Eng Djiauw Ong Jilid 15 (Tamat)

 
Jilid 15 (Tamat)

“Loosiansoe,” berkata ia, “Siangkoan Loocianpwee ini ada tetamu dari kami pihak Hoay Yang Pay, walaupun dia sudi membantu kami, akan tetapi sebagai tetamu, bagaimana dia dapat menggantikan kami merebuti mati hidupnya, terhina terhormatnya pihak kami? Maka itu, mari kita berdua saja yang berlatih. Hong pian can dari Loosiansoe sudah menjagoi dalam kalangan Rimba Persilatan aku Ban Lioe Tong tak tahu tenaga Mendiri, ingin aku dengan pedangku ini melayaninya, untuk mohon pelajaran darimu. Loosiansoe, dengan senjatamu itu, tolong kau menaruh belas kasihan terhadapku, nanti aku bersukur tidak habisnya!”

Keras niatnya Coe Hoei Siansoe akan adu jiwa dengan sijail, ia tidak nyana Ban Lioe Tong nyelak diantara mereka terpaksa ia mesti layani orang kenamaan dari Kwie In Po ini, maka lekas2 ia membalas hormat.

“Ban Po coe hendak memberi pelajaran kepadaku dengan Tee sat Cian liong kiam, pinceng sangat berbahagia,” katanya “Pedang Po coe sudah lama kesohor, apabila dengan pedangmu itu Po coe dapat mengalahkan Hong pian can ku, sungguh kau akan bikin aku penasaran sekali, sebab dengan itu berarti, dalam hidupku ini, dijaman ini, habislah jodoku untuk belajar kenal dengan Lie hoen Coe bo kian dari Siangkoan Loosoe!”

Dengan kata2 nya ini, Coe Hoei utarakan penyesalannya bahwa ia tak dapat segera tempur Siangkoan In Tong pada siapa ia benci.

“Loosiansoe terlalu merendahkan diri,” bilang Ban Lioe Tong.

“Aku sendirilah yang justeru kuatir bahwa aku bukannya tandingan loosiansoe. Nah, silahkan!”

Lioe Tong tutup perkataannya sambil majukan kaki kirinya setengah tindak, untuk ditekuk, dan memberi hormat, dengan pedangnya diangkat kedepan dada nya lalu dari tangan kiri, pedang itu digeser ketangan kanan, sedang tangan kirinya, dengan dua jari, dipakai menekan belakang pedang. Dengan begitu, ia memberi hormat sambil terus bersiap.

Coe Hoei Siansoe juga membalas hormat seraya cekal senjatanya, tubuhnya membungkuk sedikit kapan kemudian ia gerakkan senjatanya itu, gelang gelangannya berbunyi nyaring ber ulang2, cahayanya ujung garu berkeredepan. Habis ini ia bertindak, untuk mulai berputaran.

Dengan memutar kekiri, Lioe Tong telad contohnya hweeshio itu.

Kedua pihak bergerak dengan cepat mereka ada merdeka karena kalangan pertempuran ada luas.

Setelah beberapa putaran, mendadakan pendeta dari Siauw Lim Pay hentikan tubuhnya untuk diputar balik, setelah mana, ia lompat kearah pocoe dari Kwie In Po.

Melihat demikian, Ban Lioe Tong turut maju juga.

Coe Hoei bergerak terlebih dahulu, ia mendahului mendekati lawannya tanpa buang tempo lagi, ia mulai dengan serangannya yang pertama kearah dada.

Pedang Tee sat Cian liong kiam dapat memapas kutung pelbagai barang logam, akan tetapi menghadapi Hong pian can yang besar dan berat, Ban Lioe Tong tak berani segera mencobanya, maka ketika serangan datang, ia berkelit kekiri, dari sini ia sodorkan pedangnya diantara batang garu, untuk membabat lengan lawan dengan tipu papasannya “Couw hoe boen lou,” atau “Tukang kayu menanyakan jalan.”

Coe Hoei ada pendeta kenamaan, akhli ilmu silat begitu lekas berkelitnya lawan, segera ia mengarti serangannya tak akan memberi hasil tidak ayal lagi, hanya dengan ujung senjatanya, yang mirip bulan sisir, ia menggaet pedang lawan itu, untuk bikin pedang terlepas dari cekalan. Ban Lioe Tong tarik pedangnya, untuk meloloskan diri dari gaetan, setelah mana ia berbalik mendahulukan, untuk balas menyerang pula, kedada.

Hweeshio dari Siauw Lim Sie itu berkelit kekanan, dengari senjatanya, ia menyampok pedang, menyusul mana, ia meneruskan, akan hajar kepala lawannya itu untuk ini ia gunakan tipu pukulannya “Thay Kong tiauw hie,” atau “Kiang Thay Kong pancing ikan.”

Dengan tak kalah gesitnya, Lioe Tong menyingkir kekanan lawan, akan lagi2 membabat lengan kanan dari sipendeta.

Untuk tolong diri, Coe Hoei bertindak kekanan disini ia terus mendek, untuk dengan senjatanya menyapu musuh dengan gerakannya “Cioe hong sauw lok yap,” atau “Angin musim Rontok meniup daun.” Bisalah dimengerti sapuan ini yang dilakukan sambil mendek.

Lioe Tong apungkan diri, untuk mencelat dengan “It hoo ciong thian” atau “Burung hoo serbu langit” ia menyingkir kearah kanan.

Pendeta Siauw Lim itu lihat sapuannya gagal, tak mau ia berhenti sampai disitu saja cuma ia menyapu, kali ini ia bisa membarengi selagi lawannya baru saja kasi turun kakinya itu. Ia masih tetap mendek, hingga leluasa untuk ia kerahkan tenaganya, hingga bisa dimengerti hebatnya serangan ulangan ini.

Lioe Tong baharu taruh kakinya ketika ia disambar pula, terpaksa ia menceiat lagi, tapi sekarang ia tidak menggeser kaki, melainkan ia memutar tubuh begitu lekas serangan lewat, ia membalas, ia mendesak sambil kirim bacokannya “Pek hoo liang cie” atau “Burung hoo putih membuka sayap.” Sasarannya ada pundak kanan dari sipendeta. Oleh karena ia dibalas diserang, tak dapat Coe Hoei mengulangi sapuannya untuk ke tiga kalinya, malah untuk luputkan diri, ia berlompat mundur, hingga keduanya jadi pisahkan diri satu dari lain. Untuk lindungi diri, supaya ia tak dirangsek, pendeta ini lantas putar hong pian can, hingga karenanya, anginnya menderu sampai mendatangkan hawa dingin dan pasir halus berterbangan.

Lioe Tong juga putar pedangnya, untuk cegah ia dirangsek.

Dalam hal mempergunakan pedang, ia sudah mempunyai latihan kira2 tiga puluh tahun sekarang ia bersenjatakan pedang mustika, ia jadi mendapat tambahan keleluasaan.

Kedua pihak merasa sangsi satu pada lain karena ini, tak mau mereka adu senjata Coe Hoei kuatir gagamannya terbabat kutung, Lioe Tong takut pedangnya rusak. Tapi pendeta itu ada terlebih berani, sebab ia masih percaya ketangguhannya hong pian can yang berat dan kuat. Apa mungkin Cian liong kiam dapat membabatnya?

Diam2 Coe Hoei Siansoe per datakan gerak gerik lawannya ia ingin bisa turun tangan, akan gempur rusak pedang mustika itu ia selalu mencari ketika.

Segera juga kedua pihak merapat pula satu dengan lain untuk mulai saling serang lagi, hingga pertandingan jadi berjalan belasan gebrak, serunya tak berkurang. Kelihatan nyata ketangkasannya kedua lawan ini, yang sama2 gesit.

Tiba2, dengan “Poat hong poan tah,” atau “Angin hebat menyerang sambil berputaran,” Coe Hoei Siansoe sambar paha kanan dari lawannya.

Lioe Tong berkelit seraya memutar tubuh hingga ia berada disebelah kanan musuh itu, dari mana leluasalah untuk ia balas membacok musuhnya itu pada tubuh arah kanan.

Coe Hoei juga berkelit diri sambil memutar tubuh apabila ia sudah berhadapan pula, sambil majukan kaki kanan, ia kembali menyerang. Kali ini ia arah iga kanan.

Serangan ini ada hebat sekali, saking sebatnya. Tapi Lioe Tong masih dapat elakkan diri dengan berlompat mundur sedikit.

Para hadirin terkejut melihat ketua dari Kwie In Po terancam bahaya benar ia dapat tolong diri, tapi pendeta dari Siauw Lim Sie itu teruskan mendesak dia. Pendeta ini agaknya sudah tidak mempunyai perasaan kasihan lagi. Ia maju dengan gelang gelangan senjatanya berkontrang nyaring dan berisik serangannya itu mengamcam bebokong lawannya, selagi lawan itu baharu menurunkan kaki, untuk injak tanah.

Lioe Tong injak tanah dengan kaki kiri terlebih daluhu, baharu saja ia menaruh kaki atau ujung Hong pian can sihwee shio sudah sampai. Ia rupanya telah menduga musuh bakal rangsek padanya, dengan cepat ia berkelit seraya putar tubuh dengan tipunya “Lay liong hoan sin” atau “Naga malas membalik diri,” berbareng dengan mana, pedangnya dipakai menangkis.

“Trang!” demikian satu suara nyaring.

Menyusul itu, lelatu api muncrat berhamburan. Sebab pedang dan garu telah bentrok dengan keras. Untung buat sipendeta, dia berlaku cerdik ia sempat putar senjatanya hingga senjata itu cuma kena terserempet.

Kedua pihak lantas loncat mundur masing2, diam2 mereka periksa senjata mereka, untuk lihat apa ada yang rusak atau tidak. Keduanya berhati lega, karena mana, kembali mereka bisa maju untuk saling serang pula.

Selagi pertempuran ada seru, mendadakan ada terbang datang seekor burung dara, yang melesat kebelakang Ceng Giap San chung menyusul kedatangan burung mana, yang ada pembawa warta, dari arah barat selatan San chung itu terdengar dua kali suitan.

Mendengar suitan itu, tidak cuma pihak Hong Bwee Pang yang terkejut, juga dua2 Hoay Yang Pay dan See Gak Pay menjadi heran. Itu ada tanda bahaya dari pos2 penjagaan Cap ji Lian hoan ouw. Kedua pihak tetamu kenali tanda itu, sebab mereka pernah mendengarnya ketika itu malam terbit pengkhianatan.

Apa mungkin ada datang serangan gelap? demikian pihak tetamu menduga2, lantaran waktu itu bukannya waktu malam sedang Cap jie Lian hoan ouw terjaga rapat dan kuat umpama tong besi, apalagi waktu masih siang. Siapa lagi yang datang kecuali pihak Hoay Yang Pay dan See Gak Pay?

Sudah Boe Wie Yang dan sekalian hiocoenya terperanjat, Coe Hoei yang sedang bertempur, tidak terkecuali, hingga dengan sendirinya gerakannya jadi terlebih ayal.

Juga perhatiannya Ban Lioe Tong tertarik oleh datangnya sang burung dara berikut dua kali suitan itu, karena itu, pemusatan pikirannya menjadi kurang bulat seperti tadinya.

Coe Hoei Siansoe sementara itu masih bulat tekadnya untuk lekas mengakhiri pertempuran dengan kemenangan dipihaknya ia lantas bersilat dengan tipu silatnya Lian hoan Kioe kiong can, yang merupakan serangan berantai. Dengan pesat senja tanya ditusukkan kearah perutnya musuh.

Dengan “To cay swie lioe atau “Merubuhkan pohon yang lioe rebah,” Lioe Tong membabat dari atas kebawah seraya diteruskan kesamping kanan, buat cari ujung kepalanya senjata lawan.

Coe Hoei geser kakinya yang kiri, berbareng dengan mana, dibantu oleh tangan kirinya, ia tarik pulang senjatanya, untuk diteruskan kearah kanan dengan kaki kanannya turut pindah kekanan juga secara begini ia lantas bisa balas menyerang lagi, menyerang tenggorokan.

Lioe Tong tidak berhasil dengan babatannya, ia egos tubuhnya kekiri sambil berbuat begitu, ia menabas keujung hong pian can, sebab seperti lawannya, ia balas setiap serangan.

Pendeta Siauw Lim kelit senjatanya setelah menarik pulang, ia kembali menusuk, ke arah iga kanan. Ini ada susulan untuk serangannya yang berantai itu, tak mau ia berlaku lambat.

Lioe Tong mundur, kaki kirinya diangkat, tangannya menyambar gegamannya si hweeshio dengan begitu ia hindarkan ancaman bahaya sambil balas menyerang juga. Sebenarnya ia berniat babat kutung jari2 tangannya sipendeta, tetapi maksudnya ini tidak kesampaian, hingga dengan demikian, keduanya lantas saling serang terlebih jauh dengan tetap serunya.

Setelah dua kali bentrokan senjata, hatinya Coe Hoei jadi mantap ia mendesak tak hentinya, ia berani hajar langsung pedang lawannya. Begitulah satu kali, selagi ditikam, ia bukannya menangkis hanya keprak Tee sat Cian iiong kiam. Ban Lioe Tong mengarti, apabila ia kena dikeprak, bisa2 pedangnya terlepas dari cekalan dan terlempar, maka itu siang2 ia sudah bersiaga. Akan tetapi datangnya hong pian can luar biasa cepatnya, untuk menarik pulang pedangnya, ketikanya sudah tidak ada. Tidak ada jalan lain daripada segera turunkan pedangnya, sebegitu lekas kedua senjata bentrok keras ia bikin pedangnya tergetar, tetapi ujung pedangnya pun balas menyambar!

Bentrokan kedua senjata menyebabkan muncratnya lagi lelatu api menyusul itu kedua jago lompat mundur masing2, untuk periksa senjata mereka. Sebelumnya memeriksa, hatinya Lioe Tong sudah lega. Dari suaranya bentrokan saja sudah ternyata, bahwa pedangnya masih, utuh jikalau tidak, suaranya pasti sember.

Coe Hoei tidak perlihatkan perubahan wajah mukanya, akan tetapi ujung garunya telah kena terpapas, hingga ada gigi garu yang putus. Untung untuk ia, ujung hong pian can tidak terpapas kutung. Ia masih tidak mau mengaku kalah dengan roman tenang, sembari memberi hormat, ia kata “Ban Po coe, ilmu pedangmu benar2 liehay, dan pedangmu sendiri sungguh tajam luar biasa, akan tetapi kau masih belum keluarkan semua ilmumu Sha cap lak lou Thian kong kiam, yang baharu diperlihatkan separuh saja, dari itu pinceng ingin minta pengajaran terlebih jauh. Pin ceng harap sukalah pocoe memenuhi keinginanku ini”.

Mendengar perkataan orang itu, Lioe Tong segera mengarti, bahwa pendeta itu tidak puas, tetapi iapun mengarti, tak kepuasan itu pasti disebabkan karena ia menggunakan pedang mustika, bukan pedang biasa. Karena ini, ia jadi pikir untuk menukar pedang.

Sebelum ketua dari Kwie In Po sempat jawab pendeta itu, Siangkoan In Tong sudah bertindak menghampirkan mereka. “Loosiansoe, dengan sikapmu ini, bagaikan sikap Sang Buddha, kau terlalu merendahkan diri,” berkata Siangkoan In Tong. “Ban Po coe tidak ingin turut kau pergi ke Taman Firdaus, kau sebagai murid Buddha apabila kau bisa, sudah seharusnya kau membiarkannya, maka kenapa kau agaknya hendak memaksanya? Kenapa kau berkehendak, tak boleh tidak terbinasa atau hidup bersama dengannya? Aku Siangkoan In Tong, aku justeru mempunyai semacam penyakit maka baiklah maksud hatimu yang baik berniat membebaskan dia, kau limpahkan saja kepadaku, supaya akulah yang diseberang dibebaskan. Aku rela untuk menjadi setan yang menggantikan Ban Po coe terbinasa! Apakah adanya keliehayan dari hong pian canmu ini? Silahkan kau keluarkannya semua, aku suka sekali terima beberapa jurus daripadanya!”

“Omie too hoed!” pendeta itu memuji, lalu dengan roman bengis, ia pandang In Tong, akan teruskan kata “Siangkoan Sie coe, dengan kedatanganmu ke Ceng Giap San chung ini, kau benar2 berniat mengacau! Maka itu, walau pinceng ada murid San Buddha, tak dapat pinceng bersabar pula! Apabila pinceng dapat bikin kau lolos dari ujung hong pian canku ini, aku akan piara rambut pula akan kembali menjadi orang biasa!” Dalam murkanya itu, Coe Hoei Siansoe sudah mengucap lebih. Dalam kalangan pendeta, orang tak diizinkan kembali kepada orang biasa barang siapa satu kali telah menjadi hweeshio, tidak perduli berapa besar kedosaannya tadinya, kedosaannya itu dianggap sudah dibikin habis. Barang siapa berdosa dan menjadi hweeshio, itu dianggapnya ia sudah insaf dan bertobat. Maka juga, walau undang2 negara ada keras, negara tak menyediakan golok untuk menghukum mati pada pendeta. Kalau toh satu pendeta berbuat kedosaan besar, untuk dihukum, dia dimestikan pelihara kembali rambut seperti sediakala, habis mana, baharu ia jalankan hukumannya. Sekarang Coe Hoei sudah lupa akan dirinya ia telah ucapkan perkataannya itu. Inipun menandakan ia sudah siap untuk mati bersama!

Siangkoan In Tong sambut kata2 itu dengan tertawa bergelak gelak.

“Loosiansoe, kau telah mengatakan hebat sekali”, berkata dia.

“Apakah benar aku ada itu harga untuk membuat kau begini murka! Ia lantas menoleh pada Ban Lioe Tong, untuk menambahkan “Ban Loosoe, kau telah dengar maka aku si setan pengganti mati, tak dapat aku lolos lagi dan takdirku! Loosoe, silahkan kau mundur, disini tidak ada urusan kau lagi!”

Dan tanpa tunggu jawaban dari ketua Kwie In Po, ia ketruki hoencweenya kepada sepatunya ia lantas masukkan mulut hoen cwee kedalam mulutnya, akan tiup keluar semua sisa asapnya.

“Bagaimana, Loosiansoe”, kemudian ia kata pada sipendeta, “aku siorang melarat sudah bersedia untuk menemani kau!”

Masih Coe Hoei gusar, hingga ia berseru.

“Siangkoan In Tong, baik kau kurangi goyang lidahmu yang tajam terhadapku! Orang beribadat tidak biasanya adu mulut! Baik, pinceng bersedia akan belajar kenal dengan gelang Lie hoen Coe bo kianmu! Lekas kau keluarkan senjatamu, pinceng nanti layani kau beberapa jurus !”

Masih saja Wa Po Eng tertawa haha hihi.

“Aku Siangkoan In Tong mempunyai semacam penyakit”, kata ia dengan sabar. “Yalah aku paling takut jikalau ada orang rampas rumah tanggaku! Dan barang dalam lemariku, apabila aku sudah inginkan, baharu aku kasi keluar! Tetapi kau, Loosiansoe, sikapmu memaksa membeli dan memaksa menjual, kau menyebabkan aku curiga. Dua rupa senjata ku itu, apabila aku keluarkan, akan sia2 belaka, apapula dalam urusanku sendiri, aku sendirilah yang menjadi majikan! Loosiansoe, mengapa kau tak dapat imbangi lain orang? Sukur aku sudah tidak memikir pula untuk hidup lebih lama lagi, apa juga kau hendak berbuat, aku bersedia untuk menerimanya. Benar2 tak takut aku nanti ditertawai kau terus terang aku bilang, pagi atau sore aku bakal terbinasa ditanganmu tiap saat berbeda, dalam satu jam aku hidup, dalam satu jam aku bisa mati, melainkan menurut hitung hitunganku sendiri sekarang ini masih belum sampai waktunya. Apakah kau tidak lihat itu, loosiansoe?” Dan ia segera tonjolkan hoencweenya dan tambahkan “Adalah dengan benda ini aku nanti layani hong pian canmu yang menjagoi untuk Siauw Lim Pay dengan ini kita nanti main2 beberapa jurus! Aku harap janganlah kau tidak pandang mata kepada bendaku ini jikalau nanti kita berdua sudah geraki tangan, mungkin aku yang bakal terima takdirku, mungkin kau yang akan makan sumpahmu, entahlah, untuk itu tidak   ada tanggungannya! ”

Meluap luap kemendongkolan nya Coei Hoei Siansoe, sampai tak dapat ia menahan sabar lagi, hingga segera ia angkat senjatanya.

“Siangkoan In Tong, kau terlalu tak memandang mata kepada pinceng!” ia berseru. “Kau tidak hendak keluarkan gelangmu nyata sekali kau terlalu jumawa! Dengan senjataku ini aku bersedia akan layani kau dua tiga jurus!”

Ketegangan telah sampai dipuncaknya, tetapi justeru itu dengan tiba2 dari arah belakang mereka terdengar suara keras “Loosiansoe, tolong kau bersabar sebentar! Aku ingin bicara dahulu dengan Siangkoan In Tong!”

Kapan hweeshio dari Siauw Lim Sie itu berpaling, ia lihat ketua Hong Bwee Pang, Thian lam It Souw Boe Wie Yang, mendatangi dengan air muka merah padam bahna gusar. Ia lantas hadapi tuan rumah itu, untuk kata padanya “Boe Pang coe, hari ini pinceng hendak berlaku sedikit tak kenal persahabatan. Pendek, apabila aku tidak dapat memutuskan hidup atau mati dengan Siangkoan In Tong, pasti tidak puaslah hatiku! Maka itu mohon aku agar Pang coe jangan campur urusan kami berdua ini!”

“Loosiansoe, harap kau bersabar dulu,” berkata Boe Wie Yang dengan sahutannya. “Dengan Siangkoan Loosoe ini, Boe Wie Yang hendak bicara beberapa patah kata saja. Barang siapa yang memasuki Cap jie Lian hoan ouw, aku pandang dia sebagai tetamu tidak berani aku sedikit jua memandang enteng kepadanya akan tetapi sekarang ini, Siangkoan Loosoe terlalu menghina padaku. Maka aku mohon Loo siansoe suka menahan sabar sebentar saja.” Lantas tanpa tunggu jawaban, ketua Hong Bwee Pang ini berpaling kepada In Tong, akan kata padanya “Siang koan Loosoe, walaupun aku Boe Wie Yang ada satu boe beng siauw coet tetapi sejak aku kepalai Hong Bwee Pang, bisa aku membataskan diri, menyayangi diriku, dan terhadap rekan kaum kang ouw dan sahabat2 dalam Rimba Persilatan, selamanya aku hargai mereka semua. Begitulah dalam pertemuan di Ceng Giap San chung ini, terhadap semua tetamuku, aku merasa Boe Wie Yang tidak pernah lakukan suatu apa yang keliru. Maka juga Siangkoan Loosoe, kau telah datang ke Ceng Giap San chung aku hargai sangat padamu yang telah kenamaan dalam dunia Rimba Persilatan. Bukankah kau telah hargai aku dan karenanya, dengan kedatanganmu ini, kau membuat terang mukanya Boe Wie Yang? Bukankah disini tidak ada seorang juga yang tidak hormati kau? Akan tetapi Siangkoan Loosoe, kau telah ber ulang2 menghina kami, aku anggap sikapmu keterlaluan! Loosiansoe Coe Hoei ini, dengan kedudukannya, dengan nama besar nya, apabila dia berlatih silat denganmu, aku percaya tidaklah dia membuat kau terhina, tetapi kau telah terlalu agungkan gelang Lie hoen Coe bo kianmu, kau justeru tidak hendak melayaninya dengan senjatamu yang istimewa itu supaya kami orang2 dalam Ceng Giap San chung bisa membuka matanya! Siangkoan Loosoe, kau telah pandang orang kang ouw tak berharga sepeser jua! Kau hendak gunai hoencweemu, untuk melayani hong pian can dari loosiansoe dari Siauw Lim Sie, kau jumawa berlebihan! Boe Wie Yang ada jadi tuan rumah dari Ceng Giap San chung, Loosiansoe adalah tetamuku yang terhormat, karena itu tak dapat aku biarkan kau terlalu jumawa, Siangkoan Loosoe! Kau dengan hoencweemu ini telah menghina orang kang ouw, baik aku Boe Wie Yang nanti yang layani padamu. Loosiansoe, jikalau kau inginkannya sendiri, disini ada semacam senjata, maukah kau menyambutnya dengan tiga gebrakan?”

Sembari mengucap demikian, ketua Hong Bwee Pang itu menyingkap bajunya dibetulan pinggangnya, untuk tarik keluar senjata yang ia sebutkan itu dengan mana ia ingin ajar adat Siangkoan In Tong yang tingkah polanya sangat menyebalkan dia.

Begitu lekas senjatanya Boe Wie Yang ditarik keluar, terlihatlah satu cahaya berkilauan bagaikan emas kuning. Senjata itu panjang kira lima kaki dan besamya seperti biji buah toh, ujungnya yang satu berkepala naga2an, ujung yang lain adalah ekornya makhluk luar biasa itu. Itulah joan pian, atau cambuk lemas, yang terbuat dari emas semua berikut sisik sisiknya naga.

Sambil cekal ekor cambuk naga2an itu, Boe Wie Yang kata pula “Siangkoan Loosoe, Boe Wie Yang ingin terima pelajaran dari kau dengan menggunakan senjatanya ini yang tak berharga!”

“Nyatalah dayaku tidak gagal”, Siangkoan In Tong masih tertawa. “Aku lempar batu bata untuk pancing batu kumala benar2 Kim liong pian Pangcoe telah terpancing keluar, maka itu, sungguh tidaklah tipis peruntunganku simelarat, disaat mendekati hari penutup jodoku aku bisa membuka mataku! Lihatlah hong pian can dari loo siansoe dari Siauw Lim Sie itu melulu ada senjata yang rada berat, melihat mana, orang bisa terperanjat saking besarnya, tetapi keistimewaan lainnya tidak ada. Itulah senjata yang biasa dibawa hweeshio yang keluar memungut derma, untuk dijadikan sebagai bendera pertandaan, jadi tidak ada keanehannya. Tidak demikian dengan senjatanya Boe Pang coe ini. Jangan kata aku, Siangkoan In Tong, yang matanya belum terbuka, mungkin diantara para hadirin disini, tidak ada satu jua yang pernah melihatnya. Boe Pang coe, bukannya Siangkoan In Tong minyaki matanya, yang gampang diperintah2, akan tetapi mengingat kau ada ketua Hong Bwee Pang dan orang kang ouw yang kenamaan, dengan perlihatkan cambuk emasmu ini, kau bikin keangkaranmu menjadi bertambah didelapan penjuru semesta. Boe Pang coe, biarlah aku simelarat sediakan jiwanya untuk, menemani satu koen coe, sekali ini biar aku peserah jiwa kepada takdir! Silahkan Boe Pang coe keluarkan kepandaianmu, aku simelarat akan buka mataku, biarlah aku mati pada tempatku ”

Sembari mengatakan demikian, Siangkoan In Tong loloskan kantong tembakaunya, untuk diselipkan dipinggangnya, lalu ia angkat hoencweenya kedepan dada. Iapun lantas tambahkan “Boe Pang coe, jangan kau sungkan, silahkan keluarkan antero kepandaianmu!”

Boe Wie Yang menyahuti dengan lantas “Baiklah! Untuk berlaku hormat tidak ada lain jalan daripada menurut perintah! Siangkoan Loosoe, biar nanti kau rasai tangannya Boe Wie Yang!”

Kata2nya ketua Hong Bwee Pang ini ditutup bareng sama gerakan kedua tangannya. hingga sekejab saja, unjung cambuknya menyamber dari kiri kekanan, dari lemas menjadi kaku dan lempang, setelah mana dia berlompat kedepan In Tong sekali, kaki kirinya didepan, cambuknya menotok kearah dada!

“Bagus!” berseru Siangkoan In Tong selagi ujung cambuk menyambar ia, sedang hoencweenya dipakai menyabat, untuk hajar ujung cambuk. Ia gunai tipu silat “Beng houw hok chung” atau “Harimau galak mendekam dipelatok”.

Boe Wie Yang bergerak sangat gesit, juga Siangkoan In Tong tak kalah gesitnya, maka untuk cegah cambuknya kena dihajar hoencwee, Boe Wie Yang lekas menarik pulang, untuk sambil berputar, cambuk itu diteruskan menghajar kepalanya lawan, untuk mana ia gunakan tipu silat “Kie eng pok touw” atau “Garuda kelaparan menerkam kelinci”.

“Sungguh senjata yang berbahaya!” Siangkoan In Tong berseru pula. Ia segera berkelit kekiri karena tidak sebagai tadi, tak sudi ia membalas menghajar atau menyambuti serangan dahsyat itu. Dengan gerakan “Koay bong hoan sin”, atau “Ular naga siluman membalik tubuh”, dari kiri ia memutar kekanan secara begini ia bisa maju mendesak, ujung hoencweenya menyambar kebahu lawan, untuk ketok jalan darah “kian kah hiat”.

Dua kali Boe Wie Yang telah menyerang secara sia2 dua kali ia lihat gerakan musuh untuk elakkan diri dari serangannya itu, ia lantas mengarti, bahwa lawan itu berkelahi dengan tipu2 silatnya untuk menotok jalan darah, yalan “Sha cap lak louw Ta hiat hoat” yang terdiri dari tiga puluh enam jurus. Karenanya, tak berani dia main ayal ayalan.

Sambil lompat kekiri, ketua Hong Bwee Pang ini kerahkan cambuknya setelah itu, ia menyerang pula, dengan membabat pinggang lawan.

“Aduh! menjerit Siangkoan In Tong. “Ah, celakalah aku si melarat!”

Memang benar, ujung cambuk hendak arah iga kanan, maka untuk luputkan dari, Siangkoan In Tong mencelat tinggi, berlompat dengan ilmunya mengentengi tubuh, hingga bajunya yang panjang, ujungnya memain diantara sambaran angin. Cepat sekali, ia turun pula.

Setelah kembali gagal, Boe Wie Yang tidak tarik pulang cambuknya, hanya setelah memutar tangan, ia teruskan menyerang pula, kali ini dengan menyapu ke bawah. Gerakan kali ini cepatnya luar biasa, sapuannya pun hebat sekali.

Tidak perduli bagaimana dahsyat serangan lawan, Siangkoan In Tong tidak jerih. Dalam hal menggunakan hoencweenya itu sebagai senjata, ia tak kalah liehaynya dengan sepasang gelang Lie hoen Coe bo kiannya sebab hoencwee ini bisa dipakai berbareng seperti alat penotok jalan darah dan pedang pendek. Benar seperti dugaannya Boe Wie Yan ia pandai menotok tiga puluh enam jalan darah, sedang tubuhnyapun gesit sekali. Menghadapi sapuan musuh, Siangkoan In. Tong melejit kekiri sambil berkelit, ia ayun hoencweenya untuk menangkis dengan gerakannya “Kim tiauw tian cie” atau “Garuda emas membuka sayap”, hingga kedua tangannya jadi terpentang. Ia ingin sampok terpental cambuk lawannya itu.

Dalam hal ini, ia berhasil, cumalah cambuk itu tidak sampai terlepas dari cekalan lawannya. Tapi menyusul ini, ia maju dengan kaki kanan, dia menotok jalan darah “in tay hiat” dari lawannya itu.

Ketua Hong Bwee Pang tidak sangka hoencwee musuh ada demikian tangguh, berani dipakai membentur cambuknya tenaganyapun besar, sedang kegesitan lawannya membuat ia kagum. Karena ini, ia jadi waspada sekali.

Untuk menyerang pula. Boe Wie Yang memutar kekanan, cambuknya dicekal dengan kedua tangan, kepala dan ekornya. Dengan memutar tubuhnya itu, ia jadi mundur sekali, ia hajar hoencwee lawannya, selagi sang lawan belum menarik pulang senjatanya itu.

“Bagus! In Tong berseru. Ia maju, sama sekali ia tak jerih irrhadap cambuk naga2an emas itu.

Secara begini, keduanya jadi bertempur seru, sama2 hunjuk kegesitannya, sama2 hunjuk liehaynya, hingga mereka maju dan mundur seperti teratur.

Sekarang Boe Wie Yang insyaf benar, kenapa namanya Wa Po Eng kesohor kiranya dia itu betul2 kosen, hatinya mantap sekali, sedang sambil berkelahi, mulutnya toh masih tak betah diam.... Toh dia mengarti, bahwa cambuk emas ini tidak dapat dipandang enteng. In Tong berkelahi terus dengan gesit tetapi tenang ia agaknya lebih banyak berkelit daripada menangkis, dan setiap ada ketika nya, mulutnya ngoce. Teranglah itu ada kebiasaannya yang tak dapat diubah.

Boe Wie Yang ada sangat mendongkol karenanya, ia diyadi sengit sekali. Ia sangat penasaran karena sampai sebegitu jauh, belum juga ia berhasil dengan cambuknya yang liehay. Maka ia kerahkan tenaga dan perhatiannya ketika ia bersilat dengan “Cap jie louw Ta hoat,” yang mempunyai dua belas jalan, yang terbagi atas tiga bagian atas, tengah dan bawah, yang dapat diulangi dua kali, hingga semua nya menjadi tujuh puluh dua jurus.

Siangkoan In Tong insyaf akan liehaynya musuh, ia melayani dengan tak sudi memberi ketika akan musuh menang diatas angin. Ia tahu, bahwa satu kali ia terdesak, celakalah ia. Ia gunakan kepesatan tubuhnya dengan licik ia kirim beberapa tusukannya kearah jalan darah.

Para penonton dikedua pihak kagum menyaksikan pertempuran dua orang kang ouw kenamaan itu beberapa kali mereka terkejut kapan mereka lihat serangan2 yang membahayakan. Umumnya orang kuatir Siangkoan In Tong tak akan bertahan lama menampak desakan rapat dan hebat dari tuan rumah. Adalah Boe Wie Yang sendiri yang insyaf benar2, bahwa lawannya itu tak dapat dipandang enteng.

Iapun merasa, bahwa ia bakal mendapat malu besar jika ia kena dikalahkan oleh Siangkoan In Tong. Maka dalam sengitnya, ia berkelahi dengan hebat tetapi pun waspada.

Kedua pihak sudah lantas melalui lebih daripada sepuluh jurus, tanpa ada salah satu pihak memberi tanda yang dia hendak menyerah kalah. Boe Wie Yang mendesak, tetapi ia merasa, bahwa ialah yang terdesak, karena sang lawan main berkelit atau berlompatan disekitarnya.

“Boe Pang coe, mari kita sudah saja!” berkata Siangkoan In Tong selagi ia terus melayani.

“Kim liong pan sungguh liehay, suka aku Siangkoan In Tong mengaku kalah… Bagaimana, Boe Pang coe, sukakah kau mengasi hidup jiwanya si melarat ini, supaya bisa dibiarkan soehoe besar dari Siauw Lim Sie yang nanti sambut aku buat membikin aku sampai kepada takdirku?”

Boe Wie Yang sedangnya mendesak ketika ia dengar perkataan lawan itu ia menjadi sengit sekali.

“Tidak usah kau ngoceh tak keruan!” dia membentak. “Biar aku sendiri yang menyeberang membebaskan kepadamu! Kau sambutlah lagi tiga jurus!”

Benar saja, cambuk naga2an emas itu lantas menyapu dengan “Kouw sie poan kin,” atau “Pohon tua bongkar akarnya,” ujung cambuk sampai mengenakan tanah.

Siangkoan In Tong menjejak tanah, untuk loncat tinggi, dengan begitu, cambuk lewat dibawah kakinya.

Habis menyapu itu, Boe Wie Yang tidak meneruskan, sebaliknya, dia mendek sedikit, akan terus berloncat.

“Boe Pang coe, jangan pergi, hendak aku sambut tiga seranganmu!” In Tong berseru, menantang lawannya itu. Ia menyusul.

Thian lam It Souw menyingkir untuk bersiap saja, begitu lekas Siangkoan In Tong menyusul, dia menyambut dengan satu sambaran tangan kanan, mulutnya pun mengucap “Kau sambutlah!”

Ini ada serangan “Giok bong to hoan sin”, atau “Ular naga kumala rubuh jumpalitan”, sebab sambil menyerang, Boe Wie Yang geser kakinya. kesamping, tubuhnya sedikit miring. Arahnya adalah madap keselatan. Kaki kirinya ada didepan, kaki kanan dibelakang. Inilah kuda2 “Kwa houw teng san”, atau “Menunggang harimau mendaki gunung”. Cambuknya pun, tadinya, ada terseret.

Disambut secara begitu, Siangkoan In Tong hunjuk kesebatannya berkelit sambil berlompat pula. Tapi begitu lekas kakinya injak tanah, serangan lain datang menyusul, kali ini ke atas, kekepalanya. Karena cuma dengan membalik tangan, Boe Wie Yang tidak sia2kan kesempatannya. Sekali ini, dia gunakan pukulan pertama dari “In liong sam hian”, atau “Naga dalam mega perlihatkan diri tiga kali”. Serangan ini ada terlebih cepat dari yang pertama.

Siangkoan In Tong mendek sedikit untuk kasi lewat ujung cambuk diatasan kepalanya sembari berkelit, ia menyerang keatas, untuk sampok cambuk lawannya. Ia gunakan tipu pukulannya “Poat in kian jit”, atau, “Membalik mega untuk melihat matahari”.

Boe Wie Yang berlaku cerdik tidak mau ia kasi cambuknya kena disampok, ia menarik pulang senjatanya itu dengan cepat sekali setelah itu, lagi2 ia kirim serangannya terus menerus kali ini dengan “Tok cpa touw sin” atau “Ular berbisa muntahkan racunnya”. Setelah ditarik pulang, ujung cambuk dipakai menyerang kearah perut.

“Bagus!” berseru Wa Po Eng kapan ia lihat serangan itu. Ia tidak menangkis ia hanya egos tubuhnya kekiri kakinya digeser sedikit kedepan. Secara demikian, ia bikin ujung cambuk lewat disamping iga kanannya. Setelah lolos dari bahaya, tanpa ayal sedikit juga ia pindahkan kaki kanannya kebelakang kaki kiri terus ia putar tubuhnya, setelah berbalik, ia majukan pula kaki kanannya kedepan. Adalah selagi memutar tubuh, hoencweenya dipakai menyerang pundak kiri lawannya dibagian jalan darah kian ceng hiat.

Adalah niatnya Siangkoan In Tong, untuk membuat pembalasan, supaya sang lawan ketahui, bahwa ia tak boleh dipandang ringan.

Maka kembali Boe Wie Yang insaf, bahwa ia benar2 menghadapi musuh tangguh.

Diserang secara demikian, pangcoe dari Hong Bwee Pang tahu, apabila ia menjadi sasaran, ia akan celaka. Kecewa ia menjadi seorang kenamaan apabila ia tidak menginsafi arti atau bahayanya ancaman ini. Itulah jalan darahnya yang musuh cari. Maka ia segera mendek, untuk berkelit sambil kakinyapun digeser kesamping.

Selagi berkelit, Boe Wie Yang sudah pikir untuk balas menyerang dengan tidak kurang hebat nya, untuk itu ia hendak gunakan tipu pukulan “Ouw liong kian bwee”, atau “Naga hitam menekuk ekor”. Kaki kirinya pun hendak dipindahkan kekiri untuk persiapan. Tapi belum sempat ia gunakan cambuknya, atau lawannya sudah berseru “Masih ada satu!” Ia diserang bekokongnya, dijalan darah “ji khie hiat” selagi ia memutar tubuh. Dan serangan lawan adalah “Kim kee tauw leng” atau “Ayam emas membiak bulu”.

Boe Wie Yang bertubuh enteng, Siangkoan In Tong gesit gerakannya, maka keduanya ada satu tandingan yang setimpal, tapi melayani musuh ini, ketua Hong Bwee Pang sebal hatinya, karena sang lawan saban2 membuka mulut ngoceh tidak keruan, sedang serangan balasannya yang dibarengi, liehay sekali. Demikian kali ini, Siangkoan In Tong susuli serangannya yang ke dua sambil berseru, seruan yang terang ada secara memandang enteng.

Untuk menghindarkan diri dari bahaya, Boe Wie Yang meneruskan memutar tubuhnya seraya cambuknya dibalingkan kebelakang untuk menangkis, hingga ia batal balas menyerang. Secara demikian, kedua senjata jadi bentrok satu dengan lain.

“Tangkisan yang bagus! Siangkoan In Tong berseru. “Awas!”

Cepat luar biasa, setelah bentrokan itu, Siangkoan In Tong menarik pulang hoencweenya, untuk dipakai pula menotok mukanya tandingannya itu. Yang lebih hebat, ia menyerang pula justru sang lawan belum sempat putar seluruh tubuhnya.

Mengarti bahwa ia terancam bahaya, Boe Wie Yang cepat berkelit kekiri, sebisanya ia tangkis serangan itu dengan tipu “Ouw liong kian bwee” sembari menangkis, ujung cambuknya di teruskan buat balas menyerang juga.

“Tangkisan bagus!” lagi2 Siangkoan In Tong berseru sambil mencelat tinggi sampai setumbak setengah, diwaktu mana, ia terus jumpalitan hingga kepalanya berada dibawah, kakinya diatas. Dengan begitu, ia bisa menyingkir jauhnya setumbak lebih dari lawannya itu.

Bukan kepalang mendongkol nya Boe Wie Yang, sebab selagi ia baharu saja lolos dari ancaman malapetaka, sedangnya ia hendak bikin rubuh lawan itu, dia ini masih bisa hindarkan diri dari serangannya yang hebat itu. Maka dalam murkanya, begitu lekas ia menarik pulang cambuknya, ia lompat maju pula, guna menyerang lebih jauh.

Selagi ketua Hong Bwee Pang mendatangi, Siangkoan In Tong sudah injak tanah pula menghadapi lawannya itu.

Boe Wie Yang segera menyerang dengan “Ouw liong coet tong” atau “Naga hitam keluar dari kedungnya”, kearah dadanya lawannya itu serangannya meluncur cepat luar biasa.

Sebenarnya Siangkoan In Tong belum siap, iapun baharu menaruh kaki, akan tetapi karena ia bisa lihat datangnya musuh, ia tidak menjadi gugup. Disaat ujung cambuk hampir mengenai bajunya, dengan tiba2 saja ia elakkan dari dengan melenggak, dengan sebelah kaki kiri nancap ditanah dengan tegak. Ini adalah elakan diri yang dinamakan “Han kee hian jiauw”, atau “Ayam kedinginan persembahkan kaki”, sebab berbareng dengan itu, kaki kanannya diangkat untuk menendang cambuknya Boe Wie Yang, tubuh siapa sedang maju.

Tidak perduli ketua Hong Bwee Pang ada sangat liehay, tipu silat musuh ini adalah diluar dugaannya, sebab, selagi musuh terancam bahaya, sedang tubuhnya sendiri maju, ia tidak sangka musuh bisa berbareng balas menyerang .

Tidak ampun lagi ujung cambuk kena tertendang keras, hingga cambuk itu terpental. Masih untung bagi Boe Wie Yang, ia menyekal keras sekali, hingga senjatanya itu tidak sampai terlepas.

Selagi lawannya tercengang, Siangkoan In Tong tidak meneruskan serangannya pula ia hanya teruskan gerakkan tubuh untuk lompat jumpalitan pula kebelakang, hingga ketika ia menaruh kedua kakinya, ia berdiri jauhnya lima enam kaki dari Boe Wie Yang.

Ketua Hong Bwee Pang tarik pulang senjatanya, ia letaki ujungnya ditanah, lantas ia hadapi lawan itu.

“Tipumu ini ada liehay sekali”, ia mengaku. Tapi ia tambahkan “Sekarang aku Boe Wie Yang ingin belajar kenal dengan gelang Lie hoen Coe bo kianmu”. CXXXIX

Siangkoan In Tong mengawasi sambil tertawa dingin. “Boe Pang coe, mengapa kau gerembengi aku tak

hentinya?” kata ia. “Aku ada punya sedikit barang untuk dipersembahkan kepadamu ”

Selagi mengucap demikian, ia lihat diantara langit mendung ada tiga ekor burung dara terbang mendatangi. Boe Wie Yang tengah awasi lawannya, ia tak dapat lihat burung terbang datang dari jurusan luar, rupanya hendak menuju kebelakang Ceng Giap San chung, ia baharu dengar suara sayap burung terbang ketika ketiga ekor burung itu berada diatasan kepala nya.

Dengan hati tergerak, ia dongak untuk melihatnya.

Justru itu, gumpalan awan lewat, geledek berbunyi, kilat menyambar, dan angin pun meniup keras hingga daun2 pohon bergemuruh. Karena itu, ketiga burung itu tak dapat terbang tinggi.

Dan justru disaat itu, tangan kirinya Siangkoan In Tong diayun keatas, sebagai kesudahan dari itu, dua antara tiga ekor burung2 dara itu jatuh ketanah.

“Boe Pang coe”, kata Siang koan In Tong sambil tertawa, “itulah yang aku si melarat hendak persembahkannya! Aku percaya dua ekor itu sudah cukup untuk temani arakmu ”

Boe Wie Yang melengak, ia sangat gusar tetapi tak dapat ia umbar itu. Sebagai ketua Hong Bwee Pang, ia mesti hormati derajatnya sendiri.

Kedua dua burung itu ada membawa serupa barang, yalah bebokongnya terikat sepotong bambu bulat yg. kecil. Teranglah itu ada bungbung yang muat kertas, atau surat warta berita.

Sebisa bisa Boe Wie Yang tenangkan diri untuk tidak kentarakan goncangan hatinya karena burung2 itu pasti membawa berita penting.

Thian kong chioe Bin Tie, hiocoe dari Ceng Loan Tong, dan Pat pou Leng po Ouw Giok Seng, hiocoe dari Kim Tiauw Tong, tak tunggu titah lagi dari ketuanya, sudah bertindak untuk pungut kedua bangkai burung itu, mereka tidak balik kedalam rombongannya hanya terus saja mereka lari kebelakang bagaikan terbang.

Dimatanya pihak tetamu, teranglah sudah, pihak tuan rumahnya pasti sedang menghadapi urusan besar, karena kalau tidak, tidak nanti hiocoe2 dari Lwee Sam Tong bertindak secara demikian ter gesa2. Tidak mestinya dihadapan tetamu mereka bawa sikap tidak kenal kehormatan itu.

Coe Hoei Siansoe telah ketahui baik keadaannya Hong Bwee Pang, maka itu, tanpa tunggu tindakannya Boe Wie Yang, ia hampirkan ketua itu untuk kata padanya “Pinceng sudah mengalah satu babak, maka sekarang silahkan Pang coe undurkan diri, supaya pinceng bisa layani manusia jumawa ini dengan dua tiga jurus!”

Kata2 kasar dari pendeta Siauw Lim ini membangkitan amaran Wah Po Eng si Pembalasan Hidup. Untuk ketua Hong Bwee Pang ini, datangnya Coe Hoei membikin ia dapat alasan untuk undurkan diri. Tidak perduli ia pun gusar sangat tapi ia ingin lekas ketahui apa sudah dibawa oleh tiga burung dara tadi.

“Siangkoan In Tong,” katanya, tanpa berlaku sungkan lagi, “urusanku Boe Wie Yang denganmu tidak habis sampai disini saja! Sebentar masih aku hendak mencari keputusan! Sekarang loosiansoe hendak bertanding denganmu, maafkan aku, tak dapat aku temani terus padamu!”

Lantas ketua ini putar tubuhnya, untuk undurkan diri. Ia terus panggil Sim A Eng dan Sim A Hiong, kepada mereka ia bicara bisik .

Dua boca ini, yang cerdik, manggut, tetapi tak dapat mereka umpatkan wajah mereka, yang terang telah berubah, suatu tanda mereka pun kaget, lantas saja mereka lari kedalam Ceng Giap San chung.

Terutama mulai dari datangnya burung2 dara itu, pihaknya Eng Jiauw Ong dan Coe In Am coe ada sangat perhatikan Boe Wie Yang, hingga mereka tampak tegas sikap dan gerak geriknya tuan rumah itu. Mereka tidak tahu apa yang sudah terjadi diluar Ceng Giap San chung, akan tetapi mereka bisa duga mestinya hebat, sebab pihak Hong Bwee Pang kena dibikin bingung. Mungkin kejadian itu ada atau akan menguntungkan pihak mereka. Maka terus mereka menaruh perhatian.

Pada itu waktu, Siangkoan In Tong sudah bicara kepada Coe Hoei.

“Loosiansoe, benar2 kau tidak hendak lepaskan aku si melarat!” katanya. “Baiklah! Memang kita harus lekas2 mencari keputusan. Kau lihat, suasana di Ceng Giap San chung ini sungguh tidak membikin orang gembira! Awan yang mendung dan kabut yang menyeramkan, sudah menawungi seluruh San chung ini, melihat itu, tak puas hatiku, hingga barang makanan dari pesta tadi, dalam perutku ini tidak mau hancur. Tadinya aku pikir, setelah gerecoki Boe Pang coe, aku berniat undurkan diri. Aku sudah pikir, umpama hari ini aku masih bisa hidup terus, aku hendak segera berlalu dari Ceng Giap San chung. Umpama kata aku tidak dapat hidup terus, maka tidak perduli disini langit ambruk dan bumi melesak, aku tidak akan perdulikan lagi. Loosiansoe, dengan hong pian canmu, kau ingin sangat main2 dengan sepasang gelang bobrok dari aku si melarat, maka loosiansoe, silahkan kau mulai dengan seranganmu, aku nanti siapkan jiwaku untuk dikorbankan, guna temani kau dua sampai tiga jurus!”

Meskipun ia mengucap demikian, In Tong tidak lepaskan hoencweenya yang istimewa itu, ia masih menyekalinya.

Coe Hoei Siansoe sudah ditantang, orang telah menerima baik menggunai gelang Lie hoen Coe bo kian, akan tetapi selama gelang itu belum dikeluarkan, tidak dapat ia mulai dengan penyerangannya. Ia tak sudi dikatakan cupat pikiran.

Siangkoan In Tong berlaku ayal2an ketika ia cantel pula kantong tembakaunya kepada hoen cweenya itu, setelah mana pipa panjang itu, ia tancap ditempat nya, sesudah itu, baharu ia selipkan ujung bajunya dipinggang nya. Sembari berlaku demikian, mulutnya tidak diam saja.

“Kau menjadi pendeta Siauw Lim Sie yang dihormati kaum Rimba Persilatan, mengapa kau demikian tidak hargai muka terangmu?” demikian katanya. “Aku telah persilahkan kau turun tangan tapi kau masih saja ter bengong2 mengawasi aku si melarat! Apa mungkin kau juga sebagai aku, masih belum sampai takdir untuk menerima pembalasan? Apakah yang kau hendak tunggu lagi?”

Bukan kepalang gusarnya hweeshio itu.

“Siangkoan In Tong, kau benar2 ngaco belo!” ia membentak. “Sebenarnya pinceng masih pakai aturan! Didalam Ceng Giap San chung ini aku hendak bikin kau mampus meram, akan tetapi apabila kau tidak keluarkan Lie hoen Coe bo kian, jangan kau harap pinceng akan turun tangan. Aku biasa taat kepada kebiasaanku dalam kalangan kang ouw, aku suka mengalah, supaya kaulah yang bergerak lebih dulu. Tidak nanti pinceng kena kau jebak! Pinceng hendak bikin kau tidak punya muka buat keluar dari Ceng Giap San chung, untuk menemui lagi sahabat2 Rimba Persilatan, umpama kata kau niat cari mampusmu sendiri, tidak nanti pinceng ijinkan itu! Sebenarnya aku hendak lihat dan mencoba senjatamu yang liehay itu!”

Pendeta ini belum tutup mulutnya atau Siangkoan In Tong sudah tertawa ter bahak2, suara tertawanya itu mirip dengan suaranya burung malam, yang sangat tak sedap masuknya kedalam kuping. Sehabis tertawa, terus ia berludah, ketanah.

“Hweeshio, kau terlalu pandang enteng kepadaku Siangkoan In Tong!” berkata dia. “Siapa yang akan hilang jiwa, sekarang ini masih belum dapat ditentukan, tetapi untuk kau main2 dengan Lie hoen Coe bo kian, maksudmu belum tentu bakal kesampaian. Baik aku jelaskan, sampai sebegitu jauh, apa yang aku katakan semua untuk bergurau saja! Aku Siangkoan In Tong apabila tidak punyakan kepandaian untuk layani kau dan golonganmu, tidak nanti aku berani membuat malu diriku sendiri didalam Ceng Giap San chung dari Cap jie Lian hoan ouw ini! Melulu dengan aku gunai sepasang kepalanku yang berdarah daging ini, masih belum tentu kau akan dapat capai maksud hatimu. Sanjataku Lie hoen Coe bo kian, apabila dipakai untuk melayani hong pian can, aku kuatir senjatamu itu bukanlah tandingannya! Jikalau kau tidak percaya, kau boleh coba2 lihat! Asal kau geraki senjatamu, kau akan dapatkan buktinya! Cobalah kau buka matamu!”

Coe Hoei Siansoe sudah sebal sekali akan tingkahnya orang, hatinya mendongkol bukan main, sekarang ia tidak dipanggil dengan bahasa “siansoe” lagi, ia dipanggil hweeshio, me luap2lah hawa amarahnya, maka kapan ia geraki senjatanya, hong pian can itu perdengarkan suara berisik.

“Kau menghina aku, pit hoe! Sekarang pinceng akan seberang bebaskan padamu!” ia berseru sesudah mana, ia lompat kedepan Siangkoan In Tong, dengan senjatanya itu ia kemplang kepalanya lawan.

Itulah serangan yang hebat luar biasa.

Tatkala itu, tangan kanannya In Tong masih tersesap dalam bajunya. Ia ber ayal2an untuk tarik keluar tangannya itu. Kapan serangan mengancam dia, dia berseru “Hei, apakah begini kelakuannya satu pendeta dari Siauw Lim Sie?” Terus ia berlompat kekiri, lalu kekanan, segera ia putar tubuhnya dengan cepat, hingga ujung bajunya jadi tersingkap dan ikut berputaran juga. Adalah disaat itu ia pentang kedua tangannya, berbareng dengan mana terdengarlah suara berkontrangan, sebab sekarang kedua gelangnya, Lie hoen Coe bo kian, atau “gelang yang menceraikan roh”, telah tercekal dikedua tangannya!

Alat senjata istimewa itu bundar bagaikan gelang tangan orang perempuan, cuma lobang bundarannya jauh lebih besar, batang gelangnya besar dan berat, terbuat dari baja pilihan. Setiap gelang terdiri dari dua gelang yang bersambung satu dengan lain mirip rantai, dan yang dicekal ditangan, bundarannya ada terlebih kecil. Karena ini, asal di kasi bergerak, kedua gelang lantas perdengarkan suara nyaring.

Setelah tancap kaki kiri dan kaki kanannya diangkat, Siangkoan In Tong rangkap kedua tangannya, hingga kedua gelangnya bentrok satu dengan lain, kembali gelang itu perdengarkan suara keras dan berisik, tak kalah nyaringnya dengan suara hong pian can. Kemudian gelang kanan diangkat ketinggi, gelang kiri di lintangkan didepan dada. Secara demikian, jago ini jadi berdiri dengan sikap “Kim kee tok lip “Ayam emas berdiri dengan sebelah kaki”.

Tidak perduli Coe Hoei Sian soe sudah banyak pengalamannya, sekali ini ia toh kena “dijual” Siangkoan In Tong. Ia sangka benar2 In Tong hendak layani ia dengan tangan kosong, akan tetapi, justeru ia menyerang, orang lompat dan berputaran untuk keluarkan senjatanya itu. Tentu saja ia jadi gusar karena ini berarti ia sudah dipermainkan. Akan tetapi disebelah itu, mau atau tidak, ia heran juga akan menyaksikan senjata istimewa itu, yang ia baharu pernah lihat. Suara gelang saja bisa membuat bingung hati orang.

Oleh karena ia sudah mulai menyerang, Coe Hoei Siansoe tidak berhenti karena menampak sikap lawannya itu. Ia maju dengan kaki kiri, ia mengulangi serangannya kearah dada atau iga kiri lawannya itu.

Sekarang Siangkoan In Tong sudah siap sedia. Melihat datangnya serangan, ia turunkan kaki kirinya bergerak untuk mengimbangi. Berbareng dengan itu, gelang kiri dikasi naik sebatas kepala, gelang kanan dikasi turun, hingga kedua gelang bentrok satu pada lain. Lalu dari arah kiri gelang menyampok hong pian can. Kedua senjata hendak keras lawan keras.

Coe Hoei Siansoe mau berlaku hati2, ia tidak sudi benturkan senjatanya itu. Ia tarik pulang hong pian can dengan ia mundurkan kaki kanannya untuk terus berputar tubuh, secara demikian ia bisa teruskan ayun senjatanya, untuk kembali dipakai menyerang dengan sasarannya kepada kempolan atau paha lawan. Siangkoan In Tong berkelit kekiri, dengan lompatan kaki kirinya, dengan sebat ia bergerak lebih jauh, hingga ia jadi berada disamping dan disebelah belakang lawannya itu. Tapi hong pian can telah menyambar terus, karena Coe Hoei dengan tubuh berputar bisa bergerak dengan leluasa.

Menghadapi ancaman itu, In Tong menangkis dengan gelang kanannya, untuk bentur ujung senjata lawan, dilain pihak, gelang kirinya dipakai menyerang pendeta itu. Ia telah bikin dua gerakan berbareng menangkis sambil menyerang. Ini adalah tipu silat “Kie eng cin ie” atau “Garuda lapar menggeraki bulu”, yang beda daripada “Thay peng tian ie” (Burung garuda pentang sayap) dan “Pek hoo liang cie” (Burung hoo putih membuka sayap).

Gerakan “Thay peng tian ie” adalah kedua tangan dipentang tak mendatar, akan tetapi tangan kiri keatas, tangan kanan kekanan, dan “Pek hoo liang cie”, kedua tangan dibuka mendatar, menyerangnya dengan kedua tangan miring. “Kie eng tian ie” adalah kedua tangan dibuka, tangan kanan menyampok, tangan kiri menyerang.

Coe Hoei Siangsoe ada punya pengalaman dari empat puluh tahun, walaupun ia terancam, ia tidak menjadi gugup. Lekas2 ia turunkan senjatanya untuk hindarkan benturan, berbareng dengan itu, ia geser kaki kiri kekiri dengan tubuh miring, secara demikian, ia pun luput dari serangan. Meski begitu, saking cepatnya Siangkoan In Tong, ujung hong pian can toh tersampok juga oleh gelang Lie hoen Coe bo kian Tapi dengan sikapnya “Tie goe bong goat”, atau “Badak memandang bulan”, Coe Hoei Siansoe kumpul tenaganya ditangan, untuk pertahankan senjatanya itu. Maka setelah benturan itu, ia kasi melayang gegamannya itu keatas, untuk segera diturunkan lagi akan gempur batok kepala musuh! Demikian pertempuran mereka, sebat lawan sebat, tipu lawan tipu, mereka saling balas. Gerakannya pendeta ini yalah yang dinamakan, “dalam kekalahan merebut kemenangan”.

Dikatakan “kalah” karena ia sedang terancam malapetaka.

Siangkoan In Tong telah bergerak kekedua jurusan, atas dan bawah, satu menangkis dan satu menyerang, akan tetapi kapan ia dibalas diserang, ia masih punyakan kesebatan untuk angkat kedua gelangnya. berbareng keatas untuk menangkis serangan kepada batok kepalanya itu. Ia lagi2 hendak keras lawan keras, ia tak kuatir akan adu senjatanya itu dengan hong pian can, untuk ukur tenaga kekuatan kedua pihak.

Eng Jiauw Ong dan Coe In Am coe terperanjat melihat keberaniannya Siangkoan In Tong karena disaat itu bisa dimengarti tenaga yang dikerahkan Coe Hoei Siansoe, sebab pukulannya itu adalah dari ayunan tangan dari bawah keatas, lalu dari atas turun kebawah, sedangkan hong pian can adalah senjata herat. Gerakan cepat dari pendeta ini juga dimaksudkan agar lawannya kalah sebat.

Dalam keadaan yang sangat mengancam itu, Siangkoan In Tong ternyata berlaku cerdik, sebaliknya dari tancap kuda2 untuk bantu tenaga tangkisannya, ia justru pindahkan kaki dan menggeser tubuh kekanan.

Dengan menerbitkan suara keras dan nyaring, kedua senjata beradu satu kepada lain. Kesudahannya, hong pian can telah terpental balik, meskipun benar kedua pihak kerahkan tenaga masing2 akan tetapi tangkisan gelang ada terlebih hebat.

Dengan kesudahan itu, Coe Hoei Siansoe terang ada dipihak yang kalah, tetapi ia sedang sengit, ia  turuti saja napsu amarahnya hingga ia tak perdulikan tangannya yang barusan tergetar, ia ingin sangat melakukan pembalasan.

Dengan menahan sakit pada telapakan tangan kiri, dengan tangannya itu, Coe Hoei Siansoe cekal pula dengan keras hong pian can, lalu ia bergerak dari arah kiri. Ia cekal senjatanya dengan tangan kiri didepan dan tangan kanan dibelakang, selagi bergerak, tubuhnya turut berputar sedikit.

Untuk dapat mendekati lawan, ia telah majukan kaki kanannya.

Siangkoan In Tong dilain pihak, setelah gelangnya membentur senjata lawan, sudah bergerak terus dengan geser kaki kirinya kekiri, terus dengan “Kim lie hoan po” atau “Tambra emas membalik gelombang,” ia melenggak untuk lompat jumpalitan.

Secara begini, ia bersiap lebih dulu untuk jauhkan diri dari lawannya, lu tidak berani pandang enteng pendeta itu, melainkan dimulut saja ia menggoda. Begitulah ia dapat tampak aksi lebih jauh dari pendeta Siauw Lim itu, ia bisa duga akan niat jahat yang tak kunjung padam dari lawannya.

Melihat serangan lebih jauh dari si pendeta, Siangkoan In Tong geser kaki kanannya secaru memutar kebelakang, dengan begitu, tubuhnya jadi turut berputar juga, lalu ia pindahkan kaki kanannya kekiri, jauh satu tindak, hingga tubuhnya jadi ikut kekiri, berputar pula satu kali lagi. Secara demikian, ia pisahkan diri sejauh enam kaki dari lawannya.

Meski juga musuhnya menyingkir siang2, dengan sambarannya, Coe Hoei Siansoe bikin ujung hong pian can menyambar ke arah pundak kiri dari musuh yang ia benci itu. Kalau serangan ini mengenai tepat pada sasarannya, walaupun tidak binasa, lawannya itu mestinya terluka. Sesudah ia mencoba menyingkir, tidak mau Siangkoan In Tong menyingkir terlebih jauh. Malah ia berseru “Kau gerembengi aku secara mati2an, baik kita dikubur disini bersamas saja!” Sambil berseru demikian, ia menangkis dengan gelang kiri. Ia tidak gunai tenaga besar, sebab ini hanyalah tangkisan untuk menjaga. Adalah berbareng dengan itu, ia kerahkan tenaga digelang kanan, gelang mana dipakai untuk menghajar senjata lawannya itu.

Satu bentrokan dahsyat segera terjadi, suara nyaring mengaung bagaikan pandai besi sedang menggunai palunya yang paling besar, lelatu api muncrat berhamburan!

Sekali ini, tak perduli tenaganya yang besar, Coe Hoei Siansoe tidak sanggup cekal lebih lama hong pian cannya itu. Tadi dia telah kesakitan pada telapakan tangannya yang kiri, kekuatannya mengandal tangan yang kanan, sekarang telapakan kanan itu kena tergempur juga, senjatanya terlepas dari cekalannya, sebab rasa sakitnya bukan kepalang. Maka dengan menerbitkan suara keras, hong pian can jatuh terbanting dengan keras, sampai pasir dan tanah pun meletik berterbangan keempat penjuru!

Coe Hoei Siansoe berdiri dengan muka pucat sekali, lalu menjadi merah bahna malunya. Kedua tangannya pun masih saja dirasakan sakit. Ia memutar tubuh kepada lawannya.

“O mie to Hoed!” ia memuji. “Selama empat puluh tahun pinceng berkelana dalam dunia kang ouw, belum pernah pinceng menemui tandingan, maka tidak disangka malam ini pinceng rubuh ditanganmu! Baiklah, dalam tempo tiga tahun pinceng akan bertemu pula denganmu, untuk mencoba pula Lie hoen Coe bo kianmu. Sampai kita bertemu pula!” Pendeta itu terus rangkap kedua tangannya kepada lawannya itu untuk memberi hormat sambil menjura, setelah itu, ia berpaling kepada ketua Hong Bwee Pang, untuk melanjutkan berkata “Pinceng datang kemari dengan niatan membantu kepada Pang coe, tidaklah pinceng sangka bahwa pinceng justru mendatangkan malu bagi Hong Bwee Pang, maka itu, walau kulit mukaku tebal, tidak nanti pinceng berani berdiam lebih lama pula disini. Boe Pang coe, harap kau memberi maaf padaku. Turut penglihatanku, didalam Cap jie Lian hoan ouw ini, tak dapat Boe Pang coe berdiam lebih lama pula, dari itu sukalah Pang coe memikirkannya. Boe Pang coe, biar kita nanti bertemu pula didunia kang ouw, harinya tidak jauh lagi! Tak nanti pinceng lupa akan budi Pang coe ini!”

Segera pendeta ini putar tubuhnya, untuk bertindak keluar.

Boe Wie Yang terkejut, lekas ia berkata “Loosiansoe, menang atau kalah toh ada perkara umum, mengapa kau anggap kejadian ini secara demikian sungguh? Silahkan Loosiansoe menanti, Boe Wie Yang sendiri ingin coba melayani Lie hoen Coe bo kian!”

Coe Hoei sudah jalan beberapa tindak, ia lantas menoleh, sambil miringkan tubuh ia ulapkan tangannya.

“Boe Pang coe, putusanku sudah tetap, harap Pang coe tidak menahan padaku,” katanya.

Auwyang Siang Gee menyusul beberapa tindak. “Loosiansoe, tunggu!” berkata hiocoe ini, yang bersatu

pikiran dengan ketuanya. “Tee coe juga ingin main2 dengan

Lie hoen Coe bo kian, dari itu harap siansoe tunggu sebentar saja! Teecoe ingin ber sama2 Loosiansoe berdiam atau pergi dari sini!” “Harap jangan cegah aku!” ada jawabannya hweeshio dari Siauw Lim Pay itu. “Selama napasku masih ada, dalam tempo tiga tahun aku nanti tetapkan janjiku akan bertemu pula dengan dia! Saat ada genting sekali, gunakanlah baik2, supaya kemudian hari kita bisa bertemu pula!”

Sehabisnya berkata demikian, Coe Hoei Siansoe segera berlalu sambil berlompat.

Kembali kumat peranginya Siangkoan In Tong, karena ia berulang2 dengar kata2 yang menunjukkan kesengitan terhadap dirinya. Maka berkatalah ia “Eh. hweeshio, jikalau kau hendak pergi, pergilah dengan tubuh bersih! Kenapa kau bikin muncrat air berlumpur? Kalau baharu tempo perjanjian tiga tahun, masih dapat aku menunggunya! Akan tetapi apabila kau menyebutkan tiga puluh tahun, mungkin aku sudah tak dapat hidup lebih lama lagi! Eh, ya, apakah kau juga tidak hendak bawa pergi pekakasmu untuk meminta derma ini?”

Dia maksudkan senjata hong pian can dari Coe Hoei itu.

Coe Hoei Siansoe sudah berlompat ketika ia tahan tubuhnya untuk segera memutar diri, dengan jari telunjuknya ia lantas tuding Wa Po Eng si Pembalasan Hidup.

“Setan alas!” dia membentak. “Kau mana tahu aturan dari Siauw Lim Sie! Hong pian can telah kalah dari Lie hoen Coe bo kian, aku tidak membutuhkan nya lagi! Aku pasti bukan tak tahu malu seperti kau! Senjata itu biarlah ditinggalkan di Ceng Giap San chung ini! Nanti, setelah tiga tahun kemudian, kita berdua kelak akan bertemu pulu didunia kang ouw, itu waktu aku akan bikin kau buka matanya untuk senjataku yang baru, untuk menetapkan pula saat mati atau hidup kita berdua! Siangkoan In Tong, sekarang kau boleh berjumawa, pinceng tidak sudi bersikap seperti kau! Tunggulah saat dari pertemuan kita, saat hidup atau matimu!”

Tidak tunggu lagi sambutan dari Siangkoan In Tong, segera Coe Hoei Siansoe balikkan tubuhnya untuk berlompat pergi, akan lari dengan cepat sekali. Ia ada gesit sekali walaupun tubuhnya besar. Ia lompat naik keatas para2 dimana sekejab kemudian ia menghilang.

Boe Wie Yang jadi sangat ibuk, ia lantas beri perintah akan lepas terbang seekor burung merpati pembawa berita, kepada burung mana diikatkan tek hoe, supaya semua pos penjagaan ketahui kepergiannya pendeta itu, agar dia tidak dirintangi atau diganggu.

Diantara Auwyang Siang Gee dan Coe Hoei Siansoe ada perhubungan laksana murid dan guru, maka kekalahannya pendeta Siauw Lim itu membikin hiocoe ini jadi sangat malu, karena itu, ia berkeinginan keras untuk mencari balas. Bagitulah ia lantas hadapi Siangkoan In Tong.

“Siangkoan Loosoe, bukanlah nama kosong belaka yang senjatamu ini telah peroleh nama besar,” berkata dia. “Aku harap Loosoe sudi melayaninya. ingin aku minta pengajaran tiga jurus dari senjatamu itu!”

Siangkoan In Tong awasi Siang Gee, ia tertawa dingin. “Auwyang Hiocoe, aku tidak sesalkan yang kau telah

menantang aku,” jawabnya. “Memang aku si melarat, segala perbuatanku ada tidak menuruti kehendak orang, tidak cocok dengan undang2 Thian yang maha kuasa, tidak mengenal pergaulan, tidak mengakui sahabat! Memang biasanya aku bekerja sendiri dengan menuruti rasa hatiku. Disepanjang jalan biasa aku membeli barang, belum pernah aku salah beli! Sebenarnya sudah lama aku dengar tentang kau, yang aku hargai, sebab kau terkenal sebagai sahabat karib kang ouw nomor satu, maka aku si melarat tidak pandang rendah padamu. Hiocoe adalah ketua dari Lwee Sam Tong, aku harap kau tidak berlaku pura2 terhadapku! Bukankah urusan rumah sendiri adalah penghuninya pribadi yang ketahui jelas? Sekarang ini didalam Cap jie Lian hoan ouw sedang mengeram ancaman bencana besar, mustahil kau tidak ketahui? Hoay Yang Pay dan See Gak Pay dengan Hong Bwee Pang tidak punyakan permusuhan begitu besar hingga tak dapat kita sama bernawung dikolong langit, urusan kita bukannya tak dapat diselesaikan secara damai, maka kenapa kau hendak bikin kedua pihak celaka dan musnah bersama? Aku si melarat sudah berkelana dalam dunia kang ouw tak kurang dari empat puluh tahun, jangan kau anggap mulutku penuh ocehan kosong belaka, akan tetapi juga tentang peri kemanusiaan, perihal peri budi luhur, dapat aku membicarakannya! Aku insyaf akan pembilangan menolong kesukaran orang, mewujudkan kebaikannya orang itu! Sudah banyak aku lakukan kebaikan semacam itu, sebaliknya aku tak ingin lakukan apa yang mencelakai lain orang, yang tak baik untuk diri sendiri, dan tak suka aku celakai lain orang melulu untuk keuntungan diri sendiri, aku takut akan pembalasan Thian! Aku ada seorang melarat, akan tetapi dengan andalkan sepasang gelangku ini, aku ingin ada orang yang sudi mendengar kata terhadap aku! Kenapa kedua pihak tidak mau lakukan sesuatu yang ada faedahnya untuk sesama manusia? Kenapa sekarang Hong Bwee Pang tidak hendak sudahi sengketanya dengan Hoay Yang Pay supaya kami bisa lekas berlalu dari Cap Jie Lian hoan ouw, dan kamu bisa bereskan rumah tanggamu? Tidakkah itu ada tindakan yang akan mendatangkan kebaikan untuk kita kedua pihak? Kenapa kita tak mau menyelesaikan urusan sekarang juga? Apakah kau mau tunggu marah bahaya sampai diujung alis? Jikalau kau berayal dan bencana keburu datang, menyesalpun akan sudah kasep! Bagaimana pendapatmu, Auwyang Hiocoe? Aku peserah kepada satu saja dari ucapanmu! Hal kau ingin men coba2 gelang bobrokku ini untuk main2 dua atau tiga jurus, itulah ada barang yang tersedia, pasti aku akan menemaninya, untuk itu tidak nanti aku bikin kau hilang harapan!”

Setelah berkata demikian, Siangkoan In Tong awasi hiocoe itu dengan tajam, ia menanti jawaban.

Kata Siangkoan In Tong ini membuat heran banyak guru silat dipihak Hoay Yang Pay, benar2 mereka tak dapat mengarti maksudnya orang aneh ini. Akan tetapi Auwyang Siang Gee, mendengar itu hatinya tergerak. Ia merasa manusia jail itu bukan cuma hendak adu mulut dengan nya, bukan! Didepan mata hiocoe ini telah berpeta bayangan yang sebenarnya dari keadaan didalam Cap jie Lian hoan ouw ini, hingga ia kuatir segera bakal terjadi suatu perubahan yang sangat besar, yang membahayakan Hong Bwee Pang. Akan tetapi waktu itu, saatnya ada lain sekali. Disaat seperti itu ia ada seumpama orang sedang menunggang harimau, turun salah, tidak turun salah juga. Jangankan Boe Wie Yang, ia sendiri pun sebagai hiocoe, ketua Lwee Sam Tong, akan berkeberatan untuk berdamai. Disaat terakhir dari mati hidupnya Ceng Giap San chung, bagaimana ia bisa keluarkan kata2 perdamaian? Bukankah itu berarti ia tunduk dibawah pengaruh pihak luar, mengaku kalah dan menyerah? Kalau itu sampai terjadi, apa mereka tak malu terhadap semua anggauta Hong Bwee Pang lainnya?

Keadaan Hong Bwee Pang itu ada suram untuk Auwyang Siang Gee sendiri. Suasana ada sangat tegang dan mengancam. Lapuran telah masuk saling susul dan Hoen coei kwan, mengabarkan kejadian2 yang mencurigai, akan tetapi tak dapat dipastikan, bahwa semua kejadian itu ada perbuatan sengaja atau bukan dari Hoay Yang Pay dan Seo Gak Pay untuk mengacau pikiran, untuk memaksakan Hong Bwee Pang tunduk karenanya. Maka dalam keadaan ragu2 seperti itu, ia lebih terdorong kepada sikap untuk peserah kepada Thian saja, untuk tidak me nimbang2 lagi untung ruginya, beruntung atau bercelaka. Bagaimana dapat ia berdamai?

Maka akhirnya hiocoe ini berkata pada Siangkoan In Tong.

“Siangkoan Loosoe, tak usah kau puji aku, jangan kau angkat aku hingga setinggi langit. Aku adalah tak lebih tak kurang satu anggauta Hong Bwee Pang saja. Siangkoan Loosoe, sayang kata2 ini telah terlambat dikeluarkannya. Kalau ucapanmu ini dikeluarkan selagi baharu kau hendak turun tangan, sebelum kita bertanding, sebelum dibikin pertaruhan dengan tiga pertempuran yang memutuskan, maksud baikmu ini tidak nanti kami sia2kan, sudah tentu, biar bagaimana juga, kami akan memberi muka kepadamu, suka kami menghatur perdamaian. Tapi sekarang sudah berjalan dua pertandingan, Lie hoen Coe bo kian sudah beraksi mengalahkan Coe Hoei Siansoe dari Siauw Lim Sie, dalam keadaan seperti ini, dimana bisa kita dapat menyudahinya saja? Maka sekarang baik Loosoe simpan kembali maksud baikmu itu, tunggu sampai kita sudah bertanding, baharu kita damaikan pula. Aku Auwyang Siang Gee ingin terima pengajaran beberapa jurus dari kau. Silahkan kau mulai, aku sudah siap sedia!”

Auwyang Siang Gee berkata demikian, tapi tangannya masih kosong, hanya sehabis mengucap, ia menoleh kepada pihaknya akan gapekan satu orangnya, untuk perintah dia itu pergi ke para2 akan ambil sepasang poan koan pit, senjata yang mirip dengan pit, alat tulis Tionghoa. Siangkoan In Tong tahu, Auwyang Siang Gee kesohor untuk ilmu pedangnya, sekarang ia tampak orang pilih poan koan pit, ia bersenyum Ia dapat ade hiocoe itu hendak gunai kegesitan tubuhnya kepesatan gerak gerik tangannya, untuk bisa takluki Lie hoen Coe bo kian. Ditangan satu ahli, poan koan pit bisa dipakai menotok jalan darah.

Auwyang Siang Gee sambuti poan koan pit untuk lebih dahulu dirangkap menjadi satu, disenderkan pada bahu kirinya. Beda daripada yang biasa, senjata buatan Hong Bwee Pang ini ada sedikit lebih panjang, ialah satu kaki delapan dim, sedang yang biasa hanya satu kaki lima dim.

Mengawasi hiocoe itu, dengan sikap sewajarnya, Siangkoan In Tong berkata “Auwyang Hiocoe, ilmu pedangmu telah mencapai puncak kesempurnaannya, akan tetapi sekarang kau hendak hadapi aku dengan senjata semacam ini, apabila aku tidak salah menduga, tentunya kau hendak hajar aku si melarat pada tigapuluh enam jalan darahku! Ini pun bagus! Tadi loosiansoe itu sudah ngoceh tidak keruan, kesudahan ocehannya itu tak berwujud sebagaimana yang dia katakan, karenanya, bagaimana aku tidak menjadi sebal terhadapnya? Maka mana aku sudi omong baik dengannya? Auwyang Hiocoe, silahkan mulai. Aku mengiringi, supaya tidaklah sia2 aku datang kemari. Tetapi bertanding dengan kau seorang yang kenamaan, tak selayaknya untuk aku bicara harga. Auwyang Hiocoe, umpama aku rubuh celaka ditanganmu ini, hitung2 saja tiga huruf Wa Po Eng, pada hari dan jam ini, telah menemui saatnya yang terakhir! Sebenarnya aku telah membalas diriku sendiri, hingga tak dapat aku membalas pula terhadap lain orang. Tidak percuma, Auwyang Hiocoe, andaikata kau beli tiga nama julukanku itu. Hanya ingin aku menanya, umpama aku beruntung menangkan kau, apa nanti katamu ?” Mendengar perkataan itu, didalam hatinya Auwyang Siang Gee kata “Kau benar liehay! Dengan kata2mu ini kau hendak desak aku. Tidak, Auwyang Siang Gee tidak akan dapat dijebak olehmu!” Maka ia lantas menjawab “Siangkoan Loosoe, kau ada seorang kenamaan, dengan bicaramu demikian rupa, kau mirip dengan orang yang cupat pikirannya. Mustahil dalam pertandingan kaum Rimba Persilatan, orang main bicara harga. Itulah benar2 aneh! Sekarang kita jangan omong lainnya lagi. Coe Hoei Siansoe sudah wakilkan Hong Bwee Pang menetapkan tiga macam pertandingan, kalah atau menang, itulah keputusan nya, sekarang tinggal pertandingan yang terakhir. Dalam hal ini. meskipun aku ada jadi ketua dari Thian Hong Tong, tak dapat aku berkuasa sendiri, segalanya aku menurut kepada putusannya Boe Pang coe. Maka tak perduli pihak Hong Bwee Pan, Hoay Yang Pay atau See Gak Pay, andai kata ada yang tidak puas, tidak dapat satu diantaranya mencegah salah seorang anggautanya hendak turun tangan sendiri. Demikian, Siangkoan Loosoe, umpama aku dapat dikalahkan, untuk keputusannya, tidak ada ditanganku atau ditanganmu. Hal ini baiklah kau dapat mengerti Sekarang, silahkan loosoe mulai!”

Siangkoan In Tong tertawa geli.

“Auwyang Loosoe, kau benar ada seorang jujur, kau telah bicara terus terang!” katanya. “Karenanya, harus aku, si orang she Siangkoan, melayaninya secara sungguh2, sebab kekalahan atau kemenangan kita, kesudahannya tidak ada hubungannya dengan kedua belah pihak! Melainkan satu hal aku masih kurang jelas. Aku dengan kau, tidak bermusuh tidak berdendam, akan tetapi sekarang kita berdua hendak adu jiwa, untuk apakah itu?”

“Siangkoan Loosoe, jikalau begini kau menanya aku, tak dapat aku menjawabnya,” sahut Auwyang Siang Gee. “Maka kalau kau inginkan juga, jawaban itu adalah sebentar jikalau diantara kedua poan koan pit dan Lie hoen Coe bo kian sudah ada keputusannya. Lihat, loosoe, hu jan dan angin segera bakal datang, justeru cuaca masih cukup baik, mari kita lekas bereskan urusan kita. Siangkoan Loosoe, silahkan! Tak usah kita omong banyak hingga jadi men sia2kan ketika. Silahkan!”

Undangan itu ditutup oleh Auwyang Siang Gee dengan gerakan kaki kirinya dimajukan kedepan dan dua tangannya yang sudah lantas menyekal masing2 sebatang poan koan pit, yang kanan ditaruh didepan dadanya, yang kiri diangkat hingga kedekat kuping kirinya.

Melihat demikian, Siangkoan In Tong tidak berani ayal2an untuk menyambutnya. Ia rangkap kedua tangannya hingga Coe bo kian bentrok seraya menerbitkan suara nyaring, diteruskan dengan tangan kiri diangkat naik, tangan kanan ditaruh didepan perut, kaki kiri diangkat, hingga ia bersikap pula “Kim kee tok lip,” “Ayam emas berdiri dengan satu kaki”.

“Auwyang Hiocoe,” katanya. “sekarang tak usah kita main ber pura2 murah hati lagi, silahkan maju, aku si melarat ingin saksikan sampai dimana liehaynya sepasang alatmu untuk menulis itu!”

Tantangan ini diakhiri dengan gerakan tangan lebih jauh, yaitu tangan kanan diturunkan terus kebawah, tangan kiri diputar, hingga kembali kedua gelang bentrok bersuara, suaranya lebih nyaring daripada tadi. Menyusul ini, In Tong geser tubuh miring kekiri, kaki kirinya berjingke, setelah itu, ia berputar seputaran, gerakannya gesit sekali.

Melihat sikap lawan, Auwyang Siang Gee juga turut berputar kekiri dengan tidak kalah sebatnya, kemudian dengan tindakan “Lian kie pou”, atau “Tindakan cabang berantai , ia maju tujuh tindak, dengan kaki kanan didepan ia dekati Siangkoan In Tong, hingga jarak di antara mereka tidak sampai lima kaki.

“Siangkonn Loosoe, maafkan aku!” berseru hiocoe itu seraya majukan pula kaki kirinya, kedua tangannya bergerak dengan berbareng, menuju kepada pundak kanan dan pilingan kanan dari lawannya itu. Serangannya ini cepat sekali.

Tubuhnya Siangkoan In Tong masih agak miring ketika serangan datang maka segera ia perbaiki diri, diwaktu mana, serangan kepada pilingannya hampir paja sampai. Sungguh hebat kalau totokan poankoan pit mengenai sasarannya. Cepat ia lenggakkan sedikit kepalanya, berbareng dengan mana, gelang ditangan kanannya, dari bawah menyambar keatas, hingga musuhnya mesti lekas tarik pulang serangannya, yang dua duanya. tidak memberikan hasil disebabkan gerakan yang sebat dari si orang aneh ini.

Auwyang Siang Gee tidak berhenti karena kegagalannya itu. Ia maju kekiri, lalu kekanan, untuk mendesak.

Tapi juga Siangkoan In Tong tidak diam diri. Setelah pecahkan kedua serangan lawan, ia hunjuk kesebatannya, ia bertindak kekanan, dengan “Jiauw pou poan soan” atau “Tindakan berputar”. Selagi ia berputar, dua gelangnya ia amproki satu dengan lain, hingga terdengarlah suara nyaring yang menulikan kuping, sesudah mana, sepasang gelang liehay itu menyambar kekiri, kepada iga kiri dari lawannya itu.

Melihat datangnya sepasang gelang, Auwyang Hiocoe kertak gigi, ia kumpulkan tenaganya di lengan, ia sengaja menangkis dengan keras, hingga empat senjata bentrok dengan menerbitkan suara nyaring sekali. Saking kerasnya sampokan poankoan pit, sepasang gelang mental keatas.

CXL

Diam2 Siangkoan In Tong damprat Auwyang Siang Gee, karena hiocoe itu benar2 bertempur secara adu jiwa, hingga gelangnya kena dibentur demikian rupa. Dalam hatinya, ia kata “Kau berani turun tangan begini rupa, nyata sekali kau pandang hina kepadaku si melarat. Apakah kau anggap aku tidak punya daya untuk lawan padamu! Sekarang aku hendak bikin kau rasai bagaimana sarinya Liehoen Coe bo kian!”

Lalu menggunai ketika senjatanya itu terpental, yang tapinya tidak terlepas dari tangannya, ia maju untuk menyerang pula, hingga selanjutnya mereka kedua jago jadi bertanding dengan seru. masing2 kerahkan tenaganya masing2 hunjuk kegesitannya, terutama kepandaian mereka. Menyaksikan itu, semua penonton jadi gegetun. Mereka juga insaf akan kata2 “Kalau dua harimau berkelahi, salah satu mesti terluka”.

Untuk pihak Hong Bwee Pang sendiri, inilah baharu yang kedua kali mereka saksikan Auwyang Siang Gee hunjuk pula kepandaiannya. Yang pertama adalah ketika ia bersama ketuanya mulai membangun pula Hong Bwee Pang, tatkala ia dipilih dan diangkat menjadi ketua dari Lwee Sam Tong. Didalam Hong Bwee Pang, kecuali Boe Wie Yang, dialah anggota yang paling berpengalaman dan berkuasa, karena kedudukannya yang tinggi itu. Malah kalau lain hiocoe bisa berganti kedudukan, dia tidak pernah. Sekarang orang telah saksikan ia umbar kemurkaannya, karena ia ingin uji Siangkoan In Tong yang kenamaan untuk ilmu silat nya, untuk liehaynya mulutnya juga. Ia bisa menggunai pedang, akan tetapi pun poan koan pit, ditangannya menjadi senjata yang tak kalah liehaynya.

Juga Siangkoan In Tong, menghadapi ketua dari Thian Hong Tong, tidak bersikap seperti biasanya ia layani lain2 lawannya, sama sekali ia tidak mau menyindir atau bergurau. Ia berkelahi dengan sungguh2, dengan waspada. Ia telah perlihatkan kegesitan tubuhnya. Beberapa kali ia berlaku luar biasa, ialah disaat kedua senjata mau bentrok, ia luputkan itu secara tiba2, atau tidak ke ruan2 ia benturkan sepasang gelangnya satu pada lain hingga menerbitkan suara yang seperti menulikan kuping. Atau ia berkelit untuk melulu meneruskannya menyerang musuh.

Begitulah beberapa kali Auwyang Siang Gee hampir2 kena diliciki hingga hiocoe itu jadi semakin panas hati.

Selama bertanding itu, sepuluh jurus lebih sudah dilewatkan, setelah itu Auwyang Siang Gee merasa, tak boleh pertandingan diantap ber larut2 secara demikian, bahwa ia mesti tempuh kematian untuk rebut kemenangan terakhir. Ia berkuatir sendirinya untuk men sia2kan tempo karena awan mendung yang mengancam Hong Bwee Pang. Iapun merasa tak ada muka akan menemui lagi semua anggota Hong Bwee Pang apabila ia sampai rubuh dalam pertempuran ini, ia mesti malu sendiri terhadap kawan2 kaum kang ouw lainnya. Demikianlah, ia telah ambil suatu keputusan untuk menempuh bencana, untuk dari kekalahan merebut kemenangan…..

Mulailah sekarang, selagi mencoba mendesak, Auwyang Hiocoe keluarkan totokan yang berbahaya, akan cari jalan darah lawan. Ia memang kenal tiga puluh enam jalan darah seperti Siang koan In Tong sudah sebutkan tadi. Ia gunai ini tanpa perdulikan lawan telah ketahui kepandaiannya itu. Sebab ia tidak ingin membiarkan lawan tangguh ini lolos dari sepasang poan koan pit nya. Kecuali bentrokan yang dahsyat luar biasa, tidak pernah ia mau kelit diri.

“Ah, Auwyang Siang Gee, benar2 kau hendak adu jiwamu!” kembali Siangkoan In Tong mendamprat dalam hatinya. Ia lihat tegas kebulatan tekad dari lawan ini, yang telah menjadi nekat.

“Benar2 kau rela untuk kita binasa bersama! Baik, Auwyang Hiocoe, kau bukalah matamu!”

Siangkoan In Tong telah ambil putusan akan gunai ilmu silat “Kiauw ta cap jie kiong” atau “Dengan kecerdikan memukul jalan darah dari lawan liehay itu. Begitulah kalau ada datang serangan langsung dari sepasang poan koan pit, ia rangkap kedua gelangnya, untuk menjaga diri. Beda daripada biasanya, sekarang ia jarang adu kedua gelangnya. Atau sekalinya dia adu itu, ia terbitkan suara nyaring hingga mengaung bagaikan lonceng gereja atau harimau menggeram, lalu ia ulangi ini beberapa kali!

Belasan jurus telah dilewatkan pula, masih keduanya belum dapat capai maksud hatinya, terutama tidak Auwyang Siang Gee, yang berkelahi secara nekat. Ia mesti menghadapi kelicinannya sang lawan, yang tetap masih perlihatkan kegesitan tubuhnya, menyingkir dari sesuatu serangan yang berbahaya, kecuali kapan ada ketikanya, baharulah ia balas menyerang dengan tidak kurang hebatnya.

Satu kali datanglah waktu yang baik dan Auwyang Siang Gee segera gunai itu. Dengan tangan kiri ia serang jalan darah in tay hiat, dengan tangan kanan ia menotok jalan darah tan thiah hiat. Kalau ia berhasil….

Siangkoan In Tong geraki tangan kanannya keatas, tangan kirinya kebawah, akan halau kedua serangan, kemudian tangan  kanan  itu diteruskan  akan  balas serang jalan darah hoa kay hiat dari lawannya itu, atas mana dengan “Tiat so hong cioe”, atau “Merantai perahu nyimpang”, Auwyang Siang Gee sambut serangan balasan dari lawannya itu. Kali ini ia berhasil.

Memang sudah sekian lama, Auwyang Siang Gee arah lobang gelang dari Siangkoan In Tong, ia ingin tusukkan pitnya kedalam lobang gelang itu, supaya dengan satu totokan yang diteruskan, ia bisa totok berhasil lawannya itu. Maka mendapati ketika yang baik ini, ia kerahkan tenaganya pada pitnya itu.

Tidak gampang untuk Siangkoan In Tong menarik pulang gelangnya untuk meloloskan pit, guna hindarkan diri dari totokan yang membahayakan, akan tetapi jago ini tidak menjadi gugup.

“Awas!” berseru hiocoe dari Thian Hong Tong.

Ujung poan koan pit sudah lantas menghampirkan pundak kiri.

“Bagus!” Siangkoan In Tong iyuga berseru, selagi pundaknya terancam bahaya itu. Dengan tiba saja, dengan tenaga penuh, ia angkat tangannya keatas sambil diputarkan, hingga poan koan pit jadi kena terlilit.

Selagi tangan kanannya bekerja, tangan kiri Auwyang Siang Gee juga tidak diam saja, dengan poan koan pit ditangan sebelahnya ini ia menotok jalan darah sam lie hiat dibawahan bukuh lengan kanan dari lawan itu, serangannya datang dari bawah naik keatas.

Serangan tangan kiri Auwyang Hiocoe menyusuli seruannya Siangkoan In Tong. Siangkoan In Tong yang lihat serangan itu segera egos tubuhnya kekiri, tapi meski demikian, gelang dan poan koan pit masih tetap melilit, maka sambil berkelit, dengan gelang kirinya ia balas menyerang pundak kanan dari lawannya itu. Mereka berada dekat sekali satu dengan lain, dan karena pitnya belum juga terlepas, Auwyang Siang Gee jadi terancam bahaya, mungkin tulang tulangnya remuk atau patah.

Dalam saat yang genting itu, sekonyong konyong terdengar seruan “Hiocoe, kasilah aku yang menggantikannya!”

Seruan itu disusul datangnya satu tubuh yang mencelat keantara mereka, lalu sepasang gaetan Houw tauw kauw menyelak diantara kedua lawan yg. sedang berkutet itu. Itulah satu cara penyerangan untuk memisahkan.

Oleh karena datangnya orang yang ketiga ini, Siangkoan In Tong putar balik gelangnya, sambil berbuat demikian, ia berlompat mundur. Ia bisa berbuat begitu karena putarannya itu berarti terlepasnya lilitan gelang terhadap poan koan pit.

Kapan Auwyang Siang Gee tarik pulang senjatanya, ia lantas berpaling kepada orang ketiga itu, yang berdiri dengan tegak, romannya bengis, yang ia lantas kenali sebagai Pek gan Hong liong Coei Gie, tocoe yang diandalkan dari Soen kang Cong tocoe Ceng kang ong Ang Giok To, ketua pusat perondaan di Hoen coei kwan, dimana bahagian ronda dipecah antara dua belas cabang.

Coei Gie adalah anggauta lama dari Hong Bwee Pang, tugasnya adalah mengikuti Ang Giok To. Dia gagah, sebab kalau dengan tangan kosong dia paham ilmu pukulan “Sin kang Soe sie ciang” atau “Empat Tangan Malaikat”, bersenjata dia liehay dengan sepasang gaetannya berkepala macan2an, Houw tauw kauw, ilmu silat mana ia peroleh dari Keluarga Ca yang kesohor.

Oleh karena tugasnya diluar, tidak biasanya Coei Tocoe ini masuk kedalam, apa pula ke Ceng Giap San chung, kalau sekali ini ia datang dengan tiba2, itulah disebabkan suasana genting diwilayah perondaannya. beberapa kali ia melepas burung merpati untuk memberi laporan, masih ia tidak peroleh jawaban. Disebelah Ang Giok To, dia mesti bertanggung jawab terhadap Siang ciang Hoan in Coei Hong, tapi dia ini telah masuk kedalam Cap jie Lian hoan ouw, maka tak berani ia bertanggung jawab sendiri, dari itu, lantaran tidak bisa menantikan lagi balasan kabar dari pusat umum, terpaksa ia masuk ke Ceng Giap San chung, untuk beri laporan langsung. Ditengah jalan ada orang Hong Bwee Pang yang beritahukan padanya bahwa pertempuran di Ceng Giap San chung sudah mendekati saat terakhir, sedang kedua hiocoe dari Ceng Loan Tong dan Kim Tiauw Tong ada dibelakang Ceng Giap San chung tengah memberi titah2. Dijelaskan juga, adalah Liong Tauw Pang coe sendiri dan hiocoe dari Thian Hong Tong yang sedang layani musuh. Setelah ini, ia dianjurkan menemui kedua hiocoe dibelakang San chung itu.

Sebagai orang Hong Bwee Pang, Coei Gie tidak berani menyalani aturan, maka sebelum masuk ke Ceng Giap San chung, ia pergi dahulu kebelakang untuk menemui Bin Tie dan Ouw Giok Seng, kedua hiocoe dari Ceng Loan Tong dan Kim Tiauw Tong. Kedua hiocoe ini tidak tegur kelancangannya ia meninggalkan tugas, sebab laporannya ada lain dari biasanya, terutama laporannya mengenai hal dua buah perahu yang mencurigai, yang kemudian disusul oleh yang lainnya sampai berjumlah lima perahu, antaranyapun ada perahu2 nelayan, yang semua aku diri sedang pesiar dan menangkap ikan, tetapi diperahu nelayan ada kedapatan alat2 palsu. Coei Gie sangat curiga dan kuatir, maka terpaksa ia datang sendiri, katanya. Ia kuatir jumlah perahu ‘pesiar’ itu bertambah tambah hingga sulit untuk ia mengurusnya. Ia mau menduga bahwa perahu2 nelayan itu adalah perahu2 negara, dari pasukan air pemerintah.

Bin Tie dan Ouw Giok Seng pun curigai sepak terjang dari pemerintah, yang mungkin berniat menyerbu dan menindas Hong Bwee Pang. Mereka tanya apa pihak perondaan sanggup mengatasi serbuan. Coei Gie jawab, sampai sebegitu jauh, kekuatiran belum ada, tetapi entahlah nanti. Karena ini, kedua hiocoe itu lantas kirim kabar ke Hoen coei kwan, untuk pelbagi pusat memasang mata dan bersiap2. Mereka ini niat bertindak kalau pertandingan di Ceng Giap San chung sudah berakhir. Sehabis itu Bin Tie minta Ouw Giok Seng ajak Coei Gie pergi ke Ceng Giap San chung, utk. menghadap hiocoe dari Thian Hong Tong atau Liong Tauw Pang coe sendiri. Tapi mereka ini sampai di dalam justeru pertandingan sedang berlangsung secara membahayakan kedua pihak diantara Auwyang Siang Gee dan Siangkoan In Tong.

Boe Wie Yang telah perlihatkan roman murka apabila ia saksikan jalannya pertandingan diantara hiocoenya dan jago yang liehay dari pihak tetamu itu.

Ouw Giok Seng menonton sekian lama, lalu ia kisiki Coei Gie “Kelihatannya kita mesti tunggu dulu sebentar sebelum bisa memberi laporan kepada Pang coe. Pertandingan ada membahayakan sekali. Mungkin kau tidak kenal pihak musuh itu?”

“Tee coe belum pernah lihat dia”, jawab Coei Gie, “tetapi tentang senjatanya, pernah teecoe mendengarnya. Apakah dia bukannya Wa po eng Siangkoan In Tong yang kesohor karena senjata Lie hoen Coe bo kiannya itu? Dialah yang menggetarkan Liauw tong. Mengapa dia datang kemari? Untuk di Kanglam, belum pernah orang menemui dia. Pasti dia datang karena undangan Hoay Yang Pay untuk membantui”. “Itulah mungkin” Giok Seng manggut. “Gelangnya itu sangat berbahaya. Jangan hiocoe dari Thian Hong Tong bukan tandinganya ”

Coei Gie lihat pertempuran makin membahayakan, maka ia kata pada Ouw Giok Seng “Hiocoe, sukakah kau bertanggung jawab untukku? Dengan sepasang gaetanku, aku ingin lakukan pertempuran yg memutuskan dengan dia itu! Disini aku seorang tak berarti, syukur jikalau aku menang, jasa mana aku tidak harapkan, tapi apabila aku rubuh dibawah Lie hoen Coe bo kian, kekalahanku tidak akan merugikan nama baik kaum kita. Kalau aku sembarang maju, itu berarti kelancangan dan melanggar aturan, maka itu maukah hiocoe bertanggung jawab?”

Ouw Giok Seng anggap perkataannya tocoe ini betul juga. Ia pun harap Coei Gie akan berhasil. Mengingat Coei Gie hendak berkurban untuk kaum sendiri, ia percaya Boe Pang coe tidak akan mempersalahkan padanya untuk kelancangannya menanggungkan to coe itu. Karena ini, ia anggukkan kepala.

Begitulah sudah terjadi, disaat paling genting dari pertempuran, setelah serukan Ouw Hiocoe, Coei Gie lompat menyelak diantara dua jago seraya gunai sepasang gaetannya, hingga Auwyang Siang Gee dan Siangkoan In Tong jadi terpencar.

Siangkoan In Tong gusar terhadap orang baru ini, lantas saja dia kata “Kau datang, ini lah bagus! Rupanya namamupun sudah tercatat dalam daftar takdir, hingga tak usah aku cari lagi, kau sudah datang sendiri! Kau berani main2 dihadapan Siangkoan Loosoe, aku kagum terhadapmu! Apa kau bukannya sahabat dari Hoen coei kwan? Aku si melarat pernah lihat kau! Disini bukannya tempat omong hal persahabatan, apakah dengan sepasang gaetanmu itu kau niat tandingi gelangku? Baik, orang she Coei, silahkan kau keluarkan ilmu gaetanmu itu, supaya aku si melarat dapat membuka mataku! Hayolah maju, aku ingin layani kau beberapa jurus. Silahkan, sahabat!”

Siangkoan In Tong lantas mundur setindak, kedua gelangnya dirangkap hingga menerbitkan suara nyaring.

Coei Gie segera pasang kuda2nya. Sebenarnya ia tidak punya kepastian akan berhasil rebut kemenangan, tapi ia tahu benar bahwa sepasang senjatanya itu sepasang gaetan Houw tauw kauw adalah alat istimewa untuk takluki pelbagai senjata luar biasa lainnya. Iapun ingin gunai antero kepandaiannya dalam pertandingan ini. Maka ia siap tanpa ragu2. Setelah pasang kuda2, ia geraki sepasang gaetanya itu, ia maju dengan menginjak tiong kiong, jalan dipintu hong boen.

Dilain pihak Siangkoan In Tong masih saban2 adu kedua gelangnya, dengan suaranya makin lama makin keras dan nyaring, kapan ia tampak lawan bergerak, iapun segera bertindak maju, hingga keduanya jadi saling menghampirkan satu pada lain.

Tanpa sungkan2 lagi Coei Gie geraki tangan kirinya, akan menyabet kebawah, berbareng dengan mana, gaetan kanannya menyambar keatas. Sebenarnya ini adalah ancaman belaka.

Siangkoan In Tong berkelit kekanan, selagi menggeser kaki, kakinya itu diangkat sedikit tinggi, dengan begitu, luputlah ia dari sabetan gaetan. Selagi berkelit, tangan kanannya menyambar gaetan lawan yang menjurus kemukanya, hingga kedua senjata jadi beradu.

Cepat luar biasa, Coei Gie tarik pulang kedua gaetannya, untuk terus diayunkan kekiri kepada iga kiri dari jago itu. Inilah gerakan “Siang liong kian bwee”, atau “Sepasang naga melilit ekor”. Serangan itu sampai bersambarkan angin.

Siangkoan In Tong hindarkan diri dengan lompat mencelat tinggi setumbak lebih, setelah turun lagi, ia telah terpisah enam atau tujuh kaki dari penyerangnya itu.

Coei Gie serbu sasaran kosong, maka ia lantas putar tubuhnya, untuk majukan kaki kanan, lalu terus berlompat akan hampirkan musuh. Dua kali ia mencelat, ia sudah lantas datang dekat, sepasang senjatanya menyerang lagi, keduanya turun dari atas kebawah. Ia telah gunai tipu serangan “Lioe seng kan goat” atau “Bintang memburu rembulan.”

Meskipun Siangkoan In Tong diserang lebih dahulu, bahkan dengan serangnya yang dahsyat, namun, ia masih sempat berseru “Bagus! Inilah bagus!” Dengan sebat ia angkat kedua gelangnya kedada, untuk diangkat terus akan sambut senjata musuh yang hendak dikalungi dengan gelangnya itu.

Selagi diangkat kedada, kedua gelang bentrok satu dengan lain hingga bersuara nyaring.

Coei Gie telah berlatih baik dengan sepasang gaetannya, ia tahu tenaganya pun besar, akan tetapi ia tidak sudi sembarang adu senjatanya dengan senjata lawannya itu, maka melihat tangkisan lawan, ia cepat2 mengadakan perubahan. Masih ia tidak hendak tarik pulang lantas senjatanya itu. Ia batal menyerang, gaetan kirinya ia buka kesamping, tetapi gaetan kanannya ia putar, untuk terus dipakai menyambar gelang kiri dari lawannya itu, supaya ia bisa gaet dan betot, untuk diteruskan pula dengan serangan gaetan kiri.

Tocoe ini cerdik, ia memikir baik, gerakannya juga sangat cepat, akan tetapi disebelah itu, ia kini berhadapan dengan seorang cerdas luar biasa. Siangkoan In Tong saksikan perubahan gerak tangan dari lawannya itu, ia tidak mau kalah gesit, ia tidak sudi mengasi hati, ia segera mendahului. Ia menyambar dengan gelang kiri, untuk bikin gelangnya kena digaet atau dicantel, tetapi berbareng dengan itu gelang kanannya ia buang kekiri, hingga gelang itu bersuara sendirinya, lalu terus ia hajar lengan kanan dari Pek gan Hong liong si Naga Mata Biru.

Dibalas secara demikian, benar2 Coei Gie repot, akan tetapi ia masih punya kesebatan untuk elakkan diri, akan halau ancaman bahaya. Ia berkelit kekanan dengan geser kakinya, lalu gaetan kirinya ia barengi menyerang bahu kanan dari lawannya.

Melihat cara bersilat dari musuh ini, Siangkoan In Tong insyaf musuh tak dapat dipandang ringan, ia berlaku hati2. Begitulah atas serangan itu, ia berkelit sambil mendek, sepasang gelangnya dibawa naik keatas, setelah keduanya saling bentur, ia teruskan menyabat kebawah, akan sambar kedua paha lawan.

Coei Gie bisa luputkan diri dari sabetan kekakinya itu, ia telah berlompat kekanan, niatnya untuk balas menyerang, ia tidak sangka bahwa ia sudah didului lawannya, yang meneruskan dengan tipu pukulan “Siang liong tam coe,” atau “Sepasang naga mencari mutiara,” menyerang kearah kedua pundaknya.

Sambil mendek Coei Gie lompat mundur kebelakang, dengan begitu pundaknya lolos dari ancaman bencana.

“Oys&ng she Coei, tak dapat kaif memikir untuk berlalu dari sini !”

Siangkoan In Tong bentak lawannya. “Disini ada tempat dimana tubuhmu bakal dikubur atau juga tempat tulang ku bakal dipendam! Kau sambutlah!” Bentakan ini disusul dengan lompatannya si pembentak sendiri, yang menyusul lawannya itu, akan tetapi Coei Gie segera memutar tubuh, untuk mendahului menghajar lawannya itu.

Demikian mereka bertempur, saling serang. Coei Gie telah menjadi nekat. Ia insyaf. ia bertempur tanpa perkenan dari Boe Wie Yang cuma dengan setahunya Ouw Giok Seng, apabila ia rubuh, tak ada muka untuk ia keluar dari Cap jie Lian hoan ouw. Maka ia berkelahi secara sungguh2.

Sesudah bertempur sebelas jurus, Siangkoan In Tong perkeras desakannya, saban2 ia ambil kesempatan akan benturkan gelangnya satu dengan lain hingga sering terdengar suara nyaring dan mengaung yang menulikan kuping, mirip dengan menggelugur nya sang guntur. Maka lagi enam atau tujuh jurus, Coei Gie merasa bagaimana ia telah terdesak, hingga apabila ia tidak mencoba untuk rebut ketikanya yang terakhir, mesti ia rubuh.

Suasana disekitar Ceng Giap San chung terus ber tambah2 buruk hingga Boe Wie Yang menjadi sangat ibuk. Saban terdengar suara suitan samar2, datangnya bukan dari satu jurusan saja. Pihak Hoay Yang Pay dan See Gak Pay pun dapat dengar suara itu. Umumnya orang2 Hong Bwee Pang yang hadir didalam San chung itu telah perlihatkan wajah dari kekuatiran atau sedikitnya, roman tidak tenteram, malah antaranya ada yang saling bisik2.

Diatas udara juga suka tertampak terbang datangnya burung dara, rupanya dari Hoen coei kwan atau Cap jie Lian hoan ouw, semua menuju kebelakang Ceng Giap San chung, akan tetapi ada diantaranya yang kena terpanah, dan rubuh entah oleh siapa, karena ini, hampir tidak ada orang yang perhatikan Coei Gie dan Siangkoan In Tong yang sedang bertempur disaat2nya yang genting sekali. Apakah ada ancaman marah bahaya yang sedang mendatangi? Demikian orang umumnya berpikir.

Dalam saat dari suasana buruk itu, tiba2 terlihat satu orang muncul dari belakang gunung2an dari Ceng Giap San chung, dia ber lari2 mendatangi, sebelah tangannya memegang sebuah bendera merah. Dia seperti nerobos saja.

Menampak demikian, Pat pou Leng po Ouw Giok Seng memapaki untuk mencegat, karena mana, berdua mereka bicara pelahan sekali satu dengan lain, setelah mana, dengan satu gerakan tangan, Ouw Hiocoe suruh pembawa bendera itu segera undurkan diri. Giok Seng sendiri lantas kembali untuk hampirkan Boe Wie Yang, untuk berikan laporarnnya.

Menyusul ini kembali terdengar suara, suitan, beruntun sampai tiga kali. Dan kali ini, suara itu datangnya dari tempat lebih dekat, dari jurusan barat utara.

Menghadapi semua itu, Boe Wie Yang telah tak dapat kendalikan diri lagi. Ia segera menoleh kepada Eng Jiauw Ong, niatnya untuk bicara. Tapi justeru itu dimedan pertempuran, pertandingan juga telah sampai dibabak terakhir.

Coei Gie menginsafi benar2 bahwa ia bukan tandingannya Siangkoan In Tong, akan tetapi ia tetap tidak sudi mundur, malah ia hendak adu jiwanya. Karena ini, ia mencoba menenangkan diri, supaya ia bisa gunai sepasang gaetannya dengan berhasil.

Telah timbul pikiran jahat didalam hatinya, supaya lawannya terbinasa bersama ia didalam Ceng Giap San chung ini.

Begitulah, ia mencoba untuk mendesak. Tibalah saatnya Siangkoan In Tong bergerak dalam “Siang liong coe soei,” atau “Sepasang naga keluar dari lautan,” kedua gelangnya diajukan, untuk menyerang dada.

Pek gan Hong liong tidak menangkis, ia tidak juga jaga dirinya, hanya ia meluputkan diri dengan menyedot kosong perutnya sambil tubuh mundur sedikit, berbareng dengan itu, kedua gaetannya dikasi bekerja untuk ancam senjata musuh. Tapi ini ada gertakan saja.

Siangkoan In Tong memecah kedua tangannya, tapi justeru itu, gaetan kiri menyambar mukanya dan gaetan kanan menyerang jalan darah in tay hiat. Ia mengarti musuh telah jadi nekat, ia pun telah dengar suara suitan ber ulang2, ia menduga pada keadaan yang mengancam, karena itu, ia juga telah ambil suatu keputusan. Maka dalam keadaan demikian, ia mesti paksakan satu akhir pertandingan.

Sepasang gelang dari jago ini sudah keluar, ia lantas terancam houw tauw kauw, maka dengan sebat ia menarik pulang keduanya, untuk dipakai bergerak pula. Gelang kanannya sengaja dimajukan, untuk cari gaetan kiri dari Coei Gie, dan gelang kirinya dipakai menyambut gaetan kanan. Gerakan ini ada cepat sekali.

Dalam serangannya, Pek gan Hong liong berbalik kena diserang, senjatanya terancam hebat, umpama houw tauw kauw tidak kena dihajar terpental atau terlepas, sedikitnya ia akan kena dibikin kehilangan daya. Dalam keadaan sangat terpaksa itu, ia gunai tenaganya, ia tarik pulang sepasang gaetannya.

Apa lacur untuk si Naga Mata Biru, datangnya sepasang gelang adalah dari bawah selagi gaetan nya ditarik pulang, kedua gelang membarengi membuka kedua gaetan, lalu sebat luar biasa dari atas, kedua gelang itu menyambar kedada, keperut. Serangan berlaku bagaikan kilat menyambar. Kedua gaetan terpisah kekiri dan kanan, dada telah terbuka, tidak ampun lagi sepasang Lie hoen Coe bo kian menggempur dengan hebat, hingga terdengar suara keras.

Dalam saat itu, tak sempat Coei Gie membuang diri kebelakang, kalau toh tubuhnya mundur, itu adalah akibat gempuran yang membuat ia terhuyung empat lima tindak, lantas ia rubuh terjengkang, karena tak sanggup ia pertahankan diri, kedua senjatannya terlepas jatuh. Begitu ia rubuh terbanting, dari mulutnya menyembur darah hidup tingginya sampai satu kaki.

Gaetan kanan telah terpental jauh, kearah rombongan Hong Bwee Pang, hingga mereka ini kaget, syukur mereka masih sempat berkelit, dengan begitu dengan terbitkan suara nyaring senjata itu jatuh kelantai.

Orang2 Hong Bwee Pang jadi sangat gusar karena kesudahan yang sangat hebat itu, hingga ada beberapa yang menjerit “Kami dari Hong Bwee Pang ada bermusuhan apa dengan kau maka kau turunkan tangan jahat ini? Saudara2, mengingat persaudaraan kita, baiklah dia ini jangan dikasi keluar pula dari Ceng Giap San chung!”

Atas seruan ini, belasan orang segera muncul dengan senjata terhunus.

Siangkoan In Tong sehabis pertempurannya yang memutuskan itu, dengan sikap tenang seperti tidak ada sesuatu kejadian, sudah lantas hadapi Eng Jiauw Ong.

“Ceng Hong Po coe, aku harap kau sudi buka mata lebih terang!” katanya. “Keadaan ada begini rupa, apa lagi kau hendak tunggu jikalau urusan dalam Cap jie Lian hoan ouw ini tidak segera diselesaikan? Tiga pertandingan sudah berakhir, apa yang kita bilang, dapat kita jalankan, maka silahkan kau bicara kepada Pang coe dari Hong Bwee Pang untuk keputusannya! Tak dapat kita menanti lagi!”

Eng Jiauw Ong juga Insyaf akan keadaan genting itu, ia tidak bersangsi pula, akan tetapi selagi ia hendak bicara kepada Boe Wie Yang, Ouw Giok Seng telah dului ia.

Pat pou Leng po giris menyaksikan kebinasaannya Coei Gie, orang terhadap siapa ia bertanggung jawab, tidak perduli adalah kehendak Pek gan Hong liong sendiri untuk tempur lawannya. Bagaimana ia tegah atas kebinasaannya tocoe yang kosen itu? Maka ia niat mencari balas. Akan tetapi iapun insyaf liehaynya Lie hoen Coe bo kian, yang tak dapat dikalahkan oleh pedang atau lainnya senjata pula. Ia bertambah ibuk kapan ia ingat suasana buruk, karena mengartilah ia sekarang, kecuali didalam ada musuh2 Hoay Yang Pay dan See Gak Pay, diluar, lain musuh yang belum ketahuan siapa, ada sedang melakukan penyerbuan dan penyerbuannya itu agaknya tidak kurang mengancamnya. Diserang dari dalam dan luar, apa mungkin Hong Bwee Pang dapat bertahan? Dari itu, ia menjadi nekat. Dan ia hendak andalkan jarum rahasianya, Bwee hoa Toat beng ciam jarum perampas jiwa “Bunga Bwee.”

Pada ketika Hoay Yang Pay mulai masuk ke Kim Tiauw Tong, gedung Garuda Emas, dalam pertandingan diempang teratai, pernah Giok Seng gunai jarumnya yang liehay itu, hanya karena untuk jaga nama baik Hong Bwee Pang, ia berlaku sembunyi2 walau kemudian musuh ketahui itu, namun perbuatannya itu tidak di tarik panjang, selanjutnya tidak ada yang timbulkan lagi.

Sekarang, dalam keadaan terpaksa, ia ingat jarumnya itu, tak lagi ia ingat kepada derajat. Begitu, dengan tidak menghiraukan mayatnya Coei Gie masih menggeletak, tanpa bicara lagi pada ketuanya, ia minta sebatang pedang dari salah satu orangnya, lalu ia hampirkan Siangkoan In Tong.

“Siangkoan Loosoe, Lie hoen Coe bo kianmu benar2 sangat liehay!” katanya. “Akan tetapi disebelah itu, Loosoe, tanganmu ternyata keliru sekali! Bukankah Coei Tocoe ini tidak mendendam atau bermusuh denganmu? Kenapa kau turunkan tangan jahatmu terhadapnya, hingga kau membangkitkan kemurkaan umum? Siangkoan Loosoe, apa mustahil kau tidak memikir untuk berlalu dari Ceng Giap San chung ini?”

Selagi Ouw Hiocoe berkata2, selagi Siangkoan In Tong belum hunjuk sikapnya, Eng Jiauw Ong telah wujudkan niatnya bicara dengan ketua Hong Bwee Pang.

“Boe Pang coe!” katanya, dengan suara nyaring, “hari ini kita melakukan pertempuran persahabatan, kedua pihak sudah berjanji terang bahwa tiga pertandingan terakhir adalah yang memberi putusan, mengenai itu pihak kami telah bersedia menerima janji itu, sekarang tiga pertandingan telah berakhir, mengapa pihakmu masih saja tidak mau menyudahi? Dipihakmu, jumlah anggauta ada banyak sekali, jikalau semua orangmu ingin juga turut ambil bagian, sampai kapan pertempuran akan dianggap telah selesai? Boe Pangcoe, aku minta kau berikan putusan mu!”

Sulit untuk Boe Wie Yang berikan jawabannya, karena suasana ada demikian mendesak. Bila diwaktu2 biasa, pasti segera ia bisa lantas menjawabnya. Terang sekali ia telah kehilangan ketenteraman dirinya. Justeru ia sedang berpikir, Ouw Giok Seng sudah sampai didepannya dan Hiocoe ini segera wakilkan ia bicara.

“Ong Loosoe, kau menegur kami, inilah tak dapat kami terima”, katanya. “Pang coe kami, dalam segala hal dapat dipercaya, tidak nanti dia menyangkal. Memang telah dijanjikan keputusan dalam tiga pertandingan terakhir, akan tetapi toh telah dibicarakan juga, siapa sanggup angkat senjata dan dia berani maju, diapun ada mempunyai hak untuk bertanding dan kita tidak dapat mencegahnya. Janji kita sebenarnya ada untuk tidak memendam kepandaian, sebaliknya justeru untuk berikan ketika sesuatu orang2 perlihatkan kepandaiannya itu! Ong Loosoe, urusan kita kedua pihak, keputusannya akan segera tertampak didepan mata! Sepasang Lie hoen Coe bo kian dari Siangkoan Loosoe sudah menindih semua jago, dalam Hong Bwee Pang kami mungkin tak ada yang berani melayaninya lebih jauh, akan tetapi aku sendiri adalah lain. Aku memberanikan diri untuk turut bicara! Aku ingin menjadi juru penyelesai dari pihak Hong Bwee Pang, kehormatan dan kehinaan kami terakhir, suka aku menanggung jawabnya! Bukankah ini ada keputusan terakhir?”

Setelah mengucap demikian, tanpa tunggu jawabannya Eng Jiauw Ong, Ouw Giok Seng segera hadapi Siangkoan In Tong, akan berkata pula “Siangkoan Loosoe, aku Ouw Giok Seng ingin menjadi orang terakhir yang menerima pengajaran dari senjatamu, Lie hoen Coe bo kian, supaya dalam pertemuan didalam Ceng Giap San chung ini kau dapat pegang tetap namamu yang kesohor! Boleh dibilang, seluruh Cap jie Lian hoan ouw ini telah didorong oleh tanganmu, hingga disini tidak ada lagi hari pertemuan lainnya pula! Aku juga tidak memikir untuk tempatkan pula namaku sebagai boe beng siauw coet didalam kalangan kang ouw, aku ingin serahkan semua kepandaianku dihadapan gelangmu…. Siangkoan Loosoe, karena ini ada pertandingan yang terakhir, aku kira kau pasti tidak sayang akan berikan pengajaranmu kepadaku?” Selama tadi orang bicara kepada ketua Hoay Yang Pay, Siangkoan In Tong telah dapat dengar itu dengan nyata, tetapi ia tidak memperdulikannya, ia justeru gunai ketika akan berbisik dengan Ban Lioe Tong, adalah setelah orang habis menutup mulut, baharu ia tertawa dingin. Ia telah lihat sikapnya orang, ia merasa pasti juga hiocoe ini hendak adu jiwa.

“Ouw Hiocoe, kau hendak bertanggung jawab untuk Hong Bwee Pang, kau ingin mencari keputusan untuk urusan kita kedua pihak, inilah aku si melarat tidak sangka!” katanya. “Akan tetapi kau bersikap secara begini terbuka, sikapmu membikin aku si melarat puas sekali. Ouw Hiocoe, bukankah kau hendak adu jiwa dengan keluarkan semua kebisaanmu? Sayang aku tadi telah perlihatkan semua kepandaianku hingga sekarang aku telah jadi sangat letih. Sebenarnya tak dapat aku terima kebaikan hatimu ini. Sebetulnya aku merasa beruntung yang sampai saat ini aku tetap masih hidup, sedang tadinya tidak pernah aku pikir bahwa aku akan dapat keluar pula dari Ceng Giap San chung! Ouw Hiocoe, sungguh kau baik hati berani bertanggung jawab untuk pertempuran terakhir dan yang memutuskan ini, maka biarlah, semua tulang2ku si melarat, aku peserahkan kepadamu! Umpama aku rubuh, aku akan rubuh dengan puas, biarlah hari ini menjadi juga hari terakhir dari Lie hoen Coe bo kian hidup dalam dunia, kang ouw! akan tetapi, Ouw Hiocoe, kau hendak wariskan semua kepandaianmu kepadaku, coba kau jelaskan dulu bagaimana caranya, supaya kalau sebentar aku mati, tidaklah aku jadi setan gentayangan”.

“Siangkoan Loosoe, harap kau tidak obral mulutmu terhadap aku,” kata Pat pou Leng po. “Kau tidak memikir pula untuk keluar lagi dari Ceng Giap San chung ini, itulah menandakan pandanganmu yang jauh, itulah bukti bagaimana hatimu telah terbuka! Memang harapan ada kecil sekali yang kau akan bisa keluar dengan baik2 dari sini! Demikian memang ada pikiranku sendiri. Maka sekarang, aku rasa, kita sudah bicara jelas. Aku Ouw Giok Seng, bukannya seorang kenamaan dari Rimba Persilatan, aku tidak punya kepandaian yang mengejutkan langit dan menggetarkan bumi, aku melainkan andalkan pedangku didalam tanganku ini dan dua rupa senjata rahasia didalam kantongku. Sudah sekian lama aku berkelana, tahulah aku tentang diriku sendiri, aku merasa pasti, dibawah Lie hoen Coe bo kian, tidak nanti aku punyakan harapan baik. Tapi kau telah binasakan Coei Gie, dia adalah orang sebawahan di Kim Tiauw Tong, maka tak dapat aku tidak urus perkaranya itu. Aku tidak bicara perkara menuntut balas, melainkan dengan antero kepandaianku aku ingin main2 dengan kau. Siangkoan Loosoe, bisakah gelangmu menyambut dua rupa senjata rahasiaku? Namanya saja senjata rahasia, sebenarnya dipakainya tidak secara menggelap.”

Siangkoan In Tong tertawa dingin, ia meng angguk2. “Tidak kecewa kau menjadi hiocoe dari Lwee Sam

Tong!” katanya. “Kau jujur, kau membuat orang kagum terhadapmu! Segala apa dibicarakan terlebih dahulu, ini

baharu kelakuannya satu enghiong, satu hoohan! Aku si melarat paling suka pilih barang, membeli kepada satu akhli aku memang sedang cari akhli dagang semacam itu, inilah, kebetulan. Baik aku terangkan, sebenarnya aku kuatir orang nanti tertawai aku atau cela aku pandai timbulkan gara2 tapi gelangku ini, sejak mulai aku melatih nya ialah diutamakan untuk menggempur senjata2 rahasia, maka kebetulan sekali, sekarang aku berada didalam Ceng Giap San chung ini. Maka, Ouw Hiocoe, kau hendak ajarkan aku dengan senjata rahasia, aku sangat gembira! Ouw Hiocoe, baik jangan berayal pula, silahkan kau mulai hunjuk kepandaianmu itu, umpama kata aku terbinasa dibawah senjata rahasiamu, aku rela!”

“Kau baik sekali, Siangkoan Loosoe”, kata Ouw Giok Seng. “Kau sudi mengajari aku, suka aku menerimanya, maka tak ingin aku berlaku sungkan pula. Aku menggunai pedang, harap dengan Lie hoen Coe bo kianmu kau menaruh belas kasihan terhadapku, supaya, walaupun kita mencari keputusan, kesudahannya ada baik sekali!”

Dengan kata2nya ini, Ouw Giok Seng hendak tutup mulutnya si jail, karena ia kuatir sangat orang nanti ngoceh terus. Iapun lantas mundur tiga tindak, untuk mulai pasang kuda, pedangnya didepan dada, tangan kirinya dampingi pedangnya itu. kemudian sambil mempersilahkan, ia lonjorkan pedangnya, tangan kirinya digeser kejidat. Dengan begitu, ia perlihatkan sikap “Sian jin cie lou”, atau “Dewa menunjukkan jalan”. Ia telah menggeser kaki kanan kekanan, dan kaki kiri hanya jarisnya saja yang menginjak tanah.

Siangkoan In Tong juga sudah lantas turut bersikap, gelangnya dibentrokkan sampai tiga kali, hingga suaranya jadi saling susul. Ia menggeser kekanan juga. Maka keduanya lalu berputaran.

Hiocoe dari Kim Tiauw Tong benar2 tidak hendak mensia siakan ketika, baharu seputaran ia sudah kesampingkan tubuh, untuk maju menghampiri lawannya, untuk lantas menyerang dengan satu tikaman kepada dada.

Siangkoan In Tong menyambuti pedang dengan gelang kanan, berbareng dengan itu, ia serang iga kanan yang sedang kosong dari lawannya itu.

Giok Seng gesit, ia berkelit kekiri, pedangnya ditarik kebawah, untuk diputar naik keatas, guna diteruskan menyerang bahu kanan dari lawannya itu siapa, kendati juga ia telah bertempur beberapa kali terus menerus, masih tetap sebat dan gesit.

Kali ini Siangkoan In Tong tidak menangkis, ia hanya mengelak diri kekiri, sebelah gelangnya dipakai melindungi dirinya, setelah ia memutar tubuh, dengan gelang kiri itu ia menyerang dengan cepat kearah pinggang lawan.

Giok Seng juga luputkan diri sambil berkelit, habis itu baharulah ia menyerang pula dengan pelbagai tipu dari ilmu pedang Kie boen kiam. Ia perlihatkan kecepatan tangan dan kepesatan tubuh, untuk maju atau mundur, maka itu, ia bisa layani gelang Lie hoen Coe bo kian serta kegesitannya Siangkoan In Tong.

Dipihak Hoay Yang Pay dan See Gak Pay orang pun agak berkuatir terhadap Siangkoan In Tong, sebab Ouw Giok Seng dengan terang2 bilang bahwa dia juga hendak gunai senjata rahasianya. Entah senjata rahasia apa. Orang beranggapan Ouw Hiocoe telah menanam bibit kebencian, sedang salah satu senjata rahasianya adalah jarum kembang bwee yang liehay. Eng Jiauw Ong dan Coe In Am coe juga telah menduga, hiocoe ini lah yang telah gunai jarum rahasia di empang, maka mereka kuatirkan Siangkoan In Tong kalah licik. Karena ini, diam2 pendeta wanita dari Pek Tiok Am ini telah siapkan mutiaranya, See boen Cit poo coe.

Eng Jiauw Ong sedikitnya masih berkepercayaan untuk liehaynya Wa Po Eng itu, dari itu kapan ia tampak persiapannya Coe In Am coe, ia membagi perhatiannya kelain arah. Ia bercuriga untuk suasana yang semakin buruk disekitarnya. Ceng Giap San chung itu, yang tak tenang lagi sebagaimana mereka baru2 memasukinya. Tidakkah burung merpati terbang datang hampir tak hentinya dan juga ada orang2 yang datang dengan laporannya? Tidakkah Boe Wie Yang sendiri agaknya telah terganggu ketabahan hatinya?

Kedua orang yang bertempur sudah lakukan pertempurannya sampai delapan belas jurus, semua itu kelihatan nyata Ouw Giok Seng gunai sungguh2 keentengan tubuhnya, karena selain berkelit, terang ia ambil ketika untuk loncat sana dan loncat sini, hingga ia seperti telah jajah seluruh bidang pertempuran itu. Ia bersilat dengan “Yoe hong hie loei”, atau “Tawon permainkan bunga”. Mungkin ia hendak bikin lelah atau bingung lawannya itu.

Segera datang babak yang kesembilan belas. Maju mendekati lawan. Giok Seng tancap kaki kanan, kaki kirinya menyusul maju, berbareng dengan mana ujung pedangnya menikam ke dada Siangkoan In Tong.

Dengan tenang tapi gesit In Tong berkelit. Dia belum sempat membalas, tahu2 hiocoe itu sudah menceiat ke timur utara, terus keutara sekali, hingga ia jadi berada di timur para2.

In Tong pun loncat akan susul lawannya itu. Jarak diantara mereka ada satu tumbak lima atau enam kaki. Selagi berputar, Giok Seng telah pindahkan pedangnya ketangan kiri, tangan kanannya merogo kantong senjata rahasia. Karena ia memutar tubuh, sukar terlihat aksinya kedua tangannya itu. Jarumnya terisi dalam sebuah bungbung mungil. Justeru orang mendatangi, ia lompat jumpalitan, selagi tubuh berputar, tangan kanannya terayun.

Tidak ragu2 lagi hiocoe dari Kim Tiauw Tong sudah lantas menyerang dengan lima batang jarum yang mengarah atas, tengah, yawah, kiri dan kanan. Rupanya ia tidak mau bekerja kepalang tanggung, ia tutup jalan berkelit dari lawannya.

Siangkoan In Tong merangsek dengan kedua gelangnya ditaruh didepan dada, ia tidak sangka bahwa orang akan serang ia secara demikian telengas. Ia terkejut, akan tetapi dasar sudah banyak pengalaman, ia tidak menjadi gugup. Ia tidak bisa berkelit lagi kekedua sampingnya, maka ia lantas pengkeratkan diri bagaikan anak kecil, kedua gelangnya dipakai menangkis cepat ketengah dan bawah. Ia antap yang dikiri dan kanan, ia biarkan yang diatas lewat, mengenai tihang para2. Sementara itu, yang dikiri dan kanan telah dihajar jatuh oleh mutiaranya Coe In Am coe sebelum jarum itu sampai pada sasarannya.

Sangat gusar adiklah Siangkoan In Tong, hingga ia membentak “Ouw Giok Seng, kau berani gunai senjata rahasiamu secara begini, inilah tanda sudah sampai batas takdirmu! Kemana kau hendak pergi?”

Kata yang terakhir itu dibarengi dengan loncatnya In Tong, yang mencelat menghampiri musuhnya, sepasang gelangnya disiapkan untuk rampas jiwa musuh.

Ouw Giok Seng sambut bentakan dengan tertawa dingin, dan tidak tunggu orang sampai padanya, ia mendahului menyerang pula dengan jarum rahasianya, sebab sebat luar biasa, setelah penyerangannya yang pertama, ia siapkan yang kedua. Serangan ini ada diluar dugaannya Siangkoan In Tong. Maka jago ini jadi sangat terancam. Ia benar gesit tapi ia insaf liehaynya hiocoe itu.

Baharu saja Ouw Giok Seng geraki pundaknya, untuk ayun tangannya atau lebih benar melepas jarumnya mendadak ada terdengar seruan “Awas!” yang keras sekali dari arah para2 bunga, seruan mana disusul dengan menyambarnya batu2 halus kearah hiocoe dari Hong Bwee Pang itu yang mengenai bebokong kanannya dan muka sebelah kanannya juga, hingga karenanya, ketika jarum2 menyambar, semua jadi menuju kebawah, sedang ia sendiri merasakan sakit karena batu2 halus itu.

Sementara itu Siangkoan In Tong telah melesat terus kearah musuh, didepan siapa segera ia kirim serangannya, yang tidak kurang hebatnya, sebab iapun sedang murka dan keras niatnya melakukan pembalasan.

Ouw Giok Seng terkejut. Ia berniat untuk loncat menyingkir tapi tak sempat ia lakukan itu, karena ia tidak pernah sangka, bahwa musuhnya bakal lolos dari bahaya, sebab ia percaya betul serangan susulannya ini tidak akan meleset. Pun serangan batu halus, walaupun itu melukainya enteng sekali, membuat ia kaget dan bingung. Dalam saat sangat mengancam itu tapinya ia masih berdaya untuk berkelit.

Dalam saat Ouw Giok Seng menghadapi ancaman keruntuhannya itu, mendadak Siangkoan In Tong merasakan sambaran angin dibelakang kepalanya, hingga ia menjadi sangat kaget. Memang, selama bertempur ia senantiasa berlaku hati2.

Tentu saja, paling perlu adalah menolong diri dahulu. Terpaksa ia mesti batalkan serangannya terhadap Ouw

Giok Seng. Syukur baginya, ia masih punyakan kesempatan. Maka ia lantas berkelit sambil mendek sedikit kedepan, lalu ia memutar diri untuk menangkis dengan kedua gelangnya.

Tepat sekali ia telah hajar rubuh sebatang panah tangan daa sebuah piauw, yang keduanya tersampok jatuh ketanah.

Ouw Giok Seng pun telah mencelat jauh, terutama karena liehaynya ilmu mengentengkan tubuhnya. Siangkoan In Tong segera memasang mata, tetapi tak dapat ia cari siapa musuh2 gelap itu, yang telah bokong padanya.

Pihak Hoay Yang Pay jadi gusar sekali karena orang bermain curang, mereka hendak tegur Boe Wie Yang.

Selagi suasana ada demikian panas, cuaca terus berubah, ancaman hujan segera dibuktikan kapan satu kali sang geledek menggelegar keras sekali. Air langit segera menimpah mukanya orang.

Dan menyusul guntur itu, di empat penjuru terdengarlah suara suitan saling sambut, yang tidak lantas berhenti.

Mukanya Boe Wie Yang menjadi merah padam, terang ia ada sangat mendongkol berbarengpun bimbang karena suara suitan itu. Ia insaf akan ancaman bahaya, meskipun ia belum merasa pasti, bencana bakal datang dari pihak mana.

Eng Jiauw Ong berpaling kepada tuan rumah. “Boe Pang coe!” dia memanggil.

Hanya sebegitu yang ketua Hoay Yang Pay dapat ucapkan, kata2 selanjutnya dirintangi oleh dua suara dahsyat yang datangnya masing2 dari arah timur utara dan selatan dimana ada terdapat banyak pohon2 tua, pohon2 mana memang seperti mengitari Ceng Giap San chung. Gemuruh itu ambil tempat dibalik deretan pohon2 itu.

Kehebatan lain masih menyusul. Sehabis gemuruh itu, tiba2 ada api berkobar, seperti menyambar nyambar kearah San chung sekali, habis mana segera terdengar suara berisik dari pertempuran diempat penjuru.

Dan dalam kekacauan itu, samar terdengar seruan “Kawanan penjahat Hong Bwee Pang! Siapa dari kamu berani tidak taat kepada undang2 negara dan berani lakukan perlawanan atau kabar, kamu berarti cari jalan mampus sendiri! Seluruh gunung ini sudah dikurung! Maka lemparkan alat senjatamu dan menyerah, nanti kamu luput dari hukuman mati!”

Dua suara gemuruh tadi juga diikuti dengan mengepul dan ber gulung2nya asap berbau belirang, yang terus melayang berhamburan. Orang lantas tahu, itulah asapnya obat pasang, obat dari senjata apinya tentera negeri.

Apakah benar Cap jie Lian hoan ouw telah terkurung? Inilah yang membuat kekacauan pihak Hong Bwee Pang menjadi memuncak.

Meskipun adanya gemuruh itu, tapi tempat pertempuran itu masih terpisah cukup jauh.

Boe Wie Yang gusar hingga dadanya seperti mau meledak, dalam bingungnya ia menyangka Hoay Yang Pay dan See Gak Pay sekongkol dengan pembesar negeri. Ia anggap ia sudah di diyual….

“Ong Too Liong!” berseru dia, tanpa ia perdulikan teguran orang tadi. “Bagaimana kau berani jual sahabat baik? Nyatalah aku sudah buta melek! Kamu datang kemari, tiada niatku untuk menahan kamu disini, siapa sangka, kamu berani berbuat begini hina! Ong Too Liong, tidak nanti Boe Wie Yang hendak sudah saja!”

Ketua Hong Bwee Pang benar2 berkepala batu, sampai disaat seperti itu, ia masih tetap tak sudi menyerah kalah dia masih hendak memberikan pukulan kepada lawannya! Begitulah dengan satu jejakan kaki, ia lon cat kepada ketua Hoay Yang Pay, untuk serang musuh ini dengan kedua tangannya. Ia memang ada punya sepasang tangan yang liehay dan sikapnya itu adalah “Houw poksie,” atau sikap “Terkaman harimau”. Eng Jiauw Ong lihat orang berloncat kepadanya dan sepasang kepalan mengarah dadanya. Ia juga tahu benar, sekarang bukan waktunya lagi untuk bicara. Ia menginsyafi suasana buruk tapi ia tidak sangka kekacauan bakal ambil tempat demikian cepat, maka dengan sendirinya iapun berkuatir. Sebagai Boe Wie Yang, ia juga tidak tahu pasti, penyerang yang datangnya mendadakan demikian siapa adanya. Tapi melihat orang serbu padanya, ia ketahui dengan baik, musuh ini ada bagaikan binatang mogok. Dalam keadaan seperti itu, tak sempat untuk ia berpikir pula. Tentu sekali iapun tidak sudi mengasi hati kepada musuh telengas semacam ini.

Ketua Hoay Yang Pay tidak hendak tangkis serangan berbahaya itu. Begitu serangan sampai, ia egos tubuh kekanan, lalu dari kanan dengan kedua tangannya ia membarengi menggempur lengan musuh. Tentu sekali ia telah gunai tenaganya Eng jiauw lat, “Tenaga Burung Garuda”, yang untuk beberapa tahun ia telah latih sambil keram diri.

Boe Wie Yang tidak mau kasi kedua tangannya kena terhajar, ia turunkan kedua tangannya itu, tapi meski begitu, kedua tangan mereka masing2 berbentrok juga, atas mana, Eng Jiauw Ong kagum. Tidak percuma Thian lam It Souw kesohor, benar2 kedua tangannya kuat, Ong Too Liong sampai rasakan tangannya tergetar.

Setelah kasi turun tangannya itu, Boe Wie Yang meneruskan memutar naik. Iapun berbareng menggeser kakinya kekanan, dengan begitu, dengan gerakan “Hong hong tian chie” atau “Burung hong pentang sayap”, ia bisa teruskan menyerang pula dengan cepat sekali. Tangan kirinya telah sambar iga kiri dari lawannya itu!

Ong Too Liong bebaskan diri dengan majukan kaki kanannya satu tindak kedepan, sambil berpaling, dengan dua jari tangan kirinya, ia juga membarengi menyerang kepundak kiri jago Hong Bwee Pang itu, akan totok jalan darah kin ceng hiat.

Kekalutan sementara itu berjalan terus dengan semakin bertambah. Malah dari pintu depan segera muncul serombongan orang Hong Bwee Pang, diantara siapa separuh ada membawa luka2 pada tubuhnya.

Orang Hong Bwee Pang didalam Ceng Giap San chung menjadi kaget, tetapi dalam kaget nya mereka tak jadi gugup, malah menyontoh ketuanya, mereka lantas hunus senjata akan mulai terjang pihak tetamu, hingga pihak Hoay Yang Pay dan See Gak Pay tak dapat bertahan diri lagi, mereka menyambutnya.

Dalam kekacauan itu, orang2 kenamaan Hong Bwee Pang seperti Ouw Giok Seng dan beberapa hiocoe dari Hok Sioe Tong tidak turut turun tangan, karena mana Ban Lioe Tong bersama Coe In Am coe dan Siangkoan In Tong juga tidak turut ceburkan diri, kedua pihak melainkan memasang mata, bersiap sedia untuk cari jalan mundur.

Waktu itu dari empat penjuru ada terdengar suara tembakan senapan, semakin lama semakin seru, sedang cuaca menjadi semaking gelap, hingga sering terlihat berkelebatnya sinar terang dari tembakan, disusul oleh bergumpalnya asap. Karena tembakan itu, mimispun jatuh berhamburan kesana sini.

Boe Wie Yang dan Eng Jiauw Ong masih bertempur terus, sudah lima jurus, dan mereka juga dengar suara2 tembakan itu dan insaf akan ancaman bahaya.

Dijurusan timur selatan, suara pertempuran terdengar semakin nyata. Itulah bukti bahwa dijurusan itu orang sedang merangsek hebat. Selagi api berkobar, juga hujan turun. Boe Wie Yang berlaku sangat telengas, karena ia umbar amarah dan napsu hatinya untuk rubuhkan ketua Hoay Yang Pay. Begitu dijurus ke enam, ia incar perutnya Eng Jiauw Ong, untuk disangsut dengan kedua kepalannya, untuk mana ia berhasil mendesak.

Dengan kedua tangannya, yang berat, Ong Too Liong gempur lengan musuh, akan halau serangan berbahaya itu, setelah itu kedua tangannya digeraki lebih jauh, tangan kanan menyambar kemuka, tangan kiri mencari jalan darah hoa kay hiat.

Boe Wie Yang berkelit seraya memutar tubuh kebelakang, selagi berputar, kedua tangannya turut terayun, maka setelah berbalik, dengan tenaga penuh ia bisa balas serang iga kanannya Eng Jiauw Ong, gerakannyapun ada sangat cepat.

Eng Jiauw Ong lihat serangannya gagal, sebaliknya pula ia dibalas didesak. Ia insyaf telengasnya lawan itu, maka ia anggap, ia pun mesti berlaku keras keras lawan keras.

CXLI

Lekas2 ketua Hoay Yang Pay geser kaki kirinya kekiri, untuk hindarkan serangan hebat dari lawan. Ia berlaku gesit, akan tetapi ketua Hong Bwee Pang bukan musuh sembarang, benar selagi ia berkelit tangan musuh telah mengenai bajunya, anginnya serangan mengenai bebokongnya selagi ia hendak memutar tubuh. Tapi ia berkelit bukan untuk menyingkir, maka begitu lekas kaki kirinya injak tanah, tubuhnya terus diputar, tangannya menyambar.

“Peng see lok gan” atau “Dipasir datar, burung gan turun,” adalah serangannya Eng Jiauw Ong, dengan kedua tangannya, dengan jari2 tangan yang bertenagakan “Eng jiauw lat,” “Tenaga kuku garuda,” ia totok kedua lengan dari penyerangnya.

Tak sudi Boe Wie Yang ditotok musuh, ia membebaskan diri dengan buka kedua tangannya itu. Iapun tidak membuka jauh, begitu lekas ia sudah luput dari totokan, ia segera balas hajar jalan darah thian tie hiat di bawahan kedua tete lawannya.

“Peng seo lok gan” dari Eng Jiauw Ong bukan hanya serangan se mata2, itupun ada semacam tipu untuk memancing keluar tangan musuh. Umpan ini ternyata berhasil, sebab Boe Wie Yang tidak berkelit hanya untuk berkelit, tapi untuk membalas menyerang pula. Ini justeru ada hal yang diharap Eng Jiauw Ong.

Selagi ia diserang pula, Eng Jiauw Ong mendahului bergerak. Ia telah pasang kuda2nya, ia gunai tenaga tangan “Kim kong ciang lat,” atau “Tenaga tangannya Kim Kong.” Kembali ke dua2 tangannya digunai.

Bukan kepalang kagetnya Thian lam It Souw, si “Orang tua dari Selatan.” Itulah serangan sangat hebat. Ia terancam kematian atau entengnya luka parah. Akan tetapi ia bukannya seorang lemah. Ia kumpul tenaga pada kedua lengannya, berbareng dengan itu ia mencelat mundur, tubuhnya melenggak sebagai ia terjatuh celentang. Inilah liehaynya ilmu tubuh enteng atau kegesitannya. Secara demikian ia coba elakkan “Kim kong ciang lat” yang sangat mengancam itu.

Eng Jiauw Ong heran berbareng kagum. Benar2 tak kecewa raja dari Cap jie Lian hoan ouw ini kesohor kosen dan dimalui kaum kang ouw. Karenanya, ia jadi sayangi akan kepandaiannya lawan itu. yang tak mudah dipelajarinya. Maka ketika ia merangsek, ia tidak memikir pula akan rampas jiwanya lawan itu.

“Kim lie to coan po” atau “Tambra emas tembusi gelombang” adalah ilmu silat berkelit yang Boe Wie Yang gunai itu, ia benar berhasil lolos dari bahaya sebagian karena kegesitannya sebagian lagi disebabkan timbulnya liangsim dari Eng Jiauw Ong, tidak urung ia toh terjerunuk tiga empat tindak. Dengai begitu luputkah ia dari ancaman hilang jiwa atau luka parah.

Selagi dua jago ini bertarung orang2 mereka yang bertempur bergumpalan masih bertarung terus, suara mereka berisik sekali, tapi disebelah itu, tak kalah hebatnya berisiknya suara tentara negeri, yang mandatangi makin dekat dari empat penjuru. Sebagai juga tentara negeri ketahui baik, Ceng Giap San chung adalah sarang tulen dari Hong Bwea Pang, mereka menuju langsung ke san chung ini. Suara tembakan tetap tak hentinya terdengar, hingga cahaya merah saban2 saling sambar di Ceng Loan Tong, Kim Tiauw Tong dan Thian Hong Tong. Terutama di udara yang kosong, semakin nyata tampak cahaya tembakan itu, hingga turunnya peluru mimis bagaikan turunnya air langit. Gemuruh senjata api juga seperti menulikan kuping, membuat hati orang gentar dan kuncup.

Sebenarnya Ceng Giap Sanchung ada satu daerah buntu, akan tetapi kawanan Hong Bwee Pang itu mundur kedalam san chung, karena lainnya jalan sudah tidak ada.

Dalam keadaan yang rnengancam itu, selagi Ouw Giok Seng dan lainnya hiocoe memasang mata, Thian kong chioe Bin Tie dengan sepasang Jit goat loen, senjata model matahari dan bulan, muncul dari belakang, terus saja ia bersuara memberi tanda kepada Boe Wie Yang. Tentu saja ia telah bicara dengan kata2 rahasia kaumnya sendiri. Boe Wie Yang baharu saja kena dikalahkan Ong Too Liong, ia rupanya insaf, harapannya sudah lenyap, maka setelah dengar perkataannya Bin Hiocoe, ia kata kepada ketua Hoay Yang Pay, yang sedang berdiam diri, karena Eng Jiauw Ong tidak meneruskan menyerang kepadanya.

“Ong Too Liong,” demikian Thian lam It Souw, “Cap jie Lian hoan ouw yang tangguh bagaikan gentong besi telah runtuh ditangan kamu kaum Hoay Yang Pay dan See Gak Pay, akan tetapi walaupun demikian, asalkan aku masih mempunyai napas, dilain waktu masih ada harinya kita kedua pihak akan bertemu pula, untuk perebutkan kembali mati dan hidup kita! Hong Bwee Pang tak dapat menaruh kaki pula dalam kalangan kang ouw, karenanya akupun hendak bikin Hoay Yang Pay dan See Gak Pay hancur lebur juga, supaya kamu musnah ber sama2 kami! Hari ini didalam Ceng Giap Sanchung ini aku menyerah. kalah, dari itu, sampai ketemu pula!”

Lalu, menoleh kepada rombongannya, ketua ini menyerukan “Mundur!”

Boe Wie Yang mengepalai sendiri orang2nya mundur kepaseban.

Pertempuran yang kacau itu berhenti sendirinya, titahnya ketua itu ditaati semua.

Sementara itu, selagi semua orang Hong Bwee Pang mundur ke Ceng Giap San chung, maka dua orangsatu lelaki dan yang lain perempuan dengan diam2 telah kabur dari dalam ruangan Heng tong dari Gwa Sam Tong, Tiga Gedung Luar, mereka menyerbu diantara perahu2 “Jie cap pat sioe”, mereka kabur dari Cap jie Lian hoan ouw. Dan kaburnya dua orang ini ada diluar sangkaannya Boe Wie Yang, Eng Jiauw Ong dan Coe In Am coe semua. Sebab si wanita adalah Lie touw hoe Liok Cit Nio, si perempuan cabul, yang tadi diputuskan hukuman mati, dan yang lelaki adalah Hay niauw Gouw Ceng, hiocoe dari Heng tong, yang tadinya kesohor kejujuran dan kekerasan hatinya!

Liok Cit Nio telah membangkitkan kemurkaan umum dari pihaknya sendiri, maka itu, apabila dia berani mencoba meloloskan diri dan kabur dari Ceng Giap San chung, dia akan lantas dibinasakan didalam paseban San chung, dimuka umum.

Hampir semua orang Hong Bwee Pang yang setia kepada ketuanya sudah siapkan senjata rahasianya masing2, apabila Cit Nio berontak, dia akan segera diserang, tak ampun lagi. Maka syukur, dia menyerah, dia antap dirinya digiring keruang Heng tong, tempat menjalankan hukuman.

Terutama Sim Ah Eng dan Sim Ah Hiong, kedua murid tersayang dari Boe Wie Yang, benci sekali perempuan cabul ini. Kalau Liok Cit Nio berani mencoba kabur, pasti mereka akan turun tangan dengan segera.

Akan tetapi disebelah itu, matanya Hay niauw Gouw Ceng ada tajam sekali. Dengan tiba2, dia dapatkan sinar mata lain, atau perobahan wajah, dari Sim Ah Eng, yang usianya lebih tua daripada Sim Ah Hiong. Dan semua ini sudah terjadi karena liehaynya Liok Cit Nio membawa aksi. Karena disaat teracihr itu, perempuan licin ini masih berdaya menggunai kecantikan dan aksinya akan membangkitkan rasa tertarik, rasa kasihan dari anak muda itu yang belum tahu asam garamnya dunia, sedang dengan usianya yang mulai menanjak, Ah Eng telah mulai akil balig, tidak sebagai adiknya yang masih polos. “Lekas, lekas!” demikian Gouw Ceng, mengajak, ketika ia giring Cit Nio keruang Heng tong.

Begitu lekas mereka sudah lewati pintu Ceng Giap San chung, Gouw Ceng si Burung Laut menghela napas panjang, tanda dari lega hatinya, diam2 ia meng geleng2 kepala sendirinya. Ia telah ingat Sam im Ciat hoe ciang Lo Gie dan Siang chioe Kim piauw Lo Sin dengan siapa ia bersahabat dan ketahui baik halnya mereka berdua.

Dua orang dari angkatan tua itu, masing2 mamak dan ayahnya Liok Cit Nio, telah memasuki dunia kang ouw sejak mereka masih muda, akan tetapi walau mereka kesasar dalam Rimba Hijau, derajat mereka ada jauh terlebih tinggi daripada orang2 segolongannya. Lo Sin, sang mamak, bisa bersikap keras berbareng lembek, menghadapi sesamanya, dia bisa berlaku licin. Tidak demikian dengan Lo Gie sang ayah sejati selama duapuluh tahun didaerah Ouwlam. Ouwpak, Soecoan, Inlam dan Koeicioe, dia telah menjadi satu jago Rimba Hijau kenamaan karena sifat jantannya, akan tetapi karena tabeatnya keras, dia telah berbentrok dengan beberapa orang segolongan. Toh ia biasa berlaku ramah tamah kepada siapa yang suka bergaul kepadanya. Hingga tidaklah selayaknya dia mempunyai satu anak gadis yang buruk sebagai Cit Nio, yang telah cemarkan namanya itu. Hingga ada orang yang mau menyangka, karena dia mempunyai kepandaian istimewa Sam im Ciat hoe ciang, “Tangan Kematian” yang menyebabkan ia seperti terkutuk itu. Sebab tangannya yang liehay itu tentu membinasakan lawan, atau ringannya orang akan bercacad anggota badannya. Tapi toh, kalau benar dia terkutuk, kutukan mesti menimpa dirinya sendiri, tidak terhadap anaknya, anak perempuan, hingga namanya kedua keluarga Liok dan Lo jadi ternoda. Demikian, sembari jalan mengiringi, Hay niauw Gouw Ceng pun pikirkan “peruntungannya” Lo Gie dan Lo Sin itu, terutama Lo Gie dengan siapa ia bergaul rapat sekali, melainkan hal ini sedikit orang yang mengetahui nya, jikalau tidak, berhubung dengan berontaknya Lo Gie dan Pauw Coe Wie terhadap Hong Bwee Pang, niscaya lapun akan siang2 terdesak untuk angkat kaki juga dari Cap jie Lian hoan ouw. Iapun ingin dapat berlalu dari sarang Hong Bwee Pang itu, karena kuatir orang nanti ketahui hal hubungannya dengan Sam im Ciat hoe ciang itu. Mengenai dirinya sendiri terhadap Hong Bwee Pang ia tak kuatir suatu apa, sebagai anggota, ia tidak mengecewakan, sebab sejak turut partainya, ia selalu setia dan bekerja baik untuk ketuanya. Yang ia sangat kuatirkan adalah orang nanti curigai ia, dan satu kali ia dicurigai, kedudukannya jadi terancam, apa pula sekarang selagi Hong Bwee Pang menghadapi ancaman bencana, sampaikan Boe Wie Yang sendiri nampak tidak tenteram hatinya.

Selama bertugas didalam Heng tong, Gouw Ceng terkenal untuk kejujuran dan kesetiaannya terhadap tugasnya itu, maka sekarang ia menyesal mesti berurusan dengan Liok Cit Nio. Wanita ini bersalah, dia harus terima dosa nya. Tapi Gouw Ceng berhutang budi dari Lo Gie, ia malu akan hukum anak gadis sahabatnya itu. Toh ia mesti jalankan tugasnya!.

Selagi mengiringi, Gouw Ceng jalan dengan terpisah sedikit jauh dari Cit Nio siapa ia kuatir nanti mengucap apa2, hingga katasnya si nona bisa tambah mempersulit kepadanya. Mereka berada bukannya berdua saja, sudah tentu tak boleh ia menjawab sembarangan. 

Jalanan yang diambil bukan jalanan yang banyak pohon cemaranya hanya satu jalanan kecil yang memutar diarah selatan barat Ceng Giap San chung, terus menuju kekanan Thian Hong Tong. Disitu ada keletakannya Gwa Sam Tong, tempatnya gedung Heng tong, gedung Lee tong dan gedung Cit tong.

Cit Nio berjalan dengan diapit oleh anggota2 Heng tong yang goloknya masing2 terhunus. Jalanan disini sunyi walaupun dilain bagian, pertempuran rupanya asyik berlangsung. Cuacapun gelap, melainkan halilintar yang berkelebtan dan guruh mendengung terus. Kalau tidak ada sinar kilat, ada sukar untuk melihat satu pada lain dijalanan yang gelap itu.

Cit Nio insyaf bahwa ia seperti sedang mendatangi Kwie boen kwan “Kota pintu iblis.” Bahwa setindak demi setindak, dia mendatangi semakin dekat. Itu pun berarti jiwanya berkurang setiap tindak, bahwa begitu lekas sampai di Heng tong, akan tamatlah lelakon hidupnya, karena darahnya bakal muncrat di ruang untuk menjalankan hukuman itu. Sekalipun semut masih menyayangi jiwanya, apapula ia satu manusia! Justeru ia ada satu wanita cantik dan cerdik melebihi yang lain2! Maka dalam saat itu ia masih belum lepas semua harapannya. Ia anggap ia masih punyakan ketika baik sebab ia tidak dibunuh lantas di Ceng Giap San chung hanya dikirim dulu ke Heng tong.

Dengan sengaja Cit Nio ber tindak dengan ayal2an, tak perduli dikiri dan kanannya orang bentak ia pergi pulang agar ia jalan cepat. Ia tidak jerih terhadap pengiring2 itu, malah menghadapi mereka, ia bersenyum tawar. Ia ber pura2 tak dengar teguran, ia gunai sisa temponya yang terakhir itu untuk asah otak.

Selagi mendekati jalanan yang terakhir, tiba2 Cit Nio berpaling kebelakang, ia miringkan tubuh, ia perlihatkan roman lesu yang bisa mendatangkan rasa kasihan orang. Iapun perdengarkan suara sangat sedih ketika ia buka mulutnya. “Soeko Gouw Ceng, kau benar tidak punya liangsim ”

katanya. “Selama didalam Ceng Giap San chung aku berlaku baik terhadapmu, tidak perduli kau bersikap sangat bengis terhadapku, aku diamkan saja. Aku tahu sikapmu itu disebabkan kau mesti taati aturan kaum kita, kau memang mesti berbuat demikian. Sekarang kita tidak lagi berada di Ceng Giap San chung, mengapa kau diam saja? Lihat soemoaymu, yang terfitnah ini, yang bakal mati penasaran…. Darahku yang merah bakal berlumuran membasahi ruang Heng tong. Apakah benar kau ada begitu tegah, hingga tak mau kau tanya aku, apa pesanku terakhir, supaya kau bisa wujudkan pesanku itu? Soeko Gouw Ceng, dalam kalangan kang ouw kau ada satu enghiong satu laki2, dan didalam Heng tong kau menjadi hiocoe, mustahil kau benar2 melupai budi kebaikan orang, tidak ingat persahabatan kita dulu2, kau tidak berkasihan sedikit juga kepadaku?”

Mukanya Gouw Ceng menjadi merah sendirinya karena jengah. Disitu ada dua “saudara” yalah orang sebawahannya terhadap siapa ia biasa berlaku keras menuruti bunyinya aturan Hong Bwee Pang. Sekarang didepan mereka itu, perempuan licin ini telah bawa aksinya, telah ucapkan kata2nya itu, yang tak sedap didengarnya.

“Liok Lo Kim In, aku harap kau ingat akan kehormatanmu!” kata ia dengan keren. “Didalam partai kita, Couwsoe telah berlaku murah hati kepadamu, walau kau hanya seorang perempuan, tapi kau bukan satu anggota biasa, kau justeru ditugaskan memegang pimpinan pusat rangsum di Liang Seng San. Kenapa kau sia2kan kemurahan hati Couwsoe? Kenapa kau tampik kebaikan Pangcoe? Kau sudah langgar larangan, kau membuat malu kepada partai kita, hingga kedua musuh kita, Hoay Yang Pay dan See Gak Pay, jadi ada punya alasan untuk satroni kita! Karena kau, banyak orang kita yang mendapat malu besar! Maka sekarang kau tak dapat ucapkan apa2 pula kau mesti terima dosamu, karena kau cari sendiri dosa itu! Kau mesti pergi ke Heng tong, untuk terima hukuman! Apa perlunya kau bersikap begini macam? Sekarang ini, Liok Lo Kim In, meskipun aku pernah terima budinya keluarga Lo, tak dapat aku berbuat suatu apa. Aku tak sanggup menolong kau. Gouw Ceng ada anggauta Hong Bwee Pang, aku cuma bisa taati titahnya Pang coe.”

Waktu itu mereka sudah keluar dari jalan kecil, ketiga gedung dari Gwa Sam Tong sudah lantas tertampak gedung2 yang berendeng tiga, dua didepan sama rata, yang ketiga ditengahi sedikit mundur. Dimuka itu ada pekarangan luas dengan rumput yang hijau. Leetong, gedung upacara, adalah yang di tengah, Heng tong dibaratnya, dan Cit tong ditimurnya.

Dengan tiba2 Cit Nio hentikan tindakannya.

“Liok Kim In, lekas!” membentak kedua pengiring, dengan golok mereka tetap terhunus. “Lekas jalan! Jikalau kau masi ngoceh saja, jangan salahkan, kita tidak mengenal kasihan, kita nanti kasi rasa padamu!”

Tak berubah wajahnya Cit Nio sama sekali ia tak gentar, Sebaliknya ia perlihatkan roman menggiurkan.

“Hm, loosoehoe beramai!” demikian katanya, “harap kamu tidak bentak2, aku… Jikalau masih ada jalan satu tindak, mengapa kamu tidak ingat sesama manusia? Aku pasti bakal mati inilah tak usah diragukan lagi, maka kenapa kalian tak sudi memandang muka Couwsoe, untuk berlaku murah kepada seorang perempuan yang malang nasibnya? Loosoehoe beramai adalah orang2 kang ouw yang kosen, aku merasa pasti, kamu tidak akan mempersulit seorang perempuan yang tak berdaya… Sekarang kita sudah sampai dimuka Heng tong, itulah tempat kematianku. Gouw Hiocoe ini ada punya hubungan rapat sekali dengan keluarga Lo, maka selagi aku bakal mati tidak nanti aku hendak bikin susah orang. Kalian telah, ikuti Gouw Hiocoe untuk banyak tahun, dan sekarang dihadapan kita semua kalian bisa saksikan sikapnya Gouw Hiocoe. Hanya aku tak puas melihat kedudukan Gouw Hiocoe sekarang ini. Aku bakal mati, tak dapat aku tidak bicara sedikit. Loosoehoe beramai, kasilah ketika kepadaku. Ditempat seperti ini, gampang sekali orang menggagalkan urusan, dan tak berduli orang bagaimana baik, tak dapat ia mempuaskan semua orang. Setelah nanyak bulan dan tahun, orang bekerja bersama, mesti ada apa2 yang menerbitkan ganjalan sesuatu orang. Hay niauw Gouw Ceng biasanya jujur, berurusan dengan sebawahannya mungkin pernah ia berlaku keras melewati batas maka keadaan sekarang ini adalah waktunya yang tepat akan orang atau orang2, yang tak puas kepadanya, melampiaskan dendamannya, untuk bikin dia celaka ”

Kata2nya Cit Nio ada mengandung kebenaran, kata2 itu mempengaruhi pengiring2nya. Memang karena kejujurannya, taat kepada aturan, Gouw Teng pernah membangkitkan rasa tak puas sejumlah sebawahannya yang anggap dia keterlaluan. Kalau dulu orang diam saja telan kemendongkolan, sekarang bisa menjadi saat untuk udal itu. Demikian diantara mereka yang tidak puas adalah Lauw Thian Sioei salah satu pengiring. Dia ingin membuat malu kepada hiocoe itu. Untuk ini, dia sedang tunggui ketikanya….

Cit Nio jalan ayal2an, karena itu, Gouw Ceng dapat susul padanya. Ia lantas menoleh, dengan roman yang harus dikasihani, dengan suara yang lemah ia berkata pula. “Gouw Soeko, jangan kuatir,” demikian katanya “percayailah saudara seperguruanmu yang akan mati ini tidak akan rembet2 padamu. Di Heng tong kaulah yang berkuasa. Siapa bisa ganggu padamu? Kau jangan kuatir suatu apa. Mustahil ada halangannya kalau aku bicara denganmu?”

“Sudahlah, Lo Kim In, jangan kau omong lebih banyak pula!” Gouw Ceng melarang. “Jangan kau coba desak atau pengaruhi aku. Memang benar pernah aku terima budi ayahmu, akan tetapi dalam hal itu aku tidak kuatir suatu apa. Aku selalu bekerja dengan jujur. Umpama ada orang dakwa aku dimuka Pangcoe, aku juga tidak takut, sebab aku selalu bekerja baik dan tak pernah aku melanggar aturan. Tidak pernah aku berkongkol untuk urusan pribadiku sendiri, belum pernah aku melepas budi diluar garis. Ayahmu berontak kau sendiri berbuat tak kepantasan, itupun ada urusan kamu sendiri, dengan aku tidak ada hubungannya. Semua orang tahu, belum pernah aku meninggalkan Cap jie Lian hoan ouw, hingga tidaklah ada alasan andai kata ada orang niat memfitnah aku. Maka, Cit Nio, jangan kau coba bujuk atau pengaruhi aku supaya aku tolong padamu untuk kasi kau lolos. Umpama niatku ada, tak berani aku mewujudkannya. Aku merasa aku benar. Maka sekarang, hayo jalan, kau harus lekas terima hukumanmu!”

Cit Nio tertawa dingin.

“Oh satu enghiong, satu hoo han berpengalaman!” katanya dengan berani. “Gouw Ceng, begini rupa kau bicara, mana ilangsim mu? Lo Kim In ada satu wanita tapi dia tak takut mati, dia tak temahai hidup, tidak nanti dia meratap memohon2 ampun! Tapi aku bicara untukmu, soeko. Bukankah persahabatan kita ada rapat luar biasa, ada dasarnya? Bukankah kau  ketahui jelas. keluarga Lo tiada mempunyai keturunannya yang lelaki? Bukankah ayahku, mamakku juga, cuma punyai aku satu turunan perempuan? Dan sekarang, bukankah aku ada sisa mati? Aku hanya bersedih kalau aku ingat bagaimana keluarga Lo soedah bekerja dengan setia kepada Hong Bwee Pang, sampaipun suamiku, Liok Kie, yang setia dan taat kepada partai, telah binasa berkurban juga. Karena aku berjasa, sehingga Pang coe angkat aku jadi ketua di Liang Seng San, suatu kedudukan bukan sembarang. Toh sekarang, aku sedang menghadapi kematian…. Aku bukannya menuduh tetapi aku tahu ada orang yang mengirih dan ingin rampas kedudukanku itu, sebegitu jauh orang itu tak dapat berbuat suatu apa selama Pang coe masih membutuhkan aku. Sekarang adalah lain, maka hasutan dan tuduhan telah memakan! Asal aku rubuh, tempatku bakal dipunyakan dia! Inilah perkara sangat terang dan siapa pun dapat melihatnya! Dasar nasibku, maka aku mesti menderita hebat, apa mau Hong Bwee Pang punyakan Hoay Yang Pay dan See Gak Pay sebagai musuh. Liang Seng San ada tempat penting, tidak heran, untuk runtuhkan Hong Bwee Pang, lebih dahulu mereka gempur aku. Didalam See louw Cap jie to, orang sudah tidak bersatu hati. Umpama Hong Loen dan kambratnya, terangnya mereka lawan Hoay Yang Pay dan See Gak Pay, akan tetapi dibalik itu mereka kasi ketika akan musuh2 menyerbu dengan berhasil, hingga kesudahannya aku kehilangan tempatku menaruh kaki. Karenanya, aku ada punya berapa batok kepala maka aku berani pulang ke Pusat Umum? Kendati begitu, aku toh tidak takut, malah aku berniat pulang akan menemui Pang coe, guna tuturkan duduknya hal yang benar, supaya aku bebas dari fitnah, supaya kebersihan diriku dapat dipulihkan.”

Kim In berhenti sebentar, untuk kemudian melanjutkan. “Cerita burung tersiar demikian luas, sampaipun ayah dan mamakku kena dijual juga, hingga mereka percaya aku berbuat sesat, ketika aku menemui mereka, aku justeru dikatakan poet hauw -tidak berbakti. Soeko ketahui sifatku, yang berhati keras, hingga selama aku belum menikah, tak pernah aku mau tunduk kepada siapa juga, hingga orang jadi benci aku, mereka semakin membusuki aku. Ditambah pula kedua pihak Hoay Yang Pay dan See Gak Pay juga bantu menjeleki aku. Coba soeko pikir, mana dapat aku lolos dari kepungan mereka itu? Dasar aku satu wanita, tak sanggup aku lawan mereka. Aku telah kena mereka tawan, aku jadi dapat malu besar. Maka itu, soeko, aku memang tak ingin hidup pula. Aku menyesal bagi ayahku yang keras tabeatnya, aku malu untuk marhum suamiku, terutama terhadap leluhur she Lo. Aku tidak ingin minta pertolonganmu, soeko, sebab benar seperti katamu, walau kau berniat, kau tidak punyai kesanggupan. Aku telah tidak berdaya, buat apa aku rembet2 kau? Aku hanya sesali Pang coe, begitupun Auw yang Hiocoe yang kesohor adil, sudah tidak bertindak akan periksa perkaraku sampai diakhirnya, dengan gampang saja aku telah dijatuhi hukuman mati. Soeko, aku bakal mati penasaran, aku harus dikasihani. Aku minta, setelah saat akhirku ini, kau percaya kejujuranku, dan kau nanti coba selidiki perkaraku. Aku puas apabila kau percaya aku tak bersalah, terutama kalau nanti kau bisa bikin bersih nama baikku, aku akan sangat bersyukur, bersyukur tak habisnya kepadamu ”

Kata2nya Cit Nio ada sangat menarik, hati, dan gayanya sangat menggiurkan hati, tanpa merasa hatinya Gouw Ceng tergerak. Ia segera teringat persahabatan mereka, ketika dulu mereka bergaul setiap hari, karena mereka tinggal ber sama2. Berbareng dengan itu, ia ingat aturan dari Hong Bwee Pang dan sekarang bersama ia ada orang2 sebawahannya. Ia  coba lirik Lauw Thian Sioe, ia  dapati sebawahannya itu menoleh kelain arah, seperti orang yang tidak perhatikan suatu apa juga.

“Sudah dua puluh tahun aku berkelana, baik dalam dunia kang ouw, maupun dalam Hong Bwee Pang, semua orang ketahui kejujuranku, maka sekarang apa aku mesti rubuh ditangan perempuan ini?” pikir ia dalam ke ragu2annya. “Aku bukannya satu manusia tidak berbudi akan tetapi apa aku bisa bikin?”

Maka ia coba tetapkan hati.

“Kim In, apa yang kau katakan, biar lain kali saja terbukti sendirinya,” ia bilang. “Kau bakal terbinasa penasaran, kau anggap saja karena ini adalah nasibmu. Aku percaya kau penasaran, melainkan aku tidak bisa tolong kau. Kau tahu sendiri aturan keras dari Pang coe. Di Ceng Giap San chung orang masih menantikan laporanku. Kim In, maafkan aku. Mari lekas masuk kedalam gedung, untuk jalankan hukumanmu. Menurut aku sedetik kau penasaran, sedetik itu menambah kesengsaraanmu. Kenapa mesti berbuat demikian?”

Berbareng dengan habisnya perkataannya Gouw Ceng, kilat berkelebat dan suara guntur bergemuruh diarah barat utara, sedang jatas gedung Thian Hong Tong ada terbang lewat beberapa ekor burung dara yang datangnya dari arah luar. Cuaca mendung membikin burung2 itu terbang rendah.

Gouw Ceng dongak mengawasi terbangnya burung2 itu. Itulah semacam burung pembawa berita penting Ia masih bisa lihat, dilehernya setiap burung ada digandulkan bumbung kecil. Kawan2 nya Gouw Ceng pun dapat melihat juga, semua mereka terkejut.

Apa yang aneh adalah datangnya burung itu saling susul berjumlah sampai sebelas ekor, jadi itu ada tanda berita dari sebelas pusat. Lebih2 kapan terlihat semua bumbung dicat hitam tanda urusan penting luar biasa, sebab bumbung lainnya semua berwarna merah. Inilah tanda minta pertolongan lantas, atau satu pusat kena diserbu.

“Lekas!” Gouw Ceng beri titah pada orangnya, untuk bawa Kim In masuk kedalam Heng tong, tapi ia sendiri, sebab kuatir si cantik nanti ngoceh pula, sengaja bertindak pelahan, ia ber pura2 mengawasi pula ke udara.

Ketika Cit Nio sudah sampai dimulut pintu, Gouw Ceng telah ketinggalan empat lima tindak, setelah Lauw Thian Sioe giring orang “perantaiannya” masuk, hiocoe ini baharu cepatkan tindakannya. Kalau tadi ia turut langsung, hukuman pasti sudah lantas dijalankan, nama baiknya akan terlindung, ia tentu akan lolos ber sama2 ketuanya, akan tetapi karena ia ayal2an jalannya urusan jadi lain.

Tiba2 muncul satu orang dari jalanan kecil disamping, orang itu tampak Gouw Ceng, agaknya ia bingung dan ketakutan.

“Gouw Hiocoe, tunggu.....” katanya. “Sebenarnyai apakah sudah terjadi?”

Gouw Ceng merandek, ia awasi orang itu, yang ia kenali ada salah satu orang sebawahannya, yang tugasnya adalah merawat dan mengobati sesuatu korban hukuman rangket. Dia bernama Thio Goan Cay, yang kerjanya rajin tetapi bodoh dan tak pandai bicara juga, hingga ia tak dapat kemajuan.

“Ada apa?” Gouw Ceng menegor, setelah orang datang dekat padanya.

Thio Goan Tay menyodorkan suatu benda, melihat mana, Gouw Ceng kaget sampai air mukanya berubah. Itu adalah satu bumbung hitam, besarnya sebagai biji toh, panjangnya empat dim, tengahnya dililit sepotong gelang, ujungnya diikatkan dua potong pita sutera panjang lima dim. Itulah bumbung untuk pembawa berita penting, yang biasa diterbangkan burung dara.

“Dari mana kau peroleh ini?” ia tanya. “Ini ada bumbung dari luar”.

“Aku pungut ini ditengah jalan,” Goan Tay menyahut dengan cepat. “Karena obat luka habis, aku pergi kegudang untuk ambil yang baru, ditikungan aku pungut bumbung ini, yang jatuh dari udara hampir mengenai kepalaku. Sebagai orang lama, aku tahu pentingnya bumbung ini, tapi aku tahu juga, orang dengan kedudukan sebagai aku, tak dapat aku urus bumbung ini. Jikalau aku dituduh bocorkan rahasia, celakalah aku. Sebaliknya, untuk antap bumbung menggeletak ditanah, aku juga tidak berani, aku tahu bahayanya lebih hebat bagiku apabila orang tuduh aku. Akhirnya aku ingat hiocoe, maka aku pikir untuk minta pertolongan hiocoe ”

Thio Goan Tay, bertindak lebih dekat, lalu dengan pelahan ia tambahkan “Sudah banyak tahun aku bekerja disini, hiocoe tahu baik tentang diriku segala apa yang aku ketahui tidak berani aku ceritakan kepada lain orang kecuali terhadap hiocoe sendiri. Kalau aku laporkan suatu apa, aku percaya hiocoe tidak akan persalahkan aku.”

Gouw Ceng awasi sebawahan itu. Menerima bumbung itu saja hatinya sudah goncang, iapapula sekarang, ia curigai sikap orangnya ini.

“Apa itu? Lekas kau bicara!” kata ia sambil genggam bumbung tadi. “Aku sedang jalankan titah, tak punya tempo untuk aku berlambat.”

“Ketika tadi aku pergi kegudang, aku bertemu satu orang dari Thian Hong Tong,” sahut Goan Tay dengan keterangannya. “Dia adalah keponakanku, maka ia berani bicara kepadaku. Menurut katanya, diluar Hoen coei kwan ada kedapatan lima sampai enam puluh buah perahu nelayan yang muncul dari berbagai tikungan air kecil disitu ada pihak kita yang menjaga dan biasa meronda, tapi teguran pihak kita tidak diperdulikan oleh rombongan nelayan itu, mereka.tidak mau diusir, mereka diam saja. Anak buahnya disetiap perahu tidak tentu jumlahnya, tapi mereka semua ada anak2 muda umur dua puluh sampai tiga puluh, yang tubuhnya kekar dan gesit. Pihak kita tidak berani lancang usir mereka itu yang diduga tentunya serdadu negeri dalam penyamaran sebagai rombongan tukang tangkap ikan, mungkin untuk serbu kita. Juga di lain2 pelabuhan katanya ada kedapatan pihak2 asing, yang mencurigai itu, di rimba2 seperti ada orang umpatkan diri. Sementara itu, didua pos, orang2 kita yang menjaga telah lenyap tidak keruan paran. Hiocoe lihat, apa itu bukan kejadian aneh dan jelek?

“Aku ada satu anggota tak berarti, tidak berani aku laporkan ini kepada lain orang, kecuali kepada hiocoe sendiri. Jikalau benar mereka ada tentara negeri yang menyamar, terancam bahayalah kita, mesti kita segera siap sedia….

Gouw Ceng dapat firasat jelek. Ia tidak sangsikan orangnya yang dipercaya ini. Iapun berkuatir.

“Goan Tay, aku percaya kau, maka rahasia ini kau mesti simpan, atau kau nanti dapat susah,” katanya kemudian “Bumbung ini aku nanti urus, kau sendiri aku akan lindungi. Sekarang pergi kau urus tugasmu.”

Goan Tay ketakutan, tapi ia bersyukur, ia lantas haturkan terima kasihnya, setelah mana, ia undurkan diri. Gouw Ceng tunggu sampai orang sudah pergi jauh, ia buka mulut bumbung akan keluarkan isinya, segulung kertas, yang ia lantas baca. Cuaca gelap akan tetapi sinar kilat ada membantu padanya.

Itulah kabar penting dari pusat perondaan Soen kang Cap jie to, bunyinya keterangan sama dengan penuturannya Thio Goan Tay tapi lebih jelas. Memang benar ada muncul perahu2 nelayan yang mencurigakan, ketika delapan anggota diperintah bikin penyelidikan sambil selulup jauh didalam air, kenyataan jauh disebelah belakang perahu nelayan itu ada ikut perahu2 besar sebagai tulang punggung, sedang dengan perahu kecil lainnya pasti telah dicoba mendaratkan secara diam2 sejumlah orang lain. Mungkin itulah persiapan untuk penyerbuan besar.

Gouw Ceng mengeluarkan keringat sendirinya setelah ia baca laporan itu, yang diakhirnya laporan itu minta Liong Taow Pang coe, ketua pusat, lekas ambil tindakan. Ia lantas simpan pula kertas itu kedalam bumbungnya, lantas ia berpikir. Ia menduga kepada tentara negeri, yang hendak serbu Cip jie Lian hoan ouw untuk tumpas Hong Bwee Pang. Ia pun kuatir, pihak tentara itu sudah ketahui jalanan2 rahasia disekitar Hoen coei kwan, untuk memasuki Cap jie lian hoan ouw.

Selagi Hay Niauw si Burung Laut masih berdiri diam, dimuka pintu Heng tong muncul satu tittong soe bernama Song Pin, yang tugasnya dalam Heng tong mirip kepala algojo, tukang perintah menjalankan hukuman. Dia ini lihat hiocoenya mengawasi ketimur utara dengan tercengang lain ia tertawa dingin sendirinya.

Song Pin muncul karena sekian lama ia tak lihat hiocoenya, Gouw Cong, ikut masuk. Ayal2annya si hiocoe pun membuat ia dapat ketika untuk berkongkol dengan kawannya, Cioe Hiong. Mereka berdua senantiasa, menunggu di ruang Heng tong itu, supaya apabila ada tugas, mereka selalu siap sedia.

Juga, disebelah Lauw Thian Sioe, ada satu kawannya bernama Touw Liong. Berdua mereka ada orang2 kang puw yang licin, mereka tidak mendendam terhadap Gouw Ceng tapi mereka sebal untuk beberapa urusan kecil. Melihat sikapnya Hay Niauw, ingin mereka mengganggunya. Maka mereka lantas ceritakan kepada Song Pin dan Cioe Hong tentang hal ikhwalnya Liok Cit Nio, terutama bagaimana si wanita cabul mencoba membujuk Gouw Ceng, sampai kelihatannya hiocoe ini limbung. Dijelaskan pula adanya hubungan diantara Cit Nio dan Gouw Ceng.

Nyata kedua pihak telah dapat kesetujuan untuk bekerja sama, dari itu Thian Sioe lantas dekati Cit Nio.

Liok Kim In sejak masuk dalam Heng tong, pikirannya kusut sekali. Kematian sudah berbayang didepan matanya, karena sikap dingin dari Gouw Ceng. Ia memikirkan jalan terakhir yang bagaimana ia bisa dapatkan untuk tolong diri. Disebelah itu, ia lihat tampang berseri2 dari Thian Sioe berempat setelah mereka itu kasak kusuk. Ia duduk menyender didekat pintu dengan diam saja, sambil ia awasi mereka berempat. Ia ditelikung kedua tangannya, selama itu, ikatan pada tangannya mulai kendor, maka ia berpikir untuk coba berontak akan lepaskan diri. Ia insyaf, walaupun kaki tangannya bebas, masih sulit untuk ia menyingkir dari Cap jie Lian hoan ouw, akan tetapi ia hendak coba peruntungannya. Maka itu, sengaja ia duduk didekat pintu, sambil terus asah otak, sampai Lauw Thian Sioe hampiri padanya.

Lantas saja Thian Sioe tepuk pundaknya si juwita. “Liok Kim In, kami ketahui baik tentang penasaranmu,” demikian ia berkata. “Sebenarnya kau mempunyai ketika untuk buron. Kalau kau buang ketika baik, itu, sungguh sayang! Kami hendak berbuat baik, kami suka menolong kepadamu! Coba kau omong dengan terus terang. Kau berlakulah cepat. Sebenarnya kau ada punya hubungan apa dengan Gouw Hiocoe? Apakah itu ada hubungan lama? Bila sebentar ia masuk, mungkin ia bertindak menuruti aturan akan mengadakan upacara sembahyang dulu, untuk mohon kepada Couwsoe. Kalau benar dia berbuat demikian, baik kau usahakan akan minta belas kasihannya, supaya dia tolong padamu, kalau perlu, kau boleh gertak padanya akan paksa dia dengan pengaruhmu! Disaat mati atau hidup ini, apa lagi yang kau kuatirkan? Dihadapan kami dia suka omong besar tentang kejujurannya, katanya dimanapun dan terhadap siapa juga, dia biasa berlaku terus terang. Tadi kau omong hal hutang budi, cobalah kau beber itu, nanti kami bantu padamu” Umpama dia gusar dan dia perintahkan segera jalankan hukuman, kau boleh menangis menggerung2, kami berempat nanti berlaku ayal2an malah mungkin kami akan bantu kau bicara untuk bujuk pada nya, supaya kau bisa lolos ”

Cit Nio cerdik, ia anggap usulnya Thian Sioe ada balknya untuk ia, maka tanpa sangsi lagi, ia beritahukan hubungan diantara Gouw Ceng dengan Lo Gie, dan Lo Sin, yang tolong Gouw Ceng hingga menjadi hiocoe.

Gouw Ceng berkelana sejak masih muda sekali, dalam umur sembilan belas tahun ia berguru. Mulanya ia tidak tahu guru itu ada satu jago Rimba Hijau, baharu belakangan ia mengetahuinya, tapi sudah kasep. Enam tahun ia belajar kepada gurunya, seorang liehay, iapun peroleh kepandaian cukup, tubuhnya gesit. Ia terpaksa suka turut gurunya mencuri atau membegal. Kemudian guru itu kena tertangkap dan mati dipenjara. Ia adalah murid satu2nya. Ketika gurunya mati, ia sudah berusia kira2 dua puluh delapan tahun. Ia niat cuci tangan tapi sulit untuk ia lepaskan diri ketikanya belum ada. Selama itu, tak suka ia mencuri lagi. Lalu pada suatu hari diwilayah Ciatkang, ia dikenali Cioe Tek Hiong, seorang polisi kenamaan yang pernah uber2 gurunya Kedua pihak jadi bertempur, ia dikepung Tek Hiong serta dua pembantunya. Selagi ia coba kabur, Tek Hiong rubuhkan ia dengan sebatang piauw. Ketika itu sudah sore. Tentulah ia sudah kena diringkus kalau tidak kebetulan Sam im Ciat hoe ciang lewat ditempat kejadian, lantas Lo Gie menolongi, lebih dahulu Tek Hiong bertiga dipukul mundur lantas ia dibawa lari. Ia pingsan ketika ia dibawa kabur. Tatkala ia sedar atas pertanyaan Lo Gie ia tuturkan perihal dirinya. Ia ditolong lebih jauh dengan dibawa pulang kerumah Lo Gie dimana ia diobati. Waktu itu Lo Gie belum masuk kedalam Hok Sioe Tong, Gedung Bahagia.

CXLII

Selanjutnya Gouw Ceng tinggal terus pada Lo Gie, yang didik padanya lebih jauh dalam ilmu silat, sampai kemudian ia diajak bekerja dalam Hong Bwee Pang. Iapun diajarkan ilmu berenang dan selulup. Ia telah dididik untuk berlaku jujur dan secara laki2 dan dianjurkan bagaimana harus menghamba kepada Boe Wie Yang siapa terhadap kawan sekerja, bisa imbangi jasa orang. Lukanya bekas piauw tidak menyebabkan ia bercacat. Meski ia diajarkan ilmu silat, Lo Gie toh tidak pandang ia sebagai murid, karena Lo Gie tidak ingin terima murid.

Diwaktu Gouw Ceng dirawat Lo Gie, Cit Nio belum menikah dengan Liok Kie, dan sejak lima belas tahun lebih dahulu dari itu, Lo Gie telah kehilangan isterinya, yang menutup mata. Walau ia masih gagah, Lo Gie tidak mau ambil isteri lagi, ia malah yakin sungguh2 ilmu silatnya hingga ia kesohor untuk tangannya yang liehay. Ia insyaf, tanpa kepandaian istimewa, tidak nanti orang malui ia. Ia mulai yakinkan Tiat see ciang (Tangan Pasir Besi), lalu Bian ciang (Tangan Sutera), lalu akhirnya Koen goan It khie Pek kong ciaang (Tangan Memukul Udara), hingga selang tujuh belas tahun, ia jadi kesohor dengan julukannya Sam In Ciat hoe ciang si Tangan Kematian.

Lo Gie adalah salah satu hiocoe yang berjasa untuk Hong Bwee Pang, karena dialah yang atur itu jalan air dari Hoen coei kwan sampai di Lwee Sam Tong, yang jalannya berliku2 sebagai jalanan rahasia, hingga yalanah air untuk satu hari penuh bisa disampaikan dalam tempo dua jam tapi jalanan ini cuma diketahui oleh pihak hiocoe saja, pihak tocoe. tak ada yang tahu”

Sebenarnya Gouw Ceng cocok untuk diambil mantu, buat dipasangi dengan Cit Nio, akan tetapi Lo Gie tidak hendak nikahkan mereka, sebabnya yalan karena tadinya Gouw Ceng itu sudah tersesat. Ketika itu, Cit Nio sendiri, dalam usia dewasa, sudah ketarik oleh Gouw Ceng malah ia berani nyatakan tiyntanya. Tapi Gouw Ceng kuat hati, ia ingat budinya Lo Gie, tak mau ia main gila kepada anak dara penolongnya itu. Adalah setelah ini, Gouw Ceng hendak dipujikan pada Boe Wie Yang, tapi Gouw Ceng menampik, ia kata ia kuatir nanti dipandang hina. Lo Gie setuju dan puji sikap nya ini, yang akhirnya dipujikan akan ikuti Lo Sin, kandanya, yang urus pegaraman. Disini Gouw Ceng pernah unjuk ketangkasannya melawan hamba negeri, yang hendak tangkap dia, maka tanpa pujiannya Lo Sin lagi, Auwyang Siang Gee angkat dia jadi hiocoe dari Heng tong. Untuk ini, Auwyang Siang Gee uji dulu ilmu sliatnya Gouw Ceng. Kebetulan ketika itu, hiocoe yang lama telah bersalah dan dihukum, Gouw Ceng segera dapat menggantikannya. Ia bekerja baik, malah ia dapat mengadakan perubahan yang membawa perbaikan, hingga juga Boe Wie Yang hargai padanya. Didalam Gwa Sam Tong, kalau Cit tong adalah yang mendatangkan penghasilan, dari penjualan garam terutama, dan Lee tong ada yang utamakan segala aturan, adalah Heng tong yang paling dimalui sebab inilah bahagian yang jalankan undang2 hukum bagian terakhir.

Dibawah kendali Gouw Ceng, Heng tong telah perlihatkan roman baharu. Untuk melakukan tugasnya, ia dapat bantuannya empat Hengtongsoe serta empat tocoe, yang pertama untuk bantu ia menjalankan hukuman, yang belakangan untuk melakukan penyelidikan, ataupun pengintaian terhadap mereka yang bersalah. Saking jujurnya, Gouw Ceng sampai tak perdulikan sahabat atau kawan, kalau salah, siapa pun ia hukum sama rata, maka kesudahannya, ia dapat mengadakan ketertiban.

Sudah tujuh tahun Gouw Ceng pimpin Heng tong, dapat dimengarti, karena kejujurannya itu, iapun menyebabkan ada anggauta2 yang tidak senang terhadapnya. Sebab dalam Cap jie Lian hoan ouw, ia menghadapi dua ribu lebih anggauta, sedang kebanyakan anggauta tadinya ada oranga kang ouw campur aduk, banyak yang dari kalangan, rendah.

Pada mulanya, Boe Wie Yang mempercayai semua orangnya, sampai selama yang belakangan ini, sifatnya berubah. Begitulah orang yang ia anggap berjasa atau lanjut usianya, ia kirim ke Hok Sioe Tong, Gedung Bahagia, supaya mereka itu bisa hidup agung tetapi nganggur, dilain pihak, ia sangat andalkan hiocoe dari Thian Hong Tong, Ceng Loan Tong dan Kim Tiauw Tong. Malah selama dua tahun paling belakang, semakin bengis pemilihannya, untuk kirim orang ke Hok Sioe Tong dimana semua hiocoe hidup seperti dewa yang dihormati. Hingga orang tampak siasatnya itu mirip dengan siasat Kaisar Han Kho Couw. Kecuali Gouw Ceng, di Gwa Sam Tong, yang dipercaya adalah Sie Yong dan Pheng Sioe San.

Gouw Ceng pun berpemandangan tajam, maka selama yang belakangan ini ia tampak gejala yang membayangi Hong Bwee Pang, setelah mencapai batas puncak kemakmurannya, akan datanglah hari2 dari kemunduran, terutama sebab Boe Wie Yang jadi suka umbar segala keinginannya, antaranya ketua ini telah pencar pengaruh Hong Bwee Pang terlalu luas, sampai ke Kang souw Ouwlam dan Ouwpak. Benar tenaga dan pengaruh jadi bertambah besar tetapi penilikan jadi tambah sulit.

Demikian bentrokan kali ini dengan Hoay Yang Pay dan See Gak Pay hanya disebabkan terutama oleh sepak terjangnya Cio Tongtay, urusan kecil menjadi besar, malah hebatnya, Lo Gie yang setia sampai melakukan perlawanan, memberontak, untuk mana, dia telah berserikat dengan Pauw Coe Wie, Cin tiong Sam Niauw dan See coan Siang Sat. Dalam urusannya Lo Gie ini, Gouw Ceng tahu adalah Boe Wie Yang yang keterlaluan. Ia berat terhadap penolongnya Itu, meski benar Lo Gie tidak rembet ia, tapi sebab ia masih tetap bekerja untuk Hong Bwee Pang, ia kuatir nanti ada yang rembet padanya. Ia berkecil hati yang ia mesti hukum Cit Nio.

Demikian ada keterangannya Liok Lo Kim In kepada Lauw Thian Sioe. Tentu saja, keterangan ini tidak berikut dengan kekuatirannya Gouw Ceng itu bahwa dia bakal kerembet2, bahwa dia berkecil hati.

Begitu lekas dengar keterangan itu, Thian Sioe bertindak ke pintu, kapan ia saksikan hiocoe itu masih berdiri diam, ia segera kembali pada Cit Nio. “Lo Kim In,” katanya, “kau dan dia ada punya hubungan demikian rapat, dia berhutang budi kepada keluarga Lo dan kau ada turunan semenggaanya, maka untuk keselamatan dirimu, baik kau jangan pikirkan pula tentang dia itu, kau cobalah bujuk padanya. Sedikitnya dia ada jadi hiocoe, kalau kau memohon dengan sungguh2, mustahil hatinya tidak berubah? Kita ada orang2 kang ouw, dari itu menurut keharusan ataupun peri kemanusiaan, untuk tolong kau, itulah keharusannya! Mati atau hidupmu bergantung kepada tempo sedetik ini, tak dapat aku omong lebih banyak pula, baiklah kau pikir sendiri saja, untuk menayakan nya! ”

“Eh, Lauw Tocoe, hati2” Song Pin peringatkan rekannya itu. “Ini ada urusan orang lain, buat apa kau campur tahu? Apabila sampai terjadi sesuatu, sungguh kita tak sanggup pikul tanggung jawabnya. Ya, hari ini hiocoe kita diyadi lain.sekali, kenapatah? Kenapa dia masih belum masuk juga?”

Setelah itu, Song Pin segera bertindak keluar, akan panggil Gouw Ceng, untuk minta hiocoe itu lantas jalankan tugasnya.

Lauw Thian Sioe dan Touw Sin, sudah lantas jauhkan diri dari Liok Cit Nio, berdua mereka berdiri dengan tegak, agaknya mereka siap sedia menjagai nyonya muda yang eilok itu.

Gouw Ceng bertindak masuk dengan pikiran kusut, ia telah seperti kehilangan kecerdasannya. Ia coba menyingkir dari matanya Cit Nio, ia menuju langsung kemeja sembahyang seraya menitahkan pembantunya untuk bersiap. Liok Cit Nio tidak hendak sia siakan ketikanya yang baik. Ia berbangkit dan bertindak menghampirkan Gouw Ceng, dibelakang siapa ia berhenti.

“Gouw Soeko,” katanya, dengan pelahan, “jangan kesusu, soeko. Aku ingin bicara sedikit kepadamu, setelah itu aku nanti terima kematianku dengan mata meram, tidak nanti aku bikin pusing kepadamu.”

Gouw Ceng menoleh dengan wajah berubah, iapun mundur setindak.

“Lo Kim In!” katanya dengan sungguh2, “kau tahu bahwa undang2 kita harus dibuat jerih, undang kita tak kenal sanak atau kadang! Aku nasihatkan kau untuk jangan siasiakan kata2mu yang tidak ada artinya. Benar kau ada seorang wanita tetapi kau adalah orang kang ouw, maka di tempat seperti ini, untuk meminta yang bukan2, bukanlah tempatnya. Aku minta kau hormati undang2 kita. Sekarang aku hendak memasang hio, untuk mulai upacara sembahyang.”

Dengan tiba2 matanya Cit Nio terbuka lebar dan alisnya mengkerut naik, tapi sedetik saja, lalu dari matanya itu melelekan air, dengan keras ia rapatkan kedua bibirnya. Kelihatan ia ada sangat mendongkol, hingga ia bantinga kaki.

“Gouw Soeko, sungguh aku tidak sangka kau demikian tak ingat budi!” katanya. “Kau sebagai satu siauwjin memandang padaku, aku sangat penasaran! Aku telah terfitnah, tak gampang bagikan disaat kematianku ini, aku bisa berada bersama kau, maka selagi aku hendak omong denganmu, untuk sampaikan pesanku yang terakhir, kenapa kau tak sudi mendengarnya? Gouw Soeko, kau kejam sekali ” Cit Nio angkat kepalanya, dengan air muka berduka, ia berkata dengan sangat sedih “Ayah, kau ada satu enghiong, maka menyesal aku sebagai anakmu telah mencemarkan namamu. Akupun menyesal sekali, orang yang kau telah rawat dan pimpin secara sungguh2, sekarang ternyata dia adalah satu murid tak berharga dan tak berbudi, dia tak ingat sedikitpun budimu yang sudah menolong jiwanya. Ayah, anakmu ini ada sangat malang nasibnya….”

Tiba wajahnya nyonya eilok ini menjadi pucat, tubuhnya terhuyung kedepan, menubruk ke arah Gouw Ceng.

Si Burung Laut sudah mundur satu tindak, tidak urung tubuhnya bakal kelanggar juga, tapi segera ia berkelit kesamping, ia lantas ulur tangan kanannya untuk sambar si juwita, untuk dipeluk. Ia tidak ingin Cit Nio sebelum hukumannya dijalankan, telah rubuh terluka atau terbinasa karenanya. Ia menduga Cit Nio mendadak dapat sakit jantung yang hebat, tidak pernah ia menyangka orang sedang bersandiwara! Maka untuk mencegah kecelakaan, ia lupa segala apa.

Tangan yang satu menyambar, yang lain sengaja menubruk, maka. itu Cit Nio kena dirangkul, mukanya si cantik berada dalam pelukan! Kejadian ini membuat Gouw Ceng sangat kaget dan malu, akan tetapi tak dapat ia segera lepaskan pelukannya itu, maka dengan pelahan ia rebahkan si manis dilantai, sesudah mana baharulah ia angkat kedua tangannya.

“Hei, kamu semua bikin apa?” hiocoe ini menegor sambil ia berpaling, kepada semua pembantunya. “Kenapa kamu menonton saja, bukannya kamu lekas sadarkan dia ini? Kita mesti lekas jalankan tugas kita ”

Gouw Ceng lihat bagaimana Cioe Hiong bersama Song Pin, Lauw Thian. Sioe dan Touw Liong seperti tidak ada sangkut paut nya dengan kejadian itu, bukan saja tidak ada yang memburu untuk menolongi, juga tak ada yang bertampak ibuk. Maka itu, ia tegur orang2 sebawahan lain nya.

Dua pembantu segera menghampirkan, mereka coba angkat bangun tubuh Cit Nio untuk di kasi duduk numprah, kepada kedua kupingnya si juwita diperdengarkan suara2 menyadarkan.

Dengan pelahan2 Cit Nio “ingat” akan dirinya, lantas saja ia menangis dengan sedih.

Gouw Ceng bimbang, mukanya masih merah. Ia malu mendengar bangkitannya Cit Nio, sedang disitu ada Cioe Hiong dan yang lain2, yang sikapnya tawar. Nampaknya mereka itu percaya Cit Nio dan karenanya, mereka merasa penasaran buat perkara “tak adil” terhadap si juwita itu. Ia juga malu, sebagai ketua dari Heng tong, yang mesti menjalankan tugas, tidak dapat cegah si nyonya menangis.

“Lo Kim In!” katanya kemudian, “bagaimanapun kau mengatakan aku tidak berbudi, sekarang aku tak dapat berbuat suatu apa. Memang pernah aku terima budi dari keluarga Lo akan tetapi kau sendiri sudah langgar aturan Hong Bwee Pang, kau telah dijatuhi hukuman. Apa aku bisa bikin? Mana aku ada punya tenaga untuk tolong kau? Baik kau berlaku wajar. Maafkan aku, tak dapat aku menanti lagi, sekarang aku hendak mulai pasang hio ”

Cit Nio bisa menduga kebimbangannya hati orang, ia tak mau men sia2kan ketikanya yang baik. Inipun ada saat hidupnya terakhir. Dengan masih menangis mendadak ia lompat bangun, lalu dengan mata terbuka lebar, ia awas hiocoe dari Heng tong itu.

“Gouw Soeko”, katanya pula, “terang2 kau dapat menolong jiwaku ini tetapi kau tidak hendak berbuat itu, kau cuma hendak lindungi kedudukanmu sendiri, oleh karena mana, adikmu yang bersengsara ini kau tidak gubris pula! Gouw Soeko, nyatalah kau senang aku menjadi setan tanpa kepala…. Gouw Soeko, tak ingat kau kejadian dulu, ditepi sungai, ketika kau ditolongi ayahku tanpa ayah menghiraukan bahaya yang mengancam dirinya sendiri dari pihaknya hamba2 polisi? Tanpa pertolongan ayahku itu, apakah kau bisa peroleh kedudukanmu sebagai hari ini? Tapi aku, aku bernasib buruk, hari ini aku rubuh seperti ini, aku mesti paserah kepada nasib. Sebenarnya tak puas aku terima nasibku ini, karena perkaraku tidak jelas, aku mesti mati tercemar, hingga kehormatannya kedua keluarga Liok dan Lo menjadi runtuh ditanganku…. Benar2, Liok Kim In mati penasaran! Aku tak akan dapat lolos dari sini, ingin aku mati dengan benturkan pecah kepalaku sendiri, supaya aku tak usah sampai dihukum potong ”

Cit Nio benar2 geraki tubuhnya, akan loncat melewati Gouw Ceng, untuk benturkan kepalanya ditembok.

Kembali Gouw Ceng terpranjat. Nyonya muda itu nekat, tak boleh ia mengantapkannya. Apa nanti terjadi apabila orang hukuman ini mati bunuh diri didepan matanya sendiri? Bagaimana ia dapat mempertanggung jawabkan?

Nyonya janda itu masih tertelikung kedua lengannya, maka meski ia berloncat, kegesitannya telah berkurang, ketika Gouw Ceng lompat kepadanya untuk mencegah, ia kena tercandak, segera bebokongnya disambar, dijambak.

“Kau berani rusaki aturan kita?” ia berseru. “Lekas kembali!”

Cit Nio tidak berontak, ia antap tubuhnya ditarik, akan tetapi begitu lekas ia diletaki, lantas saja ia bergulingan, ia coba benturkan kepalanya kelantai, sambil berbuat demikian, ia men jerit2. Ia pun sengaja bergulingan mendekati kakinya hiocoe itu.

Walaupun ia ada satu jago kangouw, diperlakukan demikian rupa dan dihadapan banyak orang sebawahannya, Gouw Ceng repot juga, ia malu dan bingung, yang membikin ia merasa paling malu adalah dibukanya rahasianya, bahwa ia pernah ditolongi Lo Gie dari ancaman bahaya maut.

Sedang ia ada satu laki2 dan berbudi. Maka itu, dengan muka dan kuping ke merah2an, ia coba selalu menyingkir dari si juwita, yang senantiasa bergulingan mendekati ia….

Cioe Hiong dan rekannya masih berdiam saja, mereka duduk seperti tidak terjadi suatu apa.

Tatkala itu, seluruh Heng tong telah diterangi cahaya api.

Dalam ibuknya, Gouw Ceng menyingkir sambil berlompat.

“Apakah kamu tidak hendak cegah dia ini?” ia membentak orang2nya. “Aku hendak pasang hio, untuk mohon golok suci kita jalankan tugasnya!”

Cit Nio telah bergulingan hingga kondenya terlepas, rambutnya riap2an. Kembali ia bergulingan, akan dekati hiocoe. itu. Ketika ia mencoba bangun, karena kedua tangannya terikat, dua kali ia rubuh sendirinya. Kapan ia.dapat menyusul sampai didepan meja suci, ia tekuk kedua lututnya, lantas ia manggut2 terhadap hiocoe dari Heng tong itu. “Gouw Soeko, jangan kau terlalu kejam ”

kata dia, “Kau tolonglah jiwaku ini… Apabila kau dapatkan daya untuk bikin aku hidup lagi sekian waktu, pasti aku ada punya daya untuk cuci bersih penasaranku ini, hingga didalam Pusat ini, aku bisa lindungi kebersihan diriku... Setelah aku dapat pulang nama baikku, aku tidak takut untuk diperintah mati, dan walau mati, aku puas. Gouw Soeko, tidak perduli ancaman malapetaka bagaimana besar, tolong kau bertanggung jawab sebentar saja… Ingatlah, soeko, aku adalah turunan satu2nya dari keluarga Lo, ayahku cuma punyai aku satu anak perempuan yang bercelaka... Ayahku sudah menyingkir dari Cap jie Lian hoan ouw, andaikata kau bisa tolong aku, pasti kami keluarga Lo akan ingat baik2 budimu ini. Kau tentu ketahui, menolong satu jiwa manusia ada lebih menang daripada membangun menara tujuh tingkat! Kau dengar, sekarang sudah jam berapa? Kenapa soeko tidak hendak meluluskan permohonanku ini! Buat kau cukup asal kau kirim orang kepada Boe Pangcoe, akan melaporkan bahwa aku benar telah terfitnah, bawa aku telah dapat hunjuk buktinya bahwa aku penasaran, lalu kau mohonkan putusan yang maha adil dari Pang coe, untuk cuci bersih penasaranku itu. Secara demikian, juga nama baiknya Hong Bwee Pang bisa sekalian dipulihkan. Gouw Soeko, soal Pang coe suka menerima baik atau tidak laporan itu, bagimu adalah soal lain, tapi bagiku, sudahlah cukup andai kata kau berani melaporkannya. Setelah itu, bagaimana juga akan akhirnya, aku akan terima dengan segala senang hati dan rela”.

Suaranya Cit Nio ada sedih sekali, iapun menangis. Akan tetapi, disamping semua aksinya itu, ia sebenarnya masih sempat memasang kuping dan mata untuk hal2 lainnya disekitarnya. Begitulah ia telah dengar suara suitan ber ulang2 diarah barat utara Heng tong.

Gouw Ceng sedang bimbang, kata2nya Cit Nio menusyk hatinya, hingga ia jadi bertambah ragu2. Bermacam pikiran mengaduk dalam otaknya. Yalah suasana disekitar Ceng Giap San chung, bangkitannya janda yang elok ini, dan suara suitan itu. Sebagai seorang jajur, ia juga ingat baik2 budinya Lo Cie sebagai penolongnya. Apa mesti ia jadi seorang tak berbudi, yalah dengan hukum gadis satu2nya dari tuan penolongnya itu? Apa ia mesti lebih berati Hong Bwee Pang hingga ia jadi manusia yang tak berbudi? Apakah ia tidak lihat bahwa malapetaka sedang mengancam Ceng Giap Sanchung dimana pertempuran yang memutuskan boleh dibilang telah sampai diakhirnya?

Urusan didalam masih belum beres, sekarang tentara negeri telah datang menyerbu. Apakah artinya ancaman bahaya itu? Bukanklah guruh yang ia dengar itu sebenarnya adalah tembakan2nya tentara negeri?

Selagi hiocoe ini terumbang ambing dalam kesangsian, dari luar ada datang satu orangnya sambil ber lari2, orang mana segera berikan laporannya.

“Hiocoe!” kata orang itu, “di pelabuhan dalam orang telah melakukan pengunduran besar2an, malah yang paling aneh, anggota dari perahu2 pembelaan Je cap pat sioe pun telah pada berkumpul dalam bidang Thian Hong Tong. Sebenarnya teecoe kuatir nanti mengganggu upacara tetapi toh teecoe datang kepada hiocoe untuk mohon pengunjukan ”

Gouw Ceng kerutkan sepasang alisnya, kedua biji matanya berputar. Dengan tiba2 ia keluarkan keringat dingin. Ia mengarti bahwa satu perubahan besar sudah terjadi!

“Jiewie tocoe!” akhirnya ia kata kepada Cioe Hiong dan Song Pin, “laporannya saudara ini ada terlalu luar biasa, maka tolong kamu segera pergi melakukan penyelidikan, supaya tidak sampai ada saudara2 bahagian luar nanti lancang memasuki Liong Tauw Congto, Pusat Umum kita!”

Cioe Hiong dan Song Pin juga turut merasa aneh, tetapi juga mereka bisa duga, titahnya hiocoe itu kepada merekapun ada suatu alasan sambil lalu untuk bikin mereka berdua keluar dari ruang Heng tong itu, supaya si hiocoe dapat ketika akan bicara kepada Liok Cit Nio. Mereka memang ada orang2 kang ouw ulung, dari itu, melihat suasana, mereka anggap tak perlu mereka ibuki lagi segala urusan si wanita cabul itu. Begitulah mereka terima perintah dan lantas undurkan diri, akan menuju langsung ke Thian Hong Tong.

Adalah niatnya Gouw Ceng untuk lantas perintah orang2nya pasang lilin dan menyulut hio, untuk mulai dengan upacara sembahyang, supaya setelah itu hukuman atas dirinya Cit Nio bisa lantas dijalankan, akan tetapi sekarang, karena suasana itu, ia sengaja berlaku ayal2an. Ketika itu di Ceng Giap Sanchung, pertempuran telah sampai pada batas terhebat.

Tiba selagi cuaca seburuk itu kembali terdengar tembakan yang dahsyat, mendengar mana, bukan kepalang gusarnya Boe Wie Yang, yang menyangka Hoay Yang Pay dan See Gak Pay pasti sudah berkongkol dengan tentara negeri, untuk datang menyerbu secara tiba2 itu, untuk gencet Hong Bwee Pang dari luar dan dalam. Saking murkanya, ketua ini lantas titahkan “Turun tangan!”

Sekejab saja semua orang Hong Bwee Pang segera hunus senjatanya dan mereka lantas maju menerjang musuh, hingga pihak Hoay Yang Pay dan See Gak Pay terpaksa sambut serangan itu. Dengan begitu, pertarungan jadi ambil dua tempat didalam dan diluar Ceng Giap San chung. Dari pihak luar benar2 ada serbuan oleh pasukan air negara, yang majunya berbareng diair dan darat, malah hebatnya, mereka bisa merangsek dengan ambil jalan memotong, hingga perahu2 Jiecap pat sioe dari Hong Bwee Pang segera kena dikurung.

Selagi suasana buruk itu berjalan, Gouw Ceng telah dapatkan ketetapan hatinya.

“Lo Kim In,” katanya, “kau harus hargai dirimu, sebab biar bagaimana, kau tetap ada satu wanita. Dihadapan saudara2 kita, tak dapat kau main gila. Kau harus ingat, kami semua tak membenci dan mendendam kepadamu, kami melainkan menjunjung titahnya Liong Tauw Pangcoe. Kau telah saksikan, perubahan apa sekarang sedang terjadi, karena itu, mengingat kau adalah satu wanita, aku sekarang berniat berunding dulu dengan semua tocoe sebawahanku, untuk lihat bisa atau tidak kami terima usulmu. Maka itu tunggulah akan lihat bagaimana nanti untungmu”.

Lauw Thian Sioe dan Touw Liong saksikan perubahan sikap dari hiocoe mereka itu, sebenar nya mereka girang sekali, akan tetapi disebelah itu, suasana ada demikian buruk, hati mereka jadi tawar akan “tonton harimau berkelahi,” dari itu, mereka mengawasi saja hiocoe itu.

Gouw Ceng dekati Thian Sioe, ia berbisik “Lauw Tocoe, suasana diluar buruk sekali, kita yang berada disebelah dalam perlu ketahui kejadian diluar itu, tetapi kita disini digerembengi Lo Kim In. Dalam halnya Kim In ini, tak berani aku lantas memenuhi permintaannya, maka bagaimana pikiranmu? Kita ada sama2 anggauta Hong Bwee Pang, perlu kita berunding. Aku percaya, to coe tentu suka sekali apabila kita dapat tolong Kim In, tetapi aturan partai kita ada sangat keras, aku takut nanti menyalakan api hingga membakar diri sendiri. Maka itu bagi kita adalah terlebih baik kurang satu urusan daripada berlebihan perkara ”

Thian Sioe heran mendapati hiocoe itu tiba2 suka bicara demikian rupa kepadanya. itu artinya merendahkan diri dan hal itu belum pernah ia alaminya dulu2 Tentu saja, didalam hatinya, ia jadi sangat girang.

“Hm, Hay niauw Gouw Ceng, toh datang saatnya kau bakal rubuh ditanganku ” pikir ia.

Touw Liong kuatir kawannya itu, karena saking girang nanti mengucap sesuatu yang bisa menyinggung Gouw Ceng. Biar bagaimana, hiocoe itu adalah ketua mereka. Maka lekas2 ia mendahului menyahut.

“Memang, hiocoe, apabila dapat kita satu tindak, mengapa kita tak hendak menjadi manusia?” demikian katanya. “Seorang kang ouw wanita, pasti banyaklah rintangannya. Umpama dia ini memang sulit akan ketahui dia bersalah atau tidak. Menurut aku, tidak ada halangannya apabila hiocoe meluluskan permohonannya akan mintakan belas kasihannya Liong Touw Pangcoe, umpama dengan menunda dahulu hukumannya. Siapa tahu kalau dia dapat dilindungi jiwanya? Tidakkah itu ada satu perbuatan baik?”

Cit Nio ada sangat cerdik, ia segera bisa duga hatinya Gouw Ceng. Ia pun insyaf bantuannya Touw Liong, begitupun Thian Sioe, maka tidak berlambat lagi ia segera hampirkan mereka, untuk menekuk lutut.

“Loosoehoe bertiga,” katanya, “apabila loosoehoe bisa berbuat baik demikian rupa kepadaku, seumur hidupnya Lo Kim In tidak nanti lupa akan budimu”.

Ia lantas manggut berulang2. Benar2 Gouw Ceng kena dipengaruhi. Akan tetapi, pada wajahnya ia tidak segera perlihatkan isi hatinya itu. Ia hanya menoleh kepada Thian Sioe dan Touw Liong.

“Jikalau jiewie tocoe berniat menolong dia ini, akupun suka membantu kepadanya,” berkata ia. “Biar aku rela menerima teguran Pangcoe, nanti aku memohon kepadanya. Suasana dipelabuhan ada demikian rupa, entah di Ceng Giap San chung orang telah terima laporan atau belum, maka itu pikirku baik jiewie tolong pergi ke San chung akan wakilkan aku, tetapi jangan jiewie segera majukan permohonan langsung kepada Pangcoe, jiewie bicara saja kepada hiocoe dari Thian Hong Tong, akan tuturkan keluh kesahnya Lo Kim In. Auwyang Hiocoe biasa paling berani bertanggung jawab, cukuplah asal ia berani bicara sepatah kata saja kepada Liong Tauw Pangcoe. Apakah jiewie tocoe sudi pergi ke Ceng Giap San chung?”

Thian Sioe bersenyum mendengar hiocoenya itu, ia pandang Cit Nio kemudian berpaling kepada ketuanya ia berkata “Aku Lauw Thian Sioe paling suka membantu sesamanya, hiocoe sendiri ada demikian murah hati, mustahil kami tak sudi bantu padamu? Baik, suka kami pergi kedalam San chung, untuk sekalian tengok keadaan disana”.

Gouw Ceng bukannya terlalu tolol untuk tidak dapat menyangka hatinya tocoe sebawahan yang licik itu, tetapi iapun ada punya maksudnya sendiri, dari itu ia tak jerih.

Lauw Thian Sioe tidak berayal lagi, sambil ajak Touw Liong, rekannya, ia minta sebatang tek hoe dari hiocoenya itu, terus mereka bertindak pergi.

Begitu lekas berada diluar ruang Heng tong, kedua tocoe ini lantas merasakan lainnya suasana. Air hujan sudah mulai turun, halilintar berkeredep saling sambar, guntur terdengar semakin nyata. Walaupun suasana ada demikian rupa yang bisa mengecilkan hati, tapi berdua mereka maju terus kearah Ceng Giap San chung.

Seberlalunya kedua tocoe itu, didalam Heng tong masih ada beberapa orang lain, tetapi karena mereka bukannya tocoe, Gouw Ceng tak kuatirkan mereka itu.

“Lo Kim In,” segera ia kata kepada si juwita, “ber ulang2 kau katai aku tidak berbudi, kau sebenarnya terlalu menghina! Kalau aku tak ingat kebaikannya Lo Loo enghiong, sudah sejak siang2 aku penggal batang lehermu! Sekarang begini rupalah keadaannya Cap jie Lian hoan ouw, aku lihat tak usah kita terlalu taat kepada undang2 lagi… Dasar kau tidak hendak mampus, apa mau telah terjadi perubahan suasana seperti ini. Kau lihat, Lo Kim In, aku telan menempuh bahaya dengan kirim orang ke Ceng Giap San chung, untuk sampaikan permohonanmu.

“Aku tahu bahwa perbuatanku ini berarti aku cari malu sendiri. Mana Liong Tauw Pang coe sudi terima baik permohonanmu itu? Lauw Thian Sioe dan Touw Liong hendak main gila terhadapku, sedikitnya untuk membuat aku jadi buah tertawaan, maka itu sengaja aku kirim mereka, supaya biarlah mereka yang merasainya terlebih dahulu! Kau mengerti, Lo Kim In, aku melainkan lambat2an untuk menangkan tempo, maka umpama kau benar tidak mestinya binasa, pasti kau bakal ketolongan, walaupun untuk sesaat. Kau harus jangan memikir yang tidak2, atau kau akan perlekas kebinasaanmu. Kau percayalah bahwa Gouw Ceng bukannya itu orang yang suka bekerja kepalang tanggung!”

Hiocoe ini baharu mengucap demikian atau lima orang sebawahan lainnya menerobos masuk. “Hiocoe, keadaan di Thian Hong Tong sudah jadi sangat kalut!” salah satu diantara mereka melaporkan. “Dimulut pelabuhan, semua perahu kita sudah terpencar, sebahagian anggota sudah menyingkir kedalam Pusat Umum, sedang dipelbagai pos lainnya, saudara2 kita pun terhalang. Katanya sejumlah besar tentara negeri dan perahu perang sudah menerjang masuk kedalam Cap jie Lian hoan ouw. Maka itu perlu hiocoe segera bertindak ”

Gouw Ceng sambut laporan itu dengan suaranya yang keren “Sekarang ini Liong Tauw Pangcoe dan semua hiocoe dari Lwee Sam Tong sedang terlibat hebat oleh para tetamu kita, selama belum ada keputusannya, biar apa yang terjadi, kita pihak luar Lwee Sam Tong tak dapat lancang bergerak, maka pergi lekas kamu jaga masing2 posmu, jangan kamu mengacau di Heng tong, atau nanti terpaksa aku hukum pada kamu!”

Perkataan hiocoe ini dibuat takut, lima orangnya itu sudah lantas undurkan diri.

Cit Nio berlompat bangun. “Gouw Soeko, loloskanlah belengguanku ini!” ia mohon. “Aku bukannya seorang hina dina hingga aku nanti kabur dari hadapanmu. Aku telah mohon belas kasihanmu, itulah urusan pribadi, jikalau aku buron, aku bukannya seorang kang ouw lagi. Gouw Soeko, lekas lepaskan aku, aku hendak bicara kepadamu ”

“Untuk loloskan kau adalah perkara kecil,” Gouw Ceng bilang.

“Umpama kau kabur, itulah cuma akan melekaskan mampusmu!”

Sambil mengucap demikian, Gouw Ceng loloskan belengguannya si manis itu, atas mana Cit Nio gerak2i kedua lengannya, untuk menghilangkan rasa pegal, kemudian ia memandang kepada orang2nya Gouw Hiocoe, tiga orang lagi yang tidak punya pengaruh apa2. Ia lantas bertindak mendekati meja sembahyang.

“Gouw Soeko, kau legakan hatimu,” berkata ia. “Umpama aku tak dapat tolong diriku, tidak nanti aku akan celakai kau.”

Gouw Ceng sedang pasang kuping untuk suara berisik diluar ketika ia dengar perkataannya si janda, lalu ia menoleh kepada tiga orangnya. Ia pun dekati si manis.

“Kau hendak bicara apa?”.

“Gouw Ceng, kecewa kau jadi orang kang ouw!” berkata Liok Lo Kim In. “Kau ada seorang yang berambekan tinggi, yang ingin angkat nama dalam dunia kang ouw, sayang sampai saat segenting ini, kau tak dapat ambil putusan! Sayang kepandaianmu, kecerdikanmu, semangatmu juga, sebab kau bakal antarkan jiwamu secara penasaran didalam Cap jie Lian hoan ouw ini, sungguh sangat disayangkan… Coba pentang matamu, lihat keadaan Cap jie Lian hoan ouw sekarang ini! Beberapa orang sebawahanmu tidak ada disini, mungkin mereka tidak bakal kembali lagi, maka sekarang adalah waktunya yang tak dapat disia2kan pula. Maka sekarang baiklah aku beri tahu pada mu!”

Suaranya nyonya janda muda ini jadi keren ketika ia melanjutkan “Puterinya Sam im Ciat hoe ciang Lo Gie, keponakan perempuan dari Siang chioe Kim Piauw Lo Sin, adalah seorang perempuan keturunan orang kang ouw yang kenamaan, tak nanti dia ada demikian rendah hingga dia takut mati atau temahai hidup hingga dia jerih terhadap golok atau pedang! Tidak nanti karena sayangi satu jiwanya dia nanti tak perdulikan lagi nama baik keluarganya! Perbuatanku tadi adalah hanya untuk sengaja memperayal waktu! Gouw Soeko, mari kita bicara dengan sungguh2. Tidak sudi aku buang jiwaku disini, jikalau disini aku turut mereka habis musnah, itulah aku mirip seperti si orang yang turut mati berkurban! Selagi bahaya mengancam, mesti kita ambil putusan cepat, tak lagi kita harus perdulikan segala kehormatan kang ouw! Aku telah dibekuk oleh Tiat So Toojin, itu imam bangkotan hidung kerbau, benar dia telah lukai aku tetapi tidak hebat. Ketika aku dipukul rubuh dan pingsan, entah siapa orang yang bersama dia, orang itu segera belesakkan aku kedalam kantong, setelah mana, lantas aku sadar akan diriku. Aku tahu aku telah terjatuh kedalam tangan nya seorang sangat liehay, aku insyaf, percuma akan aku mencoba2 untuk berontak atau melarikan diri, maka itu aku bersabar, aku antap apa ia suka perbuat atas diriku. Aku tunggui ketika yang baik. Rupanya imam itu sangka aku masih pingsan, aku dengar dia dengan suara keras perintah kawannya segera pergi ke Tong peng pa, akan memasuki rimba sebelah utara dimulut gunung, dia sendiri hendak pergi ke kuil Kouw Heng Am dibarat selatan Hok Sioe Tong, untuk ketemui ketua dari See Gak Pay, To Cie Tay soe, buat anjurkan pendeta tua itu lekas masuk kedalam Cap jie Lian hoan ouw, untuk sambut muridnya. Aku tidak dengar jelas titahnya si imam hidung kerbau itu tapi rupanya dia peringatkan bahwa rombongan dari Soe Soei ada terancam bahaya kemusnahan, sebab Boe Wie Yang sudah jadi nekat, bahwa rupanya Boe Wie Yang itu telah ada yang khianati, bahwa musuhnya Hong Bwee Pang ada orang sangat liehay. Tiat So Toojin bersikap demikian, sebab dia sendiri mesti lindungi orang Hoay Yang Pay. Demikian apa yang aku dengar, dari itu aku percaya, Hong Bwee Pang tentulah tak bakal dapat ditolong lagi. Hong Bwee Pang niat tumpas orang2 Hoay Yang Pay dan See Gak Pay, dia tidak tahu bahwa musuh2nya ada tangguh sekali. Aku menyesal sudah jatuh kedalam tangan Tiat So Toojin, hingga tak dapat aku cuci kehinaan atas tubuhku yang putih bersih, jikalau aku sampai mati secara menyedihkan, sungguh hebat sekali, sungguh aku penasaran. Kau tahu sendiri, Gouw Soeko, Lo Kim In belum ada sedemikian hina, maka syukurlah Thian menaruh belas kasihan, aku toh telah diberikan jalan hidup. Gouw Soeko, kau ada satu enghiong mulia, kau tidak punya cacat, menyesal aku mesti gerembengi kau, hingga kau bisa ditertawai sesama kaummu. Tapi aku terpaksa tidak perdulikan itu, sebab aku perlu tolong jiwaku, juga berbareng aku hendak tolong nama baikmu. Apabila kau kerjadian hukum aku kau juga bakal ditertawai umum. Tentang ayahku tentunya kau ketahui, bagaimana dia telah angkat kau, supaya kau dapat berdiri atas kaki sendiri.

Tentu sekali, ayah tidak

“Tentu sekali, ayah tidak mengharapkan pembalasan budi darimu, sebab seumurnyapun tidak suka dia menyender kepada lain orang. Kau lihat sendiri, sekalipun aku sebagai gadisnya, dia tidak terlalu perhatikan, tetapi aku percaya dia tetap menyayangi aku. Rupanya ayahpun tidak ingin aku mengandalkan pengaruhnya. Ayah pandai melihat orang, soe ko, sebagaimana buktinya, dia telah tolong kau dan didik padamu. Maka kalau sekarang kau tidak segera ambil putusan, ayah tentu kecewa dan menyesal sudah tolong padamu ”

Merah padam mukanya Gouw Ceng karena dikocok dengan kata2nya janda licin ini.

“Lo Kim In, kau berani bujuki aku?” dia berseru.

Gouw Ceng belum sempat berkata lebih jauh, tiba2 ia dengar suara gemuruh dua kali diarah timur, disusul sama suara pertempuran di timur selatan, agaknya dikiri Thian Hong Tong ada bergerak banyak sekali orang, suaranya saling sambut. Pastilah di Lwee Sam Tong dan Gwa Sam Tong sudah terjadi peristiwa hebat sekali. Yang paling menggoncangkan adalah tembakan senapan tak hentinya. Gouw Ceng pernah bertempur disungai, ia telah saksikan sendiri hebatnya tembakan senapan2 pasukan air negara. Senjata api itu ada jauh lebih hebat daripada panah, bahkan satu akhli silat pun, menghadapi senjata model baharu itu seperti mati kutunya. Maka adalah diluar pikirannya Hay Niauw si Burung Laut akan dengar tembakan didalam pusat Hong Bwee Pang.

Keadaan ini membikin Gouw Ceng tak pandang terlalu rendah lagi kepada Liok Cit Nio, kata2 siapa ia jadi semakin percaya, hingga ia berbalik pikir, sudah seharusnya dia tolongi janda elok ini, untuk sekalian balas budinya Lo Gie dan Lo Sin.

“Tak boleh aku terlalu percaya orang luar, tak dapat aku membuat dia penasaran”, akhirnya si Burung Laut berubah pikiran.

“Kalau benar2 tentara negeri sudah masuk kesini, apa aku bisa bikin? Baik aku turut Cit Nio, untuk sekalian tolong diri sendiri juga. Dengan berbuat demikian, aku rasa aku tidak berkhianat kepada Hong Bwee Pang, dibelakang hari, aku masih dapat membantu pula ”

Karena memikir begini, Gouw Ceng awasi si manis. “Soe    moay”,    katanya,    “aku    dengan    kau    tidak

mendendam tidak bermusuhan, kau kenal baik aku sebagai satu jantan, maka jangan kau coba bujuk dan pancing aku hingga aku jadi berbuat jahat. Perbuatanku sekarang ini cuma untuk taati titah Pang coe, terutama mengingat Pang coe dan Lwee Sam Tong perlakukan aku dengan baik. Dalam saat2 berbahaya, tak boleh aku kecil hati dan menyingkir untuk kepentingan diriku pribadi. Tapi kau mengandung penasaran, serbuan dari pihak luar juga sangat hebat, maka sekarang aku berpikir lain. Anggaplah keluarga Lo telah mengumpul jasa baik, maka sekarang aku hendak merdekakan kau. Hanya aku hendak tegaskan, kau bisa atau tidak lolos dari Cap jie Lian hoan ouw, itulah bukan urusanku, sebagai mana aku sendiripun tak tahu bagaimana akan terjadi dengan diriku sendiri. Soe moay, aku hendak taati sumpahku kepada Couwsoe, aku hendak belai Hong Bwee Pang. Sekarang, katakanlah, apa lagi yang kau kehendaki? Aku akan lepaskan kau pergi!”

Cit Nio perlihatkan roman sungguh2, ia banting2 kaki. “Gouw Soeko, kenapa pikiranmu jadi begini butek?” ia

menegur. “Sekarang aku tidak punya kata2 lainnya lagi. Karena kau tidak niat menyingkir, akupun tidak akan berlalu dari sini. Soeko, coba kau lihat dahulu keadaan diluar ”

CXLIII

Janda ini maju setindak mendekati hiocoe itu, hingga terpisahnya mereka berdua tinggal setengah kaki. Ia mengawasi dengan mata terbuka lebar, sinar matanya tajam, romannya jadi bengis, agaknya ia gusar. Tapi ia bukan gusari hiocoe itu, ia hanya sibuki dirinya sendiri dan sang soeko juga, kanda seperguruan itu. Kemudian ia ulur tangannya akan cekal kedua bahunya Gouw Ceng.

Gouw Ceng tidak anggap si juwita sebagai musuh, sebegitu jauh ia hanya tak suka terhadap tingkah polanya si genit itu, akan tetapi sekarang ia tampak orang bersungguh2. Memang mereka berdua tidak asing satu dengan lain, untuk setahun lebih mereka pernah tinggal bersama didalam satu rumah. Maka itu, pelahan2 hiocoe.ini terkena pengaruh gayanya si cantik ini. Liok Cit Nio liehay sekali, menghadapi Gouw Ceng, ia tidak perlihatkan kecentilan, ia bawa aksi sewajarnya sebagai orang yang sedang berduka dan menghadapi bahaya. Sehabis hunjuk roman sungguh2 itu, lalu air matanya melele turun.

“Gouw Soeko, pergilah lekas ke Thian Hong Tong,” kata ia pula, “coba kau cari tempat untuk sembunyikan diri, guna lihat apa yang sebenarnya telah terjadi, lantas kau lekas2 kembali kesini. Aku masih hendak beritahukan kau satu hal penting sekali mengenai kehidupanmu. Kalau benar kau berniat keras membelai Hong Bwee Pang, untuk itu tidak ada jalan lain lebih baik daripada kau bunuh diri! Berapa tinggi kepandaiannya? Apa kau bisa bikin? Aku justeru kuatirkan, sudah terlambat untuk kau keluar dari sini. Aku tak ingin kau mati kecewa… Lekas, soeko, lekas pergi lihat, atas nama kebaikan nya keluarga Lo!”

Cit Nio tolak tubuh orang, cekalannya sendiri ia lepaskan, maka itu, tubuhnya Gouw Ceng. menyelonong keluar. Habis itu ia lantas duduk didepan meja suci, ia menangis. Dengan ujung bajunya ia tutup mukanya, untuk sekalian tepas air matanya, Gouw Ceng bertindak keluar dengan pikiran kusut ia diawasi tiga orangnya dengan mereka ini tidak mengerti atas apa yang mereka saksikan itu, mereka mendengar tetapi tidak jelas. Mereka juga tidak berani campur bicara….

Gouw Ceng bertindak terus, ia pergi kepojok Heng tong, dari mana ia loncat naik keatas genteng. Ketika ia mengawasi keempat penjuru, ia dapatkan disekitarnya gelap. Syukur sang kilat sering berkeredep, maka bisa jugalah ia melihat sekitar Thian Hong Tong, Gedung Burung Hong itu. Samar2 ia tampak orang seperti berlari2 berserabutan. Kemudian iapun lihat sinar merah diudara, ia dengar mendengungnya tembakan2. Ia tahu apa artinya tembakan itu. Walaupun demikian, hiocoe ini tak dapat duga apa adanya latar belakang dari kekacauan dalam sarang Hong Bwee Pang itu, yang biasanya tenang dan angker…. Ia tidak menginsafi bagaimana orang telah jual partainya itu, hingga tentera negeri dapat menyerbu masuk. Apabila tidak sedang berlaku pertempuran dengan Hoay Yang Pay dan See Gak Pay, mungkin Boe Wie Yang dapat bertahan, tapi sekarang, dia repot sekali.

Sekian lama Gouw Ceng pasang mata dan kupingnya, dalam kesangsiannya, semakin teballah kepercayaannya terhadap Liok Cit Nio, maka diakhirnya, ia loncat turun akan kembali kepada tocoe wanita itu. Disitu masih ada tiga orangnya selain si nyonya janda sendiri.

“Kamu sungguh setia!” hiocoe ini kata pada mereka itu, tapi suaranya menyatakan tak puasnya hati. “Kenapa kamu tidak mau mabur? Apakah kamu hendak tunggui kematianmu?”

Tiga orang itu tercengang, sebab tidak keruan2, mereka ditegur. Tapi, kapan ternyata hiocoe itu tidak main2, tidak berayal lagi mereka lantas undurkan diri, untuk kabur!

Gouw Ceng hampirkan Cit Nio, yang duduk sambil tunduk, kedua tangannya memain di ujung baju, agaknya janda ini sedang berpikir.

“Soemoay Kim In,” kata ia dengan lagu suara berubah dari biasanya. “Keadaan sekarang ini rupanya hebat sekali, aku kuatir, segera juga Hong Bwee Pang bakal ludas…. Inilah aku tidak sangka ”

Cit Nio tiba2 berbangkit, ia angkat kepalanya mengawasi hiocoe itu. Tapi ia tutup rapat kedua bibirnya, lalu ia menghela dengan pelahan. “Soeko, soemoaymu yang terfitnah ini toh tidak dusta bukan?” akhirnya ia berkata. “Jika lau kau hendak jadi seperti si isteri setia yang berkurban menyusul suaminya kedunia baka, atau anak yang berbakti yang mencari ayah dan ibunya, sekaranglah waktunya, kau boleh hunus golokmu akan gorok batang lehermu, supaya kau bisa mati didalam Heng tong ini, agar nanti tentara negeri sampai disini, mereka bisa dapati mayatmu, untuk diangkat dan dibuang kebelakang bukit. Tidakkah dengan demikian kau telah berkurban untuk kesetiaan mu terhadap Hong Bwee Pang?”.

“Soemoay, jangan kau bikin hatiku panas,” Gouw Ceng me motong. “Aku masih bisa berpikir, aku masih ingat budinya penolongku ”

“Tetapi, soeko, ayahku sudah berontak terhadap Hong Bwee Pang,” ia kata “Dimata lain orang dia tentu dipandang hina, sebab sebagai tetua dari Hok Sioe Tong, bukannya dia bersetia, justeru dia berkhianat terhadap partainya. Bukankah, tak seharusnya dia bertindak demikian? Kau ada orang terdekat dengannya, kau tentu beranggapan lain. Bukankah ia telah didesak Boe Wie Yang? Bukankah Boe Wie Yang sendiri yang menyebabkan keruntuhannya Hong Bwee Pang? Maka, setelah kita ketahui duduknya hal, kenapa kita jadi mau berlaku tolol, akan kurbankan jiwa sendiri? Kau hendak tunggu apa lagi jikalau tidak sekarang juga kau ambil putusanmu? Jikalau kita tunggu sampai tentara negeri sudah tutup semua jalanan, pasti sulit untuk kita menyingkir dari sini ”

Gouw Ceng berdiam, rupanya ia sedang berpikir.

“Baik sekarang aku omong terus terang”, kata Cit Nio pula. “Kalau jalan kita tertutup, sukar untuk kita lolos, tidak demikian dengan Boe Pangcoe si tua bangka licin! Hong Bwee Pang boleh musnah tapi dia pasti dapat loloskan diri, tak perduli tentara negeri liehay. Aku berani bertaruh potong satu jari tanganku yang kiri apabila aku mendusta! Jangan kau anggap aku satu wanita tukang ngoceh saja! Tahukah kau bahwa Boe Pang coe ada punya satu jalanan rahasia, yang diketahui hanya olehnya sendiri serta hiocoe2 dari Lwee Sam Tong saja? Bahkan hiocoe2 dari Hok Sioe Tong yang dimuliakan, itu mereka tak tahu jalan rahasia itu, Boe Pangcoe tidak sudi memberitahunya. Gouw Ceng, adakah itu perbuatannya satu saudara yang bersumpah sehidup semati? Maka, marilah kita pergi lekas, jangan tolol! Siapa sudah mati, habislah sudah! ”

Gouw Ceng mengawasi dengan kesangsian tetapi hatinya sangat tertarik, ia mulai percaya janda ini, karena mana, ia jadi dapat perasaan jemu terhadap Boe Wie Yang. Sebagai orang kang ouw yang jujur, ia benci perbuatan curang dari sesama kawan. Ia tak hendak pedayai orang, juga ia tak sudi orang berlaku licik kepadanya. Ia hendak bersetia, maka ia tak senang orang tidak hargai kesetiaannya itu. Memang samar? pernah ia dengar perihal jalanan rahasia itu, yang ia. sangsikan, sampai sekarang Kim In berani memastikannya.

“Ah, dia benar celaka!” dalam hatinya ia mengutuk Boe Wie Yang.

“Aku setia kepadanya, aku bersedia untuk kurbankan jiwa, siapa tahu sampai disaat mati hidup ini, dia tak gubris aku!”

Dengan tiba, hiocoe ini tertawa gelak2.

“Lo Kim In, jangan kau pandang enteng kepada Hay niauw Gouw Ceng!” kata ia akhirnya. “Kalau mereka bisa lolos dari jalanan rahasia itu, aku juga punyakan kepandaian untuk keluar dari sini dengan sama bebasnya! Biarlah nanti diluar Cap jie Lian hoan ouw, kita bertemu pula!”

Diam2 girangnya Cit Nio bukan kepalang besarnya, ia justeru kuatirkan hiocoe itu tetap berkepala batu, apabila dia tetap bersetia kepada Boe Wie Yang, pasti ia sukar loloskan diri. Bagus hiocoe ini membenci ketua Hong Bwee Pang itu. Ia cerdik, ia tidak mau omong banyak lagi.

Gouw Ceng ber lari2 kebelakang ruang dimana ada letak kamarnya untuk istirahatnya, disitu ia siapkan senjatanya berikut senjata rahasianya, juga uang simpanannya. Ia pun sambar sebatang golok pok too, untuk Cit Nio.

“Bagaimana, Soemoay, kau kuat jalan atau tidak?” tanya ia, yang putusannya sudah tetap. “Kita sekarang harus menerjang keluar! Aku tanggung kau akan lolos dengan selamat, untuk perlihatkan kepadamu bahwa soekomu ini bukannya seorang tak punya guna! Tetapi jikalau kau lelah, ini berabe ”

Cit Nio sedang kegirangan, ia jadi bersemangat.

“Soeko, jangan kau pandang enteng adikmu ini!” jawabnya dengan lantas. “Adikmu ini pernah berkelana banyak tahun, pernah saksikan gunung golok, rimba pedang, sungai besar, gelombang dahsyat, maka disaat seperti ini, tak nanti aku kalah daripada sembarang lelaki! Sekarang sudah tak ada saat lagi untuk berayal, mari kita berangkat!”

Gouw Ceng benar2 tak sangsi lagi, ia lantas bertindak keluar.

“Mari ikuti aku!” ia mengajak.

Demikian selagi suasana ada demikian buruk dan mengancam, hiocoe dan tocoe ini telah angkat kaki dari ruang Heng tong akan nerobos keluar. Tentu saja, mereka kuatir ketemu orang2 sendiri dan takut kalau2 jalanan telah tertutup tentara negeri.

“Ikuti aku, soemoay, jangan pisahkan diri!” Gouw Ceng pesan wanti2. “Aku nanti cari perahu! Besarkan nyalimu, jangan takut, aku kenal baik jalanan, kita pasti dapat lolos!”

Gouw Ceng ber lari2 dijalanan yang gelap, benar2 ia kenal baik pusat Hong Bwee Pang itu. Dari Thian Hong Tong, ia jalan memutar keluar dari seluruh Lwee Sam Tong, hingga dalam tempo yang pendek ia sudah mendekati pelabuhan. Dari sini ia tampak sinar api merah digedung tetamu dan dijalan hutan cemara, rupanya tentara negeri sudah sampai disana.

Setelah menuju kedepan hutan cemara, Gouw Ceng ambil jalan barat utara, pergi kebelakang rimba sebelah kiri. Siapa tidak tahu seluk beluknya tidak berani ambil jalan itu, bagi Gouw Ceng justeru sebaliknya. Dibelakang itu ada tanah pegunungan, dan dikaki bukit lebat dengan alang2 setinggi sependirian orang. Tempat itu gelap sekali. Tanpa bersangsi ia nerobos kesitu.

Selama itu Cit Nio merupakan bayangannya hiocoe ini. Sesudah keluar dari wilayah Kim Tiauw Tong, gedung

Garuda Emas, sampailah Gouw Ceng ber dua dimulut pelabuhan    dimana    ia    tampak    pemandangan    yang

menggiriskan, karena semua perahu Jiecappat sioe telah dipukul buyar tentara negeri dan ada juga yang terbakar, ditengah sungai masih terjadi perguletan, ada orang2 Hong Bwee Pang yang sedang merat. Ia berdaya akan menjauhkan diri dari mereka itu walaupun ia tak kuatir, sebab ia percaya diwaktu demikian tidak akan ada orang yang perhatikan mereka berdua.

Mengikuti tepi, Gouw Ceng menuju kearah timur, tidak jauh dari situ ia tampak banyak perahu dipermukaan air sedang terumbang ambing. Ia loncat naik kesebuah perahu laju, segera ia gayu kendaraan itu ke pinggir.

“Cit Nio, inilah ketika kita!” kata ia, yang ajaki si janda naik perahu itu.

Cit Nio tanpa ragu2 segera loncat keperahu, yang dilain saat lantas digayu oleh Gouw Ceng sesudah memesan si manis untuk mendekam. Dia pandai mainkan penggayunya, sebab ia pernah berlatih keras, sedang gelarannya, Hay Niauw si Burung Laut ia dapat didalam Hong Bwee Pang setelah ia pandai main di air.

Hiocoe inipun menggayu dengan tubuh separuh mendekam, perahunya laju pesat sekali. Permukaan air ada gelap, ini menolong ia menyingkir dari sinar apinya tentara negeri.

Beberapa kali ia lewatkan tempat berbahaya tanpa halangan, diakhirnya, ia memasuki satu gombolan gelaga lebat. Disini ia melalui kira2 sepanahan.

“Soemoay, inilah laut yang lebar dan langit yang luas!” kata Gouw Ceng akhirnya. “Disini dapat kita terbang dengan merdeka! Lihat Thian lam It Souw Boe Wie Yang yang cerdik, yang siang2 telah sedia jalan lolos, dia tidak tahu juga aku, sejak dua tahun yang lampau, sudah mencari2 jalanan ini, karena akupun kuatirkan datangnya saat hebat sebagai ini. Diluar tahu siapa juga, aku telah jelajah semua bagian tersembunyi dari Cap jie Lian hoan ouw, maka aku telah dapati jalanan ini. Dasar kau tidak bakal celaka, soemoay! Sekarang mari turut aku!”

Cit Nio girang tak kepalang, ia manggut, lantas ia ikuti hiocoe itu yang berlari2 dengan ilmu enteng tubuh, untuk mandaki, hingga dilain saat sampailah mereka diatas bukit. Jalanan ini bukan tidak ada bahayanya, sedang waktu itu hujan sedang turun, jalanan licin.

Dua kali Cit Nio terpeleset, hampir ia rubuh terluka. Ia memang belum beristirahat cukup dan jalanan ada meminta tenaga.

Gouw Ceng lihat keadaan kawan itu, ia menjadi merasa kasihan.

“Ditempat seperti ini, diwaktu begini, soemoay,” kata Hay Niauw kemudian, “aku tak perdulikan lagi pantangan priya dan wanita tak boleh berpegang tangan, mari aku bantu padamu!”

Inilah tawaran yang Cit Nio harap2, tetapi ia.masih menahan harga.

“Ah, soeko,” katanya, “karena aku, kau jadi begini bersusah payah, mana aku bisa menambah kesukaranmu? Kau biarkan saja, sampai nanti aku sudah tidak berdaya, setelah itu, pergi kau menyingkir sendiri! ”

Suaranya si manis ini sangat menyedihkan. Tapi Gouw Ceng sambar lengannya si cantik.

“Soemoay, jangan berkata demikian,” kata ia. “Kita sudah lolos dari mulut pelabuhan, lagi satu lie, kita akan sudah keluar dari jalanan sukar dan berbahaya ini. Mari turut aku!”

Karena dipaksa, Cit Nio peserah. Justeru karena dipegangi, ia jadi peroleh keringanan. Di situ pun tak pernah mereka bertemu orang lain.

Selang setengah jam, sampailah mereka dipinggiran Hoen coei kwan. Gouw Ceng cari satu tempat dimana ada sebuah batu besar, ia ajak si manis duduk beristirahat diatas batu itu. Ia beritahukan kawan itu, bahwa didepan mereka ada jurang dalam duapuluh tumbak lebih, tapi karena ada oyot rotan dan tubuh mereka enteng, mereka tak usah kuatir.

“Sampai dibawah, baharu habislah semua rintangan,” Gouw Ceng tambahkan. “Dari situlah kita tak lagi berada didaerah berbahaya.”

Cit Nio tidak banyak omong, ia lebih suka manggut.

Berselang pula setengah jam, Gouw Ceng ajak janda itu melanjutkan perjalanan mereka untuk menyingkirkan diri. Ia buka jalan, ia terus membantu si juwita, dengan tidak terlalu sukar mereka lakoni perjalanan berbahaya itu. Mereka juga seberangi sebuah solokah besar, yang mereka bisa loncati. Masih ada rintangan gelaga lebat, sesudah mana, sampailah mereka ditanah datar.

Akhir2nya mereka berlari2 menuju kesebuah kampung didekat Hong hong thia, disitu mereka peroleh kebebasan, akan tetapi Gouw Ceng sendiri lantas kehilangan kemerdekaannya, sebab ia telah terpincuk Liok Cit Nio, hingga dibelakan hari ia selalu terancam Boe Wie Yang. Sekarang adalah Cit Nio yang ajak ia menyingkir lebih jauh, kearah Barat, katanya untuk jauhkan diri dari Boe Wie Yang.

Balik kedalam Ceng Giap Sanchung, pertempuran kalut buyar sendirinya karena pada akhirnya Boe Wie Yang beri titah untuk pihaknya undurkan diri, Boe. Wie Yang sendiri mundur hanya bersama beberapa kawannya saja. Dengan lekas mereka bisa jauhkan diri dari rombongannya Eng Jiauw Ong.

Siangkoan In Tong pergi mencari bersama2 Ban Lioe Tong dan Coe In Am coe, mereka mencari berpencaran, tetapi tidak lama mereka sudah kembali. Adalah waktu itu Siangkoan In Tong lantas serukan “Semua lekas mundur kebawah para2 Utara!”

Seruan ini ditaati oleh semua orang, tua dan muda, karena mereka pun insyaf, saat2 berbahaya masih belum lewat. Semua mereka masih ragu2 kenapa tentera negeri datang diwaktu yang demikian kebetulan, selagi kedua pihak melakukan pertempuran. Eng Jiauw Ong, Coe In Am coe, Ban Lioe Tong, juga Siangkoan In Tong tidak bisa lantas menduga tepat sebabnya itu.

Eng Jiauw Ong ada sangat mendongkol, terutama karena menyingkirnya Boe Wie Yang, sebab dalam pertempuran kalut dalam gelap gulita itu, ada lima orang dipihaknya yang terluka.

“Siangkoan Loosoe, tak tepat kita melindungi diri lama2 disini,” kemudian Eng Jiauw Ong mengutarakan. “Para2 ini tali cukup tangguh untuk menghindarkan diri dari tembakan2 tentera negeri. Musuh kita undurkan diri kedalam paseban, mari kita susul mereka! Dalam keadaan seperti ini, tak usah kita ragu2 lagi, kita harus bertempur sampai diakhirnya!”

“Ong Soeheng, sabarlah,” Siangkoan In Tong meminta. “Memang tak dapat kita berdiam lama2 disini, tetapi perlu kita hargai jiwa kita. Apabila tentera negeri tak sudi ijinkan kita mundur, itu waktu baharulah kita terpaksa berlaku nekat. Aku.kuatir kawanan Hong Bwee Pang masih punya daya lain ”

Baharu Wa Po Eng. berkata demikian, mendadak ada terdengar dua kali gemuruh hebat disusul oleh berkobarnya api menyambar kearah paseban.

“Lihat, bukankah para2 ini ada terlebih selamat?” kata Siang koan In Tong. Menyusul dua tembakan hebat itu, orang2 Hong Bwee Pang, dalam dua rombongan, nerobos ke pintu san chung, lalu terdengar pula tembakan senapan, dua musuh rubuh karenanya.

Karena kawanan itu mencoba menyerbu keluar, mereka bentrok dengan tentera negeri, yang tempatkan diri diatas gunungan2, walau demikian, akhirnya mereka bisa juga molos pergi sesudah meninggalkan dua korban. Dalam gelap itu tak dapat diketahui siapa yang rubuh dan apakah Boe Wie Yang berhasil lolos.

Eng Jiauw Ong jadi tidak sabaran, ia terpengaruh kemendongkolannya karena kelicikan musuh, yang toh bisa lolos, hingga ia banting2 kaki.

“Kita ada rakyat baik2, celaka kalau kita terima nasib sama seperti orang2 Hong Bwee Pang”. kata ia. “Apakah kita puas musnah bersama? mereka, hingga pualam tak dapat dibedakan daripada batu bata? Mari kita nyerbu, untuk sampaikan perahu kita!”

“Tindakan itu tidak tepat, Ong Soeheng,” Coe In Am coe menentang. “Jangan kita bertindak seperti orang2 Hong Bwee Pang itu, mereka tidak memikir lain daripada nerobos keluar. Rubuh ditangan kita mereka celaka, tapi lebih celaka lagi apabila mereka tertawan tentara negeri. Kita ada rakyat jelata, kenapa kita kasi diri kita ditawan? Umpama kita menerjang, berapa jumlak kita yang bisa lolos?”

Selama itu, suara pertempuran kusut jadi bertambah berisik, cahaya obor terlihat semakin terang. Pun ada tanda2 bahwa tentara negeri mendatangi semakin dekat.

“Ong Soeheng, suasana ada begini rupa, tak dapat kta main ayal2an lagi”, Lioe Tong bilang. “Bersama Am coe biar aku nerobos kegunung2an, dan soeheng bersama Siangkoan Loesoe ajak rombongan menyerbu kedua tepi gunung selatan dan utara. Setiap pasukan serdadu mesti ada perwiranya, pada mereka itu kita harus terangkan bahwa kita adalah penduduk baik2 dari Hoay siang, bahwa kita datang kemari berhubung dengan urusan menuntut balas terhadap kawanan Hong Bwee Pang, apamau kebetulan tentara negeripun datang membasmi. Kita mohon supaya mereka lindungi kita. Kita coba saja, entah bagaimana kesudahannya”.

“Aku setuju, pocoe,” nyatakan Siangkoan In Tong. “Tetapi aku ingin supaya kita menukar tempat. Kedua tepi gunung ada gelap sekali, aku kuatir kita nanti salah diterka. Umpama kita diterjang kawanan Hong Bwee Pang, maka sekarang tak dapat kita mengasi ampun, kita mesti mendahului hajar mereka dengan senjata rahasia. Syukur kalau pihak tentara negeri dapat dikasi mengarti”.

Baharu Siangkoan In Tong tutup mulutnya atau dari belakang Ceng Giap San chung terdengar runtunan suara suitan, yang disusul dengan munculnya dua puluh orang lebih, diantaranya ada beberapa yang gerakannya sangat gesit. Mereka nerobos kekedua tepi para2.

Menampak demikian, Siang, koan In Tong kasi tanda untuk semua kawan bersiap2 dengan senjata mereka masing2, tetapi untunglah rombongan Hong Bwee Pang itu nerobos terus, tidak ada yang lari kearah para2, mereka nyerbu justeru kegunung2an dimana sejumlah tentara negeri rupanya kurang perdata maka tentara itu kena diserang. Beberapa serdadu bisa menembak tetapi menembak dari dekat, mereka tidak peroleh hasil mempuaskan.

Selagi diatas gunung2an terjadi pertempuran itu, dari kiri dan kanannya, tentara negeri tertampak maju mengangsek, untuk menyerbu kepaseban dari Ceng Giap San chung. Dibelakang paseban itu entah masih ada berapa banyak orang jahat.

“Ong Loosoe, kita telah terdesak, jangan kita ayal lagi!” berkata Siangkoan In Tong. “Mari kita bertindak menuruti rencana kita tadi!”

Sehabis mengucap begitu, tanpa tunggu jawaban lagi, Siangkoan In Tong keluarkan sepasang gelang Lie hoen Coe bo kian, terus ia loncat keluar para2, akan berlari2 kearah gunung2an.

Mau atau tidak, Eng Jiauw Ong mesti bertindak. “Hati2!” ia pesan kawannya. “Sebisa2 kita jauhkan diri

dari siapa juga!” Iapun segera loncat keluar. Coe In Am coe

bersama Ban Lioe Tong, dengan ikuti rencananya Siangkoan In Tong, loncat keluar akan menuju masing2 ke arah selatan dan barat, Diatas gunung2an, tentara negeri bertempur dengan orang Hong Bwee Pang yang berlaku nekat. Tentara negeri itu ada dari tangsi Cip soe eng. Satu perwira telah rubuh begitu juga kira2 sepuluh serdadu. Tapi orang Hong Bwee Pang, yang menerjang naik, pun banyak yang kena dipukul rubuh.

Dipihak Hong Bwee Pang, Ban seng too Cioe Beng dan Siauw Thio Liang Siauw Coen ada lie hay, akan tetapi tak urung mereka terluka oleh mimis yang nyasar, hingga mereka merasakan sakit sekali, karena mana, mereka jadi bertambah gusar, mereka jadi berkelahi seperti mengamuk. Mereka lihat satu perwira berdiri dipaseban diatas gunungan sedang memberikan titah2.

“Siauw Loosoe!” kata Cioe Beng pada rekannya, “mari kita habiskan dia itu dulu, tanpa kepalanya, tentara negeri dapat kita pukul mundur, Ceng Giap San chung bakal aman ” Siauw Coen ada cerdik, julukannyapun “Siauw Thio Liang” atau “Thio Liang Kecil,” tetapi sekarang pikirannya butek, tanpa berpikir lagi ia turut tindakan kawannya itu, malah ia lompat mendahului, hingga dilain saat ia sudah sampai didepan opsir itu.

“Eh, pembesar anjing, kau datang kemari hendak antarkan jiwa?” ia membentak seraya goloknya dikasi bekerja.

Opsir itu, yang berpangkat tongleng, atau komandan, ada punya dua pengiring, kapan mereka ini tampak serangan, lantas mereka mendahului serang si penyerang itu.

Menampak sambutan itu, Siauw Coen berkelit kekiri, hingga goloknya penyerang sebelah kanan tidak mengenai sasarannya, sambil loncat ia tangkis goloknya penyerang yang kiri, hingga goloknya penyerang itu terlepas dari cekalan dan terlempar jauh, lalu selagi orang terkejut, goloknya Siauw Thio Liang diteruskan membacok pundaknya hingga pengiring itu terbabat pundaknya sampai kelengan.

Penyerang sebelah kanan itu, setelah gagal serangannya yang pertama, menyerang untuk kedua kalinya.

Selagi Siauw Coen berkelit, Cioe Beng sampai, dia lantas saja menyerang hingga pengiring itu, tak ampun lagi rubuh dari atas gunung2an. Siauw Coen dilain pihak setelah berkelit, terus loncat kepada si komandan, yang segera diserangnya.

Tongleng itu ada mengarti ilmu silat tetapi untuk berperang diatas kuda, sekarang menghadapi seorang kang ouw yang kosen ia tidak berdaya, ia menjadi gugup ketika ujung golok menyambar dadanya. Dekat tempat kejadian ada satu paseban rumput, disitu ada beberapa pengiring lain dari tongleng itu, satu diantaranya jadi nekat apabila dia lihat pemimpinnya terancam bahaya, sambil berlompat ia serang Siauw Coen dengan goloknya. Dengan begitu, dua orang telah menyerang saling susul.

Si tongleng terkejut, ia mencoba untuk berkelit, tidak urung punggungnya kena ujung goloknya Siauw Coen, tetapi Siauw Coen pun walau mengegos tubuh, terkena juga ujung goloknya si pengiring. Tongleng itu lari ke arah paseban, tapi ia segera disusul Cioe Beng.

Selagi tongleng itu berada dalam bahaya, tiba2 ia dengar seruan diatasan kepalanya “Jahanam, kau berani bunuh pembesar negeri? Nyata kau sudah bosan hidup! Lalu satu tubuh lompat turun dibelakangnya Cioe Beng.

Biar ia ada satu jago kang ouw, Cioe Beng toh heran. Dari mana turunnya orang itu sedang disitu tidak ada rumah, atau ada juga, hanya bagian gunung2an yang terlebih tinggi? Ia batal menyerang si komandan, ia pindahkan kaki kirinya kekanan, sambil balik tubuh ia sambut lawan tidak dikenal itu dengan bacokannya.

Orang tidak dikenal itu lompat maju, ia tidak membalas membacok atau menikam, hanya sebelah tangannya diulur, jari tangannya lantas bekerja pada pundak Cioe Beng.

Cioe Beng walaupun liehay tak lolos dari totokan itu, yang datangnya luar biasa cepat, tahu2 tangannya kaku, goloknya terlepas, jatuh kebatu gunung dengan menerbitkan suara berisik, kemudian tubuhnya turut rubuh, mukanya mengenai batu, hingga ia rebah tanpa bergerak lagi.

Siauw Coen dilain pihak terluka parah juga namun ia bisa lukai si tongleng, tapi karena ia pun merasakan lukanya sangat sakit, ia menjadi gusar, maka dengan keraskan hati, ia berbalik menyerang penyerangnya. Ia berhasil, ia dapat rubuhkan penyerangnya itu. Adalah berbareng dengan serangannya itu, Cioe Beng rubuh ditangan musuh tidak dikenal, seruan siapa ia dengar, hingga ia percaya tongleng itu telah dapat bantuan, akan tetapi ia ada sangat berani, ia penasaran terhadap si komandan, seperti melupai bahaya, ia loncat kedalam paseban akan susul komandan itu, yang ia bacok untuk kedua kalinya selagi si tongleng kesakitan bekas bacokan tadi.

“Jahanam, kau masih berani mengganas?” demikian bentakan dari belakang jago Hong Bwee Pang itu.

Siauw Coen dengar bentakan itu, lekas2 ia putar tubuhnya untuk berkelit, sesudah mana, ia balas membacok. Akan tetapi selagi goloknya terayun, lengannya telah orang cekal hingga ia terkejut, ia pentang lebar kedua matanya. Ternyata ia berhadapan satu imam yang dandannya seperti imam rudin, yang usianya sudah lanjut, tubuhnya kurus kering, tetapi sepasang matanya sangat tajam dan berpengaruh. Pinggangnya imam itu dilibat dengan tali angkin kuning yang sudah luntur wamanya, dibebokongnya ada tergemblok sebatang pedang.

Bukan Kepalang Siauw Coen rasakan sakit pada tangannya yang tercekal itu, sakitnya sampai keuluh hatinya, dalam sengit nya, dengan tangan kiri ia serang dada si imam, untuk mana ia obral tenaganya.

“He, kau masih berani melawan?” membentak si imam sambil tertawa mengejek. Ia tidak tunggu sampai serangan mengenal dirinya, dengan masih menyekal tangannya penyerang itu, ia mengangkat tangannya sendiri, hingga tubuhnya Siauw Coen kena terangkat naik. Untuk itu, tangannya yang lain bantu tangannya yang menyekal keras itu. Kemudian imam ini memutar tubuhnya, hingga ia tampak empat penjahat lain sedang lari mendaki.

“Semua turun pergi!” imam ini berseru setelah ia tertawa, lalu tubuhnya Siauw Toen dilempar kebawah kearah kawannya itu, sedang goloknya masih tercekal terus, belum terlepas. Maka tempo tubuhnya kena timpa kawannya, satu kawan itu tertublas golok hingga dadanya tembus sampai kebebokongnya! Tiga penjahat yang lain kena terbentur tubuhnya Siauw Thio Liang, mereka pun jatuh terguling.

Siauw Coen turut jatuh, tapi karena ia bentur tubuh empat kawannya, ia tidak terbanting keras, hanya ketika ia sampai di bawah, ia pun rebah dengan pingsan.

Masih ada beberapa penjahat yang mencoba naik, akan tetapi mereka kena dirubuhkan atau dipukul mundur oleh si imam tua, yang berkelahi dengan tangan kosong, hingga dengan demikian, ia dapat tolong si tongleng, sampai disitu ada datang bantuan untuk komandan ini.

CXLIV

Tentara bantuan itu dipimpin oleh satu opsir sebawahan pangkat pangtay, Lauw Sioe Tiong namanya, siapa dapatkan sepnya terluka didalam paseban rumput. Iapun telah saksikan bagaimana si imam sudah keluarkan banyak tenaga, untuk bantu pihak tentara negeri.

“Tootiang,” ia lantas menanya, “kau ada satu imam, kenapa kau berada disini dan telah bantui pihak kami? Tootiang, aku sangat berterima kasih padamu, maka jangan kau pergi dulu.”

“Pintoo sengaja datang untuk labrak kawanan penjahat ini, yang sangat kurang ajar sudah berani lawan tentara negeri,” ia berikan jawabannya. “Bagaimana dengan tongleng tayjin? Pin too ingin bicara dengannya.”

Ia lantas menghampirkan. Sioe Tiong tidak sempat jawab si imam, ia hanya lari hampirkan tongleng itu, setelah mana, ia suruh serdadunya ambil gotongan. Komandan itu perlu segera ditolong.

“Tentang diriku, sebentar saja pintop terangkan,” kata si imam kepada opsir rendah itu. “Tongleng tayjin terluka parah, iapun sudah keluarkan banyak darah, apabila dia tidak lekas ditolong, jiwanya mungkin dalam bahaya, dari itu jikalau tayjin percaya pintoo, pintoo ada punya obat pel, dengan makan obatku ini, pintoo berani tanggung keselamatannya tayjin,”

Sioe Tiong telah saksikan bagaimana orang bantu pihaknya, ia mau percaya imam ini, “Tootiang, aku percaya kau, silahkan kau berikan obatmu itu,” sahutnya.

Imam itu ambil sebuah buli2 kecil, dari mana ia keluarkan tiga butir pel warna merah.

“Tolong lekas kasi makan pel ini,” kata ia kepada Sioe Tiong, Pangtay ini perintah satu serdadu sambuti obat itu, untuk dimasukkan kedalam mulutnya si komandan.

“Disini tidak ada air, mungkin obat itu tidak tertelan,” kata Pangtay ini.

“Tidak apa, obat itu bisa lumer sendirinya,” menerangkan si imam.

“Tootiang, aku belum belajar kenal denganmu,” kemudian pangtay itu kata. “Tootiang ada dari kelenteng mana dan ada keperluan apa sudah datang kemari?”

“Pintoo ada dari Hoay Yang Pay,” sahut si imam. “Sekarang ini belum bisa pintoo memberi penjelasan, karena disini keadaan masih berbahaya. Di San chung ini ada sejumlah murid ku, pintoo kuatir mereka dapat bahaya seperti orang2 Hong Bwee Pang, maka itu pintoo ingin tolong mereka ”

“Apa didalam Cap jie Lian hoan ouw ini masih ada orang baik2?” tanya Lauw Sioe Tiong.

“Benar,” jawab pula si imam. “Mereka adalah Eng Jiauw Ong Ong Too Liong, ketua dari Hoay Yang Pay di Ceng Hong Po, Hoay siang, serta sejumlah muridnya. Mereka telah dipincuk orang Hong Bwee Pang hingga mereka terjebak didalam Cap jie Lian hoan ouw ini, sekarang mereka sedang terkurung, maka dengan kemurahan hati tayjin, aku minta serangan senjata api dihentikan, untuk tolong mereka. Untuk ini pintoo akan sangat berterima kasih. Mereka itu bisa bantu tayjin untuk basmi orang2 jahat disini.”

Lauw Pangtay berpikir sebentar, lantas ia manggut. “Kau ada seorang suci dan bermaksud baik, baiklah, aku

luluskan permintaanmu,” sahut ia kemudian. “Sekarang aku akan berikan titah untuk hentikan tembakan.

Benar2 Lauw Sioe Tiong keluarkan perintahnya, maka sebentar saja tembakan berhenti di pelbagai jurusan, sedang perintah yang menyusul adalah untuk semua serdadu berdiam dimana mereka berada, tidak boleh maju lebih jauh.

Si imam sendiri lantas pergi kepinggiran, akan berseru kebawah gunung2an terhadap Eng Jiauw Ong beramai, akan beri tahu sebabnya penembakan dihentikan, ia minta mereka lantas berkumpul untuk haturkan terima kasih. Suaranya imam ini nyaring sekali. Eng Jiauw Ong semua tidak berpisahan terlalu jauh satu dengan lain, mereka dengar seruan itu, sedang lebih dahulu daripada itu, mereka lihat satu perwira sebawahan berlari2 dengan bendera titah, menyusul mana tembakan berhenti disana sini, penyerangan tentera negeripun lantas berhenti. Maka juga, Eng Jiauw Ong bersyukur kepada si imam, yang menyebabkan terhentinya pertempuran.

“Mari!” ia mengajak.

“Ong Loosoe berkata Siangkoan In Tong, “aku percaya imam tua itu adalah Tiat So Toojin, tetua dari Hoay Yang Pay, akan tetapi walaupun ia bisa cegah aksi tentera negeri, janganlah kau lupa kawanan kunyuk itu, mereka dapat lolos atau tidak dari sarangnya ini. Kita mesti jaga supaya mereka jangan jadi binatang yang mogok, itulah hebat. Karena itu, pergi loosoe menghadap pangtay akan tuturkan hal ini, supaya kita diberi ijin akan bersama2 tentera negeri pergi cari mereka, supaya mereka jangan berhasil meloloskan diri. Aku sendiri hendak cari Coe In Am coe.”

Setelah itu, benar2 Siangkoan In Tong loncat pergi akan cari Coe In Am coe, yang tidak ada bersama mereka.

Eng Jiauw Ong lekas2 pergi kedepan bukit, ia tidak mau lancang naik, ia hanya perkenalkan diri dan tanya apa ia boleh naik keatas.

Dipihak tentera negeri orang telah pasang obor terang2, dari itu mereka bisa lihat Ong Too Liong yang bicara itu, seorang tua umur enam puluh tahun lebih, yang bertangan kosong. Tidak tempo lagi, mereka menjawab dengan perkenan mereka.

Ong Too Liong lantas naik dengan ikuti jalanan, sesampainya diatas, segera ia kenali si imam tua, yang benar Tiat So Toojin adanya soepenya Eng Jiauw Ong dari tingkat kedua yang sudah undurkan diri, Disebelah itu ia juga lihat Lauw Pangtay yang bersikap keren dengan pengiring2nya siap sedia dengan senapan mereka. Ia kenal aturan, ia dekati pembesar itu akan beri hormat sambil berlutut, akan haturkan terima kasihnya.

“Jangan pakai banyak adat peradatan, silahkan bangun!” berkata Sioe Tiong, yang telah awasi jago tua itu.

Eng Jiauw Ong mengucap terima kasih pula, baharu ia berbangkit. Ia terus kasi hormat kepada mamak gurunya, untuk menghaturkan terima kasih juga yang sang soepe sudah tolong! mereka.

“Jangan kita bicara dulu perihal kita,” Tiat So Toojin memotong perkataannya keponakan murid itu. “Penting adalah urusan tayjin dan kita tak dapat men sia2kan waktu.”

Eng Jiauw Ong membenarkan perkataan itu, lantas ia berdiri dipinggiran.

Lauw Sioe Tiong mengawasi jago Hoay Yang Pay itu serta si imam saling ganti, nampaknya ia heran.

“Bagaimana, eh, Ong Too liong, kamu berdua ada mamak dan keponakan?” tanya ia. “Turut penglihatanku, usiamu berdua tidak berbeda banyak ”

“Tooya ini adalah dari golongan terlebih tua dari Hoay Yang Pay,” Eng Jiauw Ong berikan keterangan, “ia telah sucikan diri dan memperoleh kesempurnaan, maka dalam usia sembilan puluh lebih sekarang, ia nampaknya tak beda denganku. Tayjin tentu tidak kenal soepeku ini. Baik aku omong terus terang, dikalangan kang ouw, soepe telah peroleh nama baik, sekarang ia berdiam di kelenteng Kim Hee Koan digunung Tay San, tidak lagi ia datang ke Lek Tiok Tong di Ceng hong po, Hoaysiang. Tapi, walaupun sudah undurkan diri, soepe masih suka berkelana, karena ia benci kejahatan. Soepe adalah yang dikenal sebagai Tiat So Toojin serta pedangnya Loei im kiam.”

Heran agaknya pangtay itu.

“Jadi tooya ini adalah Kiam hiap Tiat So Toojin?” tanyanya. “Tentang tooya ini pernah aku dengar, karena pada empat tahun yang lampau selama bekerja di sepanjang pesisir Shoatang, orang orang banyak tentang dirinya. Aku beruntung sekarang bisa bertemu dengan tooya!” Ia lantas beri hormat pada Tiat So Toojin seraya berkata pula “Maafkan aku! Memang sejak lama aku telah dengar perihal tootiang dengan pedangnya mengurus pelbagai kejadian tak adil. Aku Lauw Sioe Tiong, aku pegang pangkat, tapi aku tidak suka gunai pengaruhku, malah aku kagumi orang2 sebagai tootiang. Mengenai pedangmu, tootiang, maukah kau buka mata ku?”

Tiat So Toojin lekas2 membalas hormat.

“Aku ada seorang asing, tak berani aku terima pujian tayjin,” ia merendah. “Pedangku cuma ada sebuah senjata tajam, cerita diluaran ada berlebihan. Didunia tidak ada kiam hiap yang bisa terbang, ada juga orang2 sebangsaku yang telah melatih diri lebih banyak beberapa tahun daripada biasanya. Jikalau tayjin hendak lihat Loei In Kiam, inilah dia….”

Sehabisnya kata2nya Itu, Tiat So Toojin angkat tangannya kebelakang, untuk cekal gagang pedangnya, apabila ia telah menarik keluar, berkelebatlah satu sinar bagaikan kilat, lalu pedangnya itu dibawa kedepan dadanya. Diantara cahaya api, kedua belah pedang terus masih bercahaya bergemirlapan. Kemudian dengan cara hormat ia angsurkan pedang itu kepada Lauw Pangtay.

Perbuatanya imam ini ada perbuatan yang ganjil. Sudah sejak tiga puluh tahun, tidak pernah ada orang yang berani pegang pedangnya itu, juga tidak sembarang orang golongannya sendiri. Sedangkan musuh, atau orang jahat, siapa berani langgar pedang ini, tentu bercelakalah dia. Adalah untuk rombongan Hoay Yang Pay dan See Gak Pay, ia telah berlaku merendah dan mengalah. 

Lauw Sioe Tiong menyambutnya tidak secara sembarangan. Ia pegang pedang dengan sebelah tangan, lalu dengan dua jarinya ia me nyentil2 tubuh pedang, hingga pedang itu perdengarkan suara nyaring dan bening.

“Satu pedang mustika!” opsir ini memuji. “Sungguh jarang didapat pedang semacam ini. Sekarang terbukalah mataku!”

Kemudian ia pandang si imam, ia tertawa. Lantas ia bilang “Tootiang, pedang ini ada sangat tajam. Bolehkah aku mohon tootiang mempertunjukkan caranya menggunai pedang ini, untuk membuka mataku?” Ia lalu angsurkan pedang itu untuk dipulangkan.

“Tayjin hendak mencoba, inilah gampang,” sahut Tiat So sambil tersenyum. “Sekarang tolong tayjin kumpulkan semua Orang Hoay Yang Pay didepan bukit ini, supaya hatiku jadi tenteram, nanti pintoo beri pertunjukan, untuk memperlihatkan kefaedahannya pedang ini.”

Sebelum Lauw Pangtay berikan jawabannya, satu perwiranya, yang diperintah bawa leng kie, telah balik kembali ber sama2 satu niekouw, ialah Coe In Am coe. Dia menghadap pada sep nya untuk melaporkan bahwa titah sudah dijalankan, bahwa orang Hoay Yang Pay sudah berkumpul. Ia juga melaporkan bahwa Coe In Am coe mohon bertemu.

“Taysoe itu datang bersama kami, tolong tayjin terima kedatangannya,” Ong Too Liong minta. Lauw Sioe Tiong manggut. “Pergi kau ajak dia menghadap,” ia beri perkenan.

Perwira itu hampirkan Coe In Am coe, yang menantikan sedikit jauh, untuk bertahukan bahwa permohonannya diluluskan, atas mana, niekouw itu bertindak maju, akan lantas beri hormat kepada pangtay itu. Iapun tidak ayal akan beri hormat pada Tiat So Toojin.

Lauw Pangtay kagum melihat niekouw itu tua tetapi masih gagah, romahnya alim tetapi berpengaruh, karena orang ada suci bagaikan dewi, perasaan hormatnya lantas bangkit. Ia balas hormatnya si niekouw sambil manggut.

Coe In Am coe sudah lantas perkenalkan diri sebagai pendeta dari kuil Pek Tiok Am di Siang Thian Tee, Poan Liong Nia.

“Oh, jadi soehoe ada Coe In Am coe dari Pek Tiok Am?” berkata Lauw Pangtay. “Entah karena jodo, disini aku telah bertemu dengan orang2 suci dan berilmu, orang2 gagah. Akupun girang yang kamu ketahui tentang keadaan kaum Hong Bwee Pang ini. Tetapi, apakah soethay suka tuturkan sebabnya kenapa Am coe jadi bentrok dengan orang2 jahat itu?”

Coe In Am coe suka berikan keterangannya, yang ia mulai sejak diculiknya Yo Hong Bwee, muridnya perempuan, bagaimana ia hendak tolongi muridnya itu.

“Pinnie pun datang tidak dalam rombongan besar, cuma bersama empat muridku,” Coe In jelaskan. “Pinnie beramai ikut bersama rombongan dari Hoay Yang Pay Mungkin didalam Cap jie Lian hoan ouw ini ada lagi seorang dari pihakku, ialah To Cie Taysoe, yang menjadi soepe dari pinnie, dia asal dari kuil Tiat Hoed Sie dikota Hong tekkwan. Ditempat kediamannya itu, To Cie Taysoe ada punya serombongan nelayan, merupakan satu pasukan perahu nelayang yang terdidik, sekarang ini pasukan itu sudah berada didalam Cap jie Lian hoan ouw, untuk bantu pinnie. Didalam barisan perahu itu ada beberapa orang pihak kami yang terluka, yang sedang dirawat, entah bagaimana keadaan mereka semua sekarang ini, maka itu, dengan mengharap kebijaksanaan Thian dan kemurahan Sang Buddha, sukalah tay jin ijinkan barisan perahu itu keluar dengan baik2 dari Cap jie Lian hoan ouw ini.” Lauw Sioe Tiong terperanjat.

“Begitu?” katanya. “Inilah hebat. Buat menyerbu kemari, semua tenaga tentara di Ciatkang Selatan telah dikerahkan, barisan dari delapan tangsi, masing2 ada pemimpinnya sendiri, majunya mereka terpecah dalam lima rombongan, untuk mana kami telah meneliti peta bumi, kami mesti sampai didalam sarang penjahat dengan berbareng. Demikian pihakku ini adalah dari salah satu rombongan itu. Tapi soethay jangan kuatir, nanti aku perintah cari tahu dimana adanya mereka itu. Umpama mereka kena diserbu dan ditangkap atau buyar, asalkan perahu mereka tidak terbakar atau karam, masih gampang untuk diselidiki dan diurus.”

Lauw Pangtay lantas perintah satu sebawahannya pergi ke Kim Tiauw Tong untuk tanya pemimpin tentara disana halnya perahu2 nelayan dari Tiat Hoed Sie itu.

Sementara itu, semua orang Hoay Yang Pay sudah berkumpul dikaki gunung2an, sedang tentara negeri juga turut berkumpul dan berbaris dengan rapi. Atas titah nya Lauw Pangtay, rombongan itu diijinkan naik keatas, dari itu, Eng Jiauw Ong lantas perkenalkan mereka kepada opsir itu.

“Ong Too Liong, kamu datang kemari dalam satu rombongan besar, dalam keadaan sebagai sekarang kedudukanmu sebenarnya sulit,” kata pangtay itu. “Tugas kami adalah menindas orang jahat, dan kamu berada disarang penjahat. Sulitnya ialah kamipun terdiri dari banyak rombongan. Sekarang lihat saja apa aku bisa bikin, aku akan coba berdayakan agar kamu semua bisa keluar dengan tak kurang suatu apa dari sini. Syukur kau bertemu kepada aku, jikalau tidak, entah apa jadinya.”

Eng Jiauw Ong mengucap terima kasih, hatinya pun lega.

Juga Tiat So Toojin lega hati menampak kesudahan itu, maka diam2 ia kata kepada Coe In Am coe “Am coe jangan kuatir, To Cie pun sudah masuk dalam Cap jie Lian hoan ouw ini.” Lalu ia teruskan kepada Eng Jiauw Ong, dengan separuh berbisik “Pembesar ini suka tolong kita, akan tetapi Boe Wie Yang semua sudah lolos, dari itu, ancaman bencana dibelakang hari masih tak dapat dikira2kan. Seberesnya disini, segeralah meninggalkan Ciatkang Selatan ini, untuk lekas pulang ke Ceng Hong Po. Boe Wie Yang bersakit hati, ia pasti akan menuntut balas, tentu dia bakal terbitkan gelombang didalam wilayah Ciatkang ini, maka kita mesti bersiap sedia. Boe Wie Yang lolos, itu artinya meninggalkan bahaya. Mengenai tentara pembasmi ini, aku juga belum jelas duduknya perkara, inilah aneh, maka hati2lah apabila kau bicara didepan pembesar negeri. Aku tidak bisa berdiam lama disini, aku hendak cari tahu bagaimana caranya Boe Wie Yang menyingkirkan diri.”

Eng Jiauw Ong terima baik pesan itu, justeru Lauw Sioe Tiong telah selesai memberi titah, ia kata pada pembesar itu “Aku minta tayjin suka kirim barisan pergi kebelakang paseban ini, untuk melakukan penggeledahan, aku akan perintah beberapa muridku ikut supaya kalau ada penjahat yang sembunyi dan membokong kami bisa cegah kejahatannya itu.” Lauw Pangtay terima baik permintaan itu, ia perintah satu opsir bawa satu pasukan serdadu, sedang Eng Jiauw Ong titahknn delapan muridnya ikut.

Sampai disitu, Tiat So Toojin kata pada Sioe Tiong “Tayjin hendak lihat pedang Loei Im Kiam, sekarang pintoo hendak coba kasi pertunjukan”. Tanpa tunggu jawaban, ia menjura pada pembesar itu, terus ia loncat kedepan paseban, untuk bersilat dalam ilmu pedang Sha caplak lou Thian kong kiam, gerakannya sebat, pedangnya berkelebatan, berkilauan. Sebelum sampai pada aehirnya, ia pun babat kutung sebuah pohon didekat paseban itu, begitupun sepotong batu besar hingga batu terbelah dan lelatunya muncrat berhamburan!

Sehabisnya bersilat, imam ini tidak kembali kepaseban, melainkan dari tempat dimana tadi ia bersilat, ia menjura kepala Lauw Pangtay, lalu ia kasi tahu maksudnya hendak pergi, karena tak dapat ia berdiam lebih lama pula disitu. Kembali ia menghaturkan terima kasih kepada pembesar itu.

Setelah berkata begitu, ia menjura pula, ia simpan pedangnya, lantas ia berloncat pergi, maka sekejab saja ia.sudah menghilang ditempat gelap.

Menampak demikian, pangtay itu kagum sekali. “Tootiang itu ada bangsa kiam hiap,” kata ia. “Harus

dikagumi yang kamu kaum Hoay Yang Pay ada punya

tetua yang demikian gagah. Sekarang dimana bisa, aku nanti bantu pihakmu.”

Eng Jiauw Ong mengucap terima kasih untuk janji itu.

Itu waktu ada datang laporan bahwa penjahat sudah kabur semua kecuali belasan yang terluka, yang tidak bisa merat, maka mereka itu sudah lantas dijaga. Menerima laporan itu, hatinya Lauw Pangtay lega.

Disitu Eng Jiauw Ong dan Coe In Am coe lantas minta ijin supaya mereka bisa pergi kebarisan perahu Soe Soei untuk ajak mereka keluar daii Cap jie Lian hoan ouw.

“Baik,” jawab pembesar itu. “Tapi tunggu sebentar, setelah menduduki Ceng Giap San chung, aku nanti kirim wakil untuk antar kamu semua.”

Eng Jiauw Ong terima baik pengaturan itu.

Ketika itu kembali ada muncul dua pasukan serdadu negeri.

Karena semua serdadu menyiapkan obor, dimana mereka berkumpul atau berjaga2, Eng Jiauw Ong dapat melihatnya.

Dipaseban dari Ceng Giap San chung juga telah berbaris serdadu2 lainnya.

Coe In Am coe berdiam akan tetapi hatinya terus pikirkan barisan perahu Garuda, karena dialah yang bertanggung jawab atas pasukan itu, hingga ia jadi tak dapat kendalikan diri lagi, ia bertindak seorang diri.

Tidak antara lama datanglah perwira yang ditugaskan geledah Ceng Giap San chung, ia kembali bersama delapan wakil Hoay Yang Pay, untuk berikan laporan resmi.

Ketika itu Coe Im Am coe nyatakan kepada Eng Jiauw Ong bahwa Boe Wie Yang runtuh karena kepala besar, bahwa ketua Hong Bwee Pang itu pasti tidak puas dan tak mau sudah saja, maka diakhirnya, mungkin dia rubuh benar.

Selagi niekouw itu bicara, tiba2 Eng Jiauw Ong tidak dapatkan Siangkoan In Tong, hingga ia jadi terperanjat. ia. “Am coe, kemana perginya Siangkoan Loosoe?” tanya

“Pinnie pun tidak tahu,” sahut Coe In.

Eng Jiauw Ong merasa tak enak hati. Jelek dipandangnya apabila Lauw Pangtay ketahui salah satu kawannya tidak ada bersama, mungkin opsir ini bercuriga. Syukur pangtay she Lauw itu tidak tahu suatu apa, ia cuma perintah daftarkan rombongan Hoay Yang Pay dan See Gak Pay ini.

Disitu ada dua puluh dua orang berikut Eng Jiauw Ong dan Coe In Am coe, belum mereka yang didalam perahu2 Garuda.

Diantara mereka ini, Phang Yok Boen, Sioe Seng, Kam Hauw dan Boe Cong Gie terluka peluru nyasar, dan yang luka karena pertempuran adalah Soen Giok Kong dan Lioe Hong Coen, syukur semua tidak terluka parah. Sembilan anggauta rombongan Hoay Yang Pay ada didalam perahu Garuda. Yang lainnya semua ada anak buah Soe Soei Hie kee Kan In Tong.

Setelah pendaftaran, atas tanda dari Pangtay Lauw Sioe Tiong, rombongan Hoay Yang Pay ini diantarkan untuk keluar dari Ceng Giap San chung. Di sana sini ada penjagaan kuat. Nyata gedung Thian Hong Tong telah musnah dimakan api, api nya masih belum padam semua.

Sedikit jauh dari Thian Hong Tong, tentera negeri telah mendirikan tangsi darurat.

Di tengah jalan, Eng Jiauw Ong dengar opsir pengantarnya nyatakan kecurigaannya atas menyingkirnya pemimpin dari Hong Bwee Pang, pada itu, katanya, mesti ada rahasianya. Karena itu, pihak tentera ingin bakar pelbagai pendirian, supaya Hong Bwee Pang musnah dan tak dapat dibangun pula.

Ketika Eng Jiauw Ong menoleh, ia lihat api berkobar di Ceng Giap San chung. Jadi benarlah katanya opsir ini. Coe In pun lihat api itu, ia menghela napas, ia sayangi usahanya Boe Wie Yang itu. Apabila Hong Bwee Pang berjalan lurus, betapa paedahnya.

Seperti didaerah Thian Hong Tong, juga di Ceng Loan Tong dan Kim Cauw Tong, penjagaan ada sama kerasnya, obor dipasang terang. Jumlah tentera disini ada lebih banyak.

Ketika rombongan ini sampai digedung tetamu, mereka disambut dengan manis oleh opsir siapa menyatakan, pasukan perahu Garuda ketolongan, cuma beberapa yang rusak. Opsir ini nyatakan kagumnya bagi perahu Garuda itu. Katanya, kalau tidak nyerbu dari darat, sulit untuk tentara negeri beri pukulan geledek kepada kawanan penjahat itu.

“Dipihak perahu Garuda mesti ada orang yang pandai yang memimpinnya”, demikian pujian lebih jauh dari si opsir.

“Sekarang silahkan jiewie turut aku!”

Ia undang Eng Jiauw Ong berdua Coe In Am coe akan masuk kedalam gedung, untuk menemui pemimpinnya yang lain” diminta menunggu diluar gedung tetamu.

CXLV (Penutup) Didalam ruang tetamu ada delapan serdadu pengiring dengan golok terhunus ditangan, seluruh ruangan terang dengan api.

Selagi bertindak kedalam ruangan, Eng Jiauw Ong dengar satu suara nyaring yang rupanya berasal dari Utara. Oleh opsir pengiringnya ia berdua diminta menanti sebentar, si opsir bertindak kedalam. Maka kemudian terdengar pula suara nyaring tadi, katanya “Yo Tek Seng, silahkan undang kedua loosoehoe masuk. Aku girang bisa bertemu dengan orang2 kang ouw luar biasa!”

Menyusul itu, pintu dipentang, si opsir muncul, akan terus undang Eng Jiauw Ong dan Coe In Am coe.

Kedua orang kang ouw ini heran kenapa si pembesar, komandan dari suatu pasukan air, hendak menghormati mereka berdua, tapi tanpa bilang suatu apa, mereka bertindak masuk.

Begitu sampai didalam ruangan dan melihat orang2 yang berada dalam ruangan itu, Eng Jiauw Ong dan kawannya tercengang.

Disitu mereka tampak orang yang mereka tidak sangka2, orang mana sudah lantas berbangkit untuk menyambut mereka. Sebab orang itu bukan lain daripada Siang ciang Tin Kwan see Sin Wie Pang yang jujur dan bersemangat, yang untuk keutuhan kerukunan kaum kang ouw, bersedia mengorbankan segala apa memasuki Cap jie Lian hoan ouw, hanya sejak kepergiannya, tak terdengar suatu apa lagi tentang dirinya. Maka adalah aneh, setelah runtuhnya Hong Bwee Pang, kawan itu berada, bersama satu komandan.

“Ong Loosoe, Am coe, aku menyesal sekali”, demikian kata jago dari Kwan see itu. “Aku tidak rabah tenaga sendiri, aku pergi ke Cap jie Lian hoan ouw ini maksudku untuk kerukunan, tapi ternyata benar seperti dugaan Ong Loosoe, aku telah kena dipermainkan Boe Wie Yang. Nanti sebentar aku menutur lebih jauh, sekarang silahkan jiewie menemui Tongleng tayjin.”

Ia lantas memperkenalkan kepada komandan itu kepada siapa Eng Jiauw Ong dan Coe In Am coe memberi hormat, sedang tongleng itu, yang bernama Liok Pang Gan, membalas sambil membungkuk, suatu tanda ia adalah satu pembesar militer yang ramah tamah.

“Jiewie soehoe, jangan sungkan”, berkata komandan itu.

“Tentang jiewie aku telah ketahui dengan baik dari keterangannya Sin Lauwko ini. Aku kagum atas kegagahan kamu sudah memasuki Cap jie Lian hoan ouw ini. Ada niatku untuk lindungi jiewie semua, meskipun sebenarnya aku tidak kuatir, sebab jiewie semua pasti bisa bela diri. Tadi selagi aku hendak Cioe Tongleng pergi sambut kamu, lebih dahulu datang laporannya Lauw Pangtay, yang mengabarkan bahwa Cioe Tongleng telah terluka tapi Ceng Giap San chung telah dapat ditindas. Kabar itu sangat menggirangkan aku. Sekarang silahkan jiewie duduk.”

“Kami adalah orang kasar”, kata Eng Jiauw Ong dengan cepat, mana berani kami berlaku kurang hormat didepan tayjin? Bagi kami sebenarnya sangat bersyukur yang tayjin sudah tidak rembet2 kami semua.”

Coe In Am coe pun turut bicara akan jelaskan kenapa dia, sebagai orang suci, turut rombongan Hoay Yang Pay memasuki sarang penjahat, yalah untuk tolongi muridnya yang kena diculik penjahat itu, kemudian ia mohon supaya komandan itu suka ijinkan mundurnya pasukan perahu Garuda dari Cap jie Lian hoan ouw. Setelah mana, niekouw ini menghaturkan terima kasih seraya menjura pula. “Jangan kuatir, Am coe”, berkata Liok Tongleng. “Sin Loosoehoe ini ada sahabatku selama sepuluh tahun, aku percaya bahwa dia ketahu jelas perihal Am coe dan Ong Loosoe beramai, maka itu ingin aku pandang kamu sebagai sahabat. Jangan sungkan, silahkan duduk!”

Sin Wie Pang lirik Eng Jiauw Ong, akan anjurkan sahabat ini duduk, maka itu, setelah mengucap terima kasih, Eng Jiauw Ong ajak Coe In Am coe duduk dimeja kecil dekat jendela.

Wie Pang sendiri kembali kekursinya, duduk berdampingan dengan komandan itu.

Melihat caranya mereka duduk itu, Coe In Am coe percaya Wie Pang dan Pang Gan ada sahabat kekal.

Sebentar kemudian ada serdadu pelayan yang menyuguhkan teh kepada dua tetamu baru ini.

Eng Jiauw Ong dan Coe In Am coe merasa sangat berlega hati, mereka pun tidak menyangka bisa mendapatkan ketika sebaik ini.

Liok Tongleng ceritakan hal persahabatannya dengan Sin Wie Pang sejak sepuluh tahun yang lalu, ketika Wie Pang masih jadi piauwsoe dan ia masih jadi perwira rendah ditangsi air di Lim Jie, ia masuk dalam tangsi sejak umur dua puluh, karena ia bekerja benar dan berani, ia jadi peroleh kepercayaan dari sepnya. Disebelah itu, ia jadi di benci bajak.

“Pada suatu hari, untuk satu tugas, aku pergi bersama dua pengiringku”, Liok Tongleng melanjutkan. “Apa lacur kami di cegat bajak. Seorangku tewas, satu pula terluka, akupun kena ditawan. Orang tidak hendak bunuh aku dengan satu bacokan, mereka ingin siksa aku. Aku telah putus asa. Dasar aku tak mestinya mati, disaat berbahaya itu, Sin Piauwsoe menolongi aku. Dia ada dalam perjalanan pulang dan kebetulan lewat dikuil dimana aku hendak dianiaya. Sin Piauwsoe labrak penjahat, dia tolong aku dibawa pulang kerumahnya untuk diobati dan dirawat, kemudian aku diantar pulang ketangsiku. Demikianlah kami berdua jadi bersahabat kekal. Kemudian selang beberapa tahun, aku dapat kenaikan pangkat, sampai aku dipindahkan ke Selatan dengan kedudukanku sebagai sekarang. Sudah lama aku niat tengok Sin Lauwko tapi ini yang ketikanya tidak ada, setelah aku tak boleh sembarang meninggalkan tugas selagi keamanan terganggu. Maka adalah diluar dugaan, disini aku dapat bertemu dengannya, yang terkurung orang2 Hong Bwee Pang. Ada sebab2nya kenapa tentaraku dapat masuk kesini dengan lekas. Selagi kesasar dilembah Cie Hoa Kok, disana aku ketemu Sin Lauwko. Aku anggap pertemuan ini ada karena jodoh. Lembah itu terjaga kuat tapi dapat kami dobrak. Sin Lauwko berada bersama satu muridnya yang kosen. Sin Lauwku tahu jiewie bakal datang kemari, hanya dia tak tahu jelas perihal rombongannya, terutama tidak tentang barisan perahu Garuda, hingga hampir terbit salah mengerti.”

Melanjutkan lebih jauh, Liok Tongleng tuturkan jalannya pertempuran dengan barisan Jie cappat sioe dari Hong Bwee Pang, bahwa dilain pihak, tentara negeri dapati pasukan perahu Garuda.

“Tapi syukur, To Cie Taysoe telah datang menolongi perwira Lie Peng Gie,” kata Pang Goan. “Perwira Lie sedang terancam bahaya.”

Liok Tongleng ceritakan bagaimana Lie Peng Gie, pemimpin pasukan ketiga, yang maju bersama Ho Tiong dari pasukan kesatu, sudah bentrok dengan pasukan Hong Bwee Pang dibawah pimpinan Ie Tiong. Ie Tiong mundur dari Ceng Giap San chung, dengan niatan mencari balas, sesampainya diluar, ia tampak ancaman tentara negeri, lantas dia asut anggauta2 dari barisan perahu Jie cappat sioe untuk bikin perlawanan nekat, sebab katanya, mundur berarti binasa. Waktu itu, Ie Tiong loncat keperahunya Peng Gie, maka mereka jadi bertempur.

Tentu saja Lie Peng Gie bukan tandingan orang Hong Bwee Pang yang liehay itu. Sebentar saja goloknya kena dipukul terlepas, lalu tubuhnya ditarik. Justeru itu, dua serdadu menyerang dari kiri dan kanan. Ie Tiong tidak menangkis, ia berkelit diantara tubuhnya Peng Gie, maka kesudahannya Peng Gie lah yang terbacok pundaknya. Satu serdadu telah ditendang hingga tercebur kesungai.

Ho Tiong lihat kawannya rubuh, ia maju untuk menolongi, tapi dengan kempit Peng Gie, Ie Tiong loncat kembali keperahunya sendiri, terus ia naik keatas perahu, disini dengan ancam lehernya Peng Gie dengan goloknya, ia serukan untuk Ho Tiong buka jalan, buat ia dan kawan2nya menyingkir keluar dari Cap jie Lian hoan ouw.

Tentara negeri jadi jerih, sebab Peng Gie bukan orang sembarangan, diapun jadi orang kesayangannya coei soe teetok, komandan utama dari pasukan air. Dengan terpaksa mereka membuka jalan.

Itu waktu pasukan Garuda berada didekat situ, mereka sedang terancam tentara negeri, yang bisa menembak karena menyangka merekapun ada pasukan penjahat.

Dalam saat yang genting itu, mendadak sebuah perahu melesat maju kearah perahunya Ie Tiong, sebelum Ie Tiong tahu apa2, satu orang sudah loncat naik keperahunya hingga ia terkejut, lekas ia berkelit kesamping sambil membacok, akan sambut orang tidak dikenal itu. Selagi putar tubuh ia tampak, penyerangnya adalah satu pendeta. “Binatang, kau berani mengganas!” demikian bentaknya pendeta itu, yang sambil egos tubuh mengulur tangannya menotok nadinya Ie Tiong, sedang tangan kanannya menotok pundak.

Walau ia ada satu jago dan gesit, Ie Tiong kalah sebat, ketika pundaknya kebentur jari musuh, sebelah tangannya jadi lemas, goloknya terlepas dan jatuh. Ia insaf liehaynya musuh, yang sekarang ia tampak nyata ada satu niekouw, pendeta perempuan umur tujuh atau delapan puluh tahun, alis dan matanya bagus, romannya alim campur pengaruh.

Menjadi jerih, Ie Tiong berlompat untuk singkirkan diri, akan tetapi si niekouw yang lihat demikian, jadi gusar.

“Binatang, kau hendak lari ke mana?” ia membentak seraya loncat mencelat, untuk mengejar.

Ie Tiong tidak perdulikan bentakan, ia lari terus. Ia keluarkan kepandaiannya lari keras, iapun bisa berlompatan dengan leluasa diatas pelbagai perahu setelah empat lima perahu, ia terjun kedalam air. Justeru itu si niekouw sampai, dia ini lompat menyambar, dengan serangannya kakinya sendiri lantas injak perahu lain.

Entah mati atau hidup, atas serangan itu, tubuhnya Ie Tiong lantas hanyut terbawa air.

Itu waktu, Ho Tiong sibuk menghampirkan untuk menolongi Peng Gie. Tapi si niekouw dului ia sampai pada opsir yang malang itu, yang telah pingsan karena kaget dan terkocok kocok. Segera Peng Gie ditotok didua tempat pada tubuhnya, untuk bikin ia sadar.

“Terima kasih,” kata Ho Tiong selagi ia mendekati. “Apakah Lie Engkhoa tidak dalam bahaya? Apakah gelaran taysoe yang mulia? Cara bagaimana taysoe bisa masuk kemari?” Selagi Peng Gie buka mata mengawaki orang disekitamya, si niekouw sendiri berpaling kepada Ho Tiong, untuk membalas hormat.

“Pinnie adalah To Cie Loo nie dari See Gak Pay,” jawab nya.

“Pinnie datang untuk tolongi rombongan perahu disana, yang bergambar burung Garuda. Itu bukannya perahu2 penjahat”.

Ho Tiong pernah dengar nama besar dari To Cie Taysoe, ia heran kenapa kebetulan sekali si niekouw berada disitu. Iapun kagum sekali atas kegagahannya To Cie Taysoe. Tidak ayal lagi ia luluskan permintaannya, ia larang barisannya kurung perahu itu.

Bukan main lega hatinya pihak Soe Soei.

Peng Gie yang sudah sadar lantas haturkan terima kasih pada To Cie Taysoe pada siapapun ia memberi hormat, sementara itu Ho Tiong perkenalkan siapa adanya niekouw gagah itu.

To Cie Taysoe tidak tunggu Ho Tiong berhenti bicara, ia lantas beritahukan Peng Gie tentang pasukan Garuda Terbang, yang datangnya ke Cap jie Lian hoan ouw untuk labrak Hong Bwee Pang, bahwa didalam Ceng Giap San chung ada lain rombongan pihaknya sedang tempur Boe Wie Yang, ia minta supaya mereka itu juga dilindungi.

“Jangan kuatir, taysoe, aku nanti coba lindungi mereka”, kata Peng Gie. “Sekarang baik taysoe turut kami masuk lebih dalam, mungkin pemimpin kami sudah sampai di Ceng Giap San chung”.

To Cie Taysoe manggut, ia puas dengan jawabannya opsir itu, karena itu berarti pasukan Garuda Terbang sudah terjamin keselamatannya. Ia lantas keluarkan satu botol kecil akan ambil tiga butir obat pulung, sembari serahkan itu kepada Lie Peng Gie, ia kata “Silahkan tayjin makan obat ini, sebentar baharu pakai obat luka, nanti tayjin tertolong dari gangguan cacat di urat2. Aku harap tayjin suka berbuat jasa, dengan kurangkan pembunuhan didalam Cap jie Lian hoan ouw ini, nanti pinnie pujikan kau doa selamat, supaya tayjin peroleh kenaikan pangkat. Sekarang pinnie ingin pamitan, pinnie haturkan terima kasih untuk kebaikan tayjin”

To Cie Taysoe memberi hormat, lalu ia putar tubuhnya, kapan ia telah erijot tubuhnya itu, akan menjejak perahu, ia telah lantas mencelat keperahu lain. Ia telah berlompatan beberapa kali diantara pelbagai perahu, lantas ia sampai disebuah perahu Garuda Terbang.

Tauwbak yang berada diperahu itu kenali niekouw tua ini, yang menjadi tetua dari See Gak Pay, ia ajak kawannya menyambut sambil berlutut, terutama untuk haturkan terima kasih, karena mereka lantas ketahui, adalah tetua ini yang telah tolong mereka dari ancaman malapetaka. Kemudian mereka mohon pengunjukan bagaimana mereka harus bertindak.

“Kedua pembesar tentara sudah terima baik permintaanku, selanjutnya pasukan kita telah bebas dari ancaman bahaya,” To Cie Taysoe bilang. “Sekarang tunggulah disini, jangan sembarang bergerak, sampai kembalinya Coe Im Am coe dan Siangkoan In Tong, untuk nanti kamu keluar secara baik2 dari sini. Tentang orang2 yang terluka, aku tak perlu meniliknya lagi, karena cukuplah rawatannya Siok beng Sin Ie satu orang. Sekarang pinnie hendak lihat Boe Wie Yang, sebab walaupun ia sudah kalah, tentu dia belum puas.”

Setelah pesan untuk tauwbak itu ber hati2 untuk serangan gelap dari musuh, ia lantas berlalu sambil berlompat pula, kearah barat selatan. Sebentar saja ia sudah lenyap ditempat yang gelap.

Sementara itu Eng khoa Ho Tiong sangat kagumi niekouw itu, yang sudah berumur tujuh puluh lebih akan tetapi masih gesit dan gagah, sedang hatinya ada mulia.

Kemudian Ho Eng khoa pergi ke Gedung Tetamu, untuk beri laporan kepada Liok Tongleng tentang pertolongannya To Cie Taysoe, hingga pemimpin tersebut ketahui segala apa, hatinya jadi lega. Begitulah penuturannya kepada kedua ketua dari Hoay Yang Pay dan See Gak Pay.

Eng Jiauw Ong dan Coe In Am coe berterima kasih, mereka memberi hormat sebagai tanda terima kasih mereka.

Liok Tongleng berlaku ramah tamah. Kemudian ia tanya bagaimana sikapnya kedua ketua itu mengenai urusannya dengan Hong Bwee Pang.

“Hong Bwee Pang telah runtuh, urusan kami dengannya sudah habis”, Eng Jiauw Ong jawab. “Soalnya tinggal terserah kepada Boe Wie Yang sendiri, yang bisa lolos. Aku kuatir dia belum puas dan nanti dia bangkit pula, hingga dibelakang hari masih ada ancaman bahaya dari pihaknya. Boe Wie Yang sangat berpengaruh, ia masih punyakan banyak orang yang tersebar di pelbagai tempat, mungkin dia akan cepat bergerak pula. Maka jangan kita pandang enteng kepadanya. Kami mohon tayjin sukalah ijinkan kami lekas keluar dari Cap jie Lian hoan ouw ini untuk pulang, karena dikuatirkan selagi kami berada disini, orang jahat sudah satroni Lek Tiok Tong dan Pek Tiok Am. Bila itu terjadi, hebat akan akibatnya.”

“Kamu jangan kuatir, tidak ada niatku untuk menahan kamu”, berkata komandan itu. “Menurut keterangannya Sin Lauwko, bentrokan diantara kamu dengan Hong Bwee Pang disebabkan diculiknya murid2mu masing2. Yo Hong Bwee itu, katanya ada puterinya Yo Jie looya Yoe Boen Hoan. Aku tahu bahwa orang she Yo itu adalah bekas pembesar yang bijaksana, namanya terkenal di Kanglam, maka aku percaya, gadisnya pun pasti ada baik hati sebagai ayahnya sendiri. Ingin aku melihat dua murid itu, apa sekarang mereka ada bersama2 kamu?”

“Tayjin terlalu, memuji”, berkata Eng Jiauw Ong dengan merendah. “Mereka itu berada diluar, nanti aku perintah mereka datang menghadap.”

Eng Jiauw Ong lantas bertindak kemulut pintu, akan panggil kedua pemuda dan pemudi ini, ia tidak mau suruh lain orang yang memanggil, karena ia hendak pesan mereka bagaimana harus bersikap kepada komandan yang baik hati itu.

Hoa In Hong dan Yo Hong Bwee datang menghadap seraya beri hormat pada Liok Tongleng. Ong Too Liong adalah yang perkenalkan mereka.

Liok Tongleng awasi dua anak muda itu, lalu ia tanya Hoa In Hong, perihal asal usulnya murid Hoay Yang Pay ini.

In Hong tuturkan bahwa ia sebatang kara, karena itu, ia ingin ikuti terus gurunya sebab meski benar ia sudah lulus dari perguruan tapi masih kurang pengalaman.

“Bagus!” memuji penggawai itu, yang lalu tanya Hong Bwee tentang ayahnya dia ini, yang katanya ia pernah dengar namanya yang kesohor bijaksana. Iapun puji nona ini, yang dikatakan gagah dan bisa lindungi kehormatannya.

Hong Bwee tuturkan hal keluarganya, halnya ia diculik, hingga saking gusar dan malu hampir ia bunuh diri, hanya karena masih ingat ayah dan ibunya, ia bisa sabarkan diri, akan diakhirnya ia bersyukur bahwa gurunya bisa tolongi ia. Ia sekarang berduka untuk ayah dan ibunya, karena difitnah, ayahnya itu masih mesti meringkuk dalam tahanan Gouw Teetok, malah ia tak tahu ayah itu masih hidup atau sudah mati.

“Jangan kuatir, nona, kau ada baik hati, orang tuamu tentu tak kurang suatu apa”, Liok Tongleng menghibur.

Setelah ini, tongleng ini minta untuk menemui Siok beng Sin Ie Ban Lioe Tong, maka Eng Jiauw Ong pergi panggil soeteenya itu.

Liok Tongleng kagum begitu lekas ia tampak jago dari Kwie In Po itu. Dari Sin Wie Pang rupanya ia sudah dengar banyak perihal orang2 Hoay Yang Pay, maka sekarang ia jadi bersikap luar biasa. Ia undang tabib itu duduk.

Ban Lioe Tong mengucap terima kasih, ia duduk dibawahan soehengnya. Ia jawab jelas sesuatu pertanyaan komandan itu.

Setelah bicara seperlunya, Liok Pang Gan ijinkan semua orang Hoay Yang Pay dan See Gak Pay pergi keperahu Garuda Terbang untuk beristirahat, tapi sebelum mereka pergi, ia jamu dulu pada mereka.

Perjamuan ini tak dapat ditampik, maka juga Eng Jiauw Ong bertiga haturkan terima kasih kepada tongleng itu.

Selagi bersantap, tiba2 Liok Tongleng bicara kepada Eng Jiauw Ong dan Coe In Am coe. Ia usulkan perangkapan jodoh dari In Hong dengan Hong Bwee, katanya inilah tindakan paling tepat, terutama untuk lindungi nama baik Hong Bwee. Tidakkah selama diculik si nona senantiasa berada sama2 In Hong? Ia kata, asal kedua ciang boen jin itu setuju, ia sendiri suka bertanggung jawab untuk Yo Boen Hoan, ayahnya si nona.

Eng Jiauw Ong dan Coe In Am coe setujui usul itu, mereka serahkan putusan kepada tong leng itu.

“Baik”, kata pembesar ini, yang terus bicara langsung pada In Hong, untuk rangkap perjodohannya mereka berdua, kemudian ia pun bicara langsung juga kepada Hong Bwee tentang soal itu.

In Hong dan Hong Bwee malu, hingga mukanya menjadi merah, dan si nona tunduk saja, hingga karenanya, Eng Jiauw Ong dan Coe In Am coe turut bicara, untuk menasihatkan mereka agar terima baik usulnya tongleng yang bermaksud baik itu.

“Kau ada punya barang apa untuk tanda mata?” tanya Eng Jiauw Ong pada muridnya.

Dalam keadaan seperti itu, In Hong tidak punya apa2, maka ia ingat kepada kumalanya, Kioe liong Giok pwee, yang tak pernah terpisah dari badannya sejak ia ditangkap dan diculik, maka ia serahkan kumala itu. Diam2 ia girang yang ia diperjodohkan dengan Hong Bwee, satu nona cantik dan cocok baginya, sedang juga sama2 mereka telah menderita.

Ketika gilirannya Hong Bwee oleh gurunya ditanyakan ada punya barang apa, ia tunduk, karena ia tidak punya apa juga. Iapun malu dan likat. Maka Coe In Am coe tolong muridnya dengan serahkan sebutir mutiara See boen Cit poo coe.

“Inipun bagus!” Liok Tongleng tertawa. “Aku yang rekoki perjodohan ini, aku yang menanggungnya!”

Maka kedua pihak lantas saling tukar tanda mata itu. Atas anjuran gurunya masing2, In Hong dan Hong Bwee memberi hormat pada Liok Tongleng seraya haturkan terima kasih mereka.

Sin Wie Pang kasi selamat pada Eng Jiaiuw Ong dan Coe In Am coe dengan masing2 secawan arak. Tapi Coe In tidak minum arak, ia cuma mengucap terima kasih.

Sampai disitu, Liok Tongleng minta Eng Jiauw Ong berikan daftar nama2 rombongannya, ia minta daftar yang lengkap, karena ini ada perlu untuk mereka keluar dari Cap jie Lian hoan ouw, juga daftar itu bisa dijadikan surat keterangan bila perlu, supaya mereka tidak dapat gangguan dari pihak alat2 negara kelak. Penjagaan yang keras telah dipasang sampai melewati Tong peng pa.

Eng Jiauw Ong dan Coe In Am coe bersyukur atas kebaikannya tongleng ini, yang sangat perhatikan mereka.

Setelah itu Sin Wie Pang ajak muridnya, Hoei thian Giok niauw Hang Lim, untuk pamitan dari Liok Tongleng dan Eng Jiauw Ong semua. Ia minta diberikan satu pengantar, supaya mereka tak terintang ditengah jalan.

Liok Tongleng heran.

“Eh, Sin Lauwko!” katanya, “apakah artinya ini? Apakah lauwko tidak hendak berangkat bersama Ong Loosoe beramai?”

“Ada sebab2nya mengapa aku ambil sikapku ini” Sin Wie Pang jawab.

Ban Lioe Tong mengerti sikap nya orang she Sin ini. Wie Pang masih tetap kuatir ia dicurigai, baik oleh Boe Wie Yang maupun oleh pihak Hoay Yang Pay. Maka itu ia lantas kasi mengerti, supaya orang jiatsim ini lega hatinya. Akan tetapi Wie Pang tak dapat dibujuk. Ia kata ia punyakan urusan sangat penting hingga, setelah begitu lama berdiam di Cap jie Lian hoan ouw, perlu ia lekas pulang ke Lim jie. Ia utarakan puasnya urusan di Cap jie Lian hoan ouw ini telah beres.

“Sebenarnya,” kata ia antaranya, “apabila aku mau, selama aku ditahan didalam lembah Cie Hoa Kok, aku bisa singkirkan diri, tapi aku telah tidak lakukan itu, untuk hunjuk bahwa maksudku adalah untuk kebaikan kedua pihak. Aku tidak menyesal Boe Wie Yang curigai aku, sebab memang kedudukanku sulit. Sekarang semua telah selamat, dari itu perlu lekas aku pulang. Sudah terlalu lama aku berdiam diluaran.”

Karena niat orang ada demikian keras, walau ia merasa menyesal, Liok Tongleng tidak dapat menahan lebih jauh.

Juga Eng Jiauw Ong tidak bisa mencegah lagi.

Maka akhirnya Wie Pang dan muridnya diijinkan berlalu. Semua orang membilang terima kasih kepadanya dan Liok Tongleng berikan dia satu pengantar.

Eng Jiauw Ong menduga bahwa orang she Sin itu kecewa karena kepergiannya ke Cap jie Lian hoan ouw sudah tidak berhasil dan ia jadi jengah sendirinya. Tapi sebenarnya, semua orang bersyukur kepadanya.

Setelah perjamuan ditutup, semua orang pergi beristirahat.

Adalah keesokannya, rombongan Hoay Yang Pay dan See Gak Pay berikut barisan perahu Garuda Terbang, pamitan dari Liok Tongleng, untuk mereka berlalu dari Capjie Lian hoan ouw dan berangkat pulang.

Disepanjang jalan, Eng Jiauw Ong semua saksikan kurban2 api bekas pertempuran hebat semalam, sedang disesuatu pos, tentara negeri ada bikin penjagaan rapi dan kuat.

Adalah ditengah jalan, Eng Jiauw Ong beramai berpisah dari Coe In Am coe dan pasukan Garuda Terbang, karena mereka perlu lekas2 pulang ketempatnya masing2. Malah Ban Lioe Tong kuatir nanti ada orang Hong Bwee Pang yang terus satroni Lek Tiok Tong.

T A M A T
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar