hoei, serunya :

"Aku yang rendah benar-benar punya mata tak kenal gunung Thay san, harap Pek heng suka memaafkan perbuatanku..."

Gan In yang berada di sisinya segera tertawa tergelak. "Haaaah... haaaah... haaaah... sekarang engkau  baru tahu toh

kalau Pek-heng telah memberi muka kepadamu? Tadi saja engkau masih berlagak sok sekali... seakan-akan dirimu adalah seorang eng- hiong sejati, seorang jago besar... dalam kenyataan di hadapan Pek- heng, engkau tidak lebih cuma sekuku jarinya saja..."

Merah jengah selembar wajah Hee Pek-li, ia tertawa getir dan gelengkan kepalanya berulang kali, mulut tetap membungkam dalam seribu bahasa.

Pek In Hoei menggenggam tangan Hee Pek-li, serunya pula : "Hee-heng, siau-tee juga mohon maaf kepadamu!" "Aaaah... tidak berani, tidak berani..." teriak Hee Pek-li dengan gelagapan, ia goyangkan tangannya berulang kali.

"Pek-heng!" ujar Gan In kemudian dengan wajah berseri-seri, "seluruh anggota perkumpulan kami dari atas hingga ke bawah semuanya pernah mendengar nama besar anda, bahkan sering kali membicarakan kesaktian yang anda miliki, kali ini pihak Perkumpulan Bunga Merah dapat berkenalan dengan Pek-heng, hal ini boleh dibilang merupakan suatu keberuntungan bagi kami semua..."

Ia tarik napas panjang-panjang, setelah berhenti sebentar lanjutnya :

"Dalam melakukan pengejaran terhadap anggota Komplotan Tangan Hitam kali ini, sepanjang jalan banyak saudara kami telah menderita luka di tangan mereka, karena pihak lawan terlalu kejam dan telengas dalam perbuatan dan sempurna dalam tenaga dalam, tindak tanduk mereka cukup membuat kepala kami jadi pusing..."

"Ooooh... ! Manusia macam apa sih anggota Komplotan Tangan Hitam itu???" tanya Pek In Hoei.

Gan In gelengkan kepalanya berulang kali.

"Komplotan Tangan Hitam merupakan suatu perkumpulan yang paling misterius di kolong langit, siapakah pemimpin mereka yang sebenarnya tak seorang pun yang tahu, mereka seringkali melakukan pembunuhan, perampokan, pemerkosaan dan membakar rumah penduduk, perbuatan jahat apa pun mereka lakukan. Jumlah korban yang menderita akibat perbuatan mereka tak terhitung jumlahnya... Oooh! Meskipun jumlah anggota perkumpulan kami amat minim, tetapi kami semua merupakan lelaki sejati yang tidak jeri menghadapi kematian, kali ini dengan mempertaruhkan keutuhan dari Perkumpulan Bunga Merah kami berusaha keras untuk membasmi serta melenyapkan Komplotan Tangan Hitam dari muka bumi..."

Pek In Hoei merasa setiap ucapan yang diutarakan Gan In mengandung rasa keadilan dan kebenaran yang sejati, ia merasa dirinya pantas untuk bersahabat dengan manusia-manusia sejati macam mereka, sebab hal itu merupakan suatu kejadian yang menggembirakan. Dengan wajah serius dia lantas berkata :

"Aku bersedia bekerja sama dengan Gan-heng untuk membasmi Komplotan Tangan Hitam dari muka bumi..."

Gan In merasa berterima kasih sekali atas kesediaan pemuda itu, ujarnya dengan cepat :

"Bilamana Pek-heng bersedia membantu usaha kami, niscaya Komplotan Tangan Hitam dapat kita gulung sampai ke akar- akarnya..."

Dengan sorot mata tajam ia melirik sekejap ke arah Pertapa Nelayan dari Lam-beng, lalu tanyanya :

"Bagaimana dengan anggota Komplotan Tangan Hitam yang kalian ikuti jejaknya terus itu???"

"Kalau dibicarakan sungguh menyesal sekali, anggota Komplotan Tangan Hitam itu berhasil melarikan diri masuk ke dalam sebuah hutan lebat, aku merasa agak repot untuk menggeledah seluruh isi hutan itu maka atas anjuranku pencarian kami urungkan!"

Gan In gelengkan kepalanya berulang kali.

"Penjahat itu secara beruntun telah membinasakan tujuh lembar jiwa, kita tak bisa melepaskannya dengan begitu saja..."

Perlahan-lahan dia alihkan sorot matanya ke arah depan, di mana sebuah hutan yang lebat terbentang di depan mata, untuk melakukan pencarian dalam hutan seluas itu memang merupakan suatu pekerjaan yang menyulitkan, karena itu setelah termenung sebentar segera ujarnya :

"Kepung seluruh kaki bukit ini, aku hendak melakukan pemeriksaan sendiri ke atas..."

"Bagaimana kalau kutemani diri Gan-heng??" sambung Pek In Hoei sambil tertawa ringan. Sambil tertawa Gan In mengangguk, tubuhnya segera melesat ke udara dan berputar satu lingkaran kemudian dengan cepat sekali meluncur ke arah depan.

Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei tersenyum, ia tahu bahwa Gan In sengaja mempertunjukkan kelihayannya di hadapan mukanya, ia segera getarkan pundaknya dan ikut meluncur ke muka bagaikan bergeraknya awan di angkasa.

Walaupun ia lebih lambat menggerakkan tubuhnya, tiba di kaki bukit tepat bersamaan waktunya dengan kedatangan Gan In, para jago dari Perkumpulan Bunga Merah jadi semakin kagum lagi, dari keadaan tersebut membuktikan bahwa ilmu silat yang dimiliki Pek In Hoei jauh lebih tinggi daripada wakil ketua mereka.

Batu cadas berserakan di mana-mana, kabut tebal menyelimuti seluruh angkasa, meskipun bukit itu nampaknya tidak begitu tinggi tetapi setelah didaki ternyata luas sekali, untuk mencari seseorang yang bersembunyi di atas tanah seluas itu tentu saja bukan suatu pekerjaan yang gampang.

Gan In sendiri walaupun menguasai ilmu mencari jejak, akan tetapi setelah menyaksikan keadaan medan ia mengerutkan dahinya juga, dengan sorot mata tajam ia menyapu sekejap sekitar tempat itu, dari atas sebuah jalan gunung yang sempit tiba-tiba ia temukan bekas telapak sepatu yang amat tipis, bila tidak diperhatikan dengan seksama sukar untuk diketahuinya...

"Pek-heng, agaknya ada orang yang pernah lewat dari tempat ini..." segera serunya.

Warna darah yang merah terlintas di depan mata Pek In Hoei, tiba-tiba ia temukan beberapa tetes noda darah tertera di antara semak belukar di hadapannya, noda darah itu belum mengering dan jelas baru saja menetes jatuh, hal ini membuktikan bahwa ada seseorang baru saja lewat di situ. Dengan wajah serius Pek In Hoei segera bertanya : "Apakah anggota Komplotan Tangan Hitam itu menderita luka??"

Gan In tertegun, lalu jawabnya :

"Tidak begitu pasti tapi menurut laporan yang kuterima, katanya anggota Komplotan Tangan Hitam itu telah tertusuk oleh Hee Pek li sehingga terluka, kendati lukanya tidak begitu parah namun secara beruntun dia masih mampu melukai tiga saudara dari perkumpulan kami, dari sini bisa diketahui bahwa tenaga dalamnya cukup lumayan."

"Noda darah yang ada di sini belum kering," ujar Pek In Hoei sambil menuding noda darah yang ada di atas tanah itu, "jelas belum lama berselang menetes di sana, menurut dugaanku anggota Komplotan Tangan Hitam itu tentu sudah melarikan diri lewat sana." "Lalu siapakah yang meninggalkan bekas telapak kaki di atas

tanah sebelah sana?" tanya Gan In tercengang.

"Mungkin bekas kaki itu hanya merupakan suatu siasat belaka untuk melamurkan pandangan orang, agar usahanya untuk melarikan diri bisa berjalan lancar, tentu anggota Komplotan Tangan Hitam itu sengaja meninggalkan bekas telapak kaki yang kacau di sana agar kita mengejar ke arah jalan yang keliru, coba lihat tanah berumput dan bersemak di sekitar tempat itu merupakan tempat persembunyian yang amat baik. Gan-heng lebih kita mengejar dari sini lebih dulu."

"Tepat sekali," seru Gan In sambil bertepuk tangan, "hampir saja aku tertipu oleh siasat keparat itu!"

Rupanya dia mempunyai kepandaian yang cukup matang mengenai ilmu mencari jejak setelah diberi petunjuk oleh Jago Pedang Berdarah Dingin dan merasa bahwa keterangan orang itu benar, tanpa berpikir panjang ia segera loncat ke depan dan menerjang lebih dahulu ke dalam semak.

Ke-dua orang itu merupakan jago Bu-lim kelas satu, sepanjang perjalanan mereka bergerak semakin jauh dan semakin banyak noda darah yang mereka temukan, hal itu justru merupakan tanda petunjuk yang jelas bagi mereka berdua.

Tiba-tiba tampak sesosok bayangan manusia berkelebat masuk ke dalam hutan siong di sebelah depan, Gan In segera tertawa dingin, sambil silangkan telapaknya di depan dada ia berseru :

"Sahabat, sulit amat mencari tempat ini."

Bagaikan segulung hembusan angin tubuhnya segera menerjang masuk ke dalam hutan itu.

Blaaam... blaam... tiba-tiba desiran angin pukulan tajam berhembus keluar dari balik pepohonan, begitu dahsyat angin pukulan tersebut membuat Gan In terdorong mundur dengan sempoyongan dan terdesak keluar lagi dari dalam hutan.

Peristiwa ini membuat wakil ketua dari Perkumpulan Bunga Merah jadi naik pitam, dengan air muka hitam membesi teriaknya :

"Pek-heng, hampir saja kita terperangkap oleh jebakannya." "Berapa banyak orang yang berada di dalam sana?" tanya Pek In

Hoei dengan alis berkerut. Gan In tertawa getir.

"Tidak begitu jelas," jawabnya, "tetapi paling sedikit jumlahnya mencapai dua puluh orang lebih, sungguh tak nyana tempat ini merupakan suatu pusat pertemuan dari para Komplotan Tangan Hitam. Hmmm... rupanya suatu pertarungan sengit tak bisa dihindari lagi..."

Pek In Hoei melirik sekejap ke arah hutan tersebut, kemudian katanya :

"Gan-heng, musuh ada di gelap sedang kita ada di tempat terang, jangan memasuki hutan tersebut sekarang, kita berusaha untuk memancing kemunculan mereka dari dalam hutan..."

Dengan wajah serius tambahnya :

"Gan-heng, mari kita bakar saja hutan ini agar mereka jadi..." "Haaaah... haaaah... haaaah... benar, sedikit pun tidak salah,

sedikit pun tidak salah," seru Gan In tertawa terbahak-bahak, "kita bakar saja hutan ini untuk memanggang bebek, aku Gan In tidak percaya kalau mereka mampu untuk bersembunyi di dalam api terus menerus. Pek-heng! Lihatlah daya penghancur dari peluru Pek-lek- tan ini..."

Rupanya orang itu pun mempunyai keahlian di dalam ilmu mesiu, hal ini sama sekali berada di luar dugaan Jago Pedang Berdarah Dingin.

Dalam pada itu Gan In telah mengambil keluar sebutir peluru yang berbentuk bulat seperti telur ayam, bentaknya keras-keras :

"Anak monyet, cucu kura-kura... ayoh kalian segera menggelinding keluar dari tempat itu...!"

Sreet! Di tengah desiran angin tajam, sekilas cahaya terang meluncur di tengah kegelapan dan menerjang masuk ke dalam hutan itu.

Blaaam... ! Ledakan dahsyat bergeletar memecahkan kesunyian, menggetarkan seluruh bumi dan menggoncangkan pepohonan, asap tebal membumbung tinggi ke angkasa...! Percikan api memancar ke empat penjuru dan menimbulkan kebakaran besar dalam hutan tadi.

Di tengah kobaran api yang kian lama menjilat kian besar, sama sekali tidak terdengar jeritan ngeri atau teriakan kaget, juga tak nampak sesosok bayangan manusia pun yang melarikan diri dari tempat itu, suasana tetap sunyi senyap...

Gan In jadi tertegun ujarnya :

"Apakah setan-setan alas itu sudah pada modar semua?"

"Kita berdua sudah tertipu oleh siasat mereka," kata Pek In Hoei dengan wajah serius, "saudara Gan, kita sudah terlambat turun tangan, rupanya manusia-manusia itu cukup cerdik dan cekatan... kita harus menyia-nyiakan sebutir peluru Pek lek tan dengan percuma...

"Heeeeh... heeeeh... heeeeh..."

Tiba-tiba dari sisi kiri ke-dua orang jago lihay berkumandang keluar suara tertawa dingin yang rendah dan menyeramkan, Gan In segera ayunkan telapaknya sambil membentak : "Apa yang kalian tertawakan?"

Blaaammm! Angin pukulan yang dahsyat dengan berat menghajar di atas batu cadas yang besar membuat batu karang itu retak dan hancur terbengkalai, percikan pasir dan batu kerikil berhamburan di angkasa.

Dari balik semak segera bermunculan bayangan manusia, dua puluh orang pria baju hitam dengan mengenakan sarung tangan berwarna hitam sama-sama munculkan diri dari persembunyian, dengan senjata terhunus mereka segera kepung Pek In Hoei dan Gan In rapat-rapat.

Wakil ketua dari Perkumpulan Bunga Merah itu segera tertawa terbahak-bahak, serunya :

"Aku mengira kaliab semua telah modar dan tak ada yang hidup, hemmm... hemmm... kalian memang benar-benar anak kura-kura yang pandainya menyembunyikan diri, ledakan peluru Pek-lek-tan tidak membinasakan kalian... eeeei, tahunya kalian bisa merangkak keluar..."

Seorang pria berbadan kekar tertawa dingin, napsu membunuh yang mengerikan terlintas di atas wajahnya, sambil tertawa seram serunya :

"Wakil ketua she Gan, kau memang hebat sekali."

Gan In segera berpaling ke arah pria itu tetapi setelah mengetahui siapa lawannya,ia merasa hatinya tercekat dan jantungnya berdebar keras, dengan wajah serius segera tegurnya :

"Sungguh tak disangkat di tempat ini aku bisa menjumpai lagi dengan engkau si keparat yang pandai mencuri barang. Haaaah... haaaah... haaaah... Sun Giok Kun, apakah manusia-manusia berhati hitam itu adalah anak buahmu semua?" 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar