Jilid 05
MENGIKUTI rontoknya kutungan pedang tersebut, rontok pula sebatang tongkat pendek berwarna putih, tubuh kedua bocah itu segera tergetar keras dan terpisah satu sama lainnya.
Ternyata orang yang berdiri diantara mereka berdua tak lain adalah Liu Sam-keng, si buta yang tidak melihat apa-apa itu.
Paras muka bocah berbaju putih itu kontan saja berubah menjadi hijau membesi, dengan suara nyaring bentaknya:
°Hei, apa-apaan kau ini?' Dengan ogah-ogahan Liu Sam-keng memungut tongkat pendeknya dari tanah, lalu dengan kepala tertunduk dan mulut membungkam ia mengundurkan diri dari situ.
Sambil tersenyum Sian Tang lo segera menegur: 'Liu sianseng. kenapa kau membungkam saja?°
*Aku tak lebih cuma seorang budak belaka, mana aku berani ikut ambil bicara?° jawab Liu Sam keng.
Toh mia keng hu, si tukang kentongan perenggut nyawa yang sudah termashur namanya di kolong langit, mana mungkin bisa menjadi budaknya orang lain?' kata Sian Tang lo lagi sambil tertawa.
°Dia memang seorang budak,° tiba-tiba mayat hidup itu menyela.
*****
Hingga detik ini, Bu-ki masih belum percaya kalau Liu Sam keng telah mengakui dirinya sebagai budak orang lain.
Akan tetapi Liu Sam keng serdiri telah mengakuinya, bahkan paras mukanya sama sekali tidak menampilkan rasa marah atau penasaran.
'Jiwanya, tubuhnya dan darahnya sudah menjidi milikku!° demikian mayat hidup berkata, setiap saat aku bisa memintanya untuk mati bagiku, putraku pun setiap saat bisa menyuruhnya untuk pergi mati!'
Paras muka Liu Sam keng tawar dan sedikitpun tiada emosi, katanya pula dengan suara datar:
°Setiap waktu, setiap saat, aku selalu bersiap sedia untuk mati bagi Ho ya!'
'Kalau begitu matilah sekarang juga!' ejek bocah berbaju putih itu sambil tertawa dingin.
Tanpa mempertimbangkan lebih jauh, Liu Sam keng segera mencabut keluar pedang pendek dalam tongkatnya, lalu menggorok leher sendiri.
Bu ki ingin menerjang maju ke muka dan menolong jiwanya, sayang waktu sudah tidak mengijinkan lagi.
Mata pedang yang tajam telah merobek lehernya, darah segar segera menyembur ke luar bagaikan sumber mata air.
Paras muka bocah berbaju putih itu berubah hebat, ia cuma berdiam diri dengan mata terbelalak `Tahan!' tiba tiba mayat hidup membentak.
Gerakan nekad dari Liu Sam kengpun segera ikut berhenti.
“Sekarang, apakah kau masih menghendaki kematiannya?° tegur mayat hidup dengan suara dingin .
Tentu saja pertanyaan itu diajukan kepada bocah berbaju putih itu.
Sambil menggigit bibirnya menahan emosi, bocah berbaju putih itu gelengkan kepalanya berulangkali.
*Bagus sekali!° seru mayat hidup.
Pedang pendek di tangan Liu Sam keng telah terkulai ke bawah, meskipun sebuah mulut luka yang panjang dan dalam telah muncul di atas tenggorokannya, tapi paras mukanya masih tetap tenang dan tanpa emosi.
Mayat hidup kembali bertanya kepada bocah berbaju putih itu:
°Sekarang, fahamkah kau bahwa setiap patah kata yang kau ucapkan karena dorongan emosi, bisa mengakibatkan orang lain mati di tanganmu!”
"'Aku mengerti!'
'Kalau sudah mengerti, itu lebih bagus lagi!°
"Akan tetapi jika lain kali dia masih berani memutuskan ujung pedangku, aku masih akan menghendaki dia mati!”
°Bagus sekali!'
Rupanya rasa marah dan mendongkol yang menggelora dalam dada bocah berbaju putih itu belum mereda, dengan suara penasaran kembali ia bertanya:
°Barusan, siapa yang suruh dia turun tangan?° "Aku!" jawab si mayat hidup.
Jawaban yang sama sekali tak terduga ini kontan saja membuat bocah berbaju putih itu tertegun. 'Lain kali, sekalipun sudah jelas kau tahu bahwa akulah yang suruh dia turun tangan, asal ia mematahkan kembali pedangmu, kau masih boleh membinasakan dirinya,' kata mayat hidup lagi.
Kemudian setelah tertawa dingin, ia menambahkan.
'Baik siapapun itu orangnya, asal dia telah mematahkan pedangmu, walau apapun sebabnya, sekalipun kau tahu bila tidak melepaskan dirinya kau bakal mati, kau harus membinasakan dulu orang itu . . .”
Sambil membusungkan dadanya, bocah berbaju putih itu segera lantang berkata dengan suara: "Aku mengerti aku pasti akan melakukannya!°
. . . . Pedang, adalah kehormatan dari seorang pendekar pedang .
. . . . Kehormatan dari seorang pendekar pedang jauh lebih berharga dari pada selembar nyawa, entah nyawa siapakah itu.
Itulah nasehat serta pelajaran yang telah diwariskan mayat hidup itu kepada si bocah berbaju putih,
Dia mengharapkan bocah itu bisa menjadi seorang jago pedang yang tiada taranya di dunia ini, dia ingin menggunakan keberhasilan bocah itu untuk menjadikan kebanggaan baginya.
*****
Tiba tiba Siau Tang lo berkata:
'Kau ke marilah!°
`Tentu saja yang dia panggil adalah bocah berbaju merah itu. 'Apakah pedangmu juga dipatahkan orang?' ia bertanya. "'Benar!' bocah berbaju merah membenarkan.
°Sekarang apa yang siap kau lakukan?'
'Bagaimanapun juga pedang itu toh mereka yang bawa, mereka mematahkan pedangnya sendiri”
"Siapakah mereka berdua?, apa pula sangkut pautnya dengan diriku?' '°Seandainya pedangmu sendiri yang dipatahkan orang?' tanya Siau Tang lo lagi.
'Maka aku akan membeli sebilah pedang lagi untuk latihan, aku akan berlatih terus sehingga orang lain tak mampu mematahkan pedangku lagi' Mendengar jawaban tersebut, Siau Tang lo segera menengadah dan tertawa terbahak-bahak.
°Haaahhh....haaahhh...haaahhh. bagus, bagus sekali!° pujinya dengan bangga.
Ia menginginkan bocah itu menjadi seorang manusia yang berjiwa besar, jangan dikarenakan suatu menang kalah yang dideritanya, lantas mempersoalkan masalah sepele itu secara serius.
Apabila tak dapat menjadi seorang laki laki yang jujur dan bijaksana, mana mungkin bisa menjadi seorang pendekar pedang yang tiada taranya di dunia ini?'
Tanpa sadar Bu ki mulai bertanya pada diri sendiri.
Walaupun hari ini, kedua orang bocah tersebut tak dapat menentukan menang kalahnya, bagaimana pula dengan dikemudian hari?
Fajar telah menyingsing di ufuk timur, bunyi kokok ayam kedengaran dari tempat kejauhan sana.
'Fajar sudah hampir menyingsing, kau sudah sepantasnya segera pergi!" kata Siau Tang lo tiba-tiba.
Hanya mayat hidup yang takut bertemu dengan sinar matahari, mungkinkah mayat tersebut benar-benar adalah sesosok mayat hidup?
Dengan mata melotot bocah berbaju putih itu mendelik ke arah bocah berbaju merah itu, katanya kemudian :
'Tahun depan aku pasti berhasil mengalahkan dirimu, tunggu saja tanggal mainnya!'
Bocah berbaju merah itu tertawa: 'Aku tidak mengharapkan apa-apa, aku hanya berharap tahun depan kau bisa tumbuh lebih tinggian sedikit.”
Kali ini Bu-kl tidak tertawa.
Dia tahu, mayat hidup itu pasti tak akan melepaskan dirinya dengan begitu saja, selama ini dia sedang menanti terus.
Ternyata apa yang diduganya meleset sama sekali. Mayat hidup itu sudah berbaring kembali ke dalam peti matinya, lalu pejamkan matanya dan seakan-akan sudah lupa kepadanya.
Tiba-tiba Bu ki menyerbu ke depan, kemudian teriaknya keras-keras: 'Hei, tadi aku sedang mentertawakan dirimu!'
'Aku tahu' jawab si mayat hidup itu, 'aku mengetahuinya cukup jelas, karena kau telah menyebutnya dua kali'
'Apakah kau akan pergi dengan begitu saja?l
'Apakah kau memaksa aku untuk membunuh dirimu?' si mayat hidup balik bertanya. " Benar!'
Akhirnya si mayat hidup itu membuka kembali matanya, bagaimanapun juga belum pernah ditemui di dunia ini bahwa ada orang ingin mencari mati, maka barang siapapun jua yang men-dengar perkataan itu dia pasti akan membuka matanya serta menengoknya sebentar.
°Aku tahu, kau tidak bersedia turun tangan karena pada hakekatnya kau tidak memandang sebelah matapun kepadaku' teriak Bu ki keras-keras, 'hidup sebagai seorang manusia di dunia, apa artinya kehidupan itu jika ia dipandang rendah dan hina oleh orang lain?°
'Jadi kau tidak takut mati?”
°Sebagai seorang lelaki sejati kenapa aku musti takut menghadapi kematian, padahal waktu dilahirkanpun aku tikak takut dan mengharapkan itu ?”
Si mayat hidup menatapnya lekat lekat, dari balik sepasang matanya tiba-tiba memancarkan sinar tajam yang menggidikkan hati.
Bu ki melirik pula kearahnya, ia tidak tampak takut atau jeri, bahkan niat untuk mundurpun tak ada.
Dengan dingin mayat hidup itu berkata lagi:
'Jika kau benar benar ingin mati, selewatnya bulan purnama nanti datang saja ke bukit Kiu- hoa-san, aku pasti akan memenuhi harapanmu”
'Aku pasti akan ke sana! jawab Bu ki dengan segera tanpa berpikir panjang lagi.
***** Sepasang mata si mayat hidup itu kembali dipejamkan, penutup peti matipun sudah ditutupkan kembali di tempatnya semula mayat yang bangkit dan hidup kembali, pada
umumnya akan balik kembali ke neraka sebelum fajar menyingsing.
Si bocah berbaju putih itu masih saja mendelik ke arah si bocah berbaju merah dengan penuh kemarahan, tiba-tiba ia berseru:
°Dapatkah kau lakukan sebuah pekerjaan bagiku?' 'Pekerjaan apa?'
'Hari ini pada tahun depan, dapatkah kau bersihkan dulu seluruh badanmu ?"
Selesai mengucapkan kata kata itu dia lantas melompat naik ke atas peti mati dan duduk bersila di situ. Para lelaki berbaju hitampun segera menggotong peti mati tersebut, diiringi bunyi kentongan dari si tukang kentongan pemutus nyawa mereka berjalan ke luar dari hutan itu dan tiba-tiba saja lenyap di antara remang-remangnya cuaca dan tebalnya kabut menjelang pagi.
Bocah berbaju merah itu masih memandang ke depan dengan termangu-mangu, seolah-olah dia masih ingin mencari si bocah berbaju putih itu untuk diajak berkelahi.
Bu-ki sedang memperhatikan pula tingkah lakunya itu, lalu sengaja ia menghela napas seraya berkata:
'Aaaaai tampaknya kalian benar-benar memang sepasang bocah kembar yang menarik
hati!"
Suatu perubahan mimik wajah yang sangat aneh melintas di atas wajah si bocah berbaju merah itu, tiba tiba ia menggelengkan kepalanya.
'Kami bukan musuh bebuyutan, sesungguhnya kami adalah saudara kembar, seandainya aku tidak dilahirkan setengah jam lebih duluan darinya dia adalah kakakku!'
Ternyata mereka berdua adalah saudara kembar.
Ternyata Sian Tang lo dan si mayat hidup telah menggunakan murid-muridnya untuk mengadu kepandaian silat mereka, agar terjamin kehebatannya tentu saja mereka harus mencari dua orang bocah yang sama bakatnya, sama usianya dan sama pula kecerdasan otaknya.
Saudara kembar pada hakekatnya memang merupakan suatu pilihan yang paling tepat. Walaupun demikian, meski dua biji yang sama bila ditanam dan dibesarkan dalam suasana lingkungan yang berbeda, belum tentu akan meng hasilkan pula bunga yang sama.
Bu ki diam-diam menghela napas di hati, ia merasa nasib dari kedua orang saudara kembar itu kurang baik, takdir yang kejam mengharuskan mereka berpisah bahkan saling bermusuhan.
Tiba-tiba bocah berbaju merah itu tertawa.
'Apa lagi yang kau tertawakan? Lagi-lagi sedang mentertawakan diriku . . . ?' tegur Bu-ki Bocah berbaju merah itu menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Kali ini aku sedang mentertawakan diriku sendiri, aku selalu salah menilai dirimu', katanya. “O, ya?°
“Aku selalu menganggap kau rada bodoh dan ketolol-tololan, tapi sekarang aku baru tahu ternyata kau jauh lebih pintar dari siapapun juga..!'
Sepasang matanya dibelalakkan lebar lebar, kemudian sambungnya lebih lanjut.
“Sewaktu kau akan pergi mencari si mayat hidup itu, bukankah kau telah menduga bahwa dia tak akan turun tangan kepadamu dan orang lain pun, tak akan membiarkan ia membunuhmu?”
Bu ki tidak menjawab, dia hanya membungkam dalam seribu basa.
Kelihatanlah sekarang kalau kaupun tidak mempunyai keyakinan yang sungguh-sungguh aman.° kata bocah berbaju merah itu lebih jauh. 'Kau pernah bertaruh uang?° tiba tiba Bu ki bertanya.
Si bocah berbaju merah itu melirik sekejap ke arah gurunya. kemudian berbisik:
`Secara diam-diam aku pernah bertaruh!°
'Kalau begitu kau harus tahu, jika kau ingin memenangkan uang milik orang lain maka diri sendiripun harus berani berspekulasi.°
Ia tertawa lebar, lalu terusnya : "'Dalam kehidupan manusia di dunia ini, banyak persoalan adalah sama dengan bertaruh di meja judi, bila kau tak berani berspekulasi maka jangan harap kau bisa memperoleh apa yang kau inginkan . . .'
Fajar telah menyingsing. Pohon-pohon besar yang tercabut semalam kini sudah berdiri kembali seperti sedia kala, benda-benda yang kotor dan memenuhi permukaan tanah kinipun telah dibersihkan.
Bila kemarin pagi ada orang berkunjung ke situ dan pagi ini datang kembali ke sana, dia tidak akan mengetahui bahwa di tempat tersebut semalam telah berlangsung banyak sekali peristiwa yang seram, aneh dan mendebarkan hati .. . . .
Apa yang telah terjadi bukan dongeng, melainkan suatu peristiwa yang benar benar telah terjadi.
Siau Tang lo menitahkan orang untuk buatkan sepoci teh Thi koan im dari bukit Bu gi, lalu sambil tersenyum katanya:
'Kejadian ini bukan suatu keajaiban, di dunia hakekatnya tidak terdapat keajaiban, seandainya ada, jelas itupun hasil bikinan manusia sendiri °
Di balik setiap ucapannya selalu membawa nada falsafah hidup yang membuat orang mau tak mau harus meresapinya sedikit demi sedikit.
“Hanya makhluk yang disebut manusia yang dapat menciptakan keajaiban,° kembali katanya, “menggunakan daya ciptanya, kecerdasannya serta kemampuannya untuk berkarya apapun bisa dibuat olehnya, apalagi kalau ini ditambah dengan latihan yang ketat serta ”
"Serta uang emas yang melimpah !° sambung Bu-ki.
Siau Tang lo segera mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak bahak.
"Haaahhh . . . haaahhh. . . . luaaahhh benar, benar sekali, tentu saja uang emas selamanya
merupakan benda yang tak boleh ketinggalan dalam usaha untuk melakukan apapun jua.'
"Untungnya uang emas masih bukan merupakan benda kebutuhan utama yang paling dibutuhkan oleh umat manusia," kata Sugong Siau-hong pula, “dan belum tentu semua orang yang punya uang dapat melakukan apa yang hendak kau lakukan itu.'
Setelah berhenti sejenak, ia menambah-kan: °Uang seperti juga sebilah pedang, harus diperhatikan dulu berada di tangan siapakah benda tersebut !°
Ternyata di balik ucapan tersebut terkandung arti falsafah hidup yang amat mendalam.
Akan tetapi Bu ki tak ingin memutar otaknya untuk mendalami makna dari kala-kata tersebut.
Sebab kedatangannya ke situ bukan untuk mendengarkan kuliah mengenai falsafah hidup dari orang lain.' Siau Tang lo seolah-olah dapat menebak suara hati tamunya, tiba-tiba ia berkata: 'Aku mengerti, bukankah kau ingin pergi?'
Bu ki segera bangkit berdiri, ia menggunakan gerakan badan sebagai jawaban dari pertanyaan itu.
"Aku pikir kau pasti akan mendatangi bukit Kiu hoa san !" kembali Siau Tang lo berkata. 'Aku pasti akan berkunjung ke sana !°
"Bukit Kini hoa san berada di selatan kota Lang yang, sebelah barat kota Ciu boh, berhubungan dengan Ngo si toa thong di utara dan berdempetan dengan bukit Siang liong hong di timur, ada empat puluh delapan puncak bukitnya yang ternama, selain itu terdapat dua sumber mata air, empat belas tebing, lima gua, sebelas puncak dan delapan belas sumber air bawah tanah, tempat tersebut adalah suatu tempat yang besar, besar sekali ”
"Aku tahu !°
"Kalau sudah tahu, kenapa tidak kau tanyakan ke manakah dia akan pergi ?"
"Aku tidak perlu bertanya.”
'Kau saaggup menemukan dirinya?" "Aku pasti berhasil menemukannya Tiba-tiba pemuda itu bertanya lagi:
'Seandainya kau ingin mendaki sebuah bukit, dan kau suruh gunung itu mendekat, dapatkah gunung itu menghampiri dirimu,"
“Tidak dapat !°
Lantas apa yang harus kau lakukan?"
°Tentu saja aku yang mendatangi bukit!" Kata Siau Tang lo.
°Seringkali kugunakan cara ini untuk melakukan pekerjaanku, bila aku tidak dapat me-nemukannya, aku bisa mencari akal agar dia yang datang mencariku.°
Bu ki telah pergi. Apabila dia berniat untuk pergi, jarang sekali ada orang yang bisa menghalangi kepergiannya itu . . . bahkan hampir boleh dibilang tak seorang manusiapun dapat menghalangi niatnya.
Memandang hingga bayangan tubuhnya pergi menjauh, Siau Tang lo baru bertanya: 'Kau mengatakan pemuda itu bernama Tio Bu ki?"
'Benar!' Sugong Siau-hong manggut-manggut.
°Tampaknya dia pun seorang manusia yang amat pintar!"
°Yaa, dia memang seorang yang pintar!"
°Tapi aku lihat dia seperti juga mempunyai banyak persoalan hati yang tak mampu dipecahkan, orang cerdik tidak seharusnya memiliki begitu banyak persoalan yang mencekam di hatinya.'
'Aku mengharapkan kedatangannya ke mari karena aku ingin agar dia berubah menjadi jauh lebih cerdik.'
Kemudian katanya lebih jauh: °Satu-satunya persoalan hati yang tak terpecahkan olehnya adalah karena hingga sekarang ia masih belum berhasil menemukan jejak musuh besar-nya . .
. ."
"Siapakah musuh besarnya?' "Sangkoan Jin!"
°Apakah manusia emas yang terbuat dari emas murni itu?' " Benar!'
Siau Tang lo segera menghela napas panjang.
"Aaaaai . . tampaknya dia memang masih kurang pintar, dengan ilmu silat yang dimilikinya, asal ia mampu menahan sepuluh jurus serangan dari Sangkoan Jin hal ini sudah tidak mudah!'
"Sebab itulah aku suruh dia ke mari, agar dia tahu bahwa dunia persilatan penuh dengan manusia-manusia pintar yang tak terhitung jumlahnya, agar dia tahu bahwa ilmu silat yang dimilikinya masih belum cukup untuk berkelana dalam dunia persilatan, apalagi pergi membalas dendam?'
Tiba-tiba ia menghela napas pxojing, lalu katanya lagi: 'Aaaai...! Tapi sekarang aku baru tahu bahwa aku keliru besar!" "Di manakah letak kesalahanmu itu! tanya Siau Tang-lo.
“Aku tidak seharusnya menyuruh dia datang ke mari!” “Kenapa?°
°Sangkoan Jin licik dan banyak tipu muslihatnya, setelah dia mengambil langkah seribu dan kabur ke ujung langit, untuk menemukan kembali jejaknya hal ini akan jauh lebih sukar dari pada mendaki ke langit."
°Bukankah itu berarti Bu-ki tetap akan mengalami kesulitan untuk menemukan jejaknya?°
°Yaa, tapi sekarang Bu-ki telah berkenalan pula dengan Samwan Kong !" keluh Sugong
Siau-hong.
Apabila Samwan Kong hendak mencari jejak seseorang, kendatipun orang itu bersembunyi di ujung langit, ia tetap akan menemukannya kembali...
Hal ini bukan hanya berita sensasi belaka, tapi memang demikianlah kenyataannya. Kembali Sugong Siau-hong berkata:
"Sangkoan Jin sudah berpengalaman dalam menghadapi beratus ratus kali pertempuran, baik tenaga dalamnya maupun tenaga luarnya telah mencapai puncak kesempurnaan, pada hakekatnya Bu-ki sama sekali tidak mempunyai keyakinan untuk bisa menghadapinya, sekalipun ia tahu di manakah musuhnya berada, belum tentu ia berani bertindak secara sembarangan dan gegabah ''
'Bagaimana sekarang?° tanya Siau Tang lo.
Sekarang ia telah memiliki keleningan emasmu, diapun mempunyai sepatah kata janji dari sahabat yang berdiam dalam peti mati tadi."
°Ehmm ! Apabila ia benar-benar berkunjung ke bukit Kiu-hoa-san, jikalau tidak sampai
mampus di ujung pedang sahabat yang menyebut dirinya Kin Yu ho tersebut, sedikit banyak pasti ada kebaikan yang berhasil dinikmatinya.°
Sugong Siau-hong tertawa getir.
"Sebab itulah nyalinya pasti akan bertambah besar!' keluhnya.
°Tapi kejadian ini bisa pula dikatakan sebagai nasibnya yang memang bagus!° “Aaaai.. tapi kami tidak berharap ia bisa mempunyai nasib mujur seperti itu,' kata Sugong Siau-hong lagi sambil menghela napas.
'Aku jadi teringat kembali dengan ucapan seorang manusia pintar dijaman dulu kala." “Apa yang dia katakan?"
`Ia bilang bagaimanapun cerdiknya seseorang, atau bagaimanapun beraninya orang itu, ia masih kalah jauh bila dibandingkan dengan seseorang yang pada dasarnya mempunyai nasib yang baik.'
Kemudian setelah tersenyum katanya lagi
`Setelah Bu-ki memiliki nasib sebaik dan semujur ini, apa lagi yang perlu kau kuatirkan?*
Sugong Siau-hong tidak berkata apa-apa lagi, namun wajahnya kelihatan tambah murung dan masgul, seakan-akan dalam hatinya tersimpan suatu rahasia besar yang tidak ia uarkan kepada siapapun.
JUDI
MAKAN dan berahi adalah watak manusia.
Ucapan itu berarti bahwa setiap orang harus makan, setiap orang harus pula melakukan "pekerjaan" yang telah diwariskan oleh leluhurnya turun temurun entah dia merasakan
kesenangan dan kenikmatan ataupun tidak °
Oleh karena itulah disetiap tempat pasti ada rumah makan, disetiap tempat pasti pula ada perempuan yang hanya menjadi milik seorang lelaki saja, tapi ada pula perempuan yang bisa dibeli oleh setiap pria.
Selain dari pada itu ada pula sebagian perempuan yang hanya bisa dibeli oleh sebagian pria saja sebagian pria yang mempunyai uang agak banyak dan sebagian pria yarg rela
mengeluarkan uang lebih banyak.
Kecuali 'Makan dan perempuan', konon makhluk yang disebut manusia itu masih memiliki pula watak judi
Atau paling sedikit manusia yang mempunyai watak 'berjudi" jauh lebih banyak dari pada manusia yang tidak memiliki watak tersebut.
Ada banyak manusia yang seringkali berjudi di dalam rumah, entah di rumah sendiri, entah pula di rumah teman. Sayangnya berjudi di rumah biasanya kurang begitu leluasa, kadangkala si bini kurang senang hati, kadangkala konsentrasi dibuyarkan jeritan anak-anak yang berkelahi, kadangkala susah juga mencari partner yang mau diajak berjudi.
Untungnya di dunia ini selalu tersedia suatu tempat yang tak akan membuat kau merasakan ketidak leluasaan tersebut . . . .
Dan tempat itu tak lain adalah rumah perjudian.
Oleh karena itu di setiap tempat tentu akan kau jumpai rumah perjudian . . . .
Adakah rumah perjudian yang terletak di atas tanah, ada yang terletak di bawah tanah, ada pula rumah perjudian yang terbuka untuk umum, ada yang tidak terbuka untuk umum, ada yang besar jumlah taruhannya tapi ada pula rumah perjudian dengan taruhan yang kecil.
Tapi bila kau sampai berjudi di tempat semacam itu, maka setiap saat kemungkinan besar binimupun akan kalah bertaruh dan ikut tergadaikan.
Di dalam beberapa kota yang agak besar, di balik rumah-rumah perjudian yang agak besar jumlah taruhannya, belakangan ini telah muncul seorang penjudi yang amat mujur.
Dalam istilah rumah perjudian si penjudi yang mujur biasanya diartikan sebagai penjudi- penjudi yang berhasil menarik keuntungan duri meja perjudian, atau istilah lain disebut '°pemenang °.
Terlepas dari apapun yang dikatakan orang lalu tentang "'Judi", sedikit banyak selalu ada orang yang berhasil mendapatkan keuntungan dari meja perjudian, meski jumlahnya itu cuma beberapa tahil atau bahkan sanpai ratusan atau ribuan tahil perak.
Sekalipun jumlah orang yang kalah di meja judi jauh lebih banyak kau temui di rumah rumah perjudian tersebut, tapi seringkali kau akan temukan juga para pemegang itu.
Cuma saja, pemenang yang akan diceritakan di sini mempunyai beberapa keistimewaan . . .
Dia hanya berjudi dadu.
Setiap kali dadu-dadu itu berada di tangannya lalu ditebarkan ke meja, maka angkanya selalu 'enam, enam, enam.'
Itu berarti “Lak-pa!'
Lak-pa, merupakan angka tertinggi dalam judi dadu, menurut penilaian dari sementara penjudi ulung dan penjudi berpengalaman, kira-kira orang harus melemparkan sembilan puluh laksa kali gundu sebelum bisa mendapatkan angka keramat tersebut. Bahkan ada pula yang berjudi selama hidupnya, setiap hari berjudi, setiap hari melemparkan dadu akan tetapi belum pernah ia berhasil mendapatkan angka 'keramat° tersebut.
Tapi si mujur itu, bukan saja dapat meraih angka keramat tersebut, bahkan setiap kali melemparkan dadunya, ia selalu berhasil mendapatkan angka "enam, enam, enam* tersebut.
Tio Bu-ki menghela napas panjang.
'Jangan-jangan dia adalah seorang Long tiong?° banyak orang yang mulai curiga.
Istilah 'Long - tiong° di arena meja judi bukan berarti si Tabib yang memeriksa orang sakit, melainkan istilah orang yang selalu menipu di meja judi dengan menggunakan permainan kotor.
Tentu saja Long-tiong yang sesungguhnya tidak akan berbuat sedemikian brutal sehingga menimbulkan sensasi, apa lagi menarik perhatian begitu banyak orang.
Sebab perbuatan semacam itu merupakan pantangan terbesar bagi setiap long-tiong.
Long-tiong yang sebenarnya tak akan melanggar pantangan tersebut, andaikata angka tiga yang berhasil kau capai dalam pelemparan dadumu, maka paling banyak dia hanya mengeluarkan angka lima saja dalam giliran pelemparan dadunya.
bukankah angka lima sudah dapat menangkan angka tiga?
Bagi seorang Liong- tiong yang sesungguhnya, asal ia dapat menangkan uang mu, hal ini sudah lebih dari cukup baginya.
Kadangkala bahkan ia sengaja akan pura-pura kalah satu-dua kali, sebab ia takut kau tak berani bertaruh lagi.
Berbeda dengan si mujur ini, dia belum pernah kalah walau satu kalipun . . . .
Asal ia menebarkan dadu-dadunya maka angka yang berhasil di raih tentu tiga angka enam, belum pernah ia dapatkan angka kurang dari itu.
***** 'Benarkah terdapat seorang manusia macam begini?” "Benar!”
"Benarkah setiap kali melemparkan dadunya ia selalu berhasil meraih tiga angka enam?" 'Benar!"
"Apakah kau menyaksikan dengan mata kepala sendiri?"
'Bukan cuma aku yang menyaksikan sendiri, banyak orang juga melihat hal itu." "Dengan cara apakah ia malemparkan dadu-dadu itu?'
"Ya, begini! Dia pegang ketiga biji dadu tersebut kemudian ditebarkan dengan seenaknya." "Tidakkah kau lihat gerakan tangan yang dipergunakan orang itu "
"Bukan aku saja yang tidak mengetahuinya, bahkan Toa-you pun tidak tahu !"
Toa-you she Thio, dia adalah seorang penjudi ulung yang amat tersohor, ia pernah menangkan sisa setahil perak yang dimiliki sahabat yang besar bersamanya itu dengan hanya mengundang sababatnya itu untuk minum semangkuk wedang tahu.
Orang-orang yang pada mulanya masih menaruh curiga kepada si mujur tersebut, sekarang sudah tidak curiga lagi.
"'Bila Toa-you pun tidak mengetahuinya, siapa lagi yang dapat mengetahuinya ?°
demikian orang-orang berpendapat.
°Yaa, siapa lagi? Tentu saja tak ada yang lain!'
"Masa sejak dilahirkan orang itu memang ditakdirkan menjadi orang yang mujur? Orang yang memang sudah takdir menjadi pemenang?"
°Aaaaai sukar untuk dikatakan!°
"Bila ia benar-benar mempunyai nasib sebaik ini, aku bersedia untuk memotong sepuluh tahun usiaku untuk mendapatkan nasib yang sama dengannya.'
`Jangankan baru sepuluh tahun, aku bersedia umurku duapuluh tahun lebih pendek.' "Aaaaai !' dan orangpun hanya bisa menghela napas.
"Aaaai!" adalah tanda orang sedang menghela napas.
Bukan menghela napas lantaran dirinya tidak memiliki rejeki sebaik itu, sedikit banyak timbul juga perasaan kagum dan iri di hati masing-masing orang. 'Kau pernah bertemu dengannya?" "Tentu saja pernah bertemu!° 'Manusia macam apakah dia?'
°Seorang pemuda yang masih muda belia dan berwajah tampan, konon dia dari keluarga orang kaya, dan sekarang tentu uangnya sedemikian banyak sehingga ia sendiripun tidak tahu bagaimana caranya untuk menghambur-hamburkan uang tersebut."
"Tahukah kau siapa nama orang itu?"
*Aku dengar ia bernama Tio Bu-ki!"
*****
Gedung ini merupakan sebuah gedung model kuno yang sudah di makan usia, dipandang dari luar, bentuknya mirip sekali dengan sebuah kelenteng desa.
Tapi bagi orang yang berpengalaman, mereka tahu bahwa bangunan kuno itu bukan kuil desa melainkan sebuah rumah perjudian.
Sebuah rumah perjudian paling besar yang tiada tandingannya di sekitar limaratus li seputar daerah tersebut.
Seperti juga rumah-rumah perjudian lainnya, tauke pemilik rumah perjudian inipun merupakan seorang komandan dari suatu perkumpulan rahasia. Ia she Cia, kebanyakan orang menyebutnya sebagai Cia toaya, sedang sahabat-sahabat yang agak akrab hubungannya menyebut dia sebagai Lo-cia, oleh karena itu nama sebenarnya dari orang ini kian lama kian tidak diketahui oleh orang.
Bagi seorang tauke yang menyelenggarakan sebuah arena perjudian besar, nama dan she bukan suatu hal yang terlalu penting baginya.
Meskipun ia she Cia, namun tak ada orang yang berani berbuat curang di rumah perjudiannya, kalau tidak maka tukang-tukang pukul yang dipeliharanya itu dengan amat sungkan akan mem-persilahkan orang itu untuk ke luar dari ruangan.
Menanti orang itu tersadar kembali dari rasa sakit di sekujur badannya, seringkali ia akan menjumpai tubuhnya sedang terkapar dalam sebuah selokan dengan air pecomberannya yang sangat bau.
Kemudian dia akan menemukan juga bahwa tiga biji tulang iganya sudah patah. *****
Ruang dalam dari bangunan tersebut sudah barang tentu jauh lebih megah dan mentereng dari pada bentuk luarnya, tempat itupun jauh lebih menawan hati.
Ditengah ruangan besar yang terang benderang bermandikan cahaya kelihatan begitu banyak manusia dari pelbagai lapisan masyarakat yang saling bardesak-desakan, tumpukan uang kertas, tumpukan uang perak dan uang emas berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain mengikuti menggelindingnya dadu-dadu tersebut.
Diantaranya tentu saja sebagian besar masuk ke tangan sang bandar pada akhirnya, maka tangan si bandar selamanya tetap kering, tenang dan mantap.
Tio Bu-ki dengan mengenakan satu stel baju baru yang indah, pelan-pelan menembusi hembusan angin malam yang sejuk dan nyaman melangkah masuk ke dalam ruang besar yang benderang dan mentereng itu.
Pada mulanya ia merasa sedikit kegerahan, tapi suasana panas dalam ruangan tersebut dengan cepat membuat ia melupakan segala sesuatu yang kurang menyenangkan itu.
Untuk memasuki ruang besar ini, prosedurnya tidak termasuk terlalu gampang.
Tentu saja diapun harus diajak datang oleh seorang "sahabat" yang cukup berpengalaman, dia harus menghamburkan uang sebesar limapuluh tahil perak dan suatu perjamuan makan malam yang mewah dan megah untuk berkenalan dengan sahabat ini.
Pakaian yang baru dan pas membuat ia tampak lebih mentereng, lebih tampan dan perlente, persis saperti seorang kongcu romantis yang kelebihan uang saku.
Pada umumnya manusia-manusia semacam inilah yang paling menarik perhatian orang lain walau ke manapun kau pergi.
Apalagi belakangan ini ia berhasil pula mendapatkan suatu julukan istimewa yang belum pernah ada dari rumah-rumah perjudian...Heng-in-pacu (si macan tutul yang mujur)!
Itulah julukan yang diam-diam dihadiahkan oleh para penjudi kepadanya, karena ia khusus pandai melemparkan tiga angka enam dalam permainan judi dadu.
Biasanya para penjudi tidak menetap di suatu tempat tertentu, mereka biasa berpindah-pindah tempat dari satu rumah perjudian ke rumah perjudian yang lain. Tidak heran kalau diantara penjudi-penjudi yang berada dalam rumah perjudian tersebut ia jumpai pula para penjudi yang pernah dijumpainya di rumah perjudian lain. Belum lama ia melangkah masuk ke dalam rumah perjudian tersebut, suasana gaduh sudah menyelimuti seluruh ruaugan, suara bisikan dan kasak kusukpun kedengaran di mana-mana.
"Si macan tutul yang mujur telah datang!" demikian orang-orang mewartakan kehadirannya.
"Coba terka, hari ini dapatkah ia melemparkan tiga angka enam lagi dalam pelemparan dadunya?" "Apakah kau ingin bertaruh denganku?"
"Bagaimana bertaruhnya?"
"Kugunakan seratus tahil perak untuk mempertaruhkan limapuluh tahil perakmu, aku memegang ia masih bisa mendapatkan angka tiga kali pada hari ini."
"Hey, mengapa kau seyakin itu?"
"Karena aku sudah menyaksikan ia melemparkan dadunya sebanyak sembilan kali!" "Apakah sembilan kali ia selalu berhasil meraih angka enam tiga kali?"
"Yaa, sembilan kali selalu tiga angka enam!"
*****
Orang-orang yang sedang mengerubung di sekitar meja perjudian terbesar dalam ruangan itu tiba-tiba menyingkir ke samping dan mempersilahkan Bu-ki berjalan lewat.
Setiap orang mengalihkan perhatian mereka ke tangannya.
Sesungguhnya kekuatan hitam apakah yang dimiliki sepasang tangannya itu? Kenapa setiap kali ia dapat melemparkan tiga angka enam?
Jari-jari tangannya kelihatan begitu ramping, panjang dan bertenaga, kukunya terawat rapi dan bersih, tampaknya tidak jauh berbeda dengan jari-jari tangan orang lain.
Pemilik sapasang tangan itupun kelihatannya masih begitu muda, begitu tampan dan terpelajar lagi.
Terserah bagaimanakah pandanganmu terhadap pemuda tersebut, ia sama sekali tidak mirip seperti seorang Long-tiong, seorang penjudi yang bermain curang dalam perjudiannya.
Semua orang benar-benar tidak berharap bahwa ia dipersilahkan ke luar oleh tukang-tukang pukul yang mulut tersenyum, kulit tidak ikut tersenyum itu. Dalam hati kecil setiap penjudi selalu berharap, agar mereka dapat menyaksikan seorang pahlawan yang dapat menguras habis harta kekayaan dari sang bandar.
Begitulah, dibawah tatapan beratus-ratus pasang mata, Bu-ki melangkah masuk ke dalam ruangan dengan senyuman dikulum, seperti seorang bintang tenar yang sedang naik ke panggung kehormatan,
Ia memperlihatkan sikap yang begitu tenang dan wajar, begitu tebal rasa percayanya pada diri sendiri, seakan-akan ia merasa yakin bahwa penampilannya kali inipun tak bakal gagal.
Sang bandar mulai merasa tegang, lamat-lamat peluh sebesar kacang kedelai telah membasahi jidatnya.
Bu-ki tersenyum tenang, katanya dengan lembut. "Apakah meja ini adalah meja perjudian dadu?"
Tentu saja ucapannya benar.
Sebab di tengah meja terdapat sebuah mangkuk besar, tiga biji dadu tergeletak dalam mangkuk tersebut dan memantulkan sinar tajam ketika tertimpa cahaya lampu.
Kembali Bu-ki bertanya lagi.
"Apakah disinipun tidak membatasi besar kecilnya jumlah taruhan?" Sang bandar belum
men-jawab, orang-orang disekitarlah telah menimbrung, "Di tempat ini tak pernah membatasi jumlah besar kecilnya taruhan!"
"Akan tetapi di tempat ini hanya bertaruh dengan uang kontan serta uang-uang kertas dari San see-piau-hau, bila hendak bertaruh dengan perhiasan atau mutiara maka benda-benda itu musti ditukarkan dulu dengan uang uang kontan."
"Bagus sekali!"
Sambil tersenyum Bu-ki merogoh sakunya dan mengeluarkan setumpuk uang kertas, semuanya uang kertas keluaran bank terkenal pada jaman itu. Katanya kemudian:
"Pertama kali ini aku akan bertaruh sepuluh laksa tahil lebih dahulu!"
*****
Pepatah kuno berkata: "Uang berada di meja judi, manusia berada di meja pengadilan." Artinya, bila seseorang sudah berada di meja pengadilan maka ia tak bisa dianggap sebagai se-orang manusia lagi, sebaliknya bila uang sudah berada di meja perjudian, maka uang tersebut tak bisa dianggap sebagai uang yang bisa dihambur-hamburkan lagi.
Akan tetapi, bagaimanapun juga sepuluh laksa tetap merupakan sepuluh laksa, bukan sepuluh laksa tahil besi tembaga, melainkan sepuluh laksa tahil perak.
Apabila uang yang sepuluh laksa tahil perak itu dipergunakan untuk menindih orang, paling sedikit bisa menindih mati beberapa orang….
Suasana dalam ruang perjudian kembali terjadi kegaduhan, para penjudi yang sebelumnya sedang berjudi di meja lain, kini berdatangan semua ke situ dan mengerubung meja judi tersebut untuk menonton keramaian.
Sang bandar mulai mendehem, kemudian bertanya:
"Apakah kau pertaruhkan uangmu sekaligus dalam sekali lemparan?” . Bu ki mengangguk sambil tersenyum.
°Masih ada orang lain yang ikut bertaruh?" teriak sang bandar. Tiada yang menyahut.
°Bagus!' kata bandar itu lagi, "bila dua orang bertaruh, maka siapa yang berhasil meraih enam, tiga kali lebih dulu, dialah yang menang."
"Siapa yang akan melempar dulu?" tanya Buki lembut.
Butiran keringat sebesar kacang sudah membasahi ujung hidung sang Bandar, setelah
men-dehem beberapa kali, akhirnya meluncur juga sepatah kata yang sesungguhnya enggan ia ucapkan:
'Kau!'
Jika terjadi pertaruhan yang melibatkan dua orang, maka bandar akan selalu mengalah buat tamunya. Hal ini sudah merupakan peraturan di dalam setiap rumah perjudian, tidak terkecuali pula rumah perjudian di tempat ini.
Dengan senyuman dikulum Bu ki mengambil ketiga biji dadu itu kemudian dilemparkan sekena-nya ke dalam mangkuk.
Ketika dadu-dadu itu mulai berputar, orang-orang yang berada disekitar meja perjudian itu mulai berteriak memberi angin kepadanya: 'Enam tiga kali !° Macan tutul besar !"
Teriakan-teriakan itu belum sirap, biji-biji dadu itu sudah berhenti berputar, betul juga, angka dadu menunjukkan enam tiga kali . . . .
macan tutul besar !
Suara teriakan-teriakan itu seketika berubah menjadi tempik sorak yang gegap gempita, se-demikian kerasnya sorak sorai tersebut membuat atap rumah nyaris ikut ambruk.
Sang bandar mulai menyeka keringat, makin diseka makin banyak keringat yang bercucuran.
Bu-ki sama sekali tidak memperhatikan dadu-dadu dalam mangkuk tersebut, seakan-akan hasil yang dicapainya itu sudah berada dalam dugaannya semula.
Seakan-akan ia sudah mengetahui sejak awal bahwa dadu-dadu yang dilemparkan itu sudah pasti akan menunjukkan tiga angka enam.
*****
Sang bandar sudah mulai menghitung uang untuk membayar pertaruhan tersebut, tapi sepasang matanya justru masih juga celingukan ke sana ke mari dengan liarnya.
Pada saat itulah sebuah tangan mampir di atas bahu Bu-ki, sebuah tangan yang besar dan kasar, punggung tangan penuh dengan otot-otot hijau yang menonjol ke luar, keempat buah jarinya hampir mempunyai ukuran yang sama panjangnya, jari itu kelimis tanpa kuku barang secuwil-pun.
Sekalipun seseorang yang tak pernah berlatih ilmu silat, juga akan mengetahui bahwa tangan tersebut pasti sudah pernah digunakan untuk melatih ilmu Thiat sah ciang (pukulan pasir besi)
-atau sebangsanya.
Sekalipun seseorang yang belum pernah merasakan kerasnya pukulan tangan itu, mereka pasti dapat pula membayangkan bahwa akibat dari pukulan itu pasti sangat tak sedap.
Sorak sorai dan suara tertawa yang gegap gempita seketika sirap dan lenyap dengan begitu saja, suasana menjadi hening, sepi dan tak kedengaran sedikit suarapun.
Hanya satu orang yang masih tertawa, sambil senyum senyum katanya kepada Bu ki: "Toaya, kau she apa?" "Aku she Tio!" 'Oooh ! Rupanya adalah Tio kongcu, selamat bertemu,
selamat bertemu . , , haaahhhh . . . haaahhh . . . haaahhh ° Meskipun ia mengucapkan "Selamat ber-jumpa", akan tetapi mimik wajahnya sama sekali ticiak menunjukkan maksud “selamat berjumpa' itu sendiri, bahkan menggunakan ibu jarinya yang amat besar itu ia menuding ke ujung hidung sendiri sambil berkata:
"Aku she Sun, orang lain menyebut diriku sebagai Thiat pa ciang (pukulan pasir besi)!" "Selamat berjumpa, selamat berjumpa!' kata Bu ki pula.
'Aku ingin sekali mengundang Tio kongcu untuk bercakap-cakap sebentar di luar!' "Membicarakan soal apa?'
"Aaah, membicarakan apa saja yang dapat dibicarakan!”
'Baik, kalau begitu tunggulah aku setelah bertaruh beberapa kali lagi . . .!"
Mendengar perkataan itu, Thiat pa ciang segera menarik muka, kemudian bentaknya: "Aku minta sekarang juga kau ke luar sebentar!"
Mengikuti perubahan wajahnya itu, tangan yang semula hanya menempel di atas bahu Bu ki pun ikut mencengkeram kencang.
Setiap orang merasakan peluh dingin membasahi tubuh mereka, setiap orang menguatirkan keselamatan Bu ki.
Apabila bahu seseorang dicengkeram oleh sepasang tangannya yang kuat secara demikian rupa, sekalipun tulang bahu itu tak sampai hancur remuk, rasanya tentu sangat tak sedap.
Akan tetapi Tio Bu ki sama sekali tidak merasa kesakitan, keningnya juga tidak berkerut, sebaliknya sambil tersenyum ia berkata: "Apabila kau ingin sekarang juga berbicara denganku, nah, bicarakanlah di tempat ini saja!°
Paras muka Thiat pa ciang berubah hebat, dengan geramnya ia membentak: “Aku memberi muka untukmu, tapi kau tak mau muka, baik, jangan salahkan kalau kubongkar semua kecurangamu dihadapan umum. Huuuh! Jika kau bukan seorang Long tiong, dengan mengandalkan apakah kau “berani bertaruh sepuluh laksa tahil perak dalam sekali pertaruhan?”
“Pertama karena aku punya uang, kedua karena aku senang dan ketiga karena kau tak berhak mencampuri urusanku!”
“Kalau aku sengaja mau mencampuri urusanmu, lantas mau apa kau?” teriak Thiat-pa ciang semakin geram. Telapak tangan bajanya segera diangkat ke udara, kemudian sekali sapu ia hantam batok kepala Bu-Ki.
Sayang pukulan dahsyatnya itu tidak mengenai sasaran.
Yaa, pukulannya tentu saja tidak mengenai sasaran, sebab sebelum pukulan tersebut bersarang telak di tubuh si anak muda, tubuhnya sudah keburu melayang dulu ke tengah ke udara.
Bu Ki hanya mencenkeram pergelangan tangannya dengan enteng, kemudian mengangkat dan melemparkannya ke depan, seperti layang layang putus benang, tubuhnya segera melayang ke udara, melewati puluhan batok kepala manusia dan...”Blaaang!” menumbuk di atas sebuah tiang besar, kepalanya segera terluka dan darah bercucuran ke luar dengan derasnya.
Peristiwa ini segera mengundang kehebohan, suasana menjadi amat kacau dan ramai, tujuh delapan belas orang laki laki kekar yang bertubuh tinggi besar berorot bagaikan harimau kelaparan segera bermunculan dari empat penjuru.
Akan tetapi, rombongan harimau harimau kelaparan tersebut pada hakekatnya tak lebih hanya serombongan anjing berpenyakitan dalam pandangan Bu Ki.
Baru saja ia bersia sedia memberikan sedikit pelajaran untuk segerombolan anjing anjing berpenyakitan itu ketika kain tirai di belakang ruangan sana disingkap orang, menyusul seseorang membentak keras:
“Tahan!”
Tirai di depan pintu itu terbuat dari kain sutera halus yang mahal harganya, di atas kain tersebut terdapat pula sebuah sulaman bunga Botan yang besar dan sangat indah.
Seorang laki laki botak berbaju perlente, sambil membawa sebuah huncwee yang terbuat dari batu batu pualam berdiri angker di depan pintu.
Semua suara teriakan dan bentakan yang semula memenuhi ruangan itu seketika menjadi reda, diam-diam orang mulai menguatirkan keselamatan jiwa Bu-ki.
Kini bahkan Cia tauke sendiripun sudah campur tangan, itu berarti sulit sekali bagi Bu-ki untuk ke luar dari ruangan perjudian itu dalam keadaan utuh.
"Mundur semua!° bentakan nyaring kembali bargeletar memecahkan kesunyian.
Cia tauke memang memiliki wibawa sebagai seorang tauke besar, cukup dia mengulapkan tangannya dengan pelan, gerombolan anjing anjing berpenyakitan itu segera mengundurkan diri dengan munduk-munduk. 'Tak ada urusan lagi, tak ada kejadian apa-apa... hayo semua orang silahkan melanjutkan permainan, kalau ada yang ingin minum arak, hari ini kuundang kalian untuk minum sampai puas.° teriak Cia tauke dengan suara lantang.
Di mulut dia berkata demikian, sementara ia sendiri pelan-pelan menghampiri Tio Bu-ki, setelah mengamatinya dari atas hingga ke bawah, tiba-tiba sekulum senyuman tersungging menghiasi wajahnya yang lebar.
°Saudarakah yang disebut sebagai Tio kongcu," ia menegur. "Benar, aku she Tio!°
"Aku she Cia, sahabat-sahabat menyebutku Lo-cia, rumah perjudian kecil ini adalah milikku!" "Apakah Cia tauke juga ingin mengundangku untuk bercakap-cakap di luar ?"
"Tidak usah di luar, di dalam saja!" jawab Cia tauke.
Kemudian sambil menuding ke ruangan di balik tirai tersebut dengan huncwe kemalanya, ia berkata lebih jauh: "Di dalam sana ada seorang teman yang ingin sekali bertaruh dengan Tio kongcu!"'
"Berapa besar jumlah taruhannya?" Cia tauke segera tertawa.
"Jumlah taruhannya tidak dibatasi makin besar tentu saja semakin baik" Bu-ki ikut tertawa.
"Seandainya aku diajak bercakap-cakap, mungkin tiada waktu luang bagiku, tapi kalau ingin bertaruh denganku, setiap saat aku pasti akan melayaninya."
"Kalau begitu bagus sekali !" kata Cia tauke sambil manggut-manggut.
Bu-ki dan Cia tauke sudah masuk ke balik pintu, kain tirai di depan pintu telah menutup kembali.
Semua orang mulai kasak kusuk, semua orang mulai berbisik bisik.
“Siapakah orang yang berani bertaruh dengan si macan tutul yang mujur itu? Bukankah hal ini bagaikan seekor babi gemuk yang mengantarkan diri?”
Disisinya segera ada seseorang yang menanggapi sambil tertawa dingin, bisknya pula, “Dari mana kau bisa tahu kalau di dalam sana benar benar ada orang yang hendak bertaruh dengannya? Siapa tahu yang sedang menunggu di dalam sana adalah sebilah golok? Begitu si macan tutul yang mujur masuk ke dalam, maka ia akan segera berubah menjadi si macan tutul yang mampus...?”
Di dalam ruangan tak ada golok, yang ada hanya manusia.
Termasuk Cia tauke, di situ ada sembilan orang manusia, delapan orang berdiri dan seorang duduk.
Delapan orang yang berdiri tidak mengenakan baju mentereng atau dandanan yang mewah dan perlente, mereka adalah delapan orang laki laki kekar yang berperawakan tinggi besar dengan sepasang mata yang memancarkan sinar amat tajam.
Kalau dilihat dari gerak gerik mereka yang cekatan dan gesit, jelas orang orang itu mempunyai kepandaian yang hebat pula.
Sedangkan orang yang duduk di atas sebuah kursi terbuat dari kayu cendana yang beralaskan permadani berwarna merah itu adalah seorang kakek kurus kecil macam orang penyakitan.
Raut wajahnya berwarna kuning dan kering, dia mempunyai sepasang mata yang kecil dan sipit, pada dagunya memelihara beberapa lembar jenggot kambing gunung yang telah memutih, sedang rambutnya telah beruban bahkan banyak yang telah mulai berguguran.
Kalau dibilang kakek kecil itu mirip seekor kambing hutan, maka jauh lebih pantas bila dikatakan ia lebih mirip dengan seekor monyet.
Sekalipun demikian, justru ia mempunyai kedudukan serta daya pengaruh yang luar biasa, bahkan jauh di atas dari siapapun dalam ruangan tersebut.
Jangan dilihat ke delapan orang yang berdiri di hadapannya itu berperawakan tinggi besar, bermata tajam bahkan mungkin berilmu silat sangat tinggi, akan tetapi sikapnya terhadap kakek kurus kecil macam moneyt kekeringan amat hormat dan munduk-munduk, sedikitpun tidak berani menunjukkan sikap gegabah atau kurang hormat.
Ditinjau dari semuanya ini dapatlah ditarik kesimpulan bahwa kakek kurus kecil yang sama sekali tidak bertampang orang kenamaan itu sesungguhnya adalah seorang ternama yang mempunyai kedudukan, nama serta pengaruh yang besar sekali.
Diam-diam Tio Bu ki mulai menarik napas dingin, jantungnya terasa berdebar keras dan peluh serasa mulai membasahi tubuhnya.
Bagaimanapun bodohnya Bu-ki, lamat-lamat ia mulai merasakan juga bahwa manusia yang dihadapinya bukan manusia sembarangan, tapi siapakah orang ini ? Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benaknya, iapun berpikir: 'Jangan-jangan kakek kurus kecil macam monyet ini adalah si Raja Judi yang nama besarnya telah menggetarkan tujuh propinsi di selatan dan enam propinsi di utara?"
RAJA JUDI
DALAM setiap bidang pekerjaan selalu ada raja nya, demikian pula dalam bidang judi.
Si Raja judi she Ciau, entah orang yang kenal dengannya atau tidak, mereka semua selalu menyebutnva Ciao jit-tayya.
Dalam judi menjudi Ciau Jit-tayya bukan saja sangat ternama, tapi juga ia mempunyai kedudukan yang sangat terhormat.
Selama hidupnya, sudah beribu-ribu laksa kali Ciau Jit tayya melangsungkan perjudian baik yang kecil maupun yang besar, konon ia belum pernah kalah walau satu kalipun atau
paling sedikit semenjak berusia tigapuluh tahun ia sudah tak pernah kalah. Tahunini Ciau Jittayya berusia tujuh puluh dua tahun.
Bukan dalam soal judi saja Ciau Jittayya sangat lihay, sepasang matanya juga luar biasa, baik Long tiong kelas kakap, Long tiong kelas teri, long tiong main kartu atau Long tiong profesional, belum pernah ada orang yang berani bermain gila dihadapannya, sebab dengan permainan busuk macam apapun, Ciau Jittayya segera akan mengetahuinya dalam sekejap pandangan mata.
Semenjak ulang tahunnya yang ke enam puluh enam, Ciau Jittayya sudah cuci tangan di baskom emas dan mengundurkan diri dari bidang perjudian.
Konon kemunculan kembali Ciau Jit tayya kali ini adalah atas permohonan dari pat toa kim kong (delapan orang kim kong), delapan orang murid utamanya .
Dengan usianya yang setua itu, dengan kedudukannya yang begitu tinggi pula, mau apa ia munculkan diri kembali ?
. . . Konon ia muncul kembali karena ingin menghadapi si macan tutul yang mujur, dia orang tua ingin sekali mengetahui kemujuran apakah yang sedang dilakukan oleh si macan tutul itu? Kenapa setiap kali melemparkan dadunya selalu berhasil meraih tiga angka enam?
Semenjak semula Bu-ki sudah mendengar berita tersebut, tentu saja ia mendengar soal tersebut dari sahabatnya.
Sekalipun demikian, ia tetap tidak menduga kalau si Raja judi yang namanya sudah termashur di tiga belas propinsi itu sesungguhnya hanya seorang kakek kecil yang kurus macam monyet. Menggunakan jari-jari tangannya yang memelihara kuku sepanjang tiga inci itu Ciau Jit tayya mengangkat huncwe peraknya dan menghisap asap tembakau beberapa kali, setelah itu sambil tertawa baru katanya:
"Duduk, silahkan duduk!"
Tentu saja Bu-ki segera duduk, ia tak pernah mempunyai kebiasaan untuk berdiri dihadapan orang lain.
Dengan sepasang matanya yang kecil Ciau Jittayya memperhatikan Bu-ki, lalu katanya sambil tertawa:
"Engkaukah yang disebut Tio kongcu?" "Siapa namamu?" Bu-ki balik bertanya.
"Aku she Ciau, lantaran di rumah aku menempati urutan ke tujuh maka orang lain memanggilku sebagai Ciau Jit! '
Bu-ki sama sekali tidak menunjukkan reaksi apa-apa, seakan-akan sepanjang hidupnya belum pernah ia mendengar nama tersebut.
Ciau Jittayya tertawa ringan, kembali katanya:
"Konon belakangan ini Tio kungcu selalu mujur?" "Yaa, biasa-biasa saja!"
"Entah apakah Tio kongcu bersedia memberi muka kepada aku si kakek kecil dan menemani aku bertaruh beberapa kali?"
"Mau berjudi apa?" "Tentu saja berjudi dadu!" Bu-ki segera tertawa lebar.
"Seandainya berjudi dalam soal lain mungkin aku tak berani melayaninya, akan tetapi kalau berjudi dadu, aku tak pernah menampik keinginan orang lain."
"Kenapa?"
"Sebab setiap kali aku berjudi dadu, aku merasa nasibku selalu mujur . . .” Tiba-tiba Ciau Jittayya mementangkan sepasang matanya yang kecil dan sipit itu untuk menatap wajah Bu-ki tajam-tajam.
Setelah sepasang matanya dipentangkan lebar-lebar maka terasalah seperti ada dua jalur sinar tajam yang menyorong keluar, bila orang menjumpai sinar mata semacam itu untuk pertama kalinya, dia pasti akan merasa sangat terperanjat.
Akan tetapi Bu-ki sama sekali tidak terperanjat, jangankan baru sinar mata Ciau Jittayya, sekalipun ketika si mayat hidup mementangkan matanya untuk menatap ke arahnya, dia juga tidak terperanjat.
Semenjak dilahirkan dia memang bukan seorang manusia yang gampang merasa terperanjat.
Setelah mengawasinya beberapa kejap dengan mata melotot besar, Ciau Jittayya kembali me-nyipitkan kembali matanya, kemudian berkata:
"Akan tetapi nasib yang mujur kadangkala bisa berubah juga, orang yang bernasib mujur kadangkala bisa menjadi sial, sebaliknya orang yang sial kadangkala bisa pula berubah menjadi mujur,"
Ia tertawa ringan, kemudian katanya lagi:
"Hanya ada seorang manusia yang selamanya tak akan terpengaruh oleh perubahan tersebut." "Manusia macam apakah itu?"
"Manusia yang tak menggantungkan pada kemujuran tangan!" jawab Ciau Jittayya.
"Kalau tidak menggantungkan pada kemujuran tangan lantas menggantungkan dalam hal apa?"
"Mmggantungkan pada soal kepandaian!"
Dengan menggunakan sebuah tangan yang terawat sangat baik, ia melakukan suatu gerakan yang sangat indah, setelah itu plan-pelan baru berkata lagi:
"Asal menggunakan sedikit kepandaian saja maka bereslah sudah!"
Bu-ki seperti orang yang sama sekali tidak memahami perkataannya, dengan agak ketolol- tololan ia bertanya:
"Kepandaian apakah itu?" Sepcrti orang yang sedang memberi penjelasan kcpada seseorang yang benar-benar tidak faham Ciau jittayya berkata kembali:
"Kepandaian untuk mengendalikan perputaran dadu!" Setelah tersenyum kembali katanya:
"Dadu alalah suatu benda yang amat sederhana, benda tersebut tidak bernyawa juga tak berotak, asal kau mempunyai sedikit kepandaian saja maka apa yang kau kehendaki dia akan berbuat seperti yang kau kehendaki itu "
Bu-ki tertawa, ia seperti kurang percaya dengan penjelasan tersebut, kembali tanyanya: "Benarkah di dunia ini terdapat kepandaian semacam itu?"
"Yaa, pasti ada!"
"Dapatkah kau untuk melakukannya? Ciau Jittayya tertawa lirih.
"Jadi kau ingin membuktikannya?" ia bertanya. "Yaa, aku ingin sekali."
"Baik!"
Ciau Jittayya segera bertepuk tangan, dengan sikap hormat Cia tauke segera mengangsurkan sebuah mangkuk besar dengan tiga biji dadu indah di dalamnya.
"Mangkuk ini adalah hasil pecah belah kenamaan dari kota Keng-tek-tin di wilayah Kang-see, sedang dadunya adalah dadu hasil karya Po-sik-cay yang berdiam di pcrempatan jalan Ong Kua-hu di ibukota."
Tampaknya Ciau Jittayya sangat puas dengan benda tersebut, katanya dengan segera:
"Bagus sekali, berjudi bukan saja merupakan suatu kepandaian yang tiada taranya, termasuk juga suatu kenikmatan yang menyenangkan, tentu saja alat-alat yang dia gunakan tak boleh terlampau biasa."
"Aku sangat setuju dengan pandapatmu itu!" sambung Bu-ki dengan cepat. Ciau Jittayya manggut- manggut, kembali katanya: "Yang lebih penting lagi adalah merek dagang Po Sik-cay marupakan merak dagang terpercaya, semua dadu hasil bikinannya selalu mempunyai bobot yang tepat dan seimbang, dan lagi tak mungkin merupakan dadu-dadu palsu yang di dalamnya diisi dengan air raksa hingga timpang beratnya."
"Aku percaya!"
Kembali Ciau Jittayya mengeluarkan tangannya yang halus dengan jari-jari tangan yang terawat itu untuk mengambil ketiga biji dadu tersebut.
Dadu yang berada di tangannya, seakan-akan berubah menjadi sebilah pedang di tangan seorang ahli pedang kenamaan di kolong langit, sebab tampaklah gerakannya yang begitu matang, berpengalaman dan indah.
Dalam soal berjudi, Ciau Jittayya memang tak malu disebut sebagai seorang Raja Judi.
Dengan gerakan yang begitu sederhana, begitu matang dan indah, ketiga biji dadu itu sudah di-lemparkan ke dalam mangkuk.
Tanpa dilihat lagi Bu-ki juga tahu bahwa hasil lemparan dadu itu sudah pasti adalah tiga angka enam.
*****
Dadu telah berhenti berputar, benak juga angka menunjukkan tiga angka enam. Bu-ki segera menghcla napas panjang, katanya:
"Aku lihat kemujuran tanganmu belakangan ini juga sangat bagus!"
"Ini bukan termasuk kemujuran tangan tapi kemujuran kepandaian, setiap orang dapat melemparkan dadu-dadu itu dengan tiga angka enam!"
"Oya?"
"Kau tidak percaya?' Bu-ki masih tertawa.
"Baik kalau begitu kalian cobalah satu kali agar dilihat oleh Tio kongcu!" kata Ciau Jittayya. Cia tauke mencoba paling dulu. Dia mengambil dadu-dadu itu dan menebarkannya, betul juga ia berhasil meraih tiga angka enam.
Menyusul kemudian tujuh orang lainnya juga melemparkan dadu-dadu itu, ternyata merekapun berhasil meraih tiga angka enam semua.
Bu-ki seakan-akan tertegun menyaksikan adegan tersebut.
"Sudahkah kau ketahui apa gerangan yang telah terjadi?" tanya Ciau Jittayya kemudian. Bu-ki menggeleng.
Ciau Jittayyapun menganggap dia benar-benar tak tahu, katanya kemudian dengan lembut:
"Di dalam dadu ini telah diberi air raksa, asal seseorang yang mengerti sedikit kepandaian maka dengan sangat mudah ia akan berhasil mendapatkan tiga angka enam."
Lalu sambil picingkan matanya dan tertawa ia berkata lebih jauh:
"Sekalipun dadu-dadu merek Po Sik-cay tidak ada yang palsu, tetapi asal kita beri sedikit hadiah untuk lo-suhu yang membuat dadu itu, maka keadaannya tentu berbeda."
Bu-ki seakan-akan tertegun mendengarkan kesemuanya itu.
Ciau Jittayya berpaling dan tanyanya kepada seorang laki-laki setengah umur berdahi tinggi dan bermuka kuning yang berdiri di belakangnya:
"Tempo hari, hadiah apakah yang telah kau berikan kepada lo-suhu itu untuk dadu buatannya?"
"Sebuah gedung megah di barat kota yang komplit dengan segala perabot dan peralatan yang dibutuhkan, ditambah lagi seribu tahil perak setiap tahunnya sebagai ongkos hidup."
"Selama ia bekerja di Po sik-cay, berapa banyak uang bisa dia dapatkan dalam setahunnya?" tanya Ciau Jittayya lagi.
"Tigaratus enampuluh tahil perak uang gaji ditambah uang pembagian laba, semuanya kalau ditotal tak sampai mencapai tujuhratus tahil."
Ciau Jittayya lantas berpaling kembali ke arah Bu-ki, lalu sambil tertawa katanya: "Sekarang kau pasti sudah mengerti bukan?"
Bu-ki menghela napas panjang. "Aaai,seandainya tiada petunjukmu, dulu aku benar-benar tidak menyangka kalau di balik sebiji dadu sesungguhnya masih terkandung suatu pengetahuan serta kepandaian yang begini besar."
"Setiap penjudi di dunia ini, asal ia mengetahui bahwa dadu tersebut buatan Po Sik-cay, maka dengan hati lega dan berani mereka akan bertaruh sebab itulah meski binipun ikut digadai untuk membayar hutang, mereka masih bersikeras mengatakan bahwa mereka kalah dengan puas, meski kalah tidak penasaran."
Setelah menghela napas panjang, katanya lagi: