Jilid 04 : Interogasi
Usia kakek penjual bakmi ini sudah sangat tua. Pandangan matanya sudah mulai rabun, pendengaran telinganya juga mulai kabur bahkan cara berbicara pun mulai tak jelas. Sama seperti kebanyakan tauke warung bakmi lainnya, sudah cukup lama dia hidup susah dan setiap hari harus banting tulang memeras keringat.
Dia tak punya kekayaan terlalu banyak, juga tak punya sanak keluarga. Dari muda hingga tua hidupnya selalu susah dan menderita. Terhadap orang dengan kondisi semacam ini, bagaimana mungkin kau bisa berharap dia dapat melihat setiap masalah dengan jelas, mendengar dengan jelas dan menerangkan dengan jelas?
Walaupun begitu, namun ada satu hal yang pasti; yaitu dialah satu satunya orang yang telah “melihat" semua kejadian ini.
Saat fajar hari itu, ketika Chee Gwat sian mati terbunuh, dialah satu satunya orang yang telah melihatnya. Si kakek yang mata, telinga serta bicaranya sudah mulai ,tak jelas ini.
Hanya dia seorang yang pemah berjumpa dengan pemuda itu. Si Pembunuh bertangan kidal.
Menyangkut kasus pembunuhan yang sangat menggemparkan dan sangat menghebohkan dunia persilatan ini, bukan saja hanya dia satu satunya
saksi mata, dia juga merupakan satu satunya titik terang yang bisa dilacak. Oleh sebab itu untuk melacak kasus pembunuhan itu, kau harus bertanya kepadanya.Saat itu, Komandan Sin sedang menginterogasi kakek itu. Semua tanya jawab dilangsungkan dengan sangat jelas, pendengamya adalah Leng Giok hong serta si lelaki setengah umur.
"Hari itu, kelihatannya kau membuka warungmu lebih awal. Apakah biasanya juga seawal itu?" komandan Sin mulai bertanya.
"Benar, bila seseorang sudah merasa dirinya mulai tua, tahu katau dirinya sudah tak akan hidup terlalu lama lagi, biasanya dia akan terjaga dari tidumya lebih awal dari orang lain."
"Masih sepagi itu, sudah ada tamu yang mampir di warungmu?"
"Benar. Biasanya memang tak ada tamu yang datang seawal itu. Kedatangan tamu itu memang kelewat pagi."
"Macam apakah orang itu?"
"Seorang pemuda dengan perawakan sedang, dia makan tak terlatu banyak tapi persenan yang diberikan kepadaku cukup banyak." "Sepintas memandang, apakah dia mempunyai sesuatu keistimewaan?""Tidak, dia tak punya keistimewaan apapun. Paling gerakan tubuhnya yang lebih lincah dan ringan ketimbang orang lain. Sewaktu bersantap, dia makan dengan sangat lambat, dikunyah dengan sangat teliti, seperti... seperti seekor kerbau yang sedang mengunyah rumput, setelah dikunyah dan ditelan setiap saat siap ditumpahkan keluar lagi untuk dikunyah sekali lagi."
... Hanya orang yang sering kekurangan bahan makanan sehingga sangat membutuhkan makanan baru akan melakukan hal seperti ini. Tentu saja Komandan Sin, Sin Wai yang sangat matang pengalamannya dalam sungai telaga, memahami teori ini.
Tapi kelihatannya dia kurang menaruh perhatian atas masalah itu. Dengan cepat dia telah bertanya lagi, "Apakah kau melihat ada orang berjalan keluar dari
pintu sempit di balik dinding pekarangan itu dan pergi dengan naik tandu?""Yaaa, aku melihat dengan jelas sekali, orang itu berdandan sangat mewah dan parlente, agaknya seorang yang sangat berduit. Tapi anehnya ia justru keluar lewat pintu belakang di pagi buta itu, seolah-olah sedang berusaha melarikan diri saja...""Dalam dua bulan terakhir, pemahkah kau melihat lelaki setengah umur itu berjalan keluar dari pintu belakang dan melakukan hal seperti yang dia lakukan pada pagi buta itu?"
"Rasanya belum pemah."
Seperti amat kecewa Komandan Sin menghela napas panjang.Tiba tiba kakek itu berkata lagi, "Seandainya pernah pun aku tidak tahu”
"Kenapa?”
"Sebab selama dua bulan terakhir aku selalu menderita sakit hingga pintu warung belum pemah dibuka. Hari itu adalah hari pertama aku berdagang lagi." Komandan Sin tertawa getir, dia tidak komentar apa apa.
Kembali kakek itu berkata, "Ketika orang kaya itu berjalan keluar hari itu, ada orang lain dengan menggunakan tandu segera menyambutnya. Baru saja dia melangkah keluar, tandu itu sudah mendekat. Bukan saja perhitungan waktunya sangat tepat, kerja sama mereka pun amat sempuma. Lelihatannya hal itu sudah dilatihnya berulang kali.""Hal ini membuktikan kalau orang kaya itu tak ingin gerak-geriknya diketahui orang lain, bahkan kalau bisa tidak terlihat siapa pun. Maka dari itu mereka telah berlatih berulang kali.""Yaaa, rasanya memang begitu."
"Sepeninggal tandu itu, apakah pemuda itu juga ikut pergi?" tanya komandan Sin kemtidian.
"Benar. Sepeninggal tandu itu, pemuda tersebut segera meletakkan sumpitnya dan iktut pergi dari sini. Kepergian mereka sangat cepat, hanya sebentar saja sudah sampai di ujung lorong sana. Gerakan tubuh si penandu maupun anak muda itu cepat sekali, jauh lebih cepat daripada kebanyakan orang."Kemudian?" "Kemudian aku mendengar suara teriakan!"
"Suara teriakan? Teriakan macam apa?"
"Teriakan yang sangat memilukan hati, seperti ada orang sedang menggorok lehemya. Teriakan itu pendek sekali, rasanya hanya cukup dengan dua tusukan, orang itu sudah mati terbantai."
Komandan Sin tertawa dingin, "Butuh dua gorokan untuk menghabisi nyawa seseorang, cara kerja orang itu tidak termasuk cepat," jengeknya.
Tiba tiba Leng Giok hong menyela, ujamya dengan suara hambar, "Jika senjata yang digunakan bukan golok melainkan gergaji, begitu jeritan bergema sang korban pasti sudah putus napas. Nah, itu baru cepat namanya!"
Komandan Sin menarik napas panjang. Membunuh orang dengan memakai gergaji? Bagaimana rasanya sang korban yang digergaji? Bagaimana pula rasanya menggergaji seseorang?
"Kenapa mesti pusing pusing? Lakukan saja otopsi atas mayat korban itu, kau akan segera tahu sang pembunuh melakukan pembantaian dengan menggunakan golok atau gergaji."
Sekarang tugas pertama yang harus dilakukan adalah melihat jenasah korban. Dalam hal ini semua orang merasa sangat setuju dan tak punya usul lain.
Belum keluar dari pintu warung tiba tiba Leng Giok hong balik kembali, dengan suara yang perlahan tapi amat serius kembali tanyanya kepada kakek penjual bakmi itu, "Tadi kau bilang, kau telah melihat pemuda kekar itu melakukan sesuatu sebelum pergi meninggalkan warungmu?" "Benar!"
"Apa yang telah ia lakukan?"
"Membayar uang sarapannya. Untuk semangkuk bakmi kuah plus dua buah bakpao sayur dia telah membayar satu tahil perak, jumlah persenan yang sangat besar untukku. Dia benar benar royal"
"Apa lagi yang ia lakukan?" Kakek penjual bakmi itu tak paham apa yang dimaksud orang itu, ia tak mampu menjawab.
Agaknya Leng Giok hong tahu kalau kakek itu tak paham, kembali ujamya, "Tentunya dia letakkan dulu sumpitnya di atas meja?"
"Tentu saia, ia harus letakkan sumpitnya di meja." "Sumpit itu diletakkan di mana?"
"Di sebelah mangkuk bakmi." "Maksudku di sisi yang mana?"
Kembali kakek penjual bakmi itu tak bisa menjawab. Pedagang semacam dia memang jarang memperhatikan hal sedetil ini, terutama hal yang menyangkut pekerjaan rutin.
Sekali lagi Leng Giok hong merasa kecewa, pelan pelan ia balik badan dan keluar dari warung.
Tiba tiba kakek itu berkata lagi, "Aku sudah tak ingat di sisi yang mana ia letakkan sumpitnya, tapi ada satu hal yang masih kuingat jelas. Sewaktu bersantap, sumpitnya sempat menyenggol botol cabe hingga tumpah. Botol cabe itu terletak dekat dinding, sedang dia duduk menghadap ke pintu. Berarti dinding itu di samping kirinya, botol cabe itu juga berada di si.si kirinya.""Berarti bisa disimpulkan dia makan dengan memakai tangan kirinya?" "Benar!"
"Berarti orang itu adalah seorang kidal yang sudah terbiasa memakai tangan kirinya?"
"Benar!"
"Dan pekerjaan pemuda itu, adalah seorang pembunuh?" "Mungkin saja!"
Leng Giok hong tertawa, sekilas cahaya tajam memancar keluar dari matanya. Setelah termenung sejenak, kembali terusnya, "Kalau dugaanku tak keliru, sekarang aku sudah bisa menggambarkan potongan wajahnya secara garis besar."
Sudah banyak tahun Leng Giok hong bekerja di Lak san bun (kantor pengadilan), hampir semua polisi kenamaan di sungai telaga mengakui dia sebagai seorang opas jempolan. Tentu saja tidak sulit baginya untuk mengumpulkan bahan bahan berharga serta bukti yang menyangkut pekerjaan seorang pembunuh.
"Bila diperiksa dari data yang kumiliki, pembunuh bertangan kidal tak banyak jumlahnya. Orang yang mampu membantai Song Thian leng dalam sekejap mata paling banter cuma ada tiga orang, sedang orang yang berusia antara dua tigapuluh tahun hanya, ada satu. orang saja.""Siapakah orang itu?"
"Orang itu berasal dari satu keluarga kenamaan. la sangat menaruh perhatian dalam hal berpakaian, gemar memakai baju wama hijau, perawakan badannya hampir sama seperti aku, ilmu silat yang dipelajari beraneka ragam, oleh karena itu dia bisa menggunakan banyak cara untuk membunuh seseorang."
"Aku percaya tidak sulit bagi kita untuk menemukan orang semacam ini." Dalam hal ini, Leng Giok hong juga percaya.
Jabatan sebagai seorang komandan opas bukan diperoleh Komandan Sin secara kebetulan, tidak heran kalau dia punya banyak.mata mata dan informan yang tersebar di seluruh kota. Bila di sana benar benar pemah kedatangan seorang asing macam begitu, seharusnya tak sampai duabelas jam ia sudah bisa menemukan jejaknya.
"Selain itu," lanjut Leng Giokhong, "aku harap kau bisa kirim orang untuk menyelidiki siapa pemilik gedung besar ini. Seandainya pemiliknya Sudah ganti belakangan ini, aku harap semua data yang menyangkut pemilik lama maupun pemilik baru telah disiapkan dalam waktu secepatnya, aku harus tahu tentang semuanya itu!"Dia tak perlu menunggu terlalu lama, sejenak kemudian ia sudah memperoleh data itu, walau hanya sebagian.
Seorang nenek penjual ketan manis baru saja berjalan melewati depan mereka menuju ke pintu sempit di gedung seberang. Tiba tiba pintu kecil itu dibuka orang.
Seorang nona kecil berbaju merah yang punya kepang besar muncul dari balik pintu sambil membawa sebuah mangkuk besar. Dia mempunyai sepasang mata yang besar dan indah dengan sepasang lesung pipi yang manis.
Sekarang, seinua orang sudah tahu siapa penghuini gedung besar itu. Paling tidak salah satu penghuninya adalah seorang dayang kecil yang cantik wajahnya.