Tujuh Pembunuh Bab 1 Pertemuan orang aneh.

Bab 1 Pertemuan orang aneh.

Tangan Tu Jit diletakkan di atas meja, tangan itu ditutup dengan sebuah topi caping yang sangat lebar. Tangan itu tangan sebelah kiri.

Tak seorang pun tahu mengapa dia menutupi tangan sendiri dengan sebuah caping lebar. Tentu saja Tu Jit bukan bertangan satu, tangan yang sebelah kanannya menggenggam sepotong bakpao yang sudah mengeras, perasaan hatinya juga sekeras bakpao itu, bukan hanya kering, bahkan dingin, keras dan liat.

Padahal dia berada di sebuah rumah makan, rumah makan Thian Hiang-lo.

Diatas meja terdapat aneka macam sayur dan hidangan, juga tersedia arak.

Tapi dia sama sekali tidak menyentuhnya, jangan lagi makan, setetes air teh pun tidak diteguknya, dia hanya mengunyah bakpao keras yang dibawanya, pelan-pelan menikmatinya.

Tu Jit memang seorang lelaki yang teliti dan sangat berhati-hati, dia enggan orang lain menemukan dirinya sudah mati keracunan dalam rumah makan itu.

Senja sesaat menjelang senja.

Suasana di jalan raya sangat ramai, banyak orang berlalu lalang, tiba tiba terlihat ada seekor kuda berlarian mendekat dengan kecepatan tinggi, begitu cepat larinya hingga menumbuk tiga orang, dua orang penjaja kaki lima dan seorang pendorong kereta gerobak.

Si penunggang kuda itu mempunyai gerakan tubuh yang lincah dan cekatan, sebilah golok panjang tersoren dipinggangnya, setelah melirik sekejap papan nama Thian- Hiang-lo, tiba tiba dia melejit dari atas pelana kuda, berjumpalitan beberapa kali di udara dan secepat anak panah yang terlepas dari busurnya meluncur masuk ke dalam ruang rumah makan.

Segera terjadi kegaduhan di dalam rumah makan, tapi Tu Jit tetap sama sekali tidak bergerak. Lelaki kekar yang menggembol golok itu mencabut keluar senjatanya, diantara kilatan cahaya yang menyilaukan mata, tiba tiba dia menebas tangan kiri sendiri.

Dua biji jari tangan yang penuh berpelepotan darah segera rontok ke atas meja., jari manis dan jari kelingking.

Butiran keringat sebesar kacang kedela jatuh bercucuran membasahi wajah lelaki bergolok itu, katanya dengan suara parau:

"Apakah sudah cukup?"

Tu Jit tidak bergerak, buka suara pun tidak.

Lelaki bergolok itu menggigit bibirnya kencang kencang, sekali iagi dia mengayunkan goloknya.

Tangan kirinya segera terpapas kutung dan tergeletak di meja, ternyata dalam tebasan goloknya kali ini,dia telah mengutungi lengan kiri sendiri.

"Sudah cukup belum?" kembali tanyanya.

Akhirnya Tu Jit berpaling juga, dia melirik kepada lelaki itu sekejap lalu manggut manggut. "Pergi!" serunya.

Paras muka lelaki bergolok itu berkerut kencang lantaran menahan rasa sakit yang bukan kepalang, setelah menghembuskan napas panjang, bisiknya:

"Terima kasih!"

Tanpa membuang waktu lagi, dengan langkah sempoyongan dia menerjang keluar dari rumah makan itu.

Ditinjau dari gerakan tubuh yang dimiliki lelaki kekar itu, semestinya dia berilmu tinggi, gerak geriknya lincah dan cekatan, tapi. sehabis melirik ke arah topi lebar yang

menutupi tangan kiri Tu Jit mengapa dia rela mengutungi lengan sendiri? Bahkan dia seperti merasa berterima kasih sekali kepada lelaki itu? Rahasia apa yang terdapat dibalik topi lebar itu? Tak seorang pun yang tahu.

Senja kini senja benar-benar telah menjelang.

Kembali tampak dua orang berlarian masuk ke dalam rumah makan dengan langkah tergesa gesa, dua orang itu mengenakan baju mewah yang amat perlente, tampangnya gagah dan penuh tenaga.

Melihat kehadiran dua orang itu, semua yang hadir dalam rumah makan serentak bangkit berdiri, mereka segera membungkuk kan badan memberi hormat, rasa hormat dan kagum terbesit di wajah setiap orang.

Dalam radius delapan li dari situ, tidak banyak orang yang tidak mengenal "Kim-pian Gin-to" (ruyung emas golok perak) Toan-Si siang-eng (dua jagoan dari keluarga Toan), terlebih yang berani tidak menaruh hormat terhadap mereka, mungkin sepuluh jari pun tak ada.

Dua bersaudara Toan sama sekali tak perduli dengan sapaan orang orang itu, mereka pun tidak menyapa Tu Jit, begitu tiba di depan meja, mereka singkap sedikit ujung topi yang menutupi tangan kiri itu, tapi setelah melihat isinya, tiba tiba paras muka mereka berubah jadi pucat pasi.

Dua orang Toan bersaudara itu saling bertukar pandangan sekejap, kemudian terdengar Toan Ing berbisik:

"Tidak salah!"

Sementara Toan Kiat dengan tangan lurus ke bawah dan badannya mengbungkuk hormat katanya pelan: "Selamat datang ruan, apakah ada perintah?"

Tu Jit tak bergerak, apalagi buka mulut.

Karena dia tak bergerak, Toan Ing dan Toan Kiat juga tak berani berkutik, mereka hanya berdiri mematung dihadapannya. Kembali ada dua orang muncul di dalam rumah makan, mereka adalah "Siang-Bun-Kiam" (pedang pembawa kematian) Pui Gwan dan "Thiat-Jiu-Bu-Tek" (kepalan baja tanpa tandingan) Tiat Tiong-tat, seperti halnya dua bersaudara dari keluarga Toan, setelah menyingkap topi dan melirik isinya, mereka segera berdiri hormat sambil bertanya:

"Apakah ada perintah?"

Karena tak ada perintah, maka terpaksa mereka pun berdiri menanti, selama dia tidak memberi perintah, tak seorang pun di antara mereka berani berkutik.

Padahal mereka semua adalah jago jago dunia persilatan yang berilmu tinggi dan bernama besar, tapi. mengapa

mereka nampak begitu ketakutan setelah melirik ke balik topi itu? Kenapa sikap mereka berubah begitu hormat dan merendah?

Mungkinkah dibalik topi itu tersembunyi suatu kekuatan iblis yang sangat menakutkan?

Senja saat senja sudah lewat.

Lentera mulai disulut dalam ruangan rumah makan, suasana di tempat itu mulai terang benderang.

Cahaya lentera memancar ke empat penjuru menyinari wajah orang orang itu, wajah tiap orang basah oleh butiran keringat, keringat dingin.

Tu Jit masih belum memberikan perintahnya kepada mereka untuk melakukan sesuatu, semestinya mereka masih rileks dan santai.

Namun paras muka orang orang itu kelihatan amat tegang, amat serius, seakan akan setiap saat akan menghadapi mara bahaya yang bisa mencabut nyawa mereka.

Malam hari pun menjelang tiba, kilatan cahaya bintang mulai bertaburan di angkasa. Dari balik kegelapan malam yang mulai mencekam halaman rumarl makan, mendadak bergema suara seruling bambu yang sangat aneh, suara] itu tinggi melengking, tajam dan menyeramkan, seperti ada setan iblis yang] sedang menangis, sedang menjerit kesakitan.............

Paras muka Pui Gwan berubah makin pucat, mimik mukanya mulai menyusut, mulai berkerut lantaran takut, ngeri dan seram.

Tu Jit sama sekali tidak bergerak.

Karena dia tak bergeming, orang lain pun tak berani berkutik, jangan lagi kabur dari situ, menggerakkan badan pun mereka tak berani.

"Blaaammmm!" diiringi suara dentuman keras, tiba tiba atap bangunan rumah itu roboh berantakan, muncul empat buah lubang yang besar sekali di tempat itu.

Empat sosok bayangan manusia melayang turun dengan kecepatan luar biasa, empat lelaki tinggi besar yang bertubuh kekar dengan tinggi badani delapan depa, orang orang itu bertelanjang dada, celana yang mereka! kenakan berwarna merah darah dengan sebuah ikat pinggang berwarna kuning emas melilit di pinggangnya, pada ikat pinggang itu tersoren tiga belas batang golok lengkung yang aneh bentuknya, gagang golok berwarna kuning emas dan memancarkan cahaya yang menyilaukan.

Jangan dilihat ke empat orang itu berperawakan tinggi besar dan berati ternyata gerak tubuh mereka sangat enteng, ketika melayang turun ke lantai ruangan, tubuh mereka nampak begitu ringan seperti kapas yang jatuh ke tanah.

Begitu mencapai permukaan tanah, empat lelaki kekar itu segera menyebarkan diri dan berjaga di empat penjuru sudut ruangan. Paras muka mereka nampak sangat tegang, pancaran sinar mata ngeri dan seram yang tak terlukis dengan kata memancar keluar dari balik matanya.

Sementara perhatian semua orang sedang tertuju ke tubuh empat lelaki kekar itu, tiba tiba di dalam ruang rumah makan telah bertambah lagi dengan seseorang.

Orang ini mengenakan topi bermahkota emas di kepalanya, jubah emas yang dikenakan sangat indah dan mewah, sebuah ikat pinggang emas melilit di pinggangnya, pada pinggang itu tersoren pula sebilah golok lengkung yang terbuat dari emas, wajahnya putih bersih bagai susu, bulatl seperti bulan purnama.

Berbicara soal kehebatan ilmu silat, baik dua bersaudara Toan maupun Pui Gwan, mereka terhitung jago jago yang berilmu tinggi dengan ketajaman mata yang mengagumkan, tapi anehnya, ternyata lak seorang pun diantara mereka yang tahu, darimana orang itu munculkan iliii, melayang turun dari atap ruangan? Atau menerobos masuk melalui d:iwi ji-ndela?

Namun, paling tidak ada satu hal yang mereka ketahui, mereka mengenal siapakah jagoan ini.

Dia adalah seorang konglomerat nomor wahid dari Lam- hay, Kim-Koan-Ong (raja ermahkota emas) dari bukit Hong- Kim-San (bukit emas) Ong-sun Bu-ki.

Kendatipun orang tak mengenal dia, cukup melihat dandanan serta tingkah lakunya, mereka pasti bisa menduga siapa gerangan orang tersebut.

Tu Jit tak bergeming, jangan lagi bergerak, berpaling untuk memandang sekejap pun tidak.

Ong-sun Bu-ki berjalan mendekat, membungkukkan badan dan mengintip sekejap ke ujung topi rumput itu, lalu sambil menghembuskan napas panjang, katanya:"Aaah, tidak salah lagi, ternyata memang kaui" Raut mukanya yang semula tegang dan kaku seketika mengendor, sekulum senyuman lega tersungging dibibirnya, tiba tiba dia melepaskan ikat pinggang emasnya lalu membuka sebuah, kancing diujung ikat pinggang tersebut, delapan belas butir mutiara yang bersinar lembut seketika menggelinding keluar dari balik ikat pinggang itu.

Ong-sun Bu-ki kumpulkan ke delapan belas butir mutiara itu ke atas meja, kemudian sambil membungkukkan badan dia memberi hormat, katanya dengan tersenyum:

"Apakah ini cukup?"

Tu Jit tidak bergerak, juga tak bersuara.

Sementara itu suara seruling bambu yang bergema dari balik kegelapan makin lama semakin bertambah cepat nadanya, bahkan makin lama semakin mendekat.

Senyuman yang tersungging diujung bibir Ong-sun Bu-ki kelihatan semakin dipaksakan, dia lepaskan topi mahkota emas yang dikenakan di kepalanya, diatas topi emas itu bertaburkan delapan belas batang batu kemala hijau yang amat bening.

"Apakah ini sudah cukup?" kembali tanyanya sambil meletakkan mahkota emas itu ke atas meja.

Tu Jit tidak bergerak, juga tak bersuara.

Sekali lagi Ong-sun Bu-ki lepaskan golok emas yang tersoren dipinggangnya, cahaya golok itu amat tajam dan menyilaukan mata. "Apakah sudah cukup?" kembali ia bertanya. Tu Jit masih tak bergeming.

"Apa lagi yang kau minta?" tak tahan Ong-sun Bu-ki bertanya dengan kening berkerut.

"Ibu jari tangan kananmu!" tiba tiba Tu Jit buka suara. Jika ibu jari tangan kanannya kutung, maka tangan itu tak bisa dipaka lagi untuk menggenggam golok, jangan lagi main golok, menggunakai pisau terbang pun jangan harap.

Berubah hebat paras muka Ong-sun Bu-ki.

Sementara itu suara seruling bambu kedengaran makin cepat nadanys juga semakin mendekat, ketika bergema dalam telinga, suaranya amat tajar dan menyakitkan, bagaikan ada beribu ribu batang jarum sedang menusu gendang telinga kita.

Ong-sun Bu-ki menggigit bibirnya kuat kuat, dia angkat tang;ir kanannya dan menjulurkan ibu jarinya, kemudian teriaknya keras:

"Ambilkan golok!"

Lelaki kekar bertelanjang dada yang berdiri disudut ruangan seketik; mencabut keluar goloknya, diantara kilatan cahaya emas yang menyilaukar mata, sebilah golok lengkung telah meluncur ke depan dan beipusing sati kali diatas lengan tangan Ong-sun Bu-ki.

Sebuah ibu jari yang berlumuran darah segera rontok ke atas meja.

Golok lengkung itu berputar satu lingkaran di udara, kemudian dengar kecepatan tinggi meluncur balik ke tempat semula.

Paras muka Ong-sun Bu-ki berubah hijau membesi, sambil menahan rasa sakit yang luar biasa, tanyanya:"Apakah sudah cukup?"

"Apa yang kau inginkan? Tanya Tu Jit tiba tiba sambil angkat muka dan meliriknya sekejap.

"Membunuh seseorang!" "Siapa yang ingin kau bunuh?" "Kui-ong (raja setan)!" "Yang To?"

"Benar!"

Mendengar nama orang itu, Pui Gwan, Tiat Tiong-tat maupun dua bersaudara Toan segera merasakan hatinya bergidik, tanpa sadar paras muka mereka ikut berubah memucat.

"Kui-ong" si raja setan Yang To memang sebuah nama yang mengerikan, nama yang bisa membuat hati bergidik dan sukma serasa melayang meninggalkan raganya.

Dalam pada itu, suara seruling bambu yang bergema memecahkan keheningan telah berubah menjadi rendah, berat, seperti suara seorang janda yang sedang meratap, sedang menangis sedih karena ditinggal mati keluarganya, suara itu mendatangkan perasaan gundah dan pedih bagi siapapun yang mendengarkan.

"Padamkan semua lentera!" mendadak Ong-Sun Bu-Ki menghardik.

Empat orang lelaki kekar bertelanjang dada itu serentak turun tangan, diantara kilatan cahaya emas dan deruan angin tajam y;ing membelah angkasa, serentak semua lentera yang ada dalam ruangan itu menjadi padam.

Suasana dalam ruangan seketika berubah menjadi gelap gulita.

Di tengah suasana kegelapan yang mencekam, mendadak tampak puluhan buah lentera kembali bercahaya dari luar ruangan, bukan saja cahaya lentera itu muncul dari halaman luar, dari wuwungan rumah pun cahaya lencera muncul bersamaan waktunya. Cahaya lentera berwarna hijau yang bergoyang terhembus angin, persis seperti api api setan yang sedang gentayangan di tengah udara.

"Raja setan telah datang!" pekik Ong-sun Bu-ki dengan perasaan takut.

Ditengah hembusan angin malam yang terasa dingin dan cahaya lentera berwarna hijau yang menyoroti wajah setiap orang yang hadir disitu, terlihat semua jago yang hadir dalam ruangan telah dibuat ketakutan setengah mati, wajah mereka mengejang kencang lantaran rasa takut dan ngeri yang diluar batas, mereka seakan-akan sedang menyaksikan datangnya serombongan setan iblis dari dalam neraka.

Di tengah bergemanya suara seruling bambu yang tajam memilukan hati, terdengar seseorang tertawa dingin dengan suara yang menyeramkan:

"Benar        aku telah datang!"

Berbareng dengan berhembusnya angin dingin, sesosok bayangan manusia telah muncul di dalam ruangan rumah makan.

Orang itu tinggi kurus bagai sebatang bambu, rambutnya yang panjang dibiarkan terurai di pundak, wajahnya kuning pucat seperti mayai hidup, jubah yang dikenakan berwarna putih, kasar seperti karung goni.

Begitu kurus dan ringannya rubuh orang itu, seakan akan dia memang terdorong masuk ke dalam ruangan karena hembusan angin, begitu melayang turun ke lantai, badannya bergoyang tiada hentinya bagaikan sebatang bambu yang dimainkan angin.

Dengan sorot mata yang hijau menyeramkan, dia awasi wajah Ong-sun Bu-ki tanpa berkedip, kemudian katanya diiringi suara tertawa yaii}-menyeramkan:"Sudah kukatakan, kau pasti akan mampus!" "Hmm, justru kau sendiri yang bakal mampus!" balas Ong- sun Bu-ki sambil tertawa dingin

"Aku?" jengek Yang To.

"Tidak seharusnya kau datang kemari, kini, setelah muncul disini, maka saat ajalmu akan segera tiba!"

"Kau sanggup membunuhku?" kembali Yang To mengejek. "Aku memang tak mampu" Ong-sun Bu-ki menggeleng. "Lalu siapa yang mampu?"

"Dia!"

Tu Jit masih belum bergeming, bukan saja tak bergerak, paras mukanya juga tidak menunjukkan perubahan apapun.

Dengan sorot mata yang hijau menyeramkan, si raja setan Yang T berpaling ke arah pemuda itu, setelah lama menatapnya, dia menegur:

"Kau mampu membunuhku?" "'Benar!" jawaban itu teramat singkat. Raja setan Yang To tertawa tergelak.

"Hahaha.... mau membunuh dengan apa? Dengan topi capi bobrokmu itu?” ejeknya sinis.

Tu Jit tidak berbicara lagi, dia menggerakkan tangannya, tangi kanan, pelan-pelan mengangkat topi caping yang tergeletak di meja.

Benda apa yang berada di bawah topi lebar itu?

Di bawah topi tak ada apa apa, hanya ada sebuah tangan. Tangan sebelah kiri.

Tangan yang mempunyai tujuh buah jari tangan. Tangan itu kasar sekali bentuknya, selain kasar juga amat besar seperti batu karang di pantai samudra yang sudah beribu tahun terhempas ombak samudra.

Bagai tersengat listrik bertegangan tinggi, si raja setan Yang To meloncat mundur jauh ke belakang, tiba tiba paras mukanya memuca seperti bertemu dengan setan saja ia menjerit tertahan:

"Tujuh Pembunuh!"

Tu Jit tidak bergeming, juga tak bersuara.

"Aku kemari bukan mencarimu, lebih baik jangan kau campuri urusai ini" seru Yang To kemudian.

"Sayang aku telah mencampurinya!" "Kau mau apa?"

"Pergilah dari sini!"

"Baik!" seru si raja setan Yang To kemudian sambil menghentakkan kakinya ke tanah, "selama ada kau, aku akan segera menyingkir"

"Tinggalkan dulu batok kepalamu sebelum pergi!" tiba tiba Tu Ji menambahkan.

Berkerut alis mata Yang to, tiba tiba ia tertawa dingin. "Batok kepalaku berada disini, mengapa tidak kau ambil

sendiri?"

"Mengapa bukan kau yang menghantar kemari?" balas Tu

Jit.

Raja setan Yang To tertawa nyaring, suara tertawanya

keras da; sangat menyeramkan.

Ditengah bergemanya suara tertawa, mendadak dia melejit ke udara bagaikan sukma gentayangan yang melayang di angkasa, dia menerjang Tu Jit sembari melancarkan sebuah serangan maut.

Belum lagi tubuhnya tiba dihadapan lawan, dua belas titik cahaya tajam berwarna hijau telah meluncur ke muka dan mengurung seluruh tubuh lawannya,

Tu Jit tak banyak bereaksi, dia hanya menggerakkan tangan kanannya yang menggenggam topi lebar itu kemudian meraupnya ke muka, tahu tahu cahaya hijau yang mengancam tiba dari seluruh penjuru itu sudah lenyap tak berbekas.

Pada saat yang bersamaan, Yang To sudah tiba dihadapannya, kali ini ditangannya telah bertambah dengan sebilah pedang berwarna hijau, pedang itu langsung ditusukkan ke tenggerokkan Tu Jit.

Tusukan pedang itu dipancarkan selagi dia masih di udara, bukan saja yang terlihat hanya kilatan cahaya hijau, siapa pun tak bisa menduga dari arah manakah tusukan itu akan menyambar tiba.

Tu Jit tidak berkelit, dia hanya menggerakkan tangannya melancarkan sebuah cengkeraman.

Diantara kilatan cahaya hijau yang membelah bumi, tampak sebuah tangan dengan tujuh jari tangannya yang besar, panjang dan berwarna putih telah mencengkeram ke udara dan membetotnya ke belakang.

Biarpun bayangan pedang berputar tiada putusnya, cengkeraman tangan aneh itu pun tiada hentinya melakukan perubahan, setelah mencengkeram sebanyak tujuh kali, mendadak terdengar suara dentingan nyaring bergema di udara, "Criiing!" tiba tiba cahaya pedang hilang lenyap dari pandangan, tahu tahu pedang yang berada dalam genggaman Yang To telah tinggal separuh. Kembali cahaya pedang berkelebat lewat, kali ini cahaya itu muncul dari tangan Tu Jit.

Kurungan pedang yang berada di tangah Tu Jit telah melesat ke udara, tidak terlihat bagaimana gerakannya, tahu tahu kurungan pedang itu sudah menancap tepat pada tenggorokan Yang To.

Tak ada yang bisa membayangkan kecepatan gerak kurungan pedang itu, juga tak seorangpun sempat melihat bentuk tangannya yang aneh itu dengan jelas.

Semua orang hanya mendengar jerit kesakitan yang menyayatkan hati, menyusul kemudian tubuh Yang To roboh bersimbah darah. Tak ada suara, juga tak bersinar.

Cahaya lentera di luar halaman rumah makan kini telah hilang tak berbekas, suasana disekeliling tempat itu kembali tercekam dalam kegelapan yang pekat.

Keheningan yang luar biasa bagai keheningan dalam kemaiian, kegelapan yang pekat bagai kegelapan dalam alam maut.

Jangan lagi suara orang berbicara, dengus napas manusia pun seolal olah sudah lenyap tak berbekas.

Entah berapa lama sudah berlalu dalam keheningan, akhirnya terdengar Ong-sun Bu-ki berkata:"Terima kasih banyak!"

"Kau boleh pergi" kata Tu Jit, " jangan lupa bawa serta mayat Yang To!"

"Baik!"

Disusul kemudian terdengar suara langkah kaki manusia yang terbun buru meninggalkan ruangan.

Kembali Tu Jit berkata:"Kalian berempat juga boleh pergi, tingga!kan senjata kalian sebelum pergi dari sini" "Baik!" serentak empat orang itu menyahut dan meloloskan senjatanya dan meletakkan ke atas meja. Sebuah ruyung, sebilah golok ditambal sebilah pedang!

"Ingat!" kembali Tu Jit berkata, "bila lain kali berani menghadapku sambil membawa senjata, kalian bakal mampus!"

Tak ada yang berani bersuara lagi, dengan mulut membungkam ke empat orang itu segera ngeloyor pergi dari situ.

Dalam kegelapan malam kembali suasana dicekam dalam keheningan entah berapa lama sudah lewat, tiba tiba

terlintas setitik cahaya api menerangi ruangan.

Cahaya api itu berasal dari tangan seseorang, orang ini sudah sedai tadi duduk di sudut ruangan sambil minum arak seorang diri, ketika tamu yang lain sudah pada pergi, dia masih tetap menanti ditempat itu.

Dandanan orang ini sangat sederhana, dia adalah seorang lelaki setengah umur yang kelihatan sangat ramah, senyuman berseri selalu menghiasi wajahnya, waktu itu, dia sedang mengawasi Tu Jit sambi tersenyum.

”Tujuh pembunuh, sebuah nama besar yang amat mengagumkan!” pujinya.

Tu Jit tidak menggubris, juga tidak berpaling, dengan menggunakan sebuah karung goni dia masukkan semua senjata dan mestika yang ada di atas meja, kemudian pelan pelan bangkit berdiri dan berjalan keluar dari ruangan.

"Tunggu sebentar" seru lelaki setengah umur itu tiba tiba. "Siapa kau?" akhirnya Tu Jit berpaling juga.

"Cayhe bernama Go Put-ko"

"Hmm, kau juga ingin mampus?" seru Tu Jit sambil tertawa dingin. "Bukan, aku hanya menjalankan tugas untuk menyampaikan sebuah pesan "

"Pesan apa?"

"Ada seseorang ingin berjumpa dengan Jit-ya, beliau berharap Jit-ya mau berkunjung ke sana"

"Hmmm! Siapa pun ingin berjumpa denganku, dia harus datang sendiri" tukas Tu Jit ketus.

"Tapi orang ini "

"Orang inipun harus datang sendiri, beritahu kepadanya, lebih baik datanglah dengan merangkak, kalau tidak, dia harus pulang dengan merangkak"

Tanpa banyak bicara lagi dia turun dari tangga dan siap keluar dari ruangan.

Go Put-ko masih tersenyum. jawabnya:"Cayhe pasti akan sampaikan perkataan dari Jit-ya ini kepada Liong Ngo kongcu"

Tiba tiba Tu Jit berhenti, sekali lagi dia menoleh, diatas wajahnya yang kaku bagai batu karang kini mulai melintas sedikit perubahan.

"Liong Ngo? Kau maksudkan Liong Ngo dari Sam-siang?" tanyanya.

"Selain dia ada siapa lagi?" sahut Go Put-ko sambil tersenyum.

"Ada dimana dia sekarang?"

"Bulan tujuh tanggal lima belas, dia akan menanti di rumah makan Thian-Hiang-lo kota Hang-ciu!"

Kembali perubahan aneh terlintas diwajah Tu Jit, tiba tiba katanya: "Baik, aku akan datang!"

0-0-0 Tangan Kongsun Biau sama sekali tidak diletakkan di atas meja. Tangannya sangat jarang dikeluarkan dari balik baju, dia seperti tak ingin orang lain melihat tangannya. Apalagi tangan kanan nya.

Nada suara Kongsun Biau ketika berbicara selalu lirih dan kecil, wajahnya amat bersahaja. Pakaian yang dikenakan juga sederhana dan terbuat dari bahan murahan.

Sebab dia memang tak ingin menarik perhatian orang lain.

Tapi sekarang, dihadapannya justru duduk seseorang yang amat menarik perhatian orang banyak, orang itu memakai baju yang terbuat dari bahan paling mahal dan paling mewah, dijahit oleh tukang jahit kenamaan, jari tangannya dihiasi dengan sebuah cincin kemala yang nilainya paling tidak mencapai seribu tahil perak, topinya juga dihiasi dengan sebuah mutiara yang lebih besar dari buah kelengkeng.

Selain itu, perawakan tubuh yang dimiliki orang itupun cukup menarik perhatian orang banyak, dia kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang, bentuk kepalanya istimewa kecilnya tapi justru memiliki sebuah hidung berbentuk paruh betet yang besar sekali, tak heran kalau rekan rekannya menyebut dia sebagai Oh si hidung gede, sebaliknya orang yang bukan termasuk rekannya akan memanggil dia sebagai si anjing gelandangan berhidung gede.

Ketajaman penciuman hidung besarnya memang setara dengan ketajaman penciuman anjing, dia selalu dapat mengendus bau yang tak mungkin bisa terendus hidung biasa.

Kali ini dia berhasil mengendus bau sebutir batu zamrud yang sangat langka dan tak ternilai harganya.

Suara bisikannya saat ini sangat lirih, bibirnya nyaris menempel diatas telinga Kongsun Biau, bisiknya:

"Sebelum kau saksikan sendiri batu zamrud itu, kau tak akan bisa bayangkan betapa antik dan bernilainya benda itu” "Aku tak pernah akan membayangkan benda semacam itu" jawab Kongsun Biau sambil menarik muka.

"Aku tak pernah membaca buku" kembali Oh si hidung gede berkata, "seandainya aku pingin membaca, aku lebih suka memasang lentera, lentera minyak maupun lilin tak mahal harganya"

Kemudian dengan wajah masam dan sedih terusnya: "Tapi. mau tak mau aku harus mendapatkan benda itu,

kalau tidak, aku bakal mampus!"

"Itu mah urusanmu,apa pun yang kau inginkan, setiap saat kau bisa mengambilnya" kata Kongsun Biau.

Oh si hidung gede tertawa getir:

"Kau toh tahu dengan jelas bahwa mustahil bagiku untuk mengambilnya sendiri, tempat untuk menyimpan mestika itu dilapisi lempeng baja disekeliling ruangannya, hanya kau seorang yang bisa masuk ke situ, apalagi kunci gembok pada lemari baja itu juga hanya kau seorang yang bisa membukanya, selain kau, apa ada orang ke dua di dunia ini yang sanggup mencuri benda mestika itu"

"Memang tak ada!"

"Bukankah kita berdua sudah bersahabat hampir dua puluh tahun lamanya?"

"Benar"

"Apa kau rela menyaksikan aku mampus dibunuh orang?" "Tidak rela!"

"Kalau begitu kau harus membantu aku untuk mencuri benda itu" Kongsun Biau termenung, sampai lama kemudian ia baru mengeluarkan tangan kanannya dari balik baju, kemudian katanya: "Sudah kau lihat bentuk tanganku ini?" Tangan itu hanya memiliki dua buah jari tangan, jari tengah, jari manis dan kelingking nya sudah ditebas orang sampai kutung.

"Tahukah kau mengapa kelingking ku bisa kutung?" tanya Kongsun Biau kemudian.

Oh si hidung gede menggeleng.

"Tiga tahun berselang" lanjut Kongsun Biau, "aku memotong jari kelingkingku di hadapan orang tua dan istriku, aku bersumpah tak akan mencuri lagi sejak hari itu"

Oh si hidung gede tidak menimpali, ia mendengarkan dengan serius.

Setelah menghela napas panjang, kembali Kongsun Biau berkata:

"Tapi, suatu hari aku teiah melihat ada delapan ekor kuda yang terbuat dari batu kemala putih, tanganku mulai gatal lagi, malam itu juga kucuri ke delapan ekor kuda kemala itu"

"Yaa, aku pernah melihat ke delapan ekor kuda kemala itu" Oh si hidung gede manggut manggut,

"Orang tuaku dan biniku melihat juga, mereka tidak mengatakan apa apa, keesokan harinya kulihat mereka telah membenahi seluruh barang miliknya dan siap pindah dari rumah, tampaknya mereka sudah tak ingin perdulikan aku lagi"

"Demi menahan mereka agar tidak pindah, maka kembali kau kutungi jari manismu?” Sela Oh si hidung gede.

Kongsun Biau manggut manggut.

"Waktu itu aku benar benar telah mengambil keputusan untuk tidak mencuri lagi, tapi. dua tahun kemudian, lagi

lagi penyakit lamaku kambuh, yang kucuri waktu itu adalah sebuah sayur putih yang terbuat dari zamrud, sejak melihat barang berharga itu, siang malam aku selalu membayangkan, sampai berhari hari lamanya tak tak bisa tidur nyenyak, akhirnya aku tak bisa mengendalikan diri lagi, diam diam kucuri barang itu"

Setelah berhenti sejenak dan tertawa getir, tambahnya: "Mencuri termasuk sejenis penyakit menular, jika seseorang

sudah mengidap penyakit macam ini, rasanya jauh lebih menakutkan daripada terserang penyakit lepra!"

Oh si hidung gede tidak bicara, dia hanya menuangkan arak ke dalam cawannya.

Dengan nada sedih kembali Kongsun Biau berkata: "Waktu itu, sebenarnya kondisi kesehatan ibuku sudah

amat jelek, ketika dia tahu kalau penyakit lamaku kambuh lagi, dia marah dan teramat sedih hingga akhirnya mati secara mengenaskan. Biniku sangat murka, tiba tiba dia gigit jari tengahku hingga kutung jadi dua, bercampur darah yang bercucuran, dia telan jari tanganku itu mentah mentah"

"Oleh sebab itu jari tangan yang kau miliki sekarang tinggal dua?" sambung Oh si hidung gede.

Kongsun Biau menghela napas panjang, kembali dia sembunyikan tangannya ke balik baju.

Oh si hidung gede segera berkata:"Biarpun tanganmu hanya memiliki dua buah jari, namun bila dibandingkan dengan tangan biasa yang berjari lengkap, kegesitan serta kelincahan gerak tanganmu sepuluh kali lebih hebat, apa kau tidak merasa sayang bila tidak digunakan lagi?"

"Kita sudah bersahabat hampir dua puluh tahun lamanya, apalagi kau pernah menolong aku. Kini kau telah menanggung hutang yang begitu banyak sehingga si pemilik uang minta kau membayar semua hutangmu dengan menggunakan barang mestika tersebut, sebab dia juga tahu, kau pasti akan datang mencariku, bila kau tidak berhasil melaksanakan keinginannya, maka dia akan mencabut nyawamu"

Setelah menghela napas panjang, katanya lagi:

"Semua yang kau alami telah kuketahui, tapi aku masih tak bisa membantumu untuk pergi mencuri"

"Jadi kali ini keputusanmu sudah bulat?" Kongsun Biau mengangguk.

"Selain mencuri, pekerjaan apa pun pasti akan kulakukan demi kau"

"Baiklah" kata Oh si hidung gede tiba tiba sambil bangkit berdiri, "mari kita segera berangkat"

"Ke mana?"

"Aku tak akan suruh kau mencuri, tak menjadi soal bukan kalau kita hanya berkunjung ke situ?"

Tembok pekarangan itu tingginya mencapai lima kaki dengan lebar lima depa, diatas tembok banyak tumbuh rerumputan liar.

Tidak banyak orang bisa melampaui tembok pekarangan itu secara mudah, namun hal ini sama sekali tidak menyulitkan Kongsun Biau.

"Kau betul bisa melampauinya? Tanya Oh si hidung gede. "Lebih tinggi dua kaki pun tak jadi soal" jawab Kongsun

Biau tawar.

"Ruang yang dipakai untuk menyimpan mestika itu disebut gudang baja, karena itu selain pintu masuk yang dijaga pengawal, sekeliling tempat ini tak ada penghuninya, karena orang lain memang jangan harap bisa tembus ke dalam ruangan"

"Tempat itu apa benar benar dikelilingi lempengan baja yang tebal?" tak tahan Kongsun Biau bertanya. Oh si hidung gede mengangguk.

"Walaupun pada dinding ruangan terdapat jendela angin, tapi lubang angin itu lebarnya Cuma satu depa dengan panjang sembilan inci, paling banter hanya bisa menyusupkan batok kepala kita"

"ohh, itu mah sudah lebih dari cukup" tukas Kongsun Biau sambil tertawa.

Ilmu Sut-Kut-hoat (ilmu menyusut tulang) yang dia miliki memang termasuk sebuah ilmu langka yang jarang terdapat dalam dunia persilatan.

"Setelah masuk, kau harus membuka sebuah lemari besi baru dapat mengambil mestika itu" Oh si hidung gede menerangkan, "kunci yang terpasang di lemari besi itu konon dibuat oleh Jit-Jiau tongcu, dan satu satunya anak kunci yang tersedia berada ditangan Lo thayya, tapi tak ada yang tahu dia sembunyikan kunci itu di mana"

"Kunci buatan Jit-jiau tongcu bukan berarti kunci yang tak bisa dibuka" kata Kongsun Biau tawar.

"Jadi kaii pernah membukanya?"

"Belum, tapi aku yakin tak ada kunci yang tak bisa di buka dalam dunia ini"

Oh si hidung gede memandangnya, tiba liba dia tertawa. "Kau tidak percaya?" tanya Kongsun Biau penasaran.

"Aku percaya" Oh si hidung gede tertawa, "bahkan sangat percaya, lebih baik kita segera berangkat"

Kemudian setelah menghela napas, lanjutnya:

"Aku kuatir, seandainya kau sampai emosi dan bersedia mencuri untukku, tapi kenyataannya kemudian kau gagal masuk ke rumah, gagal membuka kunci itu, kau pasti malu untuk keluar dengan tangan hampa, nah, bukankah aku bakal mencelakaimu?" Kongsun Biau tertawa dingin.

"Percuma kau panasi aku dengan perkataan tajam, aku tak doyan dengan taktik macam begitu"

"Oh tidak, sama sekali tidak, aku tak bermaksud memanasi hatimu, aku hanya membujukmu untuk segera berangkat"

"Tentu saja aku harus segera berangkat, memangnya aku mesti berdiri semalam suntuk dalam lorong yang gelap lagi becek ini?"

Dia tertawa dingin, baru berjalan berapa langkah tiba tiba dia berhenti lagi, kembali ujarnya:

"Tunggu aku disini, paling banter setengah jam aku sudah balik"

Belum selesai bicara dia sudah melesat sejauh dua kaki lebih, dengan menempel pada dinding pekarangan, dia mulai merambat naik bagai seekor cicak, lalu bayangan manusia berkelebat diatas dinding, tahu tahu dia sudah lenyap dari pandangan.

Sekulum senyuman puas segera tersungging di ujung bibir Oh si hidung gede, bagaimana pun, seorang sahabat karib tentu mengetahui dengan jelas kelemahan yang dimiliki sahabatnya.

Puas kembali soal puas, yang pasti menanti adalah satu pekerjaan yang amat menyiksa batin.

Sementara Oh si hidung gede sedang menanti dengan perasaan gelisah, tiba tiba sesosok bayangan manusia kembali melintas diatas dinding pekarangan, tahu tahu Kongsun Biau sudah melayang turun bagai selembar daun kering.

"Berhasil kau ambil?" tanya Oh si hidung gede gembira bercampur panik.

Kongsun Biau tidak menjawab, dia tarik lengan rekannya lalu kabur dari sita, setelah melalui berapa tikungan dia baru berhenti di dalam sebuah lorong yang amat sempit dan amat gelap.

"Sudah kuduga, kau pasti gagal. " bisik Oh si hidung

gede kemudian sambil menghela napas.

Kongsun Biau melotot besar, tiba tiba dia buka mulut, yang keluar bukan kata kata melainkan sebutir zamrud.

Sebutir zamrud yang memancarkan sinar tajam!

Cahaya zamrud yang lembut bagai sinar rembulan, berkilat bagai cahaya bintang, membuat seluruh lorong yang gelap berubah jadi terang benderang.

Merah padam wajah Oh si hidung gede saking gembira dan emosinya, dia ambil zamrud itu dan disimpan ke dalam sakunya, cahaya zamrud terlihat masih menembus keluar dari balik pakaian, membiaskan cahaya biru yang mempersona.

"Bagus, sangat bagus!" mendadak terdengar seseorang memuji sambi! tertawa, "kepandaian Kongsun Biau memang luar biasa!"

Tiba tiba muncul seseorang dari balik kegelapan, orang itu adalah seorang lelaki setengah umur yang berparas lembut dan bersahaja, sekulum senyuman selalu terhias di ujung bibirnya.

Berubah hebat paras muka Oh si hidung gede begitu berjumpa dengan orang itu, dia segera maju menyambut, lalu sambil mempersembahkan zamrud tersebut dengan ke dua belah tangannya, dia tertawa paksa dan berkata:

"Untung barang yang kau kehendaki berhasil kudapat, berarti semua hutang piutangku dengan sianseng bisa di anggap lunas bukan?"

Ternyata orang ini adalah si pemilik hutang, tapi si pemilik hutang itu tidak terburu napsu menagih hutangnya, bahkan melirik sekejap ke zamrud itupun tidak. Mungkinkah yang benar benar dia inginkan bukan zamrud itu? Lalu, apa yang dia kehendaki?

"Cayhe bernama Go Put-ko" sambil tersenyum orang itu berjalan menghampiri Kongsun Biau, "agar bisa menyaksikan kehebatan ilmu mencuri yang Kongsun sianseng miliki, maka sengaja cayhe siapkan rencana ini, soal uang yang dihutang, itu Cuma jumlah yang kecil, tak usah dirisaukan"

"Sebenarnya apa mau mu?" tegur Kongsun Biau dengan wajah membesi.

"Seseorang secara khusus mengutus cayhe untuk mengundang Kongsun sianseng, beliau ingin bertemu dengan anda"

"Sayang aku segan bertemu orang lain, aku selalu pemalu" tampik Kongsun Biau dingin.

Go Put-ko tertawa.

"Mungkin kau malu bersua orang lain, tapi siapa pun tak akan malu bila bertemu Liong Ngo kongcu, dia belum pernah memaksa orang lain melakukan pekerjaan yang menyusahkan diri, pun tak pernah mengucapkan kata kata yang menyulitkan orang lain"

Waktu itu Kongsun Biau sudah siap berlalu, tiba tiba dia berpaling seraya bertanya:"Liong Ngo kongcu? Kau maksudkan Liong Ngo dari Sam-siang?"

"Memangnya di dunia ada Liong Ngo ke dua?" Go Put-ko balik bertanya sambil tersenyum.

Suatu perubahan mimik muka yang sangat aneh muncul di wajah Kongsun Biau, entah lagi terkejut? Atau gembira? Atau merasa ngeri?

"Liong Ngo kongcu ingin bertemu aku?" "Sangat ingin!" Go Put-ko mengangguk. "Tapi. selama ini Liong Ngo Kongcu bagai naga sakti di

luar langit, belum pernah ada yang tahu jejaknya, mana mungkin aku bisa bertemu dengannya?"

"Kau tak perlu susah susah mencarinya, datang saja ke rumah makan Thian-Hiang-lo di kota Hang-ciu pada bulan tujuh tanggal lima belas, dia menantimu disitu"

"Baik, aku akan datang!" tanpa berpikir panjang Kongsun Biau segera menyanggupi.

0-0-0

Si Tiong mengulur tangannya, mencomot segenggam kacang goreng.

Kalau orang lain hanya bisa menggenggam tiga puluhan biji kacang dalam sekali comotan, maka dia sanggup meraup tujuh sampai delapan puluh biji dalam sekali comotan.

Tangan kanannya memang tiga kali lebih besar dibandingkan tangan orang lain.

Di depan kaki lima penjual kacang tertera tulisan dengan jelas:

"Kacang Ngo-hiang, dua rence satu genggam"

Si Tiong lempar tiga puluh rence uang berarti bisa mencomot lima belas genggam kacang, satu keranjang kacang nyaris tercomol habis di tangannya dalam waktu singkat.

Nona cilik penjual kacang hampir menangis dibuatnya.

Si Tiong tertawa terbahak-bahak, sambil tertawa dia buang semua kacang itu ke tanah lalu ngeloyor pergi tanpa berpaling.

Selama hidup dia paling benci makan kacang, tapi paling suka melihat tampang sedih orang lain yang dipermainkan olehnya Tampaknya setiap waktu setiap kesempatan, Dia selalu dapat menciptakan akal dan cara untuk mempermainkan orang, membuat orang lain tak bisa hidup dengan aman dan tenteram.

Di dalam kuil Hian-Biau-bio diatas bukit terdapat sebuah hiolo tembaga seberat ribuan kati, konon beratnya benar benar sampai ribuan kati, dengan kekuatan gabungan sepuluh orang lelaki kekarpun jangan mimpi bisa menggotong benda tersebut.

Suatu pagi, ketika semua orang baru mendusin dari tidur, tiba tiba mereka menjumpai hiolo tembaga itu sudah berpindah ke tengah jalan raya, tentu saja hiolo tembaga itu tak bisa berjalan sendiri pindah ke tempat itu.

Di kolong langit saat itu, bila benar-benar ada orang yang bisa memindahkan hiolo tembaga itu, orang tersebut pastilah Si Tiong.

Maka semua orang pun berduyun duyun mencari Si Tiong.

Bila tengah jalan raya tersumbat oleh hiolo tembaga seberat itu, tentu saja aliran lalu lintas jadi terhambat, perdagangan di kota pun ikut terpengaruh.

Semua orang memohon kepada Si Tiong agar memindahkan kembali hiolo tembaga itu ke tempat asal.

Sayang Si Tiong tidak menggubris.

Ketika semua orang makin panik dan gelisah hingga nyaris menangis, Si Tiong baru muncul sambil tertawa terbahak bahak, dengan menggunakan telapak tangannya yang istimewa besarnya, dia tangkap hiolo tembaga itu, kemudian sambil menghembuskan napas, hardiknya:

"Naik!"

Hiolo tembaga seberat ribuan kati itu seketika terangkat ke tengah udara hanya dengan menggunakan sebelah tangan. Pada saat itulah, tiba tiba terdengar seseorang berseru dari tengah kerumunan manusia:

"Si Tiong, Liong Ngo kongcu sedang mencari kau"

Si Tiong segera melempar kembali hiolo tembaga itu ke tanah, kini biar ada orang matipun dia tak gubris. Baru berjalan belasan langkah, tiba tiba ia berpaling sambil bertanya:"Mana orangnya?"

"Bulan tujuh tanggal lima belas, beliau menantimu di kota Hang-ciu, rumah makan Thian-Hiang-lo"

0-0-0

Bulan tujuh tanggal lima belas, buian purnama.

Rumah makan Thian-Hiang-lo di kota Hang-ciu masih seperti sedia kala, sebelum tiba waktu makan malam, banyak meja dan kursi sudah berada dalam keadaan penuh terisi.

Hanya saja, keadaan pada malam ini sedikit rada aneh, tamu yang menempati meja kursi sebanyak puluhan dalam rumah makan itu ternyata diisi orang orang asing yang datang dari luar daerah, semua langganan lama yang sering bersantap disitu, hampir semuanya tertahan di luar pintu.

Bahkan langganan paling utama dari rumah makan Thian- Hiang-lo, Be tauke, seorang hartawan kenamaan di kota Hang-ciu pun tidak kebagian tempat duduk malam itu.

Paras muka Be tauke sudah berubah merah padam, dia siap mengumbar amarahnya, jika Be Tauke sampai marah, persoalan bukan main main lagi.

Lo ciangkwee rumah makan Thian-Hiang-lo buru buru muncul menyambutnya, setelah memberi hormat dan minta beribu ribu maaf, dia berjanji akan mengirim satu meja hidangan yang paling baik, ditambah lima puluh ekor kepiting bertelur yang baru diterimanya ke rumah tinggal Be tauke, bahkan dia pun membisikkan sesuatu ke telinga Be tauke. Begitu mendengar bisikan itu, Be tauke segera berkerut kening, kemudian tanpa mengucapkan sepatah kata pun dia ajak tamu tamunya ngeloyor pergi dari situ.

Baru saja lociangkwee menghembuskan napas lega, Ban- seng-Kim-to (golok emas selaksa kemenangan) The Hong- kang. Seorang congpiautau dari perusahaan ekspedisi Ban- Seng-piaukiok dari kota Hang-ciu dengan membawa serombongan piausu nya telah tiba dengan menunggang kuda.

The congpiautau tidak segampang Be Tauke mau menerima semua alasan yang diajukan lociangkwee rumah makan Thian-Hiang-lo, tukasnya:

"Aku tak mau tahu, tidak ada tempat pun harus disediakan tempat!"

Kemudian dia dorong lociangkwee itu ke samping dan siap menerobos masuk ke dalam rumah makan.

Tiba tiba dari mulut anak tangga muncul dua orang, mereka menghadang jalan lewat congpiautau itu.

Dua orang itu masih sangat muda, mereka mengenakan baju hijau bercelana putiK, wajahnya bersih dan terhitung ganteng, mereka tak memakai kopiah, rambutnya yang hitam diikat dengan seutas tali pita.

Ternyata ada orang yang berani menghadang jalan lewat The congpiautau?

Piausu nomor wahid dari perusahaan ekspedisi Ban-Seng Piaukiok, "Thiat-ciang" si telapak baja Sun Peng segera menerjang ke muka, hardiknya: "Kalian pingin mampus?"

"Kami tak ingin mati!" jawab pemuda berbaju hijau itu sambil tersenyum.

"Kalau tak pingin mampus, cepat menyingkir, beri jalan buat toaya sekalian masuk ke dalam" "Toaya sekalian tak boleh naik ke atas" kembali pemuda berbaju hijau itu berkata sambil tertawa.

Sun Peng sangat murka, hardiknya: "Kalian tahu siapakah toaya sekalian?"

"Tidak tahu" pemuda berbaju hijau itu masih tersenyum, "yang kami ketahui adalah hari ini, biar itu toaya, tiongya maupun siauya, lebih baik jangan naik ke atas"

"Kalau toaya sengaja mau naik, mau apa kalian?" "Jika toaya memaksa naik selangkah saja ke atas anak

tangga, maka toaya hidup segera akan berubah jadi toaya

mampus" jawaban pemuda berbaju hijau itu sangat hambar.

Sun Peng sangat marah, dia menerjang ke muka, sebuah pukulan dahsyat telah dilontarkan.

Ke lima jari tangannya pipih dan rata, ujung jarinya gundul tapi mengeras, tampaknya ilmu pukulan Thiat-Sah-Ciang (pukulan pasir besi) yang diyakininya sudah amat sempurna, serangan yang dilancarkan juga luar biasa cepatnya.

Begitu pukulan dilancarkan, angin serangan yang kuat setajam sebilah golok segera membabat tubuh lawan.

Pemuda berbaju hijau itu masih memandang sambil tersenyum, tiba tiba dia turun tangan, dia langsung mengancam pergelangan tangan lawan.

Jurus serangan yang digunakan Sun Peng kali ini hanya serangan tipuan, sejak usia enam belas tahun dia sudah terjun ke sungai telaga, dari pangkat seorang pesuruh dia berjuang hingga mencapai kedudukan seorang piausu, bukan saja berpengalaman menghadapi ratusan pertempuran, kecepatannya berganti jurus pun sangat mengagumkan.

Cepat cepat dia tarik pergelangan tangannya ke bawah, kemudian berbalik membabat lambung pemuda berbaju hijau itu. Sayang perubahan jurus yang dilakukan pemuda berbaju hijau itu jauh lebih cepat, baru saja tangannya membabat keluar, dua jari tangan pemuda berbaju hijau itu sudah menusuk tenggorokannya.

"Kraaakk!" bagaikan sebilah pisau tajam, ke dua jari tangan itu sudah menancap diatas tenggorokannya.

Biji mata Sun Peng mendelik seperti mau melompat keluar, sekujur badannya mengejang keras kemudian roboh terjengkang ke iantai, air mata, ingus , air liur, air kencing serta kotorannya berbareng keluar dari tubuhnya, tidak sempat menjerit kesakitan, dia sudah berangkat menuju ke langit barat.

Pelan pelan pemuda berbaju hijau itu mengeluarkan sebuah sapu tangan putih dari sakunya, pelan pelan membersihkan noda darah dari jari tangannya, jangankan menghampiri mayat itu, melirik sekejap pun tidak.

Semua orang terkesiap, semua orang terkejut, tiba tiba perut mereka terasa mual, begitu mual hingga mau muntah.

Mereka pernah membunuh orang, juga sering melihat orang dibunuh, tapi sekarang, mereka tetap merasakan perutnya mual, bahkan ada satu dua diantara mereka mulai muntah........

Perlahan-lahan pemuda berbaju hijau itu melipat kembali sapu tangannya, lalu dengan suara tawar katanya:"Sekarang kalian masih belum mau pergi?"

Biarpun serangan yang dia lancarkan sangat menakutkan, tapi bila mereka pergi begitu saja, mana mungkin Ban-Seng- piaukiok bisa tancapkan kaki lagi di dalam dunia persilatan? Kawanan piausu itu mulai bersiap siaga, malah ada dua diantaranya siap melancarkan serangan. Yang mereka makan selama ini memang nasi semacam ini, nasi yang setiap saat setiap kesempatan harus siap beradu jiwa.

Tiba tiba The Hong-kang merentangkan tangannya menghalangi jalan pergi dua orang itu.

Dia telah menemukan satu kejadian yang sangat aneh.

Biarpun tamu tamu asing yang datang hari ini terdiri dari beragam jenis manusia, namun mereka mempunyai satu kesamaan.

Setiap orang tidak mengenakan kopiah, diatas rambut tiap orang terikat sebuah pita berwarna perak.

Biarpun disini telah terjadi pembantaian berdarah, namun tamu tamu di sebelah sana tak ada yang gubris, jangan lagi menghampiri, berpaling untuk melirik sekejap pun tidak.

The Hong-kang berusaha menekan gejolak emosi di dalam dadanya, dengan nada berat tegurnya:"Sahabat, siapa namamu? Datang dari mana?"

Pemuda berbaju hijau itu tertawa.

"Kau tak perlu tahu tentang persoalan ini, kau cukup mengetahui satu hal saja" katanya. "Soal apa?"

"Hari ini, sekalipun yang datang adalah para ciangbunjin dari tujuh partai besar atau pangcu dari lima perkumpulan utama, mereka hanya bisa berdiri di muka pintu, barang siapa berani melangkah naik selangkah saja ke tangga ini, dia bakal mampus!"

"Kenapa?" berubah paras muka The Hong-kang. "Sebab di loteng rumah makan sedang diselenggarakan

pesta, kecuali tiga orang tamu agung yang diundang, dia tak ingin melihat orang lain" "Siapa yang berada di loteng?" tak tahan The Hong-kang bertanya.

"Tidak seharusnya kau ajukan pertanyaan ini, semestinya kau bisa menduga sendiri"

Tiba tiba paras muka The Hong-kang berubah pucat pias, agak tertahan bisiknya:"Jangan jangan dia?"

"Betul, memang dia!" pemuda itu mengangguk.

The Hong-Kang menghentakkan kakinya berulang kali dengan kesal, kemudian tanpa berpaling dia segera ngeloyor pergi.

Para piausu pun tidak banyak bicara, sambil menggotong jenasah Sun Peng, mereka ikut pergi dari situ.

Setelah keluar dari rumah makan, baru kedengaran ada yang berbisik:

"Sebenarnya siapakah dia?"

The Hong-kang tidak langsung menjawab, dia menghela napas panjang, lalu katanya:"Jejaknya sering berada di balik awan, dialah jago nomor wahid di kolong langit"

0-0-0

Sekarang, dia sedang duduk dalam sebuah bilik mewah diatas loteng, duduk di sebuah bangku yang lebar dan besar.

Wajahnya putih agak pucat, kurus kering bahkan agak layu, sorot matanya memancarkan sinar keletihan yang tak terlukis dengan kata.

Bukan hanya letih, bahkan cenderung lemah berpenyakitan, walaupun udara saat itu cukup panas, bangku yang diduduki masih dilapisi sebuah kulit macan tutul yang sangat tebal, kakinya juga diselimuti selembar mantel bulu dari Persia, mantel itu entah dipintal dari bahan apa, berkilauan memancarkan sinar perak. Paras mukanya tidak memancarkan cahaya, seolah olah dia belum sembuh dari sakitnya yang sudah cukup lama, dia seperti merasa bosan dengan kehidupan, merasa kehilangan harapan dan rasa percaya diri terhadap nasib yang dideritanya.

Seorang kakek berambut perak, berwajah merah darah dan angker bagai malaikat dari langit, berdiri hormat di belakangnya. Kakek yang nampak sudah berusia lanjut itu justru memancarkan tenaga kehidupan yang luar biasa, garang bagaikan seekor singa, matanya juga memancarkan sinar tajam yang berpengaruh dan membuat orang tak berani pandang remeh kemampuannya.

Anehnya, kakek itu justru menaruh sikap yang sangat hormat terhadap pemuda berpenyakitan itu.

Siapa pun yang pernah melihat sikap hormat yang ditunjukkan orang ini, pasti tak akan percaya kalau dia adalah seorang jago tangguh yang pernah memporak porandakan tujuh propinsi di selatan enam propinsi di utara dengan mengandalkan sebuah senjata penggordi seberat sembilan puluh tiga kati.

Bukan saja dia pernah mengalahkan para okpa dari rimba hijau, hampir semua jago tangguh dalam dunia persilatan pernah keok di tangannya, dia adalah Say-ong si raja singa Lan Thian-bong.

Selain dia, disitu hadir juga seorang lelaki setengah umur yang mengenakan baju hijau bercelana putih, wajahnya kaku macam orang bloon, rambutnya sudah mulai beruban. Saat itu dia sedang menuangkan air teh untuk pemuda berpenyakitan itu.

Tindak tanduk serta gerak geriknya dilakukan sangat hati hati, sangat teliti, seakan akan kuatir kalau melakukan kesalahan walau sekecil apapun. Air teh yang dituang dari sebuah teko nampak masih mendidih, dengan dua tangannya dia angkat cawan itu, periksa suhu air teh itu, ketika merasa panasnya sudah cukup untuk diminum, dia baru persembahkan ke depan.

Pemuda penyakitan itu menerima cawan itu, dia hanya meneguknya satu tegukan.

Jari tangannya sangat panjang, tapi pucat seperti tak ada aliran darah, bentuk jari tangan yang begitu halus dan lembut seperti tak kuat menerima sebuah cawan pun.

Walau dia tampak lemah, tapi dialah jago nomor wahid di kolong langit, Liong Ngo si naga ke lima.

Dalam ruangan itu tak ada orang lain, juga tak ada orang lain datang ke situ.

Setelah menghela napas panjang, Liong Ngo berkata:"Sudah lima tahun aku tak pernah menunggu orang" "Benar!" Lan Thian-bong mengiakan. "Tapi hari ini, aku sudah menunggu hampir setengah jam" "Benar!"

"Tempo hari, kalau tidak salah aku pernah menunggu Tiat Ji thayya" "Sekarang, dia sudah tak perlu menyusahkan orang lain, harus menunggu lama lagi" sambung Lan Thian-bong.

Kembali Liong Ngo menghela napas. "Yaa, dia mati sangat mengenaskan!"

Tak ada seorang pun akan menanti kedatangan seseorang yang telah mampus.

"Begitupun juga di kemudian hari, tak akan ada lagi orang yang menunggu kedatangan Tu Jit sekalian" kembali Lan Thian-bong berkata. "Itu mah urusan di kemudian hari!" tukas Liong Ngo. "Jadi sekarang, mereka belum boleh mampus?" "Yaa, tidak boleh"

"Apakah hanya mereka yang harus melakukan tugas itu?" Liong Ngo manggut-manggut, dia seperti merasa sudah terlalu banyak bicara, dan kelewat lelah. Dia memang seseorang yang tak senang banyak bicara.

Bahkan dia tampaknya sudah segan mendengar lebih banyak, karena dia tak buka suara, orang lain pun terpaksa harus tutup mulut.

Selapis bau harum bunga yang semerbak lamat lamat menyelimuti seluruh ruangan, suasana di luar sana amat tenang, walaupun dua puluhan meja makan sudah dipenuhi orang, namun tak terdengar sepatah kata pun yang bergema memecahkan keheningan.

Kain tirai pintu yang nampak baru diganti dengan yang baru tiba tiba disingkap orang, seorang pelayan berbaju biru dengan kepala tertunduk, membawa sebuah baki yang berisi sebuah mangkuk hijau berjalan masuk ke dalam ruangan.

"Keluar!" hardik Lan Thian-bong sambil berkerut kening. Pelayan itu tidak keluar, katanya:

"Hamba datang untuk menghidangkan masakan"

"Siapa suruh kau menghidangkan masakan itu?" tegur Lan Thian-bong semakin gusar, "tamu yang diundang toh belum tiba"

"Hamba rasa ke tiga orang tamu itu tak bakal datang" tiba tiba pelayan itu tertawa.

Sorot mata Liong Ngo yang semula nampak letih tak bertenaga, tiba tiba memancarkan sinar setajam sayatan pisau, ditatapnya pelayan itu tanpa berkedip.

Pelayan itu mempunyai bentuk wajah yang bulat, senyuman diujung bibirnya kelihatan sangat ramah, walaupun di ujung matanya sudah nampak kerutan, namun sepasang matanya masih kelihatan sangat muda, mengandung kepolosan serta ketulusan yang murni bagai sorot mata seorang bayi.

Siapa pun yang nampak, pasti akan tahu bahwa dia adalah seorang yang berhati lunak, bertabiat halus balikan pasti seorang yang suka bersahabat dan suka bermain dengan anak kecil.

Perempuan yang dapat menikah dengan lelaki macam begini, dia tak akan rugi, tak bakal menyesal.

Liong Ngo menatapnya tajam, sampai lama kemudian pelan-pelan dia baru bertanya:

"Kau bilang mereka tak bakal datang?"

"Yaa, mereka tak bakal datang" pelayan itu manggut- manggut.

"Darimana kau bisa tahu?"

Pelayan itu tidak menjawab, dia letakkan baki berisi mangkuk hijau itu ke atas meja, kemudian lambat lambat membuka tutup mangkuk itu.

Tiba tiba sorot mata Liong Ngo berkerut, sekulum senyuman yang sangat aneh tersungging diujung bibirnya, katanya perlahan:

"Sebuah hidangan yang lezat!"

"Bukan hanya lezat, hidangan ini mahal harganya" pelayan itu ikut tersenyum.

"Yaa, memang maha! harganya" Liong Ngo sangat setuju dengan perkataannya.

Hidangan itu tak bisa dimakan, isi dalam mangkuk itu bukan ayam alas atau telapak beruang, juga bukan baikut atau bangkai tikus, ternyata isinya adalah tiga potong tangan.

Tiga buah tangan manusia! Ke tiga buah tangan itu diatur sangat rapi dalam mangkuk hijau itu, sebuah tangan besar, dua tangan kecil, satu tangan kiri dan dua tangan kanan.

Tangan yang besar, ukurannya tiga kali lebih besar dari tangan orang dewasa, tangan yang sebelah kiri kelebihan dua buah jari tangan, sedang tangan sebelah kanan justru kehilangan tiga buah jari tangan.

Di dalam kolong langit saat ini, tak akan dijumpai isi mangkuk hijau yang lebih mahal dan berharga daripada ke tiga buah tangan itu. Sekalipun kau mengisi penuh mangkuk tersebut dengan intan permata, nilainya masih kalah jauh.

Sebab dalam kenyataan, memang tak ada orang yang benar benar bisa menilai betapa bernilai dan berharganya ke tiga buah tangan itu.

Tentu saja Liong Ngo sangat mengenali ke tiga buah tangan itu, tak tahan ujarnya sambil menghela napas panjang:"Kelihatannya mereka memang tak bakal datang"

"Tapi aku telah datang" pelayan itu menimpali sambil tersenyum.

"Kau?"

"Mereka tak bisa datang, aku yang datangpun sama saja" Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya: "Mereka toh bukan sahabatmu"

"Aku tak punya teman" tukas Liong Ngo dingin, kembali kelopak matanya terjulai turun, dia seperti amat lelah, amat kesepian.

Rupanya pelayan itu dapat memahami perasaan hatinya, kembali dia berkata:"Kau bukan saja tak punya teman, mungkin musuh besar pun tak punya"

"Tampaknya kau tidak bodoh!" puji Liong Ngo setelah meliriknya sekejap. Pelayan itu tertawa.

"Kau sengaja mengundang mereka, bukankah karena ada sebuah tugas yang ingin mereka kerjakan?"

"Rupanya kau betul betul tidak tolol"

"Itulah sebabnya tak ada bedanya bila aku yang datang" kembali pelayan itu tertawa, " sebab apa yang bisa mereka kerjakan, aku pun dapat lakukan"

"Pekerjaan yang harus dilakukan mereka bertiga, bisa kau kerjakan seorang diri?"

"Mengapa tidak?"

"Membelah cahaya menangkap bayangan, satu tangan tujuh pembunuh" Liong Ngo mengawasi sekejap tangan kiri yang ada dalam mangkuk, "tahukah kau berapa orang yang telah dibunuh dengan tangan itu? Tahukah kau seberapa cepat gerakannya ketika membunuh orang?"

"Tidak tahu"

"Pencuri sakti bertangan seribu, tak ada lubang yang tak tertembus" kembali sinar mata Liong Ngo dialihkan ke tangan kanan yang kehilangan tiga jari tangan itu, "tahukah kau dengan tangan tersebut sudah berapa banyak barang mestika yang dia curi? Tahukah kau betapa cekatan dan gesitnya gerak tangan ini?"

”Tidak tahu"

"Telapak sakti bersukma dahsyat, tenaga raksasa berkekuatan ribuan kati" lagi lagi Liong Ngo memandang tangan ke tiga, "tahukah kau kekuatan dahsyat yang dimiliki tangan itu?"

"Tidak tahu"

Liong Ngo segera tertawa dingin. "Kalau apa saja tidak kau ketahui, mana mungkin kau sanggup melakukan pekerjaan mereka bertiga?"

"Aku hanya mengetahui satu hal" "Katakan!"

"Aku tahu tanganku masih berada ditanganku, sedang tangan mereka bertiga sudah berada dalam mangkuk!" jawab pelayan itu hambar.

Mendadak Liong Ngo mendongakkan kepalanya, setelah menatapnya tajam, ujarnya:

"Jadi lantaran ? kau maka tangan mereka berpindah ke dalam mangkuk?"

Sekali lagi pelayan itu tertawa.

"Bila seseorang ingin menawarkan sesuatu, rasanya dia mesti mengirim sedikit contoh lebih dulu kepada calon pembeli"

"Apa yang ingin kau jual kepadaku?" sorot mata Liong Ngo berubah semakin tajam bagai belahan mata golok.

"Aku sendiri" "Siapa kau?"

"Aku she-Liu, Liu dari kata pohon yangliu!" nama marga ini tidak aneh, "aku bernama Liu Tiang-kay, Tiang dari kata panjang dan Kay dari kata jalanan"

"Liu Tiang-kay (Liu si jalanan panjang)! Aneh benar nama ini" gumam Liong Ngo.

"Banyak orang pernah bertanya, mengapa aku harus menggunakan nama seaneh itu"

"Kenapa?"

"Karena aku senang sekali dengan jalanan yang sangat panjang" Sambil tersenyum kembali Liu Tiang-kay melanjutkan: "Aku selalu berkhayal, seandainya aku adalah sebuah jalanan yang panjang, bila dikedua sisi jalan ditanami pohon yangliu, lalu banyak toko dan kios didirikan sepanjang jalanan, tiap hari ada aneka ragam manusia lewat disisiku, ada nona besar, ada nyonya muda, juga ada nenek tuek "

Sinar matanya kembali diliputi lamunan seorang bocah yang begitu polos, sebuah khayalan yang aneh tapi indah, terusnya:

"Tiap liari, aku akan menyaksikan orang orang itu hilir mudik disampingku, ada yang cuma kongkow di bawah rindangnya pohon yangliu, ada yang menjual atau membeli barang di toko, kejadian itu pasti mengesankan, jauh lebih mengesankan ketimbang jadi seorang manusia"

Liong Ngo tertawa, untuk pertama kalinya senyum gembira terlintas diwajahnya, sambil tersenyum katanya:

"Kau memang seorang yang menarik"

Begitu selesai bicara, senyuman gembira itu mendadak lenyap tak berbekas, serunya lagi dengan suara dingin:"Cepat bunuh orang ini!"

Lan Thian-bong berdiri mematung di belakang tubuhnya, selama ini dia tak bicara pun tak bergerak, tapi begitu kata "bunuh" muncul dari mulut, Lan Thian-bong sudah melancarkan sebuah serangan.

Begitu turun tangan, dia seakan akan telah berubah jadi seekor singa jantan, gerakan tubuhnya jauh lebih cepat ketimbang terkaman singa jantan, lebih gesit dan lincah!

Baru saja tubuhnya berputar, dia sudah tiba di hadapan Liu Tiang-kay, ke lima jari tangan kirinya yang menekuk bagai cakar harimau, langsung menyambar dada Liu Tiang-kay.

Siapa pun dapat melihat, cengkeraman ini sanggup merobek dadanya, jangan lagi dagingnya, bahkan jantung dan paru paru nya pun bisa terbetot keluar. Liu Tiang-kay memutar tubuhnya setengah lingkaran, menghindarkan diri dari cengkeraman maut itu. gerak keiitannya dilakukan sangat cepat dan tak kalah gesitnya.

Siapa tahu rupanya Lan Thian-bong sudah perhitungkan gerak menghindar lawannya ini, ke lima jari tangan kanannya segera menyusul ke muka, dengan satu gerakan "tangan golok", dia tebas badan lawan, yang diincar adalah nadi besar di tengkuk sebelah kiri Liu Tiang-Kay.

Serangan ini bukan saja sangat mematikan, bahkan hampir menutup seluruh jalan mundur dan jalan berkelit musuhnya.

Sejak berusia empat puluh tahun, belum pernah Say-ong si raja singa Lan Thian-bong menggunakan lebih dari tiga jurus untuk membunuh orang.

Oleh sebab itu, untuk membunuh musuhnya kali ini, si raja singa pun merasa tak perlu menggunakan lebih dari tiga jurus.

Dia memang tak perlu mengeluarkan jurus ke tiga, sebab secara tiba tiba ia jumpai tangan Liu Tiang-kay sudah berada dibawah ketiaknya, jika babatan tangan goloknya dilanjutkan tebasannya, maka ketiaknya akan hancur duluan tersodok tangan Liu Tiang-kay.

Tulang ruas dibawah ketiak merupakan ruas yang sangat lemah, padahal sodokan jari tangan Liu Tiang-kay begitu kuat dan tajam bagai sodokan'tombak, seandainya ruas tulang itu tersodok, bisa dipastikan tulang belulangnya akan hancur berserakan.

Dia tak mau ambil resiko, babatan tangan goloknya yang sudah tiba di tengah jalan seketika dihentikan, pada saat itulah tubuh Liu Tiang-kay sudah melayang keluar dari ruangan.

Lan Thian-bong tidak berusaha mengejar, karena waktu itu Liong Ngo sudah memberi tanda menghalangi kepergiannya.

"Masuk!" serunya. Ketika Liu Tiang-kay masuk kembali, Lan Thian-bong kembali sudah berdiri mematung di belakang Liong Ngo, sementara lelaki setengah umur berbaju hijau itu masih berdiri jauh disudut ruangan, dia sama sekali tak bergerak.

"Kau bilang aku adalah seorang yang menarik, padahal tak banyak orang menarik di dunia ini" Liu Tiang-kay tertawa getir, " mengapa kau ingin membunuhku?"

"Kadangkala aku pun senang berbohong, tapi aku paling benci mendengar orang lain berbohong" ujar Liong Ngo.

"Siapa sedang berbohong?" "Kau!"

Liu Tiang-kay tertawa tergelak.

"Hahaha adakalanya akupun suka mendengar kata kata

bohong, tapi belum pernah bicara bohong"

"Aku belum pernah mendengar nama Liu Tiang-kay, Liu si jalanan panjang"

"Aku memang bukan orang terkenal"

"Tu Jit, Kongsun Biau serta Si Tiong adalah orang orang kenamaan, tapi kau telah menghancurkan karier mereka"

"Oleh karena itu kau anggap semestinya aku pun seseorang yang terkenal?"

"Itulah sebabnya aku anggap kau sedang berbohong" Sekali lagi Liu Tiang-kay tertawa tergelak.

"Tahun ini aku baru berusia tiga puluh tahun, bila ingin jadi orang kenamaan, tadi, aku sudah tergeletak mampus di tanah"

Liong Ngo mengamati wajahnya, senyuman mulai terlintas dari sorot matanya, dia sudah memahami maksud perkataan Liu Tiang-kay. Untuk menjadi terkenal memang dibutuhkan banyak tenaga dan perjuangan, untuk berlatih silat, juga dibutuhkan banyak tenaga dan perjuangan. Tidak banyak orang yang bisa menyelesaikan kedua hal tersebut secara bersamaan.

Liu Tiang-kay bukan termasuk orang yang kelewat cerdas dan pandai, maka dia hanya bisa memilih satu diantara dua hal itu.

Dia memilih berlatih ilmu silat lebih dulu, oleh sebab itu meski tidak terkenal tapi dia masih hidup.

Tidak mudah untuk memahami maksud perkataannya, tapi Liong Ngo mengerti, dia sangat paham, karena itulah dia gunakan sebuah jari tangannya menuding ke arah bangku yang berada di hadapannya.

"Duduk!"

Memang tak banyak orang yang bisa duduk berhadapan dengan Liong Ngo.

Liu Tiang-kay tidak duduk, dia malah bertanya: "Kau tak bermaksud membunuhku?"

"Orang yang menarik sudah tak banyak jumlahnya, orang yang berguna semakin minim jumlahnya, kau bukan hanya menarik, juga amat berguna"

"Oleh sebab itu kau sudah berminat untuk membeliku?" lanjut Liu l'iang-kay sambil tertawa.

"Kau benar benar hendak menjual?"

"Aku adalah seorang yang tak punya nama, akupun tak punya apa apa yang bisa dijual, padahal, bila usia seseorang sudah melampaui tiga puluh tahun, paling tidak dia mulai berpikir untuk hidup lebih rmyaman"

"Orang semacam kau punya banyak kesempatan untuk terjual, mengapa kau harus datang mencariku?" "Karena aku bukan orang bodoh, karena aku menginginkan harga penawaran yang tinggi, karena aku tahu hanya kau yang berani mengajukan tawaran tertinggi, karena "

"Ke tiga alasan itu sudah lebih dari cukup!" tukas Liong Ngo. "Tapi ke tiga alasan itu bukan alasan yang paling utama" sambung Liu Tiang-kay.

"Oya?"

"Alasanku yang paling utama adalah bukan saja aku ingin penawaran tertinggi, aku pun ingin melakukan pekerjaan terbesar, siapapun orangnya, jika dia sampai mencari Tu Jit bertiga untuk melakukan satu pekerjaan, pekerjaan tersebut sudah pasti adalah sebuah pekerjaan besar"

Sekulum senyuman kembali tersungging diwajah Liong Ngo yang pucat, kali ini dia angkat tangannya dan berkata sambil tertawa: "Silahkan duduk"

Kali ini Liu Tiang-kay benar benar duduk. "Hidangkan arak!" kembali Liong Ngo berseru.

-00dw00-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar