Jilid 06
- Nyonya, sebenarnya tiada maksudku hendak menggangumu. Apalagi engkau adalah puteri Ki Ageng Telaga Warih. Aku akan segera membebaskan puteramu ini, asal saja engkau berkenan menjawab pertanyaanku.-
- Pertanyaan apa? -
- Kalau nyonya benar-benar putera Ki Ageng Telaga Warih, tentunya pemah mendengar bahwa ayahmu pemah membunuh putera satu-satunya majikanku. Hal itu terjadi gara-gara ayahmu menuduh Sang Adipati menyimpan pedang Sangga Buwana Haria Giri. Tolonglah kasihanilah majikanku harap ayahmu sudi
datang ke kadipaten untuk menebus dosanya. - Sukesi mengerutkan alisnya. Sesungguhnya ia tidak tahu, bahwa Ki Ageng Telaga Warih membu nuh putera Adipati Cakraningrat. Sebaliknya juga bukan mustahil pendekar gila itu membunuh siapapun yang dicurigai. Akan tetapi untuk memohon kepada pendekar itu agar berkenan datang ke kadipaten untuk menebus dosa samalah halnya bermimpi di sianghari bolong. Maka dengan lantang ia menjawab :
- Meskipun aku ini puterinya, tetapi tidak mempunyai kekuasaan untuk memerintah ayah sendiri. Pendek kata,.aku tidak bisa. -
- Kalau begitu, tolong kabarkan di mana ayahmu kini berada. - Polan mau mengalah.
- Ayahku mempunyai kaki, tangan, otak dan hati. Selamanya dia hidup merantau. Jangan lagi aku, setanpun rasanya tidak sang- gup mencarinya. - sahut Sukesi cepat.
Polan memanggut-manggut. Setelah menimbang-nimbang se- jenak berkatalah ia :
- Baiklah memang siapapun tidak dapat memaksa dia untuk
keluar dari persernbunyiannya. Kalau begitu, tolonglah kami agar engkau berkenan menghisap-hisap berita di mana kiranya ayahmu kini berada. Tentunya tidak mungkin dalam waktu yang singkat. Mungkin setahun atau dua tahun. Tetapi aku berjanji, selama itu aku akan merawat puteramu dengan baik-baik. - Dalam sekejap mata, berbagai bayangan berkelebat dalam benak Sukesi. Muncallah bayangan. gurunya yang sangat dihormatt Gurunya yang hidup menderita karena ditinggat pergi isterinya yang dicintainya. Kalau saja tidak demi anak satu-satunya, barangkali gurunya sudah raenghahisi hidupnya sendiri. Dan anak satu-satuaya itu, ditawan orang gara-gara sepak-terjang Ageng Telaga Warih. Sebenamya terhadap pendekar gila itu, ia tidak menaruh sayang atau hormat dengan hati tutus. Kalau saja tidak teringat bahwa gurunya menghornat Ki Ageng Telaga Warih, mau rasanya membuka rahasia di mana dia kini berada Tetapi apakah Wigagu dan Puruhita menyetujui ? Oleh pertimbangan itu dengan tak setahunya sendiri ia mengerling kepada mereka.
- Saudara Polan. - ujar Wigagu dengan suara sabar. - Sebenarnya kami kurang jelas alasanmu menawan anak itu. -
- Apanya yang kurang jelas ? -
- Kalau tidak salah tangkap, engkau menawan anak itu sebagai sandera, bukan ? Sandera terhadap rasa balas dendammu terhadap Ageng Telaga Warih karena pendekar itu membunuh putera rnajikanmu. -
- Jelas -
- Lalu apa hubungannya dengan kita ? -
- Jelas.-
- Yang pertama, nyonya itu mengaku terus terang sebagai anak Telaga Warih. Yang kedua, bocah ini putera pendekar Sondong Landeyan, bukan Bagaimana engkau tahu ? -
- Di dunia ini banyak terdapat mata dan telinga. - jawab Polan pendek.
- Baiklah. - Wigagu Menyenak nafas. - Aku tahu kau tentunya menyembunyikan teman-temanmu yang memberi perintah atau memberi kisikan kepadamu. Memang benar, anak itu adalah pute-
ra pendekar Sondong Landeyan. Mengapa kau jadikan sandera ?
-
- Siapapun tahu, Sondong Landeyan adalah murid Telaga Warih.-
- Salah. potong Wigagu cepat. -
- Salah? Mengapa bisa salah? -
- Sebab kami bertiga ini sebenarnya murid Sondong Landeyan. -
- Dan perempuan itu? -
- Sebenarnya dia bukan anak K Ageng Telaga Warih.-
- Lho. Polan terperanjat. -
- Kaulah yang kurang cermat Selama hidupnya, Ki Ageng Telaga Warih tidak pemah berumah tangga. - Wigagu menerangkan dengan suara tenang luar biasa. - Maka sampai disini, engkau su- dah membuat dua kesalahan. Yang pertama, mengira Ki Ageng Telaga Warih mempunyai anak. Yang kedua, menganggap Ki Ageng Telaga Warih adalah guru Sondong Landeyan.-
- Kalau bukan gurunya, mengapa selalu membawa-bawa nama Sondong Landeyan? -
- Membawa-bawa bagaimana ? - - Selalu dia berkaia, bahwa pedang Sangga Buwana adalah milik Landeyan. Dan dia datang demi muridnya. Itulah Sondong Landeyan. -
- Mengapa engkau harus percaya ? -
Di desak demikian Polan berbimbang-bimbang. Wajahnya be- rubah-rubah. oleh rasa bimbangnya dengan tidak dikehendaki sendiri ancaman ujung pedangnya jadi merenggang. Pada saat itu, Pitrang yang tertungkrap karung tidak menyia-nyiakan kesempatan.
Dari dalam karung, ia dapat mengikuti pembicaraan mereka dengan jelas. Otaknya cerdas pula. Mula-mula ia selalu merasa kulitnya kena sentuh Benda tajam. Tiba-tiba sentuhan itu mereng- gang. Secepat kilat ia menghantam punggung Polan, lalu melom- pat lari sambil melepaskan karung yang menungkrap kepalanya. Setelah kabur enam atau tujuh langkah, ia berhenti menoleh.
Aneh, Polan roboh di atas tanah tak berkutik sama sekali.
Sementara itu, Sukesi, Wigagu dan Puruhita lari bagaikan terbang menyongsong Pitrang.Terutama Sukesi. Dengan penuh haru ia menyambar Pitrang dan didekapnya erat la menciuminya oleh rasa girang yang meluap-luap, sedang Wigagu dan Puruhita bersiaga untuk menghadapi segala kemungkinan.
Lama mereka berdua menunggu reaksi Polan. Manakala melihat Polan tetap saja roboh tak berkutik, dengan menghunus pedang mereka berdua menghampiri. Wigagu memberanikan diri untuk memeriksanya dan melihat mulut Polan menyemburkan darah terus-menerus. Wajahnya berkerut-kerut menahan rasa sakit yang hebat.
- Puruhita - seru Wigagu. - Apakah mungkin pukulan Pitrang yang tidak seberapa beratnya bisa melukainya begini berat? Lihat ! -
Puruhita menghampiri dan ikut memeriksa. Ia mencoba mengangkat lengan Polan. Temyata sudah kaku seperti terpantek sendi-sendinya Melihat betapa sengsara wajahnya, Puruhita tak sampai hati. Segera ia menyarungkan pedangnya dan mengurut- urut bagian lengan dan dadanya. Setelah itu ia memijit-mijit batang lehernya, terutama bagian tengkuknya. Diluar dugaan, Polan malahan rnemekik kesakitan :
- Aduuuuh Kalau mau kau bunuh, bunuhlah aku cepat Jangan
kau siksa aku dengan cam begini. Bunuhlah aku Bunuhlah aku ....
! - dan seluruh tubuhnya tiba-tiba menggigil dengan ber ceratukan.
Puruhita terkejut bukan kepalang. Ia melemparkan pandang kepada Wigagu. Setelah menyarung kan pedangnya, Wigagu ikut memijit-mijit pula.Tetapi Polan makin mengerang-erang. Mengapa bisa begitu? Tiba-tiiha suatu ingatan menusuk benaknya. Ia menoleh kepada sukesi. Berseru minta keterangan :
- Kesi Apakah engkau melukainya dengan jarum mustikamu ? -
- Tidak.! -jawab Sukesi - Mungkin sekali ia sudah lama mengidap penyakit dalam. - -Tidak.... -tungkas Polan sambil menahan rasa sakitnya a-
nakrnu itulah yang menghantam punggungku. -
Mendengar keterangan Polan, Wigagu dan Puruhita saling me- mandang dengan suatu tanda tanya besar. Sebaliknya„ Sukesi yang pernah mendengar tutur-kata Pitrang berkata di dalam hati - Apakah ini salah satu ajaran Ki Ageng Telaga Warih ? Tetapi masa dua tahun, masakan sudah cukup untuk menghayatinya?
Ataukah karena Pitrang sesungguhnya seorang anak yang terlalu cerdas? Kepalanya tertungkrap karung. Meskipun demikian ia bisa memilih sasaran pukulan dengan tepat Ah, bagus Bagus sekali Di dunia bakal muncul seorang Sondong Landeyan yang kedua Sukesi girang bukan main. Hatinya penuh syukur dan syahdu. Dengan penuh sayang ia berkata kepada Pitrang :
- Pitrang Benarkah engkau sendiri yang menghajarnya? Ah ya mernang benar, semua orang itu jahat, bukan? aka tentunya
engkau talu menghantamnya.- Pitrang mengangguk.
- Bagus ! -Sukesi bangga.
Wigagu yang tidak faham latar belakang permasalahannya hanya tercengang mendengar penpicuan Pitrang. Segera ia mendekati Sukesi untuk rninta penjelasan. Katanya :
- Kau berkata tentang semua orang jahat kepada Pitrang. Apa hubungannya dengan pengakuannya? - Sukesi tersenyum makin bangga Sahutnya dengan setengab berbisik :
- Selama dua tahun, Pitrang diwajibkan menghafal Menghafal ajaran ilmu sakti tinggi. Dan itulah buktinya. Jelas? -
- Oh. - Wigagu tercengang. - orang itu seperti tergempur seluruh sendi tulangnya. Dia tidak dapat bergerak lagi. Tentunya ada caranya untuk membebaskannya dari siksaan demikian. -
- Tanyakan sendiri -
Wigagu menatap Pitrang yang berada dalam gendongan Sukesi . Katanya dengan wajah bersemu merah :
- Pitrang Bagaimana caranya supaya orang itu terbebas dari pukulanmu ? -
Wigagu merasa malu dalam hati. Ia sudah menjadi murid Sondong Landeyan sekian tahun lamanya. Kalau dihitung hampir enam tahun. Meskipun demikian, ia rnerasa tidak bisa menolong seseorang yang terkena pukulan si bocah kemarin sore yang baru belajar dua tahun kepada Ki Ageng Telaga Warih. Samar- samar ia kini menyadari apa sebab gurunya mengirimkan Pitrang belajar ilmu dasar kepada orang tua itu.
Pitrang tidak menjawab. Sukesi lalu membantu Wigagu dengan tertawa. Katanya : - Pitrang, pamanmu menyuruh engkau menolong orang itu agar tidak tersiksa. Tolonglah Orang itu sekarang sudah tahu rasa betapa hebat pukulan sakti Ki Bagus Pitrang. -
- Ki Bagus Pitrang ? - Wigagu tercengang mendengar julukan itu. Menegas :
- Kesi Kau menyebut dia dengan sebutan Ki Bagus ? -
- Ya. Apakah salah? bukankah dia putera Ki Ageng Telaga Wa- rih? Anak Ki Ageng harus disebut Ki Bagus, dong. -
Wigagu tertawa. Memang Pitrang menyebut orang tua itu dengan ayah. Tetapi kalau dengan serta-merta lantas disebut sebagai Ki Bagus, bukankah harus seijin ayahnya ?
- Aku tidak bisa.- ujar Pitrang. - Aku tidak bisa.-
- Mengapa tidak bisa, sayang? - bujuk Sukesi.
- Ayah hanya mengajar aku cara memukul orang. Tetapi tidak mengajarkan cara menolong orang akibat kena pukulan. - jawab- nya. Setelah berpikir sejenak berkata lagi : - Ayah menyuruh menghafal begini. Kalau mengenai pusatcakram (baca urat syaraf) yang berada di punggung bagian atas, orang itu akan mati. Kalau yang dipukul dadanya, orang itu akan melontakkan darah sampai mati,Kalau yang dipukul kempungan kanan, isi perutnya akan rontok. Kalau yang dipukul Kempungan kiri, orang itu akan lumpuh dan lebih baik tidak usah kawin lagi. - Mendengar bunyi hafalan itu, mau tak mau Wigagu dan Sukesi terpaksa rnenahan rasa gelinya.
Sebagai sepasang muda-mudi yang sudah cukup dewasa ia faham akan makna tidak usah kawin lagi itu. Muka mereka jadi merah dadu. Cepat-cepat Wigagu melanjutkan pertanyaannya :
- Lalu masakan tidak ada cara pengobatannya? -
- Ayah berkata, yang tahu tentang ilmu sakti itu di dunia ini hanya dua °rang. Aku dan engkau. Apa perlunya belajar cara meno- long? Apakah kau mau memberi kesempatan orang lain untuk membalas dendam di kemudian hari? Itulah kata-kata ayah. -
Wigagu dan Sukesi tidak ragu-ragu lagi, bahwa itulah kata-kata Ki Ageng Telaga Warih yang aseli. Mereka kenal betapa kejam Ki Ageng Telaga Warih terhadap musuh-musuhnya. Kalau mau membabat selalu membabat sampai ke akar-akarnya.
Tetapi membiarkan Polan begitu tersiksa, mereka tidak sampai hati. Apalagi gurunya mengutama kan cinta-kasih terhadap sesamanya. Buktinya, gurunya membiarkan isterinya dilarikan orang karena menghargai makna cinta kasih.
Tiba-tiba Pitrang menangis sontak sambil berteriak :
- Mengapa aku disalahkan? Dia jahat! Aku ditungkrap karung. Masakan aku tidak boleh memukulnya? - Tangis Pitrang yang mendadak itu mengejutkan hati nurani Sukesi. Dengan mendekapnya lebih erat lagi, ia membawanya pergi naik rakit Sernentara itu Polan berkata kepada Wigagu dan Puruhita yang berdiri di dekatnya .
- Saudara, memang aku yang salah. memang aku bredosa , sebenarnya aku bukan Polan.Namaku Wirabrata, salah seorang perwira bawahan Haria Giri Sengaja aku dikirimkan kemari dan mengaku sebagai perajurit Adipati Cakrraningrat. Sebenarnya sudah bertahun-tahun aku ditugaskan untuk menculik Pitrang, Putera... putera. -
- Sekar Mulatsih, - Wigagu menimpali.
- Ya. Selain itu untuk mencari berita di mana Sangga Buwana kini berada, Sebab pedang itu kena rebut Ki Ageng Telaga Warih.maka sudah sepantasnya aku harus mati. Nah , tolong bunuh aku secepat-cepatiya. Aku tidak tahan lagi . -
- Tidak. - ujar Wigagu. - Meskipun engkau berpihak kepala lawan guruku, tetapi engkau hanya suruhan saja, Dosamu belum perlu dihukum mati . Maka, aku hanya..... -
- Kau biarkan aku menggeletak di sini ? - Wirabrata menggigil.
Wigagu tidak menyahut. Ia mengeluarkan sebuah botol kecil berisi ramuan obat. katanya : - Obat ini pemberian guruku. Inilah sisa obat penawar yang dulu pernah menolong jiwa Haria Giri Cobalah, barangkali bisa mengurangi penderitaanmu.Tetapi kami harus segera berangkat Maafkan. -
- Terima kasih. - sahut Wirabrata sambil menerima angsuran obat pemunah peninggalan Surasekti bertiga. - Hanya saja, berhati- hatilah Haria Giri nampak manis di luar. Tetapi sesungguhnya , hati nya berbulu. Dia hidup serumah dengan Sekar Mulatsih Teta- pi disarnping dia, isteri piaraannya tidak terhitung lagi , Ringkasnya, Sekar Mulatsih kena dikelabui rayuan gombalnya.-
- Ya, perkara itu sudah kuketahui semenjak dulu. - potong Wi- gagu. - Tetapi rnengapa ia masih bersedia diributkan agar menculik Pitrang? Apakah dia masih cukup memperhatikan cinta- kasih bibi Sekar Mulatsih? -
Wirabrata menghela nafas. Menyahut :
- Tujuannya yang utarna adalah pedang Sangga Buwana. De- ngan menculik Pitrang, ia mungkin berharap memperoleh atau memaksa pendekar Sondong Landeyan mendengarkan tuntutannya agar merampaskan pedang Sangga Buwana baginya.-
- Ih - Wigagu menggigit bibirnya untuk menahan rasa marahnya. Setelah menghirup nafas dua tiga kali, akhirnya ia memohon diri. - Kudoakan agar obat itu menolong penderitaanmu. -
Sampai di rakit, Wigagu dan Puruhita masih mendengar Sukesi membujuk Pitrang. Ujar gadis itu :
- Pitrang, kau benar. Aku dan kedua pamanmu tidak menya- lahkan. Bila aku diancam begitu, akupun akan memukulnya pula. Lihat tuu...kedua pamanmu datang. Boleh tanya sendiri.-
- Benar. - Wigagu dan Puruhita menguatkan pendapat Sukesi.
Mereka kemudian melompat ke atas rakit dan membopong (men- dukuhg) Pitrang bergantian dengan rasa sayang .
- Paman sama sekali tidak menyalahkan engkau. Paman justru bangga. Sebab andai kata paman diancam secara begitu, juga akan berusaha menghajarnya. -
Setelah dibujuk bergantian, akhirnya sirnalah kesan merasa salah dari wajahnya. Puruhita kemu dian menarik tali penambatnya dan perjalanan dilanjutkan. Matahari belum melampaui titik tengah Pemandangan seberang tebing berkesan sejuk menyegarkan perasaan. Dalam suasana yang tenang damai itu, tiba-tiba Pitrang berkata seperti hendak menebus kesalahannya. Katanya :
- Menurut ayah, pukulan tadi adalah pukulan sakti yang sudah hilang dari ingatan orang. Namanya Naga Banda. Sebenarnya berjumlah enarnbelas. - Begitu mendengar Pitrangmenyebutkan nama pukulan Naga Banda, wajah Sukesi bertiga berubah hebat Hampir berbareng mereka. mendekati Pitrang. Naga Banda adalah ilmu sakti andalan Bandung Bandawasa yang menurut dongeng adalah tokoh yang membangun Candi Rara Jonggrang. Dengan pukulan itu, Bandung Bandawasa berhasil merobohkan leluhur Rara Jonggrang dan merajai kaum cerdik-pandai. Raja Baka yang terkenal saktipun mati di tangannya karena tidak tahan menerima gempuran pukulan Naga Banda. Sayang pukulan itu tiada pewaris nya, karena Bandung Bandawasa dikecewakan Rara Jonggrang. Menurut kisahnya, untuk dapat mempersunting Rara Jonggrang, Bandung Bandawasa harus sanggup menciptakan seribu buah arca dalam satu malam. Dan arca sebanyak itu harus selesai sebelum pagi hari tiba,
Karena Bandung Bandawasa berpengaruh besar, ia dibantu ribuan orang-orang pandai yang sudah mengikat diri menjadi sahabatnya. Sebenarnya pada jam tiga malam arca ciptaannya sudah berjumlah 999 buah. Jadi tinggal sebuah arca saja. Rara Jonggrang kemudian membuat akal untuk menggagalkannya. Seluruh dayangnya diperintahkan untuk menumbuk padi dari berbagai arah.
Karena mendengar bunyi orang menumbuk padi, ayam-ayarn jantan yang masih tertidur lelap terbangunkan. Binatang piaraan itu lalu berkokok bersahut-sahutan. Bandung Bandawasa harus berani rnenerima kekalahan itu, meskipun tahu ia tertipu. Dengan membawa rasa kecewa dan dendam ia meninggallan tempat setelah mengutuki Rara Jonggrang. Kena kutukannya. Rara Jonggrang berubah menjadi sebuah arca pelengkap arca yang sudah berjumlah 999 buah. la sendiri juga menghilang dengan membawa ilmu sakti Naga Banda tanpa pewarisnya.
Mengingat dongeng ini, keterangan Pitrang meragukan mereka bertiga Hati-hati Wigagu menegas :
- Apakah benar engkau memukul orang tali dengan ilmu Naga Banda? -
- Ya. Pitrang mengangguk. - Menurut ayah, pukulan itu bernama Naga Kuwera. Yalah gerakan naga yang menghantam lawan dengan ekornya. Ayah hanya mengenal pukulan Naga Banda lima macam saja. -
Ketiga orang itu saling memandang. Keterangan Pitrang terlalu lancar buat ukuran seorang anak seumur dia. Kalau bukan uraian hafalan Ki Ageng Telaga Warih adalah mustahil. Apalagi dia bisa membuktikan. Hanya dengan satu tepukan saja, Wirabrata mungkin tidak tertolong lagi.
Antara ketiga orang itu adalah Sukesi yang merasa paling ber- syukur. Karena masa pergaulannya dengan Pitrang semenjak bo- cah itu berumur satu tahun, ia merasakan suatu keakraban yang lain.
Terus terang saja ia menganggap Pitrang seperti anaknya sendiri. Apakah karena diam-diam ia sudah memutuskan bersedia menjadi pengganti Sekar Mulatsih bagi kebahagiaan gurunya yang dihormatinya? Hal itu, hanya dia sendiri yang bisa menjawab dan memutuskan.
Sukesi amat bangga, karena Pitrang yang baru berumur tujuh tahun sudah dapat memperlihatkan ilmu kepandaian yang tinggi. Oleh rasa girangnya, ia tidak begitu memperhatikan kesan Wigagu dan Puruhita tentang keterangan Pitrang.
- Kurasa, Haria Giri tidak hanya mengirimkan Wirabrata seorang.- ia mengalihkan pembicaraan. - Bagaimana kalau kita mengambil jalan pintas saja ? -
- Benar. - Sahut Wigagu. - obat penawar yang kuberikan Wira- brata adalah obat penawar racun. Sedangkan pukulan Pitrang adalah pukulan sakti yang tiada cara penyembuhannya.
Sernuanya tergantung nasib belaka. Mudah-mudahan jiwa Wirabrata tertolong. Andaikata tidak. atau taruh kata bisa
menolong sedikit saja, urusannya tentu tidak akan berhenti sampai disitu saja. Teman-temannya pasti akan mengejar kita. - Setelah berkata demikian kemudian ia beralih kepada Pitrang.
Dengan hati--hati dan suara lembut ia berkata menasehati :
- Pitrang, maukah engkau mendengarkan kata-kata pamanmu ?- Pitrang mengangguk.
- Bagus Ilmu sakti Naga Banda itu hanya dua orang yang tahu. Kau dan ayah-angkatmu , Bukankah begitu`? - Pitrang mengangguk lagi.
- Ayahmu sendiri mengutamakan cinta-kasih terhadap sesama hidup. Kecuali kalau orang itu memang terlalu jahat. Karena itu, janganlah engkau menggunakan pukulan Naga Banda lagi, ya ! -
- Ya.- sahut Pitrang dengan suara pelahan. - Tetapi menurut ayah, semua orang jahat. Kecuali paman Wigagu, paman Puruhita, bibi Sukesi dan ayah. -
Wigagu berpaling kepada Sukesi. Cepat-cepat Sukesi menge- dipkan matanya agar menerima saja jawaban Pitrang. Wigagu kemudian tersenyum dan mencium Pitrang. Mengslihkan pembicaraan :
- Kau masih ingat? Kita memasuki wilayah mana ini ? -
Pitrang rnenjelajahkan pandang matanya. Lalu lari keburitan. Setelah itu menjawab :
- Bukankah sudah memasuki wilayah Jalatunda? -
Pitrang berdiarn selama dua tahun di Jalatunda. Tentunya dia tidak hanya mendekam di goa Ki Ageng Telaga Warih. Bahkan seringkali ia dibawa berjalan berputar-putar mengenal wilayahnya.
Maka tidak mengherankan, bila ia dapat mengenal wilayah Jala- tunda dengan cepat. - Benar. - seru Wigagu gembira.- Kita tunggu sampai malam hari tiba. Kemudian kita pulang melalui jalan darat.-
- Mengapa ? -
- Disini banyak berkeliaran orang-orang jahat. - Wigagu meni- rukan istilah hafalan Pitrang.
Pitrang mengangguk. Dan mereka benar-benar menunggu sampai matahari tenggelam di atas rakitnya. Karena tebing sebe- rang-menyeberang penuh dengan pepohonan lebat, suasananya cepat sekali menjadi gelap.
Tidak lama kemudian terdengar suara derap kuda melintasi gili- gili. Dengan serentak Wigagu bertiga menjengukkan kepalanya. Secara kebetulan rombongan penunggang kuda sedang memasuki tikungan sehingga yang nampak hanya bagian punggung .........
SAMPAI DI SINI, Gunacarita rnenghentikan ceritanya, karena pagihari sudah tiba. Mereka sudah memasuki jalan kota Ngawi. Menurut perjanjian, ia tidak boleh menyinggung-nyinggung lagi perkara Sondong Landcyan dan keluarganya. Karena itu tidak bisa, disalahkan bila ia menghentikan rangkaian ceritanya di tengab jaIan.
- Busseettt - Lembu Tenar rnenggaruk-garuk kepalanya. - Cerita kalau terpotong-potong malahan menyakitkan rasa - - Aku bukankah sudah mengatakan bahwa cerita perkara pen- dekar besar Sondong Landeyan tidak akan selesai selama duapuluh hari ? Mungkin bisa sampai satu bulan. - Gunacarita tidak mau disalahkan .
Bogel yang tidak pandai mernendam keadaan hatinya, gelisah bukan main. Menuruti kata hati mau ia mengutuki Gunacarita. Akan tetapi ia kalah perjanjian. Maka ia memaksa diri untuk terta- wa terbahak-bahak. Sebaliknya, Kartamita yang pandai berpikir mempunyai perhatiannya sendiri. Katanya menegas dengan suara berbisik :
- Jadi pedang Sangga Buwana berada di Langan Ki Ageng
Telaga Warih ? -
- Begitulah menurut bunyi ceritanya -
- Apakah untuk selamanya? -
- Hai, kita sudah memasuki kota Ngawi. Hari sudah pagi. Menurut perjanjian .... -
- Samber geledek - maki Bogel.
- Sudahlah. - Kartamita yang bijaksana melerai. - Kalau begitu, kini kita tinggal minta keterangan pengurus Rumah Penginapan siapa yang menyuruh dia menyebarluaskan perkara pedang Sangga Buwana yang berada di tangan Diah Windu Rini. Hayo ! -
Mereka perlu memperbaiki pakaiannya dulu. Karena tiada lagi yang harus dibuatnya takut, mereka mulai memasang rokok lintingan Sambil mengepulkan asap rokoknya, mereka tidak berbicara lagi. - Hei - tiba-tiba Kartamita sepèrti diingatkan. - Apa yang harus kita katakan, kalau pengurus Rumah Penginapan bertanya dari mana kita datang ? -
- Apa urusannya dengan dia? - ujar Bogel dengan suara tak se- nang.
- Memang dia tidak mempunyai urusan dengan kita. Tetapi sia- papun bukankah bisa bertanya demikian? -
Alasan Kartamita masuk akal. Lembu Tenar dan Gunacarita memeras pikiran untuk memperoleh jawaban yang tepat. Tetapi Bogel yang semberono menjawab seenaknya :
- Bilang saja, kita habis cari perempuan. -
Mau tak mau mereka tertawa juga. Tetapi jawaban demikian paling mudah dan tidak berkepan jangan. Dugaan akan memperoleh pertanyaan demikian ada benarnya. Tiba-tiba pengurus Rumah Penginapan berlari-larian menyongsongnya sewaktu mereka memasuki halarnan Rumah Penginapan .
- Dari mana saja kalian? - seru pengurus Rumah Penginapan. -
- Lihat kuda-kuda itu Kahan ditunggu tetamu semenjak semalam.-
- Semenjak semalam? - mereka menyahut dengan berbareng.
- Ya, semenjak semalam. - - Siapa? -
- Siapa lagi kalau bukan tetamu kita yang galak Diah Windu Rini, tuanku Gemak Ideran dan Raden Ajeng Niken Anggana. - pengurus Rumah Penginapan memberi keterangan.
- Haaaa ? -
- Kalian tak percaya ? lihat sendiri ! -
Benar saja. Di serambi depan nampak tiga orang tetamu. Yang dua orang duduk dengan tenang.
Yang seorang mondar-mandir dengan gelisah. Dialah Diah Windu Rini. Dan yang duduk dengan tenang adalah Gemak Ideran dan Niken Anggana.
TABIR KEMELUT
PENGURUS RUMAH PENGINAPAN buru-buru mendahulu Gunacarita berempat untuk melaparkan kedatangan mereka ke- pada Diah Wmdu Rini bertiga.
Kesempatan ini dipergunakan Kartamita untuk mengisiki teman- temannya. Katanya dengan wajah bersungguh-sungguh :
- Janganlah kita meributkan hal-hal yang perlu mendapat pen- jelasan dulu. Sekarang kita harus mengatur sikap. ltulah yang penting Kita harus bersikap seakan-akan tidak pernah melihat peristiwa semalam seperti kita putuskan.- - Lalu harus berkata apa? - potong Gunacarita dengan gelisah.
- Bagel ! Kali ini kau harus mengalah. - sahut Kartamita berpaling kepada Bogel. - Yang paling aman dan yang paling baik, bilang saja kita mengiringkan Guna mendalang di Mantingan atau Paron atau .. -
- Katakan saja yang pasti. Jadi kita bisa sama. - Bagel mendesak.
Kartamita berpikir sejenak sambil melangkahkan kaki dengan santai lalu mernutuskan :
- Di Mantingan Lakonnya (cerita wayangnya) mengenai Sondong Landeyan juga Jadi bila Guna disuruh menceritakan kembali ,
bukankah tinggal mengulang saja ? -
- Ya benar. - Lembu Tenar menguatkan dengan suara berbisik pula.
- Seterusnya, terserah kepada Guna . -
Mereka tidak sempat berbicara berkepanjangan lagi. Sebenarnya Gunacarita gelisah bukan main. Teringat penglihatan semalam bulu kuduknya bergeridik. Mukanya pucaL Syukur, semalam dia tidak tidur Adalah wajar, seseorang yang tidak tidur semalam dan dalam kecapaian, parasnya agak memucat dan kuyu. Akan tetapi sadar akan bahaya yang mengancam, maka peringaran dan ki sikan Kartamita dirasukkan benar-benar dalam hati. Pendek kata dia harus rnenaksa dan bisa. memaksa dirinya sendiri agar bersi- kap wajar saja. Bukankah dia bisa bersembunyi di dalam. ke- kuyuannya?
Dengan ramah Niken Anggana Gemak Ideran menyambut kedatangan mereka. Hanya Diah Windu Rini seorang yang masih saja membawa sikapnya yang tinggi hati dan garang .
- Parnan ! Ada yang menanggap, ya ? - ujar Niken Anggana dengan ramah sekali.
- Eh ! - sahut Gunacarita. bersandiwara. Akan tetapi kata sam- butan Niken Anggana yang mula-mula, syukur seperti sudah me- nolong mencarikan jalan rata. Sebagai dalang yang pandai berce- rita dan mencipta (sanggit) rangkaian adegan agar menarik, ucapan Niken Anggana tidak beda seperti seorang pengarang memperoleh ilham,. Terus saja ia bisa menyarnbung dengan lancar :
-Nona seperti pandai meramal saja. Memang nasibku lagi untuk .. Tidak bermimpi tidak berdoa tiba-tiba ada yang menanggap -
Dan paman-paman ini ikut juga ? - Gagak Ideran menyambung
- Benar tuan muda. - sahut Lembu Tenar. - Karena kebetulan sekali orang itu memilih atau apa namanya pokoknya dia mau
mendengarkan cerita perkara pendekar Sondong Landeyan. Lalu kami minta ägar Guna melanjutkan saja cerita yang dulu. Karena Guna bersedia , kami bertiga lantas saja ikut. - -Eh.. kalau begitu mendahului aku dong. -Niken Anggana tertawa.
- Kalau berkenan, biar Guna rnengulang, -usal Bogel - Semalam sampei di mana ya? Oh ya, Pitrang sudah di jemput pulang oleh Wigagu, Puruhita dan Sukesi. -
- Siapa Puruhita? - Niken Anggana bernafsu.
- Murid Sondong landeyan yang ketiga. -
- Maksudmu, Wigagu dan Sukesi diterima jadi murid pendekar Sondong Landeyan? - Nîken Anggana menegas.
- Ya begitu cerita Guna. -Bogel dan Lembu Tenar menyahut berbareng dengan tertawa.
- Niken ! - tiba-tiba Diah Windu Rini membentak. - Kita sudah kehilangan waktu satu malarn derni engkau. Masih saja belum bersedia berangkat? -
Selama itu, Kartamita berempat tidak berani mengerahkan pandangnya kepada Diah Windu Rini. Tetapi karena Diah Windu Rini mulai membuka mulutnya, mereka terpaksa beradu pandang.
Putri itu benar-benàr sukar di ajak berdamai. Syukur, dia berbicara kepada Niken Anggana. Dengan demikian, mereka berkesempatan mengamat-amati puteri itu. Niken Änggana agaknya kalah wibawa daripada Diah Windu Rini. la menoleh kepada Gemak Ideran untuk minta buntuan.
Dengan setengah tersenyum, Gemak Ideran berkata kepada Niken Anggana :
- Niken, bukankah besok kita masih dapat singgah kemari ? Kurasa, hari inipun paman Guna masih lelah, Lihatlah, día masih kelihatan kuyu. Satu malam bercerita terus-menerus bukan pekerjaan gampang. -
Niken Anggana mau mengerti. Setelah mengangguk ia berdiri pelahan sambil mengeluarkan segenggam uang dari sakunya. Katanya kepada gunacarita :
- Paman, besok sudah siap, kan? Hari ini eh sampai malam
nanti, paman kularang menerima tanggapan. Nih, sebagai ganti rugi. -
Gunacarita berbimbang-bimbang. Kalau menerima, berarti besok malam harus ikut serta ke rumah semalam. Tak dikehendaki sendiri, seluruh tubuhnya dingin dan menggigil.
- Hai kenapa?, - Niken Anggana heran. Paman sakit? -
Pada saat itu, hati Gunacarita tak keruan ujung-pangkalnya. Ia tidak tahu apa yang harus dilaku kan. Bahkan apa yang harus diucapkannya saja, rasanya tidak sanggup. Memang sikap Diah Win- du Rini, Gemak Ideran dan Niken Anggana tidak menunjukkan perbedaan sama sekali seperti tatkala ia mengenal mereka bertiga. Mereka wajar saja. Kata-katanya pun wajar.
Tetapi bagaimana semalam itu? Apa yang terjadi semalam itu? Jelas sekali, di rumah itu terjadi pembunuhan. jelas sekali, Diah Windu Rini terbunuh mati. Masakan bisa salah melihat?
Bukankah Kartamita, Bogel dan lembu Tenar ikut menyaksikan pula?
Syukur, ketiga temannya menyadari apa makna penglihatannya semalam. Sedikit saja menimbul kan atau membangkitkan rasa curiga Diah Windu Rini bertiga bisa menerbitkan urusan panjang. Jiwa taruhannya.
Dalam hal ini naluri manusia ikut mencarikan jalan keluar. Maka dalam keadaan terjepit, Bogel yang kasar itu bisa berpikir baik. Serunya nyaring seperti biasanya :
- Tuuuh betul tidak peringatanku semalam. Kau nekad, sih. Celana masih basah dipakainya juga. Sekarang kau rasakan sendiri akibatnya,-
- Memangnya kenapa? - Niken Anggana minta keterangan.
- Tetapi aku orang kasar nona. Aku takut keteranganku .... -
- Berbicaralah - potong Niken Anggana.
- Eh begini cerita itu selesai pukul tiga pagi tadi. Selagi berja-
Ian, perut Guna mules. Mungkin masuk angin. Selagi kentut, isi perut Guna ikut ke luar sedikit. Lalu....lalu dia mencebur di
sungai. Meneruskan berak sambil mencuci celananya. Karena....karena.... -
- Sudah - bentak Diah Windu Rini.
- Nah apa kubilang. Aku memang orang kasar yang tidak bisa memendam rasa hati.-
- Sudahlah. - tungkas Lembu Tenar. - nDoro Jeng sudah mela- rang melanjutkan, ya sudah. Berhenti Mulutmu memang mulut kerbau. - Lalu berkata kepada Gunacarita :- Terima pemberian nona Niken.-
- Tetapi perutku? - Gunacarita ragu-ragu. Sebenarnya di dalam hati benar-benar ia tidak berani menerima.
- Biarlah aku yang mengeroki, asal jangan lupa upahnya. Bu- kankah begitu, Raden? -
Gemak Ideran tertawa. la mengeluarkan uang setengah rupiah dan diangsurkan kepadanya.
- Nih, aku yang mengupahimu. -
- Wadooo terima kasih, raden. - Lembu Tenar menerima uang
Gemak Ideran sambil membungkuk-bungkuk. Diah Windu Rini memandang permasalahannya sudah selesal. Segera ia memerintahkan Gemak Ideran dan Niken Anggana meninggalkan Rumah Penginapan. Dan begitu mereka bertiga menghilang dari halaman Rumah Penginapan, Gunacarita berem- pat merasa bisa bernafas. namun bukan berarti sudah selesai permasalahannya.
- Bagaimana? - ia setengah berbisik kepada Kartamita yang di- anggapnya pandai berpikir.
- Sst ! Yo masuk kamar ! Lembu Tenar, kau kerok dia - Mereka mengerti apa arti kata-kata Kartamita. Maka mereka berempat masuk ke dalam kamar Gunacarita. Karena alasan mereka tepat, pengurus Rumah Penginapan tidak begitu menaruh perhatian Bahkan ia mencoba mencarikan minyak kelapa dan minyak Gandapura mempunyai sifat yang dapat menghangatkan badan sehingga sering digunakan untak meringankan orang terserang masuk angin .
- Terima kasih.. terima kasih. Seorang dalang dimana saja sudah membawa obat penyakit harian.. - ujar Lembe Tenar dengan tertawa ramah .
Pintu kamar segera ditutup rapat Langsung saja mereka menghempaskan diri di atas tempat tidur.
Gunacarita kelihatan lelah sekali seperti seseorang yang baru saja lari kencang ratusan meter jauhnya. Nafasnya memburu dan seluruh tubuhnys mènggigil - Kang ! Tolonglah, kang ! Apa yang harus kulakuran? - ujarnya setengah berbisik dengan suara gemetar - Kalau bukan dia , apakah kita semalam melihat hantu ? -
- Jangan kau bingung tak keruan-keruan ! - bentak Kartamita dengan suara tertahan.
- Siapapun di antara kita ini tidak pandai menjawab. Yang jelas, kita berempat memang menyaksikan peristiwa semalam. Yang jclas, pagi ini kita berempat melihat Diah Windu Rini hidup kembali dalam kcadaan segar-bugar. Sikapnya tidak berubah seperti sewaktu menginap di sini dan sewaktu kita lihat di rumah semalam. Maka yang paling baik, untuk sementara jangan kita bicarakan dulu Kita sudah memutuskan tidak menyinggung- nyinggung peristiwa semalam selama berada di penginapan, bukan? -
- Benar.Tetapi besok pagi, mereka akan datang menjemput aku.Lalu apa yang harus kulakukan? -
Kartamita, Lembu Tenar dan Boget menghela nafas. Mereka tidak dapat menjawab dengan segera. Perjumpaannya dengan Diah Windu Rini benar-benar berada diluar dugaan mereka. Tadi- nya begitu tiba di penginapan , mereka akan segera tidur melepaskan lelah dan rasa tegang .
Kini malah jadi bertambah. Seluruhh urat syaraf sampai ke sendi- sendi tulang rnereka menjadi tegang rak keruan-keruan . Selang seperempat jam berdiam diri, akhimya Bogel tidak betah
,menutup mulutnya la mengaku orang kasar dan orang yang tidak pandai memendam gejolak hati . Maka katanya memecahkan kessunyian :
- Kartamita, kaw jangan ikut-ikutan rnembungkam mulut. Di
antara kita„ hanya engkau yang pandai berpikir Cobalah berkata apa saja untuk menghilangkan siksa rasa ini. Ya, aku benar- benar merasa tersiksa. aku ... aku .... -
- Bogel ! Kata-katamu terbalik.- potong Kartamita.
- Terbaik bagaimana -
- Di antara kita bertiga engkaulah yang lebih akrab atau mengenal Gunacarita Kita berdua, alcu -dan Lembu Tenar adalah tetamu rumah penginapan yang kebetulan ikut mendengarkan dia men dalang. bukan begitu ? -
- Betul tetapi engkau jangan lepas tangan ! Entah setan, entah Iblis , kita berempat mulai semalarn satu kesatuan. memang kita bertiga masing-masing mempunyai urusan. Tetapi bisakah kita melarikan dirii begitu saja ? Dalam keadaan kepepet, bukankah Guna akan menyebut-nyebut nama kita? -
- Benar - Lembu Tenar menguatkan pendapat Bogel. - Memang kita tidak bisa lepas tangan. Tetapi lantas bagaimana ?
Bagaimana kalau kita membawa sikap seperti tadi? -
- Mernbawa sikap bagaimana? - Bogel menegas. - Seolah-olah kita tidak melihat peristiwa apapun. -
bogel mengerinyitkan dahinya. la sedang menguras pikiran rnempertimbangkan saran Lembu Tenar. Tidak lama kemudian ia menggelengkan kepalanya. Katanya :
- Tidak betul sama sekali. Tidak betul. Paling-paling curna separoh.-
- Mengapa cuma separoh? - Lembu Tenar minta kejelasan. - Bukankah tiada seorangpun yang melihat kehadiran kita berem- pat? -
- Benar. Tetapi ingat, Gunacarita bakal disuruh mendalang selama satu bulan. Bagaimana kalau pada suatu kali dia mengigau? Kau lihat sendiri bagaimana keadaan hatinya. Sudah terkencingkencing, kentut dan berak lagi. - Bogel setengah mengutuk. - Ataukah kita biarkan dia bekerja sendiri? -
- Jangan, kang! Jangan tinggalkan aku! - Gunacarita terlompat dari duduknya.
- Bagaimana mungkin? Kalau kita menungguimu sampai satu bulan penuh ringkasnya sampai kau tammat mendalang, justru
menimbulkan pertanyaan mereka. Mereka tahu, kita hanya secara kebetulan saja berjumpa di sini. Lain halnya, kalau kita bertiga ini menjadi wargamu. Umpamanya, aku pengendang. Kang Kartami-ta tukang gong. Lembu Tenar penabuh kenong kek slentem kek bonang kek. ..-
- Ya, masuk akal. Alasanmu masuk akal juga. - Lembu Tenar memanggut-manggut - Hai Guna, bagaimana kalau kau tolak sa- ja?-
- Apa alasanku? Akupun sudah menerima panjar. -
- Alasan kesehatan! - Lembu Tenar mencoba.
- Diah Windu Rini bukan manusia bodoh. Juga Gemak Ideran dan Niken Anggana. Masakan harus masuk angin terus-terusan? - ujar Bogel. Sebab kecuali penglihatannya peristiwa semalam, dia- pun pernah merasakan terpukul kerikil sentilan tangan Diah Windu Rini. Orang semacam dia tidak mudah dapat dikelabui.
Penglihatannya melebihi manusia lumrah. Apalagi sikapnya tidak ber-sahabat. - Kartamita berbicaralah ! -
Kartamita tidak segera menyahut. Beberapa waktu lamanya ia tercenung-cenung. Tetapi karena merasa wajib berbicara, akhirnya ia berkata pelahan :
- Aku mau berbicara, asal kata-kataku kalian jadikan pegangan. Kalau cuma dijadikan bahan perdebatan saja, lebih baik aku menutup mulut saja. -
- Lo kita bukan mau debat! - bantah Bogel. - Kita bertukar pikir demi kepentingan kita sendiri. Bukankah begitu? - - Apakah kau kira kita berempat ini mempunyai otak? -
- Maksudmu? - Bogel penasaran.
- Kau berkata, aku ini pandai berpikir. -
- Yang pandai berpikir di antara kita bertiga - Bogel membetulkan.
- Baik. Jadi kalian bertiga menganggap aku pandai berpikir. Apa ukuran kalian? Bukankah menu rut ukuran kalian sendiri? Terus terang saja, pikiranku ini kalau dibandingkan dengan mereka ber tiga bedanya seperti bumi dan langit. Ingat sajalah peristiwa se- malam , Apakah mereka yang terbunuh semalam tidak mempu- nyai otak? Ooo otaknya melebihi diriku. Jadi tak ada gunanya kita mengasah otak, bertukar pikiran seolah-olah seorang sarjana lihay. Kurasa lebih baik jangan mencari akal atau alasan yang bukan-bukan ! Apalagi mengada-ada. -
- Lalu? - mereka bertiga menungkas dengan berbareng.
- Kita jangan mendahului mereka. Kita tunggu saja. Sikap kita seperti sebentar tadi. Baru kalau kita terpaksa menjawab, kita men-jawab dengan seadanya. -
- Kapan kita harus menjawab eh...maksudku harus menjawab pertanyaannya? - Bogel minta penjelasan.
- Tentu saja kalau mereka mengadakan pertanyaan. - - Ya tentu saja. Maksudku berapa hari lagi? - Bogel mendongkol.
- Begini. - Kartamita menyatakan pikirannya. - Memang betul, kita bertiga paling-paling hanya bisa ikut mengiringkan gunacarita tiga hari lamanya. Setelah itu kita harus pergi. Sebelum pergi, kita harus berusaha menawan hati mereka. Maksudku kita harus begitu bisa merendah hati dan mengambil hati. Terlebih-lebih terha-dap Diah Windu Rini yang garang. Pada saat itulah, kita mohon pe-tunjuknya. -
- Maksudmu menceritakan apa yang sudah kita lihat? - Lembu Tenar menegas.
- Bila keadaan berubah begitu rupa, sehingga membuat kita ha- rus memberi keterangan. Bukankah tadi kukatakan, kita jangan mendahului? -
- Oh, mengerti aku. Ringkasnya, janganlah kita yang menjadi prakarsanya? -
- He-e. - jawab Kartamita singkat. - Bagaimana? -
- Lo mengapa bertanya? - Bogel menyemprot - Katanya, kita tidak boleh main debat atau bertukar pikir? -
Kartamita tertawa pelahan. Sahutnya : - Alhamdulillah syukur engkau sudah mau menerima kata-
kataku, Kalau begitu, sudah kita setujui bersama sebagai pegang- an, bukan? -
- Ya - mereka menjawab dengan bersemangat .
- Bagus ! Kalau begitu, sianghari ini aku minta kalian sudi ber- korban tidak memejamkan mata ! -
- Kenapa? -
- Masalah pedang Sangga Buwana masih perlu dijelaskan lagi. Ingat, semalam mereka saling bunuh-membunuh masalah pedang Sangga Buwana. Atau paling tidak ada kaitannya dengan masalah pedang Sangga Buwana. Maka aku minta ki dalang melanjutkan ceritanya yang terputus di tengah jalan. Bagaimana ki dalang? -
- Aku sih tidak keberatan. Mau tidurpun, juga tidak bisa. Hanya saja, menurut katamu cerita perkara Sondong Landeyan harus habis sampai di sini. Bukankah begitu? -
- Tetapi ternyata cerita itu sendiri belum habis. Lagipula kita bertemu dengan masalah yang pelik. Yalah munculnya Diah Windu Rini dalam keadaan segar-bugar. Eh, siapa tahu barangkali dengan mendengarkan cerita sambungnya kita memperoleh penerangan baru. - - Kalau begitu biar aku ke luar dulu pesan makan minum. -ujar Bogel. - Kali ini kau yang mcmbayar, Guna ! Di antara kita berempat engkaulah yang paling mempunyai uang banyak. -
Gunacarita sudah merasa terhibur hatinya, karena ketiga temannya bersedia menyertainya bila esok pagi Niken Anggana menjemputnya. Maka dengan serta-merta ia mengeluarkan uang panjarnya. Katanya pula:
- Demi Tuhan, sekarang tidak lagi aku memikirkan perkara jumlah uang. Kita bagi rata saja, asalkan kalian mau menyertaiku sampai tugasku selesai. -
Bogel dan Lembu Tenar tertawa gelak. Sambil memungut beberapa renceng uang logam, ia berkata :
- Kau mau baik hati? Baiklah, pemberianmu kuterima. Tetapi yang menjadi hakma adalah hakmu. Selamat saja, belum tentu.-
Setelah berkata begitu, Bogel keluar kamar sedang Gunacarita tercenung longong mendengar bunyi ucapannya. Kartamita dan Lembu Tenar sama sekali tidak berusaha membesarkan atau menghibur hatinya. Mungkin, karena ucapan Bogel ada benamya. Itulah sebabnya, di dalam lubuk hati, Gunacarita cemas bukan main.
Tidak lama kemudian dua orang pelayan memasuki kama- membawakan pesanan Bogel. Melihat merekapada berkumpul di dalam satu kamar, salah seorang pelayan berseru minta keterangan :
- Mau pesta di sini, ya? -
- Apa tidak boleh? - sahut Lembu Tenar.
- Boleh, boleh. Cuma saja harus ditambah meja satu lagi. - ujar pelayan itu. Dan bergegas ia ke luar kamar dan balik dengan mem-bawa sebuah meja tambahan. Setelah rapih, Bogel datang. Pintu kamar ditutupnya rapih dulu, barulah ia duduk di atas kursi. Katanya .
- Sudah beres. Sudah kubayar lunas. Nah, Guna ! Kau mulai-lah bercerita! Kita sudah sampai pada adegan Wigagu, Sukesi dan Puruhita membawa Pitrang pulang kampung, kan? Mulailah! Eh, setidak-tidaknya kalau esok pagi harus mati paling tidak sudah per-nah mendengar cerita sambungnya. -
- Kang Bogel, janganlah berkata begitu ! Rasa hatiku jadi tidak enak. - Gunacarita memohon.
Bogel tertawa terbahak-bahak. Untung, Gunacarita seorang dalang. Dalam keadaan hati betapapun, masih bisa ia bercerita. Maka pelahan-lahan ia berkata melanjutkan Ceritanya :
**********
WIGAGU SEKARANG, bukan Wigagu enam tahun yang lalu. Semenjak menjadi murid Sondong Landeyan, ia sudah termasuk golongan pendekar kelas utama. Bahkan disegani orang. Apa- lagi, semenjak dulu ia seorang pemuda yang berani dan pandai berpikir.
Akan tetapi melihat rombongan orang berkuda yang melintasi gili- gili di seberang sungai, wajahnya kelihatan tegang. Sukesi yang lebih mengenal dirinya daripada Puruhita, tahu bahwa kakak- seperguruannya itu menaruh curiga terhadap kesan penglihatannya. Katanya kepada Puruhita :
- Puruhita, menilik gerak-gerik mereka pasti bukan rombongan manusia biasa. Mereka terlalu gesit Kurasa lebih baik kita jangan mengambil jalan pintas dulu. Mari kita berangkat! - Katanya.
Puruhita segera mengayuh rakitnya yang segera dibantu Wigagu. Hanya Sukesi yang tidak bekerja, karena bertugas menjaga Pitrang. Sepanjang perjalanan mereka membisu, kecuali Sukesi yang terpaksa sekali-kali melayani Pitrang yang berbicara tidak ber kepupenanganan Ki Ageng Telaga Warih. la seumpama seekor burung kini terlepas dari sangkarnya.
Karena itu, semua penglihatan adalah sesuatu yang baru baginya Tetapi setelah matahari mulai menghilang dari udara, ia mulai kecapaian sendiri. Tiada lagi yang dapat dilihatnya, selain kegelapan tirai petang hari. Anehnya pula, selama itu tidak pemah ia membicarakan pengalamannya hidup bersama Ki Ageng Telaga Warih. Sukesi diam-diam membatin:
-Anak ini pandai menyimpan sesuatu yang harus disimpannya rapat - Tak terasa ia mengamat-amati bocah itu. la berperawakan langsing berisi. Tentunya kelak akan tumbuh menjadi seorang pe- muda yang langsing kekar dan berwajah cakap.
Selain itu, pasti pula berotak cerdas dan pandai menyesuaikan diri. Memikir demikian, entah apa sebabnya, ia bersyukur di dalam lubuk hatinya Setelah malam hari tiba, Puruhita tidak sabar lagi. Rakit berjalan terlalu perlahan bila dibandingkan berjalan kaki Apalagi dengan berkuda. Karena itu ia mencoba mengajukan usul:
- Kakak ! Bagaimana kalau esok pagi kita membeli kuda? -
- Hm,membeli kuda? Di mana? - sahut Wigagu. - Lagipula, lebih baik kita berada di atas perahu Meskipun lambat dua tiga hari, tetapi selamat Lihatlah ! Pada waktu ini entah berapa golongan orang yang ingin menyelidiki di mana Ki Ageng Telaga Warih ber- sembunyi. -
- Benar. Tetapi bagaimana kalau mereka justru akan menimpa- kan kesalahan Ki Ageng Telaga Warih kepada guru? Pada waktu ini, guru sedang bersemadi. Hanya beberapa adal yang melayani.- Selagi Wigagu hendak menjawab, kembali lagi mereka mendengar derap kaki kuda di gili-gili. Berbareng mereka melongok. Secara kebetulan lagi, mereka melihat dua penunggang kuda sedang membelokkan tunggangannya ke arah seberang Dengan begitu, mereka tidak dapat melihat wajah kedua orang itu. Tetapi jelas, mereka gesit, tangkas dan lincah.
Pasti kedua orang itu bukan sem-barangan orang. Wigagu mengerling kepada Puruhita. Katanya berbisik :
- Kurasa esok pagi kita bakal melihat suatu peristiwa. Aku akan mendarat dulu mencari tiga atau empat orang yang bisa mengayuh perahu. Dengan begitu, kita tidak kehilangan tenaga. -
Rakit kemudian di ketepikan. Wigagu melompat ke darat, Hanya beberapa detik saja, tubuhnya sudah menghilang di kegelapan malam. Satu jam kemudian, ia sudah balik kembali dengan mem- bawa empat orang. la bersikap royal, sehingga empat orang kampung itu meliur begitu melihat jumlah uang.
Meskipun capai setelah bekerja satu hari, tetapi jumlah uang itu berarti dapat dinikmati untuk beberapa minggu lamanya. Bahkan kalau berhemat, bisa untuk menghidupi keluarga satu bulan lebih. Maka dengan girang dan bersemangat mereka mengikuti Wigagu.
Malam itu, rembulan bersinar semarak di angkasa raya, Pitrang sudah tertidur nyenyak. Sukesi dapat mengawani Wigagu dan Puruhita berbicara dengan hati lapang. Pada saat itu, ia masih sempat mendengar Puruhita minta pendapat Wigagu tentang Polan alias Wirabrata. Ujarnya :
- Dia menyebut-nyebut tentang tingkah-laku dan perangai Haria Giri. Kaupun tahu, dia sudah jadi perwira laskar Kapatihan.
Bagaimana menurut pendapatmu? -
- Tentang dia menjadi laskar Patih Danureja, aku sendiri belum jelas. Hatinya susah diterka. Bukan mustahil dia menjabat kedua- duanya. Sebelah kaki bernaung di bawah kekuasaan Sri Baginda dan yang lain menginjak halaman kepatihan. Kau tahu mak- sudku?-
- Ya. Katakan saja ular berkepala dua. - sahut Puruhita. - Sebenarnya bagaimana kepandaiannya bila dibandingkan dengan guru?-
- Dia? Hm. -Wigagu mendengus. - Empat orang Haria Giri belum dapat membandingi kepandaian guru. Percayalah ! -
- Kalau begitu, apa sebab guru bersemadi? Apakah guru akan menjadi seorang pendeta? -
- Seorang pendeta? - sahut Wigagu dengan nada tinggi. - Guru memang seorang pendiam. Sepintas lalu pantas menjadi seorang pendeta. Tetapi guru bersemadi bukan untuk memperdalam soal keagamaan. Sebaliknya sedang merenungkan pendalaman Ilmu Sakti. - - Ilmu Sakti? - Puruhita berseru heran. - Ilmu Sakti apa lagi yang sedang dipelajari guru. Kepandaian guru sudah susah diukur.
Sekarang hendak memperdalam. Ilmu Sakti apa lagi? -
- Sekiranya guru sudah merasa sempuma, tentunya puteranya tidak akan dikirimkan kepada Ki Ageng Telaga Warih. - Wigagu mengesankan.
- Puruhita, di dunia ini banyak aneka ragam dan macam ilmu sakti yang tidak terhitung jumlahnya. Guru pernah terkena racun Surasekti bertiga yang hampir saja merenggut jiwa. Artinya, dalam hal ilmu menolak dan menawarkan racun, guru masih perlu bela-jar. Haria Giri menipu guru mentah-mentah di depan hidungnya. Artinya, guru masih perlu belajar mengenal watak dan perangai manusia. Guru kehilangan bibi padahal bibi sudah melahirkan Pitrang. Artinya, guru menyadari kekurangannya.
Karena itu makna bersemadi, banyak artinya. -
Diingatkan akan peristiwa yang pemah menimpa gurunya, Sukesi menundukkan kepalanya.
Sedang Puruhita merasa hatinya seperti terbakar. Ingin ia menuntut dendam gurunya terhadap manusia yang kebetulan bernama Haria Giri. Memang selama hidupnya, belum pernah ia melihat apa lagi bertatap muka dengan Haria Giri. Akan tetapi menilik ucapan kakak-seperguruannya yang menyatakan empat Haria Giri bukan tandingan gurunya, rasanya ia merasa dirinya sanggup berlawan-lawanan mengadu kepandaian. Wigagu tidak sempat melanjutkan kata-katanya, karena untuk ketiga kalinya ia mendengar suara derap kuda lagi. Di tengah malam yang sunyi, suara derapnya terdengar jelas sekali.
Jumlahnya kali ini empat ekor. Wigagu, Sukesi dan Puruhita saling pandang. Mereka tahu, ke empat penunggang kuda yang berjalan secepat kilat di tengah malam buta, tentunya para pendekar yang berkepandaian tinggi. Meskipun mereka bertiga berupaya agar tidak sampai bentrok, namun bukan berarti takut menghadapi macam maraba-haya apapun.
Apalagi Puruhita sedang terbakar hatinya. kalau bisa, ingin ia melampiaskan perasaan hatinya terhadap mereka .
Rupanya, Wigagu mengerti perasaan Puruhita setelah mende- ngar tutur katanya mengenai gurunya. Buru-buru ia menyabarkan. Ujamya dengan setengah berbisik :
- Kita tunggu saja sampai esok hari. Semuanya akan jadi lebih jelas. Pada saat ini, janganlah kita bertindak ceroboh. Sebab siapa mereka, masih gelap bagi kita. -
Puruhita mau mengerti. la mengangguk, akan tetapi keadaan hatinya membuat ia gelisah diluar kehendaknya sendiri. Wigagu memeluknya, lalu berkata :
- Di bumi Nusantara ini, barangkali kepandaian guru kini tanpa tanding. Namun nasib guru terlalu buruk. Di dunia inipun hanya dua orang yang sangat dicintainya sampai ke dalam lubuk hati- nya. Yang pertama bibi Sekar Mulatsih. Yang kedua, tentu saja Pitrang. Kuharapkan, moga-moga Pitrang menempati keadaan hati guru tiga-perempat bagian. Tetapi soal ilmu kepandaian guru yang sedang diperdalam itu, guru pernah berkata begini kepadaku. Apakah guru berhasil mencapai tingkatan yang dikehendaki, bukan masalah yang penting. Di dalam percaturan hidup ini, soal ce-merlang atau suramnya kepandaian seseorang juga bukan merupakan tujuan utama bagi seorang pendekar seperti kita ini. Menurut guru, kewajiban kita adalah masalah panggilan tanah air. Guru mati-matian menyelami kedalaman dan keluasan ilmu kepandaian supaya kelak bisa diwariskan kepada kita semua. Tujuan guru, agar kita semua kelak ada gunanya hidup di dunia ini. Kewiba-waan tanah air sedang dirongrong dari berbagai penjuru. Kecuali Patih Danurejo yang menghen daki kekuasaan lebih luas lagi, yang terutama adalah kompeni Belanda. Kita dikehendaki guru agar kelak bisa mempersatukan kaum pecinta tanah air untuk bersatu-padu melawan Kompeni Belanda. Itulah cita-cita guru. Karena itu, janganlah kita sampai tersesat Ibarat hendak membangun gedung besar jangan terpeleset oleh kerikil kecil. Kalau tujuan hidup kita hanya untuk menuntut dendam, hanya untuk membalaskan nasib buruk yang menimpa guru, berarti mengkhianati jerih payah guru sendiri. Kau mengerti, Puruhita? -
Mendengar kata-kata Wigagu, Sukesi kagum bukan main. la mengenal Wigagu bertahun - tahun lamanya. Selamanya ia meng-anggapnya sebagai seorang pemuda yang ketus, meski pun setelah menjadi murid Sondong Landeyan berubah perangainya. Tetapi bahwasanya bisa berkata begitu matang dan pasti, baru kali ini ia mendengar. Tak pernah terbayang dalam benaknya, bahwa Wigagu bisa memiliki penglihatan begitu luas dan mantap. Seketika itu juga, ia menaruh hormat sedalam- dalamnya. Dan inilah perasaan hormatnya untuk yang pertama kalinya.
Puruhita lain pula kesannya. la jadi malu sendiri dan merasa bertambah kecil bila dibandingkan dengan peribadi kakaknya se- perguruan itu. Padahal yang tahu apa yang berkecamuk dalam ha-tinya, hanya ia sendiri. Akan tetapi Wigagu dapat menebak de- ngan tepat la tidak tahu, bahwa Wigagu dulu juga mengalami demikian. Bahkan pernah sampai bertempur melawan Haria Giri.
Keesokan harinya mereka mendarat Itulah dusun persinggahan yang sebenarnya sudah boleh dikatakan termasuk wilayah per- tapaan gurunya. Sebab letaknya berada di kaki Gunung Lawu.
Kuda mereka dulu dititipkan di dusun Jagaraga yang terletak sejauh dua dusun lagi. Hati mereka girang, karena sebentar lagi akan bertemu dengan gurunya. Dan setelah mengucapkan selamat tinggal kepada keempat pengayuh rakitnya, segera mereka melanjutkar perjalanan.
Di sebuah kedai mereka berhenti untuk makan pagi. Mereka perlu menambah tenaga, apalagi bagi pitrang. Seperti yang dilakukan di manapun saja, mereka memeriksa keadaan kedai itu. Ruangnya cukup luas. Ya, seperti dulu tatkala mereka singgah di situ. Tetapi kali ini ada bedanya. Banyak terdapat wajah-wajah baru yang jelas bukan orang-orang dusun. Bahkan di antara mereka terdapat seorang Cina yang mengenakan jubah pendeta.
Aneh, dari mana datangnya pendeta Cina ini? Untuk apa ia singgah di sini? Apakah hanya secara kebetulan saja lewat di dusun persinggahan, kemudian perlu mengisi perut seperti dirinya? Tetapi dusun persinggahan ini bukan merupakan dusun penghubungyang memiliki lalu-lintas perdagangan yang berarti. Ataukah karena dia seorang pendeta mempunyai perhatian terhadap suasana pegunungan yang sunyi sepi?
Berbagai pertanyaan itu merumun di dalam otak Wigagu bertiga. Hanya Pitrang seorang yang tidak pedulian. Anak itu gelisan, karena pesanan makan dan minum baginya belum disediakan.
Dan manakala pelayan sudah mengantarkan sepiring nasi dan lauk-pauk, terus saja ia melahapnya dengan bernafsu. la tidak mengiiiraukanapakah kedua pamannya dan Sukesi sudah menda-pat bagiannya.
Sementara itu, pendeta Cina itu berdiri dari tempat duduknya. Dua orang penterjemahnya membereskan pembayaran. Kemu- dian dengan diiringkan enam orang pengikut, ia meninggalkan ke- dai menuju ke barat.
- Hai! Apakah benar dugaanku? - Wigagu terkejut di dalam hati. - Benarkah mereka hendak mendaki pertapaan gurunya? - Sukesi dan Puruhita secara kebetulah berpikir demikian pula. Itulah sebabnya, begitu selesai makan dan minum bergegas mereka meninggalkan kedai dan mengambil jalan pintas.
- Sukesi, engkau memperhatikan pendeta Cina tadi atau tidak? - Wigagu bertanya.
Sukesi mengangguk. Puruhita demikian pula.
- Apa pendapatmu? -
- Aku hanya merasa heran. - jawab Sukesi pendek dan terlalu sederhana.
- Apakah engkau tidak memperhatikan pengikut-pengikut-nya?-
- Ya. Tetapi mengapa? -
- Pastilah mereka bukan cantrik-cantriknya, Mereka mengena-kan pakaian ringkas dan singsat. Artinya, paling tidak mereka pan-dai berkelahi, kalau bukan perajurit -
- Benar. - Puruhita ikut menimbrung. - Menurut pendapat kakak, perajurit dari mana? -
- Belum dapat kujawab dengan pasti. Di tanah air ini hanya terdapat tiga macam perajurit resmi. Perajurit kerajaan, perajurit kapatihan dan kompeni Belanda beserta antek-anteknya. -
- Kalau kompeni Belanda mempunyai antek-anteknya, apakah orang-orang Cina yang kaya raya tidak bisa membuat tentara? - Tanda-tanda akan pecahnya perang Cina yang menyerbu Kartasu-ra pada jaman Paku Buwana II.
- Untuk apa? -
- Paling tidak untuk melindungi kekayaannya sebagai tukang- tukang pukul. Atau untuk meluaskan wflayah perdagangannya. - ujar Puruhita.
Wigagu memanggut-manggut Tetapi suatu ingatan membuat ia menyebut cepat:
-Tidak mudah.Sebab mereka akan berhadapan dengan peraturan negeri yang dikuasai Raja dan V.O.C (kompeni Belanda). -
Alasan Wigagu masuk akal. Justru demikian, mereka jadi bingung sendiri karena tidak mampu menjawab teka-teki munculnya seorang Cina berpakaian pendeta di sebuah dusun yang sunyi.
Sementara itu, waktu beijalan terus. Matahari terus merangkak- rangkak makin menengah. Pitrang tidak mau digendong atau dipapah. la ingin berjalan sendiri. Agaknya demikianlah perintah Ki Ageng Telaga Warih kepadanya, sehingga ia tidak berani melanggar. Atau beijalan kaki mendaki tebing merupakan dasar ajaran baginya.
Dataran yang dilalui sudah tidak rata lagi. Kecuali belasan bu-kit yang ditutupi ilalang, hutan raya yang lebat luar biasa meng- hadang di depan. Inilah risikonya seseorang yang ingin mengambil jalan pintas. Maksud Wigagu tadinya ingin cepat sampai ke tujuan. Tetapi ia sama sekali tidak mengira, bahwa Pitrang tidak mau didukung, digendong maupun dipapah. Dengan demikian perjalanan jadi sangat lambat.
Tiba-tiba Wigagu yang memiliki pendengaran luar biasa tajam, menghentikan langkahnya. Berseru kepada Sukesi:
- Kau lindungi Pitrang ! Di antara pohon-pohon, belukar dan alang-alang terdapat belasan orang bersembunyi. -
Sukesi mengenal tabiat Wigagu. Kecuali hatinya penuh curiga, ia berwaspada juga. Sambil meng hampiri Pitrang ia menebarkan penglihatannya. Puruhita demikian pula. Tetapi mereka berdua ti- dak melihat suatu apapun.
- Mohon maaf! Kami anak murid Sondong Landeyan akan melalui jalan ini. - Numpang lewat. ..- - sekonyong-konyong Wigagu
berseru dengan suara nyaring luar biasa.
Namun tiada jawab sama sekali. Apalagi muncul sesosok bayangan atau binatang kecilpun. Diam-diam Sukesi tersenyum di dalam hati. la jadi ingat perangai Wigagu tujuh tahun yang lalu. Pe-rangai angin-anginan yang tak keruan-keruan. Sebaliknya Puruhita yang percaya akan kepandaian kakak-seperguruannya itu menja-di tegang.
Karena tiada jawaban, maka Wigagu melangkahkan kakinya kembali seraya berseru untuk yang kedua kalinya : - Maaf. kami akan melanjutkan perjalanan. -
Tetapi baru melangkahkan kaki sejauh seratus langkah, mendadak belasan orang berseragam hijau muncul dari seberang-menyeberang jalan. Di antara alang-alang dan dari balik pepohonan nampak pula puluhan orang yang berseragam hitam muncul bagaikan iblis. Sekarang, Sukesi baru menga kui kelebihan Wigagu.
Belasan orang berseragam hijau itu berdiri membuat garis sete- ngah lingkaran. Kemudian belasan orang yang mengenakan pakaian hitam menyusul membuat bentuk lingkaran pula seperti ber-sambung. Mereka bersenjata pedang dan belati. Tiada yang mem-bawa senjata berat seperti golok, rantai, penggadaatau cempuling.
Wigagu berdiri tegak dengan sikap tenang luar biasa. Dengan pandang mata berkilat-kilat ia menya pu belasan orang yang menghadangnya. Selagi ia hendak berkata lagi, mendadak seseorang yang berdiri di tengah lingkaran mengibaskan tangan kanannya.
Dan barisan lingkaran itu memecah diri menjadi dua lingkaran mi- rip angka delapan. Akan tetapi ujungnya terbuka seperti membuka jalan. Mereka berdiri dengan setengah membungkuk, sedang ujung pedangnya menuding ke bawah. Inilah tanda penghormatan bagi Wigagu. Buru-buru Wigagu membalas hormat mereka dengan mem- bungkuk pula Kemudian dengan sopan ia melangkahkan kakinya yang diikuti Puruhita dari belakang. Tetapi sewaktu mereka berdua telah lewat, tiba-tiba barisan menutup rapat kembali. Kini mengepung Sukesi dan Pitrang dengan lebih ketat Mengapa?
Wigagu tertawa panjang. serunya :
- Tuan-tuan, sebenarnya kalian menghendaki siapa? -
- Apakah aku? - sambung Sukesi.
Pemimpin rombongan kelihatan berbimbang-bimbang. Sejenak kemudian dengan gerakan tangannya, barisannya yang bergerak mengurung membuka jalan.
- Pitrang ! Kau berjalan dulu ! -
Pitrang tidak mengerti makna semuanya itu. Hanya saja, dengan wajah penuh pertanyaan ia menga waskan belasan orang yang mengurungnya. Belasan orang yang menutupi separoh wajahnya dengan sehelai kain berwarna hitam.
Tetapi selagi melangkah empatkali, kembali lagi mereka mengurung rapat. Sukesi menarik Pitrang mundur selangkah dengan terkejut. Sekarang tahulah ia, bahwa Pitrang yang diincar. Berarti ada sangkut-pautnya dengan kedudukan gurunya.
Tetapi apa sebab mereka tadi membiarkan Wigagu dan Puruhita melintasi kurungan setelah menyebut-nyebut nama gurunya? Apakah karena Pitrang diasuh Ki Ageng Telaga Warih selama dua tahun? Itupun agak meragukan. Sebab, dari mana mereka tahu bahwa Pitrang di rumah pertapaan Ki Ageng Telaga Warih?
- Ih! Jangan-jangan orang-orang ini ada hubungannya dengan Wirabrata. - Pikir Sukesi. - Siapa lagi yang mengirimkan kabar, kalau bukan orang itu? -
Untuk meyakinkan din, Sukesi membimbing Pitrang maju berjalan. Lima orang melesat mengham piri dengan gerakan kilat Mereka mengikuti langkah Sukesi dengan pedang yang berjarak kira-kira satu setengah kaki.
Wigagu yang berada di luar kurungan dengan cepat dapat membaca keadaan. Dengan sekali menjejakkan kakinya, tubuhnya melesat bagaikan burung terbang dan balik kembali ke dalam kurungan. Secepat kilat kedua tangannya bergerak menepuk pedang mereka yang runtuh bergeme lontang di atas tanah berbatu.
Setelah itu, tangan kirinya menyambar pergelangan tangan barisan yangberseragam hijau. Begitu tersentuh, ia terperanjat. Itulah pergelangan tangan wanita yang halus lembut. Cepat-cepat ia mele-paskan genggamannya. Tetapi karena sudah terlanjur memukul-nya dengan tenaga sakti, mereka yang tersentuh pergelangan tangannya kehilangan tenaganya. Dan pedang mereka jatuh di atas rerumputan. Menyaksikan kegesitan Wigagu dan robohnya sepuluh orang dalam dua gebrakan saja, lainnya melompat mundur. Sekonyong- konyong dua orang yang mengenakan topeng menyerang berba- reng dan kiri dan kanan.
Wigagu menunggu sampai ujung pedang mereka nyaris menikam dadanya. Pada saatnya yang tepat, ia men-gelak dengan sedikit menarik dadanya ke belakang. Kedua tangan-nya bergerak menyentil ujung pedang mereka berdua.
Tring !
Sentilan itu nampaknya tidak bertenaga. Akan tetapi Wigagu kini sudah menjadi murid Sondong Landeyan yang tertua. Meski-pun belum mewarisi seperempat bagian kepandaian gurunya, na-mun ilmu saktinya sudah susah dilawan Kedua orang itu merasa terpukul suatu pukulan dahsyat yang meresap sampai ke tulang sumsum. Mereka memekik pelahan. Yang seorang terhuyung mundur dan yang lain nyaris kehilangan pedangnya. Lalu merintih kesakitan, karena tiba-tiba ia melontakkan darah segar.
Inilah untuk yang pertama kalinya, penghadang Wigagu ber- empat ada yang mengeluarkan suaranya. Yang mengherankan, suara erang dan suara kaget mereka adalah suara wanita.
Siapakah mereka ini? Wigagu menyiratkan pandangnya.
Kini memperhatikan perawakan tubuh mereka. Ternyata rata-rata tinggi semampai dan berkesan luwes. Sebaliknya, menyaksikan kepandaian Wigagu, pimimpinnya segera memberi aba-aba agar mundur. Dengan sekali gerakan, mereka berbareng memutar tubuhnya. Lalu melarikan diri dengan gerakan lemah gemulai.
- Maaf! Mohon maaf! Kami tidak sengaja melukai anak laskar Kapatihan. -
- Hm. - Terdengar pemimpinnya mendengus. Lalu tertawa pe- lahan. Setelah itu menghilang di balik pepohonan ke jurusan ba- rat Anak-buahnya mengikuti arah larinya dengan tertib, sambil memapah seorang temannya yang sebentar tadi melontakkan da- rah.
Sukesi tertawa pelahan. Serunya :
- Laskar kepatihan berada di lereng Gunung Lawu? -
- Hm. - Wigagu mendengus. - Mari kita mengikuti arah larinya.
- Setelah itu berkata setengah membujuk kepada Pitrang : - Kau mau kita dukung, bukan? -
- Ya, supaya cepat sampai ke rumah. - Sukesi membantu.
- Kalau tidak, nanti kita ketemu penyamun lagi. - ujar Puruhita. Pitrang berbimbang-bimbang sejenak. Akhirnya ia menganguk. Terus saja Puruhita menyambarnya dan dibawanya berjalan cepat mengikuti Wigagu dan Sukesi yang mendahului. - Wigagu! Apakah mereka laskar kepatihan? - Sukesi minta ke- terangan.
- Bukan. - jawab Wigagu.
- Bukan? - Sukesi menegas dengan heran. Dengan setengah menyenak nafas, Wigagu berkata :
- Masih ingatkah engkau gerakan pedang mereka? Itulah jurus mula-mula ajaran guru sebagai peringatan sewaktu guru dulu masih menjadi salah seorang pengawal andalah raja. -
- Ah ! Maksudmu jurus Kasunanan? -
-Ya. -
- Kalau begitu mereka berada di bawah pimpinan siapa? Apakah termasuk laskar pengawal Sri Baginda? -
- Jelas tidak. Mungkin sekali laskar Ratu Paku Buwana. -
- Apakah alasanmu? -
- Menurut kabar, Raiu Paku Buwana termasuk salah seorang yang dicurigai melawan kebijaksanaannya, meskipun permaisuri sendiri. - ujar Wigagu.
Sukesi terdiam. Setelah berpikir sejenak, ia berkata :
- Kalau begitu rasa curiga Sri Baginda tidak terlalu salah. Bukti- nya sekarang ini. Laskar itu mewujudkan kekuatan nyata. Apakah Ratu Paku Buwana benar-benar hendak melawan Sri Baginda dengan kekuatan yang nyata ? -
- Dalam hal ini, tak dapat aku menjawab.- sahut Wigagu.- Tetapi mengingat mereka mengenakan topeng, seyogyanya kita raha- siakan pertemuan kita sebentar tadi. Merekapun nampaknya tidak benar-benar bermaksud buruk terhadap kita. -
Sukesi setuju dengan sikap yang diambil Wigagu. Namun sebagai seorang wanita, naluri perasaannya lebih halus daripada pria. la merasakan sesuatu yangganjil dan menggelisahkan.
Hanya apa itu, ia sendiri tidak dapat menjawab.
Lewat tengah hari mereka tiba di desa Jagaraga tempat mereka menitipkan kuda. Begitu melihat kuda, Pitrang berseru-seru girang:
- Kuda ! Kuda ! -
Semenjak LinaK kanak Pitrang sering diajak ayahnya menunggang kuda. Tidak mengherankan perasaannya dekat dengan binatang itu. Sekarang ia mengenal ketiga ekor tunggangan Wigagu, Sukesi dan Puruhita. Tidak mengherankan, ia merasa seperti ber-temu dengan sahabat lama yang sudah cukup lama berpisah.
- Kesi! Puruhita! Mereka sudah mengenal kita. Sebaliknya kita belum mengenal mereka dengan jelas. Kurasa menumpang perahu atau menunggang kuda tiada bedanya. Kita harus berhati- hati dan berwaspada. Yang penting, kita sekarang harus secepat- cepat-nya sampai di rumah. - Kata Wigagu. - Entah apa sebabnya, aku merasa seperti menghadapi gelombang bahaya. meskipun demikian, kalau tidak terpaksa janganlah kita menurunkan tangan berat . -
- Benar. - sahut Sukesi. - Tujuan mereka tadi sudah jelas. Yalah mengincar Pitrang. Dalam hal ini, biarlah aku dulu yang maju. Ka- lau kalah, barulah engkau. -
- Jangan tergesa-gesa! - tungkas Puruhita. - Ayunda tetap menjaga Pitrang. Biar aku yang membuka jalan. -
Setelah berkata demikian, Puruhita melompat ke atas kudanya dan melaju ke depan. Pitrangpun segera naik ke atas punggung di-sertai Sukesi. Agar Pitrang dapat menikmati penglihatan, Sukesi melarikan kudanya dengan santai. Wigagu mendampingi agak di belakang untuk menjaga segala kemungkinan.
Pertapaan Sondong Landeyan bernama Wukir Bayi. Berada di atas bukit pinggang Gunung Lawu yang diapit tebing gunung yang menjulang tinggi. Pertapaan Wukir Bayi berhawa sejuk segar. Mungkin selain berada di atas ketinggian, sekitarnya dilindungi pohon lebat Akan tetapi terdapat pula beberapa hektar sawah dan ladang yang menjadi sumber pencaharian penduduk dan warga pertapa Sondong Landeyan.
Sebenarnya letaknya tidak begitu jauh dari Jagaraga Seumpa-ma memiliki jalan rata bisa tiba dalam waktu satu hari saja. Tetapi oleh keadaan alam yang masih buas, orang membutuhkan dua hari perjalanan. Karena itu, Wigagu bertiga dengan Pitrang terpaksa menginap di sebuah rumah persinggahan.
Malam itu mereka bisa tidur dengan nyenyak Waktu fajarhari mereka meneruskan perjalanan. Sekarang mereka sudah berada di wilayah Wukir Bayi. Tiba-tiba mereka berpapasan dengan belasan orang yang mengenakan pakaian seragam Laskar Kerajaan. Salah seorang berteriak kepada mereka :
- Balik ! Balik ! Di depan ada perampok yang sedang menga- niaya penduduk ! -
- Berapa orang? - tanya Puruhita.
- Belasan orang. - jawab perajurit itu sambil terus mengaburkan kudanya yang segera diikuti teman-temannya.
Wigagu tercengang. Pikirnya: - Selama aku berada di atas gu- nung ini, belum pernah mendengar kabar tentang perampok yang merusak penduduk. - Setelah berpikir demikian ia berkata kepada kedua saudara-seperguruannya:
- Aneh ! Benar-benar aneh ! Taruhkata memang ada perampok, tetapi mengapa mereka justru melarikan diri? Bukankah mereka perajurit-perajurit Kerajaan yang berkewajiban melindungi rakyat?