Eng Djiauw Ong Jilid 14

 
Jilid 14

Dua orang itu adalah Ouw Giok Seng yang pertama dan Gouw Ceng yang kedua, karena mereka berlompat seperti saling menyusul. Kedua2nya menggunakan tipu mengentengkan tubuh “Yan coe Hoei in ciong” loncat kearah para2. Malah Ouw Giok Seng begitu berani untuk segera loncat naik keatas, hingga Gouw Ceng pun turut teladannya itu.

Auwyang Siang Gee juga tidak mau berdiam saja. “Ada orang ganggu kami, aku ingin belajar kenal dengan sahabat itu, maka Am coe, harap tunggulah sebentar,” kata dia kepada lawannya.

Tanpa tunggu jawaban, ketua Thian Hong Tong ini sudah lantas loncat kearah para2, sedang Ouw Giok Seng dan Gouw Ceng berdua sudah sampai diatas para2 itu dimana mereka tampak bagian tengahnya telah rusak melesak. Tapi diatas itu mereka pun dapatkan sebuah kantong hitam yang besar.

“Apa ini, Ouw Hiocoe?” tanya Gouw Ceng.

Belum lagi Giok Seng menyahuti, mereka tampak kantong itu bergerak2.

Ouw Hiocoe maju setindak, ia berdongko untuk melihat lebih dekat, sedang tangannya sebelah diulur, untuk dipakai merabah.

Justeru itu, ia dengar suara napas, suara merintih pelahan, dari dalam kantong itu.

“Ha!” berseru hiocoe ini, kaget dan berduka. Kemudian ia kata pada kawannya “Bawa dia pergi!”

Gouw Ceng lihat air muka temannya berubah ia rupanya bisa menduga, maka itu, tanpa bilang suatu apa, ia sambar kantong besar itu untuk diangkat dan dibawa turun kebawah.

Ketika itu Auwyang Siang Gee telah menyusul ia tampak kantong itu dan tanya kepada Gouw Ceng, apa isi bungkusan itu, akan tetapi belum sampai si Burung Laut menyahuti, Ouw Giok Seng sudah hampirkan mereka, yang terus kata “Auwyang Toako, tak usah tanya dulu! Dalam Ceng Giap San chung ini ada sembunyi orang yang hendak membelai kita! Inilah kantong yang akan membuat Liong Tauw Pang coe mendapat malu! Toako, tolong lekas periksa! Jangan kita tak bakal bisa taruh kaki lebih lama pula disini! ”

“Baik, Ouw Jie tee,” jawab Auwyang Siang Gee. “Pergi kau turun dan membereskannya! Setelah sampai disini, jangan kita sungkan2 lagi, kita harus keluarkan semua tenaga kita! Ingin aku tengok orang macam apa yang telah begini menghina kepada kita!”

Habis mengucap demikian, ketua Thian Hong Tong lari berlompatan kearah pepohonan lebat digunung2an yang menghadapi pintu.

Ouw Giok Seng mendekati Gouw Ceng.

“Letakkan kantong ini dipaseban jika dengar tanda dari aku, baharu turun tangan,” pesan ia kepada si Burung Laut. Hay niauw Gouw Ceng heran, hingga ia bingung. Tapi ia jalan terus sampai dipaseban, dengan diikuti terus oleh kawannya.

“Buka mulutnya kantong!” Giok Seng kata, wajahnya jadi muram durja. Segera ia siapkan diri disebelah depan. Dengan gerakan tangan, ia beri tanda pada kawannya.

“Jikalau benar dia adanya, lekas tutup pula!” Gouw Ceng mengarti, ia buka mulut kantong, hingga segera ia tampak segumpal rambut hitam gomplok yang awut2an, yang menutupi satu muka yang elok, melihat mana ia lantas kerutkan alis. Ia masih mengawasi ketika bulu mata dari muka elok itu bergerak, kulit matanya lantas terbuka, hingga tertampaklah sepasang mata yang layu tapi biji matanya bersinar bening, hingga sinar kedua mata itu benterok kepada sinar matanya si Burung Laut.

Tiba2 orang dalam kantong itu perdengarkan jeritan pelahan.

Hatinya Gouw Ceng lantas saja tergerak, memukul tak henti2nya. Tapi ia ingat pesannya Giok Seng, segera ia tutup pula mulut kantong itu.

Ouw Giok Seng sendiri sudah lantas memutar tubuh, akan menghadap kepada ketuanya.

“Ouw Giok Seng dari Kim Tiauw Tong melapurkan,” berkata hiocoe ini. “Titah dari Pangcoe telah diuwarkan supaya semua anggauta melakukan penangkapan kepada tocoe Liok Lo Kim In yang mengepalai pusat rangsum ke duabelas di Jalan Barat di Liang Seng San! Karena tidak sanggup lolos dari Ciatkang Selatan, sekarang tocoe itu telah dapat ditangkap oleh suatu rekan kita kaum kang ouw siapa telah antarkan tawanannya itu kemari. Karena disini kebetulan berkumpul tetamu2 kita yang terhormat, sedang dia adalah orang durhaka dari kaum kita, yang dosanya tak berampun, baiklah Pang coe tidak usah periksa lagi kepadanya dan serahkan saja dia kepada Keng tong untuk diberikan hukuman, untuk melindungi undang2 kita! Apakah Pang coe suka mengabulkan permohonan poen co ini?”

Boe Wie Yang lantas mengarti apa maksudnya hiocoenya ini, yang hendak lindungi muka terang dari Hong Bwee Pang, maka tak ayal lagi ia berikan jawabannya “Baiklah!”

Habis ini, pemimpin ini hendak titahkan Sim A Eng membawa tek hoe, surat titahnya yang terbuat dari bambu, akan tetapi seorang Hoay Yang Pay dului ia. Kata tetamu itu “Boe Pang coe, tolong kau tarik pulang dahulu titahmu! Ada sesuatu yang kami hendak minta dari Pang coe dan kami inginkan agar permintaan kami ini diterima baik!”

Boe Wie Yang menoleh, maka ia lihat Twie in chioe Na Pek, orang Hoay Yang Pay yang paling sukar dilayani itu.

“Ada pengajaran apakah, Na Toa Hiap?” dia balik tanya. “Silahkan kau bicara, jangan sungkan2!”

“Boe Pang coe, pertama2 inigin aku menjelaskan,” berkata Twie in chioe si Tangan Kilat, “bahwa kami datang ke Ceng Giap San chung ini sebagai tetamu, dari itu segala urusan kaummu, tak seharusnya kami mencampur tahu atau menanyakan. Akan tetapi pada saat ini, keadaan adalah lain. Baiklah aku terangkan, antara orang2 yang turut kami datang kemari, ada mereka yang tinggal terpencar jauh dipelbagai tempat, dari itu tak heran kalau ada yang datangnya terlambat. Diantara mereka itu, ada satu yang paling kami buat kuatir. Dia adalah satu orang tua, ketika dia terima undangan kami, dia ada balaskan kabar bahwa dia bakal datang dengan ajak muridnya yang tersayang. Sebenarnya kami berjanji akan bertemu di Tong peng pa, Lokceng, akan tetapi sampai waktu ini, dia masih belum tiba juga. Dia ada seorang tua yang boleh sekali dipercaya, maka itu setelah dia beri janjinya, mesti dia datang kemari, tak perduli dia menghadapi urusan sangat penting. Toh sampai pada detik ini, tentang dia dan muridnya, kami tak dengar suatu, apa. Kami berada di Cap jie Lian hoan ouw, tetapi sahabat kami itu tak memberikan kabar ceritanya, bagaimana kami tidak memikirkannya? Sekarang dengan mendadak ada orang melemparkan kantong hitam yang besar, mau atau tidak, kecurigaan kami timbul sendiri nya. Apakah isinya kantong itu bukannya sahabatku yang tua itu? Ingin kami melihatnya! Tak ingin kami anggap sahabat baik sebagai musuh besar, tetapi kami kuatir lain oranglah yang nanti anggap kami sebagai musuhnya! Maka itu, Boe Pang coe, harap kau berlaku murah, tolong kau berikan ijin supaya kami dapat melihat, apa sebenarnya isi dari kantong hitam itu.”

Selagi Na Pek belum ucapkan habis kata2 itu, entah siapa yang campur bicara, orang dengar suara ini “Na Loo Toa hendak kenali sanaknya!”

Na Pek pun dengar itu, ia menduga Siangkoan In Tong, tapi kapan ia menoleh ia melihat orang sedang menyedot hoencweenya dengan tenang, nampak nya dia itu tak perhatikan pembicaraanya dengan Boe Wie Yang. Melainkan beberapa orang didekatnya Siangkoan In Tong sedang bersenyum.

Ketua Yan tiauw Siang Hiap jadi mendongkol. Sementara itu Boe Wie Yang, yang dengar ucapannya

Twie in chioe sudah tertawa lebar.

“Kau benar, Na Toa Hiap!” menyahut dia. “Memang, melukis naga, melukis harimau, sukar melukis tulangnya, dan mengenal orang, mengenal mukanya, tidak mengenal hatinya! Begitulah, obat apa yang kita jual dalam cupu2 kita, orang lain tak mengetahui nya, seperti kita juga tak tahu, apa yang lain orang pikir dalam hatinya. Na Toa Hiap ingin lihat isinya kantong, inilah gampang….”

Lantas pemimpin Hong Bwee Pang itu memandang pada Ouw Giok Seng seraya kata “Ouw Hiocoe, Na Toa Hiap telah sangsikan orang dalam kantong itu, tak dapat kita bikin Na Toa Hiap tak tenteram hati, maka kau keluarkanlah dia, supaya Na Toa Hiap melihatnya dengan nyata, supaya kita pun tak usah nanti terima teguran dan menyebabkan kesulitan orang lain ”

Ouw Giok Seng insaf, bahwa sampai waktu itu, tak ada apa2 lagi yang bisa dirahasiakan, maka ia menghadapi pemimpinnya itu.

“Baiklah, Pang coe,” ia menjawab. Setelah itu, ia meneruskan kepada Hay niauw Gouw Ceng “Keluarkan binatang itu!”

Titah itu menyulitkan Gouw Ceng. Hal ini keluarkan orang yang menjadi isi kantong itu justeru ada pekerjaan yang ia paling takut melakukannya. Ia insaf Giok Seng berbuat demikian karena tak hendak dipakai tenaganya orang2 mereka. Tapi ia masih mencari daya. Ia lihat Sim A Eng dan Sim A Hiong mendampingi Boe Wie Yang, lantas ia menghadapi pemimpinnya itu seraya kata “Mohon Pangcoe menitahkan A Eng dan A Hiong. bantui aku.”

Boe Pang coe mengarti keberatannya Gouw Ceng. Memang semua orangnya, yang berkedudukan tinggi, tidak sudi melakukan pekerjaan kasar seperti itu, akan tetapi ia juga tak dapat perintah orang sebawahannya bangsa pengawal atau bujang, kuatir dia nanti diperhina Hoay Yang Pay atau See Gak Pay.

Sementara itu Ay Kim Kong Na Hoo, sambil bersenyuma tawar sendirinya tengah awasi tuan ramah itu. Dalam hati si Kim Kong Kate kata “Kawanan kunyuk, kamu sedang bersandiwara saja! Kami tahu kamu ada bangsa licik, tukang2 tipu, tetapi kamu lihat, apa yang akan terjadi!”

Dua2 saudara Sim masih boca2 tetapi mereka cerdik, mereka mengarti kenapa Gouw Ceng minta bantuan mereka. Hal ini membuat mereka mendongkol. Tapi Boe Pang coe telah terima baik permintaannya si Burung Laut, mereka tak dapat membantah. Begitulah mereka bertindak kearah kantong hitam yang besar itu, mata mereka sendiri dengan mencorong ditujukan kepada Gouw Ceng.

Gouw Ceng tidak perdulikan sikap orang. Ia sebenarnya sedang ibuk sangat sendirinya, karena ia tak tahu bahwa pada saat itu ia merasa tak tenteram sendirinya, jantungnya terus goncang. Tapi ia mesti bekerja. Maka ia buka mulutnya kantong sambil ia kata.

“A Eng, A Hiong, keluarkanlah dia!”

Dua saudara Sim itu segera lihat, isi kantong ada seorang perempuan. Mereka lantas bisa duga, siapa adanya orang dalam kantong itu hanya orangnya sendiri, mereka belum pernah melihatnya. Mereka cuma pernah dengar hal Lie Touw hoe dibagian Barat, yang banyak lelakonnya. Memang jarang mereka ketemu pelbagai to coe bahagian luar, yang menghadap biasanya satu tahun sekali. Mereka duga, tentulah dosanya Lie Touwhoe ada dosa tak berampun.

“Sial....” kata mereka dalam hati, karena mereka terpaksa mesti bantui Gouw Ceng. Mereka tidak berani menampik.

Begitulah A Eng lantas cekal lengan kanan dari orang dalam kantong dan A Hiong pegang lengan kirinya, setelah mereka mengangkat, kelihatanlah seluruh tubuh orang dalam kantong itu, yang benar2 Lie Touw hoe adanya si perempuan centil, kedua tangan siapa masih diringkus.

Gouw Ceng pegangi kantong dengan bingung sekali, ia tak tahu duduknya hal. Ia cuma bisa menduga2 dan jadi merasa tak tenang karenanya. Sekalipun Ouw Giok Seng juga ragu2. Kenapa Lie Touw hoe dibekuk dan dibawa langsung ke Ceng Giap San chung? Tidakkah itu ada perbuatan sengaja dari pihak Hoay Yang Pay dan See Gak Pay untuk bikin malu mereka?

Apa yang aneh dalam dirinya Ciok Cit Nio adalah, apabila dia dibekuk oleh musuh, mestinya itu terjadi sesudah satu pertempuran, hingga karenanya, pakaian dan romannya tidak keruan macam, akan tetapi sekarang, kecuali rambutnya kusut, dia memakai pupur dan yancie medok, mulutnya berbau arak. Hal ini lantas dapat dilihat oleh Giok Song dan Gouw Ceng.

Gouw Ceng memegang kantong dengan kepala tunduk sedikit, sementara begitu, dua saudara Sim lalu angkat tubuh Liok Cit Nio dengan tiba2. Ini ada perbuatan sengaja, karena mendelu terhadap tocoe itu dan sekarang ingin mereka melampiaskannya.

Sama sekali si Burung Laut tidak bersedia. Tadipun kedua boca mengangkat dengan pelahan2. Ia terkejut ketika tubuh orang dalam kantong itu hampir mengenai padanya ia egos kepala nya, kekanan. Tidak urung, kaki kanan Cit Nio masih keburu mengenai muka dan pundaknya. Berbareng dengan itu, bau harum juga menyerang hidungnya si Burung Laut ini.

Untuk bebaskan diri, Gouw Ceng menolak dengan tangan kanannya, tetapi tangan itu justeru kena rabah buah dadanya. Dia kaget, dia lantas mundur. Justeru itu, Cit Nio pun perdengarkan suara pelahan.

Kejadian itu membuat Gouw Ceng malu dan mendongkol, akan tetapi sedang ia memikir untuk umbar itu, A Hiong dan A Eng sendiri sudah ayun tubuh Cit Nio untuk dipaksa tekuk lutut sambil mereka membentak “Berlutut!” Habis itu, mereka terus berdiri dikedua pinggiran sikapnya seperti algojo saja.

Gouw Ceng lihat tampang muram dari Ouw Giok Seng, tak jadi ia ngambek, maka ia jadi berdiam dalam keadaan serba salah.

Hampir waktu itu, dua kali terdengar suara tertawa mengejek. Kapan Hay niauw Gouw Ceng mengawasi kepada orang yang menghina itu, ia kenali Ciok Liong Jiang dan Kang Kiat, dua anggota paling muda dari rombongan tetamu. Kembali ia jadi sangat mendongkol.

Ketika itu Ouw Giok Seng telah perdengarkan suaranya. Dia kata “Sudah beberapa tahun bekerja untuk kaum, masih kau bisa lakukan kekeliruan. Toh kau tahu aturan kita dan bagian yang mana yang kau telah langgar! Kenapa kau tidak mohon kemurahan hatinya Couwsoe dan menjalankan hukuman sendiri? Buat apa kau bikin berabeh lain orang”? Buka belenggunya, tak usah lain orang menolongi mengikatnya!”

A Hiong dan A Eng mengarti titah itu, mereka lantas membuka belenggu pada kedua tangannya Cit Nio. Perbuatan membelenggu itu memang ada suatu penghinaan untuk Hong Bwee Pang.

Semua tetamu, begitupun para hiocoe dan tocoe Hong Bwee Pang, mengawasi kearah Liok Cit Nio. Inilah orang yang mereka hendak tawan tetapi senantiasa lolos. Diantara orang Hong Bwee Pang itu, Coei Hong dan Siang chioe Kim piauw Lo Sin adalah yang dadanya hampir meledak. Coei Hong adalah yang atur surat sumpah dari Cit Nio, yang katanya hendak bertobat, tetapi Cit Nio telah rubuhkan dia dengan asap obat pulas hingga hampir jiwanya melayang. Itu ada satu hinaan, satu hal yang membuat dia malu. Tidakkah dia sudah rubuh? Surat sumpahpun telah dicuri oleh Cit Nio, melainkan hiocoe dari Hok Sioe Tong ini belum tahu bahwa surat itu telah terjatuh ketangan Hoay Yang Pay. Coei Hong bungkam mengenai kegagalannya itu, akan tetapi kemudian Boe Wie Yang ketahui juga, karena kisikannya Wie Thian Yoe, siapa pun mengetahuinya sendiri belakangan. Atas kisikan itu, Boe Wie Yang cuma kasi titah akan cari dan bekuk Cit Nio dimana saja, agar kemudian tak lagi ia bisa merugikan Hong Bwee Pang. Sekarang, diluar dugaan, Coei Hong lihat Cit Nio dihadapannya dan dalam keadaan demikian rupa.

Lo Sin sangat menyayangi Cit Nio, karena mana, ia selalu melindunginya. Ini disebabkan karena ia ingat susah payahnya dari kecil merawat dan mendidik Cit Nio. Karena pengelonan itu, ia sampai benterok pandangan dengan Lo Gie, hingga mereka, dua saudara putus perhubungannya. Segala pengaduan diterima Lo Sin sebagai fitnahan, ia menyangka orang berdengki kepadanya karena pengaruhnya yang besar. Pernah ia tanya mengenai kegiatan2 Cit Nio di Liang Seng San tapi Cit Nio bisa sekali menjawabnya. Maka ia kaget ketika akhirnya Cit Nio kabur dan itu disusul dengan berkhianatnya Lo Gie. Ia jadi malu sendiri. Ia baharu bertenang hati ketika kemudian ternyata Boe Wie Yang tidak tarik panjang urusan itu. Tapi sekarang Cit Nio kena dibekuk, kembali hatinya jadi tidak tenteram, bukan main malu nya. Ia berdiri berendeng sama Coei Hong akhirnya, berdua mereka mohon Boe Pang coe segera hukum perempuan cabul itu. Kalau Cit Nio lantas dihukum mati, harapannya orang lain tak sampai kerembet2.

“Tunggu, jangan sibuk!” mencegah Boe Wie Yang sambil menggoyang tangan.

“Bawa dia kedepan, untuk tunggu putusan,” kemudian Gouw Ceng perintah dua saudara Sim. “Mari!” kata dua saudara itu kepada Cit Nio. “Biarlah Boe Pang coe melimpahkan belas kasihannya terhadapmu!”

Cit Nio lihat suasana, mukanya menjadi pucat. Dia telah berhasil lolos dari Hok Sioe Tong, ia telah pernahkan Hauw Kiat yang dihukum dibuntungi kedua kakinya dan dikebiri didekat Lok ceng, tapi walaupun insaf ancaman bahaya, dia tidak pernah kapok, tak mau dia bertobat. Demikian di Lok ceng itu, dia telah bisa tempel satu anggota Hong Bwee Pang nama Lauw Hong Kauw, yang ia berbareng juga bisa permainkan. Dengan bersahabat sama Hong Kauw ini, ia berbareng bisa umpatkan diri juga. Tempat sembunyinya adalah diluar Tong peng pa, dari mana dengan diam2 ia coba dengar gerak gerik dalam Cap jie Lian hoan ouw terutama ia ingin ketahui hal ikhwalnya kedua kaum Hoay Yang Pay dan See Gak Pay. Ia tidak sudi mengaku salah, sebaliknya, ia benci kedua kaum itu, yang ia anggap telah menyebabkan dia tak bisa pulang kerumahnya…. Maka ingin ia membalas jahat, walaupun lerhadap satu dua orang saja ia bermusuhan. Ia selalu mencari ketika, mencari jalan diluar tahunya, dia sendiri sudah diintai oleh salah satu anggota tertua Hoay Yang Pay. Sebenar nya, andai kata ia tak terbekuk oleh orang Hoay Yang Pay, ada sulit untuknya terlolos dari ayah nya sendiri, Sam in Ciat hoe ciang Lo Gie, yangan lagi cari dia, apabila dia dapat diketemukan oleh sang ayah, segera dia akan dihajar mati, supaya ia tak memalukan lebih lama kepada ayahnya itu. Tapi ia telah bertemu dengan anggota tertua Hoay Yang Pay itu, ini melekaskan tertawannya.

Malam itu Liok Cit Nio sedang berpelesiran sama sahabatnya baharu tiba2 mendatang anggota tertua Hoay Yang Pay. Lauw Hong Kauw telah lantas dibinasakan perempuan cabul ini sudah diringkus setelah dia ditotok jalan darahnya hingga dia mati daya. Selagi dia tak sadar akan dirinya, dia dibelesakkan dalam kantong segera dia dibawa masuk kedalam Cap jie Lian hoan ouw, terus ke Ceng Giap San chung dimana orang sedang adu jiwa, selagi Coe In Am coe layani Auwyang Siang Gee yang liehay. Sengaja perempuan cabul ini ditotok dahulu, untuk sadarkan padanya, habis itu baharulah dia dilemparkan keatas para hingga dia akhirnya didapatkan oleh pihak Hong Bwee Pang. Dilain pihak, sia2 pihak Hong Bwee Pang mencari anggota tertua Hoay Yang Pay yang tak dikenal itu.

Sekarang Liok Cit Nio jadi sangat kuatir dan ibuk. Ia insyaf, saat kematiannya segera akan datang. Maka ia memikirkan akal bagaimana ia bisa mendapat kesempatan yang terakhir ini untuk kembali tolong dirinya. Karena ini, tak sempat ia menduga2 siapa orang itu yang bekuk padanya, seorang yang liehay sekali, karena ia ditotok tanpa ia keburu ketahui siapa adanya dia itu.

Selama diangkut dari para2, Cit Nio sudah sadar benar2, maka itu, ia telah lantas bisa berpikir. Setelah melihat gelagat, ia segera maju kehadapan Boe Wie Yang, untuk lantas tekuk lutut.

“Tee coe yang berdosa, Liok Lo Kim In dari Cap jie to Liang tay di Liang Seng San mohon kemurahan hati Pang coe,” berkata dia dengan suaranya berduka.

Boe Wie Yang berada diantara para tetamu, ia tak mau dipandang hina ia mesti melindungi kehorinatannya, maka itu, atas kata2 anggauta yang nakal itu, ia perdengarkan bentakan.

“Lo Kim In!” demikian suara nya, “kau ada anggauta Hong Bwee Pang dengan kemurahan nya Couwsoe, kau diangkat jadi kepala dari pusat rangsum di Liang Seng San, maka kenapa, bukannya kau mencoba membalas budi, kau justeru langgar atur an, kau berkhianat, kau mendurhaka, hingga kau menghina Couwsoe? Kenapa kau tergila2 pemuda cakap? Apakah kau insyaf sekarang akan dosamu? Sekarang ini Ceng Giap San chung lagi terima kunjungannya tetamu yang terhormat, tidak ada kesempatan untukku membuka sidang sembahyang untuk periksa dan hukum padamu, maka sekarang kau tunggu dulu.”

Mendengar pemeriksaan akan ditangguhkan, hatinya Cit Nio menjadi lega. Kepadanya timbul harapan. Maka dengan hunjuk roman sangat berduka, ia manggut2 terhadap ketuanya itu.

“Pang coe, tee coe mohon supaya Pang coe jangan sembarang dengar mulut orang luar,” berkata dia, dengan suara lemah tetapi menarik. “Tak beruntung tee coe telah terlahir sebagai seorang perempuan dan hidup dalam dunia kang ouw, hidup lebih sengsara daripada lain2 orang kang ouw. Pun tidak beruntung, setelah menikah, suamiku telah terbinasa untuk kaum kita, hingga teecoe mesti jadi janda ”

Ouw Giok Seng sebal mendengar kata2nya, ia memotong “Lo Kim In, tak usah kau goyang lidahmu lebih lama! Walaupun dari lidahmu akan keluar bunga teratai, jangan pikir untukkau bisa lolos pula dari Cap jie Lian hoan ouw! Baik kau lekas terima hukumanmu, jangan kau mencoba melambatkannya, atau aku nanti, terpaksa langgar undang2, nanti aku wakilkan Couwsoe melimpahkan kemurahan hati terhadapmu!”

Kim In memutar tubuh, alisnya mengkerut, akan tetapi wajah nya menandakan penasaran atau kemurkaan tertahan. Ia awasi hiocoe dari Kim Tiauw Tong, Gedung Garuda Emas, lalu ia manggut tiga kali. Dengan suara sedih berkatalah ia “Ouw Hiocoe, kau ada jadi hiocoe dari Lwee Sam Tong, jikalau kau hendak hukum aku yang telah mirip dengan seekor burung kecil yang sudah masuk dalam jaring, itulah tinggal satu gerakan tangan saja, umpama menindas semut! Kau hendak suruh aku mati, tak berani aku membantahnya, hanyalah kau sebagai hiocoe dari Lwee Sam Tong, pasti kau bisa bertindak dengan menuruti penetapan Thian dan pri kemanusiaan! Aku ada orang bercelaka, nasibku sengsara, apa yang aku sayangi lagi? Sejak aku masuk Hong Bwee Pang, aku telah serahkan diriku kepada Couwsoe, dari itu, apa lagi yang aku buat jerih! Tetapi aturan kita keras tetapi adil, maka itu, dijalankannya harus dengan bukti! Aku dikatakan melanggar aturan! Siapa saksinya, siapa yang menuduh nya? Aku kehendaki perpaduan saksi2! Aku bukannya anggota baru, aku lebih mengarti dari siapapun jua! Aku ingin diadili dihadapan Pang coe yang bijaksana dan budiman, secara begitu, matipun aku akan meram!”

“Hm!” bersuara Ouw Giok Seng, yang menahan hawa amarahnya.

Ia kendalikan diri, untuk bisa saksikan sikapnya Boe Wie Yang.

Iapun sungkan dikatakan sebagai orang yang keterlaluan.

Diam2 hatinya Kim In legah karena ia dapat membungkamkan hiocoe dari Kim Tiauw Tong. Asal ia tidak segera dihukum mati, ia masih mempunyai harapan. Akan tetapi, diluar dugaan nya, ia segera dengar bentakannya Kiang chioe Kim piauw Lo Sin.

“Budak hina!” demikian bentakan itu. “Kau telah cemarkan kehormatan keluarga Lo, kau telah runtuhkan nama besar Hong Bwee Pang, jangan main bantah2an lagi umpama kata aturan kita tak menghukum padamu, tetapi aku tidak nanti antap yang kau hidup lebih lama lagi daripada saat ini!”

Cit Nio perdengarkan keluhan, lantas ia angkat kepalanya mengawasi mamaknya. Nampaknya ia ada sangat berduka.

“Pehhoe, kau keliru,” berkata dia, suaranya pelahan. “Harimau tidak gegares anaknya! Pehhoe memang bukan ayahku akan tetapi denganku kau sebenarnya ada terlebih dekat daripada ayahku itu. Ayah telah melatih diri hingga dia tak ingat kepada darah daging sendiri, sejak itu adalah pehhoe serta pehbo yang rawat dan didik aku, semua kepandaianku ada pemberian pehhoe sendiri, malah diwaktu aku menikah, itupun ada atas persetujuanmu. Aku masuk Hong. Bwee Pang pun sebab anjuran dan ajakan pehhoe! Maka itu, pehhoe, selagi lain orang bermain sulap untuk menganiaya keponak anmu yang bercelaka ini, selagi aku umpama kata mempunyai seratus mulut tetapi masih tidak sanggup membela diri, kenapa pehhoe turut2 lain orang, hendak tidak menolong kepadaku? Apakah benar pehhoe tidak berkasihan kepadaku dan tidak niat membelai keputihbersihan diriku? Apa benar2 pehhoe justeru hendak membuang batu untuk menguruk sumur? Pehhoe, adalah baik untuk kau tidak campur urusanku ini! Keponakanmu langgar aturan, biar dia bertanggung jawab sendiri! Umpama pehhoe tetap tak ingat kecintaan mamak dan keponakan, baik pehhoe ingat juga, perbuatan kau sendiri pasti tak kurang hebatnya daripada perbuatanku! Apakah harus aku dan pehhoe bersama2 habis jiwanya, supaya habis juga turunan keluarga Lo? Oh, pehhoe, kau taruhlah belas kasihan kepada keponakanmu yang bercelaka ini…!”

Kata2 Cit Nio ini hampir membuat dadanya Lo Sin meledak. Berbareng itu iapun jadi ibuk sendirinya, karena kata2 itu merupakan juga tusukan golok kepada uluh hatinya. Tak berani ia umbar terus hawa amarahnya. Memang, keponakan ini tahu habis sepak terjangnya. Jikalau ia bersikap keterlaluan, bisa menjadi Cit Nio akan buka segala rahasianya, hingga berdua mereka akan habis bersama.

“Ha, budak celaka, kau hendak bikin aku mati gusar!” berteriak ia kemudian.

Cit Nio tidak layani mamak nya itu, ia sekarang berpaling pula kepada Boe Pang coe, akan berkata “Pang coe, teecoe mohon belaskasihanmu. Tolong Pang coe kasihani mendiang suamiku, yang telah berkurban jiwa untuk Hong Bwee Pang kita. Teecoe pun berterima kasih, walaupun teecoe ada seorang perempuan, Pang coe sudah serahi tugas berat di Liang Seng San kepadaku, untuk urus pusat rangsum See lou Cap jie too. Teecoe telah dipercayakan, meskipun teecoe tolol, tetapi tak nanti teecoe tidak menyayangi jiwa sendiri. Teecoe ada satu janda muda tapi teecoe berkuasa di See lou Cap jie too, tidak heran jikalau ada banyak orang yang mengiri dan berdengki kepadaku. Ketika menyingkir dari See lou hampir saja teecoe terjatuh dalam tangan musuh. Tempat kediaman teecoe, Liok kee po, telah dibakar habis, teecoe jadi sendirian saja dan tidak berdaya. Bukan nya tidak ada saudara2 kita yang menolong teecoe tetapi mereka pun tidak berdaya. Dengan tenagaku, mana teecoe sanggup layani ketuar dari Hoay Yang Pay dan See Gak Pay? Sedang diantara orang2 kita, ada mereka yang ingin bikin celaka teecoe. Umpama jiwa semut, demikian tee coe lolos dari malapetaka, hingga teecoe bisa kembali dalam Cap jie Lian hoan ouw. Mengenai sepak terjangku di See lou Cap jie to, teecoe mohon Pang coe melakukan pemeriksaan saksama. Teecoe tahu, karena ada pihak yang kuatir teecoe nanti beber segala apa, maka mereka mendahului memfitnah teecoe. Tee coe percaya Pang coe ketahui segala apa. Coba teecoe bukannya seorang perempuan, tidak nanti teecoe mengalami kecelakaan ini. Pang coe, sekarang tee coe sudah tidak berdaya lagi, dari itu teecoe mohon belas kasihan Pang coe. Karena untuk Couw soe, walaupun begini rupa nasib teecoe, tidak nanti teecoe menyesal. Sekarang teecoe ingin mati saja, tak harap tee coe kepada hidupku, asal diriku tetap putih bersih, rela aku binasa didepan Pang coe ”

Suaranya Kim In halus dan lemah selagi bicara air matanya pun meleleh turun, hingga nampaknya ia harus sangat dikasihani.

Tidak gampang2 Boe Wie Yang percaya anggota perempuan ini, akan tetapi tiba2 ia ingat suatu hal. Cit Nio sudah terjatuh dalam tangannya, mustahil sekali apabila dia bisa kabur pula. Ia hanya tidak ingin pihak lawan mendapat kepuasan. Dengan dingin, ia kata “Liok Lo Kim In, jangan kau putar lidah untuk membantah. Kau telah langgar aturan, kau harus tahu sendiri. Aku tidak memperbedakan anggota lelaki atau perempuan, semua aku pandang sama, hingga karenanya, belum pernah ada orang yang tak puas. Kau sendiri pilih alat penyiksa yang hebat, itu tandanya kau ingin mengicipinya. Tentu saja ingin aku membikin kau puas! Baik, untuk sementara, aku kasi kau hidup lebih lama sedikit dalam dunia ini. Mari, bawa dia ke Heng tong, untuk menantikan putusan!”

Mendengar putusan itu, hatinya Cit Nio lega bukan main. Segera timbul harapannya untuk hidup. Maka lekas2 ia manggut2 terhadap Liong Tauw Pang coe, akan mengucap “Terima kasih untuk kemurahan hati Pang coe! Asal ada bukti2 untuk kedosaanku, teecoe akan mati dengan meram!” Hiocoe Ouw Giok Seng dari Kim Tiauw Tong dan Hiocoe Bin Tie dari Ceng Loan Tong anggap Boe Wie Yang bersikap demikian dengan disengaja. Kedosaaannya Liok Cit Nio sudah terang sekali. Mengenai dosa itu, pihak Ceng Loan Tong sudah berikan laporannya yang lengkap. Teranglah sudah, Boe Pang coe tidak hendak beber keburukan sendiri dimuka orang luar. Hanya mereka kuatirkan akibatnya putusan ini dimatanya kedua pihak Hoay Yang Pay dan See Gak Pay.

Selagi kedua hiocoe ini tutup mulut dan Cit Nio masih manggut2, terdengarlah suara pelahan antara hadirin, yang berkata “Kemurahan hati? Kemurahan hati yang melupai ancaman malapetaka dibelakang hari! Sudah ada negara runtuh, akan ada pula partai terjatuh! Bagus benar keputusan ini!”

Boe Wie Yang dan Bin Tie dengar suara nyata sekali ke duanya segera menoleh, dari itu mereka bisa lantas lihat, yang berkata2 itu adalah Siangkoan In Tong yang mulutnya jail. Habis mengucap demikian, Siangkoan In Tong ini melengos, akan bicara dengan ketua dari See Gak Pay.

Dalam murkanya, dalam hatinya Boe Wie Yang mendamprat “Pit hoe, jangan kau mengejek orang! Ini ada Ceng Giap San chung, jikalau aku antap kau keluar secara baik2 dari sini, aku sumpah tak mau aku jadi manusia!”

Ouw Giok Seng dan Gouw Ceng tidak dengar ejekan itu, maka itu mereka hendak jalankan tugas mereka, akan tetapi pada saat mereka hendak titahkan supaya Liok Cit Nio dibawa keruangan Heng tong, mendadakan ada terdengar cegahan “Boe Pang coe, tunggu dulu!” demikian suara itu, yang keluar dari seorang yang segera berbangkit untuk berdiri. Kemudian suara itu diteruskan kepada Ouw Hiocoe “Ouw Hiocoe, harap kau tidak sembrono dengan lantas bawa pergi perempuan ini! Mari tunggu dulu, sampai kita kedua pihak sudah omong dengan jelas! Tentu saja kamu boleh urus urusanmu sendiri dari kami tidak berani lancang mencampurinya.”

Liok Cit Nio telah mendapat harapan pula, ia tidak sangka masih ada orang yang merintangi kepadanya kapan ia berpaling, akan tengok orang yang buka suara itu, ia merasa seakan2 ada orang guyur ia dengan air dingin!

“Oh, orang kate she Na yang bercelaka!” ia mendamprat dalam hatinya. “Rupanya kita berdua ada musuh turunan, dari jaman titisan yang sudah sampai sekarang ini! Sudah begini rupa keadaanku, kau toh masih mendesak terus! Celaka!”

Cit Nio kertek giginya, saking penasaran.

“Jikalau beruntung aku berhasil keluar dari Cap jie Lian hoan ouw ini, permusuhanku dengan lain orang aku suka menghabiskannya, akan tetapi tidak dengan kau, manusia cebol! Aku bukannya Lie touw hoe apabila aku tidak bikin rumah tanggamu hancur musnah dan kau sendiri mampus dengan tak ada tempat untuk menguburnya!”

Orang yang buka suara itu dengan sebenarnya ada yang termuda dari Yan tiauw Siang Hiap ialah Ay Kim Kong Na Hoo si Kim Kong Kate. Ia tidak puas menonton sikapnya Boe Wie Yang, yang terang hendak lindungi Liok Cit Nio. Ia tidak bisa antapkah kelicikannya ketua Hong Bwee Pang itu, maka ia keluarkan suaranya. Iapun terus berkata.

“Boe Pang coe, Liok Tocoe ada seorang perempuan, akan tetapi dia telah diserahkan tugas di See lou Cap jie to di Liang Seng San itu saja sudah membuktikan pentingnya tempat pemusatan rangsum itu. Pun sayang sekali baharu sekarang kami mengetahui Liok Tocoe itu sebenarnya ada turunan dari orang2 Rimba Persilatan yang kenamaan ialah puterinya Sam in Ciat hoe ciang Lo Hiocoe dari Hok Sioe Tong dan keponakan perempuan dari Siang chioe Kim piauw Lo Sin. Coba kami mengetahuinya itu siang2, diwaktu memasuki Liang Seng San, tidak nanti ke dua ketua kami turun tangan sendiri, sudah cukup jikalau mereka minta Liok Tocoe pulang sendiri ke Cap jie Lian hoan ouw, untuk ia sendiri juga yang memberi keadilan terhadap kami. Kami percaya, jikalau ada anggauta Hong Bwee Pang yang langgar aturan, dengan kebijaksanaan Pang coe, tidak nanti Pang coe melindunginya secara sengaja. Kaum kami berlainan, akan tetapi kami tahu, aturan adalah serupa. Sebagai orang luar kami tak ingin tahu menahu urusan Pang coe disini, akan tetapi sepak terjangnya. Liok Tocoe ini sungguh sangat bersangkutan dengan pihak kami. Orang2 sebagai ketua kami, begitupun Coe In Am coe dari See Gak Pay, tidak nanti hendak berlaku kejam terhadap seorang kang ouw wanita, maka itu, tolong Pang coe yang titahkan Liok To coe sendiri beber dimuka orang banyak ini tentang sebab2 sampai kami serbu Liang Seng San. Jikalau sekarang Pang coe hukum dia secara begini gampang saja, aku kuatir nanti kaum kang ouw mentertawai kami yang dikatakan tak bisa mengampuni orang”

CXXXV

Dalam perkara tentang diculiknya Soe touw Kiam, Boe Wie Yang masih belum mendapat tahu, hanya mengenai kecabulannya Liok Cit Nio, ia tahu itu berhubung dengan laporannya Bin Tie serta laporan dari beberapa Hengtong soe yang memeriksa Siang tauw niauw Kiang Kian Houw, maka itu, mendengar perkataannya Na Hoo, ia lantas menjawab.

“Menurut penglihatanku, tak masalah Na Jie Hiap mendesak pula dalam perkara ini,” katanya. “Perbuatannya anggota busuk ini adalah hal yang memalukan kami kaum Hong Bwee Pang, tidak nanti kami suka mengeloni anggota yang mendurhaka, maka itu, kami hendak lantas berikan hukuman padanya! Inipun ada jyalan untuk mencegah gagalnya urusan kita ini.”

Boe Wie Yang berkata begini karena ia telah lihat gelagat. Ia merasa, jikalau ia tidak segera membereskan perkaranya Liok Cit Nio ini, urusan bisa jadi ancaman yang memalukan untuk pihaknya. Karenanya ia niat mengeluarkan tek hoe, tanda putusan hukuman harus dijalankan.

Selagi begitu, mendadakan Eng Jiauw Ong berbangkit berdiri “Aku hendak bicara sama Boe Pang coe,” berkata ketua ini kepada Jie Hiap. Lantas saja ia berpaling kepada ketua Hong Bwee Pang itu, untuk melanjutkan. “Boe Pang coe, kita sedang urus sengketa kita sendiri, siapa tahu sekarang muncul urusan sampingan ini. Tentu saja, urusan ini juga perlu segera dibereskan. Liok Tocoe ada satu wanita tetapi dia berkedudukan disuatu pusat penting, meskipun demikian, tidak berani aku tidak menghormati dia. Untuk dia, cukup dengan gelaran umumnya Liok touw hoe atau “Jagal wanita,” dia sudah tak harusnya masih berdiam dalam Hong Bwee Pang, akan tetapi sudah demikian, dia juga lakukan perbuatan yang menentangi undang2 alam. Boe Pang coe ada bijaksana, masih Boe Pang coe tidak ketahui sepak terjangnya Liok Tocoe ini, itu menandakan kelicinan nya. Dalam dunia kang ouw, perkumpulan ber beda2 tetapi aturannya kebanyakan sama, yang terutama adalah hukuman berat bagi anggota yang menghina Couwsoe, yang tak berbakti dan tak jujur, yang sekaker dan gila paras eilok. Perkumpulan mana saja tak bisa antapi anggota2nya yang melakukan pelanggaran demikian itu, siapa yang diketahui bersalah, dia akan dihukum lebih bengis daripada hukuman negara. Dan tentang ini, sesuatu sahabat kang ouw mesti mengetahuinya. Begitulah Liok Tocoe ini dia sudah lakukan pelanggaran besar, masih dia tidak insyaf, apabila Hong Bwee Pang tidak hukum dia, aku kuatir kaum kang ouw sendiri yang tak dapat antapkan dia. Dia ini sudah culik Soe touw Kiam, satu anggota dari Hoay Yang Pay, yang dia bawa sembunyi dalam Liok Kee Po. Pang coe niscaya sudah ketahui aturan keras dari Lek Tiok Tong di Ceng Hong Po, Hoaysiang, dalam hal penerimaan murid, maka itu bisalah Pang . cce menginsyafi, berapa sukarnya untuk menyempurnakan satu murid. Dan murid kami ini hampir saja terbinasa ditangannya Liok Tocoe ini! Boe Pang coe, tidak ingin aku Ong Too Liong bicara tentang keburukan semacam ini, tetapi ini mengenai nama baik kaum kami Hoay Yang Pay, yang hampir tercacat karenanya, maka tak dapat aku menahan sabar pula, ingin aku singkirkan dia, terutama untuk keselamatannya dunia kang ouw. Aku menyesal dulu, selagi melayani Liok Tocoe, saking licinnya, dia dapat loloskan diri. Tapi sekarang, akhir2nya, dia telah diantarkan kemari dalam Cap jie Lian hoan ouw, sudah seharusnya Pang coe wakilkan Couwsoemu, akan mengurangi kejahatan nya, untuk berbareng melindungi nama baik dari Hong Bwee Pang. Sekarang, coba Pang coe tanyakan dia tentang penculikan murid kami itu, benar atau tidak bahwa itu ada kejadian! Selama tiga puluh tahun lebih aku berkelana, belum pernah aku ketemui satu tandingan perempuan, adalah ini Liok Tocoe dari Hong Bwee Pang menjadi wanita yang pertama!”

Walaupun dia ada seorang dengan banyak pengalaman, sulit juga Boe Wie Yang apabila ia dengar perkataannya ketua Hoay Yang Pay itu. Ia diangkat berbareng ditindih. Liok Cit Nio juga terperanjat akan dengar kata2nya jago Hoay Yang Pay itu, akan tetapi dasar ia cerdik, otaknya terang, ia lantas memikir daya untuk selamatkan diri. Iapun telah tahui dengan baik, ketuanya sendiri tidak niat hukum ia dengan lantas. Untuk melindungi dirinya ia berani lakukan apa juga. Demikian ia berbangkit, akan hadapi Eng Jiauw Ong, dengan kedua jarinya, ia menuding.

“Sayang usiamu yang lanjut ini, kedudukanmu sebagai ketua dari Hoay Yang Pay!” berkata dia dengan berani. “Aku ada seorang perempuan muda, satu janda, bagi mana kau berani busuki diriku begini macam ? Aku Lo Kim In, walaupun aku ada seorang perempuan, sebagi anggauta Hong Bwee Pang, ingin aku kurbankan diri untuk Couwsoe kami! Memang benar satu muridmu she Soe touw telah terjatuh dalam tanganku, akan tetapi ingatlah kau kepada keadaan itu waktu. Waktu itu, kendati orangku tidak niat turun tangan, pihak kamu tentu akan mendahulukan kami! Ong To Liong, kau menyebutkannya masih kurang satu! Sekalipun ini murid dari See Gak Pay, tak dapat dia lolos dari tangan kami! Kita ada dalam keadaan, buntu sudah seharusnya kita hunjuk kepintaran masing2! Sebagai kepala2 dari Hoay Yang Pay dan See Gak Pay, kamu pimpin murid2mu datang kemari, siapa tahu kamu telah rubuh, rubuh secara hebat! Maka itu sekarang kamu menggunakan akal rendah ini, kamu memfitnah padaku, untuk menutupi malumu itu. Kendati kita ada bermusuhan, tetapi apa pantas, sebagai ketua kaum mu, kamu perlakukan begini rupa seorang perempuan yang lemah? Jikalau nanti Lo Kim In dihukum kaumnya, sampai mati juga, tidak nanti aku lupakan kebaikanmu ini!”

Bukan kepalang mendelunya Eng Jiauw Ong atas kata memputar balik dan rendah itu, tetapi ia tidak melayaninya, ia cuma tertawa dingin. Ia menoleh kepada Boe Wie Yang dan kata “Boe Pang coe, kata2nya tocoe mu itu membuat aku merasa sangat malu. Aku telah berusia lanjut, tak sanggup aku adu bicara dengannya. Ia telah terdesak kepojok, tidak heran jikalau dia mencoba bela diri secara mati2an. Melainkan terserah kepada Pang coe sendiri, karena Pangcoe juga telah berusia lanjut dan banyak pengalaman. Tocoe itu membutuhkan bukti atau saksi, maka ingin aku tanya Pangcoe, apa mesti aku hunjukkan buktinya supaya ia puas, supaya juga lain2 tocoe menjadi tak penasaran?”

“Ong Loosoe ada jadi orang kenamaan dari Rimba Persilatan serta kedudukanmu menjadi ketua dari Hoay Yang Pay, bagaimana bisa aku tak mempercayai nya?” sahut Boe Wie Yang.

“Liok Lo Kim In sudah tidak membatasi segala perbuatannya, dia telah melanggar aturan, mana aku masih memikirnya untuk melindungi dia? Cuma karena ia sungkan mengakui kedosaan nya, sebagai Pang coe, untuk menghukum dia, mesti aku berikan dia kebebasan untuk membela diri. Loosoe berami sudah saksikan di Thian Hong Tong tadi, mengenai orang2 sebawahannya, Boe Wie Yang tak dapat mengasi hati. Liok Lo Kim In ini ada satu anggota wanita, ingin aku bikin dia terima kematian nya dengan ikhlas. Ong Loosoe, kita berada dalam Ceng Giap San chung ini untuk satu urusan penting, karenanya, tak dapat urusan kita itu digagalkan sebab perkaranya dia ini satu orang. Perkara dia ini, aku pikir, hendak aku periksa kalau nanti urusan kita sudah selesai, aku bakal mengadakan satu pemeriksaan untuk mendengar dia dan membuat Hoay Yang Pay puas. Rasanya sanggup aku memberi keadilan. Bagaimana Loosoe pikir tentang usulku ini?” Eng Jiauw Ong mengarti, bahwa biar bagaimana, Boe Wie Yang masih hendak melindungi tocoenya itu. Hal ini membuat ia sangat mendongkol. Ia pikir “Jikalau begini, tak dapat aku pikir2 pula kedudukanku sebagai ketua Hoay Yang Pay, aku mesti beber semua supaya ia mendapat tahu, tinggal terserah kepada dia, dia hendak percaya atau tidak!”

Setelah memikir begini, dengan tetap masih mendongkol, ketua Hoay Yang Pay ini lantas kata kepada ketua dari Hong Bwee Pang “Boe Pang coe, urusan kita di Ceng Giap San chung ini boleh dibereskan kapan saja, tetapi sekarang aku hendak tanyakan dulu keterangan kepada Liok Tocoe. Liok Tocoe, dua orang kami telah terjatuh dalam tanganmu, hal itu tidak membuat kami penasaran kalau toh hendak disesalkan, harus disesalkan saja halnya mereka tidak mempunyai silat yang sempurna, hingga umpama kata Liok Tocoe membinasakan mereka, itu telah kejadian karena ketololan mereka, lain orang tak dapat disesalkan atau dibuat penasaran. Tapi ingin aku tanya, setelah mereka ditawan, apa yang tocoe perbuat atas diri mereka? Kenapa Soe touw Kiam dibawa ke Liok Kee Po, dipisahkan dari murid wanita dari See Gak Pay? Kenapa cuma Soe touw Kiam sendiri yang dibawa masuk dalam kamarmu dimana kau loloh dia dengan arak dan kau pincuk dengan keilokanmu? Apakah maksudmu dengan berbuat demikian?”

Eng Jiauw Ong belum berhenti bicara, atau Liok Cit Nio sudah cegat dia.

“Aku lihat, Ong Loosoe, baiklah pada mulutmu kau tinggalkan sedikit jasa baik!” demikian katanya. “Biarlah aku omong terus terang. Kita kedua pihak sudah jadi musuh2 besar, maka tidak ada lain jalan, ingin aku bikin kau semua tak bisa keluar lagi dari walayah. Barat dari kami. Memang sengaja aku bujuk dan pancing orang2mu, memang sengaja aku hendak pengaruhi orang2mu yang masih muda ”

Belum Cit Nio tutup mulutnya, ia lantas dipotong omongannya oleh ketua dari See Gak Pay. Saking mendongkol, ketua ini bicara sambil bangkit berdiri.

“Orang celaka, benar2 kau ngaco belo!” memotong Coe In Am coe. “Apakah kau anggap orang tak dapat berbuat apa2 terhadap dirimu? Sejak pinnie mengepalai See Gak Pay, belum pernah pinnie mengasi ampun orang busuk sebangsamu! Apakah kau kira karena kau berada dalam Ceng Giap San chung, lantas pedangku Tin hay Kok po kiam tak dapat bunuh padamu? Orang celaka, rela aku korbankan nama baik See Gak Pay dalam Ceng Giap San chung ini, tidak nanti aku ijinkan kau lolos dari bawah pedangku! Dipuncak Sin Lie Hong ada kuil Ceng Sioe Am, tempat keluarga Liok untuk bersihkan diri, tetapi justeru itu kau membikin tempatmu membuat kotor! Kau telah loloh Soe touw Kiam dengan arak obat, kau hendak lakukan perbuatan melanggar undang2 Thian! Perbuatanmu itu tak hanya dilihat oleh orang Hoay Yang Pay saja tetapi juga oleh orang banyak! Kau ingin saksi dan bukti, pandai kau bicara. Saksi2 ada disini, tetapi murid2 kami ada orang2 putih bersih, tak sudi mereka dipadu denganmu bangsa binatang dan iblis. Coba bilang, apa perlunya kau culik satu anak muda dan dibawa kepuncak Sin Lie Hong? Coba kau bilang?”

Mukanya Cit Nio menjadi merah pucat, sepasang alisnya berdiri.

Ia merasa sangat gusar dan malu. Ia awasi pendeta wanita dari Pek Tiok Am itu dengan mata bersinar.

“Pendeta tua Coe In, kau dengar!” ia berseru. “Aku Lo Kim In ada satu manusia, apa lacur dalam usia sangat muda aku telah menjadi satu Juanda. Aku insaf kepada dosaku, maka juga dipuncak Sin Lie Hong, aku bangunkan kuil Ceng Sioe Am itu, untuk aku tenangkan diri. Apakah dalam dunia ini cuma pendeta saja yang boleh sucikan diri? Apakah aku tak dapat menginsyafi penyesalanku? Pendeta tua Coe In, apa yang kau sebutkan, semuanya aku tak mengerti!

Sekarang dalam Ceng Giap San chung ini aku rubuh, aku terima nasib, tapi mengenai pedangmu Tin hay Hok poo kiam, untuk digunakannya, sudah terlambat! Selama dalam Liok Ke Po, kau bisa lakukan segala apa, tetapi tidak disini, dalam Cap jie Lian hoan ouw! Disini, dalam Ceng Giap San chung, kamu semua diperlakukan sebagai tetamu2 terhormat. Cuma kamu berdua saja, dengan berkongkol sama pemuda dan pemudi itu, tak dapat kamu ilas2 aku! Apa benar kau berani bunuh orang Hong Bwee Pang dalam Ceng Giap San chung ini? Oh, kau pandang hina sekali kepada orang2 Hong Bwee Pang! Tak takut aku mati, tak nanti aku ijinkan kau banyak tingkah!”

Cit Nio bicara dengan keras dan cepat, suaranya nyaring. Setelah itu, ia menghadapi Boe Wie Yang, untuk manggut berulang2, kan mengatakan “Pang coe, Lo Kim In telah dihina begini rupa, tak ada muka dia untuk hidup lebih lama dalam dunia ini karena cuma2, untuk mendatangkan malu saja! Pang coe, sekarang teecoe ikhlas menerima kemurahan hatimu, silahkan Pangcoe hukum padaku, dengan cara ini saja, aku akan terima. Akan tetapi dengan aku berada didampingmu, apabila ada orang berani langgar satu saja jariku, biar nya mesti binasa seratus kali, aku akan lawan dia! Teecoe mohon kemurahan Pang coe, supaya aku segera dihukum, agar aku tak sampai terjatuh ditangan lain orang, sebab itu akan memalukan Hong Bwee Pang!” Sangat licin janda muda ini, hebat kata2nya itu! Dengan itu ia hendak adu Boe Wie Yang dengan kedua ketua Hoay Yang Pay dan See Gak Pay. Dia telah kipasi api marong dan tambah minyaknya!

Dua2 Eng Jiauw Ong dan Coe In Am coe jadi panas sekali hatinya. Toh pendeta wanita dari Pek Tiok Am itu telah sempurna imannya. Mereka jadi bertambah mendongkol karena sikap sangsi atau ayal2an dari Boe Wie Yang, yang terang masih berniat melindungi anggautanya itu yang jahat dan busuk. Ketua Hong Bwee Pang ini sanggup cegah kekurangan ajarannya Cit Nio, tetapi ia seperti sengaja mengantapi.

Coe In Am coe seperti lupa akan dirinya, ia menoleh kepada Sioe Hoei, muridnya yang keenam, ia menggapekan, maka murid itu, yang memegang Tin hay Hok poo kiam, sudah lantas datang menghampirkan bersama pedangnya itu, untuk diserahkan.

Sambil cekal gagang pedang, Coe In Am coe berpaling pada Liok Cit Nio.

“Janda jahat, kau lihat, pendeta wanita dari See Gak bisa atau tidak membunuhmu!” ia berseru. “Biarlah pedangku ini bernoda, tapi akan aku singkirkan satu bencana untuk dunia karig ouw! Siapa barani rintangi aku, dengannya aku ikhlas akan mati atau hidup bersama!”

Menyusul kata2nya itu, Coe In hunus pedangnya hingga terdengarlah suara nyereset dan sinar pedang berkilauan!

Dipihak Hong Bwee Pang, Boe Wie Yang perdengarkan seruan tertahan karena murkanya, sedang enam atau tujuh hiocoe sudah lantas berbangkit dengan senjatanya masing2 disiapkan. Ouw Giok Seng pun telah siap, begitu lekas Coe In Am coe berloncat, dia hendak mendahulukan menyerang Liok Cit Nio, akan binasakan janda busuk itu dengan tangannya yang liehay, supaya tertutuplah mulutnya tocoe rendah itu, agar dia itu juga tak terbinasa diujung pedang tetamu.

Dalam saat yang genting itu se konyong2 seorang loncat ke depan Coe In Am coe, untuk menghalangi pendeta ini. Dia ini dengan suara mengejek, sudah lantas berkata “Am coe ada satu pendeta suci, mengapa Am coe tak dapat bersabar dalam urusan sebagai ini? Pedangmu ada pedang suci pelindung kuil mu, tak kuatirkah pedangmu itu nanti menjadi kotor bernoda? Dia ini tak akan lolos dari tangan kita! Untuk bereskan makhluk buruk ini, itulah pekerjaan biasa dari aku si Na Loo Toa! Am coe, tolong simpan dahulu pedangmu, jangan kesusu, lambat laun, kau toh bisa menggunakannya juga bukan?”

Menampak orang yang mence gah adalah Twie in chioe Na Pek Coe In Am coe duga si Tangan Kilat ini mesti mempunyai daya untuk menghadapi Boe Wie Yang, karena memikir demikian, ia coba kendalikan diri. Ia masih sangat mendongkol akan tetapi ia toh balik kekursinya, akan duduk dengan pelahan2, pedangnya diletakkan diatas meja kecil disampingnya. Ia lantas memasang kuping.

Na Pek sendiri, setelah menghalang niekouw itu, sudah lantas menoleh kearah Boe Wie Yang. Akan tetapi, belum sampai dia buka mulutnya, Wa po eng Siangkoan In Tong, yang berada disampingnya, sudah dului ia mengoce sendirinya “Ha, kamu berdua saudara benar benar ada orang2 tak ada keduanya, pandai sekali kau muncul disaat2 sangat tegang! Apakah kau tidak pentang matamu dan melihatnya bagaimana orang telah pada bangkit berdiri untuk bantu meramaikan tindakannya Am coe? Ah, kau betul2 paling doyan campur perkara tetek bengek!” Na Pek menoleh, dia mendelik kepada Siangkoan In Tong.

Dipihak lain, matanya Boe Wie Yang pun mendelik, karena sangat mendelu ia mendengar katanya orang she Siangkoan itu. Tapi ia percaya, jago Na chung pasti akan ucapkan apa, dengan menahan sabar, ia kata pada kawan2nya, yang sudah siapkan diri “Sebelum ada titah, jangan lancang bergerak. Saudara2, harap kamu taati undang2, jangan kamu mencari malu sendiri!”

Na Pek tidak menunggu waktu lagi, untuk bicara.

“Boe Pang coe,” berkata dia, “orangmu sudah langgar aturan, dia tak diakui lagi oleh kaum kang ouw, maka kalau manusia busuk semacam dia masih dikasi hidup, satu hari dia hidup, itu artinya satu hari dia menyusun kedosaannya! Boe Pang coe, kau ada. seorang kang ouw ulung, mustahil karena hendak melindungi seorang anggauta busuk, kau melupakan nama suci dari liong Bwee Pang? Apa benar kau berani tak pandang kemurkaan umum melulu sebab hendak melindungi satu muka yang telah ternoda? Boe Pang coe, kita telah berkelana dalam dunia kang ouw, diantara kita, siapa akan merasa puas umpama kata didepan kita bisa lolos satu manusia licin dan busuk, satu iblis yang dibenci manusia dan malaikat? Coe In Am coe ini, sejak dia memimpin See Gak Pay, senantiasa dia bertindak menuruti aturan Couwsoenya, dia berkelana untuk mengumpul jasa, dia benci kejahatan bagaikan benci musuh, cuma sebab kesabaran dan keterlitiannya, dia tidak mau bertindak sembrono. Sekarang ini Liok Kim In terang telah bersalah, kenapa bukannya kau periksa dan hukum dia, kau justeru hendak melindunginya? Apa dengan ini kau mesti bisa harap perindahan khalayak ramai? Siapa mendirikan kaum, dia mesti bisa memandang luas. Boe Pang coe, apa benar kau mesti inginkan bukti? Jikalau itu kehendakmu, inilah gampang! Tapi ingat, ini justeru dikuatirkan nanti membikin Liok Tocoe itu membuat celaka habis2an kehormatan kaummu! Menurut aku, itulah keinginan yang sangat tidak ada harganya!”

Kali ini Na Pek bicara beda dengan caranya yang biasa, tidak mengejek, tidak menghina, tetapi sifat kata2nya keras, itu pun merupakan suatu pukulan hebat untuk Boe Wie Yang. Habis mengucap demikan, jago dari Na chung itu gendong tangannya dengan tenang ia awasi ketua Hong Bwee Pang, untuk menanti jawaban.

Boe Wie Yang insaf, keadaan nya itu mirip dengan keadaan seperti ia sudah terjatuh dalam tangan lawan. Akan tetapi dia biasa berkepala besar, tak sudi dia menyatakan menyesal, tak perduli Ceng Giap San chung ambruk karenanya.

“Na Toa Hiap, aku mengarti kata2mu ini,” demikian ia berikan jawabannya. “Kau bermaksud baik untuk Hong Bwee Pang, untuk itu, aku bersukur. Akan tetapi Coe In Am coe, dalam murkanya, sudah menghunus pedang, dia hendak bunuh muridku! Sejak dibangunkannya Hong Bwee Pang, kejadian ini ada kejadian yang belum pernah aku alami! Umpama itu mesti dilakukan juga depan Boe Wie Yang, maka berdosalah aku terhadap Couwsoe kami, sebab teranglah sudah, tidak mampu aku menjadi pemimpin umum, tak berhak aku akan sebut diri jadi pemimpin! Malu aku akan jadi ketua lebih lama lagi! Coe In Am coe menghunus pedang, orang2ku lantas bersiap. Perbuatan mereka ini, yang tanpa titah, ada satu kelancangan, dengan itu mereka seperti tak pandang lagi padaku! Maka manakah pengaruhku sebagai Liong Tauw Pang coe? Manakah adanya peraturan yang dimuliakan? Apa aku mesti antap saja kedua pihak lakukan pertempuran yang memutuskan, hingga Ceng Giap San chung ini, darah mesti mengalir. Ataukah biarkan saja Hong Bwee Pang hancur buyar sendirinya, supaya tak sampai kejadian musnah tanpa krana karena tindasan? Maka sekarang aku tidak punya lain pilihan lagi apabila persilatan persahabatan ini hendak dilanjutkan, biar aku diberi kemerdekaan untuk serahkan Liok Lo Kim In ini kepada Heng tong, untuk ditahan sementara waktu, kemudian dengan menuruti aturan kami, aku nanti periksa dan hukum dia. Biarlah aku diberi kesempatan untuk membuktikan, bisa atau tidak aku bersihkan kalanganku sendiri dari kutu busuk, untuk membuktikan kedosaannya mereka itu. Tapi jikalau aku dipaksa mesti sekarang juga hukum mati Kim In dalam Ceng Giap San chung ini, dimuka orang ramai, menyesal aku Boe Wie Yang tak berani menerimanya. Umpama tetap di antap orang hendak turun tangan sendiri terhadap Liok Lo Cit Nio, baiklah pertemuaan persilatan ini dibikin habis sampai disini, segala apa kita boleh bicarakan pula pada lain hari. Na Toa Hiap, dengan sikapku ini bukannya aku siasiakan maksud baik dari sahabat kekal. Sampai sebegitu jauh, belum pernah ada orang tak puas dengan segala keputusanku, demikianpun dalam hal ini, aku nanti berlaku adil. Liok Lo Kim In bicara hal fitnah untuk dirinya, aku mesti periksa itu, untuk beri keadilan terhadapnya. Na Toa Hiap, silahkan kau duduk dulu”.

Na Pek tertawa dingin.

“Boe Pang coe, dengan begini kau telah bicara jelas sekali”, kata dia. “Dengan begini maka teranglah sudah, tak dapat kau ijinkan lain orang turun tangan atas dirinya anggauta Hong Bwee Pang. Pang coe mempunyai kekuasaan sendiri, itu benar, akan tetapi sekali ini, aku hendak minta kau mengadakan kecualian. Sama sekali bukannya aku hendak memandang rendah, tetapi Liok Lo Kim In ini, dia benar2 cerdik luar biasa, tidak ada satu antara murid2 kami yang sanggup jadi tandingan nya. Lihat saja, berulang kali dia telah lolos dari tangan kami. Tapi akhirnya, ia sekarang toh berada disini! Satu rekan Rimba Persilatan, yang utamakan keadilan, telah antarkan dia dalam Ceng Giap San chung dari Cap jie Lian hoan ouw ini! Kami ingin bekuk dia, kami tidak berhasil sekarang kami lihat dia, bagaimana kami bisa puas andaikata dia mesti diantap menyingkir lagi? Pang coe tahu sendiri, pertemuan kita ini, dalam tempo tiga hari, mesti mempunyai keputusan, mengenai ini, kami ingin Pang coe memberikan bukti. Biar bagaimana, hari ini kami mesti undurkan diri dari Cap jie Lian hoan ouw, disamping itu, tak ingin juga kami membiarkan Liok Cit Nio nanti lolos dari tangan Pang coe! Bicara terus terang, aku Na Loo Toa bersangsi, maka kami hendak minta Pangcoe memberi putusan!”

Perkataan Na Toa Hiap ini membikin Boe Wie Yang gusar tak terkira, hingga lantas saja dia berikan jawabannya.

“Na Toa Hiap”, katanya, “kata katamu ini tak dapat aku Boe Wie Yang terima. Kau sekarang berada dalam Cap jie Lian hoan ouw sebagai tetamu, tak dapat kau terlalu mencampur tahu urusan dalam dari Hong Bwee Pang, apabila kau memaksanya, itu adalah perbuatan keterlaluan, tidak pantas! Sekarang biarlah aku omong secara ringkas. Aku telah mengepalai seratus to lebih mereka dapat mentaati titah, itulah karena kemurahan hati Couwsoe kami selama itu, siapa melanggar aturan, belum pernah ada yang lolos dari tanganku. Tidak biasanya kami bikin orang tunduk karena kekerasan, senantiasa kami bikin orang menurut karena keinsafan, hingga orang menyerah dan ikhlas dihukum. Sekarang ini bukan waktunya untuk aku membikin pemeriksaan dan Ceng Giap San chug ini juga bukan tempatnya pemeriksaan itu. Toa Hiap tidak percaya aku lusa tahan Liok Lo Kim In, baik, aku tak hendak membantah, tapi sekarang ingin aku tanya, siapa adanya loosoe itu dari pihakmu lang telah antarkan Liok Lo Kim In dalam Ceng Giap San chung ini? Aku minta, biarlah dia sendiri yang bawa pergi kembali! Asal dia sanggup membawa keluar dari Cap jie Lian hoan ouw, akan aku serahkan kepada nya untuk menghukum sesuka dia! Umpama aku Boe Wie Yang mempunyai kemampuan, aku nanti coba rampas dia pulang, jikalau tidak, sejak saat itu aku nanti bubarkan Hong Bwee Pang, aku nanti mundur dari dunia kang ouw! Sejak itu, aku akan bikin sahabat2 kang ouw tidak akan lihat pula namaku, tiga huruf Boe Wie Yang! Atau satu jalan lain lagi adalah, pihakmu mesti kasi bukti2 dari kedosaannya itu, supaya aku bisa lenyapkan kemurkaan umum dalam kalanganku, dengan begitu, nanti dengan darahnya sendiri aku cuci kejahatannya! Lain dari ini, tidak ada jalan lainnya lagi, aku Boe Wie Yang tak dapat menerimanya!”

Penjelasannya Boe Wie Yang ini kembali menciptakan suasana tegang antara dua pihak.

Na Pek, dalam hatinya, mendamprat “Oh kunyuk tua yang tidak kenal salatan! Ingin aku beri kesempatan kepadamu untuk turun dari panggung secara baik siapa tahu, tak sudi kau terima kebaikannya Na Loo Toa! Apa kau sangka pihakku tak berani main2 dengan kamu, kawanan kunyuk, untuk menciptakan keramaian? Baiklah!”

Tapi belum sampai Na Loo Toa keluarkan sambutannya ka ta2nya itu, dengan tiba2 dari belakangnya terdengar suara tertawa berkakakan yang nyaring sekali, yang terdengamya sangat menusuk hati, kapan suara tertawa itu berhenti, segera terdengar gantinya, kata2 nyaring ini “Boe Pang coe, apa yang kau inginkan, akan terkabul! Sekarang ini sudah siap orangnya yang akan  beri bukti kepadamu! Tentang kejahatannya Liok Cit Nio, disana sipenjual obat, telah mempunyai bukti2nya, hingga Boe Pang coe akan merasa takluk! Lihat, Boe Pang coe, siapa itu yang sedang membelok dari para2 bunga?”

Itulah Ay Kim Kong Na Hoo yang memperdengarkan tertawa serta kata2nya yang bersifat ejekan, Habis mana, dia menunjuk kearah para2.

Boe Wie Yang tidak bilang sesuatu apa, akan tetapi ia lantas berpaling maka itu ia segera dapat lihat, siapa yang ditunjuk itu, yang sedang mendatangi ialah Siok beng Sin Ie Ban Lioe Tong dari Kwie In Po.

Beda dari biasanya, kali ini Ban Lioe Tong bertindak dengan ter gesa2. Tentu saja, jago dari Kwie In Po ini tidak tahu apa yang telah terjadi dimedan pertempuran itu, sampai selagi mendatangi, ia tampak Liok Cit Nio sedang berlutut dengan Sim A Hiong dan Sim A Eng mendampingi dia, sedang Pat pou Leng po Ouw Giok Seng berdiri dibelakangnya perempuan cabul itu romannya ketua dari Kim Tiauw Tong itu menunjukkan kemarahan. Ia pun segera lihat bahwa suasana ada tegang. Boe Wie Yang bersama2 Auwyang Siang Gee dan Bin Tie sedang berdiri disebelah selatan mereka ini, si pendeta dari Siauw Lim Sie serta sahabat2nyapun seperti sedang siap sedia. Sedang dipihak Hoay Yang Pay dan See Gak Pay, Twie in chioe Na Pek, yang berdiri depan Coe In Am coe, sedang mengatakan sesuatu dia bicara dengan diberikuti gerak tangan.

Pertempuran telah berhenti tapi suasana tak berubah.

Selagi ketua dari Kwie In Po mendekati, Ouw Giok Seng menyambut sambil memberi hormat.

“Ban Loosoe, apakah keadaan nya yang terluka tak hebat?” tanyanya. “Terima kasih, Ouw Loosoe, ia tak berada dalam bahaya,” sahut Ban Lioe Tong yang balas hormat itu.

Walaupun ia bicara dengan Ouw Giok Seng, Lioe Tong tidak berhenti lama, ia jalan terus, ketika ia memandang Liok Cit Nio, matanya bersinar tajam. Ia bertindak kearah paseban.

Na Pek sudah lantas sambut saudara seperguruan itu. “Ban Soetee, dalam urusan kita ini, kaulah yang mesti

memberi putusan!” kata Twie in chioe si Tangan Kilat dengan ringkas.

“Tunggu dulu, saudaraku!” Eng Jiauw Ong cegat Na Pek, seraya ia terus tegur adik seperguruannya itu “Ban Soetee!”

Boe Pang coe, Bin Tie dan Auwyang Siang Gee lihat kedatangannya Siok beng Sin Ie, mereka bisa duga, bahwa urusan akan berubah, akan tetapi sebagai tuan rumah, tak ingin mereka dikatakan tidak tahu aturan, maka itu, mereka juga menyambut.

“Banyak cape, Ban Loosoe,” kata mereka. “Apakah tak ada halangan untuk yang terluka?”

“Terima kasih!” sahut Ban Lioe Tong kepada pemimpin2 Hong Bwee Pang itu, sesudah mana, ia lekas2 menghadapi soehengnya, yang tegurannya ia belum jawab.

“Ada apa, soeheng?” tanya ia.

“Mari soetee, ada sedikit urusan, aku hendak bicara denganmu,” jawab soeheng itu.

Sekarang Eng Jiauw Ong ingat pada surat perjanjiannya perempuan cabul yang dibuat dalam Hok Sioe Tong. Itulah surat keputusan untuk nasibnya Liok Cit Nio. Na Pek tidak tahu pasti tentang surat penting itu, ia cuma dengar dari Na Hoo, adiknya iapun sangsi apakah itu bisa di pakai menindih Liok Cit Nio yang licin. Sebenarnya ingin ia menegaskan Lioe Tong tapi Siok Beng Sin Ie hendak memenuhi panggilan soehengnya, dia lantas menuju kepada soeheng itu yang berada bersama Coe In Am coe. Melihat ketua dari Kwie In Po tidak melayani ia, Twie in chioe ingin goda pula Boe Wie Yang, tapi Siangkoan In Tong bisa menduga, ia segera kata pada Na Pek “Na Loo Toa, hayo, jangan kau merampok justru sedang terbit kebakaran! Kamu berdua saudara janganlah terlalu layani satu perempuan busuk! Apakah kau tidak nanti menyesal? Lihat, si penyambung jiwa dengan jarum emasnya malah datang, maka kau hendak tunggu apa, bukannya kau lantas duduk? Kau lihat sebentar bagaimana orang ini, asal dia menusuk dengan jarumnya, darah bakal mengucur keluar! Kepandaiannya pasti jauh lebih menang daripada kamu berdua, maka tak usahlah kau sibuk tidak keruan ”

Na Toa Hiap tertawa gelak2, ia manggut2 kepada Siangkoan In Tong. Tapi, dengan suara mengandung ejekan, dia jawab “Baik, mari kita kurangi omongan, sebentar baharu bicara pula!” Dengan ini sebenarnya dia hendak bilang “Kau jangan main gila kepada Yan tiauw Siang Hiap, tak mau aku mengarti!”

Lantas ia ambil kursinya.

Siangkoan In Tong tak mengawasi lagi kepada Twie in chioe, terhadap jawabannya, ia menutup kupingnya. Hanya, menghadapi Boe Wie Yang, ia bilang “Boe Pang coe, kita kedua pihak sebenarnya sedang melakukan pertemuan persilatan persahabatan, untuk selesaikan sengketa antara Hong Bwee Pang dengan Hoay Yang Pay dan See Gak Pay, maka siapa tahu sekarang telah terbit suatu cabang baru yang justeru mesti dibereskan terlebih dahulu, malah ini telah menambah ketegangan! Boe Pang coe, sebenarnya tak tahu aku, apa yang dikandung kamu kedua pihak. Apakah tidak baik kita bicara dengan pentang jendela? Coba kau hadiahkan kematian kepada satu orang sebawahanmu itu, apa urusan tidak akan lantas beres? Tapi kau justeru mendesak agar Hoay Yang Pay dan See Gak Pay memperlihatkan bukti2, maka menurut pendapatku, kau sebenarnya rada mempersulit orang! Memang, mempergoki perjinahan mesti dengan menangkap basah dua2nya, menawan pencuri mesti berikut barang buktinya, akan tetapi andaikata saksi2 dan bukti telah dihadapkan depanmu beramai, bagaimana nanti jadinya, Boe Pang coe? Bukankah kamu jadi tidak mempunyai tempat untuk menaruh diri? Baik Pangcoe ketahui, aku datang kemari dengan tujuan menghapus dendaman. Aku harap Pang coe jangan terlalu andali perkataan orangku itu. Kedatangan Ban Lioe Tong dari Kwie In Po juga belum berarti apa2, dia toh cuma satu tabib tukang mengobati orang sakit. Menurut aku, Pang coe, jangan kau terlalu bersikap keras, baiklah urusan diselesaikan secara damai. Tidakkah ini bagus?”

Katanya Wa Po Eng si Pembalasan Hidup ini tidak diperhatikan Lioe Tong, sedang Boe Wie Yang juga tidak sempat menjawabnya. Siok beng Sin Ie telah menghadapi ketuanya kepada siapa ia terus kata “Soeheng, orang2 kita yang terluka tidak dalam bahaya, yang hebat adalah suasana dalam Cap jie Lian hoan ouw ini. Perlu lekas kita mencari penyelesaian. Pasukan Perahu Garuda kita telah masuk jauh dalam perut musuh, dalam perahupun ada orang2 yang terluka, selagi melukis naga dan harimau tak dapat digubah tulang2nya, siapa tahu hati orang2 Hong Bwee Pang? Maka tak dapat tidak, harus kita ber jaga2.” “Bagaimana bisa kau berpendapat begini, soetee?” sang soeheng tanya. “Apa mungkin Boe Wie Yang berani main gila terhadap kita?”

“Memang, sekarang ada sulit untuk menentukannya,” sahut soetee itu. “Sekarang ini, apa juga masih belum terlihat. Akan tetapi perahu2 lawan dalam pelabuhannya sudah bergerak hampir semuanya, dari pihak luar, saban ada datang perahu2 laju cepat berbendera merah, selama aku urus mereka yang terluka, sudah empat kali aku melihatnya. Semua pembawa berita itu agaknya ingin mendarat sendiri, rupanya warta ada sangat penting, tetapi mereka senantiasa dicegat oleh barisan perahu Jie cap pat sioe. Adalah burung2 dara pembawa berita, yang tak dapat dicegah, semua terbang terus dalam Ceng Giap San chung, beberapa antaranya dapat masuk, tapi kebanyakan turun dipelabuhan. Turut penglihatanku, sembarang waktu bisa terjadi sesuatu apa.”

Eng Jiauw Ong kerutkan alis, ia meng geleng2 kepala. “Kalau demikian adanya, tak perduli apa yang mereka

atur, kita melainkan harus bersiap untuk melayaninya,”

kata ketua ini.

“Apabila benar2 pihak Boe Wie Yang tidak hargai lagi kehormatan kaum kang ouw. Ban Soetee. marilah kita ludas bersama!”

Lioe Tong manggut. Lalu ia menoleh kepada Siangkoan In Tong siapa ternyata sedang “berkutatan” bicara dengan ketua Hong Bwee Pang, yang rupanya tak dapat tidak melayani si mulut iseng itu.

“Diam2 barisan perahu kita seperti sudah terkurung barisan perahu musuh,” berkata pula soetee ini, dengan pelahan. “Nampaknya terang sekali mereka bermaksud tidak baik. Karena gelagat ini, aku telah atur anak2 buah perahu supaya terutama mereka siapkan anak panah. Aku telah pesan, tanpa titah kita, jangan mereka layani musuh depan berdepan. Aku percaya, dalam saat yang pendek, tidak nanti musuh dapat gempur pasukan Perahu Garuda itu.”

Eng Jiauw Ong bersikap tenang, akan tetapi, dalam hatinya, ia ibuk juga. Cuacapun masih tetap buruk, guntur masih kadang kadang mendengung.

“Benar benar, sekarang tak dapat kita berbuat lain”, bilang nya.

“Tanda menghunjuk bukti, tak bisa kita bikin tunduk kepada Boe Wie Yang. Asal saja Coe In Am coe tak dapat mengatasi dirinya, pertempuran hebat tak dapat dicegah pula. Lihat disana, Am coe sudah hunus pedangnya. Apakah soetee bawa bukti itu?”

Ban Lioe Tong tidak jawab soeheng itu, hanya dengan tertawa dingin dia bilang “Boe Wie Yang cari susahnya sendiri!” Ia lantas mengawasi kearah Liok Cit Nio, siperempuan cabul, atas mana, ia geraki alisnya.

“Aku tahu bagaimana harus bertindak, baik soeheng jangan pikirkan aku pula!” kata ia kemudian. Lantas saja ia bertindak ketengah kalangan, akan menghadapi Boe Wie Yang dan untuk memberi hormat.

“Boe Pang coe”, berkata dia, “Ban Lioe Tong hendak mohon satu apa dari kau, harap sudilah kau mengabulkannya”.

Melihat sikapnya luar biasa, tak dapat Boe Wie Yang tidak berlaku sungkan. Maka iapun lantas balas hormat.

“Harap jangan seejie, Ban Loosoe”, katanya, “apabila ada apa apa, kau ajarilah kepadaku”. “Pang coe ketahui, ada orang orang pihak kami yang terluka”, berkata Lioe Tong, “karena mereka itu membutuhkan orang yang meniliknya aku minta supaya In Tong Soehoe dari See Gak Pay kembali keperahunya, maka itu, aku mohon sukalah Pang coe berikan perkenan untuk In Tong Soehoe undurkan diri dari sini. Apakah Pang coe dapat mengabulkan permohonan ku ini?”

“Ban Po coe terlalu seejie”, sahut Boe Wie Yang. “Mana aku Boe Wie Yang berani mempersulit kepada soehoe semua? Melulu untuk mencegah penjaga penjaga pusatku lakukan apa apa yang tidak seharusnya, yang mana bisa menyusahkan, maka aku saban saban kirim orang untuk mengantarkan. Sama sekali aku tidak kandung maksud lainnya”.

Lioe Tong segera menoleh kepada Kan In Tong dan menggape.

Nelayan dari Soe Soei itu telah dengar pembicaraan mereka, ia memang ingin sekali kembali keperahunya ia lantas saja bertindak menghampirkannya. Ia bertanggung jawab terhadap To Cie Tay soe ia mesti melindungi kehormatannya barisan Perahu Garuda jikalau ada kegagalan sesuatu apapasti ia malu akan bertemu sama tetua See Gak Pay itu.

Ban Lioe Tong tidak omong banyak pada jago dari Soe Soei ini.

“Aku minta Kan Loosoe suka kembali keperahu, untuk tilik segala apa disana”, demikian pesannya. “Disini ada aku, maka Loosoe tak usah kembali kemari”.

In Tong telah mengerti segala apa. “Baik, Ban Loosoe,” jawab ia. Boe Wie Yang sendiri, tanpa ayal pula, sudah lantas serahkan sepotong tek hoe kepada cit tong soe untuk mengantar tetamunya itu. Maka sebentar saja, berdua mereka ini sudah keluar dari Ceng Giap San chung.

“Terima kasih, Boe Pang coe,” kata Lioe Tong setelah lihat berlalunya kawannya itu. “Ban Lioe Tong masih mempunyai satu dua patah kata untuk diucapkan aku minta sukalah Pangcoe memikirkannya. Kita ada orang2 kang ouw, maka itu semua perbuatan kita hurus menurut kebiasaan dan persahabatan kaum kang ouw juga, Boe Pang coe, sepak terjangnya Lie touwhoe Liok Lo Kim In dari Liang Seng San tidak melainkan melangar undang2 Hong Bwee Pang saja! Diapun sangat cabul, dia telah umbar napsunya itu, hingga dia membangkitkan amarahnya kaum kang ouw. Pastilah menentangkan liang sim sendiri apabila Pangcoe tidak pernah dengar tentang perbuatannya tocoe wanita itu. Pangcoe menjadi pemimpin besar, Pang coepun memegang seluruh kekuasaan, tak mungkin bahwa Pang coe tidak mengamat2i perbuatannya segala to coe. Dengan sebenarnya, tak dapat diantap Liok Lo Kim In melanjutkan kebusukannya itu. Mengadakan pembersihan dalam kaum sendiri ada suatu perbuatan mulia tidak saja itu tak merusak kehormatan, malah itu bisa mendatangkan ketaatan seluruh anggauta. Sekarang ini Pang coe memaksakan dikeluarkan bukti2 untuk menutup mulut orang Hong Bwee Pang karenanya Pang coe tidak niat hukum dia dengan segera. Apa mungkin Pang coe masih meragukan bahwa Cit Nio masih mengandung sesuatu penasaran? Boe Pang coe, apabila tetap kau menghendaki pihak kami menghunjuk bukti, turut penglihatanku, kehendak itu kurang sempurna. Kita kaum Rimba Persilatan sangat benci kejahatan bagaikan kita benci musuh, maka itu, orang semacam perempuan cabul ini, bagaimana dia masih bisa dikasi tinggal hidup? Kenapa Pang coe tidak lantas penuhkan pengharapan orang banyak dengan lantas hukum dia? Sungguh tidak leluasa untuk Pangcoe apabila tetap bukti mesti diperlihatkan. Boe Pangcoe ada seorang yang insaf mestinya Pang coe mengarti, siapa sudi sudah saja apabila kedua pihak sudah sampai di tempat buntu?”

“Ban Po coe, cara katamu ini benar2 Boe Wie Yang tak dapat terima,” berkata ketua Hong Pang itu dengan tampang guram.

“Biasanya aku bertindak sendiri dengan merdeka aku paling jerih kalau orang mempengaruhi aku. Apabila ada orangku yang melanggar aturan, hingga ia mengganggu juga sesama kaum kang ouw, pasti aku akan hukum dia secara adil, tidak nanti aku melindunginya, karena itu pasti akan memalukan Hong Bwee Pang dan bakal mengundang ejekan. Umpama perkaranya Liok Lo Kim In ini. Jikalau dia melanggar aturan, hingga dia undang permusuhannya kaum kang ouw, bagaimana nanti aku bisa membikin cemar nama Hong Bwee Pang dan berbuat salah terhadap kaum kang ouw karena menyayangi seseorang? Liok Kim In sendiri telah membantah, dia minta Hoay Yang Pay memberi bukti!”

“Terang dia tidak puas mesti mati melulu disebabkan fitnah sedang dia adalah satu jandi Ban Po coe, dia ada sangat licin, aku juga tidak hendak mempercayainya, akan tetapi ingin aku membikin takluk semua anggauta Hong Bwee Pang, terutama supaya dia ini mati puas. Aku menyesal ketua See Gak Pay menyangka aku hendak melinjungi satu orangku ini. Aku anggap itu adalah satu penghinaan besar terhadap aku! Percaya, Ban Loosoe, apabila hari ini aku tidak sanggup nebjalankan undang undang Hong Bwee Pang, bagaimana aku ada muka untuk menjadi ketua lebih jauh?” Han Lioe Tong mengarti, tetap Boe Wie Yang tak suka orang hinakan anggauta Hong Bwee Pang, karena ini, ia jadi putus asa. Ia tertawa dingin.

“Boe Pang coe, kau jadinya tetap inginkan bukti untuk kejahatannya tocoemu ini yang ada seorang perempuan busuk? Itulah tak sukar!” kata dia. Lantas dia rogo sakunya, untuk keluarkan sepotong kertas lalu kertas itu ia pentang antara kedua jari tangannya. Habis itu, ia segera menoleh kepada Siang ciang Hoan thian Coei Hong, hiocoe dari Hok Sioe Tong, untuk melanjutkan kata katanya “Coei Hiocoe, mengapa kau tutup mulut tidak hendak bicara, untuk segala perbuatan jahat dari Liok Lo Kim In selama dalam gedung bahagia Hok Sioe Tong? Mustahil kau, sebagai hiocoe yang telah beristirahat dari Hong Bwee Pang, dapat mengijinkan satu anggauta jahat dari kaummu, melanjutkan pelbagai kejahatannya! Apa benar kau tetap hendak berpura pura tuli dan tolol, tidak suka membelai keadilan dan pri kepantasan?”

Ay Kim Kong Na Hoo sangat tidak sabaran, tidak tunggu sampai Coey. Hong menjawab, dia sudah mendahului perdengarkan suaranya.

“Ban Soetee!” demikian dia, “mengapa kau masih rewel saja? Baik kau segera bacakan bunyinya surat itu, supaya didengar oleh semua hadirin disini. supaya semua hadirin mendapat tahu, menjadi jelas! Supaya kita tak usah disesalkan lebih jauh bahwa kita sudah tak mengampuni orang!”

Sementara itu, muka dan kupingnya Coei Hong telah berubah menjadi merah. Dia telah mencurigai surat pengakuannya Liok Cit Nio perempuan cabul itu yang sudah tercuri sama sekali dia tidak sangka, surat itu sebenarnya sudah terjatuh dalam tangan pihak Hoay Yang Pay. Tentu sekali ia jadi sangat malu, karena tak lagi ia ada muka untuk bertemu semua orang dari kaumnya itu. Boe Wie Yang hendak melindungi kehormatan Hong Bwee Pang, dia memaksa minta bukti, tapi sekarang, dengan diperlihatkannya surat bukti itu, habislah sudah Hong Bwee Pang itu. Ia bingung. Tapi ia tetap masih tidak mengarti kenapa surat penting itu ada di tangan musuh.

“Ban Loosoe,” akhirnya berkata ia dengan terpaksa. “Ban Loosoe ada seorang kenamaan, sudah seharusnya Loosoe berniat menyingkirkan seorang jahat, pengrusak tata tertib kaum kang ouw, akan tetapi walaupun demikian, aku hendak minta sukalah kau berikan sedikit ketika kepadanya. Dia ada seumpama ikan dalam jaring, mustahil loosoe masih kuatir dia dapat lolos?”

Dengan kata katanya itu, Coei Hong kandung dua maksud, terutama untuk minta Lioe Tong berikan ia keringanan, akan tetapi kata2 itu sendirinya telah membangkitkan amarah antara orang2 kaumnya sendiri. Demikian Bin Tie, hiocoe ini tak dapat bersabar lagi.

“Coei Hiocoe!” berkata dia dengan nyaring, sambil ia mengawasi dengan wajah penuh kemarahan kepada rekannya itu, “jikalau seorang anggauta kaum kita melanggar peraturan, peraturan kaum kita sendiri untuk menghukum dia! Jikalau benar seorang kita berdosa, karena belai seorang lain, mustahil seluruh Hong Bwee Pang mesti jadi ternoda!”

Lalu, tanpa perdulikan lagi hiocoe dari Hok Sioe Tong itu, hiocoe dari Ceng Loan Tong ini, menghadap pada ketuanya, untuk berkata terus “Sekarang ini tak dapat kita main ayal2an karena urusan sampingan ini disini masih ada orang2 yang hendak mohon pengajaran dari soehoe2 kenamaan dari Hoay Yang Pay dan See Gak Pay, maka itu mohon aku untuk Pang coe memberi jaminan mengenai Cit Nio ini, supaya Liok Lo Kim In lantas ditahan. Umpama dari pihak Hoay Yang Pay dan See Gak Pay ada yang tak puas dengan sikap kita ini, silahkan saja dia keluar, untuk mencari keputusan dengan jalan persilatan persahabatan ini! menurut pendapatku, ini adalah jalan satusnya yang paling sempurna”.

“Bagus sekali, itulah cocok dengan pikiranku,” sahut Boe Wie Yang tanpa sangsi sedikit jua.

Merah padam wajahnya Ban Lioe Tong kapan ia dengar pembicaraannya hiocoe itu dan ketuanya, hingga ia lantas tertawa dengan dingin.

“Ya, itu adalah jalan terakhir!” berkata dia. “Tapi, Bin Hio coe, harap kau jangan kesusu. Caramu ini ada cara yang getas, cara yang keluar dari pikiran yang sempurna. Memang, bertempur ada cara paling gampang. Sekarang, kau tunggu dulu!”

Siok beng Sin Ie angsurkan surat kedepan Boe Wie Yang.

“Aku mohon Boe Pang coe baca dulu surat ini,” kata ia dengan sabar tetapi suaranya tetap, “setelah itu kamu pertimbangkanlah masak2 karena sesudah itu, perkara telah menjadi jelas untuk kedua pihak”.

Boe Wie Yang terpaksa sambuti surat itu.

Hiocoe Auwyang Siang Gee dari Thian Hong Tong dan Bin Tie dari Ceng Loan Tong dampingi ketuanya, maka itu, dari samping merekapun bisa turut membaca bersama, habis membaca, wajahnya Boe Wie Yang menjadi merah padam, sepasang alisnya berdiri, sedang wajahnya Auwyang Siang Gee dan Bin Tie pun turut berubah juga, akan tetapi, kalau ketuanya jadi sangat gusar, mereka jadi lesu. Siang ciang Hoan thian Coei Hong berdiam dan tunduk, tak berani dia angkat kepalanya.

Akhir2nya, Thian lam It Souw Hne Wie Yang rangkap kedua tangannya, untuk memberi hormat pada Siok beng Sin Ie Ban Lioe Tong.

“Ban Po coe, kau menyayangi Boe Wie Yang aku terima kebaikan hatimu ini,” bersabda dia. “Ban Po coe, silahkan duduk, aku nanti hukum dia!”

“Terserah kepada Pang coe,” jawab Ban Lioe Tong dengan tawar, lalu ia memutar tubuh, untuk berduduk. Agaknya ia tak perdulikan lagi.

Dengan tetap masih sangat gusar, Boe Wie Yang serahkan surat penting itu kepada Auwyang Siang Gee kemudian ia menghadapi semua orang dari pihaknya ia kata dengan nyaring “Liok Lo Kim In sudah lakukan lima pelanggaran tak berampun, mestinya dia dihukum dengan segera, akan tetapi Ceng Giap San chung ini tak seharusnya dikotori dia maka sekarang aku perintahkan Heng tongsoe Gouw Ceng untuk bawa dia ke ruang Heng tong dimana Hengtong soe mesti dengan tangannya sendiri jalankan hukuman terhadapnya! Darah dan rambutnya mesti dibawa kemari selaku bukti! Jikalau Liok Lo Kira In berani buka pula mulutnya akan mengucap satu patah kata saja, dia mesti segera dihukum picis dengan selaksa bacokan!”

Atas titah itu, Hay niauw Gouw Ceng menjura pada ketuanya.

“Tee coe terima perintah,” sahutnya. Lalu ia berpaling pada Liok Cit Nio, untuk membentak “Lekas haturkan terima kasih untuk kemurahan hati Pangcoe! Jalan!”

Sekarang ini Cit Nio tak setenang lagi seperti tadi, ia tidak berani bantah ketuanya itu dengan muka pucat, dengan sepasang alis kuncup, dan air matanya menetes turun, ia manggut pada ketuanya itu, habis mana, dia berbangkit. Setelah ini, ia kertek gigi, dengan sinar mata bengis, ia awasi orang2 Hoay Yang Pay dan See Gak Pay. Akhirnya, dengan banting kaki, ia serukan Hay niauw Gouw Ceng “Jalan!”

Selagi perempuan itu memutar tubuh, Hengtong soe Gouw Ceng jambret tambang bekas belenggunya, yang terletak dilantai satu ujungnya, ia masukkan dalam mulutnya, untuk digigit keras kemudian dengan kegesitan luar biasa, ia bertindak kebelakang si wanita cabul, untuk sambar kedua tangannya, untuk lantas ditelikung.

Cit Nio diam saja, tidak berani dia berontak, cuma dia berpaling kepada hengtong soe itu, untuk mendelikinya.

Demikian Gouw Ceng bawa orang hukumannya itu ke Heng tong.

Dipihak Hoay Yang Pay dan See Gak Pay, kebanyakan orang mengarti bunyinya surat penting itu, akan tetapi dipihak Hong Bwee Pang sendiri, orang ada bingung sekali semua tidak mengerti, kecuali beberapa orang saja. Maka juga mereka sangat heran atas perubahan sikap secara mendadakan dari Liong tauw Pang coe mereka. Baharu saja ketua itu berkeras, atau mendadakan dia menyerah atas desakan musuh dan Liok Kim In diputuskan secara getas, malah hukumannya ada hukuman mati.

Semua orang Hong Bwee Pang itu, yang tidak mengerti duduk nya hal, anggap ketuanya sudah bersikap lemah sekali, menyerah cuma kepada selembar kertas, sampai kehormatan Hong Bwee Pang diantap runtuh. Akan tetapi, walaupun demikian mereka berpendapat, mereka tidak berani buka mulut. Mereka tampak wajah ketua mereka masih merah padam, tanda kemurkaan nya belum juga lenyap.

Boe Wie Yang juga tidak perhatikan sikap orang2nya itu.

“Ong Loosoe,” berkata dia pada Ong Too Liong, suaranya tenang, tetapi sepasang alisnyi dikerutkan, “dalam Hong Bwee Pang kedapatan anggauta murtad sebagai dia, sungguh itu sangat memalukan kami, apapun aku sendiri yang menjadi kepala. Tapi biarlah urusan itu, sekarang urusan kita perlu itu lekas diselesaikan. Karena urusaan anggauta busuk itu, barusan Coe In Am coe tak sempat perlihatkan kesempurnaannya ilmu pedang dari See Gak Pay, supaya kami mendapat tambahan pengetahuan, maka itu sekarang aku hendak mohon Amcoe sukalah hunjukkan satu atau dua jurus aku Boe Wie Yang ingin sekali mendapat pengajaran!”

Thian lam It Souw telah insaf kesalahan dipihaknya tetapi masih hebat kemendongkolannya karena tadi Coe In Am coe hendak turun tangan sendiri terhadap Li Cit Nio ia tidak mau pikir, bahwa niekouw itu naik darah karena sikapnya sendiri, yang malah ayal2an, yang seperti mengulur tempo. Demikian, seperti melupkan segala apa, ia tantang ketua See Gak Pay itu.

Eng Jiauw Ong bisa mengarti kemarahannya itu ini pun ada hal yang ia kehendaki, karena telah dengar keterangannya Ban Lioe Tong, ketua Hoay Yang Pay ini insaf tegangnya keadaan. Adalah cocok dengan keinginannya untuk segera memperoleh keputusan, supaya mereka bisa lantas angkat kaki dari Cap jie Lia hoan ouw.

“Tak usah terlalu merendah Boe Pang coe,” sahut ketu Hoay Yang Pay ini. Diantara kaum persilatan, tidak dapat di tanggung yang antara murid2 tidak ada satu yang murtad, hingga mengenai pihakmu, tidak usahlah Pang coe terlalu menyesal. Mengenai urusan kita, aku pun memikirkan penyelesaian yang cepat, karena itu ada jalan yang paling. baik. Memang, ilmu silatnya Am coe jarang tertampak dalam kalangan Rimba Persilatan ada harganya untuk pujian Pang coe, maka jikalau Pang coe ingin berlatih dengan nya, tidak ada halangannya. Juga aku Ong Too Liong sendiri ingin mohon pelajaran dari Pang coe ”

Eng Jiauw Ong belum tutup mulutnya ketika dengan tiba2 dari para2 kelihatan satu orang berlompat turun terus dia lari ke arah Boe Wie Yang setelah dia sampai dan hentikan larinya, segera orang kenali dia ada Hiocoe Auwyang Siang Gee dari Thian Hong Tong.

Hiocoe ini undurkan diri dengan diam2, sampai hampir tak ada yang ketahui, sampai ia kembali itu.

“Ada apa, soeheng?” tanya Ouw Giok Seng, yang maju kedepan rekan itu.

“Tidak ada apa, soetee,” sahut Auwyang Siang Gee. “Aku minta Pang coe titahkan pelbagai tocoe kembali keposnya masing2”

Selagi hiocoe dari Thian Hong Tong ini bicara, empat atau lima ekor burung dara tertampak terbang datang, satu demi satu, semuanya terbang terus kebelakang. Melihat demikian, tidak tempo lagi, Auwyang Siang Gee kata pada pemimpinnya “Laporan! Aku minta Pangcoe kasi titah untuk sekalian tocoe pergi kebelakang, untuk terima titah, sesudah mana, mereka mesti segera balik ketempatnya masing2, supaya Sim A Eng dan Sim A Hiong diperintah lekas pergi ke Thian Hong Tong untuk ambil enam batang tek hoe guna lantas dipakai!”

Sesudah mengucap demikian, hiocoe ini lantas lari kearah barat selatan dimana ada suatu jalanan gang. CXXXVI

Pat pou Leng po Ouw Giok Seng segera bertindak depan ketuanya, untuk memberi hormat sambil menjura, setelah mana, ia memutar tubuh untuk menghadapi Eng Jiauw Ong kepada siapa ia memberi hormat.

“Aku mohon Ong Loosoe beramai suka menanti sebentar saja,” berkata dia, “kami mempunyai urusan, yang mesti diatur. Sebentar segera kami akan mohon pelajaran dari loosoe beramai!”

Habis ini, Ouw Hiocoe dekati ketuanya, untuk berbisik. Boe Wie Yang, dengan wajah yang ber tambah2 tegang,

lantas berikan titahnya “Para tocoe dari Cian tiang gam,

Ouw ap cwee, Ban sie lim, Pek sek wan, dua jalan Selatan dan Utara, empat to dalam, silahkan semua balik ke masing2 tempatnya!”

Begitu titah itu dikeluarkan, begitu berbangkit sepuluh tocoe, tanpa bilang suatu apa, dengan rapi mereka berjalan kehadapan ketuanya, untuk memberi hormat sambil menjura seraya mengatakan mereka “bersedia menerima titah.”

“Sebelum masing2 balik, silahkan kamu pergi ke Thian Hong Tong, untuk terima petunjuk lebih dahulu,” kata pemimpin besar itu.

Sepuluh tocoe itu menyahuti sambil menghunjuk hormat pula habis itu baharulah mereka berlalu dari paseban sekeluarnya dari paseban, mereka bertindak dengan cepat menuju kejalan gang barat selatan yang tadi diambil Hiocoe Auwyang Siang Gee. Semua orang Hoay Yang Pay dan See Gak Pay saksikan kesibukan lawan itu mereka tak tahu duduknya hal tetapi mereka bisa duga, mestilah telah terjadi suatu ketegangan, atau mungkin orang sedang mengatur siasat, yang bisa jadi akan tak menguntungkan bagi pihak mereka. Akan tetapi, tidak perduli apa adanya semua itu, putusannya Eng Jiauw Ong adalah selekas nya bisa angkat kaki dari Cap jie Lian hoan ouw.

Coe In Am coe juga berpendapat seperti ketua Hoay Yang Pay, malah ia hendak bicara sama pemimpin musuh, tetapi belum sempat ia membuka mulut, kelihatan dipihak sana, pendeta dari Siauw Lim Pay, yalan Kim kong cie Coe Hoei Siansoe, si Jari Kim kong, telah berbangkit, akan bicara sama Thian lam It Souw.

“Boe Pang coe,” demikian katanya orang beribadat itu, “mengenai kedua pihak, pinceng mempunyai satu pikiran, dan ingin pinceng kemukakan itu. Apa pikiran ini dapat diterima, silahkan kedua pihak memutuskaunya. Boe Pang coe lihat, cuaca ada begini buruk, sang hujan pasti segera bakal turun. Disebelah itu, hari pun sudah berlewat lanjut. Maka itu, selagi orang kedua pihak sudah kumpul, dan masing2 sesuatunya berkehendak memperlihatkan kepandaiannya, apabila pertandingan ditunda2 tak habis nya, pinceng kuatir sekali, kedua pihak akan merasa tidak leluasa sendirinya. Oleh karena itu, menurut pinceng, baik kita mengadakan satu aturan, yalan kita mengambil keputusan dengan tiga pertandingan saja, siapa menang, siapa kalah, dia mesti terima. Tentu sekali, kedua pihak harus menepati janji, supaya keputusan berarti keputusan. Pinceng ada orang luar, dari itu, mengenai saran ini, entah bagaimana pendapat kedua pihak.”

Boe Wie Yang belum mengucap apa tetapi Siangkoan In Tong telah dului ia. Siangkoan In Tong ini tak henti2nya menyedot hoencweenya yang besar, yang terbuat dari kuningan, saban2 ia ketruki abunya hingga lantai jadi kotor karenanya, sedang lantai itu ada sangat bersih, tidak ada debunya sedikit jua. Nama “Ceng Giap” pun berarti “kebersihan”. Tak henti nya juga ia kebul2kan asap hoencweenya itu, hingga banyak orang Hong Bwee Pang yang sebal terhadapnya, melulu karena dia ada satu tetamu, maka mereka itu terpaksa tutup mulut.

“Kata toahoosiang pantas sekali”, demikian katanya In Tong, “pertandingan secara demikian ada tepat, ada sangat memberi keleluasaan. Memang, kalau kita landutkan cara kita ini entah sampai kapan baharu ada keputusan. Bukankah, selama tetamu tidak pergi, tuan rumah pun tak bertenang hati? Kalau segala apa telah menjadi jelas siang2, kedua pihak masing2 bisa ambil jalannya sendiri2. Melainkan aku masih belum tahu, toahoosiang, bagaimana caranya tiga pertandingan itu? Apakah itu diartikan satu rupa ilmu kepandaian satu pertandingan, atau itu diartikan satu orang yalan satu pertandingan? Dalam segala hal, kita mesti omong dulu dengan jelas, tentang kesudahannya, itu terserah kepada nasib masing2, tak ada bicara lainnya lagi. Tidakkah demikian, toahoosiang? Toahoosiang ada orang luar, aku sendiri pun bukannya orang dalam, inilah kita mesti mengarti. Nah, toahoosiang, silahkan kau bicara, mesti ada orang yang menyambutnya!”

Bukan kepalang mendongkol nya pendeta dari Siauw Lim Pay itu mendengar kata2 yang bersifat mengejek itu, akan tetapi ia tak mempunyai kesempatan untuk melayaninya.

“Dengan saranku ini memang ada pikiranku agar urusan kedua pihak segera dapat penyelesaiannya,” kata dia. “Aku maksudkan, serupa kepandaian adalah satu pertandingan, untuk itu tidak perduli berapa jumlahnya orang yang turut ambil bagian, asal siapa yang bisa turut, dia boleh turut serta. Siapa yang peroleh kemenangan diakhirnya dialah yang menang. Secara begini kita jadi bisa uji masing2 kepandaian istimewa!”

“Loosiansoe, inilah cara tepat sekali,” Coe In Am coe turut bicara. “Pasti sekali loosiansoe telah memikir sesuatu, maka silahkan utarakan itu, nanti pihak kami menimbang tenaga sendiri untuk menerimanya.”

“Ya, toahoosiang, jikalau kau mempunyai kepandaian apa yang istimewa, silahkan kau keluarkan, supaya kamu mendapat tambah pengetahuan!” Na Hoo pun turut bicara. “Dibawah para2 bunga itu sudah ada dua rupa, itu tentulah diperuntukkan orang2 kenamaan dari Siauw Lim Pay ”

Masih saja Coe Hoei Siansoe mendongkol.

“Kita baik jangan adu lidah saja!” katanya. “Seperti pinceng telah katakan, pinceng hendak hanya menyelesaikan sengketa kedua pihak. Dua permainan dibawah para2 bunga itu ada untuk latihan saja, untuk ilmu mengentengkan tubuh, jadi itu bukannya ilmu istimewa. Cuma anak2 muda saja yang tak mengarti itu. Untuk Yan tiauw Siang Hiap umpamanya, dua permainan itu tentunya tidak ada artinya. Pinceng ingin main2 dengan Saing Hiap berdua, belum tahu apa jiewie sudi memberi muka terang kepadaku?”

Selagi orang2 tua itu bicara, Siauw hiap Ciok Liong Jiang sendiri sedang kasak kusuk dengan Siauw liong ong Kang Kiat, Mereka berdiri paling belakang, dibawah pohon pisang. Mereka pasang kuping, mereka juga pasang mata kesegala penjuru.

Muda usia mereka tetapi kedua nya ada cerdik dan nakal. Liong Jiang berani, akan tetapi. Kang Kiat lebih berani pula. Boca she Kang ini ada bagaikan gunung saja, anak kerbau yang tak takuti harimau. Inilah kebetulan bagi Liong Jiang, yang jadi boleh suruh kawan ini menalangi dia maju kemuka. Mereka kasak kusuk membicarakan tingkah polanya Auwyang Siang Gee, yang mereka curigai. Mereka duga, hiocoe itu mesti ada kandung maksud apa2 yang bisa merugikan pihak mereka, maka ingin mereka mencari tahu, untuk mencegahnya. Tapi, sedang nya mereka kasak kusuk, dilain pihak, juga ada orang2 Hong Bwee Pang yang awasi gerak gerik mereka berdua, karena pihak tuan rumah mencurigai sesuatu tetamunya.

Ciok Liong Jiang dengar nyata kata katanya Coe Hoei Siansoe ia insyaf bahwa telah datang saat terakhir dari pertemuan di Ceng Giap San chung ini, maka itu, iapun lantas bertindak.

“Siauw soetee,” katanya kepada Kang Kiat, “apabila tidak sekarang kita turun tangan, ketika nya yang baik sudah tidak ada lagi. Orang she Auwyang itu sudah pergi kebelakang ia disusul oleh sepuluh tocoe, mestinya sepak terjang mereka akan memperbahayakan pihak kita. Siauw soetee, jangan kau tidak insyaf, sekarang ini kita sedang berada dalam mulut harimau, apabila kita terjebak terlebih jauh, terang sudah kita tak akan sanggup keluar dari sini. Akupun tak dapat bergerak leluasa disini, karena orang sini telah kenali baik aku, maka baik kaulah yang pergi. Kau nelusup kebelakang untuk menyelidiki umpama kau kepergok, bahayanya tidak berarti. Kau juga ada murid calon, tidak ada orang yang nanti persalahkan padamu. Tentu sekali kau boleh kemukakan alasan bahwa kau ketarik sangat sama keindahan alam di taman ini. Mustahil orang berani bikin susah padamu? Maka, soetee, hayo pergilah lekas!” “Akupun tidak kuatirkan kawanan binatang itu!” kata Kang Kiat dengan gembira.

“Nah, kau hati hatilah!” Liong Jiang pesan.

Ketika itu, disebelah depan, Coe Hoei Siansoe sedang asik bicara dengan Na Pek, yang ia tantang adu kepandaian.

Dengan cerdik Liong Jiang berdiri didepan jendela, untuk mengalingi Kang Kiat, yang sendirinya mendek tubuh. Disaat Siauw Liong Ong hendak berloncat, mendadakan dari sebelah depan, dimana ada segumpal pohon bunga, terdengar bentakan “Awas!” tanda serangan.

Dalam keadaan sebagai itu, dua anak muda ini tidak berani berkelit dengan leluasa, karena nya Liong Jiang kena terserang pada batok kepalanya dan Kang Kiat pada dadanya, malah Liong Jiang terkena lebih hebat. Meski demikian, keduanya tidak berani menjerit “Aduh!”

Segera Liong Jiang dapat kenyataan, bahwa senjata yang dipakai menimpuk adalah sepotong kulit kayu. Ia telah terdidik baik, iapun cerdik sekali ia insyaf, penyerangnya itu bukan orang sembarangan, kalau tidak, kulit kayu itu tidak akan mendatangkan rasa sakit kepada kepalanya.

Kang Kiat sebaliknya mengetahui, bahwa senjata yang dipakai membokong dia adalah segumpal kertas kecil. Ia jemput kertas itu, ia buka. Maka ia dapatkan kertas itu ada kertas surat, dan isinya ada sepotong abu lempengan. Surat itu ada dua baris, tertuliskan dengan bak merah.

Liong Jiang turut lihat bunyi nya surat, lantas ia bisiki Kang Kiat “Soetee, awas! Jangan kasi mereka lihat ini!”

Boca she Ciok ini terperanjat untuk lihat huruf terakhir dalam surat itu, yang ia cuma mengerti separuhnya, karena surat di tulis dengan huruf Coh jie. Kemudian ia kata pada kawannya itu “Soetee, ada harganya ajaran ini untuk kita! Kau tunggu disini dengan waspada, aku hendak pergi melapurkan kepada ketua kita”.

Kang Kiat hendak ketahui bunyinya surat ia tanya kawan itu tapi Liong Jiang tidak menyahuti kawan ini sudah lantas putar tubuhnya, akan hampirkan Eng Jiauw Ong kepada siapa ia kata “Soe ya. baharu saja touw soen ingat suatu hal. Selama di Tong peng pa, touwsoen ketemu Tio Loosoe dia titipkan sepucuk surat untuk Soeya, apa celaka, touwsoen alpa untuk menyampaikannya!”

“Touw soen” berarti “cucu murid” dengan apa Liong Jiang membahasakan diri. Habis mengucapkan begitu, ia beber surat tadi dengan kedua tangannya suratnya dihadapkan kepada Eng Jiauw Ong, tetapi berbareng dengan itu, dia melirik kepada Yan tiauw Siang Hiap, supaya mereka itu memperhatikannya.

Eng Jiauw Ong heran atas sikapnya boca ini ia lantas menduga orang tentu ada kandung maksud, maka ia tidak hunjuk roman tidak mengarti segera ia baca surat yang dibeber itu, yang tulisan hurufnya indah mirip dengan gerak geriknya “ular dan naga”. Apa yang mengejutkan hatinya adalah bahwa ia kenali yang itu ada buah kalamnya soe peknya, Tiat So Toojin. Lekas ia sambuti surat itu, untuk dibaca.

Tiat So Toojin, sang mamak guru, menulis sebagai berikut :

“Ancaman malapetaka sedang mendatangi takdir tak dapat dihindarkan. Biar semangat jagonya tak padam, sia2 saja seribu akal dayanya yang licin. Tetaplah, Ceng Hong dan Pek Tiok ada tempat beristirahat, maka janganlah bersangsi, atau akan tertampak bagaimana iblis bersedih, malaikat berduka, dan gunung ambruk, laut bergelora! Surat cepatnya Tiat So”

Dengan surat cepat diartikan hoei cian yalah “surat

terbang”, surat penting. Dan ini Eng Jiauw Ong ketahui baik artinya.

“Baik, kau pergilah!” ketua Hoay Yan Pay berikan jawabannya.

Ia tidak tanya lagi, dari mana atau bagaimana surat itu didapatnya. Lantas surat itu ia serahkan pada Ban Lioe Tong, dari siapa segera dipelihatkan pada beberapa yang lain.

Yan tiauw Siang Hiap mencoba menyabarkan diri, apabila mereka lihat suratnya tetua mereka itu. Inilah apa yang Eng Jiauw Ong harap, karena ketua ini tak sudi dua saudara itu layani Coe Hoei Siansoe, satu pendeta yang liehay dari Siauw Lim Pay.

Coe In Am coe, yang dapat lihat juga suratnya Tiat So Too jin itu, turut mengerutkan alis. Sekarang ia insyaf benar benar bahwa mega mendung sedang mengancam mereka. Suratnya sang imam samar samar tapi tegas artinya.

Eng Jiauw Ong sendiri, setelah serahkan surat pada Ban Lioe Tong, lantas menghadapi Coe Hoei Siansoe.

“Loosiansoe”, katanya, “loo siansoe ada pendeta luhur dari Siauw Lim Pay, berhubung dengan pertemuan persilatan persahabatan dalam Ceng Giap San chung ini, aku harap janganlah kau membaliki belakang kepada persahabatan kaum kang ouw. Kenapa loosiansoe justeru menyebut nama menantang Yan tiauw Siang Hiap mengadu kepandaian? Aku rasa, tindakan loosiansoe ini ada tidak tepat. Kita kaum Rimba Persilatan, siapa saja diantara kita, tidak nanti ada yang berani bilang bahwa ia sendiri sudah peroleh habis ilmu kepandaian, sebab ilmu silat itu, masing masing kaum mempunyai keistimewaan dan juga kelemahannya. Tapi loosiansoe telah majukan diri, aku bersukur sekali. Melainkan aku harap, sebagai pendeta berilmu, jangan loosiansoe tidak melihat tegas suasana yang sebenarnya. Thian itu ada mempunyai angin dan meganya yang tak ketentuan juntrungannya, sedang sekarang sudah tak pagi lagi dan angin dan hujan bakal segera datang dan turun. Loosiansoe hendak bertanggung jawab baik, inilah yang dibilang, dengan golok cepat membabat benang kusut. Loosiansoe juga sarankan pertempuran memutuskan dalam tiga rintasan, maka silahkan loosiansoe sebutkan itu aku Ong Too Liong bersedia untuk melayani loosiansoe, hingga tak usah kau sampai menyesal atau hilang harapan”.

Sebelum Coe Hoei menyahuti, Siangkoan In Tong kembali me nyelak.

“Bagus! Bagus !” katanya. “Rupanya dengan tiga rintasan itu, toahoosiang bertanggung jawab sepenuhnya untuk Hong Bwee Pang, maka silaukan toahoosiang beri penjelasan supaya kami dapat ketahui. Penjelasan akan menghalau kesulitan, bukankah begitu, toahoosiang?”

Coe Hoei Siansoe sebal kepada Siangkoan In Tong ini. Dia sebenarnya tidak musuhkan Eng Jiauw Ong atau Coe In Am coe   ia hanya benci orang she Siangkoan ini serta Yan tiauw Siang Hiap, yang mulutnya sangat usil. Diapun telah saksikan kepandaiannya dua saudara Na itu ia jadi ingin sekali melayani mereka, untuk bikin malu mereka itu, supaya mereka tidak mampu keluar dari Ceng Giap San chung. Ia tidak sangka, Eng Jiauw Ong bisa bade maksud nya itu dan ketua Hoay Yang Pay ini melintang dihadapannya. Ia sudah maju, tidak dapat ia mundur pula tanpa alasan, maka terpaksa ia mesti terima sambutan nya Eng Jiauw Ong.

“Siangkoan Loosoe, ketua Hoay Yang Pay sudi main main denganku,” katanya kepada Wa Poo Eng, “maka baiklah, pin ceng nanti temani dia. Tapi ingin aku jelaskan, apa yang aku bisa tidak dapat dinamakan kepandaian. Pinceng ingin main main dulu dalam dua rupa ilmu yang sangat umum yaitu Ciang cin Kouw teng keng dan Lo Han Tue hio chung, lalu yang terakhir adalah paduan alat senjataku Hong pian can. Perlu pinceng tegaskan, walaupun kita bertanding, pinceng tidak mengandung maksud jahat. Percayalah, murid Sang Buddha tidak bicara dusta ! Dua dua Hoay Yang Pay dan See Gak Pay ada kenamaan, sebenarnya siapa berani layani mereka? Benar Siauw Lim Pay juga kenamaan tetapi masih tak dapat dibandingkan. Bahwa pinceng turut muncul disini, itulah kebetulan saja. Tidak dapat pinceng sebagai tetamu mendahului tuan rumah, tidak perduli bagaimana kekalnya persahabatanku dengan Boe Pang coe, hingga karenanya, tidak dapat juga pinceng memutuskan urusan Hong Bwee Pang. Umpama ada loosoe dari Hong Bwee Pang, yang hendak turut bertanding, tak bisa pinceng cegah dia”.

Eng Jiauw Ong tidak perdulikan cara bicaranya Coe Hoei, ia hanya memandang kepada Coe In Am coe sebagai pertanyaan, apakah ketua dari See Gak Pay itu mufakat atau tidak. Coe In Am coe manggut. Itulah tanda persetujuan. Maka ia pun lantas manggut pada pendeta dari Siauw Lim Pay itu.

“Baik, loosiansoe, kami terima saranmu ini,” jawabnya. Kemudian ia berpaling pada Boe Wie Yang, akan menanya

: “Bagaimana pendapat Boe Pang coe mengenai saran loosiansoe ini?” Eng Jiauw Ong menanya demikian, sebab ia percaya betul, biar bagaimana, pihak Hong Bwee Pang tidak nanti cocok semua dengan saran itu.

“Loosiansoe hendak mengadakan penyelesaian, aku berterima kasih sekali,” sahut ketua Hong Bwee Pang itu. “Bagaimana aku mempunyai lain pikiran? Karena Ong Loosoe beramai juga berniat lekas2 pulang, tidak ada niatku untuk merintanginya.”

Eng Jiauw Ong lantas memberi hormat.

“Inilah tandanya Boe Pang coe suka mengalah,” kata dia, yang lalu meneruskan kepada Coe Hoei Siansoe “Loosiansoe, pembicaraan kita sudah tetap. Sekarang kita boleh mulai”.

“Pertama2 kita mulai dengan Ciang cin Kouw teng keng,” sahut Coe Hoei yang sudah siap. “Kedua dengan Lo Han Cie hio chung. Dan ketiga yalan dengan gunai alat senjata. Bagaimana pendapat Ong Losoe?”

“Terserah kepadamu, loosiansoe!” jawabnya ketua Hoay Yang Pay.

Atas itu, Coe Hoei Siansoe lantas berkata : “Nah, soehoe yang mana hendak melayani pinceng untuk pertama kali? Maaf, pinceng bersiap terlebih dahulu!”

Lantas pendeta ini, dengan tingkah jumawa, bertindak ke medan, yalah muka bagian utara dari para2 bunga dimana, atas titahnya Boe Wie Yang, orang2 Hong Bwee Pang sudah siapkan segala apa yang dibutuhkan untuk pertempuran yang memutuskan itu.

Untuk Ciang cin Kouw teng keng, atau “Dengan tangan menggempur para2 pelita tua,” diatur lima buah kursi kate, ditaruhnya dilima penjuru, jarak nya satu tumbak lima kaki, diatas setiap kursi ditaruhkan sebuah para2 pelita yang terbuat dari kuningan, tingginya masing2 satu kaki dua dim. Pelitanya dipasang menyala.

Untuk Lo Han Cie hio chung, atau “Panggung hio dupa Lo Han,” telah disiapkan empat nenampan terisi hio dupa “Lam hay,” diatas setiap nenampan di letaki seikat dari enam belas batang hio saban ikatnya tinggi satu kaki enam dim dan besar nya sebesar mulut cangkir teh. Bungkusan hio telah dibuang hio itu diikat dengan benang sutera merah. Itulah hio keluaran Lam hay, propinsi Kwie tang, yang kesohor untuk wanginya yang istimewa, maka juga bisa dipakai untuk bersujut kepada Sang Buddha. Semua hio berjumlah enam puluh empat ikat, yang mana diatur menurut garis2 Pat kwa, jaraknya ada setiap tindak, malang dan melintang. Panggung luar biasa ini diaturnya di utara para2 bunga.

Banyak orang Hoay Yang Pay yang belum pernah lihat Lo Han Cie hio chung ini menjadi bingung. Biar bagaimana, berapa kekuatannya batang2 hio, yang di tancap berdiri? Hoay Yang Pay sendiri mempunyai Tek too Hoan ciang, ialah pelatok golok bambu, gagang golok ditancap dalam tanah tidak demikian dengan batang hio ini, yang ditancap sejadinya saja, kalau tidak patah, tentu akan rubuh sendirinya….

Maka itu, mereka ini jadi berkuatir.

Coe Hoei Siansoe sudah lantas periksa alat2nya itu, kemudian selagi semua orang Hong Bwee Pang mengawasinya dengan penuh perhatian, ia berdiri menghadapi pihak Hoay Yang Pay dan See Gak Pay, untuk memberi hormat.

“Soehoe yang mana yang hendak turun kemari, untuk berlatih?” tanyanya dengan tantang annya. Coe In Am coe hendak jawab tantangan itu, akan tetapi ketua Hoay Yang Pay telah dului ia berbangkit seraya menyahuti: “Ong Too Liong tidak ukur tenaganya sendiri, ingin ia mohon pengajaran dari loosian soe dalam rintasan pertama, Ciang cin Kouw teng keng.”

Selagi Eng Jiauw Ong berkata2, Siok beng Sin le Ban Lioe Tong telah berbangkit bersama2 ketua See Gak Pay. Itulah tanda, mereka juga ingin turut ambil bagian dalam pertempuran yang terakhir ini, untuk memutuskan, kalah atau menang, terhormat atau terhina. 

Coe Hoei Siansoe ngoce sendirinya apabila ia saksikan orang2 yang majukan diri itu bukanlah orang2 yang ia kehendaki : “Biar kamu berpura2 tolol, mustahil pinceng nanti ijinkan kamu keluar secara baik dari Ceng Giap San chung ini?”

Ban Lioe Tong majukan diri karena ia tidak ingin ketuanya maju paling dulu, selagi berdiri, ia telah perdatakan pendeta dari Siauw Lim Pay itu. Ia ter kejut kapan ia tampak mata musuhnya ditujukan kearah lain. Tidak tempo lagi, ia kata kepada ketuanya: “Biar aku yang maju dalam rintasan pertama ini!”

Dan lantas ia berlompat, untuk hampirkan pendeta itu.

Siok beng Sin Ie telah menunaikan kewajibann ya sebagai saudara muda seperguruan walaupun ia sendiri ragu2, ia toh tidak bisa antap sang soeheng maju kedepan.

Coe Hoei sambut lawannya sambil bersenyum.

“Ban Pocoe sudi memberi pengajaran padaku pinceng berterima kasih sekali,” katanya.

“Pocoe hendak memberikan pela ri yuran apa? Pinceng selalu siap untuk melayaninya ” Lioe Tong membalas hormat.

“Kita main2 dulu diatas para2 pelita, bagaimana?” dia membalas. “Kita men coba” Pek kong ciang.”

“Pek kong ciang” atau “Pukulan tempat kosong” yalah memukul angin.

“Baik, pocoe, pinceng turut perintah,” jawab pendeta itu.

Tanpa banyak omong lagi, ke duanya bertindak kearah selatan, yalah tempat para2 istimewa itu. Disitu sudah tidak ada satu jua orang2 Hong Bwee Pang, yang sehabis kerja. lantas undurkan diri jauh2.

Ban Lioe Tong awasi semua pelita2 yang apinya menyala, tertiup2 oleh angin yang bersiuran. Ia pikirkan, bagaimana ia harus padamkan itu. Hoay Yang Pay mempunyai ilmu pukulan Pek kong ciang, tapi cuma beberapa orang saja yang berhasil meyakinkan itu, umpama Eng Jiauw Ong dengan Eng jiauw lat, Coe In Am coe dengan See boen Sam liok sie, Yan tiauw Siang Hiap dengan Co koet Hoen kin chioe, dan ia sendiri dengan “Bian ciang,” atau “Tangan lemas.” Ingat bahwa Auwyang Siang Gee, ada keluaran Siauw Lim Pay, Lioe Tong percaya, Coe Hoei ada liehay. Maka itu, ia lantas saja berwaspada.

Juga Eng Jiauw Ong dan Coe In Am coe berpendapat serupa seperti Siok beng Sin Ie, maka mereka menaruh perhatian penuh. Akan tetapi, setelah Lioe Tong maju, mereka lantas ambil tempat duduk mereka.

Ban Lioe Tong jalan kitari Ciang cin Kouw teng keng itu, untuk amati ada bagiannya yang mencurigai atau tidak.

Coe Hoei Siansoe bisa duga hati orang, ia diam saja

“Loosiansoe, silahkan kau berikan pengajaran kepadaku,” kata ketua Kwie In Po, setelah ia selesai memeriksa dan lalu berdiri pula didepan pendeta Siauw Lim itu. “Tak kuatir aku nanti ditertawai loosiansoe, ingin aku menyaksikan kepandaian loosiansoe yang mahir, untuk aku meneladnya. Aku percaya tidak nanti loosiansoe tak sudi mengajari nya.”

“Ban Loosoe terlalu merendahkan diri,” balas hormat sipendeta. “Kita main dengan sembarangan saja, tak usah kita terlalu sungkan. Pinceng tidak berguna, pinceng cuma ingin men coba2 saja. Pinceng pun tidak berani lancang menyebutnya. Maka baiklah Ban Loosoe coba dahulu tenaga tanganmu.”

Ban Lioe Tong ingin menyaksikan terlebih dahulu, ia tidak mau terima undangan itu.

Tiba2 seorang datang hampirkan mereka, sembari terus berkata : “Loosiansoe terlalu seejie, Ban Loosoe pun terlalu sungkan, maka biarlah aku dulu yang perlihatkan kejelekanku, untuk sebagai pembuka jalan!”

Ban Lioe Tong kenali, orang itu adalah Bian ciang Khioe Boen Pa si Tangan Lemah dari Hok Sioe Tong, ia lekas menyahuti nya : “Hiocoe sudi memberi pelajaran, aku girang sekali, pasti aku siorang she Ban akan peroleh tambahan pengetahuan.”

“Jangan sungkan, Ban Loosoe,” kata orang she Khioe itu. “Aku maju saking gembira saja, dalam hal latihan, aku tidak mempunyai pegangan, aku hendak mencoba saja.”

Boen Pa lantas maju ketengah kalangan, atas mana, Coe Hoei dan Lioe Tong lantas undurkan diri beberapa tindak.

Khioe Boen Pa memberi hormat pada Ban Lioe Tong dan Coe Hoei Siansoe.

“Jikalau kebiasaanku tak cukup, harap jiewie beri petunjuk kepadaku,” kata dia, setelah mana, ia jalan memutar ditengah kalangan, seputaran saja, kemudian ia mulai geraki kaki tangannya, tubuhnya juga, dengan memutar kekiri dan kanan, dengan pesat sekali.

Lioe Tong lihat orang bersilat dengan Pek kwa ciang. Ilmu silat ini tak berarti untuk dipandang, yang hebat adalah kepesatannya dan tenaganya yang besar, yang datang dengan tiba2. Maka itu, ia mundur pula, hingga tanpa merasa, ia berada dibawah para2, bebokongnya menghadap keselatan, mukanya keutara.

Khioe Boen Pa mulai menyerang kearah barat, menyusul kepalannya, api pelita barat padam dengan segera, lalu memutar tubuh dari utara kebarat, ia maju keselatan. Demikian gesit gerakannya, hingga sukar diduga ia sebenarnya hendak arah bagian mana.

Lioe Tong bisa duga maksudnya orang setelah serangan yang pertama itu, serangan yang kedua ditunda. Adalah kemudian, setelah maju dan berputar beberapa kali, lalu jumpalitan, hiocoe itu susuli serangan yang kedua itu, menyerang ketengah, dan dengan beruntun, ia bikin padam dua pelita. Nyata hiocoe ini ada cerdik sekali, ia menyerang dengan turuti aliran angin, untuk ini ia rela menggunakan tempo dan tenaga, untuk maju sana dan putar sini, hingga dimata umum ia nampaknya sedang beraksi saja.

Ketua dari Kwie In Po tertawa dalam hatinya untuk kelicikan nya hiocoe she Khioe itu, yang sementara itu sudah serang padam pelita yang keempat.

Sekarang tinggal pelita yang kelima, didepan para2, dekat dengan tempat dimana Ban Lioe Tong berdiri. Untuk maju kesini, Khioe Boen Pa mulai dari utara, dengan satu lompatan “Benghouw coet tong,” atau “Harimau galak keluar dari guha,” ia sampai di urah timur selatan. Gerakan ini membuat pelita tertiup angin dari gerakannya itu, lalu dengan membarengi memutar tubuh, ia menyerang, maka. padamlah pelita yang kelima, yang terakhir. Tapi bukan melainkan pelita yang terserang itu, pukulan angin itu, yang diperhebat, menjurus terus kearah Siok beng Sin Ie!

Tidak perduli bagaimana cerdiknya, Ban Lioe Tong tidak sangka bahwa Bian ciang Khioe Boen Pa ada demikian busuk dan pengecut, maka itu, bukan terkira kagetnya. Syukur waktu angin mulai menyampok, ia dapat rasakan siurannya dengan berbareng kaget, ia lekas egos tubuhnya.

Berbareng sama berkelitnya si Tabib Penyambung Jiwa ini, dari belakangnya, melewati pundaknya, ada samberan angin lain, yang keras sekali rupanya melalui cabang2 pohon yang berdaun lebat, karena ada beberapa lembar daun yang kena terbawa, menyambar mukanya siorang she Khioe.

Lioe Tong kaget dan heran, tetapi berbareng dengan itu ia bersukur, karena ia telah lolos dari serangan tenaga angin yang dahsyat itu.

Khioe Boen Pa sendiri kaget karena serangan daun2 itu hampir ia menjerit bahna menahan sakit, karena ia merasai seperti ter tusuk2 jarum. Ia segera lompat kesamping seraya matanya mengawasi kepara2, akan tetapi, baik diatas maupun dibawahnya, tak terlihat apa2, hingga ia jadi sangat heran.

Juga Lioe Tong sudah lantas menoleh kepara2 iapun tak lihat suatu apa, tetapi ia bisa mengerti bahwa ada orang telah bantu ia secara menggelap. Lantas saja ia kata kepada hiocoe dari Hok Sioe Tong itu: “Khioe Hiocoe, tanganmu liehay sekali!”

Mukanya Boen Pa menjadi merah sendirinya, tapi ia menyahuti : “Ban Po coe, aku menyesal yang aku tidak bisa terima pengajaran dari kau sendiri, maka itu aku harap, lain hari kita bisa bertemu pula. Nah, Ban Pocoe, sampai bertemu!”

Lioe Tong bersenyum, tak ingin ia omong banyak. “Baikah, Khioe Loosoe!” demikian jawabnya, sesudah

mana, ia terus hadapi Coe Hoei Siansoe, untuk kata: “Loosiansoe, maukah kau perlihatkan kepandaianmu supaya Ban Lioe Tong bisa diberi pelajaran untuk meluaskan pengetahuannya?”

Coe Hoei Siansoe tahu perbuatan tidak bagus dari Khioe Boen Pa, yang telah turunkan derajat Hok Sioe Tong karenanya tadinya dia tidak ingin turun ta ngan terlebih dulu, tapi sekarang, karena terdesak oleh kata2nya ketua dari Kwie In Po itu, ia jadi merobah sikapnya. Ia balas hormatnya Lioe Tong seraya bilang: “Karena kau memaksa, Ban Po coe, baiklah, aku terima baik permintaanmu, melainkan jikalau apa yang aku perlihatkan tidak sempurna, tolong kau berikan pengajaran kepadaku”.

Pendeta Siauw Lim ini sudah lantas buka jubanya, hingga kelihatan dandanannya yang ringkas, sesudah mana, iapun gulung kedua tangan bajunya.

Melihat sikapnya pendeta ini, Lioe Tong kagum. Dimana kekuatan tangan digunakan, teranglah Coe Hoei tidak sudi minta bantuannya tangan baju.

Setelah letakkan jubanya, Coe Koei Siansoe bertindak keantara kouw teng keng, para2 berpelita, yang pelitanya sudah lantas dinyalakan pula.

“Pin ceng hendak pertontonkan kejelekanku,” kata pendeta itu apabila ia telah siap.

Segera Lioe Tong kenali orang bersilat dengan Sip pat Lo Han Chioe, pokok pelajaran Siauw Lim Pay permulaan, dan baharu saja dua jurus, sudah kelihatan tegas, pendeta ini benar2 bukan orang sembarangan.

Diam2, seperti agaknya orang yang tak mempunyai perhatian, Lioe Tong mundur pula dua tindak sekali ini ia bersiap sedia untuk membokong musuh andaikata musuh kembali berlaku pengecut.

Segera juga Coe Hoei Siansoe lakukan penyerangannya yang pertama, dengan jurusnya yang ke tiga. Ia arah pelita yang letak ditimur. Berbareng dengan serangannya dengan “Pay san oen ciang,” pelita itu padam sekicapan. Lalu dengan membalik tubuh, dengan “Kim pa louw jiauw,” atau “Macan tutul emas tongolkan kuku,” ia bikin padam pelita dihadapannya.

Kedua2 gerakan itu beda dengan caranya Khioe Boen Pa tadi, malah lelatunya pelita turut tersampok anginnya serangan itu. Itulah bukti dari latihan lwee kee, ahli bagian dalam yang sempurna.

Segera Coe Hoei Siansoe lanjutkan serangannya yang ke tiga dan ke empat, dengan jurus kesembilan dari Sip pat Lo han chioe itu. Dengan saling susul, dua pelita padam karenanya.

Sekarang tinggal pelita yang kelima, yang letaknya diselatan.

Semua serangan tadi dilakukan rata2 antara jarak lima kaki sekarang pelita yang ke lima berada jauhnya tujuh kaki, maka itu, untuk menyerangnya, Coe Hoei Siansoe segera gerakkan kakinya, untuk maju mendekati. Ia maju sampai tiga tindak. Tapi ia tidak segera menyerang, sebaliknya, dia berlompat jumpalitan mundur, hingga ia jadi terpisah pula delapan kaki. Ia menaruh kaki hingga ia tetap menghadapi pelita itu. Sembari kaki kanan ditarik mundur, ia rangkap kedua tangannya, hingga ia bersikap “Tongcoe pay Hoed” atau “Kacung suci menghormati Buddha.” Adalah setelah ia pentang kedua tangannya, serangannya dilakukan.

Selagi sambaran angin mulai meniup, hingga api pelita jadi hendak padam, dengan sekonyong2 dari arah para2 bunga, yang menghadapi pelita atau serangannya sipendeta itu, ada menyambar angin, yang memukul balik angin tangannya Coe Hoei Siansoe, hingga karenanya, apa pelita itu tak kena tertiup terus hingga padam. Dengan begitu, sekali ini gagallah serangannya sang pendeta. Ia jadi kaget dan heran, ia menyesal berbareng malu sendirinya. Tapi ia tidak mau berhenti sampai disitu saja.

Sambil empos semangatnya, Coe Hoei majukan kaki kirinya. Ia maju satu tindak seraya buka pula kedua tangannya, untuk gunakan jurus ke empat dari “Pay san oen ciang.” Karena ia bertindak lebar, ia jadi lebih mendekati pelita, tinggal sejarak enam kaki. Iapun menyerang dengan tenaga lebih dipusatkan.

Api pelita lantas saja tertiup angin, bergerak rebah seperti yang hendak padam.

Justeru itu, kembali ada angin menyambar dari antara para2 kali ini malah ada daun2 yang turut rontok. Karena tolakan angin duri arah para2 itu, pelita urung padam, apinya menyala pula seperti biasa.

Heran Coe Hoei atas kejadi ini itu, maka dari bercuriga, ia jadi insyaf bahwa sebenarnya ada orang yang merintangi. Hati nya menjadi panas. Pasti ia akan dapat malu apabila ia gagal, tak ada muka ia untuk tancap kaki lebih lama pula didalam Cap jie Lian hoan ouw.

Dalam mendongkolnya, pendeta Siauw Lim ini empos pula semangatnya. Ia hendak ulangi serangannya untuk padamkan pelita itu. Ia toh mempunyai latihan dari beberapa puluh tahun, demikian pikirnya. Ia kumpul tenaga dipundak, untuk dipindahkan ketelapakan tangan. Sambil geser tangan kiri kesamping, tangan kanannya, dari bawah tangan kiri itu, dimajukan kedepan. Dengan mendadakan ia bergerak dalam “Hek houw sin yuw,” atau “Harimau hitam mengulet”. Iapun perdengarkan seruan napas selagi ia menyerang itu.

Ketika angin tangan menyambar, kebetulan ada dua lembar daun rontok dari atas para2, daun2 itu kena tertolak angin hingga terpental melayang empat lima kaki jauhnya, jatuh dibawah para2. Tentu saja, lebih dahulu daripada itu, pelita pun padam.

Ban Lioe Tong kagum tak terkira. Benar2 pendeta ini mempunyai ilmu silat yang liehay Tapi dilain pihak ia insaf, antara alingan para2 itu tentu ada orang, yang jaili si pendeta itu. Ia sekarang berkuatir untuk orang tak dikenal itu.

Betul sebagaimana yang ia duga, ketua Kwie In Po segera lihat gerakan terlebih jauh dari Coe Hoei, yang tidak lantas berdiam diri sesudah serangannya yang terakhir itu. Membarengi padamnya api, pendeta ini mencelat kearah para2, untuk mana ia telah lompat lewati kelima para2 bunga, ia berseru : “Orang bercelaka, kau telah patahkan cabang dan bikin rontok daun2, apa sekarang kau tidak hendak turun?”

Serangan itu ada hebat, cabang2 dan daun2 pada jatuh rontok dengan menerbitkan suara, akan tetapi dari atas para2 sendiri tidak ada suara lainnya, tidak ada jawaban untuk teguran itu.

Agaknya Coe Hoei Siansoe sudah puas, maka dengan mendadakan, ia tertawa besar. Kemudian seraya putar tubuh, ia hampirkan Ban Lioe Tong. “Ban Po coe, sudah lama aku tidak berlatih, aku bikin kau tertawai saja padaku!” katanya dengan merendah.

Lioe Tong lekas2 membalas hormat.

“Sebaliknya, loosiansoe ada lie hay sekali,” jawab ia. “Loosiansoe telah wariskan dengan sempurna ilmu silat Siauw Lim Pay, aku kagum sekali. Aku telah dapat tambahan pengetahuan karenanya. Maka menurut hematku, loosiansoe, baik aku tak usah turut kasi pertunjukan, aku mengaku kalah saja. Bagaimana jikalau kita mulai dengan yang ke dua?”

Pendeta Siauw Lim itu tertawa.

“Ban Pocoe, kau terlalu sungkan!” katanya “Ilmu silat Hoay Yang Pay dihormati kaum kang ouw, maka apa mustahil pocoe berniat menyembunyikan kepandaian kaummu itu hingga tak sudi kau beri kesempatan untuk aku baka pandangan mataku? Ban Pocoe, tak usah kau terlalu merendahkan diri, silahkan kau beri pelajaran kepadaku. Mari kita mulai!”

Mendengar itu, Lioe Tong tidak berlaku sungkan lagi. “Baiklah,    sekarang    aku    perlihatkan    kejelekanku!”

katanya seraya terus ia bertindak kedalam kalangan, akan

berdiri ditengah2.

Selama itu, kelima pelita sudah dinyalakan pula sumbuhnya.

“Loosiansoe, tolong kau ajari aku,” mengucap Siok beng Sin Ie, apabila ia telah hadapi pendeta dari Siauw Lim itu, untuk beri hormatnya. Dan begitu lekas ia ubah tangannya, yang dirangkap tadi, tubuhnya terus mendek sedikit, untuk kumpul tenaga habis itu ia mencelat ketimur, dalam gerakan ular “Coa heng it sie.” Ia tidak loncat tinggi. Setelah lewati enam tujuh kaki, ia turun didepan sebuah pelita. Ia tidak segera menyerang, hanya sembari mendek, ia memutar tubuh, kedua tangannya bersiap didepan dada, tangan kiri didepan tangan kanan, belakang tangan menghadap ke atas semua jari maju ke depan.

Setelah sikapnya ini, kembali Lioe Tong lompat balik, begitu pesat, hingga tahu ia sudah hadapi pelita barat sejarak enam kaki segera tangan kirinya di kerjtkan. Selagi api doyong tertiup angin dan hendak padam, tangan kanan menyusul, maka tak ampun lagi, api itu padam dalam sedetik.

Setelah padam pelita barat, Lioe Tong tidak berhenti beraksi, hanya ia teruskan memutar diri, kearah barat utara, akan menyerang pelita yang ke dua sekarang ini tetap tangan kirinya disusul tangan kanan. Sekejap saja, api pelita pun padam.

Sekarang Lioe Tong bergerak memutar dengan gerakan “Hong hong soan oh sie” atau “Burung hong terbang mengitari sarang.” Begitu kakinya injak tanah, kedua tangannya menyerang dengan tipunya “Tiat so heng cioe” atau “Dengan rantai besi menambah perahu melintang.” Pelita padam dengan segera, lelatunya sampai terbang tiga empat kaki.

Beruntun tiga kali, Lioe Tong padamkan tiga pelita, lalu menyusul pelita yang ke empat, hingga sekarang tinggal pelita terakhir, yang berada diarah timur utara. Ia masih tidak berhenti, ia bergerak terus untuk menghadapinya. Saat terakhir ini ia gunakan jurus kedelapan dari Pat kwa ciang, malah dengan dua tangan berbareng, maka pelita padam dengan lelatunya terbang berhamburan tiga kaki juahnya, sampai ada lelatu yang jatuh didepannya Coe Hoei Siansoe, ada juga yang menyambar jubanya, hingga dia terkejut. “Aku siorang she Ban tidak mempunyai kepandaian berarti maka tolong loosiansoe memberikan pelajaran kepadanya,” Siok beng Sin Ie kata dengan merendah seraya ia beri hormat pada pendeta Siauw tim Pay Itu.

“Oh mie to Hoed, tangan pocoe liehay sekali!” pendeta ini memuji. “Itulah tenaga Ngo heng ciang lat yang langka tertampak dalam dunia Rimba Persilatan, maka beruntunglah pinceng bisa menyaksikan ini. Sekarang kita akan mulai dengan yang ke dua, bagaimana pendapat Ban Pocoe?”

“Loosiansoe terlalu memuji,” Liioe Tong bilang. “Lo Han Ciehio chung ada salah satu kepandaian istimewa dari Siauw Lim Pay, malah dalam kalangan Siauw Lim sendiri ada langka sekali. Belum pernah aku yakinkan ilmu itu, umpama kata, aku paksakan diri, aku kuatir aku nanti ditertawai orang banyak. Maka itu, ingin aku minta pada saudaraku yang menggantikan aku.”

Coe Hoei tertawa haha2.

“Ban Pocoe, kau ada sangat kenamaan aku pun sangat kagumi kau,” katanya, “sekarang kau mengucap begini, pinceng merasa bahwa pembicaraanmu bertentangan dengan hatimu.”

Baharu pendeta itu mengucap atau kelihatan Auwyang Siang Gee mendatangi dari belakang Ceng Giap San chung dia ber lari2 dengan wajah ibuk sekali, tetapi, tanpa perhatikan ketegangan, malah sambil menunjuk hiocoe itu Coe Hoei menambahkan: “Pernah aku dengar sendiri keterangannya hiocoe she Auwyang itu tentang sebabnya, kenapa Hoay Yang Pay telah menjagoi dalam dunia kang ouw sebabnya karena Lek Tiok Tong di Ceng Hong Po mempunyai orang2 luar biasa dan akhliwarisnya, yang diketuai oleh Eng Jiauw Ong, mempunyai Sha caplak Kim na hoat serta tenaga Eng jiauw lat yang bisa menindih kaum Rimba Persilatan. Ban Pocoe sendiri mempunyai disebelah ilmu ketabiban yang lulur, juga Ngo heng Ciang lat, ilmu mengentengkan tubuh, Keng kang Tee ciong soet, serta jarum rahasia Siok beng Kim ciam tiga rupa ilmu

istimewa, sedang Yan tiauw Siang Hiap dari Na chung, Coe cioe, juga mempunyai tiga rupa kepandaian istimewa lainnya. Maka itu, apakah artinya kebisaanku dari Siauw Lim Pay? Baik, Ban Po coe, karena kau tak ingin melanjutkan dengan rintasan yang ke dua, aku ingin main2 dengan kedua saudara Na. Mereka itu selain liehay ilmu silatnya, juga pandai sekali bicara dari itu bertemu dengan orang2 demikian kesohor, cara bagaimana pinceng bisa mengasi lewat kesempatannya? Nah, persilahkan, Ban Po coe, sekarang pinceng menantikan Yan tiauw Siang Hiap untuk memberikan pelajaran kepadaku !”

Bukan kepalang ibuknya Lioe Tong mendengar tantangan si pendeta terhadap kedua saudara seperguruannya itu justeru ia sedang berdaya untuk cegah mereka turun tangan. Inilah ia tidak sangka. Ia tidak duga, penolakannya justru digunakan oleh sipendeta yang cerdik itu. Tentu sekali, setelah ia menampik, tak dapat ia tarik pulang penampikannya itu.

Dua2 Na Pek dan Na Hoo sudah dengar perkataannya sipendeta Siauw Lim itu. Itulah kata2 pujian yg. mengandung sindiran juga, Pasti sekali, tak dapat mereka lewatkan ejekan itu. Sedang begitu, entah dari mana datangnya, mereka pun dengar kata2 ini: “Kali ini habislah si orang she Na! ”

Tidak perduli mereka ada sangat cerdik, karena sekarang mereka terpengaruh sikap jumawa dari Coe Hoei Siansoe, dua saudara itu tidak sanggup cari tahu, siapakah orang yang mengatakan demikian tentang nasib mereka. Sudah begitu, segera terdengar juga perkataan nya Wa po eng Siangkoan In Tong: “Orang telah menantang biar bagaimana, tantangan itu mesti diterima, tak perduli kita bakal menghadapi gunung golok dan kwali minyak! Apapula yang ditantang adalah Yan tiauw Siang Hiap!”

Maka Na Pek segera berbangkit dan terus berkata : “Untuk kami, bertanding tidak ada artinya. Mari kita mulai!” Lalu ia mengawasi In Tong dengan air muka mendongkol, sedang In Tong sendiri bersenyum dingin, ia bungkam.

Na Pek memberi hormat kepada ketuanya, habis mana, ia bertindak akan hampirkan pendeta Siauw Lim itu, siapapun sudah lantas mendatangi dari arah selatan para2 bunga, sedang Lo han Cie hio chung diatur diutara para itu.

Ban Lioe Tong menyesal sekali tetapi terpaksa ia diam saja. Ia telah berpisah dua atau tiga puluh tahun dari saudara seperguruan itu, hingga ia tak tahu, sampai dimana ada latihan terlebih jauh dari saudara ini. Hanya ketika ia hendak balik ketempatnya dan berpapasan dengan saudara itu, ia kata : “Na Soeheng, kita sudah berusia lanjut, jangan kita kasi diri kita dipedayakan orang, dan ditempat semacam ini, tidak dapat kita bertindak dengan turuti adat saja.”

“Jangan kuatir, soetee,” sang soeheng jawab sambil ia manggut. “Jikalau aku tidak layani pendeta ini, tidak nanti dia merasa puas. Umpama aku tak sanggup rubuhkan dia, tetapi dia bisa rubuhkan aku, tidak apa.”

Lalu ia jalan terus tanpa menoleh lagi, hingga ber sama2 Coe Hoei Siansoe, mereka masing2 menaiki panggung pelatok hio.

“Na Sie coe, apa benar2 kau sudi beri pengajaran kepada ku?” Coe Hoei tegaskan dengan wajah dingin. “Terhadapmu, benar2 pinceng kagum sekali. Sekarang tak usah kita banyak omong lagi, diatas pelatok ini, pinceng hendak mohon pengajaranmu itu. Silahkan!”

Na Pek mendongkol melihat lagaknya pendeta itu, nyata sekuli, bagaimana ia telah dipandang enteng, maka dalam hati nya, ia kata : “Kepala gundul, kau sangat tak lihat mata padaku, aku justeru hendak bicara lenganmu!”

Lalu ia tertawa geli, tertawa dingin.

“Toa hoosiang, harap kau jangan tak sabaran!” berkata dia. “Tidakkah, kau ketahui kebiasaannya sipenjual silat, yang suka mengadakan pidato pembukaan? Juga kita, kita memerlukan sedikit penjelasan. Kau ada orang suci, yang datang ke Ceng Giap San chung ini sebagai orang luar. Aku siorang she Na ada orang Hoay Yang Pay asli dan datangku kesini ada untuk persilatan persahabatan, sebab urusan disini ada urusan khusus antara kedua pihak, Hoay Yang Pay dan Hong Bwee Pang.

Kami bakal lakukan suatu pertandingan yang memutuskan, jadi itu berarti juga mati atau hidupnya Hoay Yang Pay. Toa hoosiang ada orang luar, pasti sekali kau tidak punya kepentingan suatu apa, akan tetapi bukti nya, kau sangat memperhatikan nya. Begitulah diantara tiga janji, kau memasuki janji yang kedua ini. Toahoosiang tolong jelaskan, kita main2 diatas Cie hio chung ini dengan ilmu enteng tubuh atau dengan kepalan saja? Aku ingin kau menjelaskannya, supaya umpama kata aku terbinasa, aku jadi satu setan konyol!”

Coe Hoei sedang memutar tubuh, untuk mulai menaiki pelatok, ketika ia terhalang oleh kata2nya lawan ini yang tajam, hingga, ia jadi gusar sekali. Ia menoleh, akan awasi lawan itu. “Na Sie coe, perjanjian sudah ditetapkan, mengapa kau ber pura2 masih tidak mengarti?” tanya dia. “Diatas Cie hio chung ini kita cuma akan saling tukar tangan. Hanya pinceng memikir supaya pertandingan ini dapat lekas diakhiri, agar kita bisa lantas tukar tangan kosong dengan alat senjata, supaya juga pertandingan terakhir segera ada keputusannya. Umpama ada hal yang tidak mencocoki, tidak ada halangannya akan sie coe menunjukkannya.”

Mau tidak mau, pendeta itu toh layani orang bicara. Na Pek kembali tertawa dingin.

“Melainkan sebegini saja?” katanya. “Aku tadinya menyangka toahoosiang mempunyai cara lain. Untuk saling tukar tangan saja bukannya hal aneh, hanya Lo han Cie hio chung ini, dimataku, ada luar biasa. Dikalangan Selatan dan Utara, yang pernah lihat panggung pelatok ini pasti cuma tinggal beberapa gelintir saja. Kecuali Siauw Lim Sie di Pou thian, Hokkian, mungkin dipusat di Siong San sudah tidak ada yang mengarti pula. Dulu pernah aku dengar orang2 tua bicara, dalam Siauw Lim Sie di Lam hay, Laut Kidul, ada orang yang pernah yakin ini akan tetapi tak pernah ada yang menyaksikannya, maka tidaklah di sangka2, karena untung bagus dari Hong Bwee Pang lantaran kebijaksanaannya Pang coe Boe Wie Ycng, dia telah dapatkan toahoosiang yang justeru pandai dalam kepandaian terrahasia dari Siauw Lim Pay yang tidak sembarang diwariskan. Siapa nyana toahoosiang sudah datang ke Ceng Giap San chung ini, untuk menambah pengaruh Hong Bwee Pang, guna menindih lain orang! Mungkin ini ada harapannya Tat Mo Coen cia, pendiri dari Siauw Lim Pay itu, maka juga aku, si Na Loo Toa, suka memberi selamat pada Hong Bwee Pang! Toahoosiang, aku toh tidak salah bicara, bukan?” Mukanya Coe Hoei menjadi merah sampai ke kuping2nya.

“Benar2 Na Sie coe banyak pendengaran, banyak penglihatan!” ia mengejek. “Tidak saja boegeemu liehay, pengetahuanmu pun luas. Pinceng takluk kepadamu. Baik pinceng jelaskan, bahwa dengan masuk ke Cap jie Lian hoan ouw ini, pinceng bertemu dengan rombongan2 Hoay Yang Pay dan See Gak Pay, pinceng anggap ini ada pertemuan luar biasa, mungkin ini ada pengharapanku yang terakhir. Na Sie coe, karena disini bukannya tempat yang tepat, aku harap lain waktu, setelah perpisahan dari sini, kita mempunyai jodo untuk bertemu pula, supaya aku menerima pelajaran sungguh2 daripadamu. Na Sie coe, tentang kata2mu yang luhur, harap kau tunda dulu, sekarang, persilahkan!”

Pendeta ini, yang tak ungkulan adu bicara, rangkap kedua tangannya.

“Hm!” Na Pek perdengarkan suara pelahan sambil ia berpikir : “Kepala gundul, kau telah dapati kemurahannya Sang Buddha, kau telah wariskan ilmu silat sejati Siauw Lim Pay, kenapa perbuatanmu menentang pri kebenaran? Kenapa kau justeru bantu Hong Bwee Pang? Sama saja kau bantu kaisar Tioe mengganas! Sudah mendurhaka terhadap agamamu, kau juga berbuat dosa! Kepandaianmu memang bisa menindih kaum Rimba Persilatan, akan tetapi tak gampang kau bisa rubuhkan Na Loo Toa!”

Lantas ia pandang pendeta itu dan kata: “Toa hoosiang, sebenarnya aku adalah orang yang tak dapat menerima pelajaran, aku tidak mempunyai kepandaian yang mengejutkan orang apa yang aku tahu adalah ilmu silat tukang dangsu saja, maka itu ingin aku menjelaskan, dengan naik atas pelatok Cie hio chung ini, aku memasuki saat pemberesan diriku seumur hidup. Toahoosiang, apa kau sangka aku masih mempunyai hari kemudian? Tak mau aku menantikan hari kemudianku itu! Toahoosiang, kau ada utusan penyambut dari Tanah Barat, maka kedatanganmu ini berarti hari pulangku! Toahoosiang, siap aku untuk menemani orang budiman, jangan kita sia2kan saat yang baik, persilahkan!”

Coe Hoei mendongkol dan gusar hingga tak bisa ia mengatakan apa2, dari itu, lantas saja ia loncat naik keatas panggung pelatok. Dia ada bertubuh besar, akan tetapi cara loncatnya nampak enteng sekali, mirip dengan “Yoe hong hie loei” atau “Tawon terbang memain dipusuh bunga.”

Na Pek segera menyusul, hingga naiknya mereka keatas pelatuk ada saling susul. Gerakannya, pun tak kalah entengnya dengan si pendeta.

Coe Hoei menaruh kaki dipelatok hio yang ke empat, Na Pek berdiri didepannya, dipelatok yang ke lima disamping utara.

Yan tiauw Siang Hiap kesohor untuk ilmunya mengentengkan tubuh, akan tetapi diatas Lo han Tie hio chung, belum pernah mereka mencoba, maka itu, inilah ada pengalaman Na Pek yang perlama. Karena ini, ia men coba2 dengan injak tiga pelatok lain nya. Ia lantas merasakan, sungguh sulit akan berdiri atas tahangan2 hio sebagai itu. Jadi sekarang, harus ia berkelahi secara mati2an.

Coe Hoei bertindak dari selatan kebarat, kedua tangannya di buka. Dengan lantas ia bersiap dengan tipu silat Ce pee Cit cap sha chioe Sin koan, yalah pukulan tangan seratus tujuhpuluh tiga gebrak. Inilah tipu silat pembukaan Siauw Lim Pay. Tapi ini bukan warisan langsung dari Tat Mo Couwsoe, yang cuma menurunkan “Ie Kin Keng” dan “Sip pat Lo Han chioe” itulah warisannya Pek Giok Hong, salah satu tetua belakangan dari Siauw Lim Pay, yang merubah, menciptakan gambar tabib Hoa To Ngo Kim Touw, “Lima Macam Ternak,” menjadi lima macam ilmu silat berdasarkan gerak gerik binatang lainnya. Ngo Kim dari Hoa To ada harimau, manjangan, biruang, kera dan burung hoo, itu dirubah Pek Giok Hong menjadi naga, harimau, macan tutul, kera dan burung hoo, yalah yang dikenal sebagai Liong koen, Houw koen, Pa koen, Khauw koen dan Hoo koen. Coe Hoei telah dapat warisan sempurna, dari itu, tubuhnya enteng, gerakannya pesat sekali. Ia puas dengan kepandaiannya itu, maka ia berani menantang Yan tiauw Siang Hiap. Iapun diam telah ambil putusan untuk tidak kasi hati pada lawannya ini yang kesohor doyan bergurau.

Na Pek lihat daya gerak musuhnya, ia insyaf liehaynya lawan ini, maka itu, ia waspada, ia senantiasa memasang mata. Ia bergerak dalam Sha cap lak louw Kim na chioe.

Setelah keduanya berputaran, selagi Coe Hoei sampai dibarat sekali, mendadakan ia mencelat lempang ketimur, dilain pihak, Na Pek justeru dari timur kebarat, maka itu, keduanya bersomplokan di tengah2. Coe Hoei segera menyerang dengan “Hek houw sin yauw” atau “Harimau hitam mengulet,” kaki kirinya di depan, kaki kanannya terangkat, dan ia menyerang dengan kedua tangannya berbareng.

Na Pek cepat berkelit kekanan, tak mau ia adu tenaga, ia kuatir pelatok hionya tak kuat menahan tubuhnya. Tangan kanannya dimajukan kedepan, disusul dengan tangan kiri. Mulanya ia hendak gunakan tipu silat “Tay peng thian cie,” atau “Burung garuda pentang sayap,” atau dengan diam2 dia ubah itu, karena tahu2, tangan kirinya, yang semula ada dibelakang, menyambar lawan dengan dua jari telunjuk dan tengah, akan cari jalan darah kiok tie hiat di bahu kiri lawannya itu.

Kedua tangannya Coe Hoei Siansoe telah serang sasaran kosong, memang dengan gampang lengan kirinya bisa diserang dari samping, maka dengan sebat ia berkisar kekanannya. Tapi ia tidak cuma berkisar saja, ia lantas maju pula, akan kirim serangan susulan. Ingin ia rintangi gerak gerik lebih jauh dari sang lawan. Serangannya kali ini ada “In liong tam jiauw,” atau “Naga dalam awan mengulur ku kunya,” akan cari jalan darah hoa kay hiat dari Na Pek.

Melihat serangan sipendeta, Na Pek geser kaki kirinya kebelakang, hingga ia jadi mundur, satu tindak, tangan kirinyapun ditarik, untuk segera dipakai menabas tangan bagian nadi dari penyerangnya itu.

Coe Hoei tarik pulang tangan kanannya, untuk dikasi turun ke bawah, berbareng dengan itu, tangan kirinya menyambar dengan “Kim Kong cie,” atau “Jari Kim Kong,” guna tusuk dan korek kedua mata lawannya.

Na Pek kelit kepalanya, tangan kanannya membabat lengan lawan itu, untuk sekalian digaet, maka Coe Hoei lekas2 menarik pulang tangannya itu. Dua2 pihak, gerakannya sangat membahayakan satu pada lain.

Selagi lawan itu tolong lengan nya, Na Pek mundur sampai empat pelatok, atas mana, Coe Hoei turut mundur, hingga untuk sementara, keduanya jadi renggang satu dengan lain. Sekali lagi, mereka masing2 jalan berputaran.

Mereka bertempur beberapa gebrak sama2 saling menghadapi ancaman bencana, sebab sesuatu serangan ada hebat. Semua penonton kagum berbareng berkuatir. Bukankah Coe Hoei telah wakilkan Boe Wie Yang, untuk lindungi kehormatannya Hong Bwee Pang? Bukankah Na Pek mesti jaga baik namanya sendiri, nama Hoay Yang Pay juga?

Saking ketarik, semua penonton bangkit berdiri.

Siangkoan In Tong sijail tidak dapat diam saja ia pandang Boe Wie Yang dan kata: “Boe Pang coe, bukankah kita kedua pihak sudah sampai di batas buntu, saat terakhir? Bukankah diatas pelatok Lo Han Cie hio chung itu ada orang2 kang ouw kenamaan, yang sedang adu kepandaian mereka secara mati2an? Maka kesempatan yang baik ini, aku lihat, tak dapat di lewatkan secara begini saja. Aku anggap jangan kita duduk diam saja! Apakah tidak baik kitapun maju bersama, untuk bantu meramaikan?”

Tanpa tunggu jawaban, Siangkoan In Tong lantas bertindak memutari lankan, ia sampai diluar paseban dimana, atas sebuah batu, ia duduk bercokol, disini ia isi hoencweenya, ia sulut itu, lantas ia ngelepus dengan asyik.

Tak puas Boe Wie Yang melihat tingkah agung2an atau jumawa itu akan tetapi ia terpaksa membungkam. Tidak mau ia melayaninya.

Perbuatannya Siangkoan In Tong ini jadi pembuka jalan. Dua2 Eng Jiauw Ong dan Coe In Am coe ingin melihat dari tempat lebih dekat mereka kuatirkan Na Pek, ingin mereka menolong pada saat yang tepat, saking malu hati, mereka diam saja, tapi nelayan itu norek, maka mereka anggap, mereka boleh menelad contoh itu. Untuk ini, tak usah lagi mereka kuatir dikatai tidak tahu aturan….

Ketua Hoay Yang Pay lantas kasi hormat pada ketua Hong Bwee Pang.

“Ya, Boe Pang coe, tidak ada halangannya kita melihat dari luar,” katanya. Lalu tanpa perkenan lagi, ia bertindak kearah Siangkoan In Tong perbuatannya ini diturut Coe In Am coe serta rombongannya. Mereka lantas berdiri diluar lankan sebelah utara.

Boe Wie Yang antapkan perbuatannya sekalian tetamu itu, tapi karena itu, bersama beberapa hiocoe, iapun menuju keluar paseban, akan ambil tempat disebelah selatan.

Diantara rombongan tuan rumah dan tetamu itu, rombongan tetamu berada lebih dekat kekalangan pertempuran daripada pihak tuan rumah.

Pada waktu itu, diatas pelatok hio, kedua pihak sudah maju pula saling mendekati, akan melanjutkan serang menyerang.

Na Pek tahu lawannya liehay, ia memikir untuk menggunakan kecerdikannya. Ia bergerak dengan gesit, baik maju maupun mundur atau menyamping. Ketika ia memutar dari arah barat utara, ia lantas berhadapan pula dengan Coe Hoei, yang memutar dari timur selatan. Jarak diantara mereka cuma empat pelatok.

Pendeta dari Siauw Lim Pay maju lebih dahulu dengan loncatan dua tindak bagaikan “Capung memain air” (“Ceng teng hie soei”) kaki kanannya di depan, tangan kanannya menyambar jalan darah kin ceng hiat dipundak. Ia bergerak dalam “Kim liong tam jiauw” atau “Naga emas mengulur kuku”. Nelusup dibawah bahu kiri, tangan kanannya itu menyambar cepat sekali.

Na Pek berkelit kekiri, sambil geser kaki kirinya berbareng dengan itu, tangan kanannya, dengan dua jari, balas serang jalan darah kiok tie hiat dari lawan itu. Serangan ini ada berbahaya tetapi pun membahayakan diri sendiri juga, karena mereka berada diatas pelatok, bukan diatas tanah dimana orang bisa taruh kaki dengan merdeka. Coe Hoei bertambah sengit karena serangannya itu gagal dan ia dibalas diserang secara hebat setelah mengelakkan diri, ia merangsek. Ia tidak ingin kasi kesempatan pada orang yang ia benci ini. Begitulah ia mencelat dengan kaki kiri injak keras pada pelatok, tanpa memutar tubuh lagi, hingga ia bikin heran pihak kawan dan lawan. Sebab itu ada gerakan berbahaya. Diatas pelatok tak selayaknya orang bergerak dengan “tenaga berat.”

Na Pek sudah mundur empat tindak, karena dirangsek jarak diantara mereka tinggal setindak saja. Iapun heran atas keberaniannya sipendeta. dengan gerakannya yang luar biasa, yang cepatnya luar biasa juga.

Tidak ayal lagi, Coe Hoei serang lawannya dengan pukulan liehay dari Siauw Lim Pay yang dinamakan “Heng toan cie kim chung,” atau “Sambil melintang mematahkan pelatok emas.” Mulanya kedua tangannya dirangkap didepan dada, lalu dengan mendadakan dipentang dengan berbareng, yang sebelah kanan menyambar dengan hebat, cepat dan ganas yang hebat untuk Na Pek ketika itu ia belum sempat memutar diri, untuk menghadapi lawan. Ia tahu musuh merangsek, tapi ia tidak sangka sedemikian cepatnya. Tahu2 tangannya sipendeta itu sudah menghampirkan bebokongnya.

Eng Jiauw Ong lihat saudaranya terancam ia sampai membanting kaki bahna bersusah hati.

Tapi Na Hoo sangat sayang saudaranya itu, melupakan aturan dia lompat dengan niatan menolongi. Begitu juga Ban Lioe Tong, yang sayangi saudara seperguruan itu. Kedua mereka ini lompat maju dengan berbareng.

Diatas pelatok sendiri, gerakannya Coe Hoei Siansoe tidak menantikan Na Hoo dan Lioe Tong, akan tetapi disaat tangannya baharu nempel pada bebokong Na Pek, tiba2 datang sambaran angin dari arah para2, angin mana menyambar kearah mukanya, hingga pendeta ini jadi kaget, hingga dengan sendirinya, tenaga serangannya jadi berkurang, hingga Na Pek cuma kena terserang anginnya serangan itu.

Tetapi walaupun demikian, kendatipun ia mempunyai latihan dari empat puluh tahun, tak urung ia kena tertolak keras, ia terjerunuk, hingga dua pelatok kena terinjak hancur, benar ia bisa lompat, toh tubuhnya sudah lenyap imbangannya, maka itu ia sampai ditanah dengan kaki kanan lebih dahulu, tubuhnya berputar terhuyung, lalu ia rubuh numprah ditanah, jantungnya dirasai panas, mukanya merah, kupingnya berbunyi tak hentinya.

Tapi ia masih bisa dengar satu suara dari atas para2 : “Jikalau kau kehendaki jiwamu, jangan buka mulut!”

Itu waktu, Coe Hoei sudah turun dari pelatok. Na Hoo dan Lioe Tong telah sampai kepada saudaranya, yang tak dapat mereka keburu hindarkan rubuhnya dari atas pelatok.

“Pinceng kesalahan tangan....” kata pendeta Siauw Lim Pay itu selagi ia berdiri diluar pelatok sebelah selatan.

“Kata2 yang tidak berarti harap dikurangi diucapkannya!” kata Na Hoo dengan tertawa dingin, selagi ia angkat bangun kakak nya. “Keluarkan tangan berarti kalah atau menang, pertandingan berarti hidup atau mati, maka apa yang hendak dibilang lagi? Saudaraku sudah rubuh, hweeshio, jangan kau berjumawa!”

“Kita perlu tolongi orang, jangan layani dia,” Lioe Tong kata pada soehengnya itu, yang hatinya panas. “Lekas tutup jalannya darah hie jie hiat!” Ia sendiri segera uruti jalan2 darah in tay hiat dan hoa kay hiat, untuk bikin benar jalannya darah. Ketika itu Coe In Am coe datang untuk serahkan dua butir pil tan see sambil ia kata pada Lioe Tong : “Ban Soetee, lekas masukkan ini dalam mulutnya lewat waktu seminuman teh, ia akan terhindar dari ancaman bahaya.” Kemudian ia teruskan pada Na Hoo : “Dalam kalangan Rimba Persilatan, mengadu kepandaian ada hal lumrah, maka itu kita perlu hargai kehormatan sendiri, jangan kita bertindak diluar garis. Na Sie coe, maukah kau dengar pinnie?”

Selagi tangannya bekerja, menekan jalan darah kandanya, Na Hoo manggut.

“Ya, hidup atau mati sudah takdir, kebahagiaan ada ditangan Thian,” sahutnya. “Kami berdua saudara telah sediakan jiwa untuk kaum kang ouw, dalam segala hal, kami harus insyaf kepada kepandaian sendiri yang kurang sempurna. Apa mungkin aku, Na Hoo, akan berikan contoh yang kedua?”

Mendengar itu, niekouw dari Pek Tiok Am itu manggut. “Bagus!” katanya. “Sekarang kita harus minta gotongan,

buat bawa Na Sie coe keperahu kita supaya disana dia bisa

beristirahat.”

Pada waktu itu, Eng Jiauw Ong pun datang menghampirkan.

Dari pihak Hong Bwee Pang, yang muncul ada Pat pou Leng po Ouw Giok Seng, untuk tengok keadaannya tetamu yang rubuh itu.

“Bagaimana, Ban Soetee?” Eng Jiauw Ong tanya adik sepergu ruannya.

“Mungkin tidak ada ancaman jiwa,” sang soetee jawab dengan alis mengkerut, tangannya sendiri merabah nadi saudara seperguruan itu. “Dia terluka parah didalam, tetapi dia telah makan tansee dari See Gak Pay. Aku percaya ia tak dalam bahaya.”

Eng Jiauw Ong awasi muka pucat dari Na Pek, ia menggeleng kepala.

“Apakah lukanya Na Toa hiap parah?” Ouw Giok Seng tanya.

“Tak usah kuatir, Ouw Hio coe, tidak apa,” jawab Eng Jiauw Ong.

Ketika ketua Hoay Yang Pay ini menoleh kepada Coe Hoei Siansoe, pendeta itu sedang kepalai beberapa orangnya perbaiki pelatok hio yang rusak.

“Ouw Hiocoe,” berkata ia pada Ouw Giok Seng, tolong sampaikan kepada loosiansoe, tunggu sebentar saja, aku hendak mohon pengajaran daripadanya.”

Sebelum Ouw Giok Seng menjawab, Coe In Am coe mendahului kata kepada ketua Hoay Yang Pay itu : “Ong Soeheng, tolong kau antar dulu kepada Na Soeheng.” Kemudian ia teruskan kepada Ouw Giok Seng : “Ouw Hiocoe, tolong kau titahkan sediakan gotongan, kami hendak antar Na Toa Hiap keperahu. Pinnie juga minta supaya Hiocoe mohonkan perkenan lalu lintas dari Boe Pang coe.”

“Jangan sungkan, Am coe,” sahut Giok Seng. sambil berse nyum. “disini pasti ada orang yang nanti antar Na Toa Hiap keperahu.”

Ia lantas berpaling keluar para2 dan tangannya menggape.

Pihak Hong Bwee Pang memang sudah siapkan orang2nya dan gotongannya, guna tolong orang2 yang terluka, maka itu, atas tanda dari hiocoe ini, segera muncul beberapa orang serta sebuah gotongan.

Ban Lioe Tong dan Na Hoo segera angkat tubuh soehengnya untuk dinaikkan dengan hati2 ke atas gotongan.

“Pinnie minta supaya Na Jie siecoe yang antar sendiri pada Na Toa Hiap,” Coe In lantas kata pada Eng Jiauw Ong. “Yang lainnya tak usah ikut. Bagaimana pikir Ong Soeheng?”

Eng Jiauw Ong mengarti maksudnya pendeta ini, untuk cegah Na Hoo membalas sakit hati kakaknya, maka ia manggut, terus ia kata pada Ay Kim Kong: “Soetee, kau insyaf keadaan, maka silahkan kau lekas antar kakakmu keperahu. Kami juga tidak bakal berdiam lama2 disini.”

Na Hoo bisa berpikir, ia suka menunda tuntutannya terhadap Coe Hoei Siansoe. Kandanya itu membutuhkan rawatannya lebih jauh.

“Baik,” ia jawab. “Urusan disini kami berdua lepas tangan.” Ia lantas menoleh pada tukang2 gotong dan kata : “Mari berangkat!”

Ouw Giok Seng perintah dua titong soe, dengan bawa tek hoe, antar jalan kepada orang yang luka itu.

Eng Jiauw Ong awasi kepergiannya dua saudara itu kemudian ia menoleh, untuk tantang Coe Hoei Siansoe, akan tetapi belum sempat ia buka mulut, Coe In Am coe sudah lantas kata padanya : “Ong Soeheng, silahkan kembali kedalam rombongan, untuk tilik segala apa, pinnie sendiri hendak menemui lebih duhulu pada toasiansoe itu.”

Lalu tanpa tunggu jawaban, pendeta wanita ini bertindak ke arah pendeta dari Siauw Lim Pay, untuk terus memberi hormat secara keagamaan sambil berkata : “Loosiansoe, pinnie ada murid dari See Gak Pay yang sekarang ini mengurus kuil Pek Tiok Am, pinnie ingin menerima pengajaran dari loosiansoe. Mengingat kita ada sama2 murid Sang Buddha, pinnie percaya loosiansoe suka mengajarkan aku.”

Coe Hoei Siansoe insyaf sifat nya pertempuran babak terakhir ini, ia merasa pasti, setelah rubuhnya Na Pek, bakal ada orang Hoay Yang Pay yang menantang dia, dari itu, ia sudah lantas perintah orang perbaiki pelatoknya. Iapun sengaja ambil tempat diselatan, untuk bersedia2. Maka kapan ia tampak datangnya Coe In Am coe, lekas2 ia memberi hormat.

“Am coe terlalu merendahkan diri,” berkata dia, menjawab niekouw itu. “Pinceng sendiri ada murid Siauw Lim Pay, kebisaanku masih kasar, beda bila pinceng dipadu dengan See Gak Pay yang kenamaan, yang cahayanya mentereng. Dengan Tin hay Hok po kiam, Am coe telah singkirkan segala hantu iblis, sedang See boen Cit po coe ada berpengaruh sekali. Telah lama. pinceng dan kaumku kagumi Am coe, telah lama kami berniat membuat kunjungan, sayang kita terpisah diselatan dan utara, tak berjodo kita untuk segera dapat berkumpul, hingga tak dapat keinginan kami terwujud, maka adalah diluar dugaan, kita toh bisa bertemu disini dalam Ceng Giap San chung. Hal ini membuat pinceng sangat berbahagia. Am coe sudi memberi pengajaran kepada pinceng, biarlah pinceng perlihatkan keburukannya, asal Am coe dengan memandang muka Buddha suka menaruh belas kasihan terhadapku. Apakah Am coe berniat naik dipelatok Cie hio chung !”

Pendeta ini bicara merendah, tetapi pada akhirnya ia menantang. “Inilah kepandaian luar biasa dalam kalangan Rimba Persilatan, pinnie belum pernah mencobanya, walau demikian, suka pin nie temani siansoe dalam dua babak,” jawab niekouw itu.

“Baiklah,” sahut hweeshio itu sambil ia terus memberi hormat, untuk mengundang : “Silahkan!”

“Silahkan, siansoe!” jawab Coe In.

Baharu orang habis berkata, Coe Hoei Siansoe sudah, mencelat naik keatas pelatok, untuk sengaja pertontonkan ilmu mengentengkan tubuh. Tempatnya diselatan tapi ia sengaja naik ketimur utara. Malah ia sengaja putar tubuhnya, hingga ia jadi berdiri dengan sikapnya “Ayam emas berdiri dengan sebelah kaki” (“Kim kee tok lip”) dan tangannya merangkap menyembah, dalam sikap “Kacung suci menghormati Buddha” (“Tong coe pay Hoed”).

Sampai waktu itu, tak dapat Coe In mengalah lagi, maka iapun loncat naik kepelatok di barat selatan dimana ia taruh sebelah kaki dengan tetap dengan kedua tangan ditakap, hingga ia bersikap sama dengan sihweeshio: “Kim kee tok lip” dan “Tong coe pay Hoed.”

CXXXVII

Terkejut juga Coe Hoei dalam hatinya akan saksikan cara berloncat lawan itu, jadi bukan cuma2 Coe In Am coe kesohor sebagai akhliwaris See Gak Pay. Iapun kagum untuk sikap tenang dari niekouw itu, sedang ia sendiri ada beroman bengis, karena ia berniat pasti akan rubuhkan musuh, sedang Coe In, yang bisa duga hati orang, bersikap sabar dan waspada.

Sampai disitu, Coe Hoei geraki kedua tangannya, akan kasi lihat sikap menghormat dari Siauw Lim Pay, perbuatan mana dituruti oleh Coe In Am coe, untuk balas hormatnya lawan itu, cuma selagi Coe Hoei pentang kedua tangan, tangan sendiri tetap terangkap rapat.

Demikian keduanya, mulai bergerak2, untuk persiapan.

Coe Hoei dari timur utara, dari arah timurnya ia bertindak kearah selatan. Coe In dari barat selatan, dari arah baratnya ia menuju keutara. Mereka berputaran hingga si niekouw berada dibarat dan si hweeshio ditimur. Setelah itu keduanya saling maju mendekati. Inilah yang dibilang keduanya injak tiong kiong, jalan di hong boen. Keduanya bersikap saling mengalah, tidak ada yang hendak menyerang terlebih dahulu. Karena ini, kembali mereka berpisahan, si hweeshio keutara, si niekouw keselatan. Keduanya memasang mata dan waspada.

“Silahkan, siansoe, jangan sungkan,” Coe In mengundang sambil ia memberi hormat.

“Silahkan, Am coe,” Coe Hoei menjawab. Tetapi segera waktu ia maju kedua tangannya, yang dirangkap, dibuka dengan cepat, untuk mulai menyerang dengan “Pay san oen ciang” atau “Mengatur gunung, mengangkut tangan.”

Keduanya telah maju saling mendekati, hingga jarak mereka cuma satu tindak. Kedua tangannya si hweeshio didahului dengan sambaran anginnya, yang menunjukkan hebatnya serangan itu.

Coe In telah saksikan liehay nya pendeta dari Siauw Lim Pay itu, ia insaf tenaga tangan lawannya, tetapi ia tidak menyingkir, ia malah menyambuti dengan kedua tangannya juga, hingga tangan mereka bentrok, dengan akibat keduanya merasai tubuh mereka saling menggetar! “Dia benar hebat”, pikir niekouw dari Pek Tiok Am. Apabila ia tidak mempunyai latihan empat puluh tahun, pasti dia akan tertolak rubuh, jatuh dari pelatok.

Lantas saja niekouw ini menindak kekiri untuk maju, hingga ia jadi berada dikirinya si hweeshio. Dari samping ini, dengan dua tangannya, ia menyerang dengan “Kim tiauw tian cie” atau “Garuda emas membuka sayap.” Tetapi tangan kanannya adalah yang mencari iga kanan lawan.

Hweeshio itu menindak kekiri, untuk menjauhkan diri, selagi membalik tubuh, tangan kirinya diangkat untuk menangkis, dan selagi angkat kaki kanan, tangan kanannya membarengi membacok juga tangan kanan lawannya itu. Inilah gerakan “Kwa houw teng san” atau, “Menunggang harimau mendaki gunung”.

Coe In tidak berhasil dengan serangannya tetapi juga tangannya ditarik, tidak dikasi dihajar si hweeshio.

Demikian gesitnya gerakan kedua orang liehay.

Habis itu, Coe Hoei tarik kaki kirinya kebelakang, sambil mendek, ia memutar tubuh. Ia mendek untuk bersiap menyelamatkan diri kalau2 lawan serang ia selagi ia putar tubuhnya. Terus ia bergerak dengan gesit, untuk hampirkan arah kiri dari si niekouw, untuk segera serang iga kirinya niekouw itu.

Coe In bisa duga maksud lawannya, maka ia menyingkirkan diri sambil berlompat, nampaknya ia terkena serangan, terkena anginnya, sebenarnya ia dapat lolos.

Coe Hoei ada hebat, begitu orang lompat, dia menyusul. Inilah gerakannya yang liehay, yang membikin ia dapat dului Na Pek. Tahu2 ia sudah membayangi Coe In Am coe. Sebab bagaikan menunggang harimau, lompatannya pesat luar biasa. Dan sampainya tubuhnya dibarengi dengan serangan juga dengan “Soet pay chioe” atau “Lemparkan tugu.”

Coe In tahu ia disusul, tanpa menoleh lagi, ia putar tubuhnya. Ia berbalik sambil lompat kesamping kiri, maka setelah menaruh kaki kanan disebelah depan, ia jadi berada dikirinya pendeta dari Siauw Lim Pay itu. Sekarang ada gilirannya, untuk serang hweeshio itu. Ia gunakan “Kim hong hie loei” atau “Tawon kuning buat main pusu,” dua jari telunjuk dan tengah tangan kanannya mencari jalan darah dari lawannya yang liehay itu. Iapun hunjuk kesebatannya.

Coe Hoei sudah pikir, apabila ia gagal, ia hendak ulangi serangannya, ia tidak duga, ia justeru didului oleh lawannya itu, maka itu, ia mesti batalkan rencananya sebaliknya, lekas2 ia berkelit kekiri selagi kepalanya diegos, tangan kirinya menggunting lengan penyerangnya. Rupanya tak sudi ia diserang cuma2.

Mengetahui kedua jarinya tidak mengenai sasaran, Coe In Am coe lekas2 tarik pulang tangannya itu. Iapun tidak mau alpa atau ayal2an, ia telad kesebatannya hweeshio itu. Begitulah tangan kanan itu, dengan ujung bajunya yang gerombongan, dikibaskan kearah bebokong lawannya.

Coe Hoei terkejut, lekas2 ia beikelit. Kalau ia terkena kibasan itu, tidak ampun lagi, mesti ia rubuh dari pelatok hio itu. Karena ia menyingkir, kembali keduanya terpisah satu dari lain.

Berdua mereka berputaran pula ada kalanya mereka datang dekat satu sama lain, lantas mereka masing2 mundur pula. Atau setelah satu gebrak, keduanya mundur sendirinya. Secara begini, mereka telah bertempur sampai lebih dari sepuluh jurus tanpa ada kesudahannya yang memutuskan.

Semua penonton menonton dengan perhatian penuh mereka telah saksikan saat2 yang berbahaya, melainkan Siangkoan In Tong yang tetap masih umbar tabiatnya, dia tidak ambil pusing bahwa orang tidak perdulikan padanya, dia masih ngoceh saja, sambil sering2 ketruki hoencweenya ia sebuti sesuatu pukulan dan macamnya, bahayanya juga. Diapun kata bahwa, siapa pakai lebih banyak tenaga, dialah yang akan menang….

Coe Hoei Siansoe insaf liehay nya niekouw didepannya, bahwa apabila ia alpa atau lambat sedikit saja, ia bisa menjadi kurban, karena ini, ia ingin lekaskan akhirnya pertandingan itu. Sembari berpikir, dari depan para sekali, ia memutar kearah timur selatan.

Coe In Am coe lagi bergerak dari barat utara ketika ia mulai gunakan ilmu mengentengkan tubuh “Co siang hoei,” atau “Terbang diatas rumput,” kepunyaan See Gak Pay, hingga selanjutnya tak usah lagi ia terlalu perdatakan tindakan atas pelatok2 tabung hio itu ia bisa maju mundur dengan leluasa. Begitulah kemudian, ia merangsek dari arah timur utara.

Coe Hoei berlaku waspada terhadap bagian depan dari paras, dua kali ia ngalami kejadian yang mencurigakan, maka ia percaya, dipara2 itu, atau teraling dengan itu, mesti ada orang liehay yang sedang umpatkan diri, orang yang bukannya berpihak dengannya. Ia cerdik, tidak mau ia menyebabkan orang itu maju berterang karena tindakannya yang keliru. Maka tetap ia layani si niekouw dengan gerak geriknya yang hati2. Demikian waktu Coe In Am coe hampirkan padanya, tiba2 ia mendahului ia menyambut dengan satu serangan dari Sip pat Lo Han chioe, mengarah pundak kiri si niekouw. Dengan cepat Coe In Amcoe kasi turun pundaknya, kakinya bertindak kekanan, sambil berkelit secara demikian, ia hajar pundaknya lawan itu. Inilah penyerangan pembalasan yang cepat sekali.

Pendeta dari Siauw Lim Pay itu tidak ‘melarikan diri’ ia justeru mencari kesempatan untuk sanggapi tangan musuhnya, untuk mana ia pakai tipu silat “Ang in tok goat,” atau “Awan merah menahan rembulan.”

Coe In menyingkir dari timur utara kearah timur. Diam2 ia kagumi lawan yang benar2 liehay sekali itu. Pantaslah dia menjadi jago Siauw Lim Pay, kepandaiannya tidak mengecewakan.

“Aku mesti keluarkan kepandaianku atau aku bakal rubuh di tangannya,” niekouw ini memikir terlebih jauh. Lantas saja ia mulai dengan “Liong heng pat ciang” atau “Delapan tangan roman naga” ciptaannya Keng Tim Soe thay. Ilmu silat ini disebut juga “Liong heng pat sie,” atau “Delapan rupa sikap naga.” Biasanya ilmu ini digunakan ditanah datar, tapi karena, dia paham ilmu mengentengkan tubuh, Coe In berani gunakan itu diatas pelatok Cie hio chung.

Coe Hoei Siansoe segera lihat perubahan gerakan lawannya. Ia tidak kenal Liong heng Pat ciang, tapi sebagai akhli silat, ia banyak mendengarnya, malah ia tahu juga, Liong heng Pat ciang tidak dapat dilayani dengan Sip pat Lo Han chioe hanya mungkin dengan “Thong sian Pat hoat” dari Pit cong koen. Ilmu ini ada ilmu pusaka dari Siauw Lim Pay, sebagai Liong heng Pat ciang dari See Gak Pay.

Biar bagaimana, pendeta itu bersangsi juga, maka itu, ia jadi semakin berhati. Kembali ia memutari pelatok, kedua tangannya dirangkap dalam sikap Tong coe pay Hoed. Coe In Am coe turut berputaran dengan sikapnya “Poan liong jiauw pou” atau “Naga melingkar mengekang tindakan.”

Segera juga kedua pihak berkedudukan pula, satu ditimur selatan, satu lagi dibarat utara.

“Siansoe, pinnie hendak perlihatkan kejelekanku,” kata Coe In, yang terus dari arah timur selatan itu loncat kebarat utara.

Coe Hoei tidak berdiam, iapun lompat maju.

Coe In Am coe menaruh kaki dengan sikapnya “Sian jin cie lou” atau “Dewa menunjuk jalan”, lalu tangannya menyerang dengan “In liong tam jiauw” atau “Naga dalam mega ulur kuku” akan arah jalan darah hoa kay hiat dari sang lawan.

Coe Hoei kenali pukulan yang liehay itu, ia segera berkelit kekiri. Ia tidak menangkis, ia cuma hindarkan diri, tetapi berbareng, kaki kanannya diangkat, dipakai menendang. Inilah perlawanan yang licin sebab dia lari, tetapi dia menyerang juga! Sebab juga tangan kirinya dipakai menyerang bahu kanan lawannya! Ini ada gerakan istimewa dari “Thong sian pat ciang,” yang ia tak ayal menggunakannya. Ia menotok. Tetapi itu belum semua, ketika kakinya duduk tetap dua duanya, tangan kirinyapun diulur keiga dari si niekouw!

Waktu Coe In Am coe lihat serangan pembalasan yang liehay i tu, ia lantas kenali gerakan “Thong sian Pat ciang” dari lawannya, maka selagi serangannya gagal, iapun lekas menyingkir kekiri dengan kaki kanannya digeser kebelakang, nyimpang kekiri. Iapun tidak diam saja. Sambil berkelit, ia balas menyambar pula, kembali dengan tangan baju nya yang gerombongan itu. Karena kedudukan mereka, niekouw ini dapat menyerang arah kanan dari tubuh lawan. Ia masih gunakan tipu pukulan dari Liong heng Pat ciang. Lalu, menyusuli, kedua tangannya menyambar kebawah, dengan tipu pukulannya “Chong liong kian bwee” atau “Naga melilit ekor.”

Boe Wie Yang, seperti yang lain2, menaruh perhatian besar sekali terhadap pertandingan ini. Ia ada satu akhli, mau atau tidak, ia berkuatir untuk Coe Hoei Siansoe, yang bisa dibilang adalah sebagai pahlawannya. Itulah serangan Coe In yang keras sama keras.

Akan tetapi Coe Hoei sendiri berlaku tenang. Ia geser kaki kanannya dengan disertai oleh kaki kiri hampir berbareng itu, setelah berkelit, ia teruskan membalas menyerang pula, tangan kanannya menggunakan pukulan “Tay soet pay chioe” atau “Melemparkan tugu dengan hebat.” Serangan ini mengarah kedua2 bahu dari sang lawan.

Coe In Am coe saksikan bagaimana liehaynya hweeshio itu. Tetap ia menggunakan “Poan liong jiauw pou” ia hindarkan serangan dengan berkelit, memutar tubuh kekiri. Secara begini, dua2 pihak jadi lolos dari ancaman bahaya. Malah mereka pisahkan diri dengan sama2 membaliki belakang, satu ketimur, yang lain kebarat.

Ketika pendeta dari Siauw Lim Pay itu sampai dipelatok ujung timur, Coe In sendiri lantas memutar tubuh, untuk dari jarak lima tindak ia merangsek pula. Ia menyerang dengan tangan kanan sambil kaki kanan dimajukan didepan. Serangannya ini adalah “Siang liong tam coe” atau “Sepasang naga menjemput mutiara.” Yang dimaksudkan mutiara itu adalah jalan darah giok cim hiat, yang hendak ditotok. Coe Hoei dengar suara angin menyambar bebokongnya dengan lompatan “Giok bong hoan sin” atau “Ular naga kumala berjumpalitan,” ia berkelit kekiri dengan begitu, serangan lewat kosong dibawahan kupingnya. Akan tetapi sambil berkelit demikian, tangan kirinya pun menyambar kebawah pusar dari penyerangnya. Serangannya ini ada “Kim cee chioe” atau “Cagak emas.” Itupun ada serangan sangat cepat dan bertenaga besar sekali, hingga orang menyangka, celakalah pendeta wanita itu...

Niekouw dari See Gak Pay itu lihat serangan yang sangat membahayakan itu ia luputkan diri sambil apungkan tubuhnya, berbareng dengan mana, sebelah kakinya mendupak ujung sepatunya yang tajam menyambar mukanya pendeta Siauw Linv itu. Kalau lompatannya itu dinamakan “Hoei niauw teng khong” atau “Burung terbang mumbul keudara,” dupakannya adalah “Cian liong seng thian” atau “Naga naik kelangit.”

Dua gerakan berbareng itu sulit untuk dilakukan ditanah datar, apapula diatas panggung pelatok hio, akan tetapi Coe In Am coe bertubuh sangat enteng dan gerakannya gesit sekali ia bisa lakukan itu dengan sempurna. Ini adalah buah latihannya “Liong heng Pat ciang” selama dua puluh tahun lebih.

Coe Hoei Siansoe kaget sekali. Ia tidak pernah sangka, diatas pelatok itu, niekow ini berani elakkan diri dari serangannya dengan macam tipu itu. Hampir saja ia bercelaka, baiknya ia masih sempat buang diri ke samping kiri. Tetapi walaupun demikian, selagi ia berkelit mendek, ujung sepatunya siniekouw telah kena ‘usap’ juga kepala lenangnya! Sedang saking kesusunya berkelit, tubuhnya menjadi kurang tetap, hampir ia terpeleset!

Menurut kepantasan, sampai disitu, persilatan persahabatan yang memutuskan itu mesti sudah sampai pada akhirnya hweeshio ini pun telah kalah, akan tetapi Coe Hoei mendongkol dan penasaran selagi tubuh Coe In lewati kepalanya, begitu lekas ia tetapkan tubuh ia putar diri, untuk lompat maju, akan menyerang selagi lawan baharu taruh kaki dipelatok yang ke lima. Inilah kembali ada cara mendesaknya yang hebat, untuk lagi2 bisa mendahului musuh yang belum sempat bersiap. Dengan cepat ia serang bebokongnya lawan itu. Karena ia sedang sengit, bisa dimengerti dahsyatnya serangan ini.

Beruntung untuk Coe In Am coe, ia senantiasa waspada. Meskipun serangannya barusan ada hebat namun ia tetap bersiap sedia. Rupanya ia telah menduga lawannya bisa membokong ia dengan rangsekannya yang istimewa itu. Begitulah ketika ia diserang, ia berkelit kekiri, lalu ia putar tubuh kekanan, menyusul mana, iapun ialas menyerang pula kearah iga kiri si hweeshio. Kali ini ia beryarak dalam “Ouw liong poan coe” atau “Naga hitam melilit tihang.”

Kembali Coe Hoei menghadapi bahaya. Bukankah ia sedang menyerang, hingga iganya jadi kosong? Jarak diantara mereka berduapun ada dekat sekali. Sulit sekali untuk berkelit atau menangkis, maka itu, pendeta ini segera ambil putusan akan ‘batu kumala dan batu biasa sama2 musna terbakar.’ Dalam saat mengancam itu, ia gunakan tipu silat “Lian tay pay Hoed” (“Dipanggung teratai menghormat Buddha”) dan “Pay san oen ciang” (“Mengatur gunung mengangkut tangan”). Iapun mempunyai latihan dari empat puluh tahun, tak puas ia rubuh dengan begitu saja.

Demikianlah pendeta Siauw Lim ini, dia rangkap kedua tangannya, lantas ia majukan itu kemukanya si niekouw. Ia telah kumpul tenaganya ditangan. Ia tak perdulikan lagi serangan lawan, asal iapun bisa balas menyerang. Tangannya Coe In Am coe sudah sampai pada si hweeshio ini tatkala ia saksikan serangan lawannya, tanpa orang itu gubris serangannya. Ia tidak menduga sama sekali yang hweeshio itu telah berbuat nekat demikian. Mau atau tidak, ia menjadi terkejut, hingga ia lantas memikir untuk tolong diri dulu. Ia tidak seperti si hweeshio, tak ingin ia berlaku mati2an seperti lawannya itu. Maka terpaksa ia menangkis, akan punahkan serangan balasan itu.

Coe Hoei berlaku nekat, ia tidak pikirkan pula kemenangan, ia berkeputusan rubuh atau bercelaka bersama Meski demikian, ia tidak meninggalkan kelicikan nya. Masih ia menggunakan akal serangannya itu bisa dilanjutkan atau diubah secara tiba2. Dan dia merubah apabila dia tampak siniekouw elakkan diri. Dengan “Pay san oen ciang,” dia menyerang perut.

Coe In Am coe kaget sekali akan lihat cara berkelahinya si hweeshio. Benar2 lawan ini liehay dan telengas. Ia baharu saja gunakan “In liong sam nian” atau “Naga dalam awan perlihatkan diri tiga kali”, sulit untuk ia elakkan diri lagi. Maka jalan satu2nya adalah sambut serangan itu dengan tangkisan. Dalam saat demikian, tidak ada tempo untuk berpikir lama2. Dari itu, dengan terpaksa ia keluarkan “Kim Kong tok poat” atau “Kim Kong menampa mangkok suci” untuk menyambuti serangan. Kedua tangannya dibawa rapat kedepan dada, untuk tolak serangan “Pay san oen ciang” itu.

Coe Hoei Siansoe menyerang secara hebat tangkisannya Coe In Am coe tidak kurang hebat nya, sebab ini bukan tangkisan melulu hanya penolakan, yaitu menangkis sambil mendorong. Yang menambah hebat adalah bahwa jarak mereka berdua ada dekat sekali, sedang Coe Hoei tidak menggunakan akal lagi dia gunakan semua tenaganya. Jikalau tangkisan Coe In Am coe ada “Kim Kong tok poat” penolakannya adalah “Kim liong tauw kah” atau “Naga emas menggeraki sisik” yalah jurus kelima dari “Liong heng pat ciang.” Maka itu bisa dimengarti, bagaimana niekouw ini telah kerahkan tenaganya.

Tanpa cegahan pula, keempat tangan dari dua lawan telah bentrok satu dengan lain. Si hweeshio dan Coe In rasakan tubuh mereka menggetar seperti tergetarnya tangan mereka masing2 mula2. Tidak dapat dicegah lagi, dengan sendirinya mereka mental mundur dengan berbareng jauhnya sampai satu tumbak lebih. Dalam kagetnya, masing2 kerahkan tenaga untuk pertahankan diri. Mereka sama2 tangguh tidaklah sampai mereka mendapat luka, tidak juga luka didalam, cuma setelah kaki mereka injak pelatok, keduanya terus turun ketanah, tidak dapat mereka berdiri terus diatas masing2 pelatoknya.

Sesampainya ditanah, kedua orang suci itu masih tetap rangkap kedua tangan mereka masing2, keduanya lantas saling menjura. Selama itu, tidak ada satu diantaranya yang berani buka mulut, untuk bicara, karena mereka sedang kerahkan ambekan didalam tubuh, untuk pelihara diri.

Dikedua pihak, para hadirin, menjadi sangat kagum atas kesudahan itu, tetapi mereka toh berubah air muka mereka, karena masing2 kuatir jagonya terluka. Cuma kecuali Siangkoan In Tong, dengan gembira dia berseru : “Bagus! Inilah baharu ilmu kepandaian sejati! Memang, siapa tidak berkelahi, mereka tidak kenal satu dengan lain! Memang, bunga teratai merah dan ubi teratai putih asalnya satu rumah, maka sekarang, penasaran apa juga adanya, semua harus dapat dilenyapkan !”

Mendengar ocehan itu, Eng Jiauw Ong menoleh kepada Wa Po Eng. “Siangkoan Loosoe, harap kau, ber hati2 dengan mulutmu,” ia beri peringatan. “Am coe bukannya orang dengan siapa kita bisa bersenda gurau. Harap kau maafkan Too Liong untuk bicaranya ini dengan terus terang.”

Siangkoan In Tong ketruki hoencweenya ia tidak menjawab, ia bersikap acuh tak acuh, seperti juga ia tidak dengar teguran itu.

Beberapa muridnya Coe In Am coe mengawasi dengan sorot mata kegusaran tak senang hati mereka, akan tetapi sebab ingat In Tong ada seorang kenamaan, terpaksa mereka bungkam, tidak berani mereka lancang membuka mulut.

Coe In Am coe lantas juga mundur lagi dua tindak sikap nya sudah seperti sedia kala lagi, demikan juga Coe Hoei Siansoe, maka itu keduanya lagi2 menjura.

“Kepandaian Siansoe sungguty sempurna,” kemudian Coe In memuji, “pinnie sangat kagum! Harap saja dibelakang hari kita bisa bertemu pula.”

Niekouw ini jaga baik kehormatan dirinya, maka itu ia telah bicara secara demikian halus.

“Pinceng berterima kasih untuk belas kasihan Am coe,” Coe Hoei pun menjawab. “Memang biarlah lain kali kita dapat bertemu pula. Silahkan, Am coe. Sebenarnya pinceng telah datang kemari dengan tekad bulat untuk serahkan diri, tidak niat pinceng undurkan diri dari sini kecuali dengan meninggalkan seperangkat kulitku yang bau busuk ini maka baiklah, apabila lain hari ada jodonya, nanti pinceng datang pula kepada Am coe untuk mohon pengajaran.”

“Hm!” Coe In Am coe perdengarkan suaranya seraya ia terus berkata: “Semoga siansoe memperoleh kemurahan hati maha besar dari Sang Buddha, supaya kau dapat kebebasan pinnie sendiri tidak berguna, suka pinnie mengalah!”

Lantas, tanpa tunggu jawaban lagi, niekouw ini bertindak ke arah rombongannya.

Ban Lioe Tong bersama Eng Jiauw Ong bertindak maju, untuk sambut ketua dari See Gak Pay ini.

“Bagaimana, Am coe?” Ong Too Liong tanya dengan pelahan.

“Jangan kuatir, soeheng, tidak apa2,” sahut niekouw itu.

Sementara itu Coe Hoei Siansoe masih tidak undurkan diri, melihat mana, Eng Jiauw Ong jadi tidak senang.

“Silahkan Am coe beristirahat, siauwtee ingin menemui pendeta suci dari Siauw Lim Pay itu,” kata dia pada Coe In sambil ia memberi hormat.

Coe In Am coe manggut. Di waktu seperti itu, tak mau ia cegah ketua Hoay Yang Pay ini. Maka ia bertindak terus kearah rombongannya. Akan tetapi Ban Lioe Tong memikir lain daripada niekouw ini.

“Soeheng, baik kau jangan turun tangan dahulu,” kata adik seperguruan ini dengan cegahan nya. “Baik kau perkenankan siauwtee yang layani dia satu dua jurus.”

Mereka terpisah dari Coe Hoei Siansoe tidak jauh, walau mereka bicara dengan pelahan, si hweeshio dapat dengar pembicaraan mereka, maka itu, belum sampai Eng Jiauw Ong sahuti saudaranya itu, hweeshio itu sudah berkata : “Ceng Hong Pocoe, apakah kau hendak memberi pengajaran kepadaku? Hampir saja pinceng menjadi roh bergelandangan ditangannya Coe In Amcoe, akan tetapi masih pinceng memikir yang tidak2, karena selama napasku masih ada, tetap aku ingin menerima pelajaran terlebih jauh dari orang2 kenamaan kaum Rimba Persilatan. Umpama kata pinceng mesti terjeblos jatuh kedalam neraka sembilan undak, pinceng akan merasa puas !”

Eng Jiauw Ong gusar sekali mendengar kebandalan orang itu tak dapat ia kendalikan diri lagi, tapi justeru ia hendak membuka mulut, ia tampak Thian lam It Souw Boe Wie Yang, ketua dari Hong Bwee Pang, telah bertindak keluar dari dalam rombongannya.

Tuan rumah ini telah saksikan pertandingan diantara pahlawan nya, Coe Hoei Siansoe, dengan Coe In Am coe, ketua dari See Gak Pay, ia lihat hweeshio itu telah kalah tapi sekarang hweeshio ini membandal dia tidak mau undurkan diri sedang waktu itu ketua pihak tetamupun sudah maju dari antara rombongan nya maka sebagai tuan rumah, tak dapat ia berdiam saja. Biar bagaimana, ia mesti pandang kepada Coe Hoei, yang sebagai tetamu dan sahabat, sudah berkelahi dipihaknya, sedang terhadap Eng Jiauw Ong, ia tak boleh berlaku kurang hormat. Begitulah, ia bertindak dengan cepat.

Karena ketua ini keluar, beberapa hiocoe lantas iringi dia.

Boe Wie Yang menghampirkan seraya terus berkata kepada Ban Lioe Tong yang sudah bertindak didepan soehengnya: “Ceng Hong Po coe, adakah po coe berniat mencoba2 kepandaian sendiri? Aku Boe Wie Yang sudah sejak lama mengagumi ilmu kepandaian Hoay Yang Pay yang menjagoi sendiri dalam dunia Rimba Persilatan dari itu dengan tidak perdulikan keburukan diri sendiri, ingin sekali aku terima satu atau dua rupa pengajaran dari pocoe.”

Sementara itu, karena ketua masing2 sudah muncul, rombongan kedua pihak pun turut maju juga. Malah Siangkoan In Tong yang aneh tabeatnya, bertindak dengan mendahului lain2 orang. Ia berdandan sebagai nelayan, wajahnya, gerak geriknya, pun berbeda dari lain2 orang, maka coba keadaan tidak segenting demikian, tentu orang telah tertawa karenanya. Sembari pegangi hoencweenya, dengan tindakannya yang lebar, In Tong jalan sambil ngoceh sendirinya: “Ini kali aku mesti menyaksikannya! Yang satu toh ada Liong Tauw Pangcoe dari Hong Bwee Pang, yang namanya kesohor diseluruh kolong langit, yang tubuhnya penuh dengan kepandaian yang liehay yang kaum Rimba Persilatan belum pernah tampak, yang lain ada ketua dari Hoay Yang Pay dengan Eng jiauw latnya, Tenaga Kuku Garuda, yang kalau menyengkeram orang, tulang dan urat2 orang bakal pada patah dan putus karenanya, sedang kepandaiannya Sha cap lak lou Kim na hoat ada bagaikan melaikat muncul, hantu selam menghilang! Jikalau keramaian ini tidak ditonton, dimana lagi hendak dicari? Jikalau kali ini kampung dilewatkan, dimana lagi hendak mencari pondokan? Maka ketika yang baik ini tidak boleh dikasi lewat!” Lalu ia menoleh kepada rombongannya, akan tambahkan: “Eh, kenapa kamu diam saja? Jikalau keramaian ini tidak ditonton, itu artinya percuma2 saja kamu datang kemari!”

Ban Lioe Tong menoleh kepada In Tong, matanya dibuka lebar, dari hidungnya terdengar “Hm!” Dalam hatinya ketua dari Ceng Hong Po ini pun berkata : “Kau benar usilan! Sampai disaat ini kau masih ngoceh tidak keruan! Kenapa kau begini tak tahu salatan?”

Justeru karena orang berpaling kepadanya, Siangkoan In Tong jadi dapat alasan untuk berkata sambil tertawa: “Siok beng Sin Ie, Kwie In Po coe, benar atau tidak kata2ku ini?”

Ketua dari Kwie In Po jadi serba salah, “tak dapat ia menangis, tak dapat ia tertawa.” “Yan tiauw Siang Hiap kita kesohor untuk tabeatnya yang koekoay tetapi kau melebihi dia,” pikirnya. “Kenapa kau jadi melewati batas begini rupa?” Akan tetapi tak dapat ia diam saja, dengan terpaksa ia menjawab: “Baik, lihat saja! Masih ada saat yang lebih menarik dibelakang ini! Siangkoan Loosoe, kau lihat saja!”

Biar bagaimana, Siangkoan In Tong datang untuk membantu, maka tak dapat ia disenggapi. Habis itu, Lioe Tong susul ketuanya.

Orang2 dari kedua pihak sudah lantas berkumpul dimuka para2, malah Coe Hoei Siansoe pun menghampirkan, akan bicara dengan ketua dari Hoay Yang Pay, untuk kemudian berkumpul dalam rombongannya.

“Boe Pang coe, adakah Pang coe sudi memberi pengajaran padaku?” Eng Jiauw Ong tanya ketua Hong Bwee Pang sambil ia memberi hormat.

Boe Wie Yang mendekati, ia iyepat membalas hormat. “Aku siorang she Boe jadi ketarik hati menampak

pertandingan persahabatan ini karenanya di adapan ketua Hoay Yang Pay, ingin aku menyaksikan ilmu silat yang paling istimewa dalam Rimba Persilatan, ialah Kim na hoat dan Eng jiauw lat yang menggetarkan dunia kang ouw! Maukah Ong Loosoe berikan Pengajaran kepadaku?”

“Boe Pang coe terlalu sungkan,” sahut Eng Jiauw Ong. “Tanpa memandang tempat    jauhnya ribuan lie, dari

Ceng Hong Po kami datang ke Ciat kang Selatan ini. Dan disini kami berterima kasih atas kebaikan Boe Pang coe, yang sudah tidak tampik kami memasuki Cap jie Lian hoan ouw dan Ceng Giap San chung ini hingga kami dapat memandang kebesaran dan keindahannya Ceng Giap San chung. Kehormatan ini adalah hal yang membikin kami merasa sangat beruntung. Memang adalah maksud kami datang kemari untuk menemui orang2 luar biasa kaum Rimba Persilatan, supaya sekalian kami dapat menambah pemandangan mata dan meluaskan pengetahuan. Hong Bwee Pang adalah tempat dimana naga bersembunyi dan harimau mendekam disini ada tempat munculnya pelbagai orang kaug ouw yang biasa tak perlihatkan diri disini kami dapat menemuinya. Kami telah memasuki gunung mustika ini, bagaimana kami bisa kembali dengan tangan kosong? Maka juga setelah soehoe kenamaan dari Siauw Lim Pay perlihatkan kepandaiannya, aku Ong Too Liong bergembira secara luar biasa, maka dengan lancang aku majukan diri untuk mohon pelajaran. Boe Pang coe sudi memberi pelajaran kepadaku Ong Too Liong akan merasa sangat girang dan berbahagia! Bagaimana caranya Boe Pang coe hendak beri pelajaran kepadaku? Tolong Pang coe jelaskan. Ong Too Liong mempunyai nama kosong belaka aku tidak mempunyai kepandaian berarti umpama kata Pang coe keluarkan ilmu kepandaian yang luar biasa, tak berani aku menerimanya!”

Thian lam It Souw Boe Wie Yang, si Orang tua dari Selatan, bersenyum.

“Ong Loosoe, baik kita jangan terlalu saling merendahkan diri,” kata dia. “Boe Wie Yang ada Liong Tauw Pang coe dari Hong Bwee Pang dan Ong Loosoe ada akhliwaris dari Hoay Yang Pay, maka dengan masing2 menjadi pemimpin, sudah seharusnya kita saling tunjukkan kepandaian kita. Tadipun loosiansoe ini telah mengatakannya, keputusan akan diambil dalam tiga rupa pertandingan. Barusan telah diselesaikan pertandingan memadamkan pelita dan diatas pelatok hio aku anggap ada tidak menarik hati akan mencontoh itu. Walau demikian, tak mau aku menciptakan yang baharu diluar dari yang tiga itu. Ong Loosoe terkenal buat “Tiok too hoan ciang” dari Hoay Yang Pay, maka aku pikir baik kita naik atas pelatok Cie hio chung dengan main2 dengan macam ilmu silat itu, hanya deja. Baik aku jelaskan, Cio hio chung ada dari Siauw Lim Pay aku sendiri ada dari lain kaum bukan saja diatas Cie hio chung belum pernah aku berlatih, mempelajarinya pun tidak. Aku ada dari kaum lain, tak usah aku sebutkan nama kaumku itu, tapi boleh aku terangkan, bahwa siapa saja mengerti silat, dia tentu mengerti ilmu mengentengkan tubuh. Maka itu, mari kita naik atas pelatok ini untuk tiga gebrak saja asal selama itu, kita menyambutnya dengan sungguh2. Tegasnya, aku ingin merasainya Eng jiauw latnya Ong Loosoe yang telah diyakinkan untuk banyak tahun. Apakah tidak membuat hilang harapan jikalau dalam pertemuan sekali ini dalam Ceng Giap San chung ilmu kepandaian itu tidak dikeluarkan?”

Boe Wie Yang bicara dengan suara tenang tetapi sikapnya jumawa. Pun kata2 itu ada genggam nyata kelicinannya. Ia tahu sejak Eng Jiauw Ong rubuh karena dicurangi oleh Yauw Beng Long tiong Pauw Coe Wie pada waktu mana Eng Jiauw Ong kena ditolongi oleh Yo Boen Hoan, ketua Hoay Yang Pay itu sudah keram diri didalam Lek Tiok Tong, Ceng Hong Po, untuk yakinkan Eng jiauw lat siang dan malam sampai lima tahun lamanya, hingga tenaga tangan dari ketua Hoay Yang Pay itu jadi liehay sekali, tetapi iapun ketahui dengan baik, bahwa Eng jiauw lat harus digunakan ditanah datar, dan tidak pernah terdengar dapat digunakan atas pelatok umpamanya maka itu, ia jadi tak jerih akan mencoba Eng jiauw lat itu diatas Cie hio chung yang enteng dan tak kuat. Iapun percaya, karena sikap jumawanya itu, Eng Jiauw Ong tidak bakal menampik tantangannya itu. Benar2, dugaannya ketua Hon Bwee Pang ini tidak meleset. Eng Jiauw Ong panas hati, hingga dia lantas menjawab: “Boe Pangcoe, kau sangat cerdik, kau dapat menangi aku. Sebenarnya tanpa bertempur lagi, aku sudah harus menyerah kalah. Tapi, Boe Pa ngcoe, kau rela menemani aku, begitu juga aku, mana dapat aku tidak temani kau? Mana bisa aku tampik kebaikan hatimu ini? Hanya aku sangsi apa aku dapat atau tidak melatih Eng jiauw lat terhadapmu, maka aku pikir, baiklah kita tahu sama tahu saja!”

“Nah, tak salahlah terkaanku!” Siangkoan In Tong ngoceh sendiri apabila ia dengar pembicaraan mereka itu. “Inilah hal yang sejak dahulu kala belum pernah aku dengar, yang sampai umur delapan puluh tahun juga belum pernah aku tampak, tetapi sekarang akan dapat disaksikan didalam Ceng Giap San chung ini! Karena ada kepandaian2 luar biasa, mesti ada orangnya yang luar biasa juga karena ada orang cerdik pandai yang mengajari, mesti ada oran2 cerdas yang menerimanya! Tidak seperti kami, orang2 yang mengaku saja pandai ilmu silat tapi pengertiannya cuma hancurannya saja, maka perlu kami membuka mata! Maka sekarang, baik jangan sia2kan waktu, hanya lekasan dimulai, sebab kalau nanti kamu kedua pihak menarik pulang kata2, sia2 saja kami telah datang kemari!”

Boe Wie Yang tidak puas mendengar perkataan si jail ini. Ia merasa, justeru ialah yang dicacinya itu. Maka dengan air muka merah padam, tapi dengan menahan hawa amarah, ia menoleh pada In Tong, akan kata: “Siangkoan Loosoe, kita semua ada orang2 Rimba Persilatan, kau sendiri telah kenamaan, maka itu kunjunganmu ke Ceng Giap San chung ini sebenarnya ada seumpama menempel emas dimuka kami. Tidak ada seorang juga dari pihak Hong Bwee Pang yang tidak ingin saksikan kepandaianmu, terutama untuk sepasang gelang Lie hoen Coe bo kianmu yang sudah menggetarkan wilayah Liauw tong. Pendengaranku ada cupat tetapi aku tahu didunia kang ouw belum pernah ada orang yang dapat tandingi padamu dari itu, aku justeru hendak minta pelajaran dari kau. Tapi disini sudah ada akhliwaris Hoay Yang Pay, yang sudi memberi pelajaran padaku, karena dia ada menjadi ketua, tak dapat aku tidak layani dia. Akan tetapi, umpama kata Siangkoan Loosoe anggap tak pantas aku melayani Ong Loosoe, buat aku tidak ada halangannya akan ubah itu. Jikalau Siangkoan Loosoe sudi beri pelajaran padaku, hayo kau berikanlah, kau boleh mulai, urusan penting kami boleh ditunda di samping. Sudah empat puluh tahun aku memasuki dunia kang ouw untukku, mati atau hidup, tidak harus disayangi, tapi disebelah itu, tak sudi aku mendapat penghinaan. Siangkoan Loosoe, kau bicara dengan cara menyindir, bagaimana kesudahannya itu bagi mukaku?”

Mukanya ketua Hong Bwee Pang merah padam, katanya jadi keras hal ini mengejutkan para hidirin, hingga mereka anggap, ketua itu bakal urung melayani Eng Jiauw Ong dan akan bentrok dengan Wa po eng Siangkoan In Tong.

Siangkoan In Tong telah ditantang orang sangka dia bakal menyambuti, akan tetapi dia ada tenang seperti biasa, tidak sibuk, tidak gusar. Ia isi hoencweenya lantas ia sulut itu dan menyedot, sampai dua kali, menyedotnya dengan dalam, kemudian ia kebulkan asap yang bergulung.

“Boe Pangcoe sungguh berpemandangan luas,” menyahuti dia kemudian. “Aku Siangkoan In Tong ada satu serdadu tak ternama dalam dunia Rimba Persilatan terutama dalam dunia kang ouw, dimana saja aku sampai, orang tak lihat mata padaku. Aku berhati lempang, mulutku tangkas, karena itu, sering aku mendapati akibat sebaliknya. Aku tadinya anggap, dengan senjataku yang aneh dengan kepandaianku yang tidak ada kaumnya, aku bisa leluasa pergi kemana aku suka, tidak tahunya didalain Cap jie Lian hoan ouw ini, aku menghadapi dua boca dari Pang coe dengan rantainya yang membuat aku merasa dingin dari atas kepala sampai dikaki bawah! Sejak itu aku merasa, senjataku itu tak boleh dikeluarkan pula di Ceng Giap San chung ini, karena disini aku melainkan boleh pentang kedua mataku, untuk menambah pengetahuan saja. Akan tetapi sekarang... Boe Pangcoe, cambuk naga emasmu, Kim liong pian, ada hikmad satu2nya yang menjagoi di Selatan itulah senjata dengan ilmunya yang istimewa dalam Rimba Persilatan kami semua belum pernah melihat itu, maka kalau sekarang Pang coe niat ajak aku menaiki pelatok2 Cie hio chung, inilah hebat! Siangkoan In Tong tidak mempunyai macam kepandaian liehay itu, umpama kejadian dia menaikinya, pasti sekali akan tak ada bekas kakinya diatas pelatok sebab pelatok itu pasti bakal rubuh sendirinya. Boe Pang coe, harap kau tidak menjadi tak senang hati terhadap aku, aku si kereta rosokan janganlah jadi perintang jalanan. Kamu berdua, yang satu ada guru silat yang kenamaan, yang lain ada Pangcoe dari Hong Bwee Pang, apabila kamu berdua yang adu kepandaian, pertandingan ini pasti akan jadi buah pembicaraan yang ramai, maka menyesal, karena aku banyak mulut, aku jadi mengganggu urusan kamu…. Ah, benar aku telah merusak!...” Lantas ia bertindak kepinggiran Lo Han Cie hio chung agaknya ia perhatikan benar pelatok2 itu yang membuat ia sangat kagum. Dengan tingkah polanya ini, ia tidak ambil mumet lagi Boe Win Yang, hingga ketua Hong Bwea Pang itu mendongkol bukan kepalang. Orang lain anggap Siangkoan In Tong tidak keruan lagak nya, akan tetapi Thian lam It Souw sendiri tidak berani memandang rendah terhadapnya. Sudah sejak lama ia dengar, bahwa Siangkoan In Tong bukannya seorang yang boloh dibuat permainan.

Diam Boe Wie Yang ambil putusan untuk mencoba2 manusia yang tabeatnya aneh itu, akan tetapi, tanpa memperdulikannya, ia terus saja memberi hormat pada Eng Jiauw Ong. Ia kata “Sudah lama Boe Wie Yang dengar tentang Wa po eng Siangkoan Tay hiap ini sungguh kebetulan, hari ini dia datang berkunjung ke Cap jie Lian hoan ouw ini, maka justeru aku sedang memikirkan untuk minta pelajaran daripadanya sekarang dia telah utarakan rasa hatinya itu, karenanya, aku jadi berputus asa. Maka, Ong Loosoe, baiklah, biar aku minta pengajaran terlebih dahulu dari kau saja.”

Boe Wie Yang ada licin sekali, ia tidak perdulikan penghinaannya Siangkoan In Tong untuk ini ia tidak gubris anggapan orang banyak, yang menyangka ia tidak mempunyai kehormatan. Ia anggap ia akan lindungi kehormatannya jikalau nanti ia berhasil merubuhkan ketua Hoay Yang Pay.

Ong Too Liong bisa duga maksudnya ketua Hong Bwee Pang itu karena ini, ia jadi memandang rendah, maka juga ia tertawa dingin.

“Dalam Ceng Giap San chung ini, siapapun mempunyai kesempatan untuk turut perlihatkan kepandaiannya,” ia kata, “maka i tu, Siang koan Loosoe, apabila kau mempunyai minat, baik kau sabar dulu. Nah, Boe Pang coe, silahkan kau mulai memberikan pelajaran kepadaku!”.

“Baiklah!” sahut Boe Wie Yang dengan cepat, setelah mana ia memberi hormat, ia lantas lompat mencelat, akan naik diatas pelatok hio. Ia bergerak pesat dan enteng “bagaikan angin dan turunnya kepelatok bagaikan daun rontok”. Eng Jiauw Ong juga segera enjot tubuhnya, untuk menjejak tanah, hingga dilain saat, iapun sudah terdiri diatas pelatok. Ia bergerak dengan tak kalah cepat dan entengnya, kedua tangannya ditaruh didepan dada, tangan kiri didepan, tangan kanan dibelakang, kedua pundaknya rata. Ia berdiri dengan tetap dan tegak, seperti lawan didepannya.

Segera juga kedua jago ini jalan berputaran, untuk bersiap sambil berbareng mencoba pelatok2 hio itu. Mereka bergerak dengan cepat, hingga kedua pihak hadirin kagumi mereka, tidaklah kecewa mereka menjadi seorang ketua.

Setelah berputaran tiga empat balik, kedua jago itu lantas ambil masing2 tempatnya dengan berhadapan, setelah mana, keduanya maju dengan berbareng: Boe Wie Yang dari barat kearah timur, dan Eng Jiauw Ong dari timur kebarat. Tidak ada antaranya yang hendak minggir atau mengalah, sampai mereka ada di tengah2 kalangan. Jarak mereka tinggal dua pelatok saja.

“Boe Pang coe, silahkan kau berikan ajaranmu!” Eng Jiauw Ong kata setelah ia siap, dengan kaki kiri disebelah depan.

“Silahkan, Ong Loosoe!” jawab ketua Hong Bwee Pang.

Eng Jiauw Ong tidak berlaku sungkan lagi, sambil geser sedikit tubuhnya kesamping, ia gerakkan kedua tangannya, ia mulai menyerang dengan pukulan “Kim kauw cian” atau “Gunting (In Tong berhenti bicara)??, ular naga emas.” Tujuannya ada dadanya lawan.

Boe Wie Yang tidak berani sambuti pukulan depan berdepan atau langsung, maka itu, ia tarik sebelah kakinya kebelakang, lalu ia menggeser kekiri dari sini baharu ia keluarkan kedua tangannya dalam gerakan “Heng hee tiat boen soan”“atau “Melintangi palang pintu,” akan papaki serangan itu.

Cuma dengan gebrakan pertama ini, keduanya lantas ketahui tenaga kekuatan masing2, maka itu, keduanya lantas menjauhkan diri, Eng Jiauw Ong keselatan, Boe Wie Yang keutara, untuk berputaran pula, hingga kembali mereka berdiri saling menghadapi.

Dengan tindakan tetap, Eng Jiauw Ong maju pula. Didepannya Boe Wie Yang pun maju menghampiri. Malah ketua Hong Bwee Pang maju dengan terlebih gesit. Setelah datang dekat, tiba2 ia tancap kaki kirinya, disusul sama sambarannya tangan kanannya, dalam gerakan “In liong tam jiauw” atau “Naga dalam mega ulur kuku.” Ia serang jalan darah hoa kay hiat dari lawannya itu.

Eng Jiauw Ong lantas menggunakan Kim na hoat, ilmu menangkap atau menawan tangan musuh. Ia keluarkan tangan kanan, dalam gerakan menggunting, ia bentur tangan kanan Boe Wie Yang. Ia mengarah nadi.

Boe Wie Yang bisa duga maksud lawan, lekas2 ia tarik pulang kepalannya, untuk dikasi turun kebawah dengan tiba2, buat menyerang pula, sekarang kearah perut. Serangan ini ada lurus dan dengan tenaga penuh. Inilah tipu pukulan “Tok coa sim hiat chioe” atau “Ular berbisa mencari lobang.”

Eng Jiauw Ong geser tubuhnya, sembari berbuat demikian, tangannya kiri diangkat, tangan nya kanan dipakai menyambar lengan lawan yang menyambar perutnya. Inilah gerakannya “Kim tiauw tian cie” atau “Garuda emas buka sayap.”

Dua2 d yago ini telah gunakan tenaganya masing2 dua2 pun berlaku sangat gesit, maka itu tidak tempo lagi, tangan mereka telah bentrok satu dengan lain. Boe Wie Yang sebat menyerang tapi ia kurang sebat dalam hal menarik pulang.

Serangannya Eng Jiauw Ong membuat tangannya Boe “Wie Yang tertolak mental, tapi juga tenaga serangannya ketua Hong Bwee Pang itu membikin tubuhnya tergetar, hingga keduanya mesti lompat mundur, untuk pertahankan diri mereka.

Ketua Hong Bwee Pang terkejut dalam hatinya. Sekarang ia insyaf benar2 tenaga Eng jiauw lat dari lawannya itu. Kalau bukannya diatas pelatok, tentu ia mesti telah terdesak. Karena ini ia berkeputusan untuk melayani dengan kecerdikan.

Juga ketua dari Hoay Yang Pay menginsyafi liehaynya lawannya itu. Oleh karena ini ia jadi berlaku semakin hati2. Ia tahu, ini ada pertandingan terakhir, yang bakal memutuskan.

Kembali keduanya berputaran pula. Tidak ada niat mereka untuk memperlambat keputusan hanya mereka sedang memikirkan pukulan yang terakhir, yang akan menentukan “mati atau hidup.”

Dua putaran telah dilakoni menampak itu, orang2 dari kedua pihak sangat tegang perasaannya, sebab juga mereka mengarti baik kesudahannya pertandingan terakhir ini, maka tanpa merasa, mereka masing2 berkuatir untuk pemimpin mereka.

Jarak diantara kedua jago itu ada beberapa pelatok. Mereka saling berdiam akan tetapi mata mereka saling mengawasi, kaki dan tangan mereka siap sedia. Kedua rombongan juga terbenam dalam kesunyian, mereka berdiri menonton bagaikan patung. Suasana ada seram, karena cuaca jelek. Udara tetap mendung, kilat masih suka menyambar2 berkilauan, guntur kadang2 menggeram. Sang angin membikin pepohonan dan daun2 di para2 menderum dan berbunyi keresekan.

Selagi suasana ada demikian tegang dan hebat, adalah satu orang yang tetap masih ‘repot’ sendirinya. Dialah yang orang banyak jemuhkan yalah Wa po eng Siangkoan In Tong dari Soe Soei.

Dia tetap tak dapat ubah tabeatnya, mulutnya tetap jail dan jahat. Tidak saja pihak Hong Bwee Pang tidak sudi gubris dia, pihak Hoay Yang Pay dan See Gak Pay sendiri pun mengantapkannya. Apapula sekarang, selagi perhatian semua orang ditujukan kemedan pertempuran, tidak ada orang yang sempat untuk perhatikan padanya

Tanpa perdulikan siapa juga, Siangkoan In Tong maju sampai dekat kebatas kalangan panggung pelatok Cie hio chung, karena mempunyai maksud sendiri. Ditangannya tidak ketinggalan hoencweenya….

CXXXVIII

Sebagai juga orang yang sangat sibuki orang2 yang tengah adu kepandaian, dan sedang sibuk sendiri, In Tong tidak berdiri diam saja diluar batas kalang an dia hanya jalan mundar mandir agaknya dia bingung tak keruan, tingkah lakunya mirip dengan orang yang otaknya miring. Kalau tidak dalam keadaan demikian, tentunya sudah ada orang yang cegah kelakuannya orang koekoay ini

Masih saja Siangkoan In Tong menghampirkan kalangan, hingga ia cuma terpisah lagi dua tiga kaki. Disebelah lagak edannya itu, ia agaknya tetap sangat perhatikan jalannya pertandingan itu. Coba orang lain, dia pasti tidak berani datang demikian dekat kalangan, sebab apabila datang saat apesnya, dia mungkin terserang anginnya serangan salah satu dari kedua jago itu. Serangan angin saja bisa mendatangkan kecelakaan.

Thian lam It Souw Boe Wie Yang, setelah berputaran, mendatangi dari barat keutara di lain pihak, akhliwarisnya Hoay Yang Pay maju dari timur keselatan dengan begitu, mereka jadi jalan dengan tubuh menyampingi satu dengan yang lain mereka masing2 jadi melihat dengan separuh melirik. Tindakan mereka juga sama cepatnya, sama ayalnya.

Diantara kedua jago itu, ketua Hong Bwee Pang sudah ambil      keputusannya dia hendak melakukan penyerangannya secara tiba2. Untuk itu, ia sedang tunggu ketikanya yang baik.

Eng Jiauw Ong baharu jalan empat atau lima tindak, atau Boe Wie Yang percepat tindakannya dua tindak, hingga ia telah lantas sampai diutara. Disini ia segera putar tubuhnya, untuk menghadapi lawannya tangan kanannya diangkat kedepan dada. Dengan mendadakan saja ia berloncat keselatan, dalam gerakannya “Hay yan liang po” atau “Walet laut sambar gelombang.” Tapi ia tidak berlompat tinggi, cuma dua kaki diatasan pelatok. Inilah loncatan yang mirip loncatannya Coe In Am coe tadi, suatu gerakan enteng pesat sekali. Ia menaruh kaki tepat dijarak tiga pelatok didepan Eng Jiauw Ong.

Ong Too Liong masih berada di ‘pinggir’ jalan ketika ia di hampirkan secara demikian rupa. Lekas2 dia memutar tubuh, untuk madap keutara, dari jurusan dari mana lawannya datang. Justeru itu, Boe Wie Yang sudah mulai dengan serangannya. Ketua Hong Bwee Pang ini majukan pula tindakan kakinya, disusul sama serangannya tangan kiri ke arah perut, sebab lagi ia gunakan tipu pukulannya “Tok coa sim hiat chioe,” “Ular bernisan mencari lobang.”

Eng Jiauw Ong belum sempat maju, karena itu, ia jadi seperti terdesak dipojok, hingga ia tak dapat jalan mundur, kecuali menyingkir kedua samping. Begitulah, ia tidak sambuti serangan, hanya ia bertindak ke timur, itu arah dari mana tadi dia datang. Karena ini, serangan lawan jadi menuju kepada iga nya yang kiri.

Disamping berkelit ketimur itu, kesebelan kanan, Eng Jiauw Ong juga kasi bekerja tangan kirinya. Ia tidak menangkis, ia hanya menyerang jalan darah “kin ceng hiat” pada pundaknya si penyerang itu, untuk mana, ia gunakan dua jari tangannya, sebab iapun menotok.

Boe Wie Yang bergerak dengan kecepatan luar biasa. Tidak tertampak dia menarik pulang serangan tangan kirinya itu, cuma kelihatan pundaknya dikasi turun, lalu tangan kanannya, yang dimajukan dibawah lengan kirinya, menyambar musuhnya. Kali ini ia gunakan tipu pukulannya “Touw in hoan jit,” atau “Mencuri mega untuk tukar matahari.” Lengan kirinya itu justeru dipakai untuk menyelimutkan serangan tangan kanannya.

Eng Jiauw Ong sedang menyerang, maka itu, tubuhnya dengan sendirinya turut maju sedikit. Inilah kehendaknya Boe Wie Yang, sebab arahnya, sasarannya, jadi terpisah lebih dekat dengan tangannya, sedang serangannya itu cepat sekali. Sasaran itu ada iga kiri. 

Juga Eng Jiauw Ong telah perlihatkan kesebatannya. Datangnya serangan ia sambut, dengan tangan kirinya dikasi turun, dengan “Shia kwa tan pian,” atau “Sambil miring menggantung cambuk,” ia papaki nadi lawannya itu.

Akan tetapi Boe Wie Yang menyerang bukan sembarangan menyerang, ia berbareng lagi gunakan umpan, untuk memancing. Ia segera tarik pulang tangan kanannya seraya geser kaki kirinya, akan menukar pelatok, hingga iapun menuju ketimur, hingga ia berada samping menyamping dengan lawannya itu.

Eng Jiauw Ong sekarang sedang menghadap kebarat utara karena Boe Wie Yang menghadap ketimur selatan, mereka jadi saling berhadapan pula. Mereka juga berada dekat sekali satu dengan lain, jaraknya melainkan sepotong pelatok.

Melanjuti kesebatannya, Thian lim It Souw kembali melakukan penyerangan kali ini dengan dua2 tangannya berbareng kearah muka lawan. Ini ada gerakan “Ang hee koan jit”, atau “Sinar layung menutupi matahari.”

Eng Jiauw Ong kenali tipu pukulan musuh, yang be runtun2. Ia insyaf bahwa ia menghadapi bencana apabila ia tak dapat punahkan itu. Maka tanpa tunggu orang sempat melakukan perubahan, ia rangkap kedua tangannya, ia sambut kedua tangan lawan, untuk dibuka. Ia gunai tipu pukulan “Wie To hong cie sie” atau “Malaikat Wie To pegang toyanya.” Menyusul itu, ia meneruskan dengan tolakannya. “In hong tauw kah,” atau “Naga membuka sisiknya.” Ia ingin dorong lawan hingga rubuh dari pelatok.

Ketua Hoay Yang Pay bertindak benar, akan tetapi satu hal ia lupakan. Ialah sekarang ia berada diatas panggung pelatok hio, ia bukannya sedang menaruh kedua kaki diatas tanah datar. Ia lupa bahwa ia sedang mengadu ilmu enteng tubuh, hingga karenanya, tak dapat ia pakai tenaga penuh seperti biasanya. Di sebelah dia, Boe Wie Yang yang licik justeru hendak bikin dia rubuh dari atas pelatok,” pelbagai serangannya adalah pancingan belaka.

Benar disaat Eng Jiauw Ong menggunakan “Wie To hong cie sie,” tanpa tunggu dorongan lawan, ketua Hong Bwee Pang mendahului menarik pulang kedua tangannya, tubuhnya sendiri sambil dimiringkan mencelat ketimur utara. Ia menaruh sebelah kaki saja, kaki kiri, sedang kaki kanannya dilonjorkan ke luar, untuk dipakai menyapu ke arah timur.

Ini ada tipu silat “Houw yoe hie soei,” atau “Kutu houw yoe main air”. Houw yoe adalah kutu sebangsa capung, tubuhnya lebih kecil dan panjang. Ini ada semacam tipu silat bokongan.

Eng Jiauw Ong terancam oleh lawannya yang licik itu. Sulit untuk ia menyingkir kekiri atau kanan, kedepan atau kebelakang. Ia mempunyai hanya satu jalan loncat tinggi, apungkan diri. Tapi untuk ini, kakinya baharu saja dipasang selaku kuda2, untuk menyerang lawannya. Untuk apungkan diri, ia jadinya kalah ketika, kalah sebat dari lawannya itu, kaki siapa sedang sambar kaki kirinya. Jalan lainnya adalah pertahankan kakinya, pertahankan kuda2nya, tapi dengan begitu tabung hio tentu tak kuat menahan berat dirinya, yang sedang dikerahkan tenaganya. Kalau tidak ia tentu bakal tersapu rubuh. Dengan pertahankan diri, walaupun ia bisa turun dari atas pelatok, ia berbareng bisa balas hajar lawannya itu, untuk dikasi rasa Eng jiauw lat, “tenaga kuku garuda”.

Dalam saat ‘segenting rambut’ itu bagi kedua pihak, se konyong2 Siangkoan In Tong, yang menonton sambil perlihatkan lagak nya yang aneh itu, terdengar batuk , menyusul mana dari mulut nya menyembur ludah lendir. Agaknya ia muntah disebabkan ia telah kesalahan tenggak lendir karena menghisap hoencweenya yang telah kepenuhan. Berbareng dengan itu, iapun telah kena lempar hoencweenya yang digantungi kantong tembakau! Nampaknya Siangkoan In Tong berbuat tanpa disengaja, sebab iapun menyemburkan lendirnya itu beberapa kali, mengikuti batuknya.

Perbuatan Siangkoan In Tong ini kelihatannya tidak mempunyai arti, akan tetapi akibatnya ada diluar dugaan. Ludahnya yang nyemprot kearah dua orang yang sedang berkelahi, dan hoencweenya menyambar sampai dua kali, pergi pulang, merupakan sampokan angin yang keras.

Boe Wie Yang sedang menyerang, Eng Jiauw Ong sedang bebaskan diri, tiba2 keduanya terperanjat, sebab dengan tiba2 saja mereka dapatkan empat pelatok didekat mereka rubuh sendirinya, bergoyang seperti hendak rubuh. Dalam kagetnya, Eng Jiauw Ong segera loncat turun kebawah pelatok, akan injak tanah.

Boe Wie Yang yang sedang menyerang juga tidak rubuh, ia masih dapat kesempatan akan jumpalitan dalam sikap “Kim lie hoan sin” atau “Ikan tambrah emas berlompatan ” setelah menukar pelatok, dia terus loncat turun.

Kebetulan sekali, turunnya mereka berdua dijurusan yang berlainan, yalah Eng Jiauw Ong ditimur, Boe Wie Yang dibarat, dan di tengah2 mereka berdirilah Siangkoan In Tong.

Wajahnya Thian lam It Souw ada biru padam dengan mata bersinar kemarahan ia awasi Wa Po Eng si Pembalasan Hidup, akan tetapi walau ia sedang sangat mendongkol dan bergusar, tak lupa ia akan adat sopan santun.

“Terima kasih!” berkata ia kepada Eng Jiauw Ong sambil ia memberi hormat. Ia anggap ketua Hoay Yang Pay sudah sengaja mengalah. “Ong Too Liong rela menyerah,” sahut Eng Jiauw Ong seraya ia balas hormat itu.

Setelah itu ketua Hong Bwee Pang berpaling pula pada In Tong, mukanya merah sekali.

“Siangkoan Loosoe, apakah artinya itu?” tanya dia dengan keras. Ia lantas menunjuk kearah pelatok hio.

Siangkoan In Tong seperti dengar atau tak dengar teguran itu, dengan tenang dia ketruk ketruki hoencweenya kepada dasar sepatunya. Adalah setelah itu, dengan pelahan2 baharu ia angkat kepalanya, akan dengan rupa tercengang mengawasi tuan rumah.

“Boe Pang coe, apa katamu?” tanya dia sesaat kemudian. “Aku tidak mengarti katamu itu, tolong kau jelaskan…”

Boe Wie Yang tertawa dingin. “Siangkoan Loosoe, jangan kau main2 dengan aku!” Thian lam It Souw kata pula. “Kita ada orang2 kang ouw sejati, sudah seharusnya kita berlaku terus terang. Dalam pertemuan di Ceng Giap San chung ini, sesuatu orang mengandal kepada kepandaiannya masing2 disini tak dapat kita bertempur dengan pakai hati bengkok! Siangkoan Loosoe, apakah kau lupa pembilangan dalam permainan catur siapa menonton, dia tak dapat buka mulutnya? Aku dan ketua dari Hoay Yang Pay sedang bertanding, kesudahannya ini adalah penyelesaian dari urusan kami. Mustahil Siangkoan Loosoe tak ketahui ini? Kenapa loosoe nampaknya sangat tidak sabaran? Kenapa kau berbuat begini terhadapku? Kau telah gunakan “Hian niauw wa see” dan “Khong ciak tek leng” kedua ilmu berat dari kaum akhli dalam! Kepandaianku memang lemah, barangkali aku tak akan luput setelah dua gebrak, akan tetapi baiklah loosoe ingat, menyerang orang dgn. satu kepalan mesti berbareng menjaga juga tendangan orang! Apakah kau sangka aku akan puas? Sekarang tidak ada bicara lain! Aku sudah lolos dari tanganmu tadi, dengan segala senang hati, suka aku terima pengajaran darimu! Secara begini maka tak usahlah sampai Siangkoan Loosoe turun tangan pula secara menggelap!”

(“Hian niauw wa see” berarti “Burung hitam menggaris pasir” dan “Khong ciak tek leng” adalah “Burung merak membiak bulu,” yalah dua rupa ilmu pukulan angin dari akhli silat bagian dalam, lweekee).

Ditegur demikian rupa, Siangkoan In Tong masih tertawa saja dengan dingin, tetapi disaat ia hendak berikan jawabannya, ia telah dicegat oleh Coe Hoei Siansoe, yang memotong dengan kata2nya kepada Boe Wie Yang : “Boe Pang coe, bahagian ini baiklah pinceng yang menyelesaikannya!” kemudian ia teruskan kepada Siangkoan In Tong : “Siangkoan Sie coe, sudi pinceng mencari keputusan denganmu dalam gebrakan terakhir ini! Pinceng nanti gunakan Hong pian canku menghadapi Lie hoen Coe bo kianmu untuk memutuskan hidup atau musnahnya Hong Bwee Pang!”

Kali ini Coe Hoei Siansoe muncul dengan sikapnya yang getas sekali, hingga Boe Wie Yang lantas saja undurkan diri kesamping.

Wa po eng Siangkoan In Tong tidak jerih, ia manggut kepada pendeta dari Siauw Lim Sie itu.

“Loosiansoe, sungguh kau cerdas sekali,” ia kata. “Diantara pengikut2 dari Sang Buddha, benar2 tidak banyak didapati orang semacam kau! Aku Siangkoan In Tong, aku sudah berkelana empat puluh tahun bicara keatas, pernah aku menemui enghiong2 kenamaan dan orang2 gagah kaum kang ouw bicara kebawah, pernah juga akan melihat kawanan pancalongok tikus dan maling anjing sampaipun pedagang pikul dan tukang antar kereta, semua mereka itu aku pandang sebagai sahabat2 karib! Toh walaupun demikian, jarang aku menemui orang sebagai siansoe yang sudah bersedia akan kurbankan diri untuk lain orang, yang anggap urusan lain orang sebagai urusan pribadi sendiri! Loosiansoe, kau telah tegur aku, maka tak ingin aku berbantah pula denganmu. Sebenarnya, kamu telah memandang terlalu berharga kepadaku. Apakah itu Hian niauw wa see? Apakah itu Khong ciak tek leng? Aku tidak   mempunyai   kedua   ilmu kepandaian itu, malah nama2nya juga inilah untuk pertama kalinya aku dengar! Loosiansoe,   urusan kedua  pihak hendak diselesaikan, kaulah yang niat lakukan itu, sungguh ini satu urusan yang baik sekali! Baik, loosiansoe, suka aku menerima nya! Mengenai senjatamu, Hong pian can, ingin aku jelaskan dahulu. Senjatamu itu ada senjata istimewa dari Siauw Lim Sie, dengan pakai senjata istimewa itu, kau hendak gantikan Boe Wie Yang menjual jiwa, karenanya Ong Too Liong bersama Coe In Am coe pasti bakal menampak bencana! Kalau kita bicara tentang karma seperti dari kalanganmu, kaum Buddha, inilah  rupanya  yang dibilang takdir. Mengenai aku, Siangkoan In Tong, dari tempat ribuan lie aku datang ke Cap jie Lian hoan ouw ini aku telah datang secara  terburu2, karena  aku  kuatir tak keburu aku menonton  keramaian akan  tetapi buktinya   sekarang, apabila dilihat, nyatalah aku bukannya datang untuk menonton, hanya rupa2nya takdirku pun sudah sampai …. Jadinya aku datang terburu2 bukan sebab kuatirkan lewat batasnya waktu,  hanya   supaya  loosiansoe  mendapat kesempatan akan menolong membebaskan aku. Tegasnya, akupun telah tertakdir, tak bisa aku menyingkir lagi, hingga karenanya, mesti aku terima itu dengan ikhlas. Loosiansoe, apa lagi kau hendak tunggu? Silahkan lekas ambil Hong pian canmu supaya dengan itu kau dapat sambut aku dan antar aku kejalan yang besar untuk pergi ke Langit Barat! ”

Alangkah murkanya Coe Hoei Siansoe karena gangguannya kata2 itu hingga ia berseru: “Siang koan Sie coe, kau mengarti duduknya hal, inilah bagus! Karenanya, sudi aku melakukan satu dosa pembunuhan, sebab ini ada untuk pembersihan dalam kalangan kang ouw. Biarlah dia, yang berjodo, pergi ke Taman Firdaus! Inipun ada satu jasa baik dalam kalangan kami kaum suci! Siangkoan Sie coe, apabila hari ini pinceng tidak seberangkan kau, untuk membebaskanmu, pasti sekali pinceng sendiri yang bakal terjeblos masuk kedalam Kioe yoe Sip pat ceng tee gak!” (“Kioe yoe Sip pat ceng tee gak” berarti “neraka 12

undak.”).

Setelah mengucap demikian, pendeta ini berpaling kearah rombongannya, akan minta salah seorang Hong Bwee Pang ambilkan senjatanya yang disebutkan itu, sebenarnya arit Hong pian can, tetapi beroman sebagai garu, ialah semacam senjata istimewa untuk pendeta2 dari Siauw Lim Sie.

Dua orang Hong Bwee Pang bawa keluar senjata itu, yang diletakkan dibelakang para2 bunga Coe Hoei segera menyambutinya. Senjata itu terbuat dari besi campur baja pilihan, besar bulatnya seperti telur bebek, panjangnya enam kaki empat dim, kepalanya, ialah garunya, besar sekali, bundar sembilan dim bagaikan rembulan, dan kapan gelangan2nya bergerak, lantas terdengarlah suara yang nyaring berisik berkontrangan. hweeshio ini, yang cekal gegamannya dengan tangan kanan dan tangan kirinya dipakai menggape.

“Siangkoan Sie coe,” berkata iapun maju setindak, “Mari kita pergi kedalam kalangan untuk berlatih beberapa jurus!” Siangkoan In Tong menyahuti dengan tenang.

“Loosiansoe,” katanya, “dengan senjatamu ini, berapa banyak orang yang kau hendak seberang bebaskan dalam Ceng Giap San chung ini? Kau harus menyebutkan dahulu jumlahnya, supaya kami disini bisa meng hitung2, oleh karena dari semua anggota kami, tidak semuanya memikir untuk terbinasa disini. Kau hendak gunakan senjatamu yang istimewa itu, kau juga bakal keluarkan, ilmu silat luar biasa dari Siauw Lim Pay siapa saja yang bertanding denganmu, aku merasa pasti jangan harap bisa lolos kabur dengan jiwanya masih hidup. Makanya juga harus kita bersiap siang2 untuk kematian kita ”

Bukan main mendongkolnya hweeshio dari Siauw Lim Sie itu, “Siangkoan Siecoe,” berkata dia, “harap kau jangan main gila dihadapan pinceng. Jikalau kau tetap sama kata2mu yang tidak keruan juntrungannya, jangan sesalkan jika pinceng tidak gubris pula padamu, nanti aku terpaksa berbuat kurang ajar. Kita toh bertanding secara persahabatan, antara kita tidak ada permusuhan hebat, sedang pinceng sebagai murid Sang Buddha, tidak niat pinceng berlaku telengas. Siecoe suruh aku menyebutkan jumlahnya orang2 yang bakal terbinasa diujung senjataku ini, bagaimana aku dapat menyebutkannya? Senjataku inipun tidak mempunyai kepastian untuk kemenangannya! Bukankah siecoe sedang berguyon?”

“Loosiansoe, karena kau anggap aku sedang main2 denganmu, baiklah, tak usah kita bicara lebih banyak pula!” berkata orang jail itu. “Silahkan, loosiansoe, silahkan jalan lebih dahulu ketempat kemana aku bakal binasa untuk nanti menjelma pula!”

Wa Po Eng bicara dengan tertawa dingin. Dalam sengitnya, Coe Hoei Siansoe ambil putusan akan kirim jiwanya orang jail ini kelain dunia, maka itu, tanpa sungkan lagi, ia putar tubuhnya, akan bertindak ketengah kalangan.

Siangkoan In Tong segera ikuti pendeta itu.

Semua orang Hoay Yang Pay bergerak, akan ambil tempat di sebelah utara medan pertempuran dimana mereka pada berdiri, sedang pihak Hong Bwee Pang, dengan dikepalai oleh ketuanya, ambil tempat disebelah selatan.

“Silahkan, Siangkoan Sie coe.” kata Coe Hoei, yang beri hak kepada lawannya akan pilih tempat disebelah atas.

Siangkoan In Tong ikuti hweeshio ini, tetapi dengan tindakan nya yang sabar, hingga jalannya jadi pelahan baharu saja ia sampai ditengah kalangan, tiba2 dari rombongan Hoay Yang Pay muncul satu orang yang terus menyerukan: “Siangkoan Loosoe, aku minta sukalah kau mengalah dulu kepadaku, supaya aku dapat ketika akan mengagumi ilmu silat luar biasa dari Siauw Lim Pay, yalah Hong pian can dari Tat Mo Coen cia!”

Kapan Wa Po Eng, si Pembalasan Hidup, menoleh, lantas ia tertawa ter bahak2, rupanya saking me luap2 kegirangannya.

“Oh, Kwie In Po coe, Siok beng Sin Ie, bagus, bagus!” demikian jawabannya. “Kau hendak menemui pendeta berilmu dari Siauw Lim Sie, Pou sat Hidup dari kalangan agama Buddha inilah bagus sekali! Dengan pertemuan ini kita jadi diberikan ketika untuk menonton kepandaian istimewa dari kedua kaum persilatan! Cuma ingat baik2, Ban Po coe, aku kuatir Hong pian can dari Loosiansoe ini nanti membikin kau mencobahi dahulu keliehayannya! Barang siapa pada kedua lengannya tidak mempunyai tenaga ribuan kati, jangan harap sanggup membentur senjata orang suci itu aku kuatir nanti senjatanya berikut orangnya sendiri bakal terlempar keluar dari Ceng Giap San chung ini! Aku adalah miskin, akan tetapi aku sayangi jiwaku aku tidak gemari nama besar, aku tidak kemaruk kepada harta, aku bisa patah, bisa bengkok, aku bisa bersabar, bisa bertahan, sebenarnya tak dapat aku mengalah lagi sekali ini, akan tetapi karena Loosiansoe datang istimewa untuk menyeberang membebaskan aku, takdirnya Siangkoan In Tong sudah bertuliskan, baiklah, suka aku mengalah juga. Siapa tahu, nama Ban loosoe juga telah terdaftar   dalam   Hong sin pang, hingga sekarang antara kita tinggal penetapan waktunya saja, siapa yang lebih dahulu, siapa yang belakangan. Kau terlebih pagi daripada aku, Ban Loosoe. baiklah, biarlah Loosiansoe lebih dahulu kirim kau ke Langit Barat!”

Lioe Tong pelototi si jail itu, dalam hatinya dia kata “Sampai saat ini, saat mati hidupnya empat puluh lebih orang Hoay Yang Pay, kau masih berguyon saja, sungguh kau menjemukan!” Tetapi ia tidak bilang suatu apa tak sudi ia meladeni nya. Dengan bawa pedangnya Teo sat Cian liong kiam, ia bertindak ketengah medan. Dengan tangan kiri menyekal pedangnya itu, dan dengan tangan kanan memegang lain bagiannya, ia memberi hormat pada hweeshio dari Siauw Lim Sie.

-ooo0dw0ooo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar