Tujuh Pedang Tiga Ruyung Jilid 13

Jilid 13

Langsung mereka mendekati Hoa-san-gin-ho, seorang yang mengepalai mereka berbaju panjang warna merah, perawakannya gagah perkasa, dia inilah salah seorang pendekar pedang termashur, Jing-hong-kiam Cu Pek-ih.

Setelah mengamat-amati Hoa-san-gin-ho sejenak, dengan suara lantang ia menyapa dengan tertawa, "Selama belasan tahun ini tidak pernah melihat pendekar pedang berbaju perak dari Hoa-san, tak tersangka sekarang dapat bertemu lagi disini. Mohon tanya, mungkin To-heng inilah Gin-ho Totiang yang baru turun dari Hoa-san?"

Kedua orang saling pandang dengan kagum, sesudah bercengkerama sebentar, Cu Pek-ih lantas memperkenalkan pendekar pedang yang datang bersamanya kepada Gin-ho Tojin. Hanya bercakap sebentar saja mereka lantas merasa cocok satu dengan yang lain.

Dalam pada itu lima orang yang datang dari tepi kiri danau itu juga sedang berseru, "Aha, itu dia disitu!"

Langsung mereka mendekati Ko Bun, yang kepala rombongan adalah seorang berbahu lebar dan berbaju mewah, dia inilah Thia Hong dari Wan-yang-siang-kiam.

Ko Bun tersenyum dan menyapa, "Ah, kiranya Thia-heng juga berada disini."

Sekilas pandang dapatlah dilihat keempat orang yang datang bersama Thia Hong itu rata-rata masih muda, paling tua berumur tiga puluhan, semuanya berjubah biru dan bersepatu hitam, meski pada wajah masing-masing tersembul senyuman, namun sorot mata mereka tidak menunjuk setitik senyuman apa pun.

"Aha, memang sudah kuduga Ko-heng pasti tidak mau menyiakan keramaian ini dan tentu akan datang juga ke Hangciu sini," seru Thia Hong dengan tertawa.

Tiba-tiba Cu Pek-ih mendekati Thia Hong dan berkata, "Hari ini biar aku menjadi tuan rumah, akan kujamu Gin-ho Totiang ini untuk makan minum sepuasnya."

Thia Hong melenggong, tapi segera menjawab dengan tertawa, "Ah, tepat! Kalian berdua  adalah pendekar pedang jaman kini, adalah pantas bila kalian berkumpul untuk bercengkerama."

"Kongcu ini berada bersama Gin-ho Totiang, tentu akan kuundang sekalian, maaf jika kuganggu pembicaraan kalian dengan Kongcu ini," kata Cu Pek-ih pula dengan tertawa terhadap Ko Bun.

Gin-ho Tojin lantas menyambung. "Undangan Cu-tayhiap ini sungguh tidak enak ditolak, bagaimana kalau Ko-heng ikut hadir minum beberapa cawan?"

Belum lagi Thia Hong menanggapi, keempat kawannya yang berjubah biru itu tampak kurang senang. Alis Thia Hong juga bekernyit, katanya, "Tapi kami baru saja bertemu kembali dengan Ko-heng, kami pun ingin berkumpul untuk makan minum sepuasnya. "

"Wah, jika demikian, tampaknya terpaksa aku harus berpisah sementara dengan Gin-ho Totiang." tukas Ko Bun.

Selagi Gin-ho Tojin berpikir, segera Cu Pek-ih mendahului berseru, "Baik juga, biarlah kita berpisah untuk sementara!"

Tanpa menunggu persetujuan orang, segera ia menarik Gin-ho Tojin menuju kearahnya sendiri. Sesudah sekian jauhnya, ia menghela napas dan berkata, "Asal-usul bocah she Ko itu tidak jelas, cara bicaranya juga tidak beres, tentu ada sesuatu rahasianya yang tidak ingin diketahui orang. Kita adalah kawan karib dan ingin minum sepuasnya, kalau bisa tanpa kehadiran bocah itu akan lebih baik."

Baru saja Hoa-san-gin-ho mengernyitkan kening, segera ia digiring pergi oleh kawanan pendekar pedang gagah itu.

Sebaliknya Ko Bun dan Thia Hong tetap bicara dan bergurau, tapi sejauh itu dia tidak memperkenalkan keempat jago pedang berjubah biru kepada Ko Bun.

Langkah keempat orang itu tampak gesit dan tangkas, sorot mata tajam, tampaknya kungfu mereka pasti tidak rendah. Tapi sikap Jing-hong-kiam Cu Pek-ih terhadap mereka tampaknya juga biasa2 saja, agaknya mereka bukan jago ternama dunia persilatan.

Sekarang cara berjalan keempat orang ini juga ganjil, yang dua orang berjalan didepan dan dua yang lain berjalan dibelakang Ko Bun, cara berjalan mereka teratur seperti barisan pengawal yang ketat.

Tergerak hati Ko Bun, diam-diam ia mulai curiga, tapi dia juga tidak merasa kuatir, sebab ia yakin salah seorang Wan-yang-siang-kiam yaitu Thia Hong sudah terpikat oleh tipunya.

Setelah menyusuri pepohonan liu yang rindang dan melintas tanjakan, tibalah dia dilereng bukit, ketikamendekati makam Gak Hui, dengan suara lantang Ko Bun berseru, "Thia-heng, tanpa terasa kita sudah berjalan sampai di makam Gak-ong, disini memang banyak arak  sembahyang, kemana kita akan mencari rumah makan untuk minum sepuasnya." "Ada, ada, jangan kuatir!" sahut Thia Hong dengan tertawa.

Belum lenyap suaranya, serentak keempat jago pedang berjubah biru sama melolos pedangnya.

Air muka Ko Bun berubah, ucapnya dengan suara tertahan, "Thia-heng, ada apa ini?"

Diam-diam ia pun merasa gegetun, diakuinya Leng-coa Mao Kau benar-benar seorang pimpinan sejati, baru dua-tiga hari yang singkat saja Thia Hong sudah dapat ditarik lagi ke pihaknya. Ia tidak tahu bahwa watak Thia Hong memang serupa ujung rambut, kearah mana angin metiup, kearah itu pula dia mendoyong.

Dilihatnya Thia hOng lagi menarik muka dan mendengus, "Ya, beginilah!"

Sekali ia memberi tanda, segera pedang keempat orang berbaju biru menyerang Ko Bun.

Sampai sekarang Ko Bun belum pernah memperlihatkan kungfunya didepan umum, tapi serangan empat pedang secara serentak ini tidak ada peluang baginya untuk memilih.

Di tengah sambaran sinar pedang, cepat Ko Bun meloncat keatas.

Terdengar Thia Hong tertawa mengejek, "Haha, hebat amat pemuda pelajar lemah yang tak mahir ilmu silat, tampaknya Mao-toako memang jauh lebih tajam pandangannya daripada orang lain."

Dalam sekejap itulah keempat jago pedang berbaju biru telah melancarkan serangan tujuh kali sehingga ke-28 serangan mereka serupa dihamburkan pada saat yang sama.

Ko Bun mengebaskan lengan bajunya dan mengelak pelahan, setiap serangan lawan nyaris mengenai tubuhnya, namun semuanya terhindar tanpa menyentuh baju pun.

Diam-diam keempat jago pedang baju biru merasa terkejut, sungguh mereka tidak menyangka anak muda ini dapat bergerak segesit ini.

Padahal Ko Bun sendiri jauh lebih terkejut daripada mereka, serangan keempat lawan sedemikian gencarnya, semuanya serangan lihai.

Thia Hong menyaksikan pertarungan itu disamping, setelah keempat kawannya tidak mampu mengenai sasarannya dengan serangan berantai tadi, diam-diam ia pun tercengang. Ia juga heran mengapa Ko Bun belum lagi terpaksa melancarkan serangan balasan?

Belum lenyap pikirannya, se-konyong2 terdengar suara "trang-tring" yang ramai, tahu-tahu keempat pedang kawannya sudah berada ditangan Ko Bun. Ujung pedang yang tajam itu  digenggam begitu saja oleh telapak tangan anak muda itu.

Karuan Thia Hong terkesiap, keempat jago pedang berbaju biru juga melenggong. Padahal keempat orang ini adalah jago andalan Mao Kau yang dipupuk sejak beberapa tahun terakhir, mereka hampir senantiasa berada disekeliling Mao Kau, biarpun namanya tidak terkenal didunia Kangouw, tapi sering kali Mao Kau menguji mereka dengan tokoh Bu-lim yang terkenal dan terbukti kungfu mereka ternyata tidak kalah dibandingkan tokoh-tokoh tersebut.

Hendaknya maklum, selama beberapa tahun terakhir ini nama Mao Kau membubung tinggi dan keuntungan pun berlimpah sehingga jauh lebih sayang terhadap jiwa raganya sendiri, dalam benaknya senantiasa terbayang wajah Siu Tok sebelum ajalnya di pegunungan sunyi delapan belas tahun yang lalu, maka dia sengaja memupuk serombongan jago pedang pengawal pribadi untuk digunakan bilamana perlu.

Sebab itulah dia sangat sayang kepada rombongan jago pedang seragam biru, sebaliknya kawanan jago pedang itu juga cukup tahu akan harga dirinya, siapa tahu sekarang setelah berhadapan sasaran yang dituju, sekaligus mereka lantas kecundang.

Begitulah sekilas pandang melihat sekelilingnya tidak terdapat orang lain, seketika sorot mata Ko Bun memancarkan cahaya buas, nafsu membunuhnya berkobar. Sekali tangannya berputar, konan keempat pedang musuh terpuntir patah, ujung pedang patah yang terpegang secepat kilat menyambar kedepan, selagi keempat jago pedang berseragam biru terkejut dan belum sempat timbul pikiran untuk berkelit, tahu-tahu ujung pedang patah sudah bersarang didada mereka.

Terdengar jeritan empat orang berbareng. Muka Thia Hong juga pucat seketika, serunya dengan gelagapan, "Kau. . . .kau. "

Melihat ketangkasan Ko Bun ini, tiba-tiba teringat olehnya bayangan seorang. Selama belasan tahun ini dia tidak berani mengenangkan bayangan orang ini, sebab itulah bayangan ini mestinya sudah mulai dilupakannya.

Tapi sekarang bayangan yang sudah mulai samar dalam benaknya itu mendadak timbul sedemikian jelasnya.

Pelahan Ko Bun melangkah maju, wajahnya yang tampan se-akan2 menampilkan senyuman mengejek. . .

Dalam sekejap itu Wan-yang-siang-kiam yang termashur seolah-olah kehilangan semangat tempur, dengan suara gemetar ia berucap. "Kau. . . .jadi kau. "

Dengan senyum menghina Ko Bun berucap, "Ya, aku! Utang darah bayar darah?"

Darahnya bergolak, hatinya penuh dendam, sungguh ia ingin mencuci tangannya dengan darah segar musuh. Thia Hong masih gemetar, sedangkan Ko Bun tambah mendekat.

Sekonyong-konyong sinar pedang berkelebat, pada detik terakhir Thia Hong yang gemetar itu telah melolos pedang dan menabas keleher Ko Bun.

Jago pedang yang sudah berpuluh tahun berkecimpung didunia Kangouw ini pada detik terakhir yang menentukan mati-hidupnya telah sekali lagi memperlihatkan kelicikannya, dengan rasa takut dan gemetar untuk menutupi gerakannya, pada saat lawan sama sekali tidak berjaga-jaga barulah dia melolos pedang dan melancarkan serangan.

Dengan pengalaman yang luas ditambah ilmu pedangnya yang hebat, serangan kilat ini sungguh lihai sekali, dimana sinar pedang berkelebat, tahu-tahu ujung pedang sudah menyambar keleher Ko Bun.

Mendadak tubuh Ko Bun mendoyong kebelakang, lengan bajunya yang longgar terus menggulung keatas.

Cepat Thia Hong memutar pedangnya, dari samping ia tabas sikut lawan. Serangan ini juga berbahaya, bagian sikut biasanya sukar berputar, Thia Hong yakin serangannya pasti akan membikin buntung tangan musuh.

Siapa tahu tangan Ko Bun yang terselubung oleh lengan baju yang longgar itu justru dapat mematahkan serangannya, waktu Thia Hong merasakan apa yang terjadi, tahu-tahu ujung pedangnya sudah terpegang lawan.

"Tring", kembali ujung pedang dipatahkan, sorot mata Ko Bun berubah beringas. Pada saat Thia Hong terkejut itulah, ujung pedang patah juga sudah bersarang didadanya.

Ko Bun mendengar jeritan ngeri disertai muncratnya darah segar musuh mengucur ketangannya, Ia angkat tangannya yang berlepotan darah segar, ia lalu memejamkan mata dan berdoa pelahan, "Ayah, inilah yang pertama. "

Tiba-tiba air matanya menitik diatas tangan yang berlumuran darah itu, kiranya beginilah rasanya orang menuntut balas, pedih dan ngeri.

Namun mayat musuh sudah roboh, rasa tegangnya juga terasa longgar, "Tring", tanpa merasa pedang patah jatuh ketanah.

Pada saat itulah mendadak seorang tertawa dan menegur dibelakangnya, "Setelah orang ini kau bunuh, bolehkah pengemis tua ikut bantu menanam mayatnya, Siu-kongcu?"

Suara orang yang sudah dikenalnya, tanpa berpaling juga Ko Bun tahu siapa dia.

Pelahan ia membalik tubuh, ditengah remang malam kelihatan Kiong-sin Leng Liong berdiri  tegak disitu sambil memegang seutas tali panjang dan sedang memandangnya dengan senyum-tak-senyum.

"Setelah orang ini kau bunuh, biarpun tidak disaksikan siapa pun, memangnya kau kira orang lain tak dapat menerka siapa pembunuhnya?" kata si pengemis tua.

Saat ini mendadak Ko Bun merasakan kelelahan dan kebosanan yang mendalam, kebosanan orang hidup. Dia seperti tidak ingin banyak pikir lagi, sahutnya dengan menghela napas, "Urusan apa pun, pada suatu hari pasti akan terbeber dengan jelas. Soal siapa diriku atau diriku siapa, apa alangannya jika nanti diketahui orang?"

"Haha, bagus, bagus!" Leng Liong bergelak tertawa, "Jika begitu, segala perencanaan yang sudah diatur itu bukankah akan percuma saja? Mungkin engkau tidak merasa sayang, tapi pengemis tua justru merasa sayang."

Pelahan Ko Bun menunduk, mendadak ia mengangkat kepala pula dan berteriak, "Sesungguhnya siapa kau? Ada sangkut-paut apa dengan diriku? Mengapa selalu kau ikut campur urusanku?"

Dalam kegelapan kedua mata Leng Liong tampak mencorong terang. Pengemis tua, ketua Kai- pang yang selama berpuluh tahun ini berkelana di dunia Kangouw mendadak air mukanya berubah prihatin, dia tidak bersuara, tangannya bergerak pelahan, tali panjang yang dipegangnya mendadak melejit keatas dan menari diudara. Sekali sendal tali itu melingkar turun dan jatuh diatas keempat mayat jago pedang berseragam biru tadi.

Berulang-ulang tangan Leng Liong bergetar dan menggeser, tali panjang itu juga ikut melingkar dan berputar, mendadak ia menarik, lalu berputar dan melangkah kesana, tali panjang itu mengencang, ternyata beberapa sosok mayat itu telah diseretnya kesana.

Gerak tali untuk mengikat beberapa sosok mayat itu sungguh hebat sekali, sampai Ko Bun juga melongo. Untuk pertama kalinya ia saksikan kepandaian orang Kangouw yang sukar dijajaki dan tidak dipamerkan didepan umum ini.

Dilihatnya Kiong-sin Leng Liong masih terus melangkah kesana sambil menyeret seikat mayat. Dengan enteng Ko Bun melompat kesampingnya dan bertanya, "Telah kuperlakukan dirimu dengan kasar, mengapa engkau masih juga membantuku?"

Leng Liong tidak memandangnya sekejap pun, ia terus melangkah kedalam hutan yang jarang- jarang pohonnya, disitu sudah menunggu dua pengemis dan sedang menggali liang kubur.

Ko Bun membentak, "Kau tahu, sama sekali aku tidak memerlukan bantuanmu, aku "

"Hm," Leng Liong mendengus, "saat ini musuhmu sudah berada dimana-mana, asalkan kau muncul, entah berapa banyak orang yang akan membinasakanmu. Kalau aku tidak membantumu, siapa yang akan membantu?" Ko Bun tertegun, gumamnya, "Kalau tidak kau bantu, siapa yang membantuku. "

"Hm, perubahan cuaca sukar diduga, kemalangan manusia sukar diramal, dalam sehari saja mungkin bisa terjadi macam-macam perubahan, orang yang menjadi sahabatmu hari ini bisa jadi besok akan berubah menjadi musuhmu, sekalipun kau punya kungfu maha tinggi dengan kepintaran yang tak ada taranya, namun urusan dunia Kangouw terlalu ruwet dan banyak liku- likunya, siapa pula yang dapat menerka apa yang bakal terjadi nanti?"

Ko Bun terkesima, ia coba mencerna arti ucapan orang.

Pada saat itulah mendadak dari tengah hutan sana berkumandang suara kereta kuda yang dilarikan dengan cepat, tapi mendadak pula berhenti. Menyusul lantas terdengar suara bentakan nyaring memecah keheningan malam.

Hati Ko Bun tergetar, ia merasa suara nyaring orang sudah dikenalnya benar.

Air muka Kiong-sin Leng Liong juga agak berubah, ucapnya dengan suara tertahan, "Lekas pergi, lekas! Urusan disini, biar kuselesaikan bagimu!"

Hanya sekilas senyuman Ko Bun, ia menuruti keangkuhan orang tua, sebab itulah seringkali anak muda ini suka melakukan hal-hal yang emosional, dan kebanyakan perbuatan emosional adalah perbuatan yang bodoh.

Begitulah tanpa berucap ia terus putar tubuh dan melompat keluar hutan.

Memandangi bayangan punggung anak muda itu, Leng Liong menggeleng, entah senang entah sedih, gumamnya, "Kembali begini perangainya, serupa benar. "

.                                           == ooo OOOO ooo ==

Di luar hutan sana sebuah kereta kuda berhenti didepan mayat Thia Hong, seorang pemuda tampan dan berpakaian perlente berdiri disamping kereta dan sedang mengamati mayat Thia Hong.

Waktu ia angkat kepalanya, tiba-tiba diketahuinya sepasang mata sedang menatapnya lekat- lekat, seketika kedua pasang mata beradu pandang.

Jantung si dia berdebar, segera tersembul senyuman kejut dan girangnya, tergurnya dengan suara gemetar, "Hai, engkau tidak. tidak mati."

Segera ia bergerak seperti mau menubruk kerangkulan Ko Bun, tapi urung. Dengan tertawa hambar Ko Bun menyapa,

"Bun-ki, kau tampak kurus." Suara tertawa dan ucapan ini bagaikan gelombang besar yang mendampar jantung Mao Bun-ki, tubuhnya gemetar, matanya pun merah.

"Kau. . . kaupun kurus. " ucapnya lirih, sampai disini, mendadak ia menyurut mundur, lalu 

berteriak, "Kau. sesungguhnya siapa kau? Apakah engkau musuh ayahku? Apakah engkau 

yang membunuh Thia Hong?"

Gemerdep sinar mata Ko Bun, jawabnya, "Orang ini. "

"Orang ini terbunuh olehku!" mendadak dari muka dan belakangnya dua orang menukas ucapannya, "Orang ini dibunuh olehku!"

Dengan terkejut Ko Bun berpaling, dilihatnya dari belakang hutan melangkah keluar Kiong-sin Leng Liong.

Mao Bun-ki juga terkejut dan menoleh, ditengah remang malam terlihat muncul seorang dengan wajah kaku dan tubuh tegak, sorot matanya buram, seorang aneh berjubah hijau, bekas luka pada mukanya yang panjang menambah seram dan misteriusnya.

"Siapa kau!" bentak Bun-ki. Biji matanya berputar, segera ia menambahkan lagi, "Siapa yang membunuh Thia Hong?"

Tak tahunya orang aneh ini seperti tidak mendengar bentaknya, dengan kaku ia tetap melangkah maju lewat disampingnya, lalu berjongkok untuk mengangkat mayat Thia Hong.

Mungkin karena terpengaruh oleh kekuatan gaib orang yang seram, seketika Bun-ki hanya menyaksikan orang berbuat tanpa mencegahnya.

Setelah mengangkat mayat Thia Hong, dengan kaku orang aneh itu berdiri dan mulai melangkah pergi, sorot matanya yang buram mendadak berubah setajam sinar kilat dan memandang Ko Bun sekilas, lalu dengan kaku lewat disisi Leng Liong terus menghilang dalam kegelapan sana.

Biarpun Leng Liong adalah tokoh yang lihai, tidak urung ia pun mengunjuk rasa heran, seperti ingin tanya ia pandang Ko Bun sekejap, tapi dilihatnya anak muda itu juga berdiri melongo dengan bingung. Mendadak Bun-ki berseru, "Leng-pangcu, kebetulan memang ingin kucari dirimu."

Agaknya karena bingung dan juga kikuk, sebab dia tidak berani mencegah perbuatan si jubah hijau yang aneh tadi, maka dia berucap demikian untuk menghilangkan rasa canggungnya.

Leng Liong juga melengak, segera ia menjawab dengan tertawa, "Ada keperluan apa nona mencari diriku?" "Aku. . . .aku. " Bun-ki menjadi gelagapan, dia mencari Leng Liong adalah untuk minta 

keterangan tentang Ko Bun, sekarang anak muda itu sudah berada disitu, seketika ia tidak dapat menyambung lagi ucapannya.

Ia yakin Ko Bun pasti bukan orang yang pantas dicurigai ayahnya, sebab itulah ia menjadi agak menyesal dan juga bingung, sebab ia tidak tahu cara bagaimana harus memberi penjelasan kepada ayahnya tentang Ko Bun.

Melihat kecanggungan si nona, Leng Liong bergelak tertawa, "Haha, urusan anak muda seperti kalian rasanya sukar dipahami orang tua semacam kami ini."

Muka Bun-ki menjadi merah, dilihatnya Ko Bun masih berdiri termangu ditempatnya, entah apa yang sedang dipikirkannya.

Pelahan ia mendekati anak muda itu dan berkata, "Tadi aku. . . salah tuduh padamu, tapi. tapi 

lebih baik sukalah engkau menghindar untuk sementara, sebab ayahku. "

Yang sedang dipikir Ko Bun adalah pandangan "mayat hidup" yang berjubah hijau tadi sehingga perkataan si nona tidak diperhatikannya.

Malahan lantas terlihat mata Ko Bun terbelalak lebar, lalu mengetuk jidat sendiri sambil berseru, "Ah, tidak betul. . . .tidak betul. "

Habis itu, mendadak ia membalik tubuh terus berlari pergi. Keruan Bun-ki melongo bingung, "Hai, kau. "

Mestinya dia hendak mengejar, tapi sekilas ia pandang Leng Liong sekejap, ia menjadi malu dan tidak jadi menyusulnya.

Leng Liong terbahak, "Haha, tidak apa, pengemis tua tidak melihat apa pun!"

Muka Bun-ki menjadi merah pula, akhirnya dia melompat keatas keretanya dan dilarikan dengan cepat. Debu mengepul, hanya sekejap saja lantas menghilang dalam kegelapan.

.                                            == oo OOO oo == Sudah jauh malam. . . .

Kerlip bintang menyinari sebuah pintu besar bercat merah dengan sepasang singa batu yang kelihatan ada disamping pintu.

Gedung keluarga Mao di Hangciu tidak pernah sepi, siang maupun malam.

Saat itu tujuh atau delapan lelaki berbaju ringkas tampak mondar-mandir didepan pintu, tugas  mereka adalah menyambut tamu, melaporkan, meronda dan menyelidik. Tapi ditengah malam musim semi yang indah ini, kedua tugas yang terakhir tadi sudah diremehkan mereka, mereka sudah lena oleh suasana yang aman tenteram.

Mereka cuma mondar-mandir dengan kemalas-malasan di pekarangan, ada yang mulai berduduk bersandar singa batu, terkadang juga satu-dua orang diantaranya membanyol tentang hal-hal yang konyol sehingga menimbulkan gelak tertawa temannya.

Se-konyong2 suara tertawa mereka berhenti serentak, sorot mata mereka yang semula tak acuh seketika berubah menjadi prihatin, yang berdiri tambah tegak berdirinya, yang berduduk cepat berbangkit.

Dalam kegelapan seorang berjubah hijau dengan kaku muncul dari kegelapan dan mendekati pintu, dibawah cahaya pelita kelihatan wajahnya yang kaku serupa mayat hidup itu cukup mengerikan orang, padanya terpanggul sesosok mayat yang masih berlumuran darah.

Semua orang terkejut, ada yang menyurut mundur untuk memberi jalan kepadanya, biarpun orang2 ini tergolong lelaki kasar, tapi sekarang tiada seorang pun berani bersuara menegur.

Si jubah hijau sama sekali tidak memandang mereka, langsung ia naik undak2an batu pintu gerbang. Ketika kedelapan penjaga itu bersuara kaget, tahu-yahu orang aneh itu sudah masuk kedalam.

Gedung keluarga Mao di Hangciu yang terjaga dengan ketat ini dianggapnya seperti tempat umum yang boleh masuk keluar dengan bebas.

Selangkah demi selangkah ia melintasi halaman, menuju keserambi sana, seketika gemparlah seluruh rumah.

Suara ribut berkumandang kedalam ruangan tengah, saat itu cahaya lampu diruangan besar itu masih terang benderang, Leng-coa Mao Kau asyik makan minum dengan gembira, ketika mendengar suara ribut-ribut itu ia berkerut kening dan bertanya, "Ada kejadian apa?" 

Dua jago pedang berseragam biru segera berlari keluar.

Yang hadir diruang tamu itu kecuali tuan rumah Mao Kau, ada lagi Ho-siok-siang-kiam, Gu-bo- siang-hui, Pek-poh-hui-hoa dan lain-lain, meski merekapun terkejut, tapi juga tidak terlalu menghiraukan.

Orang yang berduduk pada tempat tamu utama memakai mantel dan kerudung kepala, agaknya dia inilah Jin-beng-to-hou, si jagal manusia dari Kwan-gwa itu, Dia duduk tidak bergerak, biarpun berada ditengah orang banyak serupa juga berduduk sendirian, sikapnya yang keras 

se-akan2 tidak pernah terpengaruh oleh apa pun yang terjadi.

Pada saat itu terdengar keributan diluar bertambah ramai, ada orang membentak, "Siapa itu?  Berani sembarangan terobosan disini?"

Di tengah teguran dan bentakan tetap tidak ada seorang pun berani merintangi. Orang berjubah hijau itu pun tidak menghiraukan orang lain, langsung ia menuju keruangan besar.

Dalam pada itu kedua jago pedang berseragam biru sudah memburu tiba, melihat si jubah hijau yang aneh itu, tanpa terasa mereka pun ngeri. Kedua orang saling pandang sekejap, serentak mereka melolos pedang dan membentak, "Berhenti! Jika ada keperluan, hendaknya memberitahukan dulu!"

Akan tetapi si jubah hijau hanya memandang dingin terhadap mereka, lalu dengan langkah yang kaku ia tetap menuju kedepan.

Kedua jago seragam biru serentak membentak, "sret-sret", kedua pedang mereka menusuk dari kiri dan kanan.

Tapi lantas terdengar suara "cring" yang nyaring, kedua pedang itu saling bentur, entah dengan cara bagaimana si jubah hijau telah menyusup, dibawah sambaran pedang dan tahu-tahu sudah berada dibelakang kedua lawan.

Kedua orang itu terkesiap, dengan melongo mereka menyaksikan orang tetap melangkah kedepan tanpa berani menyerang lagi.

Akhirnya Mao Kau juga dikejutkan oleh peristiwa ini, dia muncul didepan ruangan tamu, Si jubah hijau langsung mendekati Mao Kau, tapi segera ia dihadang lagi oleh sebarisan lelaki bergolok.

"Berhenti!" seorang lantas membentak.

Akan tetapi Mao Kau juga berseru, "Menyingkir, biarkan dia kemari!"

Dengan langkah dan wajah kaku orang itu tidak menghiraukan barisan golok, dia menuju keruangan tamu. Disitu semua orang sudah sama berbangkit kecuali Jin-beng-to-hou yang angkuh itu.

Sesudah berhadapan, dengan sorot mata kaku si jubah hijau menatap Mao Kau, mendadak mayat yang dipanggulnya dilemparkan ke lantai.

Waktu semua orang mengawasi dan mengetahui mayat itu adalah Thia Hong, tanpa terasa mereka sama bersuara kaget.

Betapa tenangnya Mao Kau, tidak urung berubah juga air mukanya, dengan suara bengis ia lantas menegur, "Siapa kau? Untuk apa kau datang kemari dengan memanggul mayat?"

Dia belum lagi tahu jelas maksud kedatangan orang, sebagai tuan rumah, dengan sendirinya  tidak boleh turun tangan begitu saja.

Dilihatnya wajah si jubah hijau yang kaku itu tiba-tiba menampilkan secercah senyuman, karena tersenyum sehingga mukanya berkerut, maka bekas luka pada mukanya juga ikut tertarik sehingga kelihatan lebih jelek dan menakutkan.

Dengan pelahan ia berkata, "Siapa aku?. " kembali ia menatap Mao Kau dan menyambung 

dengan sekata demi sekata, "Masa tidak kau kenal lagi padaku?"

Alis Mao Kau bekernyit dengan erat, dengan sorot mata tajam ia pandang orang aneh ini.

Tiba-tiba Pek-po-hui-hoa Lim Ki-cing tertawa dan menyela, "Jika engkau sahabat Mao-toako, hendaknya lekas kau katakan saja terus terang, untuk apa main teka-teki segala?"

Tapi Co-jiu-sin-kiam Ting Ih lantas menegur dengan kurang senang, "Apakah engkau yang membunuh Thia Hong?. "

"Betul." jawab si jubah hijau tegas dan singkat.

Semua orang terkejut, tanpa terasa sama menyurut mundur, "creng", serentak mereka melolos senjata.

"Setelah kau bunuh dia, kau bawa lagi mayatnya kesini, memangnya kau pun ingin mencari mampus," jengek Lim Ki-cing.

Namun si jubah hijau seperti tidak menghiraukan ucapannya, ia menatap Mao Kau dengan tajam dan berkata lagi, "Benarkah engkau sudah pangling padaku?"

"Jika benar kau sahabatku, mengapa kau bunuh Thia Hong?" jawab Mao Kau dengan beringas.

"Ya, peretanyaan tepat!" sambung Ting Ih, "crit", mendadak pedangnya menusuk bahu si jubah hijau.

Namun cuma sedikit bergerak, berbareng jari si jubah hijau menyelentik dari balik lengan bajunya "cring", Kontan serangan Ting Ih dipatahkan, malahan ia berucap dengan pelahan, "Delapan belas tahun yang lalu, dibawah hujan lebat ditengah malam. "

Karena serangannya gagal, dengan gusar Ting Ih bermaksud menyerang lagi, tapi Mao Kau lantas mencegahnya, "Berhenti dulu, Ting-heng, dengar ceritanya."

Suasana ruangan tamu menjadi sunyi, semua orang sama pasang telinga.

Dengan pandangan lekat si jubah hijau melanjutkan ucapannya, "Waktu itu kulakukan pengawalan satu partai barang bagimu, ditengah jalan telah dibegal dan jiwaku hampir melayang, masakah kejadian itu sudah kau lupakan?" Tergetar hati Mao Kau, mendadak teringat olehnya akan seorang, serunya dengan terkejut, "Hei, kau Cu Cu-bing! Jadi. jadi kau ini adik Cu-bing!"

"Cu Cu-bing. Ya, betul, aku inilah Cu Cu-bing!" ucap si jubah hijau dengan kaku.

"O, Cu-bing," seru Mao Kau sambil memburu maju dan merangkul bahu orang, "Mengapa baru. 

. . baru sekarang kau datang menemuiku?"

Dengan muka kelam Ting Ih menukas, "Tidak peduli siapa dia, kalau Thia-toako sudah dibunuhnya, tetap tidak dapat kutinggal diam."

Mao Kau tampak kurang senang, tapi si jubah hijau alias Cu Cu-bing lantas mendengus, "Hm, memangnya tidak boleh kubunuh dia?"

Pelahan ia menengadah, ia tuding codet pada mukanya, lalu berkata pula, "Coba lihat, dia manusia rendah, demi keuntungan pribadi dia khianati kawan sendiri, dia telah melukaiku, meski serangan ini tidak sampai menewaskan diriku, tapi tusukan maut ini telah membuatku kehilangan ingatan selama delapan belas tahun, selama itu kuhidup tersiksa dan sengsara, inilah. "

Dia berpaling kearah Mao Kau dan melanjutkan, "Inilah sebabnya baru sekarang dapat kudatang menemuimu, sebab sejauh itu aku tidak ingat pada apa yang terjadi pada masa lampau, bahkan tidak ingat kepada nama sendiri. Kalau tidak tentu sudah sejak dulu-dulu kupulang untuk melaporkan padamu bahwa barang kawalan pada delapan belas tahun yang lalu. "

"Apakah orang yang membegal barang kawalanmu itu ialah Thia Hong." potong Mao Kau dengan melotot.

"Betul," jawab Cu Cu-bing. "Telah kuhilangkan barang kawalanku, kalau tidak kubunuh dia, mana dapat kupulang untuk menemuimu?"

Sampai disini, suasana diruangan sudah mencapai klimaksnya. Siapapun tidak berani bicara lagi, bahkan Ting Ih yang penasaran karena serangannya dipatahkan orang tadi diam-diam juga sudah memasukkan kembali pedang kesarungnya.

Sejenak Mao Kau termenung, mendadak ia bergelak tertawa, "Hahaha, bagus, bagus! Hari ini sungguh hari bahagia, bukan cuma perkara yang ter-katung2 selama delapan belas tahun tak diketahui sebab musebabnya kini telah menjadi jelas, bahkan saudaraku yang menghilang selama delapan belas tahun kini telah pulang lagi kesisiku. Haha, sungguh aku sangat 

bahagia dan harus dirayakan."

Mendadak ia bertepuk tangan dan berteriak, "Ayo, ulangi kembali perjamuan ini untuk menghormati Ci-hiante!" Lalu ia pun memberi perintah agar mayat Thia Hong dibawa pergi untuk dikubur, diberi pesan pula agar istri Thia Hong yang sedang hamil itu untuk sementara jangan diberitahu.

Anak buah Mao Kau lantas sibuk melaksanakan perintah itu.

Dengan tertawa genit Lim Ki-cing berkata, "Mao-toako, orang telah berbuat khianat padamu, tapi engkau masih memperlakukannya dengan baik, sungguh aku takluk lahir batin atas kebijaksanaanmu."

Biji matanya berputar, ia melirik Cu Cu-bing sekejap, lalu ia berkata, "Makanya menurut pendapatku, saudara Cu, sakit hatimu sudah terbalas, dendammu sudah terlampias, kini telah berkumpul kembali dengan sahabat lama, peristiwa bahagia ini pantas dirayakan dengan gembira dan engkau mestinya dapat tertawa, Ai, terus terang, sikapmu yang kaku ini membuat orang merasa tidak enak."

"Jika merasa tidak enak, jangan kau pandang diriku," jengek Cu Cu-bing. Lim Ki-cing melengak dan tida mampu tertawa lagi.

Dengan terbahak Mao Kau menyela, "Haha, sesama saudara sendiri, untuk apa. "

Belum lanjut ucapannya, mendadak terlihat Thi Peng berlari datang dengan napas terengah- engah, dari jauh dia sudah berteriak, "Suhu. . . Suhu. ada orang ingin menemui engkau!"

Dengan kening bekernyit Mao Kau bertanya, "Siapa? Mengapa kau jadi gugup begini?"

Napas Thi Peng masih tersengal, jawabnya, "Kedua orang ini " mendadak ia berhenti sambil 

memandang Cu Cu-bing dengan melenggong. "Dia ini Cu-susiok!" kata Mao Kau.

Thi Peng menyambung, "Kungfu kedua orang ini sungguh sangat mengejutkan, entah apa maksud tujuan mereka mencari Suhu, tidak diketahui kawan atau lawan."

Meski dalam hati merasa sangsi, sedapatnya Mao Kau berlagak tenang, ucapnya dengan tertawa, "Haha, peduli apa maksud kedatangan mereka, masakah mereka dapat berbuat sesukanya disini?"

Maklumlah, yang hadir di tempatnya sekarang tergolong tokoh kelas terkemuka seluruhnya, dengan ucapannya itu berarti pula dia menjunjung martabat para tamunya itu.

Dengan tertawa genit Lim Ki-cing berkata pula, "Kungfu mereka sangat hebat. Wah, siapakah 

mereka? Justru ingin kulihat mereka. "  Sampai disini tiba-tiba dilihatnya pandangan semua orang sama terarah keluar pintu, tanpa terasa ia berhenti bicara dan ikut memandang kesana. Tertampaklah dua orang kakek berbaju perlente, perawakan keduanya sangat tinggi, yang seorang gemuk dan yang lain kurus, keduanya berdiri berjajar didepan ruangan tamu. Sorot mata mereka membawa semacam tenaga gaib yang aneh dan membuat jantung orang berdebar.

Mao Kau terkesiap, segera ia menyapa dengan tertawa, "Entah ada keperluan apa Anda berdua mencari orang she Mao. "

Kakek sebelah kiri yang gemuk dan berwajah bundar mengelus jenggotnya dan memotong ucapan tuan rumah, "Aku Thia Ki!"

"Dan aku Poa Kiam!" sambung kakek kurus sebelah kiri dengan tertawa.

Keduanya terus melangkah kedepan Mao Kau, kakek gemuk yang bernama Thia Ki berucap, "Jadi kau ini Mao Kau? Ehm, memang rada mirip. "

"Delapan belas tahun yang lalu pernah kulihat adik perempuanmu. " sambung si kakek kurus 

alias Poa Kiam, dia bicara dengan hambar, akan tetapi segera menimbulkan kegemparan orang banyak.

Semua orang yang hadir sama terkesiap, sampai si jubah hijau yang mengaku bernama Cu Cu- bing juga menampilkan rasa terkejut.

Setelah menenangkan diri, Mao Kau coba bertanya, "Oo, jadi. jadi Anda pernah melihat adik 

perempuanku, entah. entah berada dimanakah dia sekarang?"

Meski sedapatnya ia menahan gejolak perasaannya, tidak urung suaranya rada gemetar. Sudah tentu yang membuatnya tergetar bukan karena adik perempuannya, melainkan anak dalam kandungan adiknya pada delapan belas tahn yang lampau itu.

Jin-beng-to-hou, si jagal manusia yang memakai kerudung muka itu sejak tadi berduduk diam saja, kini ia pun berbangkit dengan sorot mata tajam.

Terdengar Thia Ki berkata pula dengan singkat, "Hai-thian-ko-to!" Nama tempat ini kembali membuat semua orang terperanjat.

Cepat Mao Kau bertanya, "Dan bagai. . . .bagaimana dengan anak yang dlahirkannya?. "

"Dengan sendirinya berguru kepada Hai-thian-ko-yan" jawab Poa Kiam dengan tertawa.

Tergetar hati Mao Kau, ia menyurut mundur beberapa tindak dan jatuh terduduk dikursi. Jin- beng-to-hou juga duduk kembali, "tring", sebuah sumpit gading terjatuh kelantai. Seketika wajah Mao Kau kelihatan sebentar hijau sebentar pucat, jelas hatinya sangat terguncang.

Juga tidak terkecuali Ho-siok-siang-kiam, Pek-poh-hui-hoa, Co-jiu-sin-kiam dan lain-lain yang bersangkutan dengan kematian Siu Tok dahulu, semuanya juga kebat-kebit. Bahwa putra Siu Tok bila benar murid Hai-thian-ko-yan, maka tidak perlu disangsikan lagi akan kungfunya, jika demikian, dendam delapan belas tahun yang lalu itu bukankah benar akan terjadi hutang darah harus dibayar dengan darah.

Mendadak Thia Ki mendekati Mao Kau, katanya dengan tertawa, "Biarpun putra Siu Tok adalah murid Hai-thia-ko-yan, tapi kalau kami berdua berada disini, apa yang perlu kau takuti?"

Serentak Mao Kau berdiri, "Maksudmu. "

"Hahaha, kedatangan kami justru hendak membela kau," seru Poa Kiam dengan tertawa.

Gemerdep sinar mata Mao Kau, ia mau percaya, tapi juga tidak berani percaya. Diam-diam ia membatin cara bagaimana dapat menyelami kebenaran maksud kedatangan kedua kakek aneh in serta menguji betapa tinggi kungfu mereka?

Sementara itu malam bertambah larut, angin meniup dingin membuat suasana tegang sedikit mengendur.

Pada saat itulah se-konyong2 terdengar suara orang tertawa latah, meski suara tertawa itu kedengaran sangat jauh, namun terasa memekak telinga.

Seorang jago pedang berseragam biru tampak berlari masuk dan melapor, "Diluar ada tamu lagi. "

"Siapa? Tengah malam buta begini berkunjung kemari. " bentak Mao Kau dengan melotot.

Dengan hormat si baju biru melapor, "Mereka mengaku sebagai Cu Pek-ih dari Bu-tong, Gin-ho Tojin dari Hoa-san dan lagi. "

Hanya nama kedua orang ini saja sudah cukup membuat gempar orang banyak.

Mao Kau menyengir dan memotong, "Wah, tak tersangka malam ini ramai benar akan kedatangan tetamu, Adakah mereka menyatakan maksud kunjungannya?"

Dengan tergegap si baju biru menjawab, "Orang-orang itu seperti mabuk, mereka bilang esok adalah hari pertemuan besar para ksatria, maka malam ini juga mereka ingin menemui dulu tuan rumah, katanya ingin minta minum beberapa cawan arak segala. "

Alis Mao Kau berkerut, ia termenung sejenak, sudah cukup kesulitan yang dihadapinya sekarang, sungguh ia tidak mau menambah kesukaran lain. Tapi cara bagaimana pula dia  dapat menolak kedatangan tokoh terkemuka dunia persilatan itu. Begitulah ia mulai menerka apa maksud kedatangan jago-jago pedang itu.

Karena sudah sekian lama tidak ada keputusan, si baju biru yang masih menunggu itu akhirnya bertanya, "Apakah mereka disilakan masuk atau. "

"Undang masuk kemari!" ucap Mao Kau kemudian.

Baru saja ia berkata demikian, terdengarlah gelak tertawa diluar disusul dengan dendang orang disertai irama ketukan pedang, menyusul masuklah dua orang, yaitu Cu Pek-ih bergandeng tangan dengan Hoa-san-gin-ho, keduanya kini tampak memakai caping dan baju ijuk, agaknya dalam keadaan mabuk. Dibelakang mereka ikut pula tiga orang dengan gelak tertawa.

Mao Kau berkerut kening, ia berdehem lalu berseru dengan lantang, Maaf, Mao Kau tidak tahu kedatangan tamu agung sehingga tidak melakukan sambutan yang layak. "

Cu Pek-ih berhenti berdendang, katanya, "Sambutan layak Mao-tayhiap sudah cukup kuterima seperti ini, yang penting, sediakan saja minuman sedap."

Hoa-san-gin-ho juga berseru dengan tertawa,"Haha, asalkan tersedia arak sedap. apa pula yang kuharapkan lagi!" Habis berkata, kedua orang lantas berdendang pula.

Mao Kau tidak menanggapi, dengan tersenyum ia menyilakan tetamu masuk kedalam.

Setiba ditengah ruangan, Cu Pek-ih menyapu pandang sekejap hadirin disitu, tiba-tiba ia bergumam, "Satu, dua. lima, aha, bagus, bagus sekali. Tak tersangka Jit-kiam-sam-pian yang 

termashur hari ini telah berkumpul lima orang disini,sungguh sangat menggembirakan. Selamat bertemu!"

Pek-poh-hui-hoa Lim Ki-cing menjawab dengan tertawa, "Aha, janganlah Cu-tayhiap memuji, kami ini terhitung apa, masakah dapat dibandingkan pedang sakti pendekar Bu-tong?"

Cu Pek-ih menggoyang kedua tangannya dan berkata, "Ai, didepan Jit-kiam-sam-pian mana berani kubicara tentang pedang segala!" 

Sampai disini, mendadak ia mengertak, "Haiit!"

Pedang yang dipegangnya tahu-tahu menyambar keatas dan "crat", dengan tepat menancap ditengah belandar.

Hoa-san-gin-ho sengaja berlagak serius, ia tepuk pundak Cu Pek-ih dan berkata, "Cu-heng, janganlah engkau rendah hati. Bicara tentang ilmu pedang, memang banyak juga jago pedang dari berbagai aliran lain, namun ilmu pedang Bu-tong-pai tetap paling menonjol. Delapan puluh satu jurus Kiu-kiong-lian-goan-kiam sekali dimainkan bagaikan air bah yang tak terbendungkan.  . . ."

"Ah, Toheng terlalu memuji," ujar Cu Pek-ih dengan tertawa. "Lalu bagaimana pula dengan Hoa-san-kiam-hoat kalian?"

Hoa-san-gin-ho memutar pedangnya sehingga menimbulkan deru angin yang keras, sumbu lilin diruangan sama bergoyang, sebentar mengkeret dan lain saat memanjang.

Lalu ia berkata dengan menggeleng, "Tentang Hoa-san-kiam-hoat. Haha, susah, pahit, sepat, 

tidak sedap, cuma ya, lumayanlah!"

Ditengah gelak tertawanya pedang berputar terlebih kencang, angin tajam menyambar dan api lilin seluruh ruangan mendadak padam.

Dengan alis berkerut Mao Kau membentak, "Nyalakan lampu!"

Dalam kegelapan terdengar orang berlari, tentu anak buahnya berusaha mengambil lampu. Sejenak kemudian, lampu telah menyala lagi.

Pada saat cahaya lampu terpancar itulah, serentak terdengar beberapa orang menjerit kaget.

Kiranya sejak tadi Jin-beng-to-hou yang selalu berkerudung itu diam saja, kedatangan Cu Pek- ih dan lain-lain sama sekali diremehkannya. Tapi pada saat lampu menyala kembali, tahu-tahu seorang lelaki tinggi besar bercaping dan berbaju ijuk sudah berdiri didepannya serta menarik kain kerudungnya, selagi Jin-beng-to-hou merasa gusar, orang yang menarik kain kerudungnya sudah menjerit kaget lebih dulu.

Waktu semua orang memandang kesana, tertampak orang berbaju ijuk yang menjerit kaget itu lantas membuka caping dan menanggalkan baju ijuknya sehingga kelihatan rambutnya yang kusut dan bajunya yang hitam.

Nyata dia inilah si Thauto berambut kusut. Matanya yang tinggal satu itu tampak gemerdep, codet pada mukanya juga berubah merah membara, serupa benar dengan bekas luka pada muka Jin-beng-to-hou.

Serentak Jin-beng berbangkit dengan tubuh agak gemetar, mantelnya juga lantas tersingkap sehingga kelihatan jenggotnya yang putih serta lengan baju kirinya yang kosong tanpa tangan.

Kedua orang berdiri berhadapan, si Thauto dan Jin-beng-to-hou bukan saja perawakan sama tingginya, bekas luka dimuka dan sikap keduanya juga serupa, bedanya cuma bekas luka Jin- beng-to-hou itu tepat menyerempet lewat mata kirinya sehingga mata itu tidak sampai buta.

Persamaan kedua orang ini membuat semua orang terkesiap pula, keadaan menjadi hening, semuanya merasa heran. Si Thauto tampak gemetar dan berucap, "Ahh. . . .engkau. "

Mendadak ia berlutut dan menyembah sambil berteriak, "O, ayah! Mengapa engkau tidak sudi bertemu denganku, mengapa. "

Thauto berbaju hitam yang kelihatan gagah perkasa ini sekarang menyembah sambil menangis ter-gerung seperti anak kecil.

Jin-beng-to-hou memandang si Thauto tanpa bersuara, hanya jenggotnya yang putih itu kelihatan juga rada bergetar. Sorot matanya tampak buram, sejenak kemudian dua titik air mata menetes membasahi pipinya.

Dengan alis berkerut Mao Kau juga tidak bicara, sekarang dapat dipahaminya ocehan Hoa-san- gin-ho dan Cu Pek-ih tadi kiranya cuma untuk memencarkan perhatian orang banyak saja. Lalu mereka memutar pedang dengan kencang untuk memadamkan lampu, pada saat panik itulah si Thauto lantas mendekati Jin-beng-to-hou untuk menyingkap kain kerudungnya supaya antara dan anak dapat bertemu.

Ia cukup tahu seluk beluk kedua ayah beranak ini, sebab itulah dia tidak terharu oleh adegan si Thauto yang menyembah dan menangis itu, sebaliknya ia merasa kesal.

Tangisan si Thauto tidak mereda, ia masih terus berteriak, "O, ayah, mengapa engkau tidak sudi menemuiku "

Mendadak Jin-beng-to-hou membentak, "Siapa ayahmu!" Sambil mengentak kaki segera ia hendak tingga pergi.

Serentak Cu Pek-ih dan Gin-ho Tojin melompat maju dan menghadang didepan orang.

"Ai, Locianpwe, masakah engkau sedemikian tega terhadap anak sendiri?" kata Cu Pek-ih.

"Banyak urusan!" bentak Jin-beng-to-hou sambil mendorong kedepan dengan kedua tangannya.

Cepat Cu Pek-ih berdua mengelak, tapi pada saat itu juga si Thauto pun sudah menubruk maju dan merangkul erat kedua kaki Jin-beng-to-hou sambil berseru dan menangis, "Ayah, jika mau bunuh, boleh kau bunuh diriku saja!"

Sorot mata Jin-beng-to-hou tampak beringas, namun tubuh tidak dapat bergerak lagi, jengeknya, "Hm, memangnya kenapa jika kubunuh dirimu?"

Mendadak ia menengadah dan tertawa latah, tertawa yang penuh rasa duka dan penasaran, teriaknya, "Haha, hari ini tidak ada lagi orang she Siu yang akan ikut campur urusanku!"

Habis berkata telapak tangannya sebagai golok terus membacok keatas kepala si Thauto. Semua orang menjerit kuatir, tapi telapak tangan yang kurus itu segera berhenti ketika menyentuh rambut si Thauto yang kusut dan tidak diteruskan. 

Mao Kau menghela napas panjang, ucapnya, "Ong-heng, kejadian sudah lama lampau, untuk apa pula engkau mengingatnya lagi?"

Jin-beng-to-hou bergelak tertawa pula, teriaknya, "Melupakannya?. . . .Haha, melupakannya?. . 

."

Ia tertawa seperti orang menangis sehingga menimbulkan rasa heran bagi pendengarnya, dengan suara parau ia menyambung lagi, "Lantaran anak durhaka ini, aku telah mengorbankan segala hasil usahaku dan sebelah lenganku, selama dua puluh tahun aku hidup sengsara ditengah gurun yang gersang, dan sekarang ada orang menyuruhku melupakannya?. "

Sekejap itu kejadian dua puluh tahun yang lampau se-akan2 terbayang kembali, masih teringat jelas olehnya seraut wajah dengan pandangannya yang menghina sesamanya serta nada yang dingin itu berkata kepadanya;

"Manusia ini ciptaan Tuhan, sekalipun engkau ayahnya juga tidak berhak mencabut nyawanya, telah kau buntungi sebelah lengannya, akupun akan membuntungi sebelah lenganmu, kau bacok mukanya, akupun akan membacok sekali pada mukamu, inilah pelajaran bagimu bahwa setiap tindak-tanduk orang didunia ini tidak boleh didasarkan atas kehendak pribadi seorang dan boleh sembarang membikin cacat atau mencabut jiwa orang lain."

Dirasakan dingin pada lengan kiri sendiri, betapa mata golok orang telah menguntungi lengannya itu, kejadian yang tak mungkin dilupakannya selama hidup.

Teringat olehnya selagi dirinya tersiksa dan menggeletak ditanah karena terluka parah itu, putranya justru ikut minggat bersama orang she Siu itu. Dengan merintih ia telah bersumpah pasti akan menuntut balas kejadian itu.

Menuntut balas dan menuntut balas. . . . .

Mendadak ia membentak, "Jika kau mau mengakui diriku sebagai ayahmu, kecuali kaupun memperlakukan putra orang she Siu itu dengan cara yang sama, bacok mukanya dan buntungi sebelah tangannya, habis itu baru boleh kau temui aku lagi."

Mendadak ia dorong tubuh si Thauto, dikenakannya mantelnya yang longgar, secepat terbang ia terus melayang keluar.

"Ayah!" teriak si Thauto, langsung ia mengejar keluar, hanya sekejap saja bayangan mereka sudah ditelan kegelapan.

Hoa-san-gin-ho menghela napas menyesal. ucapnya pelahan, "Ai, sungguh tak tersangka Sin- jiang Ong Lu-peng yang sudah tua masih tetap membawa perangai sekeras ini, padahal   

.orang yang hadir disini masakah cuma mereka saja yang ingin menuntut balas kepada keturunan orang she Siu?"

========================================================================

= Apalagi yang akan dihadapi Ko Bun yang kini harus menghadapi kemunculan musuh sebanyak ini?

= Adakah jalan keluar untuk menghapus semua sengketa yang menyangkut balas membalas ini?
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar