Jilid 07
BAGAIMANA caramu untuk mengadukan persoalan ini? Dalam tubuh Tay-hong-tong, Tio jiya selamanya adalah seorang yang ternama, apakah mereka bersedia membantumu untuk menghadapi putranya sendiri?"
Lau Pat tidak berbicara lagi, peluh yang mengucur ke luar semakin banyak, tiba-tiba ia berteriak keras:
"Tidak, bagaimanapun juga tidak bisa, ini semua adalah hasil karya yang kami perjuangkan dengan keringat serta darah kami sendiri, tak mungkin kami rela untuk memberikan kepada orang lain dengan begitu saja."
Orang itu menghela napas. "Sayang sekalipun tidak ingin kau serahkan juga percuma, kecuali
. . . Ya, kecuali . . .” "Kecuali kenapa?”
“Kecuali secara tiba-tiba Tio kongcu mengidap suatu penyakit yang sangat parah dan pergi menyusul bapaknya."
Ia penuhi cawan sendiri dengan arak dan meneguk habis dalam sekali tegukan. "Hanya orang mati yang selamanya tak akan mencari uang untuk dipergunakan!"
Lau Pat menatapnya lama sekali dengan sinar mata tajam, tiba-tiba sambil merendahkan suaranya ia bertanya:
Menurut pendapatmu, mungkinkah secara tiba-tiba ia akan terserang penyakit parah?” “Kemungkinan besar!"
“Apakah kau mempunyai cara yang dapat membuatnya secara tiba-tiba terserang penyakit parah?"
"Hal ini tergantung kepadamu!”
"Tergantung kepadaku bagaimana maksudmu".
"Tergantung apakah kau mempunyai uang kontan sebesar lima laksa tahil perak?” Mencorong sinar tajam dari balik mata Lau Pat setelah mendengar perkataan itu. “Kalau aku bersedia menyiapkan uang kontan sebesar lima laksa tahil perak?" “Kalau kau telah bersedia menyiapkan uang kontan sebesar itu maka tugasmu cukup hanya menyiapkan sebuah kartu undangan, undanglah kepadanya agar besok tengah hari bersedia datang ke rumah makan masakan Shucuan yang memakai merek “Siu oh khang" di tengah kota sana, karena kau hendak mengundangnya untuk makan siang bersama-sama."
Orang itu tersenyum, setelah menarik napas, panjang panjang terusnya lebih jauh:
“Bila ia selesai bersantap siang bersamamu, aku tanggung ia pasti akan kejangkitan suatu penyakit aneh, bahkan sakitnya makin lama akan semakin parah.
"Sampai di manakah parahnya penyakit yang bakal diderita orang she Tio itu?" "Pokoknya parah setengah mati, bahkan mungkin juga segera akan merenggut jiwanya."
`Bila kusebarkan undangan kepadanya, apakah dia pasti akan datang memenuhi undangan tersebut?"
"Dia pasti akan datang.”
"Apakah aku harus mengundang pula orang lain.?" kembali Lau Pat bertanya. "Kecuali Cia-tauke, kau jangan undang orang-orang lain, kalau t1idak . . . " “Kalau tidak mengapa?"
Dengan wajah membesi dan suara dingin kata orang itu:
"Kalau tidak bukan dia yang terjangkit sakit parah melainkan kau sendiri."
Lau Pat mulai minum arak, menyeka keringat dan menghabiskan tiga cawan, tiba-tiba sambil memukul meja teriaknya:
"Baik, kita lakukan seperti apa yang kita rencanakan!” PERTARUNGAN BERDARAH
RUMAH makan "Siu-oh-kang" merupakan rumah makan termashur di wilayah Siok-tiong, pemiliknya she Phang, bukan saja seorang pedagang yang pandai sekali melayani kebutuhan tamunya, diapun merupakan seorang koki yang sangat pandai membuat hidangan lezat.
Masakannya yang paling terkenal adalah masakan ikan gurame masak tausi, daging masak kecap, hati dan jerohan masak cabe, ikan masak terong serta ikan masak daging sapi. Sekalipun hidangan-hidangan tersebut termasuk hidangan yang seringkali dijumpai dalam kehidupan rumah tangga, tapi hidangan yang ia masak justru terasa lebih harum, lebih sedap dan lebih enak rasanya . .
Terutama seekor ikan gurame kalau dimasak dengan tausi ditambah dengan cabe, bukan saja empuk, segar, pedas bahkan boleh dimakan sebagai teman nasi atau teman minum arak, siapapun akan doyan makan masakan tersebut sekalipun harus ketinggalan kereta.
Kemudian Phang tauke punya anak, menarik menantu dan punya cucu, diapun mengangkat diri menjadi kepala keluarga sedang anak cucunya yang meneruskan usaha tersebut.
Sekalipun Phang tauke sudah mengundur-kan diri, tapi merek "Siu oh khang" masih tetap dipakai, setelah anak cucunya belajar memasak darinya, merekapun membuka rumah makan di tempat-tempat lain dengan tetap mempergunakan merek itu, kenyataan-nya setiap rumah makan yang dibuka dengan merek tersebut selalu ramai dikunjungi orang.
Rumah makan "Siau oh khang" di kota ini baru dibuka belum lama, kokinya konon masih keturunan langsung dari Phang tauke, hidangan ikan guramenya juga terbitung pedas, segar, enak dan empuk.
Sebab itulah meski baru dibuka setengah tahun, tapi namanya sudah tersohor sampai di mana- mana.
Bu-ki mengetahui pula tempat itu, ketika hari pertama ia datang ke kota itu, makan malamnya telah dilakuken di rumah makan Siu oh khang.
Kecuali masakan Ang sio leihi yang amat mahal harganya, ia memesan pula empat macam hidangan yang pedas, seporsi telur dimasak ikan, seporsi daging masak kecap dan semangkuk kuah tahu.
Ia bersantap dengan amat puas, peluh membasahi tubuhnya karena kepedasan. Bahkan ia menghadiahkan tujuh uang tembaga untuk sang pelayan.
Seorang tamu yang datang bersantap seorang diri ternyata mampu menghadiahkan tujuh mata uang tembaga sebagai tip, hal ini sudah terhitung suatu yang luar biasa.
Oleh karena itulah, baru saja hari ini dan melangkah masuk. "Mo sut telah menyambut kedatangannya dari kejauhan sambil membungkukkan badan.
Mo-sut adalah kakak dialek Suchuan. Mo-su artinya pelayan, baik pelayan rumah makan atau pelayan warung . . . . .
Konon semua pelayan yang bekerja di situ asli import dari Suchuan, sekalipun sudah tidak terdengar lagi kata kata seperti "Khek locu." cucu kura-kura2 dan lain sebagainya, tapi setiap orang mengenakan ikat kepala berwarna putih, ini sebagai pertanda bahwa mereka adalah orang asli Shucuan.
Orang Shucuan gemar mengenakan ikat kepala berwarna putih, konon sebagai peringatan untuk Cukat Hu ho (Khong Beng).
Setelah memasuki wilayah Shucuan, bila bertemu dengan orang yang tidak memakai ikat kepala putih, dia pasti adalah orang orang yang disebut sebagai "Orang udik" atau "orang di bawah telapak kaki" oleh orang-orang Shucuan, sekalipun ia cuma menghabiskan makanan seharga tigapuluh mata uang tembaga, paling sedikit yang dibayar harus satu tahil perak.
Untungnya tempat itu bukan wilayah Shucuan, hari ini Bu-ki pun tidak mengundang orang.
Maka ketika kakinya melangkah masuk dari pintu gerbing "Siu oh-khang", wajahnya me-nunjukkan perasaan yang riang.
Benarkah hati kecilnya ikut riang, hanya Thianlah yang tahu.
Tuan rumahnya ada dua orang, Cia Lak dan Lau Pat. Sebaliknya tamunya cuma Bu-ki seorang.
Hidangan yang telah disiapkan di meja beraneka macam, sekilas pandangan saja dapat di ketahui bahwa semua masakan yang dipesan adalah hidangan-hidangan mewah yang mahal harganya.
Arakpun merupakan arak Tay mie yang paling enak dan tersohor. Sambil tersenyum Bu ki lantas berkata:
"Kalian berdua betul-betul terlalu sungkan!”
Cia Lak dan Lau Pat memang teramat sungkan terhadap seseorang yang sudah hampir mati, sungkan sedikit memang tak ada artinya.
Sebelum datang ke sana, mereka telah merundingkan persoalan ini lama sekali, bahkan berunding secermat-cermatnya.
"Meskipun orang itu asal usulnya kurang begitu jelas bahkan amat misterius, tapi apa yang dikatakannya cukup dapat dipercaya."
"Percayakah kau bahwa orang itu sanggup menghadapi Tio Bu ki?” "Aku yakin!” "Kau pernah menyaksikan ilmu silatnya?" sebenarnya Cia Lak selalu menunjukkan sikap menaruh curiga.
"Bukan saja ilmu silatnya tidak menjadi soal, bahkan dari balik tubuhnya seakan-akan membawa sejenis hawa sesat yang menggidikkan hati."
"Hawa sesat bagaimana maksudmu?"
"Sulit bagiku untuk mengucapkannya, tapi setiap kali mendekati orang itu, aku selalu merasa hatiku mengkirik dan bulu kudukku tanpa terasa pada bangun berdiri, aku selalu merasa bahwa di balik badannya seakan-akan tersembunyi seekor ular beracun, yang setiap saat bisa menongol ke luar dan memagut orang.”
"Dengan cara apakah dia hendak turun tangan?"
"Ia tidak bersedia memberitahukan kepadaku, ia cuma memesankan ruangan vip di rumah makan Siou oh khang tersebut.”
"Kenapa musti memilih rumah makan Siou oh khang?"
"Ia berbicara dengan dialek Shucuan, sedang Siou oh khang adalah rumah makan yang khusus menghidangkan masakan Shucuan, aku rasa di rumah makan itu dia pasti mempunyai pembantu."
Pelayan yang bekerja di rumah makan Siou oh khang berjumlah sepuluh orang, lima di atas loteng dan lima di bawah loteng.
Secara diam-diam Cia Lak telah memperhatikan mereka semua, ternyata dari sepuluh orang tersebut ada empat orang yang bertubuh enteng dan cekatan, jelas merupakan seorang jago silat.
Menanti mereka sudah duduk di atas loteng telah bertambah lagi dengan seorang pelayan, dia adalah "sahabat" mereka itu.
"Kami telah berjanji, ongkos yang lima laksa tahii perak itu akan kubayar tiga laksa tahil lebih dulu, sedang sisanya akan dibayar setelah berhasil nanti".
"Kau telah membayar kepadanya?" "Pagi tadi sudah kuberikan kepadanya". "Surat undangannya?" "Surat undangan itu telah kuberikan kepada orang she Tio itu, malah kusertakan juga sepucuk surat pendek".
"Siapa yang menulis surat itu". "Engkuku"!
Meskipun engku Lau Pat bukan seorang sastrawan, namun untuk menulis sepucuk surat jelas bukan persoalan yang menyulitkan.
Dalam surat itu mula-mula dinyatakan rasa sesal dan kagumnya kepada Bu-ki, kemudian berharap kedatangan Bu ki untuk makan siang sambil menghilangkan rasa permusuhan di antara mereka.
"Menurut pendapatmu, mungkinkah dia akan datang memenuhi janji?" "Aku rasa dia pasti datang!"
"Kenapa? “
"Sebab pada dasarnya dia adalah seorang pemberani, terhadap persoalan apapun tidak mengambil perduli.”
Tentu saja Bu ki telah datang.
Ia tak pernah menampik undangan orang lain, entah siapapun yang mengundang kedatangannya.
"Sampai kapan mereka baru akan turun tangan?"
"Dikala Ang sio leihi dihidangkan dan kujepit kepala ikan dengan sumpit, mereka segeraa akan turun tangan!"
*****
Kini hidangan utama belum ke luar, yang dihidangkan baru empat macam makanan dingin dan empat macam masakan panas. namun telapak tangan Lau Pat sudah di basahi oleh keringat dingin.
Ia bukannya tak pernah membunuh orang, dia pun bukannya tak pernah melihat orang lain membunuh orang, tapi saat penantian adalah saat yang paling menegangkan urat syaraf, ia cuma berharap persoalan ini dapat segera diselesaikan, agar manusia yang bernama Tio Bu ki selamanya lenyap dari permukaan tanah. Karena persoalan ini tak boleh sampai diketahui Ciau Jit Tayya, maka sekali turun tangan tak boleh sampai salah bertindak.
Bu-ki selalu menunjukkan wajah riang, seakan-akan tak pernah dirasakan olehnya bahwa dalam persoalan ini terdapat kecurigaan yang perlu dikuatirkan.
Meskipun ia tidak pernah minum arak disiang hari, tidak makan terlalu banyak, tapi per-kataannya tidak sedikit.
Karena pada saat ia sedang berbicara, orang lainpun tidak akan menemukan bahwa selama ini dia terus menerus melakukan pengawasan.
Ia tidak menemukan sesuatu yang tak beres tentang tempat itu, beberapa macam sayur yang dihidangkan jelas tidak pula mengandung racun! Buktinya Cia Lak dan Lau Pat makan sayur-
-sayur itu dalam jumlah yang tidak sedikit.
Bahkan pengawal pribadipun tidak mereka bawa, jelas di luar di sekeliling rumah makan itu juga tidak disiapkan orang-orangnya yang siap melakukan sergapan.
Jangan-jangan mereka memang betul-betul berniat menghilangkan rasa permusuhan dan mengikat diri menjadi sahabat.
Hanya ada satu hal yang kelihatannya aneh, yakni beberapa orang pelayan rumah makan itu kelihatannya luar biasa bersihnya.
Sewaktu mereka menghidangkan sayur tadi, Bu ki telah memperhatikan secara khusus jari jemari mereka, buktinya jangankan telapak tangan, kuku mereka yang terawat rapihpun tidak ditemukan tanda-tanda minyak ataupun kotoran.
Jarang ditemukan manusia sebersih ini di tempat tempat rumah makan semacam ini.
Tapi, bila dikatakan mereka benar-benar mempunyai rencana busuk, sudah seharusnya berpikir pula sampai ke situ, paling tidak tubuh mereka dibuat sedikit rada kotor.
Ia merasa, salah seorang di antara pelayan-pelayan itu mempunyai bayangan punggung yang cukup dikenal olehnya, seakan-akan di suatu tempat ia pernah menjumpainya.
Tapi sayang, justru pada saat seperti ini Bu ki tak dapat mengingatnya kembali.
Ia ingin sekali menyaksikan raut wajah orang itu, tapi dia cuma bergerak lewat di pintu depan saja, lalu turun loteng.
"Heran, kenapa aku bisa kenal dengan pelayan di rumah makan ini? Tidak terlalu banyak manusia di dunia ini yang memiliki potongan badan sepersis itu." Dia selalu mencarikan jawaban dan penjelasan bagi masalah pelik yang dihadapinya, karena ia tidak berniat sungguh-sungguh untuk mencari satroni dengan manusia macam Cia Lak dan Lau Pat.
Ia selama ini berbuat demikian tidak lebih karena dia ingin mempergunakan cara ini untuk mencari seseorang.
Menurut pendapatnya, hanya dengan cara ini saja jejak orang itu dapat ditemukan.
*****
Masakan ikan leihi yang paling tersohor bagi rumah makan Siu oh khang akhirnya dihidangkan juga, masakan ikan tersebut dihidangkan khusus menggunakan sebuah baki besar yang panjangnya mencapai dua depa lebih, hawa panas menyiarkan bau harum dan pedas, suatu perpaduan bau yang menggelitik selera makan siapapun.
Selama ini ada dua orang pelayan yang secara khusus melayani kebutuhan mereka, setelah menghidangkan air teh, orang itu kembali mundur dengan kepala yang ditundukkan.
"Adakah di antara kalian yang suka makan kepala ikan?" Tiba tiba Lau Pat berkata. Cia Lak segera tertawa.
"Kecuali kau, hanya kucing yang suka makan kepala ikan!" Mendengar itu Lau Pat segera tertawa terbahak bahak.
"Haaahhh...haaahhh....haaahhh...kalau begitu biar kunikmati sendiri kegemaranku ini." Sambil berkata, dia lantas menyumpit kepala ikan tersebut.
Pada saat itulah tiba-tiba meja perjamuan di tendang orang hingga terbalik, menyusul kemudian sambil menerjang ke muka Bu ki membentak keras:
"Oooh rupanya kau!"
Pelayan yang menghidangkan sayur itu baru saja mundur ke depan pintu, tubuhnya baru saja berputar setengah jalan, Bu ki telah menerkam ke depan.
Pada saat yang berbarengan itulah, dua orang pelayan yang selama ini berada dalam ruangan melancarkan serangan pula secara serentak. Serangan yang mereka bertiga lancarkan semuanya merupakan senjata rahasia, secara terpisah dua orang melancarkan enam buah titik bintang berwarna hitam yang masing-masing mengancam kaki serta punggung Bu-ki.
Setelah serangan dilancarkan, barulah kelihatan kalau di tangan mereka masing-masing mengenakan sebuah sarung tangan yang terbuat dari kulit menjangan.
Laki-laki kekar yang merundingkan rencana tersebut dengan Lau Pat segera manfaatkan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya, di kala tubuhnya berputar ia lantas mengenakan sarung tangannya.
Maka ketika Bu ki menerjang kearahnya, ia lantas berkelit ke samping lalu dengan gerakan Hui tau wang gwat ( berpaling memandang rembulan ) segenggam pasir beracun yang berwarna hitam segera ditebarkan ke arah depan.
Cia Lak dan Lau Pat yang sebenarnya telah mengundurkan diri ke sudut ruangan segera berubah wajahnya. tanpa sadar mereka berseru kaget.
Meskipun mereka belum tahu kalau senjata rahasia yang dipergunakan adalah Tok ci li (ilalang beracun) dan Toan hun sah (pasir pemutus nyawa) dari keluarga Tong yang sudah termashur di seluruh dunia, namun mereka tahu, biasanya bila seseorang mengenakan sarung tangan kulit menjangan sebelum melepaskan senjata rahasianya maka hal ini menunjukkan bahwa senjata rabasia yang dilancarkan pasti mengandung racun yang amat jahat.
Waktu itu tubuh Bu ki masih melambung di udara, jangankan untuk menghindari serangan beribu ribu-biji pasir beracun yang datang dari muka, berkelit dari keduabelas biji Tok ci li dari belakangpun sukarnya melebihi merangkak naik ke langit.
Di antara jenis-jenis senjata rahasia dari keluarga Tong, pasir beracun Toan hun sah terhitung senjata rahasia yang paling ampuh dan merupakan juga jenis yang paling menakutkan.
Pasir-pasir beracun itu lebih kecil bentuknya dari pada biji beras. sekalipun tak bisa mencapai jarak yang cukup jauh, tapi begitu dilancarkan, langit akan berubah menjadi gelap gulita.
Dalam keadaan begini, jika musuh berada dalam radius satu kaki sampai dua kaki, maka jangan harap ia bisa menghindarkan diri, sebiji saja bersarang di tubuh akan mengakibatkan badan menjadi busuk dan racun itu meresap ke dalam tulang.
Ini semua sekali lagi membuktikan bahwa setiap langkah dari setiap kemungkinan yang bakal terjadi dalam operasi ini telah melalui suatu rencana serta pemikiran yang cermat.
Tentu saja persiapan-persiapan itu meliputi juga bagaimana penempatan posisi dari ketiga penyerangnya dan arah serta bagian tubuh manakah yang harus diserang sehingga sama sekali tidak memberi kesempatan bagi musuhnya untuk menghindarkan diri. Ya, jelas sudah bahwa semuanya itu telah mereka perhitungkan secara tepat dan masak- masak.
Tapi mereka tidak menyangka kalau Bu ki akan mengenali kembali laki-laki berikat kepala putih itu disaat terakhir menjelang dimulainya operasi mereka, mereka tidak mengira kalau Bu ki akan mengenali kembali lelaki itu sebagai salah seorang pengiring Sangkoan Jin tempo hari, atau pembunuh dari Tio Piau yang dikuatirkan akan membocorkan rahasia mereka.
Kendatipu Bu ki tindak terlalu memperhatikan manusia semacam ini, tapi paling tidak dalam benaknya telah mempunyai sedikit kesan yang cukup mendalam.
Dan kini justru karena kesannya itu, selembar jiwanya berhasil diselamatkan.
Ia telah turun tangan selangkah lebih duluan, sebelum pihak lawan mulai melancarkan serangan mautnya, ia telah menubruk ke depan lebih dahulu . . . .
Sekalipun sambil memutar tubuhnya laki-laki itu masih sempat melancarkan serangan dengan pasir beracunnya, namun dalam keadaan kaget dan gugup serangan itu toh tetap masih agak lambat.
Ketika tanganya baru saja diayukan, Bu ki telah tiba di bawah iganya, kepalannya yang lebih keras dari baja itu tahu-tahu sudah bersarang di atas tulang iganya yang nomor satu dan nomor dua.
Bunyi gemeretuk remuknya tulang baru kedengaran, tubuhnya sudah terlempar ke belakang dan secara kebetulan menyongsong datangnya serangan Tok ci li yang datang dari belakang.
Diantara kedua belas batang Tok ci li tersebut adalah sembilan batang diantaranya telah bersarang di atas tubuhnya.
Tentu saja ia mengetahui sampai di manakah kehebatan dari senjata rahasia tersebut, ketakutan dan rasa ngeri telah menyumbat tenggorokannya membuat dia ingin berteriakpun tak sanggup berteriak lagi.
Selang sejenak kemudian, ia mulai merasa kehilangan seluruh daya kontrol dan daya kendali terhadap semua organ di dalam tubuhnya, air mata, ingus, air liur, air seni dan kotoran tubuh, serentak meleleh ke luar secara otomatis.
Menanti Bu ki melemparkan tubuhnya ke luar, sekujur badannya telah telah menjadi lemas dan tak bertenaga, tapi justru dia belum juga mau mati.
Bahkan ia masih sempat mendengar suara remuknya tulang belulang dari kedua orang rekannya itu, kemudian terdengar pula jeritan mereka yang memilukan hati. Setelah itu dia merasakan juga sebuah tangan yang dingin bagaikan es menampar pipinya, lalu seseorang bertanya:
"Sangkoan Jin berada di mana?"
Tangan itu menampar tiada hentinya di kedua belah pipinya, tentu saja dengan harapan agar ia tetap mempertahankan kesadarannya, tapi sayang pada saat itulah ia merasa suara pertanyaan itu kedengaran makin lama semakin jauh makin lama semakin lirih . . . .
Dia membuka mulutnya ingin berbicara, tapi yang mengalir ke luar cuma air liur yang getir rasanya, bukan cuma getir bahkan bau dan tak sedap rasanya.
Waktu itu ia mulai bisu, mulai buta dan tuli, bahkan perasaanpun ikut mati . . .
Akhirnya pelan-pelan Bu ki bangkit berdiri, wajahnya dipalingkan ke arah Cia Lak dan Lau Pat.
Wajahnya pucat pias tiada pancaran cahaya darah. tapi tubuhnya penuh berlepotan darah, entah darah siapa yang telah menodai tubuh serta bajunya itu?
Bukan darah orang lain saja yang terdapat di tubuhnya, darah sendiripun ikut terdapat di-antaranya.
Ia tahu beberapa biji pasir beracun sempat menggesek di atas wajahnya dan melukainya, malah ada sebatang senjata rahasia Tok ci li yang bersarang pada bahunya.
Tapi ia tak tahan membiarkan orang lain tahu.
Sekarang sari racun itu belum mulai bekerja, dia harus mempertahankan sedapat mungkin, kalau tidak maka diapun akan mampus secara konyol di tempat itu.
Telapak tangan Lau Pat telah basah, malah pakaian yang dikenakanpun ikut basah oleh peluh dingin yang mengucur ke luar dengan derasnya.
Apa yang berlangsung barusan seakan-akan hanya suatu impian buruk, suatu impian buruk yang mencekam perasaan siapapun.
Bunyi tulang yang remuk, jeritan kesakitan yang menyayat hati serta rintihan yang memilukan, kini hampir telah berhenti semua.
Tapi ruangan tersebut masih saja penuh diliputi oleh bau darah serta bau busuk yang membuat orang sukar untuk menahannya. Ia sudab ingin tumpah.
Ia pingin menerjang ke luar dari situ, tapi tak berani berkutik.
Bu ki berdiri tepat di hadapan mereka, sedang memandang ke arahnya dengan pandangan dingin.
"Idee siapakah ini?" ia menegur dengan suara yang ketus dan menyeramkan hati orang. Tak seorangpun yang buka suara, tak seorangpun yang mengakuinya.
Kembali Bu ki berkata sambil tertawa dingin.
"Bila kalian sungguh-sungguh ingin membunuhku, mau turun tangan pada saat inipun masih belum terlambat."
Tak seorang manusiapun berani berkutik.
Bu ki memandangnya dengan dingin, tiba-tiba ia putar badan dan berjalan ke luar dari situ.
"Aku tak akan membunuh kalian, sebab kalian masih belum pantas kubunuh dengan tanganku sendiri."
Langkah kakinya masih begitu tenang, begitu mantap dan bertenaga. Bagaimanapun juga ia tak akan membiarkan siapapun tahu kalau ia sudah hampir tidak tahan.
Mulut luka itu sedikitpun tidak sakit, hanya sedikit kaku, seperti kena digigit oleh semut. Tapi kepalanya sudah pusing tujuh keliling, pandangan matanya sudah mulai menjadi gelap.
Senjata rahasia beracun dari keluarga Tong memang bukan cuma nama kosong, dalam rumah makan itu pasti masih ada orang-orang dari keluarga Tong, sebab pelayan yang tampak istimewa bersihnya itu paling tidak masih ada dua-tiga orang.
Biasanya orang yang suka menggunakan racun memang memiliki dandanan tubuh yang kelewat bersih.
Bu ki membusungkan dadanya dan berjalan ke luar dari rumah makan itu dengan langkah yang mantap.
Ia sama sekali tidak tahu apakah luka yang dideritanya masih bisa tertolong atau tidak, tapi bagaimanapun juga dia harus ke luar dari tempat tersebut. Sekalipun bakal mampus, dia tak akan mampus di sini, apalagi mampus di hadapan musuh- musuh besarnya.
Tak seorang manusiapun berani menghalangi jalan perginya, sekalipun di sana terdapat
orang--orang dari keluarga Tong, nyali mereka sudah dibuat pecah oleh kegagahan musuhnya.
Akhirnya ia berhasil juga ke luar dari pintu gerbang rumah makan yang tampak megah serta gagah itu.
Tapi berapa jauhkah ia masih sanggup berjalan?
Sinar matahari mencorong dengan teriknya, tapi pandangan matanya makin lama semakin gelap, orang yang berlalu lalang di sekeliling tempat itupun tampak olehnya bagaikan bayangan-bayangan hitam yang sedang melompat-lompat.
Dia ingin mencari sebuah kereta kuda tapi trak berhasil menemukannya, sekalipun ada sebuah kereta besar yang tepat berhenti di hadapannya, belum tentu ia sanggup melihatnya sendiri.
Entah berapa jauh sudah ia berjalan . . tiba-tiba ia merasa tubuhnya seperti menumbuk di atas tubuh seseorang.
Kemudian orang itu seperti lagi mengajaknya berbicara, apa mau dikata suara orang itu justru kedengaran begitu sayup-sayup sampai, begitu kabur dan seakan-akan datang dari tempat yang jauh sekali, ia tak dapat mendengarnya dengan jelas.
Tapi . . siapakah orang itu, sahabat atau musuh besarkah orang itu . . . ? Kenapa ia mengajaknya berbicara?
Sekuat tenaga ia berusaha membuka matanya lebar-lebar, raut wajah orang itu tepat berada di hadapannya, namun ia masih belum dapat melihatnya dengan teramat jelas.
Tiba-tiba orang itu berteriak dengan sepenuh tenaga :
"Hei . . . ! Aku adalah Samwan Kong, masih kenalkah kau dengan diriku ini? Hei, masih kenal tidak?"
Bu-ki segera tertawa, ia tertawa lebar sekalipun suara tertawa sendiri tak begitu kedengaran lagi olehnya.
Sambil mencengkeram bahunya, diapun berseru: "Tahukah kau bahwa aku sedang bertaruh kepada diriku sendiri ?"
"Apa yang sedang kau pertaruhkan?" "Aku bertaruh kau pasti akan datang mencariku, pasti dan tak mungkin tidak."
Setelah tersenyum sebentar, ia menambahkan: "Dan buktinya sekarang, kau benar-benar telah muncul di hadapanku, aku menang!"
Setelah mengucapkan kata kata tersebut, ia roboh tak sadarkan diri . . . .
Setalah bertahan sekian lama, bertahan agar jangan diketahui oleh musuhnya bahwa ia terluka, kini ia tak sanggup mempertahankan diri lagi, terutama setelah mengetahui bahwa Samwan Kong berhasil ditemukan. segenap tenaganya membuyar dan diapun roboh tak sadarkan diri.
Tinggal Samwan Kong seorang yang memandang kearahnya dengan wajah melongo. RACUN DAN SENJATA RAHASIA
KELUARGA Tong di wilayab Siok-tiong bukan suatu perguruan ilmu silat, bukan pula sebuah perkumpulan atau organisasi rahasia, melainkan adalah suatu keluarga persilatan.
Akan tetapi sudah hampir dua ratus tahun lebih keluarga persilatan ini menjagoi wilayah Suchuan, selama ini belum pernah ada perguruan lain atau anak buah dari perguruan lain yang berani sembarangan memasuki wilayah kekuasaan mereka. Sebab obat racun dan senjata rahasia terlalu menakutkan.
Konon senjata rabasia mereka terdiri dari tujuh jenis, yang sering ditemui dalam dunia persilatan tak lebih hanya jarum beracun, Tok-ci li serta pasir Toan hun sah.
Kendatipun cuma tiga macam, namun sudah cukup menggetarkan sukma dan memecahkan nyali setiap umat persilatan, sebab barang siapa terkena sejenis saja dari senjata rahasia mereka itu, maka dia hanya menunggu saat datangnya ajal, menunggu hingga mulut lukanya membusuk dan hancur kemudian baru pelan-pelan mati, mati dalam keadaan yang jauh lebih menderita dan sengsara dari pada kematian macam apapun juga.
Racun jahat yang dipoleskan di ujung senjata rahasia mereka bukannya tiada obat penawarnya. Cuma saja obat penawar dari keluarga Tong, seperti juga senjata rahasia beracun dari keluarga Tong, selamanya merupakan rahasia nomor satu bagi umat persilatan.
Kecuali anak cucu dan keturunan langsung dari keluarga Tong, tak nanti ada orang lain yang mengetahui rahasia tersebut, malahan diantara sekian banyak anak cucu keluarga Tong tak lebih dari tiga orang manusia belaka yang memiliki obat penawar bagi racun senjata rahasia mereka. Oleh sebab itu bila kau sampai terkena senjata rahasia beracun dari keluarga Tong, berarti kau sedang menunggu tibanya ajal, menunggu mulut luka itu mulai membusuk lalu mati dengan pelan-pelan. Yaa, pelan sekali .........
*****
Bu-ki belum mati, dalam keadaan tak sadar ia selalu merasa tubuhnya terombang-ambing naik turun tiada hentinya, seakan-akan selembar daun yang sedang dipermainkan oleh gelombang samudra yang amat besar.
Akan tetapi dikala ia sadar kembali dari pingsannya, ditemukan tubuhnya sedang berbaring dengan tenang di atas sebuah pembaringan yang bagus dan nyaman.
Samwan Kong tepat berdiri di ujung pembaringan sambil memperhatikan ke arahnya dengan wajah yang kesemsem tapi tampak juga keseriusannya, sehingga wajahnya yang pada dasarnya memang aneh kelihatan lebih lucu dan menggelikan.
Ketika menyaksikan Bu-ki membuka matanya dan sadar kembali, manusia yang berwatak aneh ini segera tertawa terkekeh kekeh seperti seorang anak kecil.
Ia mengerdipkan sepasang matanya, lalu berkata:
"Tahukah kau bahwa akupun sedang bertaruh kepada diriku sendiri ?"
"Bertaruh apa?" tanya Bu ki dengan suaranya yang lemah dan lirih setelah membasahi bibirnya yang getir, kering dan merekah itu dengan ujung lidahnya.
"Aku bertaruh aku pasti dapat mempertahankan selembar jiwamu itu."
Mencorong sinar tajam dari balik matanya, senyum dan gelak tertawanya jauh lebih riang dari gelak tertawa seorang anak kecil, kembali ujarnya: "Dan kali ini akupun berhasil menang!"
*****
Bu ki sudah mulai bersantap sedikit bubur manis yang dibuat dari jinsom serta Yang oh. Tapi mulutnya masih terasa amat getir, sedemikian getirnya hingga ingin tumpah rasanya. Sehabis makan bubur manis itu, ia baru merasakan tubuhnya agak segar.
Bubur itu dimasak deagan cara yang unik tapi lezat, seperti juga perabot dalam ruangan itu, unik tapi menyenangkan, tidak tawar pun tidak terlalu asin, persis dan sedap dirasakan. Ia percaya rumah ini bukan milik Samwan Kong, bagi seorang peujudi yang setiap kali berjudi selalu kalah, atau mungkin saja ia memiliki rumah sebagus ini, tapi tak mungkin akan memiliki sebuah keluarga seperti ini.
Menanti kekuatan tububnya sudah mulai pulih kembali, tak tahan lagi dia pun lantas bertanya: "Tempat manakah ini?"
"Inilah tempat yang ke delapan!" jawab Samwan Kong. Tempat ke delapan? Apa artinya?”
Tentu saja kau tak akan faham.
"Dalam semalaman kemarin, aku telah membawamu mengunjungi tujuh-delapan buah tempat yang berbeda," Samwan Kong menerangkan.
Ia telah menunggang kuda semalaman suntuk menunggangnya dengan sangat cepat . . . itulah sebabnya mengapa Bu ki selalu merasa tubuhnya seakan-akan sedang terombang ambing di tengah gelombang samudra yang maha dahsyat ........
Ia telah mencari tujuh delapan orang yang kemungkinan bisa menyembuhkan luka yang diderita Bu ki, tapi setelah orang lain mengetahui bahwa Bu ki, terkena senjata rahasia beracun dari keluarga Tong, mereka selalu memberi jawaban yang sama: "Maaf!"
Kembali Samwan Kong bertanya:
"Tahukah kau, kenapa sampai sekarang kau masih dapat hidup segar bugar ?"
"Kenapa?" Bu ki balik bertanya.
"Pertama, karena ketiga orang cucu kura-kura dari keluarga Tong itu bukan jago lihay dari keluarga Tong, senjata rahasia yang mereka pergunakanpun tidak lebih merupakan sisa-sisa senjata rahasia yang tak terpakai oleh anak cucu keturunan keluarga Tong".
Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan kembali.
"Seandainya Tok ci li yang bersarang di tubuhmu itu adalah barang asli, sekarang kau sudah remuk dan hancur menjadi cairan yang amat busuk".
Bu-ki cuma tertawa getir.
"Kedua, karena tuan rumah tempat ini secara kebetulan memiliki sebiji teratai salju dari Thian-san, dan kebetulan juga dia adalah sahabat karibku". Soat lian cu atau teratai salju dari bukit Thian-san merupakan obat mustajab yang paling manjur untuk memunahkan daya kerja racun jahat, kemujarabannya diakui secara umum oleh setiap umat persilatan di dunia, benda itu merupakan benda yang langka dan harganya jauh melebihi intan permata yang jumlahnya mencapai segudangpun.
Ternyata tuan rumah gedung itu bersedia mengorbankan obat mustajabnya demi menyelamatkan seseorang yang masih asing baginya, maskipun sebagian besar karena memandang di atas wajah Samwan Kong, namun Bu kipun merasa amat berterima kasih kepadanya.
"Ketiga," ujar Samwan Kong lebih lanjut, "tentu saja karena aku telah bertaruh dengan diriku sendiri, aku tak akan membiarkan kau mati karena keracunan."
Tiba-tiba Bu ki mengangguk.
"Yaa, aku tahu, kau berbuat demikian pasti karena ingin tahu kenapa setiap kali kulemparkan daduku pasti akan ke luar angka enam tiga kali? Bukankah kau ingin mempelajari cara tersebut? Kaupun ingin tahu, apakah kekalahan yang kau derita kali ini merupakan kekalahan yang penasaran atau tidak?"
"Kau tahu?" tanya Samwan Kong sambil membelalakkan matanya. Yaa, tentu saja aku tahu."
"Apakah kau sengaja berbuat demikian?"
"Sudah barang tentu aku sengaja berbuat demikian.* Kenapa?"
"Sebab aku tidak berhasil menemukan kau, maka terpaksa musti kugunakan suatu akal agar kau yang datang mencariku."
"Kau tahu dengan pasti bahwa aku pasti akan datang mencarimu?"
Bu ki segera tertawa, "Tentu saja, sebelum persoalan ini kau bikin terang, aku yakin selama ini kau pasti makan tak enak tidur tak nyenyak!" katanya.
Mendengar itu Samwan Kong tertawa terbahak bahak.
"Haaahhh . . haaahhh . . haaahh . . bagus, bagus, bocah muda, kau memang betul-betul sangat lihay!" "Bukan cuma lihay saja!"
Tiba tiba Samwan Kong menghentikan gelak tertawanya, dengan wajah serius dan mata melotot ditatapnya wajah Bu ki lekat lekat, kemudian ujarnya bersungguh sungguh:
"Sesungguhnya kau telah mempergunakan kepandaian tangan atau tidak? Sebetulnya kekalahan yang kuderita waktu itu adalah kekalahan yang penasaran atau tidak?"
"Menurut dugaanmu?" Bu ki bL"~ik bertanya sambil tersenyum.
Tiba-tiba Samwan Kong meloncat ke udara, lompatan itu mencapai ketinggian satu kaki lebih, teriaknya keras keras:
"Bocah muda, dengan sudah payah kuselamatkan selembar jiwa kecilmu, demikianlah pem-balasanmu?"
Bu ki sama sekali tidak dibikin terkejut oleh teriakannya itu, dia malah tertawa semakin riang.
"Perduli bagaimanapun jalan pikiranmu waktu itu, pokoknya karena waktu itu kau tak dapat me-lihatnya, maka kau musti mengaku kalah!"
"Apakah tidak kau saksikan emas-emas yang kuserahkan karena kalah bertaruh?” teriak Samwan Kong lagi dengan marah.
"Itu kan kau kalah bertaruh dari Siau sianseng, jangan lupa kau masih kalah bertaruh sebuah benda kecil kepadaku!"
"Aku kalah apa lagi kepadamu?" "Yaa, sepatah kata saja!"
Seakan akan daya ingatan Samwan Kong secara mendadak menjadi amat jelek, ia meng-gelengkan kepalanya berulang kali.
“Sayang aku sudah tak mengingatnya lagi!"
"Aaah . .! Kau pasti masih ingat, kau bilang asal aku bisa melemparkan enam tiga kali maka terserah apapun yang kuminta!"
Sekalipun Samwan Kong ingin mungkir, ia tak mungkin mungkir lebih jauh, apalagi dia memang bukan seseorang yang gemar mungkir, daya ingatannyapun tidak sejelek apa yang diperlihatkan tadi. Kembali dia melompat ke udara sambil mencak mencak, teriaknya dengan suara yang keras seperti geledek:
"Mau apa kau sekarang ? Mengawiniku sebagai binimu?"
"Aaah . . . Tidak, masa kau akan kujadikan biniku? Aku hanya berharap agar kau bisa mencarikan seseorang bagiku."
Sorot mata pengharapan dan kehangatan segera terpancar ke luar dari balik matanya, kembali ia berkata:
"Kau pernah berkata, bukan cuma bertaruh saja kau memiliki kepandaian besar, kepandaianmu mencari orangpun nomor satu di dunia."
Rada senang Samwan Kong mendengar pujian itu, terutama kata kata seperti "nomor satu di dunia", yaa, setiap orang pasti suka mendengarkan pujian setinggi langit, siapakah yang tidak menyukainya?
Maka dia lantas bertanya: "Siapakah yang kau cari?*
Bu ki mengepal sepasang tangannya kencang-kencang dan berusaha mengendalikan pergolakan emosinya, sepatah demi sepatah kata ia menjawab:
*Sangkoan Jin."
“Sangkoan Jin dari Tay hong tong?" seperti tersengat lebah, Samwan Kong menjerit kaget. Bu ki mengangguk, jidatnya telah dibasahi oleh peluh dingin yang penuh mengandung rasa benci, sedih dan dendam.
“Kau adalah putra Tio Kian, maka kau hendak mencari Sangkoan Jin untuk membalas dendam?" kata Samwan Kong lagi.
Kembali Bu ki manggut manggut, jawabnya dengan sedih:
"Kau telah menyelamatkan jiwaku, selama hidup tak akan kulupakan budi kebaikanmu itu, aku bukan seorang manusia yang lekas melupakan budi kebaikan orang, tapi bagaimanapun juga aku harus menemukan Sangkoan Jin sampai dapat!"
"Setitik tanda terangpun tidak kau miliki?" "Sama sekali tidak ada."
Samwan Kong tidak berbicara lagi, ia berjalan mengitari ruangan itu sampai sepuluh kali banyaknya, tiba-tiba ia berteriak keras. "Baik, aku akan mencarikan untukmu, cuma "
“Cuma kenapa?"”
“Setelah dia kau temukan, apa yang hendak kau lakukan? Dengan kepandaianmu sekarang, telur-telur busuk kecil yang merupakan kurcaci dari keluarga Tong saja tak mampu kau hadapi, bahkan nyaris nyawamu ikut melayang, apa yang hendak kau andalkan untuk menghadapi Sangkoan Jin?"
Bu-ki termenung, lama, lama sekali ia membungkam diri, akhirnya pelan-pelan ia baru berkata:
"Tentang masalah tersebut, aku telah memikirkannva!" "Oya?”
"Sejak aku berkunjung ke rumahnya Siau sianseng, telah kuketahui bahwa orang pintar yang ada di dunia ini jauh lebih banyak dari pada apa yang kubayangkan semula, akupun tahu bahwa ilmu silatku masih teramat cetek daripada apa yang pernah kubayangkan sebelumnya!
"Rupanya kau masih sedikit tahu diri!"
"Aku hanya ingin membalas dendam, bukan pergi untuk menghantar kematianku sendiri." "Ehmm, kau memang tidak bodoh!"
"Oleh sebab itu asal kau dapat membantuku untuk menemukan Sangkoan Jin, akupun mem-punyai akal untuk menghadapinya!"
"Untuk menemukan jejak Sangkoan Jin, bukanlah suatu pekerjaan yang amat gampang!" "Aku mengerti!"
"Dia sendiripun pasti tahu bahwa perbuatan yang dia lakukan adalah suatu perbuatan yang memalukan dan tak boleh diketahui orang, ia pasti akan berganti nama dan hidup mengasingkan diri di suatu tempat yang terpencil dan sulit ditemukan oleh siapapun!"
"Aku hanya berharap dalam jangka waktu satu tahun kau telah memberi kabar gembira kepadaku!"
"Kau dapat menunggu selama setahun ?" tanya Samwan Kong. "Ada orang, demi terlaksananya cita-cita membalas dendam, sepuluh tahun saja dapat mereka tunggu, kenapa aku tak dapat menunggu hanya setahun saja?"
Sikapnya begitu tenang, begitu mantap dan meyakinkan, sedikitpun tidak memperlihatkannya sebagai seorang pemuda tak tahu diri yang matanya sudah dibuat melamur oleh baranya api dendam serta melakukan sepak terjang yang ngawur serta gegabah.
Jelas ia sudah mempunyai tekad yang besar serta rasa percaya pada diri sendiri yang tebal.
Sekali lagi Samwan Kong menatapnya lama sekali, tiba tiba ia menepuk bahunya keras-keras seraya berkata:
"Baik, setahun kemudian berkunjunglah kembali ke mari, aku pasti akan membawa berita baik untukmu!"
Ia tidak memberi kesempatan kepada Bu-ki untuk menyampaikan rasa terima kasihnya, dengan cepat katanya lagi:
"Sekarang dapatkah kau memberitahukan kepadaku, apakah kau telah mempergunakan kepandaian tangan atau tidak dalam permainan dadumu?"
"Aku memang sedikit mempergunakan kepandaian tangan tapi bukan kepandaian tangan yang biasa dipergunakan oleh para Long-tiong."
"Kepandaian tangan apakah yang sesungguhnya telah kau pergunakan?" desak Samwan Kong lebih jauh.
"Semacam kepandaian tangan tak mungkin bisa disingkap rahasianya oleh siapapun, sebab sekalipun kuberitahukan kepada orang lain bahwa aku telah mempergunakan semacam kepandaian tangan orang lainpun terpaksa harus mengaku kalah!"
"Kenapa demikian ?"
Sambil tersenyum Bu-ki manggut manggut, katanya: "Kau membawa dadu ?" "Tentu saja !"
Seperti juga sebagian besar setan judi lainnya, kemanapun ia pergi alat berjudi yang paling disukainya selalu dibawa dalam sakunya.
Yang paling disukai olehnya adalah permainan dadu, maka ketika tangannya merogoh ke dalam saku, ia telah mengeluarkan segenggam biji-biji dadu.
Bu-ki menimang sebentar sebiji dadu, lalu berkata: "Setiap permukaan dadu terukir angka yang tertentu dan setiap angka jumlahnya tak sama, pada bagian permukaan yang berangka enam biasanya jauh lebih berat sedikit dari pada permukaan yang berangka lima."
"Kenapa ?"
"Karena cat yang melekat pada angka tersebut akan membuat permukaan dadu menjadi lebih berat ketimbang pada permukaan lain!"
Kemudian ia menjelaskan lebih jauh:
"Kalau dadu itu terbuat dari batu kemala, maka permukaan yang menunjukkan angka enam akan jauh lebih enteng dari pada permukaan yang menunjukkan angka lima !"
Pengamatannya terhadap dadu ternyata memang amat teliti dan seksama, belum pernah Samwan Kong berpikir sampai ke situ kendatipun setiap hari kerjanya hanya bermain dadu melulu.
"Sudah barang tentu perbedaan berat enteng setiap permukaan amat kecil dan minim sekali," kata Bu-ki lebih jauh, "pada hakekatnya sementara orang tak akan memperhatikan sampai ke situ, meski memperhatikannya belum tentu dapat merasakan secara tepat, tapi berbeda sekali bagi seseorang yang telah lama melatih kepandaian tersebut!"
"Apa bedanya?" tanya Samwan Kong.
"Jika kau seringkali melatihnya maka kau dapat mempergunakan selisih bobot yang amat minim itu untuk kepentingan sendiri, kau dapat mempergunakan selisih bobot itu untuk memperoleh angka yang diharapkan menghadap ke atas, atau dengan perkataan lain, angka berapa yang kau inginkan angka berapa pula kau dapatkan!"
Samwan Kong mendengarkan penjelasan itu dengan mata terbelalak lebar, seakan-akan ia sedang mendengarkan suatu cerita Hong sin pang yang amat tegang dan menarik.
"Sejak berusia delapan sembilan tahun aku sudah mulai berlatih, bahkan sewaktu tidurpun akan kubawa serta ketiga biji dadu itu untuk melatihnya di balik selimut, setiap hari entah berapa kali kulemparkan dadu tersebut, hingga mencapai usia duapuluh tahun, aku baru berhasil meyakini kepandaian khususku itu, aku baru yakin berapa angka yang kuminta, aku dapat memperolehnya dengan lemparan daduku itu!"
Hampir setengah harian lamanya Samwan Kong duduk termangu-mangu, selang sesaat kemudian pelan-pelan ia baru menghembuskan napas panjang.
"Kenapa kau bisa berpikir untuk melatih kepandaian semacam itu ?" "Dalam keluargaku sudah tergaris suatu peraturan yang melarang setiap anggota keluarganya berjudi uang, hanya sebelum dan setelah tahun baru larangan itu dicabut selama beberapa hari, itupun masih tetap terlarang bagi anak kecil."
Ia manggut- manggut pelan, lalu terusnya:
"Justru karena kami anak kecil dilarang berjudi, maka semakin besar pula niat kami untuk diam-diam secara mencuri main judi!"
Tentu saja Samwan Kong dapat memahami teori ilmu kejiwaan semacam itu, makin dilarang seseorang untuk melakukan suatu perbuatan, makin besar pula minatnya untuk melakukan perbuatan itu secara sembunyi-sembunyi.
Bu-ki berkata lebih lanjut:
"Waktu itu nasibku kurang begitu mujur, setiap tahun uang celenganku pasti ludas di meja judi, atas kejadian tersebut makin kupikir hatiku semakin tidak puas, aku bersumpah untuk menangkan kembali semua uang yang telah kukalahkan pada tahun-tahun sebelumnya!"
"Kemudian, kau pasti berhasil menangkan semua kekalahanmu bukan," sambung Samwan Kong.
Bu ki tertawa..
"Setelah berlatih dua tiga tahun, nasib mujurku baru kian lama kian kentara, tapi akhirnya setiap kali berlangsung permainan dadu, jika mereka melihat kemunculanku di situ, serentak orang-orang itu membenahi uangnya dan mengambil langkah seribu."
Samwan Kong bertepuk tangan sambil tertawa terbahak-bahak, saking geli dan senangnya ia sampai terbungkuk-bungkuk menahan perutnya yang menjadi mulas.
Asal ia mambayangkan kembali betapa keren dan gagahnya Bu- ki pada waktu itu, Setan judi yang pasti kalah setiap bertaruh dan namanya termashur sampai di mana-mana ini menjadi mencak-mencak sambil tertawa tergelak persis seperti seorang anak kecil.
Bu ki meliriknya sekejap dengan ujung matanya, kemudian ia berkata lebih jauh. "Sayang sekarang kau baru mulai berlatih, sudah tidak sempat lagi!"
"Kenapa?" Samwan Kong segera menghentikan gelak tertawanya dan berdiri melenggong. "Sebab tangan orang dewasa tidak selemas tangan seorang anak kecil, kaupun tak mungkin bisa seperti seorang anak-anak, sepanjang hari hanya bersembunyi terus di bawah selimut sambil bermain lempar dadu."
Samwan Kong segera menggenggam tangan Bu ki sambil memohon:
"Coba pikirkanlah masak-masak, mungkinkah masih ada cara lain yang bisa dipergunakan untuk menutupi kekurangan ini?"
Bu-ki tidak menjawab, dia hanya menggelengkan kepalanya berulang kali .......
Samwan Kong tertegun setengah harian lamanya, mendadak ia tertawa tergelak lagi, seakan- akan secara tiba-tiba teringat akan sesuatu kejadian yang amat lucu.
"Apakah kau telah berhasil menemukan satu cara untuk menanggulangi kekurangan ini?" tak tahan Bu-ki bertanya.
Kali ini Samwan Kong cuma tertawa dan tidak menjawab sepatah katapun.
Pintu kamar itu terbuka lebar, tiba-tiba ada orang terbatuk batuk pelan dari luar pintu, kemudian muncullah seorang perempuan setengah umur yang cantik jelita sambil menggandeng tangan seorang bocah perempuan. yang mungil dan menawan hati.
"Persoalan apakah yang membuat kau tampak begitu gembira?" tegur perempuan itu kemudian.
Sebelum Samwan Kong sempat menjawab, si bocah perempuan itu sambil memutar biji matanya yang jeli telah tertawa cekikan, kemudian katanya dengan manja:
"Barusan aku mendengar paman ini berkata hendak menjadi bininya Tio kongcu, sekarang Tio kongcu pasti telah mengabulkan permintaannya, maka ia tertawa senang!"
Perempuan cantik itu melotot sekejap kepada anaknya, kemudian tak tahan ia sendiripun ikut tertawa geli.
Menyaksikan kehadiran perempuan cantik itu sikap maupun gerak-gerik Samwan Kong ternyata berubah menjadi begitu sopan dan tahu aturan, bahkan gerak-geriknya tampak sedikit kurang leluasa.
Sementara Bu-ki masih menduga-duga hubungan apakah yang terjalin di antara mereka berdua. Samwan Kong telah berkata kepadanya:
"Dia adalah Bwe hujin, tuan penolong yang benar-benar telah menyelamatkan jiwamu ” "Akulah yang benar-benar telah menyelamatkan jiwa orang ini," sela bocah perempuan itu dengan cepat, "sebab ibu telah menghadiahkan teratai salju tersebut kepadaku."
Sekali lagi Bwe hujin mendelik kepada putrinya, lalu sambil memberi hormat buru-buru katanya:
"Anakku tak tahu aturan, harap Tio kongcu jangan sampai tersinggung atau tak senang hati."
Buru-buru Bu-ki melompat bangun, dia ingin mengucapkan beberapa patah kata yang bernada terima kasih, tapi untuk sesaat tidak diketahui olehnya perkataan apa yang mesti dikatakan.
Yaaa, budi pertolongan yang besar dan menyelamatkan jiwanya ini sukar dilukiskan dengan kata kata, tentu saja rasa terima kasihnya tak bisa diutarakan hanya lewat perkataan belaka.
Bwee hujin lantas berkata lagi:
"Seandainya toako tidak memotong daging yang busuk di sekitar mulut luka Tio kongcu tepat pada waktunya, sekalipun tersedia teratai salju, belum tentu racun yang mengeram dalam tubuh Tio kongcu bisa dipunahkan hingga ludas."
Kemudian setelah tersenyum ujarnya kembali:
"Itulah yang dinamakan orang budiman selalu dilindungi Thian, karena Tio kongcu adalah orang yang baik barulah kau jumpai kejadian demi kejadian secara kebetulan."
Bocah perempuan itu lagi-lagi menimbrung:
"Sayang dikemudian hari sebuah codet besar pasti akan menghiasi pipinya. mukamu waktu itu tentu buruk dan jelek sekali."
Setelah tertawa cekikikan tambahnya:
"Untung kau tak usah kuatir tak punya bini, sebab paling tidak masih ada paman yang bersedia kawin denganmu."
Buki- tertawa geli.
Kecerdasan bocah perempuan ini sudah pasti tak ada di bawah kecerdasan dua bersaudara kembar yang saling bermusuhan itu, cuma agaknya bocah perempuan ini lebih nakal dan lebih pandai berbicara dari pada kedua orang saudara kembar tersebut.
Meskipun ibunya melotot kearahnya, memakinya tapi sorot mata serta nada pembicaraannya sama sekali tidak mengandung maksud menegur atau menyalahkan, yang ada hanya rasa sayang, rasa senang dan raga bangga. Jangankan ibu kandungnya seadiri, bahkan Bu-ki sendiripun amat menyukai bocah itu, tak tahan lagi dia lantas bertanya:
"Adik kecil, siapa namamu?"
Bocah perempuan itu memutar sepasang biji matanya, tiba tiba ia menggelengkan kepalanya. "Tidak,aku tidak bisa memberitahukan kepadamu!"
"Kenapa?
"Karena kau adalah seorang pria, padahal antara pria dan kaum wanita ada batas-batasnya, mana boleh seorang anak perempuan sembarangan memberitahukan namanya kepada orang lelaki lain?"
Samwan Kong tak dapat mengendalikan rasa gembiranya lagi, ia tertawa terbahak bahak.
"Haaahhh.. haaabhh….haahhh.. . mestikaku, kau memang benar benar po pei (mestika) yang bagus!
Tiba-tiba bocah perempuan itu melompat ke tubuh Samwan Kong dan menarik kumisnya. "Kenapa kau memberitahukan namaku kepada orang lain" tentunya, "hayo kau musti membayar ganti rugi!"
Ternyata bocah perempuan itu bernama Po pei, Lengkapnya Bwee Po pei.
Bu ki telah mengingat baik baik nama itu, mengingat pula nama nyonya cantik tersebut, budi kebaikannya, budi pertolongan mereka tak akan dia lupakan untuk selamanya.`
"Akupun tahu kalau kau bernama Tio Bu ki,” seru Po pei kemudian. Bu ki tertawa kepadanya, ia berkata:
“Lain kali, apakah kau masih dapat mengingat diriku?"
"Tentu saja akan kuingat selalu dirimu, sebab di atas wajahmu pasti akan bertambah dengan sebuah codet yang sangat besar. “
Dalam hati Bu-ki, secara tiba-tiba muncul pula beberapa persoalan yang membuatnya menjadi pelik.
Kesulitan tersebut bukan lantaran di wajahnya telah bertambah dengan sebuah codet besar bukan pula lantaran bahunya telah kehilangan sepotong daging . . . Persoalan semacam itu pada hakekatnya tak pernah diperdulikan olehnya, bahkan memikirkan-nyapun tidak.
Tapi ada persoalan lain yang mau tak mau harus dipikirkan juga.
Hidangan malam yang disiapkan Bwe hujin untuk mereka ternyata mewah dan lezat, akhirnya yang membuat Tio Bu-ki bertambah riang adalah ia tinggal di sana menemani mereka.
Seorang perempuan yang pintar selalu dapat menghindarkan diri disaat yang paling cocok dan serasi, agar kaum pria dapat membicarakan persoalan yang dapat mendatangkan kegembiraan bagi kaum pria sendiri.
Mungkin saja dia bukan termasuk seorang ibu yang sangat baik, karena terhadap anaknya ia kelewat memanjakannya.
Tapi tak bisa diragukan lagi kalau dia adalah seorang isteri yang ideal, seorang istri yang menjadi idaman setiap orang.
Tapi di manakah suaminya?
Bu-ki tak pernah bertemu dengan suaminya, belum pernah juga mendengar mereka membicara-kan tentang suaminya.
Apakah dia adalah seorang janda?
Ditinjau dari sikapnya terhadap Samwan Kong yang begitu lembut dan mesra, serta sikap Samwan Kong terhadapnya yang begitu menaruh hormat serta sayang, jelas dapat diduga bahwa hubungan di antara mereka berdua pasti bukan hubungan biasa.
Tapi hubungan apakah yang terikat diantara mereka? Apakah terdapat hubungan cinta kasih yang dapat diberitahukan kepada orang lain?
Tentang persoalan-persoalan seperti ini Bu ki ingin sekali mengetahuinya.
Tapi ia tidak menanyakan persoalan itu, karena dalam hatinya masih ada persoalan lain yang membuat perasaannya masgul, bahkan sedikit agak ngeri dan takut.
Persoalan apakah itu? Tak lain adalah senjata rahasia beracun dari keluarga Tong.