Iblis Ular Hijau

Pengarang : Aryani W
Bab 1

“BAGAIMANA, Eyang?”

Tak usah khawatir. Asal Eyang datang, “anakmu pasti sembuh kembali. He-he-he.” Kakek itu berkata menenangkan hari Raden Purwolumakso yang berjalan di belakangnya. Memasuki kamar di mana anaknya tengah terbaring sakit.

“Saya percaya, Eyang.” kata Raden Purwolumakso mengiyakan.

“Heh-heh-heh, ada kuasa gelap mengotori kamar ini. Untung kau memanggilku datang untuk mengusir setan- setan di kamar ini !” Ki Dukun Sutokriyip berkata dengan melebarkan matanya memandang ke pembaringan yang tertutup kelambu itu, “hemm, siapkan saja api pedupaan dan kemenyan serta jangan lupa bokor berisi air serta tiga warna bunga yaitu melati, mawar dan kenanga, lalu bawa cepat ke kamar ini,” perintahnya kepada Raden Purwolumakso.

“Baik, Eyang.” Raden Purwolumakso lalu menyuruh isterinya untuk memenuhi permintaan dukun itu. Isterinya mengiyakan lalu keluar dari dalam kamar, tidak berapa lama kemudian dia telah masuk kembali sambil membawa barang-barang yang diperlukan.

“Hehh-heh-heh, taruh saja di tengah kamar! Ya, di situ. Kalian berdua boleh menunggui atau keluar dari kamar ini menunggu di depan!” Sambil berjalan ke tengah kamar di mana peralatan itu sudah diletakkan oleh isteri Raden Purwolumakso, menengok pada kedua suami isteri itu kembali lalu berkata lagi, “Kalau kalian berdua tetap di sini, duduklah di sudut kamar itu dan jangan membuat gaduh. Apabila nanti ada sesuatu, harap kalian berdua tetap tenang, jangan menimbulkan suara yang dapat mengganggu konsentrasiku!”

Raden Purwolumakso dan isterinya mengangguk lalu keduanya berjalan ke sudut kamar yang telah ditunjukkan oleh Ki Dukun Sutokriyip, duduk berendeng saling berpegang tangan.

Dukun Sutokriyip lalu duduk bersila, melolos keris dari sarungnya, kemudian diletakkan di dekat perapian. Mengeluarkan semua peralatan yang dibawa dari rumahnya, yaitu batu akik, tengkorak manusia kecil yang telah berwarna kehitaman dan masih banyak lagi kantong-kantong yang entah berisi apa. Menaruhnya di depan lalu ia duduk bersila menghadap ke pembaringan, di mana seorang gadis cantik berusia enam belasan tahun tidur telentang dengan muka yang pucat kehijauan. Kedua mata anak gadis itu tertutup rapat dan nafas-nya tersendat-sendat, kelihatan sukar sekali untuk bernapas.

Raden Purwolumakso yang duduk di sudut memandang anaknya yang sedang sakit dengan sepasang mata tak berkedip, penuh dengan rasa kasihan dan khawatir. Isterinya tidak kuasa lagi menahan air mata yang mengalir keluar dari pelupuk matanya, melihat keadaan anaknya yang sedang kesakitan itu. Keduanya teringat akan peristiwa yang belum lama ini terjadi menimpa keluarga mereka.Matahari telah naik tinggi dan cahayanya telah terasa menyengat di permukaan kulit. Sebagian ada yang memasuki daun jendela di rumah-rumah dan mengusir bau pengap yang tidak enak di pernapasan, menggugah orang dari mimpi dan membangunkan dengan sinarnya yang menyilaukan. Tidak terkecuali dengan tempat tinggal keluarga Raden Purwolumakso, juga mendapat bagian dari kehangatan sinar mentari pagi ini, semua penghuni rumah itu tampak sudah bangun dan kelihatan sedang mengerjakan pekerjaan masing-masing. Raden Purwolumakso nampak tengah menikmati sinar matahari pagi dengan isterinya di pendapa, menghadap ke arah matahari yang menyehatkan di pagi hari itu. Ketika itu lewatlah seorang pembantu setengah tua sambil membawa keranjang cucian di pelataran depan.

“Yem, Astuti apa sudah keluar dari kamarnya?”

“Belum ndoro kakung, sedari pagi, hamba belurn melihat Den Roro Astuti,” jawab Mbok Giyem, sesudah bersimpuh di lantai depan kedua suami isteri itu. Lalu lanjutnya, “Mungkin Den Roro Astuti sakit, Gusti?”

“Hemm, ya sudah.”

Mbok Giyem pun lalu berlalu dari tempat itu dan menuju ke belakang untuk mencuci pakaian kotor di keranjang yang dibawanya. Sepeninggal Mbok Giyem, Raden Purwolumakso dan isterinya saling pandang sejenak lalu berdiri. Dengan diikuti isterinya Raden Purwolumakso ke kamar anaknya yang letaknya dekat dengan ruang makan di samping. Daun pintu masih tertutup rapat. “Tok-tok-tokk! As….. Astuti….., bangun! Buka pintunya, nak!” Ibunya mengetuk daun pintu, membangunkan anaknya dan ketika lama belum juga ada sambutan dari dalam kamar itu iapun lalu kembali mengetuk lebih keras sambil memanggil-manggil dengan suara yang lebih nyaring!

“Ya, bu. Sebentar….. ahh…. aduhhh….!” Tak lama kemudian terdengar suara sandal diseret berat berjalan mendekati daun pintu kamar dan terdengar pula ganjal pintu itu dibuka dari dalam. Begitu Raden Purwolumakso dan isteri membuka daun pintu, mereka berdua kaget melihat muka anaknya yang pucat bagaikan kehabisan darah. Ibunya langsung menubruk ketika melihat Astuti berdirinya menjadi oleng.

“As…. Astuti, ada apa nak. Apanya yang terasa sakit?”

Astuti tidak menjawab pertanyaan ibunya karena telah pingsan. Raden Purwolumakso lalu menolong isterinya mengangkat tubuh anaknya ke pembaringan dan menyelimutinya dengan selimut yang tebal. Memandang isterinya sejenak, lalu berkata.

“Bune, aku akan memanggil dukun obat di sebelah jalan perempatan desa sana!”

Tetapi usahanya telah gagal dan akhirnya dia memanggil Dukun Sutokriyip dari Gunung Tugel. Seorang dukun yang telah berusia agak lanjut yaitu sekitar enam puluhan tahun. Seorang ahli dalam menolak segala macam penyakit dan gangguan dari orang yang tidak senang atau disantet! Malah kabarnya bisa mengusir roh halus. Sampai di sini kenangannya terputus lalu melihat ke arah Dukun Sutokriyip yang sedang membaca mantera!

Ki Dukun Sutokriyip berkemak-kemik berulang-ulang menyuarakan mantra yang tidak jelas terdengar oleh telinga. Tangan kirinya berulang kali menaburkan kemenyan ke api pedupaan yang terletak di depannya dan asap keputihanpun mengepul naik dengan bergulung-gulung naik memenuhi kamar tidur itu. Menyiarkan bau harum kemenyan yang mempunyai bau tersendiri! Tiba-tiba tubuh Ki Dukun bergetar, makin lama makin keras getarnya dan tangannya bergerak- gerak tidak menentu. Diam sejenak. Lalu mengambil bokor yang berisi bunga serta membawanya ke sisi pembaringan lalu memercik-mercikkan air bokor itu ke sekeliling pembaringan dan tubuh Astuti yang sedang terbaring, sambil tiada hentinya dia membentak-bentak! Berjalan keliling kamar sambil menaburkan bunga-bunga, kembali ke tempat duduknya semula dan meletakkan bokor !aiu duduk diam bersamadhi.

Keadaan menjadi sunyi yang mencekam dengan adanya bau kemenyan yang menyengat hidung. Tiba- tiba……..

“Brakkk! Wussss… !”

Jendela terbuka mendadak, seakan ada tangan raksasa yang tidak nampak mendorong dari luar sehingga membuat jendela terbuka dengan mengeluarkan suara keras! Angin dingin menyerbu masuk membuat api kecil di sudut yaitu api penerangan kamar itu bergoyang-goyang menari ke kanan kiri, menimbulkan bayang-bayang aneh dari kepulan asap yang tebal di tengah ruangan!

Keadaan dalam kamar pun semakin menggiriskan! Ki Dukun Sutokriyip melolos kerisnya dari warangkanya lalu dibawa ke depan dada, dipegang oleh kedua tangan dengan ujung mengarah ke atas. Mulutnya tiada hentinya berkemak-kemik.

Sedangkan Raden Purwolumakso saling dekap dengan isterinya, tubuh keduanya menggigil serta mengeluarkan keringat dingin, memandang ke arah jendela yang terbuka. Sebuah benda sebesar kelapa bersinar kehijauan meluncur masuk melalui jendela, melayang memutari kamar dua kali lalu meluncur turun diantara pembaringan dan dukun itu duduk. Ketika benda itu menyentuh lantai, ”buss…..!” lenyap, berubah menjadi asap tipis bergulung naik berwarna kehijauan membentuk tirai yang memisahkan si sakit dengan Ki Dukun Sutokriyip.Melihat ini Dukun Sutokriyip terkekeh,

”Heh-heh-heh……, kiranya kau yang mengganggu cucuku!” Sambil tangan kirinya meraih kepala tengkorak kehitaman itu dan meniup di ubun-ubun dan dilontarkan ke atas. “Terimalah ini! Setan Gundul Cemeng akan menghisap habis dirimu!” Kepala tengkorak itu ketika dilontarkan ke atas, bukannya jatuh akan tetapi malah melayang-layang memutari kamar seakan bernyawa dan memiliki sayap.

Setelah berputaran dua kali kepala tengkorak itu meluncur turun menerjang ke arah tirai asap kehijauan di depan. Kedua mata yang berlubang di tengahnya seakan ada api kecil bagaikan bernyala serta mulutnya bergerak naik-turun siap memakan lawan! Menghisap kabut hijau di tengah ruangan! Begitu kepala tengkorak mengenai tirai kehijauan, asappun membuyar, lalu kembali membungkus tengkorak kehitaman dan makin lama asappun semakin tebal, sehingga tengkorang tidak tampak.

Tiba-tiba terdengar jeritan melengking anak kecil memecah kesunyian dari tengah gumpalan asap, seakan anak yang ketakutan dan tak lama kemudian…. ter- dengar ledakan kecil. Asap kehijauan lalu mem bentuk tirai kembali dan tengkorak kecil itupun lenyap tidak meninggalkan bekas! “Uuhh…… huukkk…..uhhhuukkk…..!” Ki Dukun Sutokriyip terbatuk-batuk. Dadanya seakan kena hantam tangan raksasa ketika tengkorak Setan Gundul Cemeng meledak! Tenaga batin yang mendorong tengkorak dapat bergerak, telah kalah oleh tenaga lawan sehingga tenaga nya membalik! Membuatnya terbatuk-batuk karena dadanya terasa nyeri. Ki Dukun Sutokriyip lalu mengatur napasnya kembali sambil tangan kirinya menaburkan kemenyan ke api, asappun mengepul naik dengan hebatnya. Mulutnya kembali berkemak-kemik, sepasang matanya dilebarkan memandang ke arah api lalu kerisnya dibolang-balingkan di tengah asap di atas api pedupaan itu.

“Ha-ha-ha…… keluarkan semua kesaktianmu, tua bangka!” Tiba-tiba terdengar suara yang dalam dan menggetar, anehnya yang berkata tidak nampak orangnya. Bagaikan suara iblis saja!

“Hiyaaaahhhhh…….. heh……. heh-heh-heh, terimalah pusakaku ini!” Ki Dukun Sutokriyip menggerakkan tangan kanannya dan keris itu-pun meluncur ke depan.

“Tingg….. tinggg…. tinggg…..!” Bagaikan paruh burung pelatuk sedang mematuk pohon, keris itu menusuk-nusuk di tengah udara dan berusaha untuk menembus tirai kehijauan itu. Tubuh Ki Dukun Sutokriyip bergetar makin kuat, lalu kedua tangannya didorongkan ke arah kerisnya untuk menambah tenaga, agar kerisnya dapat menembus tirai itu dan mengenai lawannya.

“Huah-hah-hah….. hi-hi-hikk….. kerahkan sepenuh tenagamu. Mana itu kesaktianmu yang tersohor tua bangka?” Tiba-tiba nampaklah sosok tubuh di balik tabir asap. Tubuh tinggi besar  dengan dada telanjang dan nampaklah pula seekor ular hijau sebesar lengan melingkari lehernya dengan kepala bergerak-gerak sambil menjulurkan lidahnya yang kecil kemerahan. Wajahnya juga berwarna kehijauan dengan sepasang mata sebesar jengkol bersinar tajam, di kanan kiri bibirnya nampak sepasang caling menyembul keluar.

Raden Purwolumakso dan sejak tadi telah menggigil saling berdekapan itu, tidak terasa lagi telah terkencing- kecing karena menahan ketakutan. Pemandangan yang dilihatnya di dalam ruangan itu sungguh membuat hancur ketabahannya, apalagi ketika melihat seorang raksasa berkulit kehijauan di dekat pembaringan anaknya. Tanpa terasa keduanya telah pingsan dengan kedua mata masih terbuka! Ki Dukun Sutokriyip tidak menjawab ejekan Iblis Ular Hijau. Menahan napas untuk menambah daya menyerang pusakanya. Karena sedang menghadapi lawan tangguh ia mengerahkan seluruh kekuatan batinnya, berusaha untuk membendung serangan balik Iblis Ular Hijau. Urat-urat di seluruh tubuhnya perlahan-lahan menggembung, makin iama makin membesar.

Iblis Ular Hijau pun mendorongkan kedua tangannya ke depan. Terjadilah adu kekuatan batin yang seru, kalau kalah dapat dipastikan akibatnya! Mati! Memang dalam adu kekuatan batin ini hanya ada dua pilihan yaitu menang dapat hidup, akan tetapi kalau kalah, pasti mati!

Keris itu perlahan tapi pasti terdorong mundur ke arah pemiliknya. Ki Dukun menggigit bibir sampai berdarah, berusaha menahan. Akan tetapi tiba-tiba otot-otot tuanya telah tidak kuat lagi menahan kemauannya, dan…….pecahlah otot-otot itu dengan mengeluarkan letupan-letupan kecil. Darahpun berhamburan memenuhi ruangan itu. Mayat Ki Dukun Sutokriyip tidak dapat dikenali lagi bentuknya karena telah hancur kulit dan dagingnya!

Iblis Ular Hijau mengamati onggokan daging lawannya, meludah dan menghampiri pembaringan. Mulutnya berkemak-kemik lalu meniup tubuh Astuti. Kedua mata Astuti terbuka perlahan-lahan, pandang matanya bak boneka dan napasnya yang tadinya tersendat kini memburu bagaikan orang yang sedang berlari kencang. Tiba-tiba tangannya menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Ternyata tubuh di balik selimut itu tanpa sehelai benangpun yang menutupinya, seakan orok yang baru keluar dari rahim ibunya! Tubuhnya bergerak-gerak tak beraturan ketika Iblis Ular Hijau membaca mantera makin cepat dan semakin cepat lagi, seperti seekor cacing yang ditaruh di abu yang panas, berkelojotan tidak menentu!

“Ha-ha-ha……!” Si Iblis Ular Hijau yang melihat keadaan korbannya sudah seperti itu lalu melepas kulit nya untuk menubruk daging angsa di pembaringan itu. Menghisap habis sari kehidupan Astuti sampai kering. Tidak berapa lama kemudian tubuh Astuti telah tergolek dengan tidak bernapas lagi. Mati! Tubuhnya menyusut bagaikan balon yang kehilangan anginnya sehingga kulitnya bersatu dengan tulang-tulang tubuhnya, atau tinggal tengkorak yang terbungkus kulit!

Sambil mengenakan pakaiannya kembali, si Iblis Ular Hijau melihat keadaan sekeliling ruangan lalu meludah. Sekali kakinya menjejak lantai, tubuhnya melayang ke arah daun jendela dan hilang di kegelapan malam. Hanya meninggalkan suara tawa yang melengking nyaring bagaikan tawa iblis yang telah mendapat kepuasan menikmati korbannya!

(OodwkzoO) Bab 2

PEMUDA berwajah tampan itu mengambil sepotong kayu lalu melemparkannya kearah api yang hampir padam itu. Bunga-bunga api pun beterbangan ke atas bagaikan kunang-kunang di malam gelap terbawa angin untuk kemudian padam menjadi abu, lenyap di kelam malam. Duduk di dekat api unggun seorang diri pula di malam dingin di tepi hutan dengan tenangnya, menandakan bahwa pemuda ini bukanlah seorang pemuda bias? saja, melainkan seorang pengelana yang tidak gentar menghadapi serangan binatang buas penghuni hutan dan para perampok yang biasanya bertempat tinggal di hutan yang lebat dan menjadi penguasa rimba! Siapakah pemuda yang mengenakan pakaian serba putih dan tersenyum manis dengan wajah tampan dihiasi sepasang mata berseri-seri itu? Benar! Tebakan anda benar, dia bukan lain adalah seorang pengelana dari Mataram yang bernama Suryo.

Atau lebih dikenal namanya dengan Suryo Lelono. Seorang pendekar muda yang namanya mulai terkenal di dunia para pendekar setelah membasmi Iblis Elang Hitam di Wonowoso!

Sambil mengorek-ngorek bara api, berhenti sebentar untuk menambah kayu bakar agar api unggun itu tetap menyala. Dapat untuk mengusir nyamuk yang datang mendekat dan menghangatkan badan dari serangan hawa dingin. Suryo termenung sambil memandang ke arah api yang menyala naik turun, seolah di situ terdapat bayangan yang nyata dan menarik perhatiannya. Menghela napas panjang penuh penyesalan kalau teringat dia membunuh lawan nya si Iblis Elang Hitam dengan aji pamungkas pemberian Pengemis Alis Putih. Aji Pamungkas yang luar biasa akibatnya!

“Ahh, ilmu itu sungguh-sungguh dahsyat! Aku harus hati-hati mengeluarkannya. Kalau tidak terpaksa sekali, aku tidak akan meng-gunakan ilmu itu!” bisiknya dalam hati, seakan berjanji dengan dirinya sendiri! Sambil bersandar di akar yang menonjol Suryo memandang ke atas. Nampak langit yang bersih dari gumpalan awan dan bintang-bintang yang tak terhitung banyaknya berkelap kelip di hamparan beludru hitam. Sekalipun bulan tidak muncul akan tetapi bintang-bintang itu sungguh indah sekali! Keindahan yang jarang dapat dinikmati oleh kebanyakan orang yang telah penuh dengan persoalan yang me-nindih seluruh jalan pikirannya! Beban problem yang berat untuk dipanggulnya setiap hari! Kebesaran Tuhan yang memberikan segala keindahan untuk semua ciptaannya untuk dapat menikmatinya!

Tiba-tiba Suryo tersentak! Apa yang dilihatnya? Di iangit yang bersih itu terlihatan sebuah cahaya putih cemerlang meluncur dengan cepatnya seakan ada bintang yang berpindah tempat, atau lebih tepat lagi meteor yang melayang menuju ke arah sebatang pohon yang tinggi dan besar di bawah bukit!

“Hemm, benda apakah itu yang sinarnya begitu terang? Mengapa jatuh di pohon itu?” bisiknya pelan, sambil mengingat dan memberi tanda di mana benda itu lenyap. “Biarlah besok akan kuselidiki ke sana!” Tak berapa jauh dari tempat Suryo duduk, nampak tiga pasang mata mengawasi gerak-geriknya dari balik rimbunnya semak belukar, agaknya bukan mata binatang buas penghuni hutan itu yang mengintai. Akan tetapi tiga pasang mata manusia. Benar! Mereka adalah tiga orang laki-laki yang bertubuh kekar serta bertampang menyeramkan.

“Kulihat dia tidak membawa senjata, kang. Pemuda itu pasti bukan pendekar, hanya seorang pejalan kaki yang kemalaman saja!” Salah seorang berkata dengan suara yang tidak dapat pelan.

“Ssttt, jangan keras-keras, Nden! Kalau kau omong mbok ya pelan saja. Tidak perlu ngotot!” tukas temannya.

“Aeeyaaahhh….. mesti kok gitu lho, kang Genjik ini!” Ganden mengomel.

“Sssstttt…… diam!!”

Pendengaran Suryo yang tajam telah dapat menangkap bisik-bisik tiga orang laki-laki itu, walaupun agak jauh tapi Suryo dapat mendengar dengan jelas. Maka iapun menoleh ke samping sambil menguap dan merentangkan kedua tangannya mengolet. Merebahkan diri seakan tidur tapi dalam hatinya dia tersenyum geli, menanti kelanjutan dari pembicaraan itu!

“Kita. tunggu sebentar lagi, nanti kalau dia pulas baru kita kerjai!”

“Ahh, buat apa nunggu-nunggu segala! Kita sergap saja bersama pasti berhasil. Masa kita, bertiga akan kalah!” ajak Ganden.

“Betul kata Ganden, kang. Hayo maju!” Tanpa menanti jawaban Genjik menyelinap maju mendekati si pemuda yang akan dijadikan korbannya itu. Kedua orang temannya mengikuti dari belakang dan setelah dekat mereka lalu mengambil posisi masing-masing, mengepung dan mencegat agar si korban tidak dapat meloloskan diri.

Suryo yang pura-pura tertidur, tetap diam tak bergerak. Napasnya diatur panjang-panjang seakan telah pulas, tapi kedua telinganya yang berpendengaran sangat tajam itu mengikuti segala gerak yang dilakykan oleh ketiga orang itu. Pendengarannya seakan menjadi pengganti sepasang matanya dan mengikuti kemanapun tiga orang itu bergerak!

Ketiga orang itu saling memberi isyarat tangan, lalu hampir berbareng mereka menubruk ke depan untuk meringkus korbannya!

“Dukkkk! Adduuuhhhh…….!!” “Edan ane luput!”

“Lho kok hilang!” Ketiga perampok itu saling tubruk sendiri dan jatuh tumpang tindih di dekat akar pohon di

mana tadi Suryo telentang. Sambil mengumpat panjang pendek mereka bangun mencari-cari si pemuda, memandang ke kanan kiri lalu ke atas, akan tetapi yang dicari tidak nampak lagi bayangannya. Tanpa terasa lagi seluruh bulu di tubuh mereka pada berdiri karena merasa seram!

Genjik yang paling dulu berkata. “Jangan-jangan pemuda itu bukan manusia? Masa kita bertiga dapat luput menubruknya?”

“Seee…… seee…… taaaaannnnn…..!” Ganden berteriak sekuatnya tubuhnya gemetaran tidak karuan. ”Haaaa…… setaaaannnnn……!” Dan kedua temannya lari sipat kuping tanpa melihat arah lagi. Saling tabrak jatuh bangun tanpa berani menengok ke belakang.

“Tooo….. looonggg…… kang Gen…. to, to,to…. longgg…… kang Genjik…… tolonggg….!!”

Ganden yang gemetaran saking takutnya tidak bisa lari, apalagi ketika tengkuknya tersiram air dingin dari atas pohon. Ganden ndeprok lalu berusaha pergi dari tempat itu dengan merangkak. Setelah agak jauh situ ia menengok ke belakang dan……. nampak bayangan putih bergerak-gerak di cabang pohon yang tinggi. Gaden pun berdiri, berlari sambil menengok ke belakang takut kalau bayangan putih itu mengejarnya.

“Bressss! Huaaaadduuuhhhh! Mati aku!!” Ternyata tubuhnya telah melanggar batang pohon dengan kerasnya akibat dari berlari sambil menengok ke belakang tadi. Membuatnya terpelanting, merintih lalu pingsan! Dua sosok bayangan hitam menghampiri tubuh Ganden yang tergolek lalu memapahnya, dibawa pergi meninggalkan tempat itu. Dalam sekejap saja lenyaplah bayangan mereka di kegelapan malam!

“Huah-ha….. ha-ha-ha….. hi-hi-hi-hik…. ha-ha-ha…..!!” Suryo tak dapat menahan ketawanya saking gelinya melihat peristiwa itu. Dia memang tidak mau melayani tiga orang perampok itu. Begitu mereka menubruknya, Suryo menggunakan kecepatan geraknya untuk me lompat ke atas pohon. Saking cepat gerakannya, tiga orang itu tidak dapat melihatnya ke mana dia menghilang di balik daun-daun yang lebat tidak nampak oleh ketiganya. Ketika melihat Ganden gemetaran tidak dapat pergi menyusul kedua temannya yang lari, iapun ingin menggoda Ganden lebih lanjut. Suryo melepaskan burungnya untuk berdendang icciek iccciiieeeeekkkkk!

Suryo lalu meneruskan tidurnya di atas pohon. Ketika mentari telah bersinar dan cahayanya yang redup menimpa wajahnya diapun terbangun. Meloncat turun untuk pergi ke sungai, di mana ia kemarin telah mengambil air untuk minum. Mandi di sungai lalu kembali dia mengenakan pakaiannya. Selesai itu semua iapun menuju ke arah pohon yang malam tadi telah menarik perhatiannya. Wajahnya bersinar-sinar karena tubuhnya terasa segar sehabis mandi tadi, langkahnya juga terasa ringan!

“Hemmm, tak salah lagi, pasti di sini!”

Sekali menjejakkan kaki tubuhnya telah melayang ke dahan yang terendah lalu berloncatan dari dahan ke dahan dengan cepatnya sambil mengawasi dengan teliti. Benar pasti di sini tempatnya, kembali ia membatin setelah melihat onggokan kayu bekas api unggunnya semalam. Kembali sepasang matanya meneliti dengan lebih teliti lagi diantara cabang-cabang yang malang- melintang serta rimbunnya dedaunan. Tiba-tiba dia tertarik melihat sebatang tongkat pendek yang ujungnya melengkung tergantung di cabang yang paling tinggi.

“Huppp!” dengan sekali meloncat saja tubuh nya telah melayang dekat cabang di mana tongkat itu tergantung. Suryo mengulurkan tangan kanan untuk mengambil tongkat itu.

“Wirrr…..!” Seleret sinar hijau bagaikan kilat cepatnya mengarah tangan kanannya. Suryo membalikkan tangannya menyaut sinar itu, “tappp!” benda dingin lunak melingkar di telapak tangannya. Ketika dia membuka telapak tangannya, ternyata seekor ular hijau kecil dengan kepala berbentuk segitiga telah melingkar jinak! Tanpa pikir lagi Suryo mengambil tongkat dengan tangan kiri sekali meloncat, tubuhnya telah melayang turun seringan bulu ke atas tanah. Meneliti tongkat kayu cendana yang berwarna kehitaman itu.

Anehnya! Ular tadi melingkari tangan Suryo merayap pelan menuju ke saku baju pemuda itu, masuk lalu dengan tenangnya melingkar dalam saku pemuda baju putih itu!

Penuh keheranan Suryo menghadapi kenyataan yang dialaminya ini. Mengapa ular hijau itu tidak mematuknya? Mengapa malah melingkar dan memasuki kantong baju. Berdiam di situ seperti ingin mengikuti dirinya! Tongkat (teken) kayu cendana inipun aneh? Bagaimana dapat menggantung di cabang yang tinggi itu serta ditunggui oleh seekor ular hijau!

“Ahh, masa bodoh! Yang terang sekarang aku mendapat kawan seekor ular dan mendapat teken (penopang dari kayu untuk pejalan kaki) kayu cendana yang dapat untuk senjata.” gumamnya lirih sambil melanjutkan perjalanan sambil memutar-mutar teken dengan jurus-jurus Ilmu Tongkat Pengemis Gila!

(OodwkzoO) Bab 3

“HIIIYAAAA……! Tarr-tarr-tarr….. hiiyaaa aaaa!!” Kusir kereta memainkan cambuk nya, melecut udara kosong sambil berteriak keras, tangannya yang memegang kendali bergerak naik turun. Si kusir ini memacu kuda nya karena ingin cepat dapat keluar dari tengah hutan. Enam pengawal juga mencambuki kudanya agar tidak tertinggal dan dapat selalu mengawal kereta yang dilarikan kencang itu. Rombongan ini ingin keluar dari hutan dengan cepat agar sampai di tempat tujuan lebih awal. Raden Harjorumekso yang duduk berdua di dalam kereta dengan isterinya tergoncang-goncang ke kanan kiri. Mereka berusaha untuk dapat duduk dengan baik, mengurangi goncangan dengan jalan memegangi daun jendela kuat-kuat.

“Kro, pelankan sedikit! Perutku sampai sakit tergoncang!” teriaknya pada si kusir. Keretapun diperlambat larinya, memenuhi permintaan Raden Harjorumekso walaupun dalam hati si kusir merasa jengkel. Sejak berangkat dari rumah tadi dia disuruh untuk melarikan kudanya karena ingin dapat sampai di tempat tujuan lebih pagi. Akan tetapi kenapa sekarang ketika berada di tengah hutan malah disuruh untuk berjalan pelan? Sukro si kusir merasa heran.

“Iiiiiyyeeeeiiiii……” Kedua kuda meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depan, membuat badan kereta hampir saja terguling. Raden Harjorumekso kaget sekali melihat ulah kusirnya. ”Duukkkk!” Tak ampun lagi pelipisnya terantuk tepi jendela, sedang isterinya menjerit ketakutan tubuhnya menggigil saking takutnya. “Gila! Bagaimana caramu membawa kereta, Kro?

Ngantuk ya!” bentaknya marah.

“Maaf, Gusti. Di depan ada tiga orang menghadang di tengah jalan, sehingga kuda-kuda menjadi kaget.” Sukro menjawab teguran tuannya.

”Ha-ha-ha….. ini baru rejeki!” Ganden berkata keras.

Kedua kawannya juga tertawa.

Enam orang pengawal maju ke depan setelah turun dari kuda serta menambatkan kuda pada ranting di tepi jalan. Salah seorang yang agaknya menjadi pemimpinnya berkata.

“Siapa kalian berani menghadang rombongan ini?” “Uuwaaahhh, lagaknya seperti seorang bangsawan

tinggi saja! He-he-he….. siapa adanya kami bertiga? Kamilah yang disebut orang Tiga Pendekar dari Pandean….. ha-ha-ha!”

Enam pengawal itu kaget mendengar ini. nama Tiga Pendekar dari Pandean bukanlah nama yang tidak terkenal. Mereka bertiga sebetulnya adalah jago silat tiga bersaudara yang menjadi dedengkot di desa Pandean. Sayang sekali mereka terlalu mengandalkan kepandaiannya dan sering berbuat kurang terpuji.

“Maafkan kami kalau kami berlaku kurang hormat. Kami tidak mengetahui kalau tuan bertiga adalah Tiga Pendekar dari Pandean.” Kepala pengawal memberi hormat memohon maaf.

“Hee, pengawal! Siapa yang di dalam kereta? Rombongan ini mau ke mana?” Genjik bertanya agak halus. “Pemilik kereta ini adalah Gusti Raden Harjorumekso. Mau ke tempat saudaranya untuk melayat.” si pemimpin memberi tahu bahwa rombongannya ini mau pergi melayat, agar tidak diganggu.

“Hemmmm, kalau begitu cukup memberi kami uang sekadarnya untuk membuka jalan agar kalian dapat melanjutkan perjalanan kembali!”

“Kami mohon pengertian tuan pendekar bertiga, karena hendak melayat maka tidak membawa bekal uang yang banyak. Setelah selesai melayat barulah kami serombongan menghaturkan terima kasih.”

“Cerewet! Lekas suruh keluar tuanmu itu! Biar dia sendiri bertemu dengan kami bertiga!”

Raden Harjorumekso telah mendengar semua pembicaraan mereka, ia lalu memberi perintah kepada enam pengawalnya. “Serbu saja mereka! Kalian terdiri dari enam orang dan mereka hanya bertiga. Masa kalian takut!”

“Edan….. malah nantang! Hayo kang, kita habisi saja dia!” Ganden yang berwatak berangasan tidak dapat menahan diri lagi. Enam orang pengawal itu mendengar perintah tuannya menjadi kaget. Mereka sebetulnya hendak mengajak jalan damai untuk tidak menimbulkan permusuhan dengan Tiga Pendekar Pandean. Karena Raden Harjorumekso telah berteriak demikian, maka tiada jalan lain lagi mereka harus melawan. Untuk tidak menimbulkan rasa permusuhan yang mendalam mereka menyerbu dengan tangan kosong. Terjadilah pertempuran berat sebelah. “Cepat jalankan kereta, Kro! Selagi mereka bertempur, cepat!”

Sukro tanpa diperintah dua kali sudah melecut kudanya agar berlari kembali. Mat Gudel orang tertua Tiga Pendekar dari Pandean yang selalu mengawasi kereta segera tahu maksud si kusir. Sehingga belum sampai kuda itu berlari dia telah meloncat ke atas kereta dan kakinya melayang ke arah dada Sukro. Tanpa ampun lagi Sukro terpental keluar dari kereta!

Raden Harjorumekso kaget melihat Sukro terlempar dari kereta, isterinya juga tambah ketakutan lagi. “Ini….. ini…. bagaimana ini….” ia tidak dapat melanjutkan lagi kata-katanya karena keburu menangis. Takut kalau dibunuh oleh ketiga orang itu.

“Tenang ibune, tenang…..!” Suaminya mencoba untuk membesarkan hati isterinya, akan tetapi sebetulnya dia sendiri juga merasa bingung. Apalagi ketika melihat enam pengawalnya sudah malang melintang di atas tanah sambil merintih kesakitan! Tanpa disadarinya mukanya menjadi pucat. Ganden dan Genjik melangkah maju menghampiri kereta,tangan terulur untuk membuka pintu kereta….. “Tukk’ Tukk!!”

“Aduuuhhhhh! Athoooo…..!” Ganden dan Genjik menarik tangannya lalu dikibas-kibaskan untuk mengurangi rasa sakit. Mat Gudel yang duduk di atas kereta juga kaget melihat keadaan kedua temannya. Mengapa mereka menjerit lalu mengibas-ngibas kedua tangannya? Mat Gudel lalu celingukan mencari-cari di sekitar kejadian itu, tiba-tiba ia melihat seorang pemuda tampan berpakaian serba putih mendatangi dari depan sambil memutar-mutar sebuah tongkat pendek. “Di siang bolong mengganggu orang! Ck-ck-ck sungguh tidak baik dan tidak terpuji. Katanya tiga pendekar, nyatanya hanya tiga perampok kecil, he-he- he……!”

Tiga Pendekar Pandean menjadi marah men dengar ini. Mereka adalah jagoan pilih tanding di seluruh Pandean, mengapa bocah kemarin sore itu berani mengatakan mereka perampok kecil. Ganden yang berangasan membentak. “Setaaannnn! Bocah bau kencur berani berkata tidak karuan, he….. bocah. Apa orang tuamu tidak pernah mengajarimu sopan santun!”

“Uuwaaahhhh lagaknya….., seakan orang berbudi saja. Heee…. Kang Ganden, siapa yang tidak tahu kesopanan? Kau atau aku, he-he-he……”

“Bangsat! Malah masih berani menjawab! Mampus kau…..!!” Ganden meloncat maju sambil mengirimkan kepalan ke dada anak muda itu. Angin dingin menyambar dada dengan kuatnya. Agaknya Ganden kalap dirinya diejek seorang bocah. Maka dengan sekali pukul dia ingin anak itu mencelat dan pingsan!

“Ihhh, baunya pesingggg!!” Sambil meliukkan tubuh atasnya sedikit pemuda itu dapat menghindari pukulan, lalu tangan kanan yang memegang tongkat bergerak.

“Bleekkkk!” Ganden jatuh dengan pantatnya lebih dulu menimpa tanah. Sialnya pantatnya menimpa batu yang runcing sehingga membuat pantat itu sakitnya bukan main! Ternyata dengan sekali gerak tadi lengkung tongkatnya telah menarik kaki depan Ganden ke atas, membuat Ganden jatuh dengan pantat lebih dulu. “Hssss….. addd…… adduuhh…..” Sambil kedua tangannya menggosok-gosok pantatnya dengan keras mengusir nyeri! Tanpa malu Ganden merintih kesakitan.

“Wuttt! Wuutt!!” Dua kepalan sebesar kelapa mengarah kepala. Suryo mundur selangkah tangannya bergerak.

“Tukk! Tukk!” Dan sebutir telur tumbuh di dahi keduanya. Sakitnya bukan main! Keduanya lalu menekan-nekan telur itu sebentar, memandang ke arah si bocah dengan mata berapi.Mat Gudel memberi isyarat kedua temannya, lalu mencabut klewang membabat kepala anak muda itu. Ganden dan Genjik tidak mau ketinggalan, mereka juga membabatkan golok-nya. Golok Genjik menabas perut sedangkan Ganden membelah kepala!

“Tranggg….!!” Ketiga golok saling beradu sendiri, membuat tangan yang memegang golok gemetaran saking kuatnya pertemuan senjata mereka. Entah dengan cara bagaimana anak muda itu bergerak, kelihatannya bocah itu tidak bergerak dari tempatnya kenapa golok mereka dapat beradu! Mereka bertiga memandang dengan mata terbelalak ke arah si bocah!

“Paman bertiga harap sadar bahwa perbuat an paman ini tidak benar. Menodai ketenaran nama sendiri, menyeret nama paman ke tempat yang rendah.” Suryo berkata dengan halus, tidak menyerang mereka lagi lalu melanjutkan. “Sebagai pendekar seharusnya paman melindungi yang lemah dan tertindas dari perbuat an sewenang-wenang dari orang-orang yang memaksakan kehendaknya. Tapi kenapa paman malah menindas orang lemah sendiri. Apa dunia sudah terbalik? Pendekar malah jadi perampok!”

“Bocah! Kau anak kemarin sore tahu apa?” Mat Gudel membentak.

“Sebelum kau lahir aku telah malang melintang di dunia pendekaran. Bocah kemarin sore mau menggurui orang tua! Gilaaa!” Genjik menyela. Ganden yang biarpun berangasan dapat melihat kebenaran kata-kata si bocah maka dia diam saja.Raden Harjorumekso juga telah turun dari kereta didampingi enam orang pengawai serta Sukro sais kereta, mereka mendengarkan semua pembicaraan itu. Melihat ke arah si pemuda baju putih yang tersenyum manis berdiri dengan santainya, tongkat digantungkan di pundaknya!

“Agaknya paman lupa bahwa yang tua belum tentu benar dan yang muda belum tentu salah. Seperti kata pepatah “kebo nyusu gudel” itulah yang saya maksudkan, paman.” kata Suryo sambil memandang Ketiga Pendekar Pandean silih berganti. Begitu pandang mata bertemu dengan pandang mata Suryo, ketiganya tidak kuat untuk memandang lebih lama, menunduk dengan wajah berubah kemerahan karena malu.

Mereka yang telah tua dan berpengalaman diberi pengarahan oleh anak kemarin sore.

“Kalahkan dulu kami bertiga, baru nanti kita bicara lagi!” Mat Gudel berkata pelan. Menuntut agar si pemuda dapat mengalahkan mereka bertiga baru mereka mau menurut kata-kata si pemuda. Suryo tersenyum lebar mendengar permintaan ini, ia maklum bahwa mereka bertiga akan selalu merasa penasaran kalau dia tidak dapat mengalahkan mereka tetapi berani memberi petuah!

“Silakan paman bertiga menggunakan senjata paman untuk menyerang, saya tidak akan bergerak atau membalas serangan paman satu kalipun!”

Ketiganya saling pandang tidak percaya, mereka disuruh menyerang dengan menggunakan senjata dan anak muda itu tidak membalas menyerangnya? Apa boleh buat! Mereka ingin membuktikan kata-kata anak muda ini!

“Awaas serangan!” Bagaikan kilat saja ketiga golok itu menerjang tubuh Suryo yang berdiri diam tak bergerak. Berulang kali ketiganya menyerang dengan menggunakan seluruh tenaga dalam mereka. Kenyataannya tidak ada sebuahpun golok mereka yang dapat menembus atau mengenai tubuh anak muda itu! Saking bernafsunya mereka bertiga sampai terengah- engah karena terlalu banyak mengerahkan banyak tenaga.

“Cukup, Paman!” Suryo berkata pelan. Akibatnya sungguh mengherankan mereka yang menonton, yakni Raden Harjorumekso serta Tiga Pendekar Pandean itu sendiri. Mereka bertiga terlempar ke belakang seperti dilanda topan ketika anak muda itu berbicara. Ketiganya berusaha bangun, anehnya tidak dapat! Sepertinya semua tenaganya telah lenyap meninggalkan tubuhnya.

“Amm….. ammpuuuunnnn raden. Kami bertiga mohon ampun, sudilah raden menyembuhkan kami ini. Ampuuunn…. toooobaaatttt!!” Hampir berbareng mereka bertiga bersambat, mereka takut bukan main mengalami hal seperti ini. Raden Harjorumekso sendiri bersama rombongannya juga berlutut memintakan ampun bagi ketiga orang yang tadi ingin meram-poknya itu. Suryo yang melihat ini tersenyum manis sekali, melangkah maju menghampiri mereka lalu tangannya menyentuh mereka satu persatu. Begitu tersentuh oleh tangan Suryo ketiganya dapat bangun kembali, telah sehat kembali seperti biasanya. Hanya merasa sedikit lemas karena tadi mereka telah mengeluarkan tenaga terlalu banyak.

“Harap semua paman berdiri, tidak enak rasanya!” “Ampunkan kami, raden. Apabila telah membuat

kesalahan kepada raden. Dan bolehkah saya mengetahui

siapa raden?”

“Paman, saya bukan raden. Saya hanyalah seorang biasa saja yang sedang meluaskan pe-ngalaman, nama saya Suryo, paman.” Setelah berkata demikian Suryo lalu lenyap dari hadap an mereka, membuat mereka kaget berbareng kagum!

“Suryo…… Suryo….. benar, pasti dia…. dia adalah Suryo Lelono pendekar muda yang baru saja muncul!” Ganden berteriak keras. Membuat orang yang mendengar menjadi kaget sekali mengetahui bahwa pemuda tadi adalah Suryo Lelono!

Tiga Pendekar dari Pandean merasa menyesal sekali akan perbuatan mereka tadi, dalam hati mereka berjanji akan merubah semua perilaku mereka yang tidak baik.

“Kami bertiga mohon maaf telah membuat anda sekalian mengalami kaget serta terhalang perjalanan untuk melayat. Kami sedia menerima hukuman karena telah membuat kalian menderita karena ulah kami bertiga.” Mat Gudel meminta maaf atas segala perbuatannya tadi.

“Kami juga minta maaf kepada saudara bertiga karena telah mengira bahwa kisanak adalah para perampok.” Raden Harjorumekso juga meminta maaf. Mereka semua lalu saling maaf memaafkan dan saling berkenalan akrab. Raden Harjorumekso lalu mengajak ketiga pendekar ini untuk ikut dengan rombongannya. Ketiganya juga menyetujui maka berangkatlah rombongan ini menuju ke rumah duka di desa Kandangan!

Tiga Pendekar Pandean lalu menceritakan siapa itu Suryo Lelono kepada mereka. Raden Harjorumekso merasa nelangsa karena pendekar itu telah pergi tak tentu rimbanya. Kalau dia tahu, pasti akan mohon bantuannya untuk memecahkan teka teki kematian keponakannya, Astuti di desa Kandangan!

(OodwkzoO) Bab 4

“ULAR HIJAU! Benarkah yang mengganas di rumah Raden Purwolumakso mengenakan kalung ular berwarna hijau?” tanya seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus pada teman seperjalanannya.

“Benar kang. Menurut para pembantu rumah di sana yang mengganas adalah ular hijau!” jawab Marto.

“Kalau demikian pastilah dia adalah Iblis Ular Hijau! Seorang iblis yang baru saja muncul serta mengganas di sekitar lereng Gunung Merapi, selalu mencari korban dara yang ma-sih perawan.” katanya kembali.

Dikun ini adalah seorang pedagang yang selalu bepergian dari kampung ke kampung untuk menjajakan dagangannya. Pedagang keliling istilah sekarang! Marto berhenti dan memandang Dikun dengan kaget sekali mendengar keterangan itu. Diapun ingin mengetahui lebih banyak perihal Iblis Ular Hijau yang mengganas serta mencari korban perawan untuk disedot sarinya sehingga menjadi tengkorak yang terbungkus kulit.

“Kang Dikun mari mampir di kedai itu, kita minum kopi panas sambil istirahat melepaskan lelah,” ajaknya. ”He- he-he….. kau pasti ingin mendengar cerita itu. Betul kan, tebakanku ini?”

Marto tersipu, maksudnya telah ditebak oleh Dikun dengan tepat sekali. Maka iapun menjawab. “Kang Dikun kayak dukun saja, tahu akan maksudku mengajak minum kopi. Mari, kang. Jangan jual mahal ah, aku ingin sekali mendengarnya.” Dikun mengangguk, lalu mengikuti Marto untuk memasuki kedai untuk menikmati secangkir dua cangkir kopi panas, sambil makan makanan kecil. Mencari tempat di sudut yang kosong, duduk berdua saja berbincang dengan asiknya!

Setelah menyeruput kopi yang masih hangat mengembalikan ke mejanya. Dikun mulai bercerita. Marto mendengarkan dengan penuh perhatian semua cerita Dikun tentang Iblis Ular Hijau! Marilah kita ikut mendengarkan cerita Dikun tentang Iblis Ular Hijau!

Suatu malam yang dingin sekali meliputi Padepokan Teratai di lereng Gunung Merapi sebelah timur. Ketua padepokan Nyi Resmi Suci sedang bersamadhi di sanggar pamujan yang terletak di tengah candi beserta lima orang muridnya. Kelima muridnya ini rata-rata baru berusia lima belasan tahun, wajah-wajah mereka rata- rata cantik dengan kulit tubuh yang putih mulus. Diam tak bergerak seakan telah berubah menjadi patung batu yang cantik menarik, sedap dipandang mata. Sampai tengah malam hampir berlalu mereka masih tetap dalam posisi seperti semula, tidak terganggu oleh hawa yang semakin dingin!

“Hi-hi-hi….. kak-kak-kak….. ha-ha-ha….!” Tiba-tiba terdengar suara tawa mengumandang di udara, memecah keheningan di padepokan di sanggar pamujan itu. Nampak di ujung menara candi berdiri seorang tinggi besar dengan dada telanjang, seekor ular hijau sebesar lengan melingkar di lehernya. Kelihatan jelas di bawah sinar bulan pernama yang menerangi malam itu.

Nyi Resmi Suci dan kelima muridnya tersadar dari samadhinya oleh suara tawa yang mengandung tenaga dalam yang hebat, seakan menggedor jantung di dalam dada. Begitu melihat tubuh tinggi besar di atas candi yang berwarna kehijauan itu kelima murid perempuan lalu mencabut pedangnya untuk bersiap diri menjaga segala kemungkinan dengan datangnya tamu yang tidak diundang ini!

“Ha-ha-ha…… Nyi Resmi, aku datang berkunjung untuk meminjam kelima muridmu.Huah-ha-ha-ha……” Tanpa basa-basi lagi orang berkulit kehijauan itu berkata tanpa tedeng aling-aling lagi. Sepasang matanya mengawasi kelima dara yang cantik-cantik itu dengan liar penuh nafsu jalang!

“Orang tak tahu sopan santun. Datang tanpa diundang, berkata seenak perut sendiri. Siapakah engkau, hei orang liar?”

“Hi-hi-hik…… jangan sewot nenek tua, aku tidak membutuhkan kau! Yang kuinginkan lima muridmu itu!”

“Sebutkan namamu dulu, sebelum kau mampus tak bernama!”

“Ha-ha-ha-hi-hi….. tanya-tanya nama segala, apa kau ingin memungutku menjadi mantumu! Baik, aku adalah Iblis Ular Hijau, seorang jago yang akan merajai di dunia kependekaran di seluruh bumi! Ha-ha-ha-hahaha……!!” Begitu selesai ucapannya tubuhnya telah meloncat ke dalam sanggar pamujan.

Keenam wanita itu mundur selangkah melihat ujud Iblis Ular Hijau. Nyi Resmi Suci memberi isarat, kelima muridnya maju mengurung membentuk pormasi segilima mengurung si Iblis tepat di tengah. Nyi Resmi pun mengeluarkan pedang tipis dari balik jubahnya, diangkat di depan dada dengan ujung lurus menunjuk dada si Iblis Ular Hijau.

“Mari, mari,   mendekatlah   ke   mari   bocah   ayu!

Kakangmas ingin segera membelaimu!”

“Wirr-wirrr-wirrr……. siutt-siuttttt!!” Lima Pedang di tangan kelima murid Padepokan Teratai bergerak menyerang dengan hebatnya, mendengar kata-kata yang tidak sopan itu. Gerakan pedangnya cepat serta bertenaga, saling melindungi dan saling bantu dalam menyerang lawan. Sedangkan Nyi Resmi Suci melengking nyaring sambil meloncat tinggi di udara pedangnya bergerak membelah kepala!

“Huuahhh….. ganasnya! Ha-ha-ha-ha…….!”

Sambil berputar tangannya bergerak menangkis lima pedang, sedangkan ular di lehernya menangkis ujung pedang yang menyerang dari atas! Para penyerang kaget mendapat serangan balasan dari Iblis Ular Hijau yang sungguh hebat. Kedua tangan lawan agaknya kebal karena berani menangkis pedang yang disaluri tenaga dalam tinggi. Anehnya ular hijau itupun dapat menahan pedang yang digerakkan oleh Nyi Resmi Suci yang mempunyai kepandaian tinggi!

Dalam waktu yang tidak terlalu lama Iblis Ular Hijau dapat menotok tubuh kelima murid Padepokan Teratai sedangkan pedang Nyi Resmi Suci terpental oleh sabetan ularnya yang melilit leher. Aneh memang! Ular hijau itu mampu menahan bacokan pedang dan malah dapat membuat pedang yang dipegang dengan tangan penuh tenaga dalam itu terpental. Ular itu pastilah bukan ular biasa, akan tetapi ular siluman! Hati Nyi Resmi Suci menjadi mencelos melihat kenyataan ini, betapa tidak? Pedangnya bukanlah pedang biasa serta dialiri oleh tenaga dalamnya yang juga sudah mencapai tingkat tinggi, kenapa sekarang bagaikan tidak berdaya menghadapi durjana ini? Berbagai pertanyaan memenuhi benaknya, tapi tiba-tiba melesat sinar hijau ke arah dadanya dan……. tanpa dapat dicegah iagi ular hijau telah mematuk dadanya.

Begitu terkena patukan Nyi Resmi Suci roboh dengan tubuh berubah menjadi hijau. Ular itu lalu merobek kulit dada lalu menyelusup masuk mengambil jantung korbannya. Sedangkan tuannya berdiri bersedakap sambil mulutnya komat-kamit membaca mantera.

Tiba-tiba tubuh yang telah tertotok lemas itu dapat bergerak lalu menari-nari di depan si Iblis sambil melepaskan pakaiannya satu persatu. Sepasang mata yang berwarna hijau itu semakin bercahaya membuat kelima orang wanita itupun menari semakin menggila, menari tidak menurut aturan lagi, hanya menggoyang- goyang seperti orang kepanasan yang haus kenikmatan dunia! Tiba-tiba mereka berlima berguling di tengah sanggar lalu telentang bergoyang ke kanan kiri dengan hebatnya. Melihat ini si Iblis Ular Hijau maju menubruk menyerang mereka satu persatu, menyerap sari kehidupan dara-dara suci ini. Empat orang gadis telah layu dibuatnya, tetapi ketika akan menyerang dara kelima tiba-tiba terdengar suara ayam berkokok, menandakan sebentar lagi pagi akan datang menjelang!

Iblis Ular Hijau kaget sekali, tangannya melayang ke arah si gadis tanpa menengok lagi lalu berkelebat pergi dari tempat itu dengan cepat untuk mencari persembunyian buat dirinya. Dalam sekejab tubuhnya telah hilang ditelan kabut pagi!

Dara itu telah pingsan dengan tubuh berubah menjadi hijau, ternyata dia telah terkena pukulan yang mengandung racun hijau! Tidak lama setelah si Iblis pergi, seorang cantrik setengah tua bangun dari tidurnya mau membersihkan sanggar pamujan seperti biasa yang dia lakukan setiap harinya. Pekerjaan rutin setiap pagi hari!

“Jagad Dewa Bathara…… Duh Gusti, apa yang telah terjadi di sini? Kenapa mereka terbunuh dengan demikian kejamnya?” Ketika dia mendekati gadis yang termuda, ternyata gadis itu masih hidup. Begitu melihat kedatangannya, gadis itupun lalu menceritakan apa yang telah terjadi yang menimpa dia dan teman-temannya, serta gurunya!

“Dari cantrik itulah berita tentang Iblis Ular Hijau tersebar. Sekarang agaknya iblis itu mulai mengganas sampai di sini.” Kata Dikun kepada Marto, menutup ceritanya tentang mengganasnya si Iblis Ular Hijau! Dikun selesai bercerita lalu minum kopinya!

Dua ekor kuda dilarikan kencang di jalan depan kedai itu menuju ke timur. Kuda yang di depan berwarna hitam dengan totol-totol kelabu, seorang muda bertubuh tegap duduk di atas pelana dengan tegak dan anggunnya. Wajahnya menunjukkan betapa dia sedang diianda kesusahan. Di belakangnya berlari pula dengan cepatnya kuda coklat kemerahan dengan seorang penunggang yang tidak kalah tampan dibandingkan pemuda yang di depan. Wajahnya berseri penuh senyum, melihat ke depan dengan tajam, lirikannya dapat meruntuhkan para gadis. Sayang sekali sinar matanya itu seperti mengandung misteri!

Kedua orang muda itu menujukan kudanya ke arah rumah Raden Purwolumakso yang sedang tertimpa musibah kematian anak tunggalnya Astuti. Begitu sampai di depan regol, orang muda yang di depan meloncat turun bagaikan melayang saja. Tahu-tahu tubuhnya telah berada di ruang tengah. Berlari masuk ke dalam kamar yang masih penuh dengan orang yang sedang berusaha untuk merawat Raden Purwolumakso dan isterinya.

Orang-orang yang melihat kedatangannya menghela napas panjang, merasa kasihan sekali akan nasib si pemuda. Begitu masuk kamar, pemuda ini mendelong melihat keadaan Raden Purwolumakso serta isterinya. Mereka berdua saling berpelukan duduk di sudut kamar dengan muka seperti kertas pucatnya.

”Rama….. rama sadarlah….. hamba Sarpojati….. menantu rama!” Ternyata anak muda yang datang dengan terburu-buru itu adalah menantu Raden Purwolumakso sendiri. “Ular hijau……. hiiiii….. ular hijau….. hiiiii …….

“Sadar rama…… hamba Sarpojati. Menantu rama!” Sarpojati berkata sambil mengguncang pundak mertuanya untuk menyadarkan, akan tetapi yang keluar dari mulut ramanya hanya ‘ular hijau…. ular hijau’ saja!

“Sabarlah, ngger Sarpojati. Tenangkan dulu dirimu, jangan tergesa-gesa untuk menyadarkan Kangmas Purwo. Ini aku pamanmu ada di sini!” Raden Harjorumekso menenangkan Sarpojati yang baru datang dengan penuh emosi. “Aduhhh….. paman! Kenapa ini mesti terjadi, mengapa menimpa diriku…… kenapa, Paman? Apa salah dan dosaku, Paman?”

“Nyebuttt….. ngger, nyebuttt!”

Sarpojati menyebut kebesaran Asma Allah lalu menarik napas panjang tiga kali, wajahnya pelan-pelan menjadi tenang serta dapat berpikir dengan tenang. Sarpojati lalu melihat seke-lilingnya, dia melihat Raden Harjorumekso suami isteri telah berada di kamar itu memandangnya dengan penuh rasa kasihan!

“Maafkan saya, Paman. Saya telah khilaf, terlalu menuruti dorongan hati yang penuh dengan kedukaan karena mendengar tentang tewasnya diajeng Astuti.”

“Paman maklum, ngger. Paman sendiri juga begitu ketika kemarin datang ke sini.”

“Sebetulnya apakah yang telah terjadi di sini, Paman? Mengapa kanjeng rama berulang-ulang menyebut ‘ular hijau, ular hijau’ sambil terbelalak seperti itu?”

“Mari kita keluar dari kamar ini, lebih baik kita bicara dengan tenang di depan. Kulihat tadi kakakmu Sarpowulung juga datang. Marilah kita bicarakan ini dengan kakakmu pula, aku ingin minta pertimbanganmu serta kakakmu mengenai hal ini !” Raden Harjorumekso mengajak Sarpojati keluar dari kamar itu. Sarpojati mengikuti pamannya menuju ke ruang depan di mana kakaknya telah duduk menanti dengan tenang. Melihat keduanya berjalan keluar Sarpowulung bangkit berdiri. Raden Harjorumekso lalu duduk menghadapi kedua kakak beradik Sarpo. Dengan tenang dia lalu menceritakan apa yang telah menimpa keluarga kakak kandungnya. Semua ini diketahuinya dari cerita para pembantu rumah tangga Raden Purwolumakso yang telah me-nemui dirinya untuk minta pertimbangan!

“Iblis laknat kurang ajar! Berani mengganggu kumis harimau!” kata Sarpowulung berdiri sambil meremas- remas sandaran kursinya. “Kreesss, kreeesss!!” Kayu sandaran kursi tempat duduk Sarpowulung hancur menjadi tepung halus. Tidak kuat menerima luapan amarah Sarpowulung!

Raden Harjorumekso kaget melihat hal ini, sungguh hebat tenaga dalam yang diperlihatkan oleh anak muda yang duduk di depannya itu. Diapun lalu meminta keduanya untuk tinggal di rumah itu, juga berusaha untuk memulihkan ingatan kakaknya yang terganggu akibat musibah itu. “Baik, Paman. Saya dan kangmas Sarpowulung akan berusaha menyembuhkan kanjeng rama, serta akan kucari Iblis Ular Hijau itu untuk membalaskan sakit hati diajeng Astuti.” Sarpojati berkata sambil memandang kakaknya meminta persetujuan.

“Baik dimas. Aku akan membantumu untuk mencari pembunuh tunanganmu sampai berhasil!” Sarpowulung memberikan janjinya. Raden Harjorumekso mengangguk senang melihat semangat kedua teruna itu. Mereka bertiga melanjutkan pembicaraan itu sampai lama, ketiganya terlibat dalam pembicaraan yang serius tentang cara menuntut baias kepada durjana yang telah menghancurkan kehidupan Raden Harjorumekso!

Pelayanpun datang membawa nampan berisi makanan dan minuman, menaruhnya di meja, lalu kembali mundur ke dalam meneruskan kembali pekerjaannya sehari-hari. Isteri Raden Harjorumekso memasuki ruang depan dengan kedua mata merah karena ter-lalu banyak tangis, duduk di dekat suaminya. Ikut pula bicara dengan mereka sampai larut malam!

(OodwkzoO) Bab 5

BULAN bersinar dengan terangnya yang lkjlembut berwarna kuning keemasan, cahayanya yang redup itu membuat suasana malam itu menjadi makin romantis untuk pasangan muda-mudi yang sedang dalam masa pacaran. Di dalam taman bunga di belakang rumah Ki Demang Mardawa di desa Kandangan nampak sepasang teruna sedang memadu kasih. Malam telah semakin larut, akan tetapi kedua nya masih terlena oleh keindahan yang dicipta kan oleh cahaya sang rembulan yang sudah bulat penuh itu!

“Kangmas Jaka, aku sungguh merasa bahagia sekali malam hari ini. Entah mengapa aku tidak ingin berpisah lagi dari sisimu, kangmas.” Sambil berkata demikian Marsini merapatkan tubuhnya.

“Akupun juga merasakan hal yang sama seperti yang kaurasakan itu, diajeng Marsini.” Jaka menjawab sambil melingkarkan tangannya di pinggang yang nawon kemit (ramping) Marsini. Mereka berdua lalu bisik-bisik mesra, tidak merasakan udara yang bertambah dingin di malam itu. Dunia ini bagaikan milik mereka berdua saja, tidak ada lagi kesusahan yang dapat mengganggu atau memisahkan mereka berdua pada saat itu!

“Srett-seet-srett-seeett!!” Suara sandal di-seret memasuki jalan menuju ke taman, tidak berapa lama kemudian Ki Demang Mardawa telah berada di belakang kedua muda-mudi yang sedang terlena dalam buaian sang Dewa Asmara. Keduanya sama sekali tidak mengetahui kedatangan orang tuanya sehingga keadaan ini membuat Ki Demang menggeleng kepala. Sungguh hebat pengaruh Dewi Bulan terhadap sepasang remaja yang dimabok cinta ini!

“Eehhhemmmm!” Ki Demang berdehem.

Kedua teruna itu kaget sekali mendengar suara orang berdehem di belakang mereka! Menengok dan keduanya wajahnya berubah menjadi ke-merahan ketika mengetahui bahwa yang berdiri di belakang mereka adalah Ki Demang Mardawa sendiri!

“Ayah….. sudah lama ayah berada di sini?” Marsini, bertanya.

“Bapa Demang!” Jaka juga berdiri membungkuk hormat.

“Hemmm….., anak muda kalau sudah berdua di malam terang bulan lupa segalanya! Yang ada hanya kekasih hatinya. Ha-ha-ha……”

“Ahhh, ayah bisa saja!” Jaka hanya tersenyum malu, tidak kuasa untuk membuka mulut karena merasa likat!

“Ha-ha-ha-ha……. aku tidak marah, Mar. Aku tahu semua ini…… aku juga pernah muda lho Mar!” Ki Demang tertawa lagi melihat keduanya berhal seperti itu. Akan tetapi sebagai orang tua Ki Demang melihat bahayanya kalau sedang duduk berdua di bawah terang bulan purnama, mungkin tidak disadari oleh sepasang teruna ini. Suasana yang romantis dapat membuat orang lupa diri dan melakukan hal yang terlarang. “Jaka, malam telah mulai larut. Sebaiknya kau pulang dulu, besok kau dapat bertemu dengan anakku kembali. Aku tidak melarang kalian bergaul dengan akrabnya, akan tetapi harus diingat bahwa setan selalu rnenggoda manusia tatkala mereka sedang dibuai oleh nikmatnya dunia!” “Ahhh, ayah. Kami berdua dapat menjaga diri. Tidak akan melakukan hal yang telah ayah dan ibu ajarkan. Kami saling menjaga diri, ayah!” Marsini membantah ayahnya.

Jaka pun mengangguk pelan. “Betul rama. Kami berdua tahu mana benar mana salah!” Jaka juga menimpali kekasihnya, memperkuat keterangan tunangannya.

“Ayah tahu….. ayah tahu! Aku percaya kepada kamu berdua. Kalau tidak percaya masa aku memperbolehkan kalian berdua saja di taman di malam yang sunyi ini!”

“Terima kasih, ayah.” Hampir berbareng Jaka dan Marsini berkata.

“Nah, sekarang marilah masuk ke dalam! Jaka, kalau kau ingin menikmati malam bulan purnama ini, ayo kita bermain catur di ruang depan.”

Mereka bertiga lalu bertindak pergi ke depan!

“Ha-ha-ha-ha……! Kata-kata kosong kakek ompong seperti gentong kosong melompong, ha-ha-ha…..!”

Ketiga orang itu menjadi kaget sekali ketika mendengar kata-kata ini. Mereka celingukan mencari siapa yang telah mengeluarkan tawa serta berkata tidak karuan di taman itu!

“Di sana ayah. Itu di atas menara di ujung taman!” Marsini berteriak memberi tahu ayahnya.

Benar! Di ujung menara rumah kecil itu berdiri seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, berkulit kehijauan, nampak jelas karena orang itu tidak memakai baju. Wajahnya juga menyeramkan dengan sepasang mata yang berwarna hijau dan mulut bercaling itu. Apalagi seekor ular yang bergerak-gerak di leher itu menggantungkan kepala di dada!

“Iblis Ular Hijau!!” Hampir berbareng ketiganya berseru.

Ki Demang Mardawa, Jaka, mencabut senjata kerisnya, siap menghadapi bahaya yang mengancam Marsini dengan kedatangan iblis di rumah mereka ini!

“Heii, Demang tua bangka, hayo bawa ke sini anak gadismu itu!” perintah Iblis Ular Hijau. “Aku akan segera pergi serta tidak akan membunuh seluruh penghuni rumah ini, kalau kau menyerahkan anakmu!”

“Bangsat! Langkahi dulu mayat kami berdua, baru kau akan dapat membawa pergi anakku!” Bentak Ki Demang marah. Tangan kirinya bergerak mendorong ke depan. Nampak bola api melayang ke arah iblis itu berdiri.

”Mainan anak kecil kautunjukkan padaku. Ha-ha- ha……” Iblis Ular Hijau menggerakkan tangan kirinya mengibas ke depan. Dari tangan nya keluar bola kehijauan menerjang ke arah bola api!

“Duaaarrrrr!” Ledakan dahsyat terdengar ketika kedua bola api itu beradu di tengah udara!

Ki Demang kaget melihat lawannya dapat menyambut pukulan tangan apinya dengan mudah. Tangan kirinya lalu bergerak ke depan berulang-ulang mengibas dengan bola-bola api yang bagaikan meteor terbang menerjang lawan.

Iblis Ular Hijau juga menggerakkan tangan menyambut! Dan ledakan pun terdengar bagaikan orang menyulut mercon renteng di kala pesta kembang api! Memang indah dilihat bola api kemerahan meluncur ke depan disambut bola kehijauan yang juga meluncur datang. Seakan di taman itu sedang mengadakan pesta ulang tahun dengan menyalakan kembang api berwarna merah dan hijau !

Ledakan saling susul itu membangunkan seluruh penghuni rumah Ki Demang Mardawa. Mendatangkan para penjaga yang sedang bertugas. Dengan membawa senjata mereka mendatangi taman di belakang rumah itu.

“Siut-siut-siut!!!” Bagaikan hujan anak panah dari tangan penjaga meluncur menuju ke sasaran. Akan tetapi Iblis Ular Hijau hanya berdiri diam, menerima serangan anak panah penjaga dengan dada terbuka. Ular hijau dilehernya bergerak berputaran dan….. anak panah yang mengarah wajah tertangkis patah! Sedangkan anak panah yang mendarat di dada terpental kembali malah ada yang patah begitu menimpa dada!

“Tung tung tung tung tung tung!”

Salah seorang penjaga memukul kentungan untuk memberi tanda adanya bahaya yang mengancam rumah Ki Demang Mardawa. Bunyi kentungan pun sambung menyambung memenuhi udara di malam yang dingin di desa Kandangan! Mendengar ini Iblis Ular Hijau menjadi kaget, dia tidak gentar menghadapi semua orang yang berada di Kandangan ini, tapi kalau pertempuran terjadi sampai pagi, dan dia tidak dapat membasmi semua dia dapat celaka!

Belum juga beranjak pergi nampak meluncur bunga- bunga kecil berwarna merah menghujani tubuhnya, bagaikan jala yang menjaring ikan. Semua jalan keluar telah tertutup oleh luncuran bunga berwarna merah! Melihat cepatnya luncuran bunga itu, iapun maklum bahwa bunga itu mengandung tenaga dalam yang tidak kecil. Maka untuk mempercepat waktu tangan kanannya bergerak ke leher, menarik ular hijau dan memutarnya melindungi tubuhnya!

“Ting-tang-ting-tang-ting-tang!!” Berulang kali ular hijaunya menangkis bunga yang datang. Hebat sungguh kekuatan ular hijau itu, sanggup menangkis luncuran senjata bunga yang dikirim dengan tenaga dalam yang hebat itu! Bola api kembali datang dari arah Ki Demang juga dari luar sekarang meluncur pula gulungan sinar putih bagai dua kitiran menerpa tubuhnya! Iblis Ular Hijau melengking nyaring sambil meloncat tinggi di udara, lalu membalik berputar-putar di udara seperti roda hijau menggelinding di tengah udara pergi meninggalkan tempat itu!

“Ting-ting……. darrrr-daarrrr!!”

Ternyata pukulan api dari Ki Demang yang luput mengenai tubuh Iblis Ular Hijau bertemu dengan sepasang sinar pedang dari dara yang berpakaian merah muda yang berputar cepat dengan dilambari tenaga dalam tingkat tinggi!

Begitu mereka melihat ke arah roda hijau yang berputar pergi, mereka semua tercengang! Ternyata Iblis Ular Hijau telah tidak nampak lagi. Roda hijau itu bagaikan asap saja terbang terbawa angin ke arah utara, hilang dalam rimbunnya pepohonan!

“Turunlah ke sini, bocah ayu! Aku ingin meminta maaf karena bola apiku telah menyerangmu!” Ki Demang Mardawa meminta dara berpakaian merah muda itu turun. Pemudi yang berusia lima belasan tahun itupun lalu melayang turun ke arah Ki Demang dengan ringannya, seakan awan yang terdorong pergi oleh angin kencang!

Begitu dapat melihat jelas, semua orang memandang kepada dara ini dengan kagum, pakaian merah muda itu membuat kulit tubuhnya yang kuning langsat seakan bercahaya. Rambutnya yang hitam panjang dikepang dua diberi tali pita sutera berwarna merah tua. Apabila kepalanya bergerak maka kepang itu pun seakan hidup dan berpindah tempat. Kadang kedua kepang di depan pundak terkadang hanya satu saja yang di depan sedangkan lainnya di belakang. Sangat serasi sekali dengan wajah yang cantik dihiasi oleh sepasang mata bersinar tajam seperti mata burung merak! Cantik menarik serta nampak gagah dengan gagang sepasang pedang di punggung!

“Nini, maafkan paman yang tadi tidak tahu akan kedatanganmu dan menggantikan tempat si iblis, membuat nini terancam oleh bola apiku.”

“Tidak mengapa, Paman. Saya tahu paman tidak sengaja menyerang saya.” jawabnya halus. Tersenyum manis sehingga nampaklah lesung pipit di pipi kirinya!

“Idiiiihh, cantik jelita, pandai silat dan masih remaja lagi. Adikku yang cantik ayu, aku bernama Marsini, puteri Ki Demang.” Marsini mendekat lalu menggandeng tangan dara itu dan menariknya.

“Ahh, mbakyu ini bisa saja! Kayak gini dikatakan cantik jelita? Ngeledek nih yeee!” “Benar nini, puteriku tidak berkata bohong. Kenyataannya memang demikian!” Ki Demang Mardawa menimbrung. “Tidak bocah ayu, sebetulnya siapakah engkau ini? Bagaimana sampai engkau dapat membantuku mengusir iblis itu dari tempat ini?”

Mereka berempat lalu duduk di ruang tengah. Mendengar pertanyaan Ki Demang, dara jelita berbaju merah muda itu tersenyum manis sekali lalu menjawab.

“Begini, Paman. Aku adalah puteri tunggal Raden Harjorumekso, ayah bundaku memanggilku Mawarsari. Dan kebetulan saja aku dapat mengetahui bahaya yang mengancam di kademangan ini, sebetulnya tujuanku ke mari adalah menyusul ayah ibuku yang pergi ke tempat uwaku Raden Purwolumakso yang baru ketimpa musibah.”

“Jadi…… kau ini anaknya Kakang Harjorumekso? We lha da lah….. lha kok sudah pangling aku? Kau anak kecil yang suka nangis kalau tidak dituruti permintaanmu itu! Heh-heh-heh-heh…..!” Ki Demang terbelalak dan berdecak berkali-kali.

”Benar, Paman.”

“Toooobiiilllll….. diajeng Mawarsari kiranya ini? Betul- betul aku sudah tak mengenalmu lagi.” Marsini mencubit lengan Mawarsari, gemas! Dia merasa dipermainkan oleh dara ini, sebetulnya hubungan mereka sangatlah erat di waktu mereka masih kanak-kanak.

“Aduuuuhhhhh! Ini Iho kangmas Jaka, mbakyu Marsini nakal?”

Merekapun tertawa hampir berbareng melihat ulah dara ini. Memang anak ini sedari kecil sudah menunjukkan watak yang jenaka dan galaknya bukan main. Merekapun lalu melanjutkan silaturahmi, Ki Demang lalu memanggil seorang penjaga untuk memberi tahu bahwa Mawarsari akan menginap di rumahnya. Penjagapun berlalu, menuju rumah Raden Purwolumakso. Memenuhi Raden Harjorumekso menyampaikan pesan atasannya, Ki Demang Mardawa!

(OodwkzoO) Bab 6

RUMAH MAKAN di sebelah utara pasar itu ramai dikunjungi orang. Kebanyakan pendekar yang memenuhi tempat itu adalah para pendekar yang memakai pakaian serta menyandang senjata yang aneh-aneh. Nampak tiga orang setengah tua dengan mengenakan baju berwarna hijau tua duduk di sudut, mereka bicara berbisik-bisik. Di dekat jendela yang menghadap ke jalan raya duduk pula seorang pemuda yang berwajah tampan seorang diri. Di antara pemuda tampan dan tiga orang setengah tua berpakaian warna hijau itu, duduk dua orang yang bertampang keren dengan badan tinggi besar. Mereka mengenakan rompi terbuat dari kulit harimau tutul, membuat keduanya nampak angker sekali.

Masih banyak pula pengunjung yang lain, mereka duduk mengelilingi meja sambil bercakap-cakap dengan bermacam-macam dialek. Perbincangan mereka itu kebanyakan hanya berkisar tentang munculnya Iblis Ular Hijau yang gagal mengganas di rumah Ki Demang Mardawa beberapa malam yang lalu!

“Memang iblis itu sungguh piawai, anak panah yang menghujaninya hanya didiamkan saja dan serangan bola api Ki Demang yang jarang dapat ditahan lawan itu hanya dikibas pelan, seakan semua serangan itu hanyalah permainan kanak-kanak saja!” kata seorang laki-laki yang berkumis seperti Raden Gatot kaca yang duduk di dekat si pemuda tampan berbaju putih.

“Tapi yang lebih hebat lagi adalah dara berpakaian merah muda yang begitu datang telah membuat si Iblis itu lari,” teman bicaranya menimpali. “Kalau saja dara remaja itu tidak datang! Entah apa jadinya dengan keluarga Ki Demang?”

“Menurut yang kudengar anak itu dari Padepokan Teratai di lereng Gunung Merapi.”

“Benar kang. Dia malah masih keponakan dari Raden Purwolumakso katanya.”

Pemuda baju putih mendengarkan dengan penuh perhatian, dia sudah banyak mendengar tentang keganasan yang dilakukan oleh Iblis Ular Hijau di sekitar lereng Gunung Merapi. Maka begitu dia mendengar pembicaraan mengenai iblis itu, perhatiannya ditujukan untuk mengetahui lebih banyak lagi data-data tentang iblis itu! Tiba-tiba dari luar masuklah lima orang bertampang keren. Begitu masuk mereka lalu duduk di meja kosong dekat dengan jendela.

“Brakkkk….!!” Hampir berbareng golok itu dilemparkan ke meja, membuat semua pengunjung rumah makan menengok! Tapi lima orang itu tidak peduli dengan para pengunjung yang datang terlebih dahulu. Seakan tempat itu tidak ada orangnya sama sekali!

“Pelayan….. cepat bawa ke sini lima ekor ayam bakar!” teriaknya keras sekali. Tanpa sopan santun sama sekali.

“Jangan lupa tuaknya sekalian!” sambung temannya. “Ha-ha-ha…… hayo cepat tuanmu sedang kelaparan!”

Sambung pula yang lain.

Pelayan rumah makan itu agaknya telah mengenal mereka berlima. Pesanan cepat sekali terhidang dan seorang pelayan gemuk membawa pesanannya berjalan dari dapur rumah makan, tergesa-gesa dia melewati meja-meja yang penuh dengan pengunjung itu. Begitu pelayan menghampiri dekat, ketika melewati dua orang berompi macan tutul, kakinya terpeleset. Nampan berisi lima ekor ayam serta guci tuak melayang ke udara, isinya tumpah menyiram kelima orang itu. Isi tuak menyiram orang yang duduk di kanan kiri meja dan dua ekor ayam mengenai muka dua orang yang duduk dekat jendela!

Lima orang itu menjadi marah sekali, salah seorang yang duduk paling dekat dengan si pelayan gendut kakinya melayang ke belakang cepat sekali.

“Bleekkkkk!” tanpa ampun lagi perut yang besar membusung ke depan terkena tendangan dan tubuh gempal itu melayang ke belakang!

“Toolooongggggg !”

Sebuah tangan menyambar ke udara dan tubuh pelayan gendut dapat terhenti, tidak sampai jatuh menimpa meja. Tangan itu memegang tubuh yang gendut seperti mengangkat benda ringan saja, menurunkannya di lantai. Pelayan gendut gemetaran saking takutnya ketika tubuhnya melayang! Setelah mengucapkan terima kasih, pelayan itupun masuk ke dalam ruang belakang sambil berlari. Ternyata celananya telah basah kuyub!

Dua orang yang bertampang keren itu bang kit berdiri menghampiri kelima orang yang bersikap ugal-ugalan itu. Salah seorang menegur dengan halus.

“Maaf, saudara. Kuminta anda berlima dapat bersikap sopan di tempat umum. Menghargai orang lain yang berada di sini!” Kelima orang itu berdiri, tangan kanannya mengambil golok di meja. Orang yang tadi menendang si pelayan membentak. “Peduli apa kalian dengan urusan kami, toh kami tidak me rugikan kamu!”

“Jangan suka mencampuri urusan orang, kalau tidak ingin kuhajar!” sambung yang lain.

“Buuusyeeeet….. baru memakai rornpi macan sudah merasa jagoan! Apa kalian tidak mengenal kami berlima?” orang ke tiga mengejek.

“Kamilah Lima Harimau Magedang! Jagoan yang tak terkalahkan!”

“Maaf, maaf….. kiranya kami berhadapan dengan Lima Kecoa Magedang!”

Mendengar jawaban ini kelima orang itu menjadi matah bukan main. Tanpa member! kesempatan lagi mereka lalu maju mengeroyok dua orang berompi macan tutul itu! Lima orang itu bersilat dengan mengeluarkan gereng an keras, seakan mereka benar-benar harimau yang menjadi raja rirnba. Akan tetapi mereka kecele, ternyata kedua orang lawannya itu benar-benar berkepandaian tinggi, malah baru saja beberapa jurus saja mereka berlima telah mendapat hadiah pukulan dan tendangan beberapa kali! Tanpa malu mereka rnencabut golok lalu menyerang kedua lawannya yang masih bertangan kosong!

Pertempuran ini membuat ruangan itu menjadi tidak karuan, banyak meja kursi rusak tertendang atau ditendang minggir, untuk membuat lapang arena pertempuran! Kelebatan lima batang golok yang mencecar lawan bagai kan hujan deras yang turun dari langit. Anehnya kedua pendekar berompi macan tetap tidak rnencabut senjata mereka, hanya bergerak cepat mengelak lalu balas menyerang tak kalah berbahayanya! Perkelahian itu menjadi bertambah seru dan mati- matian!

“Ulaarr hijaaauuuuu! Iblis ular hijauuuu……dia…… dia…… iblis itu….. kepungggg! Jangan biarkan lolosssss…..!”

Tiba-tiba terdengar teriakan dari luar rumah makan itu. Ketika mereka semua menengok, melihat pemuda berpakaian putih memasukkan ular hijau ke dalam saku baju! Otomatis perkelahian itu berhenti dan mereka semua lalu mengepung tempat di mana pemuda itu berdiri! Ada pula yang mencegat di luar rumah makan. Keadaan menjadi kacau dalam sekejap mata semua orang telah mencabut senjata masing-masing. Mengingat betapa pandainya Iblis Ular Hijau!

“Saya….. saya bukan iblis….. ini salah paham…… kalian telah salah mengenali orang!” si pemuda kaget dan berkata gagap.

”Buuunuuuhhhh…..! Seraanggg!! Keroyokkk!”

Entah siapa yang beteriak ini, tahu-tahu berkelebatan banyak senjata menghujani tubuh si pemuda. Si Pemuda pun lalu memainkan tongkat pendeknya untuk menahan hujan senjata, tubuhnya bergerak dengan lincahnya di antara kelebatan bermacam senjata. Begitu tangan yang memegang tongkat balas menyerang, dalam sekali serang saja tiga orang telah terkena totokan ujung tongkat. “Cegah dia keluar ruangan ini ! Perketat pengepungan!”

Sambil mengelak cepat, Suryo si pemuda baju putih itu berusaha untuk menyadarkan para pengeroyoknya, bahwa dia bukanlah Iblis Ular Hijau yang seperti mereka tuduhkan!

Tongkatnya bergerak menangkisi senjata yang meluruk turun ke arah tubuhnya, begitu ter-tangkis banyak senjata berpentalan terlepas dari tangan pemiliknya! Para pengepung ber-tambah banyak, berdatangan dari seluruh penjuru desa. Suryo pun semakin repot menang-gulangi pengeroyokan ini, ia tidak ingin melukai seorang pun lawannya. Ia tahu bahwa mereka ini telah salah paham, mengira dirinya durjana yang mengganas di sini!

“Tahannnn senjataaaa!! Munnduuuurrrrrr….!”

Di depan pintu rumah makan itu telah berdiri tiga orang teruna yang gagah dan cantik jelita. Para pengepung mendengar teriakan berwibawa itu berhenti menyerang, mereka menengok ke arah pintu. Begitu melihat siapa yang datang, mereka lalu mundur untuk memberi tempat ketiga teruna itu.

Suryo pun berdiri tenang, sepasang matanya mengawasi tajam, seluruh indranya siap sedia menghadapi segala bahaya! Dia memandang orang yang baru datang, terpesona melihat kejelitaan dara yang berdiri di tengah. Pakaian merah muda yang ketat membungkus tubuh itu menonjolkan keelokan pemiliknya. Sedang di kiri si dara berdiri pula pemuda tinggi tegap dengan mata yang agak kemerahan. Sedangkan di kanannya berdiri pula pemuda tampan dengan sepasang mata yang penuh misteri!

“Benarkah kau memiliki ular hijau!” tanya dara itu.

Suryo tersenyum, merasa geli melihat dara itu ber-aku kau dengannya. Seperti sedang menghadapi sahabat lama saja. “Benar, nona manis!”

“Setann! Kalau begitu kau tentulah iblis itu. Sungguh berani kau datang di siang hari!”

“Bukan, bukan…… aku bukan iblis…. aku….aku……”

Belum habis bicaranya Suryo menundukkan kepalanya menghindari sambitan bunga merah yang melesat bagai kilat cepatnya itu. Lalu melangkah ke kiri menghindari tendangan terbang, tangan kanan menangkis babatan tangan ke arah leher!

“Siuuutttt-wuuusssss-plaakkkkkkk!!”

Ketiga lawannya kaget melihat pemuda baju putih itu dapat menghindari serangan mereka dengan amat mudahnya, seakan gerakan mereka itu bagaikan gerakan anak kecil saja! Mereka sekarang berlaku lebih hati-hati serta menyerang lebih teratur dan terarah. Suryo pun lalu berusaha untuk menahan dengan menggunakan ilmu silat Mliwis Putih yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali. Geraknya perlahan saja dalam menghindari serbuan serangan bertubi-tubi itu. Berputaran dan melangkah ke kanan kiri, semua pukulan dan tendangan yang menggebu datang dapat dielak kan dengan mudahnya, seakan tidak mengeluar kan tenaga sama sekali! Suryo sama sekali tidak menghendaki adanya pertempuran itu. Ia ingin membuat mereka sadar bahwa mereka telah salah menduga, bahwa dirinya bukanlah  Iblis Ular Hijau seperti yang mereka kira! Hanya kadang- kadang saja dia membalas dengan satu dua kali pukulan untuk mengurangi cecaran kaki tangan yang datang melanda, bukan sembarangan tenaga yang tersalur di dalam serangan lawannya. Apabila ada pukulan yang telak mampir di tubuh, mungkin akan membuat dia terjatuh dan menjadi sasaran hujan senjata! Sedang seru-seru pertempuran itu, dua ekor kuda berhenti di depan rumah makan, kedua penunggangnya turun melangkah memasuki ruangan. Salah seorang ketika melihat ke arah pertempuran kaget karena dia seperti mengenal anak muda berpakaian serba putih itu. Diapun lalu berbisik kepada Ki Demang Mardawa, menceritakan siapa adanya si pemuda. Ki Demang Mardawa kaget, sepasang matanya terbelalak memandang lalu iapun membentak keras.

“Tahann!! Nini Mawarsari, mundurlah. Kedua Sarpo tahan dirimu, mundurlah dulu!!”

Ketiganya lalu meloncat mundur setelah melihat siapa yang menyuruh mereka untuk menahan diri, menghentikan pertempuran. Suryo pun merasa lega melihat siapa yang datang. Dia mengenal Raden Harjorumekso yang pernah ditolongnya di tengah hutan itu.

“Maafkan anakku yang tidak mengenalmu, nak Suryo. Apakah yang telah terjadi di sini sehingga kalian berkelahi?” Raden Harjorumekso bertanya sambil melangkah maju mendekati Suryo Lelono.

“Tidak ada apa-apa, paman. Terjadi kesalah pahaman di sini, saya dikira iblis yang membuat bencana akhir- akhir ini!” Sambil tersenyum manis Suryo membalas permintaan maaf itu.

“Mawarsari, ceritakan apa yang terjadi! Kenapa kalian sampai mengeroyok anak muda ini?”

“Kami bertiga datang di sini telah terjadi pertempuran., menurut apa yang kami dengar pemuda itu adalah Iblis Ular Hijau, maka kami lalu menyerangnya.” Mawarsari menceritakan apa yang terjadi sampai-sampai dia berkelahi mengeroyok si pemuda. Dia tidak mau kalau sampai disalahkan oleh ayahnya karena telah membuat ribut lebih dahulu. Maka sebelum pemuda baju putih yang telah dikenal ayahnya bercerita, ia mendahului. Suryo Lelono yang mendengarkan hanya tersenyum saja, maklum akan maksud gadis ini!

“Benarkah demikian, nak Suryo? Aku minta maaf kalau anakku telah berbuat salah kepada mu.” Raden Harjorumekso berkata, lalu dia mengenalkan si pemuda kepada semua orang yang berada di tempat itu. “Ketahuilah, anak muda ini adalah seorang pendekar yang namanya baru-baru ini melejit setelah kejadian di Wonowoso! Dia bukan lain adalah Suryo Lelono yang telah menumpas Iblis Elang Hitam!” Mendengar ini kagetlah semua orang yang berada di situ. Sungguh tidak disangka bahwa orang yang telah mengalahkan Iblis Elang Hitam masih seorang pemuda remaja! Mereka memandang takjub si pemuda yang berdiri menundukkan muka sambil tersenyum kemalu-maluan!

“Marilah mampir ke tempatku, nak Suryo. Aku ingin mohon pertolonganmu menghadapi musibah yang menimpa kakak kandungku.” Ajak Raden Harjorumekso. “Mungkin nak Suryo dapat memberi jalan keluarnya.”

Mereka lalu bersama-sama meninggalkan tempat itu. Ki Demang Mardawa menemui si pemilik rumah makan untuk mengganti kerugian yang terjadi akibat perkelahian itu. Semua pendekar yang berada di tempat itupun lalu membayar makan minum mereka dan pergi! Tidak berapa lama kemudian tempat itu telah menjadi sunyi, yang ada hanya para pelayan yang membetulkan meja kursi, mengatur sebagaimana mestinya. Menyapu ruangan yang kotor oleh tumpahan makanan dan minuman!

(OodwkzoO)

“Tolong ambilkan garam secukupnya!” Suryo meminta garam untuk mengobati Raden Purwolumakso. Dia melihat keadaan yang sangat menyedihkan sekali dari kedua orang tua itu. Suryo Lelono lalu duduk bersamadhi di dalam kamar, tidak berapa lama kemudian dia mendapat penglihatan! Penyakit yang diakibatkan oleh ulah si Iblis Ular Hijau dapat dimusnahkan atau ditawarkan dengan GARAM! Begitu membuka mata Suryo minta disediakan garam.

Dengan air yang dicampur garam, Suryo Lelono memercik-mercikkan air itu ke tubuh Raden Purwolumakso suami isteri, dan dengan bantuan Mawarsari meminumkan sebagian air garam kepada suami isteri itu. Sebelumnya Suryo telah menotok dulu kedua orang itu sehingga menjadi lemas dan dengan mudah dia dapat melakukan pengobatan untuk mengusir pengaruh dari ulah Iblis Ular Hijau. “Apa yang terjadi? Di mana anakku Astuti? mana Eyang Dukun Sutokriyip yang menyembuhkan anakku?” Begitu membuka mata Raden Purwolumakso bertanya. Lalu melihat ke sekeliling ruangan! Ia melihat dengan heran ke arah adiknya Raden Harjorumekso dan isterinya serta anaknya perempuan duduk mengelilingi tempat tidurnya. Ketika dia menengok ke samping, melihat pula mantunya Sarpojati dan kakaknya si Sarpowulung berdiri di situ pula! Dia semakin bingung, memandang ke kanan kiri minta penjelasan!

“Tenang kangmas, tenangkan diri kangmas lebih dulu. Ingat-ingatlah dulu apa yang sebe-tulnya terjadi dan menimpa anakmu Astuti!” Raden Harjorumekso menenangkan kakaknya, mendekat untuk duduk di pembaringan.

Mendengar ini Raden Purwolumakso memejamkan kedua matanya. Terbayang kembali peristiwa yang menimpa keluarganya! Ingatiah dia ketika mohon pertolongan Eyang Dukun Sutokriyip untuk mengobati anaknya yang menderita penyakit aneh dan dia bersama isterinya melihat kejadian menyeramkan terjadi di kamar puterinya itu. Saking takutnya bersama isterinya dia saling peluk tidak sadarkan diri, pingsan! Kenapa sekarang adiknya suami isteri serta puterinya berada di sini. Pula kenapa anak mantunya si Sarpojati dan kakaknya Sarpowulung juga berada di sini?

“Raksasa hijau dengan berkalung ular….hiiii…..!” Sambil membuka mata dia berteriak lalu berusaha bangun sambil melihat jendela dan ke seluruh ruangan. Ketika itu masuklah seorang pemuda yang tampan dari pintu, langsung menuju ke pembaringan. Dengan pelan Suryo lalu memegang nadi tangan Raden Purwolumakso lalu memandang matanya. Tatapan-nya yang lembut menenangkannya tidak berapa lama kemudian Raden Purwolumakso tertidur kembali.

”Untuk sementara dia jangan terganggu emosinya, nanti setelah agak tenang barulah diajak bicara serta menjelaskan apa yang telah terjadi.”

Merekapun lalu meninggalkan kamar itu menuju ke depan. Beberapa hari kemudian nampak Raden Purwolumakso suami isteri telah sembuh kembali. Sinar wajahnya nampak terang berseri, menerima cobaan dengan pasrah, sabar, serta mengambii hikmah dari peristiwa itu! Ternyata GARAM yang diberikan untuk mengobati penyakitnya sungguh manjur sekali. Air garam itu telah mengusir semua penyakit akibat dari kematian serta penglihatan yang mengerikan di kamar anaknya yang telah membuat kacau akal budinya dan pikirannya!

Pagi itu di ruang depan rumah terlihat beberapa orang yang duduk mengelilingi meja besar. Membicarakan semua peristiwa dengan asyiknya! Nampak keluarga Raden Harjorumekso beserta anaknya, kedua suami isteri pemilik rumah dan Sarpojati. Juga pemuda berpakaian putih yang bernama Suryo Lelono, tapi tidak kelihatan Sarpowulung berada di situ. Sarpowulung telah pergi untuk memberi tahu ayah mereka akan keadaan yang telah dilihatnya, memohon bantuan ayahnya untuk mencari Iblis Ular Hijau yang mengacau di lereng Merapi dan sekitarnya!

“Kita harus mencari iblis itu sampai dapat!” Mawarsari berkata. “Aku harus membalaskan sakit hati guru dan kakak seperguruanku di Padepokan Teratai yang dianiaya secara keji!” “Akupun akan mencari dia sampai dapat! Akan kuhancurkan tubuhnya mengingat apa yang telah dilakukannya terhadap diajeng Astuti.” Sarpojati juga berjanji di depan mertuanya.

“Sebagai pendekar sudah semestinya kalau kita menentang Iblis Ular Hijau. Perbuatan yang dilakukannya tidak sesuai dengan kebenaran, akan tetapi harap andika sadar. Tidak baik nafsu dendam mempengaruhi pikiran kita, oleh karena dendam dan kebencian akan membuat tindakan kita tidak murni lagi, hanya menuruti nafsu kebencian semata!” Suryo Lelono mengingatkan kedua teruna itu karena ingin membalas dendam didasari oleh kebencian. Ia lalu berkata lagi untuk tidak menimbulkan salah mengerti. Suryo menerangkan maksudnya tentang tidak baiknya membalas dendam penuh kebencian sebagai dasarnya!

“Benar sekali kata-kata nak Suryo dalam hal ini. Maka kalian berdua harus dapat mencontohnya!” Raden Purwolumakso ikut membenarkan pendapat anak muda itu. Adiknya juga mengangguk-angguk setuju. Baru saja pembicaraan itu akan diteruskan, dari luar masuklah seorang pemuda dengan tubuh penuh luka, darah yang sudah kering membasahi bajunya. Meloncat turun dari kuda dengan terhuyung maju mendekati pendapa. Mereka memandang terheran-heran, siapakah gerangan anak muda itu? Akan tetapi Sarpojati meloncat cepat untuk mencegah orang itu jatuh, memapahnya ke pendapa dan berkata.

“Kirtam, apa yang terjadi denganmu? Mengapa kau sampai mendapat luka begini gawat!” “Anuuu….. anu…..! Ayahmu….. ayahmu tewas dibunuh oleh Iblis Ular Hijau! Semua kawan yang mencoba melawan kebanyakan terbasmi dengan mengerikan……! Aku…. aku berusaha meloloskan diri untuk memberi tahu

….. mu… ahhhh!” Kepala Kirtam tersentak karena nyawanya telah melayang pergi. Kirtam mati dengan mata terbelalak menahan sakit. Ketika diperiksa dengan teliti, ternyata di punggung Kirtam terdapat tulisan yang mengeluarkan darah dari luka itu. Surat berdarah itu agaknya ditujukan kepada mereka.

Dewi Bulan penuh sinarnya Lima belas itu tanggalnya Mengundang semua memuja Dewa Hijau raja dunia! Candi Ular di lereng Merapi Akan menjadi saksi Datanglah ! Aku menanti !

Benar! Agaknya surat itu ditujukan kepada mereka! Dengan wajah kemerahan menahan amarah, Sarpojati mencabut kerisnya diacung-kan ke atas lalu berteriak lantang !

“Tunggulah jahanam! Datang masanya kau menerima pembalasanku!”

Tubuhnya berkelebat cepat! Akan tetapi tiba-tiba bayangan putih telah mendahuluinya dan menghadang di depannya. Ternyata Suryo telah bergerak cepat untuk mencegah kepergian Sarpojati lalu menyabarkannya. Mereka berdua kembali, semua orang lalu berembuk untuk menghadapi undangan Iblis Ular Hijau itu!

(OodwkzoO) Bab 7

TELAH berhari-hari kedua teruna itu berjalan bersama. Salah seorang adalah dara cantik jelita berkulit kuning langsat dengan rambut dikepang dua, mengenakan pakaian ringkas berwarna merah muda. Pakaian ketat yang semakin membuatnya nampak makin menarik karena cantiknya! Di sampingnya berjalan seorang pemuda berpakaian putih sambil memutar-mutar tongkat pendek berbau harum cendana. Senyum manis tidak pernah meninggalkan wajah si pemuda! Siapakah kedua pasangan ini? Mereka bukan lain adalah Mawarsari serta si jago kita Suryo Lelono. Berjalan bersama memenuhi undangan Iblis Ular Hijau. Sedangkan Sarpojati pergi sendiri untuk meminta bantuan dari para pendekar yang menjadi kenalan ayah dan dirinya. Mereka berjanji untuk bertemu dengan rombongan pendekar undangan Sarpojati di Bukit Ular, di mana terdapat candi ular! Siang itu mereka berdua memasuki sebuah desa. Mereka tadi heran sekali melihat pemandangan di ladang serta persawahan yang berada di luar desa itu. Kenapa hari masih pagi, akan tetapi tidak nampak seorangpun petani yang mengerjakan sawah ladangnya, malah perempuan tani juga tidak satupun kelihatan pergi ke sawah. Keadaan pertanian itu ditinggalkan begitu saja, terbengkelai tidak karuan.

Begitu kedua pasangan ini memasuki dusun, mereka disambut oleh penglihatan yang mengerikan! Tiga sosok tubuh berpakaian pendeta tergantung di samping bangunan besar di dekat pintu gerbang masuk! Di bawah tubuh tergantung itu nampak lima orang lelaki sedang asyik bermain dadu! Mereka melanjutkan perjalanan, akan tetapi wajah kedua muda mudi ini menjadi kemerahan. Apa yang mereka saksikan?

Di depan emper rumah di sebuah toko kelontong, nampak dua pasang muda tua sedang asyik bersanggama! Tidak peduli melihat pemuda pemudi itu melihatnya, mereka tetap melanjutkan adegan mereka sendiri yang sangat tidak bersusila! Semakin jauh kedua teruna ini memasuki dusun semakin marahlah hati mereka. Seluruh penduduk besar kecil, tua muda, laki perempuan, sungguh sudah tidak bermoral lagi! Perbuatan mesum, kemaksiatan telah melanda dusun itu tanpa ada yang melarang atau mencegahnya!

“Ini dusun apa? Kenapa semua orang tidak bermoral?” Mawarsari bertanya.

“Entahlah! Aku sendiri tidak habis pikir, kenapa ada sebuah dusun yang tidak bermoral sama sekali. Penduduknya agaknya sudah tidak mengenal lagi itu kesopanan dan kebajikan yang diajarkan oleh pemuka agama! Semua perbuatan maksiat dilakukan warga di sini, tanpa tedeng aling-aling lagi. Hemmm….. betul-betul sudah mau kiamat agaknya dunia ini !” Suryo menjawab sambil geleng-geleng kepala.

“Bagaimana para kepala desa tidak turun tangan melarang?”

“Entah siapa yang telah menggantung ketiga pendeta itu? Mengapa pula ketiganya digantung?” Suryo sendiri berkata dengan penuh keheranan. “Mari kita masuk warung makan itu untuk melepaskan lelah dan mencari keterangan!” ajaknya kepada Mawarsari. Tanpa menjawab Mawarsari mengikuti Suryo menuju ke rumah makan di tepi jalan! Begitu memasuki ruangan, kedua pasang mata teruna ini terbelalak dan mukanya menjadi merah padam! Tampak di sudut ruangan itu dua perempuan saling bergelut tanpa busana sama sekali! Keduanya bergelut sambil mengeluarkan rintihan-rintihan yang membangunkan bulu roma saking tegangnya! Kaki yang sudah mau melangkah terpaksa ditarik kembali. Tanpa berkata lagi Mawarsari lalu melesat pergi dengan cepat menuju ke luar dusun itu. Suryo Lelono mengikuti dari belakang dengan rnuka masih merah sekali. Marah dan malu bercampur aduk menjadi satu!

“Tunggu….! Diajeng Mawarsari, tunggu….. aku ingin bicara!” Suryo berteriak untuk menahan larinya Mawarsari yang seperti kesetanan melihat kejadian tadi.

Mawarsari berhenti di bawah pohon besar yang rindang daunnya. Menjatuhkan diri di tanah, mengusap dua butir air mata. Melihat pemandangan di ruang makan itu ia tidak kuasa lagi untuk menahan kesedihannya! Ternyata apa yang diperbuat kaumnya sungguh aneh sekali bagi dirinya yang masih begitu muda itu! Bagaimana hal seperti itu dapat terjadi? Apa penyebabnya? Kenapa? Semua ini memenuhi pikirannya, membuatnya terdiam dengan tertunduk, air mata mengalir turun tanpa dapat dicegahnya lagi!

“Diajeng, lebih baik kalau malam nanti kita melakukan penyelidikan terhadap dusun itu! Aku melihat hal yang tidak sewajarnya? Dusun itu agaknya dicengkeram oleh sesuatu!” Begitu dekat Suryo Lelono berkata untuk menyadarkan Mawarsari dari keadaan tidak enak yang dilihatnya. Mengalihkan perhatian Mawarsari serta memberi tahu akan ketidakwajaran dusun itu! Mawarsari tersentak! Benar kata Suryo, pikirnya! Pasti ada sesuatu di sini yang perlu mereka singkap! Entah apa dia tidak tahu? Diapun mengangkat mukanya, pandang matanya menyelidik ke arah wajah tampan Suryo. Begitu dua pasang mata itu beradu pandang, ia merasa terharu. Dia melihat pandang mata Suryo yang lembut itu penuh pengertian tanpa maksud tertentu.

“Benar katamu, Suryo. Aku ingin segera menyingkap apa sebetulnya yang terjadi di desa itu? Siapa biang keladi perbuatan durhaka tidak mengenal ajaran agama itu!” Mawarsari berkata. “Ajaran agama yang diturunkan Dia yang telah menciptakan langit bumi beserta isinya ini! Ajaran yang akan menuntun manusia ke jalan benar yang diridhoiNya yang akan membawa manusia kepada hidup kekal di sorga!”

“Kita menanti sampai malam, baru kita menyelidiki siapa sebetulnya yang menjadi dalang dari semua perbuatan maksiat di dusun itu!”

“Ingin aku melumatkan kepala setan itu!”

“Aduuhhhh, galaknya…… kalau sudah marah kau bertambah cantik, Sari.” Suryo berkata karena tidak tahan melihat kecantikan dara ini kalau sedang marah. Entah matanya, bibirnya yang tipis kemerahan itu yang bergetar menarik, atau hidungnya yang kembang kempis!

“Gilaa……! Apakah kau sudah gila, Suryo?”

“Tidak! Aku seratus prosen sehat dan  waras, Sari.

Hanya….. itu lho…. itu……!”

“Ahhh, sudahlah!!” Mawarsari memotong perkataan Suryo yang belum selesai. Lalu pergi ke hutan untuk mencari makan siang dan mencari air. Sambil tertawa kecil Suryo Lelono berjalan mengikuti, lalu mencari tempat untuk melewatkan siang, menanti malam untuk menyelidiki rahasia di dusun itu! Malam itu bulan timbul hanya sepotong, sinarnya yang lembut mengurangi gelapnya malam. Membuat keadaan desa kelihatan nyata! Dua sosok tubuh berkelebat cepat menuju ke desa, menyelinap di balik kegelapan mendekati tempat yang terang di tengah balai desa itu, di mana telah dipasang banyak obor sehingga menjadi terang benderang bagaikan siang hari layaknya! Tua muda, laki perempuan serta anak-anakpun tidak ketinggalan duduk memenuhi halaman balai desa itu!

Suryo Lelono dan Mawarsari menujukan pandang matanya ke arah pintu yang tertutup tirai halus berwarna kehijauan. Tidak berapa lama kemudian tirai itu tersingkap, keluarlah tiga orang pendeta berpakaian hijau menuju ke tengah lapangan dengan diiringkan dua orang tinggi besar mengusung gentong besar!

“Warga dusun yang kucintai, kalian telah menikmati adanya sorga dunia di dalam bimbingan Raja Hijau! Kalian akan lebih banyak lagi menikmatinya kalau yang dipertuan telah menjadi raja!” Salah seorang pendeta itu berkata.

“Hidup Dewa Hijau yang telah banyak mem beri kita kenikmatan sorgawi.” Seorang berbadan tinggi besar dengan muka bertotol-totol hitam bekas penyakit cacar berteriak! Dia adalah kepala dusun yang sekarang telah berubah menjadi pengikut Dewa Hijau yaitu Iblis Ular Hijau yang menyebut dirinya sendiri menjadi Dewa Hijau. Penduduk desa besar kecil, tua muda dan laki-laki perempuan, bersorak menyambut. Mereka tertawa-tawa lepas tidak beraturan dan tidak peduli ada anak-anak mereka di situ. Mereka lalu menanggalkan semua pakaian di tubuh mereka. Melihat ini ketiga pendeta baju hijau mengangkat tangannya ke atas. Para warga lalu membungkuk hormat sampai tangan menyentuh tanah. Diam tak bergerak! Salah seorang dari mereka berkata.

“Inilah air suci pemberian dewa kita, semua yang meminumnya akan selalu dapat menikmati sorga pemberian Dewa Hijau!”

“Kau alihkan perhatian ketiga pendeta itu. Aku akan berusaha untuk memasukkan GARAM ini ke dalam gentong besar berisi air dari iblis itu!” Suryo Lelono berbisik pelan kepada Mawarsari yang mengawasi keadaan depan balai desa itu.

“Baik! Aku akan bergerak dulu!” Tanpa menanti jawaban Mawarsari melayang ke tengah kumpulan manusia telanjang itu. Begitu kakinya bergerak telah membuat seorang pendeta terjungkal, karena dadanya telah tertendang! Dua pendeta yang lain menjadi kaget sekali!

“Setan! Siapa kau berani mengacau di sini!”

Ketiganya mengawasi dengan penuh perhatian dara muda berpakaian merah muda yang berdiri di depan mereka. Ternyata setelah bangun dari tertendang tadi pendeta baju hijau itu lalu mendekati dua orang rekannya. Tak lama kemudian dia mengenal dara itu yang bukan lain Mawarsari murid Ki Sapta Aji paman guru Nyi Resmi Suci! “Kiranya kau dara liar! Kau ingin menyusul gurumu ke neraka? Mari kuantar!” Ketiga pendeta itu mengeluarkan senjata ular hijau dari saku bajunya dan maju menyerang dengan bentuk segitiga!

“Ha-ha-ha…. ketiga pendeta murtad yang haus kematian! Aku mendapat pesanan dari Hyang Yamadipati untuk mencabut nyawamu!” Mawarsari berkata sambil mencabut sepasang pedangnya, mengelak dari sambaran seekor ular di tangan pendeta termuda. Membabatkan pedangnya ke arah dua ular hijau lainnya! Lalu balas menyerang dengan hebatnya kepada tiga orang itu, dielakkan dan ditangkis oleh lawannya. Perkelahianpun terjadi di tempat itu dengan serunya! Mawarsari memang menjadi murid Nyi Resmi Suci. Akan tetapi ketika baru dua tahun menjadi murid di situ, tiba-tiba datanglah paman guru Nyi Resmi Suci ke Padepokan Teratai! Melihat kelincahan dan bakat anak itu, hatinya tertarik. Mawarsari pun lalu dibawanya ke pertapaannya! Digembleng dengan ilmu-ilmu yang tinggi dari perguruan yang menjadi aliran dari Padepokan Teratai! Ingat akan maksud Suryo Lelono maka Mawarsari lalu meloncat ke atas genteng sambil mengejek ketiga lawannya! Tiga pendeta berbaju hijau mengejar ke manapun Mawarsari pergi, berusaha untuk membunuh dara itu. Agar peristiwa di dusun itu jangan sampai tersiar sebelum rajanya dapat berkuasa!

Suryo Lelono yang melihat Mawarsari telah berhasil memancing ketiga orang pendeta itu menjauhi balai desa, muncul keluar dengan cepatnya tahu-tahu telah berada di dekat gentong. Kedua orang tinggi besar di kanan kiri gentong dengan sekali serang telah tertotok tidak berdaya, tubuhnya lemas, menggeletak di dekat gentong!

Tanpa membuang waktu Suryo lalu memasukkan GARAM ke dalam gentong dan mengaduknya. Isi gentong yang telah tercampur dengan garam itu ditinggalkannya! Dengan sekali lompat saja tubuhnya telah menghilang di atas genteng rumah!

Orang-orang yang ditinggalkan tiga pendeta itu berdiri dari sembahnya tadi. Lalu berurutan mereka meminum air gentong yang telah tercampur garam! Semuanya tidak terkecuali, dari yang tua sampai ke anak-anak kecil! Tidak berapa lama kemudian terjadilah keanehan di tempat itu! Semua yang minum air gentong menjadi pingsan! Akan tetapi tak lama kemudian mereka tersadar dan menjerit kaget melihat keadaan diri mereka juga semua penduduk yang berada di situ! Telanjang tanpa satu benangpun yang ada di tubuh mereka, bersicepat mereka mengenakan pakaian dan menanti di situ dengan penuh tanda tanya? Apa yang akan terjadi kemudian? Akan tetapi sekarang wajah mereka sudah tidak berwarna kehijauan. Dan mereka telah mengenal malu kembali! Ini menandakan bahwa mereka telah sembuh dari pengaruh yang ditimbulkan oleh racun air yang berada di gentong yang diberikan tiga pendeta berjubah hijau itu! Dapat membedakan mana baik dan mana yang buruk!

Mawarsari yang memancing ketiga pendeta berjubah hijau ketika sampai di ujung desa segera berhenti, menanti mereka bertiga. Melihat anak dara itu menanti dengan tenangnya di tepi dusun dekat hutan, begitu datang ketiganya lalu menyerang dengan senjata ularnya kembali! Dan terjadilah pertempuran di tepi hutan itu dengan serunya.

Pada suatu kesempatan yang baik Mawarsari menggerakkan pedangnya dengan kecepatan bagaikan kilat menabas ketiga kepala ular! Dua kepala tertabas pedang kanan dan yang seekor oleh pedang di tangan kirinya! Mawarsari mengejek melihat senjata lawan tidak berguna lagi.

“Nah, sekarang kepala ularmu yang tertabas. Sebentar lagi kepalamu yang penuh dengan kotoran itu akan menggelinding di tanah!”

“Jangan bergirang dulu, iblis nakal. Kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa? Kami bertiga adalah Tiga Penegak Hukum dari tuanku Raja Hijau!” kata salah seorang yang tertua.

Ketika di desa Kandangan mereka juga ada di sudut ruang makan itu. Akan tetapi ketika terjadi pengeroyokan terhadap pemuda baju putih yang membawa tongkat dan ular hijau, mereka hanya berdiri menonton saja! Agaknya mereka menduga bahwa anak muda itu juga segolongan dengan mereka, apalagi pemuda itu dapat mengatasi keadaan dan tidak berada dalam bahaya mereka tidak mau mencampuri! Ketiganya lalu membuang ular tanpa kepala dari tangan. Lalu sambil berkomat-kamit sebentar kemudian mendorongkan kedua tangan ke depan dan…… keluarlah sinar hijau dari telapak tangan mereka. Meluncur cepat ke arah Mawarsari berdiri. Melihat ini dengan cepat kakinya mengenjot tanah, dalam sekejab tubuhnya telah melayang ke samping. Ketika sinar yang tidak mengenai tubuh Mawarsari itu masih meluncur dan mengenai pohon besar, sungguh hebat akibatnya! “Krakkkkk!! Bummm!” Dengan mengeluarkan suara gemuruh pohon besar itupun tumbang!

Mawarsari menarik napas panjang melihat ini, untung ia cepat mengelak. Melihat hasil sinar hijau itu sungguh hebat, ia harus berlaku hati-hati untuk mengelak atau menghindarinya!

Ketika melihat serangan pertama dapat dielakkan dengan mudah oleh lawan. Ketiga pendeta itu lalu menyerang berulang-ulang dengan dorongan tangan yang mengandung sinar hijau. Mawarsari mengelak dengan lincahnya, menyelinap di balik pohon mengajak bermain kucing-kucingan terhadap lawannya! Tanpa dapat dicegah lagi cabang-cabang pohon terputus berhamburan jatuh terlanda sinar hijau!

“Terimalah balasanku, pendeta keparat!” Bentak Mawarsari dan dari tangannya meluncur bunga merah berhamburan ke arah tiga pendeta berjubah hijau. Akibatnya sungguh hebat! Ternyata ketiganya telah terkena senjata boor bunga mawar di tengah dahi masing-masing. Membuat pendeta-pendeta itu menemukan ajalnya!

Begitu ketiga orang itu roboh menjadi korban senjata rahasianya, datanglah Suryo Lelono yang menyusul ke tempat itu dengan cepatnya bagaikan segumpal asap tertiup angin kencang. Mawarsari leletkan lidahnya saking kagumnya! Sungguh hebat pemuda ini, bisiknya dalam hati. Tanpa terasa hatinya telah tercuri oleh pemuda ini. Dengan pandang mata mesra ia melihat ke wajah Suryo Lelono. “Bagaimana, Sari. Kau dapat mengorek keterangan dari pendeta-pendeta itu?” Suryo begitu datang menegur untuk bertanya.

“Ahh, sangat disayangkan aku lupa akan hal ini, Suryo. Sungguh aku bodoh sekali tidak teringat akan hal sepenting itu.” Mawarsari menghela napas panjang, menyesal. “Karena gemas aku telah membunuh ketiganya!”

“Sayang! Tapi tidak apa. Kita masih dapat mencari lagi.”

“Kalau hanya tempatnya aku dapat membawamu, Suryo. Maka aku mengajak kau untuk ikut ke sana.”

“Aku menurut saja, karena kau yang lebih mengenal daerah Merapi ini.”

“Dan bagaimana hasilnya usahamu, Suryo.”

“O ya, marilah kita segera ke sana. Tadi setelah aku memasukkan garam ke dalam gentong lalu kutinggal ke sini. Aku takut kalau kau terjebak oleh perangkap pendeta jubah hijau itu. Mari, kita lihat hasilnya!” Suryo pun menggerakkan tubuhnya kembali ke desa di mana ia tadi memasukkan garam di gentong. Mawarsari mengikuti di belakangnya.

Begitu mereka berdua sampai di depan balai desa, ternyata dua orang pembawa gentong telah menjadi onggokan daging! Ternyata dia telah dibunuh oleh penduduk dusun yang telah teringat kembali akan apa yang terjadi! Apa yang telah menimpa desa mereka adalah akibat dari dua orang ini yang membujuk dengan muluk-muluk! Dua orang inilah yang telah membunuh tiga pendeta mereka dengan dibantu ketiga pendeta jubah hijau! Tadinya ketiga pendeta desa itu hanya ditahan di balai desa. Baru dua hari yang lalu ketiganya digantung untuk menyenangkan hati ketiga pendeta jubah hijau! Maka melihat kedatangan kedua teruna itu, mereka mengangkat senjata siap untuk mengeroyok!

Suryo lalu menggunakan tenaga dalamnya mengeluarkan teriakan Aji Senggoro Macan (Auman Harimau). “Tahannnn! Lepaskan senjata!!”

Teriakannya mengumandang dan berwibawa! Mendengar teriakan itu semua penghuni desa lumpuh tidak dapat berdiri lagi, jatuh terduduk dengan tubuh terasa lemas. Apalagi untuk me-megang senjata, untuk duduk saja sudah tidak bisa! Mawarsari yang melihat hasil teriakan Suryo Lelono takjub! Dia sendiri yang memiliki tenaga dalam yang sudah tinggi, ikut tergetar sehingga tanpa terasa telah melangkah mundur dengan kedua kaki menggigil!

Suryo Lelono lalu memberi petuah kepada masyarakat desa. Memberi pengarahan dan meminta mereka untuk menjalankan ibadah dengan baik sehingga tidak dapat kemasukan ajaran yang menyesatkan! Pelajaran yang merugikan diri sendiri juga menyeret anak keturunan mereka ke lembah dosa yang tak berampun! Mawarsari pun tidak ketinggalan untuk menambahkan saran kepada mereka. Meminta agar mereka bekerja dengan baik dan tekun di tanah pemberian Tuhan yang digarap mereka.

“Kalau tanah pertanian subur serta memberi hasil yang baik. Semua penduduk akan menikmati kemakmuran!”

“Benar sekali, hasil yang melimpah dapat untuk memajukan desa, serta mencukupi kebutuhan hidup!” Semua penduduk menyatakan sanggup untuk melaksanakan perintah serta saran kedua remaja itu. Memang dalam hati mereka telah terbit kembali sinar terang dari Yang Maha Tinggi. Mereka terasa muak dengan perbuatan yang mereka lakukan selama ini, dibawah cengkeraman air beracun ular hijau! Mereka sadar telah melakukan hal yang tidak diridhoi juga menjadi laranganNya! Dalam hati mereka bertekad untuk menebus semua kesalahan itu, memperbaiki diri dengan menjalankan ibadah sebaik mungkin serta menjauhkan diri dari perbuatan maksiat dan dosa! Setelah mendengar kesanggupan mereka, kedua teruna ini berkelebat lenyap ditelan gelapnya malam! Menuju ke barat memenuhi undangan Iblis Ular Hijau!

(OodwkzoO) Bab 8

BUKIT ULAR di lereng Gunung Merapi adalah sebuah bukit yang penuh dengan pohon-pohon yang besar, dan lebat sekali daun-daunnya. Membuat jalan di bawahnya menjadi gelap, karena lebatnya hutan itu. Bermacam- macam ular menjadi penghuni hutan itu. Jarang sekali orang yang berani untuk memasuki hutan tersebut. Para penduduk sekitar hutan yang telah mengenal tempat itu, melarang semua orang yang akan melewati hutan di Bukit Ular. Memberitahu akan banyaknya bahaya yang mengancam di Bukit Ular !

Akan tetapi, sejak matahari keluar dari peraduannya. Nampak banyak sekali orang yang berdatangan menuju ke Bukit Ular! Ketika mereka bertanya-tanya kepada para penduduk dan mendapat tahu betapa bahayanya kalau memasuki hutan. Mereka tidak peduli! Berombongan mereka memasuki hutan, sambil tangan siap di tempat senjata. Tidak iupa membawa obor untuk mengusir ular yang berani mendekat. Tidak berapa lama rombongan yang terdiri dari sepuluh orang, lenyap di balik rimbunnya daun yang tumbuh subur di situ!

Ketika sepuluh orang ini sedang berjalan dengan obor di tangan kiri masing-masing dan senjata terhunus di tangan kanan. Tiba-tiba mereka mendengar suara melengking tinggi dari empat penjuru! Sepuluh orang ini berhenti, siap siaga menghadapi segala kemungkinan.

Tidak tetialu lama mereka menanti. Belum lenyap suara melengking itu, tiba-tiba entah datang dari mana? Datang barisan ular berbagai macam telah mengurung mereka! “Awass! Ular! Siap!” Lengkingan nyaring terdengar seakan memberi aba-aba. Barisan ular maju menyerang sepuluh orang itu. Sambil menggerakkan obor dan senjata mereka berusaha menahan serbuan barisan ular. Walaupun banyak tubuh kawan-kawan mereka terkena sulutan obor dan babatan pedang, namun barisan ular tetap maju menyerang! Sehingga ada yang dapat mematuk kaki lawan. Korbanpun berjatuhan! Baik di pihak manusia maupun di pihak ular! Akan tetapi tidak lama kemudian sepuluh orang itupun binasa semua oleh gigitan ular berbisa! Rombongan pertama ini tewas di tengah hutan. Tidak berapa lama kemudian Nampak rombongan kedua terdiri dari lima puluhan orang! Nampak seorang pemuda berjalan di depan. Pemuda itu bukan lain adalah Sarpojati!

Begitu memasuki hutan, Sarpojati membagi-bagi minyak kepada semua orang. Menyuruh mereka untuk segera meminumnya! Semua orang mengikuti petunjuknya serta melakukan apa yang diperintahkan oleh pemuda itu. Masing-masing lalu membuka kantong dan mem-persiapkannya di pinggang. Lalu rombongan inipun masuk ke dalam hutan. Mencari Candi Ular di bukit itu guna membasmi Iblis Ular Hijau yang telah membuat kekacauan di sekitar lereng Gunung Merapi!

“Tahan!” Seru Sarpojati ketika melihat mayat berserakan.

Tiba-tiba langkah mereka berhenti ketika melihat mayat sepuluh orang rombongan pertama. Dengan cepat mereka lalu menguburkan jenazah dengan sederhana. Baru saja selesai mengubur mereka, terdengarlah suara melengking dari empat penjuru. Ular-ular berdatangan mengepung mereka. Mereka lalu membuat lingkaran dengan punggung menghadap ke dalam. Tangan kiri bergerak menyebar serbuk berwarna putih ke arah ular- ular yang mengepung. Akibatnya sungguh hebat! Barisan ular mawut tertimpa serbuk putih!

“Awas! Jangan girang dulu!” Sarpojati memperingatkan teman-temannya.

Agaknya serbuk itu adalah bubuk garam. Ular-ular yang terkena menjadi berkelojotan lari meninggalkan tempat itu. Mereka takut kalau kulit tubuh mereka akan rusak terkena garam, sehingga dalam sekejab mereka telah lenyap! Lengkingan nyaring masih terdengar dari empat penjuru. Sarpojati memberi isyarat. Empat orang dari rombongan melempar pisau belati ke atas pohon di empat penjuru.

“Siut-siut-siut-siut!”

“Aduhhhhh! Mati aku!” Hampir bersamaan terdengar jerit kesakitan dari atas pohon di mana empat belati itu melayang dan jatuhlah tubuh orang berpakaian hijau ke bawah. Ketika diperiksa ternyata keempatnya telah mampus! Di dada mereka telah tertancap sebuah pisau yang tepat menembus jantung! Sungguh hebat pelempar pisau terbang itu!

Sejenak mereka menanti. Akan datangnya serangan susulan! Akan tetapi, sampai lama mereka tidak mendapat serangan. Merekapun lalu melanjutkan perjalanan tak lama kemudian mereka tiba di tempat terbuka. Tiba-tiba Sarpojati memberi isyarat dengan tangan kanan. Rombongan itu membuat posisi seperti mata anak panah! Sarpojati sebagai ujungnya. Mereka maju dengan hati-hati, karena mereka tahu bahwa sedang di tempat yang  tidak dapat dibuat main-main! Salah langkah berarti nyawa melayang meninggalkan tubuh, tidak mungkin akan kembali!

“Wir-wir-wir-wir…..!” Bagaikan hujan layaknya melesat banyak sekali anak panah menghujani mereka. Kalau hanya menghadapi serangan anak panah para pendekar ini merasa kecil. Mereka semua memutar senjata untuk menahan serangan ini!

“Serbuuuu! Bunuhh…..!” Sarpojati mengeluarkan siulan melesat ke depan sambil menggerak kan senjata. Bergelimpanganlah tubuh lawan yang terpotong pedangnya!

“Majuuuu! Basmi Ular Hijau!” Teriakan lantang memecah keheningan. Melihat perbuatan Sarpojati, mereka segera menirunya. Pertempuran terbukapun terjadi di lapangan rumput itu dengan hebatnya!

“Tang-ting-tang-ting!” suara beradunya senjata, disusul oleh pekik kesakitan dan robohnya tubuh terpotong. Mereka saling bacok dan saling tombak. Segala macam senjata yang menjadi andalan mereka keluarkan untuk dapat mengalahkan lawan!

Perang campuh yang hebat dan brutal terjadi pada sore hari, di mana nyawa manusia tidak berharga sama sekali. Hanya membunuh atau terbunuh, melukai atau dilukai. Berusaha untuk membunuh lawan sebanyak- banyaknya. Memenangkan pertempuran dengan cepat, dengan korban sedikit di pihaknya! Pertempuran berlangsung sampai matahari terbenam. Orang terakhir berpakaian hijau pun jatuh dengan kepala putus! Melihat akhir pertempuran ini, jelas kemenangan di pihak Sarpojati dengan para pendekar yang menyerbu sarang Iblis Ular Hijau! Walaupun jumlah korban di pihaknya tidak sedikit, mereka tetap bersemangat. Ternyata yang masih hidup tinggal dua puluhan orang termasuk Sarpojati! Ternyata mereka telah mengalahkan lawan yang jumlahnya lebih banyak lagi!

“Kita terus menyerbu candi itu! Ingat! Kita harus selalu bersama. Untuk menjaga jangan sampai ada korban lagi!” Sarpojati memberi tahu kawan-kawannya para pendekar yang tersisa.

“Kita bakar saja! Kita ratakan dengan tanah!” Usui seorang pendekar yang marah sekali karena banyaknya temannya yang tewas.

“Kita basmi sampai akar-akarnya! Biar tidak ada lagi manusia jahat di candi itu yang meneruskan jejak pemimpinnya!”

“Bakarrr…..! Basmi semua berikut cindil abangnya!”

Teriakan membahana mengguncang Bukit Ular. Akan tetapi, tiada sambutan sama sekali. Heranlah semua orang itu? Mereka meneliti keadaan di sekitar candi. Merasa heran sekali tidak mendapatkan seorang pun manusia di situ!

“Aneh? Ke mana perginya mereka?”

“Tidak peduli! Aku akan menanti mereka kembali! Kalau belum membasmi habis mereka, belum puas hatiku!” Kata pula seorang bersenjata golok besar. Dia agaknya marah sekali karena tangan kirinya terluka parah dan kelima saudaranya telah terbunuh dalam perang campuh tadi! “Tenang kawan-kawan! Aku setuju usul itu! Kita tunggu sampai si iblis serta konco-konco-nya muncul. Kita bikin habis mereka!” Sarpojati menerima usul itu. Mereka mencari tempat untuk mengepung altar!

Di lain tempat di Bukit Ular terdapat pula rombongan yang ingin menerobos masuk. Mereka juga mengalami nasib menguntungkan karena ternyata dapat lolos dari serangan anak buah Iblis Ular Hijau sehingga sampai di tempat itu! Di bawah cahaya bulan yang telah bersinar penuh pada tanggal lima belas itu. Sepuluh orang yang berpakaian beraneka warna memasuki altar pemujaan di candi. Mereka lalu bersatu dengan rombongan Sarpojati, mengepung altar!

Suryo Lelono dan Mawarsari juga tidak terluput dari serangan anak buah si iblis yang berpakaian serba hijau! Kalau Suryo tidak tega untuk membunuh lawannya, maka Mawarsari tidak pernah memberi ampun lawannya! Begitu sepasang pedangnya bergerak menyerbu lawan berjatuhanlah tubuh-tubuh yang terbelah atau terpotong sepasang pedangnya.

“Sari, jangan dibunuh! Cukup kau lukai saja, mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan!” Suryo yang melihat perbuatan temannya mencegah. “Ingat peristiwa di dusun itu. Kukira orang-orang ini juga berada dalam pengaruh racun si iblis yang jahat!”

Mawarsari menahan diri untuk jangan sampai membunuh lawan. Ia teringat akan peman-dangan di dusun yang mereka lalui itu. Semua orang tidak sadar akan perbuatan mereka, seperti dituntun oleh kuasa yang tidak nampak! Tidak tahu akan diri sendiri! Karena untuk tidak membunuh orang-orang itu, maka pertempuran berjalan lama! Maka sampai bulan telah muncul mereka masih terlibat dalam pertempuran. Berusaha untuk menotok lawan dan membikin lumpuh! Suryo berusaha menyadarkan serta mengobati mereka dengan cepat!

Kita tinggalkan Suryo yang masih berusaha memenangkan pertempuran dengan korban yang sedikit mungkin. Walaupun dia dibantu dengan Mawarsari akan tetapi, mereka berdua tetap mengalami kesukaran dalam melumpuhkan lawan. Marilah kita ikuti kejadian di tengah altar!

Tatkala bulan yang bersinar sepenuhnya itu tepat berada di tengah altar, tiba-tiba tampak asap kehijauan membubung tinggi dari pedupa-an itu. Semua mata mengawasi kejadian itu dengan hati berdebar tegang, tangan yang memegang senjata tanpa disadari telah mengeluarkan keringat dingin. Saking tegangnya!

Dari asap yang semakin tebal itu keluarlah tawa yang mendirikan bulu roma. Ketawa seram yang mengandung kekuatan gaib serta melumpuhkan semangat dan tubuh! Tiba-tiba ketika asap telah menipis, terlihatlah tubuh tinggi besar dengan kulit hijau berdiri di belakang altar. Tangan terangkat ke atas sambil memegang ular yang diangkat tinggi di atas kepala. Gerakan itu dilakukan berulang kali. Ketika berhenti, matanya menyapu ke sekeliling. Menyapu tempat di mana para pendekar menyembunyikan diri. Sepasang mata bersinar kehijauan itu seakan melihat mereka semua!

“Ha-ha-ha…… hai, para kawulaku! Hayo cepat keluar untuk menyembah rajamu yang baru! Dewa Ular Hijau yang akan menjadi sesembahan manusia sejagad!” kata iblis itu lantang. Sambil tangan kirinya menunjuk! Aneh nya dari tangan yang menunjuk itu keluar angin menerjang ke depan. Begitu mengenai tempat sembunyi orangnya terpental keluar! Berulang-ulang jari tangan itu menuding sehingga dalam sekejap lebih dari tiga puluh orang telah keluar dari tempat sembunyinya!

“Ha-ha-ha-ha…… para kawulaku, hayo cepat menyembah! Apa kalian menunggu aku marah dulu, membunuhmu untuk menjadi santapan ularku! Ha-ha- ha…..!”

Sejenak hening tiada orang yang bergerak menjawabnya. Semua mata ditujukan melihat ujud Iblis Ular Hijau yang berdiri di bawah terangnya bulan itu! Penuh takjub dan ngeri!

“Siapa sudi menjadi kawulamu! Sebentar lagi kau mampus oleh kami. Mayatmu anjingpun takkan mau!” terdengar teriakan Sarpojati. Dia tak dapat menahan marahnya lagi. Tunangan dan ayahnya telah terbunuh oleh iblis ini secara keji!

“Huah-ha-ha-ha…… Sarpojati. Bocah cilik tukang jilat! Rasakan olehmu sekarang pembalasanku!” Begitu selesai berkata dari sepasang mata iblis itu keluar sinar kehijauan meluncur cepat menerpa Sarpojati. Untung Sarpojati waspada. Diapun meloncat mengelak! Luput dari terjangan sinar hijau, akan tetapi temannya menjerit ngeri karena tubuhnya hangus kehijauan terlanda sinar itu!

“Huh-ha-ha-ha…… huah-ha-ha-ha…… mampus kau keparat!” “Serbuuuuu…… keroyokkk…… hujani senjata rahasia…..!”

Bagaikan hujan bermacam-macam senjata meluruk tubuh si iblis. Akan tetapi Iblis Ular Hijau tidak bergerak sama sekali! Tak-tuk-tak-tuk-tak-tuk terdengar ketika senjata itu menimpa tubuh si iblis. Tapi sebuahpun senjata tidak ada yang dapat menembus kulitnya! Tangan kiri si iblis bergerak ke depan dan…..angin badai menerpa gerombolan orang itu! Ternyata kibasan tangannya telah mengembalikan senjata-senjata rahasia yang menyerang dirinya. Tak ampun lagi terdengarlah teriakan mengerikan karena senjata makan tuannya!

Sarpojati melenting ke atas dan dari atas meluncur maju sambil menggerakkan pedangnya menebas kepala. Dielakkan dengan menundukkan muka sedangkan ular hijau di tangan kanan meluncur ke arah leher Sarpojati! Sambil memutar pedang menangkis kepala ular, Sarpojati mengirim pukulan tangan kiri. Gerakan ini dilakukan oleh Sarpojati di udara, seakan seekor burung rajawali mematuk ular!

“Takk!” Tubuh Sarpojati terpental kembali ke belakang akibat benturan pedang dengan ular hijau itu. Sungguh luar biasa sekali ular hijau itu, ular itu agaknya bukan sembarang ular. Ular siluman!

“Terimalah kematianmu, bangsat kecil!” Kembali dari sepasang mata itu meluncur sinar hijau. Ketika dapat dielakkan, mengejar terus ke mana Sarpojati menghindar! Bagaikan tembakan-tembakan peluru roket layaknya. Begitu sinar itu meluncur dan mengenai sasaran tubuh atau batu, benda itu meledak dengan mengeluarkan suara yang memekakkan telinga! Begitu serangan sinar hijau yang keluar dari sepasang matanya selalu dapat dielakkan Sarpojati, Iblis Ular Hijau menjadi marah. Sambil mengeluarkan lengkingan nyaring tubuh nya meluncur ke arah lawan! Berbagai macam senjata meluruk mengenai tubuhnya, tapi sebuahpun tiada yang dapat melukai dirinya! Ternyata tubuhnya kebal sekali sehingga bermacam-macam senjata tidak ada yang dapat menerobos kekebalannya. Dan begitu tangannya bergerak, terpentallah tubuh-tubuh lawan dengan dada atau kepala telah remuk!

Ular hijau pun tidak mau ketinggalan oleh tuannya. Meluncur membelah dada dan mencabut jantung! Sungguh menggiriskan tandang keduanya. Sebentar saja para pengeroyok itu hanya tinggal lima orang termasuk Sarpojati!

Sarpojati membaca mantera, tiba-tiba pedang di tangannya berubah menjadi pedang yang mengeluarkan api yang berkobar-kobar! Dengan cepat Sarpojati menangkis ular yang akan mematuk jantung teman di sisinya “tak-tak-tak!” tiga kali kepala ular itu terkena tetakan pedang! Akan tetapi aneh! Ular hijau itu begitu terkena tetakan pedang berapi mental ke belakang terus menyerang lagi ke depan! Tidak takut akan api yang dapat menghanguskan tubuhnya itu!

“Ha-ha-ha-ha……. keluarkan semua ajimu, bocah. Tidak lama lagi jantungmu akan kumakan untuk menambah kebal diriku. Ha-ha-ha…… semua jantung di sini akan menjadi santapanku belaka. Ha-ha-ha-ha……!”

Sarpojati telah hilang akalnya melihat kehebatan lawannya! Badan lawan yang kebal ditambah lagi dengan sepasang mata yang dapat mengeluarkan sinar hijau ampuhnya menggila! Sungguh bukan manusia, pikirnya! Akan tetapi, dendamnya yang sedalam lautan itu menggelapkan pikirannya. Membunuh atau terbunuh tekadnya! Ketika ada kesempatan baik, tangan kanan yang memegang ular hijau dikibaskan ke depan dan…… pedang api itupun telah terbelit tubuh ular. Akan tetapi kepala ular masih meluncur ke tangan yang memegang pedang. Dengan terpaksa sekali Sarpojati melepaskan pedang apinya. Melompat mundur, berusaha untuk dapat meloloskan diri dari serangan balasan lawan

(OodwkzoO) Bab 9 (Tamat)

“HA-HA-HA-HA…… mau lari ke mana kau Sarpojati!” Kembali sinar hijau meluncur dari sepasang matanya!

Sarpojati gentayangan berusaha untuk meloloskan diri, bersembunyi di balik pohon besar!

“Duarrrr!” Pohon tumbang terlanggar sinar hijau! Sungguh maut sinar hijau itu! Entah tenaga apa yang terkandung di dalamnya?

“Siut-siut-siut….. darr-daarr-darr!!” Kembali sinar hijau menumbangkan pohon. Sialnya, tubuh Sarpojati yang meloncat tertimpa cabang sehingga jatuh terguling! Iblis Ular Hijau mendatangi dirinya dengan langkah kaki satu- satu! Pelan tetapi pasti maut mendekati Sarpojati!

Sarpojati berusaha untuk melepaskan dirinya dari cabang yang menindihnya, sial! Ternyata kaki kanannya telah patah terhimpit dahan, sehingga dibuat bergerak sedikit saja sakitnya sampai menusuk ke dalam jantung! Lebih lagi ketika dia melihat kedatangan Iblis Ular Hijau yang semakin dekat!

“Ha-ha-ha…… inilah saat yang kutunggu-tunggu Sarpojati! Kau tidak akan segera mati. Akan kuiris-iris dagingmu sedikit demi sedikit untuk makanan ularku ini. Ha-ha-ha-ha……!” Iblis Ular Hijau menikmati hasil kemenangannya, pelan-pelan. Sepasang mata kehijauan itu menatap lawan yang sudah tidak berdaya tidak jauh di depannya!

“Wirr-wirr-wirrr!” Sinar merah saling susul meluncur menyerbu kedua mata kehijauan milik Iblis Ular Hijau! Dengan memutar ular hijaunya dia menangkis sinar merah itu!

“Ting-ting-ting!!” Suara sinar merah bertemu tubuh ular hijau menimbulkan percikan bunga api yang menyilaukan mata! Iblis Ular Hijau kaget melihat kehebatan senjata rahasia yang meluncur itu. Ketika dia mengawasi ternyata yang menyerangnya adalah senjata boor ber-bentuk bunga mawar!

“Setan Hijau aku di sini!” Mawarsari meluncur datang didahului lingkaran putaran sepasang pedangnya. Iblis Ular Hijau lalu menembak bayangan yang datang dengan sinar hijau dari sepasang matanya!

“Trang-trang-trang-trang!”

Sungguh luar biasa sekali pertemuan kedua senjata itu! Bunga api berpentalan ke sana kemari, apabila ada yang melanggar pohon, meledak dan menghanguskan pohon serta mematah kan cabangnya! Akan tetapi putaran pedang itu tetap menerjang maju mendekat! Iblis Ular Hijau kaget melihat ketangguhan lawan baru ini.

Sungguh tak disangka sama sekali ternyata dara remaja itu telah mempunyai bekal ilmu yang luar biasa, disertai tenaga batin yang matang sekali! Mawarsari tidak mau memberi kesempatan lawan. Begitu dapat dekat iapun lalu memainkan ilmu ajaran Ki Sapta Aji yang ampuh! Pedangnya saling menyilang dan membabat tak beraturan membingungkan lawan!

Iblis Ular Hijau juga mengeluarkan ilmu memainkan ular hijau dengan cepatnya. Mengeluarkan bentakan- bentakan untuk melumpuhkan lawan baru ini! Keduanya terlibat dalam adu kesaktian yang seru sekali, yang nampak hanya bayangan kemerahan terbungkus dua sinar putih dan bayangan hijau yang berkelebatan sambil mematuk-matuk cepat sekali!

Bagaimana Mawarsari dapat sampai di tempat itu sendiri? Kemana perginya Suryo Lelono? Ketika sedang ramai-ramainya pertempuran itu, tiba-tiba terdengar tawa Iblis Ular Hijau yang memecah malam! Mawarsari lalu berkata kepada Suryo yang masih sibuk untuk menyembuhkan bekas lawannya!

“Aku pergi dulu! Keparat itu telah muncul di sana. Tawanya itu menunjukkan hatinya yang senang!” Tanpa menanti jawaban Suryo, Mawarsari meloncat pergi dengan cepatnya. Tubuhnya bagaikan api meluncur ke puncak pohon tertinggi, dari sana dia meloncat ke pucuk lainnya. Bergerak cepat sekali ke arah asal suara tawa. Kebetulan kedatangannya tepat ketika si Iblis Ular Hijau mendekati Sarpojati yang tertindih pohon. Tanpa membuang waktu ia meluncurkan senjata buatan guru nya! Senjata boor bunga mawar yang telah mampu menyelamatkan nyawa Sarpojati, dan menyerang Iblis Ular Hijau dengan hebatnya! Itulah yang terjadi sehingga Mawarsari sekarang bertempur satu lawan satu dengan Iblis Ular Hijau! Akan tetapi sungguh sangat disayangkan sekali.

Apabila kedatangannya tadi bersama dengan Suryo Lelono agaknya ia akan mendapat bantuan dari pemuda itu sehingga tidak sampai terdesak. Tetapi apa mau dikata. Semua telah terlanjur. Iblis Ular Hijau betul-betul luar biasa! Telah berulang kali sepasang pedangnya mengenai tubuh lawannya, akan tetapi tubuh itu tidak terluka sama sekali. Hanya membuat lawan terdorong mundur ke belakang lalu maju kembali menyerangnya dengan lebih hebat!

Mawarsari merasa bahwa kepandaiannya tidak kalah menghadapi si iblis, akan tetapi yang membuatnya kewalahan adalah ilmu kebalnya! Kalau hanya serangan sinar kehijauan dari sepasang mata, ia dapat memunahkannya dengan mudah.

Iblis Ular Hijau yang sejak tadi belum dapat mengalahkan lawan. Menjadi penasaran sekali dan iapun lalu berkomat-kamit membaca mantera! Begitu melihat pedang kanan menabas pinggang dan pedang kiri mengarah lehernya, Iblis Ular Hijau menggerakkan kedua tangannya berbareng.

“Brettt! Plakkk!” Pedang di tangan kanan Mawarsari terpental. Lepas dari pegangan oleh tamparan yang mengenai pangkal sikunya! Sedang ular hijau itu melibat pedang di tangan kirinya! Dalam keadaan seperti itu, Mawarsari lalu menggerakkan kakinya menendang bawah pusar Iblis Ular Hijau! Melihat tendangan yang dapat membahayakan jiwanya, Iblis Ular Hijau meloncat ke atas, tangan kanannya menyendal Tanpa ampun lagi pedang di tangan kiri Mawarsari, terbetot lepas!

“Ha-ha-ha…… sekarang terimalah pusakaku, Mawarsari!” Iblis Ular Hijau menggerakkan ular hijau menyerang dada. Pada saat itu bagaikan orang terkena pesona Mawarsari hanya melihat saja ular hijau meluncur datang!

“Tukkk! Plakkk!” Kepala ular yang sudah mendekati dada Mawarsari, terpental! Mawarsari pun terdorong ke belakang dengan kuatnya. Bagaikan dilontarkan tenaga yang dahsyat sekali. Tubuhnya melayang jauh di bawah altar, bergulingan beberapa kali dan berhenti menabrak sebatang pohon! Iblis Ular Hijau kaget sekali ketika ular hijaunya terpental! Ia meloncat mundur, mengawasi siapa orangnya yang telah menggagalkan serangannya tadi! Di mana Mawarsari tadi berdiri, nampak seorang pemuda tampan yang tersenyum manis sekali. Tangan kanan memegang tongkat berbau harum kayu cendana! Dengan kemarahan meluap iblis ini menggerak kan tangan kirinya. Bola kehijauan berhamburan menerjang si pemuda baju putih!

Dengan mudah serangan ini dimentahkan Suryo Lelono. Putaran tongkatnya yang mengandung tenaga dalam tingkat tinggi dapat mementaikan bola-bola hijau itu. Iblis Ular Hijau bertambah geram lalu menyerang maju sambil mengeluarkan seluruh kepandaiannya.

Suryo Lelono menghadapi serangan menggebu ini dengan Ilmu Tongkat Pengemis Gila. Hingga berulangkali tongkat itu dapat menembus pertahanan lawannya, saking anehnya gerakan ilmu tongkat itu! Untung sekali kekebalan tubuh si Iblis dapat menahan gebukan lawan! Iblis Ular Hijau mengerahkan seluruh kesaktian yang ada untuk dapat cepat mengakhiri lawan. Sebentar lagi matahari akan keluar dari balik bukit di timur!

Sementara itu, berdatangan rombongan orang yang berpakaian hijau. Mereka adalah bekas anak buah si iblis yang telah dapat disembuhkan oleh Suryo Lelono! Begitu datang mereka berusaha untuk membantu Mawarsari, menolong Sarpojati yang tertindih cabang pohon!

Mawarsari tadinya kaget melihat kedatangan rombongan ini! Akan tetapi, begitu mereka membantunya untuk menolong mengeluarkan Sarpojati, dia maklum bahwa orang-orang ini telah terbebas dari pengaruh si Iblis Ular Hijau.

Begitu Sarpojati dapat ditolong. Mawarsari lalu berusaha untuk mengobati lukanya. Kaki-nya yang patah dibalut dengan dua bilah dahan. Salah seorang berbaju hijau menyerahkan selendang untuk pengikatnya dan memotong pula cabang untuk dipakai sebagai penopang tubuh!

Mereka menyaksikan pertandingan adu kesaktian yang luar biasa sekali! Belum pernah selama hidup mereka melihat kesaktian yang dikeluarkan seperti yang dimiliki kedua orang yang sedang bersabung nyawa itu! Di mana dari sepasang mata si Iblis Ular Hijau terkadang meluncur sinar, dapat dielakkan oleh si pemuda berpakaian putih. Sinar yang luput mengenai sasaran, menghancurkan benda-benda yang dilanggarnya! Akan tetapi mereka juga melihat betapa tongkat si pemuda acap kali dapat mementalkan kepala ular senjata Iblis Ular Hijau!

Melihat betapa lawan dapat memunahkan semua serangannya, Iblis Ular Hijau menjadi panik! Apabila matahari telah keluar, maka semua kesaktiannya dapat berkurang keampuhannya! Maka iapun lalu berusaha untuk melarikan diri! Tubuhnya tiba-tiba melesat ke belakang meninggalkan lawan, ketika berada dekat dengan pedupaan di tengah altar, tiba-tiba saja tubuhnya berubah menjadi asap hijau! Tak lama kemudian lenyap dari pandang mata semua orang! Kagetlah mereka semua yang menyaksikan peristiwa ini! Sungguh luar biasa sekali. Bagaimana tubuh seorang manusia dapat berubah menjadi asap yang dalam sekejab saja telah lenyap entah ke mana? Suryo Lelono hanya tersenyum melihat ini. Mulutnya komat-kamit dan tangan kirinya bergerak ke depan.

“Mau lari ke mana, Iblis!”

Cahaya putih keluar dari tengah celapak tangannya.

Meluncur cepat menyambar pedupaan dan……

“Duaaarrrrrr…….!!!” Pedupaan yang terlanda sinar putih meledak. Menimbulkan suara yang memekakkan telinga saking dahsyatnya! Dari balik kepulan asap pedupaan keluarlah bayangan hijau sambil memekik keras sekali. Pekik penasaran dan ketakutan serta kemarahan bercampur aduk menjadi satu!

“Aauuuuugggggghhhhhh…….!!!!”

Orang yang mendengar pekikan ini banyak yang jatuh terduduk. Tidak kuat jantungnya menerima getaran pekik iblis itu. Pada saat itu kebetulan matahari telah terbit di timur, sinarnya yang kemerahan jatuh tepat di altar. Tubuh kehijauan si iblis terkena cahaya matahari.

“Buuuussssss……!!” dalam sekejab asap kehijauan bergulung-gulung naik ke angkasa! Ketika asap itu lenyap, nampaklah sesosok tubuh tegap yang memegang keris besar. Keris yang bersinar kehijauan di tangan kanan!

Dia bukan lain adalah….. SARPOWULUNG! Kakak dari Sarpojati.

Mawarsari dan Sarpojati kaget sekali! Sungguh tidak mereka duga sama sekali. Bagaimana iblis itu dapat menjadi Sarpowulung? Menurut keterangan Kirtam, semua penghuni Padepokan Silat Ular Kencana telah binasa oleh Iblis Ular Hijau. Ayahnya Ki Naga Pethak juga ikut terbasmi. Bagaimana sekarang si Sarpowulung malah yang menjadi Iblis Ular Hijau? Pertanyaan ini mengaduk di dalam hati Sarpojati.

“Kiranya kau? Agaknya engkau telah mencari kekuatan hitam, Sarpowulung. Mengapa kau berbuat sekeji itu terhadap sesamamu, Sarpowulung?” Suryo Lelono bertanya. Mawarsari juga heran sekali. Untuk apa semua itu dilakukan Sarpowulung?

“Lancang! Kau anak muda yang iancang!” Sarpowulung membentak. “Semua kulakukan untuk membinasakan orang yang telah menyakiti hatiku. Menghalangi kesenanganku dan merampas kekasihku. Ha-ha-ha……. jangan kira kau akan dapat mengalahkan aku, Suryo. Ha-ha-ha……!”

Begitu tertawa, keris hijau di tangannya menunjuk ke arah Suryo! Seleret sinar hijau melesat cepat. Suryo melenting tinggi mengelak! Akan tetapi kembali sinar keris hijau mengejarnya, seakan tidak mau melepaskan kemanapun Suryo mengelak!

Mawarsari yang melihat kejadian itu tadi, sejenak terpaku. Begitu sadar, ia melengking nyaring sambil menerjang ke arah Sarpowulung! Ingin dia dapat membinasakan iblis yang telah membuat musibah di tempat Padepokan Teratai dan di tempat uwanya di Kandangan! Melihat terjangan ini, Sarpowulung mengejek. Keris hijau itu diarahkan kearah Mawarsari……. sinar hijau meluncur menyambut Mawarsari!

“Duuaarrrrr!” Tubuh Mawarsari terpental ke belakang. Melayang kembali bagaikan layangan putus talinya! Berkelebat bayangan putih menyambar, dengan ringan menurunkan tubuh Mawarsari di tanah.

“Jangan gegabah! Keris hijau itu bukan senjata sembarangan!” Suryo berkata, “kuharap semua hanya menonton saja. Aku akan berusaha menangkapnya!”

Semua orang hanya mengangguk. Mereka dapat mengukur kemampuan mereka sendiri, tidak akan mungkin dapat menandingi lawan yang begitu hebat!

“Sarpowulung, sadarlah! Buang senjatamu itu!” Suryo Lelono memperingatkan. “Kau akan terus dikuasai oleh iblis itu. Cepat buang senjatamu!”

“Ha-ha-ha…… kau kira aku orang bodoh! Enak saja bicara, nih terimalah!”

Kembali keris itu menuding-nuding! Bagaikan luncuran peluru-peluru penangkis serangan udara, sinar hijau menerpa Suryo Lelono. Suryo Lelono meloncat ke arah pepohonan, serangan peluru hijau mengikutinya!

“Dar! Darr! Daarrr!” cabang pohon berpatah an terkena sinar hijau. Meledak dan menimbul kan asap, berjatuhan menimbulkan suara berkerosakan!

“Cess! Cess! Cess!!” Sinar hijau tertangkis oleh sinar putih yang keluar dari telapak tangan kiri Suryo. Ternyata Suryo membuat loncatan tinggi dari atas pohon. Meluncur cepat ke arah Sarpowulung. Menangkis serangan sinar hijau serta menggerakkan tongkat kayu cendana menyerang.

“Takk! Cringg! Tak! Takk! Cringgg!” Kedua senjata bertemu. Sarpowulung sekarang terhuyung ke belakang akibat pertemuan kedua senjata. Agaknya kesaktiannya telah berkurang banyak. Kenyataan ini membuat Sarpowulung kaget sekali.

“Terimalah ini!” Suryo berputaran di udara, mengelakkan sinar-sinar hijau panjang yang menuju tiga bagian tubuh depannya. Anehnya ketiga sinar itu dapat membelok atau meliuk dan meletik kembali ke arah Suryo! Ternyata tiga sinar hijau itu adalah tiga ekor ular hijau. Tahu-tahu telah melingkar di tubuh Suryo. Dan keanehan pun terjadi!

Ketiga ular itu begitu mengenai tubuh Suryo, melingkar dengan jinaknya. Sama sekali tidak mau mematuk, seperti yang biasa dilakukannya! Mengetahui ini Suryo tersenyum, girang sekali. Ketika dia menengok ke arah lawannya, ternyata Sarpowulung tengah melarikan diri!

“Mau lari ke mana, Sarpowulung?” Sekali menjejakkan kakinya, tubuhnya melayang bagaikan cahaya kilat di kala hujan. Meluncur cepat mengejar ke arah bayangan Sarpowulung pergi!

Semua orang pun tidak mau ketinggalan, ikut mengikuti dari jauh. Ilmu lari mereka kalah jauh dibandingkan dengan Suryo! Mawarsari juga berkelebat cepat, ia tadi mengambil sepasang pedangnya memasukkan ke dalam sarung pedang. Sekali berkelebat, tubuh nya laksana asap kemerahan melayang cepat menembus ke dalam hutan!

“Menyerahlah, Sarpowulung! Aku tidak akan membunuhmu!” Suryo berkata dengan menggunakan tenaga dalamnya yang tinggi, Suara ini memenuhi hutan dan membalik dari tebing-tebing membuat gaung yang aneh!

“Lebih baik mati! Akulah raja dunia ini. Ha-ha-ha……!” “Sadarlah….! Bertobatlah, Sarpowulung!”

“Iblis! Hayo ke sini kalau berani!”

“Aku tidak ingin melukaimu, Sarpowulung. Serahkan kerismu itu!”

“Dan kau yang akan menjadi raja di dunia ini!

Tidakkk…!!”

“Keris itu mempunyai pengaruh yang menyesatkan! Cepat serahkan untuk kumusnahkan!” Suryo membujuk. Dia melihat bahwa di dalam keris itu tenaga yang menyesatkan. Nalurinya mengatakan bahwa dia harus memusnahkan keris hijau itu, untuk mencegah lebih banyak korban yang akan terjadi dengan adanya keris hijau di tangan orang yang tidak bertanggung jawab!

Sampailah mereka di dekat goa. Begitu melihat Sarpowulung ingin memasuki goa, Suryo menggerakkan kedua tangannya berbareng men dorong ke depan. Seleret sinar merah dan putih menimpa atas goa! Ledakan dahsyat terdengar.

Batu-batu besar berhamburan menutup mulut goa! Sarpowulung terpental ke belakang. Tidak kuat menerima ledakan dan saking kagetnya melihat batu- batu besar berjatuhan meluruk ke bawah. Seakan hendak mengubur dirinya, maka cepat dia meloncat ke belakang menghindar!

“Serahkan kepadaku, Sarpo! Benda itu akan kumusnahkan!” “Keparat! Mampuslah kau!” Keris di tangan bergerak menusuk ke dada dan tangan kiri menampar kepala. Suryo mengelak, menggerak kan tongkat ke bawah. Menarik kaki Sarpowulung yang melangkah. Akibatnya tubuh Sarpowulung terpelanting jatuh di bebatuan.

“Wirrr! Wirrrr! Wirrrr!!”

“Takk! Takk! Takk!” Hujan batu dari bawah dapat dimentahkan Suryo. Sarpowulung mendekat sambil bergulingan. Keris hijau menusuk-nusuk kedua kaki lawan. Suryo pun menghindar dengan gesitnya, tubuhnya bagaikan seekor burung dara yang meloncat- loncat ringan dan gesit sekali. Semua serangan itupun gagal!

“Trannggggg! Plakkk! Blukkkk!”

Suara senjata tertangkis disusul tubuh terkena tamparan. Sarpowulung terlempar ke belakang. Tubuhnya terbanting di dinding tebing. Keris hijaunya terlempar ke udara tinggi sekali! Ketika melihat kesempatan baik, Suryo menggunakan tongkat menangkis dengan tenaga sakti pamungkasnya. Membuat keris kehijauan terlempar ke udara. Sedangkan tangan kirinya dapat memukul pundak Sarpowulung, membuatnya terlempar mengenai dinding tebing!

“Siutt-siutt!!” Dua sinar keputihan menerjang. Ternyata Mawarsari telah sampai di tempat itu. Melihat Sarpowulung terlempar dia menggunakan kesempatan baik itu untuk membalas sakit hati guru dan kakak seperguruannya.

Sarpowulung yang baru saja terbanting ke dinding tebing mengelak cepat lalu balas menyerang. Dua sinar hijau melesat dan kedua kaki Mawarsari telah terkena senjata ini. Tanpa ampun lagi tubuh Mawarsari jatuh terduduk! Sarpowulung menubruk maju!

“Lepaskan, bangsat!” Mawarsari berteriak. Akan tetapi mana mau Sarpowulung melepaskan hasil baik ini! Inilah jalan meloloskan diri dari ancaman para lawan-lawannya, pikirnya!

Suryo Lelono kaget melihat perkembangan yang tidak pernah diduganya ini! Ketika dia meluncur menerima keris yang terpental itu, melihat bayangan merah menerjang ke arah Sarpowulung. Ternyata Mawarsari telah menyerang Sarpowulung, akan tetapi apa yang dilihatnya membuat hatinya mencelos! Ternyata Mawarsari telah dirangkul oleh Sarpowulung dan pedangnya ditodongkan leher!

Dari belakang terdengar suara kaki mendatangi, kiranya para bekas anak buah Iblis Ular Hijau yang menyusul datang! Sambil salah seorang menggendong tubuh Sarpojati. Ketika tiba di tempat itu mereka kesima melihat Mawarsari sudah menjadi sandera Iblis Ular Hijau yang telah berubah menjadi Sarpowulung ketika matahari telah bersinar!

“Kakang Sarpowulung! Lepaskan Mawarsari. Biar kita berdua saja mengadu nyawa di sini!” Sarpojati maju sambil tertatih-tatih.

“Setan! Kaulah yang menjadikan aku begini!”

“Sadarlah, kakang. Bukan aku yang bersalah.” “Keparat! Akulah yang menjadi cercaan ayah, karena

senang menikmati kehidupan di luar.” “Itu tidak benar, kakang! Ayah sangat sayang kepadamu, dia selalu mengarahkan untuk menempuh jalan yang benar.”

“Kenapa aku yang salah…… kenapa…..?” Sarpowulung berteriak-teriak.

“Kakang terlalu menuruti dorongan teman-teman kakang. Berbuat melanggar aturan dan kesopanan yang diajarkan ayah.”

“Ha-ha-ha…… goblok! Orang hidup harus menikmati kesenangan! Ha-ha-ha…….!” Sambil tertawa bergelak Sarpowulung mencium pipi Mawarsari berulang-ulang, sampai-sampai mengeluarkan suara kecepak-kecepok!

Mawarsari hampir pingsan menerima perlakuan demikian! Belum pernah Mawarsari menerima kecupan dari seorang laki-laki. Sampai sekarang dia belum pernah berhubungan dengan seorang pria, maka betapa kaget dan malu dirinya ketika kedua pipinya mendapat hadiah kecupan itu. Apalagi di depan banyak orang malah! Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya!

Ketika sedang terjadi percakapan antara kedua orang bersaudara itu, diam-diam Suryo yang sudah memegang keris hijau lalu mengerahkan tenaga dalam. Mengeluarkan aji pamungkas ajaran Pengemis Alis- Putih! Besi yang berwarna kehijauan itu sebentar saja berubah menjadi kemerahan, tak lama kemudian berubah warnanya menjadi keputihan! Asap kehijauan membubung tinggi ke angkasa, semua orang yang melihatnya menjadi kaget dan takjub sekali. Akan tetapi Sarpowulung menjadi marah sekali, juga kebingungan melihat kejadian itu! “Kau….. kau….. kau…..!” Seleret sinar hijau terbang bagaikan kilat. Sukar diikuti oleh pandang mata, tahu- tahu mulut yang terbuka dari Sarpowulung kemasukan sinar hijau itu! Saking kagetnya dia melepaskan pedang dan rangkulannya di tubuh Mawarsari. Mendekap mulut dengan kedua tangan. Sepasang matanya terbelalak ketakutan tahu-tahu tubuhnya bergulingan tidak karuan! Tubuhnya dibentur-benturkan batu gunung, jari-jarinya menyogok langit-langit mulutnya. Memuntahkan benda yang memasuki mulut. Tetapi usahanya sia-sia belaka!

Semua orang melihat kejadian ini menjadi heran sekali. Apa gerangan yang telah terjadi? Mengapa Sarpowulung berulah demikian aneh? Mereka hanya dapat melihat saja kejadian itu dengan bengong, tidak tahu apa yang dilakukan untuk mencegahnya!

Sarpowulung yang sedang bergulingan itu tiba-tiba teringat akan Dewi Hijau di goa Ular. Jelas terbayang di depan kelopak matanya! Ketika dia memasuki goa dengan diantar oleh penunggu goa. Seorang kakek yang buruk sekali mukanya dengan kulit yang sudah kisut- kisut. Dia membakar kemenyan di tengah batu yang berbentuk persegi duduk bersamadhi. Entah berapa lama dia tidak ingat lagi? Tahu-tahu hidungnya mencium bau harum, merangsang. Ketika dia membuka mata, ternyata di depannya telah berdiri seorang perempuan. Wajahnya cantik sekali dengan kulit putih kehijauan, mengenakan pakaian yang tembus pandang. Pandang mata mengajak. Seperti orang kehausan yang membutuhkan kelepasan! Sarpowulung menahan diri. Dia ingat akan petunjuk jurukunci tua itu. Lalu memohon untuk dikabulkan permintaannya! Perempuan cantik kehijauan itu menyetujui. Jadilah Sarpowulung menjadi suami si perempuan cantik! Entah sampai berapa lama dia tidak tahu? Hanya ketika dia diberi sebuah senjata, perempuan itu berkata. ”Ingat, Sarpo! Jangan sekali-kali kau terkena matahari! Apalagi terkena langsung ketika kau berubah dan bersatu dengan diriku! Apabila terjadi demikian, maka berarti tamatlah riwayatmu!” Sarpowulung mengiyakan. Sanggup untuk memenuhi segala permintaan dari Dewi Hijau!

“Aku akan berusaha sekuat tenaga. Semua akan kulakukan demi kekalnya hubungan kita.” Maka diserahkannya sebuah keris yang besar. Keris berwarna kehijauan. Di luar tahu Sarpowulung yang hanya memburu kenikmatan dan ingin berkuasa. Dia telah menjadi budak Dewi Hijau! Ketika malam dia berubah menjadi Iblis Ular Hijau. Yang pertama, kerisnya berubah menjadi seekor ular, sesudah itu lalu tubuhnya berubah menjadi besar serta kulitnya berwarna kehijauan dengan muka seperti iblis bercaling! Dia mengganas menyedot sari kehidupan para perawan. Semua dilakukan sebagai sarana agar dia dapat selalu berhubungan dengan Dewi Hijau! Melihat keadaan ini, Suryo menjadi tidak tega. Keris di tangannya bergerak…….. tubuh Sarpowulung menjadi sasaran!

“Blaaarrrrr!” Ledakan dahsyat terjadi ketika keris itu menancap ke tubuh Sarpowulung. Tubuh yang telah menjadi budak dari Dewi Hijau! Asap kehijauan berbau bangkai melayang naik! Sebentar kemudian lenyap terkena panasnya cahaya matahari, semua orang yang menyaksikan kejadian ini hanya memandang bagaikan telah berubah menjadi patung batu. Diam tak bergerak sama sekali! Suryo Lelono melangkah maju mendekati Mawarsari, mengambil garam lalu dicampur air. Mawarsari meminumnya. Tak berapa lama kemudian dia telah dapat berdiri kembali. Sembuh dari pengaruh racun senjata Sarpowulung atau bekas Iblis Ular Hiiau!

“Kami minta saudara-saudara ikut membantu mengumpulkan jenazah korban-korban pertempuran! Kita kumpulkan di altar dan kita bakar semua jenazah itu untuk menghilangkan bisa yang ditinggalkan dengan jalan membakar nya!”

Semua orang menyatakan setuju. Beramai-ramai mereka lalu mencari dan mengumpulkan semua jenazah. Mengambil dan mencari di hutan-hutan untuk dibawa ke altar. Semua ini mereka lakukan sampai hari menjadi gelap baru selesai. Ketika telah terkumpul semua, lalu menumpuk kayu-kayu kering. Dibakarlah mayat-mayat itu! Semua melihat api yang berkobar-kobar luar biasa besarnya. Membuat mereka mundur untuk mengurangi hawa panas!

Di sudut, dekat dengan batu-batu besar. Tiga orang berdiri dengan anggunnya! Suryo Lelono memberi tahu bahwa dia akan melanjut kan perjalanan. Ketika dia merogoh kantung untuk mengeluarkan ular hijau, ternyata ular itu telah lenyap!

“Kita berpisah di sini! Ingatlah benda bertuah belum tentu baik! Semua harus bersandar kepada Sang Hyang Widhi, yang telah memberi kita petunjuk untuk dilaksanakan!”

“Dapatkah kita berjumpa lagi, Suryo?” Mawarsari bertanya. ”Insyaallah!”

Sekali melayang tubuh Suryo Lelono lenyap ditelan gelapnya malam! Kedua orang itu memandang ke arah lenyapnya Suryo Lelono.

Sampai di sini kita ikuti pengembaraan Suryo Lelono. Mungkin kita dapat bertemu kembali dengannya dalam petualangan yang akan lebih menarik lagi!

T A M A T
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar