Bulan Jatuh di Lereng Gunung Jilid 24 (Tamat)

Jilid 24 (Tamat)

Wajah Ken Rudati berubah. la seperti seseorang yang tersadar dan mimpinya. Ya, mengapa ia tidak dapat berpikir sejauh itu ? Tanpa pamit lagi, terus saja ia balik ke Mataram. la bermaksud kembali ke pesanggerahan Raden Mas Kartanadi. Tetapi perjalanan inipun memakan waktu sepuluh hari juga.

Bahkan tidak selancar semula. Sebab sepanjang jalan ia melihat rakyat mengungsi berbondong-bondong. Menurut kabar, Pangeran Puger meninggalkan Ibukota kerajaan menuju Semarang. Penduduk yang cinta kepadanya ikut serta mengiringkan. Juga sebagian laskar Kerajaan pimpinan Pangeran Purbaya. Tentu saja laskar Amangkurat Mas tidak tinggal diam. Di bawah pimpinan perwira-perwira yartg masih setia ke-pada raja, Laskar Kerajaan mengadakan pengejaran. Akan tetapi Kompeni Belanda yang berpihak kepada Pangeran Puger mengadakan perlawanan. Juga laskar pimpinan Pangeran Purbaya tidak mau ketinggalan. Bahkan justru merekalah yang paling bersemangat karena luapan balas dendam yang tersekam lama.

Pada hari hari berikutnya, mereka mengadakan serangan balasan. Karena dibantu Kompeni Belanda, Ibukota Kerajaan menjadi kalut. Kerajaan Mataram sudah tiba pada ambang keruntuhannya. Penduduk Ibukota porak-poranda. Keluarga Raja korat-karit. Mereka lari berserabutan asal jadi saja. Akibatnya mereka menjadi. mangsa rakyat yang benci kepada raja. Yang laki-laki menjadi budak atau dibunuh. Yang perem-puan menjadi isteri siapa saja yang mau.

Tetapi semuanya itu tidak menjadi perhatian Ken Rudati. Baginya hanya Raden Mas Kartanadi seorang yang menjadi tujuan utamanya. Karena ia merasa dirintagi kedua belah pihak, maka ia mengamuk sejadi-jadi-nya. Siapa saja yang dikiranya menjadi biang keladi penghalangannya, dibunuhnya tanpa bertanya jawab.

Pedang Sanggabuana yang selalu dibawanya, benar-benar menjadi semacam senjata algojo yang menggelagak mencari kor- ban. Tidak peduli apakah dia kakek-kakek, nenek-nenek, ibu, ayah atau kanak-kanak. Maka di antara suara desing peluru dan gemerontang senjata tajam, namanya ditakuti orang. la disebut sebagai Dewi Maut yang membunuh sesamanya dengan darah dingin.

Sewaktu Amangkurat Mas melarikan diri ke Panaraga, Ken Rudati ikut pula mengembara ke wilayah Madiun dalam usaha mencari Raden Mas Kartanadi. Juga sewaktu Amangkurat Mas masuk ke pesuruan dan Adipati Wiranegara mengangkat senjata melawan Kompeni Belanda. Ken Rudati terus menerus melakukan pembunuhan. Tetapi rupanya Tuhan Yang Maha Kuasa akhirnya berkenan mengulurkan tangan cinta-kasihnya. la dibimbing oleh petunjuknya.

Pada suatu hari dengan tidak sengaja ia melihat se-kelompok orang yang sedang duduk merenung-renung mengelilingi api unggun di tengah malam yag dingin merasuk tubuh. Jelas sekali mereka sekelompok laskar yang sedang kecapaian. Laskar mana, Ken Rudati tidak memperdulikan. Tetapi di antara mereka, ia melihat Raden Mas Kartanadi duduk mendekap seorang perempuan.

Pakaian yang dikenakan Raden Mas Kartanadi nampak lusuh. Wajahnyapun kotor dan hampir tak terawat. Ken Rudati segera dapat mengerti. Itulah akibat perang yang berkepanjangan. Tetapi siapakah perempuan yang didekapnya itu ? Tiba-tiba perempuan itu menggeliat dan berusaha melepaskan diri dari dekapan Raden Mas Kartanadi. Dan begitu melihat wajah perempuan itu, kepala Ken Rudati pusing. Kedua telinganya pengang. Dan seluruh tubuhnya bergemetaran. la berdiri terpaku dengan tidak dikehendaki sendiri. Tepat pada saat itu, ia mendengar suara orang tertawa pelahan melalui dadanya. la menoleh dan melihat seorang laskar dengan pakaian seragam, berdiri tidak jauh daripadanya.

- Akhirnya kau baru tahu. Dialah isterinya. — katanya mengejek.

- Kau siapa ? - Ken Rudati minta keterangan. Sebenarnya ia ingin membentak, akan tetapi entah apa sebab-nya, suaranya mendadak hilang. Yang tertinggal hanya suara parau yang berbisik.

Orang itu tidak menjawab. la hanya memanjangkan suara tertawanya pelahan-lahan melalui dadanya. Tetapi melihat Ken Rudati tidak bergerak dari tempatnya, ia ber-kata lagi seperti kepada dirinya sendiri:

- Kau anak gelandangan, masakan bisa mengharapkan menjadi isteri seorang bangsawan ? Hal itu, mengapa tidak kau sadari lebih awal lagi ? Kalau ayahandanya sampai berkenan melamar dirimu, bukankah karena surat itu ? Demi memperoleh surat rahasia yang tersimpan di dalam kotak yang berada di atas atap gedung Gudang Senjata Markas Besar, Pangeran Hangabehi bersedia mengalah. Kau tahu apa isi surat rahasia itu ? Itulah surat ikrar para pangeran yang bersekutu dengan Kompeni Belanda dengan tujuan merobohkan kekuasaan raja. Hm, apakah bisa ? — Seketika itu juga, Ken Rudati seperti memperoleh penerangan Gaib. Semuanya nampak dan terasa menjadi jelas. Dan karena memperoleh penerangan gaib, mendadak saja ia mengenal kembali bentuk dan rupa wajah yang bersembunyi di balik pakaian seragam.

Dialah si rukang kebun pesanggerahan Raden Mas Kartanadi. Pada detik itu pula, berbagai perasaan bergumul hebat dalam dirinya. la merasa menjadi boneka permainan belaka.

Direndahkan, dicemooh kan, ditertawakan, dibohongi, dikelabui dan diperbodoh. Tak mengherankan, tidak dapat lagi ia mengua- sai diri. Seperti yang acapkali dilakukan, ia melompat sambil membabatkan pedangnya.

Tukang kebun itu boleh merasa mempunyai kepandaian tinggi. Kalau tidak demikian, tidak bakal ia berani memperlakukan Ken Rudati begitu rupa, padahal tentunya dia sudah mendengar sepak-terjangnnya. Namun menghadapi Ken Rudati yang sudah kalap, sama sekali ia tidak berdaya. Hanya dalam sekejap mata saja, kepalanya sudah terkurung dan roboh terjengkang di atas tanah. Tentu saja suara robohnya mengejutkan sekalian laskar yang sedang duduk beristirahat mengelilingi unggun api. Namun pada detik berikutnya, Ken Rudati sudah lenyap dari penglihatan.

Benar-benar hancur lebur keadaan hati Ken Rudati. la lari dan lari terus menerus sampai roboh kecapaian. Lalu menangis menggerung-gerung. Bayangan gurunya berkelebat di dalam otaknya. Itulah Gujali dan ketujuh saudara-seperguruannya. Merekalah yang langsung dirugikan-nya. Setelah kotak itu berhasil dicurinya, pastilah mereka berdelapan kena salah. la menyesal bukan main.

- Aku dididiknya, dibimbingnya dan dilindunginya dengan sabar dan telaten. Apa balasanku ? Jangan lagi aku sudah dapat membalas rasa terima kasibku, bahkan mungkin sekali aku mencelakakannya. - ia mengutuk diri sendiri .

Kemudian muncullah puluhan orang yang mati terpangkas pedangnya. Itu semua gara-gara ingin menjadi Isteri Raden Mas Kartanadi yang dikiranya seorang pemuda yang setia, jujur dan tulus. la merasa terlalu salah terhadap mereka semua yang menjadi korban pedangnya. Tetapi kenapa ia tidak membunuh Kartanadi dengan pedangnya pula ? Bukankah dia yang menjadi sumber semuanya ? Ia merasa tidak sanggup berbuat demikian, karena yang terpeta dalam seluruh kesadarannya adalah ketololannya. Tolol ! Tolol ! Tolol ! Karena itu ia merasa malu luar biasa.

Akibatnya ia jadi benci kepada dirinya sendiri. Tanpa berpikir panjang lagi, ia membuang pedang pusaka Sangga-buana, karena pedang itulah yang menyebabkan ia merenggut jiwa puluhan orang yang tidak berdosa. Lalu lari lagi tak ubah diuber hantu mendaki Gunung Lawu. Entah kekuatan apa yang membimbingnya, tiba-tiba ia berkeinginan hendak menjatuhkan diri ke pangkuan pendeta suci Waris Watu untuk mengaku dosa dan mohon bimbingan selanjutnya. Maka tujuannya kini mendaki ke pertapaan Cakra Srengenge yang berada di atas Gunung Lawu.

Gunung Lawu mempunyai tiga puncak yang disebut orang : Ngarga Dumilah, Ngarga Dalem dan Ngarga Tiling. Sedang pertapaan Cakra Srengenge merupakan lembah pasir di atas puncak gunung. Hari sudah berganti malam lagi setelah melalui hari terang-benderang yang panjang. Ken Rudati yang lari siang malam belum juga tiba di da-taran tinggi Cakra Srengenge.

Kira-kira menjelang Subuh, ia jatuh terjerambab kehabisan tenaga. Inilah untuk yang pertama kalinya ia mengakui kehabisan tenaga benar-benar. Pikirnya :

- Barangkali puncak gunung yang suci itu tidak menghendaki kehadiranku yang bertangan kotor berlumuran darah. Kalau begitu, biarlah aku bermukim di sini saja. -

Dengan keputusan itu ia mendirikan sebuah gubuk. Tekatnya, ia tidak lagi ingin bergaul dengan masyarakat. Bahkan kalau bisa, semoga jangan ada seorang manusiapun di dunia ini yang melihat dirinya sampai mati menghem-buskan nafas.

Sayang, di tengah alam yang sunyi senyap itu, masih juga ia mendapat halangan. Sama sekali tidak diketahui-nya, bahwa di lembah sebelah Selatan hidup pula seorang pendekar yang ingin juga hidup mengasingkan diri. Pendekar itu bernama Pulungan. Merasa terganggu Pulungan melabrak Ken Rudati. Kedua pendekar itu kemudian bertempur dengan amat serunya. Pulungan memiliki ilmu pukulan seumpama guntur dan api. Sebaliknya dalam hal ilmu berkelahi dengan tangan kosong, Ken Rudati tidak memiliki andalan sejuruspun. Padahal ia kini tidak bersen-jata lagi. Karena itu ia kena dirobohkan. la terpukul jatuh dan terperosok ke dalam jurang.

Syukur Tuhan berkenan menolongnya melalui tangan pendeta Waris Watu. Pada saat itu Waris Watu sedang menurunkan dasar-dasar ajaran ilmu sakti kepada Laweyan.

la mendengar suara pertempuran Siapakah yang bertempur ditengah kesunyian alam ini, ia heran. la melongok dan melihat Ken Rudati roboh terperosok dalam jurang. Dengan dibantu Laweyah, pendeta itu membawa Ken Rudati pulang ke pertapaannya. Inilah yang din am akan jodoh. Ken Rudati memang ingin bersimpuh di hadapan pendeta Waris Watu untuk mengaku dosa.

Sebaliknya Waris Watu berkenan mengambil Ken Rudati menjadi muridnya. Maka semenjak itu, ia bergaul rapat dengan Laweyan, yang kelak bernama Anjar Laweyan.

— Siapakah dia? Aku tidak pernah bermusuhan dengan dia. Dan ia tidak memberi kesempatan padaku untuk me-nerangkan siapa diriku dan apa sebab aku berada di sini. — ujar Ken Rudati setengah mengadu.

- Dialah murid kakakku seperguruan Ki Ageng Mahesa Tingkir. Namanya Pulungan. - Ki Ageng Waris Watu menerangkan. - Dia pewaris tunggal Ilmu sakti Batu Panas. Tetapi belum lengkap. Kau tak usah cemas. Akan kubuat engkau puas. Kuajari engkau Ilmu Pedang dan Ilmu Pukulan Guntur Badai. Aku percaya, kau bisa mengungguli. -

Anjar Laweyan yang ikut mendengarkan menimbrung :

- Guru, mengapa guru tidak menghajarnya agar jera. Dia begitu angkuh dan sombpng. -

- Tentu saja tidak pantas. Akulah paman gurunya Masakan aku akan menghajar kemenakan muridku sendiri ? - sahut Ki Ageng Waris Watu. Kemudian berkata kepada Ken Rudati :

- Anakku masih ingatkah engkau pertemuan kita dulu ? Apa sebab aku turun gunung ? Itulah gara-gara Pulungan pula.Seringkali ia membuat gurunya bersedih hati. Belum lagi lengkap ilmunya, ia berlagak menjadi seorang guru besar. la turun gunung dan mencoba ilmu saktinya kepada orang-orang pandai. Memang sifat Ilmu Sakti Batu Panas hebat tak terkatakan. Akan tetapi ada bahayanya. Bila tidak mem peroleh bimbingan yang tepat, orang akan tersesat. Ki Ageng Mahesa Tingkir, kakakku seperguruan berbareng guru Pulungan, setiap kali membicarakan kebinalan Pulung Gurunya memutuskan tidak akan mewariskan semua ilmu saktinya. Maka Ilmu Sakti Batu Panas yang terdiri dari empatbelas tataran diwariskan kepadaku dengan catatan agar menilik Pulungan. Itulah sebabnya, setelah Ki Ageng Mahesa Tingkir wafat, aku merasa wajib untuk mengawasi sepak-terjang Pulungan. Oleh alasan itulah aku turun gunung mencari Pulungan. Tetapi justru pada saat itu, ia berada di dekat pertapaan Cakra Srengenge. Tak apalah, Tuhan mempertemukan diriku denganmu. Kau memiliki pembawaan yang tepat untuk mewansi ilmu sakti ini. Memang, barangsiapa mewarisi ilmu sakti Batu Panas, pewarisnya akan memiliki sepak- terjang yang aneh. Cenderung kepada tindak berangasan, kejam, cepat berang, angkuh dan sombong. Kau memliki perangai ini, akan tetapi kau bisa menguasai diri berkat hatimu jujur dan bersih Buktinya, kau sampai berada di atas gunung suci ini mencari diriku dan akan bersedia hidup di sini pula. -

Demikianlah semenjak itu Ken Rudati bertekun mempelajari Ilmu Sakti Batu Panas melalui bimbingnan Ki Ageng Waris Watu di samping mewarisi Ilmu Pedang Guntur dan Badai. Pada waktu itu Anjar Laweyan masih muda belia. Dia hanya diajari dasar- dasarnya saja. Tatkala berumur 20 tahun, Ki Ageng Waris Watu wafat. Ken Rudati mengambil alih melanjutkan mengajarkan Ilmu Sakti Batu Panas sampai tingkat sembilan .

Wafatnya Ki Ageng Waris Watu, akhirnya sampai ke telinga Pulungan. Sebab betapapun juga, dia adalah kemenakan-murid. Maka Anjar Laweyan diperintahkan memberi kabar. Dan semenjak itu, Pulungan merasa jadi raja diraja. Sepak-terjangnya kian menjadi-jadi, karena di dunia ini tiada lagi yang perlu ditakuti la turun gunung dan mencanangkan diri sebagai ahli waris Ilmu Sakti Batu Panas. Demi melengkapi diri, ia perlu menulis semua ajaran guru-nya berdasarkan ingatannya, yang terdiri dari jurus-jurus Ilmu Sakti Batu Panas sampai empatbelas tataran. Usaha itu mempunyai nilainya sendiri.

Patut dipuji ! Dan semua kitabnya akhirnya berada di tangan kakek Sekar Rawayani yang kemudian kena dicuri pelayannya. Sayang, istnya hanya berdasarkan ingatan seseorang. Tidak mengherankan makna tulis jurus-jurus tataran Ilmu Sakti Batu Panas bercampur aduk. Maka barangsiapa yang mempelajarinya akan tersesat.

Pada suatu hari Pulungan datang menantang Ken Rudati. Kedua pendekar itu bertempur mengadu kepandaian. Ternyata Pulungan tidak dapat lagi mengalahkan Ken Rudati. Ken Rudati kini tidak hanya menguasai Ilmu Sakti Batu Panas saja, tetapi juga ilmu pedang Guntur dan Badai. Pulungan terusir dan terpaksa pindah tempat di sebelah selatan Gunung Lawu.

Dengan terusirnya Pulungan, Ken Rudati dapat dengan tenang mendalami semua ilmu warisan Ki Ageng Waris Watu. Kini, dia sudah berumur sembilan puluh tahun. Namun berkat latihannya, ia nampak berumur limapuluhan tahun. Perawakan tubuhnya masih kokoh sentausa tak kurang suatu apa. Demikian pula Anjar Laweyan. la ingin meniru tata-hidup gurunya. Hidup sebagai seorang pendeta suci. Tetapi karena kena pengaruh sifat I;mu Sakti Batu Panas, tingkah-lakunya menjadi aneh. Syukur ia hanya sampai tingkat sembilan saja dan wataknya mewarisi hawa pegunungan yang sunyi dan bersih. Dengan begitu ia hanya nampak sebagai seorang pendeta yang angin-anginan.

Sementara itu Pulungan yang bersakit hati tidak tinggal diam. Dengan membawa rasa sakit hati itu, ia bertemu dengan kakek Rawayani yang ahli racun. Kedua tokoh sakti itu kemudian saling tukar pendapat dan tukar ilmu kepandaian. Pulungan kini memiliki jenis ilmu pedang yang beracun. Dan dengan kepandaiannya yang baru itu.ia mencoba menggabungkannya dengan jurus-jurus makna Ilmu Sakti Batu Panas.

Lalu ia malang melintang untuk menguji kepandaian diri sendiri. Ternyata tiada seorang pandaipun yang dapat mengalahkannya. Tak mengherankan. ia berpikir sudah tiba saatnya untuk menggebah Ken Rudati meninggalkan dataran Cakra Srengenge.

Dengan penuh keyakinan, Pulungan mendaki pertapaan Cakra Srengenge. Begitu tiba di atas dataran ketinggian itu, segera terlihat gubuk Ken Rudati yang dikelilingi tetanaman segar-bugar. la girang bukan main. Lantas saja ia memekik panjang :

- Hai Rudati! Kau tahu kedatanganku ? -

Ken Rudati yang sudah mencapai puncak kemahiran-nya, tentu saja sudah mendengar langkah Pulungan semenjak ia belum mencapai dataran Cakra Srengenge. Dengan pedang terselip di pinggangnya, ia ke luar dari gubuknya dan menjawab gagah : - Pulungan, semenjak kau masih melangkahkan kakimu di bawah sana, aku sudah mendengar kedatanganmu. Bahkan aku dapat membaca pula maksud hatimu. -

Mendengar ucapan Ken Rudati, Pulungan terperanjat. Bagaimana dia tahu dirinya hendak menunrut balas? Tetapi sebeium ia sempat minta keterangan, Ken Rudati berkata lagi:

- Langkah kakimu sudah maju pesat. Tentunya engkau ingin menguji ilmu kepandaianmu melawan diriku, bukan? -

Hebat ! Sungguh hebat pendengaran Ken Rudati. Dengan hanya mendengarkan langkah kaki saja, Ken Rudati sudah dapat mengetahui kemajuan ilmu kepandaiannya. la jadi penasaran. dengan pandang mata berapi-api ia meng-amat-amati saingannya.

Ternyata Ken Rudati tidak berubah banyak, kecuali terdapat sedikit keriput dan rambut-nya sudah agak beruban. Dandanan yang dikenakan tetap sederhana seperti dulu, tetapi berkesan wibawa serta angkar.

- Rudati, telingamu memang panjang. - ia menyahut dengan gemas. - Tetapi aku tidak takut. Man kita men-coba-coba beberapa jurus saja. -

Kedua alis Ken Rudati berdiri tegak. Menyahut : - Pulungan, bukannya aku tidak berani menerima tantanganmu, tetapi coba kau dengarkan dulu pertimbanganku. Sewaktu aku bertemu denganmu, engkau hendak membunuh diriku. Syukur aku ditolong Ki Ageng Waris Watu. Lalu kita bertempur lagi. Kau kalah. Meskipun demikian aku tidak membunuhmu atau melukaimu. Bahkan aku memberimu Kitab Ilmu Pedang Guntur dan Badai sebagai nilai tukar Ilmu kepandaian gurumu Ki Ageng Mahesa Tingkir yang kuwarisi melalui tangan guruku. Karena itu, sebenarnya kita berdua ini adalah sesaudara-seperguruan. Maka tidak perlu kita bertengkar lagi untuk mengadu kepandaian. -

- Kentutmu ! - maki Pulungan.

la jadi jelus terhadap Ken Rudati. karena dirinya nampak jauh lebih tua bila dibandingkan dengan lawannya. Pada hal selisih umurnya tidak terpaut jauh.

- Kau memang pandai berbicara. Apa yang kau berikan kepadaku, masakan bisa dibandingkan nilainya dengan ilmu sakti guruku ? Baiklah kita atur begini saja. Cepat, kau enyah dari sini dan akulah majikan baru pertapaan Cakra Srengenge. -

Meskipun usia sudah tinggi, namun adat dan pembawaan Ken Rudati masih seperti pada jaman mudanya. Seketika itu juga, wajahnya merah padam karena tersulut rasa amarah. Lantas saja membentak :

- Kau memang manusia yang tidak tahu diri. Kau kira ilmu kepandaian guruku tidak sebanding dengan ilmu kepandaian gurumu ? Kau majulah ! Aku berjanji akan me-layani warna kepandaianmu dengan Ilmu Pedang Guntur dan Badai. - Selagi mereka berdua siap tempur, Anjar Laweyan muncul di belakang Ken Rudati. Pulungan tertawa panjang. Menegur ;

- Hai iblis perempuan ! Apakah kacungmu itu akan ikut mengerubut diriku ? -

Ken Rudati menoleh dan melihat Anjar Laweyan menjawab dengan suara dungunya :

- Ah, aku hanya ingin menonton saja. -

Setelah berkata demikian, Anjar Laweyan kemudian duduk di atas batu yang berada di luar gelanggang adu kepandaian. la kelihatan acuh tak acuh saja. Mendadak ia tercengang dan kagum luar biasa, tatkala menyaksikan gerakan tubuh Ken Rudati yang cepat luar biasa. Benar-benar Ken Rudati melayani gem puran Pulungan dengan jlirus Dmu Pedang Guntur dan BadaL Sama sekali ia tidak menggunakan ilmu lain. Gerakan pedangnya memancarkan cahaya yang menyilaukan.

Anjar Laweyan sedikit banyak sudah pernah melihat Dmu Pedang gurunya. Tetapi kali ini, nyaris ia tidak me-ngenalnya. Sebab sesungguhnya, Ken Rudati mencampurkan intipati Ilmu Pedang Guntur dan Badai dengan tujuh Jurus Sakti warisan pendeta Tundung Kasihan, Dwijasangka dan Margadadi. Hebat ! Benar-benar hebat ! Apakah ini yang dinamakan manunggalnya ujud dan suara? Bayangan tubuhnya berkelebatan tak ubah kecepatan suara. Di sini ia menggerakkan pedangnya dan tahu-tahu tubuhnya sudah berada di seberang sana.

Tetapi Pulungan sebenarnya juga bukan orang pendekar yang tidak berarti. Kalau Ken Rudati memiliki tiga macam kepandaian : Ilmu Pedang Guntur dan Badai, Ilmu Sakti Batu Panas dan Tujuh jurus sakti

Pulungan mempunyai tiga macam ilmu sakti pula. Yang pertama : Ilmu Sakti Batu Panas. Kedua, Ilmu Pedang Guntur dan Badai dan yang ketiga: Pukulan-pukulan beracun. Dengan demikian, pada hakekatnya mereka berdua sedang mengadu dua macam ilmu kepandaian. Itulah pukulan beracun milik Pulungan melawan Tujuh Jurus Sakti warisan Ken Rudati dari tiga orang pendeta dan Gujali.

Sebab Pulungan tidak berani menggunakan Ilmu Sakti Batu Panas maupun Immu Pedang Guntur dan Badai, karena ia merasa kalah jauh. Maka yang menjadi andalannya hanyalah Ilmu Pukulan Beracun yang dipelajarinya dari kakek Rawayani.

Sebaliknya, Ken Rudati enggan menggunakan Ilmu Sakti Batu Panas. la berjanji akan melawan dengan Ilmu Pedang Guntur dan Badai yang dianggap Pulungan lebih rendah mutunya bila dibandingkan dengan Ilmu Sakti Batu Panas ciptaan Ki Ageng Mahesa Tingkir. Khawatir bahwa Pulungan meng genggam maksud tersembunyi, maka Ken Rudati melapisi gerakan pedangnya dengan jurus-jurus Tujuh Jurus Sakti.

Dengan demikian, mereka berdua untuk sementara berimbang. Kegesitan Ken Rudati berada jauh di atas ke-mampuan Pulungan. Sebaliknya pukulan Pulungan lebih mantap dan dahsyat melebihi tabasan pedang Ken Rudati. Setiap pukulannya membawa hawa beracun yang mematikan. Maka Ken Rudati tidak berani menghampiri terlalu dekat.

Syukur, ternyata Tujuh Jurus Sakti warisan para pendeta dari Merbabu mempunyai sifat damai selaras dengan watak para pendeta itu sendiri. Jurus-jurusnya merupakan penangkal yang tepat untuk melawan racun dan ilmu hita,.

Maka sia-sialah usaha Pulungan untuk merobohkan Ken Rudati dengan pukulan beracunnya .

Dalam pada itu, semenjak mereka mulai mengeluarkan ilmu simpanannya masing-masing, Anjar Laweyan, tidak berani berada di tempatnya semula. la mundur dan bersembunyi di bawah tebing yang teraling gundukan tanah. Setiap kali Pulungan melepaskan pukulan, ia menahan nafas. Demikian juga, apabila Ken Rudati sedang menangkis dan menggebah. Tetapi lambat- Iaun, ia merasa tersiksa dan merasa tidak betah lagi menahan nafas terus-menerus.

Selagi ia berniat mengungsi lagi, terdengar suara Ken Rudati : - Pulungan, sudahlah ! Kau tidak akan dapat merobohkan diriku. Pukulan beracunmu memang berba haya untuk orang lain, sebaliknya tidak akan dapat meroboh-kanku. Kalau tidak percaya, engkau boleh menggunakan sampai matahari tenggelam. -

Pulungan mendongkol bukan main. Wajahnya merah padam dan kadang berubah menjadi pucat pasi. la tahu Ken Rudati semenjak tadi tidak menggunakan Ilmu Sakti Batu Panas sejuruspun. la menggu nakan jurus-jurus Ilmu pedang Guntur dan Badai ajaran Ki Ageng Wans Watu. Sebenarnya diapun faham jurus-jurusnya. Tetapi di tangan Ken Rudati, jurus-jurusnya lebih mantap, berbahaya dan menjadi kaya. Pulungan sama sekali tidak mengetahui bahwa jurus-jurus Ilmu Pedang Guntur dan Badai dilapisi Tujuh Jurus Sakti ajaran para pertapa di Gunung Merbabu. Karena itu ia berpikir di dalam hati:

- Dia sudah cukup sabar melawan pukulan beracunku hajaya dengan ilmu ajaran gurunya. Ternyata cukup hebat dan kuat. Sebaliknya bila aku menggunakan Ilmu Sakti Batu Panas ajaran guruku, berarti aku akan memaksanya menggunakan Ilmu itu pula. Rasanya aku bakal tidak mendapat tempat dan kesempatan untuk mengungguli. Salah-salah aku akan terkubur di sini. -

Pulungan merasa kehilangan akal. Tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Akhirnya dengan menebalkan muka, ia melompat ke luar gelanggang dan duduk menumprah di atas tanah. la menghela nafas panjang sekali dan mulutnya membungkam. Tetapi rongga dadanya penuh dengan pera-saan dengki yang bergolak hebat, sehingga wajahnya sebentar-sebentar memucat.

Ken Rudati menatap dan mengamat-amati wajah Puhingan. la tahu, hati Pulungan penuh rasa dendam, dengki, jelus dan penasaran. Pada detik itu, teringatlah dia akan tutur-kata gurunya. Sebenarnya Pulungan pada jaman muda-nya, seorang pemuda yang berbakat. Sayang, dia sombong dan tidak sabaran. Baru saja mencapai tataran ketujuh, seringkali dia turan gunung untuk menguji diri. Sekarang Ilmu Sakti Batu Panas yang diselami sudah maju sampai tingkat sebelas. Tetapi mulai tingkat sepuluh tidak lengkap atau acak-acakan. Akibatnya setiap gerakan tubuhnya membawa himpunan tenaga sakti bocor keluar.

Sedang Ken Rudati berpikir demikian, tubuh Pulungan menggigil. Wajahnya kian pucat. Itulah akibat bergolaknya aliran darahnya dan bocornya himpunan tenaga saktinya Akibatnya, Pulungan tidak tahan berada di atas dataran gunung yang luar biasa dinginnya. Menyaksikan hal itu buru buru Ken Rudati memanggil Anjar Laweyan.

- Bawa dia masuk ! - perintahnya.

Dengan cekatan Ken Rudati membuat unggun api. Dan Anjar Laweyan memayang Pulungan masuk ke dalam rumah. Dia duduk di dekat perapian. Beberapa saat kemudian, ia sudah dapat menguasai diri lagi. Berkata dengan suara putus asa : - Ken Rudati, aku salah. Tidak seharusnya aku datang kemari dengan maksud menuntut balas atau membuat per hitungan. Ternyata engkau lebih dibandingkan dengan mendiang guruku sendiri. Aku menyesal, karena kini aku tahu aku tidak pantas

duduk sejajar denganmu. -

- Pulungan, jangan engkau bersedih hati. - Ken Rudati menghibur. -

- Sebenarnya ilmu kepandaianmu maju jauh. Hanya saja, engkau tidak memperhatikan corak ilmu pe-dangku. Kau mengira, aku melawanmu dengan Ilmu Pedang Guntur dan Badai ajaran guruku. Karena engkau menggunakan Ilmu Pukulan Beracun, aku terpaksa melapisi gerakan pedangku dengan Tujuh Jurus Sakti ajaran guruku pada jaman diriku masih kanak-kanak. Karena itu, tak dapat engkau menga lahkanku. Sebaliknya, akupun tidak akan dapat merobohkan dirimu. Tetapi kenapa engkau akhirnya merasa kalah ? Hal itu disebabkan, karena engkau menganggap rendah Ilmu Sakti Batu Panas ajaran gurumu Ki Ageng Mahesa Tingkir. Andaikata engkau dulu berkenan menerima petunjuk- petunjuknya dan patuh terhadap bimbingannya, engkau tidak akan tersesat. Aku tahu, karena sifatmu yang keras kepala, kau mengira bisa menciptakan jurus-jurusmu sendiri untuk melanjutkan tingkat sembilan yang sudah kau fahami. Akibatnya malahan membocorkan himpunan tenaga saktimu. Jadi, pada hakekatnya engkau dikalahkan oleh ilmu kepandaian gurumu sendiri. Bukan aku yang mengalahkanmu. - Mendengar keterangan Ken Rudati, Pulungan tersadar. Sekarang ia insyaf benar-benar kekeliruannya. Ken Rudati mengaku bukan dia yang mengalahkan dirinya. Tetapi justru gurunya. Coba andaikata ia tekun dan taat menekuni Ilmu Sakti Batu Panas sampai tingkat empatbelas di bawah bimbingan gurunya, niscaya di dunia ini tiada seorangpun yang mampu mengalahkan.

Memperoleh keinsyafan demikian, rasa angkuhnya sirna. Segera ia berdiri dan membungkuk hormat kepada Ken Rudati. Katanya :

- Rudati, terima kasih atas keteranganmu ini. Meskipun usiamu setahun dua tahun lebih muda daripadaku, namun pantas engkau kusebut kakakku. Kau telah membangunkan keinsyafanku.

Sekarang, meskipun aku berusaha memperbaiki, rasanya sudah kasep. Tulang-belulangku sudah ke-ropos, Maka di dunia ini tiada lagi tempat bagiku. Engkaulah sesungguhnya yang pantas menjadi ahh' waris Ilmu Sakti Batu Panas. Sekarang, biarlah aku pergi dari pertapa-an ini. -

Setelah berkata demikian, Pulungan memutar tubuhnya. Benar- benar ia hendak berangkat mening galkan pertapaan Cakra Srengenge. Di luar dugaan Ken Rudati menahannya. Serunya :

- Pulungan ! Kau hendak ke mana ? -

- Kemana aku pergi, sebenarnya aku tidak tahu sendiri. Yang terasa dalam diriku, aku tidak pantas mengotori tempat suci ini. - - Nanti dulu ! - ujar Ken Rudati. Dan tiba-tiba suaranya menjadi lembut.

-Penghuni dataran Cakra Srengenge ini sebenarnya tidak hanya guruku. Tetapi gurumu pula. Jenazahnya terkubur pula di sini di samping guruku. Jika guru-guru kita bisa hidup damai sampai ke alam baka, mengapa kita tidak dapat? Lihatlah, kita berdua kini sudah menjadi nenek-nenek dan kakek-kakek. Umur kita tinggal beberapa tahun saja. Masih sajakah kita menyiksa diri sendiri dengan hanya hidup seorang diri di tengah kesunyian alam ini? Gurumu pernah tinggal di sini. Kenapa engkau tidak berkenan tinggal di bekas pertapaan gurumu? Marilah kita hidup berdampingan dengan damai seperti almarhum guru kita berdua. Apakah engkau akan memilih hidup mengembara tak tentu tujuan semata-mata menuruti keangkuhan hatimu? Apakah tidak lebih baik kita belajar hidup menyucikan diri dalam sisa-sisa hidup kita yang terakhir ? -

Pulungan terharu bukan main sampai kedua kelopak matanya berlinang air mata. Selamanya ia dikenal sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa. Tetapi kali ini ia merasa diri lemah tidak melebihi seorang wanita yang sedang menderita sakit berat. la merasa malu menerima kebaikan Ken Rudati.

Menyaksikan hal itu, Anjar Laweyan yang semenjak tadi berdiam diri, membuka mulutnya

Katanya : - Memang rasa permusuhan ini harus terhapus. Antara kakang Pulungan dan ayunda Rudati tiada yang lebih tinggi dan rendah kedudukannya. Pantaslah duduk sejajar sama redah dan berdiri sama tinggi. Dan akulah yang akan melayani kakanda berdua. -

Mendengar ucapan Anjar Laweyan tak terasa Pulungan menggenggam tangan Ken Rudati erat-erat sebagai tanda persahabatan yang tulus membersit dari lubuk hatinya.

- Ken Rudati kata Pulungan setengah berbisik.

Tidak lebih lagi.

Anjar Laweyan kemudian membersihkan bekas pertapaan Ki Ageng Mahesa Tingkir yang berada di sebelah barat. Syukur, semuanya masih bersih karena di atas pegunungan tiada debu dan kotoran apapun. Pulungan segera menempati tempat tinggal almarhum gurunya. Beberapa hari kemudian, Anjar Laweyan berkata kepada mereka berdua :

- Bolehkah aku mengutarakan maksudku ? Kita sudah sama- sama tua. Pada satu saat, kita akan mati. Tetapi sayang, ilmu kepandaian kakang Pulungan dan ayunda akan hilang lenyap tanpa pewarisnya. Lihatlah, aku sudah tua pula. Tidak mungkin lagi aku dapat mewarisi ilmu kepandaian kakanda berdua yang begitu tinggi. Bakatku memang jelek. Maka kekurangan kakanda berdua, hanyalah satu hal saja. Tidak mempunyai ahli wans. - Pulungan dan Ken Rudati memanggut-manggut membenarkan. Kata Ken Rudati :

- Anjar Laweyan, adikku ! Jangan rendahkan dirimu. Engkau mempunyai bakat yang bagus. Hanya saja, engkau sering menyia-nyiakan waktu. Kau gemar turun gunung entah pergi ke mana. Di atas gunung inipun sunyi sepi. Tidak mungkin lagi kita bakal mempunyai murid ..-

- Eh, belum tentu ! - potong Anjar Laweyan. - Ayunda lupa

akan makna berjodoh. Segalanya kadang-kadang bisa terjadi secara kebetulan Aku sendiri kurang berjodoh sehingga tidak becus menerima ajaran warisan guru. Se-baliknya, bila kakanda berdua berkenan menerima murid, suatu kali akan terjadi. Biarlah aku turun gunung. Aku akan mencari dan menilik kanak-kanak yang berbakat bagus. Bila berhasil akan segera kubawa ke mari.

-

- Tidak usah mesti harus kanak-kanak. - ujar Pulungan. - Kaupun akan dapat mewarisi seluruh himpunan tenaga saktiku pada hari ini juga. -

- Tidak bisa, tidak bisa ! - seru Anjar Laweyan seraya menggoyang-goyangkan tangannya.

- Aku tahu, kakang Pulungan akan menyalurkan seluruh himpunan tenaga sakti kakang kepadaku, bukan? Kemudian kakang Pulungan akan meninggal dengan hati puas. Begitu pula ayunda Rudati. Hm, aku akan menjadi manusia hebat karena memiliki dua macam himpunan sakti yang manunggal dalam diriku. Tetapi lihat ! Sekali lagi, lihat ! Aku sudah sama-sama tua. Untuk apa aku mewarisi ilmu kepandaian kakanda berdua, bila aku tidak pandai mengamalkannya ? Apakah hanya untuk gagaru gagahan saja? Ah, tidak! Aku akan mencarikan pewarisnya yang tepat, Biarlah aku mencari seorang gadis atau seorang pemuda yang gagah. Artinya dia akan dapat mengamalkan kepandaiannya demi kemanusiaan, kesejahteraan negara dan bangsa. Syukur, aku akan memperoleh sepasang muda-mudi yang kelak menjadi suami-isteri. Dengan demikian, ilmu kepandaian kakanda berdua tidak terpecah belah. -

Pulungan dan Ken Rudati senang mendengarkan kata-kata Anjar Laweyan yang biasanya tidak pandai berbicara. Mereka mengucapkan terima kasih, dan berjanji akan ikut berdoa semoga Anjar Laweyan berhasil mencari serta me-milih calon muridnya yang tepat. Dan dengan restu mereka berdua, Anjar Laweyan turun gunung.

Secara kebetulan ia berpapasan dengan rombongan anak buah Cing Cing Goling yang sedang sibuk mendaki gunung. Mereka merasa kecolongan karena kena dipermainkan Rawayani dan Gemak Ideran. Anjar Laweyan tertarik melihat gerakan-gerakan tubuhnya. Dengan sekali pandang tahulah ia, macam kepandaian apa yang mereka miliki. Itulah gerakan tubuh tingkat permulaan Ilmu Sakti Batu Panas. Eh, dari mana mereka mendapatkan kepandaian ini,pikirnya. Tak pernah terlintas dalam pikirannya, bahwa di dunia ini terdapat seorang tokoh bernama Cing Cing Goling yang ditakuti orang.

Dan Cing dug Goling sudah menguasai Ilmu Sakti Batu Panas tingkat tujuh. Dia mengajarkan sejurus dua jurus kepada anak- buahnya demi mengikat kesetiaan mereka.

Anjar Laweyan ingin memperoleh keterangan dan ke-jelasan. Maka ia menawan tiga orang dan mengompesnya. Dengan cara sendiri, ia berhasil mendapat penjelasan dari-mana mereka memperoleh kepandaiannya.

- Kalian mengaku diajari Cing Cing Goling? Siapa dia dan dari siapa memperoleh Ilmu Sakti Batu Panas ? - ia mengusut terus .

- Tuan, kami bertiga tidak lebih daripada budak-budak yang tiada harganya.Sewaktu-waktu kami bisa di-bunuhnya. Bila tuan dapat memaksa tuanku Tambal Pitu berbicara, semua yang tuan inginkan akan menjadi jelas. -

- Siapa Tambal Pitu ? -

- Adik seperguruan tuanku Cing Cing Goling. -

- Apakah dia berada di antara kamu ? -

- Ya, tentu saja. Hanya saja tidak di sini. Beliau tidak ikut mendaki gunung bersama kami. Beliau berkemah di bawah sana.-

- Baiklah, aku mau percaya omonganmu. Tetapi kalian diam-diam saja di sini sampai aku kembali. Kalau kalian berdusta, ilmu kalian akan kumusnahkan. - ancam Anjar Laweyan. Benar-benar Anjar Laweyan memasuki perkemahan Tambal Pitu. la bertemu dengan Tambal Pitu. Terhadap Tambal Pitu yang sudah memahami tingkat lima, ia mempunyai cara lain. Sengaja ia menantang bertanding mengadu kepandaian. Tentu saja Tambal Pitu bukan lawannya yang berarti.

Dengan mudah ia mencekuknya dibawanya pergi menyendiri. Kemudian ia mulai memberi ceramah tentang Ilmu Sakti Batu Panas sampai tingkat delapan. la memberikan contoh-contohnya. Dan menyaksikan kepandaian Anjar Laweyan, Tambal Pitu takluk. la percaya, Anjar Laweyan termasuk kaumnya.

- Nah sekarang ceritakan semuanya dengan jelas. - hardik Anjar Laweyan. - Aku bisa memusnahkan ilmu ke-pandaianmu, sebaliknya akupun dapat membuat kepandaianmu melebihi Cing Cing Go ling. -

Diancam demikian berbareng menyaksikan kepandaian Anjar Laweyan yang jauh melebihi kakaknya seperguruan, Tambal Pitu tidak mempunyai pilihan lain kecuali berbicara dengan sebenarnya. la mulai menyebut nama gurunya dan dari mana gurunya memperoleh ilmu itu. Dengan sendirinya, ia menyinggung nama keluarga Rawayani. Setelah itu tentang rencana perjalanan kakaknya yang ingin memperoleh lanjutan Ilmu Sakti Batu Panas sanipai tingkat empat belas.

- Kau maksudkan keluarga Rawayani pernah menyimpan pedang Sanggabuana? - Anjar Laweyan menegas. - Begitulah yang pernah kudengar. Tetapi pedang pusaka itu kemudian jatuh ke tangan pendekar Sondong Landeyan. Lalu berpindah tangan ke ahli pedang Haria Giri Benar tidaknya masih perlu kami buktikan. Namun kakak sempat menawan Niken Anggana, puteri Haria Giri.-

Anjar Laweyan berwatak sederhana. Karena itu ia tidak senang mendengar pembicaraan yang bertele-tele dan belum pasti. Maka ia memotong :

- Kau katakan saja di mana Rawayani kini berada ! -

- Menurut kabar, Rawayani berada di lembah gunung ini dalam usahanya menuntut ilmu kepandaian Ihnu Sakti Batu Panas pula.

-

- Apa dasarnya ? -

- Seperti berita yang pernah kudengar menyebutkan, bahwa barangsiapa bisa mempersembahkan pedang pusaka Sanggabuana, dialah yang akan berhak mewarisi kepandaian orang berilmu di puncak gunung. Itulah alasan kakak mengapa dia menawan puteri Haria Giri. -

- Hm, - pikir Anjar Laweyan di dalam hati. - Pastilah gara-gara kakang Pulungan yang menyebarkan berita bohong ini. Tentunya karena maksudnya ingin memperoleh kitab-kitab Ilmu Sakti Batu Panas sampai tingkat empatbelas yang berada di tangan ayunda Ken Rudati. - setelah berpikir demikian lalu minta penjelasan : - Kau berkata, pedang itu berada di tangan Haria Giri. Mengapa Rawayani nekat mendaki gunung ? -

- Tentunya ada pegangannya. Setidak tidaknya keluarganya pernah merawat pedang itu. -

- Baiklah. Lalu dia berangkat dengan siapa ? -

- Menurut laporan yang kami dengar, dia berangkat dengan seorang pemuda bernama Gemak Ideran. Hanya saja ia mana mereka kini berada, aku tidak tahu. Maka ka-kakku seperguruan Cing Cing Goling perlu menyusul sece-pat-cepatnya dengan mengerahkan seluruh anak buahnya termasuk diriku.

Ringkasnya, kakak ingin mendahului. Manakala terlambat, akan merampasnya. -

Anjar Laweyan mengulum senyum. Tak pernah di-sangkanya, bahwa riwayat Ilmu Sakti Batu Panas akan membuat orang sating bertempur. Dimulai dari kesukaran Ki Ageng Mahesa Tingkir mengendalikan sepak-terjang muridnya sanipai kepada masalah pedang Sanggabuana yang dikabarkan sebagai sarana utama.

- Tambal Pitu ! -akhirnya Anjar Laweyan memutuskan. - Untuk sementara aku akan membuktikan keteranganmu. Bila ternyata benar, aku akan membuat kepandaianmu setingkat lebih tinggi daripada kakakmu seperguruan. Sekarang tunggulah aku di sini dan kularang engkau ber-kabar kepada siapapun termasuk kakakmu seperguruan. Bila kau langgar, akan kumusnahkan semua kepandaian-mu. - Setelah mengancam demikian, Anjar Laweyan melepaskan pukulan sakti tingkat sembilan ke arah sebuah batu raksasa yang mencongak seratus meter di depannya. Jaraknya cukup jauh, namun terpukul jurus sakti tingkat sembi-lan, batu raksasa itu meledak, dan hancur luluh bagaikan sebongkah baja di dalam sebuah tungku pembakaran dengan daya panas luar biasa ingginya Dan menyaksikan kehe-batan itu, hati Tambal Pitu meringkas sekecil kepingan butir kerikil.

- Tambal Pitu bersumpah akan melaksanakan perintah - ujar Tambal Pitu membungkuk rendah.

Anjar Laweyan kemudian mulai mencari Rawayani dan Gemak Ideran. Yang mula-mula diketemukan ialah Gemak Ideran.

Pemuda itu memang mendahului perjalanan Rawayani. la menawannya dan ditahan di sebuah gubuk dekat Jalatunda. Kemudian ia memusatkan perhatiannya kepada Rawayani.

Karena sudah mendapat petunjuk dari Gemak Ideran, dengan mudah ia dapat menemukannya.

Ternyata Rawayani diikuti seorang gadis cantik yang mengenakan pakaian putih. Dialah Diah Windu Rini yang yakin bahwa Rawayani adalah adik-kandungnya yang terpisah semenjak kanak-kanak.

Sewaktu Rawayani menginap di Sumarata atas anjurannya, ia sempat memeriksa pedang Rawayani. la menemu-kan sederet nama-nama yang tertulis pada selembar pembungkus hulu pedang. Di antara deret nama nama itu terdapat nama Ken Rudati pula. Agaknya sudah menjadi tata-atur, pemiliknya wajib mencantumkan namanya dimulai semenjak Diatri Kama Ratih sebagai pemilik yang pertama kalinya (baca: Jalan Simpang di atas bukit).

Melihat Rawayani terancam bahaya, ia segera mengulurkan tangan. Dialah yang menggebah anak-buah Cing Cing Goling sewaktu menghadang Rawayani di celah gunung dengan menggulirkan batu-batu sebesar kepala kerbau. Dan dia pulalah yang mengulurkan tangan, tatkala Diah Windu Rini mendapat kesukaran melawan ketangguhan Cing Cing Goling, Blandaran dan Lajuguna.

Anjar Laweyan kelihatan seperti orang dungu. Akan tetapi sebenarnya dia cerdik. Sudah semenjak lama ia mengikuti gerak- gerik Diah Windu Rini yang berusaha menolong Rawayani.

Merasa akan berhadapan dengan tiga lawan yang tangguh, Rawayani diperintahkan menjauhi dusun Bulukerta. Dan Rawayani segera meninggalkan Bulukerta menuju Jalatunda. Tujuannya ingin bertemu dengan Gemak Ideran secepat mungkin. Dan pada saat itu, muncullah Anjar Laweyan menghadang Rawayani.

Dengan mudah ia dapat menawan gadis itu dan dibawanya kembali ke kamar penginapan.

la kemudian muncul menggebah Cing Cing Goling bertiga. Setelah itu menyesatkan Diah Windu Rini agar mengejar Rawayani ke arah Jalatunda. Barulah ia memasuki kamarnya kembali. Berkata lembut kepada Rawayani :

- Anakku, kau ikuti diriku. -

- Akan kau bawa ke mana aku ? - sahut Rawayani.

- Bukankah engkau ingin bertemu dengan kawanmu ? -

- Siapa kawanku ? -

- Dia mengaku Gemak Ideran. - ujar Anjar Laweyan. Rawayani terperanjat sampai wajahnya berubah. Menegas dengan suara bergemetaran :

- Sekarang di mana dia berada ? - Anjar Laweyan tertawa geli. Menyahut:

- Karena itu, ayo ikut ! Akan kupertemukan engkau dengan pemuda itu. -

Rawayani mengikuti Anjar Laweyan meninggalkan rumah penginapan. Kepalanya penuh dengan teka-teki. Tetapi dia seorang gadis yang cerdik dan cerdas. Tiba-tiba ia tertawa geli.

- Hai mengapa engkau tertawa ? — Anjar Laweyan heran.

- Aku ingin tertawa dan tertawalah aku. Masakan ada undang- undang yang melarang orang tertawa ? -

Anjar Laweyan tercengang. Gadis ini nakal dan cerdik, pikirnya. Justru memperoleh pikiran demikian timbullah rasa sayangnya. Kecerdikan dan watak Rawayani yang ganas dan galak, mengingatkan dirinya kepada Ken Rudati. Berkali-kali ia berpikir di dalam hati : Ha inilah murid yang benar-benar cocok.

Kemudian berkata :

- Hai, apakah ada undang-undang yang melarang orang bertanya

? -

Rawayani tertawa. Orang ini bisa membadut juga, pikirnya. Entah apa sebabnya, tiba-tiba ia merasa cocok. Karena itu, ia menyahut:

- Aku tertawa, karena kini tahu siapa yang menawan diriku di Sumarata. Paman, bukan ? -

- Betul. - di luar dugaan Anjar Laweyan menjawab dengan sederhana.

- Mengapa paman usilan ? Aku kau tawan di Sumarata. Sekarang aku kau tawan lagi. Sebenarnya apa maksud paman ? -

Anjar Laweyan tertawa geli. Ujarnya :

- Kau ini rupanya tidak tahu terima kasih. Kalau aku tidak menahanmu selama dua hari, kau bakal bertemu dengan Cing Cing Goling. Ternyata kau bandel. Akibatnya hampir saja engkau mati tertimbun batu. Bukankah begitu ? -

Rawayani tercengang. Menegas : - Ah ! Jadi paman yang menolong diriku ? -

- Kalau bukan aku apakah setan ? - Anjar Laweyan menggoda.

Sekarang Rawayani merasa bertambah dekat. Ternyata Anjar Laweyan berkenan menolongnya.

Tentunya kali ini bermaksud baik pula terhadapnya. Maka ia berkata lagi:

- Paman ! Apakah Gemak Ideran tidak kurang suatu apa ? -

- Pada saat ini, dia kutawan. Alasanku sama dengan alasanku menahan engkau di Sumarata. Cing Cing Goling bermaksud mendaki puncak Gunung Lawu. Tenrunya dia akan bertemu dengan Gemak Ideran. Dia bisa berbuat apa berlawan-lawanan dengan Cing Cing Goling ? - 

Terasa agak tinggi hati ucapan ANjar Laweyan, Akan tetapi memang benar. Andaikata kepandaiannya digabung-kan dengan kepandaian Gemak Ideranpun tidak berarti banyak. Jangan lagi berhadap-hadapan dengan Cing Cing Goling. Melawan salah seorang pengikutnya saja, belum tentu bisa menang. Maka dengan tidak dikehendaki sendiri, ia mengangguk.

- Pada hari ini semua orang pandai atau yang merasa pandai akan bertemu di Jalatunda. Ah, bakal ramai. - ujar Anjar Laweyan. - Tetapi lebih baik engkau kubawa lang-sung menghadap gurumu.-

- Guruku ? - Rawayani terperanjat. - Aku tidak mempunyai guru. Atau siapa eh maksudku siapa yang paman sebut sebagai

guruku ? -

Anjar Laweyan kemudian mengabarkan siapa dirinya. Setelah itu ia menyebut-nyebut nama Ken Rudati dan Pulungan. Kemudian maksud perjalanannya sampai perlu menawan Rawayani dan Gemak Ideran.

- Terus terang saja, mula-mula aku tertarik kepada riwayat pembungkus hulu pedang Sanggabuana. - ia mengakhiri. - Pedang Sanggabuana dulu berada di tangan ayunda Rudati. Mungkin ditemu orang, tatkala ayunda Rudati membuangnya oleh kesal hati. Apakah engkau tahu bagai-mana pedang itu bisa berada di tangan kakekmu ? -

Rawayani menggelengkan kepalanya. Akan tetapi hati-nya girang bukan kepalang mendengar tutur-kata Anjar Laweyan. Memang tujuannya menadaki Gunung Lawu semata-mata ingin menghadap pemilik pedang Sanggabuana. Menurut kabar berita, hanya dia yang dapat mempersembahkan pedang pusaka itu dapat menghadap pemiliknya.

- Hm, itulah akal kakang Pulungan di masa mudanya. Semenjak gurunya wafat, Ilmu Sakti Batu Panas berada di tangan ayunda Rudati. Sudah barang tentu kakang Pulungan berusaha merampasnya kembali dengan segala macam cara. Paling tidak, seumpama engkau dapat mewarisi Ilmu Sakti Batu Panas yang terdiri dari empatbelas tingkat, dia akan memaksa dirimu untuk menulisnya kembali. Tentunya dengan cara sendiri. - ujar Anjar Laweyan.

- Apakah dia bisa memaksa aku ? - sahut Rawayani dengan angkuh.

- Ilmu Sakti Batu Panas memang dapat menggetarkan hati belasan orang dalam suatu adu kepandaian. Tetapi apabila engkau dikerubut seribu atau dua ribu orang pandai, meskipun kau dapat merobohkan ratusan orang, akhir-nya aku akan tertawan juga. -

- Aku akan lari sebelum tertangkap. - Rawayani membela diri .

- Dan kau akan dikejar terus menerus sampai tertangkap. - Anjar Laweyan tidak mau kalah.

- Akan kutebari racun maut - Rawayani membandel. Anjar Laweyan tertawa geli. Sahutnya :

- Baiklah, otakmu memang cerdas dan cerdik. Katakan «jjja, engkau bisa mengamankan ilmu sakti itu. Tetapi ingat-ingatlah pula akan makna pepatah ini: seorang pencu-ri lebih sabar dan lebih telaten daripada yang akan dima-lingi. Sebab orang yang terdiri dari darah dan daging ini, tidak akan bisa berjaga-jaga diri terus-menerus sepanjang hayatnya. Suatu kali dia akan lengah. Ingat-ingatlah hal itu ! -

Karena percakapan itu sangat menarik, tak terasa mereka sampai di tempat tujuan. Dengan mengambil jalan pintas, Anjar Laweyan lebih dahulu tiba di Jalatunda daripada Diah Windu Rini dan Cing Cing Goling bertiga. Terus saja ia membawa Gemak Ideran mendaki puncak gunung. Karena di samping Anjar Laweyan terdapat Rawayani, maka Gemak Ideran patuh saja tak ubah seekor kerbau kena tun tun.

- Gemak Ideran, inilah akhir perjalanan kita. Dan selanjutnya terserah belaka kepadamu. - ujar Rawayani bersemangat.

Tentu saja ucapan Rawayani masih merupakan teka-teki bagi Gemak Ideran. Tetapi setelah tiba di hadapan Niken Rudati dan Pulungan, semuanya menjadi jelas. Pada waktu itu, Niken Rudati dan Pulungan mengenakan pa-kaian orang suci berwarna putih. Mereka berdua nampak sebagai dewa-dewi yang akan membagi kebahagiaan kepada ummat manusia. Memang demikianlah akhirnya.

Rawayani dan Gemak Ideran menjadi murid mereka berdua. Masing-masing mewarisi ilmu kepandaian Niken Rudati dan Pulungan.

Empat tahun lamanya, Rawayani dan Gemak Ideran berada di atas puncak gunung.

Menjelang tahun kelima seluruh himpunan tenaga sakti Niken Rudati dan Pulungan dialirkan ke dalam tubuh Rawayani dan Geinak Ideran.

Begitu selesai, Niken Rudati dan Pulungan menghembuskan nafasnya yang penghabisan dengan tenang dan damai. Puncak ilmu kepandaian sudah berada di tangan Rawayani dan Gemak Ideran. Tinggal satu lagi yang belum menjadi milik mereka berdua.

Itulah pedang pusaka Sangga-buana.

- ooO TAMAT Ooo ---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar