Golok Naga Kembar Jilid 05

Jilid 05

DENGAN terbunuhnya Seng-giam-ong di tangan Sun Giok Hong, maka di kalangan Kang-ouw telah terbit kegemparan besar diantara cabang-cabang atas yang namanya sudah tidak asing lagi. Cabang-cabang atas ini telah berdaya upaya keras untuk merobohkan Ban Piu dengan maksud memiliki Golok Naga Kembar, tapi tidak beruntung, malahan mereka telah menjadi pecundang-pecundang penyamun tunggal she Kwan itu. Selain mempunyai golok yang sangat disegani, diapun berkepandaian tinggi. Disamping orang-orang yang memuji kegagahan dan kelihayan Sun Giok Hong, juga tidak sedikit orang yang merasa iri hati dan mencari-cari alasan untuk mengurangi kebesaran nama si pemuda yang merupakan tokoh muda yang baru muncul dalam kalangan Kang-ouw dengan nama julukan Ngo-seng-to-ong atau ahli golok dari lima propinsi.

Pada suatu hari Sun Giok Hong telah menerima suatu titipan besar yang terdiri dari barang-barang buatan luar negeri yang berharga mahal dan harus diangkut dari kota Thian-cin ke kota Cee-lam di dalam propinsi Shoatang. Barang-barang ini telah diangkut dalam dua buah kereta dengan mengirim pio-su Wan Teng Kok sebagai pelindungnya.

Pio-su she Wan ini adalah seorang Ho-han yang bertubuh tinggi besar, berusia 32 tahun dan mahir mempergunakan pelbagai macam senjata, antara lain golok Toa-ma- to, yang mana terhitung sebagai sebilah senjata yang paling ia mahir mempergunakannya. Ia adalah orang kelahiran propinsi Tit-lee dan telah banyak pengalamannya dalam hal pengangkutan barang-barang dari satu ke lain propinsi.

Giok Hong sangat menghormati dan mempercayai kejujurannya serta merasa terjamin keselamatan suatu barang angkutan yang dilindungi olehnya.

Dengan menyusuri sepanjang tepi sungai Un-ho, Wan Teng Kok memberangkatkan kedua kereta pio itu dari Thian-cin menuju ke selatan dengan menunggang seekor kuda yang dapat berlari cepat dan punya daya tahan untuk melakukan perjalanan yang jauh. Pada hari yang kedua, rombongannya telah tiba di daerah pegunungan Ngo-liong-san yang terletak dalam propinsi Shoatang. Haripun telah menjelang senja oleh karena itu lekas-lekas ia menuju kesebuah kota kecil yang bernama Hoay-jin- tien, yang terletak 6 atau 7 lie pula jauhnya untuk bermalam dan melepaskan letih dari perjalanan sehari penuh tanpa mengaso itu.

Apa mau dikata, selagi baru saja Wan Teng Kok membelok ke arah kanan jalan gunung, tiba-tiba dihadapannya nampak serombongan berandal yang berjumlah 20 sampai 30 orang dengan seorang muda yang berusia lebih kurang 26 atau 27 tahun sebagai pemimpinnya, bersenjatakan sebatang tombak Hong-eng-chio serta menyoren sebilah badik di pinggangnya. Dia tampil ke muka sambil berseru, "Hai, pio su dari Hin Liong Pio Kiok, lekas-lekaslah serahkan kereta-kereta piomu kepada kami. Kalau tidak, engkau harus mengerti sendiri segala akibatnya nanti!".

Tapi Wan Teng Kok bukanlah seorang yang mudah digertak atau tinggal diam saja diperlakukan orang dengan seenaknya. Maka sambil melintangi goloknya, ia majukan kudanya ke muka kcreta kereta pio untuk menyambut kedatangan kepala berandal itu. begitu berhadapan dengan si berandal, Wan Teng Kok segera mendului membuka serangan tanpa banyak bicara lagi.

Demikianlah, kedua orang itu telah saling menguji tenaga di tepi jalan gunung yang sunyi itu. Segera juga tampak dengan jelas, bahwa kepala berandal itu bukan tandingan Teng Kok yang sepadan. Ketika pertempuran baru saja berlangsung beberapa jurus, si kepala berandal sudah tampak kewalahan dan lekas-lekas melarikan diri sambil memerintahkan anak buahnya melakukan pengepungan dari segala jurusan. Tatkala Teng Kok tengah sibuk melawan para liauw lo,tiba-tiba ia melihat si kepala berandal telah balik kembali dan sambil lari dia lalu menyambitkan sebuah benda yang berkilauan yang menyamber kearah Teng Kok bagaikan kilat cepatnya.

Dengan sebat ia menyampok benda yang menyambar kearah ulu hatinya, tapi tak urung benda itu menggores juga bahunya Teng Kok menjadi tambah gusar, dia menyerang dengan ganas sekali hingga tidak kurang dari lima atau enam orang liauw-lo telah ia lukai. Ia berniat membasmi semua berandal-berandal itu, sayangnya

dengan sekonyong-konyong Teng Kok merasakan kepalanya pusing dan matanya jadi berkunang-kunang. Dilain saat, ia terguling jatuh dari kudanya dan........menghembuskan napasnya yang terakhir seketika itu juga. Setelah diselidiki, ternyata benda yang berkilauan itu bukan lain daripada sebilah badik yang mengandung racun hebat dan orang yang terlukai oleh badik itu dalam waktu beberapa detik saja akan tewas tanpa dapat ditolong lagi.

Setelah dapat kepastian Wan Teng Kok tidak berkutik lagi, si kepala berandal segera memberikan komando kepada anak buahnya untuk merampas kedua kereta pio Hin Liong Pio Kiok. Mayat pio-su yang malang itu lalu dimusnahkan dengan jalan dibakar sehingga tulang belulangnya berserakan di muka bumi!. Kemudian si kepala berandal mengusir para kusir kereta pio tersebut untuk pulang ke kota Thian-cin dan melaporkan kejadian ini kepada Sun Giok Hong yang menjadi induk semang mereka.

"Pergilah kamu beritahukan kepada induk semangmu Sun Giok Hong yang mempunyai nama julukan Ngo-seng-to-ong" dengan senyum mengejek ia melanjutkan, "bahwa aku Chit-seng-chio-ong atau raja tombak dari tujuh propinsi mengundang ia datang kemari untuk bertanding!. Aku pasti akan menantikannya di kelenteng Siang-in-koan di pegunungan L'o-san, yang terletak di bagian barat pegunungan Ngo-liong-san. Katakan padanya bahwa aku Chit-seng-chio-ong memerintahkan ia untuk membuang nama julukannya jika ia takut menghadap kepadaku!".

Pada waktu keempat kusir kereta itu tiba di kantor angkutan Hin Liong Pio Kiok di kota Thian-cin, mereka segera melaporkan tentang kecelakaan yang diderita Wan Teng Kok yang mayatnya telah dibakar dengan tidak hormat., seolah-olah si berandal memendam dendam yang hebat terhadap Hin Liong Pio Kiok. Juga mereka tak lupa menyampaikan tantangan yang diajukan oleh kepala berandal tersebut terhadap induk semangnya itu. Sun Giok Hong menjadi terkejut dan bertanya, "Siapakah she dan nama berandal yang bernyali begitu besar itu?".

Keempat orang kusir itu menjawab, "Entahlah, karena dia hanya mengaku bernama julukan Chit-seng-chio-ong saja". Kemudian salah seorang diantaranya memberitahukan tentang di mana Giok Hong mesti mencarinya.

"Aiii, sungguh kurang ajar sekali si kerbau hutan itu!" kata Sun Giok Hong dengan gusar. "Hampir semua jagoan dari kalangan Liok-lim atau Rimba Hijau di Shoatang aku kenal baik serta mempunyai hubungan persahabatan. Hanya binatang ini saja yang berani menghinaku, hingga dia perlu kuhajar supaya lebih mengenal aturan dan sopan santun!".

Saat itu Sun Giok Tien yang mengetahui bahwa Giok Hong telah mengambil keputusan untuk menerima tantangan kepala berandal yang mengaku punya nama julukan Chit-seng-chio-ong itu, dalam hatinya jadi agak cemas dan berkata, "Chit-ko, mereka di sana tentunya akan membuat segala persiapan untuk menyambut kedatanganmu. Engkau yang dating hanya sendirian saja, aku khawatirkan sukar meladeni kawanan perampok itu yang berjumlah banyak. Sebaiknya aku ikut serta dengan membawa beberapa orang kusir sebagai teman di jalan". Giok Hong mupakat dengan saran adik sepupunya itu. Maka sesudah meninggalkan pesan yang kepada beberapa orang kepercayaannya, esok harinya dengan membawa Golok Naga Kembar dan kantong kulit yang berisikan piauw, Giok Hong berangkat ke propinsi Shoatang dengan ditemani oleh Sun Giok Tien serta para kusirnya.

Dua hari kemudian mereka telah tiba di perbatasan propinsi Shoatang. Dari sana mereka menuju ke pegunungan Ngo-liong-san untuk kemudian menyusuri jalan ke kelenteng Siang-in-koan yang terletak di pegunungan Lo-san.

Selama dalam perjalanan, Sun Giok Hong tidak habis-habisnya memikirkan, siapakah gerangan kepala berandal yang menamakan dirinya Chit-seng-chio-ong itu?. Ia kenal tidak sedikit orang-orang gagah di kalangan Kang-ouw putih dan hitam, tapi belum pernah mendengar ada orang yang memakai nama julukan demikian.

Setelah berjalan beberapa lamanya dengan melalui jalan-jalan gunung yang berliku-liku dan diapit oleh jurang-jurang yang curam di kiri kanannya, tiba-tiba dari kejauhan tampak atap kelenteng yang merah di antara pohon-pohon yang rindang

dan hijau kehitam-hitaman. Giok Hong segera mengetahui bahwa mereka telah tiba di tempat yang dituju dan diam-diam ia lalu memperingati agar Giok Tien dan para kusirnya itu untuk berjaga-jaga. Kemudian ia menghunus golok Siang-liong-touw-cu- to sambil menoleh ke kiri kanan jalan dengan laku yang hati-hati sekali.

Setelah berjalan beberapa belas tindak jauhnya, tiba-tiba dari arah semak-semak yang lebat di tepi jalan telah melompat keluar seorang berandal muda yang bersenjatakan sebatang tombak Hong-eng-chio menghadang di tengah jalan sambil membentak, "Sun Giok Hong, ternyata engkau adalah seorang yang bisa menepati janji. Engkau telah menerima baik undanganku dan datang kemari untuk minta dikembalikan kereta-kereta piomu yang telah kurampok itu, bukan?".

Sun Giok Hong memperhatikan sejenak wajah begal muda itu yang tampaknya ganas. Kemudian ia balas membentak, "Apakah engkau ini bukan Chit-seng-chio-ong yang telah membunuh pio-suku?".

"Memang benarlah apa katamu!" sahut si begal muda. "Engkau punya nama julukan Ngo-seng-to-ong, aku punya nama julukan Chit-seng-chio-ong. Seharusnya sedari tadi engkau ketahui siapa aku ini!. Sekarang hendak kubuktikan sendiri, yang mana diantara kita berdua Chio-ong atau To-ong yang ternyata lebih unggul!.

Sambutlah tombakku!!!".

Sambil berkata begitu, si begal muda segera maju menerjang hingga Sun Giok Hong lekas melompat turun dari kudanya dan meladeni dengan tidak banyak bicara pula. Selama pertempuran itu berlangsung, Giok Hong tak mau menabas tombak orang, selain menangkis dengan belakang golok saja. Jika ia bertempur dengan cara yang layak dan mengandalkan ketajaman Golok Naga Kembar, niscaya dalam waktu beberapa jurus saja ia sudah mampu menabas putus tombak itu. Dia akan ditertawakan orang karena Ngo-seng-to-ong dapat menang karena tajamnya golok yang dimilikinya, sama sekali bukan sebab ia mahir ilmu golok dalam arti yang sebenar-benarnya.

Bersamaan dengan itu, Giok Hong segera dapat menguji sampai dimana kelihayan begal muda penantangnya itu. Bukan saja lawan itu tidak mempunyai kepandaian yang cukup berharga, malah ilmu tombaknya pun agak ngawur. Ia jadi heran mengapa orang lain telah memberikan dia nama julukan yang begitu mentereng, padahal Giok Hong tak sadar bahwa nama julukan itu adalah buatan si begal itu sendiri. Tidak heran jika ia tak pernah mendengar ada nama julukan demikian dalam daftar para cabang atas dalam golongan Liok-lim. 

Sementara si begal muda yang melihat bahwa ilmu kepandaian Sun Giok Hong sesungguhnya tidak boleh dibuat gegabah, diam-diam ia berniat untuk melukainya dengan mempergunakan badik beracun. Maka setelah mengambil keputusan yang pasti, lekas-lekas ia membalikkan badannya melompat keluar dari kalangan pertempuran sambil berseru dan membarengi dengan menyambit Sun Giok Hong yang mengejar dirinya sambil membentak, "Jangan lari!". Tapi -begitu melihat sebilah badik menyamber ke jurusannya. Giok Hong segera menyampok barang tajam itu dengan Golok Naga Kembar hingga badik itu putus menjadi dua potong dan terpental entah ke mana jatuhnya..

Si begal jadi terkejut dan segera mengulangi sambitannya itu. Badik yang kedua itupun tidak berhasil mencapai sasarannya karena Giok Hong yang bermata jeli dan tidak mudah diperdayakan orang, kali inipun telah membuat barang tajam itu kutung dan mencelat entah ke mana melesatnya.

Akhirnya karena melihat kedudukannya sangat berbahaya, si begal muda segera bersiul memberi isyarat kepada anak buahnya. Dilain saat kelihatan melayang puluhan anak panah yang ditembakkan ke arah Ngo-seng-to-ong, yang segera memutar goloknya bagaikan baling-baling cepatnya. Tidak urung ia mengalami juga luka-luka di bahu kiri, kaki dan lengan kanan. Luka-luka itu tidak berbahaya dan perlawanan tidak menjadi kandas oleh karenanya.

Selagi Giok Hong yang dibantu dengan Giok Tien dan para kusir berperang tanding dengan rombongan kepala begal yang mengaku bernama julukan Chit-seng-chio-ong itu, tiba-tiba dari dalam kelenteng Siang-in-koan telah muncul beberapa puluh Too-su yang bersenjatakan pentungan menerjang keluar untuk membantu rombongan Giok Hong menempur kawanan begal itu. Rombongan begal Chit-seng-chio-ong terpaksa kabur dengan menderita luka-luka pulang ke sarang mereka di atas gunung.

Karena pertolongan dan bantuan yang tidak diduga-duga ini, Sun Giok Hong dan kawan-kawannya telah bisa berkenalan dengan kepala kelenteng Siang-in-koan yang bernama Ban Ceng Too-jin, yang telah mempersilahkan mereka masuk untuk beristirahat dan menginap di situ. Berhubung hari telah hampir petang dan tak ada tempat lain untuk menumpang menginap, sudah barang tentu Sun Giok Hong dan kawan-kawannya jadi sangat berterimakasih atas kebaikannya Too-jin tua itu.

"Kawanan begal hutan ini sudah kerap kali membikin ribut di sini" kata Ban Ceng Too-jin dengan gusar, "tapi sampai sebegitu jauh mereka belum pernah kena kuajar adat, berhubung mereka lantas kabur setiap kali Pin-too keluar untuk menghajarnya. Tidak kunyana pada hari ini mereka kena juga kita pukul mundur sehingga lari pontang panting".

Bersamaan dengan itu, Sun Giok Tien pun telah turut juga bertanya, siapa gerangan she dan nama si begal muda yang mengaku bernama julukan Chit-seng- chio-ong itu. Dengan tersenyum getir, si Too-jin tua menjawab, "Chit-seng-chio-ong?. Hm, apakah seorang yang berkepandaian begitu rendah dapat menerima nama julukan yang demikian tingginya?. Dia bukan ahli silat kelas satu, juga bukan seorang ahli tombak, nama julukan itu adalah buatannya sendiri, maka apakah yang perlu disegani orang?. Bisanya hanya menyambit orang dengan mempergunakan badik beracun dengan cara yang licik. Dia sebenarnya berasal dari desa Bu-kee-chung dan bernama Bu Pin Tiauw, oleh sanak saudaranya di sana ia telah diasingkan. Lebih gila lagi, dia mengaku keturunan Bu Siong! (salah satu dari 108 pendekar gunung

Liang-san). Bu Pin Tiauw sebenarnya hanya seorang anak nakal dan sesat yang pandai menggertak. Jelas dapat diketahui dengan nama julukannya yang mentereng, Chit-seng-chio-ong!".

"Kalau begitu, apakah Too-tiang kenal baik padanya?" Giok Tien coba meminta keterangan. "Pin-too berdiam di sini sudah lama sekali" kata si Too-su, "maka sudah barang tentu kenal baik dengan hampir semua orang yang berdiam di daerah pegunungan ini. Rupanya Sie-cu hendak meminta kembali piomu yang telah dirampoknya itu, bukan?".

Giok Tien mengangguk. "Ya" sahutnya.

"Kalau begitu Sie-cu tak usah khawatir" kata Ban Ceng Too-jin. "Pin-too bisa menyuruh orang untuk minta kereta-kereta pio itu segera dikembalikan kepadamu".

Giok Hong mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas kebaikan Too-su tua itu tapi menolak dengan halus tawaran bantuan yang hendak meminta kereta-kereta pionya dikembalikan dari tangan si begal muda Chit-seng-chio-ong itu. Sebagai seorang pio-su dan pengusaha pio-kok, ia merasa sangat amat terhina oleh pihak si begal, dan para langganannya tentu akan merasa sangat kecewa jika dia tak dapat mengambil pulang pio yang dirampas orang dengan tangannya sendiri.

Ban Ceng Too-jin pun menyatakan kekagumnya atas kekerasan hati Giok Hong dan adik sepupunya dan Too-su tua itu berjanji akan memberikan bantuan-bantuannya dari "garis belakang" saja.

Duapuluh hari kemudian, setelah luka-luka Giok Hong sembuh betul, Bu Pin Tiauw telah datang pula memaki-maki Sun Giok Hong di muka kelenteng. Mendengar makian tersebut, si pemuda she Sun segera menukar pakaian yang ringkas dan keluar dengan membawa golok Siang-liong-tauw-cu-to dan kantong piauw dengan diiringi oleh Sun Giok Tien. Begitu melihat si begal muda Chit-seng-chio-ong hanya diiringi oleh 6 atau 7 orang anak buahnya saja, maka diam-diam ia membisikkan beberapa patah kata di telinga adik sespupunya. Sun Giok Tien berlalu sambil menjawab dengan mantap, "Aku paham akan petunjuk Chit-ko itu". Giok ong sendiri lalu menuju ke luar kelenteng dengan sikap yang tenang.

Begitu melihat Sun Giok Hong muncul, si kepala berandal itu sambil tersenyum mengejek sambil berkata, "Bocah she Sun, setelah engkau menjadi pecundangku masih saja engkau enak-enakan berdiam di daerah orang lain. Apakah barangkali engkau sudah bosan hidup?".

Si pemuda she Sun tidak banyak bicara lagi dan segera maju menerjang dengan Golok Naga Kembar hingga kepala berandal itu lekas-lekas melompat mundur sambil memainkan tombak Hong-eng-chio di tangannya.

Karena dia memang bukan tandingan Sun Giok Hong yang setimpal, maka setelah pertempuran baru berlangsung beberapa jurus, ia tampak sudah hampir tak berdaya dan lekas-lekas kabur sambil mencabut badik beracun dari pinggangnya. Segera disambitkannya badik itu ke arah ulu hati si pemuda she Sun dengan sekuat-kuat tenaganya. "Mampus kau!" serunya.

Sun Giok Hong kini telah mengetahui sampai dimana kelicikan Bu Pin Tiauw. Begitu melihat barang tajam itu menyambar ke jurusannya, dengan sebat Giok Hong telah memiringkan tubuhnya sambil menangkap badik itu dengan tangannya. "Ah-ha!.

Bagus sekali kepandaian menyambitmu ini!" sindirnya sambil tertawa mengakak.

Bu Pin Tiauw jadi merah wajahnya karena jengah dan mendongkol. "Sialan kau!" gerutunya sambil membalikkan badannya dan menusukkan

tombaknya ke arah dada Sun Giok Hong.

"Ha, masih juga engkau berani banyak tingkah di hadapan Ngo-seng-to-ong!. Nih, kau boleh rasakan!". Berbareng dengan bentakan itu, si pemuda she Sun lalu menyabetkan goloknya dengan tidak segan-segan lagi ke arah tombak lawannya itu. Dilain saat terdengar suara "Crasss!!", yang telah membuat tombak Bu Pin Tiauw patah menjadi dua potong!. Hal mana, sudah barang tentu telah membuat si orang she Bu kaget bukan kepalang dan segera kabur ke atas gunung. Anak buahnya yang bersembunyi di belakang semak-semak lalu menghujani anak panak ke arah Sun Giok Hong.

Giok Hong yang sudah terlebih dahulu bersiap-siap, segera memutar goloknya untuk melindungi dirinya. Tidak satupun anak panah musuh yang mampu mendekati dirinya. Selagi anak panah itu masih menyamber serabutan, tiba-tiba dari semak- semak di belakang kawanan liauw-lo itu terdengar suara bentakan yang nyaring "Kawanan tikus hutan!. Aku Sun Giok Tien ada di sini!". Para liauw Lo yang mendengar begitu, karuan saja jadi sangat terkejut dan segera lari pontang-panting. Mereka tidak menyangka bahwa kedatangan Sun Giok Tien itu hanya diiringi oleh beberapa orang kusir saja.

Giok Tien dan para kusir telah memberikan pukulan yang tidak kepalang tanggung terhadap kawanan perampok yang berjumlah puluhan orang itu.

Giok Hong sendiri lantas mengejar Bu Pin Tiauw ke atas gunung sambil berseru, "Meski engkau terbang ke langit atau menyusup ke dalam tanah, tidak urung akan kususul dan kubekuk dirimu untuk membereskan persoalan kereta-kereta pioku yang telah kau rampas dengan cara yang licik itu!".

Dengan mempercepat larinya Giok Hong berusaha menyusul Bu Pin Tiauw yang lari pontang panting bagaikan tikus dikejar kucing. Ke arah mana saja yang dituju oleh si kepala berandal itu, Giok Hong selalu mengikuti dengan tidak kurang bernapsunya.

Sesudah itu, muncul Giok Tien dan para kusir yang menyusul belakangan, setelah mereka berhasil membubarkan pengepungan para liauw-lo si Chit-seng-chio-ong.

Sementara itu, Bu Pin Tiauw yang dikejar-kejar, dengan secara nekad telah menerjang semak-semak berduri untuk memperpendek buronannya menuju ke sebuah desa di lembah gunung. Karena dia asal penduduk situ yang kenal baik jalan- jalan, maka ia telah sampai terlebih dahulu di muka pintu gerbang desa, yang kemudian ditutup dengan tergesa-gesa.

Pada waktu Giok Hong dan Giok Tien serta para kusirnya tiba di muka pintu gerbang desa, tiba-tiba dari atas loteng pintu gerbang telah dilontarkan batu-batu dan ditembaki dengan anak panah yang turun bagaikan hujan lebat ke arah mereka. Giok Hong dan kawan-kawan terpaksa mundur untuk menghindarkan diri dari bahaya maut.

Desa ini ternyata bukan lain daripada desa Bu-kee-chung, dimana hampir seluruh penduduknya terdiri daripada keluarga she Bu yang turun termurun telah hidup disitu sebagai petani-petani dan pemburu. Bu Pin Tiauw sendiri berasal dari desa ini, tapi ia tak dapat hidup rukun dengan sanak saudaranya, disebabkan dia sangat nakal dan jahat perbuatannya hingga dia tidak diperbolehkan masuk ke desa tersebut.

Pada hari itu karena terdesak dan tak ada jalan untuk dapat meloloskan diri dari tangan Sun Giok Hong, Bu Pin Tiauw terpaksa menerobos masuk ke desa Bu-kee- chung. Para penduduk di situ yang mengira ada kawanan perampok menyerbu dengan secara tiba-tiba ke adalam desa mereka, segera beramai-ramai keluar untuk menyambut kedatangan musuh dengan batu dan anak panah.

Dalam pada itu, Sun Giok Hong jadi berpikir dalam hatinya. Menurut kata Ban Ceng Too-jin, si bangsat she Bu ini diasingkan oleh sanak saudaranya, tapi mengapakah sekarang mereka telah bantu melindunginya?.

Tatkala sudah berpikir sekian lamanya dan belum juga dapat pemecahan. Giok Hong lalu mengajak kawan-kawannya untuk kembali ke kelenteng Siang-in-koan untuk menanyakan persoalan kepada Ban Ceng Too-jin. Sementara si Too-jin yang mendengar keterangan demikian, berpendapat tentu ada udang di balik batu. Ia lantas berjanji kepada si pemuda untuk" menyuruh orang pergi ke sana dan coba menyelidiki duduk perkara yang sebenarnya.

"Jika Bu Pin Tiauw mengetahui maksud Too-tiang mengirim orang ke sana, apakah dia takkan membunuh orang suruhanmu itu untuk menutup rapat rahasia kebusukannya?" kata Sun Giok Hong yang merasa ragu-ragu atas saran Too-su tua itu.

"Sie-cu tak usah khawatir" kata Ban Ceng Too-jin sambil tertawa. "Pin-too di sini mempunyai seorang penjaga kelenteng yang bernama Yo Kak Too-jin, ilmu silatnya lihay dan sanggup meladeni beberapa puluh orang sekaligus. Bu Pin Tiauw kenal baik kelihayan penjaga kelenteng itu, hingga ia segan berhadapan dengannya, apalagi untuk turun tangan dan mencelakainya. Mana dia mampu dan mempunyai nyali sampai begitu besar?".

Setelah mendengar demikian, barulah Giok Hong jadi berlega hati dan percaya keterangan Ban Ceng Too-jin itu.

Pada petang hari itu juga, Yo Kak Too-jin telah diutus ke desa Bu-kee-chung oleh Ban Ceng Too-jin untuk mengundang sanak saudara Bu Pin Tiauw.

Tatkala sanak saudara Bu Pin Tiauw dan Yo Kak Too-jin telah datang ke kelenteng Siang-in-koan, Ban Ceng Too-jin lalu menerangkan maksud undangannya, kemudian memperkenalkan mereka kepada Sun Giok Hong dan kawan-kawan.

Sanak saudara Bu Pin Tiauw tatkala mendengar keterangan tentang kereta-kereta pio Hin Liong Pio Kiok yang dilindungi oleh Wan Teng Kok, telah dirampok oleh Bu Pin Tiauw serta membunuh po-sunya. Sudah tentu saja mereka jadi terkejut dan berkata, "Oh, kalau demikian halnya, ternyata kita telah salah paham dan menyangka bahwa rombongan Sun Kiok-cu adalah kawanan perampok yang menyerbu masuk ke dalam desa kami. Harap Sun Kiok-cu sekalian sudi memaafkan atas kealpaan kami itu".

Ketika itu, karena hari sudah larut malam, Ban Ceng Too-jin telah menahan mereka menginap di dalam kelenteng. Pada esok harinya, para saudara she Bu itu telah mengajak Sun Giok Hong dan kawan-kawan berkunjung ke Bu-kee-chung, untuk kemudian mengembalikan kereta-kereta pio Hin Liong Pio Kiok yang dirampok dan disembunyikan oleh Bu Pin Tiauw di atas gunung.

Sesudah mengucap terima kasih kepada sekalian keluarga Bu dan Ban Ceng Too- jin, Yo Kak Too-jin dan para Too-su di kelenteng Siang-in-koan, Sun Giok Hong dan kawan-kawan segera turun gunung untuk mengantarkan   kereta-kereta pio   itu ke kota Cee-lam.

Sesampainya di kota Giok-san-tien yang terletak di arah selatan dari pegunungan Ngo-liong-san, haripun telah menjelang senja kala. Maka terpaksa Sun Giok Hong dan kawan-kawan bermalam di sebuah rumah penginapan untuk kemudian berangkat ke kota Cee-lam keesokan harinya.

Tapi sungguh tidak dinyana, ketika semua orang sedang tidur dengan nyenyaknya, tiba-tiba di luar rumah penginapan telah terdengar suara ribut-ribut, hingga Sun Giok Hong jadi terbangun dan lekas-lekas membangunkan Giok Tien dan kusir untuk bersiap sedia. Dari teriakan orang-orang yang berlarian kian kemari, mereka mendengar teriakan-teriakan, "Kawanan perampok datang menyerbu!. Perampok datang menyerbu!".

Ketika Giok Hong berlompatan keluar dengan membawa Golok Naga Kembar, di luar rumah penginapan tampak sinar api obor yang terang benderang. Beberapa liauw-lo kelihatan mengurung tempat itu sambil berteriak-teriak mengancam penghuni penginapan, yang jadi sangat ketakutan. Seorang bertubuh tinggi besar dengan berewok yang tebal, berdiri di muka pintu dengan bersenjatakan sebilah golok Kwan-to di tangannya dan berseru, "Mana itu bocah she Sun yang mengumpat di sini?. Ayoh, lekas-lekas keluar untuk menerima ajalnya!". Setelah berkata demikian, matanya yang seolah-olah berapi-api itu disapukan ke arah ruangan dalam penginapan.

Di belakang orang tinggi besar itu ada pula seorang muda yang bersenjata sebatang tombak Hong-eng-chio. Sun Giok Hong yang melihat dan mengenalinya segera jadi sangat mendongkol, karena orang itu bukan lain daripada Bun Pin Tiauw, yang telah kabur dari Bu-kee-chung bersama sisa liauw-lonya sewaktu menderita kekalahan dari kepungan Sun Giok Tien dan para kusirnya.

Semula Giok Hong menyangka bahwa kawanan berandal itu dikepalai oleh Hui- thian-eng Ma Tay Piauw atau Ko-san-houw Ce Kiu Kong, ternyata kepala penjahat itu ia tidak kenal sama sekali. Bu Pin Tiauw, yang pernah menjadi pecundangnya, kini rupanya telah menghasut kepala berandal itu untuk merampas pula kereta-kereta yang dilindunginya itu.

Begitu melihat Giok Hong tampil ke muka dengan diiringi oleh adik sepupunya, kepada berandal yang berjenggot tebal dan berusia kira-kira tigapuluhan itu segera maju sambil membusungkan dadanya dan berkata, "Sudah lama aku ingin minta pengajaran dari Sun Giok Hong, apakah engkau ini benar-benar orang yang kumaksudkan itu?".

"Aku yang rendah ini memang bernama Sun Giok Hong" sahut si pemuda sambil memberi hormat sebagaimana layaknya. "Mohon tanya she dan nama saudara".

"Aku bernama Cia Ah Han" kata kepala berandal itu, "oleh karena aku mahir mempergunakan golok Kwan-to, maka orang orang di kalangan Kang-ouw memberikan aku nama julukan Toa-to Han atau Han si Golok Besar. Setiap kali engkau mengantar pio, engkau selalu mampir ke tempat kediaman Hui-thian-eng (si garuda terbang) dan Ko san-houw (si harimau yang melewati gunung), tapi sama sekali tidak mau bersahabat denganku. Apakah itu bukan berarti bahwa engkau memandang rendah kepadaku?. Hari ini hendak kujajal sampai dimana kelihayanmu".

Kemudian dengan gerakan secepat kilat, ia ayunkan goloknya untuk menabas batok kepala Giok Hong, hingga si pemuda lekas berkelit untuk menghindarkan bacokan tersebut. Bersamaan dengan itu, Giok Hong pun tidak tinggal diam untuk tidak balas menyerang sang lawan dengan secara tunai. Giok Hong juga bermaksud untuk menunjukkan "giginya" terhadap lawan ini, yang telah berani menantangnya. Dengan tidak segan-segan lagi, iapun telah putar goloknya bagaikan baling-baling cepatnya, hingga disuatu saat Cia Ah Han terdengar menjerit ngeri, "Ah!", ketika goloknya ditabas putus menjadi dua potong oleh Golok Naga Kembar.

Sementara Bu Pin Tiauw yang khawatir si jenggot kena dilukai, lekas-lekas maju menerjang dan menusukkan ujung tombaknya ke arah ulu hati Giok Hong sambil membentak, "Aku datang!".

Si pemuda she Sun tersenyum dingin sambil berkata, "Bagus sekali!. Kitapun masih punya perhitungan lama yang belum dibereskan!".

Setelah berkata demikian, dengan sebat ia miringkan sedikit badannya, kemudian membarengi membacok pada tombak itu dan kakinya pun menendang sambil membentak, "Enyahlah engkau ke sana!". Bu Pin Tiauw yang tidak menduga akan diserang secara demikian cepat dan ganas, sudah tentu saja jadi gugup dan tak keburu mengegos. Pada pertempuran yang lampau, Giok Hong telah berlaku lunak sekali padanya, maka dengan tombak kutung jadi dua, badannya mencelat berjungkir balik di udara dan jatuh beberapa kaki jauhnya. Bertepatan dengan itu, Giok Hong telah membacok ganas sekali saking gusarnya, sehingga dengan jeritan seram Bu Pin Tiauw rebah di tanah dengan mandi darah dan bahu kanannya telah terpapas hampir putus oleh bacokan golok mustika Giok Hong.

Cia Ah Han yang melihat begitu, lekas-lekas mengambil sebilah golok Toa-ma-to dari tangan anak buahnya. Ia maju menerjang Sun Giok Hong untuk menolong Bu Pin Tiauw yang sudah tidak berkutik lagi.

Tapi Cia Ah Han hanya dapat bertahan tiga jurus saja dari terjangan Giok Hong, selanjutnya lagi-lagi golok Toa-ma-to telah kutung kena tertabas oleh Golok Naga Kembar.

"Aiiii!", katanya dengan putus asa.

Giok Hong segera menghentikan serangannya karena ia merasa jengah juga melihat lawannya tak berdaya menghadapi goloknya sendiri. Ia bertanya sambil membentak, "Apakah engkau masih hendak melanjutkan pertempuran ini?. Atau hendak bertanding dengan tangan kosong?. Aku bersedia untuk meladenimu.

Katakanlah!".

Kali ini Cia Ah Han beru merasa gentar akan kegagahan dan kelihayan si orang she Sun. Dia yang mahir mempergunakan golok Kwan-to, masih sukar mengalahkannya, apalagi jika bertempur dengan tangan kosong, yang memang dia kurang mahir. Cara bagaimanakah dia dapat meladeni Sun Giok Hong?.

Dengan menebalkan muka, Cia Ah Han terpaksa mengangkat kedua tangannya memberi hormat kepada si pemuda she Sun sambil berkata, "Sungguh tidak benar apa kata si orang she Bu, bahwa ilmu kepandaianmu jauh lebih rendah daripadaku. Kenyataannya engkau masih tepat untuk menjadi guruku".

Sun Giok Hong yang tidak bermaksud mendesak terus terhadap seseorang yang sudah mengaku kalah, lantas memasukkan goloknya ke dalam serangka. Giok Hong menghampiri Cia Ah Han dengan sikap yang ramah tamah dan tersenyum lebar sambil berkata, "Cia Lo-hia, ternyata engkau telah memujiku dengan secara berlebih- lebihan dan mohon maaf sebesar-besarnya jika aku telah salah tangan melukaimu".

Sementara Cia Ah Han yang melihat Sun Giok Hong adalah seorang pemuda yang rendah hati dan tidak sombong, iapun jadi merasa girang dan jengah atas perbuatannya yang sekasar tadi. Ia lekas-lekas minta maaf atas kecongkakannya dan segala perbuatannya yang tidak baik tadi.

"Jika tidak berkelahi, kita tidak menjadi sahabat!" Giok Tien menyelak dengan wajah yang berseri-seri.

Demikianlah, semenjak hari itu dan selanjutnya, Giok Hong dan kawan-kawan jadi bersahabat akrab dengan Cia Ah Han, yang berjanji akan selalu membantu melindungi kereta-kereta pio Hin Liong Pio Kiok yang kelak akan melewati daerah jagaannya di situ.

Tatkala kemudian kedua pihak saling berpisah, ternyata Bu Pin Tiauw yang terluka parah telah menghembuskan napasnya yang terakhir. Sun Giok Hong lalu memerintahkan para kusirnya untuk membuat kuburan dan mengubur mayat Bu Pin Tiauw sebagaimana layaknya.

Setelah menaklukkan Cia Ah Han dan membunuh kepala berandal Bu Pin Tiauw, maka nama Sun Giok Hong jadi semakin termashur dan disegani oleh jago-jago silat di kalangan Kang-ouw. Sedangkan para cabang atas di kalangan Liok-lim selalu berpikir dahulu sampai beberapa kali, jika mereka berniat untuk merampok kereta- kereta pio Hin Liong Pio Kiok yang dikepalai oleh Ngo-seng-to-ong Sun Giok Hong.

Dengan begitu, keributan itu pun telah selesailah sampai di situ, semua orang kembali pula ke kamar masing-masing. Cia Ah Han dan anak buahnya kembali ke atas gunung dengan rasa menyesal karena main sembarangan percaya saja hasutan Bu Pin Tiauw yang hendak mengadudomba dia dengan Sun Giok Hong.

Ketika Giok Hong dan rombongannya tiba di Cee-lam dan menyerahkan barang- barang angkutannya ke tempat yang dituju, maka lugas merekapun telah selesai sampai disitu.

0oo0
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar